Anda di halaman 1dari 2

ANTARA PILANG DAN MALINKUNDANG

Oleh: Drs. Suhardi, M.Pd


(Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UMRAH)

Kabupaten Lingga ternyata memiliki kekayaan seni sastra yang cukup tinggi. Salah satunya
adalah legenda. Salah satu legenda yang cukup menarik untuk diamati dan dianalisis adalah “Legenda
‘Pulau Pilang’”. Pulau Pilang sebetulnya hanyalah sebuah pulau kecil akan tetapi memiliki nilai
historitical sastra yang cukup tinggi. Nilai tersebut akan semakin terasa bila dikompilasikan dan
dilakukan studi komparatif dengan sebuah legenda dari Ranah Minang (Sumatera Barat), yaitu “Malin
Kundang”.
Apakah mungkin, dua daerah yang berbeda memiliki kesamaan legenda? Apakah mungkin Pilang
adalah Malinkundang, Malinkundang adalah Pilang? Mungkinkah cerita ini disebarkan dan
dikembangkan oleh orang yang sama dulunya? Manakah yang lebih dahulu lahir, Pilang atau
Malinkundang? Untuk menjawabnya dibutuhkan analisis instrinsik kedua legenda tersebut secara
cermat. Analisis intrinsik yang dimaksud seperti, tema cerita, amanat, alur, latar, tokoh, dan watak
tokoh yang terdapat pada kedua cerita dimaksud.
Tema
Tema yang terkandung pada cerita ‘Pilang’ adalah tentang seorang anak lelaki Melayu yang
durhaka terhadap orang tuanya (ibu). Karena merasa malu beribukan ibu tua yang sudah reot, kumuh,
dan miskin tega tidak mengakui ibu kandung sendiri di depan istri cantik yang berlatarbelakang kaya.
Tega menghardik ibu kandung sendiri dan mengusir tanpa sedikitpun merasa hiba walaupun sang ibu
telah menyembah-nyembah bahwa ia (Pilang) memang anaknya.
Tema yang terkandung pada cerita ‘Malinkundang’ juga sama dengan Pilang, yaitu tentang
seorang anak lelaki Minang yang durhaka terhadap orang tuanya (ibu). Karena merasa malu beribukan
ibu tua yang sudah reot, kumuh, dan miskin tega tidak mengakui ibu kandung sendiri di depan istri
cantik anak seorang saudagar kaya dari tanah seberang. Kemungkinan yang dimaksud seberang di sini
adalah Jakarta. Malin tega menghardik dan tidak mengakui bahwa perempuan tua yang sedang
dihadapannya adalah ibu kandungnya sendiri. Walaupun sang perempuan tua itu telah telah
menyembah-nyembah dan meyakinkan bahwa benar Malin adalah anak lelakinya yang dulu pergi
merantau kini telah kembali. Cerita Pilang dan Malinkundang sama-sama diakhiri sang tokoh (Pilang
dan Malinkundang) dikutuk menjadi batu. Kedua tokoh sama-sama terkena laknat dan harus
menanggung akibat perbuatannya.
Amanat
Amanat yang terkandung pada cerita Pilang dan Malinkundang memiliki kesamaan, yaitu (1)
jangan durhaka terhadap orang tua (ibu atau bapak); (2) jangan lupa diri, sombong, dan angkuh; (3)
anak harus mengabdi kepada orang tua, jika memiliki reski yang lebih wajib membantu orang tua; (4)
ingat dan sadarlah kegagahan yang dimiliki hari ini adalah berkat ketulusan hati orang tua; dan (5)
dekatkanlah diri selalu kepada Allah, agar tidak lupa diri dan sombong. Sesungguhnya Allah tidak suka
kepada orang yang memiliki sikap sombong.
Alur Cerita
Cerita Pilang menggunakan alur maju. Maksudnya, cerita bergerak dari awal hingga akhir. Cerita
dimulai dari kehidupan Pilang bersama ibunya semasa kecil. Setelah dewasa, Pilang memohon izin
ibunya untuk merantau guna memperbaiki kehidupan ekonomi dan membantu orang tuanya. Di rantau
Pilang berhasil menjadi saudagar kaya dan mempersunting gadis cantik. Di waktu berlayar kapal
pilang terdampar ke tanah kelahirannya sendiri. Ibu Pilang mendapat informasi bahwa anaknya yang
bernama Pilang kini telah menjadi orang yang kaya raya, kini kapalnya sedang berlabuh di pelabuhan.
Pilang tidak menerima kehadiran sang ibu, ia malu memiliki ibu miskin dan lusuh. Pilang murka
kepada ibunya. Ibunya kecewa dan sedih. Pilang dikutuk menjadi batu.
Model alur yang sama juga terjadi pada cerita Malinkundang. Malin masa kecilnya hidup dengan
ibunya di sebuah gubuk tua di tepi pantai Air Manis Padang. Setelah dewasa Malin minta izin untuk
pergi merantau guna mengubah nasib. Di rantau Malin berhasil menjadi seorang saudagar kaya. Malin
juga berhasil mempersunting seorang gaids cantik. Saat berniaga kapal Malin terdampar di Pantai Air
Manis tempat tanah kelahirannya. Ibu Malin mendapat berita dari tetangganya bahwa Malin telah
dating dengan kapalnya dan didampingi sang istri cantik. Sang ibu sangat berharap Malin menerima
kedatangannya. Malin menolak dan tidak mengakui nenek tua itu adalah ibunya. Sang ibu putus asa.
Saat kapal Malin mau meninggalkan pelabuhan Pantai Air Manis, kapalnya diterjang badai dan
terdampar ke tempat semula. Ibu Malin sedih sekali karena anaknya telah melupakannya. Ibu Malin
mengutuk dan memohon kepada Tuhan agar kapal anaknya itu menjadi batu. Tak lama kemudian,
kapal Malin tersebut berubah menjadi batu.
Latar Cerita
Cerita Pilang dan Malinkundang sama-sama menggunakan latar pantai, gubuk tua, kehidupan
masyarakat pantai. Bedanya, Pilang latarnya adalah kabupaten Lingga, sementara Malinkundang
latarnya adalah Pantai Air Manis Padang.
Tokoh Utama
Tokoh utama kedua cerita sama-sama ibu dengan satu orang anaknya. Pilang dengan ibunya dan
Malinkundang dengan ibunya.
Watak Tokoh
Watak tokoh yang dimiliki kedua cerita juga memiliki kesamaan. Ibu pilang memiliki watak suka
mengutuk sementara ibu Malinkundang juga demikian. Kutukannya juga sama, yaitu menjadi batu.
Tokoh Pilang juga memiliki watak seorang yang lupa diri, sombong, dan jauh dari nilai-nilai agama. Ia
tega tidak mengakui orang tuanya sendiri. Watak tokoh yang sama juga dimiliki Malinkundang.
Berdasarkan kesamaan yang dimiliki kedua cerita, tidaklah mungkin Pilang adalah
Malinkundang, begitu juga sebaliknya. Pilang lebih berbau masyarakat Melayu Kepulauan Riau
sementara Malinkundang lebih berbau Padang.Tidak ada sumber yang ditemukan menyatakan
pengembang kedua cerita tersebut sama. Tidak ada juga data-data yang memperkuat mana yang lebih
dahulu kedua cerita tersebut lahir. Hal ini mungkin disebabkan kedua cerita tersebut bersifat anonim.
Namun yang jelas kedua cerita tersebut telah menjadi sebuah mitos dalam masyarakat penganutnya.
Dipercaya hingga sekarang.***

Anda mungkin juga menyukai