Djuwita Andini
RINGKASAN
DJUWITA ANDINI. Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak di bawah
Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. Dibimbing oleh ALI
KHOMSAN dan KATRIN ROOSITA.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola pemberian susu
formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta) pada keluarga ibu
bekerja dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor. Tujuan khususnya yaitu 1). Membandingkan
karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak
bekerja; 2). Membandingkan pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok; 3). Mempelajari
pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI pada kedua kelompok; 4). Mengetahui
kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap tingkat konsumsi
zat gizi pada anak baduta dari kedua kelompok; dan 5). Menganalisis hubungan karakteristik
keluarga, karakteristik anak, dna pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu
formula.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di
Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor.
Pemilihan lokasi Kecamatan dan Kelurahan ditentukan secara purposive. Pemilihan RW pada
kedua kelurahan
kelurahan tersebut dilakukan
dilakukan secara
secara random. Waktu penelitian dari bulan Juni sampai
Agustus 2005.
Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan yang
memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Contoh penelitian adalah anak baduta
yang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu
bekerja dan ibu tidak bekerja. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive. Jumlah
contoh dari masing-masing kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang
dari keluarga ibu tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi langsung. Data yang
diperoleh dari hasil penelitian dikategorikan dan diolah menggunakan tabulasi silang dan
dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for
Windows. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda t , uji beda Mann Whitney, dan uji
korelasi Rank Spearman.
Data konsumsi pangan yang diperoleh dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke
satuan gram dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Hardinsyah
& Briawan, 1994). Kemudian dihitung kandungan Energi dan zat gizinya dengan
menggunakan Microsoft Excel dengan program Food Processor . Kontribusi konsumsi energi
dan zat gizi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi zat gizi dan kecukupan zat
gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI,
susu formula dan makanan dengan pangan total dan kecukupan gizi.
Berdasarkan hasil penelitian, pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 53,3% contoh
merupakan anak pertama, 40% contoh merupakan anak ke-2 atau ke-3. Pada kelompok ibu
bekerja sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, 73,3% contoh merupakan anak ke-2
atau ke-3. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak antara kedua
kelompok (p<0,05). Sebesar 90% contoh di kedua kelompok dilahirkan dengan bantuan
dokter/bidan, tidak ada perbedaan penolong kelahiran contoh pada kedua kelompok.
Umur responden ibuibu bekerja adalah 30-39 tahun (70%), dan responden
responden ibu tidak
bekerja berumur 20-29 tahun (60%), terdapat perbedaan umur ibu pada kedua kelompok
(p<0,01). Sebesar 66,7% responden ibu bekerja dan 43,3% responden ibu tidak bekerja
merupakan lulusan perguruan tinggi, tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu pada
kedua kelompok. Tingkat pengetahuan gizi 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7%
responden ibu bekerja termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi
ibu pada kedua kelompok (p<0,05). Keluarga contoh baik kelompok ibu tidak bekerja
(96,7%) dan kelompok ibu bekerja (96,7%) sudah berada di atas batas kemiskinan penduduk
perkotaan di Jawa Barat (Rp 135.598,00/kapita/bulan).
135.598,00/kapita/bulan). Hasil uji beda menunjukkan tingkat
pendapatan keluarga contoh tidak berbeda. Sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan
80% keluarga ibu bekerja merupakan keluarga kecil (≤4 orang), tidak terdapat perbedaan
besar keluarga pada kedua kelompok
kelompok contoh.
Proporsi terbesar contoh kelompok ibu tidak bekerja (90%) dan ibu bekerja (80%)
mendapat kolostrum. Sebanyak 76,7% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 50% contoh
kelompok ibu bekerja mendapat minuman pralaktal, terdapat perbedaan praktek pemberian
minuman pralaktal antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Lebih dari separuh contoh di
kedua kelompok sudah tidak memperoleh ASI lagi. Pola pemberian ASI kelompok ibu tidak
bekerja berada pada kategori sedang (63,3%), sedangkan kelompok ibu bekerja berada pada
kategori baik (63,3%). Ada perbedaan pola pemberian ASI antara kedua kelompok contoh
(p<0,05).
Proporsi terbesar contoh ibu tidak bekerja (36,7%) dan contoh ibu bekerja (40%)
mendapat susu formula pada usia kurang dari satu bulan. Jika dibandingkan dengan aturan
pada kemasan susu formula, pengenceran dan frekuensi pemberian susu formula kepada
contoh di kelompok
dan 66,7%) ibu tidak
adalah tidak tepat.bekerja (66,7% dan 63,3%)
Cara membersihkan dan kelompok
botol yang dilakukan ibu
olehbekerja (63,3%
responden ibu
tidak bekerja (80%) dan responden ibu bekerja (83,3%) adalah dengan merebus botol susu.
Pola pemberian susu formula pada kelompok ibu tidak bekerja (60%) dan kelompok ibu
bekerja (56,7%) termasuk kategori sedang. Tidak ada perbedaan usia pemberian susu
formula, ketepatan pengenceran, ketepatan frekuensi pemberian, cara membersihkan botol,
dan kategori pola pemberian susu formula antara kedua kelompok.
Sebesar 80% contoh kelompok ibu tidak bekerja dan 83,3% contoh kelompok ibu
bekerja mendapat MPASI pada umur kurang dari enam bulan. Jenis MPASI yang pertama
diberikan responden ibu tidak bekerja (46,7%) dan responden ibu bekerja (40%) adalah bubur
bayi instan. Pola
P ola pemberian MPASI kelompok ibu tidak bekerja (56,7%) dan kelompok ibu
bekerja (66,7%) berada pada kategori sedang. Tidak terdapat perbedaan usia pemberian
MPASI, jenis MPASI pertama, dan kategori pola pemberian MPASI antara kedua kelompok
contoh.
Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di kedua
kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan dan sebagian
besar baduta contoh termasuk kategori cukup (>70% AKG). Berdasarkan uji beda Mann
Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok. Pada
kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A dari makanan lebih besar
daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata konsumsi protein, vitamin C,
kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar daripada konsumsi ASI dan makanan.
Hasil uji beda t menunjukkan
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula
dan makanan pada kedua kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari
makanan terhadap konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu
formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula terhadap
konsumsi dan kecukupan lebih besar daripada ASI dan makanan. Kontribusi zat gizi dari
ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi konsumsi total
total dan kecukupan tidak ada
perbedaan menurut uji beda t pada
pada kedua kelompok.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Pemberian Susu Formula dan
Konsumsi Zat Gizi Anak Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu
Bekerja dan Tidak Bekerja adalah karya saya sendiri di bawah arahan dosen
pembimbing Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., M.Si belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Djuwita Andini
NRP A54101039
RIWAYAT HIDUP
GMSK (FKMG) periode tahun 2002/2003 dan 2003/2004. Penulis pernah menjadi
asisten mata kuliah Gizi dan Kesehatan, Sistem Pangan dan Gizi, dan Manajemen
Sumberdaya Keluarga. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis juga aktif dalam mengikuti perlombaan
karya tulis. Pada tahun 2004 penulis dan tim mendapat Juara 1 dalam Lomba Karya
Tulis Mahasiswa (LKTM) Bidang Pendidikan Tingkat IPB dan finalis LKTM Bidang
Pendidikan Tingkat Wilayah B.
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi berjudul “Pola Pemberian Susu Formula dan Konsumsi Zat Gizi Anak
Usia di bawah Dua Tahun (Baduta) pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak
Bekerja”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak
baik moril maupun materiil. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Katrin Roosita, SP., MSi sebagai dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan arahan
selama penulisan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS sebagai dosen penguji dan Ir. Eddy S. Mudjajanto, MS
sebagai dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran dan masukan bagi
penulis.
3. Anfamedhiarifda dan Tria Anggita sebagai pembahas seminar, telah banyak
memberikan masukan untuk skripsi penulis.
4. Papa dan Mama tercinta atas doa dan kasih sayangnya; abang, adik dan nenekku
tersayang atas dukungannya selama ini.
5. Keluarga kecilku selama di Bogor yang telah mengisi hari-hariku dengan cahaya
keimanan.
6. Kecamatan Bogor Utara, Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil, Puskesmas
Tegal Gundil, dan para kader posyandu atas izin dan bantuan yang diberikan
selama pengumpulan data.
7. Ibu Megawati Simanjuntak, SP yang telah membantu pengolahan data.
8. Seluruh dosen dan pegawai di Departemen GMSK yang telah membantu, dan
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen GMSK.
9. Teman-temanku tersayang, Dedet, Wulan, Vidya, Ruri, Ema, Tias, Tutut, Rian
(Alm), Ratnasari, Indria, Vijay, Gamasakers 38 lainnya dan Alih Jenjang 40 atas
persahabatan, kebersamaan, bantuan dan semangat selama kuliah dan dalam
pembuatan skripsi serta seminar penulis. Semoga Allah memperkuat ukhuwah
diantara kita.
10. Ria Mariana Mustofa dan Khairunisa, S. P. (Mba Nisa) yang telah menemani,
mendukung dan menyemangati penulis pada detik-detik seminar dan sidang.
11. Teman-teman seperjuangan di jurusan, fakultas, PAI, TPI, dan 4saik atas
persaudaraan, kerjasama, bantuan, semangat dan pengertian selama ini. Semoga
Penulis sadari skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis sangat
berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya. Amin.
Djuwita Andini
Skripsi
Djuwita Andini
A54101039
Menyetujui,
Mengetahui,
Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI
Halaman
x
DAFTAR TABEL
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keluarga merupakan institusi pertama yang sangat berperan dalam
mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Undang-undang (UU) No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua mempunyai
tanggung jawab dan kewajiban untuk memberikan hak tumbuh kembang bagi anak-
anaknya Anak-anak merupakan aset bagi masa depan bangsa, karena mereka
.
merupakan bibit generasi yang akan melanjutkan pembangunan. Oleh karena itu pada
masa pertumbuhannya anak harus dipersiapkan dengan baik agar dihasilkan
sumberdaya manusia yang berpotensi dan berkualitas.
Masa janin (pre-natal) sampai dengan usia remaja merupakan periode yang
sangat menentukan kualitas SDM. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan
periode yang paling kritis bagi pertumbuhan dan perkembangan ditinjau dari aspek
gizi, kesehatan, dan psikologi. Kekurangan gizi pada periode kritis tersebut terutama
pada masa bayi sampai umur dua tahun dapat mengakibatkan terganggunya
perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Kekurangan energi
ene rgi dan protein
dalam periode kritis ini dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik dan
kecerdasan anak (Syarief, 1997).
Bayi memerlukan makanan yang cukup dengan zat gizi yang baik untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Air Susu Ibu (ASI) merupakan
makanan yang baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama dan tetap berguna
sampai berumur dua tahun. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan
menyediakan energi dalam susunan yang diperlukan bayi. Selain itu ASI juga
mengandung zat kekebalan yang dibutuhkan bayi untuk menjaga kesehatan tubuhnya
agar tidak terganggu oleh berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi. Dengan
menerima ASI bayi dapat berinteraksi dengan ibunya, sehingga mendukung
perkembangan psikologisnya.
2
3
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola
pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak
an ak baduta pada
pad a keluarga ibu bekerja
dan ibu tidak bekerja di Kota Bogor.
Tujuan Khusus
1. Membandingkan karakteristik keluarga dan anak baduta pada kelompok ibu
bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja.
2. Membandingkan akses sumber informasi dan pengetahuan gizi ibu pada kedua
kelompok.
3. Mempelajari pola pemberian ASI pada kedua kelompok.
4. Mempelajari pola pemberian susu formula pada kedua kelompok.
5. Mempelajari pola pemberian makanan pendamping ASI pada kedua kelompok.
6. Mengetahui kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan
terhadap tingkat konsumsi zat gizi anak baduta pada kedua kelompok.
7. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan
pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI dan susu formula.
Kegunaan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
PUSTAKA
Anak Baduta
Anak di bawah dua tahun (baduta) merupakan tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang paling pesat
p esat dari semua siklus kehidupan manusia. Pada masa ini
anak mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan yang cepat dari keadaan
semasa lahir. Selain itu usia baduta merupakan saat yang menentukan kecerdasan
anak di masa mendatang. Pertumbuhan otak dimulai sejak masa janin dan pada usia
dua tahun mencapai sekitar 90-95 persen tumbuh kembang otak (Hardinsyah &
Martianto, 1992).
Usia baduta merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling
rawan terhadap berbagai kekurangan zat gizi dan gangguan penyakit. Oleh karena itu
dibanding tahap perkembangan lainnya, kecukupan gizi anak baduta per kilogram
makanan/minuman yang lain) sangat dibutuhkan oleh bayi sampai berumur enam
bulan. Setelah enam bulan dimana produksi ASI menurun dan tidak mencukupi
kebutuhan gizi bayi, merupakan saat pemberian makanan tambahan tetapi pemberian
ASI tetap dilakukan. Pemerintah telah menetapkan aturan pemberian makanan pada
bayi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI eksklusif, dan produk Pengganti Air
Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor
237/Menkes/SK/IV/1997 (Anonymous, 2004).
5
Praktek pemberian ASI. Sebaiknya ASI diberikan segera setelah bayi lahir,
umumnya 30 menit setelah lahir (Sulistijani & Herlianty, 2003). Depkes RI (1996)
pun menyatakan pemberian ASI yang baik yaitu diberikan secara tidak terjadwal
sesuai dengan keinginan bayi dan disusui dengan kedua payudara secara bergantian
tiap kali menyusui. Tetapi akan lebih baik lagi jika bayi disusui secara terjadwal
sehingga bayi akan terbiasa untuk makan secara teratur. Anak sebaiknya disusui
dengan kedua payudara karena payudara yang “dilupakan” bisa berhenti
menghasilkan ASI, dan menimbulkan pembengkakan payudara.
6
Minuman Pralaktal
Minuman pralaktal adalah jenis minuman yang diberikan kepada bayi baru
lahir sebelum ASI keluar, seperti air kelapa, air tajin, air teh, dan madu. Hal ini sering
mengganggu keberhasilan menyusui secara eksklusif (Depkes, 2000). Selain itu
sebagian besar rumah sakit memberikan makanan pralaktal berupa susu formula, susu
sapi, atau air gula.
Roesli (2001) menyebutkan kerugian pemberian makanan pralaktal bagi bayi
dan ibu adalah sebagai berikut : (1) Bayi tidak mau lagi menghisap dari payudara
ibunya karena cairan lain telah menghentikan rasa laparnya. Hal ini menyebabkan
payudara ibu tidak distimulasi untuk mengeluarkan ASI dengan baik. Jika ASI tidak
7
dikeluarkan dengan baik, maka ASI akan keluar lebih lama dan akan memungkinkan
ibu menderita mastitis; (2) Bayi dapat mengalami diare, karena cairan tersebut
mungkin tercemar; (3) Bayi kemungkinan menderita alergi karena pernah diberi susu
formula atau susu sapi; (4) Bayi mengalami kebingungan puting bila makanan
pralaktal diberikan dengan botol susu; (5) Ibu akan lebih sering mengalami kesukaran
menyusui dan cenderung lebih cepat berhenti menyusui.
hari karena ASI dianggap masih sedikit. Padahal pemberian makanan pralaktal akan
membuat bayi tidak mau menghisap dari payudara ibunya karena bayi sudah
kenyang. Hruschka et al. (2003) menambahkan bahwa pemberian makanan pralaktal
ini dapat menyebabkan penundaan permulaan menyusui, dan meningkatkan resiko
penghentian ASI secara total.
Susu Formula
Ruang lingkup produk Pengganti Air Susu Ibu (PASI) dalam Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.237/Menkes/SK/IV/1997 adalah makanan yang
dipasarkan atau dinyatakan sebagai makanan bayi dan digunakan sebagai pengganti
ASI baik secara keseluruhan maupun sebagian. Produknya meliputi susu formula
bayi, susu formula lanjutan dan makanan pendamping ASI yang diberikan dengan
menggunakan botol atau dot (Depkes, 1997). Menurut Soekarto (2005), istilah PASI
saat ini sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah susu formula. Definisi
susu formula bayi menurut Depkes (1997) adalah produk makanan yang formulanya
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai usia antara 4 dan
6 bulan sesuai dengan karakteristik fisiknya. Sedangkan susu formula lanjutan adalah
produk makanan yang formulanya dimaksudkan untuk bayi setelah berumur 6 bulan.
8
Muchtadi (2002) menyatakan susu formula adalah susu bayi yang berasal dari
susu sapi yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya
mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu susu formula
adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan.
Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti
berarti disesuaikan dengan
keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk
digunakan untuk bayi baru lahir sampai berumur 4 bulan. Contohnya adalah Vitalac,
Nutrilon, Nan, Bebelac, Dumex sb, dan Enfamil. Susu formula awal (Complete
starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan
sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi
dari susu formula adaptasi. Rasio antar fraksi-fraksi proteinnya tidak disesuaikan
dengan rasio yang terdapat dalam ASI. Cara pembuatan complete starting formula
lebih mudah daripada adapted formula, maka harganya lebih murah. Biasanya bayi
diberi adapted formula sampai berumur tiga bulan, kemudian dilanjutkan dengan
susu formula ini. Contohnya adalah SGM 1, Lactogen 1, dan New Camelpo. Susu
formula lanjutan ( follow-up
follow-up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas.
Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya.
Rasio fraksi proteinnya tidak mengikuti rasio yang tterdapat
erdapat dalam ASI.
ASI. Contohnya
adalah Lactogen 2, SGM 2, Chilmil, Promil dan Nutrima.
Produsen susu bayi juga membuat susu formula khusus (special formula atau
formula diit) untuk diberikan pada bayi (anak kecil) dengan kelainan metabolisme
tertentu. Produk susu ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada bayi sehat, sebab
susunan zat gizinya justru menjauhi susunan yang terdapat pada ASI. Penggolongan
susu bayi berdasarkan kondisi bayi, waktu pemberian, keadaan protein, dan
berdasarkan rasa, dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Menurut Muchtadi (2002), untuk menjamin mutu gizi susu bayi, ditetapkan
standar mutu untuk masing-masing jenis susu bayi. Pada Tabel 3 disajikan standar
komposisi susu bayi (bubuk) yang berisi persyaratan minimum atau maksimum untuk
masing-masing komponen zat gizi, yang terkandung dalam susu bayi menurut Codex
Alimentarius dan ESPGAN.
10
Tabel 3. (Lanjutan)
Infant Formula Adapted Infant Follow-up Infant
Komponen
(a) Formula (b) Formula (c)
Vitamin
As. Pantotenat, min. 300 ug
Vit B12, min. 0.15 ug
Biotin, min. 1.5 ug
Choline, min. 7 mg
Mineral
Natrium (Na) 20 mg-60 mg 1.76 mEq/L 1.0-3.7 mEq/L
Kalium (K) 80 mg-200 mg (Total Na, K dan Cl, 2.0-5.2 mEq/L
Chlorida (Cl) 55 mg-150 mg max. 50 mEq/L) 1.7-4.3 mEq/L
Kalsium (Ca), min. 50 mg 60 mg 90 mg
Fosfor (P), min. 25 mg 30 mg 60 mg
Magnesium (Mg), min. 6 mg 6 mg 6 mg
Besi (Fe), min. 0.15 mg 0.1-0.2 mg 1.0-2.0 mg
Iod (I), min. 5 ug 5 ug 5 ug
Tembaga (Cu), min. 60 ug 30 ug
Seng (Zn), min. 0.5 ug 0.3 ug 0.5 ug
Mangan (Mn), min. 5 ug 5 ug
Sumber : (a) Codex Stan. 72-1981 (FAO/WHO)
(FAO/WHO) dalam Muchtadi (2002)
(b) ESPGAN Committee
Committee on Nutrition (1977) dalam Muchtadi (2002)
(c) ESPGAN Committee
Committee on Nutrition (1981) dalam Muchtadi (2002)
11
bayi akan mengalami kekurangan gizi, namun bila pemberian berlebihan maka akan
menyebabkan obesitas serta beban bagi kerja ginjal dan pencernaan (Depkes, 1994).
Botol susu bayi dan dot botol dapat mudah terkontaminasi. Botol sebaiknya
terbuat dari gelas (bukan plastik) dan bertanda mililiter yang jelas. Dot botol harus
tahan terhadap proses pendidihan. Semua peralatan makan/minum bayi setelah dicuci,
disterilisasi dengan cara pendidihan selama 5-10 menit. Kemudian ditiriskan,
dikeringkan dan disimpan dalam keadaan tertutup. Jika cara pendidihan tidak
mungkin dilakukan, maka peralatan dapat dicuci dengan air panas lalu dibilas dengan
air minum (air matang yang telah dingin)
d ingin) atau larutan garam (Muchtadi, 2002).
Pemberian MP-ASI. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<6 bulan) akan
berdampak pada terganggunya sistem metabolisme atau pencernaan karena bayi
belum siap mencerna makanan selain ASI dan asupan gizi yang
yan g diberikan tidak sesuai
dengan kebutuhannya. Sebaliknya, penundaan pemberian makanan dapat
menghambat pertumbuhan jika energi dan gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak
mencukupi lagi kebutuhannya (Pudjiadi, 2000).
Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari
bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003). Pola
makanan balita menurut Depkes (2000) ada pada Tabel 4.
12
Karakteristik Ibu
Pendidikan dan pengetahuan ibu. Tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan khususnya tingkat pendidikan ibu
mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah, 2004).
Faktor pendidikan ibu mempengaruhi pengasuhan gizi anak baik dalam
penyediaan pangan yang
y ang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya,
kua litasnya, juga perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat. Salah satu pengasuhan gizi anak adalah pemberian
ASI pada anak balita. Hasil kajian Susenas 1995 dan 2003, secara nasional pemberian
13
ASI terutama pada bayi di bawah satu tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi
31,1% pada tahun 2003. Berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai usia 6
bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun
tahu n 1995 ke tahun 2003
yaitu sekitar 15-17% (Atmarita & Fallah, 2004).
Pendidikan ibu di samping modal utama dalam perekonomian rumah tangga
juga berperan dalam penyusunan pola makan untuk keluarga. Pendidikan ibu juga
berpengaruh terhadap pemberian ASI. Menurut Syarief dan Husaini (2000) dalam
Fitrisia (2002), proporsi pemberian ASI pada ibu yang berpendidikan tinggi lebih
rendah dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang dialami
atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non formal. Pada umumnya tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Pendidikan akan
14
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh RSCM, ibu yang bekerja dapat
berpengaruh terhadap produksi ASI. Meskipun pada ibu telah diajarkan cara
mempertahankan produksi ASI dengan cara memompa ASI pada saat di tempat kerja
serta dengan menyusui bayi lebih sering pada malam hari, ternyata jumlah ibu yang
ASInya masih cukup sampai bayi berumur 6 bulan lebih sedikit jika dibandingkan ibu
yang tidak bekerja. Kondisi ini diduga akibat beban fisik ibu karena pekerjaan
sehingga tidak dapat mempertahankan produksi ASI (Suradi, 1986).
Karakteristik Keluarga
Besar keluarga. Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam
keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat
pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang
tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi
kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan
(Suhardjo, 1989). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Latief, Atmarita, Minarto,
Jahari dan Tilden (2002) bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga, maka
semakin berkurang kontribusi energi, protein dan lemak terhadap total konsumsi
pangan.
Faktor besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam
pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya.
Menurut Sukarni (1989), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari dua
tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan
berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih
memerlukan perawatan khusus.
15
menyusui beralih dari ASI ke susu buatan (Haryono, 1977 ; Bantje & Yambi, 1983
dalam Fitrisia, 2002). Semakin meningkatnya pendapatan dan kekayaan terdapat
kecenderungan pangan yang dikonsumsi lebih beragam dan lebih banyak (Arimond
& Ruel, 2004).
Semakin bertambahnya pendapatan keluarga, pembelian susu formula
semakin menunjukkan peningkatan yang cukup besar dan menyusui anak mengalami
penurunan yang sangat cepat. Contoh ini dapat dilihat dari 60% ibu di Gujarat yang
memiliki penghasilan rendah menyusui anaknya hingga berumur 6 bulan. Persentase
ini menurun dengan tajam ketika pendapatan meningkat dan hanya 8% saja dari ibu
yang pendapatannya tinggi menyusui anaknya (Berg, 1986).
Karakteristik Anak
Urutan anak. Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung
lebih diperhatikan oleh orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian. Hal ini
diduga dapat mempengaruhi pola pemberian makan yang dilakukan oleh ibu kepada
anak.
16
nafkah ataupun karena terlalu banyak anak) tidak ada waktu untuk menggunakan
kesempatan yang tersedia ini untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mengasuh anak.
kesehatan anak secara rutin. Albernaz et al. (2003) menyatakan bahwa konsultasi
tatap muka yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih adalah cara yang
efektif untuk mengurangi waktu pengenalan MP-ASI secara dini dan meningkatkan
durasi/lama menyusui.
KERANGKA PEMIKIRAN
Anak usia di bawah dua tahun (baduta) termasuk kelompok usia yang rawan
karena merupakan masa pertumbuhan yang cepat dan menentukan kualitas manusia
pada usia remaja dan dewasa. Asupan gizi melalui makanan sangat mempengaruhi
pertumbuhan sel otak yang berlangsung sejak masa janin sampai mencapai
klimaksnya pada usia di bawah dua tahun.
Konsumsi pangan anak baduta dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan
karakteristik anak. Selain itu juga dipengaruhi oleh sumber informasi gizi dan
kesehatan, dan pengetahuan gizi ibu. Karakteristik keluarga meliputi umur, tingkat
pendidikan, dan pekerjaan orangtua; besar keluarga, dan pendapatan keluarga.
Pendapatan keluarga menentukan kualitas dan kuantitas makanan anak. Tingkat
pengetahuan orangtua khususnya ibu dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap
dalam menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Besar keluarga juga akan
mempengaruhi distribusi makanan dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor
anak adalah umur, jenis kelamin, urutan anak dan riwayat kelahiran.
Konsumsi pangan anak baduta meliputi ASI, susu formula, dan makanan.
Jumlah dan jenis konsumsi pangan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap
tingkat konsumsi zat gizi anak baduta. Alur keterkaitan faktor-faktor di atas
dijabarkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 1.
18
Keterangan :
: Hubungan yang diteliti : Variabel yang diteliti
Anak Baduta
METODE
Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan membandingkan dua
kelompok anak baduta dengan status pekerjaan ibu yang berbeda. Penelitian
dilakukan di dua tempat yaitu Kelurahan Bantarjati dan Kelurahan Tegal Gundil,
Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan kecamatan
ditentukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas Keluarga Berencana Kota
Bogor tahun 2004 bahwa Kecamatan Bogor Utara memiliki jumlah ibu bekerja paling
banyak. Pemilihan
Pe milihan kelurahan dilakukan secara purposive berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Kota Bogor bahwa Kelurahan Bantarjati dan Tegal Gundil memiliki
estimasi jumlah balita terbanyak pada tahun 2005. Untuk memenuhi kebutuhan
jumlah responden didapatkan sebanyak 5 RW dari 17 RW yang terpilih secara
random pada Kelurahan Tegal Gundil dan sebanyak 8 RW dari 16 RW di Kelurahan
Bantarjati. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2005.
Responden penelitian adalah ibu yang memiliki anak berumur 13-23 bulan
yang memberikan susu formula dan bersedia diwawancarai. Sedangkan contoh
penelitian ini adalah anak baduta tersebut. Contoh kemudian dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan status pekerjaan ibu yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu tidak
bekerja. Pengambilan contoh
c ontoh dilakukan secara purposive dengan kriteria berumur 13-
23 bulan, rutin mengkonsumsi susu formula dan sehat. Data contoh diperoleh dari
data balita sasaran MOPPING UP Polio 2005. Jumlah contoh dari masing-masing
Kelurahan adalah 15 orang dari keluarga ibu bekerja dan 15 orang dari keluarga ibu
tidak bekerja, sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 60 orang.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner dan
observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari posyandu setempat berupa data
20
penimbangan berat badan balita, serta data keadaan keadaan umum lokasi
loka si penelitian
p enelitian
dan data demografi penduduk dari Kantor Kelurahan setempat. Data primer yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Karakteristik keluarga meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan
besar keluarga.
2. Karakteristik anak baduta meliputi umur, jenis kelamin, urutan anak, jarak
kelahiran dan riwayat kelahiran.
3. Akses sumber informasi gizi dan kesehatan.
4. Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang ASI, susu formula dan MP-
ASI yang diperoleh dengan cara memberikan 10 pertanyaan.
5. Pola pemberian ASI yaitu waktu pemberian ASI pertama, pemberian kolostrum,
frekuensi dan lama pemberian ASI, cara pemberian ASI, penggunaan pompa
21
•
Divakum
22
IK = (Smaks-Smin)
JK
Keterangan
IK :
: Interval Kelas
Smaks : Skor Maksimum
Smin : Skor Minimum
JK : Jumlah Kategori
23
yaitu kurang (2-4), sedang (5-6), dan baik (7-8). Pembagian kategori berdasarkan
interval kelas (Slamet, 1993).
menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII. Tingkat konsumsi
zat gizi digolongkan dalam dua kategori (Latief et al., 2000), yaitu kurang (<70%
AKG) dan cukup (≥70% AKG).
Jumlah ASI yang dikonsumsi anak baduta didekati dari nilai rata-rata
konsumsi ASI anak baduta per hari yang dipublikasikan oleh WHO (2000). Rata-rata
konsumsi ASI bagi anak baduta (12-23 bulan) adalah 549 g/hari. Konsumsi energi,
protein, vitamin A, vitamin C, dan kalsium dari ASI juga menggunakan estimasi dari
protein,
24
WHO (2000). Konsumsi susu formula dihitung dengan cara menanyakan takaran
bubuk susu dan volume pengenceran yang dilakukan oleh responden. Jumlah takaran
bubuk susu dikonversi ke dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizinya
formula.
berdasarkan informasi nilai gizi pada kemasan susu formula.
Kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu formula dan makanan (selain ASI
dan susu formula) terhadap konsumsi pangan diperoleh berdasarkan perbandingan
antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI, susu formula dan makanan dengan
konsumsi pangan total. Sedangkan kontribusi zat gizi dari konsumsi ASI, susu
formula dan makanan (selain ASI dan susu formula) terhadap kecukupan zat gizi
diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari ASI,
susu formula dan makanan dengan kecukupan gizi.
Kontribusi = Konsumsi
Konsumsi zat gizi dari ASI/susu formula/makanan x 100%
Konsumsi pangan total
Analisis statistik inferensia yang dilakukan adalah uji beda t dan Mann
Whitney untuk mengetahui perbedaan variabel penelitian antara keluarga ibu bekerja
dan tidak bekerja. Variabel karakteristik keluarga, karakteristik baduta contoh,
kategori akses informasi gizi dan kesehatan ibu, tingkat pengetahuan gizi ibu,
kategori pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI serta tingkat konsumsi zat
gizi digunakan uji beda Mann Whitney. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan
variabel pola pemberian ASI, susu formula, dan MPASI; kontribusi zat gizi dari
konsumsi ASI, susu formula dan makanan terhadap konsumsi pangan total dan
tingkat konsumsi zat gizi anak baduta digunakan uji beda t . Uji korelasi Rank
Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik
keluarga, karakteristik anak, dan pengetahuan gizi ibu terhadap pola pemberian ASI
dan susu formula.
25
Definisi Operasional
Akses sumber informasi gizi dan kesehatan adalah jumlah sumber informasi
tentang gizi dan kesehatan anak yang diperoleh ibu, meliputi media massa
(TV, radio, majalah/tabloid, surat kabar), tenaga kesehatan (dokter atau
bidan), keluarga (orangtua, mertua, saudara), teman (tetangga, rekan kerja),
dan kader posyandu.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari keluarga inti (ayah,
ibu, dan anak) dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama dan
menjadi tanggungan kepala keluarga.
Contoh adalah anak usia di bawah dua tahun (baduta) yang berusia 13-23 bulan yang
mengkonsumsi susu formula secara rutin dan sehat.
Konsumsi pangan baduta adalah jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anak
baduta yang diukur dengan metode recall selama 1x24 jam.
Konsumsi adalah
zat gizizat
kandungan gizi konsumsi pangan yang kemudian
dengan menggunakan dikonversi
DKBM yang ke energi,
meliputi dalam
protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi.
Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh ayah
dan ibu contoh
Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pengetahuan ibu tentang pola pemberian dan
konsumsi ASI, susu formula, dan MPASI yang diketahui dari kemampuan
menjawab 10 pertanyaan yang berkaitan dengan ASI, susu formula, dan
MPASI.
Pola pemberian ASI adalah praktek-praktek pemberian ASI yang diterapkan oleh
ibu kepada anak, meliputi pemberian minuman pralaktal, pemberian
kolostrum, waktu pemberian ASI pertama, cara menyusui serta praktek
menyusui saat ini.
Pola pemberian susu formula adalah praktek pemberian susu formula yang
dilakukan oleh ibu kepada anak, meliputi : waktu pemberian susu formula
pertama, alasan pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu
formula, frekuensi pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan
ketepatan takaran, cara membersihkan botol susu dan pemberian susu formula
yang bersisa.
26
Susu formula adalah susu formula lanjutan ( follow up) yang diberikan kepada anak
berumur di atas enam bulan sampai 3 tahun.
Responden adalah ibu bekerja dan tidak bekerja yang memiliki anak baduta (12-3
bulan) yang memberikan susu formula.
Tingkat konsumsi zat gizi adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi
dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per orang per hari dikalikan
100%.
perkantoran (2,5 ha), tanah pemakaman (3,46 ha), dan lain-lain (3,94 ha).
Penduduk dan Mata Pencaharian. Seluruh penduduk di Kelurahan Tegal Gudil
berjumlah 24.156 jiwa, terdiri atas pria 12.09 jiwa dan wanita 12.147 jiwa. Jumlah
balita usia 0-4 tahun sebanyak 1.856 jiwa. Ditinjau dari mata pencaharian, penduduk
Tegal Gundil lebih banyak yang bekerja di sektor swasta dengan rincian sebagai
berikut : 1) buruh/swasta : 1572
157 2 orang, 2) PNS : 770 orang, 3) pedagang : 293 orang,
4) dokter : 30 orang, 5) tukang ojek : 200 orang, 6) becak : 5 orang, 7) TNI/POLRI :
212 orang, 8) pengusaha : 121 orang, 9) BUMN/BUMD : 109 orang. Ditinjau dari
latar belakang pendidikan penduduk relatif tinggi, hal ini terlihat dari gambaran latar
belakang pendidikan adalah sebagai berikut : 1) tidak tamat SD : 299 KK, 2) tamat
SD-SLTP : 1.138 KK, 3) tamat SLTA ke atas : 4.989 KK.
Kelurahan Bantarjati
28
Karakteristik Keluarga
Umur Orangtua
Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut
menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya
menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan.
Sebaran contoh menurut umur orangtua disajikan pada Tabel 7.
29
Sementara pada kelompok ibu tidak bekerja, pendidikan ayah (43,3%) dan ibu
(46,7%) adalah lulusan SMU. Rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu pada kelompok
ibu tidak bekerja adalah 13 tahun, sedangkan pada kelompok ibu bekerja rata-rata
lama pendidikan ayah dan ibu adalah 14 tahun. Hasil analisis statistik uji beda Mann
Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ayah dan
ibu pada kedua kelompok.
30
Jenis pekerjaan ayah dan ibu menentukan jumlah pendapatan yang diterima
keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan
kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan
jenis pangan yang dibeli untuk konsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg, 1986).
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar ayah bekerja sebagai
pegawai swasta, PNS/TNI/POLRI, pedagang, dan buruh. Jenis pekerjaan ayah yang
paling banyak adalah sebagai pegawai swasta, yaitu sebesar 56,7% pada kelompok
ibu tidak bekerja dan 46,7% pada kelompok ibu bekerja. Selain itu terdapat 13,3%
ayah kelompok ibu tidak bekerja dan 20% ayah kelompok ibu bekerja yang bekerja
pada sektor jasa informal sebagai wiraswasta, pemain orgen/piano, sopir angkot, dan
tukang becak. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan
antara jenis pekerjaan ayah baduta contoh pada kedua kelompok.
31
Besarnya pendapatan per kapita per bulan keluarga mempengaruhi daya beli
keluarga terhadap pangan yang berkualitas. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui
bahwa pendapatan keluarga per kapita pe
perr bulan kelompok ibu tidak bekerja berkisar
antara Rp 50.000,00-Rp 1.333.333,00 dengan rata-rata Rp 416.771,00. Pendapatan
per kapita per bulan keluarga kelompok ibu bekerja berkisar antara Rp 187.500,00-Rp
Batas kemiskinan
kemiskinan penduduk perkotaan di Jawa Barat (BPS,
(BPS, 2003) yaitu
sebesar Rp 135.598,00 (perkapita/bulan). Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan
tersebut maka sebagian besar (96,7% pada kedua kelompok contoh) pendapatan
keluarga contoh berada di atas batas kemiskinan (Tabel 12). Secara statistik, uji beda
Mann Whitney menunjukkan tingkat pendapatan keluarga contoh dari kedua
kelompok tidak ada perbedaan.
32
Besar Keluarga
Faktor besar keluarga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam
pengasuhan anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya.
Berdasarkan Tabel 13, sebesar 76,7% keluarga ibu tidak bekerja dan 80% keluarga
ibu bekerja termasuk dalam keluarga kecil ( ≤4 orang) karena memiliki jumlah anak
1-2 orang. Uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan besar
keluarga baduta contoh dari kedua kelompok. Menurut Latief, Atmarita, Miniarto,
Jahari dan Tilden (2000), besar keluarga atau banyaknya jumlah anggota keluarga
berkaitan dengan masalah pangan dan gizi. Semakin besar jumlah anggota keluarga,
maka semakin berkurang peluang tercukupinya energi, protein dan lemak.
33
34
Pada kelompok ibu bekerja jarak kelahiran 66,7% contoh adalah ≥2 tahun.
Sebesar 23,3% contoh merupakan anak pertama, dan sebesar 73,3% contoh
merupakan anak ke-2 atau ke-3. Uji statistik menyimpulkan bahwa jarak kelahiran
dan urutan anak baduta contoh berbeda antara kelompok ibu tidak bekerja dengan
kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah contoh kelompok ibu tidak bekerja yang
merupakan anak pertama lebih banyak daripada contoh kelompok ibu bekerja.
Tabel 15. Sebaran Contoh menurut Jarak Kelahiran dan Urutan Anak
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Karakteristik Contoh p
n % n %
Jarak kelahiran
< 2 th 3 10 3 10
0,045*
≥ 2 th 10 36,7 20 66,7
anak pertama 16 53,3 7 23,3
Urutan anak
Anak pertama 16 53,3 7 23,3
Anak ke-2 atau ke-3 12 40 22 73,3 0,044*
Anak ke-4 dst 2 6,7 1 3,3
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
Riwayat Kelahiran
35
bekerja dan 33,3% contoh dari ibu bekerja yang dilahirkan melalui operasi. Hasil uji
beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat perbedaan jenis persalinan baduta
contoh dari kedua kelompok.
Menurut Fikawati dan Safiq (2003), penolong kelahiran sangat berperan
dalam menentukan keberhasilan menyusui. Jika penolong kelahiran segera
memberikan bayi kepada ibu maka interaksi ibu dan anak akan segera terjadi, dengan
demikian ibu akan percaya diri untuk segera menyusui dan tidak perlu memberi
minuman/makanan pralaktal. Penolong kelahiran bayi pada kedua kelompok
umumnya adalah bidan atau dokter dan hanya sebagian kecil yang melahirkan dengan
bantuan paraji (Tabel 16). Hasil uji beda Mann Whitney menyimpulkan tidak terdapat
perbedaan penolong kelahiran dan tempat kelahiran baduta contoh dari kedua
kelompok.
Akses informasi yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah jumlah sumber
informasi gizi dan kesehatan anak yang diperoleh melalui media massa, tenaga
kesehatan (dokter atau bidan), keluarga, teman (tetangga, rekan kerja), dan kader
posyandu. Engel, Manon dan Hadad (1997) menyatakan bahwa perolehan informasi
36
bisa didapat dari membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, dan
kemudian memahami informasi tersebut.
Pada Tabel 17 akses informasi ibu tentang gizi dan kesehatan anak memiliki
proporsi terbesar pada kategori sedang (50% responden ibu tidak bekerja dan 58,3%
responden ibu bekerja). Masih terdapat responden yang berada di kategori kurang, hal
ini diduga karena ibu menerima informasi hanya dari sumber yang menurutnya dapat
dipercaya seperti dokter/bidan dan orangtua. Berdasarkan uji beda Mann Whitney,
tidak terdapat perbedaan akses informasi ibu pada kedua kelompok.
mengasuh anak juga turut membantu dalam perolehan informasi gizi dan kesehatan
anak.
Media massa juga berperan dalam memperluas wawasan ibu, terutama
televisi, majalah dan tabloid tentang anak dan keluarga. Responden memperoleh
informasi dari majalah atau tabloid anak dan keluarga dengan cara berlangganan,
pinjam atau beli tapi tidak rutin. Responden yang menonton acara televisi mengenai
ibu, anak, dan keluarga masih sedikit, justru iklanlah yang menambah wawasan ibu
terutama iklan susu formula. Sebagian besar responden ibu tidak bekerja mengikuti
37
kegiatan di posyandu secara rutin, berbeda dengan ibu bekerja yang tidak dapat
menghadiri kegiatan posyandu.
Tabel 18. Sebaran Contoh menurut Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan Anak
Ibu Tidak Bekerja Ibu Bekerja
Sumber Informasi Gizi dan Kesehatan n % n %
Dokter / bidan 30 100 28 93,3
Keluarga (ibu, mertua, saudara) 22 73,3 25 83,3
Teman (teman, tetangga, rekan kerja) 16 53,3 24 80,0
Media massa (cetak/elektronik) 22 73,3 25 83,3
Kader posyandu 18 60 8 26,7
Seminar/talk show - - 5 16,7
salah satu faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam praktek pemberian ASI, susu
formula dan MPASI yang benar. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang gizi
merupakan salah satu alasan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak. Sebaran contoh
menurut tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 19.
Sebanyak 53,3% responden ibu tidak bekerja dan 76,7% responden ibu
bekerja mempunyai tingkat pengetahuan
pengetahua n gizi yang baik. Meskipun demikian terdapat
6,7% ibu dari kelompok ibu tidak bekerja yang berada pada kategori kurang.
Pertanyaan yang dijawab salah oleh responden adalah pengertian ASI eksklusif, usia
anak diperkenalkan MPASI, usia anak diberikan makanan seperti orang dewasa,
frekuensi pemberian ASI, waktu pemberian ASI setelah melahirkan, dan manfaat
kolostrum. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu antara kelompok ibu tidak
bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Jumlah ibu bekerja
beke rja yang berada pada
kategori baik lebih banyak daripada ibu tidak bekerja.
Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu selain dipengaruhi oleh
pendidikan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga, juga dipengaruhi oleh
akses terhadap informasi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan meningkatkan
wawasan ibu termasuk tentang gizi dan kesehatan anak. Umumnya, ibu dan ayah
38
susu formula dari tenaga kesehatan. Pemberian susu formula sebagai minuman
39
pralaktal dapat dimengerti jika proses persalinan dengan cara operasi karena ibu
masih merasa sakit dan belum bisa bangun dari tempat tidur (Welford, 2001). Akan
tetapi jika proses persalinan secara normal maka pemberian susu formula sebagai
minuman pralaktal telah melanggar Kepmenkes No.237/Menkes/SK/IV/1997 tentang
aturan pemasaran susu formula.
beberapa hari setelah lahir karena ASI dianggap masih sedikit. Justru sebaliknya,
pemberian makanan pralaktal akan membuat bayi
ba yi tidak mau mengisap dari payudara
payuda ra
ibunya karena bayi sudah kenyang.
Menurut Fikawati dan Safiq (2003), faktor luar misalnya nasihat dari tenaga
kesehatan, orangtua, mertua dan tetangga memiliki pengaruh yang kuat dalam
pemberian makanan pralaktal. Sebesar
Sebe sar 8,7% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja
mendapat madu setelah dilahirkan. Pemberian ini dianjurkan oleh orangtua responden
dan paraji.
40
Pemberian Kolostrum
Manfaat kolostrum bagi kekebalan tubuh bayi memang tidak diragukan lagi,
tetapi sosialisasi di masyarakat masih belum optimal. Meskipun sebagian besar
responden memberikan kolostrum kepada contoh, masih ada 10% contoh dari ibu
tidak bekerja dan 20% contoh dari ibu bekerja yang tidak diberikan kolostrum (Tabel
21). Responden yang tidak memberikan kolostrum beralasan karena cairan kolostrum
dapat menyebabkan penyakit bagi bayi, ada pula yang memberikan kolostrum ke
wajah bayi agar bayi terhindar dari koreng, dan kolostrum sengaja dibuang untuk
membersihkan ASI agar ASI tidak basi.
Responden yang memberikan kolostrum pun tidak semuanya benar-benar
mengetahui manfaat kolostrum. Sebesar 74,1% responden ibu tidak bekerja dan
83,3% responden bekerja memberikan kolostrum untuk kekebalan tubuh contoh.
Namun ada 25,9% responden ibu tidak bekerja yang memberikan kolostrum karena
mengikuti anjuran bidan/dokter, orangtua, dan maraji dan 16,7% responden ibu
bekerja yang memberikan kolostrum karena bagus untuk bayi. Hasil uji beda t
menunjukkan tidak terdapat perbedaan praktek pemberian kolostrum kepada baduta
contoh dari kedua kelompok.
41
bekerja). Waktu terlama adalah lebih dari 24 jam yaitu 36,7% contoh dari ibu tidak
bekerja dan 30% contoh dari ibu bekerja, karena contoh dilahirkan melalui operasi
atau ASI baru keluar setelah satu hari pasca kelahiran. Sebagian besar contoh pada
kedua kelompok, disusui pertama kali pada waktu 1-24 jam setelah dilahirkan. Hasil
uji beda t menunjukkan waktu pemberian ASI pertama kepada baduta contoh tidak
berbeda antara kedua kelompok.
Cara Menyusui
Sedangkan responden yang menyusui hanya dengan satu payudara beralasan bahwa
ada bisul di salah satu puting, puting tidak keluar, ASI sedikit, responden lebih suka
menyusui pada satu posisi saja, dan contoh hanya mau disusui pada satu payudara.
42
Tabel 24 menunjukkan bahwa 63,3% contoh pada kelompok ibu tidak bekerja
dan 56,7% contoh pada kelompok ibu bekerja sudah tidak mendapatkan ASI lagi.
Padahal menurut Krisnatuti dan Yenrina (2002), ASI tetap harus diberikan kepada
anak paling tidak sampai usia 24 bulan walaupun anak telah menerima makanan
pendamping ASI. Alasan yang dikemukakan oleh responden bermacam-macam di
antaranya ibu sudah hamil lagi, anak bingung puting sehingga lebih memilih susu
formula, ibu bekerja, ASI sudah tidak keluar, ibu sakit dan menjalani operasi
sehingga ASI dihentikan. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan praktek pemberian ASI saat ini oleh ibu di kedua kelompok kepada
ke pada baduta
contoh.
Tabel 24. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI Saat Ini
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Pemberian ASI saat ini p
n % n %
Masih diberikan 11 36,7 13 43,3
0,605
Tidak diberikan 19 63,3 17 56,7
Dari 36,7% responden ibu tidak bekerja dan 43,3% responden ibu bekerja
yang masih memberikan ASI sampai saat penelitian, frekuensi pemberian ASI sehari
sebagian besar responden di kedua kelompok adalah kurang dari 8 kali per hari
(Tabel 25). Hal ini disebabkan karena anak mendapat susu formula dan MPASI
sehingga ASI sudah bukan menjadi makanan utama. Proporsi terbanyak lama setiap
kali menyusui pada responden ibu tidak bekerja adalah lebih dari 30 menit (45,5%),
sedangkan pada responden ibu bekerja memiliki proporsi yang sama (38,5%) pada
waktu kurang dari 15 menit dan lebih dari 30 menit. Bagi responden yang bekerja,
kesempatan menyusui ketika pulang dari kerja yaitu malam hari sampai esok pagi
sebelum berangkat kerja. Biasanya responden baik yang bekarja maupun yang tidak
waktu menyusui paling lama adalah ketika menyusui pada saat anak akan tidur
malam sampai anak terlelap.
Sebesar 63,3% responden ibu tidak bekerja yang sudah tidak memberikan ASI
lagi mempunyai riwayat menyusui dengan frekuensi dalam sehari adalah lebih dari 8
kali (68,4%) dan proporsi lama pemberian ASI terbanyak adalah 15-30 menit
43
(42,1%). Sebesar 56,7% responden ibu bekerja mempunyai riwayat menyusui dengan
frekuensi kurang dari 8 kali sehari (58,8%) dan proporsi lama pemberian ASI
terbanyak 15 menit sampai lebih dari 30 menit (35,3%)
Tabel 26 menunjukkan bahwa sebanyak 50% responden ibu tidak bekerja dan
60% responden ibu bekerja pernah menggunakan pompa payudara. Pompa ini
digunakan oleh responden untuk memasukkan ASI ke dalam botol, merangsang ASI
untuk keluar karena ASI sedikit, membuang ASI karena payudara ibu terasa
penuh/bengkak, ada pula yang disebabkan
disebabk an karena puting ibu terluka.
diberikan ASI.
44
Tabel 27. Sebaran Contoh menurut Pemberian ASI saat Anak Sakit
Ibu
Ibu Ti
Tida
dak
k Bek
Beker
erja
ja (n
(n=3
=30)
0) Ib
Ibu
u Beke
Bekerj
rjaa ((n=
n=30
30))
Pemberian ASI p
n % n %
Jika anak sakit
- Tetap diberi ASI 29 96,7 29 96,7 1,000
- Tidak diberi ASI 1 3,3 1 3,3
Jika anak menolak ASI
- Tetap diberi ASI 16 53,3 20 66,7 0,300
- Diberikan susu formula 14 46,7 10 33,3
Berdasarkan Tabel 28, pola pemberian ASI 33,3% responden tidak bekerja
dan 63,3% responden bekerja termasuk kategori baik. Hasil uji beda Mann Whitney
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pemberian ASI antara kelompok ibu
tidak bekerja dengan kelompok ibu bekerja (p<0,05). Hal ini diduga karena tingkat
pengetahuan gizi ibu juga berbeda.
Pola pemberian ASI yang baik adalah apabila ibu memberikan ASI pertama
segera setelah melahirkan sehingga mencegah pemberian minuman pralaktal, ibu
Pola pemberian susu formula adalah pemberian susu formula yang dilakukan
oleh ibu kepada anak, meliputi usia contoh saat diberikan susu formula, alasan
pemberian susu formula, sumber informasi tentang susu formula, frekuensi
pemberian susu formula, penggunaan sendok takar dan ketepatan takaran, cara
membersihkan botol susu dan pemberian air susu formula yang bersisa. Menurut
45
Tabel 29. Sebaran Contoh menurut Waktu Pemberian Susu Formula Pertama
Usia anak diberi susu Ibu
Ibu Ti
Tida
dak
k Beke
Bekerj
rjaa (n=3
(n=30)
0) Ib
Ibu
u Beke
Bekerj
rjaa (n=3
(n=30)
0)
p
formula pertama n % n %
<1 bulan 11 36,7 12 40,0
1-3 bulan 2 6,7 10 33,4
0,104
4-6 bulan 8 26,6 4 13,3
>6 bulan 9 30,0 4 13,3
sehingga anak masih lapar (16,7%), anak menolak ASI (13,3%), dan ibu sakit (6,7%).
Sedangkan responden ibu bekerja beralasan karena ibu bekerja (50%), ASI
sedikit/kurang sehingga anak masih lapar (20%), membiasakan anak minum susu jika
ibu mulai bekerja (10%), anak bingung puting dan rewel (6,7%), ibu sakit (3,3%), ibu
hamil lagi (3,3%).
Pemberian susu formula kepada bayi hanya diperbolehkan apabila ibu tidak
bisa memberikan ASI karena keadaan tertentu yaitu ibu meninggal, ibu sakit keras
atau indikasi medis (Depkes, 1985); ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis), ibu
mengalami gangguan jiwa atau epilepsi (Sulistijani & Herlianty, 2003).
46
keluarga (56,7% responden tidak bekerja dan 53,3% responden bekerja). Selain itu
kemasan produk susu formula turut mempengaruhi responden dalam menggunakan
susu formula. Bagi ibu bekerja, rekan kerja turut membantu dalam memilih jenis susu
formula. Dari penelusuran informasi lebih lanjut, sebagian besar responden yang
melahirkan di tempat pelayanan kesehatan mengatakan bahwa mereka mendapatkan
bingkisan susu formula bayi dari pihak yang membantu persalinan tersebut.
Responden merasa sayang jika susu formula tersebut tidak diberikan kepada contoh.
47
Tabel 31. Sebaran Contoh menurut Ketepatan Frekuensi Pemberian Susu Formula
Ketepatan Frekuensi Ibu
Ibu Ti
Tidak
dak Beke
Bekerj
rjaa (n=30
(n=30)) Ib
Ibu
u Beker
Bekerja
ja (n=
(n=30
30))
p
pemberian susu formula n % n %
Tepat (2-4x perhari) 11 36,7 10 33,3
1,000
Tidak Tepat (>4x perhari) 19 63,3 20 66,7
teh atau sendok makan sebagai pengganti sendok takar. Dari penelusuran informasi
lebih lanjut ada responden yang menggunakan sendok takar dari merek susu
sebelumnya. Dari 14 merek susu formula yang digunakan responden, hanya 4 merek
yang tidak menyertakan sendok takar di dalam kemasannya.
Selain frekuensi pemberian, ketepatan dalam menakar banyaknya bubuk susu
dan volume air yang diberikan responden juga penting untuk diteliti. Dari Tabel 33
dapat diketahui bahwa 66,7% responden ibu tidak bekerja dan 63,3% responden ibu
bekerja tidak mengikuti aturan penyajian di kemasan produk susu secara tepat
sehingga mengencerkan dengan tidak tepat. Sebesar 56,7% responden ibu tidak
bekerja dan 53,4% responden ibu bekerja memberikan takaran bubuk susu sebanyak
seba nyak
48
≥4 sendok. Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ketepatan
49
formula/susu botol pada contoh. Pemberian susu oleh ayah ini biasanya dilakukan
pada malam hari saat anak merasa haus.
50
Tabel 35. Sebaran Contoh menurut Pemberian Sisa Air Susu Formula
Pemberian sisa air Ibu Ti
Tid
dak Bek
ekeerja (n=30) Ibu Bek
ekeerja (n=30)
p
susu formula n % n %
Diberikan 16 53,3 13 43,3
0,087
Tidak diberikan 14 46,7 17 56,7
Tabel 36. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian Susu Formula
Kategori Pola Ibu
Ibu Ti
Tidak
dak Beke
Bekerj
rjaa (n=30
(n=30)) Ib
Ibu
u Beker
Bekerja
ja (n=
(n=30
30))
p
Pemberian
Baik Susu Formula
(skor 19-24) n
12 %
40 n
13 %
43,3
Sedang (skor 13-18) 18 60 17 56,7 0,795
Kurang (skor 6-12) - - - -
Pola pemberian susu formula yang baik adalah apabila susu formula diberikan
saat usia anak di atas 6 bulan, mengikuti aturan penyajian baik frekuensi maupun cara
pengenceran sesuai dengan yang ada di kemasan, merebus botol dan dot susu, dan
tidak memberikan sisa air susu setelah 3 jam. Pola pemberian ASI pada kategori
sedang dan kurang berarti tidak memenuhi salah satu atau lebih dari indikator di atas.
51
berumur kurang dari 6 bulan. Uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan umur
contoh pada pemberian MPASI pertama pada kelompok ibu tidak bekerja dengan
kelompok ibu bekerja.
Orang yang berperan dalam pemberian MP-ASI lebih dini umumnya (36%)
adalah tenaga kesehatan (bidan/dokter). Sedangkan sisanya karena pengaruh media
massa dan membaca informasi pada kemasan produk MPASI (24%), mengikuti saran
orangtua (20%), membaca dari buku dan Kartu Menuju Sehat (KMS) (20%). Menurut
Masoara (2001) hal tersebut terjadi karena adanya kekhawatiran ibu dalam beberapa
hari setelah melahirkan merasa ASI tidak mencukupi sehingga mereka memberikan
MP-ASI lebih dini. Sebaran sampel berdasarkan umur bayi mulai diberi MP-ASI
dapat dilihat pada Tabel 37.
52
Jenis MPASI
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani & Herlianty, 2003).
Menurut Depkes (2000), makanan bayi berumur 4-6 bulan adalah makanan lumat
halus seperti bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring,
pisang saring, dll.
Tabel 38 menunjukkan bahwa MP-ASI yang banyak diberikan adalah bubur
bayi komersial dan biskuit bayi
ba yi (46,7%
(46,7 % contoh
con toh kelompok ibu tidak bekerja dan 40%
contoh kelompok ibu bekerja). Jenis makanan ini diberikan kepada bayi mungkin
karena pembuatannya praktis dan bisa cepat diberikan. Selain itu promosi bubur bayi
dan biskuit bayi komersial sangat gencar di masyarakat.
pada kedua kelompok contoh berdasarkan uji beda Mann Whitney. Walaupun saat ini
makanan bayi komersial banyak dijumpai di pasaran, sebaiknya ibu menyiapkan
sendiri MPASI dengan menggunakan bahan pangan lokal. Menurut Krisnantuti dan
Yenrina (2002), MPASI menggunakan bahan pangan lokal memiliki beberapa
keuntungan yaitu harga yang murah dan mudah didapat, kandungan zat gizi yang
lengkap, serta bentuk dan rasanya lebih bervariasi.
53
Tabel 40. Sebaran Contoh menurut Kategori Pola Pemberian MPASI Pertama
dan 40% responden bekerja memberikan ASI atau susu formula saat anak sulit
makan. Kelemahan dari pemberian ini adalah anak sudah terlanjur kenyang meminum
susu formula sehingga nafsu makannya berkurang. Padahal kebutuhan zat gizi tidak
bisa dipenuhi hanya dari susu formula. Sebesar 33,3% responden tidak bekerja dan
43,3% responden bekerja memilih memberikan makanan jajanan jika anak susah
makan. Makanan jajanan yang biasanya diberikan adalah biskuit, coklat, bakso, roti,
lontong isi, dan kue.
54
Ibu T
Tiidak Be
Bekerja (n
(n=30) Ibu Be
Bekerja (n
(n=30)
Jika anak susah makan
n % n %
Konsumsi Energi
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh
sebesar 1250,7 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 98,8 kkal/hari
atau menyumbang 9,8%; dari susu formula sebesar 516,7 kkal/hari, menyumbang
37,5%; dari makanan sebesar 636,2 kkal/hari, menyumbang 52,8%. Rata-rata tingkat
konsumsi energi contoh sebesar 141,9%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat
konsumsi adalah 7,9%, susu formula sebesar 41,0% dan makanan sebesar 51,1%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total energi contoh sebesar
1358,1 kkal/hari. Rata-rata konsumsi energi dari ASI sebesar 93,9 kkal/hari,
menyumbang 8,4%; dari susu formula sebesar 583,1 kkal/hari, menyumbang 40,2%;
dari makanan sebesar 681,1 kkal/hari, menyumbang 51,4%. Rata-rata tingkat
konsumsi energi contoh sebesar 152,6%. Kontribusi energi dari ASI terhadap tingkat
konsumsi adalah sebesar 7,4%, susu formula sebesar 41,6% dan makanan sebesar
51,0%.
Konsumsi Protein
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh
sebesar 44,5 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,7 g/hari atau
menyumbang 5,9%; dari susu formula sebesar 21,5 g/hari atau menyumbang 45,1%;
dari makanan sebesar 21,3 g/hari atau menyumbang 49,1%. Rata-rata tingkat
konsumsi protein
protein contoh sebesar 202,7%. Kontribusi protein dari ASI terhadap
55
tingkat konsumsi adalah sebesar 3,7%, dari susu formula sebesar 48,0% dan dari
makanan sebesar 48,3%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total protein contoh sebesar
47,1 g/hari. Rata-rata konsumsi protein dari ASI sebesar 1,6 g/hari atau menyumbang
5,4%; dari susu formula sebesar 23,3 g/hari atau menyumbang 45,4%; dari makanan
sebesar 22,2 g/hari atau menyumbang 49,2%. Rata-rata tingkat konsumsi protein
contoh sebesar 210,9%. Kontribusi protein dari ASI terhadap tingkat konsumsi
konsumsi
adalah sebesar 3,6%, dari susu formula sebesar 48,4% dan dari makanan sebesar
48,0%.
Konsumsi Vitamin A
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh
sebesar 839,3 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 105,4 RE/hari
atau menyumbang 17,3%; dari susu formula sebesar 210,8 RE/hari atau menyumbang
22,5%; dari makanan sebesar 523,2 RE/hari atau menyumbang 60,2%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 249,8%. Kontribusi vitamin A dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 12,1%, dari susu formula sebesar 23,5%
dan dari makanan sebesar 64,4%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin A contoh sebesar
976,4 RE/hari. Rata-rata konsumsi vitamin A dari ASI sebesar 101,1 RE/hari atau
menyumbang 14,7%; dari susu formula sebesar 251,5 RE/hari atau menyumbang
27,9%; dari makanan sebesar 623,8 RE/hari atau menyumbang 57,4%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin A contoh sebesar 287,3%. Kontribusi vitamin A dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 10,5%, dari susu formula sebesar 23,2%
dan dari makanan sebesar 64,4%.
Konsumsi Vitamin C
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh
sebesar 97,2 mg/hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 4,06 mg/hari
atau menyumbang 7,5%; dari susu formula sebesar 57,3 mg/hari atau menyumbang
61,2%; dari makanan sebesar 35,9 mg/hari atau menyumbang 31,3%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin
vitamin C contoh sebesar 220,6%. Kontribusi vitamin
vitamin C dari ASI
56
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,2%, dari susu formula sebesar 59,5% dan
dari makanan sebesar 36,3%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total vitamin C contoh sebesar
87,5 mg /hari. Rata-rata konsumsi vitamin C dari ASI sebesar 3,9 mg/hari atau
menyumbang 6,6%; dari susu formula sebesar 65,5 mg/hari atau menyumbang
66,0%; dari makanan sebesar 18,2 mg/hari atau menyumbang 27,4%. Rata-rata
tingkat konsumsi vitamin
vitamin C contoh sebesar 195,2%. Kontribusi vitamin
vitamin C dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 4,8%, dari susu formula sebesar 72,6% dan
dari makanan sebesar 22,6%.
Konsumsi Kalsium
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh
sebesar 888,80 mg/hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 53,13 mg/hari
atau menyumbang 13,8%; dari susu formula sebesar 626,7 mg/hari atau menyumbang
46,9%; dari makanan sebesar 209,0 mg/hari atau menyumbang 39,3%. Rata-rata
tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar 201,4%. Kontribusi kalsium dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,0%, dari susu formula sebesar 69,7% dan
dari makanan sebesar 24,3%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total kalsium contoh sebesar
929,7 mg /hari. Rata-rata konsumsi kalsium dari ASI sebesar 51,0 mg/hari atau
menyumbang 9,9%; dari susu formula sebesar 742,9 mg/hari atau menyumbang
62,5%; dari makanan sebesar 135,8 mg/hari atau menyumbang 27,6%. Rata-rata
tingkat konsumsi kalsium contoh sebesar 199,9%. Kontribusi kalsium dari ASI
terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 6,1%, dari susu formula sebesar 77,8% dan
dari makanan sebesar 16,1%.
Pada kelompok ibu tidak bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh
sebesar 13,6 mg/hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari
susu formula sebesar 9,03 mg/hari atau menyumbang 62,9%; dari makanan sebesar
4,6 mg/hari atau menyumbang 37,1%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh
57
sebesar 223,6%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah
sebesar 0%, dari susu formula
formula sebesar 66,1% dan dari makanan sebesar 33,9%.
Pada kelompok ibu bekerja, rata-rata konsumsi total zat besi contoh sebesar
14,05 mg /hari. Rata-rata konsumsi zat besi dari ASI sebesar 0 mg/hari, dari susu
formula sebesar 9,94 mg/hari atau menyumbang 62,6%; dari makanan sebesar 4,1
mg/hari atau menyumbang 37,4%. Rata-rata tingkat konsumsi zat besi contoh sebesar
222,4%. Kontribusi zat besi dari ASI terhadap tingkat konsumsi adalah sebesar 0%,
dari susu formula sebesar 69,2% dan dari makanan sebesar 30,8%.
Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi
pada kedua kelompok contoh sudah memenuhi angka kecukupan ya
yang
ng dianjurkan dan
sebagian besar contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda Mann Whitney
tidak ada perbedaan kategori tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok (Tabel
42).
Hasil uji beda t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi total,
konsumsi ASI, susu formula dan makanan pada seluruh zat gizi (protein, vitamin A,
vitamin C, kalsium, dan zat besi) di kedua kelompok contoh (Tabel 44). Demikian
pula untuk kontribusi energi, protein, vitamin A, vitamin
v itamin C, kalsium, dan zat besi dari
da ri
ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan tingkat konsumsi tidak
ada perbedaan menurut uji beda t pada
pada kedua kelompok contoh (Tabel 43 dan 44).
Contoh pada kelompok ibu tidak bekerja memiliki kontribusi terbesar
terhadap tingkat konsumsi energi, protein, dan vitamin A yang berasal dari makanan.
Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi vitamin C, kalsium, dan zat besi
berasal dari susu formula. Sedangkan contoh pada kelompok ibu bekerja memiliki
kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi energi dan vitamin A yang berasal dari
makanan. Kontribusi terbesar terhadap tingkat konsumsi protein, vitamin C, kalsium,
dan zat besi berasal dari konsumsi susu formula.
58
*)
Tabel 42. Sebaran Contoh menurut Kategori Tingkat Konsumsi
Ibu Tidak Bekerja (n=30) Ibu Bekerja (n=30)
Tingkat Konsumsi p
n % n %
Energi
- Kurang (<70% AKG) 2 6,7 - - 0,154
- Cukup (≥70% AKG) 28 93,3 30 100
Protein
- Kurang (<70% AKG) 1 3,3 1 3,3 1,000
- Cukup (≥70% AKG) 29 96,7 29 96,7
Vitamin A
- Kurang (<70% AKG) 7 23,3 3 10 0,169
- Cukup (≥70% AKG) 23 76,7 27 90
Vitamin C
- Kurang (<70% AKG) - - - - 1,000
- Cukup (≥70% AKG) 30 100 30 100
Kalsium
- Kurang (<70% AKG) 9 30 5 16,7 0,226
- Cukup (≥70% AKG) 21 70 25 83,3
Zat Besi
- Kurang (<70% AKG) 1 3,3 1 3,3 1,000
- Cukup (≥70% AKG) 29 96,7 29 96,7
Tabel 43. Sebaran Contoh menurut Tingkat Konsumsi Zat Gizi dan
Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi
Tingkat Konsumsi Kontribusi terhadap Tingkat Konsumsi (%)
Responden
(%) ASI*) Susu Formula Makanan
Energi
- Ibu tidak bekerja 141,9 7,9 41,0 51,1
- Ibu bekerja 152,6 7,4 41,6 51,0
- Uji beda t p=0,326 p=0,991 p=0,596 p=0,341
Protein
- Ibu tidak bekerja 202,7 3,7 48,0 48,3
- Ibu bekerja 210,9 3,6 48,4 48,0
- Uji beda t p=0,680 p=0,991 p=0,773 p=0,617
Vitamin A
- Ibu tidak bekerja 249,8 12,1 23,5 64,4
- Ibu bekerja 287,3 10,5 23,2 66,3
- Uji beda t p=0,707 p=0,991 p=0,727 p=0,766
Vitamin C
- Ibu tidak bekerja 220,6 4,2 59,5 36,3
- Ibu bekerja 195,2 4,8 72,6 22,6
- Uji beda t p=0,589 p=0,991 p=0,780 p=0,280
Kalsium
- Ibu tidak bekerja 201,4 6,0 69,7 24,3
- Ibu bekerja 199,9 6,1 77,8 16,1
- Uji beda t p=0,971 p=0,991 p=0,707 p=0,138
Zat Besi
- Ibu tidak bekerja 223,6 0,00 66,1 33,9
- Ibu bekerja 222,4 0,00 69,2 30,8
**)
- Uji beda t p=0,974 - p=0,852 p=0,691
*)
Konsumsi ASI dihitung berdasarkan estimasi WHO (2000), dengan kandungan energi=69
kkal/100mL, protein=10,5 g/L, vitamin A=500 μg RE/L, vitamin C=40 mg/L, kalsium=280 mg/L,
zat besi=0,30 mg/L.
**)
Uji beda t pada
pada konstribusi ASI tidak ada karena nilai standar deviasinya adalah 0 (nol).
59
60
Hubungan Berbagai Variabel dengan Pola Pemberian ASI dan Susu Formula
Umur Ibu. Pada Tabel 45 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang
memiliki pola pemberian ASI yang baik berada pada rentang umur 20-29 tahun
(16,7%) dan 30-39 tahun (16,7%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada
rentang umur 20-29 tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (46,7%). Pada keluarga ibu tidak
bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang
yan g tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian ASI. Hal ini berarti
b erarti
ada kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang tidak bekerja maka semakin
baik pula pola pemberian
p emberian ASI yang dilakukan. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja
be kerja
terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara umur ibu dengan pola pemberian
ASI. Jadi terdapat kecenderungan semakin bertambah umur ibu yang bekerja maka
pola pemberian ASI yang dilakukan menjadi kurang.
Menurut Pudjiadi (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut
menentukan dalam produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19-23 tahun umumnya
menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berumur tiga puluhan.
61
Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki
pola pemberian ASI yang baik berada pada kategori keluarga kecil (26,7%) dan
hanya 6,7% yang merupakan keluarga sedang. Proporsi terbesar responden ibu
bekerja yang memiliki pola pemberian ASI yang baik merupakan keluarga kecil
(46,7%) dan hanya 16,7% yang merupakan keluarga sedang. Pada keluarga ibu tidak
bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian ASI.
Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara
besar keluarga dengan pola pemberian ASI (p<0,05). Hal ini berarti semakin kecil
keluarga tersebut diikuti dengan semakin baik pola pemberian ASInya. Hasil ini tidak
sesuai dengan teori dimana jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu
memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam mengasuh anaknya
(Sukarni, 1989).
62
63
Urutan Anak. Pada Tabel 46 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari
kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (50,0%) yang
mendapat pola pemberian ASI yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3. Terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada keluarga ibu tidak
bekerja dengan pola pemberian ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan
positif yang nyata antara urutan anak
a nak dengan
d engan pola pemberian susu formula (p<0,05).
Hal ini berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian ASI.
Menurut Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh
orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian.
Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang dilahirkan di
tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinim bersalin, puskesmas, dan bidan)
sebesar 26,7% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi terdapat
3,3% yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja yang
dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas,
dan bidan) sebesar 53,3% yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik, tetapi
terdapat 6,6% yang berada pada kategori kurang. Hasil uji Rank Spearman
menunjukkan adanya hubungan negatif yang tidak nyata antara tempat kelahiran
dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok contoh. Hal ini menunjukkan
64
Penolong Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang
dilahirkan dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI
yang baik (26,7%) lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang
(60,0%). Sebaliknya, jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan
dengan bantuan dokter atau bidan yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik
(56,7%) lebih banyak dari contoh yang berada pada kategori sedang (26,7%). Pada
keluarga ibu tidak bekerja terdapat hubungan negatif yang tidak nyata antara
penolong persalinan dengan pola pemberian ASI. Sedangkan pada keluarga ibu
bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya
kecenderungan tidak selamanya penolong kelahiran dari tenaga kesehatan (dokter
atau bidan) menjamin anak mendapatkan pola pemberian ASI yang baik.
Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang
dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (30,0%)
lebih sedikit dari contoh yang berada pada kategori sedang (40,0%). Sebaliknya,
jumlah contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan secara normal yang
mendapatkan pola pemberian ASI yang baik (50,0%) lebih banyak dari contoh yang
berada pada kategori sedang (10,0%). Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian
ASI. Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang nyata antara jenis
persalinan dengan pola pemberian ASI (p<0,01). Hal ini berarti jenis persalinan
secara normal mendukung pola pemberian ASI yang baik.
65
66
pula. Namun jumlah ini lebih sedikit dari responden yang berpengetahuan gizi sedang
(16,7%) dan terdapat 3,3% responden yang berpengetahuan gizi kurang. Sedangkan
responden ibu bekerja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik, sebesar 46,7%
memiliki pola pemberian ASI pada kategori baik, sebesar 26,7% pada kategori
sedang, dan 3,3% pada kategori kurang. Terdapat hubungan negatif yang tidak nyata
antara pengetahuan gizi ibu dengan pola pemberian ASI pada kedua kelompok
contoh. Hal ini diduga walaupun pengetahuan gizi ibu sudah baik belum tentu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 47. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian ASI
Umur Ibu. Pada Tabel 48 dapat dilihat responden ibu tidak bekerja yang
memiliki pola pemberian susu formula yang baik berada pada rentang umur 20-29
tahun (16,7%) dan 30-39 tahun (23,3%). Sedangkan pada responden ibu bekerja pada
rentang umur 20-29 tahun (6,7%) dan 30-39 tahun (36,7%). Pada keluarga ibu tidak
bekerja, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang nyata antara umur ibu dengan pola pemberian susu formula (p<0,05).
Pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara umur ibu
dengan pola pemberian susu formula. Hal ini berarti semakin bertambah umur ibu
maka semakin baik pula pola pemberian susu formula yang dilakukan.
67
Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak nyata
antara pendapatan keluarga dengan pola pemberian susu formula. Dengan kata lain
ada kecenderungan pada ibu tidak bekerja, semakin tinggi pendapatan keluarga maka
pola pemberian susu formula semakin baik. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja
terdapat hubungan positif yang nyata antara pendapatan keluarga dengan pola
pemberian susu formula (p<0,05). Hal ini berarti pada ibu yang bekerja semakin
tinggi pendapatan maka semakin baik pola pemberian susu formula.
Besar Keluarga. Proporsi terbesar responden ibu tidak bekerja yang memiliki
pola pemberian susu formula yang baik
ba ik berada pada kategori
kateg ori keluarga kecil (30,0%),
sebesar 6,7% merupakan keluarga sedang, dan 3,3% merupakan keluarga besar.
Proporsi terbesar responden ibu bekerja yang memiliki pola pemberian susu formula
68
yang baik merupakan keluarga kecil (30,0%) dan hanya 13,3% yang merupakan
keluarga sedang. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara besar keluarga dengan pola pemberian susu
formula pada kedua kelompok contoh. Hal ini berarti terdapat kecenderungan
semakin kecil keluarga tersebut semakin baik pola pemberian susu formula nya.
Urutan Anak. Pada Tabel 49 terlihat bahwa proporsi terbesar contoh dari
kelompok ibu tidak bekerja (20,0%) dan kelompok ibu bekerja (36,7%) yang
mendapat pola pemberian susu formula yang baik merupakan anak ke-2 atau ke-3.
Terdapat hubungan positif yang tidak nyata antara urutan contoh pada kelompok ibu
tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja dengan pola pemberian susu formula. Hal ini
berarti semakin awal urutan anak maka semakin baik pola pemberian susu formula.
Menuru Hurlock (2000), anak yang lahir pertama cenderung lebih diperhatikan oleh
orang tua dibandingkan anak yang lahir kemudian.
Tempat Kelahiran. Contoh dari kelompok ibu tidka bekerja yang dilahirkan di
tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan)
sebesar 40,0% yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik, dan tidak
ada contoh yang berada pada kategori kurang. Contoh dari kelompok ibu bekerja
yang dilahirkan di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin,
puskesmas, dan bidan) sebesar 36,6% yang mendapatkan pola pemberian susu
formula yang baik, dan terdapat 6,7% yang dilahirkan di rumah sendiri. Hasil uji
Rank Spearman menunjukkan adanya hubungan positif yang tidak nyata antara
69
tempat kelahiran dengan pola pemberian susu formula pada kedua kelompok contoh.
Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tempat kelahiran di tempat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, dan bidan) mendorong anak
mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik.
Penolong Persalinan. Proporsi terbesar contoh dari kelompok ibu tidak
bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan (dokter atau bidan) yang
mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik sebesar 40,0%. Contoh yang
dilahirkan dengan bantuan paraji berada pada kategori sedang (10,0%). Jumlah
contoh pada kelompok ibu bekerja yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan
(dokter atau bidan) yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik
sebesar 36,7%, jumlah yang berada pada kategori sedang lebih banyak yaitu sebesar
53,3%. Terdapat 6,7% contoh yang dilahirkan dengan bantuan paraji yang memiliki
pola pemberian susu formula yang baik. Pada keluarga ibu tidak bekerja terdapat
hubungan positif yang tidak nyata antara penolong persalinan dengan pola pemberian
susu formula. Sedangkan pada keluarga ibu bekerja terdapat hubungan negatif yang
tidak nyata. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan tidak hanya penolong
kelahiran dari tenaga kesehatan yang mendorong anak mendapatkan
mendapatkan pola pemberian
susu formula yang baik.
Jenis Persalinan. Jumlah contoh dari kelompok ibu tidak bekerja yang
dilahirkan secara normal yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik
lebih sedikit (30,0%) dari contoh yang berada pada kategori sedang (43,3%).
Demikian pula pada kelompok ibu bekerja, contoh yang dilahirkan secara normal
yang mendapatkan pola pemberian susu formula yang baik lebih sedikit (26,7%) dari
contoh yang berada pada kategori sedang (36,7%). Selain itu terdapat 6,7% contoh
kelompok ibu tidak bekerja dan 16,7% contoh dari kelompok ibu bekerja yang
dilahirkan dengan operasi cesar, juga mendapatkan pola pemberian susu formula
yang baik. Berdasarkan uji Rank Spearman, terdapat hubungan negatif yang tidak
nyata antara jenis persalinan dengan pola pemberian susu formula pada kedua
kelompok contoh. Hal ini berarti tidak hanya jenis persalinan secara normal yang
mendukung pola pemberian susu formula yang baik.
70
71
72
Tabel 50. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Pemberian Susu Formula
Pola Pemberian Susu Formula
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh pada kelompok ibu tidak
bekerja dan sebagian kecil contoh pada kelompok ibu bekerja merupakan anak
pertama. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan urutan anak dan
jarak kelahiran antara kedua kelompok contoh (p<0,05). Tidak ada perbedaan
penolong kelahiran, jenis persalinan, dan tempat kelahiran antara kedua kelompok
contoh. Hal ini disebabkan hampir seluruh contoh dilahirkan di tempat pelayanan
kesehatan (rumah sakit, klinik bersalin, bidan, puskesmas) yang proses kelahirannya
dibantu oleh dokter atau bidan, dengan persalinan secara normal/spontan.
Sebagian besar responden ibu bekerja dan sebagian kecil responden ibu tidak
bekerja berumur 30-39 tahun. Rata-rata umur responden ibu tidak bekerja adalah 28
tahun dan responden ibu bekerja adalah 32 tahun, terdapat perbedaan umur ibu pada
kedua kelompok (p<0,01). Tingkat pendidikan lebih dari separuh responden ibu
bekerja dan hampir separuh responden ibu tidak bekerja adalah lulusan perguruan
tinggi. Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 13
tahun, sedangkan pada kelompok ibu adalah 14 tahun. Tidak terdapat perbedaan
tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok contoh. Tingkat pengetahuan gizi
separuh responden ibu tidak bekerja dan sebagian besar responden ibu bekerja
termasuk kategori baik, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan gizi ibu pada kedua
74
adalah besar keluarga, urutan anak, dan jenis persalinan. Sedangkan pada kelompok
ibu tidak bekerja adalah jarak kelahiran.
Pola pemberian ASI kelompok ibu bekerja nyata lebih baik daripada
kelompok ibu tidak bekerja (p<0,05). Namun, tidak terdapat perbedaan pola
pemberian susu formula antara kelompok ibu tidak bekerja dengan ibu bekerja Pola
pemberian MPASI pada kedua kelompok contoh berada pada kategori sedang
sehingga tidak terdapat perbedaan pola pemberian MPASI antara kedua kelompok
contoh.
Konsumsi total energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi di
kedua kelompok baduta contoh sudah memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan
dan sebagian besar baduta contoh termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji beda
Mann Whitney tidak ada perbedaan kategori tingkat konsumsi energi pada kedua
kelompok. Pada kedua kelompok contoh, rata-rata konsumsi energi dan vitamin A
dari makanan lebih besar daripada konsumsi dari ASI dan susu formula. Rata-rata
konsumsi protein, vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula lebih besar
daripada konsumsi ASI dan makanan. Hasil uji beda t menunjukkan
menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin
v itamin C, kalsium, dan zat
besi) total, konsumsi zat gizi dari ASI, susu formula dan makanan pada kedua
kelompok contoh. Kontribusi energi, protein, dan vitamin A dari makanan terhadap
konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada kontribusi ASI dan susu
formula. Tetapi kontribusi vitamin C, kalsium, dan zat besi dari susu formula
terhadap konsumsi dan tingkat konsumsi lebih besar daripada ASI dan makanan.
Kontribusi zat gizi dari ASI, susu formula, dan makanan terhadap konsumsi total dan
kecukupan tidak ada perbedaan menurut uji beda t pada
pada kedua kelompok.
75
Saran
1. Perlu diadakan kampanye gerakan sadar ASI kepada masyarakat agar konsumsi
ASI oleh bayi dan anak baduta semakin bertambah.
2. Perlu dilakukan pelatihan tatalaksana pemberian ASI kepada tenaga kesehatan
(dokter dan bidan) dan kader posyandu agar mendukung para ibu untuk menyusui
secara optimal.
3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pemberian susu formula yang baik kepada
masyarakat agar tidak menghambat praktek pemberian ASI.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai : (1) pola pemberian susu
formula anak baduta di wilayah kota dan desa, (2) riil konsumsi ASI (bukan
berdasarkan estimasi) selanjutnya dianalisis kontribusi dari ASI, susu formula,
dan makanan terhadap zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium,
dan zat besi).
DAFTAR PUSTAKA
Albernaz, E., C.G. Victoria, H. Haisma, A. Wright, & W.A. Coward. 2003. Lactation
counselling increases breast-feeding duration but not breast milk intake as
measured by isotopic methods. Journal of Nutrition, 133, 205-209.
Arimond, M. & M.T. Ruel. 2004. Dietary diversity is asociated with child nutritional
status : evidence from 11 demographic and health surveys. American Society
for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org
As’ad, S. 2002. Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Atmarita & T.S. Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Dalam Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta.
_________. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Dalam
Prosiding WNPG VIII. LIPI, Jakarta.
Baker, J.L., K.F. Michaelsen, K.M. Rasmussen, & T.I.A. Sorensen. 2004. Maternal
prepregnant body mass index, duration of breastfeeding, and timing of
complementary food introduction are associated with infant weight gain.
American Society for Clinical Nutrition. http://www.ajcn.org
Besar, D. S. 2001. Ibu Menyusui dan Bekerja. Makalah disajikan dalam seminar
Telaah Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober.
Bhandari, N., S. Mazumder, R. Bahl, J. Martines. R.E. Black, & M.K. Bhan. 2000.
An educational intervention to promote appropriate complementary feeding
practices and physical growth in infants and young
youn g children in rural Haryana,
India. American Society for Nutrition Sciences. http://www.nutrition.org.
BPS. 1999. Indikator Sosial Wanita Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
77
Depkes. 1985. Buku Pedoman Penggunaan Pengganti Air Susu Ibu, Jakarta.
______. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,
Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta.
Eckhardt, C.L., J. Rivera, L.S. Adair, & R. Martorell. 2001. Full breast-feeding for at
least four
months of months has children
age among differential
in a effects
Mexicanoncommunity.
growth before and after
American six
Society
for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org
Engle, P.L., P. Menon, L. Hadad. 1997. Care and Nutrition : Concepts and
Measurement. International Food Policy Research Institute, Washington D.C.
Fitrisia, D.W. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian Susu
Formula pada Bayi Umur 0-12 Bulan. Skripsi Sarjana. Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Hardinsyah, & D. Martianto. 1992. Gizi Terapan. Depdikbud, Dikti, PAU Pangan dan
Gizi, IPB, Bogor.
Harper, B.J. Deaton & Y.A. Driskel. 1986. Gizi dan Pertanian (Suhardjo,
penerjemah). UI Press, Jakarta.
Hruschka, D. J., D.W. Sellen, A.D. Stein & R. Martorell. 2003. Delayed onset of
lactation and risk of ending full breast-feeding early in rural Guatemala.
American Society for Nutritional Sciences. http://www.nutrition.org
78
Latief, D., Atmarita, Minarto, A.B. Jahari & R. Tilden. 2000. Konsumsi Pangan
Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama krisis Ekonomi. Dalam
Prosiding WNPG VII. LIPI, Jakarta.
Karmini, M., Briawan, D. 2004. Acuan Label Gizi. Dalam Prosiding WNPG VIII.
LIPI, Jakarta.
__________. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
__________. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Martianto, D. & M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi
Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Dalam Prosiding WNPG VIII.
LIPI, Jakarta.
Masoara. 2001. Sindrom ASI Kurang. Makalah disajikan dalam Seminar telaah
Mutakhir Tentang ASI, Bali, 19 Oktober 2001.
Muchtadi, D. 2002. Gizi Untuk Bayi : ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Pudjiadi, S. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, Jakarta.
79
Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Dabara Publisher, Solo.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor.
_______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Kerjasama Bumi Aksara dan PAU
Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.
Sulistijani, D.A. & Herlianty, M.P. 2003. Menjaga kesehatan Bayi dan Balita. Puspa
Swara, Jakarta.
Sukarni, M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. PAU Pangan dan Gizi, IPB,
Bogor.
Supariasa, I.D.N., B. Bakri, & I. Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
80
WHO. 2002. Growth of healthy infants and the timing, type, and frequency of
complementary foods. American Journal of Clinical Nutrition.
http://www.ajcn.org.
Winarno, F. G. 1995. Gizi dan Makanan pada Bayi dan Anak. Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, PAU
Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
82
Karakteristik Keluarga
No. Variabel penelitian p
1. Usia ayah 0.089
2. Usia ibu 0.004**
3. Pendidikan ayah 0.153
4. Pendidikan ibu 0.120
5. Pekerjaan ayah 0.511
6. Pendapatan keluarga (batas kemiskinan) 1.000
7. Besar keluarga 0.710
83
Keterangan :
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%
84
Variabel Penelitian p
Konsumsi total energi 0.316
Konsumsi total protein 0.579
Konsumsi total vitamin A 0.642
Konsumsi total vitamin C 0.652
Konsumsi total kalsium 0.629
Konsumsi total zat besi 0.864
Rata-rata konsumsi energi ASI 0.910
Rata-rata konsumsi protein ASI 0.910
Rata-rata konsumsi vitamin A ASI 0.910
Rata-rata konsumsi vitamin C ASI 0.910
Rata-rata konsumsi kalsium ASI 0.910
Rata-rata konsumsi zat besi ASI 0.910
Kontribusi energi ASI terhadap konsumsi total energi 0.710
Kontribusi protein ASI terhadap konsumsi total protein 0.843
Kontribusi vit. A ASI terhadap konsumsi total vit. A 0.686
Kontribusi vit. C ASI terhadap konsumsi total vit. C 0.732
Kontribusi kalsium ASI terhadap konsumsi total kalsium 0.454
Rata-rata konsumsi energi susu formula 0.505
Rata-rata konsumsi protein susu formula 0.657
Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula 0.642
Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula 0.630
Rata-rata konsumsi kalsium susu formula 0.552
Rata-rata konsumsi zat besi susu formula 0.673
Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi 0.569
Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein 0.939
Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A 0.486
Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C 0.522
Kontribusi
Kontribusi kalsium susu formula
zat besi susu formula terhadap
terhadap konsumsi
konsumsi total
total zat
kalsium
besi 0.103
0.961
Rata-rata konsumsi energi susu formula 0.429
Rata-rata konsumsi protein susu formula 0.736
Rata-rata konsumsi vitamin A susu formula 0.731
Rata-rata konsumsi vitamin C susu formula 0.244
Rata-rata konsumsi kalsium susu formula 0.111
Rata-rata konsumsi zat besi susu formula 0.647
Kontribusi energi susu formula terhadap konsumsi total energi 0.703
Kontribusi protein susu formula terhadap konsumsi total protein 0.978
Kontribusi vit. A susu formula terhadap konsumsi total vit. A 0.734
Kontribusi vit. C susu formula terhadap konsumsi total vit. C 0.537
Kontribusi kalsium susu formula terhadap konsumsi total kalsium 0.172
Kontribusi zat besi susu formula terhadap konsumsi total zat besi 0.961
85
Variabel Penelitian p
Tingkat kecukupan energi 0.326
Tingkat kecukupan protein 0.680
Tingkat kecukupanvitamin A 0.707
Tingkat kecukupanvitamin C 0.589
Tingkat kecukupan kalsium 0.971
Tingkat kecukupan zat besi 0.974
Kategori tingkat kecukupan energi 0.154
Kategori tingkat kecukupan protein 1.000
Kategori tingkat kecukupan vitamin A 0.169
Kategori tingkat kecukupan vitamin C 1.000
Kategori tingkat kecukupan kalsium 0.226
Kategori tingkat keceukupan zat besi 1.000
Kontribusi energi ASI terhadap kecukupan 0.991
Kontribusi protein ASI terhadap kecukupan 0.991
Kontribusi vitamin A ASI terhadap kecukupan 0.991
Kontribusi vitamin C ASI terhadap kecukupan 0.991
Kontribusi kalsium ASI terhadap kecukupan 0.991
Kontribusi energi susu formula terhadap kecukupan 0.596
Kontribusi protein susu formula terhadap kecukupan 0.773
Kontribusi vitamin A susu formula terhadap kecukupan 0.727
Kontribusi vitamin C susu formula terhadap kecukupan 0.780
Kontribusi kalsium susu formula terhadap kecukupan 0.707
Kontribusi zat besi susu formula terhadap kecukupan 0.852
Kontribusi energi makanan terhadap kecukupan 0.341
Kontribusi protein makanan terhadap kecukupan 0.617
Kontribusi vitamin A makanan terhadap kecukupan 0.766
Kontribusi
Kontribusi vitamin
kalsium C makanan
makanan terhadap
terhadap kecukupan
kecukupan 0.280
0.138
Kontribusi zat besi makanan terhadap kecukupan 0.691
86
Keterangan :
* Nyata pada taraf kepercayaan 95%
** Nyata pada taraf kepercayaan 99%