Anda di halaman 1dari 6

Nama : Titah Nurul Lathifah Tahar

NIM : 70200120010

Review Jurnal

APLIKASI MODEL PRECEDE-PROCEED PADA PERENCANAAN PROGRAM


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN BERBASIS
PENILAIAN KEBUTUHAN KESEHATAN MASYARAKAT

Penulis : Endang Sutisna Sulaeman, Bhisma Murti, Waryana


Tahun Terbit : 2015
Halaman : 149-164

Abstrak
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam program kesehatan. Model PRECEDE-PROCEED Green dan Kreuter digunakan
sebagai model perencanaan program kesehatan berbasis penilaian kebutuhan masyarakat.
Tujuan penelitian adalah mengaplikasikan model PRECEDE-PROCEED pada perencanaan
program pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan berbasis penilaian kebutuhan.
Sasaran penelitian adalah para pengambil kebijakan serta pelaksana program Desa Siaga di
Dinas Kesehatan Kabupaten, Puskesmas, dan Desa. Metode penelitian yang diggunakan
adalah metode kualitatif berupa studi kasus. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Pati
Provinsi Jawa Tengah dengan mengambil dua Desa Siaga. Hasil: Prioritas masalah
kesehatan adalah Tuberkulosis (TB) dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Faktor
predisposisi meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, keyakinan, serta kepercayaan pada
takhayul dan dukun. Faktor pendukung meliputi penyuluhan dan pelatihan, ketersediaan
sarana kesehatan, jaminan kesehatan, dukungan dana, sumberdaya lokal, dan sumberdaya
alam. Faktor penguat meliputi kepemimpinan, dukungan sosial, modal sosial, norma sosial,
gotong royong, penghargaan, akses informasi kesehatan dan keteladanan.

REVIEW THEORY PRECEDE-PROCEED

1. Phase 1 : Social Diagnosis

Berdasarkan diagnosis sosial, diketahui bahwa informan menilai kualitas


hidup seseorang dinilai dari aspek tingkat pendidikan, status ekonomi, pekerjaan,
penghasilan dan ketaatan dalam beribadah. Sebagian besar informan mengetahui
bahwa aspek kesehatan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup baik pada
individu maupun masyarakat. Pendidikan dan kesehatan menjadi kunci dalam menilai
kualitas hidup seseorang. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan, dapat
disimpulkan sebagian besar masyarakat memahami bahwa kesehatan seseorang sangat
menentukan kualitas hidup. Meskipun demikian, nyatanya kesadaran masyarakat
mengenai kesehatan masih rendah. Masyarakat seringkali merasa malu dengan
penyakit yang dideritanya sehingga hal tersebut berpotensi mempermudah terjadinya
penularan suatu penyakit dikarenakan tidak adanya upaya preventif yang dilakukan
akibat diagnose penyakit yang ditutup-tutupi. Fenomena ini tentunya dapat memicu
adanya kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) yang seringkali terjadi di lokasi penelitian.

2. Phase 2 : Epidemiological Diagnosis

Jika ditinjau dari diagnosis epidemiologi, diketahui bahwa masalah kesehatan


spesifik yang berkontribusi pada kualitas hidup masyarakat di Desa Siaga yaitu Desa
Kertomulyo dan Desa Tegalharjo ialah penyakit menular seperti Demam Berdarah
Dangue (DBD), Diare, Tuberculosis (TB), Leptospirosis dan Kusta. Menurut
masyarakat sekitar, penyakit-penyakit tersebut seringkali mengganggu kesehatan
warga masyarakat. Penyakit yang seringkali menyebabkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) ialah DBD. Tentunya penyakit ini berkaitan dengan masalah kesehatan
lingkungan sehingga sekiranya penting untuk diprirotaskan. Musyawarah antar
pengurus Desa Siaga, forum kesehatan desa dan aparat desa dilakukan guna
menentukan prioritas masalah dengan menggunakan pendekatan epidemologi yaitu
dengan mempertimbangkan angka insidensi penyakit, tingkat keparahan penyakit dan
tingkat penanganan penyakit.

Pada angka insidensi penyakit di Desa Siaga, diketahui bahwa masyarakat


yang terkena DBD berkisar 6-7 kasus. Dikarenakan DBD bisa dicegah sehingga
penanganannya mudah. Dan apabila penanganannya terlambat maka berpotensi
menyebabkan kematian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, masalah kesehatan yang
menjadi prioritas di Desa Siaga adalah penyakit DBD sehingga penanganannya harus
dilakukan sesegera mungkin. Masalah kesehatan lainnya yang ditetapkan sebagai
prioritas ialah Tuberkulosis (TB). Hal ini didasarkan pada data sekunder yang
diperoleh dari Puskesmas yang menunjukkan bahwa DBD dan TB termasuk ke dalam
sepuluh penyakit utama rawat jalan dan penyebab kematian di wilayah kerja
Puskesmas.

3. Phase 3 : Behavioral and Enviromental Diagnosis

Berdasarkan penetapan prioritas masalah kesehatan tersebut, diketahui bahwa


DBD dan TB merupakan jenis penyakit yang dipengaruhi besar oleh faktor perilaku
dan lingkungan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua informan mengetahui
masalah kesehatan dan penyakit yang terjadi di masyakarat erat kaitannya dengan
perilaku dan lingkungan. Diperoleh fakta bahwa masih ada sebagian besar masyarakat
yang belum memiliki kesadaran atas pentingnya kesehatan. Apabila ada yang
mengalami keluhan sakit, masyarakat seringkali tidak pergi ke fasyankes untuk
melakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui diagnosa penyakit yang dideritanya.
Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan lingkungan,
kurangnya kebiasaan menerapkan gerakan 4M (Menguras tempat penampungan air,
Menutup rapat semua penampungan air, Mengubur atau memusnahkan barang bekas
yang dapat menampung air dan Memantau semua temat penampungan yang dapat
menjadi tempat perkembang biakan nyamuk Aedes) dan Plus (tidak menggantung
baju, memelihara ikan, menghindari gigitan nyamuk, dan membubuhkan Abate)/.
Faktor perilaku lainnya ialah masih ada warga masyarakat yang berobat ke dukun.

Sedangkan masalah perilaku yang berkaitan dengan kejadian TB ialah


rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya TB, adanya stigma negative terhadap
penderita TB, kepercayaan takhayul, buruknya sanitasi lingkungan, kurangnya
sosilisasi dan penyuluhan dari tenaga kesehatan serta kegiatan promosi kesehatan
belum efektif. Rendahnya pendidikan, status sosial ekonomi dan tingginya populasi
penduduk turut mempengaruhi kejadian penyakit. Di samping itu, kurangnya
dukungan masyarakat pada pelayanan kesehatan. Hal ini tercermin dari perilaku
masyarakat yang kurang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan kepatuhan
pengobatan yang masih rendah. Maka dari itu, pemerintah dan tenaga kesehatan
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, menggiatkan surveilans
berbasis masyarakat, melibatkan kader dalam pencarian suspek TB dan pengumpulan
dahak, melakukan kunjungan rumah terhadap penderita serta melakukan pemeriksaan
kontak serumah dan pemantauan minum obat.

4. Phase 4 : Educational and Organizational Diagnosis

Jika ditinjau dari segi pendididkan dan organisasi, maka diketahui bahwa
sebagian besar penduduk di Desa Siaga berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) dan sebagian berpendidikan SMA. Hanya sebagian kecil yang
lulusan perguruan tinggi. Masyarakat sekitar berpendapat bahwa yang mepengaruhi
perilaku adalah faktor pendidikan dan lingkungan sosial sehingga turut berpengaruh
pada status kesehatan seseorang dan keluarga. Meskipun masyakat telah mengetahui
hal tersebut, nyatanya keterampilan masyarakat dalam upaya kesehatan belum
optimal. Kader merupakan salah satu tenaga kesehatan yang bertanggung jawab
dalam meningkatkan keterampilan masyarakat. Untuk meningkatkan keterampilan
masyarakat, maka sarana kesehatan, penyuluhan dan pelatihan, sumberdaya lokal,
dukungan dana, dan sumberdaya alam perlu ditingkatkan.

Selain itu, tenaga kesehatan juga memiliki peran penting dalam upaya
peningkatan keterampilan kesehatan. Peran petugas Puskesmas adalah memberikan
penyuluhan, memberikan imunisasi, memotivasi masyarakat dan membina kesehatan
masyarakat, serta memberi pelayanan kesehatan. Hal ini tentunya sangat membantu
dalam meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengindentifikasi dan
memecahkan masalah.

5. Phase 5 : Administration and Policy Diagnosis

Berdasarkan penilaian administrasi dan kebijakan, maka dapat dinilai bahwa


pelaksanaan administrasi dan kebijkan di Desa Siaga masih kurang. Hal ini tercermin
dari rendahnya dukungan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Salah
satu penyebab rendahnya dukungan masyarakat ialah karena fasilitas pelayanan
kesehatan yang tersedia belum bejalan dengan baik. Meskipun sarana kesehatan
seperti Posyandu, Poskesdes dan Pustu telah tersedia akan tetapi dalam
pelaksanaannya, kualitas pelayanan yang diberikan masih kurang optimal. Selain itu,
kebijakan mengenai pengadaan skrining secara rutin di Desa Siaga belum dilakukan.
Hal ini mencerminkan pengimplementasian regulasi belum berjalan secara optimal.

Puskesmas diharapkan dapat memobilisasi dukungan masyarakat melalui kerja


sama dengan forum kesehatan desa dan kader kesehatan. Kapasitas promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan merupakan kunci keberhasilan
program. Adapun kebijakan terkait kesehatan disusun oleh pimpinan desa, perwakilan
masyarakat bersama forum kesehatan desa. Kebijakan tersebut antara lain
menyediakan dana untuk kegiatan kesehatan dari Anggaran Desa, dan memberikan
penghargaan kepada kader berupa uang lelah dan insentif yang diberikan setiap
setahun sekali. Diharapkan kebijakan tersebut dapat membantu dalam peningkatkan
status kesehatan masyarakat desa setempat.

6. Phase 6 : Implementation

Dalam pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat, diketahui bahwa


upaya kesehatan yang dilaksanakan didukumh oleh sumberdaya lokal berupa tenaga,
dana dan sumber daya alam. Program ini melibatkan masyarakat, kader, tenaga
kesehatan, dan pemerintah setempat demi keberhasilan program yang dijalankan.

Pembiayaan program kesehatan diperoleh dari dana anggaran pendapatan dan


belanja desa (APBDES) dan sumbangan masyarakat. Adanya organisasi yang
mengelola upaya kesehatan masyarakat, yaitu Forum Kesehatan Desa. Adanya
sumberdaya alam berupa tanaman bahan pangan seperti sayuran hijau, singkong,
kacang tanah dan jagung. Faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan program
ini ialah adanya kepemimpinan, modal sosial, akses informasi kesehatan, modal
sosial, partisipasi masyarakat dan keteladanan. Upaya masyarakat dalam
menanggulangi masalah kesehatan dipengaruhi oleh kepemimpinan di tingkat desa.
Maka dari itu, pemimpin desa perlu memberi contoh pada masyarakat dalam
berperilaku sehat.

Dalam pelaksanannya, lebih baik diinformasikan tentang penyebab dan


pencegahan penyakit menular seperti TB dan DBD. Intervensi berbasis pemberdayaan
masyarakat dapat menanggulangi hambatan petugas kesehatan pedesaan untuk
bekerja secara efektif. Strategi ini diharapkan membantu petugas kesehatan untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan program pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular.

7. Phase 7 : Process Evaluation

Dalam menjalankan program, pimpinan desa melakukan tentunya melakukan


pemantauan dan evaluasi program kesehatan. Pimpinan desa seperti Kepala Desa,
Kepala Urusan Kemasyarakatan, PKK desa, dan kader Posyandu melakukan
pemantauan dan evaluasi kegiatan kesehatan di tingkat dusun. Evaluasi program rutin
dilakukan tiap bulan khusunya program Desa Siaga dan Posyandu. Pada tahap
evaluasi, Forum kesehatan Desa (FKD) harus melakukan koordinasi setiap
menemukan masalah dan kesulitan sewaktu menjalankan program kesehatan. Untuk
evaluasi di Posyandu rutin diadakan setiap bulan, tetapi FKD kadang melakukannya
dua bulan sekali. Hal ini dikarenakan kader yang ada di FKD dan kader Posyandu
adalah orang yang sama.

8. Phase 8 : Impact Evaluation

Adanya program pemberdayaan masyarakat seperti Desa Siaga turut


membantu dalam penyebaran informasi kesehatan di kalangan mayarakat. Dengan
adanya program ini, tenaga kesehatan dan masyarakat desa setempat dapat lebih
mudah berkordinasi dalam menangani masalah prirotas yang ada di Desa Siaga. Hal
ini dikarenakan akses informasi kesehatan yang diperoleh pada saat penyuluhan
dibawakan secara langsung oleh kader posyandu, petugas puskesmas, aparat desa,
serta dari pengajian, media TV, radio dan media cetak seperti surat kabar sehingga
banyak jalan yang dilakukan dalam memberikan intervensi kesehatan.

Berdasarkan jurnal tersebut tidak dijelaskan apakah program yang dijalankan


telah terbukti membantu menangani masalah prioritas yang ada di desa tersebut.
Namun berdasarkan penjelasan dari jurnal tersebut, maka diketahui bahwa
pelaksanaan program ini turut membantu dalam memberikan pemahaman kepada
masyarakat akan pentingnya kesehatan bagi semua individu. Dengan adanya
pemahaman baru, maka masyarakat berpotensi mengalami perubahan perilaku
menjadi pribadi yang sehat.

9. Phase 9 : Outcome Evaluation

Dalam jurnal tersebut tidak dijelaskan outcome dari evaluasi program yang
telah dilakukan. Namun jika dianalisis, maka dapat dinilai bahwa program yang
dijalankan telah berjalan dengan baik. Tidak diketahui target secara pasti yang
ditetapkan dalam program ini sehingga penulis tidak dapat menilai apa saja capaian
program yang dijalankan. Meskipun demikian, diperoleh informasi bahwa pihak desa,
FKD, dan tenaga kesehatan puskesmas telah berkoordinasi dengan baik sewaktu
menjalankan program ini. Sehingga pelaksanaan program ini dapat berjalan dengan
lancer. Selain itu, penyuluhan yang diberikan turut melibatkan semua pihak dan
berhasil memanfaatkan semua media sehingga perencanaan yang dilakukan dapat
dikatakan berhasil. Yang perlu menjadi catatan adalah, evaluasi posyandu yang
diadakan oleh FKD harusnya rutin dilakukan tiap bulan. Walaupun yang menjadi
evaluatod adalah orang yang sama, namun tidak dapat dipungkiri pelaksanaan
program yang terjadi sewaktu dilapangan seringkali berbeda-beda pada tiap bulannya
sehingga penting untuk dilakukan evaluasi secara rutin.
Referensi :

Sulaeman, E. S., Murti, B., & Kunci, K. (2015). Aplikasi Model Pada Perencanaan Program
Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Berbasis Penilaian Kebutuhan Kesehatan
Masyarakat The Application of PRECEDE-PROCEED Model in Community
Empowerment Planning in Health Sector Based on the Need Assessment of. Jurnal
Kedokteran Yarsi, 23(3), 149–164.
http://academicjournal.yarsi.ac.id/ojs-2.4.6/index.php/jurnal-fk-yarsi/article/view/
230/166

Anda mungkin juga menyukai