Anda di halaman 1dari 4

SEKULARISASI PENDIDIKAN DI NEGERI-NEGERI MUSLIM,

BENCANA PERADABAN MANUSIA

Endiyah Puji Tristanti

“Yang paling aku takutkan atas umat ini adalah orang munafik yang berilmu”

(Umar bin Khattab)

Umat Islam pada masa kekhilafahan pernah menjadi mercusuar peradaban dunia di bidang
pendidikan. Bahkan mencapai rentang waktu yang sangat panjang tidak kurang dari 8 abad lamanya,
jauh meninggalkan dunia Barat (Eropa) yang masih tertatih-tatih merumuskan hakikat sebuah
peradaban dunia bagi manusia.

Kini, ketika negara Khilafah telah runtuh, dunia pendidikan dinaungi sistem kapitalisme yang cacat,
dan sekulerisme menggantikan akidah Islam sebagai asas sistem dan kurikulum pendidikan. Musibah
dan bala’ kubro menimpa negeri-negeri Muslim secara bertubi-tubi, wajah pendidikan di dunia Islam
menjadi sangat terhina. Dunia Islam mengalami “Krisis Pendidikan” yang sungguh mengerikan.

Awal Sekularisasi Pendidikan di Negeri-negeri Muslim

Negara Eropa (Inggris, Prancis, Amerika) telah bersepakat menghapuskan Islam dan Khilafah salah
satunya dengan strategi invasi misionaris atas nama ilmu dan pengetahuan. Tahun 1820 M, gerakan
misionaris –yang sebelumnya berjalan lambat- semakin kokoh setelah pembentukan pusat misionaris
di Beirut. Sementara di Syam termasuk Suriah dan Palestina, otoritas setempat membuka lebar-lebar
pintu bagi misionaris Perancis, Inggris dan Amerika, mengijinkan pembukaan sekolah-sekolah dan
pencetakan buku-buku melalui program “Ilmu Pengetahuan dan Budaya”. Di pusat Istambul, berdiri
banyak sekolah, perguruan tinggi, dan penerbitan buku-buku tsaqofah Islam yang diselewengkan
sehingga memunculkan keraguan terhadap ide-ide Islam. Kesemuanya terjadi karena gerakan
pendidikan tersebut telah lepas dari pengawasan negara dimana mereka tidak tunduk pada Ottoman.

Berikutnya, lahirlah undang-undang reformasi dalam pendidikan Ottoman sesuai dengan


perkembangan ilmiah di Eropa, menjadi pintu masuk pengiriman delegasi mahasiswa Muslim ke
Perancis dan Inggris. Barat menginginkan kalangan intelektual mengambil cara pandang Barat yang
materialistik, gaya hidup liberal, demi meraih target reformasi pendidikan melalui tangan-tangan
kaum Muslimin. Sebanyak 319 mahasiswa dikirim ke Eropa untuk menyiapkan reformasi
pendidikan. Mereka menjadi generasi pembawa obor perubahan dan pemimpin perang sekularisasi
dan permusuhan terhadap budaya Islam atas nama pembangunan, ilmu pengetahuan dan modernisasi.
Selanjutnya misi sekularisasi berjalan sangat cepat dan menyebar semakin massif di negeri-negeri
Islam setelah runtuhnya negara Khilafah. Kurikulum sekuler telah berkontribusi signifikan dalam
keruntuhan ini. Generasi kaum Muslimin yang terpisah dari akidah Islamiyah telah turut serta di
dalam proyek besar ini.

Sekularisasi Kurikulum Pendidikan Menopang Penjajahan

Tanpa negara Khilafah, babak baru serangan misionaris di dunia Islam telah berjalan tanpa
penghalang. Serangan abad 21 ini dipimpin oleh Amerika Serikat berada di bawah payung besar
“perang melawan terorisme dan ekstremisme” bertarget sekularisasi kurikulum pendidikan. Rand
Corporation dan The American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) telah menyajikan sejumlah
studi dan rekomendasi yang diangkat ke badan keamanan nasional AS dan beberapa kepada Presiden
secara langsung. Pada beberapa laporan menyatakan, “Tujuan dari kampanye Amerika melawan
terorisme dapat menyebabkan kontrol atas generasi yang akan datang untuk jangka waktu sepuluh
tahun dan hal ini dapat menjadi obat penenang sementara. Namun, mengubah kurikulum pendidikan
mulai dari jenjang dasar adalah apa yang menjamin keberadaan generasi non-teroris.”
Penting menjadi kesadaran bersama, bahwa fokus utama agenda reformasi kurikulum pendidikan
bukan semata untuk revolusi ilmu pengetahuan sebagaimana narasi mereka. Perubahan kurikulum
pendidikan di negeri-negeri Muslim menitikberatkan pada agenda sekularisasi dengan menyebarkan
kebodohan, keterbelakangan dan untuk memotong ikatan generasi Muslim dari akidah Islam.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan yang terpisah dari akidah Islam, bagai jiwa tanpa ruh. Akibat
perubahan kurikulum negeri-negeri Muslim justru semakin terbelakang, alih-alih mampu menggapai
puncak keemasan mereka justru mengalami ketertinggalan dalam pembangunan.

Dalam dunia kapitalistik yang terjadi adalah praktek monopoli atas ilmu pengetahuan setelah
sekularisasi kurikulum berjalan massif. Atas arahan World Trade Organization (WTO), sektor
pendidikan menjadi salah satu industri sektor tersier melalui General Agreement on Trade in Services
(GATS) yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa –layanan kesehatan, TI dan komunikasi, jasa
akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa lainnya-.GATS yang diratifikasi
tahun 1995 memposisikan pendidikan menjadi suatu komoditas Prinsipnya bagaimana agar seluruh
penyelenggaraan proses pendidikan menyesuaikan tuntutan dunia kerja dan pasar tenaga kerja global.

Kini masalah kurikulum pendidikan negeri-negeri muslim bukan lagi masalah internal kaum
Muslimin yang dikelola oleh para ulama, pemikir, dan para pakar. Namun, sebuah masalah global
yang tunduk pada pengawasan Barat yang melakukan sekulerisasi dan kapitalisasi pendidikan.
Berbagai forum global dialog antar agama merekomendasikan perubahan kurikulum di negeri-negeri
Muslim.

Moderasi Beragama, Sekularisasi Total Kurikulum Pendidikan Indonesia

Upaya pengarusan moderasi beragama di dunia pendidikan benar-benar digarap serius. Di perguruan
tinggi moderasi beragama juga sangat massif. Kemenag sebagai leading sektor moderasi beragama
mengawal program moderasi beragama, salah satunya melalui Rumah Moderasi Beragama di
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). PTKIN harus menjadikan moderasi beragama
sebagai salah satu isu utama dalam KBM, riset, dan pengabdian masyarakat, dengan fokus pada kajian
keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Untuk penguatan program moderasi di perguruan tinggi,
pada agenda Annual Conference on Research Proposal (ACRP) pada 21–24/11/2021, Kemenag
banyak membahas isu terkait moderasi beragama, pluralisme, dan keragaman.

Seluruh sikap Kemenag dan Kemendikbud ini sebagai respon terhadap Peraturan Presiden (Perpres)
tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang
Mengarah pada Terorisme (RAN-PE). Sebenarnya pemerintah Indonesia sendiri hanyalah
“pembebek” pada setiap kebijakan global dan multilateral. Dalam Resolusi 2178 (2014), Dewan
Keamanan PBB dengan jelas telah menyatakan hubungan antara ekstremisme kekerasan dengan
terorisme. Setelahnya, pada 2/2016 Sidang Umum PBB, mengadopsi Plan of Action to Prevent
Violent Extremism (Pan-PVE)/Rencana Aksi untuk Mencegah Ekstremisme Kekerasan sebagai
penguatan kerangka global dan nasional untuk memerangi Islam politik. Lalu UNDP dan Uni Eropa
juga menggagas proyak Preventing Violent Extremism Through Promoting Tolerance and Respect for
Diversity (PROTECT) bersama 4 negara Asia Tenggara: Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Dan Desember 2019, BNPT dengan cepat menuntaskan draft final Perpres terkait RAN PCVE dan
menyerahkan ke Kementerian Hukum dan HAM, sebagai cikal bakal Perpres RAN-PE tersebut.

Kurikulum Pendidikan Indonesia Semakin Kapitalistik

Sudah tiga perempat abad atau seusia republik ini berdiri, pendidikan di Indonesia belum menemukan
konsep yang sempurna dan paripurna. Setidaknya sebanyak 11 kali pergantian kurikulum pendidikan
dasar dan menengah di negeri ini. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004,
2006, 2013, dan 2015. Dan kurikulum terbaru diluncurkan dengan nama Kurikulum Prototipe -untuk
merespon pandemi Covid-19- yang tertuang di dalam Keputusan Mendikbudristek Nomor
162/M/2021 tentang Sekolah Penggerak. Sebuah kurikulum berbasis kompetensi untuk mendukung
pemulihan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning)
untuk mendukung pengembangan karakter yang selaras dengan program Merdeka Belajar.

Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim pun menyempurnakan kapitalisasi pendidikan di


Indonesia. Nadiem merancang draft Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 dimana disebutkan
Visi Pendidikan Indonesia 2035 adalah membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar
seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan
nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 diimplementasikan
dalam bentuk kebijakan Merdeka Belajar berikut di dalamnya program Merdeka Belajar Kampus
Merdeka (MBKM). Program-program MBKM telah memberi ruang yang cukup luas pada peran
masyarakat dan dunia usaha – dunia industri (DUDI). Baru digagas 2 tahun lalu program Merdeka
Belajar Episode-1 (11/12/2019), kini sudah ada program “Merdeka Belajar Episode-17”. Negara
(pemerintah) sangat antusias dengan kebijakan Merdeka Belajar karena pengelolaan pendidikan tinggi
tidak lagi menjadi tanggung jawab negara dan diserahkan pada mekanisme pasar untuk meningkatkan
daya saing global melalui otonomi.

Sebuah paradigma reformasi kebijakan dan arah pendidikan tinggi yang liberal, pro-pasar, lepas dari
campur tangan negara, lebih mementingkan pertimbangan perubahan teknologi, perubahan sumber-
sumber ekonomi, sosiokultural dan demografi, serta gambaran pasar kerja global. Sumber daya
manusia (SDM) dipersiapkan bukan berbasis penguasaan ilmu pengetahuan dalam rangka
kemandirian umat. SDM dipersiapkan berdasarkan trend pasar lapangan kerja global demi memenuhi
Pendapatan Domistik Bruto (PDB). Sebagaimana konsep pertumbuhan ekonomi yang digerakkan
iptek (knowledge and technology driven economic growth) -dokumen GATS-WTO.

Pendidikan dalam Negara Khilafah bagi Peradaban Manusia

Pendidikan dalam pandangan Islam adalah upaya sadar,terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikan Islam yaitu: (1) Membentuk manusia
bertakwa yang berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap didasarkan pada akidah Islam,
(2) Mencetak ilmuwan, ulama, pakar yang kapabel dalam jumlah massal yang mampu memenuhi
kebutuhan umat dan daulah, serta membawa daulah menjadi negara adidaya yang menyebarkan
rahmat ke seluruh dunia.

Demikianlah, negara Khilafah pernah meraih masa keemasan di bidang pendidikan setidaknya
ditopang oleh dua faktor. Pertama, keberadaan akidah Islam sebagai asas bagi sistem dan kurikulum
pendidikan negara Khilafah. Tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Bahkan syariat
telah mewajibkan setiap muslim untuk meninggalkan kebodohan, karena kebodohan adalah pangkal
kekufuran. Islam mewajibkan keimanan diraih oleh seseorang dengan jalan memfungsikan akalnya
untuk sampai kepada keimanan yang benar. Oleh karena itu, pendidikan Islam menerapkan dan
menjaga proses berpikir rasional dalam pembelajaran sehingga ilmu ditransmisikan dari sumber yang
benar. Islam juga memosisikan proses berpikir ilmiah sebagai bagian tak terpisah dari metode berpikir
rasional serta menempatkan metode berpikir ilmiah pada tempatnya.

Kedua, totalitas perhatian negara Khilafah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Negara


menyediakan semua instrumen dan kebijakan serta pembiayaan yang diperlukan bagi dunia
pendidikan. Syariat telah mendaulat negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab
memberikan jaminan pendidikan terhadap kaum muslimin dan warga negara kafir dzimmi yang
tunduk terhadap kekuasaan Islam. Pembiayaan pendidikan seluruhnya diambilkan dari Baitul Maal
dari pos faai’, kharaj dan milkiyah ‘ammah. Khilafah juga membebaskan kafir muahid dan musta’min
untuk mengenyam pendidikan di dalam kekhilafahan gratis tanpa pembebanan karena syariat
memerintahkan dakwah kepada semua manusia dan memperlakukan tamu dengan baik.

Konstruksi sains dan teknologi dalam negara Khilafah berbeda dengan sistem kapitalisme. Pertama,
riset di tangan negara selaras dengan politik dalam negeri dan politik luar negeri Khilafah untuk
menyejahterakan manusia. Politik dalam negeri Khilafah memastikan pendidikan tidak menjadi
komoditas. Sementara politik luar negeri Khilafah mencegah pendidikan menjadi alat penjajahan.
Arah riset menjamin negara dalam memenuhi kebutuhan individu dan kebutuhan publik seluruh
warga negara. Kedua, industri didesain sesuai politik indutri dalam Khilafah yang berbasis pada
industri berat sebagai kunci kemandirian negara. Industri tidak didesain memenuhi kebutuhan
kapitalisme global. Ketiga, intelektual muslim lahir secara massal dengan berbagai bidang keahlian
dan kepakaran. Mereka memiliki kesalehan sosial yang tinggi, penjaga kemaslahatan umat dan
penerapan hukum Islam. Berbeda dengan intelektual produk pendidikan kapitalisme yang apolitis,
terbelenggu dengan satu disiplin ilmu, mereka individualis, pragmatis, dan materialistis.

Inilah gambaran pendidikan dalam sistem Islam. Sejak Rasulullah Saw menerima wahyu dengan
“iqra’-nya” lalu beliau mengajarkan dan membina para shahabat dengan akidah dan syariat di rumah
Arqam bin Arqam. Di Madinah, Beliau Saw membebaskan tawanan perang Badar dengan ganti setiap
tawanan mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 muslimin. Pada masa Amirul Mukminin
Umar bin Khatab membuat kebijakan gaji bulanan guru sebesar 15 dinar (setara 60,75 gr emas atau
lebih dari 60 juta). Bagaimana Kholifah Harun Al-Rasyid memberikan 1000 dinar (4250gr emas
kepada penghafal al-qur’an). Kemudian para khalifah memberikan penghargaan terhadap para
penulis buku imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.

Banyak “Daar al Ilm” didirikan abad 9 dan 10 Masehi di provinsi Timur dan Barat negara Khilafah.
Khalifah Harun ar Rasyid memerintahkan setiap masjid harus memiliki sekolah. Abad ke-11 Wazir
Nizam al Mulk mendirikan sekolah di seluruh wilayah termasuk Baghdad, Mosul, Basra dan Hera t.
Hal ini diikuti oleh Khalifah Nuruddin pada abad ke-12 di Damaskus dan kota besar lain. Cordoba
saja ada 70 perpustakaan. Pada suatu masa pemerintahan Islam terdapat 74 perguruan tinggi di Kairo,
73 di Damaskus, 41 di Yerussalem, 40 di Baghdad, 14 di Aleppo, 13 di Tripoli dan masih banyak lagi
di mana kesemuanya memberikan pendidikan gratis bagi puluhan ribu pelajar.

Ada Universitas al Mustanshiriah (1227 M) yang didirikan Khalifah al Mustanshir di kota Baghdad
memberikan beasiswa 1 dinar dan biaya makan & kebutuhan hidup bagi para siswa dan perawatan
kesehatan gratis. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah
disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian. Juga universitas
bergengsi lainnya yang dikenal dunia internasional, seperti Universitas al Qowariyyin di Maroko (859
M), Universitas al Azhar di Mesir (970 M), Universitas Sankore di Mali (abad 14 M), Universitas
Istambul di Turki (abad 15 M) dan masih banyak lagi.

Duhai umat, bagaimana kita sanggup mengatakan “tidak” pada Khilafah, padahal kemuliaannya
berhamburan begitu rupa menghiasi peradaban manusia dalam rentang waktu yang tidak hanya
sepintas, namun panjang terbentang dari masa ke masa. Maka sungguh, kebutuhan akan tegaknya
Khilafah makin nyata kita rasakan.

Allah Swt berfirman,

“Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-
ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”

(TQS. Saad: 29)

Anda mungkin juga menyukai