Ketimpangan Sosial Di Indonesia Meningkat - Apakah Maknanya Bagi Rakyat Biasa
Ketimpangan Sosial Di Indonesia Meningkat - Apakah Maknanya Bagi Rakyat Biasa
9 Februari 2018
Delapan dari 10 warga Indonesia mempersepsi adanya kenaikan ketimpangan sosial yang
merata di seluruh wilayah Indonesia selama 2016-2017, demikian hasil survei terbaru LSM
Infid.
Survei Ketimpangan Sosial oleh Infid -digelar selama Agustus-Oktober 2017 di 34 provinsi-
menyebutkan dari total 2,250 orang responden, 84% diantaranya mempersepsikan adanya
ketimpangan, setidaknya pada satu ranah.
"Bisa dikatakan, delapan dari 10 warga Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan," kata Bagus
Takwin, ketua tim penelitian ini, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (08/02).
Indeks ketimpangan sosial 2017 ini ditentukan berdasarkan banyaknya ranah yang dinilai warga
mengalami ketimpangan, kata Bagus.
Semakin besar indeks maka makin banyak ranah yang dinilai mengalami ketimpangan, tambahnya.
Seorang bocah perempuan berdiri di depan rumahnya di kawasan kumuh di Jakarta, akhir Januari 2010.
"Indeks ketimpangan berubah dari 4,4 menjadi 5,6. Artinya, setiap warga menilai ada 5-6 ranah
yang timpang di Indonesia," katanya.
Temuan Infid ini berbeda dengan versi pemerintah Indonesia yang menyebut ada "sedikit
penurunan" ketimpangan orang kaya dan miskin pada September 2017.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa "penghasilan" dirasakan oleh warga sebagai ranah
paling timpang jika dibandingkan sumber ketimpangan lainnya.
"Ketimpangan penghasilan berdampak pada ketimpangan pada kepemilikan rumah dan harta
benda, pendidikan dan kesehatan," papar Bagus.
Perkampungan kumuh di Jakarta dengan latar belakang sejumlah gedung tinggi di Jakarta.
Di Indonesia, menurut survei ini, warga yang berpenghasilan layak merupakan proporsi terbanyak,
disusul warga yang berpenghasilan kurang layak. Ada pun proporsi terkecil adalah warga yang
berpenghasilan lebih dari layak.
Ada 10 ranah yang disebut sebagai sumber ketimpangan sosial di Indonesia, yaitu, pertama,
penghasilan (71,1%), lalu pekerjaan (62,6%), rumah/tempat tinggal (61,2%), harta benda (59,4%),
serta kesejahteraan keluarga (56,6%).
Di teluk Jakarta, tiga orang warga Jakarta telrihat santai dengan latar gedung pencakar tinggi, 25 April 2017.
Lima ranah lainnya adalah pendidikan (54%), lingkungan tempat tinggal (52%), terlibat dalam
politik (48%), hukum (45%), serta kesehatan (42,3%).
Walaupun kenaikan ketimpangan dirasakan oleh warga di seluruh Indonesia, tetapi secara
keseluruhan tingkat ketimpangan sosial lebih tinggi di Indonesia bagian timur bila dibandingkan
wilayah lain.
"Iya, pemerintah mengakui. Dan saya kira, seluruh skema pembangunan Pak Jokowi justru
menitikberatkan pada soal itu," kata Yanuar menjawab pertanyaan BBC Indonesia, Kamis (08/02).
Sebuah keluarga tidur di atas jembatan penyeberangan jembatan di dekat Bank Indonesia, 25 Februari 2010.
"Pak Jokowi tahu betul masalah kemiskinan dan ketimpangan ini merupakan masalah besar di
Indonesia. Dan itulah kenapa beliau membangun dengan pendekatan seperti itu," paparnya.
Pemerintah, lanjutnya, terus berusaha untuk mengurangi ketimpangan itu antara lain dengan fokus
pada pembangunan infrastruktur di wilayah yang dianggap terisolasi.
"Mengapa daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam tetapi tetap miskin, salah-satunya
karena mereka terisolasi. Jadi tujuan pembangunan infrastruktur adalah membuka isolasi," kata
Yanuar menjawab pertanyaan BBC Indonesia, Kamis (08/02).
Namun diakuinya pembangunan infrastruktur itu dampaknya tidak akan langsung dirasakan oleh
warga setempat. "Itu butuh waktu, biasanya butuh antara lima dan delapan tahun setelah dibangun,
itu baru kelihatan dampaknya," kata Yanuar.
Setelah menggenjot pembangunan infrastruktur, lanjutnya, pemerintah dalam tiga tahun terakhir
mencoba menerapkan kebijakan pemerataan.
"Dalam pemerataan, kita fokus pada layanan dasar publik, yaitu kesehatan, pendidikan dan sanitasi
dasar," ungkapnya.
Indonesia menurut Bank Dunia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam 15 tahun
terakhir, tetapi sebagian besar manfaat dinikmati oleh kalangan elit.
Bank Dunia juga menyatakan bahwa semakin besar masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa
distribusi pendapatan di Indonesia "sangat tidak setara" atau "tidak setara sama sekali".