Anda di halaman 1dari 3

A.

Pendahuluan
Batu ureter adalah terbentuknya batu yang disebabkan adanya pengendapan kristal yang
tersusun dari bahan organik dan anorganik dalam urine yang jumlahnya berlebihan, atau karena
faktor lain yang mempengaruhi daya larut (Anggraeny et al., 2021). Proses pembentukan batu
ureter disebut “Urolithiasis”, batu ureter biasa terbentuk pada bagian ginjal, ureter, buli-buli, dan
uretra.

Batu ureter merupakan penyakit ketiga terbanyak di bidang urologi setelah infeksi
saluran kemih (ISK) dan pembesaran prostat benigna. Penyakit ini sering terjadi pada usia 30-50
tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Diperkirakan sebesar
13% pada laki-laki dan 7% pada perempuan (Simanullang Poniyah, 2019). Saat ini angka
kejadian batu ureter mengalami peningkatan yang dapat mempengaruhi 10-12% populasi di
negara maju dengan insiden tertinggi terjadi di usia 20-40 tahun. Setiap individu beresiko terjadi
batu ureter sekitar 5-10% selama hidupnya. Angka kekambuhan penyakit batu ureter sekitar 50%
setelah individu menderita selama 5 tahun dan 80-90% setelah 10 tahun (Anggraeny et al., 2021)

Prevelensi penderita batu ureter berbeda antara negara maju dan berkembang. Di negara
berkembang seperti, India, Thailand dan Indonesia angka kejadian batu ureter sekitar 2-15%,
biasanya ini terjadi karena ada hubungannya dengan perkembangan ekonomi dan peningkatan
pengeluaran biaya untuk kebutuhan makanan perkapita (Noegroho et al., 2018). Selama tiga
dekade terakhir prevalensi penyakit batu ureter meningkat tajam di Eropa, Asia, dan Amerika.
Data terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2018 di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit batu ureter sebesar 8,8%. Di
indonesia, angka kejadian batu ureter masih belum bisa diketahui secara pasti, tetapi
diperkirakan terdapat 170.000 kasus setiap tahunnya. Berdasarkan data Riskedes 2018,
prevalensi penyakit batu ureter di Indonesia sebesar 0,9% (Noegroho et al., 2018).

Secara epidemiologis terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
batu ureter, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk dalam faktor intrinsik
antara lain, faktor genetik, riwayat sakit batu ureter sebelumnya, usia; usia yang paling sering
mengalami masalah batu ureter yaitu berusia sekitar 30-50 tahun, jenis kelamin; laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan, kelainan anatomi ginjal, pembentukan batu dalam air kemih,
dan gangguan metabolik. Sedangkan yang termasuk pada faktor ekstrinsik yaitu, kurang minum;
asupan air minum yang kurang menyebabkan volume urine yang tidak cukup untuk membuang
zat sisa metabolisme, garam yang berlebihan, dan mengurangi saturasi urine (Nuari, 2017). The
European Association of Urology menyarankan asupan air setiap harinya harus mencapai
minimal 2,5 liter untuk mencegah pembentukan batu ureter, jenis pekerjaan dan hobi, konsumsi
obat-obatan, geografi, dan diet yang tinggi purin, oksalat, dan kalsium merupakan salah satu diet
pemicu datangnya penyakit batu ureter (Simanullang Poniyah, 2019).

Laporan kasus ini akan mengulas lebih jauh mengenai kasus asuhan keperawatan pada
kondisi diagnosis medis batu ureter. Laporan ini juga akan mengulas terkait diagnosis, intervensi
hingga implementasi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu ureter.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep penyakit dari Batu Ureter?


2. Bagaimana perjalanan penyakit dari Batu Ureter?
3. Bagaimana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada kasus keperawatan medikal
bedah pasien dengan Batu Ureter?
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari laporan ini yaitu untuk mengetahui konsep penyakit batu ureter, dan asuhan
keperawatan medikal bedah yang sesuai dengan diagnosis medis batu ureter.

13.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep penyakit dari Batu Ureter


2. Untuk mengetahui perjalanan penyakit dari Batu Ureter
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada kasus Batu Ureter.
Dafpus :
Anggraeny, S. F. et al. (2021) ‘Gambaran Status Konsumsi Air Minum Pada Pasien Batu Saluran
Kemih’, Jurnal Sains dan Kesehatan, 3(1), pp. 58–62. doi: 10.25026/jsk.v3i1.211.
Noegroho, B. S. et al. (2018) Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih, Ikatan Ahli
Urologi ndonesia (IAUI). doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
Simanullang Poniyah (2019) ‘Karakteristik pasien batu saluran kemih di RS Martha Friska Pulo
Brayan Medan Tahun 2015-2017’, Jurnal Darma Agung, 27(1), pp. 807–813.

Anda mungkin juga menyukai