OLEH :
KELOMPOK 10
I Komang Purya Ardita 1811511028
I Gusti Ngurah Agung Widiaksa Putra 1708561066
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebijakan dan Strategi
Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan”. Penulis juga mennguacapkan terima kasih terhadap
segala pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Adapun makalah ini menjelaskan tentang kebijakan pariwisata, yang membahas mengenai
kebijakan pariwisata, sejarah perkembangan kebijakan pariwisata dunia, peran dan tanggung
jawab pemerintah dalam kebijakan pariwisata berkelanjutan, serta mekanisme kontrol dalam
kebijakan pariwisata. Adapun metode pengumpulan yang digunakan dalam makalah ini yaitu
menggunakan metode studi pustaka, dimana merupakan metode untuk mengumpulkan sekaligus
mengkaji mengenai kebijakan dan strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan, yang
kemudian diakumulasikan ke dalam makalah ini. Dengan metode ini, penulis berharap makalah
ini dapat memberikan informasi yang akurat dan kredibel serta dapat menambah wawasan dari
pembaca.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pariwisata
Berkelanjutan pada program studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
meminta maaf apabila terdapat kekurangan atau kata-kata yang kurang berkenan dalam makalah
ini. Akhir kata, semoga malakah ini dapat membantu dalam menambah wawasan dari pembaca
maupun penulis.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.3 Bagaimana peran dan tanggung jawab pemerintah dalam kebijakan pariwisata?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan mekanisme kontrol dalam kebijakan pariwisata?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.3 Memahami peran dan tanggung jawab pemerintah dalam kebijakan pariwisata?
1.3.4 Mengetahui apa yang dimaksud dengan mekanisme kontrol dalam kebijakan pariwisata?
BAB II
PEMBAHASAN
Pariwisata tidak dapat lepas dari adanya kebijakan, karena kebijakan merupakan dasar dari
bagaimana pariwisata di suatu daerah dapat berlangsung dan disesuaikan dengan tujuan dan
dampak yang telah dicita-citakan. Menurut Goeldner dan Ritchie (1995), kebijakan pariwisata
merupakan seperangkat aturan, pedoman, arah, dan sasaran pembangunan serta strategi yang
memberikan kerangka dalam pengambilan keputusan individu maupun kolektif yang secara
langsung mempengaruhi pengembangan pariwisata dalam jangka panjang maupun jangka
pendek. Kemudian, pariwisata merupakan suatu bentuk produk kebijakan dari proses yang
kompleks dan terkait satu sama lain dengan berbagai aspek dan lintas sektor. Kompleksitas
pariwisata disebabkan oleh berbagai aspek yang saling terkait pada berbagai tingkat
kepemerintahan mulai dari tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Pada titik inilah,
kebijakan pariwisata memiliki kedudukan yang strategis dan penting dalam upaya
pengembangan pariwisata, karena tanpa adanya kebijakan pariwisata, pengembangan pariwisata
akan sulit dilakukan.
Komunikasi
Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada
organisasi dan atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan
kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimanan struktur
organisasi pelaksana kebijakan.
Disposition
Disposition berkenaan dengan kesediaan dan komitmen dari pihak
implementator atau pihak pelaksana kebijakan untuk menjalankan kebijakan
yang telah ditetapkan.
Struktur birokrasi
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang
menjadi penyelenggara implementasi kebijakan, dengan beberapa tantangan
antara lain menghindari terjadinya segmentasi birokrasi yang menyebabkan
proses implementasi menjadi kurang efektif.
Pada masa ini, keterlibatan pemerintah lebih besar dalam pemasaran pariwisata karena potensi
pendapatan dari pariwisata telah ditemukan. Tahun 1967 ditetapkan sebagai Tahun Pariwisata
Internasional oleh Majelis Umum XXI Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebuah resolusi dikeluarkan
dengan mengatakan bahwa "pariwisata adalah aktivitas manusia yang mendasar dan paling
diinginkan yang pantas mendapatkan pujian dan dorongan dari semua orang dan semua
Pemerintah (Burkart dan Medlik 1982 dalam Jeffries 2001: 13). Akibatnya, hak atas cuti tahunan
yang dibayar telah ditetapkan dalam undang-undang di sebagian besar negara bagian, terutama di
dalam Uni Eropa (Jeffries 2001).
Pemerintah lebih banyak terlibat dalam penyediaan infrastruktur pariwisata dan penggunaan
pariwisata sebagai alat pembangunan daerah. Deklarasi Manila 1980 yang diadopsi oleh
Konferensi Pariwisata Dunia Organisasi Pariwisata Dunia menyatakan bahwa “hak untuk
menggunakan waktu luang dan, khususnya, hak untuk mengakses liburan dan kebebasan
perjalanan dan pariwisata diakui sebagai aspek pemenuhan manusia oleh Deklarasi Hak Asasi
Manusia (Jeffries 2001: 14). ”
Fase saat ini dimulai, yang mencakup penggunaan pariwisata secara terus menerus sebagai alat
untuk pembangunan daerah, peningkatan fokus pada masalah lingkungan, pengurangan
keterlibatan langsung pemerintah dalam penyediaan infrastruktur pariwisata dan penekanan yang
lebih besar pada pengembangan kemitraan publik-swasta dan industri. regulasi diri. KTT Bumi
1992 di Rio de Janeiro jelas merupakan salah satu langkah terpenting menuju kode etik industri
pariwisata yang lebih berkelanjutan.
Pariwisata saat ini tidak terlepas dari dari berbagai aktivitas yang tersedia pada fasilitas-
fasilitas pariwisata baik yang disediakan oleh pihak swasta, masyarakat setempat, maupun
pemerintah setempat. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peluang untuk terlibat dalam kegiatan
pengelolaan pariwisata ang diperuntukkan pada kepentingan masyarakat setempat. Lalu, pihak
swasta pada umumnya menyediakan fasilitas pariwisata seperti akomodasi, taman hiburan, dan
gedung kesenian, ang menjadi kesempatan bagi masyarakat setempat untuk menjadi bagian di
dalamnya. Karena itu, keseluruhan unsur tersebut memerlukan pengelolaan yang tidak hanya
melibatkan satu pihak saja, melainkan memerlukan keterlibatan dari berbagai pihak. Apalagi
pemerintah berperan sebagai fasilitator antar stakeholder pariwisata, sehingga semakin strategis
pula peran pemerintah sebagai pendukung terhadap keharmonisan hubungan antar stakeholder.
Peran dan tanggung jawab dari pemerintah terhadap kebijakan pariwisata ditentukan
dari lingkup wilayah dari pemerintah tersebut. Menurut UU No 10 tahun 2009, Pemerintah
Pusat memiliki peran dan tanggung jawab dalam kepariwisataan, yang terdiri dari sebagai
berikut :
2.3.2 Tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Pusat dalam Kebijakan Pariwisata
Mekanisme kontrol yang dilakukan pemerintah dalam kebijakan pariwisata yang secara
konkret dapat kita lihat adalah dalam UU No 10 tahun 2009 yang mengatur tentang
Kepariwisataan yang didalamnya mengontrol berbagai aktivitas kepariwisataan, antara lain
sebagai berikut :
Pasal 5 :
a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep
hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa,
hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan
lingkungan;
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
g. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang
pariwisata;
a. Sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata;
b. Potensi pasar;
c. Lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah;
d. Perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga
fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
e. Lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset
budaya;
DAFTAR PUSTAKA
Junaid, I. (2016). Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Kebijakan dan Perencanaan Pariwisata.
Jurnal Kepariwisataan, 10(2), 52-54
Lestari, A. W., & Firdausi, F. (2017). Peran Pemerintah Kota Batu dalam Implementasi
Kebijakan Pembangunan Pariwisata Berdasarkan Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development). Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, 30 (3), 263-264.