Anda di halaman 1dari 31

TUGAS PERENCANAAN DAN EVALUASI

REVIEW : MODEL PERENCANAAN PROMOSI


KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN

(STUDI KASUS PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DAN TUBERKULOSIS)

Dosen Pengampu :
Dr. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes., FISPH, FISCM.

Disusun Oleh :
Esti Lestari (S021702012)

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kesehatan di indonesia sanagat kompleks, penyakit menular belum
reda tertanggulangi dan kecenderungan terus meningkat, serta telah mengancam
sejak usia muda. Penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat antara lain tuberculosis (TB) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
(Kementerian Kesehatan RI,2011). Penyakit DBD dan TB masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Kedua penyakit tersebut
berhubungan dengan perilaku kesehatan masyarakat.
Word Helath Organization (2015) melaporkan Indonesia sebagai Negara
dengan kasus DBD tertinggi si Asia Tenggara. Sementara itu Indonesia
merupakan negra dengan penderita TB terbanyak nomer dua setelah India, yaitu
10% dari seluruh penderita di dunia. Angka keberhasilan pengobatan pada tahun
2015 sebesar 85,0% (data per juni 2016). WHO menerapkan staandar angka
keberhasilan pengobatan sebesar 85% (World Health Organization Report, 2015).
Beberapa masalah perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan
program pencegahan dan pengendalian DBD (P2DBD) serta pencegahan dan
penanggulangan penyakit TB (P2TB), yaitu : keterbatasan sumberdaya kesehatan
dan sedikitnya pelayanan kesehatan komunitas, mengakibatkan penurunan
pengembangan layanan dalam keduanya; program P2DBD dan P2TB belum
mengaplikasi paradigma sehat, yaitu upaya program menitik beratkan pada
promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitative.
Terbatasnya kapasitas perencanaan program promosi kesehatan dan
pemberdayaan di daerah akibat kurangnya tenaga promosi kesehatan. Hal tersebut
membuat tidak maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat.
Penelitian ini menggunakan kerangka kerja model PRECEDE/PROCEED
(Green LW, Kreuter MW, 2005). Kerangka kerja tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi masalah kesehaatan masyarakat, dan memecahkan masalah
kesehatan masyarakat. Model tersebut mencakup tahap penilaian masalah
kesehatan masyarakat, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Berdasarkan atas
empat disiplin: epidemiologi, promoasi kesehatan dan perubahan perilaku,
kebijakan, dan manajemen. Model PRECEDE-PROCEED terdiri dari sembilan
langkah sebagai satu kesatuan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisi penilaian kualitas hidup,
penilaian epidemiologi masalah kesehatan spesifik, penilaianperilaku dan

2
lingkungan, penilaian pendidikan dan pengorganisasian, penilaian administrasi
dan kebijakan, implementasi, evaluasi proses, dampak, dan hasil, serta
merumuskan model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan program
P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati.
B. Perumusan Masalah Penelitian
1. Bagaimana penilaian sosial (penilaian kualitas hidup) individu dan
masyarakat pada program P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jwa Tengah?
2. Bagaimana penilaian epidemiologi masalah kesehatan spesifik yang
memberikan kontribusi pada kualitas hidup dan menetukan prioritas masalah
kesehatan spesifik pada program P2DBD dan P2TB di kabupaten PATI Jawa
Tengah?
3. Bagaimana penilaian perilaku dan lingkungan yang berhubungan dengan
masalah kesehatan spesifik dihubungkan dengan faktor-faktor perubahan
perilaku kesehatan (kecenderungan, pemungkin dan pendukung) pada
program P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jawa Tengah?
4. Bagaimana penelitian pendidikan dan pengorganisasian yang dibutuhkan,
serta m,engidentifikasi dan mengklasifikasikan faktor-faktor perubahan
perilaku kesehatan (kecenderungn, pemungkin dan pendukung) yang
mengaruhi perilaku kesehatan pada program P2DBD dan P2TB di Kabupaten
Pati Jawa Tengah?
5. Bagaimana penilaian administrasi dan kebijakan serta menetukan dukungan
sumberdaya, komponen program promosi kesehatan dan pemberdayaan pada
program P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jwa Tengah?
6. Bagaimana implementasi promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program
P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jawa Tengah?
7. Bagaimana evaluasi proses promosi kesehatan dan pemberdayaan pada
program P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jwa Tengah?
8. Bagaimana evaluasi dampak promosi kesehatan dan pemberdayaan pada
program P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jwa Tengah?
9. Bagaimana evaluasi hasil promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program
P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jwa Tengah?
10. Bagaimana model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan pada
program P2DBD dan P2TB di Kabupaten Pati Jwa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah menganalisis penilaian kualitas hidup,
penilaian epidemiologi masalah kesehatan spesifik, penilaian perilaku dan
lingkungan, penilaian administrasi dan kebijakan, dan implementasi, melakukan

3
evaluasi proses, dampak, dan hasil serta merumuskan model perencanaan promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB. Sedangkan tujuan
khusus penelitian yakni secara khusus meneliti apa yang ada ditujuan umum
penelitian namun dikhususkan pada kabupaten Pati Jawa Tengah.
D. Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Perlunya merumuskan model perencanaan promosi kesehatan dan
program pemberdayaan pada program P2DBD dan P2TB, sehingga program
P2DBD dan P2TB sesuai dengan kebutuhan masyarakat, didukung oleh sumber
daya local dalam menunjang kemampuan mengidentifikasikan masalah kesehatan
dan pemecahan masalah kesehatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Promosi Kesehatan Dan Pemberdayaan
Definisi promosi kesehatan menurut WHO (2005) dalam Bangkok
Charter for Helth Promotion in a Globalized World adalah proses memmpukan
orang untuk meningkatkan pengendalian atas faktor-faktor penentu (determinan)
kesehatan dan dengan demikian dapat meningkatkan kesehatan mereka. Dengan
demikian promosi kesehatan adalah fungsi inti dari kesehatan masyarakat dan
berkontribusi terhadap upaya penanggulangan penyakit menular dan tidak
menular, serta ancaman lain terhadap kesehatan. Pengertian promosi kesehatan
mengandung proses dan tujuan pemberdayaan diri. Dengan demikian esensi
promosi kesehatan adalah pemberdayaan agar mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatan, dengan parisipasi sebagai unsure pokok untuk
mempertahankan tindakan promosi kesehatan.
Pengerian holistic pemberdayaan adalah proses sosial, budaya,
psikologis, dan politik melalui individu dan kelompok sosial sehingga mampu
mengekpresikan kebutuhan, menghadirkan kepedulian, menyusun strategi dalam
keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan, serta mencapai tindakan politik,
sosial dan budaya untuk memenuhi kebutuhan.
Visi promosi kesehatan dan pemberdayaan, antara lain mewujudkan
masyarakat mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga mereka
dapat hidup sehat, produktif, bahagia, dan sejahtera melalui gerakan hidup sehat
dimasyrakat, meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memelihara dan

4
meningkatkan derajat kemampun masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental, dan sosial sehingga produktif
secara ekonomi maupun sosial (departemen Kesehatan RI, 2005).
Sementara itu kementerian kesehatan (2015) tujuan program
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan terdiri atas tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum meningkatnya kemandirian masyarakat dan keluarga dalam
bidang kesehatan sehinga masyarakat dapat memberikan andil dalam
meningkatkan derajat kesehatannya. Sedangkan tujuan khususnya adalah
meningkatnya pengetahuan masyarakat dalam bidang kesehatan, meningkatnya
kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat
kesehatannya sendiri, meningkatnya pemanfatan fasilitas pelayanan kesehatan
oleh masyrakat, dan terwujudnya pelembagaan upaya kesehatan masyarakat di
tingkat lapangan.
Adapun langkah-langkah promosi kesehatan dan pemberdayaan di
tingkat desa/kelurahan dilakukan melalui lima langkah pokok yaitu pendekatan
terhadap tokoh masyarakat, pengenalan masalah kesehatan oleh masyarakat
dilakukan melalui kegiatan survey mawas diri (SMD), perumusan upaya
penanggulangan masalah oleh masyarakat melalui musyawarah masyarakat desa
(MMD), pelaksanaan kegiatan penanggulangan masalah oleh masyarakat, dan
pembinaan, pengembangan dan pelestarian.
B. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DBD (P2DBD), Pencegahan
dan Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis (P2TB) serta Pembelajaran dan
Pelatihan kader DBD dan TB.
1. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DBD (P2DBD)
DBD di Indonesia merupakan salah satu penyakit endemis dengan angka
kesakitan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan daerah
terjangkit semakin meluas, bahkan sering menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) dan wabah. Sampai saat ini vaksin dan obat virus DBD belum
ditemukan, sehingga salah satu strategi utama dan paling efektif untuk
pengendalian penyakit DBD dalah dengan cara melakukan upaya preventif
dengan pemutusan rantai penularan melalui gerakan PSN-DBD, tanpa
mengabaikan peningkatan keaspadaan dini dan penanggulangan KLB serta
penatalaksanaan kasus (Kementerian Kesehatan, Ditjen P2PL, 2011). Peran
serta masyarakat dalam penanggulangan DBD yaitu pertama, kegiatan
ssurvailans penyakit. Salah satu fungsi dari sistem survailans adalah deteksi
utama secara cepat untuk kejadian wabah /KLB. Kedua, masyarakat berperan
dalam upaya pemberantasan vector yang merupakan upaya paling penting

5
untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka mencegah dan
memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang.
2. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tuberkolosis (P2TB)
Sejak tahun 1993 WHO menytakan bahwa TB merupakan kedaruratan
global bagi kemanusiaan. Walaupun starategi direcly observed treatment short
course (DOTS) telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi
beban penyakit TB dimasyarakat masih sangat tinggi. Visi stop TB
Partnership adalah dunia bebas TB, yang akan dicapai melalui empat empat
misi, yaitu menjamin akses terhadap diagnosis, pengobatan yang efektif dan
kesembuhan bagi setiap pasien TB, menghentikan penularan TB, mengurangi
ketidakadilan dalam beban sosial dan ekonomi akibat TB, mengembangkan
dan menerapkan berbagai strategi preventif, upaya diagnosis dan pengobatan
baru lainnya untuk mengehntikan TB. Stigma TB dimasyarakat dapat
dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat
mengenai TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanya pada kelompok
tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai dengan budaya
setempat.
Salah satu perkembangan Indonesia yang ditunjukan dalam program
pengendalian TB adalah keikutsertaan pihak pemangku kepentingan utama,
seperti organisasi masyarakat yaitu muhammadiyah dan NU dalam Gerakan
Terpadu Nasional Penanggulan TB (Gerdunas-TB) yang dibentuk pada tahun
1999 dengan menggunakan gerakan lintas sektoral dari tingkat pemerintahan
pusat hingga daerah. Terdapat 3 fungsi yang dikelompokan dari kemitraan
tersebut yaitu: perencanaan dan pengarah; pembiayaan, alokasi dan sumber
daya; dan penyediaan layanan (Kementrian Kesehatan, 2011).
Dalam mendeteksi kasus TB terdapat dua jalur utama yang
dikemukakan oleh WHO (2011) yaitu jalur pasien dan jalur skrining. Dimana
jalur pertama dengan melakukan pendekatan penemuan kasus secara pasif
yang diterapkan oleh sebagian besar NTP (national TB control programmers)
di Negara yang memiliki beban TB yang tinggi. Pendekatan ini lebih sering
dan baik disebut dengan jalur diprakarsai pasien yang meliputi a) mengenali
gejala individuyang sakit atau pengasuh; b) mengakses penyedia layanan yang
sesuai; c) mengidentifikasi pasien yang diduga TB oleh tenaga kesehtan; d)
menerapkan semua langkah yang diperlukan dalam algoritma diagnostic dan
menggunakan alat diagnostic kualitas terjamin; mengacu pada tempat
pengobatan dan/ atau pemberitahuan yang tepat.

6
Jalur kedua adalah jalur penapisan (screening pathway) dengan
mengacu pada identifikasi dugaan penyakit TB antara orang-orang yang
secara tidak aktif mencari dan mendapatkan perawatan gejala TB dengan
orang-orang penderita TB aktif yang tidak mengalami gejalayang mereka
anggap cukup berat untuk menjamin perhatian medis, serta orang-orang yang
memulai tetapi tidak mengikuti melalui jalur pasien. Target jalur penapisan
yaitu populasi umum dengan kelompok risiko tertentu. Namun, penapisan
biasanya membutuhkan sumber daya, kecuali ditargetkan dengan kelompok
yang mudah dijangkau dan harus dikejar sebagai pelengkap pendekatan yang
tepat dalam mengatasi hambatan pada jalur diprakarsai pasien.
Penanggulangan TB dilakukan dengan memberikan kekebalan melalui
imunisasi BCG kepada bayi. Targetnya adalah a) anak usia dibawah 5 tahun
yang kontak berat dengan penderita TB; b) orang dengan HIV dan AIDS yang
tidak terdiagnosa TB; c) populasi tertentu lainnya. Waktu pemberian obat
pencegahan TB pada anak dan orang dengan HIV dan AIDS adalah selama 6
bulan, dan populasi tertentu lainnya diberikan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sesuai dengan permenkes RI No. 67 tahun 2016 tentang penanggulan
Tuberkulosis. Upaya penanggulanangan pasien TB harus didukung dengan
kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua yang terduga TB dapat
ditemukan secara dini. Strategi penemuan pasien TB dilakukan secara:
a) Pasif dan intesif melalui Public-private mix (PPM) yang dilkukan
dipelayanan kesehatan
b) Aktif dan masif, strategi berbasis keluarga dan masyarakat yang dapat
dibantu oleh kader dari posyandu, pos TB desa, tokoh msyarakat, dan
tokoh agama.
Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus
menerus terhadap data dan Informasi tentang kejadian penyakit TB berbasis
indikator yang ditujukan untuk memperoleh gambaran perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian yang digunakan dalam program penanggulanangan
TB dan berbasis kejadian ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan dini
dan tindakan respon terjadinya peningkatan TB resisten obat. Dalam
penyelenggaraan surveilans TB dengan pengumpulan data secara aktif dengan
pengumpulan data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau sumber data
lainnya dan pengumpulan data secara pasif dengan pengambilan data dari
fasilitas pelayanan kesehatan baik secara manual maupun elektronik.

7
Dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan TB dibangun dan
dikembangkan koordinasi dan jejaring kerja kemitraan yang diarahkan untuk
advokasi, penemuan kasus, penanggulangan TB, pengendalian factor risiko,
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, kajian, penelitian, serta
kerjasama antar wilayah, luar negeri, dan pihak ketiga, peningkatan KIE,
meningkatkan kewaspadaan dini dan kesiagaan penanggulangan TB, integrasi
penanggulanagan TB, dan sistem rujukan.
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dilakukan dengan menjaga
lingkungan sehat dan menjalankan etika batuk secara benar serta memastikan
warga yang terduga TB memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan
dan mencegah stigma dan diskriminasi terhadap kasus TB. Terdapat dua
tantangan dalam program P2TB yaitu pertama masih rendahnya kesadaran
masyarakat yang mengakibatkan tingginya risiko penyebaran infeksi. Kedua
masih tingginya penemuan kasus yang belum diimbangi dengan ketersediaan
pelayanan pengobatan yang memadai. Penyebab utama yang mempengaruhi
meningkatkan beban TB antara lain:
a) Belum optimalnya program TB
b) Tata laksana TB yang belum memadai terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan yang belum menerapkan layanan TB sesuai standar pedoman
nasional
c) Keterlibatan lintas sektoral dan lintas program yang masih kurang baik dri
segi pendanaan maupun kegiatan
d) Layanan akses TB yang belum merata khususnya di Daerah terpencil,
perbatasan dan kepulauan, serta daerah risiko tinggi seperti daerah padat
penduduk, daerah perkotaan yang kumuh, pelabuhan, industri, asrama,
barak, dan lapas/rutan
e) Tata laksana TB yang belum memadai mencakup penemuan kasus,
paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan
f) Besarnya masalah kesehatan lain yang berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB
g) Meningkatnya jumlah kasus resistant obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB
h) Berbagai faktor sosial yang mempengaruhi sehingga berakibat pada
tingginya risiko masyarakat terjangkit TB (Permenkes No. 67/2016)
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TB
dapat mendorong tercapainya target program, sehingga masyarakat juga perlu

8
terlibat aktif dalam kasus ini. Perlibatan masyarakat diutamakan pada 4area
dalam program penanggulangan TB:
a) Penemuan orang terduga TB
b) Dukungan pengobatan TB
c) Pencegahan TB
d) Mengatasi faktor sosial yang mempengaruhi penanggulangan TB

Pemberdayaan masyarakat sesuai dengan sasarannya:


a) Pemberdayaan individu
b) Pemberdayaan keluarga
c) Pemberdayaan kelompok/masyarakat
Desa siaga/desa sehat merupakan tanggung jawab pemerintah
desa/kelurahan dan bagian dari desa siaga adalah integrasi layanan TB
bersumberdaya masyarakat (UKBM), dimana poskesdes menjadi
koordinatornya. Titik pusat dalam system layanan kesehatan menjadikan
pasien TB sebagai focus utama dalam penanggulangan TB.
3. Pembelajaran dan pelatihan kader DBD dan TB
Pembinaan dan pengembangan partisipasi masyarakat perlu
dikembangkan dalam rangka membangun kapasitas program P2DBD dan
P2TB yaitu dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pemecahan
masalah kesehatan masyarakat. Terdapat dua cara pokok untuk menumbuhkan
partisipasi masyarakat yaitu:
a) Partisipasi dengan paksaan
b) Partisipasi dengan persuasi dan edukasi
Elemen-elemen partisipasi masyarakat adalah:
a) Motivasi
b) Komunikasi
c) Kooperasi
d) Mobilisasi
Metode yang digunakan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yaitu:
a) Pendekatan terhadap masyarakat
b) Pengorganisasian masyarakat dan pembentukan tim
c) Survey mawas diri
d) Perencanaan program
e) Pembelajaran dan pelatihan
f) Rencana evaluasi

9
Salah satu upaya membina dan mengembangkan partisipasi menurut
Kementrian Kesehatan RI Ditjen P2PL (2011) adalah melalui pembelajaran
dan pelatihan dengan merujuk pada modul pelatihan pengendalian demam
berdarah dengue. Filosofi pembelaqjaran dan pelatihan perencanaan P2DBD
dan P2TB menggunakan nilai-nilai dan keyakinan yang menjiwai, mendasari,
dan memberikan identitas pada system pelatihan yang meliputi: (a) pelatihan
penerapan pembelajaran orang dewasa dengan karateristik, (b) perlunya
memperhatikan penggunaan metode dan teknik yang digunakan dalam
pembelajaran orang dewasa yang dapat menciptakan suasana yang partisipatif.
Terdapat dua tujuan dalam pembelajaran orang dewasa, yaitu:
a) Tujuan umum dimana peserta mampu memahami kebijakan dan strategi
yang terkait program pengendalian DBD dan TB
b) Tujuan khusus yaitu setelah mengikuti pelatihan peserta mampu
menjelaskan situasi dan permasalahan yang terkait dengan DBD dan TB,
peserta mampu menjelaskan dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan
kegiatan pengendalian DBD dan TB, dan peserta mampu menjelaskan
target/ indikator kinerja dalam pengendalian DBD dan TB
Terdapat 10 materi dalam modul pembelajaran dan pelatihan, yaitu: (a)
materi dasar (b) materi inti dan (c) materi penunjang.
Terdapat 2 pokok bahasan dalam pembelajaran, yaitu:
a) Pokok bahasan mengenai situasi DBD dan TB serta permasalahan
pengendalian DBD dan TB
b) Kebijakan pengendalian DBD dan TB
Metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi dan Tanya jawab serta
bahan belajar menggunakan modul dan copy materi alat bantu belajar adalah
computer, LCD, CD.
Langkah-langkah pembelajaran:
a) Penciptaan suasana kesiapan belajar, pengenalan diri, mengajukan
pertanyaan yang mengarah pada topic materi
b) 089672186451
c) Fasilitator menjelaskan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran,
diberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan d]atau
mengklarifikasi tujuan tersebut
d) Pemaparan materi selama 2 jam.

10
C. Pengendalian Perencanaan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
pada Program P2DBD dan P2TB
Dari berbagai pengertian perencanaan yang dikemukakan oleh beberapa
sumber dapat disimpulkan bahwa pengertian perencanaan adalah:

1) Penyusunan kegiatan program kedepan untuk mencapai tujuan program


promosi kesehatan
2) Didasari pada analisis dan pemahaman system program promosi kesehatan
yang menyeluruh
3) Menjadi efektif jika perumusan masalah berdasarkan data dan fakta
4) Untuk mencapai tujuan program promosi kesehatan dilakukan proses
pemilihan alternative tindakan yang terbaik
5) Proses pengambilan keputusan atas sejumlah alternative (pilihan) tujuan dan
cara dimasa yang akan datang guna mencapai tujuan yang dikehendaki
6) Secara implisit mengemban misi program untuk mencapai visi program
promosi kesehatan

Table 2.2. Model Perencanaan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan


Model Elemen kunci pada setiap model
Laverack dan Empat fase: Merancang keseluruhan program,
Labonte (2000) menetapkan tujuan, memilih strategi, dan evaluasi
program
Dignan dan Carr Empat fase: Menganalisis masyarakat, penilaian
(1992) sasaran (kelompok), menegmabnagkan rencana
program, implementasi dan evaluasi
Goodstadt et al. Delapan fase: Menjelaskan program;
(2001): Model mengidentifikasi isu dan pertanyaan; merancang
generik proses pengumpulan data; pengumpulan data;
perencanaan dan menganalisis dan mengiterpretasikan data; membuat
evaluasi rekomendasi; diseminasi; melakukan tindakan
Nutbeam (1998): Empat fase: pengembangan kemampuan melalui
Model tingkatan pengembangan staf, mobilisasi social, advokasi dan
perencanaan dan diseminasi hasil
evaluasi
Lima fase: Mengembangkan matriks untuk membuat
Bartholomew, tujuan program „proksimal‟; memilih metode;
Parcel, Kok & merancang strategi dan program: merencanakan dan

11
Gottlieb (1998, mengadopsi; implementasi dan evaluasi
2001): Pemetaan
intervensi
Green & Kreuter Sembilan fase: Fase 1 mengidentifikasi tujuan dan
(2005): precede/ masalah dengan memperhatikan pada target populasi;
Procede Fase 2 mengidentifikasi tujuan kesehatan khusus dan
masalah; Fase 3 mendiagnosa faktor-faktor
kecendrungan (predisposising), memungkinkan
(enabling), dan memperkuat (reinforcing); Fase 4
menilai kemampuan organisasi dan administrasi serta
sumber-sumber daya; Fase 5 mengembangkan
komponen-komponen program; Fase 6 implementasi;
Fase 7 sampai Fase 9 evaluasi (proses, hasil dan
dampak)
Sumber: Fleming, ML dan Parker E (2007). Health Promotion: Prinsiples and
Practice in the Australian Contexs. 3rd Edition Sydney: Ligare Book Printer;
Dignan MB, Carr PA (1992). Program Planning for Health Education and
Promotion . Second Edition. USA: Lea & Febiger

1. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan menurut Laverack


dan Labonte (2000) meliputi kegiatan-kegiatan, yaitu:
Pertama merancang keseluruhan program termasuk didalamnya
kerangka waktu kegiatan, ukuran program dengan memperhatikan kelompok
masyarakat yang terpinggirkan, Kedua menetapkan tujuan yang merupakan
hasil akhir yang diharapkan, Ketiga memilih strategi yang meliputi
pendidikan masyarakat, fasilitas kegiatan yang berasal dari masyarakat,
mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat sebagai prasyarat utama
tumbuhnya tanggung jawab sebagai anggota masyarakat, fasilitas upaya
mengembangkan jejaring antarmasyarakat, serta advokasi kepada
pengambilan keputusan. Keempat implementasi strategi dan perencanaan
dengan meningkatkan peran pemangku kepentingan, menumbuhkan
pengenaan masalah, mengembangkan kepemimipinan local, membangun
keberdayaan struktur organisasi, meningkatkan mobilisasi dan pendayagunaan
sumber daya, memperkuat pemangku kepentingan untuk “bertanya mengaa?”,
meningkatkan control pemangku kepentingan atas perencanaan program, serta
membuat hubungan yang sepadan dengan pihak luar, Kelima evaluasi
program yang ditujukan pada proses pemberdayaan daripada hasilnya.

12
2. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan menurut Dignan
dan Carr (1992) yang memiliki 4 fase yaitu; Fase 1 menganalisis masyarakat
dengan mengumpulan berbagai informasi rinci tentang masyarakat dimana
informasi tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat berfungsi, Fase 2
menganalisis sasaran dengan menentukan perilaku yang berhubungan dengan
masalah kesehatan untuk merencanakan perubahan perilaku dalam
meningkatkan kesehatan, Fase 3 mengembangkan rencana program dengan
identifikasi tujuan, identifikasi sumber daya dan hambatan, dan ketepatan
dalam menentukan sasaran, Fase 4 implementasi yaitu dengan
mengembangkan strategi untuk menempatkanprogram dalam aksi dan
evaluasi yang mencakup dua bentuk kriteria yaitu evaluasi proses dan evaluasi
hasil akhir.
3. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan menurut Simnett
(2011) dengan melibatkan 4 tahap utama: Fase 1 penilaian kebutuhan
pelayanan kesehatan, Fase 2 perencanaan program promosi kesehatan dan
pemberdayaan, Fase 3 pelaksaan program, Fase 4 tinjauan program yang telah
dilaksanakan
4. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan menurut Ewless
dan Simnett (2003) dengan mengusulkan model tujuh langkah secara linier,
memfokuskan pada penetapan sasaran yang meliputi area kognitif, afektik,
dan keterampilan dalam perubahan perilaku.
5. Model umum perencanaan dan evaluasi program promosi kesehatan dan
pemberdayaan menurut Goodstadt et al. (2001) dengan Sembilan prinsip
kunci mengenai evaluasi program dari perkembangan disiplin sampai peran
potensial bagi evaluator.
6. Model perencaan promosi kesehatan dan pemberdayaan menurut Nurbeam
(1998) dengan menyusun model pada peningkatan dasar bukti yang
disarahkan pada kesenjangan antara penelitian dan praktik sehingga dapat
mendefinikan masalah dan pemecahannya serta mengintegrasikan banyak
unsur dari model tersebut kedalam perencanaan dan evaluasi yang
komprehensif
7. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan pemetaan
intervensi menurut Bartholomew (cit. Fleming ML dan Parker E (2007) )
dimana untuk membuat sasaran program model ini terdiri dari lima langkah
yang dikembangkan dalam matriks yaitu pemilihan metode, spesifikasi
strategi praktis dan perancangan program, perencanaan untuk mengadopsian,
implementasi rencana program dan evaluasi

13
8. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan dengan
menggunakan model PRECEDE-PROCEDE (Green LW dan Kreuter MW,
1991; 2005). Model ini merupakan modl partisipatif untuk mewujudkan
kebehasilan promosi kesehatan dan pemberdayaan dan intervensi kesehatan
masyarakat lainnya, terdiri dari Sembilan fase dimana PRECEDE sebagai
lima fase awal dan PROCEDE sebagai 4 fase akhir.
Fase 1- dengan penilaian social (penilaian kualitas hidup) individu dan
komunitas dalam evaluasi, Fase 2- adalah penilaian epidemiologi untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan spesifik yang memberikan kontribusi
pada kualitas hidup, Fase 3- melakukan penilaian perilaku dan lingkungan
yang berhubungan dengan masalah kesehatan, Fase 4- penilaian pendidikan
dan pengorganisasian dengan mengidentifikasi pendidikan, keterampilan,
pengorganisasian dan lingkungan kesehatan yang dibutuhkan, serta
mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan faktor-faktor yang
memperngaruhi perubahan periaku kesehatan kedalam faktor kecenderungan
(Predisposing Factors), factor memungkinkan (Enabling Factors), dan faktor
memperkuat (Reinforcing Faktors).
Fase 5- melakukan penilaian administrasi dan kebijakan dengan
memfokuskan pada masalah administrasi dan kebijakan yang ditujukan
sebelum implementasi program, termasuk penilaian sumber daya,
pengembangan dan alokasi anggaran, penyusunan jadwal pelaksanaan,
organisasi atau personil program, serta koordinasi dan kerjasama lintas
sektoral dengan organisasi terkait dan masyarakat.
Fase 6- adalah pelasanaan kebijakan , pengorganisasian dan
perencanaan, metode dan strategi intervensi, menggerakkan sumber daya, dan
memulai pelaksanaan program. Fase 7- adalah evaluasi proses yang diarahkan
pada proses promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program P2DBD dan
P2TB.
Fase 8 – evalusi dampak (impact evaluation) adalah mengukur
efektifitas program promosi kesehatan dan pemberdayaan dalam pencapaian
tujuan dan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
meliputi faktor kecenderungan, memungkinkan dan memperkuat.
Fase 9- evaluasi hasil akhir (outcomes) adalah mengukur berubah
dalam hal tujuan keseluruhan dan perubahan dalam kesehatan dan manfaaat
sossial atau kualitas hidup. Evaluasi hasil akhir kesehatan (health outcome
evaluation) ada;ah suatu evaluasi yang menilai perubahan atau perbaikan

14
dalam hal morbiditas, mortalitas, status gizi atau indikator derajat kesehatan
lainnya untuk sekelompok penduduk tertentu.
Evaluasi dampak program promosi kesehatan (health promotion
impact evaluation) yaitu suatu evaluasi yang menilai keseluruhan efektivitas
program promosi kesehatan dan pemberdayaan dalam menghasilkan
perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku pada target saasaran, serta dampak
perubahan sosial dan tatanan sistem masyarakat. Hasil promosi kesehatan dan
pemberdayaan mewakili titik pertama penilaian dan menggambarkan
modifikasi antara faktor-faktor pribadi, sosial, dan lingkungan sebagai sarana
untuk meningkatkan kontrol masyarakat atas kesehatan mereka. Dalam
rangka menilai proses, evaluasi tindakan promosi kesehatn dan pemberdayaan
bersifat partisipatif, melibatkan semua orang dengan kepentingan yang
ditetapkan dalam inisiatif; interdisipliner dengan melibatkan perspektif
berbagai disiplin; terintegrasi ke dalam semua tahapan pengembangan dan
pelaksanaan inisiatif promosi kesehatan dan pemberdayaan; dan membantu
membangun kapasitas individu, komunitas, organisasi dan pemerintah untuk
dialamatkan pada masalah kesehatan ( WHO, 1998).
Hasil promosi kesehatan dan pembeberdayaan adalah perubahan
karakteristik dan keterampilan pribadi, dan/atau norma-norma dan tindakan
sosial, dan atau praktik organisasi dan kebijakan publik yang berkaitan
dengan kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaaan. Promosi kesehatan
dan pemberdayaan merupakan proses sosial dan politik yang komprehensif,
tidakmhanya mencakup tindakan-tindakan yang ditujukan untuk memeperkuat
keterampilan dan kemampuan individu, tetapi juga tindakan yang diarahkan
untuk perubahan kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi untuk meringankan
pengaruhnya pada kesehatan umum dan individu. Partisipasi sangat penting
untuk mencapai tindakan promosi kesehatan.
Piagam otawa (1986) mengidentifikasi tiga strategi dasar untuk
promosi kesehatan, yaitu advokasi kesehatan untuk menciptakan kondisi yang
penting bagi kesehatan : memungkinkan semua orang untuk mencapai potensi
kesehatan secara penuh; dan menengahi (memediasi) diantara kepentingan
yang berbeda dalam masyarakat dalam mencapai kesehatan. Promosi
kesehatan dan pemberdayaaan tidak hanya mencakup tindakan yang
diarahkan pada penguatan dasar keterampilan dan kemampuan individu, tetapi
juga pada pengaruh fisik yang berdampak pada kesehatan.
Deklarasi jakarta mengidentifikasi lima prioritas yaitu :
mempromosikan tanggung jawab sosial untuk kesehatan, meningkatkan

15
investasi untuk pengembangan kesehatan, memperluas kemitraan untuk
promosi kesehatan, meningkatkan kapasitas masyarakat dan memberdayakan
secara individu dan mengamankan infrastruktur bagi promosi kesehatan.
Menggunakan kombinasi dari lima strategi lebih efektif daripada satu
pendekatan.
Evaluasi hasil merujuk pada standar pelayanan minimal (SPM) bidang
kesehatan sebagai suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur
kinerja penyalanggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan
pelayanan, indikator, dan nilai (benchmark). Pelayanan dasar kepada
masyarakat adalah fungsi pemerintah dalam memberikan dan mengurus
keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk menningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat.
D. Peta Jalan Riset (Road Map) Dan Pencapaian Inovasi Research Group (Rg)
Promosi Kesehatan Dan Pemberdayaan
State of the art dan peta jalan (road map) penelitian adalah mendukung
kberadaan UNS guna meningkatkan produktifitas publikasi ilmiah baik publikasi
ilmiah nasional terakreditasi maupun publikasi ilmiah internasional bereputasi.
E. Kerangka Berfikir
Model PRECEDE/ PROCEED terdiri dari sembilan fase/ langkah sebagai
satu kesatuan. PRECEDE sebagai lima fase awal, yaitu : fase 1- penilaian sosial,
fase 2- penilaian epidemiologi , fase 3- penilain perilaku dan lingkungan, fase 4-
penilaian pendidikan dan pengorganisasian, fase 5- penilaian administrasi dan
kebjakan. Selanjutnya tahap kedua PRECEED – mencakup 4 fase , yaitu fase 6-
pelaksanaan, fase 7- evaluasi proses, fase 8- evaluasi dampak dan fase 9- evaluasi
hasil.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis , Desain, Tempat Dan Waktu
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan analitik. Desain penelitian
adalah potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan menggunakan desain
gabungan antara penelitian kuantitataif dan kualitatif.
B. Populasi, Sampel, Teknik Sampling Dan Teknik Pengumpulan Data

Populasi penelitian kualitataif menurut spradley (1980). Menggunakan istilah


“social situation” (situasi sosial) tetrdiri atas 3 (tiga) elemen: tempat (place),
pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berintergaksi secara sinergis. Data

16
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder,
baik data secara kualitataif maupun kuantitataif. Observasi lingkungan dilakunakn
di puskeesmas dan masyarakat.
Menggunakan metode peringkat untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
yang memiliki dampak negatif pada kualitas hidup. Semua FGD direkam dengan
persetujuan dari partisipan, dan diakhiri ketika diskusi cukup mencakup topik dan
tidak ada informasi baru yang muncul. Partisipan informan kunci sama dengan
partisipan FGD. Panduan wawancara digunakan untuk mengeksplorasi persepsi
partisipan terhadap kegiatan perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan
pada program pencegahan / penanggulanagn penyakit DBD dan TB, yaitu
meliputi kebijakan, organisasi dan kegiatan masyarakat dan petugas kesehatan
dan pemberdayaan pada program pencegahan dan pengendalian penyakit DBD
dan TB. Semua wawancara tercatat mengikuti persetujuan orang yang
diwawancarai.
Triangulasi digunakan untuk meningkatkan kepercayaan temuan penelitian.
Tiga jenis triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi
sumbeer data, triangulasi metode pengumpulan data dan triangulasi peneliti
(Moran –Ellis J, 2006; Veronika AT (2001).

C. Teknik Analisis Data


Unit analisis penelitian adalah program P2DBD dan P2TB di kabupaten pati
provinsi jawa tengah. Analisis penelitian studi kasus dilakukan dengan
mererapkan model interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu
proses siklus terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu :
reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan kesimpulan
(conclusion/verivication).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten pati mempunyai luas wilayah : 10.149,07 km2 terdiri dari 21
kecamaatn, 401 desa dan 5 kelurahan, 1.106 dukuh, 1.474 rw dan 7524 rt. Jumlah
penduduk sebanyak 1.207.399 jiwa (2013), sehingga rata-rata kepadatan
penduduk 802,96 jiwa/km2 terdiri dari penduduk laki-laki : 586.870 jiwa (48,61
persen) dan penduduk perempuan : 620.529 jiwa (51,39 persen), seks rasio
sebesar 94,58%. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,73. Indeks pembangunan
manusia (IPM) provinsi jawa gtengah pada tahun 2012 sebesar 73,36 dengan

17
kisaran IPM perkabupaten /kota 69,37-78,60. Sementar itu IPM kabupaten pati
sebesar 73,81 (kementerian kesehatan RI, Ditjen PPPL, 2013).

B. Karakteristik partisipan
Partisipan masyarakakat Partisipan petugas kesehatan
karakteristik Jumlah Presentase Karaktristik Jumlah Persentase
Jenis kelamin
Laki-laki 15 37,5% Laki-laki 7 46,7%
Perempuan 25 62,5% Perempuan 8 53,3%
Umur
24-39 tahun 27 67,5% 24-39 tahun 3 20,0%
40-55 tahun 12 30,0% 40-55 tahun 12 80,0%
>55 tahun 1 2,5% >55 tahun 0 0%
Pendidikan
SLTA 29 72,5% D3/D4 4 26,7%
SLTP 9 22,5% Sarjana 11 73,3%
SD 2 5,0%
Komponen Model PRECEDE
Menurut model PRECEDE-PROCEDE penilaian kebutuhan mancangkup
identifikasi masalah kesehatan, perilaku dan faktor risiko lingkungan, faktor-faktor
yang memengaruhi perilaku serta sumber daya, kebijakan dan organisasi.
1. PRECEDE Fase 1 : Penilaian sosial ( kualitas hidup )
PRECEDE dimulai dari melakukan penilaian sosial dengan melakukan
penilaian kualitas hidup individu dan masyarakat dengan mengidentifikasi
hasil-hasil yang telah dicapai atau intervensi yang diperlukan. Penilaian sosial
dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi masalah-masalah sosial
yang berdampak pada kualitas hidup dari populasi.
Kualitas hidup seseorang dapat dinilai dari segi tingkat pendidikan yang
dicapai, ekonomi seseorang, pekerjaan, penghasilan, kesehatan dan ketaatan
dalam beribadah. Dengan pendidikan yang cukup seseorang akan memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk berusaha atau bekerja sehingga akan
memengaruhi status ekonomi seseorang. Dengan pendidikan yang cukup
seseorang akan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk berperilaku
hidup sehat sehingga akan memengaruhi kesehatan. Dengan status ekonomi
yang cukup, ia akan mempunyai pendapatan yang memadai , menjamin

18
kebutuhan gizi dan pelayanan ,kesehatan sehingga akan menghasilkan derajat
kesehatan yang optimal. Dengan ketaatan dalam melaksanakan ibadah, ia akan
bersyukur dari apa yang ia miliki.
2. PRECEDE Fase 2: Penilaian epidemologi, perilaku, dan lingkungan: Analisis
hubungan masalah kesehatan dan kualitas hidup.
Penilaian epidemologi bertujuan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan spesifik yang memberikan kontribusi pada kualitas hidup. Fase ini
membantu menentukan maslah kesehatan yang berhubungan dengan kualitas
hidup, membantu mengidentifikasi faktor-faktor perilaku dan lingkungan yang
terkait dengan masalah kualitas hidup.
Fase 2 ini melibatkan identifikasi, pemilahan dan klasifikasi faktor
kecenderungan/predisposisi, memungkinkan dan memperkuat yang
memengaruhi kesehatan yang berhubungan dengan perilaku. Data epidemologi
mencangkup angka kematian, kesakitan, serta ketidakmampuan dan dimensi-
dimensinya (kejadian, distribusi, intensitas dan durasi).
Masalah kesehatan di masyarakat berkaitan dengan perilaku masyarakat,
adanya perilaku yang tidak sehat, masyarakat belum mempunyai kesadaran
terhadap pentingnya kesehatan, belum membiasakan untuk memeriksakan
sedini mungkin penyakit yang diderita, masih ada warga yang berobat ke
dukun dan kurang kesadaran menjaga kesehatan lingkungan.
Dalam penentuan prioritas masalah kesehatan dimasyarakat, penilaian
meliputi penilaian sosial dan epidemologi untuk mengidentifikasi prioritas
masalah kesehatan prioritas masalah kesehatan. Ada beberapa cara untuk
penentuan prioritas masalah kesehatan, antara lain teknik skoring, teknik non
skoring, mempertimbangkan trend/kebijakan. Salah satu teknik skoring adalah
teknik PAHO (Pan American Health Organization). Prioritas masalah
ditentukan indikator-indikator sebagai berikut :
a. Magnitude : menunjukkan berapa banyak penduduk yang terkena maslah
tersebut
b. Severity : menunjukkan tingkat keparahan dampak yang diakibatkan oleh
masalah kesehatan tersebut
c. Vulnerability : menunjukkan apakah kita memiliki cara atau teknologi yang
murah dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
d. Community concern : mununjukkan tingkat kehebohan yang ditimbulkan
oleh masalah tersebut ditengah masyarakat.

19
3. PRECEDE Fase 3 : Penilaian perilaku dan lingkungan : Analisis hubungan
perilaku dan lingkungan dengan masalah kesehatan
Penilaian perilaku adalah analisis hubungan antara perilaku dengan
tujuan atau masalah yang diidentifikasi dalam penilaian epidemologi atau
sosial. Penilaian lingkungan adalah analisis faktor-faktor dalam lingkungan
fisik dan sosial selain tindakan spesifik yang dapat dikaitkan dengan perilaku.
Lingkungan lebih menunjukkan pada faktor-faktor luar dari individu yang
mempunyai pengaruh pada perilaku, kesehatan dan kualitas hidup.
Green dan Kreuter (2005) mengklasifikasikan faktor yang memengaruhi
perilaku kesehatan ke dalam faktor kencenderungan (Predisposing),
memungkinkan (enabling) dan memperkuat (reinforcing).
Penilaian perilaku dan lingkungan menentukan faktor-faktor yang bila
dimodifikasi akan memiliki kemungkinan terbesar untuk menghasilkan
perubahan perilaku dan mempertahankan proses perubahan. Faktor
kecenderungan merupakan anteseden dari perilaku yang memberikan dasar
alasan atau motivasi atas perilaku dan melibatkan keterampilan dan
keunggulan diri yang ada pada individu. Faktor memungkinkan adalah
anteseden bagi perubahan perilaku atau lingkungan yang memungkinkan
terwujudnya motivasi atau kebijakan lingkungan dan dapat meliputi
keterampilan baru, pelayanan , sumberdaya dan program-program. Faktor
memperkuat adalah faktor-faktor yang mengikuti sebuah perilaku yang
memberikan imbalan (reward) atau insentif (dorongan) terus menerus bagi
ketekunan atau perulangan perilaku, meliputi dukungan sosial, pujian dan
penguatan.
Masalah kesehatan selain ada hubungannya dengan perilaku masyarakat
juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang kurang bersih dan lingkungan
sosial budaya yang merugikan bagi terciptanya derajat kesehatan masyarakat
yang optimal, seperti percaya kepada orang pintar.
4. PRECEDE Fase 4: Penilaian pendidikan dan pengorganisasian : Analisis
hubungan pendidikan, keterampilan dan lingkungan dengan masalah kesehatan
dan kebutuhan masyarakat
Pendidikan yang rendah dan adanya norma budaya yang merugikan
kesehatan menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan upaya
kesehatan masyarakat secara optimal dan respon terhadap stimulus dalam
bentuk tindakan nyata atau terbuka. Faktor yang berpengaruh terhadap perilaku
kurang menguntungkan adalah adanya kepercayaan kepada takhayul yang
masih dianut sebagian masyarakat. Faktor memungkinkan yang memampukan

20
nasyarakat untuk berperilaku sehat adalah adanya pelatihan dan penyuluhan
yang diberikan oleh petugas kesehatan dan puskesmas. Faktor memperkuat
terhadap perilaku kesehatan adalah adanya kepemimpinan yang memberikan
contoh teladan serta adanya modal sosial dimasyarakat.
Perilaku merupakan respon terhadap rangsangan dalam bentuk tindakan
atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain. Praktik dapat terbagi dalam beberapa tingkatan yaitu presepsi,
respon terpimpin, mekanisme dan adaptasi. Persepsi adalah tahap mengenal
dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
Respon terpimpin adalah bilama seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benar berdasarkan contoh. Mekanisme adalah bilamana
seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu
merupakan kebiasaan. Adaptasi adalah praktik atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik.
Kemampuan berperilaku diartikan sebagai kemampuan seseoarang yang
sesungguhnya untuk menjalani sebuah perilaku dalam situasi kehidupan nyata.
5. PRECEDE Fase 4: Penilaian Administrasi dan Kebijakan : Penyelarasan
Intervensi dan Penilaian Administratif dan Kebijakan.
Penilaian administrasi dan kebijakan meliputi penilaian sumberdaya,
organisasi dan kebijakan yang diperlukan untuk implementasi strategi atau
intervensi dan berkelanjutan. Sistem organisasi dan lingkungan yang dapat
memengaruhi hasil yang diharapkan (faktor yang memungkinkan)
dipertimbangkan. Penilaian administratif menilai sumberdaya, kebijakan,
kebutuhan anggaran dan situasi organisasi yang dapat menghambat atau
memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan strategi promosi kesehatan dan
pemberdayaan program-program. Penilaian kebijakan mengkaji kesesuaian
antara strategi program dengan strategi institusi kesehatan yang memberikan
pelayanan program-program.
Dalam penilaian administratif strategi program memerlukan faktor-faktor
kunci yaitu :
a. Dukungan organisasi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
yang menderita penyakit
b. Kontrak perilaku dengan pelaksana program kesehatan guna
menggambarkan peran dan tanggung jawab masing-masing.
Penilaian kebijakan menentukan keberhasilan strategi promosi kesehatan
dan pemberdayaan program kesehatan. Upaya masyarakat dalam
meningkatkan derajat kesehatan dibina dan dipantau oleh pimpinan desa.

21
Pimpinan desa menyusun kebijakan yang mengatur masyarakat dalam
melaksanakan upaya kesehatan didesa. Upaya kesehatan yang dilakukan
masyarakat didukung oleh sumber daya local seperti tenaga, sarana setempat
dan sumberdaya alam.
Kebijakan yang menyangkut intervensi untuk mengatasi masalah
kesehatan harus disesuaikan dengan masalah kesehatan yang ada (ditemukan)
dimasyarakat sehingga benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat
diberdayakan agar mampu mengatasi masalah secara mandiri. Masyarakat
dibina dan difasilitasi agar dapat memanfaatkan potensi dan sumberdaya local
untuk mendukung tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hal
yang membuat tidak maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan dan
pemberdayaan adalah terbatsnya kapasitas promosi kesehatan di daerah akibat
kurangnya tenaga promosi kesehatan.

D. Komponen Model PROCEED


1. PROCEED 6- Implementasi: Pembelajaran dan Pelatihan Kader DBD dan
TB.
Faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan adalah desa dan
kabupaten termotivasi dan tokoh masyarakat terlatih sebagai katalis untuk
perubahan, kepemimpinan diberdayakan , petunjuk praktis yang efektif dan
ketertarikan kader kesehatan desa yang terlatih. Kegagalan disebabkan
pemahaman pengembangan masyarakat yang buruk, terbatasnya informasi,
pendekatan „top-down‟ dan kepemimpinan masyarakat lemah.
Kurangnya motivasi, pengetahuan dan keterampilan menjadi
tantangan yang signifikan. Dua strategi utama yang digunakan yaitu
berusaha untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung
kebijakan pemerintah melalui program aksi dan partisipasi masyarakat.
Sasaran pembelajaran dan pelatihan adalah masyarakat yang dapat menjadi
pioneer dan mampu menggerakan masyarakat yaitu: pengurus PKK, aparat
pemerintah/pamong desa, tokoh masyarakat, dan kader kesehatan. Tujuan
pembelajaran dan pelatihan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan masyarakat dalam melakukan mengindentifikasi dan
menanggulangi masalah kesehatan secara mandiri melalui promosi
kesehatan dan pemberdayaan. Penyampaian materi pembelajaran dan
pelatihan dilakukan dengan memperhatikan kondisi masalah kesehatan
yang dihadapi masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi perilaku
masyarakat, pengetahuan, sosial ekonomi dan budaya setempat. Dampak

22
pembelajaran dan pelatihan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan
peserta dalam upaya pencegahan penyakit serta peningkatan pengetahuan
peserta dalam melaksanakan promosi kesehatan dan pemberdayaan dalam
program kesehatan.
2. PROCEED – Fase 7 : Evalusi Proses (Process evaluation)
Evaluasi proses diarahkan pada proses promosi ,kesehatan dan
pemberdayaan program kesehatan. Dalam tahap implementasi, evaluasi
proses diarahkan pada pertanyan-pertanyaan seperti apa yang sudah
dilakukan ?.

PEMBAHASAN

Identifikasi masalah kesehatan secara benar dan keterlibatan aktif masyarakat


sasaran sangat penting pada setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan program untuk
menciptakan „kepemilikan‟ intervensi (Green dan Kreuter, 2005). Hal ini memastikan
bahwa program memiliki tujuan yang relavan dan mampu mencapai hasil dan
berkelanjutan (Laverack dan Wallerstein, 2001). Proses partisipasi dalam perubahan
adalah sama pentingnya dengan hasil. Sementara intervensi program ditingkat lokal,
adopsi keadilan sosial dan prinsip-prinsip promosi kesehatan dan pemberdayaan
membutuhkan banyak waktu. Jangka waktu terbatas dan harapan hasil mempengaruhi
keberlanjutan dengan tidak mempertimbangkan prespektif jangka panjang. Tuntutan
waktu pencapaian hasil dan kurangnya kepemilikan kegiatan program mengakibatkan
program dilaksanakan dengan atau tanpa kerjasama dan kolaborasi (Ashwell HES
dan Barclay L, 2009).

Penilaian kualitas hidup bersifat subjektif sesuai keadaan dan kebutuhan


individu dan masyarakat. Indikator subjektif dari kualitas hidup sangat luas
mencakup kesejahteraan, kebahagiaan dan harga diri, diskriminasi dan pengangguran,
dsb. WHO (1996) mengidentifikasi 6 (enam) domain yang menggambarkan beberapa
inti aspek kualitas hidup lintas-budaya, meliputi: domain fisik (misalnya: energi,
kelelahan), domain psikologis (misalnya perasaan positif), tingkat kemerdekaan
(misalnya mobilitas), hubungan sosial (misalnya dukungan sosial), lingkungan
(misalnya aksesbilitas pelayanan kesehatan) dan keyakinan pribadi/ spiritualitas
(misalnya kebermaknaan hidup). Domain kesehatan dan kualitas hidup saling
melengkapi dan tumpang tindih. Kualitas hidup mencerminkan persepsi individu
bahwa kebutuhan mereka perlu dipuaskan dan tidak terlepaskan dari status kesehatan
fisik atau kondisi sosial dan ekonomi. Tujuan perbaikan kualitas hidup melalui

23
pencegahan penyakit, menjadi peningkatan penting dalam promosi kesehatan dan
pemberdayaan.

Kesehatan dianggap sebagai sumber daya bagi kehidupan sehari-hari, bukan


tujuan dari kehidupan (WHO, 1986). Penilaian kebutuhan kesehatan dapat
menfasilitasi partisipasi masyarakat dalam program promosi kesehatan dan
pemberdayaan, menghindari membuang-buang sumber daya yang terbatas dan
memberikan dasar untuk analisis program (Green LW, Kreutur MW, 2005).

Mengingat sumber daya program P2DBD dan P2TB terbatas, perencanaan


program promosi kesehatan dan pemberdayaan secara partisipasif adalah salah satu
point penting untuk keberhasilan program. Untuk menggunakan sumber daya
kesehatan agar lebih efisien dan efektif, membutuhkan perencanaan program promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB berlandaskan pada
penilaian kesehatan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang masalah kesehatan masyarakat dan berbagai faktor yang berpotensi
mempengaruhi perilaku kesehatan.

Masalah penyakit DBD tidak hanya berdampak pada masalah klinis individu yang
terkena, namun juga berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
sehingga penanganannya tidak dapat hanya diselesaikan oleh sektor kesehatan saja
namun memerlukan peran aktif masyarakat, lintas sektor (pokjanal DBD), pemerintah
daerah dan DPRD, khususnya di tingkat kabupaten/kota, dan hal ini sejalan dengan
diterapkannya sistem otonomi daerah.

Menurut WHO (2006), peningkatan kapasitas perencanaan memerlukan


keseimbangan pada 4 (empat) bidang yaitu:

1. Memastikan jumlah dan kualitas yang cukup edukuat pada setiap tingkat
sistem kesehatan.
2. Memastikan manajer atau pimpinan mempunyai kompetensi.
3. Menciptakan sistem yang mendukung manajemen.
4. Menciptakan keadaan dari lingkungan yang mendukung pelaksanaan.
Menurut literatur terbaru, ada banyak faktor yang berkontribusi munculnya
epidemis DBD, tapi hanya tiga yang menjadi penggerak utama urbanisasi, globalisasi
dan kurangnya pengendalian nyamuk yang efektif. Virus DBD sepenuhnya telah
beradaptasi dengan siklus penularan dari manusia -aides aegypti- manusia. Penyebab
dari peningkatan insiden dan penyebaran DBD, yaitu kurangnya pengendalian

24
nyamuk yang efektif, mengubah gaya hidup, urbanisasi yang terencana, dan
globalisasi.

Dukungan sosial merupakan bantuan yang tersedia untuk individu dan kelompok
dari dalam masyarakat dapat memberikan penyangga terhadap kemungkinan
terjadinya peristiwa yang merugikan pada kehidupan dan kondisi hidup, dan dapat
memberikan sumber daya yang positif untuk meningkatkan kualitas hidup. Dukungan
sosial termasuk dukungan emosional, berbagi informasi dan penyediaan sumber
daya meterial dan pelayanan . Dukungan sosial sekarang diakui sebagai determinan
penting bagi kesehatan, dan elemnen penting dari modal sosial. Pengendalian DBD
perlu dilakukan secara komperehensif dari berbagai aspek baik medis maupun sosial,
dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan
kegiatan surveilans masih menghadapi kendala. Kendala yang dihadapi antara lain
berkaitan dengan:

1. Kebijakan sistem surveilans yang belum dipahami sampai kepetugas teknis di


lapangan.
2. Terbatasnya tenaga pelaksana surveilans.
3. Adanya ketidak sesuaian kompetensi.
4. Terbatasnya dana pelaksanaan surveilans ditingkat operasional,
5. Belum optimalnya penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung
pelaksanan surveilans penyakit seperti pemanfaatan laboratorium dan
peralatan.
Kajian BAPPENAS (2006) Menyimpulkan bahwa kendala utama yang
dihadapi dalam implementasi kebiajakan penanggulangan wabah penyakit menular
dalam kasus DBD adalah:

1. Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam
penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan
surveilans dan penanggulangan DBD.
2. Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan
operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-
masing.
3. Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi
pusat.
4. Tingginya beban puskesmas sebgai unit operasional utama di lapangan dalam
implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular.

25
Kondisi umum pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD:

1. Ujung tombak pelaksanaan suveilans ada di puskesmas, namun belum


maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan
prasarana.
2. Aktivitas surveilans dilakukan oleh tim lapangan, sebagai suatu kegiatan
rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antara area yang harus
dipantau dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia.
3. Surveilans mulai dilakukan ketika ada kasus. Namun pada saat kasus, yang
paling menonjol adalah penanggulangan (PE). Penyelidikan epidemiologi
tidak dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara
lain :
a. Keterbatasan tenaga
b. Keterbatasan dana
c. Ketiadaan sarana
4. Penyelidikan epidemiologi (PE) yang dilakukan puskesmas belum maksimal,
tidak setiap kasus DBD dilanjuti dengan (PE) karena DBD dianggap kasus
yang rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak
berjalan.
5. Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan
DBD di rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang
menyebabkan saran TT tidak mencukupi.
Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem
pemerintah yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasikan sistem perencanaan
dan sistem keuangan yang baru.

1. Komitmen daerah dalam Menyediakan anggaran (APBD) untuk penanganan


penyakit menular yang belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup
besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekosentrasi
maupun tugas perbantuan).
2. Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis, belum tertata dalam sebuah
sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal sektor maupun lintas sektor.
3. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal ini tampak dari
keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan, bukan
sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi.

26
BAB IV
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kualitas hidup individu dan masyarakat dinilai dari tingkat pendidikan, status
ekonomi, pekerjaan, penghasilan, dan ketaatan dalam beribadah.
2. Masalah kesehatan prioritas yang memberikan kontribusi pada kualitas hidup
adalah penyakit DBD dan TB.
3. Perilaku dan lingkungan yang berhubungan dengan masalah kesehatan
spesifik (penyakit DBD dan TB) dihubungkan dengan faktor-faktor perubahan
perilaku kesehatan (kecendrungan, pemungkin dan pendukung) pada program
P2DBD dan P2TB. Perilaku kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, perolehan informasi, paparan sosialisasi dan penyuluhan
program, kehidupan sosial masyarakat, keterbatasan akses terhadap layanan
kesehatan, dukungan masyarakat terhadap program kesehatan, keikutsertaan
kader kesehatan, lingkungan sosial, budaya, dan norma sosial.
4. Pendidikan dan pengorganisasian yang dibutuhkan, serta mengidentifikasi dan
mengklarifikasikan faktor-faktor perubahan perilaku kesehatan
(kecenderungan, memungkinkan, pendukuang) yang memengaruhi perilaku
kesehatan pada program P2DBD dan P2TB.
5. Administrasi dan kebijakan serta menentukan dukungan sumber daya,
komponen program promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program
P2DBD dan P2TB: penilaian sumber daya, pengembangan dan alokasi
anggaran, pengembangan jadwal pelaksanaan, organisasi atau personil dalam
program, serta koordinasi dan kerjasama lintas sektoral dan lintas program,
kerjasama dengan organisasi dengan kelembagaan masyarakat (LPMD&PKK),
serta menentukan kompenen program atau pelayanan promosi kesehatan dan
pemberdayaaan pada program P2DBD dan P2TB, upaya kesehatan yang
dilaksanakan masyarakat didukung oleh sumber daya lokal dukungan upaya
kesehatan masyarakat berupa tenaga, modal sosial, dan sumber daya alam.
6. Implementasi promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program P2DBD
dan P2TB yang diperlukan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat.
7. Evaluasi proses promosi kesehatan dan pemberdayaaan pada program P2DBD
dan P2TB.
8. Evaluasi dampak promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program P2DBD
dan P2TB: diarahkan pada angka kesakitan, angka kematian dan jumlah kasus

27
KLB DBD, sedangkan evaluasi dampak program P2TB diarahkan pada tujuan
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapain
tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
9. Evaluasi hasil akhir promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program
P2DBD dan P2TB: Komponen hasil akhir program P2DBD meliputi: angka
bebas jentik (ABJ) dan angka kejadian kasus DBD. Sedangkan evaluasi hasil
akhir program P2TB meliputi jumlah dahak suspek penderita TB yang
diperiksa, jumlah penderita dengan BTA +, Jumlah Case Detection Rate
(CDR), jumlah notifikasi kasus baru TB paru, dan angka keberhasilan
pengobatan.
10. Model perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan pada program
P2DBD dan P2TB terdiri dari menganalisis penilaian kualitas hidup, penilaian
epidemiologi masalah kesehatan spesifik, penilaian perilaku dan lingkungan,
penilainan pendidikan dan organisasian, penilaian administrasi dan kebijakan
dan implementasi, melakukan evaluasi proses dan dampak, dan hasil promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB.
B. Implikasi
Hasil studi ini memberikan implikasi teoritis, metodologis, dan praktis sebagai
berikut:
1. Implikasi teoritis
Implikasi teoritis menegakkan bahwa model PRECEDE-PROCEED
dapat digunakan dalam perencanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan
pada program P2DBD dan P2TB. Dengan mengplikasikan model PRECEDE-
PROCEED, perencanaan mengikuti tahapan-tahapan model PRECEDE-
PROCEED terdiri dari lima fase, yaitu: penilaian sosial, penilaian
epidemiologi, penilaian perilaku dan lingkungan, penilaian pendidikan, dan
pengorganisasian, penilaian administrasi dan kebijakan selanjutnya
mengaplikasikan model PRECEDE-PROCEED terdiri empat fase, yaitu:
implementasi, evaluasi proses, dampak dan hasil.

2. Implikasi metodologis
Secara metodologi mengandung implikasi bagaimana
mengaplikasikan model PRECEDE-PROCEED dengan melakukan analisa
penilaian kualitas hidup, penilaian epidemiologi masalah kesehatan spesifik,
penilaian perilaku dan lingkungan, penilaian pendidikan dan
pengorganisasian, penilaian administrasi dan kebijakan, implementasi,

28
evaluasi proses, dampak dan hasil serta merumuskan model perencanaan
promosi kesehatan dan pemberdayaan.
3. Implikasi praktis
a. Kebijakan : mengaplikasikan paradigma sehat yaitu cara pandang, pola
pikir, atau model pembangunan kesehatan yang melihat masalah
kesehatan saling berkait dan memengaruhi dengan banyak faktor yang
bersifat lintas sektoral, dan upayanya lebih diarahkan pada peningkatan,
pemeliharaan atau perlindungan kesehatan, bukan hanya penyembuhan
orang sakit atau pemulihan kesehatan.
b. Kebijakan desentralisasi : sebagaimana diberlakukannya Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan atas undang-
undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah memberi peluang
yang besar bagi pemerintah daerah kabupaten/kota (eksekutif dan DPRD)
untuk memegang kewenangan penuh terhadap bidang kesehatan termasuk
promosi kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB,
sehingga dukungan dan peran pemerintah daerah sangat menentukan
keberhasilan program P2DBD dan P2TB.
c. Kelembagaan: diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya
kelembagaan puskesmas sebagai perangkat utama kesehatan, puskesmas
perlu diperkuat dalam kapasitas perencanaan promosi kesehatan dan
pemberdayaan program P2DBD dan P2TB. Puskesmas sebagai ujung
tombak sistem pelayanan kesehatan nasional sangat menentukan
keberhasilan dan keberlanjutan promosi kesehatan dan pemberdayaan
program P2DBD dan P2TB.
d. Ketenagaan : mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen para
pelaksana program P2DBD dan P2TB dilapangan sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan. Motivasi dan komitmen selain muncul atas
kesadaran memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif.
e. Penyelenggaraan : meliputi strategi, pendekatan, dan materi
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Strategi promosi kesehatan
dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB adalah suatu rencana
umum yang bersifat menyeluruh (komprehensif) yang mengandung
arahan tentang tindakan-tindakan yang apabila terlaksana dengan baik
akan berpengaruh pada tercapainya berbagai tujuan jangka panjang.
f. Sarana dan prasarana : terdiri dari alat bantu promosi kesehatan dan
pemberdayaan program P2DBD dan P2TB yang perlu disiapkan meliputi
antara lain kurikulum, bahan simulasi sosialisasi program, lembar

29
persiapan materi (handout), alat tulis, proyektor, dan perlengkapan
ruangan (audio-visual, pengeras suara, dsb)
g. Pembiayaan: selama ini kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
program P2DBD dan P2TB lebih banyak dilakukan oleh pemerintah,
untuk itu perlu dialokasikan anggaran pemerintah yang memadai,
mengingat program promosi kesehatan dan pemberdayaan merupakan
program proritas.
h. Pengawasan, pengendalian dan penilaian (P3): fungsi P3 dilakukan guna
menjamin bahwa semua kegiatan dan program serat fungsi promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB yang sedang
berjalan sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan.

C. Saran
Disarankan beberapa tindak lanjut yang ditujukan kepada kementrian
kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas, pemerintah
desa/kelurahan, dan penelitian lain, sebagai berikut:
1. Untuk kementrian kesehatan
a. Kebijakan yang terkait dengan promosi kesehatan dan pemberdayaan
program P2DBD dan P2TB perlu diintegrasikan dan dikoordinasikan
dengan kementrian terkait ditingkat pusat dalam kerangka
mengembangkan dan memperkuat otonomi daerah dan memperkuat
kapasitas pemerintah desa dan kelurahan.
b. Perlunya melakukan sosialisasi dari setiap perubahan dan kebijakan baru
seperti promosi kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB,
kepada pemerintah daerah dan instansi tingkat pusat yang terkait.
2. Untuk pemerintah daerah
a. Pada era otonomi daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota memegang
kewenangan penuh terhadap bidang kesehatan termasuk promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB. Untuk itu
pemerintah daerah kabupaten /kota perlu memberikan dukungan kebijakan
saran dan dana untuk pengembangan promosi kesehatan dan
pemberdayaan program P2DBD dan P2TB.
b. Perlunya menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB.
3. Untuk dinas kesehatan kabupaten/kota
a. Perlunya meningkatkan kemampuan perencanan dan merekrut lalu melatih
fasilitator dan kader promosi kesehatan dan pemberdayaan program

30
P2DBD dan P2TB, serta mengorganisasi dan merevitalisasi tim pokjanal
P2DBD dan P2TB Kabupaten/Kota. Menyediakan anggaran dan sumber
daya bagi pengembangan dan pelestarian kader DBD dan TB.
b. Perlunya melakukan pembinaan fungsi puskesmas sebagai pusat
pemberdayaan masyarakat pada promosi kesehatan dan pemberdayaan
program P2DBD dan P2TB melalui proses pembinaan yang terintegrasi
secara lintas sektoral dan lintas program, serta diumpan balikan.
4. Untuk puskesmas
a. Perlunya memperkuat fungsi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan, dan pengimplementasikan pengurus
utamakan (mainstreaming), promosi kesehatan pemberdayaan program
P2DBD dan P2TB sebagai upaya kesehatan wajib puskesmas.
b. Perlunya membangun komitmen dan kerjasama tim ditingkat puskesmas,
kecamatan dan desa. Mengikutsertakan berbagai pihak dalam
perencanaan program P2DBD dan P2TB, baik dalam lintas progaram
lain, didalam puskesmas, lintas sektoral dan tokoh masyarakat.
5. Untuk pemerintahan desa, kelurahan
a. Perlunya mengalokasikan belanja desa untuk mendanai kegiatan promosi
kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD dan P2TB yang diambil
dari anggaran dana desa (ADD).
b. Perlunya mengkoordinasikan pendayagunaan dan pemanfaatan
sumberdaya didalam masyarakat dan dari luar masyarakat dalam rangka
pengembangan promosi kesehatan dan pemberdayaan program P2DBD
dan P2TB, mengkoordinasi gerakan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam penyelenggaraan dan pengembangan promosi kesehatan dan
pemberdayaan program P2DBD dan P2TB.

31

Anda mungkin juga menyukai