Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

Disusun Oleh :
Kelompok III
1. Oktarina Muslimah (Npm. 1926010014)
2. Nindya Lelani Putri. S (Npm. 1926010017)
3. Okta Purnama Sari (Npm. 1926010005)
4. Olfa Diaovita (Npm. 1926010028)
5. Eka Pratiwi (Npm. 1926010035)
6. Redita Islamia (Npm. 1926010020)
7. Fira Tamara. N (Npm. 1926010023)
8. Eni Kurniawati (Npm. 1926010004)
9. Noza Anita (Npm. 1926010013)

Dosen Pengampu:
Ns. Ida Rahmawati, S. Kep., M. Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas nikmat yang
diberikan khususnya nikmat kesehatan, sehingga penulis lancar dalam
menuangkan ide-ide untuk menyelesaikan tugas makalah “congestive heart
failure (CHF)”. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita semua ke alam yang penuh
dengan pengetahuan, sehingga pada saat ini penulis dapat mengerti dan
memahami dalam pembuatan laporan ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka proses pembelajaran sekaligus untuk
memenuhi tugas Keperawatan Kritis.
Dalam proses pembuatan makalah ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam pembuatan makalah ini dan
kepada dosen pengampu Ns. Ida Rahmawati S.Kep., M.Kep yang telah sudi
meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dalam pembuatan tugas
ini, sehingga tugas dapat terselesaikan dengan tepat waktu.

Bengkulu , Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR ...................................................................................ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan ..................................................................................................2
D. Manfaat.................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Konsep Teoritis Penyakit.....................................................................3
a. Definisi..........................................................................................3
b. Etiologi..........................................................................................3
c. Klasifikasi......................................................................................5
d. Patofisiologi...................................................................................6
e. Manifestasi klinis...........................................................................8
f. WOC..............................................................................................9
g. Pemeriksaan diagnostik.................................................................9
h. Komplikasi.....................................................................................10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal jantung atau Congestive Heart Failure adalah suatu keadaan ketika
jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan
tubuh, meskipun tekanan darah pada vena itu normal. Gagal jantung menjadi
penyakit yang terus meningkat terutama pada lansia. Pada Congestive Heart
Failure atau Gagal Jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat guna memenuhi kebutuhan
metabolik dan kebutuhan oksigen pada jaringan meskipun aliran balik vena
yang adekuat (Asmoro, 2017).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler lebih
tepatnya Congestive Heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang
tinggi, menurut data Whorld Health Organization (WHO) pada tahun 2007
dilaporkan bahwa Congestive Heart Failure (CHF) mempengaruhi lebih dari 20
juta pasien di dunia dan meningkat seiring pertambahan usia dan pada
umumnya mengenai pasien dengan usia sekitar lebih dari 65 tahun dengan
presentase sekitar 6-10% lebih banyak mengenai laki-laki dari pada wanita.
Pada tahun 2030 WHO memprediksi bahwa peningkatan penderita Congestive
Heart Failure (CHF) mencapai 23 juta jiwa di dunia. Congestive Heart Failure
(CHF) merupakan salah satu masalah khas utama pada beberapa negara industri
maju dan Negara berkembang seperti Indonesia (Austaryani, 2012).
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas
seperti sesak napas, pembengkakan pada pergelangan kaki dan kelelahan dan
diikuti dengan tanda-tanda klinis seperti peningkatan tekanan vena jugularis,
ronki paru dan edema perifer yang disebabkan oleh kelainan struktural dan
fungsional jantung sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung atau
kardiak output jantung menurun dan tekanan didalam jantung itu meningkat
saat istirahat maupun stress. Gagal jantung akut atau GJA mengacu pada onset
cepat atau memburuknya gejala dan tanda-tanda gagal jantung, hal ini

1
mengakibatkan kondisi medis yang mengancam jiwa yang memerlukan evaluasi
segera dan terapi secepatnya, sehingga harus dilakukan rawat inap.
Penyakit gagal jantung akut merupakan penyebab paling banyak pada
pasienyang dirawat di rumah sakit pada usia lebih dari 65 tahun dan
berhubungan dengan tingkat kematian yang tinggi. Prevalensi GJA akan
meningkat pada pasien usia lanjut, dikarenakan peningkatan dari populasi di
usia lanjut di Negara maju dan Negara berkembang bertambah dengan cepat
yang disebabkan karena faktor harapan hidup yang meningkat. Gagal jantung
akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas seperti sesak
napas, pembengkakan pada pergelangan kaki dan kelelahan dan diikuti dengan
tanda-tanda klinis seperti peningkatan tekanan vena jugularis, ronki paru dan
edema perifer yang disebabkan olehkelainan struktural dan fungsional jantung.

B. RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan penyakit gagal jantung?

C. TUJUAN
Untuk mengetahui tentang congestive heart failure (CHF).

D. Manfaat
Menambah ilmu terutama yang berhubungan dengan penyakit congestive heart
failure (CHF) dan memperkuat atau memperbaharui teori yang ada tentang
penyakit congestive heart failure (CHF).

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teoritis Penyakit


a. Definisi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan
angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara
berkembang termasuk Indonesia (PERKI, 2015). Menurut periode terakhir
Global Health Data Exchange (GHDx) tahun 2017, Prevalensi gagal jantung
di seluruh dunia saat ini diperkirakan sebanyak 64,34 juta kasus (8,52 per
1.000 penduduk, di antaranya 29% mengalami gagal jantung ringan, 19%
gagal jantung sedang dan 51% gagal jantung berat), terhitung untuk 9,91 juta
YLDS (11,61 per 1.000 YLD) (Lippi & SanchisGomar, 2020). Sebagian
besar penelitian menunjukkan prevalensi gagal jantung antara 1 % hingga
2% dari total populasi orang dewasa (Reyes et al., 2016). Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi penyakit jantung di
Indonesia sebanyak 1,5 persen atau 1.017.290 jiwa (Kemenkes RI, 2018).
Menurut data Sistem Informasi Surveilans PTM berbasis web di
puskesmas Indonesia tahun 2016, jumlah kasus gagal jantung menurut jenis
kelamin mencapai 4.161 kasus, terbesar pada kelompok perempuan
mencapai 2.247 kasus dibandingkan dengan pada kelompok laki-laki,
sedangkan menurut kelompok umur mencapai 3.545 kasus, diagnosis gagal
jantung terbesar pada kelompok umur >60 tahun sebesar 1.880 kasus
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang paling
sering terjadi di seluruh dunia yang mengakibatkan tingginya angka
mortalitas, morbiditas dan juga berdampak secara finansial terutama bagi
lanjut usia. Rehospitalisasi merupakan masalah umum yang sering terjadi
pada pasien gagal jantung yang sebagain besar disebabkan oleh
keterlambatan dalam pengenalan gejala, pengobatan dan ketidakpatuhan diet
serta kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan perawatan
diri.

3
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara
berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab
terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi. 4 Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan
penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan
pada penderita.

b. Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di
negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. 4 Pada beberapa keadaan sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. 4 Faktor
hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta
compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan
kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.

c. Klasifikasi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal
jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard
Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester,
Stevenson dan NYHA.

4
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut,
dengan pembagian:
1. Derajat I: tanpa gagal jantung
2. Derajat II: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3
galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
3. Derajat III: Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru.
4. Derajat IV: Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda


kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada
manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi
yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet)
yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin
(cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta
dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A): kering dan hangat (dry – warm)
- Kelas II (B): basah dan hangat (wet – warm)
- Kelas III (L): kering dan dingin (dry – cold)
- Kelas IV (C): basah dan dingin (wet – cold)

d. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan
pada jantung, 88 J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan

5
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin
– Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide
yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin).
Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.

6
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. 2 Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian.
Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor
yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial
akibat endotelin. 2,6 Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan
relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel
saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik,
selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang
pembuluh daras sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla
adrenal menskeprsi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstritor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran ginjal, mengakibatkan pelepasan rennin. Rennin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan ritensi
natrium dan air tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra

7
vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hifertensi untuk
pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada system
pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang
terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklorosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuandistensi dan
daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan erteri besar
berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume skuncup), mengakibatkan penurunan curang
jantung dan peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002)

e. Manifestasi Klinis

f. WOC

g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Penunjang

8
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali,
edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk
mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead,
ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan
tes fungsi paru.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran
obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu
dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang
berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko
disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol,
atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui
risiko emboli.

2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Terdapat berbagai pilihan pemeriksaan untuk menilai ada tidaknya
komplikasi:
1. Elektrokardiografi : digunakan untuk menilai apakah terjadi
komplikasi seperti infark miokard akut atau gagal jantung
2. Foto polos thoraks : digunakan untuk menilai apakah terjadi
pembesaran ventrikel atau edema paru
3. Ekokardiografi : digunakan untuk melihat fungsi katup dan bilik
jantung
4. Doppler perifer : digunakan untuk melihat struktur pembuluh darah,
misalnya pada thrombosis vena dalam dan penyakit arteri perifer.
5. USG ginjal : digunakan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal,
misalnya batu ginjal atau kista ginjal.
6. Skrining hipertensi endokrin
7. CT scan kepala

9
h. Komplikasi

i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara
non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan
saling melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung.
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk
memperbaiki gejala dan Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi
penatalaksaan non farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung kronis bisa
terkompensasi ataupun dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil,
dengan tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti
terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema paru akut maupun
malaise, penurunan toleransi latihan dan sesak nafas saat aktifitas. Penatalaksaan
ditujukan untuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan
lainnya adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.
Obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain:
diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, blocker
(carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator
(hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik. 15-17
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan
pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek
dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada pemderita
dengan fibrilasi atrium, , gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.

10
BAB III
PENUTUP

11

Anda mungkin juga menyukai