Anda di halaman 1dari 4

SELAMANYA LASKAR PELANGI

Pekan-pekan terakhir, bisa dipastikan, film Laskar Pelangi tengah


mengharu biru seluruh penonton di tanah air. Ikal, Lintang, Kucai, Bu
Mus, dan sejumlah tokoh-tokoh lain dalam buku kreasi Andrea Hirata itu,
kini tengah berjuang menawarkan inspirasi menjalani hidup melalui layar
perak.

J
auh sebelum membaca novel inspiratif itu, dan tentu saja, jauh sebelum film
itu digarap, saya mendapati kehidupan laskar-laskar pelangi di daerah lain.
Di hamparan Pulau Pasir Padangan, gusung yang dijadikan permukiman
seluas sekitar satu kilometer di tengah Selat Muna, saya menjumpai anak-anak
sekolah seusia Ikal dan kawan-kawan. Mereka anak-anak suku Bajo di daerah
Sulawesi Tenggara.

Beberapa saat setelah turun dari perahu nelayan, mereka menyambut


saya dan teman-teman dari tim Potret dengan suka cita. Mereka melompat-
lompat kegirangan. Berteriak. Dan, beberapa di antaranya mencoba menyapa
dengan baong Same (bahasa suku Bajo). Kami hanya tersenyum. Saya sendiri
lebih asyik merekam aksi-aksi mereka melalui handycam di tangan saya, untuk
melengkapi kamera objektif Teguh Prihantoro (kamerawan Potret).

Ketika, kamera Teguh mengarah kepada kami, saya langsung “menguji”


anak-anak Bajo itu dengan pertanyaan-pertanyaan kewiraan paling dasar,
seperti nama negara dan nama presiden. Khususnya, menyangkut presiden kita
sekarang, yang katanya paling populer.

“Siapa presiden kita sekarang?”

1|syaiful HALIM
Mereka hanya senyum-senyum. Saya mengulang pertanyaan itu. Lagi-
lagi, mereka hanya tersenyum. Kalaupun ada mencoba menjawab, ternyata ia
menyebutkan nama presiden terdahulu. Artinya, mereka tidak mengenal pak
SBY.

“Sudah sekolah? Kelas berapa?” tanya saya kepada seorang bocah


berambut merah dan berpakaian dekil.

“Kelas satu,” katanya.

“Saya juga kelas satu,” kata anak yang lain.

“Ada yang kelas dua?” tanya saya lagi.

“Semua anak di Pasar Padangan kelas satu. Tidak ada yang kelas dua,”
kata seorang anak perempuan. Umurnya saya taksir sekitar 12. Jadi, sudah cocok
masuk tingkat SMP. Yang pasti, anak-anak di pulau itu semuanya kelas satu SD!

Di kesempatan lain, ketika saya mengunjungi Dusun Datai di kawasan


Taman Nasional Bukit Tigapuluh—perbatasan antara Jambi dan Riau—saya juga
menjumpai anak-anak usia sekolah suku Talang Mamak. Lokasi dusun sangat
terpencil. Untuk berjalan kaki, paling tidak dibutuhkan tiga hari. Untuk
kebutuhan gambar, saya juga meminta teman-teman dari Fakultas Sosiologi
Universitas Riau, teman seperjalanan tim Potret saat itu, untuk “membuka” kelas
darurat. Seperti juga kepada anak-anak suku Bajo, kepada anak-anak suku
Talang Mamak juga diajukan pertanyaan-pertanyaan ringan soal negara dan
presiden kita.

“Ada yang tahu, kita ada di negara mana?” tanya Ayek, mahasiswa yang
saya dorong menjadi guru dadakan itu.

Mereka diam. Mulutnya terkunci rapat. Ekspresinya wajah anak-anak itu


begitu lugu dan seakan kosong.

2|syaiful HALIM
Ayek mengulang pertanyaannya berkali-kali. Tapi, feedback yang
diberikan anak-anak tetap sama. Diam seribu bahasa. Dan, tak jawaban yang
bisa didapat.

“Ada yang tahu, siapa presiden kita yang sekarang?”

Mulut anak-anak makin terkunci rapat. Mereka menatap Ayek. Tapi,


tatapannya kosong. Jauh dari kesan peduli. Apalagi berani mempresentasikan
kepintaran otaknya. Akhirnya, Ayek capek sendiri. Dia yang bertanya, dia pula
yang menjawab.

Anak-anak suku Bajo dan anak-anak suku Talang Mamak itu memang
berbeda jauh dengan Ikal dan kawan-kawan di Belitong tempo dulu. Anak-anak
itu tertinggal banyak dalam segi apa pun dibandingkan siswa SD
Muhammadiyah Gantong itu. Sekali lagi, dalam segi apa pun. Termasuk,
motivasi dan kegigihan bertarung. Entah karena faktor geografis yang begitu
terpencil, entah karena persoalan kultur yang masih kolot, dan seribu entah yang
bisa dijabarkan oleh siapa pun.

Perbedaan lain yang sangat mencolok dan bisa menghujam hati kecil kita,
anak-anak itu ada di masa sekarang! Bahkan, kalau mau dirinci lebih gamblang,
jutaan anak-anak usia sekolah senasib dan sependeritaan seperti anak-anak suku
Bajo dan anak-anak suku Talang Mamak itu bertebaran laksana rumput di
padang savana. Tengoklah Papua, Maluku, NTT, Kalimantan, bahkan di Pulau
Jawa sendiri, Ikal-Ikal masa sekarang menghamburkan keterpurukan dunia
pendidikan di negeri ini.

Maka, bersyukurlah bila novel dan film Laskar Pelangi bisa menjadi
inspirasi untuk memanfaatkan anggaran pendidikan yang Insya Allah menjadi
20 persen dalam APBN tahun depan dengan sebaik-baiknya. Artinya, tepat
sasaran dan tepat guna. Lebih khusus lagi, bisa menjangkau anak-anak usia
sekolah yang justru, selamanya menjadi laskar pelangi.
3|syaiful HALIM
Selain itu, tanpa harus bergantung kepada pemerintah dengan anggaran
yang telah ditambah itu, sudah pasti siapa pun dituntut untuk berlomba-lomba
memunculkan Ikal, Lintang, Mahar, dan laskar-laskar pelangi lain, di daerahnya.
Termasuk para orangtua yang juga harus gigih mendorong anaknya menjadi
pintar, cerdas, dan tahu siapa presiden negara ini?[]

4|syaiful HALIM

Anda mungkin juga menyukai