Anda di halaman 1dari 14

Paul S.

Biederman berpendapat (Antariksa, 2016:8) bahwa kebijakan pariwisata


mendefinisikan arah atau tindakan yang harus dilakukan negara tertentu, wilayah,
lokalitas, atau rencana tujuan individu saat mengembangkan atau mempromosikan
pariwisata. Prinsip utama kebijakan pariwisata adalah memastikan bahwa negara
(wilayah atau wilayah) dapat memperoleh manfaat semaksimal mungkin dari kontribusi
ekonomi dan sosial pariwisata. Tujuan akhir dari kebijakan pariwisata adalah untuk
memperbaiki kemajuan bangsa (wilayah atau wilayah) dan kehidupan warganya.
Sejalan dengan pendapat Paul S. Biederman, maka Kettler (2015), menjelaskan bahwa :
“Kebijakan pariwisata pada dasarnya adalah promosi industri yang berkaitan dengan
sektor pariwisata dan didorong oleh permintaan. Ini adalah kebijakan promosi multifaset
yang memiliki karakter kebijakan ekonomi secara keseluruhan. Dasar pemikirannya
bahwa kebijakan pariwisata sebagai bagian dari kebijakan negara yang eksternalitas
positifnya terhadap perkembangan perekonomian.”
Secara umum, kebijakan kepariwisataan sebagai bagian dari kebijakan Negara yang
berpengaruh positif terhadap kondisi daerah dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
pariwisata di Indonesia, di atur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan yang bertujuan untuk melakukan perubahan di sektor pariwisata yang
dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup
dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional.
Salah satu sektor unggulan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah sektor pariwisata. Sektor ini diharapkan dapat
menimalisirkan tingkat kemiskinan dan pengangguran khususnya di daerah.
Persoalan yang timbul apakah Kebijakan Pariwisata dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dalam jangka Panjang dengan tetap menjaga
pelestarian alam dan lingkungan hidup serta budaya masyarakat setempat. Dengan demikian maka strategi pengembangan pariwisata harus berorientasi
pada upaya melibatkan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mewujudkan pengembangan pariwisata yang mampu meningkatkan pendapatan
ekonomi masyarakat setempat.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah dibidang pariwisata selain promosi, pengembagan pariwisata, yang tidak kalah penting adalah pengawasan yang
kesemuanya dituangkan dalam suatu kebijakan tanpa menghambat inisiatif swasta, karena penyelenggaraan kepariwisataan menyangkut berbagai aspek
kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial budaya, politik maupun lingkungan hidup. Pengembangan pariwisata hendaknya di lakukan dengan
pendekatan model pengembangan TALC ( Tourism Area Life Cycle) dengan tahapan sebagai berikut : penjelajahan (Exploration), pelibatan masyarakat
(Involvement), pengembangan (Development), Konsolidasi (Consolidation), kemacetan (Stagnation), peremajaan kembali ( Rejuvenation Decline).
Kata kebijakan dan kebijaksanaan merupakan kata yang serupa tapi tidak
sama, dimana kata pertama menggambarkan pilihan serangkaian
alternatif berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, sedangkan kata kedua
adalah keputusan yang membolehkan sesuatu hal yang dilarang dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, Keban (2004). Kebijkan (policy)
dapat pula sebagai label bagi suatu bidang kegiatan seperti kebijakan
ekonomi, kebijakan industri, kebijakan ketertiban dan hukum (Keban 2004 :
55).

Kebijakan publik dibidang pariwisata merupakan hal yang sedikit rumit


dalam fokus penelitian karena sifatnya yang kompleks dan proses yang
tidak tetap serta datang dari beragam profesi. Mayoritas rekomendasi
kebijakan dan pengambilan keputusan dari literature yang ada
memanfaatkan model perspektif yang mempertunjukkan bagaimana
kebijakan pariwisata dan pengambilan keputusan harus dikaitkan dengan
hal-hal yang terjadi sebelum penetapan standar.
Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh model implementasi yang
mampu menjamin kompleksitas masalah yang akan diselesaikan melalui kebijakan tertentu.
Model implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan model yang semakin operasional
sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang terkait dengan
kebijakan.
Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan pariwisata pada prinsipnya dimaksudkan
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dan mengupayakan pengelolaan sumber
daya alam seoptimal mungkin serta pengelolaan sumber-sumber perekonomian lainnya, baik
melalui sumberdaya alam, manusia maupun sumber-sumber keunikan daerah dalam hal ini
adalah kepariwisataan. Dalam konsep kepariwisataan pada perspektif pembangunan
sesungguhnya diarahkan agar dapat berperan aktif bersama sektor lainnya, khususnya
dalam menjawab agenda prioritas yaitu membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan
kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya serta mempercepat pemulihan
ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan keadilan yang
bersumber pada ekonomi kerakyatan. Diantara implementasi kebijakan yang dimaksud
antara lain adalah disposition (sikap pelaksana), communication (komunikasi), bureaucracy
structure (struktur birokrasi) dan resources (sumberdaya).
Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Edward III (1980) mengenai implementasi kebijakan sebagaimana
dikutip oleh Arifin Tahir yang uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Disposition (sikap pelaksana)
Sikap pelaksana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelaksana kebijakan yang harus mempunyai
kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan
arahan dari penentu kebijakan (policy makers). Pelaksana harus membuat izin usaha pariwisata secara cepat
dan tepat agar masyarakat yang mendapatkan layanan dapat langsung melakukan kegiatan atau aktivitas
yang mendukung program pengembangan pariwisata. Melakukan upaya penataan obyek wisata yang
dimaksudkan untuk melakukan pembersihan dan perbaikan fasilitas obyek wisata yang dianggap dapat
menganggu kenyamanan bagi pengunjung wisata. menyediakan fasilitas dilokasi wisata, disamping
diupayakan oleh pemerintah daerah provinsi melalui Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata juga
disiapkan oleh masyarakat sekitar, untuk keperluan perawatan fasilitas tersebut, maka pengunjung yang
memanfaatkannya dikenai sejumlah biaya yang tarifnya sesuai jenis layanan yang diberikan. Communication
2. Communication (Komunikasi)
Komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah efektivitas pelaksanaan kebijakan yaitu kebijakan
tersebut harus disampaikan/diketahui oleh orang-orang yang diserahi tanggung-jawab untuk
melaksanakannya dengan jelas, dan tentu saja dalam hal ini diperlukan komunikasi yang akurat dan
dilaksanakan dengan tepat oleh para pelaksana. Upaya melakukan promosi wisata merupakan kegiatan
mengkomunikasikan program yang perlu mendapatkan skala prioritas, karena dengan promosi suatu potensi
daerah dengan obyek wisatanya tidak hanya dikenal masyarakat wilayah itu sendiri tetapi juga dikenal
masyarakat di luar provinsi bahkan warga mancanegara. Melaksanakan kerjasama dengan dinas
kebudayaan dan pariwisata Provinsi Sultra untuk melakukan kegiatan pameran pembangunan atau promosi
wisata baik di tingkat lokal, regional, maupun tingkat nasional. Keikutsertaan dinas ini adalah memperkenalkan
produk khasanah budaya suku tolaki, seperti kalo sara, baju tradisional suku tolaki, rumah adat suku tolaki,
makanan khas suku tolaki, dan pergelaran berbagai jenis tarian. Melakukan beberapa bentuk sosialisasi yang
dilaksanakan antara lain: penyuluhan agar senantiasa menjaga kebersihan dan keamanan di tempat wisata,
penyuluhan tentang kiat ekonomi membuka usaha disekitar tempat wisata, dan memberikan pemahaman
agar masyarakat bertanggung jawab menjadi fasilitas wisata.
3. Bureaucratic Structures (Struktur Birokrasi)
Struktur birokrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses implementasi kebijakan dengan
cara adanya pembagian tugas maupun tanggung-jawab yang jelas sehingga tidak terjadi
ketimpangan tugas dalam proses penerapan suatu kebijakan, adanya pembagian tugas maupun
struktur birokrasi yang jelas akan mencegah untuk tidak terjadinya ketimpangan tugas dalam
proses penerapan suatu kebijakan. Hal ini merupakan keterlibatan birokrat atau stakeholder
(pemangku kepentingan) dalam upaya pengembangan kepariwisataan di lingkup pemerintahan
daerah. Kegiatan struktur birokrasi ini dimaksudkan sebagai upaya dalam melaksanakan kebijakan
pelatihan keterampilan terhadap pelaku usaha pariwisata Pelatihan ini bertujuan agar pariwisata
dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada para pengunjung seperti masalah
akomodasi, penjelasan tentang substansi dan hal yang menarik dari obyek wisata yang
bersangkutan, masalah akses dan sebagainya.
4. Resources (Sumberdaya)
Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mencakup orang-orang yang memadai
dari segi jumlah dan kemampuan, informasi yang jelas, prasarana dan sarana serta wewenang.
Memastikan pelaksana kebijakan dapat memahami pengimplementasian dokumen kebijakan
yang ada. Menyediakan sarana dan prasarana adalah semua fasilitas pendukung aktivitas
pelayanan wisatawan selama berada pada sebuah destinasi wisata misalnya jaringan jalan raya,
pelabuhan udara, pelabuhan laut, terminal, instalasi listrik, air bersih, sistem telekomunikasi seperti
telepon, internet, televisi, radio pelayanan kesehatan dan keamanan, adapun sarana
kepariwisataan adalah menyangkut akomodasi, fasilitas wisata dan jasa wisata.
Implementasi kebijakan pariwisata ini harus disesuaikan dengan keadaan daerahnya sendiri,
karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka strategi implementasi
kebijakannya pun akan berbeda tergantung pada keadaan lapangan daerahnya masing-masing.
Namun, meskipun setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak menutup
kemungkinan akan ada kesamaan dalam startegi kebijakan pariwisatanya itu sendiri. Ada hal yang
kemungkinan dapat berbeda yaitu hasil dari setiap strategi implementasi kebijakan pariwisata ini,
meskipun strategi kebijakan pariwisatanya sama, hasilnya akan berbeda pada setiap daerahnya.
Judul : Implementasi Kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal (Studi Di Kabupaten Manggarai Barat)
Penulis : Maksimilianus Maris Jupir
Tahun : 2013

Kabupaten Manggarai mengedepankan pariwisata sebagai leading sector (sektor utama) pembangunan
dalam rangka menyejahterakan masyarakat setempat. Keputusan menetapkan pariwisata sebagai sektor
utama dalam pembangunan tentu didasari oleh beberapa pertimbangan, antara lain adalah letak
Kabupaten Manggarai Barat secara geografis sangat berdekatan dengan Bali, daerah tujuan wisata
utama dan pintu masuk utama bagi propinsi Nusa Tenggara Timur dan Flores.
Kesadaran akan banyaknya aset pontensial yang demikian menjadikan Kabupaten Manggarai Barat
memproritaskan pariwisata sebagai fudamental pembangunan. Akan tetapi, realitas yang terlihat di
lapangan menunjukkan bahwa masyarakat tidak secara optimal meraup manfaat dari keberadaan aset
potensial pariwisata yang ada. Hal ini tercermin dari masih tingginya angka kemiskinan di Kabupaten
Manggarai Barat.
Meskipun Kabupaten Manggarai dikenal baik oleh keberadaan komodonya oleh wisatawan local maupun
mancanegara, Kabupaten Manggarai tidak bergantung pada wisata Komodo saja, masih terdapat
potensial lainnya yang bisa menjadi pondasi bagi pembangunan pariwisata. Asset tersebut merupakan
kearifan local masyarakat setempat, yang dimana jika kearifan tersebut dihidupkan Kembali akan menjadi
daya Tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai. Namun, di Kabupaten
Manggarai Barat belum mampu berperan optimal dalam menopang pembangunan walaupun terdapat
banyak program ataupun kekayaan aset pontensial bagi pengembangan pariwisata berbasis kearifan
lokal. Hal ini menggambarkan adanya pengimplementasian yang problematis, sehingga pariwisata
terkesan hanya terpampang sebatas keindahan eksotik secara jelas di ruang publik, yakni kehadiran
pariwisata dimaknai sebatas keindahan semata yang tidak berpengaruh terhadap sektor-sektor yang lain
untuk masyarakat setempat. Minimnya peran positif dari keberadaan kebijakan pariwisata berbasis
kearifan lokal merupakan reflektif dari ketidakefektifan kebijakan tersebut pada tataran implementasi.
Ketidakefektifan implementasi kebijakan tersebut berakar pada hambatan-hambatan yang bervariasi.
1. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat Kabupaten Manggarai Barat di dalam aktivitas pariwisata dapat ditilik dari
tiga segi, yakni pengembangan, pelestarian, dan pelaksanaan nilai-nilai kearifan lokal.
a. Partisipasi Dalam Pengembangan Kearifan Lokal
Program-program tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
• Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap keragaman budaya
• Peningkatan apresiasi terhadap nilai-nilai kebudayaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut, Kabupaten Manggarai Barat melalui Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata melakukan beragama kegiatan sebagai berikut:
• Pentas rutin dan parodi kebudayaan
• Perekaman suara dan gambar (mbata, sanda, danding, dan korong)
• Dokumentasi musik
• Pagelaran budaya
• Seminar tentang kebudayaan
• Pelatihan musik dan tari tradisional
• Revitalisasi lembaga-lembaga adat
• Pembentukan dewan kesenian daerah dan Pelestarian produk-produk kebudayaan.
b. Partisipasi Dalam Pelestarian Nilai Kearifan Lokal
Tokoh masyarakat menjalankan fungsi pemeliharaan budaya, fungsi integrasi, dan fungsi
pencapaian tujuan. peran yang dapat dimainkan oleh tokoh masyarakat tersebut antara lain
adalah menginventarisasi kembali nilai-nilai itu, memahami, mengajarkan dan
mempraktekkannya dalam kehidupan. Upaya pelestarian Kearifan Lokal di Kabupaten
Manggarai Barat dilakukan dari generasi tua, terutama dari tokoh-tokoh adat, seperti Tu’a Golo,
Tu’a Teno, dan Tu’a Pangga. Upaya pelestarian Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat
juga bekerjasama dengan Dr. Jeanine Pfeiffer dalam Program Pelestarian Budaya dan Ekologi
Tado, The Tado Cultural Ecology Convervation Program (TCECP) yang berupaya untuk
mengembangkan desa wisata di Tado. Inti program ini adalah menyadarkan masyarakat Tado,
bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab sepenuhnya untuk pelestarian dan pemulihan
tradisi budaya dan ekologi yang mendasari keunikan mereka sebagai manusia.
c. Partisipasi Dalam Pelaksanaan Nilai-nilai Kearifan Lokal
Tokoh adat seperti Tu’a Golo, Tu’a Teno, dan Tu’a Pangga juga ikut terlibat dalam pelaksanaan nilai-nilai Kearifan
Lokal yang ada di Kabupaten Manggarai Barat. Keterlibatan tokoh-tokoh adat tersebut sebagai pelaksaan nilai-
nilai kearifan lokal karena merekalah yang memegang peranan penting di dalam upacara-upacara ataupun ritual
adat, seperti Caci ataupun Penti. Tokoh-tokoh adat tersebut tersebar merata di seluruh wilayah administratif
Kabupaten Manggarai Barat.
2. Jejaring Yang Mempromosikan Pariwisata Kearifan Lokal
Program untuk mempromosikan kearifan lokal tetap menjadi domain pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. Program yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam
meningkatkan promosi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat adalah sebagai berikut:
• Pagelaran Seni dan Budaya Flores-Lembata
• Pembinaan dan pengiriman duta kebudayaan tingkat nasional
• Pengiriman seniman untuk mengikuti diklat penataan tari/ koreografi tingkat propinsi.
Akan tetapi, kegiatan yang dicanangkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat
sebagian besar hanya berada di atas blue-print semata. Aktivitas nyata dari kegiatan tersebut tidak berjalan optimal.
Upaya promosi pariwisata berbasis kearifan lokal di Kabupaten Manggarai Barat sudah dilakukan lewat media
elektronik seperti itu. Misalnya seperti yang termuat di dalam website www.floreskomodo.com.
Selain pihak pemerintah, usaha mempromosikan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat dilakukan dengan
bekerjasama dengan pihak PT. Sidomuncul. Aksi nyata dari kerjasama tersebut dalam mempromosikan pariwisata di
Kabupaten Manggarai Barat tersebut adalah dengan membuat iklan Kuku Bima Energi dengan berlatar belakangkan
air terjun Cunca Wulang, Pulau Komodo, Pantai Merah, Takamakasa, spider rice/area persawahan berbentuk jaring
laba-laba dengan menelan biaya sebesar Rp. 12 Miliar. Namun, kegiatan-kegiatan dalam rangka meningkatkan
promosi Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat sebagai aset potensial pariwisata tidak dilakukan secara rutin
dan berkelanjutan. Sehingga dampak yang ditimbulkan dari keberadaan dari pariwisata berbasis kearifan lokal
tersebut belum signifikan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai penerima manfaat dari aktivitas tersebut.
3. Struktur Kelembagaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat
Urusan kepariwisataan di Kabupaten Manggarai Barat diserahkan kepada pemerintah semata dengan porsi
kewenangan yang berlipat ganda. Berkaca pada realitas yang demikian, sehingga yang menjadi
implementator/agensi pelaksana utama dalam Implementasikan Kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di
Kabupaten Manggarai Barat adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat.
4. Pengalokasian Sumber Daya
a. Aktor
Model implementasi kebijakan pariwisata yang diterapkan di kabupaten Manggarai Barat
menggunakan pendekatan top-down. Penggunaan model implementasi ini didasari oleh situasi riil
yang ada di lapangan yang menunjukkan bahwa hampir semua kebijakan di ranah publik didominasi
oleh pihak pemerintah semata. Sedangkan keterlibatan aktor di luar pemerintah, terlebih masyarakat
masih bersifat pasif.
Sebagai motor penggerak utama dalam mengimplementasikan kebijakan pariwisata berbasis
kearifan lokal, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat bukan tanpa
persoalan. Implementasi Kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat
masih ditemui kendala yang bisa menghambat tercapainya tujuan dari kebijakan pariwisata berbasis
kearifan lokal. Salah satu kendala yang mencolok adalah belum optimalnya peran aktor yang telah
mendapat kewenangan dalam mengatur sektor pariwisata. Hal ini dipicu oleh kekurangan sumber
daya secara kualitatif dan kuantitatif sehingga menghambat operasionalisasi kebijakan.
b. Finansial
Sumber pendanaan utama bagi pengembangan pariwisata berasal dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat dan Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten Manggarai Barat. Tapi di sisi lain, kemampuan APBD Kabupaten Manggarai Barat yang
serba terbatas, tidak bisa menyanggupi semua kebutuhan anggaran yang diajukan oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata. Penyebab utama terbatasnya jumlah alokasi anggaran yang
dialokasikan untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata disebabkan karena arah kebijakan Pemerintah
Kabupaten Manggarai Barat masih memfokuskan pada pembangunan infrastruktur.
c. Fasilitas
Sebagai implementator utama dari setiap kebijakan ataupun program yang berkaitan dengan
pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai
Barat masih dihadapkan pada terbatasnya fasilitas pendukung pelaksanaan. Kondisi tersebut
berimplikasi negatif terhadap kinerja yang ditunjukkan oleh instansi tersebut dalam melaksanakan
berbagai program ataupun kebijakan yang telah ditetapkan. Seringkali keterbatasan fasilitas
penunjang implementasi kebijakan tersebut dijadikan alibi oleh implementator apabila tujuan
kebijakan pariwisata tidak tercapai.
5. Komunikasi dan koordinasi
Acuan pentingnya koordinasi dan komunikasi dalam Implementasi Kebijakan Pariwisata Berbasis
Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat didasari oleh beberapa pertimbangan sebagai
berikut:
a. Struktur dan kompleksnya organisasi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Manggarai Barat yang menyebabkan rentang kendali (span of control) menjadi susah.
b. Adanya pembagian tugas di setiap unit dengan tingkat spesialisasi tertentu.\
c. Urusan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat tidak semata
didominasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, tetapi juga berkaitan dengan instansi-
instansi lain seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perindustrian maupun Dinas Perhubungan.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya ketidakserasian, tumpang tindih ataupun konflik antara
unit ataupun antara instansi yang satu dengan yang lain, maka diperlukan suatu bentuk komunikasi
demi keterpaduan kerja tim guna menyelaraskan setiap aktivitas dari unit-unit organisasi ke arah
pencapaian tujuan kebijakan yang ada.
6. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik
a. Kondisi Sosial
Kondisi lingkungan sosial Kabupaten Manggarai Barat masih diwarnai dengan kentalnya
budaya feodalistik yang membungkus sirkulasi kehidupan masyarakat. Imbasnya adalah
hampir semua kebijakan di ranah publik didominasi oleh pihak pemerintah semata, termasuk
kebijakan di bidang pariwisata.
b. Kondisi Ekonomi
Salah satu faktor kunci bagi efektif tidaknya Implementasi Kebijakan Pariwisata Berbasis
Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat ditentukan oleh keberadaan faktor ekonomi di
lingkungan dimana kebijakan tersebut dijalankan. Masyarakat kabupaten Manggarai Barat
pada umumnya bermata pencarian sebagai petani, walaupun dari titik potensi yang dimiliki,
semua wilayah yang ada di Kabupaten Manggarai Barat bisa dijadikan sebagai daerah
pariwisata.
c. Kondisi Politik
Kondisi politik di Kabupaten Manggarai Barat tidak kondusif ditandai dengan
turbulensi politik di Kabupaten Manggarai Barat yang bermula pada saat
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) pada tahun 2010 silam.
Persoalan mulai muncul ketika ada sebagian pihak terutama dari baris
pendukung pasangan yang kalah yang berada di struktur birokrasi Pemerintah
Kabupaten Manggarai Barat masih tetap menilai legitimasi yang digenggam
Gusti Dulla dan Maximus Gasa inkonstitusional. Konsekuensinya adalah semua
kebijakan di masa jabatan bupati dan wakil bupati di atas tidak legitimate
(sah berdasarkan undang-undang), dengan demikian tidak patut untuk
dijalankan. Ketidakmauan sebagian birokrat yang ada di tubuh pemerintahan
Kabupaten Manggarai Barat terhadap setiap produk kebijakan yang dibuat
oleh pimpinan daerah tentu saja menggangu jalannya implementasi
kebijakan berjalan efektif. pendekatan yang paling awal dan banyak
berpengaruh terhadap administrasi publik adalah pendekatan hukum
(legalistic approach) dari suatu proses administrasi publik. Pendekatan ini
mendasarkan diri pada asumsi bahwa pendekatan legal adalah kewenangan
yang efektif pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana menilai legitimasi
dari suatu tindakan yang dilakukan oleh setiap lembaga atau pejabat
administrasi publik. Sebab pada dasarnya bahwa setiap keputusan kebijakan
harus memiliki payung hukum yang sah, dalam arti bahwa kebijakan tersebut
dibuat oleh pejabat publik yang berwewenang, serta melalui prosedur yang
sah telah tersedia. Keputusan kebijakan yang sah dapat mengikat para
pegawai negeri (birokrat) untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan
seperti yang telah diprogramkan.
Agung Saputra, A. K. (2020). ANALISIS KEBIJAKAN PARIWISATA TERHADAP PENGELOLAAN OBJEK
WISATA DI KABUPATEN SAMOSIR. -, Volume 14, Nomor 4: 564-584.
Islam, J. T. (2017). Studi Deskriptif Implementasi Kebijakan Pariwisata Di Kabupaten Tulungangung.
Kebijakan dan Manajemen Publik, 1-10.
Jabal Arfah, E. A. (2019). STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN DI
KABUPATEN KONAWE SULAWESI TENGGARA. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam,
202-217.
Jupir, M. M. (2013). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PARIWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL (STUDI DI
KABUPATEN MANGGARAI BARAT). Journal of Indonesian Tourism and Development Studies, 28-
37.

Anda mungkin juga menyukai