LAPORAN IPTEK TAHUN 1961 penyakit kolera menjadi pandemi di Indonesia. Dalam jangka waktu lima tahun penyakit itu menyebar ke India, Uni Soviet, Iran, dan Irak. Dalam jangka waktu 10 tahun sudah sampai di Afrika Barat. Tahun 1991 kolera yang sama berjangkit di Amerika Latin. Selama tahun 1995, kolera yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, sudah membunuh 5.000 orang di seluruh dunia dan membuat ratusan ribu lainnya menderita diare. Hanya satu strain bakteri jenis Vibrio cholerae menyebabkan semua kematian dan kesakitan itu. Strain Vibrio cholerae yang mematikan ini dikenal dengan nama O1. Bagaimana bakteri kolera ini mempengaruhi tubuh sampai menjadi diare. Bakteri itu mengeluarkan sejenis racun yang menempel pada sel usus kecil sambil mempengaruhi sel sedemikian rupa sehingga sel usus kecil memompa ion klorida dan air, kurang lebih lima galon per hari, ke dalam usus kecil lalu ke luar tubuh. Karena itu jika garam dan air tidak ditambahkan ke dalam tubuh penderita yang terinfeksi akan mati. Kejadian itu sangat mengherankan, karena sebagian besar strain Vibrio cholerae adalah organisme yang tidak berbahaya yang hidup dalam air sungai dan laut terbuka. Tetapi kemudian dalam sejarahnya strain O1 berubah menjadi pembunuh. Apa yang menyebabkan bakteri yang tidak berbahaya itu kemudian berubah menjadi demikian mematikan? Menurut ahli mikrobiologi Matthew Waldor, penyebabnya adalah sejenis virus, mikroorganisme yang lebih kecil sosoknya daripada bakteri. Dibajak Waldor, yang bekerja di New England Medical Center di Boston dan koleganya John Mekalanos dari Harvard, menemukan virus itu ketika mereka mempelajari sepotong DNA bakteri yang membawa gen yang dinamakan CTX, nama kode untuk racun kolera (cholera toxin). Mereka curiga virus itu telah menginfeksi bakteri penyebab kolera dengan gennya, karena virus sering menempelkan bahan genetikanya kepada bakteri. Kemungkinan lainnya ialah bakteri strain lainnya menukar gennya, sesuatu yang biasa terjadi di antara strain liar. Waldor dan Mekalanos menemukan dengan pasti sejenis viruslah pengacaunya setelah mereka mengambil bakteri O1 dan mengantikan gen racunnya dengan kode yang membuatnya tahan pada sejenis antibiotik. Kemudian mereka mengkultur bakteri itu dengan jenis yang rentan terhadap antibiotik dan mereka temukan beberapa bakteri kedua kemudian menjadi resisten terhadap antibiotik itu. Selanjutnya mereka menyaring bakteri itu dengan filter yang sangat halus, sampai hanya tertinggal cairan yang bebas bakteri. Cairan yang sudah bebas bakteri itu masih tetap bisa memindahkan ketahanan terhadap antibiotik, bahkan ketika diperlakukan dengan enzim yang menyerang DNA telanjang, yaitu DNA yang tidak dilapisi oleh lapisan protein yang melindungi virus. Waldor dan Mekalanos akhirnya menyimpulkan sejenis virus memindahkan gen dari strain yang satu ke strain lainnya. Dan dengan menggunakan mikroskop elektron mereka berhasil memotretnya. Para peneliti mencurigai virus yang panjang dan seperti serabut memasuki bakteri yang biasanya menempel pada lambung dan usus. Serabutnya itu menjadi tandanya karena bakteri yang tidak mengandung serabut tidak terinfeksi. Dengan menyerang bakteri, virus CTX menemukan rumahnya, kemudian gennya diturunkan setiap kali bakteri itu membelah. Apakah kemudian bakteri itu menjadi korban parasit? Rupanya tidak. Murus-murus yang keluar akibat adanya racun itu, kata Waldor, menjadi media yang ideal untuk berkembang. "Bagi bakteri kolera bagaikan pantai Miami," kata Waldor. Kondisi itu tempat yang baik. Begitu baiknya sampai-sampai setiap ratusan liter cairan diare yang dikeluarkan, dari 18 liter setiap harinya, mengandung 100 juta bakteri. Jika penderita kolera membuang kotoran ke sungai, ia telah membantu bakteri -dan virus- itu menyebar ke mana-mana. Vaksin kolera Walaupun CTX bukanlah virus pertama yang dikenal menimbulkan penyakit dengan cara demikian -dipteri dan botulinum kedua menjadi letal akibat dibajak oleh virus juga- temuan ini bisa membawa ke pembuatan vaksin kolera yang bisa menyelamatkan banyak nyawa. Baru-baru ini dikembangkan vaksin yang mengandung V. cholerae yang sudah dihilangkan gen pembuat racunnya. Vaksin itu sudah diujicobakan pada 6.500 orang di seluruh dunia dan nampaknya aman dan bisa melindungi. Meskipun demikian, tetap ada kemungkinan bahaya vaksin bakteri dalam tubuh bisa terinfeksi kembali oleh virus CTX. Waldor dan Mekalanos berpikir vaksin mereka bisa menangkal kemungkinan itu. "Dalam vaksin kami, kami menghilangkan bagian bakteri tempat menempel virus, jadi virus tidak bisa masuk ke dalam kromosom bakteri," kata Waldor. Dengan menghilangkan rumahnya, virus itu tidak bisa bertahan lama. Vaksin Waldor dan Mekalanos itu sudah diuji coba pada kurang lebih 100 tentara sukarelawan yang terbukti tidak menimbulkan sakit. Uji coba dalam jangka waktu dua tahun lagi akan membuktikan seberapa efektif vaksin mereka itu. (Discover/sur)