Anda di halaman 1dari 244

ALI TEGUH ESHA TOPAN ANAK JALANAN

TEGUH ESHA

TOP OPAN ALI TOPAN anak JALANAN JAL ANAN

PENERBIT

PT VISI GAGAS KOMUNIKA

JAKARTA, 2000

ALI TOPAN ANAK JALANAN


Novel karya TEGUH ESHA Revisi dari novel yang diterbitkan oleh Cypress pada tahun 1977, berjudul: ALI TOPAN ANAK JALANAN: KESANDUNG CINTA Desain Sampul: MERDEKA ADRAI Ilustrasi: JAN MINTARAGA Diterbitkan oleh: PT. VISI GAGAS KOMUNIKA (VISION 03) Jalan Jati Agung No. 3 Jati Padang Pasar Minggu, Jakarta 12540 Telp. (021) 78831022 Fax. (021) 7815236 Desain Grafis: SYAIFUL AZRAM Cetakan Pertama September 2000 Percetakan: SMK GRAFIKA MARDI YUANA BOGOR

Untuk anak-anak muda Indonesia yang tak mendapatkan cinta, kasih dan sayang serta teladan kebaikan dari orangtua dan guru-guru mereka.

Teguh Esha

Sanksi Pelanggaran Pasal 44 UU No. 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 TentangHak Cipta:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana denganpidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau didenda paling banyak Rp 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum, suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah).

Hak Cipta TEGUH ESHA

SATU

agi hari, Senin pertama bulan Juli 1977. Langit biru muda memayungi Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Matahari mencorong diTimur. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert menaiki motor masing-masing, ngebut di jalanan seputar Blok M, Blok M adalah suatu blok perumahan dan pertokoan seluas kurang-lebih tiga kilometer persegi. Sebelah utaranya dibatasi lapangan Mar kas Besar Angkatan Kepolisian atau Mabak, sebelah timur dibatasi Jalan Iskandarsyah Raya, sebelah selatan dibatasi Jalan Melawai Raya, dan sebelah baratnya dibatasi Jalan Si Singamangaraja. Kebayoran Baru terdiri dari beberapa blok, dari A sampai S. Penduduknya umumnya pekerja dan pedagang kelas menengah dari luar Jakarta, yang berjumlah sekitar 400.000 orang. Empat sekawan itu adalah murid-murid kelas III Pal Pengatahuan Alam - satu SMA Bulungan I Bulungan yang terletak di ujung timur Jalan Mahakam, Blok C Kebayoran Baru, yang berbatasan dengan Jalan Si Singamangaraja. Mereka tertawa gembira, berdansa di jalanan, itu istilah untuk sport jantung menyelip-nyelipkan motor di sela-sela kendaraan yang melalu-lintas.Wajah-wajah tampan yang cerah, rambut-rambut yang gondrong melambai kena angin, dan bercanda sepanjang jalan merupakan merupakan manifestasi sikap bebas aktif anak-anak muda itu. Oleh kaum tua yang sedikit pikun, mereka dinamakan berandalan atau krosboi, tapi mereka tak peduli. 7

Mereka ada di jalan Panglima Polim Raya. Lampu perempatan Jalan Pangporay Panglima Polim Raya dan Jalan Melawai Raya menyala kuning. Kemudian merah. Kendaraan umum berhenti. Tapi Ali Topan dan kawan-kawannya langsung saja tancap gas membelok ke arah kiri, memotong kendaraan yang bergerak dari arah Blok M, langsung melaju ke Jalan Bulungan. He, bajingan! seorang pengendara Toyota Corolla tahun 1973 warna kuning memakiAliTopan yang hampir ditubruknya. Tapi Ali Topan tak menggubris cacian itu. Demikian pula kawan-kawannya. Mereka terlalu sering mendengar caci maki orang, jadi sudah kebal. Ali Topan Cs tetap ngebut, membelok ke kanan di perempatan Jalan BulunganJalan Mahakam, dan terus menggeblas lewat SMA Bulungan I yang tegak di ujung Jalan Mahakam. Beberapa teman yang ada di depan sekolah melambaikan tangan. Ali Topan Cs tak sempat membalas mereka. Nama SMA Bulungan I yang terletak di Jalan Mahakam itu berasal dari riwayat dua SMA di Jalan Bulungan yaitu SMA Bulungan Pagi dan SMA Bulungan Sore yang dipisah menjadi dua karena dilokasi itu dibangun Gelanggang Remaja Jakarta Selatan oleh Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Jakarta, atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin yang beken dipanggil Bang Ali. SMA Bulungan Pagi menjadi SMA Bulungan I di jalan Mahakam, sedangkan SMA Bulungan Sore menjadi SMA Bulungan II di Jalan Bulungan. Gelanggang Bulungannama pop GRJSdiapit oleh dua SMA bersaudara itu. Pada hari peresmiannya, seorang murid lelaki yang patah hati dengn guru perempuan menggambari dinding sekolah itu dengan lambang hati dan anak panah yang 8

patah dan angka Bulungan pakai cat merah darah. Sejak saat itu nama sekolah itu beken dengan sebutan SMA Patah Ati atau SMA Bulungan di kalangan remaja Kebayoran. Pada formasi dua-dua mereka mengebut terus, memotong jalan raya, lurus menuju kawasan pertokoan Blok M. Sopir biskota, helicak, tuan-tuan di mobil mewah maupun rakyat kelas menengah di atas sadel motor masing-masing memaki kalang kabut, nyaris serempak, ketika para remaja itu seenak hati memotong jalan mereka. Hei! Anjiiiing! seorang muda yang menyetir Mercedes memaki Ali Topan Cs. Sama, njiiiing! Ali Topan balas memaki. Ia tampak paling tampan, paling gagah dan paling brandal di antara kawanan anak-anak muda bersepeda motor trail itu. Orang muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung Ali Topan Cs. Muka sopir itu lancip kayak muka tikus. Ali Topan dan Gevaert kebetulan melihatnya dari kaca spion. Tanpa kode etik lagi, kedua remaja itu me-rem motor mereka, dan mengepoti Mercedes itu. Tak sampai kesenggol moncong Mercedes, Ali Topan dan Gevaert menancap gas, langsung menggeblas ke depan sambil tertawa keras sekali. Kurang ajaaar! sopir Mercedes itu memaki. Wajahnya merah padam. Wanita menor berusia 45 tahun yang duduk di belakang menekan dadanya. Kaget. Seorang gadis remaja berwajah lonjong yang duduk di samping sopir Mercy itu menggigit bibir sedikit. Rambut panjangnya yag hitam lebat diberi pita merah muda, menjadikannya terlihat manis. Ia merasa geli mendengar makian anjiiing dan kurang ajar yang terlontar dari mulut 9

tukang setir Mercy-nya. Sudah. Jangan digubris, Boy, si nyonya yang duduk di belakang berseru. Suaranya rada serak, seperti suara orang sakit TBC. Ia mengusap tas kulit hitam berukiran nama: Ny. Surya. Wajahnya yang tirus dipoles bedak dan gincu kemerahan tampak masam. Sopir mobil yang dipanggil Boy patuh. Matanya melirik ke arah gadis di sebelahnya. Anak-anak sekarang ini berandalan semua, gerutunya. Nyonya Surya yang duduk di belakang bersuara lagi, Jammu menunjukkan jam berapa, Anna? Gadis remaja yang manis itu melihat jam tangannya, lalu menjawab tanpa menoleh ke belakang, Jam tujuh kurang sedikit, Mama.... Kurang sedikit itu berapa? tanya Nyonya Surya. Sepasang mataAnna, putri nyonya Surya, melihat sekilas arloji emas di pergelangan tangan kirinya. Jam tujuh kurang tiga menit dan beberapa detik, mama, katanya. Toko buku di Blok M buka jam berapa? tanya si nyonya lagi. Biasanya sih jam tujuh persis, Mama, jawab Anna. Kalau tak biasa jam berapa? Boy bertanya, iseng. Anna tak menjawab. Wajahnya cemberut. Sepasang matanya yang lebar dan cemerlang seperti pagi menatap lurus ke jalanan di depan. Samar-samar di kejauhan dilihatnya anak-anak bermotor tadi membelok ke arah Pasar Melawai, Blok M. Anna mengusap alisnya yang lebat dan indah. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert masuk ke halaman Pasar Melawai yang menjadi pusat Blok M. Mereka berhenti dan mematikan mesin motor tepat di dekat tangga utama pusat pertokoan itu. Lalu naik satu per satu, menghitung anak-anak tangga. Mereka berdiri 10

seenaknya di tangga itu, memandang terminal biskota Blok M di seberang jalan. Para pekerja kantoran yang lewat di halaman beraspal di dekat tangga menengok ke arah empat remaja berseragam putih-putih itu dengan pandangan sebal. Apalagi ketika Ali Topan, sosok yang paling jantan dan tampan yang rambut gondrongnya melambai-lambai tertiup angin itu, menyeringai ke arah mereka. Ali Topan memang keren. Tingginya 172 cm, dan agak kurus. Kulitnya sawo matang tua. Wajahnya lonjong dengan rahang kokoh dan tulang pip yang tak terlampau menonjol. Hidungnya agak besar dan mancung. Dan, matanya, oh matanya! Sepasang mata itu lebar, besar, karakteristik, dengan bagian hitamnya yang mengesankan kebaikan hati, kecerdasan, kejujuran dan keberanian. Alis mata tebal seperti golok melengkung menjadikan profil wajah itu wajah dengan sentuhan Jawa yang sangat artistik! Tiga kawannya cukup keren, tapi tak berkarakter dan tak berkharisma seperti Ali Topan. Dudung yang berdiri satu level di bawah Ali Topan adalah anak kelahiran Kuningan, Jawa Barat, berwajah tirus dengan kulit berwarna langsat dan sepasang mata agak sipit. Kepalanya agak besar dan rambutnya ikal keriting. Bobby dan Gevaert berdiri berdampingan satu level di bawah Dudung. Bobby berwajah agak bundar, rambutnya lurus, namun tak begitu lebat. Pupil matanya kecil, suka melirik ke kiri dan ke kanan. Sedang Gevaert berdarah campuran, ayah Padang dan ibu Jerman. Maka sosoknya sosok indo: badan besar, rambut ikal kemerahan, tapi matanya hitam dan kulitnya putih kecoklatan. Hobinya fotografi. Berdiri terus bisa jadi tontonan gratis kita, kata Ali 11

Topan. Ia duduk di anak tangga diikuti oleh Dudung dan Gevaert. Bobby tetap berdiri. Ia memang selalu ingin berusaha menonjol dari Ali Topan, Dudung dan Gevaert karena merasa dirinya anak paling kaya diantara mereka. Tetapi selalu gagal, karena urusan kepemimpinan menyangkut kharisma, kewibawaan, dan keunggulan pribadi lainnya. Bukan kekayaan hartabenda.Bobby pun merasai pengaruh wibawa itu, tiap kali ia coba tentang dan tiap kali pula gagal.Akhirnya ia ikutan duduk di anak tangga seperti teman-temannya. Eh, itu Mercy yang tadi apa bukan, Pan? tanya Dudung. Tangannya menunjuk ke arah Mercy yang baru masuk ke pelataran parkir pusat pertokoan Melawai. Ali Topan memandang ke Mercy itu. Kalau sopirnya cari gara-gara biar gua embat aja. Emang udah seminggu tangan gua nggak ngeplak kepala orang, katanya. Ia duduk. Tangannya sibuk membuang kulit rambutan yang mengotori tangga itu. Mercedes diparkir di ujung kanan pusat pertokoan. Anna dan ibunya turun dari mobil itu, dan mereka langsung berjalan ke arah toko buku yang terletak di bagian bawah pertokoan, dekat tangga. Anna berjalan berdampingan dengan ibunya. Keduanya tak memperhatikan situasi sekitar. AliTopan Cs duduk seenaknya, pura-pura tak memperhatikanAnna dan ibunya.Ali Topan mengambil sebatang rokok kretek yang diselipkan di kaus kakinya. Bobby, Dudung dan Gevaert juga melakukan hal serupa, mengambil rokok dari kaus kaki masing-masing. Ali Topan mencari-cari korek api di saku baju dan celana jeans-nya. Tapi korek api tidak ada. Ade korek, njing? ia bertanya pada Bobby Nggak, nggak ada, njing, kata Bobby. Lalu Bobby 12

menoleh pada Dudung dan Gevaert. Bujug buset, Ai juga nggak ada korek nih. You bawa korek api, Vaert? tanya Dudung pada Gevaert. Gevaert menggelengkan kepalanya dengan gaya keren. Wah, kalau ada Magician lewat asik deh. Bisa minta api, kataAliTopan. Dan kebetulan sekali, seorang gelandangan pemungut puntung rokok lewat di dekat mereka sambil memunguti puntung rokok. Ia menjumput sepuntung rokok yang masih panjang. Diselipkannya puntung itu di bibirnya, lalu ia nyalakan puntung itu dengan korek api yang diambilnya dari kantung di balik baju lusuhnya. Ali Topan bergerak ke arah pemungut puntung. Ditepuknya bahu orang itu.He, Bung Magician, bagi apanya dong, kata Ali Topan. Pemungut puntung itu menyodorkan rokoknya yang telah menyala. Ali Topan menghidupkan rokoknya. Thank you, Magician, kata Ali Topan. Ooh, youre welcome, jawab pemungut puntung rokok. Ali Topan terkejut. Ia menatap magician yang kini tersenyum manis. Ia bahkan memberikan tabik dengan tangannya kepada Ali Topan. Ia tersenyum dan berlalu. Ali Topan berjalan ke tempatnya semula. Rokok terselip di bibirnya. Begitu dia hendak duduk kembali, dan Gevaert menyambar rokok yang terselip di bibir itu dengan maksud minta apinya, mata Ali Topan yang bersinar tajam menangkap gerakan melenggang Anna dan ibunya yang berjalan melewati tangga. Langsung Ali Topan menggamit sobat-sobatnya. Pssst. Ada manusia cantik liwat, macks! kata Ali Topan. Bobby, Dudung dan Gevaert yang sejak tadi sudah melihat ibu dan anak itutapi masih tetap diam, 13

menunggu komando bossmendadak jadi beringas dalam pengertian saling lomba bergaya genit untuk menarik perhatian Anna. He, macan, manusia cantik! Mau ke mane kite? Pagipagi begini udeh bikin hatiku bergetar? kata Gevaert. Mau belanja duren sama mamih ya? Boleh dong menengok kemariin sejenak? Aku ingin memandang wajah lu yang antik. Oooh, Bobby menyusul dengan kata-kata godaannya. Bujug buset. Dianya budek, boys! Sayang, cakepcakep budek begitu, bisa rusak pasaran ., Dudung ikut nimbrung. Anna dan Ny Surya mendengar kata-kata mereka, tapi tidak menggubris. Mereka berjalan terus menuju toko buku. Nah, pada saat itulah Bobby melempar Anna dengan kulit rambutan. Tidak kena! Gevaert latah, melempar juga. Tidak kena! Ali Topan dan Dudung bersamaan melempar. Lemparan Dudung mengenai Nyonya Surya! Lemparan Ali Topan mengenai kepala Anna! Aduh! Anna memekik. Nyonya Surya juga berbalik dan tangannya bertolak pinggang. Anak-anak kurang ajar kalian! Nyonya Surya membentak. Bobby, Dudung dan Gevaert langsung melengos. Ali Topan tidak melengos. Dengan pandangan matanya yang khas, ditatapnya Anna dan Nyonya Surya. Anna cemberut, Ny Surya melotot. Ali Topan tetap memandang mereka dari ujung kaki sampai kepala, seolah-olah menaksir, sampai berapa besar kemarahan ibu dan anak itu. Dan aneh, sungguh aneh, jantung Anna seakan-akan berhenti berdenyut ketika matanya beradu pandang dengan mata Ali Topan. Lantas cemberut di wajahnya hilang tiba-tiba. Dan iapun 14

jadi sedikit grogi terkena pandangan mataAliTopan yang berubah. Pada detik-detik pertama, mata itu bersinar tajam dan beringas, pada detik-detik berikutnya sinar mata Ali Topan menjadi sayu dan sangat lembut! Nyonya Surya merasakan keanehan itu. Dengan wajah semakin marah, diraihnya tangan Anna dan diajaknya berjalan lagi. Kamu kenal dia, Anna? tanya Nyonya Surya dengan dingin. Belum, Ma , jawab Anna pelahan. Nyonya Surya melirik sekejap mendengar jawaban yang dirasakannya tidak wajar itu. Belum, Ma, belum apa pingin kenalan? Demikian kata hati Nyonya Surya. Maka diapun mempercepat langkahnya untuk mengusir perasaan yang menyelip di hatinya. Perasaan itu semacam perasaan aneh. Dia melihat sesuatu kelembutan yang tajam di mata anak muda penggoda tadi. Sinar mata yang sangat magnetis. Dan ia, sebagai seorang wanita, merasa bahwa anaknya sedikit tergetar oleh pandangan magnetis itu. Ia tidak mau Anna bertatapan mata lebih lama lagi dengan anak kurang ajar itu. Instinknya menyatakan begitu. Nyonya Surya berjalan cepat, ke arah pintu masuk toko buku yang sedang dibuka oleh pegawai toko buku itu. Anna melepaskan tangannya dari cekalan ibunya. Dan, tanpa disadari, Anna menengok sebentar ke arah belakang, memandang Ali Topan. Ia terkejut ketika pandang matanya langsung disambar oleh sinar mata Ali Topan yang rupa-rupanya mengawasi terus sejak tadi. Anna cepat melengos lagi. Ia malu! Dan ia bertambah malu ketika mendengar anak-anak berandal itu bersuit menggoda. Fuuit! Fuuuuit! Fuuuit! 15

Anna bergegas menyusul ibunya yang sudah masuk toko buku. Dan ia tak mendengar suitan menggoda ataupun percakapan diantara perusuh-perusuh itu. Anna tak melihat bahu Topan ditepuk Bobby. He, Pan! Jangan bengong. Bagi apinya! kata Bobby. Ali Topan tersadar dari suasana yang terasa agak aneh baginya. Ah, iya! Kok gua jadi bengong begini? Garagara itu cewek. Manis banget sih! Sayang nyaknya galak kayak herder, kata Ali Topan. Ia memberikan api pada Bobby. Manis sih manis, tapi lu liat dong bodigarnya di mobil itu! Sangar banget tampangnye, Gevaert berkata. Eh, baru selesai Gevaert bicara, kuping para sobat itu mendengar bunyi klakson Mercedes. Tu, ape gue gilang? Dienye keki ngeliat majikannye kite godain. Kalau die anak ABRI kan kite bise repot? kata Gevaert lagi. Lu liat tuh. Dienye keluar dari mobil. Eh, pake tolak pinggang lagi. Kayak Bonanza, kata Bobby. Ali Topan melihat ke arah Oom Boy yang sedang memandang mereka dengan geram.AliTopan cuma senyum saja, bahkan dia melambaikan tangan. Daag, Oom, teriak Ali Topan. Oom Boy mengacungkan tinjunya. Ali Topan Cs tertawa keras sekali sambil memegangi perutnya, seolah-olah sedang menyaksikan pertunjukan yang lucu. Oom Boy makin geram diperlakukan seperti itu. Dia mengacung-acungkan tinjunya. He, sopir! Kayak yang punya mobil aje gaya lu! Ke mari kalau berani, gua beri kepelan lu! Gevaert berteriak. Dudung langsung mendemonstrasikan kembangan silat Cimande. 16

Oom Boy makin gemas melihat tingkah anak-anak itu. Tapi dia tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia cuma mengepal-ngepalkan tinjunya saja. Perbuatannya itu semakin membuat geli Ali Topan dan kawan-kawannya. Gaya sepuluh, nyali nol! teriak Bobby. Eh, Bob! Ibu Mary liwat tuh! Dienya nengok ke kite! kata Gevaert. Mane? Mane? tanya Bobby. Noh, die. Busyet, kepergok deh kite, kata Dudung. Siapa sih Ibu Mary itu? Dia seorang perempuan. Rada cakep. Dan pinter berbahasa Inggris, karena memang guru bahasa Inggris di SMA Bulungan. Saat itu sebenarnya Ibu guru Mary tidak melihat ke arah Ali Topan Cs. Dia tipe guru yang sedikit sok. Mungkin karena pandai berbahasa Inggris, dia sok. Apalagi dia paling suka membangga-banggakan diri, sudah pernah studi di Australia. Beberapa murid yang sebal memberi julukan ibu guru peranakan Kanguru kepadanya. Cabut, njing! kata Ali Topan. Ia mendahului temantemannya berlari menuju pasar tingkat atas. Bobby, Dudung dan Gevaert mengikuti boss mereka. Motor masing-masing ditinggalkan di tempat. Ali Topan Cs menghilang di ujung tangga. Ibu Mary lewat. Ia sebetulnya tak melihat anak-anak itu. Tapi Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert merasa khawatir, sebab Pak Broto Panggabean, Kepala Sekolah SMA Bulungan telah mengeluarkan peraturan yang keras. Murid-murid SMA Bulungan dilarang keras menjadi krosboi. Barangsiapa ketahuan menjadi krosboi atau cenderung atau bisa dianggap bersikap laku seperti krosboi, dijatuhi sanksi yang berat. Para guru diperintahkan mengawasi murid-murid. Di 17

dalam maupun di luar sekolah. Kalau ada murid yang nampak begajul sedikit saja, mereka diinstruksikan mencatat dan melaporkan langsung ke Kepala Sekolah sebagai penanggung jawab apa yang dinamakan komando operasi pengendalian dan penertiban muridmurid sekolah. Dan banyak sekali guru yang menyambut gagasan itu. Karena ada semacam peraturan tak tertulis bahwa semakin banyak guru melaporkan murid-murid yang dianggap krosboi, semakin banyak dia mendapatkan pujian dari Pak Broto Panggabean. Pujian itu sudah cukup memuaskan rupa-rupanya. Tapi Ali Topan Cs lupa barangkali bahwa ibu Mary, walaupun sedikit sok, tidak berminat pada acara lapormelapor itu. Maka itu Ali Topan Cs tetap berlari, terbiritbirit, menuruni tangga arah bagian dalam Pasar Melawai dan masuk ke luar lorong-lorong di dalam pasar. Tas sekolah bergondal-gandul di bahu masing-masing. Mereka muncul di emper bioskop Kebayoran. Mereka berhenti di situ. Gevaert memeriksa tasnya. Diambilnya sebuah tustel Canon dari tasnya dan diperiksanya sebentar. Dia selalu membawa alat foto itu ke manapun ia pergi. Hai, lagi ngapain di sini? Nggak sekolah kalian? Mbolos melulu... seorang anak perempuan menegur mereka. Gevaert membidikkan alat fotonya ke arah gadis itu. Gua potret lu, gua masukin Ibu Kota! kata Gevaert. Gadis teman sekolah itu menutupi wajahnya dengan tas sekolahnya dan lari cepat-cepat. Tak usyah ya, emangnya gue artis? kata gadis itu. Ada artis tampangnya kayak lu sih, bioskop-bioskop pada sepiiii! Ali Topan berteriak, yuk ah, macks, kita cabut. Di sini banyak intelnya. Ntar rusak acara kita. Kita 18

ke Ragunan aje, nengokin kawan-kawan lama, tambahnya. Oke, Bos, kata Dudung. Ia berlari membuntuti Ali Topan, menuju tempat parkiran motor mereka tadi. Tak lama kemudian, empat sekawan itu mengeluarkan motor mereka ke arah selatan. Mereka menuju ke Kebun Binatang Ragunan. *** SMA Bulungan tampak ramai seperti biasanya. Rombongan murid dan guru memasuki halaman sekolah dengan langkah yang juga seperti biasanya, tergesa-gesa. Ali Topan Cs suka berkata bahwa gaya murid-murid dan guru-guru sekolahnya seperti gaya orang bisnis. Sok nguber waktu, biar dibilang rajin, katanya, setiap kali melihat ada teman berjalan tergesa-gesa ke sekolah. Sebuah Mercedes berhenti di depan gedung SMA Bulungan. Dari dalam mobil keluar Ny Surya dan Anna. Mereka merapikan pakaian sekilas, lalu melangkah masuk ke dalam sekolah. Beberapa murid melihat ke arah ibu dan anak itu. Ada orang asing, bisik seorang anak. Warga negara baru barangkali, bisik anak lainnya. Nyonya Surya danAnna tak mendengar bisik-bisik itu. Bahkan, ia menghampiri dua anak yang sedang memandang mereka di depan sebuah kelas. Mm, mm, saya boleh tanya kantor Direktur Sekolah di sebelah mana ya? tanyanya. Di sebelah kulon, jawab anak itu. Kulon? Di mana kulon itu? Tu di sono tante. Anaknya mau dimasukin ke sini ya? kata anak itu. Nyonya Surya mendelik. 19

Dimasukin? Apanya yang dimasukin? kata Nyonya Surya. Tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi meninggalkan dua anak itu. Terima kasih ya, Anna berkata. Gitu dong, sayaaang, kata murid itu. Anna tersenyum manis, kemudian mengikuti ibunya yang berjalan menuju ke kantor Direktur Sekolah. Pak Broto Panggabean, Direktur SMA Negeri Bulungan sedang duduk di kursinya, menyusun map dan bukubuku di meja kerjanya. Ia orang Batak kelahiran Medan 45 tahun yang lalu. Tubuhnya pendek, kekar. Wajahnya bujur sangkar dengan bibir tebal. Sikapnya tegas, tapi suka humor. Dan hatinya hati seorang pendidik. Nama Broto yang khas Jawa itu diberikan oleh seorang Jawa yang menolong kelahirannya. Hadi, pembantu umumnya masuk. Ada tamu, Pak, kata Hadi. Suaranya cempreng sesuai dengan tubuhnya yang kecil kerempeng. Tamu siapa, hah? Pagi-pagi begini sudah bertamutamuan, kata Pak Broto Panggabean. Nyonya Surya dan anaknya, Pak. Ooo, suruh mereka masuk. Nyonya Surya danAnna dipersilakan masuk oleh Hadi. Selamat pagi, Pak Direktur, sapa Ny Surya. Oh, selamat pagi. Silakan, silakan duduk. Apa anak yang manis ini anak ibu yang mau pindah sekolah ke sini. Iya? kata Broto Panggabean. Begitulah kira-kira, Pak Broto. Jadi saya serahkan secara resmi anak saya ini pada Pak Broto, untuk dididik sebagaimana mestinya. Maklum, di sekolahnya yang dulu saya sangat khawatir, di sana banyak anak-anak morfinis, kata Nyonya Surya. Wah, memang bahaya morfin itu, kata Pak Broto 20

Panggabean dengan aksen Medan yang khas. Siapa nama kau, tanyanya ke arah Anna. Anna Karenina namanya, Nyonya Surya yang menjawab. Anna Karenina. Anna Karenina. Yah, yah, kau saya terima bersekolah di sini, mengingat Bapak kenal baik sama orangtuamu. Tapi di sini peraturan ketat dan tidak pandang bulu. Mengerti?kata Pak Broto. Anna Karenina mengangguk. Nah, cukup, Ibu Surya. Soal keuangan bisa diurus di bagian administrasi, kata Pak Broto Panggabean. Ia menunjuk bagian itu yang terletak di samping kantornya. Baik, terima kasih, kata Nyonya Surya, Anna baikbaik ya, jangan bikin malu mama dan papa, tambahnya. Ya, Mama... kata Anna. Nyonya Surya meninggalkan ruang itu setelah mencium pipi anaknya dengan ciuman bergaya orang Belanda. Wah, disayang sekali rupanya, ya? kata Pak Broto. Anna tersipu-sipu. Tunggu sebentar, nanti Bapak antar kau ke kelasmu. Anna Karenina mengangguk, bersamaan dengan dentang bel tanda masuk klas dipukul orang. *** Di kelas III Paspal 1. Murid-murid dan Ibu Mary masuk ke dalam kelas. Wanita itu bertubuh pendek, sexy, berkacamata, usianya 30 tahun. Anak-anak duduk di tempat masing-masing. Ibu Mary duduk di kursi guru. Ibu Mary mengeluarkan catatan absen harian, murid-murid mengeluarkan buku Inggris mereka. Ibu Mary batuk-batuk sebentar, lalu memanggil nama murid-murid sebagaimana biasanya, 21

didahului ucapan, Good morning, every body yang dijawab Good morning, Miss, oleh anak-anak. Abadi Karamoy! seru Ibu Mary. Yes, Miss! Abubakar Siddiq! Yes, Miss Ali Topan! Tak ada jawaban. Ali Topan! Ibu Mary mengulang seruannya. Tetap tak ada jawaban. Ibu Mary menengadahkan wajahnya, melihat ke arah tempat duduk Ali Topan. Tempat duduk itu kosong. Ke mana berandal itu, Maya? tanya ibu Mary. Maya yang berwajah oval keibuan memang dikenal dekat denganAliTopan. Murid yang duduk bersebelahan dengan bangku kosong itu menggelengkan kepalanya. I dont know, Miss, katanya. Why you dont know? I dont know, jawab Maya. Dia grogi, takut diajak omong cara Inggris terus oleh Ibu Mary. Beberapa anak tersenyum. Ibu Mary meneruskan panggilannya. Pada saat itu, pintu diketuk dari luar. Pak Broto Panggabean masuk diikuti Anna Karenina. Selamat pagi Ibu Mary. Selamat pagi anak-anak. Ini ada satu murid baru, pindahan dari sekolah lain. Saya kenalkan, namanya Anna Karenina. Ketua kelas, tolong atur tempat duduk untuknya, kata Pak Broto Panggabean. Siap, Pak, kata Ridwan, ketua kelas III Paspal 1 yang duduk di bangku belakang. Nah, cukup itu, Bu Mary. Selamat belajar anak-anak! kata Pak Broto Panggabean, kemudian ia pergi mening22

galkan kelas. Ibu Mary dan murid-murid mengawasi Anna Karenina yang masih berdiri di depan kelas. Anna tersipu-sipu. Wajahnya bersemu dadu. What is your name, my dear? tanya Ibu Mary. Anna Karenina, sahut Anna. Beautiful, gumam ibu Mary. Matanya mengawasi Anna tanpa kedip. Dari ujung sepatu sampai rambutnya yang mengurai bak bunga mayang. Terdengar bisik-bisik dari para murid. Anna Karenina merasa sedikit aneh ketika menatap mata ibu Mary. Mata guru Bahasa Inggris itu tadinya bersinar biasa, seperti mata ibu guru lazimnya. Kemudian sinar mata itu berubah, seperti sedang menaksir kekasihnya. Apalagi ketika Ibu Mary melemparkan senyum yang bermakna naksir, wah, Anna Karenina merinding. Okay, okay, sit down, please, kata Ibu Mary. Ridwan, ketua kelas yang bertubuh tegap kayak tentara maju ke depan, menunjukkan tempat duduk yang kosong buat teman barunya. Untuk sementara kamu duduk di sini dulu, besok bisa saya atur yang lebih baik. Ya! kata Ridwan. Anna mengucapkan terima kasih. Eh, salaman dulu, dong, seorang murid lelaki yang bertampang badung, nama saya Sobirin, tambahnya. Anak-anak langsung gerr mendengar ucapan Sobirin. Anna tersenyum. Tersipu-sipu. Anna Karenina masih tersenyum ke kiri kanan. Ibu Mary yang mengawasi dari depan berkata: Sudah, sudah. Senyumnya disimpan dulu. Kita lanjutkan pelajaran, please. Suasana tenang kembali. 23

Ibu Mary melanjutkan mengabsen para murid. Ia mencatat dua nama yang tidak masuk kelas pada jam pelajarannya. Ali Topan dan Bobby. Kemudian pelajaran Bahasa Inggris dimulai. ***

24

D UA

agi itu sekitar jam sepuluh. Di rerumputan antara gerumbulan semak, di Kebun Binatang Ragunan, Pasar Minggu, ada dua orang lelaki dan perempuan sedang berciuman. Rupanya mereka merupakan sepasang kekasih yang asyik berpacaran. Sebentar-sebentar terdengar bunyi capcup, cap-cup, ditingkah suara si perempuan terkikikkikik geli, ditambahi suara nafas ngos-ngosan dari si lelaki yang juga sibuk melontarkan selangit rayuan di pagi itu. Mari kucium lagi, sayaaang, rayu si lelaki dengan gaya bintang film mesum dalam film nasional. Si lelaki memonyongkan mulutnya, mencoba mencium perempuannya. Si perempuan berusaha mengelak, tapi ruparupanya usaha itu sekadar pura-pura saja, sebab ketika monyongan mulut si lelaki mengubernya, ia pasrah saja. Cup cup. Mhh. Ah, abang nakal, bisik si perempuan. Manja. Nakal gimana? Ini kan enak? Mari kubikin lebih mesra lagi, dengan teknik tinggi, sayaang, rayu si lelaki, berteknik-teknik rupanya. Dipeluknya si perempuan dengan pelukan bergaya kelasi mabuk. Si perempuan manda saja, bahkan iapun ikut aktif menyambut pelukan kekasihnya dengan pagutan ala Cobra di leher si lelaki. Zzzp. Keduanya tenggelam di laut kemesraan. Main piting-pitingan di rerumputan. Mereka tak sadar bahwa ada seseorang mengintai kerja mereka itu. 25

Gevaert membidik pasangan yang sedang sibuk itu dengan Canonnya. Dia atur fokus lensa, dan bergerak hati-hati mencari posisi yang paling sip dan aman. Gevaert merunduk di antara semak-semak. Klik! Gevaert memotret mereka. Si perempuan tiba-tiba melepaskan diri dari pelukan lelakinya. Tapi si lelaki dengan ketat memitingnya, hingga cuma kepalanya saja yang menengak-nengok ke sekitarnya. Bunyi apa sih yang klik barusan? bisik si perempuan. Ah, ah, bunyi apa? Tak ada bunyi apa-apa, sahut lelakinya. Sungguh, Bang. Kudengar bunyi klik.Ah, perasaanku jadi tak enak. Ah, ah, bunyi anak macan barangkali. Dienakin terus deh. Si lelaki kembali memiting leher perempuannya. Lalu dihujaninya leher, wajah dan bibir pacarnya dengan ciuman bertubi-tubi. Gevaert menahan nafas. Otaknya sempat dibikin pening oleh pemandangan yang menggairahkan itu. Mati-matian dia menahan nafas supaya tidak ngosngosan. Tiba-tiba pantatnya digigit semut. Secara refleks tangannya menepuk pantatnya. Plak! Suara tepukan itu cukup keras, membuat obyeknya terkejut. Si lelaki melepaskan pelukannya dan melihat ke arah semak-semak asal bunyi plak tadi. Dilihatnya Gevaert mencangklong tustel. Tiba-tiba saja si lelaki berdiri, wajahnya beringas. Gevaert mundur secepat kilat, wajahnya menyeringai masam. He, siapa kau, babi! hardik lelaki itu. Ia bergegas 26

mengejar Gevaert. Gevaert tahu bahaya maut mengancam, ia langsung melarikan diri sekencang-kencangnya. Si lelaki tidak mengejar anak nakal itu. Dia cuma mengepal-ngepalkan tinjunya ke udara dan mulutnya melontarkan caci-maki yang bukan main sadisnya. Sementara itu, Dudung, Bobby dan Ali Topan sedang santai menikmati pagi di bawah pohon yang besar. Dudung menelungkup di rerumputan, mandi sinar matahari pagi. Bobby duduk tenang, membaca komik Jan Mintaraga di dekatnya. Ali Topan berdiri di samping Dudung, kakinya menginjak pantat Dudung. Digerakgerakkannya pantat Dudung dengan kakinya. Dudung tetap menelungkup. Pantatnya saja digerakkannya naikturun mengikuti gerakan kaki Ali Topan. Hidup begini enak ya. Lepas, bebas, segar terasa dalam hati, kata Ali Topan. Bobby menengok ke arahnya. Sik! Berpantun pula kau, kata Bobby. Enak sih enak, tapi sepatu lu itu bikin kotor celana gua, Pan. Lu pikir gua nyucinya di Naga Payung? Gua cuci sendiri tuh, Dudung menggerundel. Babe lu aja suruh nyuci, kata Ali Topan. Doo, doo, babe gua suruh nyuci? Kalau dia tahu anaknya ke Jakarta pake acara bolos begini udah untung kalau gua kagak diamukin. Kalau babe gua ngamuk lu tau? Sekali tiup gua bisa jadi layangan! kata Dudung. Kemudian ia duduk, menepiskan kakiAli Topan yang masih menginjak pantatnya. Eh, itu ngapain Gevaert terbirit-birit kayak orang gila? Ali Topan berkata sambil tangannya menunjuk ke arah Gevaert yang sedang kencang berlari ke arah mereka. Eh, Vaert, udah gila lu? kata Ali Topan. 27

Gevaert cuma menjawab dengan ah, uh, ah, uh saja. Nafasnya tersengal-sengal. Ia menubruk Ali Topan. Mereka jatuh bergulingan. Vaert! Jangan becanda lu pagi-pagi, kata Ali Topan. Gevaert bangkit segera. Ia menunjuk ke arah gerumbulan pohon. Ah, uh, ah gua mau ditembak orang, Pan. No, di sono tuh orangnye Ali Topan melihat ke arah tunjukan Gevaert. Dudung dan Bobby langsung berdiri, melihat ke arah yang sama. Mana dia orangnye? Biar gua embat dia, kata Ali Topan. Itu, itu dia, lagi ngeliat kemari. Buset, potongannya sih kayak pensiunan KKO ning! Lu cari gara-gara apa sama dia Vaert? tanya Ali Topan. Gua bidik dia lagi miting cewenye. Set, dianye kemariin. Cabut aje buruan, njing. Tampangnye kayak kuli begitu, repot kita ngelawan die. Potongan begitu, kita yang nabok kita yang sakit, kata Bobby. Iye. Sangar tampangnye, Bob. Udah jangan cari penyakit deh. Cabut, cabut, kata Dudung. Dia bersiap mengambil langkah seribu. Uuh, lu Vaert, ngrusak acara aje. Uh! kata Ali Topan. Dengan gemas dia ketuk kepala Gevaert. Gevaert menyeringai. Tanpa banyak pernik lagi dia menyusul Dudung dan Bobby yang sudah berlari meninggalkan tempat itu, menuju tempat parkir motor mereka. Ali Topan melihat ke arah lelaki yang sedang marahmarah di samping perempuannya. Lelaki itu mengepalkan tinjunya ke arahAli Topan.Ali Topan balas mengacungkan tinjunya. Kemudian berlalu menyusul teman28

temannya, sembari ngakak! Bobby, Dudung dan Gevaert sudah nangkring di atas sadel motor masing-masing, bergerak meninggalkan tempat. Ali Topan mengambil motornya dan mendorongnya menuruni jalan. Ia menyemplak sadel motor, menghidupkan mesinnya, lalu menggeblaskan motornya ke depan, menyusul para sahabatnya. Mereka berlalu dari tempat itu. Ke mane kite? Gevaert bertanya. Ke mane pale lu! Berhubung lu yang ngrusak acara, lu kudu menghibur kite dengan bakmi baso! kata Ali Topan. Buset, setuju banget gua! kata Bobby. Bujug, gua nggak punya duit, Pan , Gevaert mengeluh. Ia menengok ke Ali Topan, lalu ke arah Dudung. Biar kali ini ogut yang traktir deh, Boss. Kesian Gevaert lagi miskin hari ini, kata Dudung. Pokoknye ini hari gua musti makan bakmi baso aja dah. Sebab, kalau tidak makan bakmi baso, perut gua bisa sakit maag , kata Ali Topan. Ia tersenyum. Lets go! Gevaert berteriak. Ia ngebut ke depan. Acarapun beralih ke jalanan. Mereka saling susul menyusul, mempertontonkan kebolehan masing-masing di atas motor. Jalanan Pasar Minggu yang baru dibetulkan oleh Bang Ali memang licin macam paha perawan kampung, asik buat ngebut. Udara segar, lalu lintas tidak begitu padat. Ali Topan dan para sahabatnya benar-benar lupa sekolah lupa rumah. Mereka, terutama Ali Topan, merasa suntuk di sekolah dan di rumah. Maka, ia mengajak teman-temannya mencari kegembiraan di luar rumah dan di luar sekolah. Apakah mereka lalu dicap sebagai anak-anak berandalan 29

yang merusak masa depan masing-masing, tak ada dalam pikiran mereka. Kira-kira Good Goly Miss Mary itu ngaduin kita ke Pak Brotpang apa kagak, Bob? teriak Ali Topan. Brotpang itu panggilan pop murid-murid untuk Pak Broto Panggabean. Acuh aja acuuuh. Kalau dia ngaduin, kita beber aja rahasia pribadinya di Ibu Kota! Dia kan beken sebagai lesbian, iya kan Vaert? kata Bobby. Tak acuh, kata Ali Topan. Iya. Mpok gua tahu itu. Temen dia pernah diajak ke hotel sama Si Mary itu, kata Gevaert. Ah, gosip aja kali, kata Ali Topan. Uuuh, ya udah kalau kagak yakin. Mpok gua sih bukan penggemar gosip, boss, kata Gevaert. Ali Topan tidak menjawab. Dia sibuk menghindari sebuah batu yang ada di tengah jalan. Sialan itu batu, menghambat pembangunan aje, gerutu Ali Topan. Pembangunan ape, Pan? tanya Bobby yang merendengi motor Ali Topan. Pembangunan Orde Baru. Gile lu, kayak Pak Harto aje, kata Bobby. Aaah, kan die masih sodara sama babe gue. Lu nggak yakin? Tanya aje sama die, kata Ali Topan. Nanyanye pegimane? tanya Bobby. Lu tanya aje. Eh, Pak Harto, kata Ali Topan, ente besodara sama babenye? Brani apa kagak lu? jelas Ali Topan. Buset, bisa dateng kagak bisa pulang gua, kata Bobby. Emang kenape? tanya Ali Topan lagi. Sik. Pengawal Pak Harto kan galak banget? 30

Lu kira Pak Harto yang mane? tanya Ali Topan. Pak Harto presiden! jawab Bobby, Yee, bukan. Pak Harto oom gue yang rumahnya di Pancoran! Bobby melengak. Lantas dia tertawa terbahak-bahak. Sial lu! katanya. Dudung dan Gevaert yang berendeng di belakang mereka mencoba ke depan. Tapi dihalang-halangi oleh Ali Topan dan Bobby yang merapatkan formasi. Hey, bagi gua jalan dong, Teriak Dudung. Ali Topan menoleh ke belakang. Lu kire kue minta dibagi-bagi? katanya. Lalu dia menancap gas motornya, diikuti Bobby, Dudung dan Gevaert mencoba menyusul. Mereka pun kebut-kebutan lagi, menuju Pasar Mayestik, Kebayoran Baru. *** Jarak Pasar Minggu ke Majestik sekitar 10,5 Km, mereka tempuh dalam waktu 8 menit, melalui Jalan Gatot Subroto, Jembatan Semanggi dan Bunderan Senayan. Mayestik atau Mestik berasal dari nama bioskop Mayestic yang terletak di Jalan Kiai Maja, di dekat Taman Puring. Kawasan situ adalah kawasan pertokoan yang pedagangnya kebanyakan orang Minang. Orang-orang Padangdemikian sebutan umum orang Jakarta untuk semua orang Minangkabau banyak pula yang menjadi penjahit, dan buka rumah makan di situ. Sedangkan para penjual buah-buahan dan daging, kebanyakan orang Betawi sebutan umum untuk waga Jakarta asli. Pasar Mayestik tidak sebesar Pasar Melawai, dan harga barang-barang disitu pun lebih murah dari pada Pasar 31

Melawai. Mereka langsung menuju ke kedai Pak Amin, penjual bakmi baso langganan mereka yang berdagang di ujung Jalan Tebah di bagian belakang Pasar Mayestik. Blok E. Kebetulan Pak Amin baru menyiapkan dagangannya. Lho, gini ari sudah nongol di sini. Apa nggak sekolah nih? tanya Pak Amin. Yang sekolah, sekolah yang ke sini, ke sini, sahut Ali Topan, udah ada yang bisa dimakan Pak Amin? tambahnya. Ada, sudah siap. Sabar sebentar, ya. Air tehnya duluan deh. Aus nih kerongkongan kite, kata Gevaert. Tuangin sendiri dah. Kayak orang baru aje, kata Pak Amin. Gevaert mengambil gelas 4 buah, lalu mengisikan air teh panas untuk minum dia dan teman-temannya. Makasih ah, kataAli Topan ketika Gevaert mengangsurkan segelas air teh kepadanya, ada bakat jadi waiter lu, tambahnya. Waiter apaan sih? tanya Dudung. Gevaert melirik ke arah Dudung. Waiter itu tukang ngelapin paha hostess di niteclub. Mau lu jadi hostess, eh waiter? kata Gevaert. Sik, waiteraja kagak ngah. Dasar orang Kuningan lu, tambahnya. Dudung cuma cengarcengir saja. Kuningan itu tempatnya orang sakti, bego, cetusnya. Ngomong-ngomong dari mana kalian? Keringatnya kok deras begitu? tanya Pak Amin. Udah deh, jangan nanya-nanya, laksanain tugas Anda saja, buruan, kata Ali Topan, kite belon makan baso nih dari kemaren, tambahnya. Pak Amin segera menyodorkan bakmi baso yang 32

disajikannya dalam mangkuk. Sambelnya ambil sendiri semaunya! Pak Amin bikin spesial dua botol hari ini, kata Pak Amin. Nah, selamat makan deh, tambahnya. Bismillahi rohmanir rohiiim, Dudung ber-Bismillah sebelum meniup-niup kuah baso dan menyeruput kuah itu dengan mulutnya. Ali Topan juga ber-Bismillah. Bobby yang Katolik dan Gevaert yang Protestan berdoa cara Kristen. Kalau semua pembeli saya seperti kalian semua, bisa bawa berkah. Laris terus dagangan saya, kata PakAmin, anak-anak jaman sekarang jarang ada yang inget Tuhan, tambahnya. Kalau anak-anak muda sih inget terus, Pak Amin. Yang suka lupa sama Tuhan itu kan orangtua-orangtua masa kini, kata Ali Topan. Ketiga temannya cuma mengangguk. Mereka asyik makan bakmi baso yang hangat dan gurih berkat garem Madura. Cepat sekali mereka makan. Gevaert usai lebih dulu. Boleh nambah, Dung? tanya Gevaert. Bikin aje dua mangkok lagi. Kita nambah setengahsetengah, kata Dudung. Lu emang remaja yang baik, Dung. Sering-sering ah begitu, kata Bobby. Dudung mangkak mendengar pujian itu. Sebagai anak daerah, dia cukup gembira bisa berteman dengan Ali Topan, Bobby dan Gevaert yang dianggapnya sangat top dan modern. Untuk kegembiraannya itu Dudung tak segan-segan mengeluarkan uang guna mentraktir teman-temannya, hampir setiap saat.Ali Topan, Bobby dan Gevaert senang saja dengan kebaikan Dudung itu. Tapi mereka juga tahu 33

diri. Kadang-kadang mereka bergantian mentraktir jika Dudung sedang tongpes karena kiriman uang dari abahnya terlambat datang. Pak Amin menyodorkan dua mangkok bakmi baso. Gevaert membagi semangkok dengan Ali Topan. Bobby membagi yang semangkok lagi dengan Dudung. Kalian ini rukunnya melebihi saudara kandung. Enak dilihatnya, kata Pak Amin. Kalau enak tambahin basonya dong, kata Ali Topan. Pak Amin tersenyum. Doo, dimintain basonya cuma senyum saja dikau, kata Ali Topan. Beliau khawatir kalau terlalu banyak menderita rugi. Ntar kagak bisa ngembaliin kredit investasi kecilnya, kata Bobby. Ali Topan, Gevaert dan Dudung menengok ke Bobby. Mereka menampakkan wajah heran. Lu tau-tauan kredit investasi kecil. Siapa yang ngajarin, Bob? tanya Ali Topan. Pemerentah kan? Pemerentah kita kan ahli dalam soal kredit. Gimana sih lu? Nggak pernah baca koran ya? Percuma dong babe gue jadi Direktur Bank kalau anaknye kagak ngah soal kredit, kata Bobby. Oh iye, gue lupa. Memang anak pinter lu, kata Ali Topan. Tampang kayak Bobby ini ada bakat jadi tukang ngelipet kredit kalau dia jadi pembesar, kata Gevaert. Pssst! Jangan omong begituan ah. Nanti ada yang dengar bisa gawat, bisik Pak Amin. Wajahnya kentara betul ngeri mendengar obrolan anak-anak yang bebas aktif itu. Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak 34

apa-apa, iya apa nggak, macks? kata Gevaert, yang penting kan bayar. Pemerentah kita kan juga suka ngutang sama IGGI, tambahnya. Apa itu IGGI. Tentara? tanya Dudung. Tentara? Bobby bertanya, dahinya dikernyitkan. Tentara Amerika kan begitu namanya. Bobby menyentuh Dudung dan mendorongnya ke belakang. Wayyo! Tentara Amerika itu GI, bukan IGGI, bego! kata Bobby. Orang dari daerah susah deh. IQ-nya jongkok terus, kata Gevaert. Lu jangan bilang begitu, Vaert. Ntar gue nggak bayarin, baru nyaho lu, gerutu si Dudung. Sik. Pakek main gertak lu. Sorry deh kalau tersinggung, kata Gevaert. Ngomong-ngomong, abis makan baso nggak enak kalau nggak disambung pakek Dji Sam Soe. Gimana caranya, Dung? Oh, beres, Boss, kata Dudung. Dia bangkit, dan pergi ke kios rokok di depan sebuah apotik. Jalannya mengesankan betul seperti orang desa yang baru panen. Orang tua Dudung petani kaya yang punya berhektarhektar Sawah di Kuningan di Jakarta dia tinggal bersama bibinya di desa Petukangan Selatan, Kebayoran Lama, sekitar empat kilometer dari Mayestik. Lu, pinter aje motong kompas, Pan, Bobby nyeletuk. Ali Topan cuma nyengir saja. Dia repot mencungkil sisa-sisa bakmi yang menyelip di antara giginya. Dudung datang bawa rokok Dji Sam Soe. Bungkusan rokok yang belum dibuka itu diberikan pada Ali Topan. Ente yang merawanin, Boss, katanya. Pak Amin menekap mulutnya mendengar ucapan 35

Dudung. Dalam batinnya dia berkata, anak jaman sekarang omongannya nggak kira-kira. Jadi berapa duit semuanya, Pak Amin? tanya Dudung. Dia ambil seribu rupiah dari dompetnya. Enem ratus saja. Pakai kembali apa nggak? kata Pak Amin. Dudung memberikan uangnya. Kalau mau berantem sama kita sih boleh nggak pakek kembali, Pak Amin, katanya. Pak Amin cuma terkekeh-kekeh. Dia memberikan uang kembalian pada Dudung. Terima kasih ah, katanya. Ali Topan, Dudung, Gevaert dan Bobby menyemplak motor masing-masing. Rokok Dji Sam Soe menyelip di bibir mereka. Tak lama kemudian, 4 sekawan itu tampak mengendarai motor mereka secara sopan. Ke mane kite? tanya Bobby. Ke mane kek, jawab Ali Topan. Ke mane kek itu berarti pergi ke mana saja tanpa tujuan yang jelas. Mereka berkeliling Kebayoran, sampai waktu biasanya pulang sekolah. Jam dua belas seperempat siang, Ali Topan dkk masih duduk-duduk di bawah pohon-pohon cemara di tepi Lapangan Bola Blok S di jalan Senopati. Mereka minum es cincau. Beberapa orang lain minum es cincau pula. Ali Topan melihat ke arah matahari. Its time to cabut, friends, katanya. Ia mengambil uang Rp 200 dari saku celananya yang ia berikan ke tukang jual es cincau yang duduk di bangku kecil di antara dua gentong kayu berisi cincau. Lalu Ali Topan dkk berjalan ke motor trail masingmasing yang diparkir di pinggir lapangan. Mereka menaiki motor masing-masing. Ali Topan menepuk bahu Gevaert di sampingnya, dan mengerjapkan matanya 36

tanpa diketahui Dudung dan Bobby. Itu kode. Kita bikin atraksi dulu, muterin lapangan, lalu kita bubaran pulang ke rumah orang tua masing-masing, kata Ali Topan. Hampir bersamaan mereka menghidupkan mesin motor masing-masing. Gas dimainkan, suara knalpot motor-motor itu nyaring memekakkan telinga. Lets go! teriak Ali Topan sambil memacu motornya ke lapangan, diikuti teman-temannya. Mereka memacu motor mengelilingi lapangan searah jarum jam dalam formasi barisan. Setelah selesai putaran pertama, mereka mengubah formasi berjajar empat. Tukang cincau dan manusia-manusia lainnya yang menonton bertepuk tangan... Usai putaran kedua Ali Topan mengangkat tangan kirinya, diikuti teman-temannya. Lalu mereka keluar lapangan diiringi tepuk tangan dan sorakan para penonton. Mereka masih bersama sampai perempatan jalan Senopati - Wijaya II. Lalu Ali Topan dan Bobby terus ke jalan Wijaya II, sedangkan Dudung dan Gevaert belok kanan ke arah CSW. Di cabang jalan dekat kompleks PTIK, Bobby belok kanan ke arah jalanTirtayasa, sedangkanAli Topan terus. Bobby mengira Ali Topan akan langsung pulang ke rumahnya di Cipete, kawasan Selatan luar Kebayoran Baru. Ternyata tidak. Ali Topan melaju ke rumah Gevaert di jalan Radio Dalam. Ada suatu rahasia yang akan diperlihatkan oleh Gevaert kepada Ali Topan. Gevaert telah menunggu di bangku bambu di bawah pohon ceri di halaman rumahnya, ketika Ali Topan datang. Rumah orang tua Gevaert kecil, bercat putih, tapi tampak bersih dan rapi. Ali Topan memarkir motornya berdampingan dengan motor Gevaert di bawah pohon ceri. Ia memetik beberapa buah ceri. 37

Nyak lu ada? tanya Ali Topan. Lagi di Cipanas sama babe gue, kata Gevaert. Lu mau nunggu di sini atau mau ngikut ke kamar gelap? lanjutnya. Gue ngikut aje..., kata Ali Topan. Suaranya tersendat. Wajahnya muram. Gevaert punya studio kecil di sudut halaman rumahnya, yang ia jadikan kamar gelap dan tempat penyimpanan hasil karyanya serta buku-buku fotografi. Ali Topan suka hasil foto Gevaert utamanya yang hitam putih. Tapi ia sendiri kurang atau belum berminat mendalaminya, walau Gevart ingin mengajarinya. Ali Topan cukup memahami teori dasarnya saja dari buku yang ia baca di studio Gevaert beberapa bulan yang lalu. Mereka sudah berada di dalam studio foto. Gevaert mengambil segulungan film hitam putih yang telah ia cuci. Lalu ia mengelar gulungan film itu dan memperhatikannya di depan lampu. Ruang studio itu berukuran tiga meter persegi yang dibagi dua dengan dinding triplek berpintu kecil. Ruang berpintu itu adalah kamar gelap tempat Gevaert mencuci dan mencetak film-filmnya. Gevaert dan Ali Topan masuk ke ruang itu. Beberapa minggu yang lalu Ali Topan pernah ikut mencetak film di ruang gelap ini. Ia tidak tahan bau larutanbromide yang dipakai untuk menimbulkan gambar atau foto. Waktu itu ia cuma bertahan beberapa menit saja, mungkin karena belum biasa. Tapi sekarang ia bertekad mengikuti proses pencetakan beberapa foto oleh Gevaert sampai selesai. Di ruang itu ada lampu kecil 5 watt berwarna hijau menyala di dinding. Sinarnya temaram. Lampu itu dihubungkan dengan sakelar yang dipaku pada sebuah 38

meja kayu yang merapat ke dinding. Di atas meja itu ada enlarger atau alat pembesar gambar dalam film berbentuk seperti kubah kecil. Di bagian atas kubah alat itu ada lampu spot untuk menyoroti film yang diletakkan oleh Gevaert pada lensa pembesar di bagian bawahnya. Di dekat alat pembesar gambar itu ada blaskom plastik barisi larutan bromide untuk menimbulkan atau mencetak gambar pada kertas foto yang diletakkan pada suatu papan putih yang diberi alat pengukur kertas. Di sebelahnya ada satu baskom lagi berisi H2O alias air untuk membilas kertas foto dari larutan bromide, dengan cara merendam dalam air itu. Gevaert bersiap mengoperasikan alat pembesar gambar. Ali Topan berdiri di sampingnya. Ia tegang jantungnya berdetak lebih kencang. Okey, kita lihat dulu gambarnya, kata Gevaert. Ia memadamkan lampu hijau, hingga ruang itu gelap gulita. Lalu ia menyalakan lampuspot yang segera menyorotkan film di bawahnya. Gambar dua orang - seorang wanita dan seorang lelaki muda - sedang berpelukan di tepi kolam renang terpeta pada bidang putih di atas meja. AliTopan menarik dan mengeluarkan udara berat lewat hidungnya. Gevaert mengatur fokus pada alat pencetak foto itu, hingga bayangan dua orang itu agak jelas. Gevaert memadamkan lampu spot. Dan segera mengambil bungkusan kertas foto berukuran kartupos dari kotak kertas di laci meja. Ia mengambil selembar kertas foto berukuran kartupos dan segera membungkus kembali lembaran-lembaran kertas foto lainnya, serta memasukannya ke laci. Gevaert menaruh keras foto pada bidang pencetakannya. Lalu ia menyalakan lampu spot sekejap, sekitar dua atau tiga detik. Dan memadamkannya kembali. Kertas 39

foto yang telah disinari tadi segera ia masukkan ke dalam baskom berisi larutan bromide. Kemudian ia mencetak lagi foto lainnya hasil potretannya. Usai proses pencetakan foto itu, Gevaert menyalakan lampu biasa untuk menerangi ruang dan membuka pintu untuk mengusir kepengapan. Sementara itu, wajah Ali Topan tegang mengawasi foto-foto ibunya sedang bercumbu dengan seorang anak muda di kolam renang, yang sedang sirendam dalam baskom berisi air. Gevaert menepuk lengan Ali Topan. Sorry, Pan... kalau hasil potretan gua itu bikin lu nggak enak ati..., kata Gevaert. Ali Topan memandangi teman baiknya itu. Terima kasih, Vaert... terima kasih..., kata Ali Topan dengan suara sangat sedih. Dua kali lu nolong gue... ngedapetin bukti tentang kebrengsekan orangtua gue. Gue nggak bakal lupain itu. Lu bener-bener sahabat gue... lanjutnya. Air bening mengalir dari sepasang mata dukanya. Gevaert ikut berlinangan airmata. Segera ia mengelap foto-foto itu dengan kain putih. Dan mengeringkan fotofoto itu dengan pengering rambut. Kemudian memberikan foto-foto itu kepada Ali Topan. Ali Topan menyelipkan foto-foto itu di sela-sela buku pelajarannya. Lalu ia pamit kepada Gevaert sambil mengusap airmatanya. Gevaert memandangi Ali Topan mendorong motornya ke tepi jalan. Setelah menghidupkan mesin motornya, Ali Topan menengok ke arah Gevaert dan melambaikan tangannya. Gevaert membalas lambaian sahabat yang ia kagumi itu. Dan airmatanya pun mengalir karena ia turut merasakan betapa perih rasa hati sahabat yang selama ini selalu membela dia bila dia mengalami kesulitan. 40

TIGA
enja bergerak. Matahari jam lima lewat beberapa detik pun bergerak. Biasan sinar kuning merah jingga mewarnai langit kelabu putih di arah Barat. Biasan warna senja itu pun mengenai sebuah rumah putih-biru di jalan Cipete di Kelurahan Cilandak. Rumah itu terletak di tanah seluas 700 meter persegi. Bentuknya bergaya Joglo menghadap ke arah Timur. Dindingnya putih, kayu-kayu kusen, pintu, dan risplangnya biru tua. Dengan paviliun dan garasi mobil di sayap kanan dan kiri rumah buatan tahun 1956 itu, total luas bangunannya 350 meter persegi. Halamannya ditanami rumput gajah. Tanaman bluntas menglilingi halaman berpagar besi yang sewarna dengan pintu rumah. Pohon-pohon palem besar berjajar di tepi jalan depan rumah yang berhadapan dengan taman kota seluas 600 meter persegi. Pohon mangga Indramayu di depan garasi sedang berbunga. Sedangkan pohon rambutan Aceh Pekat di depan paviliun belum lagi berbunga. Angin semilir membawa debu. Sebuah Fiat Sport warna tembaga masuk ke halaman rumah itu, berhenti di depan teras. Pak Amir, ayah Ali Topan turun dari mobil, berjalan menuju pintu rumahnya. Tangan kanannya membawa Samsonite, tangan kirinya menenteng jas. Dasinya yang sudah dilonggarkan sejak dari dalam mobil, melilit di lehernya. Bejunya merk Kern kotak-kota putih-kelabu muda dengan dua kancing atas dibuka memberi kesan mboys, gaya muda. Tubuhnya tinggi, 170 cm, atletis, melang41

kah tegap. Wajahnya oval, ganteng dengan kumis dan rambut dicukur rapi, memberi kesan lebih muda dari usianya yang 49 tahun. Ia seorang pemborong bangunan yang sukses. Anaknya tiga orang. Boyke, Windy, dan Ali Topan. Boyke sejak dua tahun yang lau ia sekolahkan ke Australia. Pintu rumah dibuka oleh MbokYem, pelayan keluarga yang sudah 13 tahun bekerja. Bikinkan madu telor, Mbok. Aku capek sekali, kata Pak Amir. Inggih, Ndoro, jawab Mbok Yem. Dia menutup pintu, dan bergegas lari ke dapur untuk membuatkan madu telor pesanan majikannya. PakAmir berjalan santai ke dalam kamarnya. Mbok Yem seorang janda asal Semarang yang berusia 51 tahun. Suaminya seorang penjaga pintu kereta api menceraikannya karena mau kawin lagi. Anaknya dibawa oleh suaminya. Mbok Yem kemudian merantau ke Jakarta, dan bekerja pada keluarga Amir sejak Ali Topan berumur 5 tahun. MbokYem bertubuh kurus, agak tinggi dan rambutnya selalu digelung. Wajahnya bundar, suka menginang dan menyanyi tembang-tembang Jawa lama. Ia sangat menyayangi Ali Topan yang ia asuh dengan cinta. Pak Ihin, sopir Pak Amir, memarkir mobil di bawah pohon rambutan. Sopir setengah tua yang bernama lengkap Solihin itu membuka kap mesin mobil, untuk mendinginkan udaranya. Lalu ia memasang pipa plastik dan membuka keran untuk mencuci mobil. Di dapur, Mbok Yem mengaduk madu Sumbawa dan dua butir telur ayam kampung yang sudah diberi jeruk nipis secukupnya. Ndoro Kakung sekarang sering bener minum madu 42

telor. Setiap hari dua kali. Gawat, Mbok Yem berbicara sendiri sembari menata gelas berisi madu telor dan air sirup markisa di baki. Ia tak sadar bahwa majikannya sedang berdiri menunggu di depan pintu dapur. Hm! Hm! Pak Amir berdehem, Mbok Yem terperanjat. Ngomong apa kamu, Yem. Gawat, gawat apa? tanya Pak Amir. Eh saya jadi kaget. Ini madu telornya sudah siap, Ndoro, kata Mbok Yem. Wajahnya menunduk. Mbok Yem membawa jamu itu ke ruang tengah. Majikannya membuntuti dari belakang. Begitu gelas jamu itu ditaruh di meja, langsung Pak Amir meminumnya cepat-cepat. Kemudian ia mencuci mulutnya dengan es sirup markisa. Ia duduk bersantai di kursi ruang tengah untuk memberi kesempatan madu telor masuk ke dalam perutnya. Suara motor yang bising membuatnya tersentak. Ali Topan datang. Ia memarkir motornya di dekat sopir yang sedang mencuci mobil ayahnya. Selamat sore, Den, sapa Pak Ihin. Eh, papa mau ngayab ke mana lagi malam ini Bang Ihin? tanya Ali Topan. Saya tidak tahu, Den. Mau main perempuan lagi ya. Dapet komisi berapa kamu? kata Ali Topan sambil berjalan masuk ke rumah. Pak sopir mengernyitkan dahi, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ucapan Ali Topan rupa-ruoanya menancap di hatinya. Masuk ke ruang tengah, Ali Topan melihat ayahnya sedang duduk santai, mengisap cerutu.Tanpa mengucapkan salam, tanpa menggubris ayahnya, Ali Topan nyelonong masuk kamarnya di bagian belakang ruang itu. Wajahnya kusut. Ali! bentakan ayahnya membuat Ali Topan berhenti. 43

Ia tak menjawab. Diam saja di tempatnya. Seperti patung. Ali! Ke sini kamu! kata ayahnya. Pak Amir menengok ke arah anaknya. Ali Topan tepat membalikkan badannya. Kedua ayah dan anak itu bertatapan. Sinar mata AliTopan yang tajam menatap mata ayahnya seperti orang asing. Ada apa, Papa? kata AliTopan. Ia melangkah mendekati tempat duduk ayahnya. Duduk situ, papa mau tanya sesuatu! kata Pak Amir. Ali Topan duduk di depan ayahnya. Tanya apa? katanya. Dari mana saja kamu? Gini hari baru pulang. Biasa-biasa saja, Pa. Biasa-biasa saja bagaimana? Kamu ini kalau ditanya orangtua, selalu menjawab seenaknya saja. Biasa-biasa, jawaban macam apa itu! Sembarangan! AliTopan melihat ke arah ayahnya. Dengan gaya santai dia mengangkat kakinya dan mencabut sebatang rokok dari tempat khas itu. Ia nyalakan rokok dengan korek api Ronson milik ayahnya yang tergeletak di meja. Gaya kamu itu lho yang bikin orang nggak tahan! Tahu apa tidak kamu? Gaya kamu itu macemnya koboi tengik. Sama sekali tidak ada respeknya sama orangtua. Ada orangtua duduk, dilewati saja tanpa bilang numpang liwat kek atau permisi kek atau kentut pun tidak. Nyelonong saja.Apa kamu menganut modeSlonong Boys ya? kata Pak Amir. Kesal betul dia. Abis kalau nggak ada perlunya bilang apa-apa, mau bilang apa? Saya bosen basa-basi. Soalnya Terbayang olehnya foto-foto mamanya di kolam renang. Soalnya kenapa? Soalnya kamu saja yang tidak tahu aturan.Apa di sekolahmu memang tidak diajar etiket dan 44

sopan santun! Udah, udah deh, nggak usah bawa-bawa sekolah, etiket atau sopan santun segala. Percuma belajar sopan santun kalau yang mengajari juga tidak mau memakai sopan santun itu, kata Ali Topan. Dia hendak bangkit, tapi ayahnya menyuruh tetap duduk. Geram betul Pak Amir mendengar omongan anaknya yang dianggap asal bunyi itu. Ia tak tahu rasa hati anaknya. Dari mana kamu? kata Pak Amir. Nadanya melunak. Biasa. Kamu nggak punya persediaan kata-kata lain kecuali biasa-biasa itu, he? Gayamu itu lho, bikin orangtua pusing. Ali Topan diam saja. Dia menikmati rokoknya dengan gaya orangtua. Matanya mengawasi asap rokok yang dibuatnya bundar-bundar. Jadi kebiasaan sekolah sekarang ini berangkat pagi pulangnya malam, begitu? kata ayahnya. Iya. Seperti orang kantoran, kata Ali Topan. Orang kantoran bagaimana? Banyak teman saya bilang, bapak mereka kalau berangkat pagi, pulang ke rumah pagi lagi. Kadangkadang nginep di motel sama cabo! Alis Pak Amir terangkat tiba-tiba. Kau nyindir aku, heh? katanya. Matanya melotot. Wajahnya merah seperti tembaga. Dia merasa tersindir betul. Ali Topan menatap mata ayahnya dengan hati mantap. Kemudian ia berdiri dan berjalan meninggalkan sang ayah yang tiba-tiba berlagak seperti orang pilon. Ali Topan masuk ke kamarnya. Ayahnya berjalan ke kamar mandi. Mbok Yem melihat dari celah pintu dapur. Di dalam kamar, Ali Topan menekan tombol lampu di dekat pintu. Plap! Lampu menyala, kamar jadi terang 45

benderang. Ali Topan tegak menatap ruang pribadinya itu. Matanya redup memendam keperihan. Tapi mata itu tiba-tiba menyala ketika memandang sebuah poster besar yang terpampang di dinding, di atas tempat tidurnya. A house is not a home, demikian kalimat di poster itu. Ali Topan membeli poster itu dari sebuah toko di Blok M. Poster itu ia beli dengan uangnya sendiri, sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri. Barangkali lucu, tapi begitulah halnya. Poster itu berukuran 70x90 cm, bergambar sarang laba-laba di atas dasar hitam. Tulisannya kelabu muda. Sebuah radio merk Phillips terletak di meja kecil di dekat tempat tidurnya. Radio itu juga merupakan teman sekamar Ali Topan, sebagai penghibur hati. Pemancar radio yang disukainya adalah Bonaparte-52 dan Juliet & Romeo (J&R). Bonaparte yang terletak di Jalan Leuser disukainya karena selalu memutarkan musik pop dari The Beatles dan Koes Bersaudara yang dikaguminya. Ia memang penggemar fanatik The Beatles. Sedangkan J&R yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, disukainya karena studio itu pintar memilih musik yang cocok dengan suasana untuk mengiringi pembacaan syair lagulagu folk, balada dan country tahun 60-an, 70-an dan lagu-lagu pop. Lagipula para penyiarnya tidak norak dalam membawakan acara. Ali Topan bahkan menganggap Bonaparte dan J&R seakan-akan didirikan memang untuk menghibur dirinya. Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Bukubuku. Segala macam buku. Ada buku politik Sang Pangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa buku karya Bung Karno serta kumpulan pidato presiden perta46

ma Republik Indonesia itu. Ada buku sejarah, terutama sejarah pergerakan kebangsaan dan sejarah Indonesia lama, juga buku-buku biografi. Ada buku novel pop. Komik Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Buku kumpulan syair Bob Dylan dan berjilid-jilid buku serial silat Cina. Dan di antara buku-buku itu terkadang ada buku stensilan yang kalau ditinjau dari segi pornografi, cukup mengasyikkan! Ali Topan menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia berjalan ke radio. Dihidupkannya radio itu, dan diputarnya gelombang J&R. Penyiar Johnny dan operator Ikhsan sedang repot menghibur teman-teman di rumah yang sedang belajar atau ngelamun. Semoga musik yang kami putarkan dari studio dapat melenyapkan lamunan buruk dan mendatangkan impian indah serta rejeki di malam ini. He he he, demikian suara penyiar J&R. Suara ketawa he he he itu disambung dengan musik manis dari The Hollies, Too Young Too Be Married. Ali Topan merebahkan dirinya ke tempat tidur. Matanya terpejam. Ia menikmati suasana sendiri. Sendiri. Tiba-tiba ia melompat bangun dan duduk di lantai beralas tikar pandan. Ia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya dan mengambil foto-foto yang dicetak Gevaert tadi. Foto Nyonya Amir dan seorang anak muda yang sedang berpelukan, tertawa-tawa dan bermesraan di kolam renang. Ia gelar foto-foto itu di atas tikar pandan, dan ia pandangi dengan cermat untuk memastikan apakah wanita berpakaian renang hitam polkadot puth itu benarbenar mamanya. Sesungguhnya, fakta itu telah pasti. Matanya pun tak sangsi. Namun ada suatu keinginan dalam hatinya, bahwa wanita dalam foto itu bukan mamanya. 47

Ali Topan sedih sekai menghadapi kenyataan yang bahkan dalam mimpi pun tak pernah diharapkan terjadi oleh seorang anak yang mendabakan ibunya seorang wanita utama. Bukan seorang tante girang jalang yang terkenal di kawasan Kebayoran. Sudah cukup lama sekitar delapan bulan omongan jelek tentang mamanya yang suka main dengan anakanak muda itu ia dengar dari teman-temannya penyiarpenyiar radio di Kebayoran. Ia pernah menyampaikan gosip itu ke mamanya. Apa kata si mama? Kamu nggak usah ikut campur urusan orangtua, begitu kata mamanya. Omongan begitu kok didengar. Mana buktinya ? lanjut mamanya. Tapi hari ini Ali Topan memegang bukti itu yaitu fotofoto hasil potretan Gevaert. Ternyata Gevaert telah cukup lama menyimpan filmnya. Tapi baru tadi malam ia memberi tahu Ali Topan lewat telepon. Tadinya gue mau bakar film itu, Pan. Karena gue pikir lu bisa marah ke gue dan persahabatan kita putus. Tapi... gue mikir lagi, lu pernah tulis di buku gue bahwa kita nggak boleh lari dari kenyataan. Dont run away from reality, begitu kata Gevaert lewat telepon. Kalau lu bakar itu film, lu bukan kawan gue, Vaert, kata Ali Topan. Besok kita cetak itu foto. Tapi Bobby ama Dudung nggak perlu tau. Lewat telepon itu Gevaert bercerita lagi bahwa sebulan yang lalu ketika ia disetrap tiga hari gara-gara tertangkap bawa buku porno ke sekolah, ia tiap hari berenang di kolam renang Senayan. Surat dari wali kelas untuk orangtuanya ia bakar. Dan ia menulis sendiri surat permintaan maaf dengan mesin tik dan memalsu tanda-tangan ayahnya. Pada hari kedua gue ke kolam renang itu, sekitar jam 48

sepuluh, gue liat mama lu sama cowok. Diem-diem gue ambil tustel gue, terus gue potret mereka pake lensa tele.., cerita Gevaert tentang bagaimana ia secara kebetulan memotret Nyonya Amir dan cowoknya. Dua kali ia mendapatkan bukti. Yang pertama, sekitar empat bulan yang lalu pada saat liburan sekolah. Gevaert mengajak dia, Dudung dan Bobby menginap di villanya di Cipanas. Malam harinya mereka membayar seorang penjaga villa sewaan untuk mengintip pasangan yang sedang ngesex itu Pak Amir, papanya sendiri bersama seorang pelacur... Ali Topan mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia hafal itu ketukan mbok Yem. Ia sedang bersedih, ingin menyendiri. Tapi akhirnya ia bangun juga dan membuka pintu. Mbok Yem berdiri membawa baki berisi air jeruk dingin. Pak Amir keluar dari kamar mandi, berjalan masuk ke kamarnya. Mbok Yem mengangkat gelas bekas madu telor dari meja. Dibawanya gelas kotor itu ke dapur, melewati kamar Ali Topan. Di depan kamar Ali Topan, Mbok Yem berhenti sebentar dan melongok ke pintu yang tertutup itu. Kemudian Mbok Yem berjalan terus ke dapur. Ali Topan menelungkup di tempat tidur. Lalu menelentang lagi. Pada posisi begitu ia mengambil sebatang rokok dari kaus kakinya. Dinyalakannya rokok itu, kemudian ia isap. Musik The Hollies memang asyik dinikmati sembari merokok, begitu kata hati Ali Topan. Ia melamun. Dikepulkannya asap rokok menjadi bulatan. Begitu terus-menerus, sampai asap memenuhi kamarnya. Dan ia terbatuk-batuk oleh rokok itu. Waduh, waduh!Asep rokoknya kayak asep sepur saja, Den Bagus. Jadi sumpek dong, kamarnya. Itu kan, udah mulai batuk-batuk, kata Mbok Yem. 49

Ali Topan mengangkat kedua kakinya ke atas, kemudian dengan gaya akrobatik ia melenturkan kaki itu ke kasur. Dengan cara itu ia duduk di tempat tidurnya. Ia menyemburkan asap rokok ke arah Mbok Yem. Owalaah! Kok MbokYem malah disembur sama asep rokok. Sudah, brenti ngrokoknya, Den Baguuus! Nggak baik, masih sekolah sudah banyak ngrokok. Ini, minum air jeruk saja biar seger buger, kata MbokYem. Ia memberikan gelas pada Ali Topan. Terima kasih, Mbok, kata Ali Topan, lalu diminumnya air jeruk itu sampai habis! Mbok Yem geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan anak asuh yang dia sayangi itu. Ali Topan, selesai minum, mengangsurkan gelas pada Mbok Yem. MbokYem mengambil gelas itu dan menaruhnya di dekat radio. Kemudian perempuan tua itu duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mengelus rambut dan dahi Ali Topan dengan penuh kasih sayang. Kok anget, Den Bagus. Sakit ya? Implensa? kata Mbok Yem. Ali Topan memegangi tangan Mbok Yem. Eh. Mbok. Kalau manggil aku nggak usah raden bagus raden bagusan, kenapa siiih? Kayak panggilan ketoprak aja. Nggak betah kupingku dengernya! kata Ali Topan. Lho, habis mau panggil apa? Apa mau panggil Den Ayu? Den Ayu itu panggilan buat perempuan, Den Bagus. Masa gitu dibilang kayak ketoprak. Yang bener aja dooong, kata Mbok Yem. Panggil saja mack gitu, atau jack juga boleh. Mek? Jek? Apa itu? Aah, bodo lu Mbok, ah. Eit, sorry, bukan bodoh, tapi belum paham cara panggil orang modern, kata Ali Topan. Ia menyeringai. Biarin dibilang bodo. Memang Mbok Yem bodo, 50

Mbok Yem nggak sekolah, biariiin. Kalau Mbok Yem pinter kan nggak jadi babu, Den Baguuuus, kata Mbok Yem. Ucapannya bernada pasrah, dan itu sama sekali bebas dari rasa tersinggung atau rasa lain yang sejenis itu. Ali Topan mencium punggung tangan Mbok Yem. Mbok Yem ternganga. Lalu senyum arif. Ia tahu bahwa majikan mudanya itu juga sayang padanya. Majikan mudanya itu, walaupun omongannya suka sembrono, tapi hatinya baik dan peka. Ia sayang majikan mudanya, seperti sayangnya pada anaknya sendiri yang kini ikut suaminya setelah mereka bercerai. Mbok, tolong bukain jendela dooong, pinta Ali Topan. Segera Mbok Yem melaksanakan order itu. Ia buka jendela dan mengipas udara kamar dengan serbet yang selalu tersampir di pundaknya. Jangan keliwat banyak ngrokok, Den Bagus. Nanti sakit. Kalau sakit kan Mbok yang repot, kata Mbok Yem. Ali Topan memandang Mbok Yem. Ia tersentuh oleh ucapan perempuan itu. Tanpa bicara, Ali Topan mematikan rokok di asbak dekat radio. Mbok Yem tersenyum padanya. Ali Topan pun tersenyum pada Mbok Yem. Kalau bukan Mbok Yem siapa lagi yang mau repot? Apa MbokYem nggak mau direpotin? Kalau nggak mau direpotin, bilang dong dari kemaren, kata Ali Topan dengan nada mengajuk. Bukan gituuu, Den Bagus. Kalau den bagus sakit, Mbok kan sediiih. Mbok sih mau saja direpotin. Kan Mbok sudah pasrah nglakoni hidup ini sebagai abdi disini. Abdi kan memang kerja buat repot-repot Den Bagus, kata Mbok Yem. Tiba-tiba ia tertegun melihat ke foto-foto di atas tikar. Mbok Yem membungkuk mengamati foto-foto nyonya 51

Amir dan seorang anak muda di kolam renang. Mbok Yem melihat ke Ali Topan. Ali Topan melihat ke Mbok Yem. Ini Ndoro Putri ? tanya mbok Yem, pahit. Ya, mamaku, Mbok..., kata Ali Topan. Siapa anak muda itu? tanya MbokYem sambil berdiri lagi. Mata Ali Topan menatap tajam ke arah Mbok-nya. Lalu, segera ia memutar gelombang radio, untuk mengusir berbagai rasa dari hatinya. Ia menghentikan putarannya setelah musik popThe Beatles menggema di ruang itu. Gelombang radio Bonaparte-52! Akhir lagu Mister Postman dilanjutkan dengan lagu Strawberry Fields Forever dari The Beatles. Ketika lagu itu memasuki refrainnya, Ali Topan membesarkan volume suara radio itu, hingga musik dan vokal John Lennon dkk menggema keras di ruang kamarnya. Living is easy with eyes closed misunderstanding all you see its getting hard to be someone but its all works out it doesnt matter much to me... Mbok Yem buru-buru keluar dari kamar, karena mendengar suara pintu dihempaskan dari arah kamar Pak Amir. Pak Amir memang menghempaskan pintu lemari setelah ia mengeluarkan setelan jas sport-nya. Hobi PakAmir memang begitu, suka menghempas-hempaskan pintu, seakan-akan ia dilanda kemarahan yang sangat besar. Padahal itu cuma kamuflase. Hatinya sebenarnya tertawa geli setelah menghempaskan pintu itu. Di masa mudanya ia pemain teater, jadi pintar akting. Ia berdandan secara kilat. Mengenakan sport-jas kotakkotak coklat tua dengan pantalon krem. Dia memakai 52

sepatu Bally yang harganya Rp 44.000, kemudian menyemprotkan parfum ke sapu tangan, lengan jasnya dan di bagian bawah pantalonnya. Kemudian ia bercermin sebentar, menyisir rambutnya dan membetulkan letak kacamatanya. Lalu ia membuka tas Samsonitedan mengambil segumpal uang kertas dari dalam tas itu, kemudian memasukkan uang itu ke saku celananya. Lalu ia keluar dari kamarnya. Tepat pada saat ia hendak menutup pintu kamar, Mbok Yem sedang berjalan dari kamar mandi. Pak Amir menampakkan wajah serius, diangker-angkerkan supaya kelihatan berwibawa betul. Mbok, saya mau rapat. Ng anak monyet yang satu itu jangan boleh ngayab lagi. Suruh belajar gitu! Kalau ibu tanya, bilang saya rapat, gitu. Dengar, Mbok? kata Pak Amir. Saya, Tuan! jawab Mbok Yem sambil membungkukkan badannya dalam gaya orang Jawa jaman penjajahan. Pak Amir menutup pintu kamarnya, lalu berjalan keluar. Kemudian ia menghampiri mobilnya yang sudah siap di depan pintu. Pak Ihin membukakan pintu mobil dan Pak Amir masuk ke dalamnya. Mbok Yem mengunci pintu. Lalu berjalan masuk ke dalam tanpa melihat ke arah mobil yang bergerak meninggalkan halaman rumah. Suasana malam biasa-biasa saja. Warna langit biasabiasa saja. Tapi memang udara agak dingin di luar. *** Boutiqe Srigala yang terletak di Jalan Sunan Kalijaga merupakan salah satu boutiqe eksklusif di daerah Kebayoran. Jalan Sunan Kalijaga memang tidak seramai Jalan Melawai Raya yang lebih dekat dengan pusat 53

pertokoan Blok M, tetapi jalan itu memberi kesan tersendiri yang justru lebih memantaskan Srigala sebagai alamat orang-orang kaya Kebayoran, Menteng maupun Tebet, memperoleh pakaian siap pakai dari berbagai merk terkenal. Srigala khusus butik lelaki. Lepas waktu Isya, sebuah mobil Holden Premier warna hitam pekat berhenti di depan butik. Seorang nyonya berumur sekitar 43-an keluar mobil digandeng seorang pemuda umur 27-an yang tadi menyetir mobil itu. Mereka berjalan memasuki butik, bergandengan mesra sekali. Punggungnya nggak dingin? tanya si pemuda sambil mengusap punggung si nyonya yang terbuka karena ia memakai gaun backless. Dingin? Masa ada jij masih dingin? kata si nyonya. Keduanya tersenyum seperti sepasang pengantin remaja saja. Seorang nona penjaga butik menyambut mereka dengan sopan santun komersilnya. Daag Tante, selamet malem Sampe kangen deh, sudah lama nggak kemari baju baru Kern dan Cavallo sudah hampir habis diborong orang, tapi masih saya sisain buat mm buat siapa siih? Kata penjaga butik. Senyumnya legit ke arah pemuda yang berlagak pilon. Eh, Zus Lenda, apa belum kenal? Ini ponakan Ik yang baru, paling baru. Tommy, kenalan sama Zus Lenda, kata si nyonya. Tommy dan Zus Lenda bersalaman. Keduanya senyum-senyum. Si nyonya tampak bangga ketika melihat sinar mata naksir Zus Lenda pada Tommy. Ganteng, ya Zus? kata si nyonya. Wah, ganteng sekali. Paling ganteng dari semua ponakan tante yang dulu-dulu. Ini sih barang eksklusif, he he he, kata Zus Lenda, ini ponakan yang dari Jerman 54

atau dari London, Tante Amir? tambahnya. Dari Tebet saja, jawab si nyonya yang ternyata bernama Nyonya Amir itu. Ia memang istri Pak Amir, jadi ibu Ali Topan status formilnya. Pemuda Tommy itu bukan ponakan dalam arti sebenarnya, melainkan ponakan dalam arti semu yang biasa dipakai di kalangan tante-tante girang. Ponakan itu artinya kekasih gelap. Memang Nyonya Amir itu seorang tante girang yang beken di Kebayoran. Hal itu termasuk masalah yang membuat Ali Topan kesal, malu dan selalu menderita batin. Ayo, young! Katanya pingin baju Cavallo merah, minta aja sama Zus Lenda, kata Ny Amir, Zus, tolong deh pilihkan warna merah, dan yang biru itu sekalian, tambahnya. Ukuran berapa? tanya Zus Lenda. M , sahut Tommy. Tampak ia malu-malu kucing. Segera Zus Lenda mengambil baju-baju Cavallo warna merah dan biru dari lemari butik, lalu dihamparkannya di depan Tommy. Mau coba dulu? katanya. Sudahlah, sudah cocok itu , kata Nyonya Amir, bungkus saja langsung, tambahnya. Zus Lenda langsung memasukkan baju-baju itu ke dalam tas plastik ber-merk Srigala. Nyonya Amir mengambil 7 lembar Rp 5.000-an, disodorkannya pada Zus Lenda. Cukup, Zus? katanya. Kurang seribu, Tante tapi biar deh, korting seribu. Trims deh. Oke, saya langsung saja, ada acara lain, Zus Len, kata Nyonya Amir. Silakan. Trima kasih Tante. Trima kasih Tommy, kata Zus Lenda. Ia mengantarkan tamunya sampai pintu. Senyumnya segera berubah setelah mobil Holden yang membawa Nyonya Amir dan Tommy pergi. Senyum ko55

mersil yang cerah berubah jadi senyum iri hati yang sedih. Zus Lenda seorang perawan menjelang senja. Mobil Holden Premier itu meluncur di jalanan. Tommy menyetir mobil dengan wajah cerah. Nyonya Amir tersenyum memandanginya. Puas, young? Cavallo merahnya? tanya Nyonya Amir. Oooouw, puas sekali, Tante Tapi mahal amat ya? Rasanya sayang amat duit segitu banyak cuma dapet dua baju saja, kata Tommy. Omongannya itu bermakna basa-basi, berkait di ujungnya. Aah, buat Tommy tak ada rasa sayang tante keluarkan uang. Yang pentingTommy puas, senang, tante juga puas, senang. Kan gitu, Tom? Ha ha .. Terima kasih, Tante .. Oow, kembali kasih, young tapi nyetirnya jangan terlalu pelan dong, tante kan sudah capek, ingin dipijet sama Tommy hm... hem, kata Ny Amir. Ia mencubit paha Tommy. Tommyo menangkap tangannya dan mengusap tangan itu. Nyonya Amir kembali mencubit paha Tommy. Dan bukan cuma mencubit paha saja. Tangan itu menjadi liar dan aktif ke sana ke mari. Ke Garden, Tante? Langsung? kata Tommy. Langsung, young Tommy menancap gas. Mobil melaju ke arah Tebet. Di situ ada penginapan Garden, tempat orang-orang memadu cinta gelap. *** Di rumah, kesepian menggerayangi hati Ali Topan. Suasana sepi seperti itu begitu sering melingkupinya. Rumah kosong, ayah dan ibunya pergi mencari kesibukan masing-masing. Boyke, abangnya sudah jauh. Di Sidney Australia. Ka56

barnya belajar di sekolah bisnis. Ia dua kali mengirim kartupos bergambar kanguru ke Ali Topan. Isinya itu ke itu saja: tentang cuaca di Sidney, dan nasihat agar Ali Topan jangan bandel-bandel, harus rajin sekolah, jangan suka membantah papa dan mama dan jangan suka bertengkar dengan Windy. AliTopan membalas menasehati Boyke lewat kartupos bergambar monyet: Kalau belajar bisnis ngapain lu jauhjauh ke Australia ? Buang-buang duit. Lu belajar aje sama Cina-cina di sini. Atau lu belajar nyogok pejabat sama papa. Boyke marah sekali dikirimi kartupos bergambar monyet dan nasihat itu. Ia mengirim balasan kartupos bergambar anjing dengan kalimat: Kurang ajar lu! Awas kalau gue pulang, gue hajar! Wajah Boyke yang klimis tapi mesum terbayang di benak Ali Topan. Usianya 4 tahun di atas Ali Topan. Kelakuannya konyol karena terlalu dimanjakan oleh papa dan mamanya. Ali Topan tak pernah merasa dekat dengan dia, dan tak pernah respek. Abangnya itu seorang pesolek dan gemar foya-foya seperti papanya. Hatinya hati pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggung jawab ! Boyke dikirim ke Australia oleh papanya sebetulnya untuk menutupi suatu skandal. Ia menghamili Sinah, pembantu keluarga mereka asal Karto Suro yang beusia 18 tahun. Sinah disuruh menggugurkan janinnya yang telah berusia dua bulan oleh Pak Amir. Dan diberi uang Rp 75.000 untuk biaya pengguguran itu. Besok kamu biar diantar pak sopir ke dokter kenalanku. Sesudah selesai, kamu akan saya beri uang lagi, kata Pak Amir seperti yang diungkapkan Sinah ketika Ali Topan mengetahui kasus 57

itu pada malam harinya. Ali Topan semula memang tak tahu ada kasus Sinah hamil disebabkan aktivitas seksual Boyke. Mbok Yem dan Pak Ihin yang tahu kasus itu disuruh tutup mulut oleh Pak Amir dan nyonya Amir. Ali Topan tahu ketika malam itu ia menyuruh MbokYem menanyakan kaos oblongnya yang bergambar lambang peace ke Sinah. Sinah sudah dua hari ini ndak nyuci pakaian, Den Bagus. Dia sakit, kata Mbok Yem. Suruh ke dokter, dong..., kata Ali Topan polos. Akan ke dokternya mbesok, kata Mbok Yem. Ali Topan heran.Kok besok? Kenapa nggak tadi sore? Atau malam ini? Emangnnya Sinah sakit apa, Mbok? Ndak tahu sakit apa, kata Mbok Yem lantas cepatcepat pergi ke dapur. Ia takut membongkar rahasia itu. Ali Topan penasaran. Ia ke kamar Sinah, maksudnya akan bertanya Sinah sakit apa. Ali Topan kaget ketika dengan polosnya disertai airmata bercucuran Sinah mengungkapkan kasus itu. Lu dosa kalo gugurin anak lu! Jangan mau! Bisa sial lu seumur hidup! Dan kalo lu mati dimasukin ke neraka, kataAli Topan kepada Sinah. Daripada begitu, lu pulang aje ke desa lu dan lu lahirin anak lu di sono. Omongan orangtua gue yang kagak bener jangan lu turutin, Sinah... Ternyata omongan Ali Topan itu masuk ke hati Sinah. Malam hari itu juga Sinah pergi secara diam-diam dari rumah majikannya. Mbok Yem pun tak tahu. Sampai sekarang. Esok harinya Pak Amir, nyonya Amir, Boyke dan Windy sibuk mencari-cari Sinah. Pak Amir menyuruh sopir naik kereta api ke desa Sinah. Tapi Sinah tak ada di rumah orangtuanya. Sinah seperti hilang ditelan bumi. Beberapa geng dukun yang dibilang sebaga orang 58

pinter dimintai bantuan oleh nyonya Amir untuk menemukan Sinah. Macet! Hingga, sebulan kemudian, setelah Pak Amir, nyonya Amir dan Boyke putus asa, Boyke dikirim ke Australia dengan alasan sekolah bisnis. Ali Topan berlagak bodo seperti anak yang nggak tau persoalan. Karena ia merasa dirinya pun dianggap nggak ada sebagai anggota keluarga yang mestinya diberi tahu urusan apa pun yang menyangkut keluarga. Pernah, malam sebelum keberangkatan Boyke, Windy datang ke kamar Ali Topan. Waktu itu jam sembilan malam, Ali Topan sedang belajar. Windy adalah seorang yang keras kepala, berfikiran negatif, congkak, kalau ngomong selalu dengan nada tinggi dengan kecenderungan mencela atau memvonis.Kecuali kalau dia sedang ingin berbasa-basi. Pan! Sinah ke mana sih? Nggak ngomong-ngomong tau-tau ngabur aje dari rumah ini! Gue rasa dia itu kepelet sama orang terus diajak kawin! kata Windy malam itu. Ali Topan selalu muak kalau mendengar nada dan gaya bicara kakak perempuannya yang nggak enak di kuping nggak enak di hati itu. Lu nanya apa nanya? kata Ali Topan tanpa melihat ke Windy. Heh! Gue nanya! Dan lu brenti dulu belajar kalo gue ajak ngomong! Payah lu! hardik Windy. Ia berkacak pinggang sambil merokok di ambang pintu. Ali Topan diam, berusaha menahan rasa muaknya. Heh! Denger kagak sih lu? Kayak ngomong sama tembok aja gue... kata Windy. Gue kan kakak lu! Ali Topan menaruh bukunya. Ia menatap Windy. Kalau lu kakak gue, terus lu boleh ngebentak-bentak gue? Sarap lu! kataAli Topan.Windy membelalak.Eh! Eh! Ngatain gue sarap! Berani lu ya? kata Windy. Emang lu sarap.., kata Ali Topan Lalu ia memencet 59

tombol on pada tape recordernya dan volumenya disetel pol. Lagu Tomorrow Tomorrow dari The Bee Gees yang sudah separuh putaran menggelegar di kamar itu. Windy bergegas meninggalkan kamar si bungsu sambil mengumpat-umoat. Esok malamnya, ketika ikut mengantar Boyke ke bandar udara, Ali Topan memperhatikan betapa Ruby, pacar Boyke menangis tersedu-sedu di pelukan Boyke disaksikan oleh tante Hernadi mama si Ruby dan temanteman mereka.Windy dan nyonya Amir menghibur Ruby dengan kata-kata indah. Boyke nggak lama kok..., kata Windy. Ini kan demi masa depan kalian juga, kata nyonya Amir. Boyke pasti akan selalu setia kepada Ruby, lanjutnya. Dan sebagainya yang bikin Ali Topan geli. Sementara Pak Amir berdiri dengan gaya sok hebat bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Sementara matanya jelalatan ke mana-mana. Aah, gentong nasi - gentong nasi, ngelebih-lebihin pemain ketoprak lu pade, gumamAli Topan yang berdiri bersama Mbok Yem di luar kerumunan mereka. Ngomong apa? tanya mbok Yem waktu itu. Di sini nggak ada yang jual ketoprak, Mbok, kata Ali Topan yang tersadar ia ngomong sendirian. Hus ! Nanti malem saja mbok bikinkan.Aneh, orangorang sedih mengantar mas Boyke, kamu malah pingin ketoprak, kata mbok Yem. Kencurnya banyakin entar ya, Mbok... Ya udah, nanti! kata Mbok Yem sambil mencubit lengan Ali Topan. Biar berasa ancur-ancurannye.., kata Ali Topan sambil menggandeng lengan Mbok Yemnya. Potongan-potomgan peristiwa masa lalu itu berkilasan 60

dalam memori Ali Topan. Peristiwa yang menjadi bagian dari tragedi kehancuran moral keluarganya. Dan tragedi itu masih berlangsung. Ali Topan berjalan hilir mudik di ruang tengah, ruang depan, lalu kembali ke kamarnya. Radio masih menggemakan musik The Beatles dari studio Bonaparte. Lagunya Mother Natures Son... Born a poor young country boy Mother Natures Son All day long Im sitting singing songs For everyone Den Bagus, nggak mandi? Sudah malem. Mbok sudah sediakan air panas tuh. Mesin pemanas air di kamar mandi lagi rusak, suara Mbok Yem halus menyapa Ali Topan dari pintu. Ali Topan berbalik menghadap Mbok Yem. Heh, kaget gua! katanya. Gua nggak mau mandi pake aer panas, Mbok, tambahnya. Lho kok nggak mau kenapa? Bandel, badannya anget disuruh mandi pakai air anget nggak mau. Kalau begitu raup saja. Apa itu raup? Raup itu cebok, ya Mbok? kata Ali Topan. Dia tersenyum geli ke arah Mbok Yem dan si mbok melotot. Ooo, raup saja nggak tau. Raup itu cuci muka! Bahasa apa itu raup? Lho, bahasa Jowo to? Oow, bohoso Jowo? Guo soh orong Njokorto, Mbok? Bukon orong Njowo ho ho ho, kata Ali Topan. Dia terpingkal-pingkal. Mbok Yem ikut ketawa. Dia suka kalau melihat Den Bagusnya ketawa macam itu. Pokoknya asal Den Bagus61

nya tidak kelihatan bersedih hati dan muram, MbokYem sudah senang. Raup apa mandi air anget? kata Mbok Yem. Kalau mandi air anget keseringan bisa impoten, Mbok! Tau impoten apa nggak? Mboten, kata Mbok Yem, ayo deh, mandi saja sana, tambahnya. Mbok Yem meninggalkan Ali Topan. Mother Natures Son dari The Beatles usai. Ali Topan mencopot pakaiannya, lalu pergi mandi. Mbok Yem masuk ke kamar, membereskan kamar itu. Usai Mothers Nature Son, terdengar suara penyiar cowok radio Bonaparte yang vokalnya cempreng. Buat Ali Topan di mana saja berada, kami akan putarkan lagu kesenangannya, The Fool On The Hill. Atas permintaan Maya dengan ucapan: Eh kamu kemana aja sih kok nggak ada beritanya. Aku kangen loh... Aduh duh duuh yang kangen... kesian amat... Kalau memang yang namanya Ali Topan itu nggak ada kabarkabarnya, nggak usah dikangen-kangenin... Entar kegeeran dienya... Putusin aje... Kayak layangan... Di studio Bonaparte banyak stok kok... he he he... Terutama yang sedang ngablak nih... Aku baru pat-ar loh... he he he... Okey Maya.. dan Ali Topan dan para monitor Bonaparte di Kebayoran Baru dan sekitarnya, selamat mendengarkan dan salam kompak dari apung-apung alias anak pungut Napoleon Bonaparte. Penyiar itu mengoceh panjang tanpa putus. Lalu terdengarlah nada-nada piano intro lagu yang menakjubkan itu, disusul vokal Paul McCartney yang kebocah-bocahan. Day after day, alone on a hill The man with the foolish grin is keeping perfectly still 62

But nobody wants to know him they can see that hes just a fool and never gives an answer But the fool on the hiil sees the sus going down and the eyes in his head see the world spinning round... Well on the way, head in a cloud The man of the thousand voices is talking perfectly loud... But nobody ever hear him or the sound he appears to make And he never seems to notice But the fool om the hill sees the sun going down and the eyes in his head see the world spinning round... Lagu opo iki ! Mbok nggak ngerti..., gerutu mbok Yem ditengah interlude lagu yang tiupan flute-nya filosofis banget. Dari kamar mandi di samping kamar itu terdengar suara lantang Ali Topan menjerit menyanyikan bait akhir syair lagu yang menyindir orang-orang dungu yang mengolokolok seorang bijak yang menyendiri di suatu bukit sebagai the fool. Ooo.. Oooh! He never listens to them! He knows theyre the fools..!! *** 63

EMPAT
alam itu pukul sembilan lewat sepuluh menit. Di sebuah jalan raya yang menuju ke kota Bogor, Fiat Sport Pak Amir melaju kencang. Sopir tenang menatap jalanan di depannya. Pak Amir tenang memangku seorang perempuan di jok belakang. Pak Amir bukan rapat malam ini, sebagaimana yang dikatakannya pada Mbok Yem. Pak Amir bukan rapat melainkan rapet. Perempuan muda belia yang ada di pangkuannya itu seorang pelacur. Dia mengambil pelacur itu dari seorang germo di Jatinegara. Oom, bagi rokoknya dong. Emmy pingin ngrokok deh, pelacur muda itu berkata. Mulutnya dimonyongkan ke mulut Pak Amir. He he he, rokok sih boleh. Rokok besar apa rokok kecil? He he he Ah, si Oom ini suka begitu rokok kecil dong. Rokok besarnya nanti saja. Lho, begitu apanya? Kan bener, Oom tanya mau rokok besar apa rokok kecil? Rokok besar itu cerutu, Oom juga bawa, tapi cuma sebatang, kalau rokok kecil ada sebungkus. Pelacur Emmy mencium jidat Oom Amir. Pak Amir balas mencium pipinya. Keduanya berciuman. Emmy tak jadi minta rokok. Malah yang merokok klepas-klepus sopir mobil itu, yang bulu kuduknya merinding mendengar cap-cup-cap-cup, serta helaan nafas erotis dari majikan dan gendaknya. *** 64

Di depan garasi rumah Pak Amir. Ali Topan memakai jeans putih, kaos oblong biru dan jaket jeans lengan buntungnya. Ia membawa buku tulis yang diselipkan di sela pinggang celananya. Barusan Gevaert menelepon ngajak belajar bersama. Ia menyemplak motornya. Mbok Yem geleng-geleng kepala di dekat garasi melihat Ali Topan. Sudah, nggak usah pergi lagi, Den Bagus. Tadi bapak pesen supaya den bagus di rumah saja. Jangan pergi, Den Bagus , kata Mbok Yem. Sumpek di rumah, Mbok. Aku mau belajar di rumah Gevaert. Aku pergi dulu ya, Mbok. Ali Topan menghidupkan mesin motornya. Daah, Mbok. Daaah. Ali Topan melambaikan tangan ke Mbok Yem. Mbok Yem melambaikan tangan ke den bagusnya itu.Ali Topan langsung menggeblas dengan motornya. Ia tak mau tenggelam dalam kesedihan. Ati-ati di jalan Den Baguuus! Jangan ngebuuuut, teriak Mbok Yem. Tapi teriakannya itu ditelan oleh deru knalpot motor. Ali Topan tidak mendengarnya. *** Di rumah Gevaert. Gevaert mengatur buku-buku pelajaran di kamarnya. Dia bersiul-siul lagu sembarangan. Tampaknya gembira betul dia.Tina, kakak perempuan Gevaert muncul di pintu kamar. Assiiiik deh, bersiul-siul sendiri. Ada apa sih, Vaert? Baru dapet undian harapan ya? kata Tina. Gevaert tak menengok. Dia tetap bersiul-siul dan menata buku-bukunya. Gevaert! Budeg lu ya? Ditanya orang diem aje! Gevaert menoleh ke arah Tina. Dia menyeringai. 65

Eh, orang lu? Gue kirain bukan, katanya, iye, iye, eh iye besok mau ulangan, jadi gua menyenangnyenangkan diri dong. Biar kagak grogi Tin! Ng, tulung bikinin kopi sama sediain roti dong, kawan-kawan gue mau studi di sini, Tin, tambahnya. Tina mencibirkan bibirnya. Wuuu, enak aje. Emangnye gue babu lu? Yeee, kalau babu cakepnya kayak lu, stimbat tutup dong! Ah sialan lu Iye deh, sialan ya sialan, cuma tulungin dong. Masa gua yang musti bikin kupi. Ntar rasanya kayak aer comberan dong, Zusye , kata Gevaert, yang satu rada enceran ya, buat si Topan. Dienye kagak doyan kupi kentel, tambahnya. Tina tertegun. Wajahnya mendadak cerah. Eh, die dateng juga? Boleh deh gue bikinin. Tapi, ngomong-ngomong, die udah punya cewe apa belon sih Vaert? Siapa sih ceweknya? Lu naksir dia? Jangan macem-macem lu. Ngaca dong, ngaca umur lu berape, Tin Kalau gua naksir emang kenape? Nggak boleh? Itu hak gue dong. Hak asasi! Lu kan juga naksir temen gua. Gantian boleh dong Tina menyeringai ke adiknya. Gevaert mikir. Siape temen lu yang gua taksir? Tampang udah kayak oplet semua begitu Ngepet lu! Gevaert ketawa. Tina juga ketawa. Mereka akrab sebagai kakak-adik, walaupun tampaknya sering bertengkar. Tina, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Romusha, memang rada cerewet, sedangkan Gevaert suka usil. 66

Uh, teman-teman gue di Romusha banyak yang naksir Ali Topan deh Vaert. Anaknya keren banget sih. Temen-temen lu udah pada ngaca apa belon? Kalau tampangnye masih kayak oplet sih lu bilangin, suruh pergi ke bengkel Chow Brothers dulu supaya dipermak. Sorry aje, gang kite nggak terima cewek opletan! Ih, sadis deh lu! Ntar gue bilangin sama si Poppy baru tahu lu. Poppy itu kawan se-fakultas Tina yang ditaksir Gevaert. Wauuuuw, jangan dong, sayaaang. Kalau si Poppy sih barang mulus tuh. Pokoknya bakal bini gua dia. Lu bilangin, gua larang dia naksir-naksir orang lain. Tunggu lamaran gue aje, ye? Heh heh heh. Tina tertawa manis mendengar ucapan adiknya. Tapi tuker sama Ali Topan dong. Poppy buat lu, Ali Topan buat gua, kata Tina. Eh, lu serius nih? Dua rius Tampangnya hensem, tongkrongannya macho, babenya kaya... Woow! Gue mau deh langsung kawin ha.. ha.. ha..! Gevaert tiba-tba serius menatap mata Tina. Kakaknya heran. Kenape lu ? Nggak setuju kalo gue kawin sama sahabat lu? Kan asyik dia jadi abang ipar lu... Dan lu manggil dia Bang Ali.. Eh, Bang Ali ! Bang Ali ! Kayak kalo kita manggil Gubernur... hi hi hi hi.., celotah Tina. Gevaert menggaruk-garuk kulit kepalanya. Entar kalo die dateng lu jangan sekali-kali ngomong soal babe atau nyaknye! Die kagak demen..., kata Gevaert. Lho, kenape? Emang die anak pungut ? tanya Tina. Udah deh... pokoknya sedih deh setorinye..., kata Gevaert. Terdengar derum motor masuk halaman. 67

Tina! Tolong suruh masuk die! teriak Gevaert. Tina berlari ke pintu. Dia sibak gorden, melihat keluar. Ali Topan tampak memarkir motornya. Ia menggeraikan rambutnya yang gondrong. Kemudian berjalan ke pintu. Tina memperhatikannya. Hati Tina mpot-mpotan. Ali Topan memijit bel pintu. Tina membukakan pintu. Tina tersenyum maniiis. Haiii apa kaaabaaaar , sapa Tina. Sip sip aje, Tin. Si Gevaert ada? tanya Ali Topan. Wajahnya netral. Tina menunjuk ke arah kamar adiknya. Gevaert muncul di pintu. Masup, Pan! Jangan kelamaan lu di situ, ntar Mpok gua naksir! kata Gevaert. Tina tersipu-sipu. Wajahnya yang putih mendadak dironai warna merah. Darah naik ke wajahnya. Ah, becanda lu, Vaert! kata Ali Topan. Dia menengok Tina. Terima kasih dibukain pintu, Tin, katanya. Tina tak menjawab. Dia masih malu atas olok-olok Gevaert. Ali Topan berjalan masuk ke kamar Gevaert. Tampang netral banget, Pan. Semua beres? tanya Gevaert. Gua sih beres. Yang laennya kagak... Gua lagi males belajar, mack. Gua males ngapa-ngapain, kata Ali Topan. Nggak ape-ape, yang penting lu dateng. Mpok gue udah gue suruh bikin kupi. Ntar lagi juga anjing-anjing kite dateng. Baru selesai Gevaert bicara, terdengar suara motor masuk halaman lagi. Noh, mereka. Bener apa kagak feeling gua! kata Gevaert. Bobby dan Dudung memang datang. Mereka memarkir motornya di dekat motor Ali Topan. Keduanya langsung 68

masuk ke rumah. Salam lekuuuum, Dudung memberi salam. Iye, lekum salaaam! Masup aje masuuuup! Gevaert berteriak dari dalam kamarnya. Bobby dan Dudung masuk ke kamar Gevaert. Hei njing! Sepi banget rumah lu! Mami lu lagi pergi ya? kata Bobby. Lagi ngayab dia, jawab Gevaert. Bobby melihat ke Ali Topan yang duduk tenang di lantai. Eh, lu? Ampir gue nggak lihat. Sorry boy, katanya. Sori, sorrii, kata Dudung membeo Bobby. Dia menyalami tanganAli Topan dan Gevaert dengan gaya khas orang Kuningan, dengan dua tangan. Ali Topan menjabat tangan Dudung sekilas saja. Tina-tiba terbayang fotofoto mamanya di kolam renang... Wah, kelihatannya kurang semangat, Pan. Ada kasus apa nih? Broken home? kata Dudung. Dia membanyol. Ali Topan tersenyum. Ia coba menetralkan perasaanya lagi. Brokentut! katanya. Sobat-sobatnya ketawa. Tina datang bawa kopi. Ck ck ck. Serpisnya kagak tahan. Cepet betul. Memang mpok kite ini berhati beludru ibarat katanya, kata Bobby. Aah... jangan ngerayu lu Bob. Gua bukan cewek rayuan, kata Tina. Dia toh tersnyum. Cewek panggilan! Ali Topan nyeletuk. Tina membelalak. Tangannya goyang, baki di tangannya ikut goyang, kopi hampir tumpah. Tapi Ali Topan segera tersenyum. Dan itu cukup mengobati kekagetan Tina mendengar olok-olokan tadi. Terima kasih, Tin, kata Ali Topan. Kembali kasih, kata Tina. 69

Tina keluar. Dudung, Bobby dan Ali Topan langsung menyambar gelas kopi masing-masing. Uw, panas mack, kata Bobby. Makanye, sabar dikit. Jangan kayak orang ngga pernah kenal kupi aje, mack, kata Gevaert. Ngomong-ngomong, ternyata besok kita ada ulangan nih. Gua mau studi, kata Gevaert lagi. Kelas kita sih nggak ulangan ya Bob? kataAli Topan. Minta-minta sih nggak ada. Tapi siapa tau? Guruguru kita makin nambah aje nyentriknye. Suka ngasih ulangan tanpa bilang dulu. Siap-siap aje ah. Aljabar ya Vaert? Bobby menjumput buku Ilmu Aljabar dari meja. Dudung ikut-ikutan melihat Aljabar. Ali Topan tenang-tenang menyulut rokok. Dia merasa capek. Pikirannya penuh ketegangan yang dibawa dari rumahnya. Sampai jam setengah satu mereka berkumpul di situ. Lantas mereka pamit. Bulan temaram. Ali Topan mengandaarai motornya perlahan-lahan. Perasaan dan pikirannya melayang seperti malam.

70

LIMA
li Topan bangun jam setengah delapan. Rasanya masih ngantuk dan capek. Tapi Mbok Yem ngotot membangunkannya. Cepet mandi, Den Bagus. Terus sekolah. Sarapan dulu, kata Mbok Yem. Ali Topan mandi cepat-cepat. Lalu berpakaian cepatcepat. Ia tak memakai seragam batik yang ditetapkan oleh Kepala Sekolah. Ia lebih suka memakai jeans saja, walaupun dia seringkali ditegur di sekolah karena hal itu. Dia lewat kamar ayah dan ibunya yang masih tertutup. Nggak sarapan, Den Bagus? Nggak! Kata Ali Topan, aku berangkat, Mbok. Mbok Yem mengantarkan Ali Topan ke depan. Dia tunggu sampai Ali Topan berangkat dengan motornya. Kemudian dia masuk untuk membereskan kamar Ali Topan. Mbok Yem mencibirkan bibir ke arah pintu kamar majikan tuanya. Uh, orangtua kok brengsek begitu, gumamnya. Ali Topan ngebut ke sekolah. Ia sudah terlambat satu jam pelajaran. Sebetulnya jam pertama dan jam kedua adalah jam Agama Islam. Tapi sudah dua minggu Pak Guru Agama Islam cuti ke Padang. Dan guru-guru jam pelajaran berikutnya suka iseng, menggeser maju jam pelajaran supaya lebih cepat bebas tugas harian. Ketika Ali Topan sampai di depan pintu kelasnya, suasana memang sepi. Pak Guru Ilmu Aljabar tampak berdiri membelakangi pintu, mengawasi murid-muridnya. 71

Selamat pagi, Pak! kata Ali Topan. Pak Guru Ilmu Belajar, Pak Surono, menoleh ke pintu. Ali Topan masuk ke dalam kelas. Waduh, ulangan nih Pak. Iya. Kenapa? Kalau tidak mau ikut keluar saja sana! kata Pak Surono. Wah, rugi dong, Pak, kata Ali Topan, boleh kan saya ikut, Pak? tambahnya. Pak Surono yang terkenal acuh tak acuh cuma menganggukkan kepalanya. Ali Topan langsung menuju ke bangkunya. Bobby sudah duduk di bangku itu. Ali Topan tertegun melihat ke bangku belakang. Ia kaget betul melihat Anna duduk di bangku belakang itu. Gadis manis yang diganggunya di Blok M kemarin, kok bisa nyasar ke situ? Kata hatinya. Anna memandang sekilas padanya. Tampak juga kekagetan Anna. Tapi gadis itu cepat mengalihkan perhatiannya ke soal-soal aljabar. Ali Topan duduk di bangkunya. Dia menyikut Bobby. Bob! Itu cewek yang kemaren kita godain? bisiknya. Hei! Jangan menganggu orang yang sedang bekerja kau! suara keras Pak Surono menggelegar. Murid-murid langsung melihat ke arah Ali Topan. Ali Topan menyeringai. Dia mengacungkan tangannya. Minta kertasnya, Pak! kata Ali Topan. Ali Topan berjalan ke depan, mengambil kertas ulangan. Boleh pinjam pulpennya sekalian, Pak? Pulpen saya ketinggalan, kata Ali Topan. Dia cuma iseng menggoda Pak Rono saja. Kau ini ada-ada saja. Kalau nggak punya pulpen ya tulis saja pakai jari! kata Pak Surono. Ali Topan nyengir. Dia kembali ke bangkunya, dan 72

langsung menggarap soal-soal ulangan yang terdapat di papan tulis. Buat Ali Topan tak sulit menggarap soal ulangan itu. Ali Topan adalah murid terpandai di sekolahnya sejak kelas satu dulu. Kecerdasannya di atas rata-rata anak seusianya. Ketika masih kecil, belum bersekolah, ia sudah dapat membaca dan menulis. Dan menghitung angka-angka. Bukan hanya menghafal, tapi juga penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan. Sejak kecil ia gemar membaca dan bertanya tentang yang dia baca: Buku-buku cerita, buku-buku pelajaran Boyke dan Windy, majalah-majalah, suratkabar dan bahkan kertas-kertas bekas pembungkus dari pasar dan toko. Teman-teman dan bahkan guru-gurunya heran, bagaimana mungkin anak berandal yang tak pernah terlihat belajar, tampak santai di sekolah itu dapat menjadi murid terpandai di sekolah. Lagipula, Ali Topan beberapa kali memenangkan lomba mengarang se Jakarta yang mengangkat nama sekolahnya. Ketika naik kelas dua, pada upacara bendera, ia disuruh menjelaskan di depan semua murid dan guru-guru bagaimana cara dia belajar. Saya ini suka membaca dan menuliskan intisari apa yang saya baca. Dan menyusun daftar pertanyaan apaapa yang saya belum mengerti. Saya bertanya kepada ayah saya, ibu saya, kakak-kakak saya sampai mereka bosen dan sering marah-marah. Marah-marah itu ternyata karena disebabkan mereka tidak tahu atau tidak mengerti jawabannya. Maka saya bertanya kepada orang lainnya. Dan kalau mau tahu, mengapa saya terlihat santai di sekolah,karena semua buku pelajaran selama setahun sudah saya baca dan saya mengerti pokok-pokok isinya. Dan yang penting, tidak semua penulis buku-buku pela73

jaran itu pandai menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki dalam bentuk tulisan. Jelasnya, seorang ahli Ilmu Kimia atau Biologi belum tentu pandai menyampaikan ilmu yang mereka dapatkan itu secara tertulis, apalagi dalam bentuk buku. Hingga murid-murid kesulitan mempelajari ilmu itu. Nggak seperti kalau kita baca novel atau cerita silat Cina. Maka, saya sering menyunting atau menuliskan kembali bukubuku itu dengan gaya novel atau cerita silat, hingga saya dapat mengerti dengan jelas tentang ilmu yang diajarkan..., kata Ali Topan. Menurut saya, kalau orang mau pinter begitu caranya. Kalau ada di antara teman-teman yang mau mengikuti cara itu, ya ikutin aja..., lanjutnya yang disambut tepuktangan guru-guru dan murid-murid. Bahkan Dudung dan Gevaert berseru, hidup Ali Topan! Dan... kenapa kalau mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian, saya kerjakan yang gampang lebih dulu. Yang pasti bener jawabannya. Yang susah-susah belakangan aja, supaya nggak ngabis-ngabisin waktu. Kalau memang ada soal-soal yang saya nggak tahu jawabannya ya saya nggak jawab daripada salah. Kalau salah bukannya jeblok nilainya, tapi minus... Bukan begokit Pak Brot Pang ha ha ha ha...., Ali Topan mengakhiri ceramahnya yang disambut tawa riuh rakyat se-SMA Bulungan I itu. Pak Broto Pangabean tertawa pula sambil mengepalkan tinju ke arah murid kesayangannya itu. Kalau aku bukan Direktur di sini sudah ku bilang kimak-lah kau Ali Topan..., gerutunya. Ali Topan benar. Dalam tempo kurang dari setengah jam, ia sudah berhasil menggarap empat dari lima buah soal ulangan aljabar itu. Kemudian dia berhenti menggarap soal kelima. Dia menoleh ke belakang sesaat untuk 74

memandang wajah Anna. Kebetulan Anna pun sedang memandang ke arahnya. Ali Topan mengerjapkan mata ke Anna. Anna melengos dan menggigit saputangannya. Beberapa murid saja yang tahu kerjapan mata itu, termasuk Maya, gadis yang duduk sebangku dengan Anna. Maya itu termasuk gadis sopan, tidak banyak tingkah. Ali Topan suka pada Maya sebagai teman. Diam-diam, Maya mencintai Ali Topan walaupun dia suka mendengar cerita bahwa Ali Topan itu anak keluarga acak-acakan. Ali Topan menyikut Bobby. Pssst! Kok dia nyasar ke sini, Bob? bisiknya. Heh. Kerjain soal dulu deh. Cewek urusan belakang, gerutu Bobby. Bobby sedang menggarap soal terakhir. Bagi contekannya dooong..., bisik Bobby. Rupanya soal itu agak menyulitkan Bobby. Dia menengok ke Ali Topan, minta contekan. Pan, Pan, pssst. Nomer lima kasih tau dooong. Gue kerepotan niih, bisik Bobby. Iye, Bob! Cakep dienye! kata Ali Topan. Cukup keras, sehingga seluruh kelas, termasuk Pak Surono. Pak Guru itu menengok ke arah mereka. Bobby langsung pias wajahnya. Ali Topan menampilkan senyum bloon. He! Ada apa kau, Ali Topan! kata Pak Guru. Ini, teman saya nanya , Ali Topan tak meneruskan kalimatnya. Pak Surono penasaran. Dia menghampiri Ali Topan dengan wajah marah.Apa kau bilang? kata Pak Surono. Begini, Pak. Bobby nanya sama saya, anak baru itu cakep apa kagak, katanya, saya bilang memang cakep Pak guru melotot ke Ali Topan. Lalu ia memandang Anna yang duduk dengan wajah tertunduk dan mengigit75

gigit bibir. Kau ada bakat merayu rupanya..., kata Pak Surono. Ia tersenyum kecil. Dan murid-muridpun tersenyum lega. Bel berdentang. Ulangan selesai. Murid-murid menyerahkan hasil ulangan mereka pada Pak Surono, lalu keluar kelas satu per satu. Bobby berendeng dengan Ali Topan. Wajahnya masih memendam rasa marah. Lu. Kalau mau matiin kawan jangan begitu dong caranya, Pan, kata Bobby. Gue kan hanya just a joke, Bob, kata Ali Topan. Dia menyodorkan rokok pada Bobby. Bobby pun segera mengusir rasa marahnya. Pak Surono yang baru saja keluar dari kelas, melihat acara pemberian rokok itu. Dia berhenti melangkah, mengambil rokok dari kantongnya. Pak Surono berdehem. Ali Topan menengok Pak Surono. Dengan wajah penuh senyum, Ali Topan mendekati dan menyalakan api buat gurunya. Mm, terima kasih, kata Pak Surono. Ali Topan mengangguk. Pak Surono terus berjalan menuju kantor guru. *** Di kantor Direktur Sekolah. Pak Broto Panggabean sedang berbincang-bincang dengan Ibu Dewi, guru pengawas khusus mengenai kelakuan para murid. Ibu Dewi bukan guru tetap di SMA Bulungan I. Ia ditugaskan oleh Kantor Perwakilan Departemen P dan K menyangkut pembinaan remaja intrasekolah. Ibu Dewi itu cantik, tamatan Fakultas Psikologi Universitas Romusha. Ia menjadikan murid-murid sebagai obyek penelitian untuk menyusun buku Kenakalan Remaja di Jakarta. Jadi, bagaimana situasi dan kondisi anak-anak kita 76

akhir-akhir ini, Ibu Dewi? kata Pak Broto Panggabean. Menjelang ujian ada kecenderungan surutnya pelanggaran peraturan dan disiplin sekolah, Pak. Tapi tentu kita harus tetap waspada, siapa tahu ada pengaruh dari luar yang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruhkan suasana, kata Ibu Dewi. Tentu, tentu, kewaspadaan dansecuritydemi stabilitas nasional, heh heh heh, harus ditingkatkan, heh heh kata Pak Broto Panggabean. Yang menggembirakan dan membuat irihati sekolah lain, sekolah kita ini bebas narkotika, Pak. Tapi di lain hal, anak-anak sini terkenal sebagai jagoan ngebut. Ali Topan, Bobby dan beberapa murid perlu diawasi secara khusus, kata Ibu Dewi. Tapi bukan berarti kita memperlakukan mereka seperti orang tahanan militer, kan? Heh heh heh kata Pak Broto Panggabean setengah bercanda. Kalau perlu, apa boleh buat. Demi menjunjung tinggi nama sekolah dan korps pendidik! Bukankah kita ingin agar sekolah ini bebas sepenuhnya dari kenakalan remaja? jelas Ibu Dewi. Betul demikian, namun saya lebih setuju kita pakai metode pendekatan yang lebih lunak, Bu Dewi. Pak Broto mencoba menawar. Ah, Pak Broto ingin selalu berlunak-lunak saja. Kita jangan terlalu memberi kemanjaan pada anak-anak yang sudah punya bakat nakal. Preventif lebih baik, bukan begitu Pak? Nah, saya permisi dulu, Selamat pagi, kata Ibu Dewi. Ia keluar, mengontrol situasi. Ali Topan duduk di kantin sendiri. Bobby berkumpul dengan teman-temannya yang lain, menunggu jam pelajaran berikutnya. Ali Topan merokok dengan asyiknya. Bibi kantin yang cerewet memperhatikannya. 77

Kok masih merokok di sekolah? Kan sudah dilarang? Kemarin banyak anak-anak kena razia. Mereka di-strap oleh Ibu Dewi, kata bibi kantin Coba aja berani nyetrap gue, gue pecat! kata Ali Topan. Bibi kantin melotot. Heh, jangan keras-keras ngomongnya, nanti kedengaran ibu pengawas, katanya. Ala, babe gue aja nggak berani ngelarang gue ngerokok, Bi. Apalagi Ibu Dewi, dia ngempanin gue juga kagak! kata Ali Topan. Nadanya keras betul. Ibu Dewi muncul di pintu kantin. Siapa yang mau kau pecat heh? kata Ibu Dewi dengan nada dingin. Ali Topan kaget. Ia menoleh ke arah Ibu Dewi. Bibi kantin pura-pura mencuci piring kotor. Ali Topan diam. Ia merokok terus. Buang rokok itu, Ali Topan! kata Bu Dewi. Ibu Dewi menghampiri Ali Topan. Tangannya bertolak pinggang. Ali Topan memandang Ibu Dewi. Oooh Ibu. Selamat pagi, Bu, kata Ali Topan. Buang rokok itu, Ali Topan! Sayang, masih panjang, bu. Tidak ekonomis kalau dibuang, kata Ali Topan dingin. Saya perintahkan, buaaaang! hardik Ibu Dewi. Saya tidak biasa diperintah dengan cara begitu, kata Ali Topan dengan tenang. Ia berdiri meneguk teh manisnya. Ia membayar Rp 50 pada bibi kantin, kemudian berjalan keluar kantin. Di dekat pintu, Ali Topan berhenti. Ia mematikan rokoknya di telapak sepatunya, kemudian memasukkan puntung rokok itu di sela-sela kaus kakinya. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan santai menuju kelasnya. Wajah Ibu Dewi merah padam. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju kantor Direktur Sekolah. Pak Broto 78

yang sedang bekerja terkejut melihat Ibu Dewi memasuki ruangannya dengan langkah cepat dan wajah marah.. Bapak harus memanggilAli Topan! teriak Ibu Dewi, Dia telah menghina saya, sambungnya. Nafasnya tersengal-sengal karena rasa marah yang memuncak. Lho, ada apa, Bu? tanya Pak Broto. Ali Topan! Di depan murid-murid lain di kantin, anak kurang ajar itu menentang saya! Kurang ajar sekali! Apa karena dia murid istimewa maka dia berani bertingkah semau-maunya di sekolah ini! Bapak harus bertindak! Harus! Kalau perlu keluarkan saja murid biadab itu! Kalau Bapak tidak menghukum dia, saya akan laporkan ke Departemen! kata ibu Dewi. Tenang... tenang Bu Dewi. Persoalan sebenarnya apa? Tolong jelaskan dulu... Sabar... minum dulu..., kata Pak Broto Pangabean. Saya menangkap basah dia sedang merokok di kantin! Saya menyuruh dia mematikan rokoknya, dia tidak mau! Malah saya mau dia pecat katanya... Memangnya dia itu siapa? kata Bu Dewi. Bapak harus memanggil dia sekarang juga ! Pak Broto mengernyitkan dahi. Hadiiii! teriaknya. Hadi, sekretaris umumnya tergopoh-gopoh datang dari meja kerjanya yang terletak di ujung ruang. Ya, Pak! kata Hadi. Panggil Ali Topan ke sini. Cepat! Hadi tergopoh-gopoh keluar. Setengah berlari ia menuju kelas Ali Topan. Ali Topan duduk di lantai depan kelasnya. Ia melihat Anna yang sedang bercakap-cakap dengan Maya. Hadi datang tergopoh-gopoh. Ali Topan, kamu dipanggil Pak Direktur sekarang 79

juga, kata Hadi. Ada perlu apa? tanya Ali Topan. Mana saya tahu? Kamu harus tahu dong apa yang diinstruksikan oleh Boss kamu! Sana, balik lagi, tanya sama Pak Direktur, ada urusan apa mangil-manggil gue! kata Ali Topan. Aaaah, ayolah! Nanti saya kena marah nih, kata Hadi mengajuk. Ali Topan berdiri, lalu berjalan bersama Hadi. AliTopan masuk ke dalam ruang Direktur. Disitu sudah menanti Pak Broto dan Ibu Dewi dengan wajah kaku.Ali Topan mengangguk pada Pak Broto dan Ibu Dewi. Selamat pagi, kata Ali Topan. Ali Topan! Tau, kenapa kau kupanggil? Kau makin tidak tahu aturan. Kau telah melanggar disiplin sekolah, kau telah berani menghina Ibu Dewi. Paham kau? teriak Pak Broto. Kurang begitu paham, Pak. Harap diperinci satu per satu. Pak Broto Panggabean diam. Ibu Dewi mengerutkan dahinya. Kau tadi merokok di kantin! Kau saya tegur dan membantah dengan cara krosboi! Betul? kata Ibu Dewi. Oooh, kalau itu betul, kata Ali Topan. Dia menampilkan wajah serius. Kepalanya mengangguk-angguk. Pengakuannya yang gamblang justru di luar dugaan Pak Broto dan Ibu Dewi. Kedua guru itu saling memandang, mulut Bu Dewi melongo, ia kehilangan kata-kata. Jadi, bagaimana? kata Pak Broto, untuk mengisi suasana bengong. Ya, saya mengaku apa yang saya perbuat. Kalau bapak nilai salah, ya saya salah , kata Ali Topan. Saya pakai cara krosboi karena ibu Dewi juga pake cara crossteacher... 80

Huh! Harusnya anak semacam ini dikeluarkan saja dari sekolah kita! kata Bu Dewi. Ia memandang tajam pada Ali Topan. Jadi, Ali Topan ng daftar tentang kelakuan negatifmu di sekolah sudah begitu banyak. Saya tidak tahu lagi mau taruh di mana daftar kenakalanmu ini, dan yang akan datang! Saya tahu, mungkin kau beranggapan dirimu pandai, otak kau lihai dan nilaimu selalu bagus dalam setiap pelajaran. Tapi itu semua tidak ada artinya kalau kelakuanmu dapat nilai minus! Kau camkan itu! Nah sekarang, keluar kau! kata Pak Broto Panggabean. Ucapannya keras betul, tapi heran wajahnya tetap tampak memendam perasaan welas asih. Ali Topan mengangguk. Dia berjalan keluar tanpa bicara apa-apa lagi. Memang dia sudah bosan bicara, sudah bosan memberikan alasan kenapa dia bersikap begini begitu. Sikapnya yang melanggar peraturan bukan tidak disadarinya, malah dia sengaja membuat tindakan yang nakal. Soalnya dia sudah sering memprotes beberapa peraturan sekolah dan kelakuan guru-guru yang dia nilai tidak cocok dengan program pendidikan dan pengajaran. Ali Topan berjalan tenang masuk ke dalam kelasnya. Pelajaran Bahasa Inggris pada jam ke-3 dan ke-4 belum mulai. Murid-murid sedang menunggu Bu Mary, sang guru Bahasa Inggris. Ali Topan muncul dengan wajah tenang dan berdiri di pintu, memandang teman-temannya. Ia memandang Maya, Ridwan, Bobby dan semua temantemannya yang duduk tenang di bangku masing-masing. Mereka diam, seperti menunggu pidato Ali Topan. Anak-anak. Mengapa wajahmu seperti plembungan? kata Ali Topan. 81

Grrrrr. Ketawa meledak memenuhi kelas. Suasana yang diam berubah seperti biasa. Ribut kasak kusuk. Buset si hostess Dewi cari gara-gara lagi sama gue, kata Ali Topan. Dia berjalan ke bangkunya. Emang kenape, Pan? Dendam lama? Bobby nyeletuk. Biaseeee kita ogah mboooking die tadi malem, eh, dienya marah-marah Grrr lagi. Eh, Pan! Kenape lu ogah mbooking die? Kan bodinya lumayan mulus , seseorang dari belakang berteriak. Ali Topan menoleh ke belakang. Pas saat itu, Anna melihat padanya. Keduanya saling berpandangan. Ali Topan tidak jadi mengucapkan kata-kata kasar tentang Ibu Dewi. Dia melambaikan tangan dengan manis ke arah Anna. Hallo, sayang ., bisik Ali Topan. Anna Karenina menundukkan wajahnya. Ibu Mary muncul di pintu. Good morning everybody, sapa Bu Mary seperti biasa. Good morning, Miss, sahut anak-anak. Ibu Mary langsung duduk di kursinya dan mengabsensi murid-muridnya. Pada giliran nama Ali Topan ia berhenti. Saya ada Bu Mary. Saya tidak mbolos , kata Ali Topan dengan kalem. Grrr lagi tak dapat ditahan keluar dari mulut teman-temannya. Ibu Mary pun terpaksa menyunggingkan senyum Pepsodent. Kamu memang berandal, Ali Topan. Tapi bagus juga kalau kamu sadar, sebelum ditanya sudah mengaku, kata Bu Mary. Dia melanjutkan mengisi daftar hadir muridmurid. Lalu segera memulai pelajaran Bahasa Inggris. Dan seperti biasanya juga, ia memulainya dengan, Once 82

upon a time.... There was a poor boy who living in the house of The Rising Sun..., celetukAli Topan. Grrr... grrr-an lagi tawa teman-temannya sekelas termasuk Anna Karenina yang menutupi mulutnya dengan saputangan. Bengal sekali deh..., bisik gadis itu sambil memandang Maya. Sesuai dengan namanya... Ali Topan..., lanjutnya. Memang... tapi dia itu jenius... Dan baik hati.., bisik Maya. Oh ya? bisik Anna Karenina. Ia memandang sekilas ke arahAli Topan. Matanya ceria. Maya tiba-tiba merasa cemburu.

83

ENAM
umah keluarga Surya di sudut jalan RRIVII No. 88 sekitar 2 km arah Barat dari Blok M tampak lebih megah dari rumah-rumah di kiri-kanannya. Rumah itu bercat putih berarsitektur klasik seperti puri di negeri-negeri Eropa. Di berandanya ada dua tiang beton besar kembar yang bentuknya seperti tiangYunani. Lebar bangunan yang menghadap ke Barat itu sekitar 15 meter. Halaman depannya ditumbuhi rumput Peking dengan jalanan mobil beraspal dari pintu gerbang ke garasi di sayap kanan gedung itu. Halaman itu berpagar tembok yang atasnya diberi pecahan kaca. Sekelompok pepohonan pisang merah di sebelah kiri beranda. Di depan beranda ditanami rumpun mawar dan melati. Tak ada satu pun pohon buah-buahan. Nonya Surya membuka-buka majalah Feminadi ruang tengah rumahnya. Oom Boy sedang membersihkan aki mobil dengan air panas. Jam dinding di rumah itu, yang disetel lebih cepat lima menit, berdentang. Nyonya Surya menutup Femina. Ia melongok ke halaman. Booy! Sudah jam setengah satu! Tolong jemput ponakanmu! teriak Ny Surya. Oom Boy mengangguk. Ia buang air panas dari teko ke halaman, kemudian melap aki mobil dengan kain kuning. Boooy! Ayuuuuh daaaan sudah waktunya Anna pulang , teriak Ny Surya. Beres! Boy menutup kap mesin, kemudian ia berlari ke kran untuk mencuci tangannya. Setelah itu, dia berlari ke 84

mobil. Cepat pulang, Boy! teriak Ny Surya yang melongok dari jendela. Okey! Boy menghidupkan mesin mobil, langsung menancap pedal gas. Mercedes melesat keluar halaman. *** Anna berjalan bersama Maya menuju pintu gerbang sekolah. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert menuntun motor masing-masing di belakang mereka. Bagaimana kesan hari ini, An? tanya Maya. Yaaah, boleh juga. Anak-anaknya suka melucu ya? Kayaknya enak juga suasana di sini, kata Anna. Mudah-mudahan kamu betah, kata Maya, eh, rumah kamu dimana sih? tambahnya. Lho, tadi kan udah saya kasih tau. Lupa? Iya, Jalan RRI, nomernya lupa. RRI tujuh, nomer delapan puluh delapan! Ooh, iya. Kapan-kapan boleh main dong? Boleh saja ng iya, iya, boleh, kata Anna, tampaknya dia agak ragu dengan pembolehannya itu. Maya tidak sempat menangkap keraguan itu, karena Ali Topan menowel tangannya dari belakang. Mau bonceng, May? Bobby tuh nawarin. Boncengannya lagi nganggur, kata Ali Topan. Ah, takut ah.. Kalian suka ngebut sih, kata Maya. Allaaah, som som. Bilang aje ogah naik motor. Ngarti deh, anak orang kaya memang begitu. Maunya Mercy terus, kata Ali Topan. Maya tak mengerti arah tujuan ucapan Ali Topan. Ia menampakkan wajah bingung. Mercy? Kapan dia punya 85

Mercy? Tapi. Anna yang merasa kena sindir, menoleh ke Ali Topan. Ali Topan langsung mengirimkan senyuman simpatik ke Anna. Betul begitu kan, ya Anna? kata Ali Topan. Anna Karenina mengernyitkan dahinya. Ia tidak menjawab. Ia memandang Ali Topan dengan tenang dan berani. Ada keanggunan tersendiri dari pandangan Anna yang terasa di hati Ali Topan. Ooh iya, kita belum kenalan secara resmi. Nama saya Ali Topan. Saya yang nimpuk kamu dengan kulit rambutan di Blok M kemarin, kata Ali Topan. Saya sudah tahu, kata Anna Karenina, terima kasih atas keterus-terangan kamu, tambahnya. Kemudian ia menoleh ke arah Maya, Maya saya pulang dulu ya? Saya mau naik Mercy, kamu mau ikut? kata Anna Karenina dengan wajah anggun. Maya menggelengkan kepalanya. Anna Karenina berjalan cepat menuju mobil Mercy. Oom Boy melambaikan tangan ke arahnya. Ali Topan terpaku di tempatnya memandang Anna Karenina yang berjalan dengan mantap. Tap-tup-tap-tup, hentakan langkahAnna di aspal jalan terasa sebagai suatu hentakan aneh di hati Ali Topan. Gaya Anna, yang anggun dan sedikit dingin, merupakan satu keangkuhan yang menghantam perasaan Ali Topan. Biasanya dia yang acuh tak acuh sama perempuan. Kini, dia yang diangkuhi. Dan dia tak mampu bikin apa-apa, kecuali bengong saja. Kenapa lu, Pan? Kayak plembungan, kata Gevaert. Udah deh, repot kalau kita ikutin gaya dia. Cakep, naik Mercy, buset, ayuh dah, cabut kita! tambahnya. Gevaert langsung menstarter motornya, diikuti Bobby. Ali Topan tersedar. Dia menghidupkan motornya, 86

diikuti Dudung. Knalpot meledak-ledak suaranya, sampai Maya menutup kuping. Maya tetap menutup kuping, walaupun 4 sekawan itu telah melesat ke depan. Ketika suara knalpot makin lirih, barulah Maya berjalan meninggalkan tempatnya untuk pulang ke rumahnya di Jalan Barito. Dia biasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah, karena jarak rumahnya ke sekolah hanya sekitar 700 meter. Dia termasuk anak berjiwa sederhana, walaupun ayahnya, Pak Utama yang Kolonel TNI-AD tidak tergolong kelompok masyarakat ekonomi rendah. Rumah Maya berukuran kecil. Bentuknya seperti rumah di daerah Priangan, tempat asal orangtuanya. Tamannya asri, dipenuhi pohon bunga dan pohon hias yang tidak mahal tapi karena pengaturannya sangat bagus, taman itu tampak enak dipandang mata. Maya adalah anak bungsu keluarga Utama. Tiga kakaknya lelaki semua, Suryana, Permana dan Eddy. Suryana dan Permana sudah menikah, tinggal di mertua masingmasing. Eddy masih kuliah di ITB bagian Geologi dan tinggal di Bandung. Maya sampai di rumahnya. Nyonya Utama sedang menata makan siang. Maya, seperti kebiasaannya, menemui ibunya lebih dulu untuk memberi kecupan. Ibu dan anak itu bentuknya mirip. Nyonya Utama tampak lebih muda beberapa tahun dari usianya yang 50 tahun. Daag, sayang, capek yah? Oooh, anak mamih, tiap hari jalan kaki. Kasihan, kasihan Sebentar mamih bikin minum ya? kata Nyonya Utama, nadanya penuh dengan kasih sayang. Kok pakek kasihan, mih? Nanti Maya jadi manja nih. Jalan kaki kan bikin sehat, lagian uang helicaknya bisa ditabung buat beli sepeda mini, kata Maya. Dia berjalan ke kamarnya. 87

Ibunya tersenyum simpul memandangi Maya. Anak manis, bagus betul jalan pikirannya, gumam Ny Utama. Ia makin tersenyum dengan penuh kegembiraan ketika suara Maya berkumandang menyanyikan Cingcangkeling, lagu rakyat Sunda. Kalau sudah lapar, makan duluan, Maya! teriak Nyonya Utama. Maya mengambil celana pendek jeans dan kaos oblong untuk ganti baju sekolahnya, kemudian ia ke kamar mandi, kencing. Maya keluar dari kamar mandi. Maya! seru Ny Utama. Ya, mih. Ada apa, mih? Kalau lapar boleh makan duluan. Mamih tunggu papih pulang nanti, kata Nyonya Utama, mamih bikinkan karedok, tambahnya. Asik deh. Tapi mamih makan juga ya, papih kan lama pulangnya. Biar deh, mamih tunggu papih saja. Maya makan ditunggu oleh Nyonya Utama. Keduanya tampak akrab pertanda komunikasi lancar. *** Ali Topan cs makan gado-gado di warung Bibi Sexy di sudut jalan Panglima Polim III. Warung gado-gado Bibi Sexy merupakan salah satu tempat kumpul favorit anakanak muda Kebayoran. Dinamakan Bibi Sexy karena penjual gado-gado memang sexy. Ali Topan yang mulai memberi julukan itu. Bibi sexy, memang sexy orangnya dan sexy juga omongannya. Dia sedikit latah, kemungkinan dia sengaja melatahkan diri suka menyebut alat kelamin wanita dan lelaki kalau digoda oleh anak-anak muda itu untuk lebih melariskan dagangannya. Nggak nambah? tanya Bibi Sexy pada Ali Topan cs. 88

Kalau nambah pakai orangnya sih boleh-boleh saja, jawab Gevaert, Kalau nambah gado-gadonya, keberatan kita, tambahnya. Enak aje ngomongnye, lu kire gua apaan, eh apaan Prempuan! kata Bobby. Heh heh heh, iye, prempuan. Ah bisa aje lu, pinter ngomongnye. Di sekolahin sih, ye, jadi pinter ngomongnye, kata Bibi Sexy terkekeh-kekeh.. Bobby tak melayani Bibi Sexy. Dia menoleh ke Ali Topan. Pan, diomongin apa lu sama Pak Brotpang, tanya Bobby. Dia bilang, kalau gue masih bandel, gua mau dikawinin sama si Anna Cuih! Bobby meludah ke tanah. Wah, gua juga mau kalau caranya begitu. Cewek cakep, punya Mercy. Nggak dapet ceweknya, Mercynya pun jadi, kata Gevaert. Cuih! Bobby meludah lagi, seolah-olah jijik mendengar ucapan itu. Lu cuah cuih cuah cuih ada apa Bob? Ada piling juga sama Anna ya? tanya Dudung. Bobby membelalakkan matanya. Sama-sama naksir sih boleh aje. Free competition, man! kata Gevaert. Bobby melengos, Ali Topan cuma tertawa kecil mendengar ucapan Gevaert tadi. Tapi syaratnya juga ada. Demi persatuan dan kesatuan Orde Jalanan, urusan cewek tidak boleh membuat kita pecah, kata Dudung. Oh iya, gua setuju itu. Cewek kan paling gampang ditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin menunggangi, iye kan heh heh heh heh, Gevaert menimpali, kita harus sopan, tidak boleh main tunggang-tunggangan, 89

tambahnya. Beberapa anak dari geng lain ikut terkekehkekeh mendengar ucapan Gevaert. Kira-kira siapa ya yang berhasil mempersunting Anna, Vaert? tanya Dudung. Yang berkompetisi siapa dulu? Kalau gua jelas tidak berminat, Anna bukan smaak gua man! Terlalu alim buat gua. Gua berminat sama cewek-cewek yang agresip. Yang bawaannye mau nyontok aje heh heh heh, kata Gevaert. Kalau lu, gimana Dung? Gua denger di Kuningan lu sudah ada anak tiga, tambahnya. Wa, pitnah tuh, kata Dudung. Jadi, tinggal Bobby sama Ali Topan dong. Langsung final. Gua pegang Bobby, lu pegang Ali Topan Dung! Taruhannye sebungkus Dji Sam Soe, kata Gevaert. Jadi! kata Dudung mantap. Dudung bersalaman dengan Gevaert. Bobby berpandangan dengan Ali Topan. Keduanya tersenyum. Kalau nggak ada rival memang rasanya nggak enak untuk memenangkan perjuangan, Bob, kata Ali Topan, terima kasih lu mau jadi sparring partner gua, tambahnya. Dia menyalami Bobby dan menjabat tangan temannya. Bobby tersipu-sipu. Berhubung kita berdua nggak ikut bertanding, tentu kita nggak usah bayar gado-gado ya Dung? Setuju? kata Gevaert. Oke, oke, gua yang bayar! Bobby menyela, berapa semua, Bibi Sexy? katanya. Lima ratus perak, kata Bibi Sexy. Bobby membayar gado-gado. Ali Topan beranjak ke motornya, diikuti Gevaert dan Dudung. Gua langsung pulang, mack, kata Ali Topan. AliTopan menghidupkan motornya, kemudian berlalu. 90

Dudung mengikutinya. Nanti malem ngembun kite? tanya Dudung ketika ia merendengi motor Ali Topan. Nggak. Gua ada acara khusus, kata Ali Topan. Boleh ngikut? Nggak! Ali Topan melambaikan tangannya, lalu menggeblaskan motornya ke depan. Dudung mengerti isyarat itu. Ia membiarkan Ali Topan pergi. *** Ali Topan datang ke rumah Maya. Assalamualaikum! serunya. Waalaikum salaaaam! seru Nyonya Utama dari dalam, dan muncul di depan pintu. Selamat siang, Tante. Saya ingin bertemu Maya, kata Ali Topan. Oooh, saya kira kyai dari mana. Ayoh masuk, kata Nyonya Utama. Ali Topan masuk dan duduk di sebuah kursi malas yang ada di ruang depan itu. Mayaaa! Ada tamu! seru Ny Utama sambil berjalan ke belakang. Maya muncul di pintu. Halo, ngapain siang-siang ke sini? tanya Maya. Ali Topan tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kursi malas. Maya mendekatinya. Tumben nih. Ada apa, Pan? tanya Maya. Wajahnya gembira Minum dulu, dong baru kita ngomong, kata Ali Topan. Oooh kesini cuma mau minta minum? Minum apa? tanya Maya. Apa aje deh, air garem juga boleh. Oke, oke. Ali Topan tampak melamun ketika Maya datang 91

membawa dua gelas es sirup. Ini, minumnya boss, kata Maya. Thank you, kata Ali Topan. Ia langsung mengambil segelas air sirup dan meminumnya. Uaaahg! Ali Topan menguak dan memuntahkan air sirup yang telah diminumnya. Maya tertawa terbahakbahak. Gile lu, May. Lu kasih garem beneran, kata Ali Topan. Mulutnya mendecah-decah. Maya makin keras tertawa. Kamu kan minta air garem. Udah bagus dikasih sirup, jadi ada merah-merahnya, kata Maya. yang ini es sirup asli, tambahnya sambil memberikan gelas yang lain pada Ali Topan. Ali Topan mengambil gelas itu, lalu mencicipinya lebih dulu dengan ujung lidahnya. Terasa manis, ia langsung menenggak es sirup itu. Mau lagi? tanya Maya ketika Ali Topan sudah menghabiskan minumannya. Ogah ah, kata Ali Topan. Nah. Sekarang boleh ngomong dong. Mau apa ke sini? tanya Maya. Langsung aja nih? Langsung saja. Gua mau nanya tentang Anna? Naksir? Iya. Tanya aja langsung sama orangnya. Kan dia yang kamu taksir. Kenapa musti nanya sama saya? Nada suara Maya kurang enak. Begini, May. Kamu kan cewek yang paling baik sama gua. Maka itu gua datang ke sini. Soalnya, kemaren gua bikin setori sama si Anna dan ibunya, sungguh mati gua nggak tau kalau dia bakal masuk kelas kita. Kemaren sih, hati gua udah dag-deg-dug-plas. Sekarang makin degdeg-plas deh. Tulung tanyain sama Anna, dia dendam 92

nggak sama gua, kata Ali Topan tanpa tedeng alingaling. Komisinya berapa prosen? Tin persen, kata Ali Topan, mau diambil sekarang uang mukanya juga boleh, tambahnya sambil tersenyum. Dan, Maya paling suka melihat senyuman Ali Topan. Menurut Maya, senyuman Ali Topan benar-benar senyuman yang sempurna. Mulutnya terbuka sedikit, deretan giginya muncul memberikan kesan sexy dan sorot matanya bagai telaga yang dingin dan dalam sekali. Teduh, demikian penilaian hati Maya jika melihat senyuman Ali Topan. Sejak kelas satu, Maya sudah mendambakan jadi kekasihAli Topan. Ia selalu baik kepadaAli Topan. Maya satu-satunya gadis di sekolah mereka yang dekat dengan Ali Topan. Karena Ali Topan menganggap dia sebagai sahabat. Oke deh. Gua bantu lu, kata Maya, sekarang lu cepat pulang, gua mau tidur siang, tambahnya. Gua suka berteman sama lu karena lu cewek yang tegas, May. Terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan kebijaksanaan anda, kata Ali Topan. Dia bangkit dan berjalan ke pintu. Udah deh, jangan ngobral rayuan disini. Nggak ada yang beli, kata Maya. Pamitin sama nyak lu, ya. Maya mengangguk. Ali Topan menyemplak motornya, berlalu dari situ.

93

TUJUH

sok harinya di sekolah. Ali Topan cs berkumpul di tempat parkir motor. Dudung dan Gevaert bercanda seperti biasa. Ali Topan dan Bobby agak diam. Kompetisi bebas merebut hati Anna rupanya berpengaruh sekali pada hati masingmasing. Bagi Ali, tak ada persoalan, Bobby memang selalu ingin menyaingi dirinya, di bidang apapun. Kemenangan Bobby yang menonjol cuma satu, yakni orangtuanya lebih kaya dari orangtua Ali Topan. Bobby suka memamerkan hal itu, walaupun hanya dalam omongan saja. Ia selalu membanggakan kekayaan ayahnya. Ada perkembangan maju, Pan? Gevaert bertanya. Ali Topan tak menjawab. Gevaert menoleh ke Bobby. Babe gue mau beli Mercy, Vaert. Yang lebih keren dari Mercy Anna. Gua yang disuruh miara itu Mercy. Terpaksa mulai sekarang gue mau kursus mesin Mercy dong, kata Bobby, kalau babe lu mau beli apa, Pan? tambahnya sambil menoleh ke Ali Topan. Babe gue mau beli mobil pompa tai, buat nyedot tai yang ada di kepala koruptor-koruptor! kata Ali Topan, makanya sejak sekarang lu suruh babe lu ati-ati, Bob. Ntar kepale babe lu yang kesedot, kan nggak lucu, tambahnya. Anjing lu! maki Bobby. Dia melotot pada Ali Topan. Tapi yang dipelototi tenang-tenang saja.Ali Topan malah melihat ke arah Maya yang sedang melenggang masuk kelas. Ali Topan bergerak sebat meninggalkan teman94

temannya, memburu Maya. Maya! Maya menghentikan langkahnya di pintu kelas. Ia menoleh ke Ali Topan yang memburunya. Gimana, May? tanya Ali Topan. Maya hendak menjawab, tapi dibatalkannya. Ali Topan menowel lengan Maya. Maya menowel lenganAli Topan kembali. May, gimana, udah ada info? tanya Ali Topan. Itu dia si Anna dateng, gua tanyain dulu ya? kata Maya. Dia melambai ke Anna yang sedang berjalan ke arah mereka. Ali Topan cengar-cengir saja. Akhirnya dia menowel Maya. May, kalau gini caranya biar gua aja deh yang nanya sendiri. Nggak pake perantaraperantaraan lagi, kata Ali Topan. Anna mendekati mereka. Ali Topan langsung menyambutnya. Selamat pagi, Anna. Gimana, tidurnya enak tadi malem? He he he, kata Ali Topan. Anna Karenina mengernyitkan dahinya. Mustinya dia marah atau tersinggung kalau ada anak lelaki yang pagi-pagi sudah menyambutnya dengan gurauan kasar itu. Tapi entah kenapa, senyuman Ali Topan mampu mengusap hatinya. Oh, baik, selamat pagi, kataAnna. Dia melihat Maya. Maya mengerjapkan mata kepadanya. Ali Topan batukbatuk kecil. Begini, An, waktu itu saya yang nimpuk kamu pakai kulit rambutan, ng Saya sudah tahu. Lalu kamu mau apa? kata Anna. Nggak sih. Saya mau nanya, apa kamu dendam sama saya? kata Ali Topan. Saya nggak pernah dendam sama orang. Tapi perbuatan kamu itu nggak bagus. Tau apa nggak? kata 95

Anna. Dia mencoba untuk marah, tapi Ali Topan melihat sorot mata yang sama sekali gagal untuk marah di mata Anna. Ali Topan tahu, Anna memang tidak marah, tapi gayanya anggun, hingga dia sungkan bersikap macemmacem, seperti kebiasaannya kalau menghadapi gadisgadis lain. Kalau kamu nggak dendam, terima kasih deh, kata Ali Topan. Tapi lain kali jangan gitu ya, Ali Topan, kata Anna. Pada saat ia menyebut nama Ali Topan dengan lembut, hati pemilik nama itu terasa seperti dikipasi bidadari. Sejuk betul. Ali Topan terpaku memandang wajah Anna. Anna Tersenyum, lalu menarik tangan Maya. Mereka masuk kelas. Suuuiiiiiiiit! Suiiiiiiiiiiiiit! Suitan khas Dudung terdengar nyaring. Ali Topan menoleh. Dudung, Gevaert dan Bobby melihat ke arahnya. Dudung mengacungkan jempol. Gevaert tersenyum. Bobby menekuk wajahnya. Ali Topan bersiul-siul menunggu ketiga temannya. Ali Topan merangkul Bobby dan masuk kelas. Dudung dan Gevaert berjalan terus menuju kelas mereka. Bel tanda masuk sekolah berdentang-dentang. *** Ketika bel usai sekolah berdentang-dentang, Anna bergegas keluar dari kelasnya. Ia ingin menghindari olokolok yang sudah mulai gencar di kelas maupun di sekolah, tentang dirinya yang langsung dikaitkan dengan Ali Topan. Di dalam kelas Maya memang bilang kalau Ali Topan ada perhatian padanya. Serius, bisik Maya tadi. Ah, Anna jadi ngeri mendengarnya.Apa-apaan sih? Baru sehari masuk sekolah sudah ada permainan serius-seriusan. Gawat ah. Makanya Anna cepat-cepat keluar. Ia ingin cepat-cepat ke mobil. Pulang. 96

Ali Topan memang anak nekat. Dia naksir betul sama Anna. Dia ingin bergerak sebat, dan selalu bergerak sebat kalau sudah punya sesuatu keinginan. Ia berjalan cepat menyusul Anna yang hampir sampai di pintu gerbang. Karenina! seruan Ali Topan. Anna menoleh. Siapa memanggilnya Karenina? Ali Topan sudah berdiri di belakangnya. Karenina! Ng kenapa lekas pulang ng, Ali Topan terbata-bata. Anna Karenina menampilkan pandangan aneh. Itu urusan saya, katanya. Ia menatap Ali Topan dengan pandangan tak mengerti, kenapa kamu mengintil saya terus? tambahnya. Ali Topan tertegun. Ia tak bisa menjawab. Ucapan Anna Karenina langsung menyentuh harga dirinya. Tibatiba ia sadar bahwa ia terlampau gegabah. Emosional. Tiba-tiba ia merasa malu pada diri sendiri karena menganggap diri terlalu yakin bisa merebut simpatiAnna Karenina. Ia terlalu spontan, terlalu ingin cepat menyodorkan perhatian pada Anna. Ternyata Anna Karenina menyambutnya dengan dingin. Ooh, maaf kalau saya menganggu kamu, kata Ali Topan. Segera dia berbalik langkah meninggalkan Anna. Anna tertegun. Ali Topan merupakan makhluk aneh baginya. Apa maunya? Naksir? Serius? Uh! Anna tak mau berpikir apapun. Dia melanjutkan langkah menuju mobil yang sudah ditongkrongi oleh Oom Boy. Itu monyet mau apa, An? tanya Oom Boy dengan dingin. Matanya yang bersinar licik menatap tajam ke mata Anna. Nggak apa-apa, kata Anna. Nggak mengganggu kau? 97

Ah, dia anak baik kok. Oom Boy tercengang. UcapanAnna terasa mengganjal hatinya. Dia merasa cemburu. Dia melihat ke muridmurid sekolah yang berjalan keluar. Di antara mereka tampak Ali Topan cs. Cuih! Oom Boy meludah. Oom Boy ngapain sih! Cepetan pulang! kata Anna. Oom Boy menstarter mobilnya. Kemudian mereka berlalu. Sampai di rumahnya, Anna Karenina langsung turun. Ia membanting pintu mobil dengan keras. Begitu caranya bilang terima kasih ya? kata Oom Boy dengan dingin. Anna terus berlari ke rumah. Dia selalu muak pada Oom Boy. Perasaan halusnya mengatakan agar ia berhati-hati pada lelaki itu. Di ruang tengah, Anna melihat ibunya sedang bercakap-cakap dengan seorang tamu. Anna melewati mereka. Ia menyalami mamanya, Daaahh mama Anna, kasih salam pada Tante Sun! kata Ny Surya. Anna berpaling pada tamu ibunya. Ia menyalami tangan Tante Sun, tamu mamanya bertubuh tinggi besar dan menor dandanannya. Usianya sepantaran dengan Nyonya Surya. Wanita itu memakai gaun terusan cokelat dari bahan mahal. Kalung dan cincinnya gemerlapan. Ia seorang pedagang berlian yang baru menawarkan berlian ke Nyonya Surya. Anna baru pertama kali melihat dia. Hm, cantiknya anakmu, Zus. Kalau Agus turut tadi tentu dia senang sekali berkenalan, kata Tante Sun, Siapa namamu, Nak? tambahnya. Anna Karenina, kata Anna. Wajahnya cantik, namanya cantik. Lain kali kau musti saya kenalkan dengan Agus. Pasti serasi, katanya. Tante Sun mendesah-desah seakan-akan mengagumi barang antik.Anna tak suka dilihat dengan cara begitu. Ia permisi 98

ke kamarnya. Ia tak mau mendengar omongan yang menrutunya kurang bermutu.Agus?Agus siapa? Kenapa musti kenalan sama dia? Sorry ya. Kalimat-kalimat itu bergalau sekejap di kepalanya. Dia tak mendengar obrolan ibunya dan Tante Sun jadi beralih ke Agus dan dirinya. Agus itu memang anak lelaki yang terlalu memilih teman wanita lho, Zus. Maklum, sekolahnya di London, jadi terbiasa melihat anak perempuan yang genit-genit. Tapi saya kira dia senang sekali bisa berkenalan dengan si Anna. Kalau cocok kita bisa jadi besan kan? Hih hih hih, kata Tante Sun. Waah, Anna masih kecil kok, Mbakyu. Masih sibuk sekolah. Dan anak saya yang satu itu kesayangan bapaknya, jadi agak dipingit, tidak gampang-gampang anak lelaki mendekat, kata Nyonya Surya. Lho iya Zus. Punya anak perempuan harus hati-hati, kalau salah langkah bisa kita punya cucu di luar rencana, kata Tante Sun. Ucapannya itu membuat Nyonya Surya terkesiap. Wajahnya merah. Mereka masih ngobrol beberapa saat. Kemudian Tante Sun permisi pulang karena berkali-kali dilihatnya Nyonya Surya melihat ke arah jam dinding besar di ruang tamu. Saya permisi dulu, Zus. Sudah siang, kata Tante Sun. Lho, kok terburu-buru, Mbakyu? kata Nyonya Surya, padahal hatinya memang ingin agar tamunya cepat pulang. Lain kali saja saya mampir, kata Tante Sun, dan mengenai berlian itu, tolong deh ditawar-tawarkan, tambahnya. Iya, Mbakyu. Nanti saya tanyakan pada temanteman, kata Nyonya Surya. Dia mengantarkan tamunya 99

sampai ke halaman. Begitu mobil tamunya berlalu, seketika itu Nyonya Surya menampilkan wajah tak sedap pada Oom Boy yang berjalan mendekatinya. Ada orang kok begitu macamnya ya Boy. Mau main besan-besanan. Dikiranya kalau anaknya lulusan London gampang saja kenalan sama si Anna, kata Ny Surya. Siapa sih? Kok lucu dia? kata Oom Boy. Gimana Anna di sekolah? Kira-kira pergaulannya bagus apa tidak? Ny Surya balas bertanya. Oom Boy menampilkan mimik aneh. Masih ingat anak-anak di Blok M kemarin dulu yang melempar Anna dengan kulit rambutan? tanya Oom Boy. Ny Surya tampak berpikir. Kemudian ia mengangguk-angguk. Kenapa? tanyanya. Kulihat Anna intim sama mereka. Rupa-rupanya mereka satu kelas sama si Anna. Musti hati-hati, Zus. Malah ada satu anak yang menguntit siAnna ketika keluar dari sekolah, kata Oom Boy. Siapa? Tanya saja sama Anna. Oom Boy masuk ke dalam kamarnya yang penuh dengan gambar-gambar sexy. Ia sebenarnya tidak punya hubungan dengan keluarga Surya. Ia hanya anak seorang teman keluarga itu. Ayahnya, seorang pedagang di Medan, mengirimkan Boy ke Jakarta untuk kuliah di kedokteran tiga tahun yang lampau. Resminya, Boy dititipkan pada keluarga Surya. Tapi Boy dikeluarkan dari Sekolah Tinggi Kedokteran karena dua tahun berturut-turut tinggal di tingkat persiapan. Ia tidak kembali ke Medan, tapi tetap tinggal di keluarga Surya dan sudah dianggap keluarga sendiri. Ia diserahi merawat mobil pribadi merangkap sopir!Tapi gaya orang 100

ini melebihi anak kandung Pak Surya. Dia pintar mengambil hati Nyonya Surya, itulah sebabnya. Anna Karenina itu anak bungsu keluarga Surya. Ika Jelita, kakak satu-satunya, telah menikah dan tinggal bersama suaminya di Depok. Mereka kawin lari karena tidak disetujui oleh Tuan dan Nyonya Surya. Ika Jelita hamil lebih dulu, hal itulah yang menjadikan Tuan dan Nyonya Surya berlaku sangat ketat mengawasi Anna. Anna melamun di dalam kamarnya. Wajah Ali Topan sangat mengganggunya. Ia mencoba untuk menghapus wajah itu, tapi senyuman yang terlalu memikat memang sulit dihapuskan begitu saja. Anna Karenina merasakan sebuah keanehan. Ia baru bertemu Ali Topan, itupun dimulai dengan peristiwa yang tidak bagus. Tapi kenapa dia tak berhasil sedikitpun untuk bersikap galak, marah dan judes seperti yang dilakukannya pada semua teman lelakinya selama ini? Di sekolah tadi Ali Topan mengejarnya dan berbicara padanya. Dia melihat sorot mata yang tentu saja bisa dia tangkap apa maknanya. Lagipula Maya telah menyampaikan pesan, Ali Topan naksir padanya. Dan gosip yang mulai ramai di dalam kelas tentang pertaruhan beberapa anak lelaki, termasuk Ali Topan, untuk memacarinya sedikit banyak membuatnya berpikir. Ada juga perasaan bangga, baru dua hari sudah mampu menjadi pusat perhatian di sekolah, tapi kenapa begitu cepat ya? Anna! teriakan Ny Surya membuyarkan lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dan melongok keluar. Lagi ganti baju, Ma! teriaknya. Kalau sudah, mama tunggu di meja makan! kata Ny Surya. Iya Mama! 101

Anna menutup pintu kembali. Ia masih sempat melamunkan wajahAli Topan yang tak bisa lepas dari pikirannya. Akhirnya Anna tersenyum pada bayangan itu. Ia menghela nafas, menyesal betul kenapa tadi bersikap dingin pada pemilik wajah itu? Aaaaah, Anna menghela nafas. Dia cepat berganti baju. Siang itu seperti siang-siang yang telah lalu. Di meja makan Anna Karenina ditanya macam-macam oleh ibunya. Biasanya Anna merasa muak dengan tanya jawab yang sifatnya semacam laporan harian itu, tapi wajah Ali Topan yang simpatik melahirkan kegembiraan di hatinya.Anna Karenina diam-diam merasa ditemani oleh bayangan Ali Topan. Perasaan itu membuat perasaannya ringan ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya. *** Ali Topan cs berada di rumah Gevaert. Mereka sibuk menyerpis motor masing-masing. Gevaert mengerti seluk-beluk mesin motor, lagipula fasilitas berupa oli dan bensin selalu tersedia di rumahnya. Mereka menyerpis motor di garasi. Di teras, ada segerombolan mahasiswi Universitas Panca Sakti sedang repot belajar. Rasanya mereka tidak bisa belajar sungguh-sungguh, karena Tina dan teman-temannya sering mengikik dan berbisik-bisik mengenai Ali Topan. Itu teman Mpok lu ada yang bisa dibawa, Vaert? Kalau ada kita bawa aja ke kamar, kata Bobby, soalnye gua lagi patah hati nih, maklum aja mack, tambahnya. Ia melirik Ali Topan yang sibuk mengisi oli mesin. Yang nganggur sih banyak, Bob, cuman taripnya mahal, mack. No pek ceng! kata Gevaert. Ucapannya membuat Ali Topan, Bobby dan Dudung tertawa terbahak-bahak. Suara tawa itu terdengar sampai di telinga kawanan mahasiswi di teras. Mereka semua menengok 102

ke garasi. Jadi lu nyerah sama Topan, Bob? Menang dong gua, Vaert. Sebungkus Dji Sam Soe lu bayar ke gua, Vaert, kata Dudung. Nyerah sih kagak, Dung. Kita mengalah sama teman, iya kagak Pan? kata Bobby. Oh, iya. Itu omongan paling bagus yang pernah dengar dari mulut lu, man! Kalah adalah kalah, kata Ali Topan. Dia mengerjapkan mata ke arah Dudung. Dudung datang menyalaminya, diikuti Gevaert. Selamat ye? Kalau kawin undang-undang kita ah, kata Gevaert. Ali Topan tersenyum. Stel yakin. Lu, nggak nyalamin gua, Bob? kata Ali Topan, jadi resmi gitu, biar dada gua lapang betul buat nyatronin si Anna, tambahnya. Dengan senyum kecut Bobby menyalami tangan Ali Topan. Ngomong-ngomong, gua besok mau mudik, mack, kata Dudung dengan gaya Sunda tulen. Ia membungkuk pada teman-temannya. Asal bawa oleh-oleh, gua doain lu, kata Gevaert. Sip. Kita foya-foya deh nanti, kata Dudung, tapi soal kalah taruhan tetap berlaku, Vaert, tambahnya. Jangan kuatir! Gevaert merogoh sakunya, mengambil uang Rp 200 yang diberikannya pada Dudung. Impas, ye? katanya. Sip. Dudung mencium uang itu, lalu memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Dari teras, Tina berteriak ke arah mereka. Haaaiiii! Minumnya di siniiiiii! Okeee!, teriak Ali Topan. Dia membereskan kerjanya, lalu mencuci tangan dengan bensin. Kita ke sana dulu, ye, kata Bobby. 103

Lu pilih kelir deh sono, kata Ali Topan. Dia mengakak sekeras-kerasnya Tiga temannya . menyambung dengan ketawa yang tak kalah nyaringnya. Para mahasiswi di teras tidak tahu bahwa ketawa itu cuma ketawa bikinan saja. Selesai membersihkan tangan, Ali Topan menyusul ke teras. Ia disambut senyum manis dari para mahasiswi. Eh, Dita, Mira, Sandra, ini dia orangnya, katanya mau kenalan , kata Tina. Dia berpaling ke Ali Topan dan berkata: Mereka pingin kenalan sama kamu, Pan! Boleh saja, asal ada duitnya, kata Ali Topan sambil menyalami para mahasiswi itu satu per satu. Berapa duit? kata Dita. Tergantung jamnya, dan diperhitungkan sewa kamar, kata Gevaert menyela. Ih! Omongan adik lu sadis, Tina! Tabok dia Tin! kata Mira. Tina menghampiri Gevaert, pura-pura mau memukul kepala adiknya, Gevaert pasang kuda-kuda. Eit, kalau lu nabok gua, gua suruh Dudung nyipok lu ya, kata Gevaert. Tina langsung mundur. Mereka tertawa semua. Begitulah anak-anak SMA bercanda gembira dengan para mahasiswi. Perbedaan umur tidak menghambat mereka. Suasana tetap meriah sampai mereka pulang ke rumah masing-masing. Ali Topan agak terhibur juga oleh suasana itu. Tapi setelah pulang dari rumah Gevaert, ketika dia seorang diri mengendarai motornya, dia merasa muram lagi. Wajah Anna Karenina dan ucapannya yang dingin membuatnya gelisah.

104

DELAPAN
udung langsung berangkat ke Kuningan, Jawa Barat, siang hari itu juga. Ia naik motor dari rumah Gevaert, sendiri. Ia sampai di rumah orangtuanya di Kuningan, malam hari lepas Isya. Ayahnya, Haji Akhmad Mubaraq, ibunya, dan Romlah adiknya baru selesai sholat Isya ketika ia datang. Haji Akhmad Mubaraq, Nyi Haji dan Romlah sangat gembira melihat Dudung. Bagi mereka, Dudung adalah harapan di masa depan. Bukan dari segi materi, karena Haji Akhmad Mubaraq termasuk petani kaya di Kuningan. Dudung lebih merupakan harapan untuk memperoleh simbol anak sekolahan yang bisa mengangkat nama keluarga di kalangan orang sedesa. Oleh sebab itu, segala apapun yang diminta Dudung dengan alasan untuk keperluan sekolah selalu di-ACC oleh orangtuanya. Jadi uangmu sudah habis, sekarang perlu uang lagi, Dung? Banyak juga ongkos anak sekolah di Jakarta ya. Tapi jangan kuatir, abah akan kasih terus supaya sekolah Dudung berhasil, dan Dudung bisa jadi orang pinter. Abah bangga kalau punya anak yang jadi mahasiswa. Bukan begitu, Fat kata Haji Akhmad ketika Dudung mengemukakan maksudnya. Yang dimaksudkannya Fat adalah ibu Dudung yang bernama Sitti Fatima. Sip deh, Abah! Pokoknya percaya sama Dudung. Pasti Dudung sukses bawa ijajah buat Abah dan Mamah, kata Dudung. Dia stil yakin dan bersemangat sekali. Tapi Dudung harus sering kasih kabar ke Abah dan 105

Amak, biar kami di sini tahu keadaan Dudung di Jakarta. Mamah suka kangen kalau Dudung lama tak memberi kabar, kata ibu Dudung. Romlah sih nggak perlu surat Kang Dudung, tapi Si Rofiqoh, anak Pak Lurah itu yang suka nanya Kang Dudung terus. Rofiqoh takut kalau Kang Dudung kawin sama orang Jakarta, kata Romlah. Dudung mengangguk-angguk mendengarkan ucapan ayah, ibu dan adiknya. Rofiqoh, Rofiqoh, kata hatinya. Rofiqoh itu nama gadis manis yang jadi pacaranya semasa di Sekolah Dasar. Rasanya ia dulu begitu terpikat oleh Rofiqoh, malah dulu ia pernah berjanji untuk kawin dengannya. Tapi urusan masa lalu. Sejak dia kenal Jakarta, dan mulai berpikir ala anak-anak Jakarta serta melihat gadis-gadis Jakarta yang sexy, kenangan akan Rofiqoh jadi luntur. Kang Dudung sudah punya pacar di Jakarta? Pertanyaan Romlah menyadarkannya. Yaaah, banyak cewek yang naksir Kang Dudung di Jakarta, tapi Kang Dudung masih mikir-mikir, Om, kata Dudung. Ia panggil adiknya dengan Om saja. Artis-artis, ya Kang? tanya Romlah. Macem-macem, Om. Ada bintang pilem, ada penyanyi, ada anak jendral, banyak deh. Astaghfirullaaaah. Betul begitu, Dung? Lain kali ajak kemari, Abah mau lihat, kata Haji Akhmad. Istrinya membelalakkan mata. Pak Haji Akhmad tertawa terkekeh-kekeh. Ayo dong, Bah, duitnya. Dudung perlu banyak nih. Buat bayar ujian, buat beli blu-jins dan jajan sama temanteman Dudung. Kan nggak enak kalau Dudung terusterusan dijajanin sama anak-anak. Malu, masa anak Haji Akhmad Mubaraq ditraktir melulu, kata Dudung. Ia 106

mengajuk hati ayahnya. Asal jangan maen perempuan, Dung. Haraam itu, kata Haji Akhmad. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan mengambil uang ke dalam kamarnya. Tak lama ia keluar lagi dan memberikan segumpal uang kertas pada anaknya. Dengar Dung, uang ini harus dipakai secara manfaat, jangan dibuat maen perempuan atau maen judi. Abah dengar Jakarta sekarang jadi kota perempuan jahat dan tempat orang maen judi. Paham? kata HajiAkhmad. Dudung paham, bah, kata Dudung. Ia menerima uang itu dan memasukkan ke saku jaket blue-jeans-nya. Mustinya nginep barang semalem, Dung, Mamah, Abah dan Om masih sono, kata ibunya. Dalam bahasa Kuningan, sono artinya rindu. Wah, besok Dudung mesti masuk sekolah. Kan bukan hari libur. Nanti kalau libur deh, Dudung ajak temanteman Dudung nginep disini. Sekarang Dudung langsung balik ke Jakarta saja, biar nggak kemaleman di jalan, kata Dudung. Nggak capek, Dung? Nanti kalau capek bisa masuk angin. Nanti jatuh di jalanan, kata mamahnya. NyiAkhmad menghampiri anaknya. Diusapnya kepala Dudung dengan lembut. Dudung mencium tangan mamahnya. Jangan khawatir Mamah. Dudung pakai jaket blu-jins, angin takut masuk ke dalam badan, kata Dudung. Mak, abah dan Romlah tersenyum mendengar ucapan Dudung. Jadi langsung ke Jakarta? Ati-ati Dung. Abah dan Mamah doakan, kata abahnya. Jangan lupa sholat, juga ngajinya, biar Allah tetap melindungi Dudung, kata Nyi Akhmad. Dia mengusap kepala anaknya. Dudung memeluk ibunya, kemudian mencium pipi ibunya seperti gaya anak Jakarta mencium 107

pipimami mereka. Nyi Akhmad mengusap pipi yang baru dicium anaknya. Geli rasanya dicium dengan cara begitu. Kok, diusap, Mah? tanya Romlah. Abis nyiumnya kayak orang Belanda, Mamah jadi geli, kata Nyi Akhmad. Bukan kayak orang Belanda, Mah, itu ciuman gaya Kebayoran. Belanda udah kagak ada di sana, yang ada orang Amerika, kata Dudung. Ia melepaskan pelukan mamahnya, lalu pergi ke abahnya yang memandangnya dengan sorot mata bangga. Dudung menunduk di depan abahnya, lalu mencium tangan sang abah sekali lagi. Haji Akhmad mengusap-usap rambut Dudung yang gondrong. Mulutnya membaca A-Fatihah. Selamet kau Nak, katanya. Berkat doa Abah dan Mamah, kata Dudung. Kemudian ia menoleh ke Romlah. Romlah datang mendekatinya. Kang Dudung, Om mau dicium pipi, kata Romlah. Ia mengangsurkan pipinya. Dudung mencium pipi sang adik. Cup! Romlah senang betul, dia membayangkan dirinya seperti anak gadis Kebayoran Baru yang lincah dan hangat. Kalau datang lagi bawain Lepis yang kancingnya enam belas, Kang Dudung, kata Romlah. Dudung tersenyum. Jangankan kancing enam belas, Lepis yang kancingnya enam lusin juga Kang Dudung bawain buat Om. Tapi Om jangan nakal-nakal ya, kata Dudung. Nasehatnya persis nasehat anak Gedongan di Kebayoran. Romlah mengangguk-angguk. Ia merasa bangga punya kakak Dudung. Gayanya sekarang keren betul. Jaket stelan blujins dengan celananya. Kacamata hitam yang melongok 108

dari dalam kantung jaket menambah kegagahan kakaknya itu. Permisi Abah, Mamah, Dudung pergi. Ayuh, Om, kata Dudung. Lalu ia berjalan keluar diantarkan oleh adik, abah dan emaknya. Dudung menyemplak sepeda motornya. Dia memakai kacamata hitam, kemudian mengaca di kaca spion. Mesin motor dihidupkannya. Suara knalpot menderu-deru karena Dudung sengaja memainkannya seperti gaya pembalap motor. Dengan membaca Bismillah, Dudung memasukkan gigi satu motornya. Motor berjalan perlahan. Romlah, abah dan mamahnya melambaikan tangan. Dudung membalas lambaian mereka. Gigi dua dimasukkannya, motor melaju ke depan. Beberapa gadis tetangganya memandang Dudung dengan penuh kekaguman dari halaman rumah mereka masing-masing. Dudung tersenyum pada mereka. Gigi tiga dimasukkannya. Lantas dia ngebut ke depan, lenyap dari pandangan mata gadis-gadis yang kagum itu. ****

109

SEMBILAN

sok harinya, usai jam sekolah. Anna berjalan bersama Maya, keluar dari pintu gerbang sekolah. Anna menggamit tangan Maya. Maya, besok malam kamu datang ya ke rumah saya. Ada pesta kecil. Bisa datang ya? kata Anna. Pesta apa, An? tanya Maya. Saya ulang tahun. Pesta kecil-kecilan kok. Datang ya. Dan, Anna ragu-ragu meneruskan ucapannya. Ia menyimpan senyum kecil di sudut bibirnya. Ada apa? tanya Maya. Oom Boy membunyikan klakson mobil tanda agar Anna segera datang. Anna Karenina tidak menggubris isyarat itu. Dia menyentuh lengan Maya dan berkata lirih, Ng kalau Ali Topan mau datang juga boleh. Tolong bilang ya, Anna mengundang dia dan juga Bobby, Dudung serta Gevaert. Wajah Anna agak merah waktu mengatakan hal itu. Tapi segera Maya mengangguk dan berkata iya. Entah kenapa, Maya suka sekali mendengar Anna mengundang Ali Topan. Dia merasa punya satu berita yang sangat eksklusif buat Ali Topan.Selama ini dia mengambil sikap diam-diam sebagai mak comblang bagi pembangunan cinta Anna Karenina dan Ali Topan. Kini ada undangan itu, Maya merasa percomblangannya mulai menampakkan hasilnya. Maya merasaAli Topan memang jatuh hati ke Anna. Ia tahu diri, karena merasa cintanya hanya sepihak ke Ali Topan. Ia memilih tetap jadi sahabat Ali Topan. Maya 110

seorang gadis yang realistis dan siap berkorban untuk kebahagiaan Ali Topan. Karena ia tahu di balik keberandalan dan kejeniusannya, Ali Topan tidak bahagia karena kebrengsekan orangtuanya. Ali Topan pernah bilang itu kepadanya. Anna Karenina berlari kecil menuju Mercedesnya, karena dari belakang tampak Ali Topan cs menuntun motor masing-masing menuju pintu gerbang. Oom Boy langsung menggelindingkan Mercy-nya. Sekilas matanya melirik ganas ke arah Ali Topan cs. Cuih! Oom Boy meludah ke jalanan. Dalam bayangannya dia meludahi muka Ali Topan. Anna Karenina melengos ke arah lain. Ia benci betul melihat kelakuan Oom Boy yang menjijikkan itu. Maya tersenyum kecil ke arah Ali Topan cs yang mendekatinya. Ada apa senyam-senyum gini ari, May? Udah gila lu! kata Gevaert, nanti kucium baru rasa kau, tambahnya. Ih! Maya memekik. Wajahnya yang penuh senyum mendadak berubah masam. Dia memandang tajam ke arah Gevaert. Vaet! Sok aksi lu! Kayak yang kecakepan aja! kata Maya. Gevaert bukan marah, justru tertawa terbahakbahak. Bagus, gitu dong jadi cewek. Kalau dikatain cowok jangan kalah gertak, katain lagi, lebih sadis lebih nikmat, kata Gevaert. Sekali lagi Maya menampakkan wajahnya yang garang. Dia melotot ke arah Gevaert. Dia ingin meninju muka Gevaert, anak Indo yang suka konyol itu. Di matanya, Gevaert tak pernah beres. Selalu berusaha membuat lelucon, sialnya lelucon Gevaert tak pernah 111

kena baginya. Entah karena keadaannya yang tidak mengizinkan, entah karena dia sebal pada Gevaert. Maya tak pernah tahu bahwa Gevaert diam-diam naksir padanya. Tapi Gevaert cuma berani naksir di dalam hati. Dia merasa malu kalau ada yang tahu bahwa dia naksir Maya. Ia pun tak mengungkapkan perasaan yang ia pendam itu ke taman-temannya.Tapi Maya merasakan getaran itu... Doo dooo, kalau cemberut gitu makin manis aje, May. Ntar gua tukarin ayam lu. Tampang kayak lu bisa laku lima ayam negeri tambah telor dua kilo, kata Gevaert. Ali Topan, Bobby dan Dudung tertawa serempak mendengar lelucon Gevaert. Tapi Maya gusar betul. Tanpa banyak cingcong, Maya melayangkan tangan kirinya. Plaar! Muka Gevaert ditamparnya. Gevaert terkejut, demikian juga Ali Topan, Bobby, Dudung dan beberapa anak lain yang menyaksikan peristiwa itu. Bahkan Maya sendiri pun terkejut melihat hasil karya-nya. Wajah Gevaert yang putih bertanda lima jarinya. Tapi aneh. Gevaert tak marah. Ia justru tersenyum manis ke arah Maya, walaupun dia tetap mengusap-usap wajahnya. Tak seorangpun menduga betapa bahagia hati Gevaert saat itu. Tamparan Maya, di depan umum, dirasakan sebagai ungkapan kasih sayang. Maya cepat reda dari kegusarannya. Wajahnya tampak menyesal. Kamu sih, Vaert, suka bikin panas orang. Siang-siang begini becanda. Mending kalau lucu, kata Maya. Tapi wajahnya menyunggingkan senyuman. Gevaert merasakan senyuman itu sebagai obat. Kamu jangan marah beneran dong. Kan saya cuma becanda aja. Sorry deh, May, kata Gevaert. Saya juga sorry deh, kata Maya. Wajahnya berubah 112

manis kembali. Dia memandang Ali Topan yang tersenyum simpul. Maka iapun ingat pesan Anna untuk Ali Topan. Eh, Topan kamu diundang ke rumah Anna besok malam. Dia ulang tahun, kata Maya, Bobby, Dudung dan Gevaert juga diundang, tambahnya. Ali Topan kaget. Nggak salah denger, May? Apa? Coba tolong diulang sekali lagi? kata Ali Topan. Warta berita cukup sekali. Yuk daah, kata Maya. Ia lalu berjalan meninggalkan Ali Topan cs. Maya! seru Ali Topan. Tapi Maya tidak menggubris seruan itu. Maya berjalan terus. Ali Topan langsung mengejar Maya dengan motornya. Ia merendengi jalan Maya. Sorry deh, Maya. Tapi jangan cepet tersinggung dong. Lu kan temen gua yang paling baik, kata Ali Topan mengajuk hati Maya. Kamu sih suka nggak mau percaya omongan orang. Udah bagus dikasih kabar, eh masih nggak percaya. Terserah deh, kata Maya. Ia terus berjalan. Yihuuuuuuuuy! Ali Topan memekikkan perasaan gembiranya. Trims, Maya, trims. Pokoknya jasa lu gua ukir di dalam hati seumur hidup, kataAliTopan. Maya tersenyum. Emang kerajinan perak diukir-ukir, katanya. Ia mempercepat jalannya. Ali Topan melambaikan tangan ke arah sobat-sobatnya. Yihuuuuui! Ali Topan memainkan gas motornya, si motor langsung mencelat ke depan. Bobby dan Dudung segera mengejarnya. Gevaert merendengi Maya. Maya, mau gua boncengin? kata Gevaert dengan lembut. Maya menoleh. Terima kasih deh. Gua senang jalan kaki. 113

Oke deh, gua jalan dulu ya? Ati-ati Maya, kata Gevaert. Iya. Lu juga ati-ati... kata Maya. Dia langsung memacu motornya, menyusul tiga temannya ke arah utara. Maya memandangi Gevaert sampai lenyap bersama motornya. *** Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ali Topan sudah datang di sekolah. Tidak seperti biasanya, Ali Topan duduk di bangkunya. Beberapa teman yang datang agak heran melihat keluar-biasaan Ali Topan. Tumben lu datang pagi dan duduk di kelas, Pan. Udah sadar? kata Ridwan, ketua kelasnya. Sadar sih dari dulu gua sadar. Cuma terus terang nih, sejak gua punya bini, bangun gua subuh teruuuus, Wan, kata Ali Topan. Siapa bini lu? seorang teman menyela. Di sekolah memang sudah santer gosip tentangAli Topan jatuh cinta sama Anna Karenina, tapi si teman tadi sekadar iseng bertanya, mungkin sekaligus untuk mentes Ali Topan. Masa lu kagak tahu siapa bini gua? kata Ali Topan. Tepat pada saat Ali Topan selesai berkata, Anna Karenina muncul di pintu kelas. Anna tersenyum pada Ali Topan dan teman-temannya yang lain. Selamat pagi! kata Anna pada mereka. Selamat pagi, bidadari, Ridwan, ketua kelas membalasnya. Ridwan mengerjapkan mata ke arah Anna Karenina. Kerjapan mata itu membuat Anna tersipu-sipu.Ali Topan langsung menengok ke Ridwan. Ridwan mengerjap pula ke arahnya. Ketua kelas itu jelas menggoda Ali Topan. Ali Topan cuma bisa senyam-senyum sendiri. Dia yang biasa 114

paling rame di dalam kelas, bahkan di sekolah, seakanakan tak bisa berkutik. Hatinya berdenyut lebih keras. Dari rumah dia sudah berniat untuk menyalami Anna Karenina. Dia sudah mengatur gaya dan mimik yang paling baik dan paling simpatik pada saat mengucapkan selamat ulang tahun. Itu didorong oleh kepercayaan bahwa pesan yang disampaikan Maya tentang undangan dari Anna, benar-benar pesan asli. Tapi dia jadi sangsi ketika melihat Anna Karenina masuk ke dalam kelas dengan sikap yang biasa, sikap yang sedikit acuh tak acuh. Anna tak memberikan salam khusus untuknya. Ia mengucapkan selamat pagi pada Ridwan, Rudi, Dodo dan teman-teman lainnya, tapi sedikitpun tak memberi perhatian khusus padanya. Padahal Ali Topan sudah menyiapkan diri sejak tadi malam untuk menyambut hari ini. Ternyata hari ini tidak sesuai dengan harapan hari kemarinnya. Ali Topan tidak tahan dengan situasi galau yang melingkupinya. Pikirannya dipenuhi sesuatu yang tidak enak. Dia jadi curiga, apakah Maya sengaja mempermainkannya? Apakah Maya mengirim pesan palsu? Rasanya tidak mungkin. Maya tahu, bahkan seluruh manusia di sekolah ini tahu bahwa seorang yang punya nama Ali Topan tidak pernah bisa dipermainkan! Aneh. Aneh. Aneh. Otak Ali Topan dipenuhi kata-kata itu. Jangankan mengucapkan selamat pagi, melirikpun tidak dia, padahal jelas-jelas dia melewati bangku Ali Topan. Huh! Keangkuhan model begini baru seumur hidup dirasakannya. Biasanya dia yang selalu mengambil inisiatif dalam situasi macam apapun. Kini dia nyata-nyata dipermainkan situasi di luar dirinya. Ali Topan gelisah! Bobby masuk ke dalam kelas. Dudung dan Gevaert 115

yang bersamaan datang ke sekolah melongok dari pintu kelas. Bobby berjalan ke bangkunya dan menaruh tasnya di atas meja. Kelas III Pal ada dua kelas. Ali Topan dan Bobby di kelas III Pal 1, Dudung dan Gevaert di kelas III Pal 2. Tumben lu, pagi-pagi udah nongol, Pan. Pantesan kagak nyamper gua.Tau begitu kan nggak gua tungguin, kata Bobby. Dia melirik ke Ali Topan, lalu melirik Anna Karenina yang sibuk membersihkan bangkunya. Udah lupa sama kawan, Gevaert berkata dari pintu. Ali Topan makin gelisah. Teman-temannya bercanda, tapi rasanya gurauan mereka merupakan sindiran yang kena betul ke hatinya yang sedang gelisah. Ali Topan berdiam diri. Wajahnya agak tegang. Dudung dan Gevaert melihat wajah yang tegang itu. Mereka tahu gelagat. PastiAliTopan sedang serius, sebab dia biasanya paling ramai dalam setiap pertemuan, di mana saja dan kapan saja. Dudung menowel Gevaert. Ayo dulu, Vaert. Ntar aja kita tanya urusan si Topan, kata Dudung. Gevaert mengangguk. Oke bunga-bunga harapan bangsa... Selamat belajar, semoga sukses, kata Gevaert. Omongannya serius, tapi nadanya bercanda. Ali Topan berdiam diri. Dia sedang sibuk menekan kegelisahannya. Maya datang. Ali Topan langsung memandang tajam ke arahnya. Hai, apa kabar? sapa Maya. Ia berjalan mendekati Ali Topan, hendak terus ke bangkunya di bagian belakang. Ali Topan semakin mempertajam pandangan matanya. Maya kaget dipandang dengan cara begitu. Eh, kamu kenapa sih? tanya Maya. Ia berhenti di depan Ali Topan. Ali Topan menatap Maya. Ali Topan penasaran. Semalam ia menghubungi Maya 116

lewat telepon, ingin mendapat penegasan tentang undangan ulang tahunAnna, tapi Maya tak di rumah. Bukan ia tak percaya, tapi ia ingin Maya menceritakan secara rinci adegan dialog Anna Anna ketika menyampaikan undangan lisan itu. Dan minta tolong agar Maya memintakan undangan tertulis. Maya nggak mau. Maka Ali Topan agak marah kepada dia. Maya juga jadi kesal ke Ali Topan. Maya yang merasa tidak ada apa-apa balas menatap Ali Topan. Keduanya berpandangan. Maya! Sini dong! seru Anna Karenina. Ia tak cuma berseru.Anna Karenina menghampiri bangkuAli Topan. Anna tersenyum pada Maya. Dan ia tersenyum juga pada Ali Topan. Ada apa sih? Kok diem-dieman? kata Anna. Nggak tau nih. Salah makan kali dia, pagi-pagi udah melototin gua, kata Maya. Berani betul gadis ini. Ali Topan sampai kaget mendengar ucapannya. Secara refleks dia bangkit dari duduknya. Wajahnya tegang betul. Dia cuma mendengus, kemudian berjalan keluar kelas. Maya dan Anna berpandangan. Bobby dan temanteman lain menyaksikan adegan itu dengan heran. Ada apa sih, dia Bob? Kok kayaknya marah sama gua? tanya Maya. Bobby cuma mengangkat bahunya. Maya memandang Anna, kemudian dia berjalan ke bangkunya.Anna Karenina mengikutinya dari belakang. May, bisik Anna, saya jadi takut mau kasih ini sama dia, tambahnya. Anna memperlihatkan sebuah amplop yang diselipkan di sebuah buku yang dibawanya. Maya memandang Anna. Kamu kasih saja langsung ke dianya, bisik Maya. Anna Karenina menggelengkan kepalanya. Saya malu, May, bisik Anna. 117

Malu? Emang kamu nggak pake baju, pake malu segala, gumam Maya. Ayo deh, kita keluar. Kamu kasih dia deh buru-buru, tambahnya. Maya menarik tangan Anna Karenina. Mereka keluar kelas. Ali Topan sedang duduk sendiri menyender pilar di ujung Barat sekolah. Maya dan Anna melihatnya. Ali Topan melirik sekilas ke arah mereka, lalu dia membuang pandangannya ke arah lain. Pssst, kamu kasih sendiri deh. Cepetan, bisik Maya. Ah malu, ah. Kita berdua dong, bisikAnna Karenina. Kalau malu ya udah! Maya berkata dengan nada gemas. Anna juga kaget mendengar nada gemas itu. Dia memandangi Maya. Gimana dong? katanya. Terserah deh. Tapi jelas kalau kamu nggak undang langsung dia, dia nggak bakalan mau dateng. Kamu belum kenal adat dia sih, kata Maya. Dia membalikkan badan, hendak masuk kembali ke dalam kelas. Kamu tunggu di sini dong. Ya? kata Anna. Dia berjalan cepat dan langsung menuju Ali Topan. Ali Topan mendengar kedatangannya, tapi sedikitpun tidak menengok. Dalam hati kecilnya merasa, pastiAnna dan Maya keluar mengandung maksud tertentu pada dirinya. Tapi dia sudah terlanjur tersinggung dan membangun prasangka buruk pada gadis-gadis itu. Dia berprasangka Maya dan Anna punya rencana aneh, semacam permainan yang sukar diduga. Dan dia tak bernafsu untuk ikut dalam permainan itu. Anna Karenina berhenti di samping Ali Topan. Ali Topan menggosok-nggosok sepatunya yang berdebu dengan telapak tangannya. Sama sekali dia tidak menengok ke atas, walaupun ujung sepatu Anna tampak jelas di sampingnya. Malah mau rasanya dia menggaet 118

betis si Anna dan menjatuhkan gadis itu supaya tahu bahwa Ali Topan tidak bisa dipermainkan. Haiiii, suara lembut meluncur dari bibir Anna Karenina. Ali Topan mendengar teguran itu. Hatinya sedikit bergetar. Tapi dia tetap berusaha untuk berdiam diri. Dia merasa kurang percaya bahwa teguran itu berasal dari Anna. Ali Topan kamu kok diam saja? Kenapa? suara lembut Anna Karenina memasuki telinganya. Sungguh menyejukkan. Perasaan Ali Topan kembali tergetar. Perlahan, sangat perlahan, dia menengadah. Sepasang matanya memandang ke atas dan berlabuh di wajah manis Anna Karenina. Sepasang mata gadis itu bersinar lembut, hangat, bibirnya separuh terbuka menyungging seulas senyum yang polos. Seketika buyarlah segala kemelut di dalam hatiAli Topan. Tatapan mata Anna Karenina mengusir segala prasangka yang ada di kepalanya. Haaaaiiii, bisik Ali Topan, kamu panggil saya? tambahnya. Anna Karenina mengangguk. Ali Topan segera berdiri. Kamu sedang apa? bisik Anna. Sedang melamun? Melamun apa sih? Melamunkan kamu, kata Ali Topan tegas. Anna Karenina tersentak oleh jawaban yang mantap itu. Wajahnya bersemu dadu. Dia jengah. Ia menunduk. Mulutnya serasa terkunci. Kemudian ia menengadah kembali, memandang Ali Topan. Wajah yang selalu membayang dan senyuman yang selalu dilamunkannya kini berada di dekatnya. Sorot mata Ali Topan terasa meluluhkan semangatnya. Maka hati gadis manis itupun tergetar. Getaran itu 119

mengalir ke jari-jari tangannya dan membuat buku yang dipegangnya turut tergetar. Sebuah amplop jatuh dari dalam buku itu. Ali Topan bergerak sebat memungut amplop itu dan diberikannya pada Anna. Itu untuk kamu, bisik Anna. Dari siapa? tanya AliTopan.Anna Karenina tak perlu menjawab lagi karena Ali Topan membaca namanya di amplop itu sebagai alamat yang dituju danAnna Karenina sebagai si pengirim. Ali Topan membuka mulutnya, hendak mengucapkan terima kasih. Namun Anna Karenina sudah membalikkan diri dan berjalan cepat menuju kelas. Bel tanda masuk berdentang-dentang. Ali Topan melihat amplop itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. Iapun berjalan menuju kelas. Langkahnya mantap, walaupun banyak anak yang memandang ke arahnya. Ia tak peduli. *** Jam pertama Ilmu Kimia. Ali Topan tak punya minat mengikuti pelajaran itu. Dia ingin agar semua pelajaran cepat berlalu. Saku bajunya terasa berat seperti berisi batu. Sebentar-sebentar dia meraba sakunya untuk mencek apakah surat dari Anna masih ada, apa sudah lenyap. Dia ingin segera membuka amplop dan membaca surat berharga itu. Apa sih isinya? Ketika Pak Hartanto sedang menuliskan rumus-rumus Kimia di papan tulis, secepat kilat Ali Topan mengambil surat dari sakunya. Bobby melirik kepadanya. Ali Topan menutupi mulut dengan jari telunjuk, isyarat agar Bobby diam-diam saja. Pelahan tapi pasti, Ali Topan membuka sampul surat yang ditutup dengan sedikit perekat plastik. Dia ambil kertas surat hijau dan membuka lipatannya. 120

Jakarta, 1 Agustus 1978 Ali Topan Yang . Kamu datang ke rumah saya nanti malam ya Teman-teman kamu juga boleh datang Hari ini saya ulang tahun Anna Karenina p.s. Nggak usah bawa kado deh. Pokoknya datang saja jam 19.30 tepat.

Isi surat cukup pendek, tapi sangat menggoncangkan perasaan! Tangan kirinya yang memegang surat itu bergetar. Lu ngapain sih, kayak orang mabok aja, gumam Bobby. Ali Topan tersadar. Ia cepat melipat kembali surat kertas hijau itu. Sebelum dimasukkannya ke dalam amplop, diciumnya surat itu dengan mesra. Lu kenapa, Pan? gumam Bobby lagi. Disikutnya lengan Ali Topan. Ali Topan cuma menjawab dengan sebuah senyuman. Ia memasukkan surat itu ke dalam sakunya kembali. Pak Hartanto mulai memberikan pelajaran. Muridmurid menyimak dengan baik, kecuali Ali Topan dan Anna Karenina. Kedua remaja itu merasa gerah di dalam kelas. Pikiran mereka tidak penuh berkonsentrasi ke Ilmu Kimia. Mereka sibuk dengan lamunan masing-masing. Jam-jam pelajaran berikutnya, mereka tetap tidak bisa berkonsentrasi secara penuh. Saat bel berdentangdentang tanda usai sekolah, barulah hati keduanya merasa lega. 121

Anna Karenina keluar kelas lebih dulu. Dia berjalan cepat menuju mobilnya. Oom Boy sudah siap di belakang stir. Tanpa banyak pernik lagi Oom Boy menghidupkan mesin mobil dan langsung menancap gas. Mercedes itu seakan-akan melonjak meninggalkan tempat parkirnya. Ali Topan dikelilingi tiga sobatnya di tempat parkir motor. Ia baru saja memberitahu mereka tentang undangan dari Anna. Dia bilang sih nggak usah bawa kado, tapi mana enak kita datang nggak bawa kado? Gengsi kita, man! Gua pikir-pikir gimana nih kalau kita patungan, sorang berapa kek, buat beli kado yang rada pantes, kata Ali Topan. Yeee, enak banget lu. Lu yang punya minat masa kita musti ikut repot? kata Bobby, kalau emang nggak ada duit, nggak usah gengsi-gengsian deh, tambahnya. Ali Topan sudah mengira Bobby pasti bersikap demikian. Bobby manusia pelit dan paling pintar mencari alasan untuk menutupi sifatnya itu. Menurut lu gimana Vaert? tanya Ali Topan. Gua sih lagi bokek, mack. Jadi percuma gua kasih pendapat. Gua bilang oke, gua nggak bisa patungan. Gua bilang nggak oke, sulit juga, soalnya kita kan satu geng. Jadi gua abstain deh, kata Gevaert, Tapi menurut gua sih, Anna ogah dibawain kado, kalau kita bawain juga nanti dia tersinggung kan jadi repot, tambahnya. Ali Topan tampak berpikir. Dia tidak menanyai Dudung sebab dia tahu Dudung pasti berkata oke, apapun yang dia ajukan. Dia tahu sifat Dudung, sifat anak desa yang polos. Apalagi Dudung baru pulang mudik, pasti duitnya banyak. Tapi Ali Topan tak ingin mengganggu Dudung. Dia berpikir, ada benarnya juga perkataan Bobby walaupun pahitkalau nggak punya duit 122

nggak usah gengsi-gengsian! Oke deh! Kita jalan, kata Ali Topan, nanti malam ngumpul di rumah Gevaert jam tujuh ya? tambahnya. Ketiga temannya berkata iya. Mereka langsung pulang ke rumah masing-masing, tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka. Yang jelas, terasa ada suasana baru memasuki kehidupan persahabatan mereka. Selama ini mereka seakan-akan menganggap bahwa dunia ini hanya berisi 4 manusia, tapi kini ada seorang gadis memasuki dunia mereka. Masing-masing lalu menyadari situasi itu, situasi yang mulai berubah, tapi mereka tidak tahu apakah ia berubah baik atau buruk bagi persahabatan mereka berempat. *** Mbok Yem sedang bercakap-cakap dengan Windy, kakak perempuan Ali Topan, ketika Ali Topan masuk ke dalam kamarnya. Hei! seru Windy. Hei! seru Ali Topan sambil melemparkan tas sekolah ke tempat tidurnya. Windy mendekatinya, lalu memeluk Ali Topan dan mencium pipi si adik. Apa kabar nih? Kangen gua, Pan. Mbok Yem bilang lu suka ngayab terus, jarang ada di rumah. Gimana sekolah lu? Beres? Terusin deh sekolah, jangan males. Sekolah itu penting buat masa depan. Kalau orang nggak sekolah itu bisa susah hidupnya. Lu nggak mau jadi tukang-minta kan? kata Windy. Dia selalu begitu, artinya selalu banyak memberi nasehat kapan saja, di mana saja. Ali Topan hafal sikap kakaknya itu. Suka sekali memberi nasehat pada orang lain. Ali Topan suka bosan dengan nasehat Windy yang itu ke itu melulu, yang bagi 123

Ali Topan hal itu tak lebih dan tak kurang sebagai over kompensasi dari jiwa Windy yang tidak stabil. Tumben lu inget ini rumah? Gue kira lu nggak mau balik lagi ke sini, kata Ali Topan. Windy diam saja. Gua kangen sama lu, kata Windy. Kalau kangen, lu bawa aja foto gua, kata Ali Topan. Dia tersenyum. Windy ikut tersenyum. Mereka samasama maklum bahwa senyuman mereka bersifat seadanya. Jeruk peresnya habis. Minum air es saja Den Bagus? Mbok Yem menyela. Ya, Mbok, kata Ali Topan sambil menepuk bahu Mbok Yem. Mama ke mana sih? Masih belum insap juga ya? Kapan sih mama dan papa insap ya, Pan? gumamWindy setelah Mbok Yem keluar kamar. Ali Topan heran. Tumben Windy mengkritik papa dan mama mereka. Selama ini Windy tak peduli. Ia sibuk dengan urusannya sendiri dengan teman-temannya yang nggak jelas. Aaaah, biar aja deh, Win. Mau insap kek, mau kagak kek, mereka sendiri yang mikul dosanya. Rasanya lucu kalau kita ngasih nasehat sama orangtua kita, iya kagak? Tapi kan kita jadi malu sama orang-orang lain. Gua jadi nggak ngarti apa maunya sih mama dan papa begitu. Kerdil amat jiwa mereka ya? Mbok Yem masuk membawa segelas air es. Ali Topan meminum air es itu, setengah gelas. Sisanya diberikan pada Windy. Windy meminum air itu. Mbok Yem keluar kamar, dia mengerti bahwa lebih baik dia tidak hadir di saat kakak beradik itu sedang berbicara. Soal mau sih emang malu. Tapi keadaannya runyam begini lantas kita mau apa? Gua kan ribut melulu sama 124

Papa. Ntar kebanyakan ribut gua kuwalat lagi. Mendingan cari idup sendiri-sendiri deh, Win, kata Ali Topan. Nggak begitu dong. Mereka kan orang tua kita. Kalau mereka khilaf, kan kita yang ngasih tahu. Kalau ember bocor kena dibikin betul, kalau mental orang yang bocor kan susah nyoldernya. Menurut gua sih, emang sekarang lagi jamannya orangtua jadi rusak. Bukan cuma orangtua kita, Win, orangtua temen-temen gua juga kebanyakan rusak semua. Udah jamannya, kata Ali Topan. Ali Topan mencopot sepatunya, kemudian mencopot pakaiannya di depan Windy. Windy memandang adiknya dengan sorot mata sedih. Si adik ini suka kasar dan plasplos omongannya, tapi kebanyakan benar dan logis. Lu mau pergi lagi? tanya Windy ketika dilihatnya Ali Topan membuka lemari dan mengeluarkan baju dan celana jeans. Nanti malem gua pergi, jawab Ali Topan. Ke mane? Ke rumah cewek. Siapa cewek lu? Ceritain dong. Lu kira gua pengarang yang suka cerita perkara cewek. Pokoknya cewek gua tampangnya kayak Mercy, bukan kayak oplet, Win, kata Ali Topan sambil ketawa. Windy ketawa juga. Anak jendral siapa? Biasanya yang tampang Mercy kan anak jendral, kata Windy, berolok-olok. Ali Topan mengakak. Kemudian dia diam tiba-tiba. Ia memandang Windy. Win, gua mau tanya. Kalau cewek ulang tahun itu pantesnya dikasih kado apa sih? tanyanya. Windy berpikir. Dia punya hobi apa? tanya Windy. 125

Gua bukan tanya kesukaannya, gua tanya apa yang pantes. Gua baru kenal tiga hari mana gua tahu apa yang dia suka. Yang gua tahu dia suka naik Mercy. Kalau gua turuti kesukaannya kan gawat! Yang umum deh, yang murah tapi dia bisa seneng, kita beliin apa ya Win? Kita? Kita siapa? Ali Topan tersenyum. Begini. Lu susah betul nangkep omongan gua. Gua mau beli kembang buat cewek, tapi gua nggak punya duit, jadi gua minta duit sama lu. Ha ha ha. Ali Topan memeluk kakaknya. Windy meronta-ronta. Lepasin ah! Badan lu bau tuh! teriak Windy. Tapi Ali Topan tak mau melepaskan dekapannya. Kalau lu kasih duit baru gua lepasin, kata Ali Topan. Iyaaaa.. Ali Topan melepaskan pelukannya sambil tertawatawa. Windy meninju perut adiknya. Dia membuka tas, mengeluarkan Rp 3.000. Lu beliin kembang nih. Kalau lu naksir bener sama cewek itu lu beliin kembang mawar, kalau lu nggak naksir lu beliin kembang plastik, kata Windy. Sip. Ali Topan menerima uang itu. Tapi jangan lupa, kata Windy sambil berjalan keluar. Apa? Jangan lupa nulis di kartu ulang tahun, kalau duit buat beli kembang itu dari Mpok lu! seru Windy. Ali Topan tertawa sekeras-kerasnya. Sehabis makan siang bersama Windy, Ali Topan pergi membeli bunga di pasar bunga Blok B. Penjual bunga disuruhnya mengantar bunga itu secepatnya ke alamat Anna Karenina. *** 126

Jam 18.30. Ali Topan sudah rapi. Ia memakai celana jeans krem dan baju kotak-kotak kecil warna merah. Rambutnya yang gondrong sudah dikeramasinya waktu mandi, kini hampir kering. Ali Topan menyisir rambutnya di depan cermin. Jarang sekali dia menyisir rambut. Untuk Anna Karenina, dia spesial menyisir rambut. Selesai menyisir rambut, ia masih berdiri di depan cermin. Malam ini dia sedikit genit, memperhatikan segala segi wajah dan dandanannya. Setelah dirasanya cukup keren, ia bersiap keluar kamar. Jam 19.00 harus sudah berkumpul dengan Bobby, Gevaert dan Dudung untuk berangkat bersama ke rumah Anna. Mbok Yem muncul di depan pintu kamar. Tangannya menggenggam kalung rantai perak milikAli Topan yang ketinggalan di kamar mandi. Kalung itu diberikannya pada Ali Topan. Terima kasih, Mbok. Hampir aku lupa, kata Ali Topan. Ia langsung memakai kalung itu, tapi tiba-tiba kalung itu diloloskannya kembali. Ia mengamati kalung perak yang dulu dibelinya dengan harga murah dari seorang tukang loak. Sudah lebih dari dua tahun kalung itu dipakainya. Ada apa Den Bagus? tanya MbokYem ketika melihat Ali Topan berpikir-pikir. Ah, nggak, nggak apa-apa, kata Ali Topan. Ia masuk ke kamarnya lagi. Dicarinya sebuah amplop dan dirobeknya sehelai kertas dari sebuah buku tulisnya. Ali Topan menuliskan sesuatu di kertas itu, lalu memasukkan kertas dan kalung ke dalam amplop. Direkatkannya amplop itu dengan perekat plastik, lalu ditulisinya amplop itu: Untuk Anna Karenina dari Ali Topan. Amplop dimasukkannya ke dalam saku bajunya, 127

kemudian ia keluar kamar. Mbok, aku berangkat ya, katanya, bilangin juga pada Windy, tambahnya. Mbok Yem mengangguk. Ali Topan berangkat dari rumah dengan hati gembira. Sepanjang jalan ia tersenyum manis sendiri. Ia memberikan sesuatu yang istimewa untuk Anna Karenina. Semoga Anna menerimanya dengan senang hati, demikian kata hati Ali Topan. Ia tidak mengepot-ngepotkan motornya malam ini. Ia sangat berlaku sopan di jalanan. ***

128

SEPULUH

am 22.00 di rumah Anna. Sudah banyak orang datang di pesta ulang tahun Anna. Ada yang tua, ada remaja dan ada juga anakanak kecil. Undangan itu terdiri dari famili keluarga Surya, relasi dekat dan teman-teman baik Anna. Upacara meniup lilin dan menyanyikan lagu Panjang Umur belum dimulai, karena yang punya hajat sedang menunggu beberapa undangan. Yang ditunggu itu, tamu penting bagi Tuan Surya, yaitu seorang wiraswastawan muda yang baru tumbuh, tokoh dari salah satu grup pengusaha di Jakarta. Ia seorang wanita muda bernama Tiara, putri seorang pejabat tinggi yang punya pengaruh besar di pemerintahan. Tiara itu bukan teman Anna, melainkan relasi ayahnya yang diberi undangan khusus untuk hadir. Jam 20.10 manusia yang bernama Tiara itu belum tampak juga. Hampir semua tamu sudah merasa tidak sabar untuk menyantap hidangan yang sudah menantang di atas meja makan. Beberapa tamu mulai main gosip, terutama orang-orang tua dari geng famili keluarga Surya. Ibu-ibu dan tante-tante sudah sama-sama repot berbisik-bisik, yang menurut istilah Jawa itu disebut ngrasani. Tapi wajah mereka bisa kelihatan berseriseri walaupun sesungguhnya bisik-bisik mereka berisi sindiran pada yang punya hajat. Anna Karenina sendiri tampak gelisah. Beberapa temannya sudah langsung bertanya, kenapa acara belum dimulai. Anna cuma bilang bahwa ada tamu yang 129

ditunggu. Ketika jam 20.13 Tiara tidak muncul, Tuan Surya mengambil keputusan untuk memulai acara. Segera ia memanggil Anna Karenina untuk berdiri di depan 17 batang lilin yang ditancapkan pada sebuah kue tarcis. Pak Surya sendiri yang memimpin acara. Ia bertepuktepuk tangan seperti orang memanggil ayam-ayam piaraan. Dan, para tetamu itupun datang bergerombol mengelilingi meja upacara. Oom Boy menyalakan lilin ulang tahun. Seseorang sudah siap dengan alat pemotret. Suasana hening. Pak Surya berpidato. Ia pidato tentang ini dan itu yang ada hubungannya dengan kelahiran Anna. Iapun memimpin doa untuk kebaikan Anna Karenina. Ketika ia hendak sampai pada akhir doanya, deruman suara motor terdengar memasuki halaman rumah. Keheningan suasana terganggu sesaat. Para hadirin sempat menoleh ke arah halaman. Mereka melihat 4 sosok manusia mematikan mesin motor. Pak Surya menutup doanya. Amin. Para hadirin beramin-amin pula. Begitu selesai, Pak Surya bertepuk tangan sekali lagi dan meminta para hadirin bersama-sama menyanyikan lagu Panjang Umur. Maka merekapun bernyanyilah. Empat penunggang motor yang baru datang adalahAli Topan, Bobby, Gevaert dan Dudung. Mereka langsung masuk ke dalam dan langsung menuju kerumunan orang yang bernyanyi. Ali Topan cs menganggukkan kepala kepada orang-orang yang memandangi mereka dengan sorot mata bertanya-tanya.Anna tersenyum ke AliTopan. Wajah gadis manis itu berseri-seri. Lagu selesai, Anna meniup lilin. Para hadirin bertepuk tangan. Tuan dan Ny Surya menciumi pipi Anna, kemudian para tetamu bergantian menyatakan selamat 130

hari ulang tahun dengan cara masing-masing. Ada yang cuma menyalami tangan Anna, ada pula yang ikut-ikutan mencium pipi Anna. Ali Topan berjalan menghampiri Anna, diikuti oleh tiga sahabatnya. Anna cepat-cepat melepaskan genggaman tangan seorang famili yang menyalaminya. Haai, kirain nggak dateng...? Anna berbasa-basi. Dateng dong, masa diundang nggak dateng, kata Ali Topan, Ng selamat ulang tahun Anna, semoga panjang umur dan bahagia, tambahnya. Ia menyalami Anna dengan hangat sekali. Wajah Ali Topan berseriseri. Anna pun demikian pula. Keduanya nyaris lupa bahwa di sekitar mereka banyak manusia lain yang memperhatikan dengan pandangan bertanya-tanya, kalau tidak ada seseorang berdehem dengan sengaja. Oom Boy yang berdehem itu. Terima kasih ya, bunganya baguuus sekali, Anna senang sekali deh, kata Anna. Ia melepaskan genggaman tangan Ali Topan. Tapi Ali Topan tidak segera beranjak untuk memberikan giliran temantemannya mengucapkan selamat pada Anna. Ali Topan mengambil amplop dari kantungnya dan memberikannya pada Anna. Ini untuk kamu, An, kata Ali Topan. Apa sih? Kok repot-repot? kata Anna, terima kasih ya, kata Anna. Ia menerima pemberian Ali Topan. Ditimang-timangnya amplop berisi kalung itu, lalu dirabanya dengan jarinya. Wajahnya tampak senang sekali. Kamu simpan baik-baik ya, bisik Ali Topan, lalu dia undur ke belakang. Bobby, Dudung dan Gevaert berturutturut menyalami Anna. Ali Topan melihat ke sekitarnya. Tuan dan Ny Surya berdiri memperhatikannya. Ny Surya berbisik-bisik pada 131

suaminya. Kelihatan sekali sorot mata Ny Surya tidak senang melihat kehadiran Ali Topan. Ali Topan menghampiri ayah dan ibu Anna. Ia mengulurkan tangan pada Tuan Surya. Selamat untuk Anna, Oom, kata Ali Topan. Tuan Surya mengangguk dan menjabat tangan Ali Topan. Ia menggumamkan terima kasih yang tidak jelas terdengar di telingaAli Topan.Ali Topan menyalami Nyonya Surya dengan mengucapkan selamat pula untuk Anna, tapi Nyonya Surya tidak segera menyambut uluran tangan Ali Topan. Nyonya Surya menatap mata Ali Topan kemudian dia memperhatikan Ali Topan dari atas ke bawah. Oom Boy berdehem di sebelahnya. Nyonya Surya dan Ali Topan sama-sama melirik ke arah Oom Boy. Ali Topan melihat sinisme yang terang-terangan di wajah Oom Boy. Ia merasa suasana yang tidak enak. Cepat ia melihat ke arah Nyonya Surya. Tangannya masih diulurkan untuk menyalami Nyonya Surya. Nyonya Surya menyentuh sedikit tangan Ali Topan kemudian cepat-cepat menarik tangannya, seolah-olah jijik menyentuh tangan itu. Kamu yang ada di Blok M waktu itu ya, kata Ny Surya. Pandangan matanya dingin. Beberapa tetamu melihat adegan yang kaku itu. Iya, Tante, kata Ali Topan. Ah, suasana sungguh tidak enak bagi Ali Topan. Dia merasa bahwa kehadirannya tidak disukai oleh Nyonya Surya. Dia maklum.Anna Karenina juga maklum akan situasi yang tidak enak itu. Hatinya berdebar-debar. Semua orang di ruang itu memusatkan pandangan pada Ali Topan. Untunglah Tuan Surya bertindak bijaksana. Dia menepukkan tangannya lalu berkata keras-keras pada para 132

hadirin, menyilakan makan. Nyonya Surya membuang muka dari pandangan Ali Topan. Dia segera berjalan meninggalkan Ali Topan. Nyonya Surya ikut menyilakan para tetamu. Suasana kaku berubah luwes dan gembira kembali. Para tetamu tidak lagi memperhatikan Ali Topan. Anna Karenina menghampiri Ali Topan yang tegak berdiri. Hey, ayo dong makan, kata Anna dengan lembut. Wajah Ali Topan tampak tegang. Ia tidak tersenyum pada Anna. Anna merasakan ketegangan itu. Ia menunduk. Ada kesedihan merambati hatinya. Bobby, Dudung dan Gevaert datang. Bobby menyentuh lengan Anna. Kok kue ulang tahunnya nggak dipotong, An? kata Bobby. Buat disimpan tahun depan ya? kata Gevaert. Dua kalimat itu mampu menyadarkan Ali Topan dan Anna. Keduanya tersenyum. Ali Topan menyentuh lengan Anna. Sorry, Anna, bisik Ali Topan. Kemudian mengajak Anna dan teman-temannya. Matanya redup. Hidangan di meja berlimpah ruah. Ada ayam panggang, ayam goreng, sambal goreng ati dan pete, sop sarang burung, bakmi, ayam goreng, capcay, sate Madura, dan banyak lagi jenis makanan yang tampak sangat sedap. Tapi Ali Topan cuma mengambil seperempat piring nasi putih, sesendok acar ketimun dan bawang merah serta sayap ayam goreng. Kok sedikit makannya? Ayo, jangan malu-malu, seorang tante berwajah ramah menegur Ali Topan. Ali Topan melirik padanya. Ia tersenyum singkat pada Ali Topan dan mengerjapkan matanya dengan genit. Ali Topan tak menggubris kerjapan mata sembrono itu. Ia berjalan ke tempat minum, mengambil segelas air the dingin, lalu berjalan menuju halaman. Ali Topan duduk 133

di bawah lampu taman. Kok sedikit sekali makannya. Takut gemuk ya, Pan, seorang gadis menyapanya. Ali Topan menengok. Hai, Maya. Gua kira siapa lu? Gua lagi kagak napsu makan nih, kata Ali Topan. Maya duduk disampingnya. Bobby, Dudung dan Gevaert datang beruntun. Hai. Hai. Hai. Mereka berhai-hai-an. Makanannye sih enak-enak, tapi gua nggak napsu banget ye, kata Ali Topan. Ia menyendok nasi dan menyuapkannya ke mulut Maya yang sedang mangap. Maya terperanjat, tapi nasi suapan Ali Topan begitu tepat masuk ke dalam mulutnya. Maya memekik. Nasi tumpah dari mulutnya.AliTopan dan kawan-kawannya tertawa. Maya memukul lengan Ali Topan. Sialan deh, ih, kata Maya. Toh mulutnya tersenyum. Abis mulut lu nganggur, jadi gua suapin deh lu, kata Ali Topan. Badung lu nggak kira-kira deh, kata Maya sembari membersihkan mulutnya dengan saputangan. Anna datang. Wajahnya sedih. Ia berdiri di dekat Ali Topan, matanya redup. Kamu marah ya, katanya. Siapa? tanya Ali Topan. Kamu. Marah sama siapa? Sama mama saya. Ah, nggak. Mama kamu kan yang marah pada saya, kata Ali Topan. Ia mendongak. Dilihatnya wajah Anna. Ah, mata gadis itu berkaca-kaca. 134

Hei, kenapa? kata Ali Topan. Ia berdiri perlahan. WajahAnna tampak sedih dan muram. Matanya makin berkaca-kaca. Ali Topan tiba-tiba merasa iba. Dan tibatiba pula ia mengusap airmata yang menetes di pipiAnna dengan tangannya. Kamu jangan nangis, bisikAli Topan. Lembut sekali. Anna terhisak. Ia mengusap airmata dengan saputangan. Aaaaah, saya cengeng ya, kata Anna. Seketika ia tersenyum. Ali Topan juga tersenyum. Bobby, Dudung dan Gevaert pun pura-pura tidak melihat adegan itu. Maya, yang tidak tahu persoalan di dalam rumah, terheran-heran. Kamu masuk deh, layani tamu-tamu yang lain, kata Ali Topan. Anna mengangguk. Ia menyentuh tangan Ali Topan, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Maya mengikutinya dari belakang. *** Ali Topan makan dengan cepat. Nasi putih tak lagi dikunyahnya secawajar, demikian juga sayap ayam goreng. Dia cepat menyelesaikan makannya, lalu meminum air teh dingin. Teman-temannya malah asyik menikmati makanan mereka ketika Ali Topan mulai merokok. Ia tak banyak berbicara dan bercanda walaupun sahabat-sahabatnya mencoba untuk membuat leluconlelucon. Ali Topan lebih senang menikmati rokoknya, karena rokok itu terasa membebaskan dirinya dari ketegangan dan rasa sumpek yang membuat hatinya gelisah. Ia gelisah karena sikap ayah dan ibu Anna yang kaku dan dingin. Ia tahu alasan Nyonya Surya kenapa bersikap seperti itu, tapi ia toh merasa sikap demikian itu terlalu berlebih-lebihan.Tapi iapun merasa, di pihaknya sendiri, bahwa kelakuannya tempo hari melempar kulit rambutan 135

juga berlebih-lebihan. Busyet! katanya tiba-tiba. Memang busyet! sahut Gevaert, tanpa tahu juntrungan kenapa tiba-tibaAli Topan menyebutkan kata itu.AliTopan jadi tersenyum pahit. Ia memandangi wajah tiga temannya yang asyik menyantap makanan. Dont put until tomorrow what you can do today, kata Dudung. Tanpa juntrungan. Apa artinya? tanya Gevaert. Teu, nyaho, kata Dudung berbahasa Sunda. Kalau gua tau artinya, kata Bobby, jangan biarkan mereka lapar, tambahnya. Lalu mengakak sekeraskerasnya. Gevaert dan Dudung mengikik-ngikik. Lucu betul.TapiAli Topan cuma tersenyum dingin. Dia sedang kesal karena rasa gelisah makin mendesaknya. He, kalau ketawa jangan keras-keras! Tau sopan sedikit, Bung! seseorang membentak. Suaranya serius. Ali Topan cs menengok ke arah suara itu. Oom Boy! Ia berdiri di dekat mobil di halaman yang agak gelap. Rupanya sejak tadi ia memperhatikan Ali Topan cs. Pssst. Tukang parkirnya marah-marah, kata Gevaert. Udah, diem aje, mack. Jangan cari ribut, kata Dudung. Ali Topan setuju sekali dengan ucapan Dudung. Ia membuang pandangan dari Oom Boy yang masih melotot. Tongkrongan selangit, mack. Kita jadi geli, bisik Bobby. Kalau ketemu di jalanan kita gebukin aja rame-rame, biar nyaho, kata Dudung. Ali Topan melihat ke arah teman-temannya. Cepetan deh makan, kita cabut buru-buru. Gua merasa sebagai tamu yang tidak disukai, mack. Kalau bukan 136

pestaAnna sih, gua obrak-abrik ini pesta, kataAliTopan. Bobby, Dudung dan Gevaert buru-buru menyelesaikan makan mereka, lalu buru-buru minum. Langsung cabut nih, Boss? tanya Dudung. Mau ngapain lagi di sini? jawab Ali Topan. Ayoh dah. Perut kenyang emang nggak enak diajak ribut, kata Bobby. Ia berdiri merendengi Ali Topan. Dudung dan Gevaert pun segera berdiri. Mereka menunggu komando Ali Topan. Kita datang tampak muka, pergi tampak punggung, kata Ali Topan. Suaranya berwibawa. Anna Karenina tidak bisa berkata apa-apa ketika Ali Topan berpamitan. Soalnya Ali Topan langsung minta diri pada ayah dan ibunya.Anna sedih, tapi iapun maklum akan situasi. Jangan tersinggung ya, An, kata Ali Topan. Anna Karenina diam saja. Ia mencengkam lengan Maya yang setia menemaninya. Ali Topan cs segera pergi. Pesta ulang tahun tetap berjalan. Dan airmata seorang gadis berlinangan. *** Hari sudah jauh malam. Pesta sudah lama selesai.Anna Karenina menelungkupkan kepalanya di meja di dalam kamarnya. Ia menangis. Tangannya menggenggam kalung dari Ali Topan. Kado-kado yang lain berserakan di lantai di dekat lemari pakaiannya. Kedatangan Ali Topan cs menjadikan ibunya marah. Tadi Anna dimarahi di depan beberapa tamu, walaupun mereka famili, yang ikut-ikutan menasihati supaya jangan bergaul dengan anak jalanan. Anna sebal betul, sedih betul. Untung teman-temannya sudah pulang ketika peristiwa itu terjadi, kalau tidak ia bisa malu sekali. 137

Teman-temannya pasti akan mengatakan bahwa ibunya kolot, udik, kampungan dan sebagainya. Anna mengusap airmatanya. Kalung perak dari Ali Topan diusapnya. Kartu ucapan selamat dibacanya berulang-ulang. Semakin dibacanya, semakin ringan perasaan hatinya. Kalung perak diciuminya dengan mesra, didekapnya erat-erat, lalu diciuminya berulang-ulang, akhirnya kalung itu dipakainya. Terima kasih, sayang, bisiknya. Airmatanya masih menitik. Dan wajah Ali Topan yang punya senyuman khas, terbayang-bayang. Anna ingin sekali Ali Topan ada didekatnya, mengusap airmatanya dan menghibur hatinya. Anna Karenina melamun terus sampai jauh malam. Kado-kado yang menumpuk di dekat lemari tak dibukanya. Ia merasa bahagia sekaligus sedih pada hari ulang tahun kali ini. Bukan karena ia menginjak usia 17 yang menandakan masa dewasanya sebagai gadis, tapi lebih istimewa lagi karena di dalam hatinya kini ada seseorang, Ali Topan, yang dengan caranya sendiri masuk ke dalam hati itu dan bersemayam di dalamnya. Akhirnya Anna tertidur dihimbau lamunannya. Ia bermimpi. Indah sekali impiannya. Di sebuah padang rumput ia berlari-lari kecil. Ali Topan menemaninya. Mereka bernyanyi-nyanyi *** Keesokan harinya di sekolah, Anna kecewa. Ali Topan tidak masuk sekolah. Ditanyakannya pada Maya, tapi Maya tidak tahu ke mana Ali Topan. Bobby, Dudung dan Gevaert pun cuma memandanginya dengan dingin ketika ia mencoba bertanya tentang Ali Topan. Anna merasa teman-temanAli Topan bersikap kaku dan acuh tak acuh. Ada apa nanya-nanya Ali Topan, emang dia punya utang sama lu? kata Bobby dengan nada yang sinis 138

sekali. Anna menggigit bibirnya. Perasaannya tidak keruan mendengar perkataan itu. Untung ada Maya yang seakanakan tahu perasaannya dan mau menemani sepanjang waktu. Hari berikutnya, Ali Topan tetap tidak masuk sekolah. ***

139

SEBELAS
li Topan dengan rambut kusut, wajah muram dan blue-jeans lusuh berdiri di kios majalah yang terletak di samping toko sepatu Bata di Blok M. Munir, pemuda Medan, pemilik kios itu memperhatikan Ali Topan. Nggak sekolah kau, Pan? tanya Munir dalam aksen Bataknya yang kental. Ali Topan memandang Munir, acuh tak acuh. Lu sendiri sekolah apa kagak? Sok pake nanya-nanya gua lagi, kata Ali Topan. Ah, pukimak kau lah, kata Munir mengeluarkan makian gaya Medan. Kau yang pukimak, lah, kata Ali Topan. Munir menyeringai. Ia tidak marah karena sudah akrab betul dengan lagak Ali Topan. Kau habis begadang ya? Tampang kau kusut kali, ah, kata Munir. Lu ngoceh aje dari tadi, Nir. Makan pepaya tadi pagi? kata Ali Topan. Kalau makan pepaya kenapa memangnya? Kayak burung kutilang, kalau dikasih pepaya ngoceh terus sepanjang hari, kata Ali Topan. Munir tertawa. Seorang anak penjaja rokok dipanggil oleh Ali Topan. Dji Sam Soe tiga batang, Bang, kata Ali Topan. Ia memberikan Rp 100 pada penjaja rokok. Ali Topan memberikan sebatang Dji Sam Soe pada Munir, yang sebatang disulutnya, sisanya diselipkannya di tempat biasa. 140

Kalau udah gua kasih rokok, boleh dong gua lihatlihat majalah, Nir? kata Ali Topan. Biasanya kau main comot saja, nggak pakai kasih rokok. AliTopan menjumputNewsweek, kemudian ia berjalan ke tangga dan duduk di situ. Tanpa menghiraukan orang lalu-lalang, Ali Topan membalik-balik majalah berbahasa Inggris itu. *** Maya baru pulang dari sekolah dan mampir di kios Munir siang itu. Bang, Gadis yang baru sudah terbit? tanya Maya. Sudah, kata Munir. Ia mengambil Majalah Gadis dan membungkusnya, kemudian diberikan pada Maya. Apalagi? tanya Munir. Maya tak menjawab. Ia sedang mengamati Ali Topan yang sedang asyik membaca Newsweek. Pelan-pelan Maya mendekati Ali Topan. Heh! Maya berseru sambil menepuk bahuAli Topan. Ali Topan kaget, secara refleks tangannya menangkap tangan Maya. Eh, lu May! Ali Topan melepaskan cekalannya. Ia berdiri segera. Ngapain lu? tanya Ali Topan. Ngapain? Kamu yang ngapain di sini. Udah dua hari mbolos, ih, nggak merasa ya, ada yang patah hati, kata Maya. Eh, ada juga yang bisa kau bikin patah hati, Pan. Playboy pulak kau rupanya, Munir menyela. Ali Topan membelalakkan matanya. Lu jangan ikut nimbrung, ah, kata Ali Topan. Ia menaruh Newsweek di tempatnya, kemudian menggamit lengan Maya. Maya segera mengikuti Ali Topan. 141

Hoi! Bayar dulu majalahnya! Munir berteriak. Oh iya, hampir lupa, kata Maya. Ia berbalik dengan wajah tersipu-sipu, lalu bergegas membayar majalah yang dibelinya, kemudian cepat berjalan menyusul Ali Topan. Munir menggeleng-gelengkan kepalanya memandang Ali Topan dan Maya yang berjalan pergi. Gila. Tampang Si Topan kusut begitu masih bisa bikin anak gadis mabuk kepayang. Boleh juga dia, gumam Munir. Itu namanya tampang kusut yang berbobot, Bang, sahut Erwin, anak Medan penjual mainan plastik yang berdagang di dekat kios Munir. Ali Topan dan Maya berhenti di depan sebuah toko buku. Mereka pura-pura melihat buku-buku yang dipajang di dalam etalase. Gimana kabar sekolahan, Maya? bisik Ali Topan. Kabar sekolahan atau kabar Anna Karenina? Maya menggoda.AliTopan tersenyum manis mendengar godaan itu. Maya juga tersenyum, namun matanya memandang Ali Topan secara aneh. Gua lagi kumel ya? Lu malu dilihat orang bersama gua, May? tanya Ali Topan. Ssssshhhh bukan gitu. Lu kayaknya makin kumal makin cakep kok, kata Maya. Ali Topan menyikut lengan Maya. Ceritain kabar sekolahan dong. Gua lagi nggak enak pikiran nih, jadi gua cuti dua hari. Kalau saya kasih sesuatu, besok kamu cuti terus sampai setahun ya? Mau kasih duit lu? Maya tersenyum lagi. Kemudian ia membuka tas sekolahnya dan mengambil sepucuk surat dari celahcelah buku. Surat itu diberikannya pada Ali Topan. 142

Nih baca. Dari kekasihmu. Ali Topan ternganga. Ia hampir tak mempercayai pendengarannya. Mimpikah? Mimpikah dia? Maya memberikan surat itu. Udah jangan bengong! kata Maya. Dari dia? Surat dari dia? Betul nih May? Ali Topan tergagap-gagap. Kalau bukan dari dia, lalu dari siapa? Emangnya pacarmu ada berapa biji? Kata Maya, tadi di kelas dia nulis surat ini dan minta tolong pada saya untuk menyampaikan ke kamu. Saya pikir, kamu saya telpon dari rumah supaya mengambil surat titipan kilat itu. Eh, kebetulan kamu di sini, jadi lebih bagus lagi, saya nggak usah capek-capek nelpon kamu, tambahnya. Oooo ooo ooo Ali Topan cuma bisa o, o, o, o saja mendengar omongan Maya yang beruntun itu. Ia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada Maya, padahal Maya kelihatannya menunggu ucapan itu. Terima kasih ya, kata Maya. Ali Topan melengak. Duilah, kok kamu yang bilang terima kasih. Saya dong, terima kasih, terima kasih, terima kasiiiih, Maya yang maniiiiis, kata Ali Topan. Uuh, merayu lagi. Udah deh saya mau pulang, kata Maya, besok mbolos lagi ya, tambahnya. Maya bergerak meninggalkan tempat itu. Ali Topan mencekal lengannya. Kalau saya nggak nganter kamu pulang itu namanya nggak lucu dong, Maya. Anak cakep jalan sendiri, nanti diculik orang jahat kan Kebayoran rugi, kata Ali Topan. Percuma Maya meronta-ronta, Ali Topan tetap mencekal lengannya dan membawanya ke tempat parkir motor. Tapi kamu jangan ngebut dong. Saya takut kalau kamu ngebut, kata Maya ketika ia duduk diboncengan motor. 143

Beres deh. Apa saja yang kamu minta hari ini, asal jangan minta duit, saya usahakan untuk memenuhinya, kata Ali Topan. Tumben ngomongnya pakai tata bahasa Indonesia yang baik. Saya-kamu saya-kamu-an. Biasanya lu-gue lu-gue-an, kata Maya. Ali Topan tertawa gembira. Mayapun ikut merasakan kegembiraan temannya yang eksentrik itu. Sepanjang jalan ke rumah Maya, Ali Topan tanya perihal Anna. Maya tak banyak cerita. Ia hanya mengatakan bahwa Anna tampak sedih. Kamu baca saja suratnya, kan lebih sip, kata Maya. Nanti dong, sambil naik motor mana bisa baca surat? Nanti jatuh, dengkul kamu lecet kan saya musti ganti. Kalau di toko ada dengkul palsu, kalau langka kan saya dituntut oleh orangtua kamu, kata Ali Topan dengan nada lucu. Maya mengikik geli. Ia senang sekali mendengar Ali Topan bisa berbicara dengan tatabahasa yang baik. Sepanjang jalan, Maya tersenyum sendiri. Mereka sampai di depan rumah Maya. Maya melompat turun. Nggak usah mampir ya, kata Maya. Ngapain mampir, nanti dikasih makan kan nggak enak, kata Ali Topan bergurau. Oke deh ya, terima kasih sekali lagi, tambahnya. Ia menggeblas motornya, berlalu. Maya berlari-lari kecil masuk ke rumahnya. *** Ali Topan menghentikan motornya di bawah pohon Mahoni di Jalan Limau yang sepi. Ia buru-buru buru membuka sampul surat dan membaca isinya. Ali Topan Sayang . Anna sangat menyesal atas peristiwa pada malam 144

ulang tahun Anna. Anna mengerti jika kamu dan temanteman kamu tersinggung atas perlakuan orang tua saya yang sadis dan kejam. Anna minta maaf ya? Mau kan kamu memberi maaf Anna? Surat ini Anna kirimkan via Maya, karena Anna belum berani datang ke rumah kamu. Nggak apa-apa ya? Oh iya, kalung pemberian kamu baguus sekali. Anna sudah memakainya dan akan Anna pakai selalu. Terima kasih atas kebaikan kamu. Semoga TuhanYang Maha Esa membalas kebaikan kamu dengan cinta kasih. Sekian dulu. Salam dari Anna Karenina. p.s. Anna ingin kamu besok masuk sekolah ya. Ali Topan menghembuskan nafas panjang pertanda kelegaan hatinya. Surat itu dibacanya sekali lagi, seolaholah tidak percaya bahwa Anna menulis surat yang begitu manis isinya. Diciumnya surat itu berulang-ulang, tepat pada tanda tangan Anna. Anna sayang besok saya masuk deh,katanya pada dirinya sendiri. Rasanya tak puas-puasnya Ali Topan mencium dan memandangi tanda tangan Anna, tapi ia jadi malu hati karena ada dua orang lewat memperhatikannya dengan pandangan aneh serta lucu. Ali Topan cepatcepat memasukkan surat itu ke dalam kantongnya, kemudian berlalu meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Ali Topan bersiul-siul gembira. Baru pertama kali dalam sejarah hidupnya, Ali Topan menerima surat cinta, untung dia tidak gila akibat gempa kegembiraan yang melanda kalbunya. Sampai di rumah, ia langsung masuk kamar dan 145

mengunci pintu. Radio yang selama ini berfungsi sebagai teman dalam kamar tidak disentuhnya. Ia menghempaskan diri ke tempat tidur dan senyam senyum sendirian. Bantal dipeluknya dan diciumnya berkali-kali. Sejenak kemudian ia sudah melompat dari tempat tidur dan berjalan mondar mandir di dalam kamarnya. Ia bercermin dan berbicara dengan wajahnya di dalam cermin. Ia tersenyum ia tertawa-tawa kecil. Anak jalanan yang begitu brutal bisa juga dibikin bingung oleh sebuah surat cinta. Anna. Anna. Anna. Anna. Anna. Berkali-kali mulutnya menggumamkan nama gadis yang telah membuat hatinya goncang. Tak lama ia sudah meninggalkan cermin itu. Ia duduk di lantai menghadapi meja kecil di sisi tempat tidur. Sebuah kertas yang dirobeknya dari buku tulis terhampar di meja itu. Bolpen di tangan kanannya Ia mencoba menulis surat balasan untuk Anna, tapi ia repot memperoleh kata-kata yang dianggapnya cocok menyuarakan perasaannya. Ia ingin romantis dalam surat, tapi kalimatkalimat yang telah ditulisnya terasa begitu romantis seperti rayuan orang-orang cengeng. Ia merasa geli dan malu hati sendiri ketika membaca kalimat-kalimat cintanya. Berkali-kali ia ganti kertas, berkali-kali ia menulis suratdan berkali-kali pula ia meremas kertas itu dan membuangnya ke bawah tempat tidur. Wah lama-lama buku gua habis dong, An..., gumamnya. Dan ia kaget ketika gumaman itu di dengarnya sendiri. Akhirnya, ia menguatkan hati. Ditulisnya sebuah surat, hampir tanpa berfikir lagi, dan ia tak mau membaca surat itu karena takut batal lagi. Begitu selesai menandatangani surat cintanya, ia melipat kertas surat dan mencari amplop. Tapi amplop merupakan barang yang belum pernah ada didalam daftar barang-barang inventarisnya, 146

karena ia tak pernah merasa memerlukan benda itu. Di dalam kamar ayah dan ibunya pasti ada benda itu, tapi Ali Topan malas mengambilnya. Akhirnya surat itu cuma dia tutup dengan pita rekat plastik lalu diselipkannya surat itu ke dalam sebuah buku. Suara langkah Mbok Yem terdengar. Ali Topan cepat menghidupkan radio. Den Bagus, Den Bagus!, MbokYem memanggil dari luar karena pintu kamar dikunci oleh Ali Topan. Ali Topan membukakan pintu. Kalau manggil radenradenan lagi gua nggak mau jawab, Mbok. Serius nih, kata Ali Topan. Habis Mbok harus manggil apa? Tuan muda? tanya Mbok Yem. Panggil Gus Topan, gitu. Ooh, gituuu iya deh Den Bagus, eh, Gus Topan he he, kata Mbok Yem, ngapain pintu dikunci? Nggak ngapa-ngapain, kata Ali Topan. Ia kembali ke mejanya, mengambil buku berisi surat cintanya. Mau ke mana? Makan dulu deh,kata Mbok Yem. Aku pergi sebentar,kata Ali Topan. Ia berjalan ke ruang depan. Ibunya keluar dari pintu kamar. Hallo mau ke mana anak mama?sapa Ny. Amir. Ali Topan memandang ibunya. Wajah ibunya agak pucat, rambutnya semrawut dan seputar matanya cekung. Mama sakit? tanya Ali Topan. Ny. Amir tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Ali Topan menatap mata ibunya. Nyonya Amir melengos. Mereka berpandangan lagi,tapi dua pasang mata mereka hanya merefleksikan getaran kosong dan asing dari hati masing-masing. Ali pergi dulu, Ma,kata Ali Topan. Ia berlalu dari 147

hadapan ibunya. Mau ke mana kau? tanya Nyonya Amir. Mau ke rumah Maya, kata Ali Topan sambil berjalan keluar. Nyonya Amir menghela napas. Ia mengerti kenapa anaknya bersikap acuh tak acuh kepadanya. Deruman suara motor Ali Topan terdengar bagaikan deruman singa yang sedang marah. Nyonya Amir terdiam di tempatnya. Ia menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya. Di depan pintu kamar Ali Topan, Mbok Yem berdiri memperhatikannya. Maya hendak tidur siang ketika Ali Topan datang ke rumahnya. Ngapain? Saya mau tidur siang nih, kata Maya. Mau titip surat buat si dia, kata Ali Topan, sorry mengganggu ya, tambahnya. Ali Topan memberikan buku berisi surat kepada Maya. Maya tersenyum menerimanya. Rajin juga sih. Isinya rayuan melulu ya? Maya menggoda. Ali Topan tersipu-sipu. Nggak tau deh Maya. Mau dibilang rayuan kek, cetusan hati nurani kek, atau rintihan dan ratapan yang cengeng, terserah deh. Gua juga nggak tahu apa namanya, kata Ali Topan, Gi deh, tidur siang biar awet muda. Dan terima kasih ya atas kebaikan kamu, tambahnya. Ali Topan permisi pulang. Maya masih menggodanya: Eh, titipan kilat kan musti ada ongkos kirimnya, Pan? Ali Topan merandek dan berpaling Titipan surat cinta ongkosnya berupa cipokan, mau? katanya. Ih,enak aja lu! kata Maya sambil meringis. Dan ia makin meringis ketika Ali Topan mengirimkan ciuman 148

jarak jauh via tangan kanan yang dikecupnya. Maya melengos. Ali Topan tertawa senang, dan segera berlalu karena Ny. Utama muncul dari dalam rumah. Teman kamu yang satu itu lucu juga, tapi lucunya berbahaya, Maya. Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama dia, kata Ny. Utama. Maunya sih jatuh cinta, Mama. Tapi dia sudah ada yang punya, kata Maya. Jadi kamu patah hati dong? Nyonya Utama menggoda anaknya. Ah, nggak juga, emangnya hati Maya dari kayu, kata Maya, dia kemari mau titip surat buat kekasihnya, tambahnya sambil menunjukkan buku berisi surat Ali Topan. Keduanya tertawa kecil, lalu berpelukan, masuk ke dalam rumah, seperti dua orang sahabat yang manis ***

149

DUA BELAS

sok harinya di sekolah. Maya memberikan titipan dari Ali Topan kepada Anna Karenina. Nih, balasan dari dia, kata Maya. Oh ya? Terima kasih Maya, kata Anna. Ia cepat memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Hatinya berdebar-debar. Ia ingin segera membaca surat balasan itu, tapi beberapa teman yang baru datang lewat di sisi bangkunya. Kamu ke rumahnya? tanya Anna. Ih, gengsi dong. Saya ketemu dia di blok-M, tampangnya kusut banget, begitu saya kasih surat kamu tampangnya jadi berseri-seri seperti penyanyi pop di layar tivi, kata Maya sambil senyum. Anna mencubit lengan Maya. Dia masuk apa tidak hari ini? tanya Anna. Nggak tahu, emangnya saya ibunya apa yang musti tahu segala urusan dia, jawab Maya. Wajah Anna Karenina bersemu dadu karena godaan itu. Bel sekolah berdentang. Jam pertama hari itu adalah jam yang paling tidak disukai oleh murid-murid, yaitu pembinaan budi pekerti oleh Ibu Dewi. Ali Topan memberi sebutan pendidikan over acting untuk jam pelajarannya. Ibu Dewi masuk ke dalam kelas. Ia memakai pakaian yang selalu mengikuti mode dan mahal, sesuatu yang tidak cocok dengan jabatannya sebagai pembina budi pekerti. Dandanan wajahnya pun, yang ditandai dengan gincu menyala, bedak tebal, bulu mata palsu sangat membantu pandangan negatif murid-murid terhadap dirinya. 150

Pertama kali Ibu Dewi melihat ke arah bangku Ali Topan. Tak pernah sekalipun ia melihat Ali Topan siap di tempatnya ketika ia masuk. Kalau tidak kesiangan, sampai hampir habis jam pembinaannya, pastiAli Topan tidak masuk. Dan ia tak habis mengerti kenapa murid yang satu itu begitu berani terbuka menantangnya. Dia ke mana? tanya Ibu Dewi pada Boby. Saya tidak tahu, Bu, jawab Boby. Itu adalah tanya jawab yang rutin, semacam pendahuluan untuk acara pidato muluk-muluk tentang budi pekerti, sopan santun, moral baik dan buruk serta lainlain dongengan lagi. Biasanya, kalau adaAliTopan, selalu saja ada peristiwa yang lucu dibuatnya, yang menguap keraslah, yang berlagak mengantuk, atau jatuhnya setumpukan buku ke lantai. Bahkan pernah ada seekor tikus got berlari kian kemari di dalam kelas dan mengakibatkan kelas geger, anak-anak perempuan naik semua ke atas bangku mereka, bahkan Ibu Dewi lari terbirit-birit ke luar sampai terkencing-kencing. Dugaan kuat Ali Topan yang membuat ulah, tapi dugaan itu tak bisa dibuktikan, akhirnya dibekukan. Ali Topan bangun tidur pada pukul 7.23 wib. Selesai mandi pada pukul 7.31 wib, ia segera mengenakan busana hariannya, jeans bluwek dan kemeja batik cap Dua Bedil. Seharusnya busana seragam SMA Bulungan bukan jeans bluwek, dan batik cap Dua Bedil, tapi celana biru muda dengan baju batik Keris. Ali Topan selalu merasa gerah kalau memakai seragam sebagai yang ditentukan oleh Kepala Sekolah. Oleh karena itu, ditambah catatan yang hampir setiap hari dicatat oleh ibu-ibu dan bapak-bapak guru sehubungan dengan kelakuannya yang bebas-aktif, maka nilai budi pekertiAli Topan tidak pernah bagus. 151

Tanpa sarapan pagi, Ali Topan berangkat ke sekolah pada pukul 7.44. Ia mengendarai motornya sebagaimana anak-anak muda Jakarta yang sedang puber, yaitu ngebut. Seringkali ia ditangkap polisi lalu lintas karena pengebutannya, tapi sering kali pula ia dibebaskan karena polisi diberinya alasan yang masuk akal. Ia selalu mengatakan, ketika ditanya kenapa ngebut, bahwa ia hanya mencontoh adegan ngebut di dalam film luar dan dalam negeri. Kalau Bapak ingin agar saya berhenti ngebut, coba Bapak larang adegan ngebut di film-film itu, demikian katanya senantiasa. Ketika polisi-polisi itu menunjukkan gejala perdamaian di bawah tangan, Ali Topan suka juga membual, dengan mengatakan dia anak jenderal. Secara psikologis dia tahu, berdasarkan pengalaman orang lain, polisipolisi itu agak ngeri jika ada seseorang remaja mengaku anak jenderal. Tapi pernah juga sekali tempo dia membentur batu, ketika seorang polisi lalulintas tidak peduli apa yang ia bualkan, dan Ali Topan kena tilang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang terletak di kampung Slipi. Dia memang jagoan mengendarai motor. Dalam tempo 3 menit dia sudah sampai di Jalan Wijaya II. Ia suka mengambil jalan memutar ke sekolahnya yang terletak di Jalan Mahakam, untuk menikmati tikungan-tikungan kecil yang terdapat di situ. Pada saat ia menikung dari Jalan Wijaya II ke arah Panglima Polim Tiga, ban motornya mendadak kempes. Ali Topan menghentikan motornya dan memeriksa ban depan yang kempes. Ia mendapati sebuah paku besar menancap di ban motornya. Sialan, lu anak siapa sih paku! Nggak disekolahin ya sama bapak lu! Pagi-pagi begini bikin kempes ban motor gua! Ali Topan menggerutu. Ia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak bisa, karena paku itu menancap dan 152

bengkok di dalam ban. Dengan wajah kesal Ali Topan menuntun motornya ke arah tukang tambal ban yang membuka bengkel di ujung Jalan Panglima Polim Tiga. Pagi-pagi sudah kena musibah rupanya kata tukan tambal ban seorang muda asal Medan. Iya. Musibah gua kan rejeki lu, Bang! Bisa banget lu omong musibah-musibahan, jawab Ali Topan. Dia memarkir motornya di depan tukang bengkel yang tersipu-sipu mendengar kata-katanya. Kena paku rupanya? Di mana? kata tukang tambal ban. Di Bandung!, sahut Ali Topan, gua tinggal ini motor, nanti siang gua ambil, tambahnya sembari melemparkan kunci motor pada tukang tambal ban yang bengong itu tanpa banyak pernik, Ali Topan berjalan pergi, menyambung perjalanannya. Ali Topan berjalan kaki dengan santai. Ia bersiul-siul gembira. Kedua buah tangannya berada didalam saku jeans. Indah sekali pagi, nyaman sekali hatinya. Seorang pengendara motor dari arah belakang berhenti di dekatnya. Dia Teddy, anak kelas I-7. Eh, tumben jalan kaki, Pan. Ke mana motor lu? tanya Teddy, udah telat nih. Lu naik deh, tambahnya. Hei, lu Ted. Ban motor gue pecah kena paku. Yuk , gua nebeng dah, kata Ali Topan. Dia membonceng Teddy. Sampai di sekolah Ali Topan melompat turun. Terima kasih, Ted, kata Ali Topan, kemudian ia segera berlari menuju kelasnya. Teddy menuntun motornya ke tempat parkir. Ali Topan sampai di depan kelas, tapi dia tidak langsung masuk. Dia berdiri di dekat pilar di depan kelas. Suara Ibu Dewi membuatnya enggan masuk, namun 153

perasaannya ingin betul masuk ke dalan untuk melihat Anna. Di dalam kelas, Ibu Dewi mulai berdakwah. Muridmurid segera diam. Memperhatikannya. Anak-anak, hari ini Ibu akan menerangkan satu masalah yang menyangkut tatacara pergaulan kaum muda. Masalah ini sangat penting agar kalian bisa menjadi pelajar teladan. Judul masalah sudah Ibu pilihkan, yaitu Bagaimana Memperoleh Manfaat Dari Pergaulan. Sungguh, hal ini penting bagi kalian, karena anak-anak muda jaman sekarang sedang menjadi perhatian kaum pendidik dan masyarakat akibat makin hari makin tinggi angka kenakalan remaja di Jakarta, kata Ibu Dewi. Ia berkata dengan suara nyaring dan mimiknya selalu khas, gerak kelopak mata dan bibir yang genit seperti penyiar tivi serta tangan yang selalu menjentik-jentik debu kapur yang jatuh ke busananya. Murid-murid diam, tapi sebagian besar pikiran mereka bukan kepada masalah yang sedang dibicarakan melainkan kepada gerak kelopak mata dan bibir Ibu Dewi, yang sok anggun itu. Mengerti kalian? tanya Ibu Dewi. Murid-murid serempak mengatakan pengertian mereka. Ibu Dewi tampak suka dengan jawaban yang serempak itu. Ia melirik ke murid-murid di barisan belakang, kemudian menuliskan ceramahnya. Anna Karenina mengambil surat dari Ali Topan, lalu ditaruhnya di bawah tas sekolah yang ditaruhnya di atas meja. Ketika Ibu Dewi sedang asyik menulis teori-teori pergaulan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk membaca surat dari Ali Topan. Begitu Ibu Dewi selesai menulis dan mulai berbicara lagi, Anna segera mendongak, melihat ke arah Ibu Dewi. Hal itu dilakukannya 154

berulangkali. Rupanya Ibu Dewi sempat melihat sikap Anna itu, namun ia pura-pura tidak tahu. Jadi, yang paling penting di dunia ini, adalah budi pekerti, sebab, seperti kata pepatah, manusia boleh pandai seperti profesor, tapi kalau dia tidak punya budi pekerti, maka ia tidak ada arti sama sekali bagi masyarakat. Mengerti anak-anak? kata Ibu Dewi. Mengertiiiiii! sahut murid-murid, serempak. Anna Karenina cuma menggumam saja, ia tidak berminat untuk ikut-ikutan berteriak seperti teman-temannya yang serempak menyambut pernyataan Ibu Dewi. Ibu Dewi berbalik menghadap papan tulis lagi. Ia menuliskan sesuatu, tapi tiba-tiba ia berbalik menghadap ke arah para murid. Tepat pada saat itu Anna Karenina sedang mengangkat tasnya, menarik kertas surat dari Ali Topan. Hei, kamu! Sedang bikin apa kamu? kata Ibu Dewi. Tangannya menunjukAnna Karenina yang terkejut mendengar tegurannya. Secara refleks Anna menyimpan kembali surat dari Ali Topan ke bawah tasnya. Wajahnya tampak gugup sekali. Ia tidak menjawab. Ibu Dewi menghampiri Anna. Para murid yang lain langsung memusatkan perhatian mereka ke arahAna dan Ibu Dewi. Ibu Dewi membalik tasAnna dan mengambil surat dari bawah tas itu. Apa ini? tanya Ibu Dewi. Anna Karenina tidak menjawab . Wajahnya pias. Ibu Dewi membaca surat Ali Topan itu. Wajahnya berubah sinis. Ia mengangkat surat itu, lalu membaca isi surat dengan suaranya yang nyaring. Anna Karenina cuma bengong saja. Perasaannya sangat risau sekali. Wah, wah, wah Surat cinta dari kekasih. Bukan 155

main romantisnya, Ibu Dewi dengan sinis, Kekasihku yang rupawan, aku merindukanmu siang dan malam, apakah engkau begitu pula? tambahnya. Anna Karenina tersentak. Surat Ali Topan tidak begitu bunyinya. Ibu Dewi mengada-ada. Segera Anna menundukkan kepala karena Ibu Dewi memandangnya dengan bengis. Di luar, Ali Topan merasa tegang. Ia mendengar suara Ibu Dewi yang sedang marah kepada Anna. Dan ia tahu Ibu Dewi mengada-ada dengan pembacaan surat yang tidak cocok dengan surat yang ditulisnya untuk Anna. ApakahAnna mendapat surat dari orang lain? demikian pikirnya. Maka ia menunggu perkembangan selanjutnya. Ia waspada. Di dalam kelas Ibu Dewi berkacak pinggang di depan Anna.Anna tetap merunduk. Murid-murid lainnya diam. Hei! Inilah contoh anak yang baik sekali kelakuannya, kata Ibu Dewi sinis. Ada guru menerangkan pelajaran di depan kelas, dia asyik membaca surat cinta dari kekasihnya! tambahnya. Anna Karenina merunduk terus. Ibu Dewi menyentuh dagu Anna, lalu mengangkat dagu itu, hingga Anna terpaksa menengadah, memandangnya. Kamu murid baru di sini ya! Coba berdiri di depan kelas! kata Ibu Dewi. Anna Karenina berdiri, perlahan, lalu berjalan di depan kelas. Ia merasa telah membuat kesalahan, oleh sebab itu ia pasrah menerima hukuman apapun. Ibu Dewi menggenggam surat rampasannya. Ia menghampiri Anna, dan berdiri di depan Anna. Hei, Kamu ke sini untuk belajar atau untuk cari pacar? tanya Ibu Dewi. Anna tidak menjawab. Ia melihat surat yang di 156

genggam Ibu Dewi. Yang tak habis dipikirnya, kenapa Ibu Dewi membaca surat tidak sesuai dengan tulisan aslinya? Ibu Dewi memandangnya dengan tajam, kemudian ia berpaling ke arah murid-murid yang lain. Hai, kalian kiranya ingin mendengarkan pembacaan surat cinta, bukan? katanya. Murid-murid tak ada yang menjawab. Maya dan Boby berpandangan. Keduanya mengangkat bahu. Ibu Dewi memberikan surat rampasannya pada Anna. Kau, bacalah! Supaya semua teman tahu bagaimana hebatnya pacarmu yang bernama Ali Topan itu merangkai kalimat cinta!, kata Ibu Dewi. Di luar kelas, Ali Topan tersentak mendengar namanya disebut. Sudah pasti, sudah pasti surat yang ditulisnya untuk Anna yang jadi perkara. Tanpa pikir dua kali, Ali Topan melangkah masuk ke dalam kelas. Wajahnya tegang, pandangannya matanya menyapu seluruh kelas, lalu hinggap di wajah Ibu Dewi. Ditatapnya mata Ibu Dewi. Kemarahan terbayang diwajahnya. Ini dia pahlawan cinta kita!, Ibu Dewi berseru, hei, kau baca surat itu!, serunya lagi, pada Anna Karenina. Anna tergetar. Ia memandang Ali Topan dan Ali Topan juga memandangnya. Tiba-tiba Ali Topan mengulurkan tangannya, meminta surat itu. Biar saya yang membacanya, An, katanya. Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi membelalakkan matanya. Menghadapi Ali Topan selalu membuatnya kehilangan akal. Karena itu ia selalu memunculkan kemarahan dan sinisme yang galak. Ibu Dewi, karena saya yang membuat surat ini, saya kira lebih tepat jika saya yang membacanya, kata Ali Topan. 157

Boleh juga, Bung! kata Ibu Dewi. Tanpa banyak pernik, Ali Topan membaca suratnya. Anna Karenina Yang Manis! Saya senang sekali menerima suratmu. Saya tiba-tiba jadi bersemangat dan hidup terasa tidak suram lagi. Rasanya, baru pertama kali dalam sejarah hidup saya sampai hari ini, saya menerima perhatian yang menakjubkan. Surat Anna saya bawa ke manapun saya pergi. Setiap saat saya ingin membacanya. Nah, sekian dulu. Oh ya, soal saran kamu supaya saya rajin sekolah, itu gampang diatur. Terima kasih. Ali Topan Ali Topan selesai membaca suratnya. Ia memberikan surat itu kembali pada Anna. Teman-temannya ada yang tertawa mengikik mendengar Ali Topan membaca surat. Tapi tak ada yang berani mengeluarkan cemoohan. Teman-teman sudah kenal Ali Topan. Mereka respek padanya. Respek campur ngeri. Sekarang kamu yang baca, kata Ibu Dewi padaAnna. Anna, Ali Topan dan murid-murid lainnya terkejut. Mereka menganggap Ibu Dewi keterlaluan. Lagipula, yang menjadi pertanyaan anak-anak, kenapa bunyi Ibu Dewi lain dengan bunyi Ali Topan mengenai surat itu? Apakah Ibu Dewi mengada-ada tadi? Saya kan sudah membaca, Ibu Dewi? tanya Ali Topan. Nadanya lembut. Kalau saya suruh dia baca kamu mau apa? Atau kalau saya mau sobek-sobek surat kamu, lantas kamu mau apa? kata Ibu Dewi. Ia berpaling ke Anna. Ke sinikan surat itu!, katanya. 158

Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi merobek-robek surat itu dengan tenang dan membuang robekan kertas itu tepat kena wajahAliTopan dan berhamburan ke lantai. Beberapa potongan menempel di baju dan tas sekolahnya. Kelas dicekam sunyi. Semuanya menunggu reaksi Ali Topan. Mereka memastikan, Ali Topan naik pitam. Kali ini mereka salah duga. Ali Topan mampu menekan emosinya. Perlahan ia membungkuk, berjongkok memunguti robekan kertas suratnya. Dikumpulkannya robekan kertas itu di tangan kirinya, kemudian ia berdiri lagi. Dia berikan robekan surat pada Anna Karenina, kemudian ia berpaling ke Ibu Dewi. Terima kasih atas kebijaksanaan Ibu, kata Ali Topan. Kata-katanya merendah, tapi nadanya dingin betul. Saya tidak butuh terima kasih kamu!, kata Ibu Dewi. Ali Topan tersenyum. Boleh kami duduk, Ibu? katanya. Tenang. Kamu menghina saya ya? kata Ibu Dewi. Tidak. Tapi sikap kamu kurang pantas! Kamu sok jago. Keluar kamu! Saya muak melihat tampangmu! Sana! Ke luar! Jangan begitu dong, Bu. Masa saya mau sekolah disuruh keluar? Itu kan kurang bijaksana namanya, kata Ali Topan. Kamu selalu membantah! Anak berengsek! kata Ibu Dewi. Dia berjalan ke meja, mengambil tasnya, lalu keluar cepat-cepat. Wajahnya geram betul. AliTopan menarik tanganAnna, mengajaknya kembali ke bangkunya. Wan, sorry kalau gue bikin kacau lagi, kata Ali Topan 159

pada Ridwan, ketua kelasnya. Sorry sih sorry, Pan. Tapi gua ini yang repot. Mendingan lu aja jadi ketua kelas, soalnya guru-guru kan tahunya gua terus. Gua udah capek dipanggil ke kantor, katanya gua nggak becus memimpin kelas, kata Ridwan. Boleh aja gue jadi ketua kelas, tapi pakai syarat. Kalau kita boleh pakai busana yang sedikit nyentrik dan merokok di dalam kelas, oke saja. Lu bilang deh ke Pak Broto, kata Ali Topan. Tentu saja teman temannya tertawa. Grrr. Suasana jadi segar lagi. Di Kantor Direktur Sekolah. Pak Broto Panggabean mendengar laporan Ibu Dewi. Seperti biasanya, Ibu Dewi mendramatisir laporannya dengan airmata yang meleleh dipipinya. Pak Broto Panggabean memanggil sekretarisnya. Hadi, Ali Topan suruh menghadap, kata Pak Broto. Ya, Pak, kata Hadi. Dia berjalan cepat ke luar. Anak setan itu kok nggak bosen dipanggilin terus. Gua aja yang disuruh manggil udah bosen. Dia dia juga, gumam Hadi pada dirinya sendiri. Hadi sampai di kelas, berdiri di depan pintu sambil cengar cengir. Dia melambai ke arah Ali Topan. Hallo Boss. Urusan biasa dah! kata Hadi. Muridmurid ketawa. Biasa apaan? kata Ali Topan. Dipanggil Godfather, kata Hadi. Eh, bego ! God itu nggak ber-father dan father itu bukan God, kata Ali Topan. Lu bilangin ke Pak Brotpang... jadi Direktur Sekolah kok kerjaannya manggil-manggil murid sih. Apa nggak ada kerjaan lain yang lebih bermanfaat buat pembangunan? kata Ali Topan. Grrrrrrrrrr lagi teman temannya. Saya nggak tahu. Nanti saja tanya yang 160

bersangkutan, kata Hadi, Sekarang ayo dah, kita ke sono, daripada... daripada... tambahnya. Ali Topan berjalan keluar kelas diiringi komentar jahil yang ke luar dari mulut teman-teman kelasnya. Anna Karenina tidak ikut berkomentar. Dia menundukkan kepalanya. Maya juga diam. Ali Topan menghadap Pak Broto Panggabean. Selamat Pagi, Pak, kata Ali Topan. Iya. Pagi pagi kau bikin perkara lagi. Ini Ibu Dewi melaporkan kelakuan kau yang brengsek. Dan, pelajaran terhenti. Itu berarti kau bikin rugi teman teman kau yang lain, kata Pak Broto Panggabean. Ali Topan diam saja. Percuma menjawab, sebab jawabannya akan sama seperti jawaban pada setiap kali dipanggil Pak Broto. Pak Broto Panggabean mengusapusap kumisnya yang tebal. Aku sudah capek marah-marah. Kau rupanya punya adat eksentrik ya. Semakin hebat dimarahi semakin hebat berengsek kau! Nah, tadi Ibu Dewi melapor, katanya kau pacaran di dalam kelas. Main surat cinta dengan Anna, murid baru itu. Nah, Ibu Dewi minta supaya kita bikin pertemuan antara kau, Anna, orang tua kau dan orangtua Anna dengan kami di sini. Kau menghadap lagi besok pagi jam delapan, kata Pak Broto Panggabean. Ali Topan keluar dengan wajah lesu, tanpa permisi pada Pak Broto. Ibu Dewi ditengokpun tidak olehnya. Jalannya rada loyo. Dia memikirkan kegawatan esok hari. Sudah jelas urusan bakal jadi meriah. Dia membayangkan wajah ibu Anna yang non-kompromis itu, wajah ayahAnna yang rada acuh, sopir Mercy yang namanya Oom Boy dengan tampang klimis yang menjijikkan. Wajah tiga manusia aneh itu akan bertemu dengan wajah Ibu Dewi yang sinisnya bukan kepalang, 161

wajah Pak Broto Panggabean yang rada bloon. Amitamit deh. Dan dia membayangkan Anna Karenina bakal ketakutan menghadapi orangtua-orangtua yang aneh itu. Membayangkan Anna, dia menggeplak jidatnya sendiri. Sampai di depan kelas Ali Topan masih menggeplak-geplak jidatnya sendiri. Kusut pikirannya. Ali Topan masuk ke dalam kelasnya. Teman temannya memandang padanya. Gimana, Pan?tanya Bobby. Prihatin, mek!, sahutnya. Dia menghampiri Anna Karenina, dan berdiri di depan gadis manis yang merasa sebagai gadis paling apes di seluruh dunia. An! Besok orang tua kamu bakal disuruh datang oleh penguasa sekolah ini. Orangtua saya juga di panggil, tapi jelas mereka nggak bakal datang. Besok kita berdua bakal diadili di depan orang-orang tua itu. Saya harap kamu tabah, kata Ali Topan. Suaranya cukup keras sehingga anak anak lain bisa mendengarnya. Bakalan seru dong, Pan. Kalau perlu kite rubuhin aje sekolahan kagak berbobot ini, Wandi, anak betawi asli mencuap. Iya, Pan kita culik sekalian Pak Broto dan Ibu Dewi. Kite ceburin ke Bina Ria biar dimakanjaws! kata I Soen, peranakan Cina-Sunda yang duduk sebangku dengan Ridwan. Teman teman sekelas, termasuk Ali Topan & Anna tertawa mendengar leluconnya. Apa lu kate? kata Bobby, dimakan jaws? Udah pinter ngomong Inggris lu, Cina! tambahnya dalan nada bergurau. Pejajaran lu, Bob. Gue bukan Cina, gue orang Sunda tau? Sekali lagi lu ngatain gue Cina, gue embat lu, kata I Soen. Tampangnya dibikin seperti orang marah. Sorry boy, I belum tau. Tapi kalau lu mau jual sih, gue 162

beli embatan lu, kata Bobby. Tampangnya distel serius. Ah, kagak, gua becanda aja, Bob, kata I Soen, lalu ia melihat Ali Topan dan berkata, jadi gimana Boss? You atur deh, I follow! Ali Topan yang sedang prihatin tertawa ketawa ha-ha-hi-hi mendengar celotehan I Soen. Anna Karenina juga tertawa terpingkal pingkal. Mereka lupa sejenak pada musibah yang menimpa diri mereka. Kelas menjadi gaduh oleh suara ketawa bebas-aktif yang spontan ke luar dari mulut seluruh murid di situ. Humor demi humor yang ditimpa komentar asbun merupakan obat mujarab pengusir hati yang gundah. Di tengah tengah keriuhan suasana, Hadi datang membawa instruksi khusus dari Pak Direktur. Isi instruksi itu pendek tapi tegas: kelas III Paspal 1 distrap, tidak boleh memperoleh pelajaran hari itu. Murid murid harus tetap di kelas, tidak boleh ke luar tanpa izin langsung dari direktur. Jangankan distrap sehari, sebulan juga kita masih oke. Dia pikir kita sedih kali, padahal sih gembira betul hati kita, kata I Soen. Ali Topan meminta maaf kepada teman-temannya atas keterlibatan mereka karena perbuatannya. Seperti biasanya, teman-temannya mengerti, karena hanya pengertian itu yang bisa mereka berikan kepada sesama teman. Saat pulang, Ali Topan mengantar Anna ke gerbang sekolah. Anna, apa pikiranmu soal urusan besok? tanya Ali Topan. Anna memandang sayu pada Ali Topan, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata tidak tahu. Kamu merasa takut? tanya Ali Topan. Anna menggeleng. Kamu merasa kecewa pada saya? 163

Mungkin! sahut Anna Karenina. Ali Topan terkesima mendengar jawaban itu. Ia memandang Anna dengan tajam. Tapi Anna menunduk saja. Bahkan gadis itu mempercepat jalannya langsung menuju Mercy yang sudah menunggu. Ketika Mercy disopiri Oom Boy bergerak meninggalkan gedung sekolahnya, Anna melirik sekejap ke arah Ali Topan yang berdiri dengan aksi di pintu gerbang. Dua tangannya masuk ke kantong celana dan pandangan matanya gagah sekali. Anna Karenina tidak tahu kalau gaya yang keren itu ditampilkan Ali Topan untuk menutupi perasaan hatinya yang terpukul oleh jawaban Anna. Mungkin? gumam Ali Topan. Lantas ia tersenyum sendirian. Ia menarik napas berat, lalu berbalik langkah, berjalan menuju tempat parkir motor. Bobby, Dudung dan Gevaert menunggu di situ. Gimana, Pan? tanya Gevaert. Mungkin, sahut Ali Topan. Ia menghidupkan motornya, lalu meninggalkan tempat parkir, diikuti teman temannya. ***

164

TIGA BELAS

agi hari di rumah Anna. Oom Boy baru datang dari mengantar Anna ke sekolah. Ia masuk ke ruang tengah, memperhatikan Nyonya Surya yang sedang merawat pohon pohon kerdil. Tuan Surya membaca Kompas di kursi rotan di dekat istrinya. Keduanya asyik dengan kesibukan masing masing. Oom Boy menyiulkan lagu Bujangan Koes Plus dengan gaya norak. Dia membayangkan dirinya seperti Murry penyanyi di layar Televisi Republik Indonesia alias TVRI. Tuan Surya tak memberi reaksi apa apa, tapi Nyonya Surya tersenyum kecil dan menegur Boy, Gembira betul kau hari ini, Boy. Biar awet muda, sahut Boy. Kau sudah merasa tua? Berapa sih umurmu yang sebetulnya? tanya Nyonya Surya sambil terus mengatur pohon pohon kerdilnya. Jalan tiga puluh dua, kata Boy. Wah. Hampir telat dong. Cepat ah cari istri. Kau kan cukup keren, kenapa sih tak mau cari pacar? Nanti aku dan abangmu yang melamarkan sebagai ganti orang tuamu, kata Nyonya. Surya. Tuan Surya menurunkan korannya, melihat ke arah Boy dan istrinya. Dia tersenyum kecil pula dan berkata, Tampang keren kalau nggak ada duit juga percuma, Boy. Anak gadis sekarang mana mau punya suami sopir. Boy cuma meringis saja. Dia memahami kenapa Tuan Surya bicara begitu. Tuan Surya sudah berkali-kali 165

menyuruhnya bekerja, tapi Boy sendiri masih belum mau. Ia lebih suka menjadi sopir. Terus terang, ia ingin selalu dekat Anna Karenina. Ia diam diam menaruh hati pada Anna. Tuan dan Nyonya Surya tidak tahu hal itu. Boy punya sifat cemburu. Ia merasa buta kalau Anna tidak berada di dekatnya. Cuma ia sendiri dan Tuhan Allah Subhannahu Wa Taala yang paham perasaan cinta yang terpendam di hati Boy. Dia belum ada pekerjaan yang cocok, Pap. Biar saja. Nanti kan ada waktunya dia punya pekerjaan yang hebat. Jadi pengusaha muda ya Boy? Kata Nyonya. Surya. Pengusaha muda dalam bidang jual beli angin? kata Tuan Surya. Ia terkekeh-kekeh, menaruh Kompas yang dibacanya, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Nyonya Surya menoleh ke arah Boy. Biar saja dia berkata begitu, Boy. Jangan dimasukkan ke hati, katanya. Nyonya Surya memang lebih suka Boy menyopiri dan merawat mobilnya. Boy tersenyum padanya. Kemudian ia berjalan ke kamarnya. Tuan Surya berdandan di kamarnya. Ia termasuk pecandu kerja. Ia selalu gerah melihat Boy tidak mau bekerja, padahal sudah berkali-kali ia menawarkan kesempatan bekerja pada pemuda itu. Ia akhirnya punya kesimpulan bahwa pemuda semacam Boy adalah pemuda yang tidak jelas tujuan hidupnya. Orangnya gampang putus asa, maunya berfantasi saja. Dia sering mengatakan bahwa fantasi itu memang perlu untuk manusia pekerja yang mendambakan sukses besar. Tapi Boy cuma fantasi-fantasian saja. Kuliah gagal, bekerja ogah. Tuan Surya tak habis pikir. Berhubung Boy itu anak sahabat karibnya, ia enggan mengusir pemuda itu. Lagipula istrinya selalu membela Boy. Mobil Volvo hijau-apel, mobil kantor Tuan Surya 166

sudah siap di garasi. Sopir Mat Hasan asal Cirebon sudah duduk di belakang setir. Majikannya punya kebiasaan unik, tidak mau dibukakan pintu atau dibawakan tas. Tuan Surya selesai berdandan. Ia keluar dengan menenteng tas Samsonite warna hitam pekat. Ia menghampiri istrinya. Mam, aku berangkat, katanya. Dikecupnya jidat istrinya. Nyonya Surya mengecup dagu Tuan Surya. Nggak usah mampir di stimbat ya? kata Nyonya Surya. Suaminya cuma terkekeh-kekeh kecil. Tuan Surya naik mobil lalu berangkat ke kantornya. *** Di kantor Direktur SMA Bulungan I. Hadi memasukkan surat-surat dinas ke sebuah map. Surat surat itu berasal dari Pak Direktur untuk orang tuaAnna Karenina dan Ali Topan. Mereka diminta datang untuk konsultasi perkara surat cinta Ali Topan kepada Anna yang diributkan Ibu Dewi kemarin. Hadi memasukkan map ke dalam kantong plastik lalu berjalan ke luar menuju tempat parkir motor dinasnya. Pekerjaan mengantar surat panggilan ke alamatAliTopan hampir merupakan pekerjaan rutin bagi sekretaris Pak Direktur itu. Dia bahkan sudah kenal baik dengan babu tua di rumah Ali Topan. Untung Mbok Yem, babu itu sudah tua, coba masih muda barangkali aku bisa jatuh cinta betul sama Mbok Yem, demikian pikiran Hadi sambil mendorong motornya ke pintu gerbang sekolah. Selama ini memang Mbok Yem itu yang menemuinya jika ia disuruh mengantar surat konsultasi ke alamat Ali Topan. Ibu atau Ayah anak muda itu tak sekalipun dijumpainya di rumah. Dia hafal betul sambutan Mbok Yem setiap kali datang. Lho kok dateng lagi. Ada apa to 167

kok dateng dateng ke sini lagi? Mau minta sumbangan buat sekolahnya Ndoro saya? begitu sambutan Mbok Yem. Dan Mbok Yem pasti terkekeh-kekeh. Membayangkan muka Mbok Yem yang terkekeh-kekeh itu Hadi jadi tersenyum sendiri. Geli dia. MbokYem sayang, aku datang lagi,kata Hadi pada dirinya sendiri. Maka ia jadi terkekeh-kekeh pula sambil menghidupkan mesin motornya. Dia masih tersenyumsenyum sendiri di jalanan menuju ke rumah Ali Topan. Di rumah Ali Topan, Mbok Yem sedang menemui tukan sayur bernama Bang Entong. Bang Entong, orang Betawi Aseli merupakan tukang sayur langganan Mbok Yem. Ada historisnya kenapa Mbok Yem memilih Bang Entong, sebab dari Bang Entong dia bisa kursus praktis bahasa Jakarta. Bang Entong sudah selesai memberikan sayur yang dibeli Mbok Yem. Dia menghitung-hitung harga penjualannya. Awas, jangan naikin harge seenaknye, ye. Saye udeh kenyang banget diomelin nyonye saye, Bang Entong, kata Mbok Yem. Bang Entong cuma tertawa kecil. Dia masih repot menghitung-hitung harga penjualan sayurannya. Mbok Yem jadi sewot. Dia ingin Bang Entong menjawab, sebab dengan begitu dia bisa berdialog. He, Bang Entong, kuping lu budek ye? Gue nanyain, lu jawabin dong. Nanti gue bise sewot, eh elu gue kagak bayar bayar acan ye, kata Mbok Yem. Bang Entong ketawa terbahak-bahak mendengar omongan Mbok Yem. Ya Alloh, Mbok. Ngocehnya jangan kasar kasar dong. Ntar diketawain tetangge, kata Bang Entong, nih semuenye dua rebu tige ratus jigo, kata Bang Entong. Udeh pakek diskon tuh? Jangan lupe ye, diskonnye 168

sepuluh persen. Kalok kurang gue berenti aje jadi langganan. Pokoknye bisa putus aje hubungan kite, kata Mbok Yem. Ngarti dah ngarti, kata Bang Entong sembari nyolek paha Mbok Yem, eh jangan kate sepuluh persen, sembilan pulu persen juga saye kasiin, Mbok. Asal , tambahnya. Asal ape?. Asal ente mudaan lagi tige pulu taon, kata Bang Entong. Dia menjulurkan tangannya untuk menyolek Mbok Yem, tapi Mbok Yem mengepret tangan itu. Jangan suka begitu ah, malu dilihat tetangga, kata Mbok Yem tersipu-sipu. Kalok malu, buruan dah bayarinnye. Pacar-pacar aye yang laen udeh pade ngebet nungguin saye, kata Bang Entong. Mbok Yem melotot. Rada cemburu juga mendengar omongan Bang Entong. Ya udah, pergi buruan ke pacarnye nyang laen. Kagak usyah kemariin lagi, kata Mbok Yem, merajuk. Bang Entong menggaruk-garuk pantatnya sembari cengar-cengir. Ayo dong sayang? Mbok Yem biar udeh tuaan, pokoknye saye paling betah aje di sini. Ayo dong buruan duitnye, sayang, rayu Bang Entong. Mbok Yem masih merengut, padahal hatinya berbunga kena rayuan Bang Entong yang kontemporer itu. Awas kalok saya denger Bang Entong pacaran sama babu-babu laen. Putus aje hubungan kite, kata Mbok Yem. Ia mengeluarkan uang Rp 2.500,- untuk membayar sayur mayur yang dibelinya. Kembalinye besok aje ye? Kagak ade duit kecil nih, sayang, kata bang Entong. Dia menggoda Mbok Yem. Tak ada kembali, tak boleh pergi, kata Mbok Yem. Bang Entong melemparkan uang kembali ke tampah 169

tempat sayur mayur mbok Yem. Permisii. Trime kasii, kata bang Entong. Dia mengangkat pikulannya, kemudian berjalan pergi. Pantatnya sengaja digoyang-goyangkan dengan sexy. Mbok Yem menggigit bibirnya melihat goyangan pantat bang Entong. Dia terpesona oleh goyangan pantat tukang sayur itu. Sesudah Bang Entong tidak tampak lagi barulah Mbok Yem mengangkat tampah dan berjalan masuk ke dalam rumah. Baru sampai pintu, dia berhenti karena mendengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah. Hadi, pengendara motor itu melambaikan tangan ke arahnya. Halo, saya dateng lagi, Hadi berseru. Ia mematikan mesin motornya, memarkir di tengah halaman, lalu menghampiri Mbok Yem. Lho, kok dateng-dateng lagi? Ada urusan penting lagi ya Dik Hadi, kata Mbok Yem. Hadi mengambil surat dari dalam map. Biasa. Surat panggilan. Ibu dan bapak harus menghadap hari ini juga. Anaknya kurang ajar di sekolahan, kata Hadi. Mbok Yem memberengut. Kurang ajar? Siapa yang kurang ajar? Jangan sembarangan ngatain Ndoro saya kurang ajar, nanti saya sampluk kowe, Di, kata Mbok Yem, bersungut-sungut. Pokoknya terserah. Saya nggak mau banyak bicara lagi, kata Hadi. Dia menaruh surat panggilan itu di atas sayur mayur, kemudian berbalik ke tempat motornya. Dia menghidupkan motornya lalu meninggalkan rumah Ali Topan. Mbok Yem berjalan masuk ke dalam rumah. Dia menaruh sayur mayur di dapur. Ia mengambil surat panggilan itu dan diamat-amatinya dengan seksama. 170

Kemudian ia berjalan ke ruang tengah. Surat panggilan itu ditaruhnya dia atas meja. Nyonya Amir muncul dari kamarnya. Wajahnya pucat sekali. Dia sakit selesma. Ada surat dari sekolahannya Den Bagus, Ndoro Putri, kata Mbok Yem. Dia mengambil surat dari atas meja, menyerahkannya pada Nyonya Amir. Nyonya Amir membuka surat itu dan membacanya. Ekspresi wajahnya tak berubah. Dia melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam sampulnya. Aku sedang sakit. Tidak bisa datang, katanya. Surat itu diberikan lagi pada Mbok Yem. Katanya penting sekali, Ndoro Putri. Harus datang ke sekolahan Den Bagus, kata Mbok Yem. Aku sakit, kata Ny. Amir. Lalu dia berjalan ke kursi dan duduk di situ. Termangu-mangu. Mbok Yem segera menyingkir dari hadapan Nyonya Amir. Di dalam hatinya dia menggerutu dan mencacimaki ndoro putrinya. Anak sendiri tidak diurusi, anak orang lain disayang seperti suami, demikian gerutuan Mbok Yem. Tapi Nyonya Amir tetap berdiam diri, termangu-mangu, entah memikirkan hal apa. Mbok Yem tidak tahu. Yang dia tahu, berdasarkan pengalaman menerima surat dan pembicaraan dengan Hadi, Den Bagus Ali Topan-nya sedang dilanda kesusahan di sekolah. Ia sayang betul padaAli Topan tapi ia tak bisa apa-apa. Ia cuma babu. Babu tua. Dengan pikiran tak habis pikir, Mbok Yem masuk ke dapur dan meneruskan kerjanya. *** Nyonya Surya sedang mencuci tangan di dapur rumahnya. Ia telah selesai meruwat bonsai, pohon-pohon kerdil kesayangannya. Boy bersiul-siul lagi tak jelas di 171

kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Boy memang penggemar kamar mandi. Dan penghuni rumah sudah maklum dengan kegemarannya yang khas itu. Boy! Boy! Ny. Surya berteriak. Boy tetap bersiul-siul di kamar mandi. Dia kurang mendengarkan teriakan Nyonya Surya. Nyonya Surya berteriak-teriak lagi, memanggil namanya. Yak! Sebentar! Boy menyahut dari kamar mandi. Tak lama kemudian, Boy ke luar dari kamar mandi. Wajahnya tampak berseri-seri, tapi jalannya agak loyo. Ia ke dapur menjumpai Nyonya Surya. Boy, sebentar lagi tolong antarkan aku ke salon ya. Aku mau krimbat, kata Nyonya Surya. Bolehlah. Tapi tak lama kan? tanya Boy, aku kan harus menjemput Anna, tambahnya. Ah, ah, kau penuh perhatian pada Anna. Aku senang sekali. Boy menyeringai. Ia mengusap-usap wajahnya. Bel berdering. Siapa lagi, pagi-pagi begini sudah mertamu, kata Nyonya Surya, tolong lihat, Boy. Kalau Nyonya Winata, bilang aku sudah pergi, tambahnya. Boy bergegas ke ruang depan. Ia melihat Hadi berdiri di depan pintu. Bung siapa? Ada urusan apa ke sini? tanya Boy, tanpa membuka pintu. Hadi berdiri dan memandangnya dengan aneh. Sok bener, gumam Hadi. Boy akhirnya membuka pintu. Di sini rumah Anna Karenina? tanya Hadi. Iya, betul, ada apa? Hadi menyodorkan surat panggilan. Apa ini? tanya Boy. 172

Bung baca saja sendiri, kata Hadi. Kemudian ia pamit dan berjalan pergi meninggalkan rumah itu. Boy membalik-balik surat itu, lalu bergegas ke dapur, menemui Nyonya Surya. Siapa Boy?. tanya Ny. Surya. Dari sekolah si Anna, kata Boy sambil menyerahkan surat. Nyonya Surya terbelalak. Dari sekolah si Anna? Ada apa sih? tanyanya. Segera dibukanya surat itu. Dan dibacanya. Waduh Boy, Boy, Boy! Kita cepat-cepat ke sekolah si Anna. Ini surat panggilan penting. Waduh, ada apa ya? Udah, cepat sana siap-siap, aku nggak jadi ke salon, kata Ny. Surya. Ia segera lari, terbirit-birit, ke kamarnya. Tak berapa lama Boy dan Nyonya Surya naik mobil menuju SMA Bulungan I. Di perjalanan, mereka saling bertanya jawab, menduga-duga. Mengenai maksud dan tujuan surat panggilan itu. Di kantor Direktur SMA Bulungan I, Ali Topan dan Anna Karenina duduk menghadap Pak Broto Panggabean. Ibu Dewi duduk di kursi, di dekat pintu. Hadi datang, tergopoh-gopoh. Langsung memberi laporan pada bossnya. Surat sudah saya sampaikan ke rumah Anna Karenina, Pak. Sebentar lagi mungkin mereka datang, kata Hadi. Orang Ali Topan? tanya Pak Broto Panggabean. Saya tidak tahu, Pak. Tapi suratnya sudah saya sampaikan pada Mbok Yem, kata Hadi. Mbok Yem? Siapa dia? tanya Pak Broto. Ituitu pembantu rumah Ali Topan, Pak, kata Hadi. Oh ya? Baiklah, kata Pak Broto. Hadi lantas ke luar dari ruang itu. Pak Broto Panggabean memandang Ali Topan. Ke 173

mana orang tua kau, Ali Topan? tanyanya. Saya tak tahu, Pak. Jika mereka pergi tak pernah memberi tahu saya, sahut Ali Topan. Pak Broto, Ibu Dewi, dan Anna Karenina terkejut mendengar jawaban Ali Topan yang tegas itu. Jangan asbun kau!, kata Pak Broto. Beliau melotot ke arah Ali Topan. Bukan asbun, pak, tapi fakbun, kata Ali Topan. Apa itu fakbun? Fakta bunyi! Heh heh heh, Pak Broto tertawa terkekeh kekeh. Ketawanya yang spontan itu mengejutkan Ibu Dewi. Ibu guru centil itu melotot. Ha ha ha. Ali Topan tertawa. Lalu diam. Ibu Dewi makin sengit. Ia merasa diledek. Ibu Dewi melotot, merengut, wajahnya merah menahan marah. Tapi Ali Topan cengar-cengir saja. Beberapa waktu kemudian, Hadi masuk, mengiring Nyonya Surya dan Boy. Nyonya Surya terkesiap melihat Ali Topan dan Anna. Selamat pagi. Selamat pagi. Mari. Silakan, kata Pak Broto. Nyonya Surya dan Boy masuk, diperkenalkan lebih dulu dengan Ibu Dewi. Nyonya Surya dan Boy masih menatap Anna dan Ali Topan. Ada apa ini, An, kata Nyonya Surya dengan nada dingin. Pak Broto menyela. Aaa, begini silahkan duduk dulu. Begini sebetulnya tidak ada perkara yang serius, tapi Ibu kami undang untuk sekedar konsultasi saja mengenai mengenai putri Ibu.., kata Pak Broto. Anna! Kau bikin apa di sini ha?! Nyonya Surya menghardik anaknya. Lalu dia menuding Ali Topan dan berkata keras: Kamu bikin apa sama anak saya? Memang kamu anak kurang ajar! 174

Sabar, sabaar, Ibu. Biar Ibu Dewi menjelaskan duduk perkaranya, kata Pak Broto Panggabean. Hati guru kepala ini agak menyesal melihat perkembangan yang tidak enak. Harusnya dia kelarkan saja persoalan, tanpa membuat pertemuan semacam ini. Tapi semuanya sudah terlanjur. Ibu Dewi dengan lancar tentu dengan tambahan bumbu-bumbu penyedap kata-kata dan mimik yang dramatis. Tak percuma dia ikut grup teater tatkala kuliah di IKIP dulu. Dramatis betul suasana dibikinnya. Begitulah, Ibu Surya. Saya selaku guru pengawas yang ditugaskan langsung oleh Departemen merasa bertanggung jawab penuh atas nama baik sekolah ini, dan untuk mecegah supaya murid-murid tidak terjuremus ke jurang kenistaan dan kenakalan remaja, demikian kata penutup Ibu Dewi. Nyonya Surya, Boy dan Anna tampak tegang. Tapi Ali Topan malah tersenyum kecil. Ibu Dewi, tadi itu ada kesalahan kecil. Bukan terjuremus, tapi terjerumus, kata Ali Topan. Ibu Dewi melengak. Demikian pula hadirin lainnya. Mulut Ibu Dewi terbuka. Sebelum ia bicara, Ali Topan sudah buka mulut: Menurut tata bahasa Indonesia yang baik, pembicaraan Ibu Dewi agak kurang teratur, hingga sulit dipahami maknanya, Mak! Langsung wajah Ibu Dewi merah sebagai muka orang Belanda kesentrong sinar mentari. Kurang ajar! perkataan itu ke luar dengan dahsyat dari mulut Ibu Dewi. Seluruh emosinya meledak. Ia tak tahan menerima aksi Ali Topan. Ia pikir kemarahannya sudah setinggi langit, tapi Ali Topan tak bergeming. Dengan tenang ia menyodok kaki kemarahannya yang rapuh. Soal tata bahasa masih sempat dibawa-bawanya. Benar-benar kurang ajar! 175

Ibu Dewi menghentakkan kaki, lalu ke luar ruang. Ia tersedu sedan. Suasana di dalam ruang jadi hening. Langkah-langkah Ibu Dewi yang nyaring merupakan ilustrasi suara yang terdengar. Tek tok tek tok tek tok. Makin jauh, makin berkurang bunyi hak sepatu lancipnya menjejak lantai koridor sekolah. Kelas-kelas yang dilewatinya hening. Para murid dan guru melongok sejenak. Melihat kelebatan Ibu Dewi, mereka menerka, pasti ada sesuatu yang terjadi. Ibu Dewi ke luar dari gedung sekolah. Ia memanggil taksi President yang lewat. Taksi berhenti. Sopirnya membukakan pintu. Ibu Dewi masuk ke dalam.Ke Jalan Jendral Sudirman. Departemen P dan K,kata Ibu Dewi. Sopir taksi manggut, kemudian menancap gas taksinya. Di ruang direktur, suasana terasa runyam bagi Anna Karenina. Seujung kukupun ia tak menyangka kalau situasi berkembang ruwet begitu. Ia baru tahu dan yakin akan Siapa Ali Topan, sebagaimana diceritakan oleh Maya. Ali Topan itu susah ditebak adatnya. Nyentrik sih, demikian kata Maya. Dia sebetulnya anak yang baik. Tapi suka nekat. Dan nekatnya nggak ketulungan. Begitu rekomendasi yang diterima Anna, pada hari-hari yang lewat. AliTopan duduk dengan gaya masa bodo. Ia sedikitpun tidak memandang ke arah Nyonya Surya dan Boy. Sekilas tadi, waktu masuk, ia melirik mereka, dan menangkap sinar mata yang tak enak buat dipandang. Makanya ia tak menggubris mereka. Ia duduk dengan tenang, menggosok-gosok dengkulnya. Heh!Ali Topan! Kau benar-benar trouble maker! Aku tak bisa bicara apa-apa lagi. Rasanya aku cuma ingin menempeleng kau. Tapi aku tahu itu tidak pantas, kata Pak Broto Panggabean. Nadanya dingin. Ali Topan acuh 176

tak acuh saja. Dia mengartikan omongan direktur sekolah itu secara lain. Pak Broto tak berani menepelengnya, sebab, dulu pernah ada peristiwa, Pak Idris, guru olahraga menampar Ali Topan, kemudian, sehari sesudah peristiwa itu, Pak Idris digebuki berandal-berandal Pasar Melawai. Mengingat itu, Ali Topan tersenyum. Kenapa kau tersenyum, heh? tanya Pak Broto. Ali Topan menoleh, memandang tepat di antara dua biji mata direktur sekolahnya. Lalu ia tersenyum lagi, senyuman yang susah diterka Pak Broto, apakah senyuman itu asal senyuman, ataukah senyuman menganggap enteng. Kau keluarlah! Nanti kutempeleng kau! hardik Pak Broto. Ali Topan berdiri. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Ia menoleh ke arah Anna Karenina. Gadis itu pucat pasi.Wajahnya melukiskan kecamuk perasaannya. Anna juga boleh ke luar, Pak? tanya Ali Topan sambil menoleh ke arah Pak Broto. Anna tetap tinggal di sini! Nyonya Surya berteriak. Tangannya mencekal lengan Anna. Saya harap Anna tidak dijatuhi hukuman apapun akibat peristiwa ini, Pak Broto. Semua kesalahan atas rekening saya, kata Ali Topan. Ia melirik Pak Broto, kemudian melangkah ke pintu. Boy menghadang di pintu. Wajah Boy tegang, matanya mengandung sinar kebencian yang hebat. Ali Topan berhenti tepat di depan Boy. Boy masih menghadang. Numpang lewat, kata Ali Topan. Tapi Boy tetap menghadang. Pelahan Ali Topan menengadah. Sinar matanya menyapu wajah Boy. Boy bergidik melihat sinar mata Ali Topan yang sangat beringas. Tanpa sadar dia menyingkir ke tepi. Ali Topan mendengus, lalu berjalan ke luar. Ia kembali ke kelasnya. Walaupun ia sudah tidak berada di ruang Direktur, tapi 177

wibawa dari sikapnya membuat orang-orang di ruang itu terpaku. Pak Broto mengusap-usap dagunya, Nyonya Surya dan Boy saling memandang, dan Anna Karenina menunduk. Masing-masing berpikir tentang Ali Topan. Akhirnya Boy bicara. Anak begitu mustinya dipecat saja dari sekolah ini, Pak. Kalau tidak, dia bisa bikin hitam nama bapak dan jadi racun bagi murid-murid lain. Nyonya Surya menyambung, Itu sangat betul, Pak. Lihat saja, anak saya jadi korbannya yang entah yang ke berapa. Dan ibu guru tadi Ibu Dewi, dibuatnya begitu marah. Pak Broto diam saja. Kepalanya manggut-manggut macam burung kuntul di tengah sawah. Manggutmanggut itu gayanya yang khas, dan tidak selalu berarti mengiyakan pendapat orang lain. Yah. Begitulah. Saya tidak bisa bicara apa-apa lagi. Kita tunggu berita dari Ibu Dewi. Saya kira dia akan melapor ke Departemen P dan K. Nah, terima kasih atas kedatangan Ibu. Saya harap komunikasi begini bisa dilanjutkan demi kebaikan bersama, guru, orang tua murid dan si murid sendiri. Begitu? kata Pak Broto. Ia ingin mengakhiri pertemuan. Tapi, bagaimana selanjutnya? Harus ada sanksi berat untuk anak berandal itu. Kalau tidak, saya bisa bikin besar ini perkara. Saya kenal orang-orang berkuasa di Hankam. Jadi, betul-betul bapak harus bertindak, kata Nyonya Surya. Pak Broto manggut-manggut lagi menyungging senyum yang khas Medan. Ibu tunggu kabar saja, katanya. Kemudian ia berpaling ke Anna dan berkata, Nah, Anna boleh kembali ke dalam kelas. Seperti kata Ali Topan tadi, kesalahan semuanya atas rekening dia. Anna Karenina mengangguk. Ia berpaling ke arah 178

ibunya. Nyonya Surya memandang pula kepadanya. Boy ikut melihat Anna. Lebih aman kau pulang saja sekarang, Anna, kata Boy. Anna menatap mata Boy, lalu dengan gaya tidak senang, ia melengos. Iya, begitu juga baik. Ayo, Anna, ambil tas kamu, kata Nyonya Surya, kemudian ia berpaling ke arah Boy, Boy, kawal dia, katanya. Dengan kesal Anna menuruti kebijaksanaan itu. Ia pamit pada Pak Broto. Pak Broto mengelus rambut muridnya, lalu mengantar ke luar ruang. Boy, mengikuti Anna dari belakang. Nyonya Surya juga pamit. Ia berjalan mengikuti Boy dan Anna. Pak Broto memperhatikan mereka, kemudian masuk ke dalam kantornya. Hadiiiii!, serunya. Hadi datang segera. Ada apa, Pak? Pak Broto melotot. Pakai tanya lagi. Mana es teh buatku? Dan Dji Sam Soe sebungkus, bon dulu di kantin. Cepat kau! Kepalaku pening melihat muka kau yang macam beruk itu! hardik Pak Broto. Ia melampiaskan kedongkolan pada Hadi. Siap, Pak! kata Hadi. Lalu berjalan mundur ke pintu. Sampai di luar ia berlari sekencang-kencangnya ke kantin. He, bibi! Mana es teh aku? Dan Dji Sam Soe sebungkus, ngebon dululah! Cepat kau antar ke kamar Bapak kita, Si Broto Panggabean, bah! kata Hadi pada bibi kantin. Bibi kantin tertawa. Kalau di sini berani bilang Si Broto Panggabean. Kalau di depan orangnya huh!, bisa dibikin beres kamu, Di, kata Bibi Kantin. Sambil tertawa-tawa, segera membuat es teh manis. Setelah selesai, ia berikan es teh dan 179

sebungkus Dji Sam Soe pada Hadi. Salam buat Pak Broto, kata bibi kantin. Salam pakai cium? Hus! Bibi kantin melotot. Hadi terbahak-bahak sambil pergi membawa es teh dan Dji Sam Soe. Begitu Hadi sampai dan menaruh gelas es teh manis, langsung Pak Broto menyambar minuman itu dan menenggak seperti orang menenggak tuak. Segelas es teh manis amblas dengan sekejap mata. Lalu membuka bungkus Dji Sam Soe dengan gigi taringnya. Hadi segera mengundurkan diri. Pintu kantor Pak Broto ditutupnya dari luar. Hadi tahu, pada saat seperti itu, Pak Broto tidak boleh diganggu gugat. Pak Broto mengambil sebatang Dji Sam Soe, mengeluarkan tembakau separ uh. Kemudian ia mengambil bungkusan ganja dari laci mejanya. Ganja itu dicampur dengan tembakau yang sudah dikeluarkannya, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rokok. Sisa tembakau dan ganja disimpannya di dalam amplop. Pak Broto sulit menghilangkan kebiasaan mengganja yang dilakukan sejak masih muda, di Medan dulu. *** Sebuah pesawat terbang kertas melayang di dalam kelas. Pesawat itu melayang-layang, lalu menukik, dan mendarat di kepala Maya. Lantas terdengar suara ketawa dari teman-temannya. Ketawa Ali Topan terdengar paling keras. Ia yang melayangkan pesawat terbang kertas itu. Maya tidak marah. Ia tahu, Ali Topan sedang kesal. Anna Karenina sudah pulang bersama Ibunya dan Boy. Di depan pintu, tadi, Boy berdiri dengan gaya sok angker. Ali Topan melemparnya dengan sebutir permen Chiclets. Kena kepalanya. Ketika Anna mengambil tasnya, ia tak 180

berkata apa-apa. Wajahnya merunduk. Ridwan menghampiri Ali Topan. Ia berbisik-bisik. Ali Topan mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ridwan kembali ke tempat duduknya. Ali Topan berdiri. Ia mengambil tas sekolahnya, lalu berjalan ke pintu. Teman-temannya memperhatikan. Di tengah pintu, sambil tetap menghadap ke luar, Ali Topan berseru: He, kenyung-kenyung. Gua poskul duluan. Kalian belajar baek-baek, ye?! Iyeeeee.., teman-temannya serempak menyahut. Lantas Ali Topan berlalu. Langkahnya tenang, pandangannya lurus ke depan. Ia terus berjalan, melewati koridor, kantor guru-guru, pintu gerbang sekolah dan menyeberangi jalan. Ia terus berjalan. Pelan tapi pasti. Menuju Jalan Panglima Polim Tiga, tempat tukang tambal ban motor & mobil. Motornya sudah siap ketika ia sampai. Bannya sudah ditambal, dan bodinya sudah dibersihkan oleh penambal ban. Ada berapa lobang? tanya Ali Topan. Dua lobang. Pakunya panjang sih, kata penambal ban. Brokap?. Dua lobang, duaratus deh. Ali Topan membayar Rp 200, lalu mengambil sepeda motornya. Tak lama kemudian, ia sudah nangkring di atas motornya. Ia tak ngebut. Motornya dijalankannya pelanpelan. Ia langsung pulang ke rumahnya. *** 181

EMPAT BELAS

soknya, sekitar pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, Hadi datang ke rumahAli Topan, membawa sepucuk surat keputusan Direktur SMA Bulungan I, mengenai skorsing. Selama satu bulan penuh, ia tidak diizinkan mengikuti pelajaran sekolah. Yang menerima surat itu Nyonya Amir. Ali Topan sedang berada di kamarnya. Nyonya Amir membaca surat keputusan itu, kemudian pergi ke kamar Ali Topan. Ia masuk ke kamar anaknya dan mendapati Ali Topan sedang tidur-tiduran. Nyonya Amir duduk di ranjang Ali Topan. Kamu tidak sekolah hari ini? tanya Nyonya Amir. Males, jawab Ali Topan. Kenapa males? Kemarin ribut di sekolah. Kenapa ribut? Biasa. Biasa apa? Soal cewek. Lho, sudah punya cewek? Kok mama nggak di kasih tahu? Ali Topan tak menjawab. Ia merasa aneh. Mamanya kok lain sekali hari ini? Kok menaruh perhatian banget? Ia menelentang, memandang ibunya. Ibunya tampak tersenyum. Tapi wajahnya pucat sekali. Ada apa? tanya Ny. Amir. Mama tumben nanya-nanya. Udah insap ya? kata Ali Topan. 182

Mamanya terperanjat. Wajahnya yang pucat makin pucat. Tapi senyumnya masih diusahakan keluar, untuk mengurangi rasa kagetnya. Kepala Sekolahmu mengirim ini, kata Nyonya Amir. Ia menunjukkan surat pada anaknya. Apa itu? Surat skorsingya? Atau Ali dipecat dari sekolah? tanya Ali Topan. Baca saja sendiri, kata Nyonya Amir. Ia memberikan surat itu pada anaknya. Ali Topan membaca surat itu. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Tenang-tenang saja tampaknya. Kamu nakal betul ya di sekolah, kok sampai di skors begitu lama. Jangan nakal dong Ali. Ha ha ha. Jaman sekarang memang jamannya orang nakal, Mama. Kalau nggak ada orang nakal, nggak rame dunia, kata Ali Topan. Nyonya Amir tertegun. Darahnya tersirap. Kata-kata anaknya terasa sebagai ratusan jarum yang menancap di ulu hatinya. Dipandangnya wajah anaknya, tapi terbayang wajah lelaki tanggung yang bukan anaknya. Semakin ia memandang Ali Topan, semakin terbayang wajah anak-anak muda yang menjadi gigolo-nya. Kepalanya terasa pening mendadak. Pandangan matanya berkunang-kunang. Apa kamu bilang? bisiknya. Ali Topan memandangnya. Sepasang mata seakan-akan layu. Sinar matanya suram, mengandung kecewa. Maaf, Mama, Ali nggak suka keadaan di rumah ini. Ali nggak mengerti kemauan mama dan papa. Terus terang Ali kecewa, kata Ali Topan. Nyonya Amir tertegun. Peningnya menjadi-jadi. Sebetulnya rasa pening itu hampir tak bisa ditahannya, tapi ke-aku-annya sebagai seorang ibu tidak bisa menerima 183

ucapan anaknya, sekalipun ucapan itu mengandung kebenaran. Kamu memang tidak akan pernah bisa mengerti! gumamnya. Lalu ia bangkit, dan segera berjalan ke luar. Pintu kamarAli Topan dibantingnya. Surat hukuman dari sekolah melayang jatuh kelantai. Sesaat Ali Topan memandang daun pintu yang dibanting dan surat hukuman yang terletak dilantai.Lalu iapun bangkit, dari tempat tidurnya. Matanya terasa panas. Sekuat tenaga ia tahan airmata yang hendak ke luar, namun sia-sia. Iapun menunduk. Butir-butir airmata jatuh ke lantai. Ia menangis, terisak-isak. Dadanya terasa sesak, hatinya terasa hampa. Ia ingin sekali berteriak sekuat-kuatnya. Ia ingin meledakkan seluruh perasaan yang terpendam lama, rasa kecewa berasal dari rasa kehilangan sesuatu, yaitu perhatian ibunya. Dulu mamanya nggak begitu. Masih biasa-biasa saja. Seperti mamanya waktu ia masih kecil. Meskipun cerewet, dan kalau bicara membentak-bentak, tapi masih waras. Mamanya berubah sejak tahu suaminya main perempuan. Dia jadi kacau. Ia tidak berteriak. Ia hanya terisak-isak. Ia tak mau berteriak kepada ibunya, walaupun sekujur tubuh dan seisi jiwanya ingin berteriak, Hentikan, hentikan semua kegilaan di rumah ini!!! Ia memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang-panjang. Kedua tangannya mengepal. Ditinjunya udara berkali-kali untuk melampiaskan tekanan perasaan di dalam jiwanya. Akhirnya ia terkulai lemas. Perlahan dibukanya kelopak matanya. Bibirnya terbuka. Ia menyebut nama Tuhan. Lalu ia berjalan mengambil celana blue jeans dan jaket184

nya. Dikenakannya pakaian itu, kemudian sepatunya. Dengan tubuh terkulai ia pergi ke kamar mandi. Diciduknya air, diusapnkan ke wajahnya. Demikian berkali-kali. Sesudah itu ia menyenduk air dengan tangannya, untuk berkumur-kumur. Lalu ia ke luar. Tak lama kemudian, Ali Topan naik motor meninggalkan rumahnya. Ia ngebut! *** Ali Topan memacu motornya di jalanan. Wajahnya muram. Pikirannya kusut. Ia merasa sebagai anak paling malang di Jakarta. Dalam keadaan risau begini, ia ingin sendiri. Ia tidak membutuhkan siapapun. Tidak Gevaert, tidak Bobby, dan tidak Dudung! walaupun mereka teman-teman sepermainan, ia sedikit sekali bicara tantang keadaannya di rumah. Teman-temannya itu mendengar-dengar perihal rumah tangganya yang kacau balau, tapi bukan dari dia. Kebayoran memang bukan sekecil Subang, tapi untuk urusan permainan seks-gelap, seperti yang dikerjakan oleh kedua orangtuanya, rasanya setiap hidung anak Kebayoran tahu. Terutama ikhwal ibunya, yang mendapat sebutan Tante Dun Hill karena selalu merokok Dun Hill setiap pemuda hidung belang rasanya belum sah kalau belum pernah pergi dengannya, begitu kelakar para muda Kebayoran. Dan ayahnya? Tak ada rotan, akar pun jadi, kelakar mereka. Artinya, tak ada perempuan lacur, bencongpun jadi! Gilak! teriak Ali Topan. Ia kaget sendiri mendengar teriakannya, sebab pengendara mobil di sampingnya melotot ke arahnya, kaget. Ali Topan mengebutkan motornya di antara mobilmobil sedan di jalur cepat Jalan Raya Jendral Sudirman. 185

Seharusnya ia masuk ke jalur lambat, tempat khusus bagi pengendara motor yang dicampur dengan biskota. Tapi ia tak peduli jalur lambat. Ia ingin cepat. Ia tak peduli sumpah serapah oom-oom di dalam mobil yang marah karena ia tidak mematuhi aturan lalulintas jalan raya. Ia sedang sumpek. Ia mengepotkan motornya di antara kendaraan lainnya dengan kecepatan 80 sampai 90 km per jam. Ia terus menggeblas. Lewat kolong jembatan Semanggi. Dua polisi lalulintas yang sedang patroli menudingnya. Tapi Ali Topan masa bodo saja. Ia menggeblas terus. Polisi mengejarnya. Di Bendungan Hilir ia masuk ke jalur lambat. Kecepatan motornya dikuranginya. Ia menyelipkan motornya di balik bis PPD, hingga polisi patroli kehilangan jejaknya. Polisi itu celingukan, mencari-cari Ali Topan. Ia heran, cepat betul anak tanggung itu menghilang. Ia tidak tahu Ali Topan bersembunyi di balik bis kota. Ali Topan mengintip polisi yang melaju ke depan sambil celingukan mencarinya. Sampai Bunderan Hotel Indonesia, Ali Topan masih merendengi bis PPD. Ia melihat penumpang dan kondektur bis PPD ketawa-tawa melihatnya. Mereka tahu kelakuannya mempermainkan polisi. Udah, kebut aje, polisinya udah ngilang, kata kondektur bis. Ali Topan diam saja. Malas menjawab. Lepas dari bunderan HI, Ali Topan memacu motornya kembali. Ia lurus ke arah utara. Ia ingin segera sampai di pantai Bina Ria, salah satu tempat yang disenanginya untuk menyendiri. Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langit berwarna merah marong. Ombak makin besar dan angin 186

makin kencang. Ali Topan berdiri tegak menatap cakrawala. Rambutnya yang hitam lebat dan gondrong dihembus angin, menambah kegagahannya. Sekujur tubuhnya lusuh. Dan perutnya terasa lapar. Sudah berjam-jam ia merenung sendiri berdialog dengan angin dan laut. Sepatunnya penuh pasir. Demikian pula celana jeans-nya. Ia berjalan ke tepi pantai. Dimasukkannya kakinya ke laut, sebatas paha. Celana dan bajunya basah kuyup. Ia mengambil pasir dari dalam laut. Digenggammya pasir itu, lalu dilemparkannya ke tengah. Kemudian ia mencuci wajahnya dengan air laut. Dijilatinya tangannya yang basah. Asin. Dan agak pahit. Hausnya makin mencekik. Akhirnya ia berbalik, berjalan menuju semak tempat ia memarkir motornya. Diangkatnya sang motor, ditepuktepuknya sadelnya. Lalu ia menyemplakinya. Sebelum berlalu, ia menoleh ke arah laut. Aku pulang dulu ya laut, kapan-kapan aku ke sini lagi, katanya. Lantas ia hidupkan motornya, dan berlalu dari situ. *** Sementara itu di rumah Anna. Ia duduk di hadapan bapaknya, di ruang tengah. Boy dan ibunya turut juga dalam pertemuan itu. Anna sedang dimarahi oleh bapaknya perkara hubungannya dengan Ali Topan. Kenapa jadi begini, Anna? Papa kan sudah bilang berkali-kali agar membatasi pergaulan dengan anak anak yang tidak cocok dengan derajat kita. Kau harus selalu ingat bahwa kau masih punya tetesan darah bangsawan. Itu masih berlaku, walaupun orang bilang sekarang jaman modern. Bagaimanapun modernnya jaman, tetapi tetap ada perbedaan derajat antara tetesan bangsawan dengan tetesan darah rakyat biasa yang tidak jelas asal usulnya, kata Pak Surya. 187

Saya tak mengerti soal itu, Papa, sahut Anna. Kau memang tak pernah mau mengerti. Pokoknya, mengerti atau tidak, Papa ingin kau menurut aturan, titik! Di sekolah yang dulu, kau bergaul sembarangan. Sesudah dipindahkan ke sekolah baru, masih begitu saja, kata Pak Surya. Mustinya dia sekolah di rumah saja, biar tak bikin pusing orangtua. Saya pun sanggup mengajarnya, kalau diminta, sela Boy. Anna benci sekali mendengar ucapan Boy. Kebenciannya ditunjukkan dengan cara melihat Boy dengan pandangan jijik. Gua nggak mau belajar sama kamu, bangsat! kata Anna. Semua kaget mendengar makian Anna. Tak ada yang menyangka dia berani memaki Boy. Boy melengak, tapi segera berpura-pura tenang. Ia mengawasi Anna. Boy tersenyum kecil. Sejak kau pakai kalung itu, kau suka marah-marah, An? kata Boy. Ucapan yang acuh tak acuh itu justru berakibat hebat. Anna membelalak. Oh, begitu kau bilang, Boy? kata Pak Surya, Coba kulihat kalungmu, An, ucapnya pada Anna. Pak Surya menjamah kalung di leher Anna. Anna mencoba mengelak, tapi tangan ayahnya sudah menyentuh kalung itu. Coba buka, kata Pak Surya. Anna diam saja. Diguna-gunai melalui kalung itu dia, Pa, kata nyonya Surya yang sangat terpengaruh oleh ucapan Boy. Coba buka, Papa mau lihat, kata Pak Surya kembali. Anna masih diam. Tapi wajahnya memperlihatkan penolakan yang hebat. Ia sangat marah pada Boy, benci pada hasutannya yang dipercaya oleh ayah dan ibunya. 188

Kedua orangtuanya memang sangat percaya pada tahayul. Pak Surya menarik kalung Anna perlahan. Anna tetap bertahan. Berulang-ulang Pak Surya memintanya untuk membuka kalung itu. Besok papa belikan kalung emas bermata berlian untuk ganti kalung ini, Anna. Bukalah, kata pak Surya. Anna menggeleng-nggelengkan wajahnya. Air matanya berlinang. Biar biar Anna pakai kalung ini saja, Papa. Boleh ya Papa? Kalung ini tida ada guna-gunanya percaya deh Papa, kata Anna dengan bibir bergetar menahan perasaan yang tertekan. Aaaah, cerewet! kata Pak Surya, sambil menyentak kalung itu. Putus!Anna memekik. Lehernya terasa sakit, tapi hatinya lebih sakit lagi. Maka iapun menangislah. Terisak-isak. Pak Surya menggenggam kalung itu. Ia mencium-cium benda itu, seperti kelakuan dukun klenik yang sedang mengendus setan. Hm. Hm bau melati ini pasti ada apa-apanya, gumam Pak Surya. Ia melihat ke istrinya, lalu mengangsurkan kalung itu. Nyonya Surya membaui kalung itu, mengendus-ngendus dengan penuh semangat. Pikirannya sudah dipenuhi oleh guna-guna. Begitu terbaui olehnya bunga melati, iapun menganggukangguk. Ia menoleh ke arah Boy. Boy melirik Anna dengan gaya sinis betul. Sinar kemenangan menyertai tatapan sinisnya itu. Anna Karenina tak tahan melihat kelakuan mereka. Dalam kedongkolannya, ia merasa sedikit geli. Tentu saja kalung itu bau melati, karena memang diolesinya kalung dari Ali Topan dengan parfum Jasmine yang bau 189

sari melati. Ia ingin menjelaskan hal itu, tapi ketika dilihatnya kelakuan ayah ibunya seperti dukun, ia membatalkan maksudnya. Untung Boy memberi ingat. Kalau tidak, bahaya! Bisa kecolongan lagi kita, kata nyonya Surya. Pak Surya mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti burung kuntul. Boy ikut-ikutan mengangguk-angguk. Anna ingin sekali meludahi muka Boy. Ingin sekali. Besok bawa anakmu ke Mbah Ruspi, Ma, kata Pak Surya. Mbah Ruspi yang dimaksudkannya itu adalah seorang tua yang menjadi dukun keluarga. Saya tidak mau! kata Anna dengan keras. Tuh, tuh, guna-gunanya masih nempel, kata Nyonya Surya. Pak Surya langsung mendekati Anna. Disentuhnya dahi Anna, dengan maksud meraba-raba setan yang dianggapnya menyarangi Anna. Anna menepis tangan ayahnya. Wah, setannya bandel betul! Melawan! kata Pak Surya. Gila betul orangtua ini. Dia menangkapnya tangan Anna. Lalu dipegangnya kuat-kuat. Pikirannya dipenuhi bayangan anaknya kena guna-guna. Sebelah tangannya mengusap dahi Anna. Anna memejamkan matanya. Ia tak sanggup menahan kesedihan hati yang bercampur rasa marah yang sangat. Perlakuan orangtuanya sungguh keterlaluan. Ia cuma bisa menangis. Terisak-isak. Pak Surya melepaskan sentuhannya. Ia membiarkan Anna menangis. Malah ditontonnya anaknya yang sedang menangis. *** Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. Ia mengebutkan kendaraannya supaya cepat sampai di kebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di 190

warung Tegal di belakang kantor polisi Komwil 74, salah satu tempatnya biasa makan dengan teman-temannya. Di depan gedung Sarinah ia terkesiap. Mobil ayahnya tampak di antara kendaraan yang lain. Ditancapnya gas motornya untuk menyusul mobil itu. Mobil itu memang mobil ayahnya. Pak Amir tampak sedang tertawa-tawa, menyetir mobilnya. Di sebelahnya duduk seorang perempuan. Ia sama sekali tak mengira kalau anaknya sedang membuntuti di samping sebuah mobil lain di belakangnya. Badanku capek, pegel semua. Kau harus memijati aku Marta, kata pak Amir, sambil menyubit paha perempuan bawaannya. Marta mengaduh, tapi membiarkan tangan Pak Amir tetap di atas pahanya. Bahkan ketika tangan itu menggerayang ke mana-mana tetap dibiarkannya. Sabar ah, sabar sebentar lagi aku tekuk semua tulang-tulang, Oom Amir, supaya hilang capeknya, kata Marta. Wah, kalau tulang ditekuk-tekuk, tambah capek dong. Iya, capek, tapi kan enak, sambil tertawa cekikikan. Pas dia ketawa begitu, Ali Topan merendengi mobil Pak Amir. Ali Topan memandang tajam ke arah ayahnya, PakAmir kaget melihat AliTopan. Setir mobilnya sampai terlepas dan mobilnya sedikit ngepot. Marta ikut kaget karena mobil itu hampir menghajar mobil lain. Pak Amir mencoba tersenyum wajah ke anaknya, tapi Ali Topan menampakkan wajah murka. Dari mana kau? sapa Pak Amir, mencoba beramah tamah. AliTopan tak menjawab. Ia membuang pandangannya. Lalu memacu motornya ke depan. Pak Amir malah 191

melambatkan mobilnya. Siapa sih, Oom? tanya Marta. Anak saya, kata Pak Amir. Wah, ganteng ya. Bisa pinjem dong saya..., kata Marta. Hus! Bapaknya saja, jangan anaknya, kata Pak Amir. Ia melotot. Tapi tangannya menggerayangi paha Marta kembali. Nanti dia mengadu ke ibunya. Bisa gawat nih, Oom, kata Marta. Nggak, nggak. Dia nggak suka ngadu. Nanti kalau ngadu saya tempelengi, sahut Pak Amir. Mereka sampai di bundaran Hotel Indonesia. Lampu lalulintas hijau. Pak Amir terus membelokkan mobilnya ke Hotel Indonesia. Ali Topan mengebutkan motornya. Perutnya yang lapar tiba-tiba tak terasa lagi. Kelaparannya lenyap, kalah oleh kepahitan hatinya. Seringkali ia memergoki ayahnya membawa perempuan, yang sekali lirik saja diketahuinya sebagai perempuan bawaan. Bahkan pernah dulu ia bersama Bobby, Dudung dan Gevaert berlibur ke daerah Puncak, dan mengintip orang bercinta di sebuah villa. Yang diintipnya ayahnya sendiri. Tak terasa ia sampai di bunderan Senayan. Matanya perih kena angin dan debu malam. Diusapnya matanya dengan tangan kiri, lalu mengebut lagi ke jurusan CSW. Wajah Anna Karenina terbayang tiba-tiba. Dan rindunya pun datang bersama bayangan wajah gadisnya. Tiba-tiba pula hatinya berdetak. Serasa ada sesuatu yang tidak enak mengganjal perasaannya. Tiba-tiba ada suatu tarikan perasaan yang kuat, keinginannya bertemu dengan Anna. Ia ingin tahu apakah Anna dimarahi oleh orangtuanya karena persoalan di sekolah sianghari tadi. 192

Tiba-tiba pikiran khasnya muncul, didorong oleh instink aneh yang dimilikinya. Ali Topan memang punya instink tajam. Ia sering bergerak instinktif. Spontan. Begitu instinknya memberi sinyal berupa perasaan ingin ketemu Anna, Ali Topan langsung menuruti kehendak itu. Ia menahan rasa laparnya. Motornya langsung ditujukan ke arah rumahAnna. Dia ingin datang ke rumah gadisnya. *** Anna Karenina masih duduk diam di kursinya. Ia masih tetap dibanjiri nasehat dan petuah oleh ayah dan ibunya. Sudah bosan dia mendengar petuah dan nasehat yang diobral, yang itu ke itu melulu. Tapi untuk beranjak pergi, ia masih ngeri. Ia belum pernah memberontak secara total. Pemberontakannya selama ini cuma terbatas pada memaki Boy, atau membantah omongan orangtuanya secara kecil-kecilan, dan akhirnya menangis. Keluarga Anna Karenina memang termasuk keluarga yang sedikit sableng. Istilah ilmiahnya, ayah dan ibu Anna, kehilangan rasionalisme dalam mendidik anakanak mereka. Emosi lebih berbicara. Subyektif sekali. Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak kecil melihat boneka-boneka. Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, sematamata datang dari pihak orangtua. Kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan. Mereka lupa, betapa masyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitu cepat. Kaum muda makin menuntut kebebasan, dan memperoleh hal itu dari masyarakat, sedangkan kaum 193

tua yang koppig menjadi dungu dan tolol, membunuh wibawanya sendiri, karena memusuhi hak kebebasan anak-anak mereka. Perang nilai, pembaharuan dan kekolotan yang penuh basa basi dan kemunafikan, melahirkan banyak kepahitan. Di antara kepahitan itu makin banyaknya jumlah unwanted child, bayi-bayi yang dicetak dalam kepanikan. Motif cinta ataukah nafsu, begitu kabur. Dan tidak menjadi peduli. Ika Jelita, kakak perempuan Anna Karenina, termasuk dalam kasus itu. Ia memang jelita bagai porselen. Sialnya, ayah dan ibunya menganggap Ika seperti barang antik, bukan sebagai manusia. Rumah merupakam semacam museum. Ika seperti patung kuno yang ditaruh di dalam lemari kaca. Hanya bisa dilihat, boleh ditaksir, tapi tak boleh menaksir orang yang disukainya. Sampai pada waktunya ia pantas pacaran, pacarpun dipilihkan oleh orangtuanya. Ada anak jendral pensiunan, ada anak dokter jiwa, ada anak pedagang kaya, dan ada keturunan bangsawan Yogya. Bukan tak ganteng, bukan tak punya cinta, tapi Ika sudah punya pacar. Namanya Muhammad Iqbal, anak Betawi asli. Ia anak yang soleh dan cukup terpelajar. Miskinpun tidak, karena orangtuanya punya sawah dan kebun buah-buahan. Tabiatnya baik. Orangnya rendah hati.Yang utama, Ika mencintainya, dan iapun mencintai Ika dengan sepenuh hati. Tapi, Tuan dan Nyonya Surya tidak setuju Ika pacaran dengan Muhammad Iqbal. Iqbal kampungan, kata mereka. Dan segerobak kejelekan lainnya yang diada-adakan. Ika dan Iqbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet. Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat. Mereka lupa, makin ketat aturan, makin deras larangan, 194

makin hebat cinta berjuang mencari jalannya. Sampai pada batas cinta tak bisa kompromi dengan peraturan rumah, Ika-pun hamil oleh Iqbal. Atas dasar cinta sama cinta, suka sama suka. Dan, orangtua akhirnya tak punya kesaktian lagi, kecuali mengusir Ika dengan bekal caci-maki. Begitu ceritanya. Kini Anna mengalami nasib sama walau tak serupa. Orangtuanya masih belum kapok. Mereka tak mau menimba pelajaran dari pengalaman mereka sendiri. Jiwa anaknya tak diselami, kemauannya tidak ditimbangtimbang. Pokoknya, prek deh buat Ali Topan, demikian keputusan mereka. Mereka tak menyadari, orangtua pun bisa kuwalat kalau mengkorup hak asasi anaknya. Mereka lupa bahwa mereka bukan Sang Maha Kuasa. Padahal Tuhan telah menanamkan benih cinta di setiap hati umat-Nya. Dan benih itu punya bunga-bunga. Bunga bunga cinta punya keindahan masing-masing. Dan, tak bisa ditahan mekar dan wanginya. Kalau menahan mekarnya bunga, kalau membekap wanginya, itulah melawan takdir. Rupanya, pikiran Tuan dan Nyonya Surya tidak sampai ke situ. Jadinya, mereka takabur. Menganggap enteng cinta muda-mudi. Kalau diterus-teruskan, mereka menganggap enteng Tuhan anak-anak itu. Mereka pikir, barangkali, Tuhan anak-anak muda berbeda dengan Tuhan mereka. Anna, Ia gadis yang sedikit nyentrik. Kemauannya lebih keras dari Ika, kakaknya. Bedanya dengan Ika, Anna lebih ekstrovert, terbuka. Ia masih punya setitik harapan, orang tuanya membolehkan ia bergaul dengan Ali Topan. Tapi ia kecewa, karena Ali Topan sudah distempel sebagai pemuda begajulan. Yang mencemaskan Anna, adalah manusia bernama 195

Boy. Sebagai gadis, Anna punya perasaan, Boy menaksirnya. Taksiran itu habis-habisan. Boy pandai menyembunyikan minatnya dari pandangan orangtua Anna. Tapi nafsu yang terpancar dari dua matanya, tak lolos dari pandangan Anna. Anna ngeri betul pada Boy. Matanya seperti mata tukang perkosa di film-film. Buas dan lapar betul! Selama ini Anna cuma bisa memendam kengeriannya. Lagi pula ia tidak bisa sembarangan omong, khawatir kalau Boy menjadi-jadi, jika tahu Anna membaca jalan pikirannya yang mesum. Anna khawatir Boy jadi ge-er alias gede rasa. Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kesejukan di dalam hati. Tapi orang tuanya menganggap justru sebagai badai yang memporak-porandakan segalanya. Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk memberontak, merebut haknya, seperti Ika. *** Ketukan di pintu membuat semua orang menoleh. Dan semua orang itu terkejut ketika tahu siapa tamu mereka. Ali Topan! Sejenak mereka terpana. Tuan Surya mengernyitkan dahi, Nyonya Surya menunjukkan aksi bengong, Boy meringis, dan Anna berhenti menangis! Ali Topan berdiri tegak. Ia menanti persilaan dari si empunya rumah. Ternyata persilaan itu tak kunjung datang. Yang datang justru kejutan lain. Usir anak gila itu, Boy! seru Tuan Surya. Tersirap darah Anna mendengarnya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah Boy yang berjalan ke pintu. Anna jadi nekat. Dengan sebat ia bergerak, berlari ke 196

pintu. Anna! Kembali! ayahnya berteriak. Tapi Anna tetap berlari, membuka pintu. Topaaan, bisik Anna, tangannya menyentuh lengan Ali Topan. Ali Topan tersenyum. Mereka saling menggenggam tangan, tak menggubris Boy yang meringis di dekat mereka. Genggaman itu lepas ketika Tuan Surya datang dan menggeprak tangan mereka! Anna Karenina ditariknya ke dalam, lalu ia berdiri murka di depan Ali Topan. Jahanam! Pergiiii! hardiknya. Ali Topan menganggukkan kepalanya dengan sopan namun gagah. Kemudian ia memutar badannya, dan berjalan dari hadapan orangtua yang murka itu. Diiringi isak tangis Anna Karenina, ia menyemplak motornya, lantas pergi dari rumah itu. Hatinya puas bisa bertemu dengan Karenina. ***

197

LIMA BELAS
unir, pemilik kios koran dan majalah di samping toko sepatu Bata Blok M, sedang repot membenahi dagangannya ketika Ali Topan datang. Ali Topan langsung menyomot Kompas. Nir, ada berita rumah digusur atau tukang becak ditangkepin? kata Ali Topan. Di Kompasada, tapi yang lebih seru diIbu Kota, gong. Nenek-nenek diperkosa kira-kira juga ada di situ, kata Munir. Ia memberikan Ibu Kota pada Ali Topan. Makasih! sahut Ali Topan, kemudian ia duduk di bangku milik Munir. Ia membaca. Munir meneruskan kerjanya, mengatur koran-koran dan majalah. Seorang petugas keamanan Blok M datang ke kios itu dan berdiri di dekat Munir. Ia menyomot beberapa majalah. Minjam dulu ah, buat bacaan di kantor, katanya. Munir tak menjawab. Mulutnya separuh ternganga.Ali Topan melirik ke arah petugas keamanan itu. Kebetulan si petugas memandangnya. Ada apa liat-liat? kata si petugas. Ali Topan kaget. Dalam hatinya ia berkata, galak amat petugas itu. Situ kenapa liat-liat saya? kata Ali Topan. Si petugas melengak. Ia melotot. Mau saya gampar kamu? katanya. Lho, ada kasus apa? kata Ali Topan sembari mema198

jang senyuman bertendens. Si petugas tak menjawab. Tapi matanya makin melotot. Jangan melotot begitu dong, nanti saya takut, kata Ali Topan. Munir dan beberapa penjual mainan anakanak tersenyum mendengar omonganAli Topan. Mereka senang melihat petugas keamanan yang sok itu dipermainkan oleh Ali Topan. Mau gua gampar? Banyak bacot kau! kata si petugas. Ia bergerak mendekati Ali Topan, tangannya diangkat untuk menggampar Ali Topan. Langsung saja Ali Topan berdiri. Kalau mau dipecat sama bapak saya, coba gampar! kata Ali Topan. Ia berkacak pinggang. Gagah sekali. Petugas keamanan keder juga melihat gaya Ali Topan, lagi pula ia berpikir siapa gerangan bapak si anak muda ini. Bapak kamu siapa? tanyanya, melembut. Bapak saya orang! Munir dan teman-temannya tertawa. Petugas keamanan melihat ke arah mereka. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tapi ia tak berani bertindak sembarangan. Bapak kamu jendral ya? tanya si petugas, meyakinkan dirinya sendiri. Punya KTP apa enggak, berani berani nanya bapak saya? Nanti saya sebut nama bapak saya, situ kaget lagi. Udah pergi sana saya tak ada tempo melayani situ, kata Ali Topan. Lantas ia duduk kembali, dan melanjutkan bacaannya. Petugas keamanan ragu sejenak, tapi kemudian ia memutuskan untuk menuruti perasaan kedernya. Sambil menyandang perasaan malu, ia ngeloyor pergi. Gila lu, Pan! Untung dia ngeri, kalau dia kalap kan repot lu, kata Munir. 199

Waah, boss kita ini hebat kali. Gertakannya mantap kali. Hebaaat, kata seorang penjual mainan. Ali Topan cuma tersenyum. Gertakan begitu ada elmunya tuh, bukan sembarang gertakan, kata Ali Topan sembari tersenyum lebar. Elmu apa, Boss? kata penjual mainan anak-anak. Wah, itu nggak boleh sembarangan dikasih tahu, kata Ali Topan. Ia menaruh Kompas dan Ibu Kota, lalu ngeloyor pergi. Makasih, Nir, katanya. Sama sama, kata Munir. Ali Topan berhenti sebentar di toko Bata, melihat lihat. Lalu berjalan lagi ke arah Pasar Melawai bagian belakang. Melewati lorong-lorong kecil bagian toko-toko tekstil, ia bersiul-siul lagu sembarangan. Sapaan halo dari para pegawai toko-toko tekstil dijawabnya dengan halo juga. Di ujung lorong ada seorang gadis memanggil namanya. Hai, Maya, ngapain? sahut Ali Topan sambil menghampiri Maya yang tersenyum manis. Disuruh mama beli kain kelambu, kata Maya. Lho, kok masih pakai kelambu? Kan ada Raid? Mama alergi kalau bau obat-obatan semprot, jadi pakai kelambu. Kamu dari mana? Kangen deh, kata Maya. Kalau kangen, beliin rokok dong, kata Ali Topan. Penjual tekstil yang mendengar omongan itu, kertawa he he he. Maya yang sudah hafal kebiasaan Ali Topan mengangguk pertanda paham. Tunggu sebentar ya, saya selesaikan transaksi dulu, kata Maya. Ia pun membayar harga kain kelambu yang telah dibelinya. 200

Tak lama kemudian, kedua teman itu berjalan menuju kios rokok yang terletak di samping bioskop Kebayoran. Maya membelikan sebungkus Dji Sam Soe danAliTopan menyatakan terima kasih sepenuh hatinya. Ke mana kita? Ada cerita apa di sekolah? Bagaimana kabar cewek gua? Apakah Ibu Dewi sudah meninggal dunia? Dan Pak Brotpang apa sehat sehat atau masih pilek? pertanyaan Ali Topan beruntun menyambar kuping Maya. Maya tertawa renyai. Ia senang betul pada Ali Topan. Segalanya deh. Stel habis senangnya pada Ali Topan. Memang, Maya diam-diam memendam perasaan naksir pada temannya yang keren dan badung itu. Tapi taksirannya cuma mampu dipendam di dasar laut nuraninya, sebab ia maklum bahwa Ali Topan tak ada minat padanya dalam soal cinta menyinta. Cukup kasihan sebenarnya kalau ada gadis sedikit manis seperti Maya, yang punya cita-cita memeluk gunung padahal menyusuri bukitnya pun sudah ngeri dia, ngeri kalau ditolak. Dan, tidak mengherankan tidak pula disesalkan kalau Maya memendam sedikit birahi pada anak manusia yang kerennya stel habis model Ali Topan, sebab, bidadaripun, umpama katanya, jika melihat cucu Adam yang tampangnya orisinil seperti Ali Topan, runtuhlah imannya dan bisa kejadian ia minta pensiun sebagai bidadari. Maya bercerita perihal Anna Karenina yang setiap hari nampak sendu dan merana, perihal ulangan ulangan yang membadai menjelang ujian, perihal Ibu Dewi yang makin merajalela dan perihal macam macam yang bisa diceritakan. Wah, kasihan kekasih hati pujaan jantung gua, May, kata Ali Topan, hatinya tersiksa menanggung derita. 201

Tapi tolong bilang sama dia, May, jangan kuatir tentang nasib gua, gua cukup makan, cukup minum dan istirahat nyenyak. Anna kuatir kalau kamu nggak lulus ujian nanti. Si Meinar malah bilang sama Anna, kalau perlu dia mau lapor papanya, supaya urusan skorsing kamu ditinjau kembali. Kan papa si Meinar jendral di Hankam. Tapi cewek kamu nggak mau, kata Maya. Wah, betul itu, jangan bawa bawa Hankam deh buat soal sepele kayak gini, entar diketawain marmut kan repot kita? Jangan deh, jangan mengundang kekuatan luar. Tapi bilang sama Meinar, gua mengucapkan terima kasih atas itikad baiknya, kata Ali Topan. Terharu perasaannya mendengar rencana Meinar, teman sekelasnya yang cukup dahsyat itu. Terus kamu nggak belajar? Nanti gimana dong kalau nggak lulus, mengulang lagi setahun? Soal belajar kan nggak cuma di sekolahan, Maya. Apalagi sekolahan brengsek begitu, keseringan sekolah bisa miring otak kita. Pokoknya, kalau gua nggak lulus ujian nanti, lu boleh sunat gua lagi. Ih! Geli! Ali Topan ketawa. Maya menutup mulutnya dengan tas sekolahnya, menahan tawa pula. Rasanya, kata-kata paling jorok pun yang keluar dari mulut Ali Topan, indah kedengaran di kupingnya. Mereka sudah sampai di pelataran Pasar Melawai. Di dekat tempat parkir motor, Ali Topan melihat petugas keamanan yang galak, melihat ke arahnya. Sinar mata orang itu tampak mencorong, mengandung amarah. Di sebelahnya ada seorang temannya lagi yang juga mengawasiAli Topan. Bekesiur hatiAli Topan, merasakan gela202

gat yang kurang cocok dengan seleranya saat itu. Ada Maya, tak enak bikin setori. Tapi Ali Topan bukan Ali Topan namanya, kalau di saat gawat tidak menemukan akal kancil. Sekira tiga langkah sampai di depan petugas keamanan itu, ia memandang Maya dengan serius. Lalu ia berkata dengan nada keras. Papa si Meinar pangkatnya Mayor Jendral apa Letnan Jendral, May? Rasanya udah naek pangkat dong dia. Masa dari dulu cuma Mayor Jendral terus? Kan kariernya di Hankam hebat tuh! Maya memandang Ali Topan dengan perasaan heran. Yang lebih heran, sampai mundur selangkah, adalah dua petugas keamanan. Mendengar Ali Topan menyebut jendral, ngerilah hati mereka. Lantas beliau-beliau itu pura-pura membuang muka ke atap Pasar Melawai. Ali Topan berjalan dengan gaya koboy, mengambil motornya. Dihidupkannya motor, dan sengaja dimainkannya gas motornya sekeras-kerasnya, hingga Maya menutup kuping dan berteriak-teriak. Ia baru berhenti berteriak setelah Ali Topan menormalkan gas motornya. Kalau mau ngebut saya nggak mau diantar pulang, mendingan jalan kaki, kata Maya, mengajuk. Sorry boy. Boy lagi, emangnya gua cowok. He he he he he he he. Ha ha ha ha ha ha.. Hu hu h u hu hu hu hu. Ho ho hi hu ho ho hi hu. Ali Topan kumat urakannya. Sepanjang jalan ke rumah Maya ia tertawa renyai bak kicauan burung kukuk beluk. Jalan motor dilambatkannya hingga Maya senanglah hatinya. Berbunga betul hati Maya bisa memeluk pinggang Ali Topan. Rasanya, matipun tidak penasaran. Ketika motor sampai di rumah Maya, buyarlah lamunan indah gadis itu. Pelukan tangannya di pinggang 203

Ali Topan merosot otomatis. Wajahnya rada tersipu-sipu bak wajah perawan dicolek penyamun. Mampir dulu? kata Maya. Makasih deh. Lain kali saja. Oom masih ada urusan laen, kata Ali Topan. Sembari melepas senyum bertendens, ia memacu sepeda motornya. Ia bermaksud menjenguk sahabatnya, Bobby, mau nanya soal-soal ulangan dan catatan-catan pelajaran sahabat itu. *** Bobby sedang mendengarkan kaset Dino, Dessy and Billy, ketika Ali Topan nongol di kamarnya. Hello friend, apakah revolusi sudah selesai? tegur Ali Topan sembari menyelipkan sebatang Dji Sam Soe di bibirnya. Hai, revolusi mendingin karena Che Guevara sedang diskors oleh Fidel Castro, sahut Bobby. Bagaimana dengan konsep-konsep penanaman modal, Aljabar dan Kimia Organik dalam rangka pembangunan ujian kita? Ada tuh di tas gua. Lengkap dengan data-data komisi buat pejabat yang berwenang memutuskan. Ali Topan melemparkan sebatang Dji Sam Soe ke arah Bobby yang tetap duduk relaks di tempat tidurnya. Apakah LNG-nya bisa dirojer? Ali Topan melemparkan korek api cap orang keling mikul kendi. Bobby menyulut rokoknya dengan gaya teknokrat. Gaya tinggi. Ali Topan mengambil tas Bobby dari rak buku, lalu memberikan tas itu pada pemiliknya. Ia tidak mau mengambil sendiri buku catatan Aljabar dan Kimia di situ. Bobby mengambilkan buku-buku dan catatannya. Lu apa-apa minta dilayani. Kapan berentinya kelakuan begitu, friend, kata Bobby. 204

Itulah yang dinamakan tatakrama,friend. John Lenon menyebutnya etiket. Yang udah-udah, gua baca di buku Cant Buy Me Love sih begitu. Kalau gelas ada tatakannya, kalau manusia ada tatakramanya, begitu friend. Buku apa? Cant Buy Me Love? Nggak salah tuh, yang gua baca sih buku BlowinIn theWind, kata Bobby, senyum dia. Yeaaah, sama juga. Tapi yang lebih klasik mah di buku Pileuleuyan yang diedit oleh Nyi Upit Sarirosa, sahut Ali Topan, disambungnya dengan heh he heh heh. Bobby pun ber-heh heh heh heh pula. Ali Topan mencatat apa yang perlu dicatatnya. Ringkas. Sempurna. Bobby sudah hafal kejeniusan Ali Topan dalam urusan pelajaran. Dia sudah bosan heran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya otak Ali Topan bekerja. Ia yang punya catatan rapi, belajar cukup getol, tapi jarang dapat angka tujuh pada setiap ulanganAljabar atau Kimia. Sedangkan Ali Topan yang rasanya ke sekolah cuma iseng, dan hidupnya semi acak-acakan, ulangannya paling apes dapat 8. Kalau nggak sungkan sama Pak Guru, dia selalu dapat 9 atau 10. Brilian-lah, begitu kalau orang Barat bilang. Jadi skorsing gua berakhir pas dua hari menjelang minggu tenang, Bob? Lama juga gua cuti nih, kata Ali Topan, seusai merapikan catatannya. Nggak juga. Gua denger sih, Pak Borot mau meninjau keputusan itu. Dia tiap hari negosiasi sama Bu Dewi. Gua rasa sih skorsing lu dipersingkat. Paling-paling lu disuruh minta maaf secara tertulis di atas plat segel. Minta maap? Lu kira lebaran pake acara minta maap. Emoh aku! Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan? kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi, 205

gaya teknokrat sama Ali Topan. Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini. Yang kucita-citakan adalah menjadi suami yang baik bagi istriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku kelak, kalau Tuhan mengizinkan lho, sahut Ali Topan dengan irama tukang pantun. Seandainya Tuhan tidak memberi izin kepadamu, apakah yang kau cari Ali Topan? tanya Bobby, menahan tawa. Seandainya ada acara begitu ya tidak apa-apa, sebab Tuhan itu Maha Bijaksana. Bijaksana apa bijaksini. Eh lu jangan kurang ajar, Bob! Dosa ngoceh sembarangan becandain Tuhan. Lu kire Tuhan itu statusnye kayak Oom lu? Baek-baek lu ngoceh. Ntar bisu ngga ketauan sebabnye lu, kata Ali Topan. Serius die. Bobby senyum-senyum kecil. Tapi hatinya memang takut. Dia merasa keterlaluan dalam soal Tuhan. Untuk menetralisir suasana, dia membesarkan volume musik Dino, Dessy and Billy-nya. Ngomong punya ngomong, gimana kabar Dudung sama Gevaert? Apa semuanya baek? Baek, cuman rada kurang ajar. Di pasal berape kurang ajarnye? Di pasal perkosaan. Masak sih, Dudung and Gevaert berani-beranian naksir perempuan. Si Dudung naksir si Meiske anak Gang Kembang, Si Gevaert naksir Farah anak Jalan Tumaritis. Berbarengan lagi cintanya, kan repot? Kapan peristiwanye? Dan gimana silsilahnye si Farah sama si Meiske itu? Anak orang baek-baek apa anak seniman? Anak ABRI atawa anak pegawe negri? Di mana lahirnye, di mana bahenolnye? Pegimane guratan 206

nasibnya, ngajak kaya apa ngajak miskin? Itu semua musti diitung dulu, Bob. Nah, itu die, Boss. Gua kan repot. Tiap istirahat udah pade bedua-duaan, kayak pejabat sama bintang pilem gitu. Rasenye, pengen gua goreng aje itu anak dua. Bandel sih, dapet perempuan nggak bagi-bagi. Ooh begituuu? Coba deh nanti Oom tanya mereka, kenapa tidak membagi perempuan padamu, Bobiiih. Eh, jangan manggil Bobih begitu dong, kayak panggilan orang Gunung Kembung... Kedua sobat itu tertawa bersama-sama. Renyah. Sesudah capek ketawa dan bosen ngobrol, Ali Topan permisi pulang. Nanti malem ke rumah Gevaert, Bob. Kongkokongko. Jangan kebanyakan kongko, ujian sudah di depan congor kita, Pan. Ntar ngga lulus gua bisa ngga diaku anak oleh babe gua. Oh ya? *** Malam harinya mereka berkumpul. Ceritanya belajar bareng, tapi toh acara saling ngeledek tetap berjalan. Tiga nama perempuan: Anna Karenina, Farah dan Meiske merupakan topik yang menyenangkan Bobby. Ia menyatakan bahwa perempuan itu cenderung merusak karier, mengganggu pelajaran. Ia mengatakan, sebelum jadi sarjana, sebaiknya orang lelaki jangan pacaran sama perempuan. Bahaya, katanya. Tergantung perempuannya, kalau hatinya memang busuk, ya merusak, kalau hatinya baik ya bikin baik, Bob. Kalau si Farah mah, rasanya berhati emas, kata Gevaert. Berapa karat? 207

Dua puluh lima karat! Wah. Monas kalah dong? Jangan sentimen lu. Belon kena sentuh perempuan lu ya? Sekali kena panah asmara, mabok dah lu. Oh ya? Iya. Yah, mudah-mudahan deh gua kuat iman. Rasanya sih, tipe ideal gua belum lahir ke dunia. Kalau perempuan biasa saja sih, sorry deh, geli gua. Paling dikit sih selevel sama Putri Caroline dari Monaco. Lu ngomong gitu waras apa lagi sakit? kata Ali Topan. Waras. Kenapa? Gua kan gini-gini masih ada tetesan darah biru. Bangsawan Yogya, mack. Asal paham saja. Oo darah nenek moyang lu kecampuran tinta dong? Lu jual ke pabrik Parker bisa laku tuh. Sampai disitu ledek-meledek selesai. Ali Topan tahu, kalau diteruskan, Bobby bisa kalap. Omongan dibelokkan ke buku-buku pelajaran. Demikian sampai jauh malam. ***

208

ENAM BELAS
nam belas hari sebelum ujian, skorsing Ali Topan dicabut. Pak Broto Panggabean berhasil melembutkan hati Ibu Dewi, sehingga Ali Topan tak perlu minta maaf di atas kertas bersegel. Soalnya Pak Broto pernah memanggil Ali Topan, Ali Topan berkeras lebih baik tidak usah ikut ujian daripada disuruh minta maaf. Pak Broto yang bijaksana memahami kekerasan jiwa muridnya. Lantas segalanya bisa diselesaikan dengan caranya yang bijak. Kepada Ibu Dewi ia memberi jaminan pribadi dan mengatakan bahwa Ali Topan menyatakan penyesalan, secara lisan serta berjanji tidak berbuat ulah liar lagi. Kepada Ali Topan ia berkata bahwa Ibu Dewi juga menyatakan penyesalan telah membesar-besarkan persoalan. Begitu cara Pak Broto Panggabean. Sampai hari ujian sekolah tiba, teman-teman sekelas melihat bahwa hubungan Ali Topan dan Anna Karenina mendingin. Mereka mengira peristiwa yang lalu menjadi sebab gawatnya hubungan itu. Ali Topan jarang bicara dengan Anna. Dan, Anna pun mengambil sikap yang sama. Sebetulnya tidak begitu. Itu cuma taktik mereka saja. Ali Topan telah memberi surat pada Anna. Isinya singkat. Anna sayang. Sampai ujian selesai, kita bikin situasi mendingin dulu deh. Kamu belajar baik-baik, sayapun demikian. Kamu berkonsentrasi untuk lulus, sayapun demikian pula. Sesudah ujian selesai, kita bikin 209

keindahan yang lebih dari masa lalu. Pokoknya, begitu deh. Kita bersandiwara sedikit, biar nggak jadi bahan gosip. Okey sayang? Harus okey dong. Cintamu selalu, Ali Topan. Demikian bunyi surat yang disampaikan langsung oleh Ali melalui kantor pos. Surat itu dialamatkan ke rumah Anna, dengan nama pengirim Siti Sundari. Maka ujianpun berlangsung seperti yang direncanakan oleh pemerentah. Tenang, lancar dan beres. Para murid menjalani ujian dengan perasaan seperti bapak dan ibu mereka.Ada yang gelisah, ada yang grogi, ada yang deg deg gung, ada yang tenang dan ada pula yang menggerung-gerung karena merasa goblog. Tapi tak ada yang bunuh diri. Ali Topan merasa mantap. Anna Karenina pun demikian pula. Bobby sedikit grogi. Dudung pas-pas-an. Gevaert stel yakin. Kita telah bekerja maksimal, kalau nggak ada sabotase rasanya kita boleh mendaftar ke UI. Coba Dung, besok tanya ke UI apa pendaftaran mahasiswa baru sudah dibuka untuk umum, kata Ali Topan ketika hari terakhir ujian telah mereka lewati. Bagian naon? tanya Dudung. Bagian yang bisa demonstrasi! sahut Ali Topan, lalu ketawa yang disambut oleh ketiga temannya dengan nada yang berlainan. Hari libur melahirkan peristiwa yang aneh bagi 4 sekawan itu. Gevaert diusir oleh orangtua Farah ketika ia berkunjung ke rumah perempuan yang ditaksirnya itu. 210

Soalnya sederhana. Pada suatu malam ia kepergok mencipok pipi Farah di teras rumah pas bapak si Farah melongok dari celah pintu. Sejak peristiwa naas itu, Gevaert patah arang. Nyipoknya cuma sedikit, tapi malunya itu nggak ketulungan, mack, kata Gevaert kepada Dudung. Ia tak berani mengadukan ikhwalnya ke Ali Topan, takut temannya itu mendatangi rumah Farah dan melabrak bapak si Farah. Dia mengadu pada Dudung, sebab merasa senasib. Dudung sendiri mengalami malam apes juga. Rupanya, Meiske itu punya pacar seabreg-abreg. Ketika Dudung mengunjunginya pertama kali pada suatu malam Minggu, di rumah Meiske berderet tiga buah mobil. Fiat 125 dan Mercedes 200 milik anak-anak geng Ngosngosan, sedangkan Toyota Hardtop milik anak geng Remember Me. Di depan hidung Dudung, yang datang pakai motor saja, Meiske dicium oleh Troy, anak gang Remember Me. Nyiumnya sih nyerobot, hingga Dudung dan anak-anak geng Ngos-ngosan yang melihat jadi merinding. Tapi berhubung Meiske cengar-cengir saja, urusan tidak bisa ditarik panjang. Harga diri gua rasanya kebanting banget, Vaert. Soal tampang sih, berani diadu gua, tapi soal materi nyerah deh, kata Dudung bersungut-sungut, gua pikir si Meiske nggak materialis, eh ternyata gila harta juga, tambahnya. Menang di tampang kalah di bensin, gitu Dung? Lu jajal lain kali, bawa bensin dua drum, kata Gevaert. Buat apa? Buat bakar rumah si Meiske! Dudung menyeringai. Nasib kita kayak cerita di komik saja, kebagian 211

apesnya melulu. Gua mau nekat kayak si Topan, belum sanggup rasanya. Gila, babe si Farah punya pestol. Kalau gua ditembak bisa celaka. Iya kalau kena jantung langsung meninggal, kalau kena mata kaki kan nyeri betul, Dung, kata Gevaert. Kabar dia samaAnna gimana ya?Ada perkembangan baru apa kagak ya? Perlu juga kita tanya boss kita. Jangan kita melulu yang kebagian apes, dia juga mesti ngerasain dong, kata Dudung. Ketika mereka menemuiAli Topan di rumahnya, wajah pemimpin mereka tampak memuaskan. Ali Topan baru selesai membaca surat dari Anna, pakai tanda romantis. Surat itu ditandai dengan tanda gambar gincu dari bibirnya. Waduh, sudah sampai taraf hot, kata Gevaert ketika Ali Topan memperlihatkan tanda gambar bibir itu. Udah ditentukan apa belon? tanya Dudung. Apanya? Kawinnya! Gua bagian nerima kadonya aja, Pan. Kali-kali aja ada arloji yang nyelip, kata Gevaert menggoda. Gua bagian nyari orkesnya. Bakal ngibing, kata Dudung. Ali Topan berhaha-hihi mendengar olok-olok kedua temannya itu. Cita-cita sih setinggi bintang, sayang bintangnya ngga selamanya bersinar terang, mack. Rasanya sih gua bakal backstreet. Gua sendiri sih nggak doyan backstreetbackstreet-an, tapi Anna nekat aja, kata Ali Topan. Rasanya semua orang pacaran di dunia ini pakai acara backstreet. Orang dulu backstreet-nya lebih serem, itu kata papa gua, Pan, kata Gevaert. Iya, tapi mereka kan nggak fair. Rasanya gua belum 212

pernah dengar ada orang tua ngakubackstreet pada jaman mereka pacaran dulu. Memang begitu, seperti kata orang bijaksana, manusia sering lupa dengan kelakuannya sendiri. Ibarat King Kong di depan kacamata ngga keliatan tapi Cucu Monyet di seberang hutan keliatan sampai ke biji-bijinya! Aih, sudahlah, ngomong soal orangtua bikin capek kita aja, Vaert. Pokoknya kita bikin sejarah sendiri sajalah, kata Ali Topan dengan gagah. Kalau dia sudah bicara yang agak berbau filsafat, temantemannya mengiyakan saja. Kagum. Jadi, gimana sambungan percintrongan lu sama Anna? tanya Gevaert lagi. Ali Topan berusaha, Tuhan menentukan, jawab Ali Topan, kalian bantu doa saja, sambungnya. Ada komisinya dong? Ada! Ada! Tinggal pilih saja, mau kepalan tangan kanan atau tangan kiri. Tangan kanan masuk kuburan, tangan kiri nyangkut di rumah sakit, sahut Ali Topan sambil tersenyum khas. Dudung meleletkan lidahnya. Gevaert menggarukgaruk kulit kepalanya. Mereka memandang Ali Topan yang sangat mereka kagumi kegagahannya. Tunggu kabar lebih lanjut deh, kalian. Gua mau bikin kejutan cinta dalam beberapa hari ini, kata Ali Topan. Ia mengerjapkan mata ke arah Dudung dan Gevaert, lalu berjalan pergi meninggalkan mereka. *** Tidak sulit bagi Ali Topan melaksanakan niatnya untuk berhubungan dengan Anna, walaupun telepon di rumah Anna disensor. Ia pergi ke rumah Maya dan minta tolong gadis itu menilponkan Anna. Begitu hubungan sudah didapat, Maya memberikan kesempatan kepada Ali Topan. 213

Nyonya Surya yang menerima tilpon dan menyampaikan pada Anna, tidak pernah mengira bahwa yang kemudian mengobrol di pesawat telepon itu Ali Topan yang sangat dibencinya. Ia tidak tahu, pembicaraan di tilpon itu adalah pembicaraan yang gawat. Ali Topan dan Anna merencanakan pertemuan rahasia. ***

214

TUJUH BELAS
ua hari kemudian diTaman Ria Senayan. Matahari bergerak pelahan, sinarnya menghangati pagi. Ali Topan dan Anna Karenina berjalan bergandengan tangan dari pintu masuk menuju pohon flamboyan yang tegak di tepi danau Angsa Hitam. Disebut Danau Angsa Hitam sebab danau itu tempat memelihara angsa-angsa hitan yang didatangkan dari luar negeri. Bunga-bunga flamboyan melayang ditiup angin, menari-nari bagaikan balerina, jatuh ke permukaan danau, sopan tampaknya. Pagi yang indah sekali, gumam Ali Topan sambil memandang wajah Anna Karenina, seindah lagu Koes Bersaudara, sambungnya. Kemudian, sambil melangkah pelahan, Ali Topan menyenandungkan lagu Pagi yang Indah Sekali ciptaan Tonny Koeswoyo. Anna Karenina mendengarkan dengan seksama senandungAli Topan: Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku tlah pergi Dan tak kan mungkin kembali Anna Karenina tercekam mendengarkan syair lagu yang dinyanyikan Ali Topan. Ia berhenti melangkah. Matanya sayu mengawasi Ali Topan. Gadismu tlah pergi? Siapa yang pergi? Kenapa dia pergi, Topan? tanya Anna Karenina dengan lemah 215

lembut. Ali Topan memandangAnna. Ia tersenyum, lalu menggandeng Anna, berjalan lagi menuju rerumputan di bawah flamboyan. Ali Topan duduk, tapi Anna tetap berdiri. Ayo duduk, Anna..., kata Ali Topan. Kamu belum menjawab pertanyaanku. Soal nyanyian tadi? Anna Karenina mengangguk. Ali Topan tertawa kecil. Yang pergi itu gadisnya Tonny Koeswoyo, bukan gadisnya Ali Topan. Perginyapun di dalam lagu. Ngerti, An? kata Ali Topan, ayo duduk dong. Jangan sampai pagi yang indah ini pecah oleh kesedihan yang aneh, sambungnya. Kamu merasa sedih? tanya Anna sambil duduk di depan Ali Topan. Ali Topan tak menjawab. Ia memandang Anna Karenina dengan seksama. Tampak olehnya sinar mata gadis itu menyimpan kesedihan, walaupun bibirnya mengulum senyuman. Kamu merasakan kesedihan yang aneh? tanya Anna lagi. Ali Topan mengangguk. Ia memang merasakan sesuatu, semacam kesedihan yang halus sekali, tidak kentara, tapi hadir dalam suasana yang indah. Kamu sih nyanyi lagu itu. Lagunya bagus, tapi sedih ya? Iya, kata Ali Topan polos. Seharusnya kita gembira bisa bertemu. Ya, seharusnya begitu. Nah, ayolah kita bergembira. La la la la la la ..., kata Ali Topan. Iapun bertralala, cukup keras, sehingga sepasang angsa hitam yang sedang berenang berduaan di danau kecil menengok ke arahnya. 216

Ali Topan menunjuk ke arah angsa-angsa hitam, lalu berkata terus: Lihat, lihatlah! Angsa angsa hitam memandang kita. Mungkin keduanya berbisik-bisik, bicara tentang kita, An. Tuh, tuh, tuh mereka tersenyum pada kita. Mana ada angsa tersenyum? Pasti mereka tersenyum. Dan pasti mereka bisik bisik tentang kita. Kamu tahu apa yang mereka bicarakan, An? Tahu. Apa? Yang jantan bilang, he liat tuh Si Ali Topan sedang merayu ceweknya. Ali Topan tertawa tergelak gelak mendengar perkataan Anna yang sungguh di luar dugaannya. Sukacita sekali hati Ali Topan. Demikian pula hal Anna Karenina. Pasangan remaja yang sedang diamuk cinta itu lantas lupa pada kesedihan yang baru saja mereka bicarakan. Kamu tau apa ngga, kenapa angsa itu bulunya hitam? tanya Ali Topan. Nggak tauk! He, pikir dulu dong. Belum apa-apa udah bilang nggak tauk! Kami juga mikir dong, kalau ngasih pertanyaan yang bener. Angsa bulu hitamlah ditanya kenapa bulunya hitam. Kamu tanya aja sendiri ke angsanya, jangan tanya saya, kata Anna Karenina. Kalau kamu bertanya kenapa saya cantik, mungkin saya bisa jawab, sambungnya sembari mengulum senyuman bertendens. Ali Topan melengak. Ternyata Anna pandai pula berseloroh. Lho, kamu cantik toh? Saya baru tahu. Kata Ali Topan. Wajahnya distel bodo. 217

Anna kaget mendengar perkataan itu. Menurut kamu, saya ini cantik apa tidak? Menurut saya sih biasa-biasa saja, sahut Ali Topan. Uh! Memerah lah wajah Anna mendengar perkataan yang lugas itu. Mulutnya terbuka bahna bengongnya. Ia menjublag seperti patung. Matanya berkedap kedip seperti angsa hitam. Lho, mengapa? Apa saya salah omong? Anna menggeleng. Kamu marah? Anna menggeleng lagi. Sinar matanya mendingin.Tadi itu ia punya niat bermanja manja padaAli Topan. Ia ingin sekali dipuji cantik oleh Ali Topan. Ternyata jawaban yang ke luar bukan sebagaimana yang diinginkan. Ali Topan segera meraba perasaan Anna. Sambil memajang senyuman, iapun berkata lembut, Jangan marah dong. Siapa yang tidak tahu kalau kamu cantik? Lihat! Bunga flamboyan, angsa hitam dan telaga serta seisi taman ria ini, masih kalah cantik denganmu, Anna. Tadi itu, saya bilang kamu biasa-biasa saja, supaya jangan kelewat mekar, tau? Nggak! Nggak tau? Masa bodo! Siapa yang bodo? Kamu! Ali Topan ketawa keras sekali.Anna tampak keki betul oleh godaan-godaannya. Wajah Anna cemberut, omongannya ketus, tapi sinar matanya makin lama makin berbinar. Ada keriaan di antara cahaya matanya. Ali Topan menjentik ujung hidung Anna. Dan gadis itupun tersenyumlah. Kamu nakal,. Suka menggoda saya, kata Anna. 218

Lho, apa kamu nggak pengen saya goda? Anna mendelik, bahna kagetnya. Pengen? Pengen? Amit amit jabang bayi! Emangnya saya perempuan murahan ya/! kata Anna. Dia mendelik terus sampai biji matanya hampir keluar. Marah betul rupanya. Lho, saya main-main kok kamu serius? kata Ali Topan dengan penuh kerendahan hati. Ditatapnya Anna, ditembaknya gadis itu dengan senyuman yang polos, dan diusapnya anak rambut yang jatuh di kening sang gadis. Maka hati Anna luluh. Kemarahannya mereda. Senyumnya muncul kembali pelahan lahan. Ali Topaaan, gumam Anna. Manja. Hm? Apa sayang? Kamuu. Kamu.. Kenapa? Jangan nakal ya? Ali Topan tak menjawab. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya saja. Anna Karenina menatapnya, menunggu jawaban. Tapi Ali Topan tak mau menjawab. Kamu nggak denger saya ngomong? tanya Anna. Dengar. Saya harap kamu jangan nakal ya? Ngerti maksud saya? Ali Topan tak mengerti bahwa maksud Anna, janganlah ia nakal dalam pengertian bangor, mainmainkan perempuan. Kalau hati Anna bisa ngomong, tidak lebih tidak kurang, kata-kata yang ke luar dari hatinya adalah: I love you, my darling. I love you banget. Tapi you musti love me juga dong. You jangan love cewek lain Kalau lelaki nggak nakal bisa sepi Kebayoran. Nggak ada entertainment, kata Ali Topan,yang masih bodo 219

dalam soal percintaan. Kata-kata bersayap yang ke luar dari mulut Anna, sulit ditangkapnya. Dia pikir, Anna berharap agar ia jangan suka ngebut, tidak boleh begadang, dilarang bergentayangan di jalanan, dan lain lain kegiatan rutinnya. Ah, kamu..., kata Anna, susah mengerti. Lho, kan betul. Kalau anak lelaki nggak berandalkan lucu. Anak lelaki diam di rumah udah liwat jamannya, Anna. Liwat gimana? Iya, sudah liwat, kayak tukang bakso. Nanti kalau ada lagi jaman yang lain, kita panggilin deh, seloroh Ali Topan. Anna Karenina tertawa geli. Lelucon Ali Topan benarbenar pas di hatinya. Hatinya terbebas, rasanya dunia lain sekali. Lebih indah dan lebih menyenangkan. Dipandanginya wajah Ali Topan yang keren. Ali Topanpun memandangi wajahAnna yang profilnya mirip film Diana Rigg. Anna. Hm? Bagaimana perasaan kamu pagi ini? Anna Karenina mendongak ke arah langit, menahan senyum kecil di bibirnya, lalu menjawab, Biasa biasa saja. Kurang ajar. Kamu balas dendam ya? Anna mendelik karena makian itu. Ih! Kamu kalau omong seenak perut aja! kata Anna dengan keras, lihat-lihat orangnya dong, kamu pikir saya ini babu kamu apa, seenaknya memaki kurang ajar! Saya benci kamu! sambungnya. Dengan wajah kaku dan sinar mata menyala-nyala, Anna segera berdiri. Ali Topan menyekap mulutnya. Ia 220

merasa menyesal. Makian kurang ajar itu begitu los menyeplos ke luar dari mulutnya. Anna. Saya tidak bersungguh-sungguh mamaki kamu. Saya menyesal betul .., kata Ali Topan. Ia berdiri pula, merendengi Anna. Tapi Anna segera mamalingkan muka ke arah angsa hitam yang berenang-renang di danau buatan. Anna.., kata Ali Topan, lembut sekali. Anna diam saja. Hatinya kesal betul. Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang memakinya kurang ajar, dan orang itu justru Ali Topan yang disayanginya. Dalam hatinya ia merasa sedih betul. Baru mulai jatuh sayang, baru mulai bersemi bunga bunga cinta, orang itu sudah berani memakinya kurang ajar secara lugas. Bagaimana kalau sudah kawin nanti dan beranak cucu? Barangkali bisa dibelah-belahnya tulang belulangku, demikian kata hati Anna. Anna termenung. Hatinya sedih betul. Ingin rasanya berlari menjauhiAli Topan yang kasar, tapi ada perasaan lain yang menahannya. Ia sendiri tak tahu daya tarik apa yang menyebabkan ia tak sanggup berbuat apa-apa di depan Ali Topan. Jangankan berhadapan, pada saat ia berjauhan, tak saling tampak muka, angan-angan dan perasaannya tetap lengket pada Ali Topan. Tak terasa airmata membasahi pipiAnna. Ia menangis. Terbayang olehnya, jalan nekat yang diambilnya untuk bisa bertemu Ali Topan pagi ini. Pada saat ibunya ke wc, dan Boy sedang membeli bensin, Anna pergi dari rumahnya. Ia mencegat taksi yang segera membawanya ke warung gado-gado Bibi Sexy. Ali Topan sudah menunggu. Dari warung Bibi Sexy, mereka langsung ke Taman Ria Senayan. Merana betul hatinya mengingat makian yang 221

diterimanya dari Ali Topan. Ia cuma bisa menangis. Anna jangan menangis, bisik Ali Topan, sambil membelai rambut Anna dengan jemarinya. Tapi Anna semakin menangis. Bahunya terguncang-guncang menahan tangisan. Ingin rasanya berlari ke tengah danau dan membenamkan kepalanya di dalam air. Ingin rasanya membunuh diri. Tapi itu semua tak sanggup dilakukannya. Ia cuma bisa menangis. Dan menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Airmata mengalir di antara jemarinya. Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! Bunyi gamparan yang keras terdengar di belakangnya. Anna menoleh, refleks. Apa yang terjadi membuatnya heran, dan otomatis mengerem tangisannya. Ali Topan telah menggampari dirinya sendiri. Kedua pipinya berwarna merah, darah mengalir dari bibirnya! Topaaaan!Anna memekik, tubuhnya direbahkan ke Ali Topan. Mereka berpelukan. Anna membenamkan kepalanya di pelukan Ali Topan, dan Ali Topan mengusap-usap rambut gadisnya. Angin berhembus. Bunga-bunga flamboyan berguguran, melayang seperti kupu-kupu merah. Angsa-angsa hitam berenang berkejaran. Indah sekali. *** Jam tiga siang lewat beberapa menit, mereka meninggalkan Taman Ria Senayan. Anna senyum, demikian pula Ali Topan. Ali Topan dengan gembira memboncengkan Anna Karenina. Pelukan Anna di pinggangnya terasa kuat dan hangat. Rupanya, kehangatan masih belum boleh berlamalama mereka rasakan.Tepat di depan rumah Panbers Club 222

Band di Jalan HangTuah Raya, sebuah Mercy memotong motor Ali Topan, dan menggiringnya ke pinggir jalan. Dua manusia bertampang murka turun dari Mercy itu. Ayah Anna dan Boy. Kamu bawa lari anakku, he?! begitu kata ayah Anna sambil langsung menghantam muka Ali Topan dengan tinjunya. Bug! Bug!Ali Topan terjengkang saja dari sadel motornya! Melihat Ali Topan terjengkang, Boy ikut nimbrung, menyepak perut Ali Topan! Begh! Begitu dia mengayunkan kakinya, hendak menyepak kepala, Ali Topan berkelit dan menangkap kaki itu. Langsung dipuntirnya, dan Boy langsung menggrusak jatuh! Fans Panbers yang kebetulan memenuhi rumah grup itu, berhamburan ke luar, menonton pergumulan itu! Anna yang mencoba memisahkan, ditarik ke dalam mobil oleh ayahnya. Ia meronta ronta dan menjerit jerit, tapi tak berdaya. Boy! Sudah! teriak Tuan Surya. Boy mendengar teriakan itu, tapi ia tak berdaya memenuhinya, Ali Topan yang gusar mengamuk bagaikan badai! Dihajarnya Boy habis habisan. Dalam sekejap, mata Boy bengapn. Dan giginya rontok dua kena dengkul Ali Topan. Para penonton bersorak sorai. Hayooo! Hayooo! Hembat teruuuuus! Sodok! Sodok! Libas! Libas! Horeeeeee! Yihuuuuuuuuy! Sorak sorai itu terhenti, ketika Tuan Surya m,engacungkan laras pistol ke arah Ali Topan, dan berkata dingin: Berhenti! Atau saya tembak kamu! Ali Topan menghentikan hajarannya. Ia memandang Tuan Surya dengan penuh kebencian. Ia ingin rasanya menghajar batok kepala orang tua itu., supaya copot dari batang lehernya. Tapi ada Anna di antara mereka Boy beringsut-ingsut ke mobil. 223

Tuan Surya mebukakan pintu, Boy pun masuklah. Disopiri Tuan Surya, mereka berlalu. Anna duduk di belakang, memandang Ali Topan. Sepanjang jalan ia memprotes ayahnya. Tapi si ayah tak menggubris protes itu. Ia langsung menancap pedal gas Mercy, menuju rumah. Ali Topan menjetik-jentikkan tanah yang mengotori pakaiannya. Orang-orang masih berkerumun memandangnya. Ada apa sih? satu orang bertanya. Ali Topan melirik orang itu. Ada tawon! sahutnya, asal nyeplos. Orang-orang ketawa. Tapi Ali Topan tidak. Ia segera menuju motornya, lantas minggat dari hadapan penonton-penonton gratisan itu. ***

224

DELAPAN BELAS
ejak peristiwa makdikipa di depan rumah Panbers, Anna Karenina berstatus orang tahanan di rumahnya sendiri. Ke mana-mana dikuntit truus. Perkara dimarahi, cuma caci maki dalam bahasa Arab saja yang belum diterimanya. Bahasa Belanda, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah, sudah. Larangan ke luar rumah berlaku 24 jam, kecuali pergi dengan ibunya dan Boy. Lebih sial lagi, diam-diam ayahnya menghubungi Tekhab, polisi Team KhususAnti Bandit, untuk keamanan dan ketertiban Anna. Sudah jelas Anna kesal dan bosen memperoleh perlakuan kurang ajar itu. Tapi ia masih belum bisa bergerak. Pesawat telepon pun tidak boleh disentuhnya. Komunikasi diblokir sama sekali. Ia ingin minggat. Itu keputusan hatinya. Keinginan itupun datanglah pada suatu malam. Ayah dan ibunya sedang menemui tetamu di ruang depan. Boy sedang disuruh beli rokok dan seafood untuk menjamu tetamu. Para pelayan sedang repot di dapur. Anna bersiap-siap. Untuk men-check situasi, ia pura-pura pergi ke dapur. Beliin kue pukis, Dah! kata Anna pada Saodah, pelayan khususnya. Diberikannya uang Rp.500 pada Saodah. Cepetan ya, Anna lagi. Meyakinkan. Iya, Non, sahut Saodah. Begitu Saodah pergi, Anna Karenina segera beraksi. Ia masuk ke kamar mandi, dan mengunci pintunya dari dalam. Dari balik tumpukan pakaian kotor di kamar man225

di, diambilnya tas plastik berisi celana jeans dan tiga buah kaos oblong. Kamar mandi itu berjendela kaca yang cuma digerendel saja. Di luarnya, terdapat taman bunga anggrek milik Nyonya Surya, di samping kiri rumah. Anna membuka gerendel jendela dengan hati-hati. Kemudian, ia molos dari jendela itu. Tidak seorangpun tahu. Sampai di luar, ia memasang kupingnya. Terdengar tawa ria para tamu dan orangtuanya dari kamar tamu, dan dengan dentingan cangkir-cangkir dari arah dapur. Setelah melongok-longok ke kanan kiri, Anna berlari, mengendap-endap di antara pohon-pohon anggrek. Untuk mencapai jalan raya, ia harus melewati pintu bambu. Dari pintu itu, ia masih harus melewati halaman depan rumahnya yang terbuka. Jika ayah atau ibunya melihat ke arah halaman, sudah pasti ia ketahuan. Anna tak mau gegabah. Ia mengatur langkah selanjutnya, sambil tetap merunduk di antara pohon-pohon anggrek. Saat repot mencari akal, mobil Mercy masuk ke halaman. Anna kaget. Dan nyalinya menciut. Jika Boy sampai tahu, gagallah rencananya. Bor memarkir Mercedes di depan pintu, hingga agak menutupi pandangan dari dalam ke luar. Anna mendengar pintu mobil di tutp dan langkah kaki Boy menuju rumah. Dengan menguatkan hati, ia bergerak sebat ke pintu bambu. Dibukanya pintu itu perlahanlahan. Kemudian melongok ke luar. Hatinya lega tatkala melihat situasi membantu rencananya. Mobil Mercedes menghalangi pandangan langsung ayah dan ibunya. Ia bisa berjalan jongkok, atau merangkak, jika Tuhan mengizinkan, dalam beberapa detik ia sudah bisa mencapai jalan raya. Setelah itu, urusan bisa lebih sip. 226

Anna mengatur nafasnya. Disebutnya nama Tuhan. Lalu ia beraksi. Digigitnya tas plastik berisi pakaian dan dompet uangnya, kemudian ia merangkak cepat. Jarak yang cuma beberapa meter saja terasa panjang baginya. Hampir-hampir ia tersungkur karena kepalanya terasa pening tiba-tiba. Maklum, ia belum pernah merangkak lagi semenjak bayi dulu. Matanya berkunang-kunang, tapi ditahannya sekuat tenaga. Jika kali ini gagal, tak ada kesempatan lagi, demikian kata hatinya. Semangatnya untuk bebas tergugah lagi, bernyala-nyala. Diteruskannya merangkak. Terus. Terus. Terus. Akhirnya sampai juga. Anna ternegah-engah di depan pintu halaman rumahnya. Kaki dan tangannya terasa pegal. Telapak tangannya perih. Tapi hatinya tetap kuat. Ia berjalan ke pohon mahoni di tepi jalan di depan rumahnya. Dari situ ia menoleh, memandang ke arah rumah. Cahaya lampu menerangi halaman. Gentinggenting hitam. Hatinya tercekat, dilanda kesedihan, ketika melihat rumahnya. Ingin ia tetap tinggal. Tapi perasaannya tak sanggup menahan tekanan yang dilancarkan oleh orangtuanya.Apalagi ada Boy, manusia yang tak disukainya. Suara tawa ayahnya memenuhi udara. Terbahakbahak.Anna menggigit bibirnya. Ia muak pada suara itu. Suara tawa orang yang egois dan kejam. Tanpa buang tempo lagi, Anna berlari menyeberangi jalan. Sebuah taksi kebetulan lewat. Distopnya. Ke mana? tanya sopir taksi, setelah Anna masuk ke dalam taksinya. Ke rumah Maya! sahut Anna, tanpa sadar. Ke rumah Maya? Di mana? tanya sopir taksi. Anna menyebutkan alamat Maya. Pak sopir taksi 227

mengantarkannya, tanpa banyak bicara. Taksi berhenti di depan rumah Maya. Argometer menunjukkan Rp 360. Anna memberikan Rp 500. Nggak usah dikembaliin, katanya. Terima kasih. Taksi pergi lagi. Anna Karenina berdiri, melihat arlojinya. Jam 21.07. Sesudah taksi menghilang di tikungan, Anna masuk ke rumah Maya. Pembantu rumah membukakan pintu untuknya. Lho, Neng Anna? Sama siapa malem-malem ke sini? Neng Maya lagi nonton pilem sama bapak dan ibu, bisik Bik Isah, pembantu rumah Maya. Pergi? Bik Isah mengangguk. Ada perlu penting? Anna berpikir sebentar. Boleh pinjem telepon, Bik? Boleh, boleh. Silakan. Anna diantarkan ke tempat telepon. Bik Isah memperhatikannya dengan heran. Rupanya seperti sedang bingung, Neng? Ah, nggak ada apa-apa, Bik! kata Anna sambil memutar nomer tilpon. *** AliTopan sedang mengambil apel dari lemari es, ketika tilpon berdering. Mula-mula dibiarkannya deringan itu. Lama-lama ia merasa risi. Ia pergi ke tempat telepon, dan mengangkat gagangnya. Lantas ia terkejut ketika mendengar suara Anna. Halo! Anna! Apa kabar? Secara singkat Anna membeberkan kisahnya. Okey! Okey! Aku datang! kata Ali Topan. 228

Kemudian, tanpa membuang tempo lagi, ia bergegas ke kamarnya, mengambil jaket, lalu keluar mengambil motornya. Kurang dari lima menit, Ali Topan sudah sampai di rumah Maya. Dijumpainya Anna yang menunggu di kamar tamu. Haiii Hai.. Keduanya berhai-hai dan tertawa riang. Kangen deh. Aku juga kangen. Mereka tertawa lagi. Lalu saling berpegangan tangan. Saling memandang. Keduanya tak mampu berkata-kata lagi. Sorot mata penuh kerinduan telah berarti sangat banyak. Hem! Hem! Bik Isah berdehem dari pintu.Ali Topan dan Anna baru tersedar bahwa mereka sedang berada di rumah orang. Yuk, kita pergi, kata Ali Topan. Yuk, kata Anna. Mereka pamit pada Bik Isah. Lho, nggak nunggu? Bik Isah nyeletuk. Nunggu siapa? tanya Ali Topan. Nunggu diusir. Sialan lu, Bik! Becanda kaya anak-anak sekolahan aje, kata Ali Topan. Tapi ia tidak marah. Annapun tersenyum. Rasanya, keindahan pertemuan mereka mampu mengusap dan mendinginkan rasa marah yang bagaimanapun besarnya. Di luar hawa dingin. Ali Topan mencopot jaketnya, dikenakannya pada Anna. Kamu aja yang pakai. Dingin, kata Anna. Biarin. Kamu aja yang pakai. Ali Topan memaksa. 229

Akhirnya Anna mau juga. Ke mana kita? Ke rumah Mbak Ika, di Depok. Ali Topan menghidupkan motornya. Anna membonceng di belakangnya. Pegangan baik-baik, An. Anna menurut. Dirapatkannya badannya ke punggung Ali Topan dan dipeluknya tubuh gacoannya dengan erat dan wah. Lantas sepasang remaja yang sedang dibadai cinta itu, berlalu, menyatu dengan malam, menuju Depok yang terletak di luar kota. Di rumah Anna sedang ada acara makan malam. Pak Surya dan istrinya ramah sekali menjamu tetamunya. Di mata para relasi, keluarga Surya memang dikenal ramahtamah dan baik budi bahasanya. Mana anakmu, Sur? tanya Pak Karno, tetamunya. Dia sedang ngadat, mengeram di kamarnya, kata Pak Surya. Lho, kenapa ngadat? Suruh keluar dong. Tidak mau dia. Biarlah. Pak Karno memanggil Saodah yang mengantarkan tusukan gigi. He, bik, panggilkan nonamu. Bilang, mau dikasih duit sama Pak Karno, gitu, kata Pak Karno. Bik Saodah melihat ke arah majikannya, menunggu persetujuan. Tak usah, tak usah bilang mau dikasih duit. Bilang saja, Pak Karno ingin ketemu. Sana, cepat, kata Pak Surya. Saodahpun pergilah ke kamar nonanya. Ia memutar pegangan pintu. Terkunci. Ia mengetuk lebih keras dan memamnggil lebih gencar, tetap tak ada jawaban. Akhirnya ia kembali lagi ke ruang makan, melaporkan 230

hasil kerjanya yang sia-sia. Saya nggak dijawab, Tuan. Lho, kenapa ngga dijawab? Saya kurang paham. Barangkali Neng Anna sudah tidur. Tadi saya disuruh beli kue pukis, tapi sewaktu saya antarkan, pintu kamarnya dikunci. Lho, kok bisa begitu? tanya Pak Surya. Apa makan pil tidur? Atau narkotik? tanya Pak Karno. Orang ini memang sedikit bego. Profesinya pelukis ekspresif, jadi kalau ngoceh juga ekspresif betul. Hus! istrinya yang pendiam, meng-hus-nya. Pak Karno tertawa terkekeh-kekeh. Aku cuma berkelakar saja, katanya. Tapi kelakarnya kali ini tak masuk di otak Pak Surya yang sedang diganggu oleh pikiran curiga. Coba aku lihat dia! kata Pak Surya, lantas segera bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar Anna. Anna! An! Annaaaa! Buka pintuu! seru Pak Surya. Berulang-ulang ia memanggil nama anaknya, berkalikali ia menggedor pintu kamar itu, tapi bunyi kentutpun tak terdengar dari dalam. Akhirnya beliau penasaran seperti Oma Irama. Dan bermaksud membongkar pintu. Bongkar saja pintunya, Pap! seru istrinya, memberi semangat. Sang istri merasa malu pada tetamunya, karena anaknya bandel, tak mau mendengar panggilan orangtua. Ditonton oleh tetamunya, Pak Surya memasang kudakuda. Tangan kanannya diangkat ke atas, tangan kirinya ditekuk ke bawah puser. Kaki kanannya ditekuk sedikit ke belakang seperti gaya Iswadi menendang bola, sedang kaki kirinya diajukan ke depan seperti gaya tukang nandak di Pasar Senen. Setelah mengempos nafas sesaat, diterjanglah pintu kamar Anna. Gubragh! Jebollah pintu 231

yang terbuat dari tripleks itu. Pak Surya kehilangan keseimbangan dirinya, ngusruk ke dalam kamar yang kosong! Haaah? ia cuma bisa bengong, karena tak menjumpai Anna di dalam kamar. Pak Karno dan Nnyona Surya yang terbirit-birit ke dalam kamar, menjadi heran pula. Lho, kosong? Ke mana anakmu? tanya Pak Karno sambil membantu Pak Surya berdiri. Kemana dia Mam? Pak Surya malah balik bertanya pada istrinya. Nyonya Surya cuma menagngkat bahu saja. Boy yang terburu-buru datang, dan para babu yang kaget karena mendengar suara gedubragan, juga menampilkan wajah tak tahu. Anakmu minggat, Mam! kata Pak Surya. Lho, kok minggat? Gimana to duduk-perkaranya? Pak Karno menyela, apa dia tak betah di rumahnya? Pak Surya dan istrinya saling berpandangan. Coba cari dulu di sekeliling rumah, Mam, kata Pak Surya. Istrinya menurut. Kemudian, semua orang mencari Anna. Pencaharian yang sia-sia. Boy, siapkan mobil! kata Pak Surya, setelah pasti anaknya kabur dari rumah. Kemudian ia menoleh ke Pak Karno. Wah, maafkan saya, Pak Karno. Saya musti cari anak saya. Teruskan daharnya, biar ditemani istri saya saja. Waa, iyaa, anak hilang musti dicari. Soal makan, tidak usah ditemani juga tidak apa-apa, Pak Surya, kata Pak Karno dengan nada polos. Terima kasih atas pengertiannya., kata Pak Surya. Mudah-mudahan anakmu cepet ketemu, balas Pak Karno. Lalu keduanya saling membungkuk seperti gaya 232

pegawai kraton Yogya. Saya pamit dulu. Permisiiii. Monggoooo, sahut tetamunya. Pak Surya segera keluar. Cepat jalan, Boy! perintahnya, ketika sudah masuk ke dalam mobil. Ke mana? Pokoknya jalan saja dulu. Boy patuh. Mobil dijalankan cepat meninggalkan rumah, diikuti pandangan mata cemas dari Nyonya Surya dan para pembantu rumahnya. Jam 02.37 dinihari, Pak Surya dan Boy pulang ke rumah. Tanpa Anna. Ny Surya membukakan pintu untuk mereka. Bagaimana, Pa? tegurnya. Tak ada. Sudah kucari ke mana-mana, sahut Pak Surya, lesu. Jadi, bagaimana dong? Esok saja kita cari lagi. Kalau perlu minta bantuan polisi. Sekarang aku letih, ingin tidur, kata Pak Surya menggerumel. Nyonya Surya termangu-mangu mendengar kata-kata suaminya. Perasaannya melayang ke masa lalu. Kenangannya langsung ke Ika, yang akhirnya kawin tanpa rencana. Apa dia tak pergi sama anak bergajul itu, Pa? tanya Nyonya Surya. Yang dimaksudkannya Ali Topan. Besok sajalah kita urus lagi. Kepalaku pening, tak bisa mikir apa-apa lagi, Mam..., kata Pak Surya, lalu masuk ke kamar tidurnya. ***

233

SEMBILAN BELAS
epok adalah sebuah kota kecil yang terletak di antara Jakarta dan Bogor. Kota ini terkenal dengan Belanda Depoknya, yakni satu macam masyarakat pribumi yang di-belanda-kan oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan dulu. Menurut ceritanya, beberapa keluarga pribumi Depok diberi nama famili Belanda, diajar berbicara Belanda dan apapun yang berbau penjajah gila tersebut. Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi dari Depok, kelompok masyarakat binaan penjajah itu berkembang tanpa majikan. Kultur yang ke-belandabelandaa-an terbentur lagi pada kultur pribumi asli. Tapi sampai sekarang, sisa-sisa budaya binaan tu masih membekas pada kelompok masyarakat Depok. Maka, orang luar Depok akan heran, kalau menjumpai orang Depok yang kerjanya jadi tukang gali sumur, kulit tubuhnya putih karena panu yang merata di sekujur tubuhnya, bisa bicara Belanda. Rudy dan Riem De Wolf dari grup The Blue Diamond yang beken itu, juga kelahiran Depok. Ika dan suaminya menempati sebuah rumah kecil di dekat rumah kelahiran Rudy dan Riem. Rumah mereka kecil tapi asyik, merupakan hadiah perkawinan dari ayah Iqbal. Ika yang mendesak untuk tinggal di Depok, karena merasa tidak betah hidup di Jakarta, berdekatan dengan orangtua yang membencinya. Iqbal punya beberapa truk yang disewakan, di samping itu, ia menjadi leveransir pasir untuk proyek-proyek 234

pembangunan di Jakarta. Istrinya membuka usaha es mambo. Jadi, dalam soal materi mereka cukup, namun mereka masih merasa belum tentram benar. Setiap saat mereka menunggu agar Tuan dan Nyonya Surya mau mengakui Saibun sebagai cucu. Saibun adalah anak lelaki mereka yang sudah berumur satu setengah tahun. Aku khawatir, Papa dan Mama menuduh kita mendalangi pelarian Anna dan pacarnya itu. Kita makin dibenci saja nantinya, kata Ika pada suaminya. Mereka duduk di ruang kerja Iqbal di bagian depan rumah. Ali Topan dan Anna sudah dua hari di rumah mereka. Kamu merasa mendalangi apa tidak? tanya Iqbal. Tidak. Ya sudah. Ika memandang suaminya. Matanya memang memancarkan kekhawatiran yang besar. Ia khawatir, kasusnya akan terulang pada adiknya. Ia takut Anna hamil, seperti peristiwanya sendiri. Sebagai kakakia inginAnna pada saatnyamenikah dengan cara baik-baik. Kenapa bengong? tanya suaminya. Kuatir. Anna bunting? Ika mengangguk. Nggak usah kuatir. Mereka anak baik. Nggak seperti kita, kata suaminya, sambil tersenyum. Ika pun tersenyum. Jam berdentang, pukul sembilan. Sepasang kupu-kupu terbang dekat mereka. Bagus warna bulunya. Bakal ada tamu gede nih, kata Iqbal. Moga-moga bawa rejeki, sahut istrinya, sambil memandang kupu-kupu yang terbang kian ke mari. *** 235

Jam setengah satu, Anna dan Ali Topan datang dari tempat main mereka, persawahan di bagian Timur Depok. Mereka pacaran di sawah-sawah. Iqbal dan Ika tersenyum menyambut mereka. Sudah capek? tanya Ika. Capek apa? Nggak capek, cuma laper, sahut Anna. Kalau lagi pacaran memang rasanya nggak capekcapek ya, goda Ika sambil bermain mata dengan suaminya. Idih! Bisa aja, Mbak Ika, sahut Anna. Wajahnya bersemu dadu, malu. Ali Topan tersenyum simpul saja. Nggak usah malu, kita udah paham. Kan kita juga pernah pacaran, ya Pa, Ika masih menggoda. Mana Saibun? Anna mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia merasa malu digoda secara terbuka oleh kakaknya. Sedang main ke rumah tetangga. Belajar cari makan sendiri, kata Iqbal. Bicaranya pelahan, tapi bikin ketawa semua orang. Saat mereka sedang ketawa-tawa, datanglah kejutan. Terdengar dua buah kendaraan berhenti di depan rumah mereka. Satu Jip Willys berisi empat orang polisi, satu lagi Mercedes Benz disopiri Boy, mengangkut Tuan dan Nyonya Surya. Pucat wajahAnna melihat ayah-ibunya datang bersama alat negara. Ika juga agak gemetar. Ali Topan dan Iqbal tetap tenang. Tuan dan Ny Surya tampak ragu-ragu turun dari mobil. Masih ada rasa angkuh. Jangankan menginjak rumah anak mantu, sedangkan si anak mantu datang ke ruamh minta berkah saja, mereka usir. Para polisi bersiap. Dua orang polisi dari Komwilko 74, Jakarta Selatan, dua orang lagi polisi Depok sebagai 236

penunjuk jalan. Ini rumahnya, Pak! seorang agen polisi Depok berkata pada Pak Surya. Barulah Pak Surya turun, diikuti istrinya dan Boy. Mereka berdiri. Garang. Iqbal membukakan pintu. Ika muncul di belakangnya, berlari menyambut orangtuanya. Mamaaa! Papaaaa! seru Ika. Ia membuka tangannya, hendak memeluk ayah dan ibunya. Tapi wajah orangtuanya tegang. Jangankan menyambut dengan pelukan, tersenyum pun tidak! Apalagi ketika Tuan Surya melihat Iqbal, rasa bencinya kambuh dengan hebat. Mana Anna? Suruh keluar dia! hardik Pak Surya. Silakan masuk Papa. Silakan Mama..., Ika memohon pada papa dan mamanya. Airmatanya berlinang-linang. Tak perlu! Tak perlu masuk! kata Pak Surya. Suasana tegang. Ketegangan yang mengharukan. Anna di sini, Ika? suara lembut memecah ketegangan. Suara Nyonya Surya. Ibu ini akhirnya tak mampu menahan keharuan hatinya. Terlalu lama ia memendam kerinduan. Terlalu lama ia mencoba mengalahkan kerinduan dengan keangkuhan. Ika melihat ibunya. Airmatanya bercucuran. Bahagia sekali mendengar namanya dipanggil oleh sang Ibu yang dirindukannya.Tak sanggup berkata-kata, Ika menghambur ke pelukan ibunya. Ny Surya mendekap anaknya. Mereka bertangisan. Saat itulah Anna Karenina muncul bersama Ali Topan! Anna berdiri di depan pintu.Tangannya mencekal lengan Ali Topan. Anna! Ke mari kau! Pak Surya berteriak. Nadanya masih kerras dan kaku. Ia seperti tak terpengaruh oleh keharuan yang hadir dari pelukan Ika dan istrinya. 237

Anna tak beranjak dari tempatnya. Anna! Anna tetap diam. Hatinya diliputi rasa haru melihat kakak dan ibunya bertangisan melepas kerinduan. Sekuat tenaga dicobanya menahan keharuan itu. Anna berpikir, orangtuanya membawa-bawa polisi untuk menangkap AliTopan. Maka itu ia bertahan. Ia tak mau meninggalkan Ali Topan. Merah padam wajah Pak Surya karena Anna tak mematuhi instruksinya. Ia berpaling pada alat-alat negara yang dibawanya, lalu menuding Ali Topan. Itu dia yang membawa lari anak saya! Tangkap dia, Pak! Dua polisi Komwilko 74 bergerak ke arah Ali Topan. Mereka menampilkan gaya David Toma yang suka mereka tonton di layar tivi. Papa! Apa-apaan sih! Suruh pergi orang-orang ini! teriak Anna Karenina. Ia makin menguatkan cekalannya, memeluk Ali Topan. Ali Topan berdiri tegak, matanya tak gentar menatap agen-agen polisi yang mendekatinya. Bapak-bapak mau nangkep saya, apa ada surat perintahnya? tanya Ali Topan. Agen-agen polisi itu tersenyum. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan dari kantong celananya dan menunjukkannya pada Ali Topan. Lebih baik adik ikut kami secara baik-baik. Jangan kami dipaksa mengambil jalan kekerasan, kata polisi itu sambil tangan kanannya mengusap-usap gagang pistol yang mencuat dari sarungnya. Dia nggak boleh ditangkap! Dia nggak bersalah! Saya yang mau lari ke sini! Anna membentak polisi itu. 238

Anna! Tutup mulut kamu! hardik Pak Surya. Ia makin tak sabar melihat kelakuan anaknya. Anna menatap ayahnya. Wajahnya menegang. Tiba-tiba ia berteriak, sangat keras Kamu jahat, Papa! Bagaikan geledek cacian itu menyambar telinga Pak Surya. Mulutnya sampai terbuka, tak bisa omong apaapa, bahna kaget dan gusarnya. Dan, tidak cuma dia. Semua yang hadir tak pernah menyangka, Anna memaki ayahnya secara terbuka. Sayaaaang tidak boleh gitu, suara lirih Ali Topan terdengar, mengkontra ketegangan situasi. Suara itu lembut, menyelusup sampai ke hati Anna Karenina. Pelan, namun penuh wibawa. Anna sampai mendongak, merasa tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Ali Topan. Ali Topan tersenyum padanya. Senyuman yang mengandung kesedihan. Anna menangkap sinar sedih di mata Ali Topan. Kau pergilah ke ayah dan ibumu Kau dengar? bisik Ali Topan. Anna tak sanggup mendengarkan bisikan itu. Kata-kata yang sedih. Kata-kata seorang jantan yang kehilangan kasih-sayang. Sedih, namun tetap bersikap gagah. Kamu. Kamu ke mana? bisik Anna. Kamu dengar perkataan saya? Ali Topan balas berbisik. Anna mengangguk. Kamu mau menurutinya? Anna memandang Ali Topan. Perasaannya mengatakan, Ali Topan tengah bertempur dengan hatinya sendiri. Ali Topan sayang padanya, tapi tak mau menghancurkan hubungan antara orangtua dan anaknya. Ali Topan tahu, ia sejak mula tak disukai oleh orangtua Anna Karenina. 239

Puncak ketidaksukaan mereka terbukti dengan hadirnya alat-alat negara yang hendak menangkapnya. Ia tidak takut. Ia hanya merasa sedih. Jika orangtua Anna tidak menyukainya, kenapa harus dimasukkan? Semua orang menyaksikan adegan itu. Ali Topan membelai rambut, mengusap daguAnna, dengan lembut. Kemudian ia membimbing Anna, dibawanya ke tempat Tuan Surya. Baru beberapa langkah, Anna berhenti. Ia tahu maksud Ali Topan sangat mulia. Ali Topan mengalahkan kepentingan dirinya, demi utuhnya sebuah keluarga. Topan..., bisik Anna. Pandangan mereka bertemu. Kamu dengar Anna. Ada saatnya kita bertemu, ada saatnya kita berpisah. Awan tak pernah abadi menahan sinar matahari. Kau mengerti? bisik Ali Topan. Anna tak mengerti. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ali Topan tertawa kecil. Nah, lain hari kau akan mengerti... Ia membimbing Anna, menyerahkannya pada Pak Surya. Oom, saya sayang pada Anna, dan Anna pun sayang pada saya. Jika Oom dan Tante tidak suka pada saya, sayapun tidak bisa memaksa. Saya cuma berharap, Oom jangan menyakiti Anna. Dia tidak bersalah.., kata Ali Topan dengan gagah. Tuan Surya mendengus seperti babi. Ia tak mau banyak bicara lagi. Digamitnya Anna, dibawanya ke mobil. Boy segera menyusul. Lelaki itu dengan sigap duduk di belakang stir mobil. Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika. Ika boleh ke rumah, Papa? tanya Ika. Pak Surya mengangguk-angguk. Datanglah, datang240

lah. katanya berulang-ulang. Meledaklah kebahagiaan Ika mendengar jawaban ayahnya. Dipeluknya kepala sang ayah. Diciuminya berulang-ulang pipi ayahnya. Pak Surya mengelus rambut anaknya. Iqbal datang mendekati. Pak Surya menoleh padanya. Kau bawa anak-istrimu ke rumah malam ini ya, katanya. Terima kasih, Pak, kata Iqbal. Nah. Kami pergi dulu. Urusan sudah selesai, kata Pak Surya. Nyonya Surya duduk di belakang, menghibur hati Anna. Boy menghidupkan mesin mobil. Kemudian mereka berlalu, meninggalkan para polisi, suami istri Iqbal dan Ali Topan, dengan perasaan dan pikiran yang berlainan. Agen polisi Kebayoran menepuk pundak Ali Topan dari belakang. Jiwa Anda besar, Dik, katanya. Ika, Iqbal dan tiga polisi yang lain serentak mengangguk, mengiyakan. Ali Topan menggeraikan rambutnya. Kasih sayang yang besar membuat jiwa manusia besar, Pak. Sayang, tak setiap orang memilikinya..., sahut Ali Topan. Agen polisi itu tersenyum. Tapi urusan dinas saya masih harus dijalankan. Adik turut ke Komwilko 74, untuk menjelaskan persoalannya. Okey? kata polisi itu dengan nada ramah. Saya mah okey sajaa, kata Ali Topan, lalu sembari memandang Ika ia pun menyambung, Jangankan ke Komwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan 241

pergi, jika diperlukan. Ika tersenyum mendengar jawaban yang mewah itu! *** Langit putih. Matahari mencorong di atas Depok. Angin bertiup dari Selatan, Debu debu cokelat beterbangan, mengusap wajah Ali Topan yang sedang memacu sepeda motornya. Keempat polisi di dalam jip Willys mengikutinya dari belakang. Mereka kembali Jakarta. Anak yang gagah itu mau kita apakan? kata seorang polisi, pada temannya yang menyopir jip. Kita bikin jadi Tekhab saja, rasanya pas betul. Dia bisa jadi agen yang paling keren nantinya. Moga moga saja dia mau. Ali Topan tak mendengar dialog itu. Ia sedang melamun. Panasnya sinar mentari, keringnya debu-debu jalanan Depok, tak mampu mengusir bayangan wajah Anna Karenina dari dalam hatinya. Ia sedih benar, namun bukan kesedihan yang cengeng. Ia tak menangis, namun hatinya merintih-rintih. Kasih sayang telah hilang. Tak seorangpun yang menjadi miliknya kini. Ia sendirian lagi. Annaaa, Annaaa, Annaaa, bisiknya. Hanya suara angin yang menjawab bisikannya. Hampaaa, hampaaa, hampaaa, keluhnya lagi. Jangaaan, jangaaan, jangan menghampaa, angin serasa menjawab keluhannya. Angin itu berhembus dari dalam jiwanya sendiri. Ali Topan tersadar. Ia menggertak gigi. Selaksa kesedihan, sejuta kekecewaan, tak boleh membuatku mati, bisiknya. Tuhan, berikan cintamu padaku. Tuhan, berikan cintamu padaku. 242

Tuhan, berikan cintamu padaku. Berkali-kali Ali Topan memanggil Tuhannya, untuk mengusir kesedihan. Sampai akhirnya, semangatnya membadai lagi. Bayangan Anna Karenina yang tadinya bersatu dengan kesedihan, terasa melangit. Dalam khayalnya, ia memandang kepergian bayangan yang makin lama makin jauuuh. Cekaman suasana yang tak terlukiskan itu tanpa sadar mendorongnya untuk bernyanyi. Maka iapun bernyanyilah di atas motornya yang berjalan pelahanlahan. Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku tlah pergi Dan tak kan mungkin kembali Hm yaaa.. selesai

243

ALI TOPAN
ANAK JALANAN
Membaca bukunya, kita seperti diajak menonton potret kehidupan remaja berandalan yang suka bergentayangan di jalan-lalan kota Jakarta. Struktur ceritanya kokoh, alurnya luwes dan dialog-dialog di setiap halaman jelas merefleksikan karakterisasi para tokoh. Eddy Satya Dharma (Suara Karya, 14 November 1977) Buku yang memikat untuk bacaan remaja, juga penting untuk orangtua masa kini.Kisah seorang anak muda yang punya kemungkinan besar untuk jadi tokoh terkemuka di masyarakat di kemudian hari! Zulkarnaini (Pelita, 23 Desember 1977) Tanyalah anak-anak muda baik cewek maupun cowok, siapa yang belum pernah baca Ali Topan. Mereka kaum muda itu. bukan hanya senang karena bahasanya pop, bahasa mereka, tapi Juga memang karena dunia anak muda dibela. Anak muda pengin sambil memejamkan mata, lantas terbang ke langit biru. Ali Topan adalah mimpi. N. Wonoboyo (Minggu Merdeka, 19 Februari 1978) Teguh Esha berhasil nenghadirkan tokoh pemberontak dalam diri Ali Topan. Karakterisasinya kuat dan konsisten. Sebuah watak yang tak pernah berubah namun kuat dan patent. Ali Topan, novel dengan karakter! Yakob Sumarjo (Pikiran Rakyat, 17 Mei 1978)

Penerbit:

PT Visi Gagas Komunika


Jl. Jati Agung No. 3 Jati Padang Pasar Minggu, Jakarta 12540 Telp. (021) 78831022, 7815236 e-mail: visiperspektif@plasa.com 244

Anda mungkin juga menyukai