Anda di halaman 1dari 11

MODUL PERKULIAHAN

[PENDIDIKAN
PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN]

[PANCASILA SEBAGAI
DASAR NILAI
PENGEMBANGAN ILMU
DAN TEKNOLOGI]

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh


[Ekonomi] [Manajemen] [PPKn] [TIM DOSEN PPKN UMBY]

07
PEMBAHASAN

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU DAN


TEKNOLOGI

A. Pengantar
Materi dalam modul ini akan membahas Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu dan teknologi. Membahas Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu dan
teknologi menjadi sangat penting karena kehidupan manusia dan kemajuan yang
terjadi tidak lepas dari pengetahuan, ilmu, dan teknologi yang dikembangkan oleh
manusia. Perkembangan ilmu, pengetahuan, dan teknologi dapat mengubah dan
membentuk jati diri manusia menjadi sesuatu. Untuk itu, perlu ada dasar-dasar nilai
dalam mempersiapkan manusia dalam perubahan zaman yang terjadi. Isi dari modul
ini diambil dari bahan-bahan yang telah ditulis oleh para penulis pendahulu yaitu Ali
Amran dengan judul Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (2016), Satrio Wahono,
Surajiyo, dan Donie Kadewandana Malik, (2017) berjudul Pendidikan Pancasila untuk
Perguruan Tinggi, dan Winarno, berjudul Paradigma Baru Pendidikan Pancasila (2018).

1. Orientasi Pancasila dan Iptek


Pancasila digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri, maka Pancasila mempunyai
fungsi dan peranan yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan
bernegara. Fungsi dan peranan itu terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan
zaman, itulah sebabnya Pancasila memiliki berbagai predikat sebagai sebutan nama
yang menggambarkan fungsi dan peranannya. Fungsi dan peranan Pancasila oleh BP7
Pusat (1993) diuraikan mulai dari yang abstrak sampai yang konkret menjadi sepuluh
yakni: Pancasila sebagai jiwa bangsa, Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia,
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, Pancasila sebagai perjanjian luhur, Pancasila
sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia, Pancasila sebagai
cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Pancasila sebagai moral
pembangunan dan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila (Wahono,
dkk, 2017:175).
Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara
dari Negara Kesatuan Republik Indnesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara. Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan
UUD 1945 diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang
berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penyelenggaraan negara
2018 [PPKn] Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
[TIM DOSEN PPKN UMBY] http://mercubuana-yogya.ac.id/ 2
dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa,
oleh penyelenggara negara, bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan
masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandasakan
kemampuan nasional, dengan memanfaakan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknolgi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam
pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur yang universal
untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan,
sejahtera, maju dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini mencapai
kemajuan yang pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan yang luar
biasa. Pengembangan iptek tidak dapat terlepas dari situasi melingkupinya, artinya
iptek tidak dapat terlepsa dari situasi yang melingkupinya. Artinya iptek selalu
berkembang dalam suatu ruang budaya. Perkembangan iptek pada gilirannya
bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dan agama sehingga di satu pihak dibutuhkan
semangat objektivitas, di pihak lain iptek perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya
dan agama dalam pengembangannya agar tidak merugikan umat manusia.
Relasi antara ilptek dan nilai budaya, serta agama dapat ditandai dengan beberapa
kemungkinan sebagai berikut. Pertama, iptek yang gayut dengan nilai budaya dan
agama sehingga pengembangan iptek harus senantiasa didasarkan atas sikap human-
religius. Kedua, iptek yang lepas sama sekali dari norma budaya dan agama sehingga
terjadi sekulerisasi yang berakibat pada kemajuan iptek tanpa dikawal dan diwarnai
nilai human religius. Hal ini terjadi karena sekelompok ilmuwan yang menyakini
bahwa iptek memiliki hukum-hukum sendiri yang lepas dan tidak perlu diintervensi
nilai-nilai dari luar. Ketiga, iptek yang menempatkan nilai-nilai agama dan budaya
sebagai mitra dialog di saat diperlukan. Dalam hal ini, ada sebagian ilmuwan yang
beranggapan bahwa iptek memang memiliki hukum sendiri (faktor internal) tetapi di
pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya, ideologi, dan agama) untuk bertukar
pikiran, meskipun tidak dalam arti saling bergantung secara ketat (DIKTI, 2016:195-
196).
Relasi yang paling ideal antara iptek dan nilai budaya serta agama tentu terletak pada
fenomena pertama, meskipun hal tersebut belum dapat berlangsung secara optimal,
mengingat keragaman agam dan budaya di Indonesia itu sendiri. keragaman tersebut
di satu pihak dapat menjadi kekayaan, tetapi di pihak lain dapat memicu terjadinya
konflik. Oleh karena itu, diperlukan sikap inklusif dan toleran di masyarakat untuk
mencegah timbul konflik. Untuk itu, komunikasi yang terbuka dan egaliter di perlukan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fenomena kedua yang
menempatkan pengembangan iptek di luar nilai budaya dan agama, jelas bercorak
positivistik. Kelompok ilmuwan dalam fenomena kedua ini menganggap intervensi

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 3 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
faktor eksternal justru dapat mengganggu objektivitas ilmiah. Fenomena ketiga yang
menempatkan nilai budaya dan agama sebagai mitra dialog merupakan sintesis yang
lebih memadai dan realistis untuk diterapkan dalam pengembangan iptek di
Indonesia. sebab iptek yang berkembang di ruang hampa nilai justru akan menjadi
bumerang yang membahayakan aspek kemanusiaan.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan agama
dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengakomodasi
seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demikian pula
halnya dalam aktivitas ilmiah. Oleh karena itu, perumusan Pancasila sebagai
paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat
niscaya. Sebab, pengembangan ilmu yang terlepas dari nilai ideologi bangsa, justru
dapat mengakibatkan sekularisme, seperti yang terjadi pada zaman Renaissance di
Eropa. Bangsa Indonesia memiliki akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh sejak
lama dalam kehidupan masyarakat sehingga manakala pengembangan ilmu tidak
berakar pada ideologi bangsa, sama halnya dengan membiarkan ilmu berkembang
tanpa arah dan orientasi yang jelas (DIKTI, 2016:196-197).
Bertitik tolak dari asumsi diatas, maka das sollen ideologi Panasila berperan sebagai
leading principle dalam kehidupan ilmiah bangsa Indonesia. karena itu untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji aspek kesejahrahan dan
aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi. Dari sini, problematika
keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagi
pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan suatu sistem
filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah
mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia yaitu nilai-nilai
Pancasila.

2. Pengertian dan Ciri-Ciri Ilmu


Pengertian pengetahuan (knowledge) itu berbeda dengan ilmu (science). Sedangkan
istilah ilmu pengetahuan merupakan terjemahan dari science itu sendiri, dalam
bahasa Indonesia, kata ilmu dilanjutkan istilah ilmu pengetahuan. Istilah ilmu
pengetahuan biasa dan umum digunakan padahal istilah tersebut dapat dikatakan
sebagai pleonasme, suatu pemakaian kata yang lebih dari yang diperlukan (Supriya,
2012 dalam Winarno,2018:177).
Setiap ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu.
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia
menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang
merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu. Ilmu berada setingkat di atas
pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan bersifat
ilmiah. Ilmu bukan sekedar pengetahuan, tetapi merangkum sekumpulan
2018 [PPKn] Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
4 [Tim Dosen PPkn] http://mercubuana-yogya.ac.id/
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan didapatkan secara
sistematis diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu
(Winarno, 2018:177).
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Ilmu harus diusahakan dengan
aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan
akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan sistematis (The Liang Gie,
1987). Lebih lanjut terdapat 3 pengertian ilmu (Gie dan Supriya, 2012). Pengertian
pertama, lebih menekankan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis.
Pengertian ini telah dianut begitu luas dalam berbagai ensiklopedia dan kepustakaan
yang banyak membahas tentang ilmu. Pengertian kedua, menekankan bahwa ilmu
sebagai metode penelitian ilmiah. Pengertian ketiga, menekankan bahwa ilmu
merupakan proses aktivitas penelitian (Winarno, 2018:177).
Menurut The Liang Gie (1987) pengetahuan ilmiah mempunyai 5 ciri pokok:
1. Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3. Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan
kesukaan pribadi.
4. Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke
dalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan,
dan peranan dari bagian-bagian itu.
5. Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Daoed Joesoef(1987) mendefinisikan bahwa ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu
produk, proses, dan masyarakat. ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu
pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat
ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang
mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji dan
dibantah oleh seorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan
demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan
sebagiamana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini
adalah analisis-rasional, objektif, sejauh mungkin impersonal dari masalah-masalah
yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak-
tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu
universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang teratur.

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 5 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Van Melsen (1985) mengemukakan ada delapan ciri yang menandai ilmu, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara
logis koheren, itu berarti adanya sistem dalam penelitian(metode) maupun harus
(susunan logis).
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung
jawab ilmuwan.
3. Universalitas ilmu pengetahuan
4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif.
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6. Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh,
bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-
problem baru lagi.
7. Kritis, artinya tidak ada teori yang definitif, setiap teori terbuka bagi suatu
peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan dan kebertauan
antara teori dengan praktis (Satrio Wahono, dkk,2017:185-186).

3. Persoalan dalam Ilmu


Ilmu selalu diperhadapkan dengan persoalan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
a. Ontologis
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata, yaitu ontos
berarti ada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah
ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan (Winarno, 2018:180). Ontologi
membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau
dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis
tentang ilmu pengetahuan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok, yakni:
a). apakah objek ilmu yang akan ditelaah.b). bagaimana wujud yang hakiki dari
obhek tersebut, dan c). bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan(Suriasumantri, 1998 dalam Winarno 2018). Problem ontologis
tentang ilmu membahas tentang keberadaan ilmu yang terdiri dari persoalan: 1).
Aspek kuantitas, apakah yang ada itu tunggal atau jamak.2). aspek kualitas,
bagaimana batasan, sifat, kualitas dari ilmu. Persoalan ontologis dapat
memberikan landasan bagi penyusun asumsi, dasar-dasar teoritis dan membantu
terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan
masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antara ilmu.
Misalnya krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja.

2018 [PPKn] Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


6 [Tim Dosen PPkn] http://mercubuana-yogya.ac.id/
ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau
oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik dan sosiologi.

b. Epistemologis
Epistemologi berdasarkan akar katanya berasal dari kata episteme (pengetahuan)
dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi, epistemologi adalah
teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan,
khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau
sah berlakunya pengetahuan itu. Bahasan epistemologi mencakup beberapa
pertanyaan yang harus dijawab yakni apakah ilmu itu? Dari mana asalnya? Apa
sumbernya? Apa hakikatnya? Bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar?
Apa kebenaran itu? Mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar? Apa yang dapat
kita ketahui? Dan sampai manakah batasannya? (Winarno, 2018:181). Persoalan
epistemologi menyangkut sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara
memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar
kebenaran, sistem, prosedur strategi, pengalaman epistemologis dapat
memberikan sumbangan bagi kita.
c. Aksiologis
Istilah aksiologi berasal dari kata axios dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu
yang berharga, dan logos artinya akal, teori. Aksiologi artinya teori nilai,
penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Aksiologi
sebagai cabang filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi adalah ilmu
yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. jadi aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan (Winarno, 2018). Dalam ilmu selalu mempertimbangkan nilai (etis,
moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan, atau pengembangan ilmu.
Pengalaman aksiologis, dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu,
mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan. Landasan
pengembangan ilmu secara imperatif mengacu ketiga dasar filosofis keilmuan yang
bersifat integratif.

4. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai


Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-
metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (Cogito
Ergo Sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan
usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau
justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan adalah sebagaimana Josep
Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 7 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
kegiatan ilmiah didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. ilmu
pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan olu pengtahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator
bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:
1. Ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian yakni bebas dari pengaruh
eksternal seperti: faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsur
kemasyarakatan lainnya.
2. Perlu kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin.
Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga
mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin
ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis
mengenai bidang ilmu sosial itu mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan
tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan bagian-bagian praktis ilmu
sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani
kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan
atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai
hubungan objektivitas ilmiah (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001).
5. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dan teknologi
Konsep Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu. Pengertian Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa jenis pemahaman.
Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di
Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. kedua, bahwa setiap iptek dikembangkan di Indonesia harus menyertakan
nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iltek itu sendiri. ketiga, bahwa
nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan iptek di
Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak keluar dari cara berpikir dan
cara bertindak bangsa Indonesia. keempat, bahwa setiap pengembangan iptek harus
berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan
istilah indegenisasi ilmu (mempribumikan ilmu). (sumber:DIKTI, 2016).
Keempat, pengertian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu sebagaimana
dikemukakkan di atas mengandung konsekuensi yang berbeda-beda. Pengertian pertama
bahwa iptek tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
mengandung asumsi bahwa iptek itu sendiri berkembang secara otonom, kemudian
dalam perjalannya dilakukan adaptasi dengan nilai-nilai Pancasila. pengertian kedua,
bahwa iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai Pancasila
sebagai faktor internal mengandaikan bahwa sejak awal pengembangan iptek sudah

2018 [PPKn] Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


8 [Tim Dosen PPkn] http://mercubuana-yogya.ac.id/
harus melibatkan nilai Pancasila. Namun, keterlibatan nilai-nilai Pancasila ada dalam
posisi tarik ulur, artinya ilmuwan dapat mempertimbangkan sebatas mereka anggap layak
untuk dilibatkan. Pengertian ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu
normatif bagi pengembangan iptek mengasumsikan bahwa ada aturan main yang harus
disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak ada jaminan
bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan pengembangan iptek itu
sendiri. Sebab ketika iptek terus berkembang, aturan main seharusnya terus mengawal
dan membayangi agar tidak terjadi kesenjangan antara pengembangan iptek dan aturan
main.
Pengertian keempat yang menempatkan bahwa setiap pengembangan iptek harus
berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai proses indegenisasi
ilmu mengandaikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di Indonesia. untuk itu,
diperlukan penjabaran yang lebih terperinci dan pembicaraan di kalangan intelektual
Indonesia, sejauh mana nilai-nilai Pancasila selalu menjadi bahan pertimbangan bagi
keputusan-keputusan ilmiah yang diambil (DIKTI, 2016).
6. Pentingnya Pancasila sebagai Dasar pengembangan Ilmu
Pentingnya Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu dapat ditelusuri ke dalam
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia dewasa
ini seiring dengan kemajuan iptek menimbulkan perubahan dalam cara pandang
manusia tentang kehidupan. Hal ini membutuhkan renungan dan refleksi yang
mendalam agar bangsa Indonesia tidak terjerumus ke dalam penentuan keputusan
nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Kedua, dampak negatif yang
ditimbulkan kemajuan iptek terhadap lingkungan hidup berada dalam titik nadir yang
membahayakan eksistensi hidup manusia di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
diperlukan tuntutan moral bagi para ilmuwan dalam pengembangan iptek di
Indonesia.
Ketiga, perkembangan iptek yang didominasi negara-negara Barat dengan politik
global ikut mengancam nilai-nilai khas dalam kehidupan bangsa Indonesia, seperti
spiritualitas, gotong-royong, solidaritas, musyawarah, dan cita rasa keadilan. Oleh
karena itu, diperlukan orientasi yang jelas untuk menyaring dan menangkal pengaruh
nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
7. Pancasila sebagai Landasan Etik Pengembangan Ilmu di Indonesia
Pancasila sebagai landasan etik bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia
berkaitan dengan aksiologi ilmu. Pertanyaan utama dalam aksiologi adalah untuk apa
pengetahuan tersebut digunakan dan bagaimana kaitan penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral. Sebagaimana dinyatakan Slamet Sutrisno (2006), bahwa butir-
butir nilai-nilai Pancasila dapat dikembangkan sebagai pembangun filsafat ilmu sosial,

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 9 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
sekurang-kurangnya dalam kapasitas aksiologi ilmu, meliputi: 1). Spiritualitas, 2).
Keadilan, 3). Kekeluargaan.
Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila menjadi panduan etik pengembangan ilmu karena
aksiologi berbiacara tentang nilai atau moral. Pancasila menjadi kaidah moral perihal
untuk apa dan bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan itu. Konfigurasi nilai-nilai
Pancasila sebagai aksiologi ilmu tersebut sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai fundamental moral Pancasila menempatkan realitas spiritual religius sebagai
nilai tertinggi, termasuk dalam konteks kegiatan ilmiah. Manusia dan masyarakat
sebagai subjek dan objek penelahan ilmu sosial tidak dapat mengabaikan realitas
spiritual ini.
Esensi dari sila-sila Pancasila menekankan pada pesan keadilan dalam interaksi antar
manusia. Realisasi pesan sila ini akan mengantarkan manusia dan masyarakat
Pancasila membangun keadaban dan peradaban spiritual. Acuan materialis
ditekankan lebih pragmatis pada sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sehingga keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai dijiwai oleh semangat
keadaban dan peradaban (Winarno, 2018). Bagi bangsa Indonesia strategi
pengembangan ilmu pengetahuan yang paling tepat diletakkan pada dua hal pokok
yaitu: visi dan orientasi filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai Pancasila dalam
menghadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data/fakta objektif
dalam satu kesatuan integratif.
Visi dan orientasi operasionalnya diletakkan pada dimensi-dimensi sebagai berikut:
1. Teleologis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar sarana yang
memang harus kita pergunakan untuk mencapai suatu teleos (tujuan), yaitu
sebagaimana merupakan ideal kita untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana
dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945.
2. Etis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasionalkan untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada tempat
yang sentral. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu pengetahuan secara
bertanggung jawab.
3. Integral/integratif, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan untuk
meningkatkan kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan
kualitas struktur masyarakatnya, sebab manusia selalu hidup dalam relasi baik
dengan sesama maupun dengan masyarakat yang menjadi ajangnya. Peningkatan
kualitas manusia harus diintegrasikan ke dalam masyarakat yang juga harus
ditingkatkan kualitas strukturnya (Satrio Wahono, dkk,2017).

LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu?

2018 [PPKn] Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


10 [Tim Dosen PPkn] http://mercubuana-yogya.ac.id/
2. Apa perlunya Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu?
3. Kemukakan sumber historis, sosiologis, dan politis Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu?
4. Kemukakan contoh-contoh Pancasila sebagai karakter keilmuan Indonesia!

***

DAFTAR PUSTAKA

- Ali Amran.(2016).Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo.


- Satrio Wahono, Surajiyo, dan Donie Kadewandana Malik.(2017). Pendidikan
Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: akademia.
- Winarno. (2018). Paradigma Baru Pendidikan Pancasila. Jakarta: Bumi Aksara.

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 11 Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai