Anda di halaman 1dari 2

Buruknya persepsi dan penilaian publik atas situasi-kondisi lembaga perwakilan dan

partai politik selama ini telah memicu dan menjadi alasan bagi sebagian warga untuk
memilih tidak memilih, atau menjadi Golput (golongan putih = tidak memilih), dalam
pemilihan umum (Pemilu) legislatif mendatang. Golput memang merupakan hak, dan
pernah populer sebagai pilihan para aktivis di masa Orde Baru.

Persepsi dan penilaian publik tersebut juga tidak keliru. Sejumlah bukti, dari persoalan
korupsi anggota DPR hingga pembuatan regulasi yang tidak nyambung dengan
kepentingan dan aspirasi warga, termasuk dalam persoalan HAM, yang menimbulkan
protes publik maupun pengajuan judicial review, dapat dengan mudah dipaparkan
untuk menguatkan persepsi dan penilaian tersebut.

Bagi saya, golput adalah ungkapan politik sebagai warga negara yang kecewa terhadap
demokrasi, karena tidak  adanya kandidat yang bersih dari  kelompok-kelompok
kepentingan elit ekonomi yang telah terbukti merugikan kehidupan kelas bawah. Ini
bukan pilihan konyol atau sebuah pesimisme, melainkan tindakan politik sekecil-
kecilnya agar suara penolakan itu tak teredam oleh besarnya suara gempita para elit
dan pendukung yang tak memahami makna demokrasi itu sendiri.

Baik memilih maupun tidak memilih dalam Pemilu, keduanya adalah hak. Sebagai hak,
terlebih dalam situasi normal, penikmatannya tidak boleh dilarang ataupun dihambat.
Namun sayang kalau hak tersebut hanya sekadar dinikmati, tanpa berusaha
menjadikannya sebagai sarana yang efektif dan bermakna untuk memajukan hak-hak
lainnya.

Keterlibatan dalam Pemilu, dengan memajukan dan memilih calon yang baik, yang
mempunyai komitmen memajukan HAM, berarti telah ikut menambah peluang bagi
penambahan jumlah orang baik di lembaga perwakilan, yang saat ini masih langka.
Memilih calon yang baik dalam Pemilu bukan berarti menjerumuskan mereka dalam
kekotoran politik , namun justru menambah kemungkinan bagi perbaikan keterwakilan
(dan kultur) politik, termasuk dalam hubungannya dengan penghormatan HAM.
Tentunya dengan tetap disertai usaha untuk aktif secara berkelanjutan melakukan
pengawalan pasca Pemilu, termasuk memberikan dukungan, partisipasi, dan melakukan
kontrol publik.

Buruknya persepsi dan penilaian publik atas situasi-kondisi lembaga perwakilan dan
partai politik selama ini telah memicu dan menjadi alasan bagi sebagian warga untuk
memilih tidak memilih, atau menjadi Golput (golongan putih = tidak memilih), dalam
pemilihan umum (Pemilu) legislatif mendatang. Golput memang merupakan hak, dan
pernah populer sebagai pilihan para aktivis di masa Orde Baru.
Persepsi dan penilaian publik tersebut juga tidak keliru. Sejumlah bukti, dari persoalan
korupsi anggota DPR hingga pembuatan regulasi yang tidak nyambung dengan
kepentingan dan aspirasi warga, termasuk dalam persoalan HAM, yang menimbulkan
protes publik maupun pengajuan judicial review, dapat dengan mudah dipaparkan
untuk menguatkan persepsi dan penilaian tersebut.

Bagi saya, golput adalah ungkapan politik sebagai warga negara yang kecewa terhadap
demokrasi, karena tidak  adanya kandidat yang bersih dari  kelompok-kelompok
kepentingan elit ekonomi yang telah terbukti merugikan kehidupan kelas bawah. Ini
bukan pilihan konyol atau sebuah pesimisme, melainkan tindakan politik sekecil-
kecilnya agar suara penolakan itu tak teredam oleh besarnya suara gempita para elit
dan pendukung yang tak memahami makna demokrasi itu sendiri.

Baik memilih maupun tidak memilih dalam Pemilu, keduanya adalah hak. Sebagai hak,
terlebih dalam situasi normal, penikmatannya tidak boleh dilarang ataupun dihambat.
Namun sayang kalau hak tersebut hanya sekadar dinikmati, tanpa berusaha
menjadikannya sebagai sarana yang efektif dan bermakna untuk memajukan hak-hak
lainnya.

Keterlibatan dalam Pemilu, dengan memajukan dan memilih calon yang baik, yang
mempunyai komitmen memajukan HAM, berarti telah ikut menambah peluang bagi
penambahan jumlah orang baik di lembaga perwakilan, yang saat ini masih langka.
Memilih calon yang baik dalam Pemilu bukan berarti menjerumuskan mereka dalam
kekotoran politik , namun justru menambah kemungkinan bagi perbaikan keterwakilan
(dan kultur) politik, termasuk dalam hubungannya dengan penghormatan HAM.
Tentunya dengan tetap disertai usaha untuk aktif secara berkelanjutan melakukan
pengawalan pasca Pemilu, termasuk memberikan dukungan, partisipasi, dan melakukan
kontrol publik.

Anda mungkin juga menyukai