Etische Politiek atau biasa disebut politik etis maupun politik balas budi adalah suatu pemikiraan yang progresif bahwa pemerintah Belanda mempunyai kewajiban moral untuk menyejahterakan penduduk pribumi Hindia-Belanda. Pada tahun 1901, ratu Belanda Wihelmina mengumumkan pada pidato tahunannya bahwa kerajaan Belanda menerima tanggung jawab etis untuk kesehjahteraan rakyat kolonial mereka.Politik etis secara resmi diberlakukan paa bulan September 1901. Politik etis menuntun bangsa Indonesia ke arah kemajuan namun didalam hal prakteknnya masih menyimpang dan tetap bernaung dibawah penjajah Belanda.Awal mula politik etis ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, bahwa Belanda memperhatikan penduduk pribumi dan membantu Indonesia pada saat mengalami kesulitan. Tiga aspek dasar politik etis seperti pendidikan, perairan, akan dibahas secara lebih mendalam di bagian pembahasan berikutnnya mengenai isi politik Etis. Kritik tentang kebijakan pemerintah yang menyesengsarakan rakyat pribumi disampaikan secara resmi pada 1891 didalam siding parlemen.Conrat Theodore yang dikenal sebagai pelopor tokoh politik etis memberikan pemikiranya agar masyarakat pribumi mendapat pendidikan. Tokoh liberal tersebut menyampaikan kritik melalui menulis dalam majalah De Gids yang berjudul Een Eereschuld yang berarti “Hutang Kehormatan”. Een Eereschuld yang merupakan dapat diartikan sebagai hutang yang demi kehormatan harus dibayar, meskipun tidak dapat dituntut kepada hakim dalam pengedilan.Tulisan yang ditulis merupakan analisa beliau yang menggambarkan bagaimana Belanda meraup keuntungan dan menjadi negara yang makmur. Itu semua merupakan hasil kolonialisi yang berasal daro deraj Hindia-Belanda. Sementara itu masyarakat Hindia-Belanda masih sangat merupakan masyarakat yang terbelakang baik dari segi ekonomi maupun pendidikan dan menurut pandangan beliau sudah sepantasnnya jika kekayaan yang selama ini diambil oleh pemerintah Belanda tersebut dikembalikan.
B. Latar Belakang Politik Etis
Munculnya Politik Etis di Nusantara atau Hindia Belanda tidak terlepas dari adanya gelombang liberalisasi dan revolusi demokrasi yang menyebar di Eropa sekitar tahun 1840-an yang kemudian turut mempengaruhi kondisi politik di Belanda.Dampak dari Liberalisme di Hinda Belanda yang paling menonjol yaitu pada bidang ekonomi. Dimana, pada tahun 1870 terjadi pemberlakuan Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula, yang kemudian memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeksploitasi sumber daya alam di Hindia Belanda.Kehadiran perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda tersebut pada mulanya dianggap sebagai langkah maju dalam meningkatkan kesejahteraan kerajaan Belanda dan negara koloni Hindia Belanda. Akan tetapi, berjalannya liberalisasi ekonomi yang terjadi tidak sesuai dengan yang dibayangkan sebelumnya dengan terjadinya kesenjangan ekonomi yang mulai terlihat di Hindia Belanda. Praktek pelaksanaan sistem tanam paksa yang dilakukan oleh kolonial membawa keuntungan bagi Negeri Belanda, sedangkan dilain sisi, penduduk Indonesia hidup sengsara, padahal sesungguhnya mereka memiliki andil besar dalam memajukan perekonomian pemerintahan Belanda.Sejumlah tokoh pers mulai muncul untuk menyampaikan isu-isu sosial politik dalam berbagai artikel di surat kabar. Salah satunya isu yang paling sering dibahas adalah tentang perbaikan kondisi kaum bumiputra di Hindia Belanda. Tonggak awalnya ialah karena kritik yang dilayangkan oleh van Deventer dalam majalah Degies (Oktavianuri, 2018: 8).Dalam kritikannya tersebut, Ia mengatakan bahwasanya pemerintah Belanda harus membalas budi atas semua keuntungan yang diterima oleh Belanda dari kolonialisasi yang mereka lakukan di Indonesia.
C. Isi Politik Etis
Praktek politik etis resmi mulai dilaksanakan saat Ratu Willhemina 1 memberikan pidatonya pada 17 September 1901,yang berbicara mengenai kesejahtraan masyarakat pulau jawa.Denggan pengenalan politik etis maka mulailah babak baru penerapan politik etis mulailah babak baru penerapan politik di daerah jajahan Belanda.Dasar politik etis meliputi tiga aspek yaitu;pendidikan,perairan, dan pemindahan penduduk. Dalam bidang pendidikan kebijakan Belanda membagi gologan setipa siswa seperti golongan bumiputra,eropa,timur asia.dalam gologan bumiputra masih terdapat pembagian kelompok lagi seperti peminpin adat,ulama,dan golongan rakyat biasa.Dalam bidang perairan menyakkut sector pertanian dan perkebunan pemerintah Belanda melakukan perbaikan sarana dan infratuktur untuk menunjang hasil perkebunan dan pertanian.Dalam bidang pemindahan penduduk pemerintah belanda melakukan trasmigrasi penduduk agar terjadi pemmeratan penduduk.
D. Tujuan dan Dampak Politik Etis
Banyak usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil-hasilnya sering membuat bangga para pejabat Belanda.Semua mendukung politik Etis agar menyetujui dengan ditingkatkanya dunia pendidikan bagi bangsa Indonesia dan memeratakan kesejahteraan rakyat Indonesia atas Hindia Belanda. Untuk Tokoh Belanda yang mendukung politik etis terealisasi bagi rakyat Indonesia. Pendekatan eliitis diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan (Ricklefs, 2007:329-330). Dampak yang ditimbulkan oleh Politik Etis tentunya adanya negatif dan positifnya namun tujuan awal dari politik etis ini banyak yang tidak terlaksanan dan mendapatkan hambatan. Namun satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang kemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomo, Sarikat Islam dan berdirinya Volksraad.
E. Munculnya Elit Nasional
Kebijakan politik etis pemerintah colonial Belanda dalam mendirikan beberapa sekolah bagi anak-anak pribumi merupakan langkah awal perjuangan para pemuda di Indonesia. Semua pendukung politik etis tersebut setuju untuk meningkatkan pendidikan masyarakat pribumi, namun ada dua aliran pemikiran yang berbeda tentang jenis pendidikan itu dan untuk siapa pendidikan tersebut diberikan. Pertama, menurut Snouck Hurgronje dan Direktur Pendidikan, J.H. Abendanon, bangsa Belanda menginginkan pendidikan yang lebih bergaya Eropa dan memakai bahasa Belanda sebagai pengantar bagi kaum elit Indonesia yang dipengaruhi oleh kehidupan bangsa barat. Harapannya akan membentuk suatu kerjasama antara pribumi dengan orang Eropa yang akan mempermudah hubungan antara keduanya. Kedua,menurut Idenburg dan Gubernur Jenderal van Heutz, yang menganjurkan pendidikan dasar yang lebih kuat dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar untuk kelasbawah. (Fakhriansyah, 2019 : 130).Ketika melihat keadaan bangsanya yang tertindas demi kepentingan pejabat dan negara Belanda, para elite pribumi punya ide dan mengajak masyarakat pribumi untuk melawan penjajahan Belanda. Perlawanan tersebut dilatar belakangi atas hasrat ingin maju dan memperluas kesempatan menuntut pendidikan. Gagasan perlawanan atau gagasan untuk mengemansipasi diri tersebut diawali dengan tebentuknya organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Serikat Islam, Indische Partij yang kemudian diikuti dengan terbentuknya beberapa organisasi pergerakaan nasional lainnya.