Anda di halaman 1dari 32

Get to know them:

1. Althea Titania Citra Prasada - Choi Yeonju


- Anak pemilik RS swasta terbaik di Jakarta Selatan
- Calon dokter
2. Aruna Sabila Maheswara - Lee Soon Yi
- Anak pemilik perusahan Entertainment
- Cewek cantik Bhadrika High School
- Berusaha keren walaupun cengeng dan anak mami
3. Callista Abella Moelya - Cha Soyeon
- Anak pemilik perusahaan agen model
- Cewek cantik Bhadrika High School (2)
- Pecinta hal-hal cantik dan imut
4. Dafian Dirgantara Bagaskara - Kook Youngsoo
- Anak beasiswa
- Juara 2 parallel
- Belajar belajar sampai bisa kalahin Martin
5. Daiva Karina Winata - Kim Inhye
- Calon dokter
- Penakut tapi sok berani
6. Dhavi Faruk Akmal - Kim Dukjeong
- Anak pemilik restoran cina terkenal di Jakarta Selatan
- Suka makan
7. Ernaldo Marteen Irsandi - Jang Younghoon
- Juara 1 parallel
- Belajar belajar belajar
- Anak pejabat
8. Fabian Charaka Kawiswara - Cho Youngsin
- Anak pemilik perusahan IT
- Tegas dan gigih
9. Felix Danendra Bratadikara - Kim Chiyeol
- Anak pemilik perusahaan makanan laut
- Cerdas dan rasional
10. Glora Nabella Chandra Kusuma - Yoo Hana
- Anak pemilik perusahaan brand skincare
- Anak manja dan penakut
- Bora's daugther
11. Isvara Calla Mahawira - Kim Yujeong
- Anak pemilik restoran fine dining elit di Jakarta Selatan
- Tegas, lembut dan sabar
12. Jyotika Adhisti Danapati - Lee Nara
- Ayahnya Dubes Inggris.
- Dia baru 3 tahun di Indonesia
- Pengamat dan cerdas
13. Kaivan Akhtar Malik - Do Sucheol
- Anak komposer dan musisi tekenal
- Kalem tapi gesit
14. Kavin Sadana Mahendra - Im Wootaek
- Anak pelukis terkenal
- Pemberani
- Callista's bestie
15. Naraya Almira Pamungkas - Noh Aesol
- Anak beasiswa
- Misterius
- Pendiam
16. Prisa Zaffya Hardiyanta - Hong Joonhe
- Anak pemilik studio foto terkenal
- Suka foto-foto
- Suka belajar diam-diam
17. Reinand Alexis Wiryawan - Kwon Ilha
- Track record BK
- Anak pemilik resto dan bar terkenal di Jakarta Selatan
- Suka ganggu orang yang apatis
18. Regina Valencia Wiratama - Yoon Bora
- Anak artis terkenal dan pemilik perusahaan perhiasan
- Boss girl
- Kurang suka sama Naraya
19. Theodoric Aldebaran Djatmiko - Wang Taeman
- Anak pemilik hotel elit di Jakarta Selatan
- Suka omong kosong
- Selalu jagain Regi. Suka godain Isvara
20. Shinta Nalini Atmaja - Park Soyoon
- Anak presenter terkenal
- Suka jalan-jalan
21. Xavier Joshua Danendra - Cho Jangsoo
- Anak tentara dan dokter
- Tegas dan rasional
- Gentle
22. Zaffar Abimana Alatas - Woo Heerak
- Anak pemilik agen travel
- Suka omong kosong
Blurb
Bukan tanpa alasan anak-anak kelas 12 A3 Bhadrika High School dijuluki kelas dewa. Visual
mereka yang luar biasa serta kecerdasan mereka di akademis maupun non-akademis yang
menakjubkan. Bukan lagi rahasia jika kelas ini adalah kelas yang sangat disegani, karena
selain sering mengharumkan nama sekolah, mereka juga kerap menyebabkan masalah.

Bagi mereka kelas adalah rumah dan keluarga kedua mereka, mereka bisa melupakan semua
masalah jika mereka bersama. Tapi, jangan mencoba untuk menyakiti atau mencari masalah
dengan mereka. Karena mereka tidak akan membiarkan teman mereka terluka, mereka akan
membalasnya dengan setimpal.
Prolog

“Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Pak Marcel selaku wakil kepala sekolah bagian kesiswaan menatap murid perempuan yang ia
kenal dengan heran.

“Saya ingin pindah kelas pak,” gadis berkacamata itu mengutarakan pendapatnya dengan
tegas. “saya merasa kelas yang akan saya tempati kurang kondusif untuk tahun terakhir saya
di sekolah ini.”

Pak Marcel mendengus kecil dan berdecak. “Memangnya ada apa dengan kelas 12 A-3?”

“Saya rasa murid-murid di kelas 12 A-3 bisa menganggu konsentrasi saya saat belajar dan itu
kurang kondusif. Saya merasa tidak nyaman sekelas dengan beberapa dari mereka karena
sebelumnya saya sudah pernah sekelas dengan mereka.”

Pak Marcel berguman kecil. “Terkadang belajar juga harus disertai sesuatu hal yang
menyenangkan.”

Murid perempuan yang mendengar decakan sang guru pun bertanya bingung.

“Maksud bapak?”

“Apa kamu sudah melihat daftar murid kelas ini?” tanya Pak Marcel. Murid perempuan
tersebut hanya mengangguk pelan karena masih bingung.

“Di kelas ini memang memiliki Reinand dan Zaffar biang rusuh kelas dan pelanggan tetap
ruang BK, tapi jangan lupa kalau mereka juga merupakan anggota aktif basket yang sering
mengharumkan sekolah kita. Ada Theodoric, yang banyak bicara, namun ia adalah anggota
debat yang hebat. Kamu paham maksud saya?” tanya Pak Marcel

“Mereka.. walaupun biang onar kelas dan sekolah. Mereka pada dasarnya murid aktif yang
berprestasi.” Jawab si murid dengan nada pelan.

Tampaknya ia baru sadar dengan maksud Pak Marcel. Ia kemudian mengerjap pelan.

“Kelas kalian saya harapkan akan menjadi kelas model untuk kelas lain yang seimbang antara
bidang akademik dan non-akademik. Tidak ada diantara kalian yang kurang pintar, mungkin
kalian memiliki bakat dibidang yang lain.”
Pak marcel memandang murid perempuan di depannya. “Bapak harap kamu bisa mengerti
maksudnya. Silahkan menuju ke kelas.”

Murid perempuan tersebut pun segera beranjak. Saat ia sampai depan pintu, ia berbalik
karena panggilan Pak Marcel.

“Good luck, Isvara. Semoga kali ini kamu bisa membimbing teman-teman kamu lagi seperti
dalam OSIS dan kelasmu sebelumnya.”
Bab 1
Regina menggerutu sepanjang koridor sekolahnya, matanya yang masih menyipit
menandakan jika ia berangkat ke sekolah dengan keadaan sangat mengantuk. Ia berjalan
dengan lambat walaupun banyak anak-anak yang telah mendahuluinya, tangannya yang
memegang ponselnya mencoba menghubungi salah satu temannya.

Ia menoleh ke kanan kiri, kemudian melirik ke kerumunan yang ada di depan mading
koridor. Perempuan itu baru ingat jika kemarin temannya mengirim pesan bahwa hari ini
adalah pengumuman pembagian kelas, ia yang tidak peduli pun hanya mengabaikan pesan
tersebut. Namun saat ini, ia menyipit penasaran sebelum berusaha mendekat kearah
kerumunan, badannya yang cukup tinggi untuk anak perempuan memudahkannya mendekat
kesana. Namun belum sempat ia mendekat, tangannya tiba-tiba saja ditarik, hampir saja ia
mengumpat sebelum menoleh kearah orang yang menariknya.

"Gina!! Gua udah dapet list pembagian kelasnya yang ada di mading, jadi lo nggak usah
kesana."

Glora Nabella Chandra Kusuma. Glora adalah sahabat Regina semenjak mereka SMP. Saat
SMP, Glora adalah anak yang manja sejak awal mereka bertemu, ia sangat bergantung
terhadapnya. Namun Regina pun tidak pernah mempermasalahkannya.

Entah takdir atau Glora yang meminta ke pihak sekolah mereka. Namun sejak mereka SMP,
mereka selalu sekelas. Jika Glora sudah mempunyai daftarnya mungkin kelas 12 ini mereka
kembali sekelas.

Ia bersidekap mengahadap kearah Glora yang menatapnya dengan mata berbinar. Tepat. Ia
mengerti, mereka pasti sekelas.

"Sekelas?" Tanya Regina retoris

"Iyaaaa, ah bahagia sekelas sama Gina lagi"

Glora menggandeng tangan Regina seraya menyeretnya ke kelas baru mereka. Di sepanjang
jalan Glora menceritakan segala hal, mulai dari ia yang lupa membawa segala macam
skincare serta make up kesayangannya sampai pria tampan yang ia suka hari ini. Regina
hanya mendengarkan saja, terkadang ia tertawa saat cerita Glora terasa lucu.
Saat sampai di depan kelas Glora langsung melepaskan tangan Regina dan berlari ke dalam
kelas. Regina melihat papan nama kelas di atas pintu.

"12 A-3, " bisik Regina "entah kelas ini akan jadi kayak apa deh, gue bahkan belum liat
daftar anak-anak kelas ini."

"Woi Reg! Astaga, sekelas juga akhirnya gue sama lo!"

Ia terperanjat. Seolah-olah nasib buruk menghampiri. Ia sekelas dengan salah satu teman
akrabnya. Reinand Alexis Wiryawan, pemuda yang biasa disapa Rei ini telah akrab
dengannya sejak kelas sepuluh. Ia adalah salah satu pentolan sekolah mereka. Reputasinya
yang cukup buruk dengan rekor terbanyak mengunjungi ruang BK membuat ia disegani.
Mereka tidak punya nama grup khusus, biasanya Rei akan menamai grup mereka dengan
"Orang Tidak Tahu Malu".

"Setiap pulang sekolah gue ketemu lo, sekarang sekelas lagi sama lo." Decak Regina sambil
memandangi laki-laki di depannya ini. Sementara orang yang diprotes hanya tertawa pelan.

"Udahlah Reg, terima aja." Ucap Reinand sambil merangkul bahunya seraya masuk kedalam
kelas bersama.

"Lo tau nggak kita bakalan sekelas sama siapa?" Tanya Reinand

Regina mengedikan bahunya. "Siapa emang?"

Namun saat ia telah ada di dalam kelas, ia mengumpat dalam hati. Ia refleks melotot kearah
Reinand saat melihat teman-teman sekelasnya.

Sementara yang dipelototi hanya menyeringai, sehingga membuatnya mendecak kesal.

"Welcome to this class, Reg" ucap Reinand sambil tertawa pelan. Ia pun melepas
rangkulannya kemudian berjaan kearah teman-temannya dan melakukan high five.

Benar. Yang membuat Regina secara refleks mengumpat dalam hati adalah karena ia sekelas
dengan teman-teman akrabnya. Bukan, bukan ia tidak senang. Tapi karena ia tahu jelas
bagaimana tabiat teman-temannya ini, sehingga ia merasa kasihan dan prihatin terhadap siapa
pun ketua kelas atau pun wali kelasnya nanti.

Ia pun berjalan ke bangku yang telah disiapkan Glora sebelumnya dan mendecak saat teman-
temannya duduk di sekitar situ. Ia langsung duduk tanpa menoleh kearah temannya.
"Reg, kita sekelas lagi. Gimana ini? Lo pasti gak perlu kangen gue lagi kan?" Goda pemuda
berambut ikal yang duduk di belakang Glora tersebut.

Regina hanya berdecak malas sebelum memutar badannya.

"Diem, Jaf. Jangan sampe lo jadi orang yang pertama gue tonjok pagi ini." Ketus Regina
kepada pemuda yang dipanggil Jaf itu.

"Ck, Regi bener-bener nggak asik." Decak Zaffar saat melihat respon teman perempuannya
itu. Zaffar Abimana Alatas , pemuda yang biasa dipanggil Jaf itu sahabat terdekat Reinand, ia
adalah teman sefrekuensi Reinand, ya termasuk dalam rekor mengunjungi ruang BK.

"Diem, gue ngantuk." Ucap Regina sebelum menutup matanya. Saat ia hendak menutup
mata, ia mendengar suara yang sangat ia kenal tengah berteriak. Ia pun segera membuka
matanya dan melotot kesal.

"AH! Ketemu Zaffar lagi, Zaffar lagi!!" Teriak suara perempuan cantik berambut panjang
dengan pita cantik dilehernya. Teman laki-laki disebelahnya pun segera menutup telinga.

"Berisik Call! Ada Regi itu." Tegur laki-laki disebelahnya. Kavin Sadana Mahendra. Kavin
sudah terbiasa mendengar suara teriakan perempuan disampingnya ini, namum saat melihat
mata Regina yang melotot kesal, ia segera menegur temannya.

Perempuan yang disebut Call tadi pun segera mengedarkan pandangannya untuk mencari
Regina. Saat menemukan Regina, ia bergegas untuk merengek. Namun terhenti saat ia
melihat Glora yang menggelengkan kepala serta memberikan tanda 'X' padanya. Pertanda
Regina sedang tidak bisa diganggu.

Callista Abella Moelya atau yang biasa disapa Callista pun cemberut dan segera mencari
bangku untuk ia duduki. Walau pun ia senang sekelas dengan Regina dan Glora ia tidak ingin
duduk dekat mereka. Disitu ada Reinand dan Zaffar yang menjadi sumber keributan grup
mereka.

Sementara itu, Kavin mencari tempat strategis yang ada disamping Reinand. Tempat duduk
paling belakang dan bersandar tembok.

Regina yang melihat kedua temannya yang lain sudah tenang pun menghela nafas. Astaga, ia
tidak tahu apa yang dia pikirkan saat berteman dengan mereka.
Semoga ia tidak satu kelas dengan kedua temannya yang lain. Doa Regina dalam hati.
Bahkan tanpa sadar, ia mengatupkan tangannya.

Namun, mungkin selama ini perempuan itu memang sangat jarang berdoa, sehingga setelah
berdoa pun harapannya tidak terkabul. Ia melirik pintu kelas dan melihat salah satu teman
akrabnya yang paling waras datang.

Pemuda yang berada diambang pintu itu pun berdecak saat melihat teman-teman akrabnya
ada di kelas ini. Saat melihat daftar nama untuk kelas barunya ia mendecak tak percaya, tidak
habis pikir dengan nama-nama yang ia lihat. Kemudian ia melihat Regina yang kelihatan
lelah. Pemuda itu paham, tidak mudah sekelas dengan teman akrab yang kalian kenal.

"Woy, Kai! Buruan sini!" Teriak Kavian sambil melambaikan tangannya.

Kaivan Akhtar Malik. Kai bergegas mencari bangku sebelum suara Kavian semakin menjadi.
Ia memilih bangku yang sedikit jauh dari teman-temannya, namun ia segera menghampiri
Kavian untuk mengobrol.

Regina yang melihat hal tersebut pun berdecak. Tinggal satu orang temannya lagi. Jika
sampai temannya satu itu berada di kelas ini. Ini benar-benar bencana di akhir masa
sekolahnya. Teman-temannya memang teman yang menyenangkan, namun menyenangkan
baginya, belum tentu yang lain juga merasa seperti itu.

Teman-teman kelasnya yang lain pun mulai berdatangan. Ada beberapa teman yang pernah
sekelas dengannya dulu, ia pun hanya melirik tidak peduli.

"Reg, Theo belum dateng? Dia nggak telat lagi kan?" Tanya Reinand yang duduk
dibelakangnya menendang pelan kursinya.

Regina langsung membalikkan badannya, ia mengacungkan jarinya ke depan muka Reinand.

"Jangan bilang Theo sekelas sama kita?" Tanya Regina dengan ekspresi mengerikan.

Ia tidak tahu teman sekelasnya sama sekali karena belum sempat membaca daftarnya. Namun
ia tidak menyangka harus sekelas dengan salah satu teman akrabnya itu!

"Iya! Makanya gue semangat." Jawab Reinand sambil tertawa senang

"Reg, gue udah kirim daftarnya dari tadi. Lo belum baca?" Ucap Glora yang sedang memakai
lipbalm sambil melirik Regina
"Belum," jawab Regina pelan "gue enggak tau, kalo kelas ini bakal jadi neraka bahkan
sebelum dimulai"

Ia segera meletakkan kepalanya diatas meja dengan lesu. Glora pun berdecak tidak habis
pikir, padahal ia sudah mengirim sedaritadi daftar nama kelas 12 A-3, namun sampai bel
masuk akan berbunyi pun belum Regina baca.

***
Bab 2

Regina sedang melamun sambil berdecak kesal karena selama setahun kedepan ia akan
sekelas dengan teman-teman akrabnya yang sangat luar biasa, sehingga ia tidak sadar bahwa
bangku depannya sudah terisi. Ia mengerjap pelan dan melirik kesekitar, bangku sudah mulai
terisi semua dan sebentar lagi bel akan berbunyi.

Ia mengeluarkan ponselnya yang ada di laci mejanya untuk melihat daftar nama siswa kelas
ini. Ia tampak tertegun dengan tangan bergetar. Namun ia segera sadar sebelum ada yang
melihatnya.

Ia melihat ke depan dan terkejut melihat sudah ada orang di depan bangkunya. Ia berdeham
sejenak dan bersidekap, ia merasa sangat familiar dengan bagian belakang orang di depannya
ini.

Namun belum sempat ia menegur orang didepannya. Salah satu biang masalahnya telah
datang sambil berteriak.

"Hoooo! Kita sekelas!" Pemuda itu menghampiri temannya satu per satu dan melakukan high
five. Reinand dan Zaffar jelas sangat bahagia, ya karena mereka bertiga adalah biang
keributan. Ia sangat lelah dikelilingi ketiga pemuda berisik ini.

"Regi, ayok high five dulu dong! Baru gue duduk."

Pemuda di depannya ini memandangnya berbinar, jelas Theodoric Aldebaran Djatmiko tidak
akan menyerah walaupun ia sudah berkata tidak. Namun karena ia sudah kesal sedari pagi, ia
tetap mendiamkan Theo. Theo pun mulai cemberut dan merengek berisik.

"Regi, please give me high five! Please!" Rengek Theo. Benar, pemuda tampan ini benar-
benar merengek didepan Regina dengan nada pelan. Tentu saja, ia tidak ingin image sebagai
pria tampan berwibawa luntur.

Mungkin yang lain tidak dengar tapi pemuda yang duduk didepan Regina yang
mendengarnya pun tidak tahan. Ia segera membalikkan badannya dengan ekspresi sebal,
bertepatan dengan Regina yang telah memberikan tangannya kearah Theo. Theo pun segera
menuju satu-satunya bangku yang tersisa, meninggalkan kecanggungan Regina dengan
pemuda didepannya.
Pemuda itu berdeham kecil saat melihat ekspresi Regina.

"Oh, hai. Kita sekelas lagi." Ucap pemuda didepannya ini.

Regina mendengus tak percaya dengan perkataannya. Saat ia akan membalas perkataannya,
guru perempuan telah memasuki kelas mereka, pemuda di depannya pun segera menghadap
ke depan.

"Selamat pagi kelas 12 A-3," sapa guru itu ramah, "saya bu Erika. Wali kelas kalian satu
tahun kedepan." katanya tersenyum lebar memandang keseluruhan kelas.

"Kalau nama saya Dhavi Faruk Akmal, Bu. Ibu bisa panggil saya si ganteng kayak mama
saya." celetuk pria bertubuh tambun yang duduk di belakang Kaivan.

"Nggak ada yang tanya Dhav. Diem deh. Bu, kenalin saya Theodoric Aldebaran Djatmiko.
Ibu bisa panggil saya mas Al, biar Ibu bisa jadi Andinnya saya." celetuk Theo tak tahu malu

Teman-teman sekelas pun menjadi heboh karena perkataan Theo dan mulai mengejeknya.
Namun Theo yang sudah terbiasa malah tersenyum bangga.

Bu Erika pun meringis, "Iya sebentar, satu-satu ya kenalannya." katanya menegur anak-anak
kelasnya.

"Diem, Theodor. Jangan biarin gue nonjok lo." tegur Callista yang duduk tidak jauh dari
Theo

"Tahan Call, tahan." kata Glora yang duduk tidak jauh darinya.

Bu Erika mencoba tetap tersenyum "Ibu lihat dulu ya nama-namanya," katanya sambil meraih
map absen dan membukanya. "Althea Titania Citra Prasada?"

Gadis kurus yang duduk di depan Kaivan mengangkat tangan dan menurunkan tangannya
tanpa suara. Setelah namanya dipanggil beberapa bisikkan dapat didengar.

"Dia anaknya yang punya rumah sakit itu kan?"

"Gila, calon dokter!"

Bu Erika pun mencoba mengendalikan suasan dengan mengetuk meja beberapa kali.

"Aruna Sabila Maheswara?"


Para laki-laki pun secara refleks menolehkan kepala ketika tangan terangkat dari gadis yang
duduk disamping Althea terangkat. Gerakannya yang mengangkat tangan sangat anggun
membuat para laki-laki di kelas ini mendecak kagum. Terutama fitur wajahnya yang kecil
membuatnya semakin terlihat imut dan cantik.

Beberapa teman yang pernah sekelas dengan Aruna hanya mendengus mendengar decakan
kagum dari teman-teman yang baru mengenal Aruna tersebut. Lihat saja beberapa hari
kemudian. Batin mereka.

“Callista Abella Moelya?”

Callista yang sedang asik berkaca pun hanya mengangkat tangan tanpa mengucapkan apa-
apa. Ia hanya memandang refleksi dirinya sambal mengagumi secara berlebihan. Bu Erika
hanya menggelengkan kepalanya melihat aksi salah satu muridnya tersebut.

“Dafian Dirgantara? Daiva Karina? Ernaldo Marteen?”

Nama-nama yang dipanggil pun segera mengangkat tangan mereka tanpa mengucapkan apa
pun.

“Fabian Charaka Kawiswara?”

Pemuda yang duduk di depan Regina pun mengangkat tangan tanpa suara. Regina menatap
Fabian tanpa berkedip dari belakang.

“Jangan natap gue kayak gitu.” ucap Fabian pelan. Regina pun tersentak dan segera
mengalihkan pandangannya

Bu Erika menunduk, melanjutkan membaca absen namun ia segera mengernyitkan kening.


“Ini kembar? Kaivan Kavin?”

Reinand dan Zaffar yang mendengar pertanyaan Bu Erika pun menyemburkan tawanya,
apalagi mereka melihat ekspresi masam diwajah keduanya. Murid lain yang pernah sekelas
dengan Kaivan maupun Kavin pun tertawa karena paham mengapa muka keduanya sangat
masam.

Bu Erika yang tidak paham pun bingung. Isvara Calla Mahawira, mantan ketua OSIS
Bhadrika High School, pun mengangkat tangannya untuk memberi kejelasan.

“Maaf Bu, keduanya bukan kembar. Mereka mungkin keliatan mirip dan nama mereka sama,
tapi mereka beneran bukan kembar.” Jelas Isvara. Isvara merasa kasihan karena sejak kelas
sepuluh keduanya selalu bersama, walaupun tidak sekelas setiap guru selalu menanyakan hal
yang sama. Keduanya telah lelah memberikan penjelasan.

Bu Erika membulatkan matanya, “Ah maaf, Ibu tidak tau tentang itu.”

Kaivan, pria tampan dengan wajah serta pembawaan kalem itu pun tersenyum. Namun di
kursi belakang. Reinand dan Zaffar tampak cekikikan karena mereka paham maksud senyum
kalem Kaivan tersebut. Mereka langsung terdiam saat melihat Kaivan tersenyum lebar kearah
mereka dan segera mengalihkan pandangan.

“Baik. Ibu lanjutkan absennya.”

“Regina Valencia Wiratama?”

Regina segera mengangkat tangannya, namun semua mata para murid tertuju padanya. Ia
segera menurunkan tangannya tanpa menoleh kearah lain. Regina yang tampak dingin itu
sepertinya menarik perhatian teman-temannya. Bu Erika hanya tersenyum.
“Theodoric Aldebaran Djatmiko?” Pria tampan yang tinggi tersebut segera mengangkat
tangannya dengan elegan. Namun Bu Erika hanya menggeleng pelan, teringat perkenalan
Theodor diawal tadi.

Callista yang melihat tingkah temannya tersebut pun mendecih. Sementara Reinand dan
Zaffar masih tertawa di bangku belakang.

Bu Erika sudah mengabsen sampai bawah dan menutup buku absen, ia bersiap untuk
berkenalan dengan anak-anak ajaib kelasnya ini.

“Ada yang belum disebutkan?”

Sebuah tangan terangkat mengacung, membuat seluruh kelas menoleh.

“Nama saya diatas sebelum absen terakhir. Mungkin ibu lupa.” Ucap pemuda bermata sipit
tersebut. “Xavier Joshua Danendra”

Seruan kagum terdengar dari beberapa gadis di dalam kelas. Xavier tampak seperti kokoh
Surabaya, sehingga membuat beberapa gadis terpesona.

Bu Erika teringat pesan Wakil Kepala Sekolah bagian kesiswaan, Pak Marcel, saat
mendengar nama Xavier. Kemudian ia membuka kembali buku absen dan melihat beberapa
nama yang disebutkan Pak Marcel sebelum masuk ke kelas 12 A-3
“Haruskah kita memilih ketua kelas? Atau kalian ada saran teman yang kalian percayai bisa
membimbing kalian sampai satu tahun ke depan?” tanya Bu Erika pelan, ia seperti tengah
memastikan sesuatu.

Kelas tampak diam. Beberapa dari mereka tampak berdiskusi, ada juga yang tidak tertarik.
Saat bu Erika ingin mengendalikan situasi, ada sebuah tangan yang mengacung sehingga
membuat seluruh atensi mengarah kepadanya.

Bu Erika pun menghela nafas lega. “Ya, Regina. Kamu bisa bicara.”

Regina pun segera menurunkan tangannya dan bersidekap. “Saya punya pendapat. Mungkin
ibu bisa memilih diantara Isvara atau Xavier, karena saya pernah sekelas dengan keduanya.
Mereka memiliki cara kepemimpinan yang bagus. Itu pendapat saya, jika yang lain punya
pendapat lain kalian bisa bicara.”

Setelah Regina mengutarakan pendapatnya, mereka berdiskusi bersama-sama setelah


meminta sedikit waktu. Bu Erika yang melihat pun tersenyum.

Setelah berdiskusi sebentar, Fabian mengangkat tangannya. “Kami sepakat bahwa Isvara
akan menjadi ketua kelas dan Xavier akan menjadi wakilnya.”

Bu Erika pun mengangguk dan tersenyum. “Baik. Isvara dan Xavier akan menjadi ketua dan
wakil ketua kelas 12 A-3.” Murid-murid pun bertepuk tangan heboh, bahkan beberapa dari
mereka menghampiri Xavier dan mengucapkan selamat.

Persis seperti dugaan Pak Marcel. Batin Bu Erika

“Isvara dan Xavier akan menjadi ketua dan wakil ketua”

“Awalnya mereka mungkin ragu. Bukan karena keduanya tidak kompeten, namun mereka
butuh seseorang yang mampu menyuarakan pendapat mereka. Kita bisa mengandalkan
Regina yang sangat berani mengeluarkan pendapat.”

“Fabian akan menjadi pemimpin diskusi mereka. Mereka akan menjadi kelas yang solid.”

Dan begitulah hari pertama kelas ini. Rusuh, ramai, dan berisik.

Bu Erika berusaha menguatkan diri walaupun ia juga merasa senang saat melihat murid-
muridnya ini seceria ini.
***
Bab 3

Saat bel istirahat berdering, para murid 12 A-3 mulai berhamburan keluar. Theodoric berlari
kecil menghampiri Isvara yang telah keluar kelas.

“Vara, kita sekelas lagi akhirnya.” Ucap Theo sambil menaikkan alisnya menggoda Isvara

Isvara yang telah terbiasa dengan kelakuan Theo pun hanya menggeleng kecil dan
melanjutkan jalannya menuju kantin bersama Althea, Aruna, Daiva, Prisa, dan Shinta.

“Theo gangguin lo lagi?” tanya Shinta sambil menoleh kearah Theo yang sedang
melambaikan tangannya kearah Isvara.

Isvara hanya menggeleng kecil. “Bukan, biarin aja.”

Prisa yang disebelahnya berdecak kesal. “Kenapa kita harus sekelas sama Theo coba. Astaga,
dia memang ganteng tapi mulutnya itu. Aish!”

Isvara hanya tertawa pelan sebelum menoleh kebelakang melihat Theo yang kembali masuk
ke dalam kelas.

**

Bel istirahat yang telah berbunyi membuat kelas 12 A-3 yang sedari tadi ramai menjadi sepi.
Hanya tersisa beberapa orang di dalamnya, termasuk Regina yang sedang malas ke kantin.
Glora tadi tertinggal temannya yang lain karena ia sibuk membereskan liptint dan bedaknya
yang berserakan di meja.

Glora yang melihat Regina hanya memainkan ponselnya tanpa ingin beranjak pun merengek.

“Ginaaa, ayo ke kantin. Gue laper. Liat-liat pipi gue mulai tirus karena belum makan dari
pagi.”

Regina hanya mengabaikannya karena ia sedang malas. Namun tentu saja Glora tidak kenal
kata berhenti walaupun Regina hanya diam. Ia akan terus merengek sampai keinginannya
dipenuhi.

Regina mendecak malas dan mengedarkan pandanganya kemudian berjalan kearah murid
perempuan yang tengah menunduk membaca buku. Ia menendang pelan meja tersebut.
Murid tersebut pun tersentak kemudian mendongak dan melihat Regina yang tengah
bersidekap dan di belakangnya terdapat Glora.

“Heh, beliin gue makanan di kantin. Gue laper.” Suruh Regina sambil menatap tajam murid
didepannya.

Murid tersebut segera beranjak. “Gina mau makanan apa?” tanyanya pelan

Regina yang mendengar namanya disebut pun kesal. Ia menendang keras meja di depannya
sehingga empunya tersentak dan membuat beberapa murid lain menoleh.

“Siapa yang suruh lo manggil nama gue? Lo bukan temen gue! Jangan berani-beraninya lo
panggil nama gue!”

Regina maju dengan kesal. Saat ia hampir meraih kerah orang di depannya tangannya ditahan
oleh Glora. Kelas menjadi tegang saat melihat Regina hampir menyerang Naraya.

“Raya, gue nggak laper. Kita nggak laper. Lo boleh pergi sebentar? Jangan biarin Gina liat lo
dulu sekarang.” Pinta Glora sambil menahan tangan Regina erat-erat walaupun Regina tidak
tampak akan menyerang kembali.

Naraya melirik kearah tangan Regina kemudian menunduk dan keluar kelas. Saat di depan
kelas ia tidak sengaja menabrak Fabian yang baru saja kembali dari ruang OSIS. Fabian
menahan Naraya.

“Kenapa? Apa Regina ganggu lo lagi?” tanya Fabian. Ia bahkan tidak menahan suaranya
sama sekali.

Suasana kelas yang tadinya mulai mencair menjadi tegang kembali.

Regina yang mendengar namanya disebut menoleh tajam. Ia mendesis kesal saat melihat
Fabian yang menginterogasi Naraya.

“Nggak, Gina sama sekali nggak ganggu aku. Boleh aku keluar aja?” jawab Naraya pelan

Fabian masih menahan tangan Naraya. “Lo nggak perlu keluar, yang punya masalah sama
emosinya itu Regina bukan lo. Yang harus keluar kelas itu Regina, bukan lo.”

Tepat setelah mengatakan hal tersebut kelas menjadi sangat tegang. Bahkan Martin dan
Dafian yang sedang belajar pun menghentikan kegiatan mereka. Sementara Glora melirik
takut-takut kearah Regina.
Regina berjalan kearah Fabian serta Naraya sambil bersidekap. Glora mengikuti dari
belakang dengan takut. Ia melihat kearah teman-temannya yang lain dengan tatapan berharap
pertolongan. Yang lain hanya menggeleng karena takut dengan suasananya.

Regina berhenti tepat di depan keduanya. “Kenapa gue nggak boleh ganggu dia? Lo itu
emang perusak kesenangan orang ya.” Sinis Regina

Fabian masih berdiri kokoh, ia mencoba melindungi Naraya ke belakangnya. Regina yang
melihat hal tersebut pun mendengus kesal. Ia dengan keras menabrak pundak Naraya dan
keluar dari kelas. Glora dibelakangnya pun mengejarnya.

Di depan pintu kelas Theo menghadang Regina. “Regi mau kemanaaa? Sini Theodor ganteng
ini temenin.” godanya sambil mencolek lengan Regina, namun saat melihat ekspresi Regina
dan Glora yang dibelakangnya ia terdiam. Matanya melirik orang lain dibelakang keduanya.

Theo pun segera membawa Regina keluar dari kelas tanpa mengucapkan apapun.

“Makasih udah bantuin aku.” Ucap Naraya pelan. Fabian segera melepaskan pegangannya
dan menggeleng pelan. Ia segera duduk dibangkunya dan membuka laptopnya.

**

Di kantin yang tampak ramai. Callista duduk dengan anggun dengan cermin yang ada
dihadapannya. Kavin yang melihat kelakuan temannya pun mendecak kesal.

“Makan Callis, makan. Liat muka lo doang nggak bakal bikin kenyang.” Gerutu Kavin

Reinand, Zaffar, dan Kaivan yang ada didepan keduanya hanya melanjutkan makanan
mereka. Mereka sudah lelah mengingatkan Callista, berbeda dengan Kavin yang selalu
mengingatkan walaupun akhirnya makanan itu hanya dimakan beberapa suap oleh Callista
dan diberikan ke temannya yang lain.

Callista menoleh kesal dan ia segera memakan bakso yang telah ia pesan sebelumnya dengan
pelan. Ia mengunyah dengan amat perlahan membuat Reinand yang tidak sabaran berdecak
kesal namun tidak banyak berkomentar karena sudah paham dengan kebiasaan temannya ini.

Saat mereka tengah menikmati makanan mereka, tiba-tiba Kaivan memecahkan keheningan
tersebut dengan pertanyaannya.
“Menurut lo, kenapa kita dijadiin satu kelas?” ia melanjutkan pertanyaannya dengan malas.
“Maksud gue, gimana bisa dua murid langganan BK jadi satu sama para juara parallel,
anggota OSIS, beberapa ketua ekskul.”

Zaffar yang mendengar hal itu pun berdecak. “Bukannya udah jelas maksudnya? Reinand
pasti disuruh tobat.”

Reinand yang disebut pun memukul kepala Zaffar dan menggerutu. “Kalau gue tobat, ya lo
juga! Kita kan sepaket.”

Kaivan mendecak malas mendengar jawaban kedua temannya tersebut.

“Mungkin. Mungkin sekolah pengen kelas kita jadi contoh. Maksud gue, lo liat walaupun Rei
sama Jaf keliatan tolol begitu, nyatanya mereka selalu mengharumkan nama sekolah kita
dalam tim basket kan?” ucap Callista sambil mengunyah baksonya perlahan

Reinand dan Zaffar yang mendengar perkataan Callista pun hanya mendengus. Mereka
bingung harus mengumpat atau senang karena pembelaannya.

Kaivan pun mengangguk pelan seolah paham maksud Callista. Kavian pun hanya mendecak
mendengar percakapan teman-temannya. Biasanya jika ada Theo, percakapan ini semakin
panjang. Ah mengingat Theo, Kavian lupa tadi mereka meninggalkan temannya yang lain
karena sudah lapar. Ia pun segera mengambil ponselnya dari kantong untuk menghubungi
Theo, Regina, serta Glora. Namun ekspresinya berubah saat membaca pesan di grup mereka.

“Guys, coba kalian cek grup.”

Mendengar Kavian yang tampak serius Reinand, Zaffar, Kaivan, dan Callista pun segera
membuka ponsel mereka. Ekspresi mereka berubah.

Orang Tidak Tahu Malu (7)

Theodor:

Rooftop.

Gua sama Regi, Glo

Regi hampir nyerang Raya

Ketauan Fabian

***
Bab 4

Prisa Zaffya Hardiyanta atau biasa disapa Prisa adalah biang gosip sekolah mereka. Ia selalu
mendapatkan segala macam gosip hangat. Seperti saat istirahat tadi, ia yang awalnya tengah
berjalan menuju kantin bersama teman sekelasnya tiba-tiba berlari dan menghampiri salah
satu teman gosipnya untuk berburu berita terbaru.

Namun saat ini Prisa yang biasanya selalu sumringah saat mendapatkan berita itu tampak
terengah-engah dan segera merebut minuman dingin milik Aruna. Aruna yang melihatnya
ingin merengek, namun ia tahan karena sekarang mereka ada di luar kelas.

Althea mendecak melihat Prisa yang seperti tidak pernah minum itu. Ia memberikan gelasnya
yang berisi jus alpukat dan diterima dengan senang hati.

Dhavi dan Felix yang tengah makan dimeja yang sama pun mengernyitkan dahi mereka
penasaran dengan gosip yang dibawa Prisa kali ini.

“Ada gosip apa kali ini? Ini baru hari pertama loh.” Celetuk Shinta

“Gila. Ini bener-bener baru kejadian!” seru Prisa heboh. Hal tersebut membuat Aruna, Shinta,
Althea, Isvara, Daiva, Dhavi, dan Felix pun merapat.

“Jadi, tadi waktu kita nggak lama keluar kelas. Regina bully Naraya! Dia nyuruh Naraya buat
beliin makanan buat dia sama Glo, tapi tiba-tiba Regina mau nyerang Raya. Untung di tahan
Glo!” bisik Prisa penuh semangat

“Terus terus gimana? Harusnya nggak ada apa-apa kan? Pasti Glo nyuruh Raya keluar.” Ucap
Althea pelan

Prisa mendecak pelan. “Lo inget dong, kalo ada antagonis jahatin protagonis pasti bakal ada
yang bantu. Tebak dong siapa?”

Yang lain hanya menggeleng pelan, mereka tidak mau menebak. Mereka ingin segera tahu
jawabannya. Isvara memundurkan badannya perlahan, jika nama yang dipikirannya benar
berarti kelas hampir dalam masalah.
“Fabian Charaka. Dia yang bantu Raya, bahkan dia bilang kalo Regi punya masalah emosi
harusnya Regi yang keluar kelas, bukan Raya!” Desis Prisa. “Gila banget emang Fabian! Dia
berani banget sama Regina.”

Isvara segera bangkit dari tempat duduknya. “Thea, tolong bayarin makanan gue ya! Gue
duluan!” Isvara segera bangun dari dudukny. “Oh, Pris, tolong berita ini jangan lo sebar ya.
Kalo udah terlanjur, bilang sama temen lo buat cari berita lain.” Ia kemudian berlari
meninggalkan teman-temannya yang terkejut karena tingkahnya.

“Mau kemana Vara?” tanya Dhavi penasaran

“Mau cari Regi atau Fabian.” Jawab Thea pelan

Dhavi dan Felix mengernyitkan kening mereka. Apakah sebagai ketua kelas Isvara ingin
mendamaikan keduanya?

“Kenapa?” tanya Felix bingung

“Karena saat mereka bertemu itu pertanda hal buruk. Tapi sialnya mereka selalu ketemu.”
Guman Aruna

Sementara Shinta dan Prisa hanya diam. Mereka tampak tidak ingin membuka mulut mereka.
Hal tersebut membuat lipatan di dahi Dhavi dan Felix bertambah.

**

Regina Valencia adalah murid yang berprestasi. Kegemarannya dalam bela diri sedari kecil
membuat kedua orang tuanya memasukkannya ke dalam kelas taekwondo dan boxing. Sejak
duduk dibangku sekolah menengah pertama Regina sudah populer karena prestasinya yang
mengharumkan sekolahnya, tidak hanya dalam bela diri, ia juga pandai di beberapa bidang
olahraga dan cerdas secara akademik.

Regina pada awalnya adalah anak yang manis dan ceria. Itu adalah hal pertama yang menarik
Glora untuk berteman dengan Regina pada saat itu. Namun semakin beranjak dewasa,
tepatnya saat memasuki Bhadrika High School, Glora paham ada yang salah dengan emosi
Regina. Ia menjadi sensitif dengan beberapa hal dan mudah tersinggung. Sebagai contohnya,
saat Naraya memanggil Regina dengan namanya. Ia terlihat sangat membencinya dan tanpa
sadar ingin menghajarnya.
Setelah dibawa Theo dan Glora kearah rooftop, Regina hanya duduk diam. Saat emosinya
sedang berada dipuncaknya, Regina kerap kali berkata dan berperilaku kasar secara tidak
sadar. Sering kali pula ia menyesalinya.

Glora mendekat dan menyentuh bahu Regina perlahan. Matanya berkaca-kaca saat Regina
menoleh. “Nggak apa-apa Gina. Semua baik-baik aja.”

Regina pun tersenyum dan mengangguk. Ia meraih tangan Glora yang ada di pundaknya dan
menggenggamnya. Glora bisa merasakan tangan Regina yang sangat dingin. Ia pun
meremasnya perlahan.

Theo yang mengamati pun berdecak dan mendekat. “Gitu ya? Aa’ Theo loh yang bawa kalian
kesini, nggak mau bilang makasih apa?”

Regina hanya mendengus pelan. Ia berdiri perlahan dan memeluk Theo kencang. Theo yang
dipeluk pun terkekeh, ia menepuk pelan punggung Regina.

“Regi, semuanya bakal baik-baik aja. Nggak ada yang bisa nyakitin lo. Oke?” ucap Theo
pelan. Regina yang berada dipelukannya hanya mengangguk pelan.

Theo melirik kearah Glora dan menggeleng. Glora yang paham maksudnya pun segera
mengeluarkan ponselnya.

Orang Tidak Tahu Malu (7)

Glora Nabella:

Regina udah aman.

Kalian lngsung ke kelas aja.

Nanti kita nyusul

Reinand Alexis:

Oke.

Apa gue harus urus Fabian?

Callista Moelya:

Jangan coba-coba Rei!


Glora Nabella:

Jangan. Cukup diem di kelas kata Theo

**

Isvara berlari kearah kelas mereka. Nafasnya yang tidak beraturan saat sampai kelas
membuat beberapa temannya heran. Ia mengedarkan pandangannya dan menemukan Fabian
tengah memainkan laptop di depannya. Namun ia tidak menemukan Regina. Ia mendengar
langkah kaki yang cepat dibelakangnya segera menoleh. Xavier yang datang ke kelas berlari
segera berhenti ketika melihat Isvara.

“Nggak ada kejadian apa-apa kan?” Tanya Xavier.

Isvara hanya menggelengkan kepala tidak tahu. Ia segera berjalan kearah bangku Fabian dan
mengetuk mejanya perlahan.

Fabian pun segera mendongak. Saat melihat Isvara, ia pun menghela nafas.

“Fab..” Panggilan Isvara terputus karena Fabian segera bangkit dari duduknya dan meminta
Isvara serta Xavier untuk mengikutinya keluar kelas.

Saat di luar kelas, Fabian langsung menatap kedua temannya.

“Gue cuman bantu Raya. Gue tegur Regina. Nggak ada kejadian apa-apa.” Ucap Fabian

Isvara dan Xavier yang mendengarnya pun menghela nafas lega. Fabian yang melihat reaksi
keduanya pun berdecak.

“Gue nggak mungkin main tangan sama cewek. Kalian bikin gue seolah-olah gue suka nyiksa
cewek.”

Isvara terkesiap mendengar ucapan Fabian.

“Bukan gitu! Aduh, yang penting clear deh. Ini masih hari pertama Fab. Jangan ada yang
berantem.”

Xavier bertanya pelan. “Regina sama siapa? Bukan Rei kan? Tadi gue liat dia di kantin
soalnya.”

Fabian menggeleng pelan. “Theodor.”

Isvara tersentak, namun ia menyadarkan dirinya sebelum ada yang menyadari.


“Untung itu Theo, kalau itu Rei atau Zaffar kalian bisa berantem Fab. Gue tau maksud lo
baik, tapi Regina, kita nggak bisa ngendaliin dia. Kalo lo liat Regina ganggu Raya lo bisa
hubungin gue atau Vara.” Ucap Xavier. Ia menepuk pundak Fabian pelan dan masuk ke
dalam kelas bersama Isvara.

Fabian yang ditinggal hanya menghela nafas. Saat menatap ke depan, ia melihat Reinand,
Zaffar, Kaivan, Kavian, dan Callista kembali ke kelas. Dari kejauhan, ia bisa melihat bahwa
Reinand menatapnya tajam.

“Itu sangat menganggu.” Guman Fabian kemudian masuk ke dalam kelas.

**

Bel masuk kelas telah berdering, koridor tampak ramai dengan para murid yang berlarian
menuju kelas mereka masing-masing.

Regina, Glora, serta Theo berjalan santai menuju lantai dua dimana kelas mereka berada.
Glora dan Theo tampak berdebat, sementara Regina hanya mendengarkan mereka dan
terkadang menimpalinya. Hal itu mereka lakukan sampai depan kelas.

Ketiganya segera duduk ke bangku mereka masing-masing. Regina duduk di bangkunya


dengan santai seolah kejadian sebelum istirahat tidak terjadi.

Reinand yang dibelakangnya menepuk pundaknya pelan. Regina membalikkan badannya dan
menaikkan alisnya.

“Lo baik-baik aja kan?” tanya Reinand

Zaffar dan Kavian juga menatap kearah Regina. Regina hanya mengangguk dan
membalikkan badannya kembali.

Isvara yang melihat Regina pun menghela nafas lega. Sejujurnya Regina bukanlah orang
yang menakutkan, walaupun ia pandai bela diri tapi ia adalah orang yang cerdas dan tidak
menggunakannya untuk menyakiti orang lain.

Namun kejadian dua tahun lalu, saat mereka baru masuk ke Bhardika High School membuat
Isvara takut. Masih segar dalam ingatannya, saat MOS kepopuleran Regina dan Reinand luar
biasa, selain visual mereka yang tampan dan cantik, keduanya juga sangat pandai dalam
bidang olahraga. Sehingga jarang orang yang tak mengenali keduanya, hal itu membuat
Regina dan Reinand menjadi raja dan ratu MOS mereka.
Saat pembagian kelas Isvara sangat senang karena akan sekelas dengan Regina, selain itu
Martin dan Dafian, para murid berprestasi. Namun, setelah seminggu kelas dibagi, Regina
yang pada saat MOS ceria, ramah, dan manis berubah menjadi ketus dan dingin. Hal ini
karena satu hal, mereka satu kelas dengan murid beasiswa bernama Naraya. Saat itu ia pikir,
Regina tidak menyukai murid beasiswa yang miskin, namun ia salah. Regina tetap baik
kepada Dafian. Regina hanya berbuat kasar kepada Naraya.

“… kelas!”

“Ketua kelas!”

“Isvara!”

Isvara yang mendengar suara tinggi memanggilnya pun tersentak. Ia mendongak dan
mendapati bu Erika memanggilnya, teman-temannya pun menoleh kearahnya.

“Maaf, bu. Saya tadi teralihkan sebentar.” Ucap Isvara pelan

Bu Erika menghela nafas pelan. “Tidak apa-apa, Vara. Tapi tolong jangan diulangi lagi.”
Tegur Bu Erika

Isvara hanya mengangguk pelan. Diam-diam ia merutuki dirinya yang sempat-sempatnya


melamun.

“Vara. Vara.” Panggil Theo pelan. Isvara menoleh kearahnya. “Jangan melamun lagi.”

Isvara tersenyum kecil dan mengangguk. Theo pun tersenyum lebar dan buru-buru
menghadap ke depan.

Isvara diam-diam melirik ketempat dimana Regina dan Fabian duduk. Keduanya tampak
seperti dua kutub yang berbeda, namun seberapa keras usaha kedua kutub itu menjauh jika
keduanya berdekatan bukankah akan saling tarik menarik pada akhirnya?

***

Bab 5

Theo sedang merebahkan diri di kasur miliknya sementara matanya aktif melihat kearah
ponsel yang sedang ia pegang. Ia tengah mengirimi Isvara pesan sekaligus menganggunya. Ia
pun tertawa kecil saat mendapatkan balasan.
Theodor:

Vara, lg sibuk?

Isvara Calla:

Sibuk Yo

Knapa lgi mlm ini?

Kucing lo lahiran trs anaknya diambil bapaknya?

Tetangga lo brantem?

Atau crita tentang Regina?

Theo mengernyitkan keningnya saat membaca balasan terakhir dari Vara-nya. Kenapa tiba-
tiba membahas Regina? Ia pun hanya mengedikkan bahunya dan membalas kembali.

Theodor:

Kangen donggg

Tdi lo kluarnya cpet bngt

Gue kn blm smpet ajak ngobrol lg

Theo tersenyum sendiri saat membaca pesannya. Ia berkhayal jika disana Vara sedang salah
tingkah seperti dirinya. Ia pun menendang selimut gemas. Sembari menunggu balasan dari
Vara, ia pun berguling-guling diatas kasurnya. Saat mendengar ponselnya bergetar, ia pun
segera meraih ponselnya dan membaca balasan Vara. Namun raut wajahnya menjadi masam,
ia pun segera membalas dan keluar dari kamarnya. Membiarkan ponselnya masih dalam
keadaan terbuka dan memperlihatkan obrolannya serta Vara.

Isvara Calla:

Hri ini lo serba sibuk kan


Sm cwek yg lain jg, ah apalg Regina

Jgn ganggu gue dlu Yo

Sorry

Theodor:

Cwek lain apa Var?

You know from the start you're the one I love the most

But why you still doubt on me?

Sementara diseberang sana, Isvara hanya memandang balasan dari Theo. Ia menghela nafas
pelan dan melanjutkan laporan OSIS yang harus ia selesaikan malam ini.

**

Fabian tengah duduk di meja belajar kamarnya sambil memandangi layar laptopnya dengan
serius. Kali ini ia tengah mengerjakan beberapa laporan yang akan ia serahkan setelah purna
tugas sebagai anggota OSIS. Ya, Fabian adalah salah satu anggota inti OSIS, ia merupakan
sekertaris utama OSIS.

Fabian tiba-tiba berhenti mengetikkan kata-kata pada layar laptopnya. Ia melamun dan
meraih ponselnya.

Fabian Charaka:

Ray, ayo ketemu

Ia segera meletakkan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya. Namun setelah lewat 10


menit ia merasa gelisah karena tidak ada balasan. Ia pun hendak mengirimkan pesan kembali
ketika ponselnya bergetar pelan pertanda ada pesan yang masuk. Saat melihat nama yang
masuk ia segera membuka pesannya.

Naraya:

Aku gak bisa keluar malem Fab

Maaf ya
Fabian pun menghela nafas, tadinya ia ingin membahas kejadian siang tadi dengan Naraya
karena ia ingin meluruskan hal lainnya. Namun Naraya sepertinya enggan bertemu
dengannya. Fabian pun mengetikkan balasan dengan cepat.

Fabian Charaka:

Sbntar aja.

Aku mau bahas mslh td siang

Naraya:

Bsok aja Fab

Fabian pun segera menutup ponselnya dan menyelesaikan laporannya setelah mendapatkan
balasan dari Naraya. Ia tiba-tiba berpikir, sejak kapan ini semua terasa rumit? Yang ia
maksud adalah dirinya serta Regina dan Naraya.

**

Kamar yang dipenuhi dengan pernak pernik berwarna ungu tersebut tampak berantakan
dengan baju-baju. Gadis yang tengah berkacak pinggang di depan cermin besar tersebut
mengacak-acak rambutnya kesal. Ia kemudian mendecak kesal dan meraih ponselnya untuk
menghubungi seseorang.

Ia menjepitkan ponselnya ke telinganya sementara tangannya memilih baju untuk ia pakai. Ia


segera menegakkan badan ketika panggilannya tersambung.

"Halooo" ucap seseorang diseberang sana

"Glo, please help me!" Ucap Regina. Seseorang yang ia panggil barusan adalah Glora, teman
akrabnya.

"Hmm? Kenapa Gin? Gue lagi nonton sama anak kelas sebelah ini." Ucap Glora sambil
berbisik

Regina pun mendecak. "Gue mau keluar malem, tapi bingung mau make apa. Lo ada saran
nggak?"
"Keluar lagi? Sama siapa si? Ih, lo pasti nggak mau jawab. Ck." Decak Glora diseberang
sana

Tampaknya Glora sudah tidak memperhatikan film yang tengah ia tonton dan sekarang ia
sibuk menginterogasi Regina.

"Bukan siapa-siapa. Udah deh, cepet jawab." Ucap Regina karena ia mendapatkan pesan
bahwa sebentar lagi akan dijemput

"Ck. Udah jeans sama kaosan aja deh kayak lo biasanya, jangan lupa pake jaket Gin, ini
udah malem. Mau dia bawa motor atau mobil jangan lupa bawa jaket. Ngerti?" Ucap Glora
dengan nada cepat

"Iya bawel, ya udah gue mau siap-siap. Jangan pulang malem-malem Glo. Awas aja kalau
orang itu bawa lo pulang malem." Ucap Regina sedikit mengancam, sementara Glora hanya
berdeham dan segera mematikan panggilan.

Regina akhirnya memilih jeans dan kaos putih pendek serta jaket ungu kesayangannya. Ya, ia
tidak lupa dengan nasihat Glora. Malam ini memang bukan pertama kalinya Regina keluar
malam, ia pun bergegas mengganti pakaiannya dan turun ke lantai bawah.

Saat menuruni tangga ia melihat kepala pelayannya yang dari depan. Ia pun bergegas turun
dan mengahampiri.

“Di depan ada tamu?” Tanya Regina pelan

Bi Siti, kepala pelayan rumah Regina, pun mengangguk pelan dan tersenyum.

“Iya non. Di depan ada tamu, saya sudah memberikan minuman seperti biasanya.” Jawab bi
Siti

Regina pun mengangguk dan pergi ke ruang tamu dimana sang tamu berada. Saat sudah
sampai, ia melihat sang tamu tengah menyesap minumannya. Merasa diperhatikan, sang tamu
pun mendongak dan tersenyum.

Ia pun meletakkan cangkirnya. “Hai!” sapanya

Regina pun berjalan mendekat sembari menggerutu pelan. “Hai apanya. Udah, kita pergi
sekarang.”

Pemuda itu pun segera bangkit dari duduknya dan menghampiri sang gadis yang tengah
menggerutu. Kemudian ia merangkul pelan pundaknya.
“Re, ayo kita beli makan yang kamu mau.” Ucap pemuda tersebut

Regina pun tersenyum, ia mendekatkan dirinya kearah pemuda tersebut.

“Mau makan apa kita malem ini, Theodor?” tanya Regina pelan

Theo pun hanya mengedikkan bahunya dan mereka mengobrol ringan menuju motor Theo.
Keduanya yang tampak akrab sering kali membuat hubungan keduanya disalahpahami,
namun keduanya tampak tidak ingin memberikan penjelasan kepada siapa pun.

**

Anda mungkin juga menyukai