Anda di halaman 1dari 10

Tata Kelola Networking Pemerintah Regional dan Pariwisata Berkelanjutan

Written By : Anna Farmaki, 2015


School of Business and Management, University of Central Lancashire Cyprus
Reviewed By : Damara Saputra, 2017
School of Architecture, Planning, and Policy Development, Bandung Institute of Technology

Abstrak

Dalam struktur pemerintah yang berbasis networking perlu adanya efektivitas dalam mencapai
keberlanjutan khususnya dibidang Pariwisata. Penelitian ini akan mngevaluasi keefektivitasan
pemerintah pariwisata regional yang ada di Siprus. Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara kepada seluruh stakeholder dan fokus grup diskusi. Hasil penelitian mengungkapkan
Regional Tourism Organization (RTO) merupakan bentuk lemah dari pemerintahan dan efektivitas
mereka dalam melaksanakan pariwisata berkelanjutan dibatasi oleh ketergantungan terhadap
pemerintah pusat dan tour operator asing yang hanya fokus kepada kepentingan ekonomi. Makalah
ini menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintah dalam membuat kebijakan tidak dapat dipisahkan
dari faktor-faktor sosial budaya, ekonomi dan lingkungan. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan
horizontal pemerintah di regional, nasional dan global sangat diperlukan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan.

Kata kunci: Tata kelola pemerintah; Pariwisata daerah; Publik-privat Partnership; Pariwisata
berkelanjutan; Perencanaan pariwisata; Siprus

Pengantar

Prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengembangan pariwisata mendapat perhatian luas dan sedang
menuai banyak kritik. World Tourism Organization (WTO) dan World Travel Tourism Council
(WTTC) telah mendeklarasikan pentingnya konsep ini. Pentingnya penerapan prinsip keberlanjutan
dapat menciptakan kebijakan landscape yang menguntungkan, di mana hasil negatif dari
pengembangan pariwisata dapat dikelola lebih baik. Namun beberapa penulis berpendapat bahwa
masalah penerapan pariwisata berkelanjutan terletak pada aplikasi praktisnya, dengan banyaknya
pemangku kepentingan diidentifikasi sebagai penghalang untuk pengembangan pariwisata
berkelanjutan (Bianchi, 2004; Daphnet, Scott, & Ruhanen, 2012; Dewhurst dan Thomas, 2003;
Dodds, 2007; Hardy, Beeton, & Pearson, 2002; Logar, 2010; Waligo, Clarke, & Hawkins, 2013;
Yasarata Altinay, Burns, & Okumus, 2010). Para peneliti berpendapat bahwa keberhasilan
pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah tergantung pada kebijakan, perencanaan dan
manajemen yang dilakukan (Mowforth & Munt, 2009; Ritchie & Crouch, 2003). Perencanaan
pariwisata yang efektif yaitu sebuah system yang tidak hanya membiarkan kekuatan pasar, namun
pelestraian sumber daya merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa inklusif pengambilan
keputusan berlangsung.

Milne dan Ateljevic (2001) menekankan perlunya kerjasama lokal dan networking untuk
pembangunan pariwisata yang sukses. Networking dipandang sebagai upaya pemerintah untuk
meningkatkan partisipatif dengan mencakup berbagai ide antar pemerintah dan menyiratkan
pengambilan keputusan bottom-up dengan melibatkan setiap tingkat pemerintahan dan lembaga
swadaya masyarakat (Organization Economic Cooperate Development [OECD], 1995).
Networking juga diasumsikan membawa beberapa manfaat untuk proses perencanaan terpadu,

1
pengambilan keputusan yang inklusif dan meningkatkan sinergi dan dengan demikian mendukung
gagasan keberlanjutan (Bell, 2004; Dredge, 2006; Moscardo, 2011; Nordin & Svensson, 2007).

Ayikoru, Suku, dan Airey (2009) berpendapat sebagai upaya untuk menanggapi tekanan
kompetitif, untuk meningkatkan koordinasi kegiatan dan menemukan strategi perencanaan yang
lebih efektif, perlu adanya proses desentralisasi berkaitan dengan struktur administrasi pariwisata.
Proses desentralisasi melibatkan dua aspek; yang pertama sebagai pendelegasi wilayah kekuasaan
melalui penciptaan pengaturan kelembagaan regional dan yang kedua sebagai transisi pemerintahan
dari struktur pemerintahan formal berbasis jaringan kemitraan. Alasan di balik pendelegasian
wewenang adalah dua kali lipat.

Public-Privat Partnership (PPP) telah menjadi populer dalam pariwisata karena melibatkan
hubungan timbal balik antara pemerintah dan sektor swasta. Menurut de Bruyn dan Alonso (2012),
PPP merupakan model tata kelola yang baik dengan memastikan keseimbangan dalam
pengambilan keputusan dan manajemen. Meskipun demikian, interaksi antara pemerintah, industri
dan masyarakat sipil dan peran masing-masing semakin kabur. Penelitian sebelumnya menyoroti
kesulitan menyeimbangkan kepentingan publik dan swasta (Hall, 2007; Mowforth & Munt, 2009;
Pechlaner, Volgger, & Herntrei, 2012; Timur & Getz, 2008; Wray, 2011) Dalam konteks
pariwisata berkelanjutan berbagai kepentingan stakeholder, banyak domain kebijakan berafiliasi
dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan, koordinasi yang buruk dari kegiatan dan
kegagalan untuk memasukkan masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan telah diidentifikasi
sebagai faktor penghambat untuk pelaksanaannya (Bramwell, 2011; Dodds & Butler, 2010; Ghina
2003 ; Reid & Schwab, 2006).

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemerintahan pariwisata daerah
dalam melaksanakan pariwisata berkelanjutan dan mencoba untuk mengeksplorasi efektivitas
pemerintahan daerah pariwisata di Siprus melalui organisasi pariwisata daerah (RTO) yang
merupakan struktur kelembagaan daerah. Sementara beberapa studi kasus telah dilakukan pada
pemerintahan pariwisata daerah dengan beberapa yang menghubungkan pemerintahan untuk
keberlanjutan (Bramwell, 2011; Bramwell & Lane, 2011; Dinica, 2009; Higgins Desbiolles, 2011;
Sofield & Li, 2011).

Tinjauan Pustaka

Pengembangan pariwisata berkelanjutan

Prinsip Keberlanjutan secara luas dianggap sebagai kendaraan untuk mengatasi dampak negatif
pariwisata, prinsip keberlanjuutan ini akan mengatasi permasalahan pemeliharaan sumber daya,
konservasi ekosistem dan kapasitas fisik. Upaya awal dalam konsep keberlanjutan menekankan
pada aspek lingkungan pengembangan pariwisata (G € ossling, Hansson, H € orstmeier, & Saggel,
2002; Hunter 2002), Selama bertahun-tahun, definisi pariwisata berkelanjutan menjauh dari ekologi
dan berorientasi kepada budaya, sementara perspektif baru ekonomi dan manajerial telah
ditambahkan dalam penjelasan konsep (Hall & Brown, 2008; Ko, 2005; Neto, 2003; Tyrrell &
Johnston, 2008). Keberlanjutan adalah upaya pariwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan,
industri pariwisata dan masyarakat tuan rumah tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri '(Swarbrooke, 1999, p. 13).

Keberlanjutan telah menjadi penting terutama untuk Mediterania yang mengalami dampak negatif
dari pertumbuhan pariwisata massal yang tidak direncanakan (Bramwell, & Y € uksel, 2005).

2
Secara khusus, pengembangan pariwisata berkelanjutan di negara-negara pulau kecil yang ditandai
dengan echo-lingkungan yang rapuh. Bramwell (2011) berpendapat bahwa pemerintahan yang
efektif dapat meningkatkan tujuan pariwisata berkelanjutan dalam dua cara. Pertama, memasukkan
seluruh pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan yang dapat memperkuat proses
demokrasi dan tanggung jawab terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Kedua, pemerintah
mengadopsi pengaturan kelembagaan dan instrumen yang sesuai sehingga pengembangan
pariwisata dapat mencapai tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan dari keberlanjutan.

Sifat Perubahan Tata Kelola Kepariwisataan

Setelah reformasi sektor publik di Amerika Serikat dan Inggris pada 1980-an, terjadi deregulasi
kegiatan pemerintah menuju kearah networking dan kemitraan termasuk sektor publik dan swasta.
Menurut Bulkeley (2005) tata kelola pemerintah mulai mengacu pada cara masyarakat yang
mengarahkan. Sehingga sistem hanya sebagai alat untuk mengatur sumber daya yang dialokasikan
dan kontrol yang dilaksanakan (Rhodes, 1996).

Dalam pariwisata, pemerintahan telah menjadi bagian studi yang signifikan sebagai industri yang
mencontohkan interaksi sektor publik, swasta dan masyarakat. Dalam studi tentang tata kelola
pariwisata erat kaitannya dengan kebijakan (Dredge & Pforr, 2008; Hall, 2011; Moscardo, 2011).
Beberapa schoolar mengadopsi pendekatan networking analisis dalam studi tata kelola pariwisata
(Beritelli et al, 2007;. D'Angella & Go, 2009; Dredge, 2006; Novelli , Schmitz, & Spencer, 2006;
Saxena, 2005; Scott, Cooper, & Baggio, 2008; Wang & Xiang, 2007). Penelitian pada networking
pemerintahan telah melihat struktur kelembagaan dan proses dalam upaya untuk mengevaluasi
efektivitas organisasi manajemen tujuan (Sainaghi, 2006; Scott et al, 2008;. Svensson, Nordin, &
Flagestad, 2005). Literatur menyoroti pentingnya peningkatan pada pengembangan pariwisata
berkelanjutan dan pengaruh pemerintahan pada pelaksanaannya. Topik ini layak menjadi perhatian
lebih lanjut mengingat kenaikan popularitas kemitraan sebagai bentuk tata kelola pemerintah di
bidang pariwisata.

Efektivitas Tata Kelola Pemerintahan Pariwisata

Meskipun belum ada konsep khusus dalam pemerintah untuk keberlanjutan (Bosselmann, Engel, &
Taylor, 2008), namun secara umum sepakat bahwa pemerintah yang baik dalam ekonomi, politik
dan administratif, merupakan prasyarat untuk mencapai keberlanjutan. Prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik menurut organisasi terkemuka seperti Uni Eropa, PBB dan OECD dapat
diringkas dalam lima kategori: (1) Keterbukaan dan Transparansi, (2) Partisipasi dan kesetaraan
dalam urusan umum , (3) Akuntabilitas, (4) Efektifitas dalam memberikan layanan dan (5)
Konsistensi dalam penegakan hukum dan perumusan kebijakan. Demikian pula, Ruhanen, Scott,
Ritchie dan Tkaczynski (2010) berpendapat bahwa pemerintahan adalah multi-dimensi dan
mengidentifikasi enam variabel sebagai yang paling dominan dalam literatur: Akuntabilitas,
Transparansi, Keterlibatan, Struktur, Efektifitas dan Kekuasaan. Good governance bertujuan untuk
penggunaan ruang pariwisata yang baik, sumber daya, modal manusia, fasilitas dan layanan secara
berkelanjutan (Ritchie & Crouch, 2003) dan diasumsikan menghasilkan pengurangan konflik,
efektivitas dalam pengambilan keputusan, inovasi dan pemberdayaan aktor .

Public-Privat Partnership atau PPP dianggap sebuah model pemerintahan yang baik terkait
persyaratan yang berkenaan dengan pembangunan berkelanjutan. Hal ini secara luas menganjurkan
bahwa PPP merupakan bentuk pemerintahan holistik yang sejalan dengan prinsip-prinsip
keberlanjutan. Misalnya, PPP mendorong kewirausahaan dan inovasi karena berbagi sumber daya
antara pemerintah dan sektor swasta (Pike, Mei, & Bolton, 2011), sehingga mempromosikan sistem
pemerintahan yang lebih kuat melalui manajemen yang lebih efisien dan teknologi canggih. Namun

3
demikian, bukti menunjukkan bahwa tata kelola pariwisata ditantang oleh sifat kompleks industri,
di mana banyaknya kepentingan yang berbeda menghambat konsensus dan implementasi kebijakan
(Bruyn & Alonso, 2012; Von Malmborg, 2003; Wray, 2011). Bertindak untuk kepentingan pribadi
daripada memetingkan kesejahteraan kolektif telah disorot sebagai influencer kunci dalam
pengembangan pariwisata berkelanjutan (Dredge, 2006b; Erkus-Ozturk & Eraydin, 2010).

Penyelarasan prinsip-prinsip keberlanjutan di tingkat nasional, regional dan lokal telah disorot
sebagai elemen kunci keberhasilan dalam implementasi dan menghadapi tantangan besar dalam
keberlanjutan. Selain itu, ketersediaan dana publik beberapa organisasi pariwisata lokal terbatas
sehingga membatasi inisiatif mereka dalam pengembangan pariwisata karena perselisihan dengan
Otoritas Pariwisata Nasional (Beaumont & Dredge, 2010). Demikian pula, faktor eksternal seperti
ideologi politik, arus dana dan skala spasial telah dikenal untuk berkontribusi terhadap efektifitas
pemerintahan daerah (Dredge, 2006).

Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengaitkan literatur pada pemerintahan pariwisata
regional dan memperluas pengetahuan tentang efektivitas Regional Tourism Organization atau
RTO dalam mencapai pembangunan pariwisata berkelanjutan. Makalah ini difokuskan pada Siprus
dan harapannya dapat berkontribusi untuk menambah wawasan terkait studi kasus di pemerintahan
pariwisata regional (RTO) pada pariwisata berkelanjutan. Dengan demikian, penelitian ini
mempertimbangkan karakteristik jaringan yang efisien, seperti yang diusulkan oleh Morrison et al.
(2004), dalam hubungannya dengan dimensi pemerintahan yang efektif seperti yang diidentifikasi
oleh Ruhanen et al. (2010) (Gambar 1).

Gambar 1.

Metodologi

Studi kasus

Siprus adalah sebuah wilayah kepulauan yang menawarkan keindahan laut dan matahari yang
menjadi tujuan terkenal di Mediterania yang sangat diminati oleh wisatawan Eropa. Ekonomi
Siprus sangat bergantung pada pariwisata. Pariwisata di Siprus mulai terkenal dan menjadi tempat
wisata pavorit sejak tahun 1970-an. Selama bertahun-tahun pulau ini mendatangkan wisatawan
yang meningkat secara signifikan dan terakhir tahun 1990-an, sekitar 2,5 juta turis yang datang
setiap tahunnya. Pesatnya pertumbuhan pariwisata di Siprus telah memberikan dampak negatif
termasuk kerusakan lingkungan, tenaga kerja asing tidak terampil, pengikisan identitas budaya dan
terjadi persisten terhadap laut dan matahari (Clerides & Pashourtidou, 2007). Akibatnya tahun
4
2000-an, produk pariwisata dari Siprus mencapai stagnasi dan sedang terancam mulai ditinggalkan
akibat munculnya persaingan dan perubahan kebutuhan wisata. Terjadinya berfluktuasi kedatangan
wisatawan sepanjang satu dekade terakhir, Otoritas Pariwisata di Siprus mulai menyoroti
kebutuhan untuk mengadopsi pendekatan pembangunan yang lebih berkelanjutan dalam pariwisata
dan memulai strategi reposisi dengan fokus terutama pada target pemasaran, distribusi manfaat
bagi masyarakat lokal dan pengembangan produk baru, dengan fokus utama pada budaya dan alam.
Pengembangan pariwisata berkelanjutan juga bertujuan budaya tradisional de-seasonalising
utamanya laut dan matahari, meminimalkan tekanan lingkungan di pantai dan melestarikan budaya.

Tekanan untuk mengadopsi pendekatan keberlanjutan menyebabkan terjadinya delegasi kekuasaan


kepada regional. Pada tahun 2009 Otoritas Pariwisata Nasional – Chyprus Tourism Organization
(CTO) mendirikan enam organisasi pariwisata daerah (RTO) berdasarkan struktur PPP (empat
RTO terletak di daerah pesisir selatan Pafos, Limassol, Larnaca dan Famagusta dan dua mewakili
wilayah pedalaman Troodos pegunungan dan Nicosia). Setiap organisasi pariwisata daerah
didirikan sebagai perusahaan swasta independen dan mandiri terutama dalam hal keanggotaan,
CTO tetap sebagai subsider utama mereka. Gagasan dibalik pembentukan RTO adalah untuk
mencerminkan struktur berbasis networking dari industri pariwisata dan meningkatkan
pengambilan keputusan dengan melibatkan partisipasi semua stakeholder. Rencana Strategis CTO
(2010, p. 4) menguraikan bahwa kerangka PPP dalam RTO mewakili aspek horisontal intervensi
dalam Strategi Pariwisata 2011-2015. Diusulkan bahwa tugas mereka merupakan tugas yang
signifikan dan Strategi seperti dalam pemasaran, lingkungan, memperpanjang periode wisata,
pengembangan pesisir. RTO terdiri dari 13 anggota sektor publik dan swasta termasuk pelaku
bisnis perhotelan, agen perjalanan asosiasi anggota, petugas kota dan petugas CTO, dan kegiatan
mereka mencakup kegiatan lobbying, mempromosikan pariwisata, rencana pengembangan dan
penciptaan regional brand. RTO juga bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan upaya
pengembangan pariwisata dengan berkomunikasi dengan masing-masing kementerian yang terlibat
dan CTO. Oleh karena itu, peran RTO melampaui pengembangan dan pemasaran karena mereka
bertindak sebagai penghubung antara sektor publik dan swasta dan merupakan payung bagi para
pemangku kepentingan.

Kebijakan pembangunan pariwisata

Nicosia adalah ibu kota Siprus dan merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi. Meskipun Nicosia
memiliki budaya yang kaya namun bukan diorientasikan kepada pariwisata. Demikian juga dengan
Troodos, meskipun memiliki objek wisata seperti gereja Bizantium dan sumber daya alam namun
tidak ada pengembangan infrastruktur untuk mendukung pasar perkembangan pariwisata. Dengan
demikian, Pariwisata Siprus sebagian besar bergantung pada daerah pesisir yang menawarkan
produk serupa yaitu keindahan laut dan matahari. Dalam beberapa tahun terakhir, produk-produk
pariwisata tambahan telah mulai dikembangkan. Upaya reposisi termasuk pariwisata olahraga,
weddings and honeymoons, nature trails, kawasan budaya dan spa. Acara dan festival juga semakin
dipromosikan untuk memperpanjang musim liburan. Namun demikian, 80% dari wisatawan yang
datang ke Siprus adalah saat musim panas antara bulan April-Oktober, Tabel 1 menunjukkan
jumlah wisatwan dimasing masing regional di Siprus.

Metode penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara semi-terstruktur kepada para pemangku
kepentingan yang diidentifikasi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sektor
pariwisata Siprus. Teknik purposive sampling dipergunakan untuk memilih informan untuk

5
penyelidikan. Purposive sampling digunanakan dengan melakukan penilaian kepada mereka yang
dianggap dapat menjawab pertanyaan penelitian dan informan dipilih berdasarkan posisi mereka
dalam organisasi dan pengalaman dibidang pariwisata.

Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap. Tahap awal, 16 wawancara berlangsung dari Maret
2012 hingga Maret 2013. Wawancara tambahan dilakukan bulan Mei dan Juni 2013. Secara
keseluruhan, 24 wawancara dilakukan dengan para pemangku kepentingan dari berbagai kelompok
termasuk Petugas CTO 4 orang, Petugas Dinas Pariwisata Daerah 6 orang, Administrator otoritas
lokal 4 ornag, Anggota sektor swasta 4 orang, organisasi non-profit 2 orang, Asosiasi 2 orang dan
Akademisi 2 orang. Wawancara berlangsung antara 30 dan 45 menit dan direkam dengan izin dari
yang diwawancarai untuk memperoleh diskusi tentang pengembangan pariwisata daerah,
pelaksanaan pariwisata berkelanjutan, proses pengambilan keputusan, hubungan stakeholder dan
kendala yang dihadapi oleh RTO.

Data dianalisis secara tematis dimana topik yang muncul dikelompokkan ke dalam Tema yang
saling terkait, berikutnya dilakukan skema coding. Untuk keperluan penelitian ini kedua mode
analisis data induktif dan deduktif digunakan. Pertama, skema pengkodean yang luas berasal dari
studi literatur. Transkrip dan catatan dari wawancara kemudian dibaca beberapa kali untuk
mengidentifikasi tema kunci sesuai dengan skema coding. Selanjutnya, blok teks kata demi kata
disalin, direorganisasi dan lintas-referensi untuk memungkinkan identifikasi kategori tematik.
Selain itu, pendekatan analisis induktif diadopsi dimana data yang dianalisis secara bebas tanpa
kerangka atau skema coding.

Temuan

Identifikasi pemangku kepentingan dan kesadaran akan pariwisata berkelanjutan

Peran sektor publik dalam pengembangan pariwisata disorot oleh informan. Otoritas pariwisata
utama di Siprus adalah CTO, yang bertanggung jawab kepada Departemen Energi, Industri,
Perdagangan dan Pariwisata. Sementara tanggung jawab Kementerian mencakup pemberlakuan
undang-undang, peraturan dan kebijakan, koordinasi semua departemen pemerintah yang terlibat
dalam pengembangan pariwisata, persetujuan rencana pariwisata dan alokasi anggaran, CTO
departemen utama yang terlibat dengan pariwisata. Meskipun dalam pernyataan misi, tugas-tugas
CTO termasuk perencanaan pariwisata, pengembangan produk, pemasaran dan perizinan
akomodasi, responden baik dari sektor publik dan swasta sepakat bahwa CTO tidak memiliki
kekuasaan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Sebagai salah satu petugas dari CTO
mengatakan, “kami hanya mampu mempengaruhi perkembangan berkelanjutan pariwisata secara
tidak langsung dalam proses menyarankan ide-ide, kebijakan dan peraturan untuk Kementrian.”

Demikian pula, sektor swasta diakui sebagai kelompok stakeholder lain yang penting, karena
pengembangan pariwisata tergantung pada investasi swasta. Sektor swasta dianggap sebagai katalis
bagi pertumbuhan industri pariwisata. Informan baik dari sektor publik dan swasta menyatakan
bahwa setelah krisis bank di pulau Maret 2013, pemerintah berkonsultasi dengan anggota sektor
swasta mengenai masa depan pariwisata, mengangkat perannya menjadi salah satu keunggulan
yang besar. Meskipun pengaruh sektor swasta di industri pariwisata di Siprus secara umum
disepakati antara informan, namun pemerintah tetap yang berperan sebagai pembuat keputusan.

Stakeholder penting lainnya diidentifikasi adalah enam organisasi pariwisata regional yang
ditetapkan oleh CTO serta organisasi non-profit seperti Chyprus Sustainable Tourism Initiative

6
(CSTI). Meskipun upaya organisasi tersebut untuk meningkatkan kesadaran tentang keberlanjutan
di bidang pariwisata, mereka tetap tak berdaya dalam hal pengambilan keputusan. Terakhir,
masyarakat sipil dari Siprus diidentifikasi sebagai stakeholder. Sementara keterlibatan masyarakat
merupakan prasyarat untuk pariwisata berkelanjutan, informan menyoroti kurangnya kesadaran
dalam kaitannya dengan keberlanjutan dan kesadaran lingkungan diantara anggota masyarakat
sipil, menandakan lemahnya posisi implementasi kebijakan pariwisata berkelanjutan.
Keberlanjutan, menjadi istilah baru, belum menembus budaya masyarakat Siprus ini.

Semua diwawancarai menyadari istilah keberlanjutan, meskipun dalam tingkat yang berbeda.
Sementara pengembangan pariwisata berkelanjutan di Siprus adalah sebuah hal yang dianggap
penting, banyak rencana strategis dari CTO namun informan sepakat dalam pelaksanaannya tetap
bermasalah. Sebagian informan berpendapat kurangnya kesadaran akan pentingnya dan manfaat
dari keberlanjutan pada bagian dari pembuat kebijakan dalam sektor publik merupakan faktor
utama dalam kegagalan pembangunan pariwisata berkelanjutan.

“Ideologi politik telah mengarah pengembangan pariwisata pada proyek skala besar ...
mempertahankan sumber daya atau melindungi lingkungan yang rapuh dari pulau itu tidak pernah
tujuan utama dari setiap pemerintah ... Kata-kata 'pembangunan' dan 'keberlanjutan' tampil bersama
di atas kertas tetapi pada kenyataannya pembangunan pariwisata bergerak ke arah yang sama sekali
berlawanan dari prinsip-prinsip pendekatan keberlanjutan. (Akademisi)

Informan tampaknya setuju bahwa pendekatan pariwisata berkelanjutan sebagian besar


dipromosikan oleh rencana strategis CTO adalah sebuah konsep yang tepat secara teoritis, namun
informan menyimpulkan bahwa kebutuhan untuk memperkuat perekonomian yang rusak tidak bisa
di hindarkan dari pariwisata. Setelah peristiwa krisis bank baru baru ini berbagai pertemuan telah
dilakukan antara pemerintah dan perwakilan dari asosiasi seperti asosiasi pelaku bisnis perhotelan

'... kami telah mengadakan pertemuan dalam rangka untuk mencari ide-ide dan saran mengenai
cara untuk mengatasi kesulitan. Hal ini tidak mudah tapi ekonomi negara kita bergantung pada
pariwisata ... tentu saja kita mengakui pentingnya keberlanjutan tetapi ketika negara Anda dalam
kesulitan Anda perlu mengambil solusi yang kurang berisiko ... berinvestasi pada proyek-proyek
pariwisata yang akan menarik sejumlah besar wisatawan adalah prioritas utama saat ini. (Asosiasi
pelaku bisnis perhotelan ')

Dimensi pemerintahan yang efektif

Akuntabilitas dan Transparansi

Sebagian besar informan mengakui pentingnya kolaborasi di bidang pariwisata, agar industri yang
akan dikembangkan secara berkelanjutan terkoordinasi dan merupakan visi bersama. "Kami perlu
berada wadah yang sama" kata salah seorang petugas CTO yang lebih jauh berpendapat bahwa
pariwisata berkelanjutan membutuhkan komitmen dari semua orang yang terlibat dalam industri.
Beberapa petugas RTO mendukung pandangan ini, menyatakan bahwa RTO diwajibkan untuk
mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh CTO. Namun, dua petugas menyoroti kekuatan mereka
terbatas. Tugas utama mereka adalah untuk mempromosikan daerah dan untuk mengusulkan
proyek kepada pihak berwenang yaitu pemerintah pariwisata nasional, bukan sebagai pengambilan
keputusan. "Kami membuat proposisi untuk CTO tetapi kita tidak berdiri sendiri ... RTO
bergantung pada pemerintah kota yang tidak hanya berorientasi pada pariwisata dan akibatnya ada
penundaan yang berdampak pariwisata negatif 'kata salah satu petugas RTO. Petugas RTO lain

7
setuju yang menyatakan bahwa “Kami sangat ingin untuk kemajuan dengan peningkatan fasilitas,
membersihkan pantai dan pembangunan proyek-proyek tetapi pemerintah daerah sangat lambat
meresponnya”

Akibatnya, peran RTO dalam pengembangan pariwisata dipertanyakan oleh beberapa narasumber.
Duplikasi kegiatan antara CTO dan RTO terlihat terutama di bidang pemasaran dan promosi,
demikian disampaikan oleh sektor swasta dan publik. Secara khusus, secara teoritis RTO bertindak
sebagai alat menuju pendekatan pembangunan berkelanjutan, secara praktis mereka tidak punya
kekuatan dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan yang akan menguntungkan masyarakat
setempat.

RTO pada dasarnya sama seperti CTO. Semua masalah CTO telah sekarang dipindahkan di tingkat
daerah ... bagaimana RTO akan mendukung masyarakat setempat? Siapa masyarakat lokal dan apa
ketertarikan mereka dalam mempromosikan pariwisata? Sebaliknya kita tersesat dalam labirin
birokrasi, di mana banyak orang yang terlibat dalam pariwisata. (Sektor informan Swasta).

Sektor swasta dan publik informan berpendapat bahwa peran masing-masing stakeholder
pariwisata adalah ambigu. Di satu sisi, peran pemerintah dalam mengarahkan pengembangan
pariwisata dan penyediaan infrastruktur pariwisata diakui. Di sisi lain, pentingnya sektor swasta
dalam menyediakan modal investasi dan dana ditekankan. Terbukti, sifat kompleks industri
membutuhkan kerjasama dari semua stakeholder. Namun demikian, beberapa informan mengaku
konflik muncul berbagai kelompok pemangku kepentingan karena berbeda tujuan. Penciptaan RTO
malah menambah pelaku yang terlibat dalam pengambilan keputusan, sehingga timbul administrasi
dan pengambilan keputusan yang rumit.

Struktur dan Efektivitas

Perilaku antagonis dari RTO dalam hal pengembangan pariwisata disorot oleh beberapa informan
dalam praktek berkelanjutan yang berimplikasi pada lingkungan, sosial dan ekonomi yang serius.
misalnya, disebutkan oleh informan daerah pesisir terus dipromosikan oleh CTO sementara mereka
tidak menawarkan dukungan untuk Nicosia atau Troodos yang mencoba mengembangkan
agrowisata atau pariwisata konferensi' kata salah satu petugas RTO.

Kurangnya pendanaan swasta diidentifikasi oleh informan sebagai faktor penghambat kemampuan
RTO 'untuk bersaing secara efisien. 'Pembangunan diserahkan kepada sektor swasta' diklaim oleh
salah satu petugas RTO. Sedangkan petugas otoritas setempat menyatakan bahwa kurangnya minat
investasi menghambat pembangunan daerah dan memperlebar kesenjangan-kesenjangan ekonomi
di antara mereka. Dengan demikian, kehadiran minat investasi di suatu daerah mempengaruhi
terhadap pengembangan pariwisata dan memverifikasi pentingnya sektor swasta. Sebagai seorang
perwira otoritas lokal menyorot bahwa 'daerah kompetitif adalah bila ada pengusaha di wilayah
tersbut'. Tidak adanya kewirausahaan dan/atau modal investasi di suatu daerah diakui oleh
informan sebagai faktor kunci yang memaksa RTO untuk beralih ke investor asing. Namun, dari
hasil wawancara dicatat 'investasi asing tidak akan selalu menguntungkan penduduk setempat ...
melainkan memperkuat ketergantungan pada pihak asing.

Ketergantungan RTO terhadap subsidi publik menghambat kerja mereka. Secara khusus, semua
petugas RTO menyatakan bahwa CTO tidak menyediakan dana yang cukup untuk operasi dan
manajemen yang efektif, pembatasan anggaran yang diberlakukan menyusul krisis ekonomi di
pulau sebagai influencer pada efisiensi RTO. Pentingnya pendanaan digaris bawahi oleh petugas
pariwisata daerah yang berpendapat bahwa 'kekurangan dana diterjemahkan ke dalam kurangnya
tindakan'. Ketika CTO mendirikan RTO tujuannya adalah awalnya membiayai untuk 5 tahun

8
pertama dan kemudian memungkinkan mereka diharapkan mampu mandiri dalam hal pembiayaan
melalui anggota. Tapi ada minat yang terbatas dari sektor swasta untuk berpartisipasi dalam RTO
karena biaya keanggotaan, banyak calon anggota bertanya apa untungnya bagi saya? Mengapa saya
harus membayar untuk menjadi anggota? (Informan sektor publik)

Kekuasaan dan Keterlibatan

Informan mengungkapkan banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam struktur RTO
dicirikan sebagai permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan pariwisata.
Kepentingan yang berbeda-beda dikejar oleh beberapa pemangku kepentingan akan berpengaruh
pada tindakan aktor yang berbeda juga. Juga, ketidaktahuan prinsip pariwisata berkelanjutan dan
kurangnya pengetahuan tentang pariwisata diakui sebagai faktor penghambat yang mempersulit
pelaksanaan kebijakan. Secara khusus, hasil wawancara dari seorang anggota LSM menyatakan:

CTO dan RTO mungkin mengatakan mereka menyadari pentingnya keberlanjutan tetapi dalam
kenyataannya berbeda ... di belakang kemudi, yang mengemudi keputusan adalah pengusaha yang
memiliki kepentingan ekonomi ... [mereka] tidak peduli tentang manfaat sosial atau lingkungan
pariwisata sebagai tujuan utama mereka adalah untuk membuat keuntungan.

Isu konflik kepentingan antara berbagai anggota RTO, informan yang mempertanyakan peran
pemerintah. Secara khusus, hasil wawancara dengan CTO mengklaim bahwa pengambilan
keputusan saat ini otoritas pariwisata nasional tetap yang berkuasa.

Informan juga menekankan kurangnya perwakilan dari kelompok tertentu pemangku kepentingan
dalam struktur RTO. Seperti usaha kecil menengah (UKM), akademisi dan LSM diidentifikasi
sebagai yang terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan. Disarankan oleh informan bahwa
UKM dan LSM harus diikutkan dalam pengembangan pariwisata.

Seorang akademisi berpendapat bahwa 'terdapat lingkaran setan di mana pengembangan pariwisata
di Siprus menjadi pasokan dan berpusat pada kepentingan ekonomi yang kuat'. Informan lebih
lanjut menyarankan bahwa 'garis antara sektor publik dan swasta dalam hal tujuan dan manfaat
pengembangan pariwisata keberlanjutan minim dalam praktek'.

Mengikuti krisis bank di Siprus dalam Maret 2013, peran pariwisata di pulau itu sangat tinggi.
Memang, kebutuhan untuk meningkatkan perekonomian melalui pengembangan pariwisata telah
semakin digencarkan oleh pemerintah, Pemerintah menganggap bahwa pendekatan pro-
pertumbuhan adalah satu-satunya solusi yang layak untuk masalah ekonomi di Siprus '. Akibatnya,
pengembangan proyek pariwisata skala besar sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu seperti
Limassol marina dan golf resort. Sebagai sektor informan swasta menyatakan:

Di era ekonomi yang sulit ini, pentingnya pariwisata massal tidak dapat diabaikan ... tapi selalu
tour operator yang mengambil keuntungan dari ini dan menekan untuk pemotongan harga. Pelaku
bisnis perhotelan didorong terus untuk menawarkan promosi termasuk paket wista untuk
menargetkan peningkatan jumlah wisatawan. CTO menyadari masalah ini tetapi mereka tidak
berbuat apa-apa untuk mendukung pelaku bisnis perhotelan yang selalu bergantung pada kekuatan
pasar.

Informan lebih jauh berpendapat bahwa kekuasaan eksekutif politisi sering digunakan untuk
mendukung kepentingan pribadi daripada kepentingan atas kesejahteraan masyarakat. Beberapa
responden menyatakan bahwa mayoritas politisi menyalahgunakan posisi mereka untuk
memperkaya diri sendiri dan kenalan mereka. Tidak mengherankan jika menemukan pemilik hotel
bertindak sebagai walikota dan memegang posisi di dewan RTO menurut LSM. Akibatnya,

9
pengambilan keputusan diarahkan oleh manfaat ekonomi jangka pendek sedangkan sistem
ditumpuk, sementara mereka tidak memadai kualifikasi atau pengetahuan tentang pariwisata
berkelanjutan.

Kesimpulan dan Diskusi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemerintahan pariwisata daerah dalam
melaksanakan pariwisata yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan tata kelola jaringan RTO
di Siprus. Tidak mengherankan, dan mendukung temuan penelitian sebelumnya '(Beaumont
&Mengeruk, 2010; Mengeruk 2006; Hall, 2007), penelitian ini mengungkapkan bahwa RTO
merupakan bentuk lemah dari pemerintahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pariwisata
berkelanjutan. Beberapa faktor menghambat efektivitas pemerintahan jaringan regional.

Pertama, menjadi jelas bahwa yang membatasi akuntabilitas dan efektivitas RTO adalah sifat dari
industri pariwisata, yang memerlukan interaksi dari beberapa aktor. Meskipun struktur publik-
swasta RTO di Siprus bertujuan menangkal masalah pariwisata dan menyelaraskan industri dengan
prinsip-prinsip keberlanjutan, studi ini menyoroti sulitnya aspirasi tersebut terlaksana. Banyaknya
pemangku kepentingan yang terlibat dalam pemerintahan pariwisata daerah sebelumnya telah
diakui sebagai faktor penghambat berkaitan dengan implementasi kebijakan, Dredge (2006). Von
Malmborg (2003) menyatakan bahwa aktor yang berbeda dalam jaringan publik-swasta berjuang
untuk tujuan yang berbeda; beberapa tertarik keberlanjutan ekologi, yang lain untuk keberlanjutan
sosial atau ekonomi dengan kepentingan beberapa anggota 'yang berbasis pada pengembangan
organisasi.

Kedua, temuan menunjukkan perilaku apatis terhadap keberlanjutan terbukti, terutama di kalangan
pemerintah daerah. Akibatnya, implementasi kebijakan tetap berada di tangan aktor yang sering
kekurangan pengetahuan tentang keberlanjutan atau tidak tertarik dalam menerapkan praktik
pariwisata berkelanjutan. Selain itu, temuan juga menunjukkan bahwa stakeholder penting seperti
LSM terpinggirkan dari pengambilan keputusan. Sebagai skala kekuatan di bidang pariwisata
Siprus bersandar terhadap stakeholders swasta, masyarakat setempat merupakan peserta lemah
dalam pengambilan keputusan.

Selanjutnya, temuan menekankan pengaruh karakteristik daerah pada efektivitas RTO dalam
melaksanakan pariwisata berkelanjutan. Misalnya, kinerja efektif RTO sangat dipengaruhi oleh
mereka kepada investor lokal atau investor asing dan ketergantungan pada tur operator asing.
Selain itu, munculnya pengembangan proyek produk pariwisata serupa di daerah pesisir dan
memperkuat arus pariwisata massal sehingga daerah non-pesisir tetap terpinggirkan dan menerima
dukungan minimal dari pemerintah dalam hal penyediaan infrastruktur dan pendanaan.

Studi ini menyimpulkan dimensi pemerintahan sebagai pembuatan kebijakan tidak dapat dianggap
terpisah dari faktor yang berasal dari lingkungan sosial budaya dan ekonomi regional. Torres-
Delgado dan Saarinen (2014) mengemukakan bahwa indikator untuk implementasi pariwisata
berkelanjutan yang sukses tidak dapat dengan mudah dialihkan dari satu tempat ke tempat lain.
Seperti dalam tulisan ini digambarkan meskipun networking telah dianjurkan sebagai bentuk yang
tepat dari pemerintahan, mendukung inklusif dan partisipatif pengambilan keputusan, tidak ada
resep ideal untuk pemerintahan pariwisata regional yang efektif sebagai faktor kontekstual
berinteraksi dengan karakteristik jaringan. Aplikasi kontekstual membutuhkan apresiasi dari para
peneliti sehingga pengetahuan empiris diapat dihasilkan. Lebih lanjut penelitian tentang
pemerintahan dan keberlanjutan demikian diperlukan. Hal ini disarankan oleh peneliti dengan agar
keragaman metode dan perspektif dalam studi pemerintahan dan pariwisata berkelanjutan dapat
digabungkan.

10

Anda mungkin juga menyukai