Anda di halaman 1dari 10

NAMA : BIMO ARIEF PUTRA SURYOPROBO

KELAS : XII IPA 4 (04)

ESAI KRITIK

POTRET PENDIDIKAN DI TENGAH KEMISKINAN


DALAM “LASKAR PELANGI”
OLEH:
Miftakhul Jannah

Pendidikan telah menjadi hal yang penting untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Pendidikan tersebut bisa diperoleh di pendidikan formal maupun informal. Ironisnya, kualitas
pendidikan di Indonesia belum begitu memuaskan. Beberapa hal seperti kurikulum masih
sering mengalami perubahan, tentunya menuju perubahan yang lebih baik. Kendati demikian,
pendidikan di Indonesia masih saja menemukan kekurangan. Kekurangan tersebut terlihat
dari biaya pendidikan yang sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal
ini membuat generasi muda yang seharusnya memperoleh pendidikan yang baik tetapi justru
terlantar.

Berbicara soal pendidikan, maka perlu dipahami terlebih dahulu arti pendidikan.
Dalam KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Di dalam pendidikan tentunya terdapat nilai,
baik nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan agama, maupun nilai pendidikan moral. Tulisan
ini akan membahas potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi” yang di
dalamnya tentu terdapat beberapa nilai pendidikan yang bisa dijadikan sebagai perenungan
dan teladan.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa nilai adalah sesuatu berharga yang terkandung
dalam sesuatu hal yang bisa digunakan sebagai patokan normatif yang mempengaruhi
manusia dalam menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kupperman dalam
Mulyana (2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia
dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan
pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Oleh karena itu,
salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai adalah pelibatan nilai-nilai
normatif yang berlaku di masyarakat.
‘Laskar Pelangi’ merupakan sebuah novel yang banyak memuat nilai pendidikan. Nilai
pendidikan tersebut mampu memotret pendidikan di tengah kemiskinan rakyat Belitong.
Belitong adalah daerah yang kaya tetapi kekayaannya telah dirampas oleh tangan-tangan tak
bertanggung jawab. Hal ini membuat kehidupan rakyatnya harus bergelut dalam kemiskinan.
Sehingga pendidikan di daerah ini menjadi terbengkelai dan berbenturan dengan masalah
ekonomi. Masyarakat Belitong enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini karena
mereka memang tidak memiliki biaya dan lebih suka anaknya bekerja guna membantu
mencukupi kebutuhan keluarga. Lalu, apakah pantas anak di bawah umur dipaksa untuk
bekerja? Jawabannya tentu tidak.
Melihat situasi dan kondisi seperti itu, datanglah sosok guru teladan yaitu Pak Harfan
dan Bu Muslimah. Mereka berdua berjuang untuk mempertahankan pendidikan yang ada di
Belitong. Dengan sepenuh hati tanpa pamrih, mereka menyumbangkan ilmu kepada murid-
muridnya.
Murid-murid tersebut adalah sepuluh anak yang oleh gurunya diberi julukan Laskar
Pelangi. Mereka sama-sama berasal dari keluarga miskin, tetapi mereka berasal dari
kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Ada anak buruh pabrik, ada anak nelayan, ada
anak Tionghoa kebun, ada yang sangat pandai di bidang ilmu matematika, ada yang sangat
pandai di bidang ilmu seni, ada yang hanya bisa tersenyum sepanjang hari. Semuanya
menjadi satu kelompok dalam Laskar Pelangi. Mereka saling mendukung, saling menguatkan
demi pengembangan diri. Tidak ada yang merasa lebih baik atau berusaha untuk menjadi
berkuasa. Berikut kutipan ceritanya.
“Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di
pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau
Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami
adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas yang paling
miskin di pulau itu” (halaman 3—4).
“Agaknya selama keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu
terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi
nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan
anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya”
(halaman 11).
“Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali
tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar.
Aku dapat membaca pikirang ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu
sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja!
Jangan bikin malu orang Hokian! Bapak Tionghoa berwajah ramah ini
dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam
kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong” (halaman 26).
Anggota Laskar Pelangi memang berasal dari keluarga miskin. Akan tetapi, di tengah
kemiskinan tersebut mereka memiliki daya juang yang tinggi dan memiliki loyalitas yang
baik dalam hal pendidikan. Daya juang tersebut tidak dapat dilepaskan dari sosok Lintang.
Sosok pribadi seperti Lintang itulah yang menggambarkan sosok pribadi yang penuh dengan
daya juang tinggi, penuh semangat, dan pantang menyerah untuk mewujudkan cita-citanya.
Jarak tempuh puluhan kilometer ia lalui tiap hari dengan setia dan tanpa mengeluh
sedikitpun. Tak sekalipun ia membolos. Sepeda Onthel warisan keluarga adalah alat
transportasi darat sekaligus sungai, karena jalanan kerap berubah menjadi sungai jika hujan
telah turun. Tak jarang jalanan menjadi tempat berjemur bagi buaya. Tantangan itu tidak
menyurutkan langkah Lintang untuk berangkat ke sekolah. Sepeda onthel yang telah tua,
rantai yang terkadang putus dan tidak bisa disambung lagi, ban bocor, itu semua belum cukup
untuk mencegah langkah Lintang berangkat ke sekolah. Rumah Lintang paling jauh dari pada
9 temannya yang lain. Meski demikian dialah siswa yang paling rajin di sekolah itu.
Semakin besar tantangan yang ada, semakin besar pula semangat Lintang untuk
belajar. Siapa tahu ini adalah saat terakhir untuk belajar. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh
Lintang. Jangan pernah menunda untuk belajar, karena bisa jadi kita tak sempat lagi
mengetahuinya. Berikut ini nukilan ceritanya.
“Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi
sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh
dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan
terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam memuai
ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga
berbulan-bulan semua orang tak mempunyai uang sepeserpun, pada
musim buaya berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin ganas,
pada musim angin barat puting beliung, pada musim demam, pada
musim sampar—sehari pun Lintang tak pernah bolos” (halaman 94).
Nukilan tersebut menggambarkan bahwa Lintang adalah pribadi yang gigih dalam
mencari ilmu. Segala upaya ia tempuh untuk bisa sampai di sekolahnya tercinta, SD-SMP
Muhammadiyah.
Belajar dari SD-SMP Muhamamdiyah, tempat Lintang, Ikal dan kawan-kawannya
belajar, di sana setiap anak dikembangkan sesuai dengan bakatnya. Memang ini adalah
bagian tersulit dalam pendidikan, yaitu membantu menemukan identitas diri peserta didik.
Misalnya Lintang. Ia langsung dikenal sebagai anak yang super jenius karena mampu
menjawab seluruh pertanyaan matematis dengan cepat tanpa menggunakan alat bantu.
Namun, bakat-bakat yang lain akan sulit ditemukan. Misalnya saja, ada anak yang memiliki
bakat luar biasa dalam musik, tetapi jika ia tidak pernah menyentuh alat musik, ia tidak akan
pernah diketahui sebagai pemusik handal. Berikut ini cuplikan ceritanya.
“Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena
nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi
ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi
tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan teorema
phytagorean. Semua materi ini melampaui tingkat usia dan
pendidikannya” (halaman 101—102).
“Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk
Mahar secara acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah
momen nasib yang sedang bertindak selaku pemadu bakat. Siang ini,
komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang
bereskalasi” (halaman 138).
Pendidikan harus membantu setiap pribadi untuk mengembangkan dirinya. Lintang
dan Mahar dalam novel ini adalah gambaran yang sempurna untuk mendefinisikan
kecerdasan. Keduanya sama-sama cerdas dalam bidangnya masing-masing. Lintang tidak
mungkin diubah atau sekedar diarahkan untuk menjadi seperti Mahar, Demikian pula
sebaliknya. Keduanya bisa disatukan dan akan menghasilkan karya yang luar biasa. Maka
tugas guru bukanlah sekedar tukang transfer ilmu. Ia mesti juga menjadi seorang pemandu
bakat, yang membantu seseorang menemukan jati dirinya.
Apabila dilihat dari sampulnya, novel “Laskar Pelangi” ini memiliki arti bahwa warna
hitam pada sampul menggambarkan kesedihan melihat kehidupan rakyat Belitong yang serba
kekurangan di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Rakyat Belitong ibarat budak
yang bekerja di tempat kelahirannya sendiri dan orang Gedong ibarat majikan yang tidak
peduli dengan kesejahteraan pekerjanya. Sedangkan warna pelangi pada sampul tersebut
menggambarkan keberagaman suku/ras, bakat/minat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam
novel “Laskar Pelangi”. Warna-warni pelangi tersebut menggambarkan bahwa keberagaman
itu indah layaknya pelangi yang beragam warna dan tetap indah dipandang mata. Dengan
keberagaman kita bisa saling melengkapi satu sama lain tanpa adanya rasa paling pintar atau
paling berkuasa. Sementara itu, gambar orang yang terdapat dalam sampul tersebut
mengambarkan anggota Laskar Pelangi itu sendiri, yakni Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A
Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun.
Isi dalam cerpen ini patut dijadikan sebagai renungan agar kita senantiasa tidak
mudah berputus asa dalam meraih suatu impian. Karena dimana ada kemauan pasti akan ada
jalan untuk mewujudkan mimpi itu. Sesulit apapun jalan yang akan dilalui harus senantiasa
berusaha dan berdoa.
Demikianlah potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi”.
Pendidikan yang ada terlihat sangat sulit dikembangkan dan memerlukan kerja keras untuk
bisa mengembangkannya di tengah-tengah kemelut kemiskinan yang senantiasa menjadi
bayang-bayang suram.

Sumber
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soal Latihan
Bacalah esai kritik novel Laskar Pelangi kemudian kerjakan soal-soal berikut!
1. Tentukan struktur teks esai kritik novel Laskar Pelangi dengan menuliskan paragrafnya!
(skor 20)
Jawab :
Pendahuluan :
Pendidikan telah menjadi hal yang penting untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Pendidikan tersebut bisa diperoleh di pendidikan formal maupun informal. Ironisnya, kualitas
pendidikan di Indonesia belum begitu memuaskan. Beberapa hal seperti kurikulum masih
sering mengalami perubahan, tentunya menuju perubahan yang lebih baik. Kendati demikian,
pendidikan di Indonesia masih saja menemukan kekurangan. Kekurangan tersebut terlihat
dari biaya pendidikan yang sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal
ini membuat generasi muda yang seharusnya memperoleh pendidikan yang baik tetapi justru
terlantar.
Berbicara soal pendidikan, maka perlu dipahami terlebih dahulu arti pendidikan.
Dalam KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Di dalam pendidikan tentunya terdapat nilai,
baik nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan agama, maupun nilai pendidikan moral. Tulisan
ini akan membahas potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi” yang di
dalamnya tentu terdapat beberapa nilai pendidikan yang bisa dijadikan sebagai perenungan
dan teladan.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa nilai adalah sesuatu berharga yang terkandung
dalam sesuatu hal yang bisa digunakan sebagai patokan normatif yang mempengaruhi
manusia dalam menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kupperman dalam
Mulyana (2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia
dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan
pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Oleh karena itu,
salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai adalah pelibatan nilai-nilai
normatif yang berlaku di masyarakat.

Isi :
‘Laskar Pelangi’ merupakan sebuah novel yang banyak memuat nilai pendidikan. Nilai
pendidikan tersebut mampu memotret pendidikan di tengah kemiskinan rakyat Belitong.
Belitong adalah daerah yang kaya tetapi kekayaannya telah dirampas oleh tangan-tangan tak
bertanggung jawab. Hal ini membuat kehidupan rakyatnya harus bergelut dalam kemiskinan.
Sehingga pendidikan di daerah ini menjadi terbengkelai dan berbenturan dengan masalah
ekonomi. Masyarakat Belitong enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini karena
mereka memang tidak memiliki biaya dan lebih suka anaknya bekerja guna membantu
mencukupi kebutuhan keluarga. Lalu, apakah pantas anak di bawah umur dipaksa untuk
bekerja? Jawabannya tentu tidak.
Melihat situasi dan kondisi seperti itu, datanglah sosok guru teladan yaitu Pak Harfan
dan Bu Muslimah. Mereka berdua berjuang untuk mempertahankan pendidikan yang ada di
Belitong. Dengan sepenuh hati tanpa pamrih, mereka menyumbangkan ilmu kepada murid-
muridnya.
Murid-murid tersebut adalah sepuluh anak yang oleh gurunya diberi julukan Laskar
Pelangi. Mereka sama-sama berasal dari keluarga miskin, tetapi mereka berasal dari
kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Ada anak buruh pabrik, ada anak nelayan, ada
anak Tionghoa kebun, ada yang sangat pandai di bidang ilmu matematika, ada yang sangat
pandai di bidang ilmu seni, ada yang hanya bisa tersenyum sepanjang hari. Semuanya
menjadi satu kelompok dalam Laskar Pelangi. Mereka saling mendukung, saling menguatkan
demi pengembangan diri. Tidak ada yang merasa lebih baik atau berusaha untuk menjadi
berkuasa. Berikut kutipan ceritanya.
“Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di
pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau
Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami
adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas yang paling
miskin di pulau itu” (halaman 3—4).
“Agaknya selama keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu
terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi
nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan
anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya”
(halaman 11).
“Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali
tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar.
Aku dapat membaca pikirang ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu
sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja!
Jangan bikin malu orang Hokian! Bapak Tionghoa berwajah ramah ini
dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam
kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong” (halaman 26).
Anggota Laskar Pelangi memang berasal dari keluarga miskin. Akan tetapi, di tengah
kemiskinan tersebut mereka memiliki daya juang yang tinggi dan memiliki loyalitas yang
baik dalam hal pendidikan. Daya juang tersebut tidak dapat dilepaskan dari sosok Lintang.
Sosok pribadi seperti Lintang itulah yang menggambarkan sosok pribadi yang penuh dengan
daya juang tinggi, penuh semangat, dan pantang menyerah untuk mewujudkan cita-citanya.
Jarak tempuh puluhan kilometer ia lalui tiap hari dengan setia dan tanpa mengeluh
sedikitpun. Tak sekalipun ia membolos. Sepeda Onthel warisan keluarga adalah alat
transportasi darat sekaligus sungai, karena jalanan kerap berubah menjadi sungai jika hujan
telah turun. Tak jarang jalanan menjadi tempat berjemur bagi buaya. Tantangan itu tidak
menyurutkan langkah Lintang untuk berangkat ke sekolah. Sepeda onthel yang telah tua,
rantai yang terkadang putus dan tidak bisa disambung lagi, ban bocor, itu semua belum cukup
untuk mencegah langkah Lintang berangkat ke sekolah. Rumah Lintang paling jauh dari pada
9 temannya yang lain. Meski demikian dialah siswa yang paling rajin di sekolah itu.
Semakin besar tantangan yang ada, semakin besar pula semangat Lintang untuk
belajar. Siapa tahu ini adalah saat terakhir untuk belajar. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh
Lintang. Jangan pernah menunda untuk belajar, karena bisa jadi kita tak sempat lagi
mengetahuinya. Berikut ini nukilan ceritanya.
“Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi
sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh
dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan
terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam memuai
ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga
berbulan-bulan semua orang tak mempunyai uang sepeserpun, pada
musim buaya berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin ganas,
pada musim angin barat puting beliung, pada musim demam, pada
musim sampar—sehari pun Lintang tak pernah bolos” (halaman 94).
Nukilan tersebut menggambarkan bahwa Lintang adalah pribadi yang gigih dalam
mencari ilmu. Segala upaya ia tempuh untuk bisa sampai di sekolahnya tercinta, SD-SMP
Muhammadiyah.
Belajar dari SD-SMP Muhamamdiyah, tempat Lintang, Ikal dan kawan-kawannya
belajar, di sana setiap anak dikembangkan sesuai dengan bakatnya. Memang ini adalah
bagian tersulit dalam pendidikan, yaitu membantu menemukan identitas diri peserta didik.
Misalnya Lintang. Ia langsung dikenal sebagai anak yang super jenius karena mampu
menjawab seluruh pertanyaan matematis dengan cepat tanpa menggunakan alat bantu.
Namun, bakat-bakat yang lain akan sulit ditemukan. Misalnya saja, ada anak yang memiliki
bakat luar biasa dalam musik, tetapi jika ia tidak pernah menyentuh alat musik, ia tidak akan
pernah diketahui sebagai pemusik handal. Berikut ini cuplikan ceritanya.
“Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena
nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi
ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi
tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan teorema
phytagorean. Semua materi ini melampaui tingkat usia dan
pendidikannya” (halaman 101—102).
“Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk
Mahar secara acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah
momen nasib yang sedang bertindak selaku pemadu bakat. Siang ini,
komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang
bereskalasi” (halaman 138).
Pendidikan harus membantu setiap pribadi untuk mengembangkan dirinya. Lintang
dan Mahar dalam novel ini adalah gambaran yang sempurna untuk mendefinisikan
kecerdasan. Keduanya sama-sama cerdas dalam bidangnya masing-masing. Lintang tidak
mungkin diubah atau sekedar diarahkan untuk menjadi seperti Mahar, Demikian pula
sebaliknya. Keduanya bisa disatukan dan akan menghasilkan karya yang luar biasa. Maka
tugas guru bukanlah sekedar tukang transfer ilmu. Ia mesti juga menjadi seorang pemandu
bakat, yang membantu seseorang menemukan jati dirinya.
Apabila dilihat dari sampulnya, novel “Laskar Pelangi” ini memiliki arti bahwa warna
hitam pada sampul menggambarkan kesedihan melihat kehidupan rakyat Belitong yang serba
kekurangan di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Rakyat Belitong ibarat budak
yang bekerja di tempat kelahirannya sendiri dan orang Gedong ibarat majikan yang tidak
peduli dengan kesejahteraan pekerjanya. Sedangkan warna pelangi pada sampul tersebut
menggambarkan keberagaman suku/ras, bakat/minat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam
novel “Laskar Pelangi”. Warna-warni pelangi tersebut menggambarkan bahwa keberagaman
itu indah layaknya pelangi yang beragam warna dan tetap indah dipandang mata. Dengan
keberagaman kita bisa saling melengkapi satu sama lain tanpa adanya rasa paling pintar atau
paling berkuasa. Sementara itu, gambar orang yang terdapat dalam sampul tersebut
mengambarkan anggota Laskar Pelangi itu sendiri, yakni Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A
Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun.
Isi dalam cerpen ini patut dijadikan sebagai renungan agar kita senantiasa tidak mudah
berputus asa dalam meraih suatu impian. Karena dimana ada kemauan pasti akan ada jalan
untuk mewujudkan mimpi itu. Sesulit apapun jalan yang akan dilalui harus senantiasa
berusaha dan berdoa.

Penutup :
Demikianlah potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi”.
Pendidikan yang ada terlihat sangat sulit dikembangkan dan memerlukan kerja keras untuk
bisa mengembangkannya di tengah-tengah kemelut kemiskinan yang senantiasa menjadi
bayang-bayang suram.

2. Tentukan unsur pemikiran penulis yang terdapat pada esai kritik di atas! (skor 20)
Jawab :
Apabila dilihat dari sampulnya, novel “Laskar Pelangi” ini memiliki arti bahwa
warna hitam pada sampul menggambarkan kesedihan melihat kehidupan rakyat
Belitong yang serba kekurangan di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah.
Rakyat Belitong ibarat budak yang bekerja di tempat kelahirannya sendiri dan orang
Gedong ibarat majikan yang tidak peduli dengan kesejahteraan pekerjanya.
Sedangkan warna pelangi pada sampul tersebut menggambarkan keberagaman
suku/ras, bakat/minat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam novel “Laskar Pelangi”.
Warna-warni pelangi tersebut menggambarkan bahwa keberagaman itu indah
layaknya pelangi yang beragam warna dan tetap indah dipandang mata. Dengan
keberagaman kita bisa saling melengkapi satu sama lain tanpa adanya rasa paling
pintar atau paling berkuasa. Sementara itu, gambar orang yang terdapat dalam
sampul tersebut mengambarkan anggota Laskar Pelangi itu sendiri, yakni Ikal,
Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun.
Isi dalam cerpen ini patut dijadikan sebagai renungan agar kita senantiasa
tidak mudah berputus asa dalam meraih suatu impian. Karena dimana ada kemauan
pasti akan ada jalan untuk mewujudkan mimpi itu. Sesulit apapun jalan yang akan
dilalui harus senantiasa berusaha dan berdoa.

3. Tuliskan lima kalimat yang mengandung verba aktif dari paragraf berikut! (skor 20)
‘Laskar Pelangi’ merupakan sebuah novel yang banyak memuat nilai pendidikan. Nilai
pendidikan tersebut mampu memotret pendidikan di tengah kemiskinan rakyat Belitong.
Belitong adalah daerah yang kaya tetapi kekayaannya telah dirampas oleh tangan-tangan
tak bertanggung jawab. Hal ini membuat kehidupan rakyatnya harus bergelut dalam
kemiskinan. Sehingga pendidikan di daerah ini menjadi terbengkelai dan berbenturan
dengan masalah ekonomi. Masyarakat Belitong enggan menyekolahkan anak-anak
mereka. Hal ini karena mereka memang tidak memiliki biaya dan lebih suka anaknya
bekerja guna membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Lalu, apakah pantas anak di
bawah umur dipaksa untuk bekerja? Jawabannya tentu tidak.
Jawab :
Hal ini karena mereka memang tidak memiliki biaya dan lebih suka
anaknya bekerja guna membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
Hal ini membuat kehidupan rakyatnya harus bergelut dalam kemiskinan.
‘Laskar Pelangi’ merupakan sebuah novel yang banyak memuat nilai
pendidikan.
Nilai pendidikan tersebut mampu memotret pendidikan di tengah
kemiskinan rakyat Belitong.
Masyarakat Belitong enggan menyekolahkan anak-anak mereka.

4. Carilah tiga kosa kata serapan asing yang terdapat dalam paragraf berikut! (skor 20)
Anggota Laskar Pelangi memang berasal dari keluarga miskin. Akan tetapi, di tengah
kemiskinan tersebut mereka memiliki daya juang yang tinggi dan memiliki loyalitas yang
baik dalam hal pendidikan. Daya juang tersebut tidak dapat dilepaskan dari sosok
Lintang. Sosok pribadi seperti Lintang itulah yang menggambarkan sosok pribadi yang
penuh dengan daya juang tinggi, penuh semangat, dan pantang menyerah untuk
mewujudkan cita-citanya. Jarak tempuh puluhan kilometer ia lalui tiap hari dengan setia
dan tanpa mengeluh sedikitpun. Tak sekalipun ia membolos. Sepeda Onthel warisan
keluarga adalah alat transportasi darat sekaligus sungai, karena jalanan kerap berubah
menjadi sungai jika hujan telah turun. Tak jarang jalanan menjadi tempat berjemur bagi
buaya. Tantangan itu tidak menyurutkan langkah Lintang untuk berangkat ke sekolah.
Sepeda onthel yang telah tua, rantai yang terkadang putus dan tidak bisa disambung lagi,
ban bocor, itu semua belum cukup untuk mencegah langkah Lintang berangkat ke
sekolah. Rumah Lintang paling jauh dari pada 9 temannya yang lain. Meski demikian
dialah siswa yang paling rajin di sekolah itu.
Jawab :
Transportasi
Loyalitas
Kilometer

5. Tuliskan paragraf simpulan dalam esai kritik novel Laskar Pelangi? (skor 20)
Jawab :
Demikianlah potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi”.
Pendidikan yang ada terlihat sangat sulit dikembangkan dan memerlukan kerja
keras untuk bisa mengembangkannya di tengah-tengah kemelut kemiskinan
yang senantiasa menjadi bayang-bayang suram.

Anda mungkin juga menyukai