Anda di halaman 1dari 160

SATU

Pagi hari, Senin pertama bulan Juli 1977.

Langit biru muda memayungi Kebayoran Baru, Jakarta


Selatan. Matahari mencorong di Timur. Ali Topan, Bobby,
Dudung dan Gevaert menaiki motor masing-masing, ngebut di
jalanan seputar Blok M.

Blok M adalah suatu blok perumahan dan pertokoan seluas kurang-lebih tiga
kilometer persegi. Sebelah utaranya dibatasi lapangan Markas BesarAngkatan
Kepolisian atau Mabak, sebelah timur dibatasi Jalan Iskandarsyah Raya, sebelah
selatan dibatasi Jalan Melawai Raya, dan sebelah baratnya dibatasi Jalan Si
Singamangaraja. Kebayoran Baru terdiri dari beberapa blok, dari A sampai S.

Penduduknya umumnya pekerja dan pedagang kelas menengah dari luar Jakarta,
yang berjumlah sekitar 400.000 orang.Empat sekawan itu adalah murid-murid
kelas III Pal - Pengatahuan Alam - satu SMA Bulungan I "Bulungan" yang terletak
di ujung timur Jalan Mahakam, Blok C Kebayoran Baru, yang berbatasan dengan
Jalan Si Singamangaraja.

Mereka tertawa gembira, berdansa di jalanan, itu istilah untuk sport jantung
menyelip-nyelipkan motor di sela-sela kendaraan yang melalu-lintas. Wajah-wajah
tampan yang cerah, rambut-rambut yang gondrong melambai kena angin, dan
bercanda sepanjang jalan merupakan manifestasi sikap bebas aktif anak-anak
muda itu. Oleh kaum tua yang sedikit pikun, mereka dinamakan berandalan atau
krosboi, tapi mereka tak peduli.

Mereka ada di jalan Panglima Polim Raya. Lampu perempatan Jalan Pangporay -
Panglima Polim Raya dan Jalan Melawai Raya menyala kuning. Kemudian merah.

Kendaraan umum berhenti. Tapi Ali Topan dan kawan-kawannya langsung saja
tancap gas membelok ke arah kiri, memotong kendaraan yang bergerak dari arah
Blok M, langsung melaju ke Jalan Bulungan."He, bajingan!" seorang pengendara
Toyota Corolla tahun 1973 warna kuning memaki Ali Topan yang hampir
ditubruknya. Tapi Ali Topan tak menggubris cacian itu. Demikian pula kawan-
kawannya.

Mereka terlalu sering mendengar caci maki orang, jadi sudah kebal. Ali Topan Cs
tetap ngebut, membelok ke kanan di perempatan Jalan Bulungan-Jalan Mahakam,
dan terus menggeblas lewat SMA Bulungan I yang tegak di ujung Jalan Mahakam.

Beberapa teman yang ada di depan sekolah melambaikan tangan. Ali Topan Cs tak
sempat membalas mereka.

Nama SMA Bulungan I yang terletak di Jalan Mahakam itu berasal dari riwayat dua
SMA di Jalan Bulungan yaitu SMA Bulungan Pagi dan SMA Bulungan Sore yang
dipisah menjadi dua karena di lokasi itu dibangun Gelanggang Remaja Jakarta
Selatan oleh Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Jakarta, atas inisiatif Gubernur

1
Ali Sadikin yang beken dipanggil Bang Ali. SMA Bulungan
Pagi menjadi SMA Bulungan I di jalan Mahakam, sedangkan
SMA Bulungan Sore menjadi SMA Bulungan II di Jalan
Bulungan.Gelanggang Bulungan nama pop GRJS diapit oleh
dua SMA bersaudara itu.

Pada hari peresmiannya, seorang murid lelaki yang patah hati


dengan guru perempuan menggambari dinding sekolah itu
dengan lambang hati dan anak panah yang patah dan angka
Bulungan pakai cat merah darah. Sejak saat itu nama sekolah itu beken dengan
sebutan SMA "Patah Ati" atau SMA Bulungan di kalangan remaja Kebayoran. Pada
formasi dua-dua mereka mengebut terus, memotong jalan raya, lurus menuju
kawasan pertokoan Blok M.

Sopir bis kota, helicak, tuan-tuan di mobil mewah maupun rakyat kelas menengah
di atas sadel motor masing-masing memaki kalangkabut, nyaris serempak, ketika
para remaja itu seenak hati memotong jalan mereka.

"Hei! Anjiiiing!"seorang muda yang menyetir Mercedes memaki Ali Topan


Cs."Sama, njiiiing!" Ali Topan balas memaki. la tampak paling tampan, paling
gagah dan paling brandal di kawanan anak-anak muda bersepeda motor trail itu.

Orang muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung
Ali Topan Cs. Muka sopir itu lancip kayak muka tikus. Ali Topan dan Gevaert
kebetulan melihatnya dari kaca spion.

Tanpa kode etik lagi, kedua remaja itu merem motor mereka, dan mengepoti
Mercedes itu.Tak sampai kesenggol moncong Mercedes, Ali Topan dan Gevaert
menancap gas, langsung menggeblas ke depan sambil tertawa keras sekali.

"Kurang ajaaar!" sopir Mercedes itu memaki. Wajahnva merah padam. Wanita
menor berusia 45 tahun yang duduk di belakang menekan dadanya. Kaget. Seorang
gadis remaja berwajah lonjong yang duduk di samping sopir Mercy itu menggigit
bibir sedikit.

Rambut panjangnya yang hitam lebat diberi pita merah muda, menjadikannya
terlihat manis. Ia merasa geli mendengar makian "anjiiing" dan "kurang ajar" yang
terlontar dari mulut tukang setir Mercy-nya.

"Sudah. Jangan digubris, Boy," si nyonya yang duduk di belakang berseru.


Suaranya rada serak, seperti suara orang sakit TBC. la mengusap tas kulit hitam
berukiran nama: Ny. Surya. Wajahnya yang tirus dipoles bedak dan gincu
kemerahan tampak masam.

Sopir mobil yang dipanggil Boy patuh. Matanya melirik ke arah gadis di sebelahnya.
"Anak-anak sekarang ini berandalan semua," gerutunya.

Nyonya Surya yang duduk di belakang bersuara lagi, "Jammu menunjukkan jam
berapa,Anna?"

2
Gadis remaja yang manis itu melihat jam tangannya, lalu
menjawab tanpa menoleh ke belakang, "Jam tujuh kurang
sedikit, Mama.... "

"Kurang sedikit itu berapa?" tanya Nyonya Surya.

Sepasang mata Anna, putri nyonya Surya, melihat sekilas


arloji emas di pergelangan tangan kirinya. "Jam tujuh kurang
tiga menit dan beberapa detik, mama," katanya. "Toko buku di
Blok M buka jam berapa?" tanya si nyonya lagi.

"Biasanya sih jam tujuh persis, Mama," jawabAnna.

"Kalau tak biasa jam berapa?" Boy bertanya, iseng.

Anna tak menjawab. Wajahnya cemberut. Sepasang matanya yang lebar dan
cemerlang seperti pagi menatap lurus ke jalanan di depan. Samar-samar di
kejauhan dilihatnya anak-anak bermotor tadi membelok ke arah Pasar Melawai,
Blok M. Anna mengusap alisnya yang lebat dan indah. Ali Topan, Bobby, Dudung
dan Gevaert masuk ke halaman Pasar Melawai yang menjadi pusat Blok M.

Mereka berhenti dan mematikan mesin motor tepat di dekat tangga utama pusat
pertokoan itu. Lalu naik satu per satu, menghitung anak-anak tangga. Mereka
berdiri seenaknva di tangga itu, memandang terminal biskota Blok M di seberang
jalan.

Para pekerja kantoran yang lewat di halaman beraspal di dekat tangga menengok
ke arah empat remaja berseragam putih-putih itu dengan pandangan sebal. Apalagi
ketika Ali Topan, sosok yang paling jantan dan tampan yang rambut gondrongnya
melambai-lambai tertiup angin itu, menyeringai ke arah mereka.

Ali Topan memang keren. Tingginya 172 cm, dan agak kurus. Kulitnya sawo matang
tua. Wajahnya lonjong dengan rahang kokoh dan tulang pipi yang tak terlampau
menonjol. Hidungnya agak besar dan mancung. Dan, matanya, oh matanya!
Sepasang mata itu lebar, besar, karakteristik, dengan bagian hitamnya yang
mengesankan kebaikan hati, kecerdasan,kejujuran dan keberanian. Alis mata tebal
seperti golok melengkung menjadikan profil wajah itu wajah dengan sentuhan
Jawa yang sangat artistik.

Tiga kawannya cukup keren, tapi tak berkarakter dan tak berkharisma seperti Ali
Topan. Dudung yang berdiri satu level di bawah Ali Topan adalah anak kelahiran
Kuningan, JawaBarat, berwajah tirus dengan kulit berwarna langsat dan sepasang
mata agak sipit. Kepalanya agak besar dan rambutnya ikal keriting.

Bobby dan Gevaert berdiri berdampingan satu level di bawah Dudung. Bobby
berwajah agak bundar, rambutnya lurus, namun tak begitu lebat. Pupil matanya
kecil, suka melirik ke kiri dan ke kanan. Sedang Gevaert berdarah campuran, ayah
Padang dan ibu Jerman. Maka sosoknya sosok indo: badan besar, rambut ikal
kemerahan, tapi matanya hitam dan kulitnya putih kecoklatan. Hobinya fotografi.

3
"Berdiri terus bisa jadi tontonan gratis kita," kata Ali Topan. la
duduk di anak tangga diikuti oleh Dudung dan Gevaert. Bobby
tetap berdiri. la memang selalu ingin berusaha menonjol dari
Ali Topan, Dudung dan Gevaert karena merasa dirinya anak
paling kaya di antara mereka. Tetapi selalu gagal, karena
urusan kepemimpinan menyangkut kharisma, kewibawaan,
dan keunggulan pribadi lainnya. Bukan kekayaan harta benda.

Bobby pun merasai pengaruh wibawa itu, tiap kali ia coba


tentang dan tiap kali pula gagal. Akhirnya ia ikutan duduk di anak tangga seperti
teman-temannya.

"Eh, itu Mercy yang tadi apa bukan, Pan?" tanya Dudung. Tangannya menunjuk ke
arah Mercy yang baru masuk ke pelataran parkir pusat pertokoan Melawai.

Ali Topan memandang ke Mercy itu. "Kalau sopirnya cari gara-gara biar gua embat
aja. Emang udah seminggu tangan gua nggak ngeplak kepala orang," katanya.

la duduk. Tangannya sibuk membuang kulit rambutan yang mengotori tangga itu.

Mercedes diparkir di ujung kanan pusat pertokoan. Anna dan ibunya turun dari
mobil itu, dan mereka langsung berjalan ke arah toko buku yang terletak di bagian
bawah pertokoan, dekat tangga. Anna berjalan berdampingan dengan ibunya.
Keduanya tak memperhatikan situasi sekitar.

Ali Topan Cs duduk seenaknya, pura-pura tak memperhatikan Anna dan ibunya.
Ali Topan mengambil sebatang rokok kretek yang diselipkan di kaus kakinya.

Bobby, Dudung dan Gevaert juga melakukan hal serupa, mengambil rokok dari
kaus kaki masing-masing. Ali Topan mencari-cari korek api di saku baju dan
celana jeans-nya. Tapi korek api tidak ada.

"Ada korek, njing?" ia bertanya pada Bobby

"Nggak, nggak ada, njing," kata Bobby. Lalu Bobby menoleh pada Dudung dan
Gevaert.

"Bujug buset, Ai juga nggak ada korek nih. You bawa korek api, Vaert?" tanya
Dudung pada Gevaert. Gevaert menggelengkan kepalanya dengan gaya keren.

"Wah, kalau ada Magician lewat asik deh. Bisa minta api," kataAli Topan. Dan
kebetulan sekali, seorang gelandangan pemungut puntung rokok lewat di dekat
mereka sambil memunguti puntung rokok. la menjumput sepuntung rokok yang
masih panjang. Diselipkannya puntung itu di bibirnya, lalu ia nyalakan puntung itu
dengan korek api yang diambilnya dari kantung di balik baju lusuhnya.

Ali Topan bergerak ke arah pemungut puntung. Ditepuknya bahu orang itu. "He,
Bung Magician, bagi apinya dong... ," kata Ali Topan. Pemungut puntung itu
menyodorkan rokoknya yang telah menyala. Ali Topan menghidupkan rokoknya.

"Thank you, Magician," kata Ali Topan.


4
"Ooh, you're welcome," jawab pemungut puntung rokok.

Ali Topan terkejut. la menatap "magician" yang kini


tersenyum manis. la bahkan memberikan tabik dengan
tangannya kepada Ali Topan. la tersenyum dan berlalu.

Ali Topan berjalan ke tempatnya semula. Rokok terselip di


bibirnya. Begitu dia hendak duduk kembali, dan Gevaert
menyambar rokok yang terselip di bibir itu dengan maksud minta apinya, mataAli
Topan yang bersinar tajam menangkap gerakan melenggang Anna dan ibunya yang
berjalan melewati tangga. Langsung Ali Topan menggamit sobat-sobatnya.

"Pssst. Ada manusia cantik liwat, macks!" kata Ali Topan.

Bobby, Dudung dan Gevaert yang sejak tadi sudah melihat ibu dan anak itu-tapi
masih tetap diam, menunggu komando boss mendadak jadi beringas dalam
pengertian saling lomba bergaya genit untuk menarik perhatian Anna.

"He, macan, manusia cantik! Mau ke mane kite? Pagi-pagi begini udeh bikin hatiku
bergetar?" kata Gevaert. "Mau belanja duren sama mamih ya? Boleh dong
menengok kemarii sejenak? Aku ingin memandang wajah lu yang cantik. Oooh,"
Bobby menyusul dengan kata-kata godaannya.

"Bujug buset. Dianya budek, boys! Sayang, cakep-cakep budek begitu, bisa rusak
pasaran "Dudung ikut nimbrung. Anna dan Ny Surya mendengar kata-kata mereka,
tapi tidak menggubris. Mereka berjalan terus menuju toko buku. Nah, pada saat
itulah Bobby melempar Anna dengan kulit rambutan. Tidak kena! Gevaert latah,
melempar juga. Tidak kena! Ali Topan dan Dudung bersamaan melempar.

Lemparan Dudung mengenai Nyonya Surya! Lemparan Ali Topan mengenai kepala
Anna!

"Aduh!" Anna memekik. Nyonya Surya juga berbalik dan tangannya bertolak
pinggang.

"Anak-anak kurang ajar kalian!" Nyonya Surya membentak.


Bobby, Dudung dan Gevaert langsung melengos. Ali Topan tidak melengos. Dengan
pandangan matanya yang khas ditatapnya Anna dan Nyonya Surya.Anna cemberut,
Nyonya Surya melotot.

Ali Topan tetap memandang mereka dari ujung kaki sampai kepala, seolah-olah
menaksir, sampai berapa besar kemarahan ibu dan anak itu. Dan aneh, sungguh
aneh, jantung Anna seakan-akan berhenti berdenyut ketika matanya beradu
pandang dengan mata Ali Topan. Lantas cemberut di wajahnya hilang tiba-tiba.

Dan iapun jadi sedikit grogi terkena pandangan mata Ali Topan yang berubah. Pada
detik-detik pertama, mata itu bersinar tajam dan beringas, pada detik-detik
berikutnya sinar mata Ali Topan menjadi sayu dan sangat lembut!

5
Nyonya Surya merasakan keanehan itu. Dengan wajah
semakin marah, diraihnya tangan Anna dan diajaknya
berjalan lagi.

"Kamu kenal dia, Anna?" tanya Nyonya Surya dengan dingin.


"Belum, Ma...," jawabAnna pelahan.

Nyonya Surya melirik sekejap mendengar jawaban yang


dirasakannya tidak wajar itu. Belum, Ma, belum... apa pingin
kenalan? Demikian kata hati Nyonya Surya.

Maka dia pun mempercepat langkahnya untuk mengusir perasaan yang menyelip di
hatinya. Perasaan itu semacam perasaan aneh. Dia melihat sesuatu kelembutan
yang tajam di mata anak muda penggoda tadi. Sinar mata yang sangat magnetis.
Dan ia, sebagai seorang wanita, merasa bahwa anaknya sedikit tergetar oleh
pandangan magnetis itu. la tidak mau Anna bertatapan mata lebih lama lagi dengan
anak kurang ajar itu. Instinknya menyatakan begitu.

Nyonya Surya berjalan cepat, ke arah pintu masuk toko buku yang sedang dibuka
oleh pegawai toko buku itu. Anna melepaskan tangannya dari cekalan ibunya. Dan,
tanpa disadari, Anna menengok sebentar ke arah belakang, memandang Ali Topan.

Ia terkejut ketika pandang matanya langsung disambar oleh sinar mata Ali Topan
yang rupa-rupanya mengawasi terus sejak tadi.

Anna cepat melengos lagi. Ia malu!

Dan ia bertambah malu ketika mendengar anak-anak berandal itu bersuit


menggoda. Fuuit! Fuuuuit! Fuuuit! Anna bergegas menyusul ibunya yang sudah
masuk toko buku. Dan ia tak mendengar suitan menggoda ataupun percakapan di
antara "perusuh-perusuh" itu.Anna tak melihat. bahu Topan ditepuk Bobby.

"He, Pan! Jangan bengong. Bagi apinya!" kata Bobby. Ali Topan tersadar dari
suasana yang terasa agak aneh baginya. "Ah, iya! Kok gua jadi bengong begini?
Gara-gara itu cewek. Manis banget sih! Sayang Nyaknya galak kayak herder," kata
Ali Topan. la memberikan api pada Bobby.

"Manis sih manis, tapi lu liat dong bodigarnya di mobil itu! Sangar banget
tampangnye," Gevaert berkata. Eh, baru selesai Gevaert bicara, kuping para sobat
itu mendengar bunyi klakson Mercedes.

"Tu, ape gue gilang? Dienye keki ngeliat majikannye kite godain. Kalau die anak
ABRI kan kite bise repot?" kata Gevaert lagi.

"Lu liat tuh. Dienye keluar dari mobil. Eh, pake tolak pinggang lagi. Kayak
Bonanza," kata Bobby.

Ali Topan melihat ke arah Oom Boy yang sedang memandang mereka dengan
geram. Ali Topan cuma senyum saja, bahkan dia melambaikan tangan.

"Daag, Oom," teriak Ali Topan.


6
Oom Boy mengacungkan tinjunya.Ali Topan Cs tertawa keras
sekali sambil memegangi perutnya, seolah-olah sedang
menyaksikan pertunjukan yang lucu.

Oom Boy makin geram diperlakukan seperti itu. Dia


mengacung-ngacungkan tinjunya.

"He, sopir! Kayak yang punya mobil aje gaya lu! Ke sini kalau
berani, gua beri kepelan lu !" Gevaert berteriak. Dan langsung mendemonstrasikan
kembangan silat Cimande.

Oom Boy makin gemas melihat tingkah anak-anak itu. Tapi dia tak beranjak dari
tempatnya berdiri. Dia cuma mengepal-ngepalkan tinjunya saja. Perbuatannya itu
semakin membuat geli Ali Topan dan kawan-kawannya. "Gaya sepuluh, nyali nol!"
teriak Bobby.

"U, Bob! Ibu Mary liwat tuh! Dienya nengok ke kite!" tata Gevaert.
Mane? Mane?" tanya Bobby.

"Noh, die. Busyet, kepergok deh kite," kata Dudung.

Siapa sih Ibu Mary itu?

Dia seorang perempuan. Rada cakep. Dan pinter berbahasa Inggris, karena
memang guru bahasa Inggris di SMA Bulungan. Saat itu sebenarnya Ibu guru Mary
tidak melihat ke arah Ali Topan Cs. Dia tipe guru yang sedikit sok. Mungkin karena
pandai berbahasa Inggris, dia sok. Apalagi dia paling suka membangga-banggakan
diri, sudah pernah studi di Australia. Beberapa murid yang sebal memberi julukan
"ibu guru peranakan Kanguru" kepadanya. "Cabut, njing!" kata Ali Topan.

la mendahului teman-temannya berlari menuju pasar tingkat atas. Bobby, Dudung


dan Gevaert mengikuti "boss" mereka. Motor masing-masing ditinggalkan di
tempat.Ali Topan Cs menghilang di ujung tangga.

Ibu Mary lewat. la sebetulnya tak melihat anak-anak itu. Tapi Ali Topan, Bobby,
Dudung dan Gevaert merasa khawatir, sebab Pak Broto Panggabean, Kepala
Sekolah SMA Bulungan telah mengeluarkan peraturan yang keras.

Murid-murid SMA Bulungan dilarang keras menjadi krosboi. Barang siapa


ketahuan menjadi krosboi atau cenderung atau bisa dianggap bersikap laku seperti
krosboi, dijatuhi sanksi yang berat.

Para guru diperintahkan mengawasi murid-murid. Di dalam maupun di luar


sekolah. Kalau ada murid yang nampak begajul sedikit saja, mereka diinstruksikan
mencatat dan melaporkan langsung ke Kepala Sekolah sebagai penanggung jawab
apa yang dinamakan "komando operasi pengendalian dan penertiban murid-murid
sekolah".

Dan banyak sekali guru yang menyambut gagasan itu. Karena ada semacam
peraturan tak tertulis bahwa semakin banyak guru melaporkan murid-murid yang
7
dianggap krosboi, semakin banyak dia mendapatkan pujian
dari Pak Broto Panggabean. Pujian itu sudah cukup
memuaskan rupa-rupanya.

Tapi Ali Topan Cs lupa barangkali bahwa ibu Mary, walaupun


sedikit sok, tidak berminat pada acara lapor melapor itu. Maka
itu Ali Topan Cs tetap berlari, terbirit-birit, menuruni tangga
arah bagian dalam Pasar Melawai dan masuk ke luar lorong-
lorong di dalam pasar. Tas sekolah bergondal-gandul di bahu
masing-masing.

Mereka muncul di emper bioskop Kebayoran. Mereka berhenti di situ.

Gevaert memeriksa tasnya. Diambilnya sebuah tustel Canon dari tasnya dan
diperiksanya sebentar. Dia selalu membawa tustel itu ke manapun ia pergi.

"Hai ngapain di sini? Nggak sekolah kalian? Mbolos melulu... " seorang anak
perempuan menegur, Gevaerrt membidikkan alat fotonya ke arah gadis itu.
"Gua potret lu, gua masukin Ibu Kota!" kata Gevaert. Gadis teman sekolah itu
menutupi wajahnya dengan tas sekolahnya dan lari cepat-cepat."Tak usyah
ya,emangnya gw artis?" kata gadis itu.

“Ada artis tampangnya kayak lu sih, bioskop-bioskop sepiiii!" Ali Topan berteriak,
"Yuk ah, macks, kita cabut. Di sini banyak intelnya. Ntar rusak acara kita. Kita ke
Ragunan aje, nengokin kawan-kawan lama," tambah Topan.

"Oke, Bos," kata Dudung. Ia berlari membuntuti Ali Topan, menuju tempat
parkiran motor mereka tadi.

Tak lama kemudian, empat sekawan itu mengeluarkan motor mereka ke arah
selatan. Mereka menuju ke Kebun Binatang Ragunan.

SMA Bulungan tampak ramai seperti biasanya. Rombongan murid dan guru
memasuki halaman sekolah dengan langkah yang juga seperti biasanya, tergesa-
gesa.

Ali Topan Cs suka berkata bahwa gaya murid-murid dan guru-guru sekolahnya
seperti gaya orang bisnis. Sok nguber waktu, biar dibilang rajin, katanya, setiap kali
melihat ada teman berjalan tergesa-gesa ke sekolah.

Sebuah Mercedes berhenti di depan gedung SMA Bulungan. Dari dalam mobil
keluar Ny Surya dan Anna. Mereka merapikan pakaian sekilas, lalu melangkah
masuk ke dalam sekolah. Beberapa murid melihat ke arah ibu dan anak itu.
"Mm, mm, saya boleh tanya kantor Direktur Sekolah di sebelah mana ya?"
tanyanya. "Di sebelah kulon," jawab anak itu. "Kulon? Di mana kulon itu?"
"Tu di sono tante. Anaknya mau dimasukin ke sini ya?" kata anak itu.

Nyonya Surya mendelik. "Dimasukin?Apanya yang dimasukin?" kata Nyonya Surya.


Tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi meninggalkan dua anak itu.

"Terima kasih ya,"


8
Anna berkata.

"Gitu dong, sayaaang," kata murid itu. Anna tersenyum manis,


kemudian mengikuti ibunya yang berjalan menuju ke kantor
Direktur Sekolah.

Pak Broto Panggabean, Direktur SMA Negeri Bulungan


sedang duduk di kursinya, menyusun map dan buku-buku di
meja kerjanya. la orang Batak kelahiran Medan 45 tahun yang
lalu. Tubuhnya pendek, kekar. Wajahnya bujur sangkar dengan bibir tebal.
Sikapnya tegas, tapi suka humor. Dan hatinya hati seorang pendidik. Nama Broto
yang khas Jawa itu diberikan oleh seorang Jawa yang menolong kelahirannya.

Hadi, pembantu umumnya masuk. "Ada tamu, Pak," kata Hadi. Suaranya cempreng
sesuai dengan tubuhnya yang kecil kerempeng.

"Tamu siapa, hah? Pagi-pagi begini sudah bertamu-tamuan," kata Pak Broto
Panggabean.

"Nyonya Surya dan anaknya, Pak."

"Ooo, suruh mereka masuk."

Nyonya Surya dan Anna dipersilakan masuk oleh Hadi.

"Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Ny Surya.

"Oh, selamat pagi. Silakan, silakan duduk. Apa anak yang manis ini anak ibu yang
mau pindah sekolah ke sini. Iya?" kata Broto Panggabean.

"Begitulah kira-kira, Pak Broto. Jadi saya serahkan secara resmi anak saya ini pada
Pak Broto, untuk dididik sebagaimana mestinya. Maklum, di sekolahnya yang dulu
saya sangat khawatir, di sana banyak anak-anak morfinis," kata Nyonya Surya.

"Wah, memang bahaya morfin itu," kata Pak Broto Panggabean dengan aksen
Medan yang khas.

"Siapa nama kau," tanyanya ke arah Anna.

"Anna Karenina namanya," Nyonya Surya yang menjawab.

"Anna Karenina. Anna Karenina. Yah, yah, kau saya terima bersekolah di sini,
mengingat Bapak kenal baik sama orangtuamu. Tapi di sini peraturan ketat dan
tidak pandang bulu. Mengerti?" kata Pak Broto.

Anna Karenina mengangguk.

"Nah, cukup, Ibu Surya. Soal keuangan bisa diurus di bagian administrasi," kata
Pak Broto Panggabean. Ia menunjuk bagian itu yang terletak di samping kantornya.
"Baik, terima kasih," kata Nyonya Surya, "Anna baik-baik ya, jangan bikin malu
mama dan papa," tambahnya.
9
"Ya, Mama..." kata Anna.

Nyonya Surya meninggalkan ruang itu setelah mencium pipi


anaknya dengan ciuman bergaya orang Belanda. "Wah,
disayang sekali rupanya, ya?" kata Pak Broto.

Anna tersipu-sipu.

"Tunggu sebentar, nanti Bapak antar kau ke kelasmu."

Anna Karenina mengangguk, bersamaan dengan dentang bel tanda masuk klas
dipukul orang.

Di kelas III Paspal 1.

Murid-murid dan Ibu Mary masuk ke dalam kelas. Wanita itu bertubuh pendek,
sexy, berkacamata, usianya 30 tahun. Anak-anak duduk di tempat masing-masing.

Ibu Mary duduk di kursi guru. Ibu Mary mengeluarkan catatan absen harian,
murid-murid mengeluarkan buku Inggris mereka. Ibu Mary batuk-batuk sebentar,
lalu memanggil nama murid-murid sebagaimana biasanya, didahului ucapan,
"Good morning, every body" yang dijawab "Good morning, Miss," oleh anak-anak.

"Abadi Karamoy!" seru Ibu Mary.

"Yes, Miss!"

"Abubakar Siddiq!"

"Yes, Miss"

"Ali Topan!" Tak ada jawaban.

"Ali Topan!" Ibu Mary tak ada jawaban.

Ibu Mary menengadahkan wajahnya, melihat ke arah tempat duduk Ali Topan.
Tempat duduk itu kosong.

"Ke mana berandal itu, Maya?" tanya ibu Mary.

Maya yang berwajah oval keibuan memang dikenal dekat denganAli Topan. Murid
yang duduk bersebelahan dengan bangku kosong itu menggelengkan kepalanya. "I
don't know, Miss," katanya.

"Why you don't know?"

"I don't know," jawab Maya. Dia grogi, takut diajak omong cara Inggris terus oleh
ibu Mary.

Beberapa anak tersenyum. Ibu Mary meneruskan panggilannya.


10
Pada saat itu, pintu diketuk dari luar.

Pak Broto Panggabean masuk diikuti Anna Karenina. "Selamat


pagi Ibu Mary. Selamat pagi anak-anak. Ini ada satu murid
baru, pindahan dari sekolah lain. Saya kenalkan, namanya
Anna Karenina. Ketua kelas, tolong atur tempat duduk
untuknya," kata Pak Broto Panggabean.

"Siap, Pak," kata Ridwan, ketua kelas III Paspal I yang duduk
di bangku belakang.

"Nah, cukup itu, Bu Mary. Selamat belajar anak-anak!" kata Pak Broto Panggabean,
kemudian ia pergi meninggalkan kelas.

Ibu Mary dan murid-murid mengawasi Anna Karenina yang masih berdiri di depan
kelas. Anna tersipu-sipu. Wajahnya bersemu dadu.

"What is your name, my dear?" tanya Ibu Mary.

"Anna Karenina," sahut Anna.

"Beautiful," gumam ibu Mary. Matanya mengawasi Anna tanpa kedip. Dari ujung
sepatu sampai rambutnya yang mengurai bak bunga mayang.

Terdengar bisik-bisik dari para murid.

Anna Karenina merasa sedikit aneh ketika menatap mata ibu Mary. Mata guru
Bahasa Inggris itu tadinya bersinar biasa, seperti mata ibu guru lazimnya.
Kemudian sinar mata itu berubah, seperti sedang "menaksir" kekasihnya. Apalagi
ketika Ibu Mary melemparkan senyum yang bermakna "naksir," wah, Anna
Karenina merinding.

"Okay, okay, sit down, please...," kata Ibu Mary.

Ridwan, ketua kelas yang bertubuh tegap kayak tentara maju ke depan,
menunjukkan tempat duduk yang kosong buat teman barunya.

"Untuk sementara kamu duduk di sini dulu, besok bisa saya atur yang lebih baik.

Ya!" kata Ridwan. Anna mengucapkan terima kasih.

"Eh, salaman dulu, dong," seorang murid lelaki yang bertampang badung, "nama
saya Sobirin," tambahnya.

Anak-anak langsung "gerr" mendengar ucapan Sobirin. Anna tersenyum. Tersipu-


sipu. Anna Karenina masih tersenyum ke kiri kanan. Ibu Mary yang mengawasi
dari depan berkata: "Sudah, sudah. Senyumnya disimpan dulu. Kita lanjutkan
pelajaran, please."

Suasana tenang kembali.

11
Ibu Mary melanjutkan mengabsen para murid. Ia mencatat
dua nama yang tidak masuk kelas pads jam pelajarannya. Ali
Topan dan Bobby.

Kemudian pelajaran Bahasa Inggris dimulai.

12
DUA

Pagi itu sekitar jam sepuluh.

Di rerumputan antara gerumbulan semak, di Kebun Binatang


Ragunan, Pasar Minggu, ada dua orang lelaki dan perempuan
sedang berciuman. Rupanya mereka merupakan sepasang
kekasih yang asyik berpacaran.

Sebentar-sebentar terdengar bunyi cap-cup, cap-cup, ditingkah suara si perempuan


terkikik-kikik geli, ditambah suara nafas ngos-ngosan dari si lelaki yang juga sibuk
me1ontarkan selangit rayuan di pagi itu.

“Mari kucium lagi, sayaaang," rayu si lelaki dengan gaya bintang film mesum dalam
film nasional. Si lelaki memonyongkan mulutnya, mencoba mencium
perempaamnya. Si perempuan berusaha mengelak, tapi rupanya usaha itu sekadar
pura-pura saja, sebab ketika monyongan mulut si lelaki mengubernya, ia pasrah
saja. Cup cup. Mhh.

"Ah, abang nakal," bisik si perempuan. Manja.

"Nakal gimana? Ini kan enak? Mari kubikin lebih mesra lagi, dengan teknik tinggi,
sayaang," rayu si lelaki, berteknik-teknik rupanya.

Dipeluknya si perempuan dengan pelukan bergaya kelasi mabuk. Si perempuan


manda saja, bahkan iapun ikut aktif menyambut pelukan kekasihnya dengan
pagutan ala Cobra di leher si lelaki. Zzzp. Keduanya tenggelam di laut kemesraan.

Main piting-pitingan di rerumputan.

Mereka tak sadar bahwa ada seseorang mengintai "kerja" mereka itu.

Gevaert membidik pasangan yang sedang "sibuk" itu dengan Canonnya. Dia atur
fokus lensa, dan bergerak hati-hati mencari posisi yang paling sip dan aman.
Gevaert merunduk di antara semak-semak.

Klik! Gevaert.memotret mereka.

Si perempuan tiba-tiba melepaskan diri dari pelukan lelakinya. Tapi si lelaki


dengan ketat memitingnya, hingga cuma kepalanya saja yang menengok-nengok ke
sekitarnya.

"Bunyi apa sih yang klik barusan?" bisik si perempuan. "Ah, ah, bunyi apa? Tak ada
bunyi apa-apa," sahut lelakinya.

"Sungguh, Bang. Kudengar bunyi klik. Ah, perasaanku jadi tak enak."
“Ah, ah, bunyi anak macan barangkali. Dienakin terus deh:'

Si lelaki kembali memiting leher perempuannya. Lalu dihujaninya leher, wajah dan
bibir pacarnya dengan ciuman bertubi-tubi.

13
Gevaert menahan nafas. Otaknya sempat dibikin pening oleh
pemandangan yang menggairahkan itu. Mati-matian dia
menahan nafas supaya tidak ngos-ngosan.

Tiba-tiba pantatnya digigit semut. Secara refleks tangannya


menepuk pantatnya. Plak!

Suara tepukan itu cukup keras, membuat obyeknya terkejut. Si


lelaki melepaskan pelukannya dan melihat ke arah semak-
semak arah bunyi plak tadi. Dilihatnya Gevaert mencangklong tustel. Tiba-tiba saja
si lelaki berdiri, wajahnya beringas.

Gevaert mundur secepat kilat, wajahnya menyeringai masam."He, siapa kau, babi!"
hardik lelaki itu. Ia bergegas mengejar Gevaert. Gevaert tahu bahaya maut
mengancam, ia langsung melarikan diri sekencang-kencangnya.

Si lelaki tidak mengejar anak nakal itu. Dia cuma mengepal-ngepalkan tinjunya ke
udara dan mulutnya melontarkan caci-maki yang bukan main sadisnya. Sementara
itu, Dudung, Bobby dan Ali Topan sedang santai menikmati pagi di bawah pohon
yang besar. Dudung menelungkup di rerumputan, mandi sinar matahari pagi.

Bobby duduk tenang, membaca komik Jan Mintaraga di dekatnya. Ali Topan
berdiri di samping Dudung, kakinya menginjak pantat Dudung.

Digerak-gerakkannya pantat Dudung dengan kakinya. Dudung tetap menelungkup.

Pantatnya saja digerakkannya naik-turun mengikuti perakan kaki Ali Topan.

"Hidup begini enak ya. Lepas, bebas, segar terasa dalam hati," kata Ali Topan.

Bobby menengok ke arahnya.

"Sik! Berpantun pula kau," kata Bobby.

"Enak sih enak, tapi sepatu lu itu bikin kotor celana gua, Pan. Lu pikir gua nyucinya
di Naga Payung? Gua cuci sendiri tuh," Dudung menggerundel.
`Babe lu aja suruh nyuci," kata Ali Topan.

"Doo, doo, babe gua suruh nyuci? Kalau dia tahu anaknya ke Jakarta pake acara
bolos begini udah untung kalau gua kagak diamukin. Kalau babe gua ngamuk lu
tau? Sekali tiup gua bisa jadi layangan!" kata Dudung.

Kemudian ia duduk, menepiskan kaki Ali Topan yang masih menginjak pantatnya.
"Eh, itu ngapain Gevaert terbirit-birit kayak orang gila?" Ali Topan berkata sambil
tangannya menunjuk ke arah Gevaert yang sedang kencang berlari ke arah mereka.

"Eh, Vaert, udah gila lu?" kata Ali Topan.

Gevaert cuma menjawab dengan ah, uh, ah, uh saja. Nafasnya tersengal-sengal. la
menubruk Ali Topan. Mereka jatuh bergulingan.

14
"Vaert! Jangan becanda lu pagi-pagi," kata Ali Topan. Gevaert
bangkit segera. la menunjuk ke arah gerumbulan pohon.

"Ah, uh, ah ... gua mau ditembak orang, Pan. No, di sono tuh
orangnye ... "

Ali Topan melihat ke arah tunjukan Gevaert. Dudung dan


Bobby langsung berdiri, melihat ke arah yang sama. "Mana dia
orangnye? Biar gua embat dial" kata Ali Topan.

"Itu, itu dia lagi ngeliat kemari."

"Buset, potongannya sih kayak pensiunan KKO ning!. Lu cari gara-gara apa sama
dia Vaert?" tanyaAli Topan. "Gua bidik dia lagi miting cewenye. "

"Set, dianye kemariin. Cabut aje buruan, njing. Tampangnye kayak kuli begitu,
repot kita ngelawan die. Potongan begitu, kita yang nabok kita yang sakit," kata
Bobby.

"lye. Sangar tampangnye, Bob. Udah jangan cari penyakit deh. Cabut, cabut," kata
Dudung. Dia bersiap mengambil langkah seribu.

"Uuh, lu Vaert, ngrusak acara aje. Uh!" kata Ali Topan. Dengan gemas dia ketuk
kepala Gevaert.

Gevaert menyeringai. Tanpa banyak pernik lagi dia menyusul Dudung dan Bobby
yang sudah berlari meninggalkan tempat itu, menuju tempat parkir motor mereka.

Ali Topan melihat ke arah lelaki yang sedang marah-marah di samping


perempuannya. Lelaki itu mengepalkan tinjunya ke arah Ali Topan. Ali Topan balas
mengacungkan tinjunya. Kemudian berlalu menyusul teman-temannya, sembari
ngakak!

Bobby, Dudung dan Gevaert sudah nangkring di atas sadel motor masing-masing,
bergerak meninggalkan tempat itu. Ali Topan mengambil motornya dan
mendorongnya menuruni jalan. Ia menyemplak sadel motor, menghidupkan
mesinnya, lalu menggeblaskan motornya ke depan, menyusul para sahabatnya.

Mereka berlalu dari tempat itu. "Ke mane kite?" Gevaert bertanya.

"Ke mane pale lu! Berhubung lu yang ngrusak acara, lu kudu menghibur kite
dengan bakmi baso!" kata Ali Topan. "Buset, setuju banget gua!" kata Bobby.

"Bujug, gua nggak punya duit, Pan" Gevaert mengeluh. la menengok ke Ali Topan,
lalu ke arah Dudung. "Biar kali ini ogut yang traktir deh, Boss. Kesian Gevaert lagi
miskin hari ini," kata Dudung.

"Pokoknye ini hari gua musti makan bakmi baso aja dah. Sebab, kalau tidak makan
bakmi baso, perut gua bisa sakit maag" kata Ali Topan. Ia tersenyum.

15
"Let's go!" Gevaert berteriak. la ngebut ke depan. Acara pun
beralih ke jalanan. Mereka saling susul menyusul,
mempertontonkan kebolehan masing-masing di atas motor.

Jalanan Pasar Minggu yang baru dibetulkan oleh Bang Ali


memang licin macam paha perawan kampung, asik buat
ngebut. Udara segar, lalu lintas tidak begitu padat. Ali Topan
dan para sahabatnya benar-benar lupa sekolah lupa
rumah.Mereka, terutama Ali Topan, merasa suntuk di sekolah
dan di rumah. Maka, ia mengajak teman-temannya mencari kegembiraan di luar
rumah dan di luar sekolah.

Apakah mereka lalu dicap sebagai anak-anak berandalan yang merusak masa
depan masing-masing, tak ada dalam pikiran mereka.

"Kira-kira Good Goly Miss Mary itu ngaduin kita ke Pak Brotpang apa kagak, Bob?"
teriak Ali Topan. Brotpang itu panggilan pop murid-murid untuk Pak Broto
Panggabean.

"Acuh aja acuuuh. Kalau dia ngaduin, kita beber aja rahasia pribadinya di Ibu Kota!
Dia kan beken sebagai lesbian, iya kan Vaert?" kata Bobby. "Tak acuh," kata Ali
Topan.

"Iya. Mpok gua tahu itu. Temen dia pernah diajak ke hotel sama Si Mary itu," kata
Gevaert.

"Ah, gosip aja kali," kata Ali Topan.

"Uuuh, ya udah kalau kagak yakin. Mpok gua sih bukan penggemar gosip, boss,"
kata Gevaert.

Ali Topan tidak menjawab. Dia sibuk menghindari sebuah batu yang ada di tengah
jalan.

"Sialan itu batu, menghambat pembangunan aje," gerutu Ali Topan.

"Pembangunan ape, Pan?" tanya Bobby yang merendengi motor Ali Topan.
"Pembangunan Orde Baru. "

"Gile lu, kayak Pak Harto aje," kata Bobby.

"Aaah, kan die masih sodara sama babe gue. Lu nggak yakin? Tanya aje sama die,"
kata Ali Topan."Nanyanye pegimane?" tanya Bobby.

"Lu tanya aje. Eh, Pak Harto, kata Ali Topan, ente besodara sama babenye? Brani
apa kagak lu?" jelas Ali Topan.

"Buset,bisa datang kagak bisa pulang gua,"kataBobby. "Emang kenape?" tanya Ali
Topan lagi.

"Sik. Pengawal Pak Harto kan galak banget?"


16
"Lu kira Pak Harto yang mane?" tanya Ali Topan. "Pak Harto
presiden!" jawab Bobby,

"Yee, bukan. Pak Harto oom gue yang rumahnya di Pancoran!"


Bobby melengak. Lantas dia tertawa terbahak-bahak.

Dudung dan Gevaert yang berendeng di belakang mereka


mencoba ke depan. Tapi dihalang-halangi oleh Ali Topan dan
Bobby yang merapatkan formasi.

"Hey, bagi gua jalan dong," Teriak Dudung.

Ali Topan menoleh ke belakang. "Lu kire kue minta dibagi-bagi?" katanya. Lalu dia
menancap gas motomya, diikuti Bobby, Dudung dan Gevaert mencoba menyusul.

Mereka pun kebut-kebutan lagi, menuju Pasar Mayestik, Kebayoran Baru.

Jarak Pasar Minggu ke Mayestik sekitar 10,5 Km, mereka tempuh dalam waktu 8
menit, melalui Jalan Gatot Subroto, Jembatan Semanggi dan Bunderan Senayan.

Mayestik atau Mestik berasal dari nama bioskop Mayestic yang terletak di Jalan
Kiai Maja, di dekat Taman Puring.

Kawasan situ adalah kawasan pertokoan yang pedagangnya kebanyakan orang


Minang. Orang-orang Padang demikian sebutan umum orang Jakarta untuk semua
orang Minangkabau-banyak pula yang menjadi penjahit, dan buka rumah makan di
situ. Sedangkan para penjual buah-buahan dan daging, kebanyakan orang Betawi
sebutan umum untuk warga Jakarta "asli".

Pasar Mayestik tidak sebesar Pasar Melawai, dan harga barang-barang di situ pun
lebih murah dari pada Pasar Melawai.

Mereka langsung menuju ke kedai Pak Amin, penjual bakmi baso langganan
mereka yang berdagang di ujung Jalan Tebah di bagian belakang Pasar Mayestik.

Blok E. Kebetulan Pak Amin baru menyiapkan dagangannya.

"Lho, gini ari sudah nongol di sini. Apa nggak sekolah nih?" tanya Pak Amin.

"Ya sekolah, sekolah.. . yang ke sini,ke sini...;' sahut Ali Topan, "udah ada yang bisa
dimakan Pak Amin?" tambahnya.

"Ada, sudah siap. Sabar sebentar, ya."

"Air tehnya duluan deh. Aus nih kerongkongan kite," kata Gevaert.
"Tuangin sendiri dah. Kayak orang baru aje," kata Pak Amin.

Gevaert mengambil gelas 4 buah, lalu mengisikan air teh panas untuk minum dia
dan teman-temannya. "Makasih ah;" kata Ali Topan ketika Gevaert mengangsurkan

17
segelas air teh kepadanya, "ada bakat jadi waiter lu,"
tambahnya.
"Waiter apaan sih?" tanya Dudung.

Gevaert melirik ke arah Dudung. "Waiter itu tukang ngelapin


paha hostess di niteclub. Mau lu jadi hostess, eh waiter?" kata
Gevaert. "Sik, waiter aja kagak ngah. Dasar orang Kuningan
lu," tambahnya.

Dudung cuma cengar-cengir saja. "Kuningan itu tempatnya orang sakti, bego,"
cetusnya.

"Ngomong-ngomong dari mana kalian? Keringatnya kok deras begitu?" tanya Pak
Amin. "Udah deh, jangan nanya-nanya, laksanain tugas Anda saja, buruan," kataAli
Topan, "kite belon makan baso nih dari kemaren," tambahnya.

Pak Amin segera menyodorkan bakmi baso yang disajikannya dalam mangkuk.

"Sambelnya ambil sendiri semaunya! Pak Amin bikin dua botol hari ini," kata Pak
Amin. "Nah, selamat makan deh," tambahnya.

“Bismillahi rohmanir rohiiim," Dudung ber-Bismillah sembari meniup-niup kuah


baso dan menyeruput kuah dengan mulutnya.

Ali topan juga ber-Bismillah.

Bobby yang Katolik dan Gevaert yang Protestan berdoa


kalau semua pembeli saya seperti kalian semua, bisa bawa berkah. Laris terus
dagangan saya," kata Pak Amin, “anak-anak jaman sekarang jarang ada yang inget
Tuhan,"jelasnya.

"Kalau anak-anak muda sih inget terus, Pak Amin. Yang suka lupa sama Tuhan itu
kan orangtua-orangtua masa kini," kata Ali Topan.

Ketiga temannya cuma mengangguk. Mereka asyik makan bakmi baso yang hangat
dan gurih berkat garem Madura.

Cepat sekali mereka makan. Gevaert usai lebih dulu. "Boleh nambah, Dung?" tanya
Gevaert.

“Bikin aje dua mangkok lagi. Kita nambah setengah-setengah," kata Dudung.
"Lu emang remaja yang baik, Dung. Sering-sering ah begitu," kata Bobby. Dudung
ngakak mendengar pujian itu. Sebagai anak "daerah," dia cukup gembira bisa
berteman dengan Ali Topan, Bobby dan Gevaert yang dianggapnya sangat "top" dan
"modern".

Untuk kegembiraannya itu Dudung tak segan-segan mengeluarkan uang guna


mentraktir teman-temannya, hampir setiap saat. Ali Topan, Bobby dan Gevaert
senang saja dengan kebaikan Dudung itu. Tapi mereka juga tahu diri. Kadang-
kadang mereka bergantian mentraktir jika Dudung sedang tongpes karena kiriman
uang dari "abahnya" terlambat datang.
18
Pak Amin menyodorkan dua mangkok bakmi baso. Gevaert
membagi semangkok dengan Ali Topan. Bobby membagi yang
semangkok lagi dengan Dudung.

"Kalian ini rukunnya melebihi saudara kandung. Enak


dilihatnya," kata Pak Amin.

"Kalau enak tambahin basonya dong," kata Ali Topan. Pak


Amin tersenyum.

"Doo, dimintain basonya cuma senyum saja dikau," kata Ali Topan.
"Beliau khawatir kalau terlalu banyak menderita rugi. Ntar kagak bisa ngembaliin
kredit investasi kecilnya," kata Bobby.

Ali Topan, Gevaert dan Dudung menengok ke Bobby. Mereka menampakkan wajah
heran.

"Lu tau-tauan kredit investasi kecil. Siapa yang ngajarin, Bob?" Tanya Ali Topan.
"Pemerentah kan? Pemerentah kita kan ahli dalam soal kredit. Gimana sih lu?
Nggak pernah baca koran ya? Percuma dong babe gue jadi Direktur Bank kalau
anaknye kagak ngah soal kredit," kata Bobby.

"Oh iye, gue lupa. Memang anak pinter lu," kata Ali Topan.

"Tampang kayak Bobby ini ada bakat jadi tukang ngelipet kredit kalau dia jadi
pembesar," kata Gevaert.

"Pssst! Jangan omong begituan ah. Nanti ada yang dengar bisa gawat," bisik
PakAmin. Wajahnya kentara betul ngeri mendengar obrolan anak-anak yang bebas
aktif itu.

"Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu baru gawat. Tapi kalau
sekali-kali ngutang sih nggak apa-apa, iya apa nggak, macks?" kata Gevaert, "yang
penting kan bayar. Pemerentah kita kan juga suka ngutang sama IGGI," tambahnya.

"Apa itu IGGI. Tentara?" tanya Dudung.

"Tentara?" Bobby bertanya, dahinya dikernyitkan. "Tentara Amerika kan begitu


namanya. "

Bobby menyentuh Dudung dan mendorongnya ke belakang.

"Wayyo! Tentara Amerika itu GI, bukan IGGI, bego!" kata Bobby.

"Orang dari daerah susah deh. IQ-nya jongkok terus," kata Gevaert.

"Lu jangan bilang begitu, Vaert. Ntar gue nggak bayarin, baru nyaho lu," gerutu si
Dudung.

"Sik. Pakek main gertak lu. Sorry deh kalau tersinggung," kata Gevaert.
19
"Ngomong-ngomong, abis makan baso nggak enak kalau
nggak disambung pakek Dji Sam Soe. Gimana caranya,
Dung?"

"Oh, beres, Boss," kata Dudung.

Dia bangkit, dan pergi ke kios rokok di depan sebuah apotik.

Jalannya mengesankan betul seperti orang desa yang baru panen. Orang tua
Dudung petani kaya yang punya berhektar-hektar Sawah di Kuningan di Jakarta
dia tinggal bersama bibinya di desa Petukangan Selatan, Kebayoran Lama, sekitar
empat kilometer dari Mayestik.

"Lu, pinter aje motong kompas, Pan," Bobby nyeletuk. Ali Topan cuma nyengir saja.

Dia repot mencungkil sisa-sisa bakmi yang menyelip di antara giginya.

Dudung datang bawa rokok Dji Sam Soe. Bungkusan rokok yang belum dibuka itu
diberikan pada Ali Topan. "Ente yang merawanin, Boss," katanya.

Pak Amin menekap mulutnya mendengar ucapan Dudung. Dalam batinnya dia
berkata, anak jaman sekarang omongannya nggak kira-kira.

"Jadi berapa duit semuanya, PakAmin?" tanya Dudung. Dia ambil seribu rupiah
dari dompetnya.

"Enem ratus saja. Pakai kembali apa nggak?" kata Pak Amin.
Dudung memberikan uangnya. "Kalau mau berantem sama kita sih boleh nggak
pakek kembali, Pak Amin," katanya. Pak Amin cuma terkekeh-kekeh. Dia
memberikan uang kembalian pada Dudung. "Terima kasih ah," katanya.

Ali Topan, Dudung, Gevaert dan Bobby menyemplak motor masing-masing. Rokok
Dji Sam Soe menyelip di bibir mereka. Tak lama kemudian, 4 sekawan itu tampak
mengendarai motor mereka secara sopan.

"Ke mane kite?" tanya Bobby. "Ke mane kek," jawab Ali Topan.

Ke mane kek itu berarti pergi ke mana saja tanpa tujuan yang jelas. Mereka
berkeliling Kebayoran, sampai waktu biasanya pulang sekolah.

Jam dua belas seperempat siang, Ali Topan dkk masih duduk-duduk di bawah
pohon-pohon cemara di tepi Lapangan Bola Blok S di jalan Senopati. Mereka
minum es cincau. Beberapa orang lain minum es cincau pula.

Ali Topan melihat ke arah matahari. "It's time to cabut, friends," katanya. Ia
mengambil uang Rp 200 dari saku celananya yang ia berikan ke Tukang jual es
cincau yang duduk di bangku kecil di antara dua gentong kayu berisi cincau.

20
Ali topan dkk berjalan ke motor trail masing-masing dan
parkir di pinggir lapangan Merdeka. Ali Topan menepuk bahu
Gevaert di sampingnya, dan mengerjapkan matanya tanpa
diketahui Dudung dan Bobby.

Itu kode. "Atraksi dulu, muterin lapangan, lalu kita ke rumah


orang tua masing-masing," kata ali topan.

Bersamaan mereka menghidupkan motor masing-masing. Gas


dimainkan, suara knalpot motor itu nyaring memekakkan telinga.

“lets go!" teriak Ali Topan sambil memacu motomya diikuti teman-temannya.

Mereka memacu mengelilingi lapangan searah jarum jam dalam formasi barisan.

Setelah selesai putaran pertama, mereka formasi berjajar empat. Tukang cincau
dan manusia lainnya yang menonton bertepuk tangan.

Putaran kedua Ali Topan mengangkat tangan, diikuti teman-temannya. Lalu


mereka keluar lapagan diiringi tepuk tangan dan sorakan para penonton. Mereka
masih bersama sampai perempatan jalan Senopati - Wijaya. Lalu Ali Topan dan
Bobby terus ke jalan Wjaya, sedangkan Dudung dan Gevaert belok kanan be arah
CSW.

Di cabang jalan dekat kompleks PTIK, Bobby belok kanan ke arah jalan Tirtayasa,
sedangkan Ali Topan terus. Bobby mengira Ali Topan akan langsung pulang ke
rumahnya di Cipete, kawasan Selatan luar Kebayoran Baru. Ternyata tidak. Ali
Topan melaju ke rumah Gevaert di jalan Radio Dalam. Ada suatu rahasia yang akan
diperlihatkan oleh Gevaert kepada Ali Topan.

Gevaert telah menunggu di bangku bambu di bawah pohon ceri di halaman


rumahnya, ketika Ali Topan datang. Rumah orang tua Gevaert kecil, bercat putih,
tapi tampak bersih dan rapi. Ali Topan memarkir motornya berdampingan dengan
motor Gevaert di bawah pohon ceri. la memetik beberapa buah ceri.

""Nyak lu ada?" tanya Ali Topan.

"Lagi di Cipanas sama babe gue," kata Gevaert.

"Lu mau nunggu di sini atau mau ngikut ke kamar gelap?" lanjutnya.

"Gue ngikut aje..."' kata Ali Topan. Suaranya tersendat. Wajahnya muram.

Gevaert punya studio kecil di sudut halaman rumahnya, yang ia jadikan kamar
gelap dan tempat penyimpanan hasil karyanya serta buku-buku fotografi. Ali Topan
suka hasil foto Gevaert utamanya yang hitam putih. Tapi ia sendiri kurang atau
belum berminat mendalaminya, walau Gevart ingin mengajarinya. Ali Topan cukup
memahami teori dasarnya saja dari buku yang ia baca di studio Gevaert beberapa
bulan yang lalu.

21
Mereka sudah berada di dalam studio foto. Gevaert
mengambil segulungan film hitam putih yang telah ia cuci.

Lalu ia menggelar gulungan film itu dan memperhatikannya di


depan lampu.

Ruang studio itu berukuran tiga meter persegi yang dibagi dua
dengan dinding triplek berpintu kecil. Ruang berpintu itu
adalah kamar gelap tempat Gevaert mencuci dan mencetak
film-filmnya. Gevaert dan Ali Topan masuk ke ruang itu.

Beberapa minggu yang lalu Ali Topan pernah ikut mencetak film di ruang gelap ini.

la tidak tahan bau larutan bromide yang dipakai untuk menimbulkan gambar atau
foto.

Waktu itu ia cuma bertahan beberapa menit saja, mangkin karena belum biasa.

Tapi sekarang ia bertekad mengikuti proses pencetakan beberapa foto oleh Gevaert
sampai selesai.

Di ruang itu ada lampu kecil 5 watt berwarna hijau menyala di dinding. Sinarnya
temaram. Lampu itu dihubungkan dengan sakelar yang dipaku pada sebuah meja
kayu yang merapat ke dinding.

Di atas meja itu ada enlarger atau alat pembesar gambar dalam film berbentuk
seperti kubah kecil. Di bagian atas kubah alat itu ada lampu spot untuk menyoroti
film yang diletakkan oleh Gevaert pada lensa pembesar di bagian bawahnya.

Di dekat alat pembesar gambar itu ada baskom plastik berisi larutan bromide untuk
menimbulkan atau mencetak gambar pada kertas foto yang diletakkan pada suatu
papan putih yang diberi alat pengukur kertas. Di sebelahnya ada satu baskom lagi
berisi H2O alias air untuk membilas kertas foto dari larutan bromide, dengan cara
merendam dalam air itu.

Gevaert bersiap mengoperasikan alat pembesar gambar. Ali Topan berdiri di


sampingnya. Ia tegang jantungnya berdetak lebih kencang.

"Okey, kita lihat dulu gambarnya," kata Gevaert. la memadamkan lampu hijau,
hingga ruang itu gelap gulita. Lalu ia menyalakan lampu spot yang segera
menyorotkan film di bawahnya. Gambar dua orang seorang wanita dan seorang
lelaki muda sedang berpelukan di tepi kolam renang terpeta pada bidang putih di
atas meja.

Ali Topan menarik dan mengeluarkan udara berat lewat hidungnya. Gevaert
mengatur fokus pada alat pencetak foto itu, hingga bayangan dua orang itu agak
jelas.

Gevaert memadamkan lampu spot. Dan segera mengambil bungkusan kertas foto
berukuran kartupos dari kotak kertas di laci meja. la mengambil selembar kertas

22
foto berukuran kartupos dan segera membungkus kembali
lembaran-lembaran kertas foto lainnya, serta memasukannya
ke laci.

Gevaert menaruh keras foto pada bidang pencetakannya. Lalu


ia menyalakan lampu spot sekejap, sekitar dua atau tiga detik.

Dan memadamkannya kembali. Kertas foto yang telah disinari


tadi segera ia masukkan ke dalam baskom berisi larutan
bromide. Kemudian ia mencetak lagi foto lainnya hasil potretannya.

Usai proses pencetakan foto itu, Gevaert menyalakan lampu biasa untuk menerangi
ruang dan membuka pintu untuk mengusir kepengapan. Sementara itu, wajah Ali
Topan tegang mengawasi foto-foto ibunya sedang bercumbu dengan seorang anak
muda di kolam renang, yang sedang berendam dalam baskom berisi air.

Gevaert menepuk lengan Ali Topan. "Sorry, Pan... kalau hasil potretan gua itu bikin
lu nggak enak ati...," kata Gevaert.

Ali Topan memandangi teman baiknya itu. "Terima kasih, Vaert... terima kasih...,"
kata Ali Topan dengan suara sangat sedih.

"Dua kali lu nolong gue... ngedapetin bukti tentang kebrengsekan orangtua gue...
Gue nggak bakal lupain itu... Lu bener-bener sahabat gue..." lanjutnya. Air bening
mengalir dari sepasang mata dukanya.

Gevaert ikut berlinangan airmata. Segera ia mengelap foto-foto itu dengan kain
putih. Dan mengeringkan foto-foto itu dengan pengering rambut. Kemudian
memberikan foto-foto itu kepada Ali Topan.

Ali Topan menyelipkan foto-foto itu di sela-sela buku pelajarannya. Lalu ia pamit
kepada Gevaert sambil mengusap airmatanya. Gevaert memandangi Ali Topan
mendorong motornya ke tepi jalan. Setelah menghidupkan mesin motornya, Ali
Topan menengok ke arah Gevaert dan melambaikan tangannya. Gevaert membalas
lambaian sahabat yang ia kagumi itu.

Dan airmatanya pun mengalir karena ia turut merasakan betapa perih rasa hati
sahabat yang selama ini selalu membela dia bila dia mengalami kesulitan.

23
TIGA

Senja bergerak. Matahari jam lima lewat beberapa detik pun


bergerak. Biasan sinar kuning merah jingga mewarnai langit
kelabu putih di arah Barat. Biasanya warna senja itu pun
mengenai sebuah rumah putih-biru di jalan Cipete di
Kelurahan Cilandak.

Rumah itu terletak di tanah seluas 700 meter persegi.


Bentuknya bergaya Joglo menghadap ke arah Timur. Dindingnya putih, kayu-kayu
kusen, pintu, dan risplangnya biru tua.

Dengan paviliun dan garasi mobil di sayap kanan dan kiri rumah buatan tahun
1956 itu, total luas bangunannya 350 meter persegi. Halamannya ditanami rumput
gajah. Tanaman bluntas mengelilingi halaman berpagar besi yang sewarna dengan
pintu rumah. Pohon-pohon palem besar berjajar di tepi jalan depan rumah yang
berhadapan dengan taman kota seluas 600 meter persegi. Pohon mangga
Indramayu di depan garasi sedang berbunga. Sedangkan pohon rambutan Aceh
Pekat di depan paviliun belum lagi berbuah.

Angin semilir membawa debu. Sebuah Fiat Sport warm tembaga masuk ke halaman
rumah itu, berhenti di depan teras. PakAmir, ayahAli Topan turun dari mobil,
berjalan menuju pintu rumahnya. Tangan kanannya membawa Samsonite, tangan
kirinya menenteng jas. Dasinya yang sudah dilonggarkan sejak dari dalam mobil,
melilit di lehemya.

Bajunya merk Kern kotak-kota putih-kelabu muda dengan dua kancing atas dibuka
memberi kesan `mboys', gaya muda. Tubuhnya tinggi, 170 cm,, atletis, melangkah
tegap. Wajahnya oval, ganteng dengan kumis dan rambut dicukur rapi, memberi
kesan lebih muda dari usianya yang 49 tahun. la seorang pemborong bangunan
yang sukses. Anaknya tiga orang. Boyke, Windy, dan Ali topan. Boyke sejak dua
tahun yang lalu ia sekolahkan ke australia.

Pintu rumah dibuka oleh MbokYem, pelayan keluarga yang sudah 13 tahun bekerja.

“Bikinin madu telor, Mbok. Aku capek sekali," kata pak amir
“ Ya Ndoro," jawab MbokYem.

Dia menutup pintu, lari ke dapur untuk membuatkan madu telor majikannya. Pak
Amir berjalan santai ke dalam.

Mbokyem seorang janda asal Semarang yang berusia 51 tahun. Suaminya seorang
penjaga pintu kereta api menceraikannya karena mau kawin lagi. Anaknya dibawa
oleh suaminya. MbokYem kemudian merantau ke Jakarta, bekerja pada keluarga
Amir sejak Ali Topan berumur 5 tahun. Mbok Yem bertubuh kurus, agak tinggi dan
rambutnya selalu digelung. Wajahnya bundar, suka menginang dan menyanyi
tembang-tembang Jawa lama. la sangat menyayangi Ali Topan yang ia asuh dengan
cinta.

24
Pak Ihin, sopir Pak Amir, memarkir mobil di bawah pohon
rambutan. Sopir setengah tua yang bernama lengkap Solihin
itu membuka kap mesin mobil, untuk mendinginkan udaranya.

Lalu ia memasang pipa plastik dan membuka keran untuk


mencuci mobil.

Di dapur, Mbok Yem mengaduk madu Sumbawa dan dua butir


telur ayam kampung yang sudah diberi jeruk nipis secukupnya.

"Ndoro Kakung sekarang sering bener minum madu telor. Setiap hari due kali.

Gawat," Mbok Yem berbicara sendiri sembari menata gelas berisi madu telor den
air sirup markisa di baki. la tak sadar bahwa majikannya sedang berdiri menunggu
di depan pintu dapur.

"Hm! Hm!" Pak Amir berdehem, Mbok Yem terperanjat. "Ngomong ape kamu, Yem.
Gawat, gawat ape?" tanya Pak Amir.

"Eh saya jadi kaget. Ini madu telornya sudah siap, Ndoro," kata Mbok Yem.
Wajahnya menunduk.

Mbok Yem membawa jamu itu ke ruang tengah. Majikannya membuntuti dari
belakang. Begitu gelas jamu itu ditaruh di meja, langsung Pak Amir meminumnya
cepat-cepat. Kemudian ia mencuci mulutnya dengan es sirup markisa. la duduk
bersantai di kursi ruang tengah untuk memberi kesempatan madu telor masuk ke
dalam perutnya.

Suara motor yang bising membuatnya tersentak. Ali Topan datang. la memarkir
motornya di dekat sopir yang sedang mencuci mobil ayahnya.

"Selamat sore, Den," sapa Pak Ihin.

"Eh, papa mau nglayab ke mane lagi malam ini Bang ihin" tanyaA]i Topan.
"Saya tidak tahu, Den."

"Mau main perempuan lagi ya. Dapet komisi berapa kamu?" kataAli Topan sambil
berjalan masuk ke rumah. Pak sopir mengernyitkan dahi, dan menggeleng-
gelengkan kepalanya.

Ucapan Ali Topan rupa-rupanya menancap di hatinya.

Masuk ke ruang tengah, Ali Topan melihat ayahnya, sedang mengisap cerutu.

Tanpa mengucap apa-apa dan tidak menggubris ayahnya, Ali Topan nyelonong ke
kamarnya di bagian belakang ruang itu.wajahnya kusut.

"Ali!" bentakan ayahnya membuat Ali Topan berhenti. Diem saja di tempatnya.
Seperti patung.

"Sini kamu!" kata ayahnya.


25
Pak Amir menengok ke arah anaknya. Ali Topan tepat
membalikkan badannya dan mereka pun bertatapan. Sinar
mata Ali Topan menatap mata ayahnya seperti orang asing.

"Ada apa papa?" kata Ali Topan. la melangkah mendekati


tempat duduk ayahnya.

“Duduk situ papa mau tanya sesuatu!" kata Pak Amir. Topan
duduk di depan ayahnya. "Tanya ape?"

“Kemane saja kamu? Gini hari baru pulang."

“Biasa-biasa saja,Pa"

“Biasa-biasa saja bagaimana? Kamu ini kalau ditanya orangtua, selalu menjawab
seenaknya saja. Biasa-biasa, jawaban macam ape itu! Sembarangan!"

Ali Topan melihat ke arah ayahnya. Dengan gaya santai mengangkat kakinya dan
mencabut sebatang rokok dari tempat "khas" itu. Ia nyalakan rokok dengan korek
api Ronson milik ayahnya yang tergeletak di meja.

“Gaya kamu itu lho yang bikin orang nggak tahan! Tahu ape tidak kamu? Gaya
kamu itu macemnya koboi tengik. Sama sekali tidak ada respeknya sama orangtua.

Ada orangtua duduk, dilewati saja tanpa bilang numpang lewat kek atau permisi
kek atau kentut pun tidak. Nyelonong saja. Apa kamu menganut model Slonong
Boys ya?" kata Pak Amir. Kesal betul die.

"Abis kalau nggak ada perlunya bilang apa-apa, mau bilang apa? Saya bosen basa-
basi. Soalnya.. ."Terbayang olehnya foto-foto mamanya di kolam renang.

"Soalnya kenapa? Soalnya kamu saja yang tidak tahu aturan. Apa di sekolahmu
memang tidak diajar etiket dan sopan santun!"

"Udah, udah deh, nggak usah bawa-bawa sekolah, etiket atau sopan santun segala.

Percuma belajar sopan santun kalau yang mengajari juga tidak mau memakai
sopan santun itu," kata Ali Topan. Dia hendak bangkit, tapi ayahnya menyuruh
tetap duduk. Geram betul Pak Amir mendengar omongan anaknya yang dianggap
asal bunyi itu. la tak tahu rasa hati anaknya.

"Dari mana kamu?" kata Pak Amir. Nadanya melunak. "Biasa. "

"Kamu nggak punya persediaan kata-kata lain kecuali biasa-biasa itu, he? Gayamu
itu lho, bikin orangtua pusing. "

Ali Topan diam saja. Dia menikmati rokoknya dengan gaya orangtua. Matanya
mengawasi asap rokok yang dibuatnya bundar-bundar.

26
"Jadi kebiasaan sekolah sekarang ini berangkat pagi
pulangnya malam, begitu?" kata ayahnya.

"Iya. Seperti orang kantoran," kata Ali Topan. "Orang


kantoran bagaimana?"

"Banyak teman saya bilang, bapak mereka kalau berangkat


pagi, pulang ke rumah pagi lagi. Kadang-kadang nginep di
motel sama cabo!"

Alis Pak Amir terangkat tiba-tiba. "Kau nyindir aku, heh?" katanya. Matanya
melotot. Wajahnya merah seperti tembaga. Dia merasa tersindir betul.

Ali Topan menatap mata ayahnya dengan hati mantap.

Kemudian ia berdiri dan berjalan meninggalkan sang ayah yang tiba-tiba berlagak
seperti orang pilon. Ali Topan masuk ke kamarnya. Ayahnya berjalan ke kamar
mandi. Mbok Yem melihat dari celah pintu dapur.

Di dalam kamar, Ali Topan menekan tombol lampu di dekat pintu. Plap! Lampu
menyala, kamar jadi terang benderang. Ali Topan tegak menatap ruang pribadinya
itu. Matanya redup memendam keperihan. Tapi mata itu tiba-tiba menyala ketika
memandang sebuah poster besar yang terpampang di dinding, di atas tempat
tidumya. "A house is not a home," demikian kalimat di poster itu.

Ali Topan membeli poster itu dari sebuah toko di Blok M. Poster itu ia beli dengan
uangnya sendiri, sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri. Barangkali lucu,
tapi begitulah halnya. Poster itu berukuran 70x90 cm, bergambar sarang laba-laba
di atas dasar hitam. Tulisannya kelabu muda.

Sebuah radio merk Phillips terletak di meja kecil di dekat tempat tidumya. Radio
itu juga merupakan teman sekamar Ali Topan, sebagai penghibur hati. Pemancar
radio yang disukainya adalah Bonaparte dan Juliet & Romeo (J&R).

Bonaparte yang terletak di Jalan Leuser disukainya karena selalu memutarkan


musik pop dari The Beatles dan Koes Bersaudara yang dikaguminya. la memang
penggemar fanatik The Beatles. Sedangkan J&R yang terletak di kawasan Menteng,
Jakarta Pusat, disukainya karena studio itu pintar memilih musik yang cocok
dengan suasana untuk mengiringi pembacaan syair lagu-lagu folk, balada dan
country tahun 60-an, 70-an dan lagu-lagu pop.

Lagipula para penyiarnya tidak norak dalam membawakan acara. Ali Topan bahkan
menganggap Bonaparte dan J&R seakan-akan didirikan memang untuk menghibur
dirinya.

Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Buku-buku. Segala macam buku.
Ada buku politik Sang Pangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa buku
karya Bung Karno serta kumpulan pidato presiden pertama Republik Indonesia itu.

27
Ada buku sejarah, terutama sejarah pergerakan kebangsaan
dan sejarah Indonesia lama, juga buku-buku biografi. Ada
buku novel pop. Komik Jan Mintaraga dan Teguh Santosa.

Buku kumpulan syair Bob Dylan dan berjilid-jilid buku serial


silat China. Dan... di antara buku-buku itu terkadang ada buku
stensilan yang kalau ditinjau dari segi pornografi, cukup
mengasyikkan!

Ali Topan menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia berjalan ke radio.

Dihidupkannya radio itu, dan diputarnya gelombang J&R.

"Penyiar Johnny dan operator Ikhsan sedang repot menghibur teman-teman di


rumah yang sedang belajar atau ngelamun. Semoga musik yang kami putarkan dari
studio dapat melenyapkan lamunan buruk dan mendatangkan impian indah serta
rejeki di malam ini. He he he ... ," demikian suara penyiar J&R.

Suara ketawa he he he itu disambung dengan musik manis dari The Hollies, Too
Young Too Be Married. Ali Topan merebahkan dirinya ke tempat tidur. Matanya
terpejam. la menikmati suasana sendiri. Sendiri.

Tiba-tiba ia melompat bangun dan duduk di lantai beralas tikar pandan. la


mengambil sebuah buku dari dalam tasnya dan mengambil foto-foto yang dicetak
Gevaert tadi. Foto Nyonya Amir dan seorang anak muda yang sedang berpelukan,
tertawa-tawa dan bermesraan di kolam renang.

la gelar foto-foto itu di atas tikar pandan, dan ia pandangi dengan cermat untuk
memastikan apakah wanita berpakaian renang hitam polkadot putih itu benar-
benar mamanya.

Sesungguhnya, fakta itu telah pasti. Matanya pun tak sangsi. Namun ada suatu
keinginan dalam hatinya, bahwa wanita dalam foto itu bukan mamanya.

Ali Topan sedih sekali menghadapi kenyataan yang bahkan dalam mimpi pun tak
pernah diharapkan terjadi oleh seorang anak yang mendambakan ibunya seorang
wanita utama. Bukan seorang tante girang jalang yang terkenal di kawasan
Kebayoran.

Sudah cukup lama sekitar delapan bulan omongan jelek tentang mamanya yang
suka "main" dengan anak-anak muda itu ia dengar dari teman-temannya penyiar-
penyiar radio di Kebayoran. Ia pernah menyampaikan gosip itu ke mamanya. Apa
kata si mama? "Kamu nggak usah ikut campur urusan orangtua," begitu kata
mamanya. "omongan begitu kok didengar. Mana buktinya”lanjut mamanya.

Tapi hari ini Ali Topan memegang bukti itu yaitu foto-foto hasil potretan Gevaert.

Ternyata Gevaert telah cukup lama menyimpan filmnya. Tapi baru tadi malam ia
memberi tahu Ali Topan lewat telepon.

28
"Tadinya gue mau bakar film itu, Pan. Karena gue pikir lu bisa
marah ke gue dan persahabatan kita putus. Tapi... gue mikir
lagi, lu pernah tulis di buku gue bahwa kita nggak boleh lari
dari kenyataan. Don't run away from reality," begitu kata
Gevaert lewat telepon.

"Kalau lu bakar itu film, lu bukan kawan gue, Vaert," kata Ali
Topan.

"Besok kita cetak itu foto. Tapi Bobby sama Dudung nggak perlu tau."

Lewat telepon itu Gevaert bercerita lagi bahwa sebulan yang lalu ketika ia disetrap
tiga hari gara-gara tertangkap bawa buku porno ke sekolah, ia tiap hari berenang di
kolam renang Senayan. Surat dari wali kelas untuk orangtuanya ia bakar. Dan ia
menulis sendiri surat permintaan maaf dengan mesin tik dan memalsu tanda-
tangan ayahnya.

"Pada hari kedua gue ke kolam renang itu, sekitar jam sepuluh, gue liat mama lu
sama cowok. Diem-diem gue ambil tustel gue, terus gue potret mereka pake lensa
tele..," cerita Gevaert tentang bagaimana ia secara kebetulan memotret Nyonya
Amir dan cowoknya.

Dua kali ia mendapatkan bukti. Yang pertama, sekitar empat bulan yang lalu pada
saat liburan sekolah. Gevaert mengajak dia, Dudung dan Bobby menginap di
villanya di Cipanas. Malam harinya mereka membayar seorang penjaga villa
sewaan untuk mengintip pasangan yang sedang ngesex itu Pak Amir, papanya
sendiri bersama seorang pelacur...

Ali Topan mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia hafal itu ketukan mbok Yem.
la sedang bersedih, ingin menyendiri. Tapi akhirnya ia bangun juga dan membuka
pintu. Mbok Yem berdiri membawa baki berisi air jeruk dingin.

Pak Amir keluar dari kamar mandi, berjalan masuk ke kamarnya. Mbok Yem
mengangkat gelas bekas madu telor dari meja. Dibawanya gelas kotor itu ke dapur,
melewati kamarAli Topan. Di depan kamar Ali Topan, Mbok Yem berhenti sebentar
dan melongok ke pintu yang tertutup itu. Kemudian Mbok Yem berjalan terus ke
dapur.

Ali Topan menelungkup di tempat tidur. Lalu menelentang lagi. Pada posisi begitu
ia mengambil sebatang rokok dari kaus kakinya. Dinyalakannya rokok itu,
kemudian ia isap. Musik The Hollies memang asyik dinikmati sembari merokok,
begitu kata hati Ali Topan.

la melamun. Dikepulkannya asap rokok menjadi bulatan. Begitu terus-menerus,


sampai asap memenuhi kamarnya. Dan ia terbatuk-batuk oleh rokok itu.

"Waduh, waduh! Asep rokoknya kayak asep sepur saja, Den Bagus. Jadi sumpek
dong, kamarnya. Itu kan, udah mulai batuk-batuk," kata Mbok Yem.

29
Ali Topan mengangkat kedua kakinya ke atas, kemudian
dengan gaya akrobatik ia melenturkan kaki itu ke kasur.
Dengan cara itu ia duduk di tempat tidurnya. la meyemburkan
asap rokok ke arah MbokYem.

"Owalaah! Kok MbokYem malah disembur sama asep rokok.


Sudah, brenti ngrokoknya, Den Baguuus! Nggak baik, masih
sekolah sudah banyak ngrokok. Ini, minum air jeruk saja biar
seger buger," kata Mbok Yem. la memberikan gelas pada Ali
Topan.

"Terima kasih, Mbok," kata Ali Topan, lalu diminumnya air jeruk itu sampai habis!
MbokYem geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan anak asuh yang dia sayangi
itu. Ali Topan, selesai minum, mengangsurkan gelas pada Mbok Yem. Mbok Yem
mengambil gelas itu dan menaruhnya di dekat radio. Kemudian perempuan tua itu
duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mengelus rambut dan dahi Ali Topan
dengan penuh kasih sayang.

"Kok anget, Den Bagus. Sakit ya? Implensa?" kata Mbok Yem. Ali Topan
memegangi tangan Mbok Yem. "Eh. Mbok. Kalau manggil aku nggak usah raden
bagus raden bagusan, kenapa siiih? Kayak panggilan ketoprakn aja. Nggak betah
kupingku dengernya!" kata Ali Topan.

"Lho, habis mau panggil apa? Apa mau panggil Den Ayu? Den Ayu itu panggilan
buat perempuan, Den Bagus. Masa gitu dibilang kayak ketoprak. Yang bener aja
dooong," kata Mbok Yem.

"Panggil saja mack gitu, atau jack juga boleh." "Mek? Jek?Apa itu?"
"Aah, bodo lu Mbok, ah. Eit, sorry, bukan bodoh, tapi belum paham cara panggil
orang modern," kataAli Topan. Ia menyeringai.

"Biarin dibilang bodo. Memang MbokYem bodo, Mbok Yem nggak sekolah, biariiin.

Kalau MbokYem pinter kan nggak jadi babu, Den Baguuuus," kataMbok Yem.

Ucapannya bernada pasrah, dan itu sama sekali bebas dari rasa tersinggung atau
rasa lain yang sejenis itu.

Ali Topan mencium punggung tangan Mbok Yem. Mbok Yem ternganga. Lalu
senyum arif. la tahu bahwa majikan mudanya itu juga sayang padanya. Majikan
mudanya itu, walaupun omongannya suka sembrono, tapi hatinya baik dan peka. Ia
sayang majikan mudanya, seperti sayangnya pada anaknya sendiri yang kini ikut
suaminya setelah mereka bercerai.

"Mbok, tolong bukain jendela dooong," pinta Ali Topan. Segera Mbok Yem
melaksanakan order itu. la buka jendela dan mengipas udara kamar dengan serbet
yang selalu tersampir di pundaknya.

"Jangan keliwat banyak ngrokok, Den Bagus. Nanti sakit. Kalau sakit kan Mbok
yang repot," kata MbokYem. Ali Topan memandang MbokYem. la tersentuh oleh

30
ucapan perempuan itu. Tanpa bicara, Ali Topan mematikan
rokok di asbak dekat radio. Mbok Yem tersenyum padanya. Ali
Topan pun tersenyum pada Mbok Yem.

“kalao bukan Mbok Yem siapa lagi yang mau repot? Apa Mbok
Yem nggak mau direpotin? Kalau nggak mau direpotin, bilang
dong dari kemaren..."' kata Ali Topan dengan nada mengrajuk.

"Bukan gituuu, Den Bagus. Kalau den bagus sakit, mbok kan
sediiih. Mbok sih mau saja direpotin. Kan Mbok sudah pasrah nglakoni hidup ini
sebagai abdi di sini.kan mbok memang kerja buat repot-repot Den Bagus," kata
Mbok Yem.

Tiba-tiba ia tertegun melihat ke foto-foto di atas tikar. Mbok Yem membungkuk


mengamati foto-foto nyonya Amir dan seorang anak muda di kolam renang. Mbok
Yem melihat ke Ali Topan. Ali Topan melihat ke Mbok Yem.
"Ini Ndoro Putri?”tanya mbok Yem, pahit.

"Ya, mamaku, Mbok...," kata Ali Topan.

"Siapa anak muda itu?" tanya MbokYem sambil berdiri. Mata Ali Topan menatap
tajam ke arah Mboknya. Lalu, segera ia memutar gelombang radio, untuk mengusir
berbagai rasa dari hatinya. Ia menghentikan putarannya setelah musik pop The
Beatles menggema di ruang itu. Gelombang radio Bonaparte-52!

Akhir lagu Mister Postman dilanjutkan dengan lagu Strawberry Fields Forever
dari The Beatles. Ketika lagu itu memasuki refrainnya, Ali Topan membesarkan
volume suara radio itu, hingga musik dan vokal John Lennon dkk menggema keras
di ruang kamamya.

Living is easy with eyes closed misunderstanding all you see it's getting hard to be
someone but it's all works out

it doesn't matter much to me...

Mbok Yem buru-buru keluar dari kamar, karena mendengar suara pintu
dihempaskan dari arah kamar Pak Amir.

Pak Amir memang menghempaskan pintu lemari setelah ia mengeluarkan setelan


jas sport-nya. Hobi Pak Amir memang begitu, suka menghempas-hempaskan pintu,
seakan-akan, ia dilanda kemarahan yang sangat besar. Padahal itu cuma kamuflase.

Hatinya sebenamya tertawa geli setelah menghempaskan pintu itu. Di masa


mudanya ia pemain teater, jadi pintar akting.

Setelah berdandan secara kilat. Mengenakan sport jas kotak-kotak coklat tua
dengan pantalon krem. Dia memakai sepatu Bally yang harganya Rp 44.000,
kemudian menyemprotkan parfum ke sapu tangan, lengan jasnya dan di bagian
bawah pantalonnya. Kemudian ia bercermin sebentar, menyisir rambutnya dan
membetulkan letak kacamatanya. Lalu ia membuka tas Samsonite den mengambil

31
segumpal uang kertas dari dalam tas itu, kemudian
memasukkan uang itu ke saku celananya.

Lalu ia keluar dari kamamya.

Tepat pada saat ia hendak menutup pintu kamar, Mbok Yem


sedang berjalan dari kamar mandi. PakAmir menampakkan
wajah serius, diangker-angkerkan supaya kelihatan berwibawa
betul.

"Mbok, saya mau rapat. Ng... anak monyet yang satu itu jangan boleh nglayab lagi.
Suruh belajar gitu! Kalau ibu tanya, bilang saya rapat, gitu. Dengar, Mbok?" kata
Pak Amir.

"Saya, Tuan!" jawab Mbok Yem sambil membungkukkan badannya dalam gaya
orang Jawa jaman penjajahan.

PakAmir menutup pintu kamamya, lalu berjalan keluar. Kemudian ia menghampiri


mobilnya yang sudah siap di depan pintu.

Pak Ihin membukakan pintu mobil dan Pak Amir masuk ke dalamnya. Mbok Yem
mengunci pintu. Lalu berjalan masuk ke dalam tanpa melihat ke arah mobil yang
bergerak meninggalkan halaman rumah.

Suasana malam biasa-biasa saja. Warna langit biasa-biasa saja. Tapi memang udara
agak dingin di luar.

Boutiqe Srigala yang terletak di Jalan Sunan Kalijaga merupakan salah satu boutiqe
eksklusif di daerah Kebayoran. Jalan Sunan Kalijaga memang tidak seramai
Melawai Raya yang lebih dekat dengan pusat pertokoan Blok M, tetapi jalan itu
memberi kesan tersendiri yang justru lebih memantaskan Srigala sebagai alamat
orang-orang kaya Kebayoran, Menteng maupun Tebet, memperoleh pakaian siap
pakai dari berbagai merk terkenal. Srigala khusus butik lelaki

Lepas waktu Isya, sebuah mobil Holden Premier warna hitam pekat berhenti di
depan butik. Seorang nyonya berumur sekitar 43-an keluar mobil digandeng
seorang pemuda umur 27-an yang tadi menyetir mobil itu. Mereka berjalan
memasuki butik, bergandengan mesra sekali.

"Punggungnya nggak dingin?" tanya si pemuda sambil mengusap punggung si


nyonya yang terbuka karena ia memakai gaun backless.

"Dingin? Masa ada jij masih dingin?" kata si nyonya. Keduanya tersenyum seperti
sepasang pengantin remaja raja.

Seorang nona penjaga butik menyambut mereka dengan sopan santun komersilnya.
"Daag Tante, selamet malem... Sampe kangen deh, sudah lama nggak kemari... baju
baru Kern dan Cavallo sudah hampir habis diborong orang, tapi masih saya sisain
buat... mm... buat siapa siih?" Kata penjaga butik. Senyumnya legit ke arah pemuda
yang berlagak pilon.

32
"Eh, Zus Lenda, apa belum kenal? Ini ponakan yang baru,
paling baru. Tommy, kenalan sama Zus Lenda...," kata si
nyonya.

Tommy dan Zus Lenda bersalaman. Keduanya senyum-


senyum. Si nyonya tampak bangga ketika melihat sinar mata
naksir Zus Lenda pada Tommy.

"Ganteng, ya Zus?" kata si nyonya.

"Wah, ganteng sekali. Paling ganteng dari semua ponakan tante yang dulu-dulu. Ini
sih barang eksklusif, he he he," kata Zus Lenda, "ini ponakan yang dari Jerman atau
dari London, Tante Amir?" tambahnya.

"Dari Tebet saja..."' jawab si nyonya yang ternyata bernama Nyonya Amir itu. la
memang istri Pak Amir, jadi ibu Ali Topan status formilnya.

Pemuda Tommy itu bukan ponakan dalam arti sebenarnya, melainkan ponakan
dalam arti semu yang biasa dipakai di kalangan tante-tante girang. Ponakan itu
artinya kekasih gelap. Memang Nyonya Amir itu seorang tante girang yang beken di
Kebayoran. Hal itu termasuk masalah yang membuat Ali Topan kesal, malu dan
selalu menderita batin.

"Ayo, young! Katanya pingin baju Cavallo merah, minta aja sama Zus Lenda," kata
Ny Amir.

"Zus, tolong deh pilihkan warna merah, dan yang biru itu sekalian," tambahnya.

"Ukuran berapa?" tanya Zus Lenda.

"M ... ," sahut Tommy. Tampak ia malu-malu kucing.

Segera Zus Lenda mengambil baju-baju Cavallo warna merah dan biru dari lemari
butik, lalu dihamparkannya di depan Tommy. "Mau coba dulu?" katanya.

“Sudahlah, sudah cocok itu ...," kata Nyonya Amir,”bungkus saja langsung,"
tambahnya.

Zus Lenda langsung memasukkan baju-baju itu ke dalam tas plastik ber-merk
Srigala. Nyonya Amir mengambil 7 lembar Rp 5.000-an, disodorkannya pada Zus
Lenda. "Cukup, Zus?" katanya.

"Kurang seribu, Tante... tapi biar deh, korting seribu."


"Trims deh. Oke, saya langsung saja, ada acara lain, Zus Len," kata Nyonya Amir.
"Silakan. Trima kasih Tante. Trima kasih Tommy," kata Zus Lenda.

la mengantarkan tamunya sampai pintu. Senyumnya segera berubah setelah mobil


Holden yang membawa Nyonya Amir dan Tommy pergi. Senyum komersil yang
cerah berubah jadi senyum iri hati yang sedih. Zus Lenda seorang perawan
menjelang senja.
33
Mobil Holden Premier itu meluncur di jalanan. Tommy
menyetir mobil dengan wajah cerah. Nyonya Amir tersenyum
memandanginya.

"Puas, young? Cavallo merahnya?" tanya Nyonya Amir.

"Oooouw, puas sekali, Tante ... Tapi mahal amat ya? Rasanya
sayang amat duit segitu banyak cuma dapet dua baju saja,"
kata Tommy. Omongannya itu bermakna basa-basi, berkait di ujungnya.

"Aah, buat Tommy tak ada rasa sayang tante keluarkan uang. Yang penting Tommy
puas, senang, tante juga puas, senang. Kan gitu, Tom? Ha ha.."
"Terima kasih, Tante .."

"Oow, kembali kasih, young... tapi nyetirya jangan terlalu pelan dong, tante kan
sudah capek, ingin dipijet sama Tommy... hm... hem," kata Ny Amir.

la mencubit paha Tommy. Tommy menangkap tangannya dan mengusap tangan itu.
Nyonya Amir kembali mencubit paha Tommy. Dan bukan cuma mencubit paha saja.
Tangan itu menjadi liar dan aktif ke sana ke mari.

"Ke Garden, Tante? Langsung?" kata Tommy.

Tommy menancap gas. Mobil melaju ke arah Tebet. Di situ ada penginapan Garden,
tempat orang-orang memadu cinta gelap.

Di rumah, kesepian menggerayangi hati Ali Topan. Suasana sepi seperti itu begitu
sering melingkupinya. Rumah kosong, ayah dan ibunya pergi mencari kesibukan
masing-masing.

Boyke, abangnya sudah jauh. Di Sidney Australia. Kabarnya belajar di sekolah


bisnis. la dua kali mengirim kartupos bergambar kanguru ke Ali Topan. Isinya itu
ke itu saja: tentang cuaca di Sidney, dan nasihat agar Ali Topan jangan bandel-
bandel, harus rajin sekolah, jangan suka membantah papa dan mama dan jangan
suka bertengkar dengan Windy.

Ali Topan membalas menasehati Boyke lewat kartupos bergambar monyet: Kalau
belajar bisnis ngapain lu jauh-jauh ke Australia ? Buang-buang duit. Lu belajar aje
sama Cina-cina di sini. Atau lu belajar nyogok pejabat sama papa.

Boyke marah sekali dikirimi kartupos bergambar monyet dan nasihat itu. la
mengirim balasan kartupos gambar anjing dengan kalimat: Kurang ajar lu! Awas
gue pulang, gue hajar! Wajah Boyke yang klimis tapi mesum terbayang di Ali Topan.

Usianya 4 tahun di atas Ali Topan. Kelakuannya konyol karena terlalu dimanja
akan oleh papa mamanya. Ali Topan tak pernah merasa dekat dengan dia,dan tak
pernah respek. Abangnya itu seorang pesolek gemar foya-foya seperti papanya.
Hatinya hati pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!

34
Boyke dikirim ke Australia oleh papanya sebetulnya menutupi
suatu skandal. la menghamili Sinah, pembantu keluarga
mereka asal Kartosuro yang berusia 15 tahun.

Sinah disuruh menggugurkan janinnya yang telah berusia dua


bulan oleh Pak Amir. Dan diberi uang Rp 75.000 untuk biaya
pengguguran itu. "Besok kamu biar diantar pak sopir ke
dokter kenalanku. Sesudah selesai, kamu akan saya beri uang
lagi," kata Pak Amir seperti yang diungkapkan Sinah ketika Ali
Topan mengetahui kasus itu pada malam harinya.

Ali Topan semula memang tak tahu ada kasus Sinah disebabkan aktivitas seksual
Boyke. Mbok Yem dan pak Ihin yang tahu kasus itu disuruh tutup mulut oleh pak
Amir dan nyonya Amir. Ali Topan tahu ketika malam ia menyuruh Mbok Yem
menanyakan kaos oblongnya yang bergambar lambang `peace' ke Sinah.

"Sinah sudah dua hari ini ndak nyuci pakaian, Den Bagus. Dia sakit," kata
MbokYem.

"Suruh ke dokter, dong..."' kata Ali Topan polos. "Akan ke dokternya mbesok," kata
Mbok Yem.

Ali Topan heran. "Kok besok? Kenapa nggak tadi sore? Atau malam ini?
Emangnnya Sinah sakit apa, Mbok?"

"Ndak tahu sakit apa," kata Mbok Yem lantas cepat-cepat pergi ke dapur. la takut
membongkar rahasia itu. Ali Topan penasaran. la ke kamar Sinah, maksudnya akan
bertanya Sinah sakit apa. Ali Topan kaget ketika dengan polosnya disertai airmata
bercucuran Sinah mengungkapkan kasus itu.

"Lu dosa kalo gugurin anak lu! Jangan mau! Bisa sial lu seumur hidup! Dan kalo lu
mati dimasukin ke neraka kata Ali Topan kepada Sinah. "Daripada begitu, lu
pulang aje ke desa lu dan lu lahirin anak lu di sono. Omongan orangtua gue yang
kagak bener jangan lu turutin, Sinah..:'

Ternyata omongan Ali Topan itu masuk ke hati Sinah. Malam hari itu juga Sinah
pergi secara diam-diam dari rumah majikannya. Mbok Yem pun tak tahu. Sampai
sekarang.

Esok harinya Pak Amir, nyonya Amir, Boyke dan Windy sibuk mencari-cari Sinah.

Pak Amir menyuruh sopir naik kereta api ke desa Sinah. Tapi Sinah tak ada di
rumah orangtuanya. Sinah seperti hilang ditelan bumi.

Beberapa geng dukun yang dibilang sebagai "orang pinter" dimintai bantuan oleh
nyonya Amir untuk menemukan Sinah. sebulan kemudian, setelah Pak Amir,
nyonya Amir dan Boyke putus asa, Boyke dikirim ke Australia dengan alasan
sekolah bisnis.

35
Ali Topan berlagak bodo seperti anak yang nggak tau
persoalan. Karena ia merasa dirinya pun dianggap nggak ada
sebagai anggota keluarga yang mestinya diberi tahu urusan
apa pun yang menyangkut keluarga.

Esok malamnya, ketika ikut mengantar Boyke ke bandara, Ali


Topan memperhatikan betapa Ruby, pacar Boyke menangis
tersedu-sedu di pelukan Boyke disaksikan oleh tante Hernadi
mama si Ruby dan teman-teman mereka.

Windy dan nyonya Amir menghibur Ruby dengan kata-kata indah.

"Boyke nggak lama kok...," kata Windy.

"Ini kan demi masa depan kalian juga," kata nyonya Amin. "Boyke pasti akan selalu
setia kepada Ruby," lanjutnya. Dan sebagainya... yang bikin Ali Topan geli.

Sementara Pak Amir berdiri dengan gaya sok hebat bisa menyekolahkan anaknya
ke luar negeri, matanya jelalatan ke mana-mana.

"Aah, gentong nasi-gentong nasi, ngelebih-lebihin pemain ketoprak lu pade,"


gumam Ali Topan yang berdiri bersama Mbok Yem di luar kerumunan mereka.

"Ngomong apa?" tanya mbok Yem waktu itu.

"Di sini nggak ada yang jual ketoprak, Mbok," kata Ali Topan yang tersadar ia
ngomong sendirian.

"Hus ! Nanti malem saja mbok bikinkan. Aneh, orang-orang sedih mengantar mas
Boyke, kamu malah pingin ketoprak," kata mbok Yem.

"Kencurnya banyakin entar ya, Mbok..."

"Ya udah, nanti!" kata Mbok Yem sambil mencubit lengan Ali Topan.

"Biar berasa ancur-ancurannye..," kata Ali Topan sambil menggandeng lengan


MbokYemnya.

Potongan-potongan peristiwa masa lalu itu berkilasan dalam memori Ali Topan.

Peristiwa yang menjadi bagian dari tragedi kehancuran moral keluarganya. Dan
tragedi itu masih berlangsung.

Ali Topan berjalan hilir mudik di ruang tengah, ruang depan, lalu kembali ke
kamarnya. Radio masih menggemakan mudik The Beatles dari studio Bonaparte.

Lagunya Mother Nature's Son...

Born a poor young country boy MotherNature's Son


day long I'm sitting singing songs everyone...

36
“Den Bagus, nggak mandi? Sudah malem. Mbok sudah sediain
air panas tuh. Mesin pemanas air di kamar mandi rusak,"
suara Mbok Yem halus menyapa Ali Topan pintu. Ali Topan
berbalik menghadap Mbok Yem.

" Beh, kaget gua!" katanya. "Gua nggak mau mandi pake aer
panas, Mbok," tambahnya.

“Lho kok nggak mau kenapa? Bandel, badannya anget disuruh


mandi pakai air anget nggak mau. Kalau begitu raup saja."

“Apa itu raup? Raup itu cebok, ya Mbok?" kata Ali Topan. Dia tersenyum geli ke
arah Mbok Yem dan si mbok melotot.

"Ooo, raup saja nggak tau. Raup itu cuci muka!"

"Bahasa apa itu raup?"

"Lho, bahasa Jowo to?"

"Oow, bohoso Jowo? Guo soh orong Njokorto, Mbok? Bukon orong Njowo... ho ho
ho," kata Ali Topan. Dia terpingkal-pingkal.

Mbok Yem ikut ketawa. Dia suka kalau melihat Den Bagusnya ketawa macam itu.
Pokoknya asal Den Bagusnya tidak kelihatan bersedih hati dan muram, Mbok Yem
sudah senang.

"Raup apa mandi air anget?" kata Mbok Yem.

"Kalau mandi air anget keseringan bisa impoten, Mbok! Tau impoten apa nggak?"

"Impoten...," kata Mbok Yem, "Ayo deh, mandi saja sana," tambahnya. Mbok Yem
meninggalkan Ali Topan. Mother Nature's Son dari The Beatles usai.

Ali Topan mencopot pakaiannya, lalu pergi mandi. MbokYem masuk ke kamar,
membereskan kamar itu usai Mother's Nature Son, terdengar suara penyiar radio
Bonaparte yang vokalnya cempreng. "Buat Ali Topan di mana saja berada, kami
akan putarkan lagu kesenangannya, The Fool On The Hill. Atas permintam Maya
dengan ucapan: "Eh kamu ke mana aja sih kok nggak ada beritanya. Aku kangen
loh..."

"Aduh duh duuh yang kangen... kesian amat... Kalan memang yang namanya Ali
Topan itu nggak ada kabar-kabarnya, nggak usah dikangen-kangenin... Entar;
kegeeran dienya... Putusin aje... Kayak layangan... studio Bonaparte banyak stok
kok... he he he ... Terutama yang sedang ngablak nih... Aku baru ga punya pacar
loh... he he. he... Okey Maya.. dan Ali Topan dan para monitor Bonaparte di
Kebayoran Baru dan sekitarnya, selamat mendengarkan dan salam kompak dari
apung-apung alias anak pungut Napoleon Bonaparte." Penyiar itu mengoceh
panjang tanpa putus.

37
Lalu terdengarlah nada-nada piano intro lagu yang
menakjubkan itu, disusul vokal Paul McCartney yang kebocah-
bocahan.

Day after day,


Alone on a hill,

The man with the foolish grin is keeping perfectly still


But nobody wants to know him,
They can see that he's just a fool,
And he never gives an answer,
But the fool on the hill,
Sees the sun going down,
And the eyes in his head,
See the world spinning 'round.
Well on the way,
Head in a cloud,
The man of a 1000 voices talking perfectly loud
But nobody ever hears him,
Or the sound he appears to make,
And he never seems to notice,
But the fool on the hill,
Sees the sun going down,
And the eyes in his head,
See the world spinning 'round.

“Lagu opo iki ! Mbok nggak ngerti..."' gerutu mbok yem ditengah interlude lagu
yang tiupan flute-nya filosofis banget.

Dari kamar mandi di samping kamar itu terdengar suara lantang Ali Topan
menjerit menyanyikan bait akhir syair lagu yang menyindir orang-orang dungu
yang mengolok-olok seorang bijak yang menyendiri di suatu bukit sebagai the fool.
Ooo.. Oooh!

He never listens to them!


He knows they're the fools..!!

38
EMPAT

Malam itu pukul sembilan lewat sepuluh menit. Di sebuah


jalan raya yang menuju ke kota Bogor, Fiat Sport Pak Amir
melaju kencang. Sopir tenang menatap jalanan di depannya.

Pak Amir tenang memangku seorang perempuan di jok


belakang. PakAmir bukan rapat malam ini, sebagaimana yang
dikatakannya pada Mbok Yem.

Pak Amir bukan rapat melainkan `rapet'. Perempuan muda belia yang ada di
pangkuannya itu seorang pelacur. Dia mengambil pelacur itu dari seorang germo di
Jatinegara.

"Oom, bagi rokoknya dong. Emmy pingin ngrokok deh," pelacur muda itu berkata.
Mulutnya dimonyongkan ke mulut Pak Amir.

"He he he, rokok sih boleh. Rokok besar apa rokok kecil? He he he .. ."

"Ah, si Oom ini... suka begitu... rokok kecil dong. Rokok besarnya nanti saja."

"Lho, begitu apanya? Kan bener, Oom tanya mau rokok besar apa rokok kecil?
Rokok besar itu cerutu, Oom juga bawa, tapi cuma sebatang, kalau rokok kecil ada
sebungkus."

Pelacur Emmy mencium jidat "Oom" Amir, Pak amir balas mencium pipinya.
Keduanya berciuman. Emmy tak jadi minta rokok. Malah yang merokok klepas-
klepus sopir mobil itu, yang bulu kuduknya merinding mendengar cap-cup-cap-cup
serta helaan nafas erotis dari majikannya dan gendaknya.

Di depan garasi rumah Pak Amir.

Ali topan memakai jeans putih, kaos oblong biru dan jeans lengan buntungnya. la
membawa buku tulis diselipkan di sela pinggang celananya. Barusan Gevart
menelepon ngajak belajar bersama. la menyemplak motornya. Mbok Yem geleng-
geleng kepala di dekat garasi lihat Ali Topan.

"Nggak usah pergi lagi, Den Bagus. Tadi bapak pesan supaya den bagus di rumah
saja. Jangan pergi, Den ...," kata MbokYem.

“Sumpek di rumah, Mbok. Aku mau belajar di rumah Gevaert. Aku pergi dulu ya,
Mbok."

Ali Topan menghidupkan mesin motornya. "Daah, Mbok. "

"Daaah:

Ali Topan melambaikan tangan ke Mbok Yem. Mbok Yem melambaikan tangan ke

39
den bagusnya itu. Ali Topan langsung menggeblas dengan
motornya. la tak mau tenggelam dalam kesedihan.

"Ati-ati di jalan Den Baguuus! Jangan ngebuuuut," teriak


Mbok Yem. Tapi teriakannya itu ditelan oleh deru knalpot
motor. Ali Topan tidak mendengarnya.

Di rumah Gevaert.

Gevaert mengatur buku-buku pelajaran di kamarnya. Dia bersiul-siul lagu


sembarangan. Tampaknya gembira betul dia.

Tina, kakak perempuan Gevaert muncul di pintu kamar. "Assiiiik deh, bersiul-siul
sendiri. Ada apa sih, Vaert? Baru dapet undian harapan ya?" kata Tina.

Gevaert tak menengok. Dia tetap bersiul-siul dan menata buku-bukunya.

"Gevaert! Budeg lu ya? Ditanya orang diem aje!" Gevaert menoleh ke arah Tina. Dia
menyeringai. "Eh, orang lu? Gue kirain bukan," katanya, "iye, iye, eh iye besok mau
ulangan, jadi gua menyenang-nyenangkan diri dong. Biar kagak grogi Tin! Ng,
tulung bikinin kopi sama sediain roti dong, kawan-kawan gue mau studi di sini,
Tin," tambahnya.

Tina mencibirkan bibimya.

"Wuuu, enak aje. Emangnye gue babu lu?"

"Yeee, kalau babu cakepnya kayak lu, stimbat tutup dong!"

"Ah sialan lu..."

"Iye deh, sialan ya sialan, cuma tulungin dong. Masa gua yang musti bikin kupi.

Ntar rasanya kayak aer comberan dong, Zusye ... ," kata Gevaert, "Yang satu rada
enceran ya, buat si Topan. Dienye kagak doyan kupi kentel," tambahnya.

Tina tertegun. Wajahnya mendadak cerah.

"Eh, die dateng juga? Boleh deh gue bikinin. Tapi, ngomong-ngomong, die udah
punya cewe apa belon sih Vaert? Siapa sih ceweknya?"

"Lu naksir dia? Jangan macem-macem lu. Ngaca dong, ngaca... umur lu berape,
Tin..."
"Kalau gua naksir emang kenape? Nggak boleh? Itu hak gue dong. Hak asasi! Lu
kan juga naksir temen gua. Gantian boleh dong ..."

Tina menyeringai ke adiknya. Gevaert mikir.

“Sape temen lu yang gua naksir? Tampang udah kaya oplet semua begitu ..."
"Ngepet lu!"

40
Gevaert ketawa. Tina juga ketawa. Mereka akrab sebab kakak-
adik, walaupun tampaknya sering bertengkar.

Tina, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Romusha,


memang rada cerewet, sedangkan Gevaert suka usil.

"Uh, teman-teman gue di Romusha banyak yang naksir Ali


Topan deh Vaert. Anaknya keren banget sih."

“Temen-temen lu udah pada ngaca apa belon? Kalau tampangnye masih kayak
oplet sih lu bilangin, suruh pergi ke bengkel Chow Brothers dulu supaya dipermak.

Sorry aje, gang kite nggak terima cewek opletan!"

"Ih, sadis deh lu! Ntar gue bilangin sama si Poppy baru tahu lu."

Poppy itu kawan se-fakultas Tina yang ditaksir Gevaert. "Wauuuuw, jangan dong,
sayaaang. Kalau si Poppy sih barang mulus tuh. Pokoknya bakal bini gua dia. Lu
bilangin, gua larang dia naksir-naksir orang lain. Tunggu lamaran gue aje, ye? Heh
heh heh. "

Tina tertawa manis mendengar ucapan adiknya.

"Tapi tuker sama Ali Topan dong. Poppy buat lu, Ali Topan buat gua," kata Tina.

"Eh, lu serius nih?"

"Dua rius... Tampangnya hensem, tongkrongannya macho, babenya kaya... Woow!


Gue mau deh langsung kawin ha.. ha.. ha..!"

Gevaert tiba-tba serius menatap mata Tina. Kakaknya heran. "Kenape lu ? Nggak
setuju kalo gue kawin sama sahabat lu? Kan asyik dia jadi abang ipar lu... Dan lu
manggil dia Bang Ali.. Eh, Bang Ali ! Bang Ali ! Kayak kalo kita manggil Gubernur...
hi hi hi hi..," celotah Tina. Gevaert menggaruk-garuk kulit kepalanya. "Entar kalo
die dateng lu jangan sekali-kali ngomong soal babe atau nyaknye! Die kagak
demen...," kata Gevaert.

"Lho, kenape? Emang die anak pungut “tanya Tina. "Udah deh... pokoknya sedih
deh setorinye..."' kata Gevaert.

Terdengar deru motor masuk halaman.

"Tina! Tolong suruh masuk die!" teriak Gevaert. Tina berlari ke pintu. Dia sibak
gorden, melihat keluar.

Ali Topan tampak memarkir motornya. la menggeraikan rambutnya yang gondrong.

Kemudian berjalan ke pintu. Tina memperhatikannya. Hati Tina mpot-mpotan. Ali


Topan memijit bel pintu.

41
Tina membukakan pintu. Tina tersenyum maniiis. "Haiii apa
kaaabaaaar . ..," sapa Tina.

"Sip sip aje, Tin. Si Gevaert ada?" tanya Ali Topan. Wajahnya
netral.

Tina menunjuk ke arah kamar adiknya.

Gevaert muncul di pintu. "Masup, Pan! Jangan kelamaan lu di situ, ntar Mpok gua
naksir!" kata Gevaert. Tina tersipu-sipu. Wajahnya yang putih mendadak dironai
warna merah. Darah naik ke wajahnya.

"Ah, becanda lu, Vaert!" kata Ali Topan.

Dia menengok Tina. "Terima kasih dibukain pintu, Tin," katanya. Tina tak
menjawab. Dia masih malu atas olok-olok Gevaert.

Ali Topan berjalan masuk ke kamar Gevaert. "Tampang netral banget, Pan. Semua
beres?" tanya Gevaert.

"Gua sih beres. Yang laennya kagak... Gua lagi males belajar, mack. Gua males
ngapa-ngapain," kataAli Topan.

“Nggak ape-ape, yang penting lu dateng. Mpok gue gue suruh bikin kupi. Ntar lagi
juga anjing-anjing dateng."

selesai Gevaert bicara, terdengar suara motor di halaman lagi. "Noh, mereka. Bener
apa kagak gua!" kata Gevaert.

Bobby dan Dudung memang datang. Mereka memarkir motornya di dekat motor
Ali Topan. Keduanya langsung masuk ke rumah.

"Salam lekuuuum," Dudung memberi salam.

“lye, lekum salaaam! Masup aje masuuuup!" Gevaert teriak dari dalam kamarnya.
bobby dan Dudung masuk ke kamar Gevaert.

"Hei njing! Sepi banget rumah lu! Mami lu lagi pergi ya' kata Bobby.

'Lagi nglayab dia," jawab Gevaert.

Bobby melihat ke Ali Topan yang duduk tenang di lantai. "eh lu? Ampir gue nggak
lihat. Sorry boy," katanya. “Sori, sorrii," kata Dudung membeo Bobby. Dia
menyalami tangan Ali Topan dan Gevaert dengan gaya khas orang Kuningan,
dengan dua tangan. Ali Topan menjabat tangan Dudung sekilas saja. Tiba-tiba
terbayang foto-toto mamanya di kolam renang...

"Wah, kelihatannya kurang semangat, Pan. Ada kasus apa nih? Broken home?" kata
Dudung. Dia membanyol. Ali Topan tersenyum. la coba menetralkan perasaanya
lagi. "Brokentut!" katanya.
42
Sobat-sobatnya ketawa. Tina datang bawa kopi.

"Ck ck ck. Serpisnya kagak tahan. Cepet betul. Memang mpok


kite ini berhati beludru ibarat katanya," kata Bobby. "Aah...
jangan ngerayu lu Bob. Gua bukan cewek rayuan," kata Tina.
Dia toh tersenyum. "Cewek panggilan!" Ali Topan nyeletuk.

Tina membelalak. Tangannya goyang, baki di tangannya ikut


goyang, kopi hampir tumpah. Tapi Ali segera tersenyum. Dan itu cukup
mengobati.kak Tina mendengar olok-olokan tadi.

"Terima kasih, Tin," kata Ali Topan. "Kembali kasih," kata Tina.

Tina keluar.

Dudung, Bobby dan Ali Topan langsung mengambil gelas kopi masing-masing.

"Uw, panas mack," kata Bobby.

"Makanye, sabar dikit. Jangan kayak orang ngga kenal kupi aje, mack," kata
Gevaert. "Ngomong-ngomong, ternyata besok kita ada ulangan nih. Gua mau
studi," kata Gevaert lagi.

"Kelas kita sih nggak ulangan ya Bob?" kata Ali Topan "Minta-minta sih nggak ada.

Tapi siapa tau? Guru-guru kita makin nambah aje nyentriknye. Suka ngasih
ulangan tanpa bilang dulu. Siap-siap aje ah. Aljabar ya Vaert?" Bobby menjumput
buku ilmu Aljabar dari meja. Dudung ikut-ikutan melihat Aljabar.

Ali Topan tenang-tenang menyulut rokok.

Dia merasa capek. Pikirannya penuh ketegangan yang dibawa dari rumahnya.

Sampai jam setengah satu mereka berkumpul di situ. Lantas mereka pamit.

Bulan temaram. Ali Topan mengandaarai motornya perlahan-lahan. Perasaan dan


pikirannya melayang seperti malam.

43
LIMA

Ali Topan bangun jam setengah delapan. Rasanya masih


ngantuk dan capek. Tapi Mbok Yem ngotot
membangunkannya. "Cepet mandi, Den Bagus. Terus sekolah.

Sarapan dulu," kata Mbok Yem.

Ali Topan mandi cepat-cepat. Lalu berpakaian cepat-cepat. Ia


tak memakai seragam batik yang ditetapkan oleh Kepala Sekolah. la lebih suka
memakai jeans saja, walaupun dia seringkali ditegur di sekolah karena hal itu. Dia
lewat kamar ayah dan ibunya yang masih tertutup.

"Nggak sarapan, Den Bagus?"

"Nggak! Kata Ali Topan, "aku berangkat, Mbok."

Mbok Yem mengantarkan Ali Topan ke depan. Dia nunggu sampai Ali Topan
berangkat dengan motornya. Kemudian dia masuk untuk membereskan kamar Ali
Topan.

Mbok Yem mencibirkan bibir ke arah pintu kamar majikan tuanya. Uh, orangtua
kok brengsek begitu, gumamnya.

Ali Topan ngebut ke sekolah. la sudah terlambat satu jam pelajaran. Sebetulnya jam
pertama dan jam kedua adalah jam Agama Islam. Tapi sudah dua minggu Pak Guru
Agama Islam cuti ke Padang. Dan guru-guru jam pelajaran berikutnya suka iseng
menggeser maju jam pelajaran supaya lebih cepat bebas tugas harian.

Ketika Ali Topan sampai di depan pintu kelasnya, suasana memang sepi. Pak Guru
Ilmu Aljabar tampak berdiri membelakangi pintu, mengawasi murid-muridnya.

"Selamat pagi, Pak!" kata Ali Topan.

Pak Guru Ilmu Aljabar, Pak Surono, menoleh ke pintu. Ali Topan masuk ke dalam
kelas.

"Waduh, ulangan nih Pak. "

"Iya. Kenapa? Kalau tidak mau ikut keluar saja sana!" kata Pak Surono.

"Wah, rugi dong, Pak," kata Ali Topan, "boleh kan saya ikut, Pak?" tambahnya.

Pak Surono yang terkenal acuh tak acuh cuma menganggukkan kepalanya. Ali
Topan langsung menuju ke bangkunya. Bobby sudah duduk di bangku itu. Ali
Topan tertegun melihat ke bangku belakang. la kaget betul melihat Anna duduk di
bangku belakang itu. Gadis manis yang diganggunya di Blok M kemarin, kok bisa
nyasar ke situ? Kata hatinya. Anna memandang sekilas padanya. Tampak juga
kekagetan Anna. Tapi gadis itu cepat mengalihkan perhatiannya ke soal-soal aljabar.

44
Ali Topan duduk di bangkunya. Dia menyikut Bobby. "Bob! Itu
cewek yang kemaren kita godain?" bisiknya. "Hei! Jangan
menganggu orang yang sedang bekerja kau!" suara keras Pak
Surono menggelegar. Murid-murid langsung melihat ke arah
Ali Topan. Ali Topan menyeringai. Dia mengacungkan
tangannya.

"Minta kertasnya, Pak!" kata Ali Topan.

Ali Topan berjalan ke depan, mengambil kertas ulangan.

"Boleh pinjam pulpennya sekalian, Pak? Pulpen saya ketinggalan," kata Ali Topan.

Dia cuma iseng menggoda Pak Rono saja.

“Kau ini ada-ada saja. Kalau nggak punya pulpen ya pakai jari saja!" kata Pak
Surono.

Topan nyengir. Dia kembali ke bangkunya, dan menggarap soal-soal ulangan yang
ada.

BuatAli Topan tak sulit menggarap soal ulangan itu. Ali Topan adalah murid
terpandai di sekolahnya sejak kelas satu dulu. Kecerdasannya di atas rata-rata anak
seusianya. ketika masih kecil, belum bersekolah, ia sudah dapat membaca dan
menulis. Dan menghitung angka-angka. Bukan hanya menghafal, tapi juga
penjumlahan, penguiangan, perkalian dan pembagian bilangan. Sejak kecil ia
gemar membaca dan bertanya tentang yang dia baca: Buku-buku cerita, buku-buku
pelajaran Boyke dan Windy, majalah-majalah, surat kabar dan bahkan kertas-
kertas bekas pembungkus dari pasar dan toko.

Teman-teman dan bahkan guru-gurunya heran, bagaimana mungkin anak berandal


yang tak pernah terlihat belajar, tampak santai di sekolah itu dapat menjadi murid
terpandai di sekolah. Lagi pula, Ali Topan beberapa kali memenangkan lomba
mengarang se-Jakarta yang mengangkat nama sekolahnya. Ketika naik kelas dua,
pada upacara bendera, ia disuruh menjelaskan di depan semua murid dan guru-
guru bagaimana cara dia belajar.

"Saya ini suka membaca dan menuliskan intisari apa yang saya baca. Dan
menyusun daftar pertanyaan apa-apa yang saya belum mengerti. Saya bertanya
kepada ayah saya, ibu saya, kakak-kakak saya sampai mereka bosen dan sering
marah-marah. Marah-marah itu ternyata karena disebabkan mereka tidak tahu
atau tidak mengerti jawabannya. Maka saya bertanya kepada orang lainnya.

"Dan kalau mau tahu, mengapa saya terlihat santai di sekolah, karena semua buku
pelajaran selama setahun sudah saya baca dan saya mengerti pokok-pokok isinya.

Dan yang penting, tidak semua penulis buku-buku pelajaran itu pandai
menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki dalam bentuk tulisan.

"Jelasnya, seorang ahli Ilmu Kimia atau Biologi belum tentu pandai menyampaikan
ilmu yang mereka dapatkan itu secara tertulis, apalagi dalam bentuk buku. Hingga
45
murid-murid kesulitan mempelajari ilmu itu. Nggak seperti
kalau kita baca novel atau cerita silat Cina. Maka, saya sering
menyunting atau menuliskan kembali buku-buku itu dengan
gaya novel atau cerita silat, hingga saya dapat mengerti
dengan jelas tentang ilmu yang diajarkan...," kata Ali Topan.

"Menurut saya, kalau orang mau pinter begitu caranya. Kalau


ada di antara teman-teman yang mau mengikuti cara itu, ya
ikutin aja...," lanjutnya yang disambut tepuk tangan guru-guru
dan murid-murid. Bahkan Dudung dan Gevaert berseru,
"Hidup Ali Topan!"

"Dan... kenapa kalau mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian, saya kerjakan yang
gampang lebih dulu. Yang pasti bener jawabannya. Yang susah-susah belakangan
aja, supaya nggak ngabis-ngabisin waktu. Kalau memang ada soal-soal yang saya
nggak tahu jawabannya ya saya nggak jawab dari pada salah. Kalau salah bukannya
jeblok nilainya, tapi minus... Bukan begokit Pak Brot Pang ha ha ha ha....," Ali
Topan mengakhiri ceramahnya yang disambut tawa riuh rakyat se-SMA
Bulungan itu. Pak Broto Pangabean tertawa pula sambil mengepalkan tinju ke arah
murid kesayangannya itu. "Kalau aku bukan Direktur di sini sudah ku bilang
kimak-lah kau Ali Topan...," gerutunya.

Wajah lbu Dewi merah padam. Dengan langkah cepat berjalan menuju kantor
Direktur Sekolah. Pak Broto yang sedang bekerja terkejut melihat Ibu Dewi
memasuki ruangannya dengan langkah cepat dan wajah marah..

"Bapak harus memanggil Ali Topan!" teriak Ibu Dewi, Dia telah menghina saya,"
sambungnya. Nafasnya tersengal-sengal karena rasa marah yang memuncak.
"Lho, ada apa, Bu?" tanya Pak Broto.

"Ali Topan! Di depan murid-murid lain di kantin, anak Kurang ajar itu menentang
saya! Kurang ajar sekali! Apa dia murid istimewa maka dia berani bertingkah
semau-maunya di sekolah ini! Bapak harus bertindak! Harus! Kalau perlu
keluarkan saja murid biadab itu! Kalau Bapak tidak menghukum dia, saya akan
laporkan ke Departemen!" kata ibu Dewi.

"Tenang... tenang Bu Dewi. Persoalan sebenamya apa? Tolong jelaskan dulu...


Sabar... minum dulu..."' kata Pak Broto Panggabean.

"Saya menangkap basah dia sedang merokok di kantin! Saya menyuruh dia
mematikan rokoknya, dia tidak mau! Malah saya mau dia pecat katanya...
Memangnya dia itu siapa?" kata Bu Dewi. "Bapak harus memanggil dia sekarang
juga !"

Pak Broto mengernyitkan dahi.

"Hadiiii!" teriaknya.

Hadi, sekretaris umumnya tergopoh-gopoh datang dari meja kerjanya yang terletak
di ujung ruang.

46
"Ya, Pak!" kata Hadi.

"Panggil Ali Topan ke sini. Cepat!"

Hadi tergopoh-gopoh keluar. Setengah berlari ia menuju kelas


Ali Topan.

Ali Topan duduk di lantai depan kelasnya. Ia melihat Anna


yang sedang bercakap-cakap dengan Maya. Hadi datang tergopoh-gopoh.

"Ali Topan, kamu dipanggil Pak Direktur sekarang juga," kata Hadi.

"Ada perlu apa?" Tanya Ali Topan. "Mana saya tahu?"

"Kamu harus tahu dong apa yang diinstruksikan oleh Boss kamu! Sana, balik lagi,
tanya sama Pak Direktur, ada urusan apa mangil-manggil gue!" kataAli Topan.

"Aaaah, ayolah! Nanti saya kena marah nih," kata Hadi mengrajuk. Ali Topan
berdiri, lalu berjalan bersama Hadi. Ali Topan masuk ke dalam ruang Direktur. Di
situ sudah menanti Pak Broto dan Ibu Dewi dengan wajah kaku. Ali Topan
mengangguk pada Pak Broto dan Ibu Dewi. "Selamat pagi," kata Ali Topan.

"Ali Topan! Tau, kenapa kau kupanggil? Kau makin tidak tahu aturan. Kau telah
melanggar disiplin sekolah, kau telah berani menghina Ibu Dewi. Paham kau?"
teriak Pak Broto.

"Kurang begitu paham, Pak. Harap diperinci satu per satu."

Pak Broto Panggabean diam. Ibu Dewi mengerutkan dahinya.

"Kau tadi merokok di kantin! Kau saya tegur dan membantah dengan cara krosboi!
Betul?" kata Ibu Dewi.

“Oooh, kalau itu betul," kata Ali Topan. Dia menampilkan wajah serius. Kepalanya
mengangguk-angguk. pengakuannya yang gamblang justru di luar dugaan Pak
broto dan Ibu Dewi. Kedua guru itu saling memandang, Bu Dewi melongo, ia
kehilangan kata-kata. “Jadi bagaimana?" kata Pak Broto, untuk mengisi suara
bengong.

“saya mengaku apa yang saya perbuat pak. Kalau bapak nilai salah, ya saya salah,"
kata Ali Topan. "Saya pakai cara krosboi karena ibu Dewi juga pake cara cros
teacher.”

"Huh! Harusnya anak semacam ini dikeluarkan saja dari sekolah kita!" kata Bu
Dewi. la memandang tajam pada Ali Topan.

Jadi, Ali Topan... ng... daftar tentang kelakuan negatifmu di sekolah sudah begitu
banyak. Saya tidak tahu lagi mau taruh di mana daftar kenakalanmu ini, dan yang
akan datang! Saya tahu, mungkin kau beranggapan dirimu pandai, otak kau lihai
dan nilaimu selalu bagus dalam setiap pelajaran. Tapi ... itu semua tidak ada
47
artinya kalau kelakuanmu dapat nilai minus! Kau camkan itu!
Nah sekarang, keluar kau!" kata Pak Broto Panggabean.

Ucapannya keras betul, tapi heran wajahnya tetap tampak


memendam perasaan welas asih.

Ali Topan mengangguk. Dia berjalan keluar tanpa bicara apa-


apa lagi. Memang dia sudah bosan bicara, sudah bosan
memberikan alasan kenapa dia bersikap begini begitu.

Sikapnya yang melanggar peraturan bukan tidak disadarinya, malah dia sengaja
membuat tindakan yang "nakal". Soalnya dia sudah sering memprotes beberapa
peraturan sekolah dan kelakuan guru-guru yang dia nilai tidak cocok dengan
program pendidikan dan pengajaran.

Ali Topan berjalan tenang masuk ke dalam kelasnya. Pelajaran Bahasa Inggris pada
jam ke-3 dan ke-4 belum mulai.

Murid-murid sedang menunggu Bu Mary, sang guru Bahasa Inggris. Ali Topan
muncul dengan wajah tenang dan berdir di pintu, memandang teman-temannya. Ia
memandang Maya, Ridwan, Bobby dan semua teman-temannya yang duduk tenang
di bangku masing-masing. Mereka diam, seperti menunggu pidato Ali Topan.

"Anak-anak. Mengapa wajahmu seperti plembungan?" kata Ali Topan.

Grrrrr. Ketawa meledak memenuhi kelas. Suasana yang diam berubah seperti biasa.
Ribut kasak kusuk.

"Buset si hostess Dewi cari gara-gara lagi sama gue," kata Ali Topan. Dia berjalan ke
bangkunya.

"Emang kenape, Pan? Dendam lama?" Bobby nyeletuk. "Biaseeee ... kita ogah
mboooking die tadi malem, eh, dienya marah-marah ..."
Grrr lagi.

"Eh, Pan! Kenape lu ogah mbooking die? Kan bodinya lumayan mulus ... ,"
seseorang dari belakang berteriak. Ali Topan menoleh ke belakang. Pas saat
itu,Anna melihat padanya. Keduanya saling berpandangan. Ali Topan tidak jadi
mengucapkan kata-kata kasar tentang Ibu Dewi. Dia melambaikan tangan dengan
manis ke arah Anna. "Hallo, sayang ....," bisik Ali Topan. Anna Karenina
menundukkan wajahnya.

Ibu Mary muncul di pintu.

"Good morning everybody," sapa Bu Mary seperti biasa. "Good morning, Miss,"
sahut anak-anak.

Ibu merry langsung duduk di kursinya dan mengabsensi murid-muridnya. Pada


giliran nama Ali Topan ia berhenti.

“Ya ada Bu Mary. Saya tidak mbolos ... ," kata Ali dengan kalem. Grrr lagi tak dapat
48
ditahan keluar dari mulut teman-temannya. Ibu Mary pun
terpaksa menyunggingkan senyum `Pepsodent'.

"Kamu memang berandal, Ali Topan. Tapi bagus juga kamu


sadar, sebelum ditanya sudah mengaku," kata Mary. Dia
melanjutkan mengisi daftar hadir muridnya. Lalu segera
memulai pelajaran Bahasa Inggris. seperti biasanya juga, ia
memulainya dengan,

"Once upon a time...."

“There was a poor boy who living in the house of The rising Sun...," celetuk Ali
Topan. Grrr... grrr-an lagi teman-temannya sekelas termasuk Anna Karenina
menutupi mulutnya dengan saputangan. "Bengal sekali deh...," bisik gadis itu
sambil memandang Maya.

“Sesuai dengan namanya... Ali Topan...," lanjutnya.

"Memang... tapi dia itu jenius... Dan baik hati..," bisik Maya.

"Oh ya?" bisik Anna Karenina. la memandang sekilas ke arah Ali Topan. Matanya
ceria. Maya tiba-tiba merasa cemburu.

49
ENAM

Rumah keluarga Surya di sudut jalan RRI VII No. 88 sekitar 2


km arah Barat dari Blok M tampak lebih megah dari rumah-
rumah di kiri kanannya.

Rumah itu bercat putih berarsitektur `klasik' seperti puri di


negeri-negeri Eropa. Di berandanya ada dua tiang beton besar
kembar yang bentuknya seperti tiang Yunani. Lebar bangunan
yang menghadap ke Barat itu sekitar 15 meter.

Halaman depannya ditumbuhi rumput Peking dengan jalanan mobil beraspal dari
pintu gerbang ke garasi di sayap kanan gedung itu.

Halaman itu berpagar tembok yang atasnya diberi pecahan kaca. Sekelompok
pepohonan pisang merah di sebelah kiri beranda. Di depan beranda ditanami
rumpun mawar dan melati. Tak ada satu pun pohon buah-buahan.

Nyonya Surya membuka-buka majalah Femina di ruang tengah rumahnya. Oom


Boy sedang membersihkan aki mobil dengan air panas. Jam dinding di rumah itu,
yang disetel lebih cepat lima menit, berdentang. Nyonya Surya menutup Femina. Ia
melongok ke halaman.

"Booy! Sudah jam setengah satu! Tolong jemput ponakanmu!" teriak Ny Surya.
Oom Boy mengangguk. la buang air panas dari teko ke halaman, kemudian melap
aki mobil dengan kain kuning.

"Boooy! Ayuuuuh... sudah waktunya Anna pulang ...," teriak Ny Surya.


Boy menutup kap mesin, kemudian ia berlari ke kran mencuci tangannya. Setelah
itu, dia berlari ke mobil.

“Cepat pulang, Boy!" teriak Ny Surya yang melongok ke jendela.

"Okey!"

Boy menghidupkan mesin mobil, langsung menancap gas. Mercedes melesat keluar
halaman.

Anna berjalan bersama Maya menuju pintu gerbang sekolah. Ali Topan, Bobby,
Dudung dan Gevaert menuntun motor masing-masing di belakang mereka.

"Bagaimana kesan hari ini, An?" tanya Maya.

"Yaaah, boleh juga. Anak-anaknya suka melucu ya? Kayaknya enak juga suasana di
sini," kataAnna.

"Mudah-mudahan kamu betah," kata Maya, "Eh, rumah kamu dimana sih?"
tambahnya.

"Lho, tadi kan udah saya kasih tau. Lupa?"

50
"Iya, Jalan RRI, nomernya lupa. "

"RRI tujuh, nomer delapan puluh delapan!"

"Ooh, iya. Kapan-kanan boleh main dong?"

"Boleh saja... ng... iya, iya, boleh...," kata Anna, dia agak ragu
dengan pembolehannya itu. Maya tidak sempat menangkap
keraguan itu, karenaAli Topan menowel tangannya dari belakang.

"Mau bonceng, May? Bobby tuh nawarin. Boncengannya lagi nganggur," kata Ali
Topan.

"Ah, takut ah.. Kalian suka ngebut sih," kata Maya.

"Allaaah, bilang aje ogah naik motor. Ngarti deh, anak orang kaya memang begitu.
Maunya Mercy terus," kata Ali Topan.

Maya tak mengerti arah tujuan ucapan Ali Topan. la menampakkan wajah bingung.

Mercy? Kapan dia punya Mercy? Tapi. Anna yang merasa kena sindir, menoleh ke
Ali Topan. Ali Topan langsung mengirimkan senyuman simpatik ke Anna.

"Betul begitu kan, ya Anna?" kata Ali Topan.

Anna Karenina mengernyitkan dahinya. Ia tidak menjawab. la memandang Ali


Topan dengan tenang dan berani. Ada keangkuhan tersendiri dari pandangan Anna
yang terasa di hati Ali Topan.

"Ooh iya, kita belum kenalan secara resmi. Nama saya Ali Topan. Saya yang nimpuk
kamu dengan kulit rambutan di Blok M kemarin," kata Ali Topan.

"Saya sudah tahu," kata Anna Karenina, "terima kasih atas keterus-terangan
kamu," tambahnya. Kemudian ia menoleh ke arah Maya, "Maya saya pulang dulu
ya? Saya mau naik Mercy, kamu mau ikut?" kata Anna Karenina dengan wajah
anggun.

Maya menggelengkan kepalanya. Anna Karenina berjalan cepat menuju mobil


Mercy. Oom Boy melambaikan tangan ke arahnya.

Ali Topan terpaku di tempatnya, memandang Anna Karenina yang berjalan dengan
mantap. Tap-tup-tap-tup, hentakan langkah Anna di aspal jalan terasa sebagai
suatu hentakan aneh di hati Ali Topan.

Gaya Anna yang anggun dan sedikit dingin, merupakan satu keangkuhan yang
menghantam perasaan Ali Topan. Biasanya dia yang acuh tak acuh sama
perempuan. Kini, dia yang diangkuhi. Dan dia tak mampu bikin apa-apa, kecuali
bengong saja. "Kenapa lu, Pan? Kayak plembungan," kata Gevaert.

51
“Udah deh, repot kalau kita ikutin gaya dia. Cakep, naik mercy,
buset, ayuh dah, cabut kita!" tambahnya. Gevaert langsung
menstarter motornya, diikuti Bobby.

Ali Topan tersadar. Dia menghidupkan motornya, dikuti


Dudung. Knalpot meledak-ledak suaranya, sampai Maya
menutup kuping. Maya tetap menutup kuping, walaupun 4
sekawan itu telah melesat ke depan. Ketika suara knalpot
makin lirih, barulah Maya berjalan meninggalkan tempatnya untuk pulang ke
rumahnya di Jalan Barito.

Dia biasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah, karena jarak rumahnya ke sekolah
hanya sekitar 700 meler. Dia termasuk anak berjiwa sederhana, walaupun ayahnya,
Pak Utama yang Kolonel TNI-AD tidak tergolong kelompok masyarakat ekonomi
rendah.

Rumah Maya berukuran kecil. Bentuknya seperti rumah di daerah Priangan,


tempat asal orangtuanya. Tamannya asri, dipenuhi pohon bunga dan pohon hias
yang tidak mahal tapi karena pengaturannya sangat bagus, taman itu tampak enak
dipandang mata.

Maya adalah anak bungsu keluarga Utama. Tiga kakaknya lelaki semua, Suryana,
Permana dan Eddy. Suryana dan Permana sudah menikah, tinggal di mertua
masing-masing. Eddy masih kuliah di ITB bagian Geologi dan tinggal di Bandung.

Maya sampai di rumahnya. Nyonya Utama sedang menata makan siang. Maya
seperti kebiasaannya, menemui ibunya lebih dulu untuk memberi kecupan. Ibu dan
anak itu bentuknya mirip. Nyonya Utama tampak lebih muda beberapa tahun dari
usianya yang 50 tahun.

"Daag, sayang, capek yah? Oooh, anak mamih, tiap hari jalan kaki. Kasihan,
kasihan... Sebentar mamih bikin minum ya?" kata Nyonya Utama, nadanya penuh
dengan kasih sayang.

"Kok pakek kasihan, mih? Nanti Maya jadi manja nih. Jalan kaki kan bikin sehat,
lagian uang becaknya bisa ditabung buat beli sepeda mini," kata Maya. Dia berjalan
ke kamarnya.Ibunya tersenyum simpul memandangi Maya. "Anak manis, bagus
betul jalan pikirannya," gumam Ny Utama. la makin tersenyum dengan penuh
kegembiraan ketika suara Maya berkumandang menyanyikan Cingcangkeling, lagu
rakyat Sunda.

"Kalau sudah lapar, makan duluan, Maya!" teriak Nyonya Utama.

Maya mengambil celana pendek jeans dan kaos oblong untuk ganti baju sekolahnya,
kemudian ia ke kamar mandi, kencing.

Maya keluar dari kamar mandi. "Maya!" seru Ny Utama.

"Ya, mih. Ada apa, mih?"

52
"Kalau lapar boleh makan duluan. Mamih tunggu papih
pulang nanti," kata Nyonya Utama, "mamih bikinkan
karedok," tambahnya.

"Asik deh. Tapi mamih makan juga ya, papih kan lama
pulangnya. "

"Biar deh, mamih tunggu papih saja."

Maya makan ditunggu oleh Nyonya Utama. Keduanya tampak akrab pertanda
komunikasi lancar.

Ali Topan cs makan gado-gado di warung Bibi Sexy di sudut jalan Panglima Polim
III. Warung gado-gado Bibi Sexy merupakan salah satu tempat kumpul favorit
anak-anak muda Kebayoran. Dinamakan Bibi Sexy karena penjual gado-gado
memang sexy. Ali Topan yang mulai memberi julukan itu.

Bibi sexy, memang sexy orangnya dan sexy juga omongannya. Dia sedikit latah,
kemungkinan dia sengaja melatahkan diri suka menyebut alat kelamin wanita dan
lelaki kalau digoda oleh anak-anak muda itu untuk lebih melariskan dagangannya.

"Nggak nambah?" tanya Bibi Sexy padaAli Topan cs. "Kalau nambah pakai
orangnya sih boleh-boleh saja," jawab Gevaert, "Kalau nambah gado-gadonya,
keberatan kita," tambahnya.

"Enak aje ngomongnye, lu kire gua apaan, eh apaan.. ."

"Prempuan!" kata Bobby.

"Heh heh heh, iye, prempuan.... Ah bisa aje lu, pinter ngomongnye. Di sekolahin sih,
ye, jadi pinter ngomongnye," kata Bibi Sexy terkekeh-kekeh..Bobby tak melayani
Bibi Sexy. Dia menoleh ke Ali opan.

"Pan, diomongin apa lu sama Pak Brotpang," tanya bobby.

"Dia bilang, kalau gue masih bandel, gua mau dikawinin sama si Anna..."
"Cuih!" Bobby meludah ke tanah.

"Wah,gua juga mau kalau caranya begitu. Cewek cakep, punya Mercy. Nggak dapet
ceweknya, Mercynya jadi," kata Gevaert.

"Cuih!" Bobby meludah lagi, seolah-olah jijik mendengar ucapan itu.

"Lu cuah cuih cuah cuih ada apa Bob? Ada piling ke anna juga ya?" tanya Dudung.
Bobby membelalakkan matanya.

"Sama-sama naksir sih boleh aje. Free competition, !" kata Gevaert. Bobby
melengos, Ali Topan Cuma tertawa kecil mendengar ucapan Gevaert tadi.

53
"Tapi syaratnya juga ada. Demi persatuan dan kesatuan Orde
Jalanan, urusan cewek tidak boleh membuat kita pecah," kata
Dudung.

"Oh iya, gua setuju itu. Cewek kan paling gampang


ditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin menunggangi, iye
kan... heh heh heh heh...," Gevaert menimpali, "kita harus
sopan, tidak boleh main tunggang-tunggangan," tambahnya.

Beberapa anak dari geng lain ikut terkekeh-kekeh mendengar ucapan Gevaert.

"Kira-kira siapa ya yang berhasil mempersunting Anna, Vaert?" tanya Dudung.

"Yang berkompetisi siapa dulu? Kalau gua jelas tidak berminat, Anna bukan tipe
gua man! Terlalu alim buat gua. Gua berminat sama cewek-cewek yang agresip.

Yang bawaannye mau nyontok aje... heh heh heh," kata Gevaert. "Kalau lu, gimana
Dung? Gua denger di Kuningan lu sudah ada anak tiga," tambahnya.

"Wa, pitnah tuh," kata Dudung.

"Jadi, tinggal Bobby sama Ali Topan dong. Langsung final. Gua pegang Bobby, lu
pegang Ali Topan Dung! Taruhannye sebungkus Dji Sam Soe," kata Gevaert.

"Jadi!" kata Dudung mantap. Dudung bersalaman dengan Gevaert.

Bobby berpandangan dengan Ali Topan. Keduanya tersenyum.

"Kalau nggak ada rival memang rasanya nggak enak untuk memenangkan
perjuangan, Bob," kata Ali Topan, "terima kasih lu mau jadi sparring partner gua,"
tambahnya. Dia menyalami Bobby dan menjabat tangan temannya. Bobby tersipu-
sipu.

"Berhubung kita berdua nggak ikut bertanding, tentu kita nggak usah bayar gado-
gado ya Dung? Setuju?" kata gevaert.

“oke, oke, gua yang bayar!" Bobby menyela, "berapa Bibi Sexy?" katanya.
'"Lima ratus perak," kata Bibi Sexy.

Bobby membayar gado-gado. Ali Topan beranjak ke motornya, diikuti Gevaert dan
Dudung.

"Gua langsung pulang, mack," kataAli Topan.

Ali Topan menghidupkan motornya, kemudian berlalu. Dudung mengikutinya.

"Nanti malem ngembun kite?" tanya Dudung ketika ia merendengi motor Ali Topan.

"Nggak. Gua ada acara khusus " kata Ali Topan.

54
"Boleh ngikut?"

"Nggak!"

Ali Topan melambaikan tangannya, lalu menggeblaskan


motornya ke depan. Dudung mengerti isyarat itu. la
membiarkan Ali Topan pergi.

Ali Topan datang ke rumah Maya. "Assalamualaikum!" serunya.

"Waalaikum salaaaam!" seru Nyonya Utama dari dalam, dan muncul di depan
pintu.

"Selamat siang, Tante. Saya ingin bertemu Maya," kata Ali Topan.

"Oooh, saya kira kyai dari mana. Ayoh masuk," kata Nyonya Utama. Ali Topan
masuk dan duduk di sebuah kursi malas yang ada di ruang depan itu.

"Mayaaa! Ada tamu!" seru Ny Utama sambil berjalan ke belakang.


Maya muncul di pintu. "Halo, ngapain siang-siang ke sini?" Tanya Maya.

Ali Topan tersenyum. la menggoyang -goyangkan kursi malas. Maya mendekatinya.

"Tumben nih. Ada apa, Pan?" tanya Maya. Wajahnya gembira


"Minum dulu, dong baru kita ngomong," kata Ali Topan.

"Oooh kesini cuma mau minta minum? Minum apa?" tanya Maya.
"Apa aje deh, air garem juga boleh." "Oke, oke."

Ali Topan tampak melamun ketika Maya datang membawa dua gelas es sirup.
"Ini, minumnya boss," kata Maya.

"Thank you," kata Ali Topan. la langsung mengambil segelas air sirup dan
meminumnya.

"Uaaahg! Ali Topan menguak dan memuntahkan air sirup yang telah diminumnya.

Maya tertawa terbahak-bahak.

"Gile lu, May. Lu kasih garem beneran," kata Ali Topan. Mulutnya mendecah-decah.
Maya makin keras tertawa.

"Kamu kan minta air garem. Udah bagus dikasih sirup, jadi ada merah-merahnya,"
kata Maya. "yang ini es sirup asli," tambahnya sambil memberikan gelas yang lain
pada Ali Topan.

Ali Topan mengambil gelas itu, lalu mencicipinya lebih dulu dengan ujung lidahnya.
Terasa manis, ia langsung menenggak es sirup itu.

55
"Mau lagi?" tanya Maya ketika Ali Topan sudah menghabiskan
minumannya.

"Ogah ah," kata Ali Topan.

"Nah. Sekarang boleh ngomong dong. Mau apa ke sini?" tanya


Maya.

"Langsung aja nih?"

"Langsung saja”.

"Gua mau nanya tentang Anna?"

"Naksir?"

"Iya”

"Tanya aja langsung sama orangnya. Kan dia yang kamu taksir. Kenapa musti
nanya sama saya?" Nada suara Maya kurang enak.

"Begini, May. Kamu kan cewek yang paling baik sama gua, maka itu gua datang ke
sini. Soalnya, kemaren gua bikin setori sama si Anna dan ibunya, sungguh mati gua
nggak tau kalau dia bakal masuk kelas kita. Kemaren sih, gua udah dag-deg-deg-
plas. Sekarang makin deg plas deh. Tulung tanyain sama Anna, dia dendam nggak
sama gua," kata Ali Topan tanpa tedeng aling-aling.

"Komisinya berapa persen?"

"Tin persen," kata Ali Topan, "mau diambil sekarang uang mukanya juga boleh,"
tambahnya sambil tersenyum. Dan, Maya paling suka melihat senyuman Ali Topan.

Menurut Maya, senyuman Ali Topan benar-benar senyuman yang sempurna.

Mulutnya terbuka sedikit, deretan giginya muncul memberikan kesan sexy dan
sorot matanya bagai telaga yang dingin dan dalam sekali. Teduh, demikian
penilaian hati Maya jika melihat senyuman Ali Topan.

Sejak kelas satu, Maya sudah mendambakan jadi kekasih Ali Topan. Ia selalu baik
kepada Ali Topan. Maya satu-satunya gadis di sekolah mereka yang dekat dengan
Ali Topan. Karena Ali Topan menganggap dia sebagai sahabat.

"Oke deh. Gua Bantu lu," kata Maya, "sekarang lu cepat pulang, gua mau tidur
siang," tambahnya.

"Gua suka berteman sama lu karena lu cewek yang tegas, May. Terima kasih atas
segala bantuan, perhatian dan kebijaksanaan anda," kataAli Topan. Dia bangkit dan
berjalan ke pintu.

56
"Udah deh, jangan ngobral rayuan disini. Nggak ada yang
beli," kata Maya. "Pamitin sama nyak lu, ya."Maya
mengangguk.

Ali Topan menyemplak motornya, berlalu dari situ.

57
TUJUH

Esok harinya di sekolah. Ali Topan cs berkumpul di tempat


parkir motor. Dudung dan Gevaert bercanda seperti biasa. Ali
Topan dan Bobby agak diam. Kompetisi bebas merebut hati
Anna rupanya berpengaruh sekali pada hati masing-masing.

Bagi Ali, tak ada persoalan, Bobby memang selalu ingin


menyaingi dirinya, di bidang apapun. Kemenangan Bobby
yang menonjol cuma satu, yakni orangtuanya lebih kaya dari orangtua Ali Topan.

Bobby suka memamerkan hal itu, walaupun hanya dalam omongan saja. la selalu
membanggakan kekayaan ayahnya.

"Ada perkembangan maju, Pan?" Gevaert bertanya. Ali Topan tak menjawab.
Gevaert menoleh ke Bobby.

"Babe gue mau beli Mercy, Vaert. Yang lebih keren dari Mercy Anna. Gua yang
disuruh miara itu Mercy. Terpaksa mulai sekarang gue mau kursus mesin Mercy
dong," kata Bobby, "kalau babe lu mau beli apa, Pan?" tambahnya sambil menoleh
ke Ali Topan.

"Babe gue mau beli mobil pompa tai, buat nyedot tai yang ada di kepala koruptor-
koruptor!" kata Ali Topan, "makanya sejak sekarang lu suruh babe lu ati-ati, Bob.

Ntar kepale babe lu yang kesedot, kan nggak lucu," tambahnya.

"Anjing lu!" maki Bobby. Dia melotot pada ali topan. Tapi yang dipelototi tenang-
tenang aja. Ali topan malah melihat ke arah Maya yang sedang melenggang masuk
kelas. Ali Topan bergerak cepat meninggalkan teman-temannya, memburu Maya.

"Maya!"

Maya menghentikan langkahnya di pintu kelas. la menoleh ke Ali Topan yang


memburunya.

"Gimana, May?" tanya Ali Topan. Maya hendak menjawab, tapi dibatalkannya. Ali
Topan menowel lengan Maya. Maya menowel lengan Ali Topan kembali. "May,
gimana, udah ada info?" tanya Ali Topan.

"Itu dia si Anna dateng, gua tanyain dulu ya?" kata Maya. Dia melambai ke Anna
yang sedang berjalan ke arah mereka. Ali Topan cengar-cengir saja. Akhimya dia
menowel Maya.

"May, kalau gini caranya biar gua aja deh yang nanya sendiri. Nggak pake perantara
perantaraan lagi," kata Ali Topan.

Anna mendekati mereka. Ali Topan langsung menyambutnya.

"Selamat pagi, Anna. Gimana, tidurnya enak tadi malem? He he he," kata Ali Topan.

58
Anna Karenina mengernyitkan dahinya. Mustinya dia marah
atau tersinggung kalau ada anak lelaki yang pagi-pagi sudah
menyambutnya dengan gurauan `kasar' itu. Tapi entah
kenapa, senyuman Ali Topan mampu mengusap hatinya.

"Oh, baik, selamat pagi," kata Anna. Dia melihat Maya. Maya
mengerjapkan mata kepadanya. Ali Topan batuk-batuk kecil.

"Begini, An, waktu itu saya yang nimpuk kamu pakai kulit
rambutan, ng..."

"Saya sudah tahu. Lalu kamu mau apa?" kata Anna.

"Nggak sih.... Saya mau nanya, apa kamu dendam sama saya?" kata Ali Topan.
"Saya nggak pernah dendam sama orang. Tapi perbuatan kamu itu nggak bagus.

Tau apa nggak?" kata Anna. Dia mencoba untuk marah, tapi Ali Topan melihat
sorot mata yang sama sekali gagal untuk marah di mata Anna. Ali Topan tahu,
Anna memang tidak marah, tapi gayanya anggun, hingga dia sungkan bersikap
macem-macem, seperti kebiasaannya kalau menghadapi gadis-gadis lain.

"Kalau kamu nggak dendam, terima kasih deh," kata Ali Topan.

"Tapi lain kali jangan gitu ya, Ali Topan," kata Anna.

Pada saat ia menyebut nama Ali Topan dengan lembut, hati pemilik nama itu terasa
seperti dikipasi bidadari. Sejuk betul. Ali Topan terpaku memandang wajah Anna.

Anna Tersenyum, lalu menarik tangan Maya. Mereka masuk kelas.

Suuuiiiiiiiit! Suiiiiiiiiiiiiit! Suitan khas Dudung terdengar nyaring. Ali Topan


menoleh. Dudung, Gevaert dan Bobby melihat ke arahnya. Dudung mengacungkan
jempol. Gevaert tersenyum. Bobby menekuk wajahnya. Ali Topan bersiul-siul
menunggu ketiga temannya. Ali topan merangkul Bobby dan masuk kelas. Dudung
dan gevaert berjalan terus menuju kelas mereka. Bel tanda masuk sekolah
berdentang-dentang.

Ketika bel usai sekolah berdentang-dentang, Anna bergegas keluar dari kelasnya. Ia
ingin menghindari olok-olokan yang sudah mulai gencar di kelas maupun di
sekolah, tentang dirinya yang langsung dikaitkan dengan Ali Topan.

Di dalam kelas Maya memang bilang kalau Ali Topan ada perhatian padanya.

Serius, bisik Maya tadi. Ah, Anna jadi ngeri mendengarnya. Apa-apaan sih? Baru
sehari masuk sekolah sudah ada permainan Serius-seriusan. Gawat ah. Makanya
Anna cepat-cepat keluar. Ia ingin cepat-cepat ke mobil. Pulang.

Ali Topan memang anak nekat. Dia naksir betul sama Anna. Dia ingin bergerak
cepat, dan selalu bergerak cepat kalau sudah punya sesuatu keinginan. la berjalan
cepat menyusul Anna yang hampir sampai di pintu gerbang.

59
"Karenina!" seruan Ali Topan. Anna menoleh. Siapa
memanggilnya Karenina? Ali Topan sudah berdiri di
belakangnya.

"Karenina! Ng... kenapa lekas pulang... ng,"Ali Topan terbata-


bata. Anna Karenina menampilkan pandangan aneh.

"Itu urusan saya," katanya. la menatap Ali Topan dengan


pandangan tak mengerti, "Kenapa kamu mengintil saya
terus?" tambahnya.

Ali Topan tertegun. la tak bisa menjawab. Ucapan Anna Karenina langsung
menyentuh harga dirinya. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia terlampau gegabah.

Emosional. Tiba-tiba ia merasa malu pada diri sendiri karena menganggap diri
terlalu yakin bisa merebut simpati Anna Karenina. la terlalu spontan, terlalu ingin
cepat menyodorkan perhatian pada Anna. Ternyata Anna Karenina menyambutnya
dengan dingin.

"Ooh, maaf... kalau saya menganggu kamu..."' kata Ali Topan. Segera dia berbalik
langkah meninggalkan Anna.

Anna tertegun. Ali Topan merupakan makhluk aneh baginya. Apa maunya? Naksir?
Serius? Uh! Anna tak mau berpikir apapun. Dia melanjutkan langkah menuju mobil
yang sudah ditongkrongi oleh Oom Boy.

"Itu monyet mau apa, An?" tanya Oom Boy dengan dingin. Matanya yang bersinar
licik menatap tajam ke mata Anna.

"Nggak apa-apa," kata Anna.

"Nggak mengganggu kau?"

"Ah, dia anak baik kok."

Oom Boy tercengang. Ucapan Anna terasa mengganjal hatinya. Dia merasa
cemburu. Dia melihat ke murid-murid sekolah yang berjalan keluar. Di antara
mereka tampak Ali Topan cs. Cuih! Oom Boy meludah.

"Oom Boy ngapain sih! Cepetan pulang!" kata Anna. Oom Boy menstarter mobilnya.
Kemudian mereka berlalu.

Sampai di rumahnya, Anna Karenina langsung turun. Ia membanting pintu mobil


dengan keras.

"Begitu caranya bilang terima kasih ya?" kata Oom Boy dengan dingin. Anna terus
berlari ke rumah. Dia lalu muak pada Oom Boy. Perasaan halusnya mengatakan
agar ia berhati-hati pada lelaki itu.

Di ruang tengah, Anna melihat ibunya sedang bercakap dengan seorang tamu.
Anna melewati mereka. la menyalami mamanya, "Daaahh mama..."
60
“Anna, kasih salam pada Tante Sun!" kata Ny Surya. Anna
berpaling pada tamu ibunya. Ia menyalami tangan nyonya Sun,
tamu mamanya yang bertubuh tinggi besar dan dandanannya
menor banget. Usianya sepantaran dengan Nyonya Surya.

Wanita itu memakai gaun terusan cokelat dari sutera mahal.

Kalung dan cincinnya gemerlapan. la pedagang berlian yang


baru menawarkan berlian ke nyonya Surya. Anna baru
pertama kali melihat dia.

"Hm, cantiknya anakmu, Zus. Kalau Agus turut tadi tentu dia senang sekali
berkenalan," kata Tante Sun, "Siapa namamu, Nak?" tambahnya.

"Anna Karenina," kata Anna.

"Wajahnya cantik, namanya cantik. Lain kali kau musti saya kenalkan dengan Agus.

Pasti serasi," katanya.

Tante Sun mendesah-desah seakan-akan mengagumi barang antik. Anna tak suka
dilihat dengan cara begitu. la permisi ke kamarnya. la tak mau mendengar
omongan yang menurutunya kurang bermutu.

Agus? Agus siapa? Kenapa musti kenalan sama dia? Sorry ya. Kalimat-kalimat itu
bergalau sekejap di kepalanya. Dia tak mendengar obrolan ibunya dan Tante Sun
yang jadi beralih ke Agus dan dirinya.

"Agus itu memang anak lelaki yang terlalu memilih teman wanita lho, Zus. Maklum,
sekolahnya di London, jadi terbiasa melihat anak perempuan yang genit-genit. Tapi
saya kira dia senang sekali bisa berkenalan dengan si Anna. Kalau cocok kita bisa
jadi besan kan? Hih hih hih...," kata Tante Sun.

"Wah, Anna masih kecil kok, Mbakyu: Masih sibuk sekolah. Dan anak saya yang
satu itu kesayangan bapaknya, jadi agak dipingit, tidak gampang-gampang anak
lelaki mendekat," kata Nyonya Surya.

"Lho iya Zus. Punya anak perempuan harus hati-hati, kalau salah langkah bisa kita
punya cucu di luar rencana," kata Tante Sun. Ucapannya itu membuat Nyonya
Surya terkesiap. Wajahnya merah.

Mereka masih ngobrol beberapa saat. Kemudian Tante Sun permisi pulang karena
berkali-kali dilihatnya Nyonya Surya melihat ke arah jam dinding besar di ruang
tamu.

"Saya permisi dulu, Zus. Sudah siang," kata Tante Sun.

"Lho, kok terburu-buru, Mbakyu?" kata Nyonya Surya, padahal hatinya memang
ingin agar tamunya cepat pulang.

61
"Lain kali saja saya mampir," kata Tante Sun, "dan mengenai
berlian itu, tolong deh ditawar-tawarkan,"" tambahnya.

"Iya, Mbakyu. Nanti saya tanyakan pada teman-teman," kata


Nyonya Surya. Dia mengantarkan tamunya sampai ke
halaman.

Begitu mobil tamunya berlalu, seketika itu Nyonya Surya


menampilkan wajah tak sedap pada Oom Boy yang berjalan mendekatinya.

"Ada orang kok begitu macamnya ya Boy. Mau main besan-besanan. Dikiranya
kalau anaknya lulusan London gampang saja kenalan sama si Anna," kata Ny Surya.

"Siapa sih? Kok lucu dia?" kata Oom Boy.

"Gimana Anna di sekolah? Kira-kira pergaulannya bagus apa tidak?" Ny Surya


balas bertanya.

Oom Boy menampilkan mimik aneh.

"Masih ingat anak-anak di Blok M kemarin dulu yang melempar Anna dengan kulit
rambutan?" tanya Oom Boy. Ny Surya tampak berpikir. Kemudian ia mengangguk-
angguk.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kulihat Anna intim sama mereka. Rupa-rupanya mereka satu kelas sama si Anna.

Musti hati-hati, Zus. Malah ada satu anak yang menguntit si Anna ketika keluar
dari sekolah," kata Oom Boy.

"Siapa?"

"Tanya saja sama Anna."

Oom Boy masuk ke dalam kamarnya yang penuh dengan gambar-gambar `sexy'. la
sebenamya tidak punya hubungan dengan keluarga Surya. la hanya anak seorang
teman keluarga itu. Ayahnya, seorang pedagang di Medan, mengirimkan Boy ke
Jakarta untuk kuliah di kedokteran tiga tahun yang lampau.

Resminya, Boy dititipkan pada keluarga Surya. Tapi Boy dikeluarkan dari Sekolah
Tinggi Kedokteran karena dua tahun berturut-turut tinggal di tingkat persiapan. la
tidak kembali ke Medan, tapi tetap tinggal di keluarga Surya dan sudah dianggap
keluarga sendiri. la diserahi merawat mobil pribadi merangkap sopir! Tapi gaya
orang ini melebihi anak kandung Pak Surya. Dia pintar mengambil hati Nyonya
Surya, itulah sebabnya.

Anna Karenina itu anak bungsu keluarga Surya. Ika Jelita, kakak satu-satunya,
telah menikah dan tinggal bersama suaminya di Depok. Mereka kawin lari karena

62
tidak disetujui oleh Tuan dan Nyonya Surya. Ika Jelita hamil
lebih dulu, hal itulah yang menjadikan Tuan dan Nyonya
Surya berlaku sangat ketat mengawasi Anna.

Anna melamun di dalam kamarnya. Wajah Ali Topan sangat


mengganggunya. la mencoba untuk menghapus wajah itu, tapi
senyuman yang terlalu memikat memang sulit dihapuskan
begitu saja. Anna Karenina merasakan sebuah keanehan.

la baru bertemu Ali Topan, itupun dimulai dengan peristiwa yang tidak bagus. Tapi
kenapa dia tak berhasil sedikitpun untuk bersikap galak, marah dan judes seperti
yang dilakukannya pada semua teman lelakinya selama ini?

Di sekolah tadi Ali Topan mengejarnya dan berbicara padanya. Dia melihat sorot
mata yang tentu saja bisa dia tangkap apa maknanya. Lagipula Maya telah
menyampaikan pesan, Ali Topan naksir padanya. Dan gosip yang mulai ramai di
dalam kelas tentang pertaruhan beberapa anak lelaki, termasuk Ali Topan, untuk
memacarinya sedikit banyak membuatnya berpikir. Ada juga perasaan bangga,
baru dua hari sudah mampu menjadi pusat perhatian di sekolah, tapi kenapa begitu
cepat ya?

"Anna!" teriakan Ny Surya membuyarkan lamunannya. la bergegas membuka pintu


dan melongok keluar. "Lagi ganti baju, Ma!" teriaknya.

"Kalau sudah, mama tunggu di meja makan!" kata Ny Surya.

"Iya Mama!"

Anna menutup pintu kembali. la masih sempat melamunkan wajah Ali Topan yang
tak bisa lepas dari pikirannya. Akhirnya Anna tersenyum pada bayangan itu. Ia
menghela nafas, menyesal betul kenapa tadi bersikap dingin pada pemilik wajah
itu? Aaaaah, Anna menghela nafas. Dia cepat berganti baju.

Siang itu seperti siang-siang yang telah lalu. Di meja makan Anna Karenina ditanya
macam-macam oleh ibunya. Biasanya Anna merasa muak dengan tanya jawab yang
sifatnya semacam "laporan harian" itu, tapi wajah Ali Topan yang simpatik
melahirkan kegembiraan di hatinya. Anna Karenina diam-diam merasa ditemani
oleh bayangan Ali Topan. Perasaan itu membuat ringan ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan ibunya.

Ali Topan cs berada di rumah Gevaert. Mereka sibuk menyerpis motor masing-
masing. Gevaert mengerti seluk-beluk mesin motor, lagipula fasilitas berupa oli dan
bensin selalu tersedia di rumahnya. Mereka menyerpis motor di garasi. Di teras,
ada segerombolan mahasiswi Universitas Panca Sakti sedang repot "belajar".

Rasanya mereka tidak bisa belajar sungguh-sungguh, karena Tina dan teman-
temannya sering mengikik dan berbisik-bisik mengenai Ali Topan.

"Itu teman Mpok lu ada yang bisa dibawa, Vaert? Kalau ada kita bawa aja ke
kamar," kata Bobby, "Soalnye gua lagi patah hati nih, maklum aja mack,"
tambahnya. la melirik Ali Topan yang sibuk mengisi oli mesin.
63
"Yang nganggur sih banyak, Bob, cuman taripnya mahal, mack.
No pek ceng!" kata Gevaert. Ucapannya membuat Ali Topan,
Bobby dan Dudung tertawa terbahak-bahak. Suara tawa itu
terdengar sampai di telinga kawanan mahasiswi di teras.

Mereka semua menengok ke garasi.

"Jadi lu nyerah sama Topan, Bob? Menang dong gua, Vaert.

Sebungkus Dji Sam Soe lu bayar ke gua, Vaert," kata Dudung.

"Nyerah sih kagak, Dung. Kita mengalah sama teman, iya kagak Pan?" kata Bobby.

"Oh, iya. Itu omongan paling bagus yang pemah gua dengar dari mulut lu, man!
Kalah adalah kalah," kata Ali Topan. Dia mengerjapkan mata ke arah Dudung.

Dudung datang menyalaminya, diikuti Gevaert.

"Selamat ye? Kalau kawin undang-undang kita ah," kata Gevaert. Ali Topan
tersenyum. Stel yakin.

"Lu, nggak nyalamin gua, Bob?" kata Ali Topan, Jadi resmi gitu, biar dada gua
lapang betul buat nyatronin si Anna," tambahnya. Dengan senyum kecut Bobby
menyalami tangan Ali Topan.

"Ngomong-ngomong, gua besok mau mudik, mack," kata Dudung dengan gaya
Sunda tulen. la membungkuk pada teman-temannya.

"Asal bawa oleh-oleh, gua doain lu," kata Gevaert.

"Sip. Kita foya-foya deh nanti," kata Dudung, "tapi soal kalah taruhan tetap berlaku,
Vaert," tambahnya. "Jangan kuatir!"

Gevaert merogoh sakunya, mengambil uang Rp200 yang diberikannya pada


Dudung. "Impas, ye?" katanya.

"Sip”

Dudung mencium uang itu, lalu memasukkannya ke dalam saku jaketnya.

Dari teras, Tina berteriak ke arah mereka. "Haaaiiii! Minumnya di siniiiiii!"

"Okeee!," teriak Ali Topan. Dia membereskan kerjanya, lalu mencuci tangan
dengan bensin.

"Kita ke sana dulu, ye," kata Bobby.

"Lu pilih kelir deh sono," kata Ali Topan. Dia mengakak sekeras-kerasnya. Tiga
temannya menyambung dengan ketawa yang tak kalah nyaringnya. Para mahasiswi
di teras tidak tahu bahwa ketawa itu cuma ketawa bikinan saja.
64
Selesai membersihkan tangan, Ali Topan menyusul ke teras. la
disambut senyum manis dari para mahasiswi. "Eh, Dita, Mira,
Sandra, ini dia orangnya, katanya mau kenalan ... ," kata Tina.

Dia berpaling ke Ali Topan dan berkata: "Mereka pingin


kenalan sama kamu, Pan!"

"Boleh saja, asal ada duitnya," kata Ali Topan sambil


menyalami para mahasiswi itu satu per satu.

"Berapa duit?" kata Dita.

"Tergantung jamnya, dan diperhitungkan sewa kamar," kata Gevaert menyela.

"Ih! Omongan adik lu sadis, Tina! Tabok dia Tin!" kata bobby.

Tina menghampiri Gevaert, pura-pura mau memukul kepala adiknya, Gevaert


pasang kuda-kuda.

"Eit, kalau lu nabok gua, gua suruh Dudung nyipok lu ya," kata Gevaert. Tina
langsung mundur. Mereka tertawa semua.

Begitulah anak-anak SMA bercanda gembira dengan para mahasiswi. Perbedaan


umur tidak menghambat mereka.

Suasana tetap meriah sampai mereka pulang ke rumah masing-masing. Ali Topan
agak terhibur juga oleh suasana itu. Tapi setelah pulang dari rumah Gevaert, ketika
dia seorang diri mengendarai motornya, dia merasa muram lagi. Wajah Anna
Karenina dan ucapannya yang dingin membuatnya gelisah.

65
DELAPAN

Dudung langsung berangkat ke Kuningan, Jawa Barat, siang


hari itu juga. la naik motor dari rumah Gevaert, sendiri. la
sampai di rumah orangtuanya di Kuningan, malam hari lepas
Isya'. Ayahnya, Haji Akhmad Mubaraq, ibunya, dan Romlah
adiknya baru selesai sholat Isya' ketika ia datang.

Haji Akhmad Mubaraq, Nyi Haji dan Romlah sangat gembira melihat Dudung. Bagi
mereka, Dudung adalah harapan di masa depan. Bukan dari segi materi, karena
Haji Akhmad Mubaraq termasuk petani kaya di Kuningan. Dudung lebih
merupakan harapan untuk memperoleh simbol anak sekolahan yang bisa
mengangkat nama keluarga di kalangan orang sedesa. Oleh sebab itu, segala
apapun yang diminta Dudung dengan landasan untuk keperluan sekolah selalu di-
ACC oleh orangtuanya.

"Jadi uangmu sudah habis, sekarang perlu uang lagi, Dung? Banyak juga ongkos
anak sekolah di Jakarta ya. Tapi jangan kuatir, abah akan kasih terus supaya
sekolah Dudung berhasil, dan Dudung bisa jadi orang pinter. Abah bangga kalau
punya anak yang jadi mahasiswa. Bukan begitu, Fat..."' kata Haji Akhmad ketika
Dudung mengemukakan maksudnya. Yang dimaksudkannya `Fat' adalah ibu
Dudung yang bernama Sitti Fatima.

"Sip deh, Abah! Pokoknya percaya sama Dudung. Pasti Dudung sukses bawa ijasah
buat Abah dan Mamah," kata Dudung. Dia stil yakin dan bersemangat sekali.

"Tapi Dudung harus sering kasih kabar ke Abah dan Amak, biar kami di sini tahu
keadaan Dudung di Jakarta. Mamah suka kangen kalau Dudung lama tak memberi
kabar," kata ibu Dudung.

"Romlah sih nggak perlu surat Kang Dudung, tapi Si Rofiqoh, anak Pak Lurah itu
yang suka nanya Kang Dudung terus. Rofiqoh takut kalau Kang Dudung kawin
sama orang Jakarta," kata Romlah.

Dudung mengangguk-angguk mendengarkan ucapan ayah, ibu dan adiknya.

Rofiqoh, Rofiqoh, kata hatinya. Rofigoh itu nama gadis manis yang jadi pacarnya
semasa di Sekolah Dasar. Rasanya ia dulu begitu terpikat oleh Rofiqoh, malah dulu
ia pernah berjanji untuk kawin dengannya. Tapi urusan masa lalu. Sejak dia kenal
Jakarta, dan mulai berpikir ala anak-anak Jakarta serta melihat gadis-gadis Jakarta
yang sexy, kenangan akan Rofiqoh jadi luntur.

"Kang Dudung sudah punya pacar di Jakarta?" Pertanyaan Romlah


menyadarkannya.

"Yaaah, banyak cewek yang naksir Kang Dudung di Jakarta, tapi Kang Dudung
masih mikir-mikir, Om," kata Dudung. la panggil adiknya dengan Om saja.

"Artis-artis, ya Kang?" tanya Romlah.

66
"Macem-macem, Om. Ada bintang pilem, ada penyanyi, ada
anak jendral, banyak deh."

"Astaghfirullaaaah. Betul begitu, Dung? Lain kali ajak kemari,


Abah mau lihat," kata Haji Akhmad. Istrinya membelalakkan
mata. Pak Haji Akhmad tertawa terkekeh-kekeh.

"Ayo dong, Bah, duitnya. Dudung perlu banyak nih. Buat


bayar ujian,buat beli blu jins dan jajan sama teman-teman Dudung. Kan nggak
enak kalau Dudung terus-terusan dijajanin sama anak-anak. Malu, masa anak Haji
Akhmad Mubaraq ditraktir melulu," kata Dudung. la mengrajuk hati ayahnya.

"Asal jangan maen perempuan, Dung. Haraam itu," kata Haji Akhmad. Ia bangkit
dari kursinya dan berjalan mengambil uang ke dalam kamarnya. Tak lama ia keluar
lagi dan memberikan segumpal uang kertas pada anaknya.

"Dengar Dung, uang ini harus dipakai secara manfaat, jangan dibuat maen
perempuan atau maen judi. Abah dengar Jakarta sekarang jadi kota perempuan
jahat dan tempat orang maen judi. Paham?" kata Haji Akhmad.

"Dudung paham, bah," kata Dudung. Ia menerima uang itu dan memasukkan ke
saku jaket blue jeans-nya. "Mustinya nginep barang semalem, Dung, Mamah, Abah
dan Om masih sono," kata ibunya.

Dalam bahasa Kuningan, 'sono' artinya rindu.

"Wah, besok Dudung mesti masuk sekolah. Kan bukan hari libur. Nanti kalau libur
deh, Dudung ajak teman-teman Dudung nginep di sini. Sekarang Dudung langsung
balik ke Jakarta saja, biar nggak kemaleman di jalan,"kilah Dudung.

"Nggak capek, Dung? Nanti kalau capek bisa masuk angin.

Nanti jatuh di jalanan," kata mamahnya.

Nyi Akhmad menghampiri anaknya. Diusapnya kepala Dudung dengan lembut.

Dudung mencium tangan mamahnya. "Jangan khawatir Mamah. Dudung pakai


blujin, angin takut masuk ke dalam badan," kata dudung.

Mak, abah dan Romlah tersenyum mendengar Dudung.

"Jadi langsung ke Jakarta? Ati-ati Dung. Abah dan Mamah doakan," kata abahnya.

"Jangan lupa sholat, juga ngajinya, biar Allah tetap melindungi Dudung," kata Nyi
Akhmad.

Dia mengusap kepala anaknya. Dudung memeluk ibunya, kemudian mencium pipi
ibunya seperti gaya anak Jakarta mencium pipi mami mereka. Nyi Akhmad
mengusap pipi yang baru dicium anaknya. Geli rasanya dicium dengan cara begitu.
"Kok, diusap, Mah?" tanya Romlah.
67
"Abis nyiumnya kayak orang Belanda, Mamah jadi geli," kata
Nyi Akhmad.

"Bukan kayak orang Belanda, Mah, itu ciuman gaya


Kebayoran. Belanda udah kagak ada di sana, yang ada orang
Amerika," kata Dudung.

la melepaskan pelukan mamahnya, lalu pergi ke abahnya yang


memandangnya dengan sorot mata bangga. Dudung menunduk di depan abahnya,
lalu mencium tangan sang abah sekali lagi. Haji Akhmad mengusap-usap rambut
Dudung yang gondrong. Mulutnya membaca Al-Fatihah.

"Selamet kau Nak...," katanya.

"Berkat doa Abah dan Mamah," kata Dudung.


Kemudian ia menoleh ke Romlah. Romlah datang mendekatinya.

"Kang Dudung, Om mau dicium pipi," kata Romlah.

la mengangsurkan pipinya. Dudung mencium pipi sang adik. Cup! Romlah senang
betul, dia membayangkan dirinya seperti anak gadis Kebayoran Baru yang lincah
dan hangat.

"Kalau datang lagi bawain Lepis yang kancingnya enam belas, Kang Dudung," kata
Romlah. Dudung tersenyum.

"Jangankan kancing enam belas, Lepis yang kancingnya enam lusin juga Kang
Dudung bawain buat Om. Tapi Om jangan nakal-nakal ya," kata Dudung.

Nasihatnya persis nasehat anak Gedongan di Kebayoran. Romlah mengangguk-


angguk. Ia merasa bangga punya kakak Dudung. Gayanya sekarang keren betul.

Jaket stelan blu-jins dengan celananya. Kacamata hitam yang melongok dari dalam
kantung jaket menambah kegagahan kakaknya itu.

"Permisi Abah, Mamah, Dudung pergi. Ayuh, Om," kata Dudung.


Lalu ia berjalan keluar diantarkan oleh adik, abah dan emaknya.

Dudung menyemplak sepeda motornya. Dia memakai kacamata hitam, kemudian


mengaca di kaca spion. Mesin motor dihidupkannya. Suara knalpot menderu-deru
karena Dudung sengaja memainkannya seperti gaya pembalap motor.

Dengan membaca Bismillah, Dudung memasukkan gigi satu motornya. Motor


berjalan perlahan. Romlah, abah dan mamahnya melambaikan tangan. Dudung
membalas lambaian mereka. Gigi dua dimasukkannya, motor melaju ke depan.

Beberapa gadis tetangganya memandang Dudung dengan penuh kekaguman dari


halaman rumah mereka masing-masing. Dudung tersenyum pada mereka. Gigi tiga
dimasukkannya. Lantas dia ngebut ke depan, lenyap dari pandangan mata gadis-
gadis yang kagum itu.
68
SEMBILAN

Esok harinya, usai jam sekolah. Anna berjalan bersama Maya,


keluar dari pintu gerbang sekolah. Anna menggamit tangan
Maya. "Maya, besok malam kamu datang ya ke rumah saya.

Ada pesta kecil. Bisa datang ya?" kata Anna.


"Pesta apa, An?" tanya Maya.

"Saya ulang tahun. Pesta kecil-kecilan kok. Datang ya. dan...," Anna ragu-ragu
meneruskan ucapannya. la menyimpan senyum kecil di sudut bibirnya.
"Ada apa?" tanya Maya.

Oom Boy membunyikan klakson mobil tanda agar Anna segera datang. Anna
Karenina tidak menggubris isyarat itu. Dia menyentuh lengan Maya dan berkata
lirih, "Ng... kalau Ali Topan mau datang juga boleh. Tolong bilang ya, Anna
mengundang dia dan juga Bobby, Dudung serta Gevaert.... " Wajah Anna agak
merah waktu mengatakan hal itu. Tapi segera Maya mengangguk dan berkata iya.

Entah kenapa, Maya suka sekali mendengar Anna mengundang Ali Topan. Dia
merasa punya satu berita yang sangat eksklusif buat Ali Topan. Selama ini dia
mengambil sikap diam-diam sebagai 'mak comblang' bagi pembangunan cinta
Anna Karenina dan Ali Topan. Kini ada undangan itu, Maya merasa
percomblangannya mulai menampakkan hasilnya.

Maya merasa Ali Topan memang jatuh hati ke Anna. ia tahu diri, karena merasa
cintanya hanya sepihak ke Ali Topan. la memilih tetap jadi sahabat Ali Topan.

Maya seorang gadis yang realistis dan siap berkorban untuk kebahagiaan Ali Topan.

Karena ia tahu di balik keberandalan dan kejeniusannya, Ali Topan tidak bahagia
karena kebrengsekan orangtuanya. Ali Topan pernah bilang itu kepadanya.

Anna Karenina berlari kecil menuju Mercedesnya, karena dari belakang tampakAli
Topan cs menuntun motor masing-masing menuju pintu gerbang. Oom Boy
langsung menggelindingkan Mercy-nya. Sekilas matanya melirik ganas ke arah Ali
Topan cs.

Cuih! Oom Boy meludah ke jalanan. Dalam bayangannya dia meludahi muka Ali
Topan. Anna Karenina melengos ke arah lain. Ia benci betul melihat kelakuan Oom
Boy yang menjijikkan itu.

Maya tersenyum kecil ke arah Ali Topan cs yang mendekatinya.


"Ada apa senyum-senyum gini ari, May? Udah gila lu!" kata Gevaert, "Nanti kucium
baru rasa kau," tambahnya. "W" Maya memekik. Wajahnya yang penuh senyum
mendadak berubah masam. Dia memandang tajam ke arah Gevaert.

"Vaet! Sok aksi lu! Kayak yang kecakepan aja!" kata maya. Gevaert bukan marah,
justru tertawa terbahak-bahak.

69
"Bagus, gitu dong jadi cewek. Kalau dikatain cowok jangan
kalah gertak, katain lagi, lebih sadis lebih nikmat," ujar
Gevaert.

Sekali lagi Maya menampakkan wajahnya yang garang.

melotot ke arah Gevaert. Dia ingin meninju muka gavaert,


anak Indo yang suka konyol itu. Di matanya, Gevaert tak
pernah beres. Selalu berusaha membuat lelucon, sialnya lelucon Gevaert tak pernah
kena baginya. Entah karena keadaannya yang tidak mengizinkan, entah..karena dia
muak sekali pada Gevaert.

Maya tak pernah tahu bahwa Gevaert diam-diam naksir padanya. Tapi Gevaert
cuma berani naksir di dalam hati. Dia merasa malu kalau ada yang tahu bahwa dia
naksir Maya. la pun tak mengungkapkan perasaan yang ia pendam itu ke taman-
temannya.Tapi Maya merasakan getaran itu...

"Doo dooo, kalau cemberut gitu makin manis aje, May. Ntar gua tukarin ayam lu.
Tampang kayak lu bisa laku lima ayam negeri tambah telor dua kilo," kata Gevaert.

Ali Topan, Bobby dan Dudung tertawa serempak mendengar lelucon Gevaert. Tapi
Maya gusar betul. Tanpa banyak cingcong, Maya melayangkan tangan kirinya.

Plaar! Muka Gevaert ditamparnya. Gevaert terkejut, demikian juga Ali Topan,
Bobby, Dudung dan beberapa anak lain yang menyaksikan peristiwa itu. Bahkan
Maya sendiri pun terkejut melihat "hasil karyaa"-nya. Wajah Gevaert yang putih
bertanda lima jarinya.

Tapi aneh. Gevaert tak marah. la justru tersenyum manis ke arah Maya, walaupun
dia tetap mengusap-usap wajahnya. Tak seorang pun menduga betapa bahagia hati
Gevaert saat itu. Tamparan Maya, di depan umum, dirasakan sebagai ungkapan
kasih sayang.

Maya cepat reda dari kegusarannya. Wajahnya tampak menyesal.

"Kamu sih, Vaert, suka bikin panas orang. Siang-siang begini becanda. Mending
kalau lucu," kata Maya. Tapi wajahnya menyunggingkan senyuman. Gevaert
merasakan senyuman itu sebagai obat. "Kamu jangan marah.beneran dong. Kan
saya cuma becanda aja. Sorry deh, May," kata Gevaert.

"Saya juga sorry deh," kata Maya. Wajahnya berubah manis kembali. Dia
memandang Ali Topan yang tersenyum simpul. Maka ia pun ingat pesan Anna
untuk Ali Topan.

"Eh, Topan kamu diundang ke rumah Anna besok malam. Dia ulang tahun," kata
Maya, "Bobby, Dudung dan Gevaert juga diundang," tambahnya. Ali Topan kaget.

"Nggak salah denger, May?"Apa? Coba tolong diulang sekali lagi?" kata Ali Topan.

70
"Warta berita cukup sekali. Yuk daah... "' kata Maya. la lalu
berjalan meninggalkan Ali Topan cs.

"Maya!" seru Ali Topan.

Tapi Maya tidak menggubris seruan itu. Maya berjalan terus.


Ali Topan langsung mengejar Maya dengan motornya. la
merendengi jalan Maya.

"Sorry deh, Maya. Tapi jangan cepat tersinggung dong. low kan temen gua yang
paling baik," kata Ali Topan mengrajuk hati Maya.

"Kamu sih suka nggak mau percaya omongan orang. Udah bagus dikasih kabar, eh
masih nggak percaya. Terserah deh," kata Maya. Ia terus berjalan.

Yihuuuuuuuuy! Ali Topan memekikkan perasaan gembiranya.

"Trims, Maya, trims. Pokoknya jasa lu gua ukir di dalam hati seumur hidup," kata
Ali Topan. Maya tersenyum.

“Memang kerajinan perak diukir-ukir," katanya. Ia percepat jalannya. Ali Topan


melambaikan tangan kepada sobat-sobatnya.

yuhuuuuui! Ali Topan memainkan gas motornya, si motor langsung mencelat ke


depan. Bobby dan Dudung segera mengejarnya. Gevaert merendengi Maya. "Maya,
mau gua boncengin?" kata Gevaert dengan lembut. Maya menoleh.

"Terimakasih deh. Gua senang jalan kaki."

"Oke deh, gua jalan dulu ya? Ati-ati Maya," kata Gevaert.

"Iya. Lu juga ati-ati..." kata Maya.

Dia langsung memacu motornya, menyusul tiga temannya ke arah utara. Maya
memandangi Gevaert sampai lenyap bersama motornya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ali Topan sudah datang di sekolah. Tidak
seperti biasanya, Ali Topan duduk di bangkunya. Beberapa teman yang datang agak
heran melihat "keluar-biasaan" Ali Topan.

"Tumben lu datang pagi dan duduk di kelas, Pan. Udah sadar?" kata Ridwan, ketua
kelasnya.

"Sadar sih dari dulu gua sadar. Cuma terus terang nih, sejak gua punya bini,
bangun gua subuh teruuuus, Wan," kata Ali Topan.

"Siapa bini lu?" seorang teman menyela. Di sekolah memang sudah santer gosip
tentang Ali Topan jatuh cinta sama Anna Karenina, tapi si teman tadi sekadar iseng
bertanya, mungkin sekaligus untuk mentes Ali Topan.

71
"Masa lu kagak tahu siapa bini gua?" kata Ali Topan. Tepat
pada saat Ali Topan selesai berkata, Anna Karenina muncul di
pintu kelas. Anna tersenyum padaAli Topan dan teman-
temannya yang lain.

"Selamat pagi!" kataAnna pada mereka.

"Selamat pagi, bidadari," Ridwan, ketua kelas membalasnya.

Ridwan mengerjapkan mata ke arah Anna Karenina. Kerjapan mata itu membuat
Anna tersipu-sipu.Ali Topan langsung menengok ke Ridwan. Ridwan mengerjap
pula ke arahnya. Ketua kelas itu jelas menggoda Ali Topan. Ali Topan cuma bisa
senyam-senyum sendiri. Dia yang biasanya `paling rame' di dalam kelas, bahkan di
sekolah, seakan-akan tak bisa berkutik. Hatinya berdenyut lebih keras.

Dari rumah dia sudah berniat untuk menyalami Anna Karenina. Dia sudah
mengatur gaya dan mimik yang paling baik dan paling simpatik pada saat
mengucapkan selamat ulang tahun. Itu didorong oleh kepercayaan bahwa pesan
yang disampaikan Maya tentang undangan dari Anna, benar-benar pesan asli. Tapi
dia jadi sangsi ketika melihat Anna Karenina masuk ke dalam kelas dengan sikap
yang biasa, sikap yang sedikit acuh tak acuh.

Anna tak memberikan salam khusus untuknya. la mengucapkan selamat pagi pada
Ridwan, Rudi, Dodo dan teman-teman lainnya, tapi sedikitpun tak memberi
perhatian khusus padanya. Padahal Ali Topan sudah menyiapkan diri sejak tadi
malam untuk menyambut hari ini.

Kenyataan hari ini tidak sesuai dengan harapan hari kemarennya. Ali Topan tidak
tahan dengan situasi galau yang melingkupinya. Pikirannya dipenuhi sesuatu yang
tidak enak.

Dia jadi curiga, apakah Maya sengaja mempermainkannya? Apakah Maya


mengirim pesan palsu? Rasanya tidak mungkin. Maya tahu, bahkan seluruh
manusia di sekolah ini tahu bahwa seorang yang punya nama Ali Topan tidak
pernah bisa dipermainkan! Aneh.

Aneh.

Aneh.

Otak Ali Topan dipenuhi kata-kata itu. Jangankan mengucapkan selamat pagi,
melirikpun tidak dia, padahal jelas jelas dia melewati bangku Ali Topan. Huh!
Keangkuhan model begini baru seumur hidup dirasakannya. Biasanya dia yang
selalu mengambil inisiatif dalam situasi macam apapun. Kini dia nyata-nyata
dipermainkan situasi di luar dirinya. Ali Topan gelisah!

Bobby masuk ke dalam kelas. Dudung dan Gevaert yang bersamaan datang ke
sekolah melongok dari pintu kelas. Bobby berjalan ke bangkunya dan menaruh
tasnya di atas meja. Kelas III Pal ada dua kelas. Ali Topan dan Bobby di kelas III Pal
1, Dudung dan Gevaert di kelas III Pal 2
72
"Tumben lu, pagi-pagi udah nongol, Pan. Pantesan kagak
nyamper gua. Tau begitu kan nggak gua tungguin," kata Bobby.

Dia melirik ke Ali Topan, lalu melirik Anna Karenina yang


sibuk membersihkan bangkunya.

"Udah lupa sama kawan," Gevaert berkata dari pintu. Ali


Topan makin gelisah. Teman-temannya bercanda, tapi
rasanya gurauan mereka merupakan sindiran yang kena betul ke hatinya yang
sedang gelisah.

Ali Topan berdiam diri. Wajahnya agak tegang. Dudung dan Gevaert melihat wajah
yang tegang itu. Mereka tahu gelagat. Pasti Ali Topan sedang serius, sebab dia
biasanya paling ramai dalam setiap pertemuan, di mana saja dan kapan saja.

Dudung menowel Gevaert. "Ayo dulu, Vaert. Ntar aja kita tanya urusan si Topan,"
kata Dudung. Gevaert mengangguk.

"Oke bunga-bunga harapan bangsa... Selamat belajar, semoga sukses," kata Gevaert.
Omongannya serius, tapi nadanya bercanda.

Ali Topan berdiam diri. Dia sedang sibuk menekan kegelisahannya.


Maya datang.Ali Topan langsung memandang tajam ke arahnya.

"Hai, apa kabar?" sapa Maya. Ia berj alan mendekati Ali Topan, hendak terus ke
bangkunya di bagian belakang. Ali Topan semakin mempertajam pandangan
matanya. Maya kaget dipandang dengan cara begitu.

"Eh, kamu kenapa sih?" tanya Maya. la berhenti di depan Ali Topan. Ali Topan
menatap Maya.

Ali Topan penasaran. Semalam ia menghubungi Maya lewat telepon, ingin


mendapat penegasan tentang undangan ulang tahun Anna, tapi Maya tak di rumah.

Bukan ia tak percaya, tapi ia ingin Maya menceritakan secara rinci adegan dialog
Anna ketika menyampaikan undangan lisan itu. Dan minta tolong agar Maya
memintakan undangan tertulis. Maya nggak mau. Maka Ali Topan agak marah
kepada dia. Maya juga jadi kesal ke Ali Topan.

Maya yang merasa tidak ada apa-apa balas menatap Ali Topan. Keduanya
berpandangan.

"Maya! Sini dong!"sapa Anna Karenina. Ia tak cuma berseru.

Anna Karenina menghampiri bangku Ali Topan. Anna tersenyum pada Maya. Dan
ia tersenyum juga pada Ali Topan.

"Ada apa sih? Kok diem-dieman?" kata Anna. "Nggak tau nih. Salah makan kali dia,
pagi-pagi udah melototin gua," kata Maya.

73
Berani betul gadis ini. Ali Topan sampai kaget mendengar
ucapannya. Secara refleks dia bangkit dari duduknya.

Wajahnya tegang betul. Dia cuma mendengus, kemudian


berjalan keluar kelas. Maya dan Anna berpandangan. Bobby
dan teman-teman lain menyaksikan adegan itu dengan heran.

"Ada apa sih, dia Bob? Kok kayaknya marah sama gua?" tanya
Maya. Bobby cuma mengangkat bahunya. Maya memandang
Anna, kemudian dia berjalan ke bangkunya. Anna Karenina mengikutinya dari
belakang.

"May," bisik Anna, "Saya jadi takut mau kasih ini sama dia," tambahnya. Anna
memperlihatkan sebuah amplop yang diselipkan di sebuah buku yang dibawanya.

Maya memandang Anna.

"Kamu kasih saja langsung ke dianya," bisik Maya. Anna Karenina menggelengkan
kepalanya.

"Saya malu, May," bisik Anna.

"Malu? Emang kamu nggak pake baju, pake malu segala," gumam Maya. "Ayo deh,
kita keluar. Kamu kasih dia deh buru-buru," tambahnya. Maya menarik tangan
Anna Karenina. Mereka keluar kelas.

Ali Topan sedang duduk sendiri menyender pilar di ujung Barat sekolah. Maya dan
Anna melihatnya. Ali Topan melirik sekilas ke arah mereka, lalu dia membuang
pandangannya ke arah lain.

"Pssst, kamu kasih sendiri deh. Cepetan," bisik Maya. "Ah malu, ah. Kita berdua
dong," bisik Anna Karenina. "Kalau malu ya udah!" Maya berkata dengan nada
gemas. Anna juga kaget mendengar nada gemas itu. Dia memandangi Maya.

"Gimana dong?" katanya.

"Terserah deh. Tapi jelas kalau kamu nggak undang langsung dia, dia nggak
bakalan mau dateng. Kamu belum kenal adat dia sih," kata Maya. Dia membalikkan
badan, hendak masuk kembali ke dalam kelas.

"Kamu tunggu di sini dong. Ya?" kata Anna. Dia berjalan cepat dan langsung
menuju Ali Topan.

Ali Topan mendengar kedatangannya, tapi sedikitpun tidak menengok. Dalam hati
kecilnya merasa, pasti Anna dan Maya keluar mengandung maksud tertentu pada
dirinya.

Tapi dia sudah terlanjur `tersinggung' dan membangun prasangka buruk pada
gadis-gadis itu. Dia berprasangka Maya dan Anna punya rencana aneh, semacam
permainan yang sukar diduga. Dan dia tak bernafsu untuk ikut dalam permainan
itu.
74
Anna Karenina berhenti di samping Ali Topan. Ali Topan
menggosok-nggosok sepatunya yang berdebu dengan telapak
tangannya. Sama sekali dia tidak menengok ke atas, walaupun
ujung sepatu Anna tampak jelas di sampingnya.

Malah mau rasanya dia menggaet betis si Anna dan


menjatuhkan gadis itu supaya tahu bahwa Ali Topan tidak bisa
`dipermainkan'.

"Haiiii," suara lembut meluncur dari bibir Anna Karenina. Ali Topan mendengar
teguran itu. Hatinya sedikit bergetar. Tapi dia tetap berusaha untuk berdiam diri.

Dia merasa kurang percaya bahwa teguran itu berasal dari Anna.

"Ali Topan... kamu kok diam saja? Kenapa?" suara lembut Anna Karenina
memasuki telinganya. Sungguh menyejukkan.

Perasaan Ali Topan kembali tergetar. Perlahan, sangat perlahan, dia menengadah.

Sepasang matanya memandang ke atas dan berlabuh di wajah manis Anna


Karenina. Sepasang mata gadis itu bersinar lembut, hangat, bibirnya separuh
terbuka menyungging seulas senyum yang polos. Seketika buyarlah segala kemelut
di Dalam hati Ali Topan. Tataan mata Anna Karenina mengusir segala prasangka
yang ada di kepalanya.

"HaaaaiiiiI" bisik Ali Topan, "kamu panggil saya?" tanyanya. Anna Karenina
mengangguk. Ali Topan segera berdiri.

"Kamu sedang apa?" bisikAnna. "Sedang melamun?" "Melamun apa sih?"


"Melamunkan kamu," kataAli Topan tegas.

Anna Karenina tersentak oleh jawaban yang mantap itu. Wajahnya bersemu dadu.

Dia jengah. la menunduk. Mulutnya serasa terkunci. Kemudian ia menengadah


kembali, memandang Ali Topan. Wajah yang selalu membayang dan senyuman
yang selalu dilamunkannya kini berada di dekatnya.

Sorot mata Ali Topan terasa meluluhkan semangatnya. Maka hati gadis manis
itupun tergetar. Getaran itu mengalir ke jari jari tangannya dan membuat buku
yang dipegangnya turut tergetar. Sebuah amplop jatuh dari dalam buku itu. Ali
Topan bergerak cepat memungut amplop itu dan diberikannya pada Anna.

"Itu untuk kamu," bisik Anna.

"Dari siapa?" Tanya Ali Topan.

Anna Karenina tak perlu menjawab lagi karena Ali Topan membaca namanya di
amplop itu sebagai alamat yang dituju dan Anna Karenina sebagai si pengirim. Ali
Topan membuka mulutnya, hendak mengucapkan terima kasih. Namun Anna
Karenina sudah membalikkan diri dan berjalan cepat menuju kelas.
75
Bel tanda masuk berdentang-dentang.

Ali Topan melihat amplop itu dan memasukkannya ke dalam


sakunya. Iapun berjalan menuju kelas. Langkahnya mantap,
walaupun banyak anak yang memandang ke arahnya. la tak
peduli.

Jam pertama Ilmu Kimia.

Ali Topan tak punya minat mengikuti pelajaran itu. Dia ingin agar semua pelajaran
cepat berlalu. Saku bajunya terasa berat seperti berisi batu. Sebentar-sebentar dia
meraba sakunya untuk mencek apakah surat dari Anna masih ada, apa sudah
lenyap. Dia ingin segera membuka amplop dan membaca surat berharga itu. Apa
sih isinya?

Ketika Pak Hartanto sedang menuliskan rumus-rumus Kimia di papan tulis,


secepat kilat Ali Topan mengambil surat dari sakunya. Bobby melirik kepadanya.

Ali Topan menutupi mulut dengan jari telunjuk, isyarat agar Bobby diam-diam saja.

Perlahan tapi pasti, Ali Topan membuka sampul surat yang ditutup dengan sedikit
perekat plastik. Dia ambil kertas surat hijau dan membuka lipatannya.
Jakarta, 1 Agustus 1978

Ali Topan Yang ....

Kamu datang ke rumah saya nanti malam ya Teman-teman kamu juga boleh datang
Hari ini saya ulang tahun

Anna Karenina

Nggak usah bawa kado deh.

Pokoknya datang saja jam 19.30 tepat.

Isi surat cukup pendek, tapi sangat menggoncangkan tangan kirinya yang
memegang surat itu.

"Lu ngapain sih, kayak orang mabok aja," gumam Bobby. Ali Topan tersadar. la
cepat melipat kembali surat kertas hijau itu. Sebelum dimasukkannya ke dalam
amplop, diciumnya surat itu dengan mesra.

"Lu kenapa, Pan?" gumam Bobby lagi. Disikutnya lengan Ali Topan. Ali Topan
cuma menjawab dengan sebuah senyuman. la memasukkan surat itu ke dalam
sakunya kembali.

Pak Hartanto mulai memberikan pelajaran. Murid-murid menyimak dengan baik,


kecuali Ali Topan dan Anna Karenina. Kedua remaja itu merasa gerah di dalam
kelas. Pikiran mereka tidak penuh berkonsentrasi ke Ilmu Kimia. Mereka sibuk
dengan lamunan masing-masing.

76
Jam jam pelajaran berikutnya, mereka tetap tidak bisa
berkonsentrasi secara penuh. Saat bel berdentang-dentang
tanda usai sekolah, barulah hati keduanya merasa lega.

Anna Karenina keluar kelas lebih dulu. Dia berjalan cepat


menuju mobilnya.

Oom Boy sudah siap di belakang stir. Tanpa banyak pernik


lagi Oom Boy menghidupkan mesin mobil dan langsung
menancap gas. Mercedes itu seakan-akan melonjak meninggalkan tempat
parkirnya.

Ali Topan dikelilingi tiga sobatnya di tempat parkir motor. la baru saja
memberitahu mereka tentang undangan dari Anna.

"Dia bilang sih nggak usah bawa kado, tapi mana enak kita datang nggak bawa
kado? Gengsi kita, man! Gua pikir-pikir... gimana nih kalau kita patungan, seorang
berapa kek, buat beli kado yang rada pantes," kata Ali Topan.

"Yeee, enak banget lu. Lu yang punya minat masa kita musti ikut repot?" kata
Bobby, "kalau emang nggak ada duit, nggak usah gengsi-gengsian deh," tambahnya.

Ali Topan sudah mengira Bobby pasti bersikap demikian. Bobby manusia pelit dan
paling pintar mencari alasan untuk menutupi sifatnya itu.
"Menurut lu gimana Vaert?" Tanya Ali Topan.

"Gua sih lagi bokek, mack. Jadi percuma gua kasih pendapat. Gua bilang oke, gua
nggak bisa patungan. Gua bilang nggak oke, sulit juga, soalnya kita kan satu geng.

Jadi gua abstain deh," kata Gevaert.

"Tapi menurut gua sih, Anna ogah dibawain kado, kalau kita bawain juga nanti dia
tersinggung kan jadi repot," tambahnya.

Ali Topan tampak berpikir. Dia tidak menanyai Dudung sebab dia tahu Dudung
pasti berkata oke, apapun yang dia ajukan. Dia tahu sifat Dudung, sifat anak desa
yang polos. palagi Dudung baru pulang mudik, pasti duitnya banyak. Tapi Ali
Topan tak ingin mengganggu Dudung. Dia berpikir, ada benarnya juga perkataan
Bobby, kalau nggak punya duit nggak usah gengsi-gengsian!

"Oke deh! Kita jalan," kata Ali Topan, "nanti malam kumpul di rumah Gevaert jam
tujuh ya?" tambahnya.Ketiga temannya berkata iya.

Mereka langsung pulang ke rumah masing-masing, tanpa banyak bicara. Entah apa
yang ada di dalam pikiran mereka.

Yang jelas, terasa ada suasana baru memasuki kehidupan persahabatan mereka.
Selama ini mereka seakan menganggap bahwa dunia ini hanya berisi 4 manusia,
tapi kini ada seorang gadis memasuki dunia mereka.

77
Masing-masing lalu menyadari situasi itu, situasi yang mulai
berubah, tapi mereka tidak tahu apakah itu berubah baik atau
buruk bagi persahabatan mereka berempat.

Mbok Yem sedang bercakap-cakap dengan Windy, kakak


perempuan Ali Topan, ketika Ali Topan masuk ke dalam
kamarnya.

"Hei!" seru Windy.

"Hei!" seru Ali Topan sambil melemparkan tas sekolah ke tempat tidurnya. Windy
mendekatinya, lalu memeluk Ali Topan dan mencium pipi si adik.

"Apa kabar nih? Kangen gua, Pan. Mbok Yem bilang lu suka nglayab terus, jarang
ada di rumah. Gimana sekolah lu? Beres? Terusin deh sekolah, jangan males.

Sekolah itu penting buat masa depan. Kalau orang nggak sekolah itu bisa susah
hidupnya. Lu nggak mau jadi tukang-minta kan?" kata Windy. Dia selalu begitu,
artinya selalu banyak memberi nasihat kapan saja, di mana saja.

Ali Topan hafal sikap kakaknya itu. Suka sekali memberi nasihat pada orang lain.
Ali Topan suka bosan dengan nasehat Windy yang itu-itu melulu, yang bagi Ali
Topan hal itu tak lebih dan tak kurang sebagai `over kompensasi' dari jiwa Windy
yang tidak stabil.

"Tumben lu inget ini rumah? Gue kira lu nggak mau balik lagi ke sini," kata Ali
Topan. Windy diam saja. "Gua kangen sama lu," kata Windy.

"Kalau kangen, lu bawa aja foto gua," kata Ali Topan. Dia tersenyum. Windy ikut
tersenyum. Mereka sama-sama maklum bahwa senyuman mereka bersifat
seadanya.

"Jeruk peresnya habis. Minum air es saja Den Bagus?" Mbok Yem menyela.

"Ya, Mbok," kata Ali Topan sambil menepuk bahu Mbok Yem.

"Mama ke mana sih? Masih belum insap juga ya? Kapan sih mama dan papa insap
ya, Pan?" gumam Windy setelah MbokYem keluar kamar.

Ali Topan heran. Tumben Windy mengkritik papa dan mama mereka. Selama ini
Windy tak peduli. la sibuk dengan urusannya sendiri dengan teman-temannya yang
nggak gelas.

"Aaaah, biar aja deh, Win. Mau insap kek, mau kagak kek, mereka sendiri yang
mikul dosanya. Rasanya lucu kalau kita ngasih nasihat sama orangtua kita, iya
kagak?"

"Tapi kan kita jadi malu sama orang-orang lain. Gua jadi nggak ngarti apa maunya
sih mama dan papa begitu. Kerdil amat jiwa mereka ya?"

Mbok Yem masuk membawa segelas air es.


78
Ali Topan meminum air es itu, setengah gelas. Sisanya
diberikan pada Windy. Windy meminum air itu. Mbok Yem
keluar kamar, dia mengerti bahwa lebih baik dia tidak hadir di
saat kakak beradik itu sedang "berbicara".

"Soal malu sih emang malu. Tapi keadaannya runyam begini


lantas kita mau apa? Gua kan ribut melulu sama Papa. Ntar
kebanyakan ribut gua kuwalat lagi.

Mendingan cari idup sendiri-sendiri deh, Win," kata Ali Topan.

"Nggak begitu dong. Mereka kan orang tua kita. Kalau mereka khilaf, kan kita yang
ngasih tahu."

"Kalau ember bocor kena dibikin betul, kalau mental orang yang bocor kan susah
nyoldernya. Menurut gua sih, emang sekarang lagi jamannya orangtua jadi rusak.

Bukan cuma orangtua kita, Win, orangtua temen-temen gua juga kebanyakan rusak
semua. Udah jamannya," kata Ali Topan.

Ali Topan mencopot sepatunya, kemudian mencopot pakaiannya di depan Windy.


Windy memandang adiknya dengan sorot mata sedih. Si adik ini suka kasar dan
plasplos omongannya, tapi kebanyakan benar dan logis.

"Lu mau pergi lagi?" tanya Windy ketika dilihatnya Ali Topan membuka lemari dan
mengeluarkan baju dan celana jeans.

"Nanti malem gua pergi," jawab Ali Topan. "Ke mane?"

"Ke rumah cewek."

"Siapa cewek lu? Ceritain dong."

"Lu kira gua pengarang yang suka cerita perkara cewek. Pokoknya cewek gua
tampangnya kayak Mercy, bukan kayak oplet, Win," kata Ali Topan sambil ketawa.

Windy ketawa juga.

"Anak jendral siapa? Biasanya yang tampang Mercy kan anak jendral," kata Windy,
berolok-olok. Ali Topan mengakak. Kemudian dia diam tiba-tiba. la memandang
Windy.

"Win, gua mau tanya. Kalau cewek ulang tahun itu pantesnya dikasih kado apa
sih?" tanyanya.

Windy berpikir. "Dia punya hobi apa?" tanya Windy. "Gua bukan tanya
kesukaannya, gua tanya apa yang pantes. Gua baru kenal tiga hari mana gua tahu
apa yang dia suka. Yang gua tahu dia suka naik Mercy. Kalau gua turuti
kesukaannya kan gawat! Yang umum deh, yang murah tapi dia bisa seneng, kita
beliin apa ya Win?" "Kita? Kita siapa?"

79
Ali Topan tersenyum.

"Begini. Lu sudah betul nangkep omongan gua. Gua mau beli


kembang buat cewek, tapi gua nggak punya duit, jadi gua
minta duit sama lu. Ha ha ha."

Ali Topan memeluk kakaknya. Windy meronta-ronta.

"Lepasin ah! Badan lu bau tuh!" teriak Windy.

Tapi Ali Topan tak mau melepaskan dekapannya. "Kalau lu kasih duit baru gua
lepasin," kata Ali Topan.

"Iyaaaa.. ... "Ali Topan melepaskan pelukannya sambil tertawa-tawa. Windy


meninju perut adiknya. Dia membuka tas, mengeluarkan Rp3.000.

"Lu beliin kembang nih. Kalau lu naksir bener sama cewek itu lu beliin kembang
mawar, kalau lu nggak naksir lu beliin kembang plastik," kata Windy.

"Sip.”

Ali Topan menerima uang itu.

"Tapi jangan lupa," kata Windy sambil berjalan keluar. "Apa?"


"Jangan lupa nulis di kartu ulang tahun, kalau duit buat beli kembang itu dari
Mpok lu!" seru Windy. Ali Topan tertawa sekeras-kerasnya.

Sehabis makan siang bersama Windy, Ali Topan pergi membeli bunga di pasar
bunga Blok B. Penjual bunga disuruhnya mengantar bunga itu secepatnya ke
alamat (Anna Karenina, jam 18.30. Ali Topan sudah rapi. Ia memakai celana krem
dan baju kotak-kotak kecil warna merah, rambutnya yang gondrong sudah
dikeramasinya tadi, kini hampir kering.

Ali Topan menyisir rambutnya di depan cermin. Jarang dia menyisir rambut.

Untuk Anna Karenina, dia akan menyisir rambutnya. Selesai menyisir rambut, ia
masih berdiri di depan cermin. Malam ini dia sedikit genit, perhatikan segala segi
wajah dandanannya.

Setelah dirasanya cukup keren, ia bersiap keluar kamar. Jam 18:00 harus sudah
berkumpul dengan Bobby, Gevaert, Dudung untuk berangkat bersama ke rumah
Anna.

Mbok Yem muncul di depan pintu kamar. Tangannya menggenggam kalung rantai
perak milik Ali Topan yang ketinggalan di kamar mandi. Kalung itu diberikannya
pada Ali Topan.

"Terima kasih, Mbok. Hampir aku lupa," kata Ali Topan. la langsung memakai
kalung itu, tapi tiba-tiba kalung itu diloloskannya kembali. la mengamati kalung
perak yang dulu dibelinya dengan harga murah dari seorang tukang loak. Sudah
lebih dari dua tahun kalung itu dipakainya.
80
"Ada apa Den Bagus?" tanya Mbok Yem ketika melihat Ali
Topan berpikir-pikir.

"Ah, nggak, nggak apa-apa," kata Ali Topan. la masuk ke


kamarnya lagi. Dicarinya sebuah amplop dan dirobeknya
sehelai kertas dari sebuah buku tulisnya. Ali Topan
menuliskan sesuatu di kertas itu, lalu memasukkan kertas dan
kalung ke dalam amplop.

Direkatkannya amplop itu dengan perekat plastik, lalu ditulisinya amplop itu:
Untuk Anna Karenina dari Ali Topan. Amplop dimasukkannya ke dalam saku
bajunya, kemudian ia keluar kamar.

"Mbok, aku berangkat ya," katanya, "bilangin juga pada Windy," tambahnya. Mbok
Yem mengangguk.

Ali Topan berangkat dari rumah dengan hati gembira. Sepanjang jalan ia
tersenyum manis sendiri. la memberikan sesuatu yang istimewa untuk Anna
Karenina. Semoga Anna menerimanya dengan senang hati, demikian kata hati Ali
Topan.

la tidak mengepot-ngepotkan motornya malam ini. la sangat berlaku sopan di


jalanan.

81
SEPULUH

Jam 22.00 di rumah Anna sudah banyak orang datang di


pesta ulang tahun Anna. Ada yang tua, ada remaja dan ada
juga anak-anak kecil.

Undangan itu terdiri dari famili keluarga Surya, relasi dekat


dan teman-teman baik Anna.Upacara meniup lilin dan
menyanyikan lagu Panjang Umur belum dimulai, karena yang
punya hajat sedang menunggu beberapa undangan.

Yang ditunggu itu, tamu penting bagi Tuan Surya, yaitu seorang wiraswastawan
muda yang baru tumbuh, tokoh dari salah satu grup pengusaha di Jakarta. la
seorang wanita muda bernama Tiara, putri seorang pejabat tinggi yang punya
pengaruh besar di pemerintahan.

Tiara itu bukan teman Anna, melainkan relasi ayahnya yang diberi undangan
khusus untuk hadir.Jam 20.10. Manusia yang bernama Tiara itu belum tampak
juga.

Hampir semua tamu sudah merasa tidak sabar untuk menyantap hidangan yang
sudah `menantang' di atas meja makan. Beberapa tamu mulai main gosip,
terutama orang-orang tua dari geng famili keluarga Surya.

Ibu-ibu dan tante-tante sudah sama-sama repot ber bisik-bisik, yang menurut
istilah Jawa itu disebut `ngrasani'. Tapi wajah mereka bisa kelihatan berseri-seri
walaupun sesungguhnya bisik-bisik mereka berisi sindiran pada yang punya hajat.

Anna Karenina sendiri tampak gelisah. Beberapa temannya sudah langsung


bertanya, kenapa acara belum dimulai. Anna cuma bilang bahwa ada tamu yang
ditunggu.

Ketika jam 20.13 Tiara tidak muncul,Tuan Surya mengambil keputusan untuk
memulai acara. Segera ia memanggil Anna Karenina untuk berdiri di depan 17
batang lilin yang ditancapkan pada sebuah kue tarcis.

Pak Surya sendiri yang memimpin acara. la bertepuk-tepuk tangan seperti orang
memanggil ayam-ayam piaraan. Dan, para tetamu itupun datang bergerombol
mengelilingi meja upacara.

Oom Boy menyalakan lilin ulang tahun. Seseorang sudah siap dengan alat pemotret.

Suasana hening. Pak Surya berpidato.la pidato tentang ini dan itu yang ada
hubungannya dengan kelahiran Anna. Iapun memimpin doa untuk kebaikan Anna
Karenina.

Ketika ia hendak sampai pada akhir doanya, deruman suara motor terdengar
memasuki halaman rumah. Keheningan suasana terganggu sesaat. Para hadirin
sempat menoleh ke arah halaman. Mereka melihat 4 sosok manusia mematikan
mesin motor. Pak Surya menutup doanya. Amin. Para hadirin beramin-amin pula.

82
Begitu selesai, Pak Surya bertepuk tangan sekali lagi dan
meminta para hadirin bersama-sama menyanyikan lagu
Panjang Umur. Maka merekapun bernyanyilah.

Empat penunggang motor yang baru datang adalah Ali Topan,


Bobby, Gevaert dan Dudung. Mereka langsung masuk ke
dalam dan langsung menuju kerumunan orang yang bernyanyi.
Ali Topan cs menganggukkan kepala kepada orang-orang yang
memandangi mereka dengan sorot mata bertanya-tanya. Anna tersenyum ke Ali
Topan.Wajah gadis manis itu berseri-seri.Lagu selesai, Anna meniup lilin.

Para hadirin bertepuk tangan. Tuan dan Ny Surya menciumi pipi Anna, kemudian
para tetamu bergantian menyatakan selamat hari ulang tahun dengan cara masing-
masing.

Ada yang cuma menyalami tangan Anna, ada pula yang ikut-ikutan mencium pipi
Anna.Ali Topan berjalan menghampiri Anna, diikuti oleh tiga sahabatnya. Anna
cepat-cepat melepaskan genggaman tangan seorang famili yang menyalaminya.

"Haai, kirain nggak datang...” Anna berbasa-basi. "Dateng dong, masa diundang
nggak datang," kata Ali Topan, "Ng... selamat ulang tahunAnna, semoga panjang
umur dan... bahagia," tambahnya.

la menyalami Anna dengan hangat sekali. Wajah Ali Topan berseri-seri. Anna pun
demikian pula. Keduanya nyaris lupa bahwa di sekitar mereka banyak manusia lain
yang memperhatikan dengan pandangan bertanya-tanya, kalau tidak ada seseorang
berdehem dengan sengaja. Oom Boy yang berdehem itu.

"Terima kasih ya, bunganya baguuus sekali, Anna senang sekali deh," kataAnna. la
melepaskan genggaman tangan Ali Topan. Tapi Ali Topan tidak segera beranjak
untuk memberikan giliran teman-temannya mengucapban selamat pada Anna. Ali
Topan mengambil amplop dari kantungnya dan memberikannya pada Anna.

"Ini untuk kamu, An," kata Ali Topan.

"Apa sih? Kok repot-repot?" kata Anna, "terima kasih ya.," kata Anna.

Ia menerima pemberian Ali Topan. Ditimang-timangnya amplop berisi kalung itu,


lalu dirabanya dengan jarinya. Wajahnya tampak senang sekali. "Kamu simpan
baik-baik ya," bisik Ali Topan, lalu dia mundur ke belakang. Bobby, Dudung dan
Gevaert berturut-turut menyalami Anna.

Ali Topan melihat ke sekitarnya. Tuan dan Ny Surya berdiri memperhatikannya. Ny


Surya berbisik-bisik pada suaminya. Kelihatan sekali sorot mata Ny Surya tidak
senang melihat kehadiran Ali Topan.Ali Topan menghampiri ayah dan ibu Anna. la
mengulurkan tangan pada Tuan Surya.

"Selamat untuk Anna, Oom," kata Ali Topan. Tuan Surya mengangguk dan
menjabat tangan Ali Topan. la menggumamkan terima kasih yang tidak jelas
terdengar di telinga Ali Topan. Ali Topan menyalami Nyonya Surya dengan
83
mengucapkan selamat pula untuk Anna, tapi Nyonya Surya
tidak segera menyambut uluran tangan Ali Topan. Nyonya
Surya menatap mata Ali Topan kemudian dia memperhatikan
Ali Topan dari atas ke bawah.

Oom Boy berdehem di sebelahnya. Nyonya Surya dan Ali


Topan sama-sama melirik ke arah Oom Boy. Ali Topan
melihat sinisme yang terang-terangan di wajah Oom Boy. la
merasa suasana yang tidak enak. Cepat ia melihat ke arah
Nyonya Surya.

Tangannya masih diulurkan untuk menyalami Nyonya Surya. Nyonya Surya


menyentuh sedikit tangan Ali Topan kemudian Cepat-cepat menarik tangannya,
seolah-olah jijik menyentuh tangan itu.

"Kamu yang ada di Blok M waktu itu ya," kata Ny Surya. Pandangan matanya
dingin. Beberapa tetamu melihat adegan yang kaku itu.

"Iya, Tante...," kata Ali Topan. Ah, suasana sungguh tidak enak bagi Ali Topan. Dia
merasa bahwa kehadirannya tidak disukai oleh Nyonya Surya.

Dia maklum. Anna Karenina juga maklum akan situasi yang tidak enak itu. Hatinya
berdebar-debar. Semua orang di ruang itu memusatkan pandangan pada Ali
Topan.Untunglah Tuan Surya bertindak bijaksana. Dia menepukkan tangannya lalu
berkata keras-keras pada para hadirin, menyilakan makan.

Nyonya Surya membuang muka dari pandangan Ali Topan. Dia segera berjalan
meninggalkan Ali Topan. Nyonya Surya ikut menyilakan para tetamu.

Suasana kaku berubah luwes dan gembira kembali. Para tetamu tidak lagi
memperhatikan Ali Topan. Anna Karenina menghampiri Ali Topan yang tegak
berdiri.

"Hey, ayo dong makan...," kata Anna dengan lembut. Wajah Ali Topan tampak
tegang. Ia tidak tersenyum pada Anna. Anna merasakan ketegangan itu. la
menunduk. Ada kesedihan merambati hatinya.

Bobby, Dudung dan Gevaert datang. Bobby menyentuh lengan Anna. "Kok kue
ulang tahunnya nggak dipotong, An?" kata Bobby.

"Buat disimpan tahun depan ya?" kata Gevaert.

Dua kalimat itu mampu menyadarkan Ali Topan dan Anna. Keduanya
tersenyum.Ali Topan menyentuh lengan Anna. "Sorry, Anna," bisik Ali Topan.

Kemudian mengajak Anna dan teman-temannya. Matanya redup.Hidangan di meja


berlimpah ruah. Ada ayam panggang, ayam goreng, sambal goreng ati dan pete, sop
sarang burung, bakmi, ayam goreng, capcay, sate Madura, dan banyak lagi jenis
makanan yang tampak sangat sedap. Tapi Ali Topan cuma mengambil seperempat
piring nasi putih, sesendok acar ketimun dan bawang merah serta sayap ayam
goreng.
84
"Kok sedikit makannya? Ayo, jangan malu-malu," seorang
tante berwajah ramah menegur Ali Topan. Ali Topan melirik
padanya. Ia tersenyum singkat pada Ali Topan dan
mengerjapkan matanya dengan genit. Ali Topan tak
menggubris kerjapan mata sembrono itu. la berjalan ke
tempat minum, mengambil segelas air dingin, lalu berjalan
menuju halaman. Ali Topan duduk di bawah lampu taman.

"Kok sedikit sekali makannya. Takut gemuk ya, Pan," seorang gadis menyapanya.

Ali Topan menengok. "Hai, Maya. Gua kira siapa lu? Gua lagi kagak napsu makan
nih," kata Ali Topan. Maya duduk disampingnya. Bobby, Dudung dan Gevaert
datang beruntun.

"Hai:' "Hai. " "Hai " Mereka berhai-hai-an.

"Makanannye sih enak-enak, tapi gua nggak napsu banget ye," kata Ali Topan. la
menyendok nasi dan menyuapkannya ke mulut Maya yang sedang mangap. Maya
terperanjat, tapi nasi suapan Ali Topan begitu tepat masuk ke dalam mulutnya.

Maya memekik. Nasi tumpah dari mulutnya. Ali Topan dan kawan-kawannya
tertawa. Maya memukul lengan Ali Topan.

"Sialan deh, ih," kata Maya. Toh mulutnya tersenyum. "Abis mulut lu nganggur,
jadi gua suapin deh lu," kata Ali Topan.

"Badung lu nggak kira-kira deh," kata Maya sembari membersihkan mulutnya


dengan saputangan.

Anna datang. Wajahnya sedih. la berdiri di dekat Ali Topan, matanya redup.

"Kamu marah ya," katanya. "Siapa?" Tanya Ali Topan. "Kamu”

”Marah sama siapa?"

"Sama mama saya."

"Ah, nggak. Mama kamu kan yang marah pada saya," kata Ali Topan. la mendongak.
Dilihatnya wajah Anna. Ah, mata gadis itu berkaca-kaca.

"Hei, kenapa?" kata Ali Topan. Ia berdiri perlahan. Wajah Anna tampak sedih dan
muram. Matanya makin berkaca-kaca. Ali Topan tiba-tiba merasa iba. Dan tiba-tiba
pula ia mengusap air mata yang menetes di pipi Anna dengan tangannya.

"Kamu jangan nangis," bisik Ali Topan. Lembut sekali. Anna terhisak. la mengusap
air mata dengan saputangannya.

"Aaaaah, saya cengeng ya," kata Anna. Seketika ia tersenyum. Ali Topan juga
tersenyum. Bobby, Dudung dan Gevaert pun pura-pura tidak melihat adegan itu.

85
Maya, yang tidak tahu persoalan di dalam rumah, terheran-
heran.

"Kamu masuk deh, layani tamu-tamu yang lain," kata Ali


Topan. Anna mengangguk. la menyentuh tangan Ali Topan,
lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Maya mengikutinya
dari belakang.

Ali Topan makan dengan cepat. Nasi putih tak lagi


dikunyahnya secara wajar, demikian juga sayap ayam goreng. Dia cepat
menyelesaikan makannya, lalu meminum air teh dingin. Teman-temannya malah
asyik menikmati makanan mereka ketika Ali Topan mulai merokok. Ia tak banyak
berbicara dan bercanda walaupun sahabat-sahabatnya mencoba untuk membuat
lelucon-lelucon. Ali Topan lebih senang menikmati rokoknya, karena rokok itu
terasa membebaskan dirinya dari ketegangan dan rasa sumpek yang membuat
hatinya gelisah.

la gelisah karena sikap ayah dan ibu Anna yang kaku dan dingin. la tahu alasan
Nyonya Surya kenapa bersikap seperti itu, tapi ia toh merasa sikap demikian itu
terlalu berlebih-lebihan. Tapi iapun merasa, di pihaknya sendiri, bahwa
kelakuannya tempo hari melempar kulit rambutan juga berlebih-lebihan.

"Busyet!" katanya tiba-tiba.

"Memang busyet!" sahut Gevaert, tanpa tahu juntrungan kenapa tiba-tiba Ali
Topan menyebutkan kata itu. Ali Topan jadi tersenyum pahit. la memandangi
wajah tiga temannya yang asyik menyantap makanan.

"Don't put until tomorrow what you can do today," kata Dudung.

"Apa artinya?" tanya Gevaert


.
"Teu, nyaho," kata Dudung berbahasa Sunda.

"Kalau gua tau artinya," kata Bobby, "jangan biarkan mereka lapar," tambahnya.

Lalu Bobby pun mengakak sekeras-kerasnya. Gevaert dan Dudung mengikik-ngikik.

Lucu betul. Tapi Ali Topan cuma tersenyum dingin. Dia sedang kesal karena rasa
gelisah makin mendesaknya.

"He, kalau ketawa jangan keras-keras! Tau sopan sedikit, Bung!" seseorang
membentak. Suaranya serius. Ali Topan cs menengok ke arah suara itu. Oom Boy!
la berdiri di dekat mobil di halaman yang agak gelap. Rupanya sejak tadi ia
memperhatikan Ali Topan cs. "Pssst. Tukang parkirnya marah-marah," kata
Gevaert. "Udah, diem aje, mack. Jangan cari ribut," kata Dudung.

Ali Topan setuju sekali dengan ucapan Dudung. Ia membuang pandangan dari
Oom Boy yang masih melotot.

"Tongkrongan selangit, mack. Kita jadi geli," bisik Bobby.


86
"Kalau ketemu di jalanan kita gebukin aja rame-rame, biar
nyaho," kata Dudung.

Ali Topan melihat ke arah teman-temannya.

"Cepetan deh makan, kita cabut buru-buru. Gua merasa


sebagai tamu yang tidak disukai, mack. Kalau bukan pesta
Anna sih, gua obrak-abrik ini pesta," kata Ali Topan.

Bobby, Dudung dan Gevaert buru-buru menyelesaikan makan mereka, lalu buru-
buru minum.

"Langsung cabut nih, Boss?" tanya Dudung. "Mau ngapain lagi di sini?" jawab Ali
Topan.

"Ayoh dah. Perut kenyang emang nggak enak diajak ribut," kata Bobby. la berdiri
merendengi Ali Topan. Dudung dan Gevaert pun segera berdiri. Mereka menunggu
komando Ali Topan.

"Kita datang tampak muka, pergi tampak punggung," kata Ali Topan. Suaranya
berwibawa.

Anna Karenina tidak bisa berkata apa-apa ketika Ali Topan berpamitan. Soalnya Ali
Topan langsung minta diri pada ayah dan ibunya. Anna sedih, tapi ia pun maklum
akan situasi.

"Jangan tersinggung ya, An," kata Ali Topan. Anna Karenina diam saja. la
mencengkeram lengan Maya yang setia menemaninya.

Ali Topan cs segera pergi.

Pesta ulang tahun tetap berjalan.

Dan airmata seorang gadis berlinangan.

Hari sudah jauh malam. Pesta sudah lama selesai. Anna Karenina menelungkupkan
kepalanya di meja di dalam kamarnya. la menangis. Tangannya menggenggam
kalung dari Ali Topan. Kado-kado yang lain berserakan di lantai di dekat lemari
pakaiannya.

Kedatangan Ali Topan cs menandakan ibunya marah. Tadi Anna dimarahi di depan
beberapa tamu, walaupun mereka famili, yang ikut-ikutan "menasihati" supaya
jangan bergaul dengan anak jalanan. Anna sebal betul, sedih betul. Untung teman-
temannya sudah pulang ketika "peristiwa" itu terjadi, kalau tidak ia bisa malu sekali.

Teman-temannya pasti akan mengatakan bahwa ibunya kolot, udik, kampungan


dan sebagainya.

Anna mengusap airmatanya. Kalung perak dari Ali Topan diusapnya. Kartu ucapan
selamat dibacanya berulang-ulang. Semakin dibacanya, semakin ringan perasaan
87
hatinya. Kalung perak diciuminya dengan mesra, didekapnya
erat-erat, lalu diciuminya berulang-ulang, akhimya kalung itu
dipakainya. "Terima kasih, sayang," bisiknya. Airmatanya
masih menitik. Dan wajah Ali Topan yang punya senyuman
khas, terbayang-bayang. Anna ingin sekali Ali Topan ada
didekatnya, mengusap airmatanya dan menghibur hatinya.

Anna Karenina melamun terus sampai jauh malam. Kado-


kado yang menumpuk di dekat lemari tak dibukanya. la
merasa bahagia sekaligus sedih pada hari ulang tahun kali ini. Bukan karena ia
menginjak usia 17 yang menandakan masa dewasanya sebagai gadis, tapi lebih
istimewa lagi karena di dalam hatinya kini ada seseorang, Ali Topan, yang dengan
caranya sendiri masuk ke dalam hati itu dan bersemayam di dalamnya.

Akhirnya Anna tertidur dibuai lamunannya. Ia bermimpi. Indah sekali impinnnya.

Di sebuah padang rumput ia berlari-lari kecil. Ali Topan menemaninya. Mereka


bernyanyi-nyanyi...

Keesokan harinya di sekolah, Anna kecewa. Ali Topan tidak masuk sekolah.

Ditanyakannya pada Maya, tapi Maya tidak tahu ke mana Ali Topan. Bobby,
Dudung dan Gevaert pun cuma memandanginya dengan dingin ketika ia mencoba
bertanya tentang Ali

Topan. Anna merasa teman-teman Ali Topan bersikap kaku dan acuh tak acuh.

"Ada apa nanya-nanya Ali Topan, emang dia punya utang sama lu?" kata Bobby
dengan nada yang sinis sekali. Anna menggigit bibirnya. Perasaannya tidak keruan
mendengar perkataan itu. Untung ada Maya yang seakan-akan tahu perasaannya
dan mau menemani sepanjang waktu.

Hari berikutnya, Ali Topan tetap tidak masuk sekolah.

88
SEBELAS

Ali Topan dengan rambut kusut, wajah muram dan blue-jeans


lusuh berdiri di kios majalah yang terletak di samping toko
sepatu Bata di Blok M.

Munir, pemuda Medan, pemilik kios itu memperhatikan Ali


Topan.

"Nggak sekolah kau, Pan?" tanya Munir dalam aksen Bataknya yang kental. Ali
Topan memandang Munir, acuh tak acuh.

"Lu sendiri sekolah apa kagak? Sok pake nanya-nanya gua lagi," kata Ali Topan.

"Ah, pukimak kau lah," kata Munir mengeluarkan ' makian' gaya Medan.

"Kau yang pukimak, lah," kata Ali Topan. Munir menyeringai. Ia tidak marah
karena sudah akrab betul dengan lagak Ali Topan.

"Kau habis begadang ya? Tampang kau kusut kali, ah," kata Munir.

"Lu ngoceh aje dari tadi, Nir. Makan pepaya tadi pagi?" kata Ali Topan.
"Kalau makan pepaya kenapa memangnya?"

"Kayak burung kutilang, kalau dikasih pepaya ngoceh terus sepanjang hari," kata
Ali Topan. Munir tertawa. Seorang anak penjaja rokok dipanggil oleh Ali Topan.

"Dji Sam Soe tiga batang, Bang," kata Ali Topan. la memberikan Rp 100 pada
penjaja rokok.

Ali Topan memberikan sebatang Dji Sam Soe pada Munir, yang sebatang
disulutnya, sisanya diselipkannya di tempat biasa.

"Kalau udah gua kasih rokok, boleh dong gua lihat-lihat majalah, Nir" kata Ali
Topan.

"Biasanya kau main comot saja, nggak pakai kasih rokok. "

Ali Topan menjumput Newsweek, kemudian ia berjalan ke tangga dan duduk di situ.

Tanpa menghiraukan orang lalu-lalang, Ali Topan membalik-balik majalah


berbahasa Inggris itu.

Maya baru pulang dari sekolah dan mampir di kios Munir siang itu.

"Bang, Gadis yang baru sudah terbit?" tanya Maya. "Sudah," kata Munir. la
mengambil Majalah Gadis dan membungkusnya, kemudian diberikan pada Maya.

“Apalagi?" tanya Munir.

89
Maya tak menjawab. la sedang mengamati Ali Topan yang
sedang asyik membaca Newsweek. Pelan-pelan Maya
mendekati Ali Topan.

"Heh!" Maya berseru sambil menepuk bahu Ali Topan. Ali


Topan kaget, secara refleks tangannya menangkap tangan
Maya.

"Eh, lu May!"

Ali Topan melepaskan cekalannya. la berdiri segera. "Ngapain lu?" tanya Ali Topan.

"Ngapain? Kamu yang ngapain di sini. Udah dua hari mbolos, ih, nggak merasa ya,
ada yang patah hati," kata Maya.

"Eh, ada juga yang bisa kau bikin patah hati, Pan. Playboy pulak kau rupanya,"
Munir menyela. Ali Topan membelalakkan matanya. "Lu jangan ikut nimbrung,
ah," kata Ali Topan. la menaruh Newsweek di tempatnya, kemudian menggamit
lengan Maya. Maya segera mengikuti Ali Topan.

"Hoi! Bayar dulu majalahnya!" Munir berteriak.

"Oh iya, hampir lupa," kata Maya. Ia berbalik dengan wajah tersipu-sipu, lalu
bergegas membayar majalah yang dibelinya, kemudian cepat berjalan menyusul Ali
Topan. Munir menggeleng-gelengkan kepalanya memandang Ali Topan dan Maya
yang berjalan pergi.

"Gila. Tampang Si Topan kusut begitu masih bisa bikin anak gadis mabuk kepayang.

Boleh juga dial" gumam Munir.

"Itu namanya tampang kusut yang berbobot, Bang," sahut Erwin, anak Medan
penjual mainan plastik yang berdagang di dekat kios Munir.

Ali Topan dan Maya berhenti di depan sebuah toko buku. Mereka pura-pura
melihat buku-buku- yang dipajang di dalam etalase.

"Gimana kabar sekolahan, Maya?" bisik Ali Topan. "Kabar sekolahan atau kabar
Anna Karenina?" Maya menggoda. Ali Topan tersenyum manis mendengar godaan
itu. Maya juga tersenyum, namun matanya memandang Ali Topan secara aneh.

"Gua lagi kumel ya? Lu malu dilihat orang bersama gua, May?" tanya Ali Topan.

"Ssssshhhh... bukan gitu. Lu kayaknya makin kumal makin cakep kok," kata Maya.

Ali Topan menyikut lengan Maya.

"Ceritain kabar sekolahan dong. Gua lagi nggak enak pikiran nih, jadi gua cuti dua
hari."

90
"Kalau saya kasih sesuatu, besok kamu cuti terus sampai
setahun ya?"

"Mau kasih duit lu?"

Maya tersenyum lagi. Kemudian ia membuka tas sekolahnya


dan mengambil sepucuk surat dari celah-celah buku. Surat itu
diberikannya pada Ali Topan.

"Nih baca. Dari kekasihmu."

Ali Topan ternganga. Ia hampir tak mempercayai pendengarannya.


Mimpikah? Mimpikah dia? Maya memberikan surat itu.

"Udah jangan bengong!" kata Maya.

"Dari dia? Surat dari dia? Betul nih May?" Ali Topan tergagap-gagap.
"Kalau bukan dari dia lalu dari siapa? Emangnya pacarmu ada berapa biji?" Kata
Maya, "Tadi di kelas dia nulis surat ini dan minta tolong pada saya untuk
menyampaikan ke kamu. Saya pikir, kamu saya telpon dari rumah supaya
mengambil surat titipan kilat itu. Eh, kebetulan kamu di sini, jadi lebih bagus lagi,
saya nggak usah capek-capek nelpon kamu," tambahnya.

"Oooo... ooo... ooo..." Ali Topan cuma bisa o, o, o, o ya mendengar omongan Maya
yang beruntun itu. la bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada Maya, padahal
Maya kelihatannya menunggu ucapan itu. "terima kasih ya," kata Maya. Ali Topan
melengak. “Duilah, kok kamu yang bilang terima kasih. Saya terima kasih, terima
kasih, terima kasiiiih, Maya maniiiiis," kata Ali Topan.

Uh, merayu lagi. Udah deh saya mau pulang," kata maya, "Besok mbolos lagi ya,"
tambahnya. Maya bergerak meninggalkan tempat itu. AliTopan mencekal
lengannya.

"Kalau saya nggak nganter kamu pulang itu namanya nggak lucu dong, Maya. Anak
cakep jalan sendiri, nanti diculik orang jahat kan Kebayoran rugi," kata Ali Topan.

Percuma Maya meronta-ronta, Ali Topan tetap mencekal lengannya dan


membawanya ke tempat parkir motor.

"Tapi kamu jangan ngebut dong. Saya takut kalau kamu ngebut," kata Maya ketika
ia duduk diboncengan motor. "Beres deh. Apa saja yang kamu minta hari ini, asal
jangan minta duit, saya usahakan untuk memenuhinya," kata Ali Topan.

"Tumben ngomongnya pakai tata bahasa Indonesia yang baik. Saya-kamu saya-
kamu-an. Biasanya lu-gue lu-gue-an," kata Maya.

Ali Topan tertawa gembira. Mayapun ikut merasakan kegembiraan temannya yang
eksentrik itu. Sepanjang jalan ke rumah Maya, Ali Topan tanya perihal Anna. Maya
tak banyak cerita. la hanya mengatakan bahwa Anna tampak sedih.
91
"Kamu baca saja suratnya, kan lebih sip," kata Maya.
"Nanti dong, sambil naik motor mana bisa baca surat? Nanti
jatuh, dengkul kamu lecet kan saya musti ganti. Kalau di toko
ada dengkul palsu, kalau langka kan saya dituntut oleh
orangtua kamu," kata Ali Topan dengan nada lucu.

Maya mengikik geli. la senang sekali mendengar Ali Topan


bisa berbicara dengan tatabahasa yang baik. Sepanjang jalan,
Maya tersenyum sendiri.

Mereka sampai di depan rumah Maya. Maya melompat turun.

"Nggak usah mampir ya," kata Maya.

"Ngapain mampir, nanti dikasih makan kan nggak enak," kata Ali Topan bergurau.

"Oke deh ya, Trimakasih sekali lagi," tambahnya.

Ia menggeblas motornya,berlalu. Maya berlari-lari kecil masuk ke rumahnya.

Ali Topan menghentikan motornya di bawah pohon Mahoni di Jalan Limau yang
sepi. la buru-buru buru membuka sampul surat dan membaca isinya.

Ali Topan Sayaaang ....

Anna sangat menyesal atas peristiwa pada malam ulang tahun Anna. Anna
mengerti jika kamu dan teman-teman kamu tersinggung atas perlakuan orang
tua saya yang sadis dan kejam. Anna minta maaf ya? Mau kan kamu memberi
maaf Anna?

Surat ini Anna kirimkan via Maya, karena Anna belum berani datang ke rumah
kamu. Nggak apa-apa ya?

Oh iya, kalung pemberian kamu baguus sekali. Anna sudah memakainya dan
akan Anna pakai selalu.

Terima kasih atas kebaikan kamu. Semoga Tuhan Yang maha Esa membalas
kebaikan kamu dengan cinta kasih. Sekian dulu.

Salam dari Anna Karenina.

p.s Anna ingin kamu besok masuk sekolah ya.

Ali Topan menghembuskan nafas panjang pertanda legaan hatinya. Surat itu
dibacanya sekali lagi, seolah tidak percaya bahwa Anna menulis surat yang begitu
isinya. Diciumnya surat itu berulang-ulang, tepat tanda tangan Anna.

"Anna sayang... besok saya masuk deh...," katanya padanya sendiri.

92
Rasanya tak puas-puasnya Ali Topan mencium dan
memandangi tanda tangan Anna, tapi ia jadi malu hati karena
ada dua orang lewat memperhatikannya dengan pandangan
aneh serta lucu. Ali Topan cepat-cepat memasukkan surat itu
ke dalam kantongnya, kemudian berlalu meninggalkan tempat
itu. Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Ali Topan
bersiul-siul gembira. Baru pertama kali dalam "sejarah"
hidupnya, Ali Topan menerima surat cinta, untung dia tidak
gila akibat gempa kegembiraan yang melanda kalbunya.

Sampai di rumah, ia langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Radio yang
selama ini berfungsi sebagai teman dalam kamar tidak disentuhnya. la
menghempaskan diri ke tempat tidur dan senyam senyum sendirian. Bantal
dipeluknya dan diciumnya berkali-kali.

Sejenak kemudian ia sudah melompat dari tempat tidur dan berjalan mondar
mandir di dalam kamarnya. la bercermin dan berbicara dengan wajahnya di dalam
cermin. Ia tersenyum, ia tertawa-tawa kecil. Anak jalanan yang begitu brutal bisa
juga dibikin bingung oleh sebuah surat cinta. Anna. Anna. Anna. Anna. Anna.

Berkali-kali mulutnya menggumamkan nama gadis yang telah membuat hatinya


goncang.

Tak lama ia sudah meninggalkan cermin itu. la duduk di lantai menghadapi meja
kecil di sisi tempat tidur. Sebuah kertas yang dirobeknya dari buku tulis terhampar
di meja itu. Bolpen di tangan kanannya la mencoba menulis surat balasan untuk
Anna, tapi ia repot memperoleh kata-kata yang dianggapnya cocok menyuarakan
rasaannya. Ia ingin romantis dalam surat, tapi kalimat yang telah ditulisnya terasa
begitu romantis seperti rayuan orang-orang cengeng. Ia merasa geli, malu hati
sendiri ketika membaca kalimat-kalimat 'cintanya'. Berkali-kali ia ganti kertas,
berkali-kali ia menulis surat dan berkali-kali pula ia meremas kertas itu dan
membuangnya ke bawah tempat tidur.

"Wah lama-lama buku gua habis dong, An...," gumamnya. Dan ia kaget ketika
gumaman itu di dengarnya sendiri. Akhirnya, ia menguatkan hati. Ditulisnya
sebuah surat, hampir tanpa berfikir lagi, dan ia tak mau membaca surat itu karena
takut batal lagi. Begitu selesai menandatangani surat cintanya, ia melipat kertas
surat dan mencari amplop. Tapi amplop merupakan barang yang belum pernah ada
didalam daftar barang-barang inventarisnya, karena ia tak pernah merasa
memerlukan benda itu.

Di dalam kamar ayah dan ibunya pasti ada benda itu, tapi Ali Topan malas
mengambilnya. Akhirnya surat itu dia tutup dengan pita rekat plastik lalu
diselipkannya surat itu ke dalam sebuah buku.

Suara langkah Mbok Yem terdengar. Ali Topan cepat menghidupkan radio.

“Den Bagus, Den Bagus!," Mbok Yem memanggil dari balik pintu, karena pintu
kamar dikunci oleh Ali Topan.

93
Topan membukakan pintu. "Kalau manggil raden-radennan
lagi gua nggak mau jawab, Mbok. Serius nih," kata Ali Topan.

"Habis Mbok harus manggil apa? Tuan muda?" tanya Yem.

“Panggil Gus Topan, gitu."

“Gituuu... iya deh Den Bagus, eh, Gus Topan... ," kata Mbok
Yem, "ngapain pintu dikunci?" "Gak ngapa-ngapain," kata Ali Topan.

la kembali ke kamar mengambil buku berisi surat cintanya.


“Ke mana? Makan dulu, deh," kata Mbok Yem.

“Aku pergi sebentar...,"kata Ali Topan. la berjalan ke ruang depan.

Ibunya keluar dari pintu kamar.

"Hallo... mau ke mana anak mama?"sapa Ny. Amir.

Ali Topan memandang ibunya. Wajah ibunya agak pucat, rambutnya semrawut dan
seputar matanya cekung. "Mama sakit?" tanya Ali Topan. Ny. Amir tersenyum dan
menggelengkan kepalanya.

Ali Topan menatap mata ibunya. Nyonya Amir melengos. Mereka berpandangan
lagi, tapi dua pasang mata mereka hanya merefleksikan getaran kosong dan asing
dari hati masing-masing.

"Ali pergi dulu, Ma ...,"kata Ali Topan. la berlalu dari hadapan ibunya.

"Mau ke mana kau?" tanya Nyonya Amir.

"Mau ke rumah Maya," kata Ali Topan sambil berjalan keluar.

Nyonya Amir menghela napas. la mengerti kenapa anaknya bersikap acuh tak acuh
kepadanya.

Deruman suara motor Ali Topan terdengar bagaikan deruman singa yang sedang
marah. Nyonya Amir terdiam di tempatnya. la menutup wajahnya dengan dua
telapak tangannya. Di depan pintu kamar Ali Topan, Mbok Yem berdiri
memperhatikannya.

Maya hendak tidur siang ketika Ali Topan datang ke rumahnya.


"Ngapain? Saya mau tidur siang nih," kata Maya. "Mau titip surat buat... si dia,"
kata Ali Topan, "sorry mengganggu ya," tambahnya. Ali Topan memberikan buku
berisi surat kepada Maya. Maya tersenyum menerimanya.

"Rajin juga ya. Isinya rayuan melulu ya?" Maya menggoda. Ali Topan tersipu-sipu.
"Nggak tau deh Maya. Mau dibilang rayuan kek, cetusan hati nurani kek, atau
rintihan dan ratapan yang cengeng, terserah deh. Gua juga nggak tahu apa

94
namanya," kata Ali Topan, "Gi deh, tidur siang biar awet muda.
Dan terima kasih ya atas kebaikan kamu," tambahnya.

Ali Topan permisi pulang. Maya masih menggodanya: "Eh,


titipan Hati kan musti ada ongkos kirimnya, Pan?" Ali Topan
merandek dan berpaling

"Titipan surat cinta ongkosnya berupa cipokan, mau?" katanya.

"Ih,enak aja lu!" kata Maya sambil meringis. Dan ia makin meringis ketika Ali
Topan mengirimkan ciuman jarak jauh via tangan kanan yang dikecupnya. Maya
melengos. Ali Topan tertawa senang, dan segera berlalu karena Ny. Utama muncul
dari dalam rumah.

"Teman kamu yang satu itu lucu juga, tapi lucunya berbahaya, Maya. Jangan-
jangan kamu jatuh cinta sama dia," kata Ny. Utama.

"Maunya sih jatuh cinta, Mama. Tapi dia sudah ada yang punya...," kata Maya.

"Jadi kamu patah hati dong?" Nyonya Utama menggodanya.

"Ah, nggak juga, emangnya hati Maya dari kayu..."' jawab Maya, "dia kemari mau
titip surat buat kekasih...," tambahnya sambil menunjukkan buku berisi surat Ali
Topan.

Keduanya tertawa kecil, lalu berpelukan, masuk ke rumah, seperti dua orang
sahabat yang manis...

95
DUA BELAS

Esok harinya di sekolah. Maya memberikan titipan dari Ali


Topan kepada Anna Karenina.

"Nih, balasan dari dia," kata Maya.

"Oh ya? Terima kasih Maya," kata Anna. Ia cepat memasukkan


buku itu ke dalam tasnya. Hatinya berdebar-debar. la ingin
segera membaca surat balasan itu, tapi beberapa teman yang baru datang lewat di
sisi bangkunya. "Kamu ke rumahnya?" tanya Anna.

"Ih, gengsi dong. Saya ketemu dia di blok-M, tampangnya kusut banget, begitu saya
kasih surat kamu tampangnya jadi berseri-seri seperti penyanyi pop di layar tivi,"
kata Maya sambil senyum. Anna mencubit lengan Maya.
"Dia masuk apa tidak hari ini?" tanya Anna.

"Nggak tahu, emangnya saya ibunya apa yang musti tahu segala urusan dial" jawab
Maya. Wajah Anna Karenina bersemu dadu karena godaan itu.

Bel sekolah berdentang. Jam pertama hari itu adalah jam yang paling tidak disukai
oleh murid-murid, yaitu "pembinaan budi pekerti" oleh Ibu Dewi. Ali Topan
memberi sebutan "pendidikan over acting" untuk jam pelajarannya.

Ibu Dewi masuk ke dalam kelas. la memakai pakaian yang selalu mengikuti mode
dan mahal, sesuatu yang tidak cocok dengan jabatannya sebagai pembina budi
pekerti. Dandanan wajahnya pun, yang ditandai dengan gincu menyala, bedak tebal,
bulu mata palsu sangat membantu pandangan negatif murid-murid terhadap
dirinya.

Pertama kali Ibu Dewi melihat ke arah bangku Ali Topan. Tak pemah sekalipun ia
melihat Ali Topan siap di tempatnya ketika ia masuk. Kalau tidak kesiangan,
sampai hampir habis jam pembinaannya, pasti Ali Topan tidak masuk. Dan ia tak
habis mengerti kenapa murid yang satu itu begitu berani terbuka menantangnya.

"Dia ke mana?" tanya Ibu Dewi pada Boby. "Saya tidak tahu, Bu," jawab Boby.

Itu adalah tanya jawab yang rutin, semacam pendahuluan untuk acara pidato
muluk-muluk tentang budi pekerti, sopan santun, moral baik dan buruk serta lain-
lain dongengan lagi.

Biasanya, kalau ada Ali Topan, selalu saja ada peristiwa yang lucu dibuatnya, yang
menguap keraslah, yang ,berlagak mengantuk, atau jatuhnya setumpukan buku ke
lantai. Bahkan pernah ada seekor tikus got berlari kian kemari di dalam kelas dan
mengakibatkan kelas geger, anak-anak perempuan naik semua ke atas bangku
mereka, bahkan Ibu Dewi lari terbirit-birit ke luar sampai terkencing-kencing.

Dugaan kuat Ali Topan yang membuat ulah, tapi dugaan itu tak bisa dibuktikan,
akhirnya dibekukan.

96
Ali Topan bangun tidur pada pukul 7.23 wib. Selesai mandi
pada pukul 7.31 wib, ia segera mengenakan busana hariannya,
jeans bluwek dan kemeja batik cap Dua Bedil. Seharusnya
busana seragam SMA Bulungan bukan jeans bluwek, dan batik
cap Dua Bedil, tapi celana biru muda dengan baju batik Keris.

Ali Topan selalu merasa gerah Mau memakai seragam sebagai


yang ditentukan oleh Kepala Sekolah.

Oleh karena itu, ditambah catatan yang hampir setiap hari dicatat oleh ibu-ibu dan
bapak-bapak guru sehubungan dengan kelakuannya yang "bebas-aktif," maka nilai
budi pekerti Ali Topan tidak pernah bagus.

Tanpa sarapan pagi, Ali Topan berangkat ke sekolah pada pukul 7.44. la
mengendarai motornya sebagaimana anak-anak muda Jakarta yang sedang puber,
yaitu ngebut. Seringkali ia ditangkap polisi lalu lintas karena pengebutannya, tapi
sering kali pula ia dibebaskan karena polisi diberinya alasan yang masuk akal. la
selalu mengatakan, ketika ditanya kenapa ngebut, bahwa ia hanya mencontoh
adegan ngebut di dalam film luar dan dalam negeri.

"Kalau Bapak ingin agar saya berhenti ngebut, coba Bapak larang adegan ngebut di
film-film itu," demikian katanya senantiasa.

Ketika polisi-polisi itu menunjukkan gejala "perdamaian di bawah tangan", Ali


Topan suka juga membual, dengan mengatakan dia anak jenderal. Secara
psikologis dia tahu, berdasarkan pengalaman orang lain, polisi-polisi itu agak ngeri
jika ada seseorang remaja mengaku anak jenderal. Tapi pernah juga sekali tempo
dia membentur "batu", ketika seorang polisi lalulintas tidak peduli apa yang ia
bualkan, dan Ali Topan kena "tilang" di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang
terletak di kampung Slipi.

Dia memang jagoan mengendarai motor. Dalam tempo 3 menit dia sudah sampai di
Jalan Wijaya 11. la suka mengambil jalan memutar ke sekolahnya yang terletak di
Jalan Mahakam, untuk menikmati tikungan-tikungan kecil yang terdapat di situ.

Pada saat ia menikung dari Jalan Wijaya 11 ke arah Panglima Polim Tiga, ban
motornya mendadak kempes. Ali Topan menghentikan motornya dan memeriksa
ban depan yang kempes. la mendapati sebuah paku besar menancap di ban
motornya.

"Sialan, lu anak siapa sih paku! Nggak disekolahin ya sama bapak lu! Pagi-pagi
begini bikin kempes ban motor gua!" Ali Topan menggerutu. la berusaha mencabut
paku itu, tapi tidak bisa, karena paku itu menancap dan bengkok di Dalam ban.

Dengan wajah kesal Ali Topan menuntun motornya ke arah tukang tambal ban
yang membuka bengkel di ujung Jalan Panglima Polim Tiga.

"Pagi-pagi sudah kena musibah rupanya.. ." kata tukang tambal ban seorang
pemuda asal Medan.

97
"Iya. Musibah gua kan rejeki lu, Bang! Bisa banget lu omong
musibah-musibahan," jawab Ali Topan. Dia memarkir
motornya di depan tukang bengkel yang tersipu-sipu
mendengar kata-katanya.

"Kena paku rupanya? Di mana?" kata tukang tambal ban.


"Di Bandung!," sahut Ali Topan, "gua tinggal ini motor, nanti
siang gua ambil," tambahnya sembari melemparkan kunci
motor pada tukang tambal ban yang bengong itu tanpa banyak
pernik, Ali Topan berjalan pergi, menyambung perjalanannya.

Ali Topan berjalan kaki dengan santai. la bersiul-siul gembira. Kedua buah
tangannya berada didalam saku jeans. Indah sekali pagi, nyaman sekali hatinya.
Seorang mngendara motor dari arah belakang berhenti di dekatnya. Dia Teddy,
anak kelas I-7. "Eh, tumben jalan kaki, Pan. Ke mana motor lu?" tanya Teddy,
"udah telat nih. Lu naik deh," tambahnya.

"Hei, lu Ted. Ban motor gue pecah kena paku. Yuk, gua nebeng dah," kata Ali Topan.

Dia membonceng Teddy. Sampai di sekolah Ali Topan melompat turun.

"Terimakasih, Ted," kata Ali Topan, kemudian ia segera berlari menuju kelasnya.

Teddy menuntun motornya ke tempat parkir.

Ali Topan sampai di depan kelas, tapi dia tidak langsung masuk. Dia berdiri di
dekat pilar di depan kelas. Suara Ibu Dewi membuatnya enggan masuk, namun
perasaannya ingin betul masuk ke dalan untuk melihatAnna.

Di dalam kelas, Ibu Dewi mulai "berdakwah". Murid-murid segera diam.


Memperhatikannya.

"Anak-anak, hari ini lbu akan menerangkan satu masalah yang mengangkat
tatacara pergaulan kaum muda. Masalah ini sangat penting agar kalian bisa
menjadi pelajar teladan. Judul masalah sudah Ibu pilihkan, yaitu Bagaimana
Memperoleh Manfaat Dari Pergaulan. Sungguh, hal ini penting bagi kalian, karena
anak-anak muda jaman sekarang sedang menjadi perhatian kaum pendidik dan
masyarakat akibat makin hari makin tinggi angka kenakalan remaja di Jakarta,"
kata lbu Dewi.

la berkata dengan suara nyaring dan mimiknya selalu khas, gerak kelopak mata dan
bibir yang genit seperti penyiar tivi serta tangan yang selalu menjentik jentik debu
kapur yang jatuh ke busananya.

Murid-murid diam, tapi sebagian besar pikiran mereka bukan kepada masalah yang
sedang dibicarakan melainkan kepada gerak kelopak mata dan bibir Ibu Dewi, yang
sok anggun itu.

"Mengerti kalian?" tanya Ibu Dewi.

98
Murid-murid serempak mengatakan pengertian mereka. Ibu
Dewi tampak suka dengan jawaban yang serempak itu. la
melirik ke murid-murid di barisan belakang, kemudian
menuliskan "ceramahnya."

Anna Karenina mengambil surat dari Ali Topan, lalu


ditaruhnya di bawah tas sekolah yang ditaruhnya di atas meja.
Ketika Ibu Dewi sedang asyik menulis teori-teori pergaulan, ia
mempergunakan kesempatan itu untuk membaca surat dari
Ali Topan.

Begitu Ibu Dewi selesai menulis dan mulai berbicara lagi, Anna segera mendongak,
melihat ke arah Ibu Dewi. Hal itu dilakukannya berulangkali. Rupanya Ibu Dewi
sempat melihat sikap Anna itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
"Jadi, yang paling penting di dunia ini, adalah budi pekerti, sebab, seperti kata
pepatah, manusia boleh pandai seperti profesor, tapi kalau dia tidak punya budi
pekerti, maka ia tidak ada arti sama sekali bagi masyarakat. Mengerti anak-anak?"
kata Ibu Dewi.

"Mengertiiiiii!" sahut murid-murid, serempak.

Anna Karenina cuma menggumam saja, ia tidak berminat untuk ikut-ikutan


berteriak seperti teman-temannya yang serempak menyambut pernyataan Ibu
Dewi.

Ibu Dewi berbalik menghadap papan tulis lagi. la menuliskan sesuatu, tapi tiba-tiba
ia berbalik menghadap ke arah para murid. Tepat pada saat itu Anna Karenina
sedang mengangkat tasnya, menarik kertas surat dari Ali Topan.

"Hei, kamu! Sedang bikin apa kamu?" kata Ibu Dewi. Tangannya menunjuk Anna
Karenina yang terkejut mendengar tegurannya. Secara refleks Anna menyimpan
kembali surat dari Ali Topan ke bawah tasnya. Wajahnya tampak gugup sekali. la
tidak menjawab.

Ibu Dewi menghampiri Anna. Para murid yang lain langsung memusatkan
perhatian mereka ke arah Ana dan Ibu Dewi.

Ibu Dewi membalik tas Anna dan mengambil surat dari bawah tas itu.

"Apa ini?" tanya Ibu Dewi.

Anna Karenina tidak menjawab . Wajahnya pias. Ibu Dewi membaca surat Ali
Topan itu. Wajahnya berubah sinis. la mengangkat surat itu, lalu membaca isi surat
dengan suaranya yang nyaring. Anna Karenina cuma bengong saja. Perasaannya
sangat risau sekali.

"Wah, wah, wah ...Surat cinta dari kekasih. Bukan main romantisnya.. .," Ibu Dewi
dengan sinis, "Kekasihku yang rupawan, aku merindukanmu siang dan malam,
apakah engkau begitu pula?" tambahnya.

99
Anna Karenina tersentak. Surat Ali Topan tidak begitu
bunyinya. Ibu Dewi mengada-ada. Segera Anna menundukkan
kepala karena Ibu Dewi memandangnya dengan bengis.

Di luar, Ali Topan merasa tegang. la mendengar suara Ibu


Dewi yang sedang marahkepada Anna. Dan ia tahu Ibu Dewi
mengada-ada dengan pembacaan surat yang tidak cocok
dengan surat yang ditulisnya untuk Anna. Apakah Anna
mendapat surat dari orang lain?' demikian pikirnya. Maka ia
menunggu perkembangan selanjutnya.

la waspada. Di dalam kelas Ibu Dewi berkacak pinggang di depan Anna. Anna tetap
merunduk. Murid-murid lainnya diam. "Hei ! Inilah contoh anak yang baik sekali
kelakuannya," kata Ibu Dewi sinis.Ada guru menerangkan pelajaran di depan kelas,
dia asyik membaca surat cinta dari kekasihnya!"tambahnya.

Anna Karenina menunduk terus.Ibu Dewi menyentuh dagu Anna, lalu mengangkat
dagu itu, hinggaAnna terpaksa menengadah, memandangnya. "Kamu murid baru di
sini ya! Coba berdiri di depan kelas!" kata Ibu Dewi. Anna Karenina berdiri,
perlahan, lalu berjalan di depan kelas. la merasa telah membuat kesalahan, oleh
sebab itu ia pasrah menerima hukuman apapun. Ibu Dewi menggenggam surat
rampasannya. ia menghampiri Anna, dan berdiri di depan Anna."Hei, Kamu ke sini
untuk belajar atau untuk cari pacar?" tanya Ibu Dewi.

Anna tidak menj awab. Ia melihat surat yang di genggam Ibu Dewi. Yang tak habis
dipikirnya, kenapa Ibu Dewi membaca surat tidak sesuai dengan tulisan aslinya?
Ibu Dewi memandangnya dengan tajam, kemudian ia berpaling ke arah murid-
murid yang lain.

"Hai, kalian kiranya ingin mendengarkan pembacaan surat cinta, bukan?" katanya.

Murid-murid tak ada yang menjawab. Maya dan Boby berpandangan. Keduanya
mengangkat bahu.

Ibu Dewi memberikan surat rampasannya pada Anna. "Kau, bacalah! Supaya
semua teman tahu bagaimana hebatnya pacarmu yang bernama Ali Topan itu
merangkai kalimat cinta!," kata Ibu Dewi.

Di luar kelas, Ali Topan tersentak mendengar namanya disebut. Sudah pasti, sudah
pasti surat yang ditulisnya untuk Anna yang jadi perkara.

Tanpa pikir dua kali, Ali Topan melangkah masuk ke dalam kelas. Wajahnya tegang,
pandangan matanya menyapu seluruh kelas, lalu hinggap di wajah Ibu Dewi.

Ditatapnya mata Ibu Dewi. Kemarahan terbayang di wajahnya. "Ini dia pahlawan
cinta kita!," Ibu Dewi berseru, "hei, kau baca surat itu!, serunya lagi, pada Anna
Karenina. Anna tergetar. Ia memandang Ali Topan dan Ali Topan juga
memandangnya. Tiba-tiba Ali Topan mengulurkan tangannya, meminta surat itu.

"Biar saya yang membacanya, An," katanya.

100
Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi membelalakkan
matanya. Menghadapi Ali Topan selalu membuatnya
kehilangan akal. Karena itu ia selalu memunculkan
kemarahan dan sinisme yang galak.

"Ibu Dewi, karena saya yang membuat surat ini, saya kira
lebih tepat jika saya yang membacanya...," kata Ali Topan.

"Boleh juga, Bung!" kata Ibu Dewi.

Tanpa banyak pernik, Ali Topan membaca suratnya.

Anna Karenina Yang Manis! Saya senang sekali menerima suratmu. Saya tiba-tiba
jadi bersemangat dan hidup terasa tidak suram lagi. Rasanya, baru pertama kali
dalam sejarah hidup saya sampai hari ini, saya menerima perhatian yang
menakjubkan. Surat Anna saya bawa ke manapun saya pergi. Setiap saat saya ingin
membacanya. Nah, sekian dulu. Oh ya, soal saran kamu supaya saya rajin sekolah,
itu gampang diatur Terima kasih.

Ali Topan

Ali Topan selesai membaca suratnya. la memberikan surat itu kembali pada Anna.

Teman-temannya ada yang tertawa mengikik mendengar Ali Topan membaca surat.

Tapi tak ada yang berani mengeluarkan cemoohan. Teman-teman sudah kenal Ali
Topan. Mereka respek padanya. Respek campur ngeri.

"Sekarang kamu yang baca," kata Ibu Dewi pada Anna. Anna, Ali Topan dan murid-
murid lainnya terkejut. Mereka menganggap Ibu Dewi keterlaluan. Lagipula, yang
menjadi pertanyaan anak-anak, kenapa bunyi Ibu Dewi lain dengan bunyi Ali
Topan mengenai surat itu? Apakah Ibu Dewi mengada-ada tadi?
"Saya kan sudah membaca, Ibu Dewi?" tanya Ali Topan. Nadanya lembut.

"Kalau saya suruh dia baca kamu mau apa? Atau kalau saya mau sobek-sobek surat
kamu, lantas kamu mau apa?" kata Ibu Dewi. la berpaling ke Anna. "Ke sinikan
surat itu!," katanya.

Anna memberikan surat itu. lbu Dewi merobek-robek surat itu dengan tenang dan
membuang robekan kertas itu tepat kena wajah Ali Topan dan berhamburan ke
lantai. Beberapa potongan menempel di baju dan tas sekolahnya.

Kelas dicekam sunyi. Semuanya menunggu reaksi Ali Topan. Mereka memastikan,
Ali Topan naik pitam. Kali ini mereka salah duga. Ali Topan mampu menekan
emosinya. Perlahan ia membungkuk, berjongkok memunguti robekan kertas
suratnya. Dikumpulkannya robekan kertas itu di tangan kirinya, kemudian ia
berdiri lagi. Dia berikan robekan surat pada Anna Karenina, kemudian ia berpaling
ke Ibu Dewi.

"Terima kasih atas kebijaksanaan Ibu," kata Ali Topan. Kata-katanya merendah,
tapi nadanya dingin betul. "Saya tidak butuh terima kasih kamu!," kata Ibu Dewi.
101
Ali Topan tersenyum.

"Boleh kami duduk, Ibu?" katanya. Tenang. "Kamu menghina


saya ya?" kata Ibu Dewi.

"Tidak," kata Ali Topan.

"Tapi sikap kamu kurang pantas! Kamu sok jago. Keluar


kamu! Saya muak melihat tampangmu! Sana! Keluar!"

"Jangan begitu dong, Bu. Masa saya mau sekolah disuruh keluar? Itu kan kurang
bijaksana namanya," kata Ali Topan.

"Kamu selalu membantah! Anak berengsek!" kata Ibu dewi.

Dia berjalan ke meja, mengambil tasnya, lalu keluar cepat-cepat. Wajahnya geram
betul.

Ali Topan menarik tangan Anna, mengajaknya kembali ke bangkunya.


"Wan, sorry kalau gue bikin kacau lagi," kata Ali Topan pada Ridwan, ketua
kelasnya.

"Sorry sih sorry, Pan. Tapi gua ini yang repot. Mendingan lu aja jadi ketua kelas,
soalnya guru-guru kan tahunya gua terus. Gua udah capek dipanggil ke kantor,
katanya gua nggak becus memimpin kelas," kata Ridwan.

"Boleh aja gue jadi ketua kelas, tapi pakai syarat. Kalau kita boleh pakai busana
yang sedikit nyentrik dan merokok di dalam kelas, oke saja. Lu bilang deh ke Pak
Broto," kata Ali Topan.

Tentu saja teman temannya tertawa. Grrr. Suasana jadi segar lagi.

Di Kantor Direktur Sekolah. Pak Broto Panggabean mendengar "laporan" Ibu Dewi.
Seperti biasanya, Ibu Dewi mendramatisir laporannya dengan airmata yang
meleleh dipipinya.

Pak Broto Panggabean memanggil sekretarisnya. "Hadi, Ali Topan suruh


menghadap," kata Pak Broto. "Ya, Pak," kata Hadi.

Dia berjalan cepat ke luar. "Anak setan itu kok nggak bosen dipanggilin terus. Gua
aja yang disuruh manggil udah bosen. Dia dia juga," gumam Hadi pada dirinya
sendiri.

Hadi sampai di kelas, berdiri di depan pintu sambil cengar cengir. Dia melambai ke
arah Ali Topan.

"Hallo Boss. Urusan biasa dah!" kata Hadi. Murid-murid ketawa.


"Biasa apaan?" kata Ali Topan. "Dipanggil Godfather," kata Hadi. "Eh, bego ! God
itu nggak berfather dan father itu bukan God," kata Ali Topan.

102
"Lu bilangin ke Pak Brotpang... jadi Direktur Sekolah kok
kerjaannya manggil-manggil murid sih. Apa nggak ada
kerjaan lain yang lebih bermanfaat buat pembangunan?" kata
Ali Topan. Gerrnrrrr lagi teman temannya.

"Saya nggak tahu. Nanti tanya saja pada yang bersangkutan,"


kata Hadi, "Sekarang ayo dah, kita ke sono, daripada...
daripada...," tambahnya.

Ali Topan berjalan keluar kelas diiringi komentar jahil yang ke luar dari mulut
teman-teman kelasnya. Anna Karenina tidak ikut berkomentar. Dia menundukkan
kepalanya. Maya juga diam.

Ali Topan menghadap Pak Broto Panggabean. "Selamat Pagi, Pak," kata Ali Topan.
"Iya. Pagi pagi kau bikin perkara lagi. Ini lbu Dewi melaporkan kelakuan kau yang
brengsek. Dan, pelajaran terhenti. Itu berarti kau bikin rugi teman teman kau yang
lain," kata Pak Broto Panggabean.

Ali Topan diam saja. Percuma menjawab, sebab jawabannya akan sama seperti
jawaban pada setiap kali dipanggil Pak Broto. Pak Broto Panggabean mengusap-
usap kumisnya yang tebal.

"Aku sudah capek marah-marah. Kau rupanya punya adat eksentrik ya. Semakin
hebat dimarahi semakin hebat berengsek kau! Nah, tadi Ibu Dewi melapor, katanya
kau pacaran di dalam kelas. Main surat cinta dengan Anna. Nah, Ibu Dewi minta
supaya kita bikin pertemuan antara kau, Anna, orang tua kau dan orangtua Anna
dengan kami di sini. Kau menghadap lagi besok pagi jam delapan," kata Pak Broto
Panggabean.

Ali Topan keluar dengan wajah lesu, tanpa permisi kepada Pak Broto. Ibu Dewi
ditengok pun tidak olehnya. Jalannya rada loyo. Dia memikirkan kegawatan esok
hari. Urusan bakal jadi meriah pasti.

Dia membayangkan wajah ibu Anna yang non-kompromis itu, wajah ayah Anna
yang rada tak acuh, sopir Mercy yang namanya Oom Boy dengan tampang klimis
yang menjijikkan. Wajah tiga manusia aneh itu akan bertemu dengan wajah Ibu
Dewi yang sinisnya bukan kepalang, wajah Pak Broto Panggabean yang rada blo'on.

Amit-amit deh. Dan dia membayangkan Anna Karenina bakal ketakutan


menghadapi orangtua-orangtua yang aneh itu.

Membayangkan Anna, dia menggeplak jidatnya sendiri. Sampai di depan kelas Ali
Topan masih menggeplak-geplak jidatnya sendiri. Kusut pikirannya.

Ali Topan masuk ke dalam kelasnya. Teman temannya memandang padanya.

"Gimana, Pan?"tanpa Bobby.

"Prihatin, mek!," sahutnya.


Dia menghampiri Anna Karenina, dan berdiri di depan gadis manis yang merasa
sebagai gadis paling apes di seluruh dunia.
103
"An! Besok orang tua kamu bakal disuruh datang oleh
penguasa sekolah ini. Orangtua saya juga dipanggil, tapi jelas
mereka nggak bakal datang. Besok kita berdua bakal diadili di
depan orang-orang tua itu. Saya harap kamu tabah," kata Ali
Topan. Suaranya cukup keras sehingga anak anak lain bisa
mendengarnya.

"Bakalan seru dong, Pan. Kalau perlu kite rubuhin aje


sekolahan kagak berbobot ini," Wandi, anak betawi asal mencuap.

"Iya, Pan kita culik sekalian Pak Broto dan Ibu Dewi. Kite ceburin ke Bina Ria biar
dimakan jaws!" kata I Soen peranakan Cina-Sunda yang duduk sebangku dengan
Ridwan. Teman teman sekelas, termasuk Ali Topan dan Anna tertawa mendengar
leluconnya.

"Apa lu kate?" kata Bobby, "dimakan jaws? Udah pinter ngomong Inggris lu, Cina!"
tambahnya dalan nada bergurau.

"Pejajaran lu, Bob. Gue bukan Cina, gue orang Sunda tau? Sekali lagi lu ngatain gue
Cina, gue embat lu," kata I Soen. Tampangnya dibikin seperti orang marah.

"Sorry boy, I belum tau. Tapi kalau lu mau jual sih, gue beli embatan lu," kata
Bobby. Tampangnya distel serius. "Ah, kagak, gua becanda aja, Bob," kata I Soen,
lalu ia melihat Ali Topan dan berkata, "jadi gimana Boss? You atur deh, I follow!"
Ali Topan yang sedang prihatin tertawa ketawa ha-ha-hi-hi mendengar celotehan I
Soen. Anna Karenina juga tertawa terpingkal pingkal. Mereka lupa sejenak pada
`musibah' yang menimpa diri mereka.

Kelas menjadi gaduh oleh suara ketawa bebas-aktif yang spontan keluar dari mulut
seluruh murid di situ. Humor demi humor yang ditimpa komentar `asbun'
merupakan obat mujarab pengusir hati yang gundah.

Di tengah tengah keriuhan suasana, Hadi datang membawa instruksi khusus dari
Pak Direktur. Isi instruksi itu pendek tapi tegas: kelas III Paspal 1 distrap, tidak
boleh memperoleh pelajaran hari itu. Murid murid harus tetap di kelas, tidak boleh
keluar tanpa izin langsung dari direktur.

"Jangankan distrap sehari, sebulan juga kita masih oke. Dia pikir kita sedih kah,
padahal sih gembira betul hati kita," kata I Soen.

Ali Topan meminta maaf kepada teman-temannya atas terlibatan mereka karena
perbuatannya. Seperti biasanya, teman-temannya mengerti, karena hanya
pengertian itu yang bisa mereka berikan kepada sesame teman.

Saat pulang, Ali Topan mengantar Anna ke gerbang sekolah.

"Anna, apa pikiranmu soal urusan besok?" tanya Ali Topan. Anna memandang sayu
pada Ali Topan, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata tidak tahu.

"Kamu merasa takut?" tanya Ali Topan. Anna menggeleng.


104
"Kamu merasa kecewa pada saya?" "Mungkin!" sahut Anna
Karenina.

Ali Topan terkesima mendengar jawaban itu. la memandang


Anna dengan tajam. Tapi Anna menunduk saja. Bahkan gadis
itu mempercepat jalannya langsung menuju Mercy yang sudah
menunggu.

Ketika Mercy disopiri Oom Boy bergerak meninggalkan


gedung sekolahnya, Anna melirik sekejap ke arah Ali Topan yang berdiri dengan
aksi di pintu gerbang. Dua tangannya masuk ke kantong celana dan pandangan
matanya gagah sekali. Anna Karenina tidak tahu kalau gaya yang keren itu
ditampilkan Ali Topan untuk menutupi perasaan hatinya yang terpukul oleh
jawaban Anna.

"Mungkin?" gumam Ali Topan. Lantas ia tersenyum sendirian. la menarik napas


berat, lalu berbalik langkah berjalan menuju tempat parkir motor. Bobby, Dudung
dan Gevaert menunggu di situ.

"Gimana, Pan?" tanya Gevaert.

"Mungkin," sahut Ali Topan. Ia menghidupkan motornya, lalu meninggalkan


tempat parkir, diikuti teman temannya.

105
TIGA BELAS

PAGI hari di rumah Anna.Oom Boy baru datang dari


mengantar Anna ke sekolah. la masuk ke ruang tengah,
memperhatikan Nyonya Surya yang sedang merawat pohon
pohon kerdil. Tuan Surya membaca Kompas di kursi rotan di
dekat istrinya.

Keduanya asyik dengan kesibukan masing masing. Oom Boy


menyiulkan lagu Bujangan Koes Plus dengan gaya norak. Dia membayangkan
dirinya seperti Murry penyanyi di layar Televisi Republik Indonesia alias TVRI.

Tuan Surya tak memberi reaksi apa apa, tapi nyonya Surya tersenyum kecil dan
menegur Boy, “Gembira betul kau hari ini, Boy?"

"Biar awet muda," sahut Boy.

"Kau sudah merasa tua? Berapa sih umurmu yang sebetulnya?" tanya Nyonya
Surya sambil terus mengatur pohon pohon kerdilnya.

"Jalan tiga puluh dual" kata Boy.

"Ah. Hampir telat dong. Cepat ah cari istri. Kau kan keren, kenapa sih tak mau cari
pacar? Nanti aku yang melamarkan sebagai ganti orang tua lu," kata Nyonya. Surya.

Tuan Surya menurunkan korannya, melihat ke arah Boy dan istrinya. Dia
tersenyum kecil dan berkata, "Tampang keren kalau gak ada duit juga percuma,
Boy. Anak gadis sekarang mana mau punya suami sopir."

Boy cuma meringis saja. Dia memahami kenapa Tuan Surya bicara begitu. Tuan
Surya sudah berkali-kali menyuruhnya bekerja, tapi Boy sendiri masih belum mau.

la lebih suka menjadi sopir. Terus terang, ia ingin selalu dekat Anna Karenina. la
diam diam menaruh hati pada Anna. Tuan dan Nyonya Surya tidak tahu hal itu.

Boy punya sifat cemburu. Ia merasa buta kalau Anna tidak berada di dekatnya.

Cuma ia sendiri dan Tuhan Allah Subhannahu Wa Taala yang paham perasaan
cinta yang terpendam di hati Boy.

"Dia belum ada pekerjaan yang cocok, Pap. Biar saja. Nanti kan ada waktunya dia
punya pekerjaan yang hebat. Jadi pengusaha muda ya Boy?" Kata Nyonya. Surya.

"Pengusaha muda dalam bidang jual beli angin?" kata Tuan Surya. Ia terkekeh-
kekeh, menaruh Kompas yang dibacanya, kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Nyonya Surya menoleh ke arah Boy. "Biar saja dia berkata begitu, Boy. Jangan
dimasukkan ke hati," katanya. Nyonya Surya memang lebih suka Boy menyopiri
dan merawat mobilnya. Boy tersenyum padanya. Kemudian ia berjalan ke

106
kamamya.

Tuan Surya berdandan di kamarnya. Ia termasuk pecandu


kerja. Ia selalu gerah melihat Boy tidak mau bekerja, padahal
sudah berkali-kali ia menawarkan kesempatan bekerja pada
pemuda itu. la akhirnya punya kesimpulan bahwa pemuda
semacam Boy adalah pemuda yang tidak jelas tujuan hidupnya.

Orangnya gampang putus asa, maunya berfantasi saja. Dia


sering mengatakan bahwa fantasi itu memang perlu untuk manusia pekerja yang
mendambakan sukses besar. Tapi Boy cuma fantasi-fantasian saja. Kuliah gagal,
bekerja ogah. Tuan Surya tak habis pikir.

Berhubung Boy itu anak sahabat karibnya, ia enggan mengusir pemuda itu.

Lagipula istrinya selalu membela Boy.

Mobil Volvo hijau-apel, mobil kantor Tuan Surya sudah siap di garasi. Sopir Mat
Hasan asal Cirebon sudah duduk di belakang setir. Majikannya punya kebiasaan
unik, tidak mau dibukakan pintu atau dibawakan tas.

Tuan Surya selesai berdandan. la keluar dengan menenteng tas Samsonite warna
hitam pekat. la menghampiri istrinya.

"Mam, aku berangkat," katanya. Dikecupnya jidat istrinya. Nyonya Surya mengecup
dagu Tuan Surya. "Nggak usah mampir di stimbat ya?" kata Nyonya Surya.
Suaminya cuma terkekeh-kekeh kecil.

Tuan Surya naik mobil lalu berangkat ke kantornya.

Di kantor Direktur SMA Bulungan 1. Hadi memasukkan surat-surat "dinas" ke


sebuah map. Surat surat itu berasal dari Pak Direktur untuk orang tua Anna
Karenina dan Ali Topan. Mereka diminta datang untuk "konsultasi" perkara "surat
cinta" Ali Topan kepada Anna yang diributkan Ibu Dewi kemarin.

Hadi memasukkan map ke dalam kantong plastik lalu berjalan ke luar menuju
tempat parkir motor dinasnya. Pekerjaan mengantar surat panggilan ke alamat Ali
Topan hampir merupakan pekerjaan rutin bagi sekretaris Pak Direktur itu.

Dia bahkan sudah kenal baik dengan babu tua di rumah Ali Topan. Untung Mbok
Yem, babu itu sudah tua, coba masih muda, barangkali aku bisa jatuh cinta betul
sama Mbok Yem, demikian pikiran Hadi sambil mendorong motornya ke pintu
gerbang sekolah.

Selama ini memang Mbok Yem yang menemuinya jika ia disuruh mengantar surat
"konsultasi" ke alamat Ali Topan. lbu atau Ayah anak muda itu tak sekalipun
dijumpainya di rumah. Dia hafal betul sambutan Mbok Yem setiap kali datang.

"Lho kok dateng lagi. Ada apa to kok dateng dateng ke sini lagi? Mau minta
sumbangan buat sekolahnya Ndoro saya?" begitu sambutan Mbok Yem.

107
Dan Mbok Yem pasti terkekeh-kekeh. Membayangkan muka
Mbok Yem yang terkekeh-kekeh itu Hadi jadi tersenyum
sendiri. Geli dia.

"MbokYem sayang, aku datang lagi...,"kata Hadi pada dirinya


sendiri.

Maka ia jadi terkekeh-kekeh pula sambil menghidupkan


mesin motornya. Dia masih tersenyum-senyum sendiri di
jalanan menuju ke rumah Ali Topan.

Di rumah Ali Topan, MbokYem sedang menemui tukang sayur bernama Bang
Entong. Bang Entong, orang Betawi Aseli merupakan tukang sayur langganan
Mbok Yem. Ada historisnya kenapa Mbok Yem memilih Bang Entong, sebab dari

Bang Entong dia bisa kursus praktis bahasa Jakarta.

Bang Entong sudah selesai memberikan sayur yang dibeli Mbok Yem. Dia
menghitung-hitung harga penjualannya.

"Awas, jangan naikin harge seenaknye, ye. Saye udeh kenyang banget diomelin
nyonye Saye, Bang Entong," kata Mbok Yem.

Bang Entong cuma tertawa kecil. Dia masih repot menghitung-hitung harga
penjualan sayurannya. Mbok Yem jadi sewot. Dia ingin Bang Entong menjawab,
sebab dengan begitu dia bisa berdialog. "He, Bang Entong, kuping lu budek ye? Gue
nanyain, lu jawabin dong. Nanti gue bise sewot, eh elu gue kagak bayar," kata Mbok
Yem. Bang Entong ketawa terbahak-bahak mendengar omongan MbokYem.

"YaAlloh, Mbok. Ngocehnya jangan kasar kasar dong. Ntar diketawain tetangge,"
kata Bang Entong, "nih semuenye dua rebu tige ratus jigo," kata Bang Entong.

"Udeh pakek diskon tuh? Jangan lupe ye, diskonnye sepuluh persen. Kalok kurang
gue berenti aje jadi langganan. Pokoknye bisa putus aje hubungan kite," kata
MbokYem.

"Ngarti dah ngarti," kata Bang Entong sembari nyolek paha Mbok Yem, "eh jangan
kate sepuluh persen, sembilan pulu persen juga saye kasiin, Mbok. Asal ...,"
tambahnya.

"Asal ape?".

"Asal ente mudaan lagi tige pulu taon," kata Bang Entong. Dia menjulurkan
tangannya untuk menyolek MbokYem, tapi MbokYem mengepret tangan itu.

"Jangan suka begitu ah, malu dilihat tetangga," kata Mbok Yem tersipu-sipu.

"Kalok malu, buruan dah bayarinnye. Pacar-pacar aye yang laen udeh pade ngebet
nungguin saye," kata Bang Entong. Mbok Yem melotot. Rada cemburu juga
mendengar omongan Bang Entong. "Ya udah, pergi buruan ke pacarnye nyang laen.

108
Kagak usyah kemari lagi," kata Mbok Yem, merajuk.

Bang Entong menggaruk-garuk pantatnya sembari cengar-


cengir.

"Ayo dong sayang? Mbok Yem biar udeh tuaan, pokoknye saye
paling betah aje di sini. Ayo dong buruan duitnye, sayang,"
rayu Bang Entong. Mbok Yem masih merajuk, padahal hatinya
berbunga kena rayuan Bang Entong yang "kontemporer" itu.

"Awas kalok saya denger Bang Entong pacaran sama babu-babu laen. Putus aje
hubungan kite," kata Mbok Yem. Ia mengeluarkan uang Rp 2.500,- untuk
membayar sayur mayur yang dibelinya.

"Kembalinye besok aje ye? Kagak ade duit kecil nih, sayang," kata bang Entong. Dia
menggoda Mbok Yem. "Tak ada kembali, tak boleh pergi," kata Mbok Yem.

Bang Entong melemparkan uang kembali ke tempat tempat sayur mayur mbok
Yem.

"Permisi. Trime kasii," kata Bang Entong. Dia mengangkat pikulannya, kemudian
berjalan pergi. Pantatnya sengaja digoyang-goyangkan dengan "sexy". Mbok Yem
menggigit bibirnya melihat goyangan pantat Bang Entong. Dia terpesona oleh
goyangan pantat tukang sayur itu.

Sesudah Bang Entong tidak tampak lagi barulah Mbok Yem mengangkat tampah
dan berjalan masuk ke dalam rumah. Baru sampai pintu, dia berhenti karena
mendengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah. Hadi, pengendara
motor itu melambaikan tangan ke arahnya.

"Halo, saya dateng lagi," Hadi berseru. la mematikan mesin motornya, memarkir di
tengah halaman, lalu menghampiri Mbok Yem.

"Lho, kok dateng-dateng lagi? Ada urusan penting lagi ya Dik Hadi," kata Mbok
Yem.

Hadi mengambil surat dari dalam map.

"Biasa. Surat panggilan. Ibu dan bapak harus menghadap hari ini juga. Anaknya
kurang ajar di sekolahan," kata Hadi. Mbok Yem memberengut.

"Kurang ajar? Siapa yang kurang ajar? Jangan sembarangan ngatain Ndoro saya
kurang ajar, nanti saya sampluk kowe, Di," kata MbokYem, bersungut-sungut.

"Pokoknya terserah. Saya nggak mau banyak bicara lagi," kata Hadi. Dia menaruh
surat panggilan itu di atas sayur mayur, kemudian berbalik ke tempat motornya.

Dia menghidupkan motornya lalu meninggalkan rumah Ali Topan.

109
Mbok Yem berjalan masuk ke dalam rumah. Dia menaruh
sayur mayur di dapur. Ia mengambil surat panggilan itu dan
diamat-amatinya dengan seksama. Kemudian ia berjalan ke
ruang tengah. Surat panggilan itu ditaruhnya dia atas meja.

Nyonya Amir muncul dari kamamya.wajahnya pucat sekali.

Dia sakit.

"Ada surat dari sekolahannya Den Bagus, Ndoro Putri," kata Mbok Yem. Dia
mengambil surat dari atas meja, menyerahkannya pada Nyonya Amir.

Nyonya Amir membuka surat itu dan membacanya. Ekspresi wajahnya tak berubah.

Dia melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam sampulnya.

"Aku sedang sakit. Tidak bisa datang," katanya. Surat itu diberikan lagi pada Mbok
Yem.

"Katanya penting sekali, Ndoro Putri. Harus datang ke sekolahan Den Bagus," kata
MbokYem.

"Aku sakit," kata Ny. Amir. Lalu dia berjalan ke kursi dan duduk di situ.

Termangu-mangu. Mbok Yem segera menyingkir dari hadapan Nyonya Amir. Di


dalam hatinya dia menggerutu dan mencacimaki `ndoro putrinya'. Anak sendiri
tidak diurusi, anak orang lain disayang seperti suami, demikian gerutuan Mbok
Yem.

Tapi Nyonya Amir tetap berdiam diri, termangu-mangu, entah memikirkan hal apa.

Mbok Yem tidak tahu. Yang dia tahu, berdasarkan pengalaman menerima surat dan
pembicaraan dengan Hadi, Den Bagus Ali Topan-nya sedang dilanda kesusahan di
sekolah. la sayang betul pada Ali Topan tapi ia tak bisa apa-apa. la cuma babu. Babu
tua. Dengan pikiran `tak habis pikir', Mbok Yem masuk ke dapur dan meneruskan
kerjanya.

Nyonya Surya sedang mencuci tangan di dapur rumahnya. la telah selesai


`merawat' bonsai, pohon-pohon kerdil kesayangannya. Boy bersiul-siul lagi tak
jelas di kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Boy memang `penggemar'
kamar mandi. Dan penghuni rumah sudah maklum dengan `kegemarannya' yang
khas itu.

"Boy! Boy!" Ny. Surya berteriak.

Boy tetap bersiul-siul di kamar mandi. Dia kurang mendengarkan teriakan Nyonya
Surya.

Nyonya Surya berteriak-teriak lagi, memanggil namanya.

"Yak! Sebentar!" Boy menyahut dari kamar mandi. Tak lama kemudian, Boy ke luar
110
dari kamar mandi. Wajahnya tampak berseri-seri, tapi
jalannya agak loyo. la ke dapur menjumpai Nyonya Surya.

"Boy, sebentar lagi tolong antarkan aku ke salon ya. Aku mau
krimbat," kata Nyonya Surya.

"Bolehlah. Tapi tak lama kan?" tanya Boy, "aku kan harus
menjemput Anna," tambahnya.

"Ah, ah, kau penuh perhatian pada Anna. Aku senang sekali."
Boy menyeringai. la mengusap-usap wajahnya. Bel berdering.
"Siapa lagi, pagi-pagi begini sudah mertamu," kata Nyonya Surya, "tolong lihat, Boy.
Kalau Nyonya Winata, bilang aku sudah pergi," tambahnya.
Boy bergegas ke ruang depan. la melihat Hadi berdiri di depan pintu.
"Bung siapa?Ada urusan apa ke sini?" tanya Boy, tanpa membuka pintu.

Hadi berdiri dan memandangnya dengan aneh. Sok bener, gumam Hadi. Boy
akhimya membuka pintu.

"Di sini rumah Anna Karenina?" Tanya Hadi. "Iya, betul, ada apa?"
Hadi menyodorkan surat panggilan”Apa ini?" tanya Boy.

"Bung baca saja sendiri," kata Hadi. Kemudian dia pamit dan berjalan pergi
meninggalkan rumah itu. Boy membalik-balik surat itu, lalu bergegas ke dapur,
menemui Nyonya Surya.

"Siapa Boy?". tanya Ny. Surya.

"Dari sekolah si Anna," kata Boy sambil menyerahkan surat. Nyonya Surya
terbelalak. "Dari sekolah si Anna? Ada apa sih?" tanyanya. Segera dibukanya surat
itu. Dan dibukanya.

"Waduh Boy, Boy, Boy! Kita cepat-cepat ke sekolah si Anna. Ini surat panggilan
penting. Waduh, ada apa ya? Udah, cepat sana siap-siap, aku nggak jadi ke salon,"
kata Ny. Surya. la segera lari, terbirit-birit, ke kamarnya.

Tak berapa lama Boy dan Nyonya Surya naik mobil menuju SMA Bulungan I. Di
perjalanan, mereka saling bertanya jawab, menduga-duga. Mengenai maksud dan
iujuan surat panggilan itu.

Di kantor Direktur SMA Bulungan 1, Ali Topan dan Anna Karenina


duduk menghadap Pak Broto Panggabean. Ibu Dewi duduk di kursi, di
dekat pintu.

Hadi datang, tergopoh-gopoh. Langsung memberi laporan pada bossnya. "Suratnya


sudah saya sampaikan ke rumah Anna Karenina, Pak. Sebentar lagi mungkin
mereka datang," kata Hadi.

"Orang tua Ali Topan?" tanya Pak Broto Panggabean. "Saya tidak tahu, Pak. Tapi
suratnya sudah saya sampaikan pada MbokYem," kata Hadi.
111
"Mbok Yem? Siapa dia?" tanya Pak Broto. "Itu...itu...
pembantu rumah Ali Topan, Pak," kata Hadi.

"Oh ya? Baiklah," kata Pak Broto. Hadi lantas ke luar dari
ruang itu.

Pak Broto Panggabean memandang Ali Topan. "Ke mana


orang tua kau, Ali Topan?" tanyanya.

"Saya tak tahu, Pak. Jika mereka pergi tak pernah memberi tahu saya," sahut Ali
Topan. Pak Broto, Ibu Dewi, dan Anna Karenina terkejut mendengar jawaban Ali
Topan yang tegas itu.

"Jangan asbun kau!," kata Pak Broto. Beliau melotot ke arah Ali Topan.

"Bukan asbun, pak, tapi fakbun," kata Ali Topan. "Apa itu fakbun?"

"Fakta bunyi !"

Heh heh heh, Pak Broto tertawa terkekeh kekeh. Ketawanya yang spontan itu
mengejutkan Ibu Dewi. Ibu guru centil itu melotot. Ha ha ha. Ali Topan tertawa.

Lalu diam. Ibu Dewi makin sengit. Ia merasa diledek.

Ibu Dewi melotot, merengut, wajahnya merah menahan marah. Tapi Ali Topan
cengar-cengir saja. Beberapa waktu kemudian, Hadi masuk, mengiring Nyonya
Surya dan Boy. Nyonya Surya terkesiap melihat Ali Topan dan Anna.

"Selamat pagi. Selamat pagi. Mari. Silakan," kata Pak Broto. Nyonya Surya dan Boy
masuk, diperkenalkan lebih dulu dengan Ibu Dewi.

Nyonya Surya dan Boy masih menatap Anna dan Ali Topan.

"Ada apa ini, An," kata Nyonya Surya dengan nada dingin. Pak Broto menyela. "Aaa,
begini... silahkan duduk dulu. Begini... sebetulnya tidak ada perkara yang serius,
tapi Ibu kami undang untuk sekedar konsultasi saja mengenai... mengenai... putri
Ibu..," kata Pak Broto.

"Anna! Kau bikin apa di sini ha?!" Nyonya Surya menghardik anaknya. Lalu dia
menuding Ali Topan dan berkata keras: "Kamu bikin apa sama anak saya? Memang
kamu anak kurang ajar!"

"Sabar, sabaar, Ibu. Biar Ibu Dewi menjelaskan duduk perkaranya," kata Pak Broto
Panggabean. Hati ibu dewi ini agak menyesal melihat perkembangan yang tidak
enak. Harusnya dia kelarkan saja persoalan, tanpa membuat pertemuan semacam
ini. Tapi semuanya sudah telanjur.

Ibu Dewi dengan lancar tentu dengan tambahan bumbu-bumbu penyedap kata-
kata dan mimik yang dramatis. Tak percuma dia ikut grup teater tatkala kuliah di
IKIP dulu. Dramatis betul suasana dibikinnya.

112
"Begitulah, Ibu surya. Saya selaku guru pengawas yang
ditugaskan langsung oleh Departemen merasa bertanggung
jawab penuh atas nama baik sekolah ini, dan untuk mecegah
supaya murid-murid tidak terjurumus ke jurang kenistaan
kenakalan remaja," demikian kata penutup Ibu Dewi. nyonya
Surya, Boy dan Anna tampak tegang. Tapi Ali Topan malah
tersenyum kecil.

"Ibu Dewi, tadi itu ada kesalahan kecil. Bukan terjuremus, tapi
terjerumus," kata Ali Topan.

Ibu Dewi melengak. Demikian pula hadirin lainnya. Mulut Ibu Dewi terbuka.
Sebelum ia bicara, Ali Topan sudah buka mulut: "Menurut tata bahasa Indonesia
yang baik, pembicaraan Ibu Dewi agak kurang teratur, hingga sulit dipahami
maknanya," Mak! Langsung wajah Ibu Dewi merah seperti muka orang Belanda
kesentrong sinar mentari.

"Kurang ajar!" perkataan itu ke luar dengan dahsyat dari mulut Ibu Dewi. Seluruh
emosinya meledak. la tak tahan menerima aksi Ali Topan. Ia pikir kemarahannya
sudah setinggi langit, tapi Ali Topan bergeming. Soal tata bahasa masih sempat
dibawa-bawanya. Benar-benar kurang ajar!

Ibu Dewi menghentakkan kaki, lalu ke luar ruang. la tersedu sedan. Suasana di
dalam ruang jadi hening. Langkah-langkah Ibu Dewi yang nyaring merupakan
ilustrasi suara yang terdengar. Tek tok tek tok tek tok. Makin jauh, makin
berkurang bunyi hak sepatu lancipnya menjejak lantai koridor sekolah.

Kelas-kelas yang dilewatinya hening. Para murid dan guru melongok


sejenak. Melihat kelebatan Ibu Dewi, mereka menerka, pasti ada
sesuatu yang terjadi.

Ibu Dewi ke luar dari gedung sekolah. la memanggil taksi President yang lewat.
Taksi berhenti. Sopirnya membukakan pintu. Ibu Dewi masuk ke dalam. "Ke Jalan
Jendral Sudirman. Departemen P dan K,""kata Ibu Dewi. Sopir taksi manggut,
kemudian menancap gas taksinya.

Di ruang direktur, suasana terasa runyam bagi Anna Karenina. Seujung kukupun ia
tak menyangka kalau situasi berkembang ruwet begitu. la baru tahu dan yakin akan
"Siapa Ali Topan," sebagaimana diceritakan oleh Maya. Ali Topan itu sudah ditebak
adatnya, 'Nyentrik sih,' demikian kata Maya. 'Dia sebetulnya anak yang baik. Tapi
suka nekat. Dan nekatnya nggak ketulungan.' Begitu rekomendasi yang diterima
Anna, pada hari-hari yang lewat.

Ali Topan duduk dengan gaya masa bodo. la sedikitpun tidak memandang ke arah
Nyonya Surya dan Boy. Sekilas tadi, waktu masuk, ia melirik mereka, dan
menangkap sinar mata yang tak enak buat dipandang. Makanya ia tak menggubris
mereka. la duduk dengan tenang, menggosok-gosok dengkulnya.

"Heh! Ali Topan! Kau benar-benar trouble maker! Aku tak bisa bicara apa-apa lagi.

113
Rasanya aku cuma ingin menempeleng kau. Tapi aku tahu itu
tidak pantas," kata Pak Broto Panggabean. Nadanya dingin.

Ali Topan acuh tak acuh saja. Dia mengartikan omongan


direktur sekolah itu secara lain. Pak Broto tak berani
menepelengnya, sebab, dulu pernah ada peristiwa, Pak Idris,
guru olahraga menamparAli Topan, kemudian, sehari sesudah
peristiwa itu, Pak Idris digebuki berandal-berandal Pasar
Melawai. Mengingat itu, Ali Topan tersenyum.

"Kenapa kau tersenyum, heh?" tanya Pak Broto. Ali topan menoleh, memandang
tepat di antara dua biji mata direktur sekolahnya. Lalu ia tersenyum lagi, senyuman
orang susah diterka Pak Broto, apakah senyuman itu asal senyuman, ataukah
senyuman menganggap enteng.

"Kau keluarlah! Nanti kutempeleng kau!" hardik Pak broto. Ali Topan berdiri. Tapi
ia tidak beranjak dari tempatnya. la menoleh ke arah Anna Karenina. Gadis itu
pucat pasi. Wajahnya melukiskan kecamuk perasaannya.

"Anna juga boleh ke luar, Pak?" Tanya Ali Topan sambil menoleh ke arah Pak Broto.

"Anna tetap tinggal di sini!" Nyonya Surya berteriak. Tangannya mencekal lengan
Anna.

"Saya harap Anna tidak dijatuhi hukuman apapun akibat peristiwa ini, Pak Broto.
Semua kesalahan atas rekening saya," kata Ali Topan.

la melirik Pak Broto, kemudian melangkah ke pintu. Boy menghadang di pintu.

Wajah Boy tegang, matanya mengandung sinar kebencian yang hebat. Ali Topan
berhenti tepat di depan Boy. Boy masih menghadang.

"Numpang lewat," kata Ali Topan. Tapi Boy tetap menghadang. Pelahan Ali Topan
menengadah. Sinar matanya menyapu wajah Boy. Boy bergidik melihat sinar mata
Ali Topan yang sangat beringas. Tanpa sadar dia menyingkir ke tepi. Ali Topan
mendengus, lalu berjalan ke luar. la kembali ke kelasnya.

Walaupun ia sudah tidak berada di ruang Direktur, tapi `wibawa' dari sikapnya
membuat orang-orang di ruang itu terpaku. Pak Broto mengusap-usap dagunya,
Nyonya Surya dan Boy saling memandang, dan Anna Karenina menunduk. Masing-
masing berpikir tentang Ali Topan.

Akhimya Boy bicara. "Anak begitu mustinya dipecat saja dari sekolah ini, Pak.

Kalau tidak, dia bisa bikin hitam nama bapak dan jadi racun bagi murid-murid
lain."

Nyonya Surya menyambung, "Itu sangat betul, Pak. Lihat saja, anak saya jadi
korbannya yang entah yang ke berapa. Dan ibu guru tadi... Ibu Dewi, dibuatnya
begitu sedih."

114
Pak Broto diam saja. Kepalanya manggut-manggut macam
burung kuntul di tengah sawah. Manggut-manggut itu
gayanya yang khas, dan tidak selalu berarti mengiyakan
pendapat orang lain.

"Yah. Begitulah. Saya tidak bisa bicara apa-apa lagi. Kita


tunggu berita dari Ibu Dewi. Saya kira dia akan melapor ke
Departernen P dan K. Nah, terima kasih atas kedatangan Ibu.

Saya harap komunikasi begini bisa dilanjutkan demi kebaikan bersama, guru, orang
tua murid dan si murid sendiri. Begitu?" kata Pak Broto. la ingin mengakhiri
pertemuan.

"Tapi, bagaimana selanjutnya? Harus ada sanksi berat untuk anak berandal itu.

Kalau tidak, Saya bisa bikin besar ini perkara. Saya kenal orang-orang berkuasa di
Hankam. Jadi, betul-betul bapak harus bertindak," kata Nyonya Surya. Pak Broto
manggut-manggut lagi menyungging senyum yang khas Medan.

"Ibu tunggu kabar saja," katanya. Kemudian ia berpaling ke Anna dan berkata,
"Nah, Anna boleh kembali ke dalam kelas. Seperti kata Ali Topan tadi, kesalahan
semuanya atas rekening dia. "

Anna Karenina mengangguk. la berpaling ke arah ibunya. Nyonya Surya


memandang pula kepadanya. Boy ikut melihat Anna.

"Lebih aman kau pulang saja sekarang, Anna," kata Boy. Anna menatap mata Boy,
lalu dengan gaya tidak senang, ia melengos.

"Iya, begitu juga baik. Ayo, Anna, ambil tas kamu," kata Nyonya Surya, kemudian ia
berpaling ke arah Boy, :"Boy, kawal dia," katanya.

Dengan kesal Anna menuruti "kebijaksanaan" itu. la pamit pada Pak Broto. Pak
Broto mengelus rambut muridnya, lalu mengantar ke luar ruang. Boy, mengikuti
Anna dari belakang. Nyonya Surya juga pamit. Ia berjalan mengikuti Boy dan Anna.
Pak Broto memperhatikan mereka, kemudian masuk ke dalam kantornya.

"Hadiiiii!," serunya. Hadi datang segera. "Ada apa, Pak?"

Pak Broto melotot.

"Pakai tanya lagi. Mana es teh buatku? Dan Dji Sam Soe sebungkus, bon dulu di
kantin. Cepat kau! Kepalaku pening melihat muka kau yang macam beruk itu!"
hardik Pak Broto. la melampiaskan kedongkolan pada Hadi.

"Siap, Pak!" kata Hadi. Lalu berjalan mundur ke pintu. Sampai di luar ia berlari
sekencang-kencangnya ke kantin. "He, bibi! Mana es teh aku? Dan Dji Sam Soe
sebungkus, ngebon dululah! Cepat kau antar ke kamar Bapak kita, Si Broto
Panggabean, bah!" kata Hadi pada bibi kantin. Bibi kantin tertawa.

115
"Kalau di sini berani bilang Si Broto Panggabean. Kalau di
depan orangnya... huh!, bisa dibikin beres kamu, Di," kata Bibi
Kantin. Sambil tertawa-tawa, segera membuat es teh manis.
Setelah selesai, ia berikan es teh dan sebungkus Dji Sam Soe
pada Hadi. "Salam buat Pak Broto," kata bibi kantin.

"Salam pakai cium?"

"Hus!" Bibi kantin melotot. Hadi terbahak-bahak sambil pergi


membawa es teh dan Dji Sam Soe.

Begitu Hadi sampai dan menaruh gelas es teh manis, langsung Pak Broto
menyambar minuman itu dan menenggak seperti orang menenggak tuak. Segelas
es teh manis amblas dengan sekejap mata. Lalu membuka bungkus Dji Sam Soe
dengan gigi taringnya.

Hadi segera mengundurkan diri. Pintu kantor Pak Broto ditutupnya dari luar. Hadi
tahu, pada saat seperti itu, Pak Broto tidak boleh diganggu gugat.

Pak Broto mengambil sebatang Dji Sam Soe, mengeluarkan tembakau separuh.
Kemudian ia mengambil bungkusan ganja dari laci mejanya. Ganja itu dicampur
dengan tembakau yang sudah dikeluarkannya, kemudian dimasukkan lagi ke dalam
rokok. Sisa tembakau dan ganja disimpannya di dalam amplop. Pak Broto sulit
menghilangkan kebiasaan mengganja yang dilakukan sejak masih muda, di Medan
dulu.

Sebuah pesawat terbang kertas melayang di dalam kelas. Pesawat itu melayang-
layang, lalu menukik, dan mendarat di kepala Maya. Lantas terdengar suara ketawa
dari teman-temannya. KetawaAli Topan terdengar paling keras. la yang
melayangkan pesawat terbang kertas itu.

Maya tidak marah. Ia tahu, Ali Topan sedang kesal. Anna Karenina sudah pulang
bersama Ibunya dan Boy. Di depan pintu, tadi, Boy berdiri dengan gaya sok angker.

Ali Topan melemparnya dengan sebutir permen Chiclets. Kena kepalanya. Ketika
Anna mengambil tasnya, ia tak berkata apa-apa. Wajahnya merunduk.

Ridwan menghampiri Ali Topan. Ia berbisik-bisik. Ali Topan mengangguk-


anggukkan kepalanya. Lalu Ridwan kembali ke tempat duduknya.

Ali Topan berdiri. la mengambil tas sekolahnya, lalu berjalan ke pintu. Teman-
temannya memperhatikan. Di tengah pintu, sambil tetap menghadap ke luar, Ali
Topan berseru: "He, kenyung-kenyung. Gua poskul duluan. Kalian belajar baek-
baek, ye?!"
"Iyeeeee..," teman-temannya serempak menyahut.

Lantas Ali Topan berlalu. Langkahnya tenang, pandangannya lurus ke depan. la


terus berjalan, melewati koridor, kantor guru-guru, pintu gerbang sekolah dan
menyeberangi jalan.

116
la terus berjalan. Pelan tapi pasti. Menuju Jalan Panglima
Polim Tiga, tempat tukang tambal ban motor dan mobil.

Motornya sudah siap ketika ia sampai. Bannya sudah ditambal,


dan bodinya sudah dibersihkan oleh penambal ban.

"Ada berada lobang?" tanya Ali Topan.

"Dua lobang. Pakunya panjang sih," kata penambal ban.

"Brapa?".

"Dua lobang, duaratus deh."

Ali Topan membayar Rp 200, lalu mengambil sepeda motornya.


Tak lama kemudian, ia sudah nangkring di atas motornya. la tak ngebut. Motornya
dijalankannya pelan-pelan.

la langsung pulang ke rumahnya.

117
EMPAT BELAS

Esoknya,sekitar pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, Hadi


datang ke rumah Ali Topan, membawa sepucuk surat
keputusan Direktur SMA Bulungan I, mengenai skorsing.

Selama satu bulan penuh, ia tidak diizinkan mengikuti


pelajaran sekolah.

Yang menerima surat itu Nyonya Amir. Ali Topan sedang berada di
kamarnya.Nyonya Amir membaca surat keputusan itu, kemudian pergi ke kamar
Ali Topan. la masuk ke kamar anaknya dan mendapati Ali Topan sedang tidur-
tiduran.

Nyonya Amir duduk di samping Ali Topan.

"Kamu tidak sekolah hari ini?" tanya Nyonya Amir.

"Males," jawab Ali Topan.

"Kenapa males?"

"Kemarin ribut di sekolah."

"Kenapa ribut?"

"Biasa. "

"Biasa apa?"

"Soal cewek."

"Lho, sudah punya cewek? Kok mama nggak di kasih tahu?"

Ali Topan tak menjawab. la merasa aneh. Mamanya kok lain sekali hari ini? Kok
menaruh perhatian banget? la menelentang, memandang ibunya. Ibunya tampak
tersenyum.

Tapi wajahnya pucat sekali.

"Ada apa?" tanya Ny. Amir.

"Mama tumben nanya-nanya. Udah insap ya?" kata Ali Topan.

Mamanya terperanjat. Wajahnya yang pucat makin pucat. Tapi senyumnya masih
diusahakan keluar, untuk mengurangi rasa kagetnya.

"Kepala Sekolahmu mengirim ini," kata Nyonya Amir. la menunjukkan surat pada
anaknya.

118
"Apa itu? Surat skorsingya? Atau Ali dipecat dari sekolah?"
tanyaAli Topan.

"Baca saja sendiri," kata Nyonya Amir. la memberikan surat


itu pada anaknya. Ali Topan membaca surat itu. Ekspresi
wajahnya tidak berubah. Tenang-tenagg saja tampaknya.

"Kamu nakal betul ya di sekolah, kok sampai di skors begitu


lama. Jangan nakal dong Ali."

"Ha ha ha. Jaman sekarang memang jamannya orang nakal, Mama. Kalau nggak
ada orang nakal, nggak rame dunia," kata Ali Topan.

Nyonya Amir tertegun. Darahnya tersirap. Kata-kata anaknya terasa sebagai


ratusan jarum yang menancap di ulu hatinya. Dipandangnya wajah anaknya, tapi
terbayang wajah lelaki tanggung yang bukan anaknya. Semakin ia memandang Ali
Topan, semakin terbayang wajah anak-anak muda yang menjadi "gigolo"nya.

Kepalanya terasa pening mendadak. Pandangan matanya berkunang-kunang.

"Apa kamu bilang?" bisiknya. Ali Topan memandangnya. Sepasang mata seakan-
akan layu. Sinar matanya suram, mengandung kecewa.

"Maaf, Mama, Ali nggak suka keadaan di rumah ini. Ali nggak mengerti kemauan
mama dan papa. Terus terang Ali kecewa," kata Ali Topan.

Nyonya Amir tertegun. Peningnya menjadi-jadi. Sebetulnya rasa pening itu hampir
tak bisa ditahannya, tapi keakuannya sebagai seorang ibu tidak bisa menerima
ucapan anaknya, sekalipun ucapan itu mengandung kebenaran.

"Kamu memang tidak akan pernah bisa mengerti!" gumamnya. Lalu ia bangkit, dan
segera berjalan ke luar. Pintu kamar Ali Topan dibantingnya. Surat hukuman dari
sekolah melayang jatuh kelantai.

Sesaat Ali Topan memandang daun pintu yang dibanting dan surat hukuman yang
terletak dilantai. Lalu iapun bangkit, dari tempat tidurnya. Matanya terasa panas.

Sekuat tenaga ia tahan airmata yang hendak ke luar, namun sia-sia. lapun
menunduk. Butir-butir airmata jatuh ke lantai. la menangis, terisak-isak. Dadanya
terasa sesak, hatinya terasa hampa. Ia ingin sekali berteriak sekuat-kuatnya. la
ingin meledakkan seluruh perasaan yang terpendam lama, rasa kecewa berasal dari
rasa kehilangan sesuatu, yaitu perhatian ibunya.

Dulu mamanya nggak begitu. Masih biasa-biasa saja. Seperti mamanya waktu ia
masih kecil. Meskipun cerewet, dan kalau bicara membentak-bentak, tapi masih
waras.

Mamanya berubah sejak tahu suaminya main perempuan. Dia jadi kacau. la tidak
berteriak. la hanya terisak-isak. la tak mau teriak kepada ibunya, walaupun sekujur
tubuh dan isi jiwanya ingin berteriak, Hentikan, hentikan semua kegilaan di rumah

119
ini!!! la memejamkan mata sejenak dan menarik napas
panjang-panjang. Kedua tangannya mengepal.

Ditinjunya berkali-kali untuk melampiaskan tekanan perasaan


dalam jiwanya.Akhirnya ia terkulai lemas.Perlahan dibukanya
kelopak matanya. Bibirnya terbuka. la menyebut nama Tuhan.

Lalu ia berjalan mengambil celana blue jeans dan jaketnya.


Dikenakannya pakaian itu, kemudian sepatunya. Dengan
tubuh terkulai ia pergi ke kamar mandi. Diciduknya air, diusapnkan ke wajahnya.
Demikian berkali-kali. Sesudah itu ia menyenduk air dengan tangannya, untuk
berkumur-kumur. Lalu ia keluar.

Tak lama kemudian, Ali Topan naik motor meninggalkan rumahnya. la ngebut! Ali
Topan memacu motornya di jalanan. Wajah muram. Pikirannya kusut. la merasa
sebagai anak malang di Jakarta.

Dalam keadaan risau begini, ia ingin sendiri. la tidak membutuhkan siapapun.


Tidak Gevaert, tidak bobby dan tidak Dudung! walaupun mereka teman-teman
sepermainan, ia sedikit sekali bicara tantang keadaan rumah.

Teman-temannya itu mendengar rumah tangganya yang kacau balau, tapi bukan
ikut merasakan ada di dalamnya.

Kebayoran memang bukan sekecil Subang, urusan permainan seks-gelap, seperti


yang oleh kedua orangtuanya, rasanya setiap Kebayoran tahu. Terutama ikhwal
ibunya, yang sebutan Tante Dun Hill karena selalu merokok setiap pemuda hidung
belang rasanya belum ada yang belum pernah pergi dengannya, begitu kelakar
Kebayoran.

Dan ayahnya? Tak ada rotan, akar pun mereka. Artinya, tak ada perempuan
lacur,ABG pun jadi.

"Gilak!" teriak Ali Topan.

Ia kaget sendiri mendengar teriakannya, sebab pengendara mobil di sampingnya


melotot ke arahnya, kaget. Ali Topan mengebutkan motornya di antara mobil sedan
di jalur cepat Jalan Raya Jendral Sudirman. harusnya ia masuk ke jalur lambat,
tempat khusus bagi pengendara motor yang dicampur dengan biskota.

Tapi ia peduli jalur lambat. Ia ingin cepat. la tak peduli sumpah-serapah oom-oom
di dalam mobil yang marah karena mematuhi aturan lalu lintas jalan raya. la
sedang kesal.ali topan mengebutkan motornya di antara kendaraan lainnya
kecepatan 80 sampai 90 km per jam. Ia terus bablas. Lewat kolong jembatan
Semanggi. Dua lalu lintas yang sedang patroli menudingnya. Tapi masa bodo saja.
la menggeblas terus. Polisi mengejarnya.dari Bendungan Hilir ia masuk ke jalur
lambat. Kecepatan motornya dikuranginya. Ia menyelipkan motornya bis PPD,
hingga polisi patroli kehilangan jejak.

Polisi itu celingukan, mencari-cari Ali Topan. la heran, anak tanggung itu
menghilang. la tidak tahu bersembunyi di balik bis kota.
120
Ali Topan melihat polisi yang melaju ke depan sambil
celingukan. Sambil melaju ke arah Bunderan Hotel Indonesia,
Ali Topan masih menempel bis PPD. la melihat penumpang
dan kondekturnya ketawa-tawa melihatnya. Mereka tahu
kalau Ali Topan mempermainkan polisi.

"Tenang aje, polisinya udah ngilang," kata kondektur bis. Ali


Topan diam saja. Malas menjawab.

Lepas dari bunderan HI, Ali Topan memacu motomya kembali. la lurus ke arah
utara. Ia ingin segera sampai di pantai Bina Ria, salah satu tempat yang
disenanginya untuk menyendiri.

Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langit berwarna merah merona.
Ombak makin besar dan angin makin kencang.

Ali Topan berdiri tegak menatap cakrawala. Rambutnya yang hitam lebat dan
gondrong dihembus angin, menambah kegagahannya. Sekujur tubuhnya lusuh.
Dan perutnya terasa lapar.Sudah berjam-jam ia merenung sendiri berdialog dengan
angin dan laut. Sepatunnya penuh pasir. Demikian Celana jeans-nya.

la berjalan ke tepi pantai. Dimasukkannya kakinya ke laut, sebatas paha. Celana


dan bajunya basah tangannya mengambil pasir dari dalam laut. Digenggammya
pasir itu, lalu dilemparkannya ke tengah. Kemudian dibasahinya wajahnya dengan
air laut. Dijilatinya tangannya basah. Asin. Dan agak pahit. Hausnya makin
menjadi-jadi.

Akhimya ia berbalik, berjalan menuju semak memarkir motornya. Diangkatnya


sang motor, ditepuknya sadelnya. Lalu ia menyemplakinya.

Sebelum berlalu, ia menoleh ke arah laut." Dah dulu ya laut, kapan-kapan aku ke
sini lagi," Lantas ia hidupkan motornya, dan berlalu dari sana.

Sementara itu di rumah Anna. la duduk dengan bapaknya di ruang tengah


membahas perkara hubungannya dengan Ali Topan.

"Kenapa jadi begini, Anna? Papa kan sudah bilang berkali-kali agar membatasi
pergaulan dengan anak anak yang tidak cocok dengan derajat kita. Kau harus selalu
sadar bahwa kau masih punya tetesan darah bangsawan. masih berlaku, walaupun
orang bilang sekarang jaman emansipasi.

Bagaimanapun modernnya jaman, tetapi tetap ada perbedaan derajat antara


tetesan bangsawan dengan darah rakyat biasa yang tidak jelas asal usulnya," Pak
Surya.

“Saya tak mengerti soal itu, Papa," sahut Anna.

“Kamu memang tak pernah mau mengerti. Pokoknya, mengerti atau tidak, Papa
ingin kau menurut aturan, titik! Di sekolah yang dulu, kau bergaul sembarangan.
Sesudahnya ke sekolah baru, masih begitu saja," kata Pak surya.
121
“Mestinya dia sekolah di rumah saja, biar tak bikin pusing
orangtua. Saya pun sanggup mengajarinya, kalau diminta"
sela Boy.

Anna benci sekali mendengar ucapan Boy. Kebenciannya itu


ditunjukkan dengan cara melihat Boy dengan jijik.

“gua nggak mau belajar sama kamu, bangsat!" kata anna.

Semua kaget mendengar makian Anna. Tak ada yang menyangka dia berani
memaki Boy. Boy melengak, tapi pura-pura tenang. la mengawasi Anna. Boy
tersenyum kecil.

Sejak kau pakai kalung itu, kau suka marah-marah, An” kata Boy. Ucapan yang
acuh tak acuh itu justru hebat. Anna membelalak.

“O begitu kau bilang, Boy?" kata Pak Surya,

"Coba kulihat kalungmu, An," ucapnya pada Anna. Pak Surya menjamah kalung di
leher Anna. Anna mencoba mengelak, tapi tangan ayahnya sudah menyentuh
kalung itu. "Coba buka," kata Pak Surya. Anna diam saja.

"Diguna-gunai melalui kalung itu dia Pa" kata nyonya Surya yang sangat
terpengaruh oleh ucapan Boy.

"Coba buka, Papa mau lihat," kata Pak Surya. Anna masih diam. Tapi wajahnya
memperlihatkan penolakan yang hebat. la sangat marah pada Boy, benci pada
hasutannya yang dipercaya oleh ayah dan ibunya.

Kedua orangtuanya memang sangat percaya pada tahayul. Pak Surya menarik
kalung Anna perlahan. Anna bertahan. Berulang-ulang Pak Surya memintanya
membuka kalung itu.

"Besok papa belikan kalung emas bermata berlian ganti kalung ini, Anna. Bukalah,"
kata pak Surya. Anna menggeleng-nggelengkan wajahnya. Air matanya berlinang.

"Biar... biar Anna pakai kalung ini saja, Papa. Papa? Kalung ini tidak ada guna-
gunanya... percayalah Papa...," kata Anna dengan bibir bergetar perasaan yang
tertekan.

"Aaaah, cerewet!" kata Pak Surya, sambil menyentak kalung itu. Putus! Anna
memekik. Lehernya terasa sakit, tapi hatinya lebih sakit lagi. Maka ia pun
menangislah. Terisak-isak. Pak Surya menggenggam kalung itu. la mencium-cium
benda itu, seperti kelakuan dukun klenik yang sedang mengendus setan.

"Hm. Hm... bau melati... ini pasti ada apa-apanya...gumam Pak Surya. la melihat ke
istrinya, lalu mengangsurkan kalung itu. Nyonya Surya membaui kalung itu,
mengendus-ngendus dengan penuh semangat. Pikirannya sudah dipenuhi oleh
guna-guna. Begitu terbaui olehnya bunga melati, ia pun mengangguk-angguk. la

122
menoleh ke Boy. Boy melirik Anna dengan gaya sinis betul.
"Kemenangan" menyertai tatapan sinisnya itu.

Anna Karenina tak tahan melihat kelakuan mereka. Dongkol,


tapi merasa sedikit geli. Tentu saja kalung itu bau melati,
karena memang diolesinya kalung Ali Topan itu dengan
parfum Jasmine yang bau sari melati. la ingin menjelaskan hal
itu, tapi ketika dilihatnya ayah ibunya seperti dukun, ia
membatalkannya.

"Untung Boy memberi ingat. Kalau tidak, bahaya! Bisa kecolongan lagi kita," kata
Nyonya Surya. Pak Surya mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti burung
kuntul ikut-ikutan mengangguk-angguk. Anna ingin meludahi muka Boy. Ingin
sekali.

“Bawa anakmu ke Mbah Ruspi, Ma," kata Pak surya. Mbah Ruspi yang
dimaksudkannya itu adalah orang tua yang menjadi dukun keluarga.

“Tidak mau!" kataAnna dengan keras.

“Tuh tuh guna-gunanya masih nempel,” kata Nyonya Surya. Pak Surya langsung
mendekati Anna. Disentuhnya Anna, dengan maksud meraba-raba "setan" yang
menyarangi Anna. Anna menepis tangan nya.

"Wah, setannya bandel betul! Melawan!" kata Pak surya.

Gila betul orangtua ini. Dia menangkap tangan Anna. Lalu dipegangnya kuat-kuat.
Pikirannya dipenuhi angan-angan kalo anaknya kena guna-guna. Sebelah
tangannya mengusap dahi Anna. Anna memejamkan matanya. Ia tak sanggup
menahan kesedihan hati yang bercampur rasa marah yang sangat. Perlakuan
orangtuanya sungguh keterlaluan.la cuma bisa menangis. Terisak-isak.Pak Surya
melepaskan sentuhannya. la membiarkan Anna menangis.Malah ditontonnya
anaknya yang sedang menangis.

Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. la mengebutkan kendaraannya


supaya cepat sampai di kebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di warung
Tegal di belakang kantor polisi Komwil 74, salah satu tempatnya biasa makan
dengan teman-tempanya.

Di depan gedung Sarinah ia terkesiap. Mobil ayahnya tampak di antara kendaraan


yang lain. Ditancapnya gas motornya untuk menyusul mobil itu. Mobil itu memang
mobil ayahnya.

Pak Amir tampak sedang tertawa-tawa, menyetir mobilnya. Di sebelahnya duduk


seorang perempuan. la sama sekali tak mengira kalau anaknya sedang membuntuti
di samping sebuah mobil lain di belakangnya.

"Badanku capek, pegel semua. Kau harus memijati aku Marta," kata pak Amir,
sambil menyubit paha perempuan bawaannya. Marta mengaduh, tapi membiarkan
tangan Pak Amir tetap di atas pahanya. Bahkan ketika tangan itu menggerayang ke
mana-mana tetap dibiarkannya.
123
"Sabar ah, sabar... sebentar lagi aku tekuk semua tulang-
tulang, Oom Amir, supaya hilang capeknya," kata Marta.

"Wah, kalau tulang ditekuk-tekuk, tambah capek dong. "

"Iya, capek, tapi kan enak," sambil tertawa cekikikan. Pas dia
ketawa begitu, Ali Topan merendengi mobil Pak Amir. Ali
Topan memandang tajam ke arah ayahnya, Pak Amir kaget
melihat Ali Topan. Setir mobilnya sampai terlepas dan mobilnya sedikit ngepot.

Marta ikut kaget karena mobil itu hampir menghajar mobil lain.

Pak Amir mencoba tersenyum wajar ke anaknya, tapi Ali Topan menampakkan
wajah murka.

"Dari mana kau?" sapa Pak Amir, mencoba beramah tamah.

Ali Topan tak menjawab. Ia membuang pandangannya. Lalu memacu motornya ke


depan. Pak Amir malah melambatkan mobilnya.

"Siapa sih, Oom?" tanya Marta. “Anak saya.. . ," kata Pak Amir.

"Wah, ganteng ya. Bisa pinjem dong saya..."' kata Marta.

"Hus! Bapaknya saja, jangan anaknya..."' kata Pak Amir. la melotot. Tapi tangannya
menggerayangi paha Marta kembali.

"Nanti dia mengadu ke ibunya. Bisa gawat nih, Oom," kata Marta.

"Nggak, nggak. Dia nggak suka ngadu. Nanti kalau ngadu saya tempelengi," sahut
Pak Amir.

Mereka sampai di bundaran Hotel Indonesia. Lampu lalu lintas hijau. Pak Amir
terus membelokkan mobilnya ke Hotel Indonesia.

Ali Topan mengebutkan motornya. Perutnya yang lapar tiba-tiba tak terasa lagi.

Kelaparannya lenyap, kalah, oleh kepahitan hatinya. Seringkali ia memergoki


ayahnya membawa perempuan, yang sekali lirik saja diketahuinya sebagai
perempuan bawaan. Bahkan pernah dulu ia bersama Bobby, Dudung dan Gevaert
berlibur ke daerah Puncak, dan mengintip orang bercinta di sebuah villa. Yang
diintipnya ayahnya sendiri.

Tak terasa ia sampai di bunderan Senayan. Matanya perih kena angin dan debu
malam. Diusapnya matanya dengan tangan kiri, lalu mengebut lagi ke jurusan CSW
Wajah Anna Karenina terbayang tiba-tiba. Dan rindunya pun datang bersama
bayangan wajah gadisnya. Tiba-tiba pula hatinya berdetak. Serasa ada sesuatu yang
tidak enak mengganjal perasaannya. Tiba-tiba ada suatu tarikan perasaan yang
kuat, keinginannya bertemu dengan Anna. Ia ingin tahu apakah Anna dimarahi
oleh orangtuanya karena persoalan di sekolah siang hari tadi.
124
Tiba-tiba pikiran khasnya muncul, didorong oleh instink aneh
yang dimilikinya. Ali Topan memang punya instink tajam. la
sering bergerak instinktif. Spontan. Begitu instinknya
memberi sinyal berupa perasaan ingin ketemu Anna, Ali
Topan langsung menuruti kehendak itu. la menahan rasa
laparnya. Motornya langsung ditujukan ke arah rumah Anna.

Dia ingin datang ke rumah gadisnya.

Anna Karenina masih duduk diam di kursinya. la masih tetap dibanjiri nasihat dan
petuah oleh ayah dan ibunya. Sudah bosan dia mendengar petuah dan nasihat yang
diobral, yang itu ke itu melulu.Tapi untuk beranjak pergi, ia masih ngeri. la belum
pernah memberontak secara total.

Pemberontakannya selama ini cuma terbatas pada memaki Boy, atau membantah
omongan orangtuanya secara kecil-kecilan, dan akhirnya menangis.Keluarga Anna
Karenina memang termasuk keluarga yang sedikit sableng. Istilah ilmiahnya, ayah
dan ibu Anna, kehilangan rasionalisme dalam mendidik anak-anak mereka.

Emosi lebih berbicara. Subyektif sekali. Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak
kecil melihat boneka-boneka.Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan
hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata-mata datang dari pihak
orangtua.

Kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak di


sukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan.

Mereka lupa, betapa masyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitu cepat.

Kaum muda makin menuntut kebebasan, dan memperoleh hal itu dari masyarakat,
sedangkan kaum tua menjadi dungu dan tolol, membunuh wibawanya sendiri,
karena memusuhi hak kebebasan anak-anak mereka.

Perang nilai, pembaharuan dan kekolotan yang penuh basa basi dan kemunafikan,
melahirkan banyak kepahitan. Di antara kepahitan itu makin banyaknya jumlah
`unwanted child,' bayi-bayi yang dicetak dalam kepanikan. Motif cinta ataukah
nafsu, begitu kabur. Dan tidak menjadi peduli.

Ika Jelita, kakak perempuan Anna Karenina, termasuk dalam kasus itu. la memang
jelita bagai porselen. Sialnya, ayah dan ibunya menganggap Ika seperti barang antik,
bukan sebagai manusia. Rumah merupakam semacam museum. Ika seperti patung
kuno yang ditaruh di dalam lemari kaca. Hanya bisa dilihat, boleh ditaksir, tapi tak
boleh menaksir orang yang disukainya. Sampai pada waktunya ia pantas pacaran,
pacarpun dipilihkan oleh orangtuanya. Ada anak jendral pensiunan, ada anak
dokter jiwa, ada anak pedagang kaya, dan ada keturunan bangsawan Yogya.

Bukan tak ganteng, bukan tak punya cinta, tapi Ika sudah punya pacar. Namanya
Muhammad Igbal, anak Betawi asli. la anak yang soleh dan cukup terpelajar.

Meskinpun tidak, karena orangtuanya punya sawah dan kebun buah-buahan.


125
Tabiatnya baik. Orangnya rendah hati. Yang utama, Ika
mencintainya, dan iapun mencintai Ika dengan sepenuh hati.

Tapi, Tuan dan Nyonya Surya tidak setuju Ika pacaran dengan
Muhammad Igbal. Igbal kampungan, kata mereka. Dan
segerobak kejelekan lainnya yang diada-adakan.

Ika dan Igbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet.

Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat. Mereka lupa, makin ketat
aturan, makin deras larangan, makin hebat cinta berjuang mencari jalannya.

Sampai pada batas cinta tak bisa kompromi dengan peraturan rumah, Ika-pun
hamil oleh Iqbal. Atas dasar cinta sama cinta, suka sama suka. Dan, orangtua
akhirnya tak punya kesaktian lagi, kecuali mengusir Ika dengan bekal caci-maki.
Begitu ceritanya.

Kini Anna mengalami nasib sama walau tak serupa. Orangtuanya masih belum
kapok. Mereka tak mau menimba pelajaran dari pengalaman mereka sendiri. Jiwa
anaknya tak diselami, kematiannya tidak ditimbang-timbang. 'Pokoknya, prek deh
buat Ali Topan,' demikian keputusan mereka.

Mereka tak menyadari, orangtua pun bisa kuwalat kalau mengkorup hak asasi
anaknya. Mereka lupa bahwa mereka bukan Sang Maha Kuasa. Padahal Tuhan
telah menanamkan benih cinta di setiap hati umat-Nya. Dan benih itu punya
bunga-bunga. Bunga bunga cinta punya keindahan masing-masing. Dan, tak bisa
ditahan mekar dan wanginya. Kalau menahan mekarnya bunga, kalau membekap
wanginya, itulah melawan takdir.

Rupanya, pikiran Tuan dan Nyonya Surya tidak sampai ke situ. Jadinya, mereka
takabur. Menganggap enteng cinta muda-mudi. Kalau diterus-teruskan, mereka
menganggap enteng Tuhan anak-anak itu. Mereka pikir, barangkali, Tuhan anak-
anak muda berbeda dengan Tuhan mereka.

Anna, Ia gadis yang sedikit nyentrik. Kemauannya lebih keras dari Ika, kakaknya.
Bedanya dengan Ika, Anna lebih ekstrovert, terbuka. Ia masih punya setitik
harapan, orang tuanya membolehkan ia bergaul dengan Ali Topan. Tapi ia kecewa,
karena Ali Topan sudah distempel sebagai pemuda begajulan.

Yang mencemaskan Anna, adalah manusia bernama Boy. Sebagai gadis, Anna
punya perasaan, Boy menaksirnya. Taksiran itu habis-habisan. Boy pandai
menyembunyikan minatnya dari pandangan orangtua Anna. Tapi nafsu yang
terpancar dari dua matanya, tak lolos dari pandangan Anna. Anna ngeri betul pada
Boy. Matanya seperti mata tukang perkosa di film-film. Buas dan lapar betul !

Selama ini Anna cuma bisa memendam kengeriannya. Lagi pula ia tidak bisa
sembarangan omong, khawatir kalau Boy menjadi-jadi, jika tahu Anna membaca
jalan pikirannya yang mesum. Anna khawatir Boy jadi ge-er alias gede rasa.

126
Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kesejukan di
dalam hati. Tapi orang tuanya menganggap justru sebagai
badai yang memporak-porandakan segalanya.

Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai
nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk
memberontak, merebut haknya, seperti Ika.

Ketukan di pintu membuat semua orang menoleh. Dan semua


orang itu terkejut ketika tahu siapa tamu mereka. Ali Topan!

Sejenak mereka terpana. Tuan Surya mengernyitkan dahi, Nyonya Surya


menunjukkan aksi bengong, Boy meringis, dan Anna berhenti menangis!

Ali Topan berdiri tegak. Ia menanti persilaan dari si empunya rumah. Ternyata
persilaan itu tak kunjung datang. Yang datang justru kejutan lain.

"Usir anak gila itu, Boy!" seru Tuan Surya.

Tersirap darah Anna mendengarnya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah


Boy yang berjalan ke pintu. Anna jadi nekat. Dengan cepat ia bergerak, berlari ke
pintu.

"Anna! Kembali!" ayahnya berteriak. Tapi Anna tetap berlari, membuka pintu.
"Topaaan... ," bisik Anna, tangannya menyentuh lengan Ali Topan. Ali Topan
tersenyum. Mereka saling menggenggam tangan, tak menggubris Boy yang
meringis di dekat mereka.

Genggaman itu lepas ketika Tuan Surya datang dan menggeprak tangan mereka!
Anna Karenina ditariknya ke dalam, lalu ia berdiri murka di depan Ali Topan.
"Jahanam! Pergiiii!" hardiknya.

Ali Topan menganggukkan kepalanya dengan sopan namun gagah. Kemudian ia


memutar badannya, dan berjalan dari hadapan orangtua yang murka itu.
Diiringi isak tangis Anna Karenina, ia menyemplak motornya, lantas pergi dari
rumah itu.

Hatinya puas bisa bertemu dengan Karenina.

127
LIMA BELAS

Munir, pemilik kios koran dan majalah di samping toko sepatu


Bata Blok M, sedang repot membenahi dagangannya ketika Ali
Topan datang. Ali Topan langsung menyomot Kompas.

"Nir, ada berita rumah digusur atau tukang becak


ditangkepin?" kata Ali Topan.

"Di Kompas ada, tapi yang lebih seru di Ibu Kota, Nenek-nenek diperkosa kira-kira
juga ada di situ," kata Munir. la memberikan Ibu Kota pada Ali Topan.

"Makasih!" sahut Ali Topan, kemudian ia duduk di bangku milik Munir.

Ia membaca.

Munir meneruskan kerjanya, mengatur koran-koran dan majalah.


Seorang petugas keamanan Blok M datang ke kios itu dan berdiri di dekat Munir. la
menyomot beberapa majalah.

"Minjam dulu ah, buat bacaan di kantor," katanya. Munir tak menjawab. Mulutnya
separuh ternganga. Ali Topan melirik ke arah petugas keamanan itu. Kebetulan si
petugas memandangnya.

"Ada apa liat-liat?" kata si petugas.

Ali Topan kaget. Dalam hatinya ia berkata, galak amat petugas itu.

"Situ kenapa liat-liat saya?" kata Ali Topan.

Si petugas melengak. Ia melotot. "Mau saya gampar kamu?" katanya.

"Lho, ada kasus apa?" kata Ali Topan sembari memajang senyuman bertendens. Si
petugas tak menjawab. Tapi matanya makin melotot.

"Jangan melotot begitu dong, nanti saya takut," kata Ali Topan. Munir dan
beberapa penjual mainan anak-anak tersenyum mendengar omongan Ali Topan.

Mereka senang melihat petugas keamanan yang sok itu dipermainkan oleh Ali
Topan.

"Mau gua gampar? Banyak bacot kau!" kata si petugas. la bergerak mendekati Ali
Topan, tangannya diangkat untuk menggampar Ali Topan. Langsung saja Ali Topan
berdiri.

"Kalau mau dipecat sama bapak saya, coba gampar!" kata Ali Topan. la berkacak
pinggang. Gagah sekali. Petugas keamanan keder juga melihat gaya Ali Topan, lagi
pula ia berpikir siapa gerangan bapak si anak muda ini.

"Bapak kamu siapa?" tanyanya, melembut. "Bapak saya orang!"

128
Munir dan teman-temannya tertawa. Petugas keamanan
melihat ke arah mereka. Wajahnya merah padam menahan
amarah. Tapi ia tak berani bertindak sembarangan.

"Bapak kamu jendral ya?" nanya si petugas, meyakinkan


dirinya sendiri.

"Punya KTP apa enggak, berani berani nanya bapak saya?


Nanti saya sebut nama bapak saya, situ kaget lagi. Udah pergi
sana saya tak ada tempo melayani situ," kata Ali Topan. Lantas ia duduk kembali,
dan melanjutkan bacaannya. Petugas keamanan ragu sejenak, tapi kemudian ia
memutuskan untuk menuruti perasaan kedernya.

Sambil menyandang perasaan malu, ia ngeloyor pergi. "Gila lu, Pan! Untung dia
ngeri, kalau dia kalap kan repot lu," kata Munir.

"Wash, boss kita ini hebat kali. Gertakannya mantap kali. Hebaaat," kata seorang
penjual mainan.Ali Topan cuma tersenyum.

"Gerakan begitu ada elmunya tuh, bukan sembarang gertakan," kata Ali Topan
sembari tersenyum lebar. "Elmu apa, Boss?" kata penjual mainan anak-anak. "Wah,
itu nggak boleh sembarangan dikasih tahu," kata Ali Topan. Ia menaruh Kompas
dan Ibu Kota, lalu ngeloyor pergi.

"Makasih, Nir," katanya. "Sama sama," kata Munir.

Ali Topan berhenti sebentar di toko Bata, melihat lihat. Lalu berjalan lagi ke arah
Pasar Melawai bagian belakang. Melewati lorong-lorong kecil bagian toko-toko
tekstil, ia bersiul-siul lagu sembarangan. Sapaan halo dari para pegawai toko-toko
tekstil dijawabnya dengan halo juga. Di ujung lorong ada seorang gadis memanggil
namanya.

"Hai, Maya, ngapain?" sahut Ali Topan sambil menghampiri Maya yang tersenyum
manis.

"Disuruh mama beli kain kelambu," kata Maya.

"Lho, kok masih pakai kelambu? Kan ada Raid?"

"Mama alergi kalau bau obat-obatan semprot, jadi pakai kelambu. Kamu dari
mana? Kangen deh," kata Maya.

"Kalau kangen, beliin rokok dong," kata Ali Topan. Penjual tekstil yang mendengar
omongan itu, kertawa he he he. Maya yang sudah hafal kebiasaan Ali Topan
mengangguk pertanda paham.

"Tunggu sebentar ya, saya selesaikan transaksi dulu," kata Maya. Ia pun membayar
harga kain kelambu yang telah dibelinya.

129
Tak lama kemudian, kedua teman itu berjalan menuju kios
rokok yang terletak di samping bioskop Kebayoran. Maya
membelikan sebungkus Dji Sam Soe dan Ali Topan
menyatakan terima kasih sepenuh hatinya.

"Ke mana kita? Ada cerita apa di sekolah? Bagaimana kabar


cewek gua? Apakah Ibu Dewi sudah meninggal dunia? Dan
Pak Brotpang apa sehat-sehat atau masih pilek?" pertanyaan
Ali Topan beruntun menyambar kuping Maya.

Maya tertawa renyah. la senang betul pada Ali Topan. Segalanya deh. Stel habis
senangnya pada Ali Topan. Memang, Maya diam-diam memendam perasaan naksir
pada temannya yang keren dan badung itu. Tapi taksirannya cuma mampu
dipendam di dasar laut nuraninya, sebab ia maklum bahwa Ali Topan tak ada minat
padanya dalam soal cinta menyinta.

Cukup kasihan sebenamya kalau ada gadis sedikit manis seperti Maya, yang punya
cita-cita memeluk gunung padahal menyusuri bukitnya pun sudah ngeri dia, ngeri
kalau ditolak. Dan, tidak mengherankan tidak pula disesalkan kalau Maya
memendam sedikit birahi pada anak manusia yang kerennya stel habis model Ali
Topan, sebab, bidadaripun, umpama kata, jika melihat cucu Adam yang
tampangnya orisinil seperti Ali Topan, runtuhlah imannya dan bisa kejadian ia
minta pensiun sebagai bidadari.

Maya bercerita perihal Anna Karenina yang setiap hari nampak sendu dan merana,
perihal ulangan ulangan yang membadai menjelang ujian, perihal Ibu Dewi yang
makin
merajalela dan perihal macam macam yang bisa diceritakan.

"Wah, kasihan kekasih hati pujaan jantung gua, May," kata Ali Topan, "hatinya
tersiksa menanggung derita. Tapi tolong bilang sama dia, May, jangan kuatir
tentang nasib gua, gua cukup makan, cukup minum dan istirahat nyenyak."

"Anna kuatir kalau kamu nggak lulus ujian nanti. Si Meinar malah bilang sama
Anna, kalau perlu dia mau lapor papanya, supaya urusan skorsing kamu ditinjau
kembali. Kan papa si Meinar jendral di Hankam. Tapi cewek kamu nggak mau,"
kata Maya.

"Wah, betul itu, jangan bawa bawa Hankam deh buat soal sepele kayak gini, entar
diketawain marmut kan repot kita? Jangan deh, jangan mengundang kekuatan luar.

Tapi bilang sama Meinar, gua mengucapkan terima kasih atas i'tikad baiknya," kata
Ali Topan. Terharu perasaannya mendengar rencana Meinar, teman sekelasnya
yang cukup dahsyat itu.

"Terus kamu nggak belajar? Nanti gimana dong kalau nggak lulus, mengulang lagi
setahun?"

"Soal belajar kan nggak cuma di sekolahan, Maya. Apalagi sekolahan brengsek
begitu, keseringan sekolah bisa miring otak kita. Pokoknya, kalau gua nggak lulus
ujian nanti, lu boleh sunat gua lagi."
130
"Ih! Geli!"

Ali Topan ketawa.

Maya menutup mulutnya dengan tas sebolahnya, menahan


tawa pula. Rasanya, kata-kata paling jorok pun yang keluar
dari mulut Ali Topan, indah kedengaran di kupingnya.

Mereka sudah sampai di pelataran Pasar Melawai. Di dekat


tempat parkir motor, Ali Topan melihat petugas keamanan yang galak, melihat ke
arahnya. Sinar mata orang itu tampak mencorong, mengandung amarah. Di
sebelahnya ada seorang temannya lagi yang juga mengawasi Ali Topan. Bekesiur
hati Ali Topan, merasakan gelagat yang kurang cocok dengan seleranya saat itu.
Ada Maya, tak enak bikin setori.

Tapi Ali Topan bukan Ali Topan namanya, kalau di saat gawat tidak menemukan
akal kancil. Sekira tiga langkah sampai di depan petugas keamanan itu, ia
memandang Maya dengan serius. Lalu is berkata dengan nada keras.

"Papa si Meinar pangkatnya Mayor Jendral apa Letnan Jendral, May? Rasanya
udah naek pangkat dong dia. Masa dari dulu cuma Mayor Jendral terus? Kan
kariemya di Hankam hebat tuh!"

Maya memandang Ali Topan dengan perasaan heran. Yang lebih heran, sampai
mundur selangkah, adalah dua petugas keamanan. Mendengar Ali Topan menyebut
jendral, ngerilah hati mereka. Lantas beliau-beliau itu pura-pura membuang muka
ke atap Pasar Melawai.

Ali Topan berjalan dengan gaya koboy, mengambil motornya. Dihidupkannya


motor, dan sengaja dimainkannya gas motornya sekeras-kerasnya, hingga Maya
menutup kuping dan berteriak-teriak. la baru berhenti berteriak setelah Ali Topan
menormalkan gas motomya.

"Kalau mau ngebut saya nggak mau diantar pulang, mendingan jalan kaki," kata
Maya, mengajuk.

"Sorry boy."

"Boy lagi, emangnya gua cowok."

He he he he he he he. Ha ha ha ha ha ha.. Hu hu h u hu hu hu hu. Ho ho hi hu ho ho


hi hu. Ali Topan: kumat urakannya. Sepanjang jalan ke rumah Maya ia tertawa
renyah bak kicauan burung kukuk beluk. Jalan motor dilambatkannya hingga Maya
senanglah hatinya. Berbunga betul hati Maya bisa memeluk pinggang Ali Topan.

Rasanya, matipun tidak penasaran.

Ketika motor sampai di rumah Maya, buyarlah lamunan indah gadis itu. Pelukan
tangannya di pinggang Ali Topan merosot otomatis. Wajahnya rada tersipu-sipu
bak wajah perawan dicolek penyamun.

131
"Mampir dulu?" kata Maya.

"Makasih deh. Lain kali saja. Oom masih ada urusan laen,"
kata Ali Topan. Sembari melepas senyum bertendens, ia
memacu sepeda motornya. la bermaksud menjenguk
sahabatnya, Bobby, mau nanya soal-soal ulangan dan catatan-
catan pelajaran sahabat itu.

Bobby sedang mendengarkan kaset Dino, Dessy and Billy,


ketika Ali Topan nongol di kamarnya.

"Hello friend, apakah revolusi sudah selesai?" tegur Ali Topan sembari
menyelipkan sebatang Dji Sam Soe di bibirnya.

"Hai, revolusi mendingin karena Che Guevara sedang diskors oleh Fidel Castro,"
sahut Bobby.

"Bagaimana dengan konsep-konsep penanaman modal, Aljabar dan Kimia Organik


dalam rangka pembangunan ujian kita?"

"Ada tuh di tas gua. Lengkap dengan data-data komisi buat pejabat yang
berwenang memutuskan."

Ali Topan melemparkan sebatang Dji Sam Soe ke arah Bobby yang tetap duduk
relaks di tempat tidurnya. "Apakah LNG-nya bisa dirojer?"

Ali Topan melemparkan korek api cap orang keling mikul kendi. Bobby menyulut
rokoknya dengan gaya teknokrat.Gaya tinggi.

Ali Topan mengambil tas Bobby dari rak buku, lalu memberikan tas itu pada
pemiliknya. la tidak mau mengambil sendiri buku catatan Aljabar dan Kimia di situ.

Bobby mengambilkan buku-buku dan catatannya.

"Lu apa-apa minta dilayani. Kapan berentinya kelakuan begitu, friend," kata Bobby.

"Itulah yang dinamakan tatakrama, friend. John Lenon menyebutnya etiket. Yang
udah-udah, gua baca di buku Can't Buy Me Love sih begitu. Kalau gelas ada
tatakannya, kalau manusia ada tatakramanya, begitu friend."

"Buku apa? Can't Buy Me Love? Nggak salah tuh, yang gua baca sih buku Blowin' In
the Wind," kata Bobby, senyum dia.

"Yeaaah, sama juga. Tapi yang lebih klasik mah di buku Pileuleuyan yang diedit
oleh Nyi Upit Sarirosa," sahut Ali Topan, disambungnya dengan heh he heh heh.
Bobby pun ber-heh heh heh heh pula.

Ali Topan mencatat apa yang perlu dicatatnya. Ringkas. Sempurna. Bobby sudah
hafal kejeniusan Ali Topan dalam urusan pelajaran. Dia sudah bosan heran dan
bertanya, bagaimana caranya otak Ali Topan bekerja. Ia yang punya catatan rapi,
belajar cukup getol, tapi jarang dapat angka tujuh pada setiap ulangan Aljabar atau
132
Kimia. Sedangkan Ali Topan yang rasanya ke sekolah cuma
iseng, dan hidupnya semi acak-acakan, ulangannya paling
apes dapat 8. Kalau nggak sungkan sama Pak Guru, dia selalu
dapat 9 atau 10. Brilian-lah, begitu kalau orang Barat bilang.

"Jadi skorsing gua berakhir pas dua hari menjelang minggu


tenang, Bob? Lama juga gua cuti nih," kata Ali Topan, seusai
merapikan catatannya.

"Nggak juga. Gua denger sih, Pak Borot mau meninjau keputusan itu. Dia tiap hari
negosiasi sama Bu Dewi. Gua rasa sih skorsing lu dipersingkat. Paling-paling lu
disuruh minta maaf secara tertulis di atas plat segel. "

"Minta maap? Lu kira lebaran pake acara minta maap. Emoh aku!"

"Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?" kata Bobby. Dia ini paling
doyan omong gaya tinggi, gaya teknokrat sama Ali Topan.

"Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini. Yang kucita-citakan adalah
menjadi suami yang baik bagi istriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku
kelak, kalau Tuhan mengizinkan lho," sahut Ali Topan dengan irama tukang pantun.

"Seandainya Tuhan tidak memberi izin kepadamu, apakah yang kau cari Ali
Topan?" tanya Bobby, menahan tawa.

"Seandainya ada acara begitu ya tidak apa-apa, sebab Tuhan itu Maha Bijaksana. "
"Bijaksana apa bijaksini. "

"Eh lu jangan kurang ajar, Bob! Dosa ngoceh sembarangan becandain Tuhan. Lu
kire Tuhan itu statusnye kayak Oom lu? Baek-baek lu ngoceh. Ntar bisu ngga
ketauan sebabnye lu," kata Ali Topan. Serius die.

Bobby senyum-senyum kecil. Tapi hatinya memang takut. Dia merasa keterlaluan
dalam soal Tuhan. Untuk menetralisir suasana, dia membesarkan volume musik
Dino, Dessy and Billy-nya.

"Ngomong punya ngomong, gimana kabar Dudung sama Gevaert? Apa semuanya
baek?"
"Baek, cuman rada kurang ajar."

"Di pasal berape kurang ajarnye?"

"Di pasal perkosaan. Masak sih, Dudung and Gevaert berani-beranian naksir
perempuan. Si Dudung naksir si Meiske anak Gang Kembang, Si Gevaert naksir
Farah anak Jalan Tumaritis. Berbarengan lagi cintanya, kan repot?"

"Kapan peristiwanye? Dan gimana silsilahnye si Farah sama si Meiske itu? Anak
orang baek-baek apa anak seniman?Anak ABRI atawa anak pegawe negri? Di mana
lahirnye, di mana bahenolnye? Pegimane guratan nasibnya, ngajak kaya apa ngajak
miskin? Itu semua musti diitung dulu, Bob."

133
"Nah, itu die, Boss. Gua kan repot. Tiap istirahat udah pade
bedua-duaan, kayak pejabat sama bintang pilem gitu. Rasenye,
pengen gua goreng aje itu anak dua. Bandel sih, dapet
perempuan nggak bagi-bagi."

"Ooh begituuu? Coba deh nanti Oom tanya mereka, kenapa


tidak membagi perempuan padamu, Bobiiih " "Eh, jangan
manggil Bobih begitu dong, kayak panggilan orang Gunung
Kembung..."

Kedua sobat itu tertawa bersama-sama. Renyah. Sesudah capek ketawa dan bosen
ngobrol, Ali Topan permisi pulang.

"Nanti malem ke rumah Gevaert, Bob. Kongko-kongko."

"Jangan kebanyakan kongko, ujian sudah di depan congor kita, Pan. Ntar ngga
lulus gua bisa ngga diaku anak oleh babe gua."

"Oh ya?"

Malam harinya mereka berkumpul. Ceritanya belajar bareng, tapi toh acara saling
`ngeledek' tetap berjalan. Tiga nama perempuan: Anna Karenina, Farah dan
Meiske merupakan topik yang menyenangkan Bobby. la menyatakan bahwa
perempuan itu cenderung merusak karier, mengganggu pelajaran. la mengatakan,
sebelum jadi sarjana, sebaiknya orang lelaki jangan pacaran sama perempuan.

Bahaya, katanya.

"Tergantung perempuannya, kalau hatinya memang busuk, ya merusak, kalau


hatinya baik ya bikin baik, Bob. Kalau si Farah mah, rasanya berhati emas," kata
Gevaert. "Berapa karat?"

"Dua puluh lima karat!" "Wah. Monas kalah dong?"

"Jangan sentimen lu. Belon kena sentuh perempuan lu ya? Sekali kena panah
asmara, mabok dah lu."

"Oh ya?"
"Iya."
"Yah, mudah-mudahan deh gua kuat iman. Rasanya sih, tipe ideal gua belum lahir
ke dunia. Kalau perempuan biasa saja sih, sorry deh, geli gua. Paling dikit sih
selevel sama Putri Caroline dari Monaco."

"Lu ngomong gitu waras apa lagi sakit?" kata Ali Topan.

"Waras. Kenapa? Gua kan gini-gini masih ada tetesan darah biru. Bangsawan Yogya,
mack. Asal paham saja."

"Oo darah nenek moyang lu kecampuran tinta dong? Lu jual ke pabrik Parker bisa
laku tuh."

134
Sampai di situ ledek-meledek selesai. Ali Topan tahu, kalau
diteruskan, Bobby bisa kalap. Omongan dibelokkan ke buku-
buku pelajaran. Demikian sampai jauh malam.

135
ENAM BELAS

Enam belas hari sebelum ujian, skorsing Ali Topan dicabut.


Pak Broto Panggabean berhasil melembutkan hati lbu Dewi,
sehingga Ali Topan tak perlu minta maaf di atas kertas
bersegel. Soalnya Pak Broto pernah memanggil Ali Topan, Ali
Topan berkeras lebih baik tidak usah ikut ujian daripada
disuruh minta maaf. Pak Broto yang bijaksana memahami
kekerasan jiwa muridnya. Lantas segalanya bisa diselesaikan
dengan caranya yang bijak.

Kepada Ibu Dewi ia memberi jaminan pribadi dan mengatakan bahwa Ali Topan
menyatakan penyesalan, secara lisan serta berjanji tidak berbuat ulah liar lagi.

Kepada Ali Topan ia berkata bahwa Ibu Dewi juga menyatakan penyesalan telah
membesar-besarkan persoalan. Begitu cara Pak Broto Panggabean.

Sampai hari ujian sekolah tiba, teman-teman sekelas melihat bahwa hubungan Ali
Topan dan Anna Karenina mendingin. Mereka mengira peristiwa yang lalu
menjadi .sebab gawatnya hubungan itu. Ali Topan jarang bicara dengan Anna. Dan,
Anna pun mengambil sikap yang sama. Sebetulnya tidak begitu. Itu cuma taktik
mereka saja. Ali Topan telah memberi surat pada Anna. Isinya singkat.Anna sayang.

Sampai ujian selesai, kita bikin situasi mendingin dulu deh. Kamu belajar baik-balk,
sayapun demikian. Kamu berkonsentrasi untuk lulus, sayapun demikian pula.

Sesudah ujian selesai, kita bikin keindahan yang lebih dari masa lalu. Pokoknya,
begitu deh. Kita bersandiwara sedikit, biar nggak jadi bahan gosip.Okey sayang?
Harus okey dong. Cintamu selalu, Ali Topan.

Demikian bunyi surat yang disampaikan langsung oleh Ali melalui kantor pos.

Surat itu dialamatkan ke rumah Anna, dengan nama pengirim Siti Sundari.

Maka ujianpun berlangsung seperti yang direncanakan oleh pemerentah. Tenang,


lancar dan beres.Para murid menjalani ujian dengan perasaan seperti bapak dan
ibu mereka. Ada yang gelisah, ada yang grogi, ada yang deg deg gung, ada yang
tenang dan ada pula yang menggerung-gerung karena merasa goblog. Tapi tak ada
yang bunuh diri.

Ali Topan merasa mantap. Anna Karenina pun demikian pula. Bobby sedikit grogi.

Dudung pas-pas-an. Gevaert stel yakin.

"Kita telah bekerja maksimal, kalau nggak ada sabotase rasanya kita boleh
mendaftar ke Ul. Coba Dung, besok tanya ke Ul apa pendaftaran mahasiswa baru
sudah dibuka untuk umum," kata Ali Topan ketika hari terakhir ujian telah mereka
lewati.

"Bagian naon?" tanya Dudung.

136
"Bagian yang bisa demonstrasi!" sahut Ali Topan, lalu ketawa
yang di sambut oleh ketiga temannya dengan nada yang
berlainan.

Hari libur melahirkan peristiwa yang aneh bagi 4 sekawan itu.


Gevaert diusir oleh orangtua Farah ketika ia berkunjung ke
rumah perempuan yang ditaksirnya itu.

Soalnya sederhana. Pada suatu malam ia kepergok mencipok pipi Farah di teras
rumah pas bapak si Farah melongok dari celah pintu. Sejak peristiwa naas itu,
Gevaert patah arang.

"Nyipoknya cuma sedikit, tapi malunya itu nggak ketulungan, mack," kata Gevaert
kepada Dudung. la tak berani mengadukan ikhwalnya ke Ali Topan, takut temannya
itu mendatangi rumah Farah dan melabrak bapak si Farah. Dia mengadu pada
Dudung, sebab merasa senasib.

Dudung sendiri mengalami malam apes juga. Rupanya, Meiske itu punya pacar
seabreg-abreg. Ketika Dudung mengunjunginya pertama kali pada suatu malam
Minggu, di rumah Meiske berderet tiga buah mobil. Fiat 125 dan Mercedes 200
milik anak-anak geng Ngos-ngosan, sedangkan Toyota Hardtop milik anak geng
RememberMe. Di depan hidung Dudung, yang datang pakai motor saja, Meiske
dicium oleh Troy, anak gang Remember Me. Nyiumnya sih nyerobot, hingga
Dudung dan anak-anak geng Ngos-ngosan yang melihat jadi merinding. Tapi
berhubung Meiske cengar-cengir saja, urusan tidak bisa ditarik panjang.

"Harga diri gua rasanya kebanting banget, Vaert. Soal tampang sih, berani diadu
gua, tapi soal materi nyerah deh," kata Dudung bersungut-sungut, "gua pikir si
Meiske nggak materialis, eh ternyata gila harta juga," tambahnya.

"Menang di tampang kalah di bensin, gitu Dung? Lu jajal lain kali, bawa bensin dua
drum," kata Gevaert.

"Buat apa?"

"Buat bakar rumah si Meiske!" Dudung menyeringai.

"Nasib kita kayak cerita di komik saja, kebagian apesnya melulu. Gua mau nekat
kayak si Topan, belum sanggup rasanya. Gila, babe si Farah punya pestol. Kalau
gua ditembak bisa celaka. Iya kalau kena jantung langsung meninggal, kalau kena
mata kaki kan nyeri betul, Dung," kata Gevaert.

"Kabar dia sama Anna gimana ya? Ada perkembangan baru kayak apa ya? Perlu
juga kita tanya bos kita. Jangan kita melulu yang kebagian apes, dia juga mesti
ngerasain dong," kata Dudung.

Ketika mereka menemui Ali Topan di rumahnya, wajah pemimpin mereka tampak
memuaskan. Ali Topan baru selesai membaca surat dari Anna, pakai tanda
romantis. Surat itu ditandai dengan tanda gambar gincu dari bibirnya.

137
"Waduh, sudah sampai taraf hot," kata Gevaert ketika Ali
Topan memperlihatkan tanda gambar bibir itu. "Udah
ditentukan apa belon?" tanya Dudung. "Apanya?"

"Kawinnya!"

"Gua bagian nerima kadonya aja, Pan. Kali-kali aja ada arloji
yang nyelip," kata Gevaert menggoda.

"Gua bagian nyari orkesnya. Bakal ngibing," kata Dudung.

Ali Topan berhaha-hihi mendengar olok-olok kedua temannya itu.

"Cita-cita sih setinggi bintang, sayang bintangnya ngga selamanya bersinar terang,
mack. Rasanya sih gua bakal backstreet. Gua sendiri sih nggak doyan backstreet-
backstreet-an, tapi Anna nekat aja," kata Ali Topan.

"Rasanya semua orang pacaran di dunia ini pakai acara backstreet. Orang dulu
backstreet-nya lebih serem, itu kata papa gua, Pan," kata Gevaert.

"Iya, tapi mereka kan nggak fair. Rasanya gua belum pernah dengar ada orangtua
ngaku backstreet pada jaman mereka pacaran dulu. Memang begitu, seperti kata
orang bijaksana, manusia sering lupa dengan kelakuannya sendiri. Ibarat King
Kong di depan kacamata ngga keliatan tapi Cucu Monyet di seberang hutan
keliatan sampai ke biji-bijinya! Aih, sudahlah, ngomong soal orangtua bikin capek
kita aja, Vaert. Pokoknya kita bikin sejarah sendiri sajalah," kata Ali Topan dengan
gagah. Kalau dia sudah bicara yang agak berbau filsafat, teman-temannya
mengiyakan saja. Kagum.

"Jadi, gimana sambungan percintrongan lu sama Anna?" tanya Gevaert lagi.

"Ali Topan berusaha, Tuhan menentukan," jawab Ali Topan, "Kalian bantu doa
saja," sambungnya.

"Ada komisinya dong?"

"Ada! Ada! Tinggal pilih saja, mau kepalan tangan kanan atau tangan kiri. Tangan
kanan masuk kuburan, tangan kiri nyangkut di rumah sakit," sahut Ali Topan
sambil tersenyum khas. Dudung meleletkan lidahnya. Gevaert menggaruk-garuk
kulit kepalanya. Mereka memandang Ali Topan yang sangat mereka kagumi
kegagahannya.

"Tunggu kabar lebih lanjut deh, kalian. Gua mau bikin kejutan cinta dalam
beberapa hari ini," kata Ali Topan. la mengerjapkan mata ke arah Dudung dan
Gevaert, lalu berjalan pergi meninggalkan mereka.Tidak sulit bagi Ali Topan
melaksanakan niatnya untuk berhubungan dengan Anna, walaupun telepon di
rumah Anna disensor. la pergi ke rumah Maya dan minta tolong gadis itu
meneleponkan Anna. Begitu hubungan sudah didapat, Maya memberikan
kesempatan kepada Ali Topan.

138
Nyonya Surya yang menerima telepon dan menyampaikan
kepada Anna. Nyonya Surya tidak pernah mengira bahwa yang
kemudian mengobrol di pesawat telepon itu Ali Topan yang
sangat dibencinya. la tidak tahu, pembicaraan di telepon itu
adalah pembicaraan yang gawat. Ali Topan dan Anna
merencanakan pertemuan rahasia.

139
TUJUH BELAS

Dua hari kemudian di Taman Ria Senayan. Matahari bergerak


pelahan, sinarnya menghangati pagi. Ali Topan dan Anna
Karenina berjalan bergandengan tangan dari pintu masuk
menuju pohon flamboyan yang tegak di tepi danau Angsa
Hitam. Disebut Danau Angsa Hitam sebab danau itu tempat
memelihara angsa-angsa hitam yang didatangkan dari luar
negeri.

Bunga-bunga flamboyan melayang ditiup angin, menari-nari bagaikan balerina,


jatuh ke permukaan danau, sopan tampaknya.

"Pagi yang indah sekali," gumam Ali Topan sambil memandang wajah Anna
Karenina, "seindah lagu Koes Bersaudara," sambungnya.

Kemudian, sambil melangkah pelahan, Ali Topan menyenandungkan lagu Pagi


yang Indah Sekali ciptaan Tonny Koeswoyo. Anna Karenina mendengarkan dengan
seksama senandung Ali Topan:

Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku dah pergi Dan tak
kan mungkin kembali ............

Anna Karenina tercekam mendengarkan syair lagu yang dinyanyikan Ali Topan. la
berhenti melangkah. Matanya sayu mengawasi Ali Topan.

"Gadismu t'lah pergi? Siapa yang pergi? Kenapa dia pergi, Topan?" tanya Anna
Karenina dengan lemah lembut.

Ali Topan memandang Anna. Ia tersenyum, lalu menggandeng Anna, berjalan lagi
menuju rerumputan di bawah flamboyan. Ali Topan duduk, tapi Anna tetap berdiri.

"Ayo duduk, Anna...," kata Ali Topan.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku. "

"Soal nyanyian tadi?"

Anna Karenina mengangguk. Ali Topan tertawa kecil.

"Yang pergi itu gadisnya Tonny Koeswoyo, bukan gadisnya Ali Topan. Perginyapun
di dalam lagu. Ngerti, An?" kata Ali Topan,

"Ayo duduk dong. Jangan sampai pagi yang indah ini pecah oleh kesedihan yang
aneh," sambungnya.

"Kamu merasa sedih?" tanya Anna sambil duduk di depan Ali Topan.

140
Ali Topan tak menjawab. la memandangAnna Karenina
dengan seksama. Tampak olehnya sinar mata gadis itu
menyimpan kesedihan, walaupun bibirnya mengulum
senyuman.

"Kamu merasakan kesedihan yang aneh?" tanya Anna lagi. Ali


Topan mengangguk. la memang merasakan sesuatu, semacam
kesedihan yang halus sekali, tidak kentara, tapi hadir dalam
suasana yang indah.

"Kamu sih nyanyi lagu itu. Lagunya bagus, tapi sedih ya.

"Iya," kata Ali Topan polos.

"Seharusnya kita gembira bisa bertemu. "

"Ya, seharusnya begitu. Nah, ayolah kita bergembira. La la la la la la ... ," kata Ali
Topan. Iapun bertralala, cukup keras, sehingga sepasang angsa hitam yang sedang
berenang berduaan di danau kecil menengok ke arahnya. Ali Topan menunjuk ke
arah angsa-angsa hitam, lalu berkata terus:

"Lihat, lihatlah! Angsa angsa hitam memandang kita. Mungkin keduanya berbisik-
bisik, bicara tentang kita, An. Tuh, tuh, tuh mereka tersenyum pada kita"

"Mana ada angsa tersenyum?"

"Pasti mereka tersenyum. Dan pasti mereka bisik bisik tentang kita. Kamu tahu apa
yang mereka bicarakan,An?"

"Tahu."

"Apa?"

"Yang jantan bilang, he liat tuh Si Ali Topan sedang merayu ceweknya. "

Ali Topan tertawa tergelak gelak mendengar perkataan Anna yang sungguh di luar
dugaannya. Sukacita sekali hati Ali Topan. Demikian pula halnya dengan Anna
Karenina. Pasangan remaja yang sedang diamuk cinta itu lantas lupa pada
kesedihan yang baru saja mereka bicarakan.

"Kamu tau apa ngga, kenapa angsa itu bulunya hitam?" tanya Ali Topan.

"Nggak tauk!"

"He, pikir dulu dong. Belum apa-apa udah bilang nggak tauk!"

"Kami juga mikir dong, kalau ngasih pertanyaan yang bener. Angsa bulu hitamlah
ditanya kenapa bulunya hitam. Kamu tanya aja sendiri ke angsanya, jangan tanya
saya," kata Anna Karenina.

141
"Kalau kamu bertanya kenapa saya cantik, mungkin saya bisa
jawab," sambungnya sembari mengulum senyuman
bertendens.

Ali Topan melengak. Ternyata Anna pandai pula berseloroh.

"Lho, kamu cantik toh? Saya baru tahu." Kata Ali Topan.

Wajahnya distel bodo.

Anna kaget mendengar perkataan itu. "Menurut kamu, saya ini cantik apa tidak?"
"Menurut saya sih biasa-biasa saja," sahut Ali Topan. "Uh! Memerah lah wajah
Anna mendengar perkataan yang lugas itu. Mulutnya terbuka karena saking
bengongnya. la menjublag seperti patung. Matanya berkedap kedip seperti angsa
hitam.

"Lho, mengapa? Apa Saya salah omong?" Anna menggeleng.

"Kamu marah?"

Anna menggeleng lagi. Sinar matanya mendingin. Tadi itu ia punya niat bermanja
manja pada Ali Topan. la ingin sekali dipuji cantik oleh Ali Topan. Ternyata
jawaban yang ke luar bukan sebagaimana yang diinginkan.

Ali Topan segera meraba perasaan Anna. Sambil memajang senyuman, iapun
berkata lembut, "Jangan marah dong. Siapa yang tidak tahu kalau kamu cantik?
Lihat bunga flamboyan, angsa hitam dan telaga serta seisi taman ria ini, masih
kalah cantik denganmu, Anna. Tadi itu, Saya bilang kamu biasa-biasa saja, supaya
jangan kelewat mekar, tau?"

"Nggak!"

"Nggak tau?"

"Masabodo!"

"Siapa yang bodo?"

"Kamu!"

Ali Topan ketawa keras sekali. Anna tampak keki betul oleh godaan-godaannya.
Wajah Anna cemberut, omongannya ketus, tapi sinar matanya makin lama makin
berbinar. Ada keriaan di antara cahaya matanya.

Ali Topan menjentik ujung hidung Anna. Dan gadis itupun tersenyumlah.

"Kamu nakal,. Suka menggoda saya," kata Anna.

"Lho, apa kamu nggak pengen saya goda?" Anna mendelik,dengan kagetnya.

142
"Pengen? Pengen? Amit amit jabang bayi! Emangnya saya
perempuan murahan ya?!" kata Anna. Dia mendelik terus
sampai biji matanya hampir keluar. Marah betul rupanya.

"Lho, saya main-main kok kamu serius?" kata Ali Topan


dengan penuh kerendahan hati. Ditatapnya Anna,
ditembaknya gadis itu dengan senyuman yang polos, dan
diusapnya anak rambut yang jatuh di kening sang gadis.

Maka hati Anna luluh. Kemarahannya mereda. Senyumnya muncul kembali


pelahan lahan.

"Ali Topaaan...," gumam Anna. Manja.

"Hm?Apa sayang?"

"Kamuu.... Kamu..... “

"Kenapa?"

"Jangan nakal ya?"

Ali Topan tak menjawab. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya saja. Anna Karenina


menatapnya, menunggu jawaban. Tapi Ali Topan tak mau menjawab.

"Kamu nggak denger saya ngomong?" Tanya Anna.

“Denger’

"Saya harap kamu jangan nakal ya? Ngerti maksud saya?"

Ali Topan tak mengerti bahwa maksud Anna, janganlah ia nakal dalam pengertian
bangor, main-mainkan perempuan. Kalau hati Anna bisa ngomong, tidak lebih
tidak kurang, kata-kata yang ke luar dari hatinya adalah: "I love you, my darling. I
love you banget. Tapi you musti love me juga dong. You jangan love cewek lain ......"

"Kalau lelaki nggak nakal bisa sepi Kebayoran. Nggak ada entertainment," kata Ali
Topan,yang masih bodo dalam soal percintaan. Kata-kata bersayap yang ke luar
dari mulut Anna, sulit ditangkapnya. Dia pikir, Anna berharap agar ia jangan suka
ngebut, tidak boleh begadang, dilarang bergentayangan di jalanan, dan lain lain
kegiatan rutinnya.

"Ah, kamu...," kata Anna,

"susah mengerti. "

"Lho, kan betul. Kalau anak lelaki nggak berandalkan lucu. Anak lelaki diam di
rumah udah liwat jamannya, Anna. "

"Liwat gimana?"

143
"Iya, sudah liwat, kayak tukang bakso. Nanti kalau ada lagi
jaman yang lain, kita panggilin deh," seloroh Ali Topan.

Anna Karenina tertawa geli. Lelucon Ali Topan benar-benar


pas di hatinya. Hatinya terbebas, rasanya dunia lain sekali.

Lebih indah dan lebih menyenangkan. Dipandanginya wajah


Ali Topan yang keren.

Ali Topanpun memandangi wajah Anna yang profilnya mirip bintang film Diana
Rigg.

"Anna...."

"Hm?"

"Bagaimana perasaan kamu pagi ini?"

Anna Karenina mendongak ke arah langit, menahan senyum kecil di bibimya, lalu
menjawab, "Biasa biasa saja: '

"Kurang ajar. Kamu balas dendam ya?" Anna mendelik karena makian itu.

"Ih! Kamu kalau omong seenak perut aja!" kata Anna dengan keras,

"lihat-lihat orangnya dong, kamu piker saya ini babu kamu apa, seenaknya memaki
kurang ajar! Saya benci kamu!" sambungnya.

Dengan wajah kaku dan sinar mata menyala-nyala, Anna segera berdiri. Ali Topan
menyekap mulutnya. la merasa menyesal. Makian kurang ajar itu begitu los
menyeplos ke luar dari mulutnya.

"Anna.... Saya tidak bersungguh-sungguh mamaki kamu. Saya menyesal


betul ........," kata Ali Topan. la berdiri pula, merendengi Anna. Tapi Anna segera
mamalingkan muka ke arah angsa hitam yang berenang-renang di danau buatan.

"Anna.....," kataAli Topan, lembut sekali.

Anna diam saja. Hatinya kesal betul. Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang
memakinya kurang ajar, dan orang itu justru Ali Topan yang disayanginya. Dalam
hatinya ia merasa sedih betul. Baru mulai jatuh sayang, baru mulai bersemi bunga
bunga cinta, orang itu sudah berani memakinya kurang ajar secara lugas.

Bagaimana kalau sudah kawin nanti dan beranak cucu? Barangkali bisa dibelah-
belahnya tulang belulangku, demikian kata hati Anna.

Anna termenung. Hatinya sedih betul. Ingin rasanya berlari menjauhi Ali Topan
yang kasar, tapi ada perasaan lain yang menahannya. la sendiri tak tahu daya tarik
apa yang menyebabkan ia tak sanggup berbuat apa-apa di depan Ali Topan.

144
Jangankan berhadapan, pada saat ia berjauhan, tak saling
tampak muka, angan-angan dan perasaannya tetap lengket
pada Ali Topan.

Tak terasa airmata membasahi pipi Anna. la menangis.


Terbayang olehnya, jalan nekat yang diambilnya untuk bisa
bertemu Ali Topan pagi ini. Pada saat ibunya ke wc, dan Boy
sedang membeli bensin, Anna pergi dari rumahnya. la
mencegat taksi yang segera membawanya ke warung gado-
gado Bibi Sexy. Ali Topan sudah menunggu. Dari warung Bibi Sexy, mereka
langsung ke Taman Ria Senayan.

Merana betul hatinya mengingat makian yang diterimanya dari Ali Topan. la cuma
bisa menangis. "Anna... jangan menangis...," bisik Ali Topan, sambil membelai
rambut Anna dengan jemarinya. Tapi Anna semakin menangis. Bahunya
terguncang-guncang menahan tangisan. Ingin rasanya berlari ke tengah danau dan
membenamkan kepalanya di dalam air. Ingin rasanya membunuh diri. Tapi itu
semua tak sanggup dilakukannya. la cuma bisa menangis. Dan menutupi wajahnya
dengan kedua belah tangannya. Airmata mengalir di antara jemarinya.

Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok!

Bunyi gamparan yang keras terdengar di belakangnya. Anna menoleh, refleks. Apa
yang terjadi membuatnya heran, dan otomatis mengerem tangisannya. Ali Topan
telah menggampari dirinya sendiri. Kedua pipinya berwarna merah, darah mengalir
dari bibirnya!

"Topaaaan!"Anna memekik, tubuhnya direbahkan ke Ali Topan. Mereka


berpelukan. Anna membenamkan kepalanya di pelukan Ali Topan, dan Ali Topan
mengusap-usap rambut gadisnya.

Angin berhembus.

Bunga-bunga flamboyan berguguran, melayang seperti kupu-kupu merah.

Angsa-angsa hitam berenang berkejaran. Indah sekali.

Jam tiga siang lewat beberapa menit, mereka meninggalkan Taman Ria Senayan.

Anna senyum, demikian pula Ali Topan. Ali Topan dengan gembira
memboncengkan Anna Karenina. Pelukan Anna di pinggangnya terasa kuat dan
hangat.

Rupanya, kehangatan masih belum boleh berlama-lama mereka rasakan. Tepat di


depan rumah Panbers Club Band di Jalan Hang Tuah Raya, sebuah Mercy
memotong motor Ali Topan, dan menggiringnya ke pinggir jalan. Dua manusia
bertampang murka turun dari Mercy itu. Ayah Anna dan Boy.

"Kamu bawa lari anakku, he?!" begitu kata ayah Anna sambil langsung
menghantam muka Ali Topan dengan tinjunya. Bug! Bug! Ali Topan terjengkang
saja dari sadel motornya! Melihat Ali Topan terjengkang, Boy ikut nimbrung,
145
menyepak perut Ali Topan! Begh! Begitu dia mengayunkan
kakinya, hendak menyepak kepala, Ali Topan berkelit dan
menangkap kaki itu. Langsung dipuntirnya, dan Boy langsung
menggrusak jatuh!

Fans Panbers yang kebetulan memenuhi rumah grup itu,


berhamburan ke luar, menonton pergumulan itu! Anna yang
mencoba memisahkan, ditarik ke dalam mobil oleh ayahnya.

la meronta ronta dan menjerit jerit, tapi tak berdaya.

"Boy! Sudah!" teriak Tuan Surya. Boy mendengar teriakan itu, tapi ia tak berdaya
memenuhinya, Ali Topan yang gusar mengamuk bagaikan badai! Dihajarnya Boy
habis habisan. Dalam sekejap, mata Boy bengap. Dan giginya rontok dua kena
dengkul Ali Topan.

Para penonton bersorak sorai.Hayooo! Hayooo! Hembat teruuuuus! Sodok! Sodok!


Libas! Libas! Horeeeeee! Yihuuuuuuuuy!

Sorak sorai itu terhenti, ketika Tuan Surya mengacungkan laras pistol ke arah Ali
Topan, dan berkata dingin: "Berhenti! Atau saya tembak kamu!"

Ali Topan menghentikan hajarannya. la memandang Tuan Surya dengan penuh


kebencian. la ingin rasanya menghajar batok kepala orang tua itu., supaya copot
dari batang lehernya. Tapi ada Anna di antara mereka......

Boy beringsut-ingsut ke mobil.

Tuan Surya mebukakan pintu, Boy pun masuklah. Disopiri Tuan Surya, mereka
berlalu. Anna duduk di belakang, memandang Ali Topan. Sepanjang jalan ia
memprotes ayahnya. Tapi si ayah tak menggubris protes itu. la langsung menancap
pedal gas Mercy, menuju rumah.

Ali Topan menjetik-jentikkan tanah yang mengotori pakaiannya. Orang-orang


masih berkerumun memandangnya.

"Ada apa sih?" satu orang bertanya. Ali Topan melirik orang itu.

"Ada tawon!" sahutnya, asal nyeplos.

Orang-orang ketawa. Tapi Ali Topan tidak. la segera menuju motornya, lantas
minggat dari hadapan penonton-penonton gratisan itu.

146
DELAPAN BELAS

Sejak peristiwa makdikipa di depan rumah Panbers, Anna


Karenina berstatus orang tahanan di rumahnya sendiri. Ke
mana-mana dikuntit terus.

Perkara dimarahi, cuma caci maki dalam bahasa Arab saja


yang belum diterimanya. Bahasa Belanda, bahasa Indonesia,
bahasa Inggris dan bahasa daerah, sudah. Larangan ke luar
rumah berlaku 24 jam, kecuali pergi dengan ibunya dan Boy. Lebih sial lagi, diam-
diam ayahnya menghubungi Tekab, polisi Team Khusus Anti Bandit, untuk
keamanan dan ketertiban Anna.

Sudah jelasAnna kesal dan bosen memperoleh perlakuan kurang ajar itu. Tapi ia
masih belum bisa bergerak. Pesawat telepon pun tidak boleh disentuhnya.

Komunikasi diblokir sama sekali. la ingin minggat. Itu keputusan hatinya.

Keinginan itupun datanglah pada suatu malam. Ayah dan ibunya sedang menemui
tetamu di ruang depan. Boy sedang disuruh beli rokok dan "seafood' untuk
menjamu tetamu. Para pelayan sedang repot di dapur.

Anna bersiap-siap. Untuk men-check situasi, ia pura-pura pergi ke dapur. "Beliin


kue pukis, Dah!" kata Anna pada Saodah, pelayan khususnya. Diberikannya uang
Rp500 pada Saodah. "Cepetan ya," Anna lagi. Meyakinkan.

"Iya, Non," sahut Saodah.

Begitu Saodah pergi, Anna Karenina segera beraksi. la masuk ke kamar mandi, dan
mengunci pintunya dari dalam. Dari balik tumpukan pakaian kotor di kamar mandi,
diambilnya tas plastik berisi celana jeans dan tiga buah kaos oblong.

Kamar mandi itu berjendela kaca yang cuma digerendel saja. Di luarnya, terdapat
taman bunga anggrek milik Nyonya Surya, di samping kiri rumah.

Anna membuka gerendel jendela dengan hati-hati. Kemudian, ia lolos dari jendela
itu. Tidak seorangpun tahu.Sampai di luar, ia memasang kupingnya. Terdengar
tawa ria para tamu dan orangtuanya dari kamar tamu, dan dengan dentingan
cangkir-cangkir dari arah dapur.

Setelah melongok-longok ke kanan kiri, Anna berlari, mengendap-endap di antara


pohon-pohon anggrek. Untuk mencapai jalan raya, ia harus melewati pintu bambu.

Dari pintu itu, ia masih harus melewati halaman depan rumahnya yang terbuka.

Jika ayah atau ibunya melihat ke arah halaman, sudah pasti ia ketahuan. Anna tak
mau gegabah. Ia mengatur langkah selanjutnya, sambil tetap merunduk di antara
pohon-pohon anggrek.

147
Saat repot mencari akal, mobil Mercy masuk ke halaman.
Anna kaget. Dan nyalinya menciut. Jika Boy sampai tahu,
gagallah rencananya.

Boy memarkir Mercedes di depan pintu, hingga agak


menutupi pandangan dari dalam ke luar. Anna mendengar
pintu mobil di tutup dan langkah kaki Boy menuju rumah.

Dengan menguatkan hati, ia bergerak cebat ke pintu bambu.

Dibukanya pintu itu perlahan-lahan. Kemudian melongok ke luar. Hatinya lega


tatkala melihat situasi membantu rencananya. Mobil Mercedes menghalangi
pandangan langsung ayah dan ibunya. la bisa berjalan jongkok, atau merangkak,
jika Tuhan mengizinkan, dalam beberapa detik ia sudah bisa mencapai jalan raya.

Setelah itu, urusan bisa lebih sip.Anna mengatur nafasnya.

Disebutnya nama Tuhan. Lalu ia beraksi. Digigitnya tas plastik berisi pakaian dan
dompet uangnya, kemudian ia merangkak cepat. Jarak yang Cuma beberapa meter
saja terasa panjang baginya. Hampir-hampir ia tersungkur karena kepalanya terasa
pening tiba-tiba.

Maklum, ia belum pernah merangkak lagi semenjak bayi dulu. Matanya berkunang-
kunang, tapi ditahannya sekuat tenaga. Jika kali ini gagal, tak ada kesempatan lagi,
demikian kata hatinya. Semangatnya untuk bebas tergugah lagi, bernyala-nyala.
Diteruskannya merangkak. Terus. Terus. Terus. Akhirnya'sampai juga.

Anna terengah-engah di depan pintu halaman rumahnya. Kaki dan tangannya


terasa pegal. Telapak tangannya perih. Tapi hatinya tetap kuat.

la berjalan ke pohon mahoni di tepi jalan di depan rumahnya. Dari situ ia menoleh,
memandang ke arah rumah. Cahaya lampu menerangi halaman. Genting-genting
hitam. Hatinya tercekat, dilanda kesedihan, ketika melihat rumahnya. Ingin ia
tetap tinggal. Tapi perasaannya tak sanggup menahan tekanan yang dilancarkan
oleh orangtuanya. Apalagi ada Boy, manusia yang tak disukainya.

Suara tawa ayahnya memenuhi udara. Terbahak-bahak. Anna menggigit bibirnya.

la muak pada suara itu. Suara tawa orang yang egois dan kejam. Tanpa buang
tempo lagi, Anna berlari menyeberangi jalan. Sebuah taksi kebetulan lewat.

Distopnya.

"Ke mana?" tanya sopir taksi, setelah Anna masuk ke dalam taksinya.

"Ke rumah Maya!" sahut Anna, tanpa sadar. "Ke rumah Maya? Di mana?" tanya
sopir taksi.

Anna menyebutkan alamat Maya. Pak sopir taksi mengantarkannya, tanpa banyak
bicara. Taksi berhenti di depan rumah Maya. Argometer menunjukkan Rp360.
Anna memberikan Rp500.
148
"Nggak usah dikembaliin," katanya.

"Terima kasih. " Taksi pergi lagi.

Anna Karenina berdiri, melihat arlojinya. Jam 21.07. Sesudah


taksi menghilang di tikungan, Anna masuk ke rumah Maya.

Pembantu rumah membukakan pintu untuknya.

"Lho, Neng Anna? Sama siapa malem-malem ke sini? Neng Maya lagi nonton pilem
sama bapak dan ibu," bisik Bik Isah, pembantu rumah Maya.

"Pergi?"

Bik Isah mengangguk.

"Ada perlu penting?" Anna berpikir sebentar.

"Boleh pinjem telepon, Bik?"

"Boleh, boleh. Silakan."

Anna diantarkan ke tempat telepon. Bik Isah memperhatikannya dengan heran.

"Rupanya seperti sedang bingung, Neng?"

"Ah, nggak ada apa-apa, Bik!" kata Anna sambil memutar nomer tilpon.

Ali Topan sedang mengambil apel dari lemari es, ketika tilpon berdering. Mula-
mula dibiarkannya deringan itu. Lama-lama ia merasa risi.

Ia pergi ke tempat telepon, dan mengangkat gagangnya. Lantas ia terkejut ketika


mendengar suara Anna.

"Halo! Anna! Apa kabar?"

Secara singkat Anna membeberkan kisahnya.

"Okey! Okey! Aku datang!" kata Ali Topan. Kemudian, tanpa membuang tempo lagi,
ia bergegas ke kamarnya, mengambil jaket, lalu keluar mengambil motornya.

Kurang dari lima menit, Ali Topan sudah sampai di rumah Maya. Dijumpainya
Anna yang menunggu di kamar tamu.

"Haiii..." "Hai. . ..." Keduanya berhai-hai dan tertawa riang. "Kangen deh."

"Aku juga kangen. "

149
Mereka tertawa lagi. Lalu saling berpegangan tangan. Saling
memandang. Keduanya tak mampu berkata-kata lagi. Sorot
mata penuh kerinduan telah berarti sangat banyak.

"Hem! Hem!" Bik Isah berdehem dari pintu. Ali Topan dan
Anna baru tersadar bahwa mereka sedang berada di rumah
orang.

"Yuk, kita pergi," kata Ali Topan.

"Yuk," kata Anna.

Mereka pamit pada Bik Isah.

"Lho, nggak nunggu?" Bik Isah nyeletuk.

"Nunggu siapa?" Tanya Ali Topan.

"Nunggu diusir."

"Sialan lu, Bik! Becanda kaya anak-anak sekolahan aje," kata Ali Topan. Tapi ia
tidak marah.

Annapun tersenyum. Rasanya, keindahan pertemuan mereka mampu mengusap


dan mendinginkan rasa marah yang bagaimanapun besarnya.

Di luar hawa dingin. Ali Topan mencopot jaketnya, dikenakannya pada Anna.

"Kamu aja yang pakai. Dingin," kata Anna.

"Biarin. Kamu aja yang pakai." Ali Topan memaksa. Akhirnya Anna mau juga.

"Ke mana kita?"

"Ke rumah Mbak Ika, di Depok:'

Ali Topan menghidupkan motornya. membonceng di belakangnya.

"Pegangan baik-baik, An."

Anna menurut. Dirapatkannya badannya ke punggung Ali Topan dan dipeluknya


tubuh gacoannya dengan erat dan kuat. Lantas sepasang remaja yang sedang
dibadai cinta itu, berlalu, menyatu dengan malam, menuju Depok yang terletak di
luar kota.

Di rumah Anna sedang ada acara makan malam. Pak Surya dan istrinya ramah
sekali menjamu tetamunya. Di mata para relasi, keluarga Surya memang dikenal
ramah-tamah dan baik budi bahasanya.

"Mana anakmu, Sur?" tanya Pak Karno, tetamunya. "Dia sedang ngadat, mengeram
di kamarnya," kata Pak Surya.
150
"Lho, kenapa ngadat? Suruh keluar dong. "

"Tidak mau dia. Biarlah."

Pak Karno memanggil Saodah yang mengantarkan tusukan


gigi.

"He, bik, panggilkan nonamu. Bilang, mau dikasih duit sama


Pak Karno, gitu," kata Pak Karno. Bik Saodah melihat ke arah majikannya,
menunggu persetujuan.

"Tak usah, tak usah bilang mau dikasih duit. Bilang saja, Pak Kamo ingin ketemu.
Sana, cepat," kata Pak Surya.

Saodah pun pergilah ke kamar nonanya. la memutar pegangan pintu. Terkunci.

la mengetuk lebih keras dan memanggil lebih gencar, tetap tak ada jawaban.

Akhirnya ia kembali lagi ke ruang makan, melaporkan hasil kerjanya yang sia-sia.

"Saya nggak dijawab, Tuan."

"Lho, kenapa ngga dijawab?"

"Saya kurang paham. Barangkali Neng Anna sudah tidur. Tadi saya disuruh beli kue
pukis, tapi sewaktu saya antarkan, pintu kamarnya dikunci”

"Lho, kok bisa begitu?" tanya Pak Surya.

"Apa makan pil tidur? Atau narkotik?" tanya Pak Karno. Orang ini memang sedikit
bego. Profesinya pelukis ekspresif, jadi kalau ngoceh juga ekspresif betul.

"Hus!" istrinya yang pendiam, meng-hus-nya. Pak Karno tertawa terkekeh-kekeh.

"Aku cuma berkelakar saja," katanya. Tapi kelakarnya kali ini tak masuk di otak Pak
Surya yang sedang diganggu oleh pikiran curiga.

"Coba aku lihat dia!" kata Pak Surya, lantas segera bangkit dari kursinya dan
berjalan menuju kamar Anna. "Anna! An! Annaaaa! Buka pintuu!" seru Pak Surya.

Berulang-ulang ia memanggil nama anaknya, berkali-kali ia menggedor pintu


kamar itu, tapi bunyi kentutpun tak terdengar dari dalam.Akhirnya beliau
penasaran seperti Oma Irama. Dan bermaksud membongkar pintu.

"Bongkar saja pintunya, Pap!" seru istrinya, memberi semangat. Sang istri merasa
malu pada tetamunya, karena anaknya bandel, tak mau mendengar panggilan
orangtua.

Ditonton oleh tetamunya, Pak Surya memasang kuda-kuda. Tangan kanannya


diangkat ke atas, tangan kirinya ditekuk ke bawah puser. Kaki kanannya ditekuk
151
sedikit ke belakang seperti gaya Iswadi menendang bola,
sedang kaki kirinya diajukan ke depan seperti gaya tukang
nandak di Pasar Senen. Setelah mengempos nafas sesaat,
diterjanglah pintu kamar Anna. Gubragh! Jebollah pintu yang
terbuat dari tripleks itu. Pak Surya kehilangan keseimbangan
dirinya, ngusruk ke dalam.

Kosong!

"Haaah?" ia cuma bisa bengong,tidak menjumpai Anna di dalam kamar.

Pak Karno dan Nyonya Surya yang terbirit-birit ke dalam kamar, menjadi heran
pula.

"Lho, kosong? Ke mana anakmu?" tanya Pak Karno sambil membantu Pak Surya
berdiri.

"Kemana dia Mam?" Pak Surya malah balik bertanya pada istrinya.

Nyonya Surya cuma mengangkat bahu saja. Boy yang terburu-buru datang, dan
para babu yang kaget karena mendengar suara gedubragan, juga menampilkan
wajah tak tahu.

"Anakmu minggat, Mam!" kata Pak Surya.

"Lho, kok minggat? Gimana to duduk-perkaranya?" Pak Karno menyela, "apa dia
tak betah di rumahnya?" Pak Surya dan istrinya saling berpandangan.

"Coba cari dulu di sekeliling rumah, Mam," kata Pak Surya. Istrinya menurut.
Kemudian, semua orang mencari Anna. Pencarian yang sia-sia.

"Boy, siapkan mobil!" kata Pak Surya, setelah pasti anaknya kabur dari rumah.

Kemudian ia menoleh ke Pak Karno. "Wah, maafkan saya, Pak Karno. Saya musti
cari anak saya. Teruskan daharnya, biar ditemani istri saya saja."

"Waa, iyaa, anak hilang musti dicari. Soal makan, tidak usah ditemani juga tidak
apa-apa, Pak Surya...," kata Pak Karno dengan nada polos.

"Terima kasih atas pengertiannya.... ," kata Pak Surya. "Mudah-mudahan anakmu
cepet ketemu," balas Pak Karno.

Lalu keduanya saling membungkuk seperti gaya pegawai kraton Yogya.

"Saya pamit dulu. Permisiiii." "Monggoooo," sahut tetamunya. Pak Surya segera
keluar.

"Cepat jalan, Boy!" perintahnya, ketika sudah masuk ke dalam mobil.

"Ke mana?"

152
"Pokoknya jalan saja dulu."

Boy patuh. Mobil dijalankan cepat meninggalkan rumah,


diikuti pandangan mata cemas dari Nyonya Surya dan para
pembantu rumahnya.

Jam 02.37 dinihari, Pak Surya dan Boy pulang ke rumah.


Tanpa Anna.

Ny Surya membukakan pintu untuk mereka. "Bagaimana, Pa?" tegurnya.

"Tak ada. Sudah kucari ke mana-mana," sahut Pak Surya, lesu.

"Jadi, bagaimana dong?"

"Esok saja kita cari lagi. Kalau perlu minta bantuan polisi. Sekarang aku letih, ingin
tidur," kata Pak Surya menggerumel.

Nyonya Surya termangu-mangu mendengar kata-kata suaminya. Perasaannya


melayang ke masa lalu. Kenangannya langsung ke Ika, yang akhirnya kawin tanpa
rencana.

"Apa dia tak pergi sama anak bergajul itu, Pa?" tanya Nyonya Surya. Yang
dimaksudkannya Ali Topan. "Besok sajalah kita urus lagi. Kepalaku pening, tak bisa
mikir apa-apa lagi, Mam...," kata Pak Surya, lalu masuk ke kamar tidurnya.

153
SEMBILAN BELAS

Depok adalah sebuah kota kecil yang terletak di antara Jakarta


dan Bogor. Kota ini terkenal dengan "Belanda" Depoknya,
yakni satu macam masyarakat pribumi yang "di-belanda-kan"
oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan dulu.

Menurut ceritanya, beberapa keluarga pribumi Depok diberi


nama famili Belanda, diajar berbicara Belanda dan apapun
yang berbau penjajah gila tersebut.

Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi dari Depok, kelompok masyarakat
binaan penjajah itu berkembang tanpa majikan. Kultur yang ke-belanda-belanda-
an terbentur lagi pada kultur pribumi asli.

Tapi sampai sekarang, sisa-sisa budaya "binaan" itu masih membekas pada
kelompok masyarakat Depok. Maka, orang luar Depok akan heran, kalau
menjumpai orang Depok yang kerjanya jadi tukang gali sumur, kulit tubuhnya
putih karena panu yang merata di sekujur tubuhnya, bisa bicara Belanda.

Rudy dan Riem De Wolf dari grup The Blue Diamond yang beken itu, juga
kelahiran Depok. Ika dan suaminya menempati sebuah rumah kecil di dekat rumah
kelahiran Rudy dan Riem.

Rumah mereka kecil tapi asyik, merupakan hadiah perkawinan dari ayah Iqbal. Ika
yang mendesak untuk tinggal di Depok, karena merasa tidak betah hidup di Jakarta,
berdekatan dengan orangtua yang membencinya.

Iqbal punya beberapa truk yang disewakan, di samping itu, ia menjadi leveransir
pasir untuk proyek-proyek pembangunan di Jakarta. Istrinya membuka usaha es
mambo. Jadi, dalam soal materi mereka cukup, namun mereka masih merasa
belum tentram benar. Setiap saat mereka menunggu agar Tuan dan Nyonya Surya
mau mengakui Saibun sebagai cucu. Saibun adalah anak lelaki mereka yang sudah
berumur satu setengah tahun.

"Aku khawatir, Papa dan Mama menuduh kita mendalangi pelarian Anna dan
pacarnya itu. Kita makin dibenci saja nantinya," kata Ika pada suaminya. Mereka
duduk di ruang kerja lqbal di bagian depan rumah. Ali Topan dan Anna sudah dua
hari di rumah mereka.

"Kamu merasa mendalangi apa tidak?" tanya Igbal.

"Tidak. "

"Ya sudah. "

Ika memandang suaminya. Matanya memang memancarkan kekhawatiran yang


besar. la khawatir, kasusnya akan terulang pada adiknya. Ia takut Anna hamil,
seperti peristiwanya sendiri. Sebagai kakak ia ingin Anna pada saatnya menikah
dengan cara baik-baik.

154
"Kenapa bengong?" tanya suaminya.

"Kuatir."

"Anna bunting?" Ika mengangguk.

"Nggak usah kuatir. Mereka anak baik. Nggak seperti kita,"


kata suaminya, sambil tersenyum.

Ika pun tersenyum.

Jam berdentang, pukul sembilan.

Sepasang kupu-kupu terbang dekat mereka. Bagus warna bulunya.

"Bakal ada tamu gede nih," kata Iqbal.

"Moga-moga bawa rejeki," sahut istrinya, sambil memandang kupu-kupu yang


terbang kian ke mari.

Jam setengah satu, Anna dan Ali Topan datang dari tempat main mereka,
persawahan di bagian Timur Depok. Mereka pacaran di sawah-sawah.

Igbal dan Ika tersenyum menyambut mereka. "Sudah capek?" tanya Ika.

"Capek apa? Nggak capek, cuma laper," sahut Anna. "Kalau lagi pacaran memang
rasanya nggak capek-capek ya," goda Ika sambil bermain mata dengan suaminya.

"Idih! Bisa aja, Mbak Ika," sahut Anna. Wajahnya bersemu dadu, malu. Ali Topan
tersenyum simpul saja. "Nggak usah malu, kita udah paham. Kan kita juga pemah
pacaran, ya Pa," Ika masih menggoda.

"Mana Saibun?" Anna mencoba mengalihkan pembicaraannya. la merasa malu


digoda secara terbuka oleh kakaknya.

"Sedang main ke rumah tetangga. Belajar cari makan sendiri"' kata Igbal. Bicaranya
pelahan, tapi bikin ketawa semua orang.

Saat mereka sedang ketawa-tawa, datanglah kejutan. Terdengar dua buah


kendaraan berhenti di depan rumah mereka. Satu Jip Willys berisi empat orang
polisi, satu lagi Mercedes Benz disopiri Boy, mengawal Tuan dan Nyonya Surya.

Pucat wajah Anna melihat ayah-ibunya datang bersama alat negara. Ika juga agak
gemetar. Ali Topan dan Iqbal tetap tenang.

Tuan dan Ny Surya tampak ragu-ragu turun dari mobil. Masih ada rasa angkuh.
Jangankan menginjak rumah anak mantu, sedangkan si anak mantu datang ke
rumah minta berkah saja, mereka usir.

155
Para polisi bersiap. Dua orang polisi dari Komwilko 74,
Jakarta Selatan, dua orang lagi polisi Depok sebagai penunjuk
jalan.

"Ini rumahnya, Pak!" seorang agen polisi Depok berkata pada


Pak Surya. Barulah Pak Surya turun, diikuti istrinya dan Boy.

Mereka berdiri. Garang. Iqbal membukakan pintu.

Ika muncul di belakangnya, berlari menyambut orangtuanya.

"Mamaaa! Papaaaa!" seru Ika. la membuka tangannya, hendak memeluk ayah dan
ibunya. Tapi wajah orangtuanya tegang. Jangankan menyambut dengan pelukan,
tersenyum pun tidak! Apalagi ketika Tuan Surya melihat Iqbal, rasa bencinya
kambuh dengan hebat.

"Mana Anna? Suruh keluar dia" hardik Pak Surya.

"Silakan masuk Papa. Silakan Mama...," Ika mempersilakan papa dan mamanya.

Airmatanya berlinang-linang.

"Tak Perlu Tak perlu masuk!" kata Pak Surya. Suasana tegang. Ketegangan yang
mengharukan.

"Anna di sini, Ika?" suara lembut memecah ketegangan suasana. Suara Nyonya
Surya. Ibu ini akhirnya tak mampu menahan keharuan hatinya. Terlalu lama ia
memendam kerinduan. Terlalu lama ia mencoba mengalahkan kerinduan itu
dengan keangkuhan.

Ika melihat ibunya. Airmatanya bercucuran. sekali mendengar namanya dipanggil


oleh sang ibu yang dirindukannya. Tak sanggup berkata-kata, Ika berhambur ke
pelukan ibunya. Ny Surya mendekap anaknya. Mereka bertangisan.

Saat itulah Anna Karenina muncul bersama Ali Topan! Anna berdiri di depan pintu.

Tangannya mencekal lengan Ali Topan.

"Anna! Kemari kau!" Pak Surya berteriak. Nadanya masih keras dan kaku. Ia
seperti tak terpengaruh oleh keharuan yang hadir dari pelukan Ika dan istrinya.

Anna tak beranjak dari tempatnya.

"Anna!"

Anna tetap diam. Hatinya diliputi rasa haru melihat kakak dan ibunya bertangisan
melepas kerinduan. Sekuat tenaga dicobanya menahan keharuan itu. Anna berpikir,
orangtuanya membawa-bawa polisi untuk menangkap Ali Topan. Maka itu ia
bertahan. la tak mau meninggalkan Ali Topan.

156
Merah padam wajah Pak Surya karena Anna tak mematuhi
instruksinya.

la berpaling pada alat-alat negara yang dibawanya, lalu


menuding Ali Topan.

"Itu dia yang membawa lari anak saya! Tangkap dia, Pak!"
teriak Pak Surya.

Dua polisi Komwilko 74 bergerak ke arah Ali Topan. Mereka menampilkan gaya
David Toma yang suka mereka tonton di layar tivi.

"Papa! Apa-apaan sih! Suruh pergi orang-orang ini!" teriak Anna Karenina. la
makin menguatkan cekalannya, memeluk Ali Topan. Ali Topan berdiri tegak,
matanya tak gentar menatap agen-agen polisi yang mendekatinya.

"Bapak-bapak mau nangkep saya, apa ada surat perintahnya?" tanya Ali Topan.

Agen-agen polisi itu tersenyum. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan


surat perintah penangkapan dari kantong celananya dan menunjukkannya pada Ali
Topan. "Lebih baik adik ikut kami secara baik-baik. Jangan kami dipaksa
mengambil jalan kekerasan," kata polisi itu sambil tangan kanannya mengusap-
usap gagang pistol yang mencuat dari sarungnya.

"Dia nggak boleh ditangkap! Dia nggak bersalah! Saya yang mau lari ke sini!" Anna
membentak polisi itu. "Anna! Tutup mulut kamu!" hardik Pak Surya. la makin tak
sabar melihat kelakuan anaknya. Anna menatap ayahnya. Wajahnya menegang.

Tiba-tiba ia berteriak, sangat keras" "Kamu jahat, Papa!"

Bagaikan geledek cacian itu menyambar telinga Pak Surya. Mulutnya sampai
terbuka, tak bisa omong apa-apa, saking kaget dan gusarnya. Dan, tidak cuma dia.

Semua yang hadir tak pernah menyangka, Anna memaki ayahnya secara terbuka.

"Sayaaaang.. . tidak boleh gitu... ," suara lirih Ali Topan terdengar, mengkontra
ketegangan situasi. Suara itu lembut, menyelusup sampai ke hati Anna Karenina.

Pelan, namun penuh wibawa. Anna sampai mendongak, merasa tak percaya bahwa
kata-kata itu keluar dari mulut Ali Topan. Ali Topan tersenyum padanya.

Senyuman yang mengandung kesedihan. Anna menangkap sinar sedih di mata Ali
Topan.

"Kau pergilah ke ayah dan ibumu... Kau dengar?" bisik Ali Topan. Anna tak
sanggup mendengarkan bisikan itu. Kata-kata yang sedih. Kata-kata seorang jantan
yang kehilangan kasih-sayang. Sedih, namun tetap bersikap gagah.

"Kamu.... Kamu ke mana?" bisik Anna. .,

157
"Kamu dengar perkataan saya?" Ali Topan balas berbisik.

Anna mengangguk.

"Kamu mau menurutinya?"

Anna memandang Ali Topan. Perasaannya mengatakan, Ali


Topan tengah bertempur dengan hatinya sendiri. Ali Topan
sayang padanya, tapi tak mau menghancurkan hubungan
antara orangtua dan anaknya. Ali Topan tahu, ia sejak mula tak disukai oleh
orangtua Anna Karenina. Puncak ketidaksukaan mereka terbukti dengan hadirnya
alat-alat negara yang hendak menangkapnya.

Ia tidak takut. la hanya merasa sedih. Jika orangtua Anna tidak menyukainya,
kenapa harus melibatkan alat negara segala? Semua orang menyaksikan adegan itu.

Ali Topan membelai rambut, mengusap dagu Anna, dengan lembut. Kemudian ia
membimbing Anna, dibawanya ke tempat Tuan Surya.

Baru beberapa langkah, Anna berhenti. la tahu maksud Ali Topan sangat mulia. Ali
Topan mengalahkan kepentingan dirinya, demi utuhnya sebuah keluarga.

"Topan...," bisik Anna. Pandangan mereka bertemu. "Kamu dengar Anna. Ada
saatnya kita bertemu, ada saatnya kita berpisah. Awan tak pernah abadi menahan
sinar matahari. Kau mengerti?" bisik Ali Topan.

Anna tak mengerti. la menggeleng-gelengkan kepalanya. Ali Topan tertawa kecil.

"Nah, lain hari kau akan mengerti..."

la membimbing Anna, menyerahkannya pada Pak Surya.

"Oom, saya sayang pada Anna, dan Anna pun sayang pada saya. Jika Oom dan
Tante tidak suka pada saya, sayapun tidak bisa memaksa. Saya cuma berharap,
Oom jangan menyakiti Anna. Dia tidak bersalah..," kata Ali Topan dengan gagah.

Tuan Surya mendengus seperti babi. Ia tak mau banyak bicara lagi.

Digamitnya Anna, dibawanya ke mobil. Boy segera menyusul. Lelaki itu dengan
sigap duduk di belakang stir mobil. Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika.

"Ika boleh ke rumah, Papa?" tanya Ika.

Pak Surya mengangguk-angguk. "Datanglah, datanglah...." katanya berulang-ulang.

Meledaklah kebahagiaan Ika mendengar jawaban ayahnya. Dipeluknya kepala sang


ayah. Diciuminya berulang-ulang pipi ayahnya. Pak Surya mengelus rambut
anaknya.

Iqbal datang mendekati. Pak Surya menoleh padanya.

158
"Kau bawa anak istrimu ke rumah malam ini ya...," katanya.

"Terima kasih, Pak," kata Igbal.

"Nah. Kami pergi dulu. Urusan sudah selesai...," kata Pak


Surya.

Nyonya Surya duduk di belakang, menghibur hati Anna.

Boy menghidupkan mesin mobil.

Kemudian mereka berlalu, meninggalkan para polisi, suami istri Igbal dan Ali
Topan, dengan perasaan dan pikiran yang berlainan.

Agen polisi Kebayoran menepuk pundak Ali Topan dari belakang. "Jiwa Anda besar,
Dik," katanya: Ika, Igbai dan tiga polisi yang lain serentak mengangguk,
mengiyakan.

Ali Topan menggeraikan rambutnya.

"Kasih sayang yang besar membuat jiwa manusia besar, Pak. Sayang, tak setiap
orang memilikinya...," sahut Ali Topan.

Agen polisi itu tersenyum.

"Tapi urusan dinas saya masih harus dijalankan. Adik turut ke Komwilko 74, untuk
menjelaskan persoalannya. Okey?" kata polisi itu dengan nada ramah.

"Saya mah okey sajaa...," kata Ali Topan, lalu sembari memandang Ika ia pun
menyambung,

"Jangankan ke Komwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan pergi, jika


diperlukan."

Ika tersenyum mendengar jawaban yang mewah itu!

Langit putih. Matahari mencorong di atas Depok. Angin bertiup dari Selatan, Debu
debu cokelat beterbangan, mengusap wajah Ali Topan yang sedang memacu sepeda
motornya. Keempat polisi di dalam jip Willys mengikutinya dari belakang. Mereka
kembali Jakarta.

"Anak yang gagah itu mau kita apakan?" kata seorang polisi, pada temannya yang
menyopir jip.

"Kita bikin jadi Tekhab saja, rasanya pas betul."

"Dia bisa jadi agen yang paling keren nantinya. Moga moga saja dia mau."

159
Ali Topan tak mendengar dialog itu. la sedang melamun.
Panasnya sinar mentari, keringnya debu-debu jalanan Depok,
tak mampu mengusir bayangan wajah Anna Karenina dari
dalam hatinya.

Ia sedih benar, namun bukan kesedihan yang cengeng. la tak


menangis, namun hatinya merintih-rintih. Kasih sayang telah
hilang. Tak seorangpun yang menjadi miliknya kini. Ia
sendirian lagi. "Annaaa, Annaaa, Annaaa," bisiknya.

Hanya suara angin yang menjawab bisikannya. "Hampaaa, hampaaa, hampaaa,"


keluhnya lagi.

"Jangaaan, jangaaan, jangan menghampaa," angin serasa menjawab keluhannya.


Angin itu berhembus dari dalam jiwanya sendiri.

Ali Topan tersadar. la menggertak gigi.

"Selaksa kesedihan, sejuta kekecewaan, tak boleh membuatku mati," bisiknya.

"Tuhan, berikan cintamu padaku." "Tuhan, berikan cintamu padaku." "Tuhan,


berikan cintamu padaku."

Berkali-kali Ali Topan memanggil Tuhannya, untuk mengusir kesedihan.

Sampai akhirnya, semangatnya membadai lagi. Bayangan Anna Karenina yang


tadinya bersatu dengan kesedihan, terasa melangit. Dalam khayalnya, ia
memandang kepergian bayangan yang makin lama makin jauuuh. Cekaman
suasana yang tak terlukiskan itu tanpa sadar mendorongnya untuk bernyanyi.

Maka iapun bernyanyilah di atas motornya yang berjalan pelahan-lahan.

Pagi yang indah sekali Membawa hati bemyanyi Walau gadisku telah pergi Dan tak
kan mungkin kembali Hm yaaa.............. (TAMAT)

160

Anda mungkin juga menyukai