Anda di halaman 1dari 3

Si Lancang dan Malin Kundang:

Intertekstual Cerita Anak Durhaka Riau dan Minangkabau


Oleh:
Fitriandi
(Amggota KKLP Literasi BBPR)

Cerita rakyat adalah salah satu bagian dari folklore. Pada umumnya, cerita rakyat hanya
berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun., misalnya seorang ibu
menuturkan cerita kepada anaknya, kemudian anak tersebut menceritakan kembali kepada
generasi berikutnya. Indonesia- yang terdiri dari berbagai suku bangsa – sangat kaya dengan
cerita rakyat, baik mite, legenda, mau pun dongeng. Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-
tengah masyarakat pendukungnya masing-masing. Dilihat dari khazanah cerita rakyat yang
tersebar tiap-tiap daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita rakyat
daerah yang satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak pada versi dan warna lokal
daerah masing-masing.
Cerita rakyat Riau dan cerita rakyat Minangkabau juga terdapat beberapa bentuk cerita
yang sama, misalnya cerita tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Kalau di masyarakat
Minangkabau terkenal dengan cerita Malin Kundang, pada masyarakat Riau dikenal cerita Si
Lancang. Jika kita lihat dari segi bentuk, struktur cerita, dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, kedua cerita tersebut banyak terdapat persamaan. Selain itu, persepsi masyarakat
setempat terhadap kedua cerita tersebut banyak terdapat persamaan. Mereka menganggap
cerita tersebut benar-benar pernah terjadi dan meninggalkan bekas.
Cerita Malin Kundang diyakini oleh masyarakat Minangkabau pernah terjadi pada
masa silam dan kapal yang diceritakan di dalam cerita tersebut berubah menjadi batu terdapat
di Pantai Air Manis, Teluk Bayur di Kota Padang. Begitu juga pada masyarakat Riau. Mereka
menganggap cerita Si Lancang sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya danau yang bernama Danau Lancang di Kampar. Konon cerita, di
danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal
si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di
Sungai Kampar Perbedaan antara kedua cerita ini mungkin hanyalah dari segi keterkenalannya.
Cerita Malin Kundang sudah dikenal di seluruh nusantara, sedangkan cerita Si Lancang lebih
banyak dikenal di lingkungan masyarakat Riau.
Cerita Malin Kundang dan Si Lancang juga mempunyai tema yang sama, yaitu tentang
seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Tema ini termasuk ke dalam tema kemanusiaan.
Cerita ini juga mengandung pesan agar kita tidak meniru hal yang dilakukan oleh Malin
Kundang dan si Lancang. Di Minangkabau, tema dan pesan ini mengena sekali terhadap
masyarakatnya. Untuk mengajari agar anaknya tidak melawan kepada orang tua maka mereka
mengambil cerita Malin Kundang sebagai contoh akibat dari perbuatan melawan kepada orang
tua.Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan jasa orang tua terutama ibu yang telah
mengandung dan membesarkan. Durhakan kepada orang tua merupakan dosa besar yang
nantinya akan ditanggung oleh sang anak. Hal yang menimpa Malin Kundang dan si Lancang
merupakan balasan karena dia durhaka kepada ibunya.
Alur dari kedua cerita ini dimulai dengan hidupnya seorang anak dengan ibunya yang
miskin. Kemudian, si anak pergi merantau untuk mengubah nasib. Akhirnya, si anak menjadi
kaya dan mendapatkan istri yang cantik dari anak orang kaya. Ibunya yang ingin berjumpa
dengan si anak yang telah berhasil mendapatkan perlakuan kejam dari anaknya. Dia tidak
diakui sebagai ibu oleh anaknya karena miskin. Si anak juga malu dengan istri yang cantik dan
kaya. Akhirnya, karena kecewa si ibu mendoakan anaknya agar menjadi batu. Jadilah anaknya
menjadi batu.
Si anak dan si ibu adalah tokoh utama di dalam cerita Malin Kundang dan Si Lancang.
Tokoh bawahan dalam masing-masing cerita adalah si istri. Si anak (Lancang dan Malin)
adalah tokoh yang berwatak buruk. Pada awalnya, mereka adalah orang baik. Namun, mereka
durhaka kepada ibunya setelah mereka menjadi orang kaya dan mempunyai istri cantik. Sang
ibu adalah tokoh yang baik. Ia wanita yang perhatian dan penuh kasih sayang kepada anaknya.
Dia datang untuk menjemput anaknya ke kapal karena ingin bertemu dengan anaknya yang
sudah lama merantau. Akan tetapi, dia diusir oleh anaknya karena anaknya malu pada istrinya.
Si istri jadi tokoh penengah antara si anak dengan si ibu. Dia tidak mengetahui asal usul
suaminya sehingga dia tidak mengenal mertuanya. Dia juga tidak dapat membela si ibu karena
patuh terhadap suami.
Cerita yang mempunyai nilai-nilai pendidikan ini penuh dengan latar sosial, hal tersebut
terlihat dari cara melakukan perantauan untuk mengubah nasib yang dilakukan si Lancang dan
Malin Kundang. Hal ini masih menjadi ciri sosial masyarakat Riau dan Minangkabau. Sang
ibu yang datang melihat dan menjemput anaknya dapat dikatakan sebagai latar kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya. Terkabulnya doa ibu untuk mengutuk anaknya menjadi batu
adalah lambang keperkasaan Tuhan. Latar kapal dan pelabuhan yang mengiringi tokoh si
Lancang dan Malin sama-sama memperjelas cerita ini.
Selain cerita si Lancang dari Kampar, juga ada cerita anak durhaka lain di Riau seperti
Batang Tuaka dari Indragiri Hulu, Dedap Durhaka dari Kepulauan Meranti, Rawang Tekuluk
dari Kuantan Singingi, Umbut Muda dari Siak dan Sialang dari Rokan Hilir. Pada dasarnya
alur dan mitos cerita hampir sama dengan beberapa perbedaan.
Dalam Legenda Batang Tuaka, si anak durhaka (Tuaka) berubah menjadi burung elang
dan istrinya menjadi burung punai. Batang Tuaka konon berasal dari air mata Tuaka yang
menyesali kedurhakaannya. Dalam cerita Dedap Durhaka dan Sialang, kapal yang dikutuk
menjadi pulau yang berbentuk kapal dan diberi nama pulau Dedap Durhaka dan Pulau Sialang.
Rawang Tekuluk yang berbeda akhir cerita karena sang tokoh tenggelam di sungai dengan
selendang (tekuluk) yang masih di badannya serta tiada adanya kutukan sang ibu kepadanya.
Cerita Umbut Muda dan Rawa Tekuluk mempunyai akhir yang sama.
Di samping cerita tentang anak durhaka ini,mungkin masih banyak lagi cerita rakyat di
Riau dan cerita rakyat Minangkabau yang mempunyai bentuk yang sama. Hal tersebut terjadi
karena terdapatnya persamaan hubungan budaya dan agama antara masyarakat Riau dan
Minangkabau.

Anda mungkin juga menyukai