Persiapan Penyajian Lisan Pertemuan 4
Persiapan Penyajian Lisan Pertemuan 4
________________________________________________________________________
1. PENDAHULUAN
4. DAFTAR PUSTAKA
Beebe, Steven A dan Beebe, Susan J. 1991. Public Speaking: An Audience-Centered
Approach. Englewood-Cliffs: Prentice Hall.
Keraf, Gorys. 1997. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende–Flores:
Penerbit Nusa Indah.
Wiyanto, Asul. 2000. Diskusi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widisarana Indonesia
(Grasindo).
Wiyanto, Asul. 2001. Terampil Pidato. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widisarana
Indonesia (Grasindo).
Pergolakan politik yang terjadi selama lima tahun belakangan ini telah membuat
masyarakat belajar banyak untuk memahami persoalan politik dengan lebih kritis. Oleh
karena itu, tak berlebihan jika saat ini sebagian anggota masyarakat memandang
pemilihan umum (pemilu) dengan sikap skeptis.
Kesimpulan demikian muncul dari hasil jajak pendapat Kompas di delapan kota besar
yang dilakukan tanggal 29–30 Januari lalu. Sebagian besar responden yang dihubungi
juga mengungkapkan rasa pesimistis mereka akan kualitas pelaksanaan pemilu 2004
mendatang.
Pandangan demikian tidak lepas dari apa yang terjadi selama ini. Setelah sukses dengan
pelaksanaan pemilu 1999, kondisi politik Indonesia tidak juga beranjak stabil. Saling
unjuk kekuatan dalam perebutan kekuasaan kerap kali terjadi dan membawa sejumlah
kekhawatiran akan merebaknya kerusuhan politik. Kinerja lembaga perwakilan rakyat
yang tidak juga memuaskan semakin menguatkan kesan ketidakjelasan nasib bangsa ini.
Tidak heran jika hasil jajak pendapat kali ini juga menunjukkan keengganan responden
berurusan lebih dalam dengan masalah politik.
Apa yang dialami memang masuk akal. Setelah sekian tahun bergumul dalam kancah
reformasi, elite politik tidak juga sanggup membangun sistem yang matang dan memberi
pencerahan dalam kehidupan berbangsa. Sekalipun demokrasi telah mulai dicanangkan
dalam pemilu 1999 lalu, reformasi tak tumbuh dengan cepat. Akibatnya, sejumlah unsur
kehidupan berpolitik—yang sangat menentukan kehidupan negara di masa depan—belum
siap dijadikan pedoman. Menjelang pemilu tahun depan, misalnya, sejumlah Rancangan
Undang-Undang (RUU) yang diperlukan untuk landasan pelaksanaan pemilu belum siap.
Memang sejak tahun 1955 hingga 1999, Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak
delapan kali. Dari segi jumlah tidak tergolong sedikit untuk menimba pengalaman.
Akan tetapi, sebenarnya tak sebanyak itu pengalaman yang diperoleh. Kecuali tahun
1955 dan tahun 1999, warna pemilu lebih banyak ditentukan oleh keinginan pemimpin
nasional. Tidak heran jika sistem pemilu sering kali disesuaikan dengan kepentingan
penguasa, yang akhirnya justru melumpuhkan demokrasi dan melahirkan represi politik.
Bukan saja petinggi partai dan wakil rakyat yang kemudian terbawa arus pada politik
kekuasaan semata, bahkan penguasa negeri ini pun sering kali terjebak dalam ajang
pamer kekuasaan. Kondisi itu sedikit banyak mempengaruhi pendapat publik akan
kepemimpinan di masa depan. Barangkali, pendapat 60 persen responden jajak pendapat
ini—yang merasa tidak lagi yakin bahwa pemilu 2004 akan menghasilkan pemimpin
yang berkualitas—merupakan cermin kekecewaan pada kondisi kepemimpinan dan
perilaku elite politik saat ini.
Ketidakpercayaan pada kinerja dan perilaku elite politik partai yang duduk di lembaga
perwakilan saat ini juga berimbas pada makin sedikitnya dukungan masyarakat pada
wakil-wakil mereka di DPR. Sistem pemilu yang melahirkan wakil rakyat yang ditunjuk
partai tidak lagi dipercayai dapat bermanfaat menyuarakan aspirasi masyarakat.
Sebanyak 72 persen responden menyatakan dengan tegas keinginannya untuk memilih
sendiri wakil-wakil mereka dalam pemilu 2004, dan hanya 19 persen yang masih
mempercayakan pada partai untuk mendudukkan wakil rakyat di lembaga legislatif
tersebut. (Dikutip dengan suntingan dari Kompas, 3 Februari 2003.)