Anda di halaman 1dari 12

ORAL HERPES REKUREN

PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan tempat paling rawan di tubuh karena selain rentan terhadap
trauma fisik, kimiawi, dan mekanis, rongga mulut merupakan pintu masuk berbagai agen
berbahaya, seperti produk mikroorganisme dan agen karsinogenik. Hal ini mengakibatkan
sering terjadi infeksi pada rongga mulut. Infeksi pada rongga mulut dapat diakibatkan oleh
bakteri, jamur maupun virus. Infeksi yang disebabkan oleh virus memiliki angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi dengan manifestasi gejala baik di orofaringeal atau di sistemik.1
Virus Herpes simpleks merupakan famili alpha herpes virus. Herpes simpleks virus
merupakan famili dari Herpesviridaeyang terdiri dari delapan virus, antara lain
cytomegalovirus, varicella zostervirus, eipstein barr, dan human herpes virus VI yang
terkait dengan roseola infantum, dan human herpes virus VII yang terkait dengan virus
roseola exanthem subitum, pityriasisrosea, serta human herpes virus VIII yang terkait
dengan sarcoma kaposi dan limfoma.2 Dari semua jenis herpes (Human Herpes Virus),
virus herpes simpleks tipe-1 dan tipe 2 adalah jenis yang sering menyebabkan penyakit
orofasial.3 Virus HSV-1 bermanifestasi lebih banyak pada mukosa mulut, faring, serta kulit
(pinggang ke atas), dan tipe HSV-2 yang bermanifestasi pada daerah genital (pinggang ke
bawah), akan tetapi pada masa sekarang dengan adanya perubahan perilaku seksual maka
tidak jarang pula dapat ditemukan kondisi sebaliknya.4
Patofosiologi kekambuhan biasanya dipengaruhi karena imun lokal yang
memungkinkan virus untuk bereplikasi. Faktor risiko reaktivasi HSV terdapat dalam kontak
air liur dan sekresi oral. Penularan melalui kontak sekresi oral ini terjadi hanya pada 8-10%
pasien dan 90% melalui kontak dekat dengan penderita. Reaktivasi HSV lebih sering terjadi
akibat demam, radiasi ultraviolet, trauma, stres dan hormonal. 5 Infeksi Herpes simpleks
virus 1 (HSV 1) intraoral rekuren atau Recurrent Intraoral Herpes (RIH) merupakan infeks
HSV 1 berulang yang ditandai adanya lepuh yang sakit dan gatal serta vesikel pada mukosa
oral. Lesi didahului rasa sakit, kesemutan, gatal, dimulai sebagai makula yang cepat
berubah menjadi papula, lalu vesikel selama sekitar 48 jam, kemudian menjadi ulser yang
akan pecah menjadi ulser dan keropeng dalam 72-96 jam serta sembuh tanpa jaringan parut.
Lesi yang luas dapat muncul pada pasien immunokompromis.6
PEMBAHASAN
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus HSV dapat berupa infeksi primer akibat
kontak pertama dengan virus atau infeksi sebagai bentuk reaktivasi atau rekurensi akibat
aktivasi virus yang laten atau dormant. Pada kondisi infeksius, struktur HSV-1 tersusun
dari 4 komponen penting yaitu, inti, kapsid, tegumen dan envelope. Pada inti terdapat
single molekul linear double stranded (ds) DNA. Inti ini dikelilingi oleh nucleocapsid yang
tersusun atas 162 kapsomer dan berdiameter 100 nm. Antara nucleocapsid dan envelope
terdapat area yang amorf, asimetris yang dikenal dengan nama tegumen. Area ini
mengandung enzim penting yang berfungsi dalam proses replikasi dan mengambil alih
komponen sel inang. Genom HSV-1 memiliki susunan yang kompleks, dimana gennya
secara umum tersusun atas 153 kb pasang linear duplek dengan 75 open reading frame
(ORF). Area ORF ini memiliki dua area khas yaitu; 1. Unique long (Ul) yang mengode
enzim replikasi DNA (β protein) dan kapsid ( protein). Area ini tersusun dari 82% total
gen; 2. Unique short (Us) yang mengode 12 ORFs, yaitu glikoprotein penting untuk
mendeteksi inang dan merespon sistem imun inang. Area ini tersusun dari 18% total gen.4,7
Pada beberapa negara berkembang, insiden terjadinya infeksi HSV melalui
serokonversi yaitu sekitar 20% pada usia atau kurang dari 5 tahun dan sekitar 70-80% pada
usia remaja dan dapat meningkat sekitar 40-60% pada usia 20-40 tahun. Rekurensi antara
pria dan wanita memiliki perbandingan 2.7:1.9 kali per 100 hari. Pada wanita dengan
herpes genital stadium awal dapat menunjukkan infeksi yang asimptomatik dengan angka
kejadian 12% untuk HSV-1 Primer, 18% untuk HSV-2, dan 23% untuk infeksi non-primary
HSV-2. Seroprevalensi HSV-1 terus meningkat pada usia diatas 30 tahun, namun
peningkatan menjadi tidak terlalu signifikan di atas usia 40 tahun. Di negara-negara maju
dengan kondisi kehidupan yang lebih baik dan lebih padat, banyak orang dewasa muda
tidak mendapatkan infeksi selama masa kanak-kanak. Mereka beresiko terjangkit infeksi
simptomatik pada usia dewasa. HSV-1 cenderung mencerminkan penurunan penularan
pada anak-anak melalui kontak orofaring. Studi terdahulu melaporkan bahwa terdapat
faktor resiko terkait seksual untuk infeksi HSV-1. 1,4,8
Infeksi herpes simpleks adalah penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(HSV) yang merupakan virus DNA (Deoxyribonucleic acid). Pada manusia, virus herpes
bisa bersifat laten dan dapat mengalami reaktivasi. Kemungkinan terjadi rekurensi lesi
sebesar 40%. Lesi infeksi rekuren dapat terjadi dalam bentuk herpes labialis, dan lesi pada
rongga mulut yang disebut recurrent intra oral herpes (RIOH). Penularan virus HSV-1
terutama dengan kontak mulut dengan mulut, kontak dengan luka, saliva dengan penderita
HSV-1. Reaktivasi dapat terjadi karena adanya pemicu berupa penurunan kondisi imunitas
karena perubahan cuaca, demam, paparan sinar matahari, stress emosional, trauma,
menstruasi, penyakit sistemik, alergi, dan imunosupresi.4
Infeksi HSV 1 disebabkan α-herpes virus 1 ditularkan melalui kontak dengan air liur
yang terinfeksi dan mengalami inkubasi selama 4-7 hari. HSV 1 ditularkan melalui kontak
dari orang yang terinfeksi. Virus HSV 1 akan menembus permukaan mukosa atau kulit
yang terluka (kulit yang tidak terluka bersifat resisten, ditransmisikan melalui sekresi oral,
menyebar melalui droplet pernapasan atau melalui kontak langsung dengan air liur yang
terinfeksi. Virus herpes simpleks masuk ke dalam sel hospes melalui proses interaksi dari
beberapa glikoprotein pada permukaan amplop virus dengan reseptor permukaan sel
hospes. Glikoprotein B (gB) pada virus akan berikatan dengan reseptor heparin sulfat (HS)
pada sel hospes. Virus HSV 1 akan menetap di dorsal ganglia terutama ganglion saraf
trigeminal dan dapat reaktif apabila ada pemicu. Rekurensi penyakit terjadi bila dipicu oleh
stres, menstruasi, demam, terpapar sinar matahari, trauma saraf dan keadaan imunosupresi.6
Setelah infeksi oral primer HSV-1, virus bergerak secara retrograde dari ujung saraf
perifer yang berdekatan dengan epitel yang terinfeksi ke ganglion trigegeminal dan menjadi
laten. Saat reaktivasi, virus akan diangkut anterograde dari ganglion trigeminal ke ujung
saraf epitel mulut dan bereplikasi, kemudian menyebabkan lesi herpes berulang. Lesi
herpes berulang yang paling umum terjadi adalah herpes labialis dan recurrent intraoral
herpes (RIH). Pemicu reaktivasi bersifat multifaktorial, intermiten, dan dapat dipicu oleh
menurunnya daya tahan tubuh, kelelahan, hipersensitivitas, stres, dan paparan ultraviolet.9
Kemampuan HSV-1 untuk menjadi laten pada sistem saraf dan terhindar dari sistem
imun adalah karena evolusi virus tersebut yaitu kemampuannya untuk membentuk DNA
sirkular. Selain itu kemampuannya untuk menetralisasi virus host protein, menginhibisi
virus antigen presentation, berikatan dengan faktor C3b komplemen sehingga menghambat
reaksi penghancuran membran sel yang terinfeksi, dan kemampuannya untuk menginfeksi
langsung dari sel ke sel.7
Infeksi aktif rekuren HSV-1 dimulai dari tahap laten, yaitu setelah infeksi pertama
virus akan dorman di trigeminal ganglion. Infeksi berlanjut ke fase prodromal yang biasa
terjadi di hari 0-1. Penderita biasanya merasakan kesemutan, gatal dan eritema di area yang
terkena, dimana infeksi sekunder sering terjadi pada labialis atau di vermilion border. Fase
selanjutnya adalah fase inflamasi yang biasa terjadi di hari pertama. Pada fase ini virus
mulai memproduksi dan menginfeksi ujungujung syaraf. Sel-sel akan bereaksi terhadap
invasi virus yang ditandai dengan eritema. Pada hari kedua hingga ketiga terjadi fase
presore yang ditandai dengan munculnya papula dan vesikel yang terasa gatal dan sensitive
terhadap sentuhan.5
Hal yang memicu kekambuhan terkait hormonal paling sering yaitu kondisi saat
menjelang menstruasi. Pada masa siklus menstruasi akan terjadi perubahan hormon yang
mengakibatkan perubahan pada system imun sehingga memicu reaktivasi dari virus HSV.
Perubahan hormon ini adalah terjadi peningkatan hormon estrogen, peningkatan hormon
estrogen ini akan mengurangi sel T CD4 dan sel T CD8 yang memiliki peranan penting
dalam mengendalikan reaktifasi virus HSV. Sehingga saat terjadi penurunan sel T CD4 dan
sel T CD8 maka tidak dapat melindungi virus HSV tetap laten dan menjadi reaktifasi.4
Kondisi lain yang memicu kekambuhan pada kasus ini adalah kondisi kelelahan dan
stres yang dialami pasien saat di asrama. Stres fisik dan mental dapat menyebabkan
peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan kenaikan level kortisol melalui
meningkatnya aktivitas Hipothalamus –Pituitari Axis. Reaktivasi dari fase laten HSV-1
pada pasien ini disebabkan karena meningkatnya level kortikosteroid endogen yang
dihasilkan cortex adrenal pada saat stres. Pada keadaan stres baik fisik maupun psikis
menyebabkan berkuranganya sirkulasi populasi sel-sel imun seperti sitokin (IL-6, TNFα)
sel B limfosit, NK cell, dan monosit yang mendorong reaktivasi HSV-1. Dalam studi
psikoneuroimunologi, stress psikososial sering disebut sebagai factor paling signifikan
dalam kekambuhan lesi. Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara perubahan
stres, keadaan mood, daya tahan tubuh dan neuroendokrin dengan kekambuhan lesi herpes
oral. Studi tersebut menunjukkan bahwa molekul-molekul sinyal spesifik yang dikeluarkan
pada fase stress akut dan kronik antara lain epinefrin, IL-1, IL-6, cyclic adenosine
monophosphate(cAMP), glukokortikoid dan prostaglandin mengimplikasi reaktivasi
HSV.4,9
Terdapat beberapa komplikasi pada pasien dengan infeksi HSV salah satunya adalah
infeksi jamur dimana saat terjadi infeksi HSV akan terjadi penurunan system imun yang
membuat jamur yang merupakan flora normal pada rongga mulut menjadi pathogen. Pada
kasus ini pasien diberikan Fluconazole untuk mengatasi infeksi jamur. Mekanisme kerja
dari fluconazole adalah dengan menghambat enzim lanosterol 14α-demethylase, enzyme
microsomal, yang dihasilkan sitokrom P450 pada membrane sel jamur. penghambatan
enzym tersebut akan menyebabkan akumulasi 14α-methylsterol sehingga mengganggu
permeabilitas membran, menurunkan aktifitas enzym, baik yang membentuk membran sel
maupun yang menghidrolisis protein membran sel host. Akibatnya sel jamur nekrosis dan
mati. Kelebihan Fluconazole dibandingkan obat anti jamur lainnya yaitu absorpsinya tidak
terganggu oleh metabolisme makanan dan keasaman lambung, memiliki waktu paruh yang
lama (25-30 jam), tidak terganggu oleh metabolism hati, terbukti secara in vivo tidak
hepatoksik, terdifusi dengan baik ke cairan cerebrospinal, saliva, jaringan vagina, sputum,
kulit dan cairan pada lesi.4
Reaktivasi HSV-1 juga dapat terjadi karena aktivitas luar ruangan yang sangat tinggi.
Hal tersebut menyebabkan paparan UV yang tinggi sehingga dapat memunculkan reaktivasi
HSV-1. Ada dua kemungkinan paparan UV mempengaruhi HSV-1; pertama yaitu depresi
dari respon imun karena paparan radiasi UV yang terbukti dapat menekan presentasi
antigen HSV pada sel epidermal dan menyebabkan penurunan pelepasan sitokin tipe I yang
merupakan bagian penting dari kontrol imunologis HSV-1. Imunosupresi terlokalisasi ini
dapat menyebabkan replikasi virus dan rekurensi. Kemungkinan kedua akibat reaktivasi
HSV. Perbaikan sel, melalui faktor transkripsi c-Jun dan c-Fos, mengaktivasi transkripsi
HSV promoter, menyebabkan transkripsi HSV dan reaktivasi.9
Manifestasi klinis herpes intraoral rekuren digolongkan menjadi 3 macam yaitu
infeksi herpes labialis, ulserasi intra oral dan herpes ulserasi intra oral berulang yang pada
umumnya asimptomatik. Herpes intraoral rekuren dapat berulang dengan jarak dan waktu
yang bervariasi serta di lokasi yang sama akan tetapi kekambuhan pada setiap orang
berbeda-beda. Lesi ulseratif herpes intraoral rekuren membutuhkan waktu lebih lama untuk
sembuh. Herpes intraoral rekuren diawali gejala kesemutan, rasa terbakar diikuti
pembentukan vesikel di area distribusi sensorik, ulserasi dengan tepi eritem dan durasi
lebih pendek bila dibandingkan dengan infeksi primer. Terjadinya lesi RIH melalui
beberapa tahap yaitu prodromal, kemerahan, papula, vesikuler, ulser, krusta, pengelupasan
krusta dan epitelisasi lengkap (sembuh).5
Herpes labialis terjadi pada 20% hingga 40% populasi dewasa muda. Tingkat
kekambuhan dari virus ini menurun seiring bertambahnya usia. Lesi ini biasanya muncul di
vermilion dan kulit sekitarnya. Pasien biasanya memiliki gejala prodromal seperti meriang,
rasa terbakar atau nyeri di tempat munculnya lesi. Nyeri umumnya terjadi pada dua hari
pertama. Lesi muncul secara berurutan dari papula, vesikel, ulkus atau erosi, krusta dan
fase perbaikan. Vesikel dapat muncul secara tunggal atau multiple dengan batas
eritematous. Vesikel yang muncul berumur pendek, ada yang dalam hitungan jam dapat
ruptur. Lesi herpes labialis dapat sembuh tanpa jaringan parut dalam 1 sampai 2 minggu.5
Penegakkan diagnosis untuk infeksi virus herpes simpleks memerlukan anamnesis
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang laboratorium seperti
kultur virus, test antigen, Polimerase Chain Reaction (PCR), dan tes antibody. 3
Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi infeksi HSV 1 dengan melihat terjadinya kenaikan
titer anti HSV1 IgM untuk fase akut dan anti HSV 1 IgG untuk kondisi kronis, kultur atau
PCR (Polimerase Chain Reaction)sebagai pembuktian lini pertama. Diagnosis banding RIH
adalah ulser traumatik, penyakit tangan, kaki dan mulut yang telah mengalami ulserasi yang
luas sedangkan pada pasien imunokompromi sapabila terdapat keterlibatan gingiva
didiagnosis banding dengan Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG).6
Kultur virus dilakukan 24-48 jam saat lesi masih berupa vesikel karena memiliki titer
virus yang tinggi (89 % memberikan hasil positif). Virus akan tumbuh dalam media kultur
dalam 5 hari. PCR merupakan pemeriksaan laboratorium yang lebih akurat untuk HSV,
bisa digunakan untuk kondisi perkembangan HSV yang asimptomatik. Direct Fluorescent
Antibodi bisa mendeteksi HSV dari spesimen udara kering dan memberikan hasil positif
sebanyak 80 % bila dimodifikasi dengan kultur virus.3
Pemeriksaan serologi diperlukan untuk konfirmasi penegakkan diagnosis HSV-1.
Infeksi yang berhubungan dengan meningkatnya titer immunoglobulin M (IgM) dan
kemudian diikuti oleh titer IgG permanen (serokonversi), mengindikasikan adanya infeksi
sebelumnya tetapi tidak menjadi perlawanan melawan reaktivasi. IgM merupakan antibodi
utama yang dibentuk setelah terjadinya infeksi, yaitu 1-2 minggu setelah onset. Setelah
beberapa minggu atau bulan, IgM tidak akan terdeteksi karena mengalami penurunan
secara cepat, sebaliknya antibodi IgG akan terbentuk secara lambat dalam beberapa bulan
atau tahun. Infeksi rekuren HSV-1 berhubungan dengan peningkatan titer IgG. Peningkatan
IgG hingga empat kali (fourfold) merupakan kriteria indikasi infeksi aktif.3
Diagnosis infeksi HSV primer dan infeksi rekuren biasanya diperoleh dari gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menegakkan diagnosis. Isolat HSV
dari kultur sel merupakan gold standard untuk diagnosis karena virus langsung tumbuh
pada kultur jaringan. Polymerase chain reaction (PCR) dari hasil apusan merupakan metode
terbaru yang terbukti dapat mendeteksi antigen HSV tiga sampai empat kali lebih baik
dibanding kultur, PCR yang dilakukan tepat waktu juga terbukti sangat sensitif dan
spesifik. HSV dapat diidentifikasi melalui scraping pada dasar lesi (vesikula) yang
kemudian diapus pada glass slide. Apusan kemudian dapat diwarnai dengan pewarnaan
Wright, Giemsa (preparat Tzanck), atau Papanicolaou. Preparat apusan yang sama juga
dapat digunakan untuk uji deteksi antigen fluorosensi langsung menggunakan antibodi
monoklonal terhadap HSV. Selain itu Infeksi HSV primer berkaitan dengan peningkatan
titer immunoglobulin- M (IgM) yang timbul dalam beberapa hari, diikuti oleh peningkatan
titer IgG permanen beberapa minggu kemudian (serokonversi) yang mengindikasikan
adanya infeksi sebelumnya, tetapi tidak memberikan perlindungan atau tidak dapat
mencegah kemungkinan terjadinya reaktivasi. Infeksi recurrent herpes simplex
dihubungkan dengan peningkatan titer antibodi IgG pada kondisi akut dan proses
penyembuhan.4
Infeksi HSV-1 yang diidentifikasi secara awal (dalam rentang waktu sekitar 3 hari)
dapat diberikan terapi antivirus (acyclovir) baik secara topikal maupun sistemik. Terapi
antivirus akan mengontrol tanda dan gejala infeksi. Hal yang penting sekali dalam
perawatan lesi oral infeksi HSV-1 berupa anjuran untuk istirahat yang cukup,banyak
minum dan makan makanan lunak tinggi kalori tinggi protein, pemberian antipiretik atau
analgesik untuk mengurangi rasa sakit dan demam, disertai juga multivitamin. Untuk lesi
ekstra oral dapat diberikan krim penciclovir 1% atau acyclovir 5% pada masa prodromal
sedangkan untuk lesi intra oral dapat diberikan antivirus peroral pada awal onset penyakit.3
Kontrol rasa sakit diberikan terapi dengan aloe vera extract topikal berfungsi
membentuk lapisan tipis dan bertindak sebagai barrier untuk melindungi ujung saraf dari
lesi sehingga terhindar dari iritasi dan juga mengurangi rasa sakit selain itu kandungan aloe
vera dan asam hyaluronat yang berformulasi dapat mendukung penyembuhan dari
kerusakan jaringan. Banyak obat-obatan antivirus yang digunakan untuk mengatasi dan
menghambat sintesis DNA virus. Cara kerja obat antivirus tersebut dengan menghambat
langsung polymerase DNA virus dengan cara bersaing dengan nukleosida trifosfat
(acyclovir, gansiclovir, dan penciclovir), merusak rantai DNA yang sedang fase replikasi
(acyclovir), atau merusak rantai DNA setelah penggabungan nukleotida buatan dalam DNA
virus.4
Benzydamin HCllozenges sebagai anti inflamasi non steroid untuk mengurangi rasa
sakit akibat ulser di oraofaring. Benzydamin HCl merupakan analgesik anti inflamasi yang
strukturnya tidak berhubungan dengan golongan steroid dengan mekanisme kerjanya
menghambat biosintesis Prostaglandin. Pemberian khlorheksidin glukonat 0,2% kumur
sebagai antiseptik bertujuan untuk mengurangi bakteri gram negatif dan jamur sehingga
mencegah terjadinya infeksi sekunder.6
Pemberian antivirus sistemik terbukti mempercepat penyembuhan lesi dan
mengurangi rasa sakit. Acyclovir merupakan analog nukleosida guanosine dan melalui
fosforilase mengubah keadaan aktifnya oleh timidin kinase virus. Afinitas acyclovir untuk
herpes virus yang dikodekan timidin kinase 200 kali lebih besar daripada timidin kinase
manusia sehingga fosforilasi acyclovir oleh enzim manusia menjadi tidak berarti. Afinitas
selektif ini menghasilkan aktivasi dan konsentrasi acyclovir pada sel yang yang terinfeksi
virus. Setelah fosforilasi menjadi acyclovir monofosfat (aciclo-GMP) dan acyclovir
trifosfat (aciclo-GTP). Nukleosida trifosfat adalah penghambat potensial sintesis DNA
virus yang bersaing dengan nukleotida virus untuk dimasukkan ke dalam DNA virus
sehingga menghasilkan DNA virus nonfungsional yang akhirnya menghambat replikasi
virus.6,4
Acyclovir akan mengalami proses fosforilasi menjadi bentuk aktif di dalam sel, yaitu
acyclovir trifosfat yang menghambat DNA polymerase VHS dan replikasi DNA virus
dengan cara memutuskan rantai DNA, sehingga mencegah sintesis DNA virus tanpa
mempengaruhi proses sel yang normal.Indikasi penggunaan acyclovir adalah mengobati
herpes simplek genital, herpes labialis, herpes zoster,VHS ensefalitis,VHS neonatal, VHS
mukokutan pada pasien yang memiliki respon imun yang diperlemah atau
immunocompromised, dan varicella-zoster. Sedangkan kontraindikasi acyclovir adalah
hipersensitivitas pada acyclovir, valacyclovir, atau komponen lain dari formula.2
Antivirus topikal terbukti membuat penyembuhan menjadi lebih cepat serta mampu
mengurangi rasa nyeri dan sensasi terbakar. Acyclovir adalah obat yang paling banyak
digunakan untuk mencegah atau menekan HSV-1. Acyclovir paling efektif digunakan
ketika pasien masih dalam masa prodromal. Aciclovir cream 5% yang digunakan pada
kasus ini mampu mengurangi durasi gejala dari 20% hingga 50%. Sebuah penelitian
retrospektif di Italia membandingkan infeksi HSV-1 yang diberi dengan aciclovir topikal
dengan yang tidak diberi aciclovir topikal. Aciclovir pada penelitian lain terbukti mampu
mempengaruhi replikasi virus jika dibandingkan dengan 2 antivirus topikal lainnya yang
digunakan untuk terapi herpes labialis. Pemberian zat ini pada tahan prodromal dapat
menyebabkan penghambatan replikasi HSV-1 dalam sel inang. Efek dan manfaat
pemberian aciclovir ini telah dibuktikan pada beberapa penelitian. Aciclovir juga mampu
meningkatkan reepitelisasi dan mengurangi respon inflamasi. Aplikasi aciclovir dan
antivirus topikal lainnya disarankan untuk dioleskan setiap tiga hingga empat jam, hal ini
disebabkan karena krim topikal tidak bertahan dalam waktu lama serta cepat hilang akibat
makan dan minum.5,10
Pemberian Methylprednisolone berfungsi sebagai antiinflamasi untuk meredakan
ulcer yang luas, eritema dan nyeri. Methylprednisolone termasuk kortikosteroid yang
bersifat intermediate acting, mempunyai half-life 12-36 jam dan retensi natrium rendah
sehingga dapat menurunkan kemungkinan timbulnya efek samping. Dosis yang diberikan
dapat rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit.
Mekanisme antiinflamasi yaitu adanya pelepasan lipokortin yang memiliki aksi inhibisi
langsung terhadap fosfolipase A2 dalam sel dengan cara menginduksi proses fosforilasi
enzim, menghambat pembentukan prostaglandin, leukotrin dan derivat jalur asam
arakidonat. Kortikosteroid juga menghambat produksi dan pelepasan sitokin, termasuk
interleukin (IL-1), IL-6 dan tumor nekrosis factor (TNFα) makrofag, sel langerhans,
monosit. Sitokin-sitokin ini terlibat dalam aktivasi sel T dan mencetuskan kaskade
imunoreaktif. Pemberian kortikosteroid sistemik secara tapering-off untuk mencegah
terjadinya efek withdrawal karena terdepresinya poros Hipotalamus-PituitaryAdrenal yang
bisa timbul apabila dilakukan penghentian secara tiba-tiba.4
Pada kondisi setelah onset dapat diberikan terapi antiinflamasi yang membantu
penyembuhan lesi oral didukung dengan multivitamin. Banyak juga pasien tidak
memerlukan perawatan apapun karena penyakit ini bersifat self limiting dengan rentang
waktu 1 minggu hingga 10 hari. 3 Multivitamin ditujukan untuk meningkatkan daya tahan
tubuh penderita, sedangkan anti inflamasi diberikan untuk meredakan inflamasi akibat
infeksi tersebut. Pemberian antiseptic sering juga diberikan pada penderita dengan tujuan
untuk menciptakan lingkungan rongga mulut yang mendukung kecepatan penyembuhan,
salah satunya adalah dengan meminimalisir jumlah mikroba rongga mulut.1,8
Vitamin B kompleks dalam bentuk koenzim berperan sebagai katalis dan regulator
pada reaksi biokimia dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh penderita
melalui kecukupan asupan vitamin yang dibutuhkan dan mencegah terjadinya gangguan
metabolik fungsional yang menyebabkan berkurangnya asupan vitamin. Vitamin C
berperan sebagai koenzim dan antioksidan. Vitamin C dapat mempercepat perubahan
residu prolin dan lisin pada prokolagen menjadi hidroksiprolin dan hidroksilisin pada
sintesis kolagen. Sehingga dapat mempercepat proses kesembuhan. Asam folat diperlukan
untuk sintesis asam nukleat (termasuk DNA) dan asam amino, sehingga vital untuk
pembentukan jaringan baru.4
PENUTUP
HSV 1 merupakan golongan alpha herpes virus yang memiliki kemampuan
menginvasi dan bereplikasi dalam sistem saraf (neurovirulensi), membentuk dan
mempertahankan infeksi laten pada sel saraf ganglia (latensi) dan aktif kembali dari latensi
(reaktivasi). HSV 1 dapat mengalami reaktivasi akibat adanya stimulus baik sentral maupun
perifer pada nukleus sensoris apabila dipicu oleh stres emosional, demam tinggi, paparan
sinar matahari, trauma saraf, gangguan hormon dan kondisi imunosupresi. Rekurensi HSV
1 antara lain melibatkan palatum durum, dorsal lidah dan gingiva berupa lesi tunggal atau
bergerombol dengan ukuran 1-5 mm dengan tepi kemerahan dan terasa sakit. Infeksi HSV
1 rekuren banyak terjadi di epitel berkeratin antara lain paling banyak di palatum, gingiva
regio premolar dan molar.6
Infeksi HSV-1 yang diidentifikasi secara awal (dalam rentang waktu sekitar 3 hari)
dapat diberikan terapi antivirus baik secara topikal maupun sistemik.3 Cara kerja obat
antivirus tersebut dengan menghambat langsung polymerase DNA virus dengan cara
bersaing dengan nukleosida trifosfat (acyclovir, gansiclovir, dan penciclovir), merusak
rantai DNA yang sedang fase replikasi (acyclovir), atau merusak rantai DNA setelah
penggabungan nukleotida buatan dalam DNA virus.4 Benzydamin HCllozenges sebagai anti
inflamasi non steroid untuk mengurangi rasa sakit akibat ulser di oraofaring. Benzydamin
HCl merupakan analgesik anti inflamasi yang strukturnya tidak berhubungan dengan
golongan steroid dengan mekanisme kerjanya menghambat biosintesis Prostaglandin.
Pemberian khlorheksidin glukonat 0,2% kumur sebagai antiseptik bertujuan untuk
mengurangi bakteri gram negatif dan jamur sehingga mencegah terjadinya infeksi
sekunder.6
Pemberian Methylprednisolone berfungsi sebagai antiinflamasi untuk meredakan
ulcer yang luas, eritema dan nyeri. Methylprednisolone termasuk kortikosteroid yang
bersifat intermediate acting, mempunyai half-life 12-36 jam dan retensi natrium rendah
sehingga dapat menurunkan kemungkinan timbulnya efek samping. Pemberian
kortikosteroid sistemik secara tapering-off untuk mencegah terjadinya efek withdrawal
karena terdepresinya poros Hipotalamus-PituitaryAdrenal yang bisa timbul apabila
dilakukan penghentian secara tiba-tiba.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Azizah F, Sufiawati I, Satari MH. Pola dan terapi infeksi Herpes simpleks virus-1 pada
rongga mulut di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode 2013-2017. Padjadjaran J
Dent Res Student. 2019; 3(1): 57-63
2. Harlina, Marlina E, Athifah. Penanganan herpes simpleks labialis rekuren
(Management of recurrent herpes simplex labialis). Dentofasial. 2014; 13(3): 195-198
3. Mailiza F, Setiadhi R. Pertimbangan Terapi Kortikosteroid Pada Stomatitis Herpetik
Rekuren. Jurnal B-Den. 2015; 2(2): 143 - 150
4. Ganesha R, Setyaningtyas D, Savitri ED, Hadi P , Israyani. Tatalaksana Recurrent Intra
Oral Herpes Disertai Candidiasis Yang Dirujuk Oleh Dermatologist. Interdent.jkg.
2020; 16 (1): 19-53.
5. Sari NDAM, Larasakti ED. Transmisi Dan Reaktivasi Virus Herpes Simpleks Tipe 1
(Laporan Kasus). Jurnal Kesehatan Gigi dan Mulut (JKGM). 2021; 3(1): 1-6
6. Suniti, Setiadhi R. Infeksi herpes simpleks virus 1 rekuren dengan faktor predisposisi
stres emosional. J Ked Gi Unpad. Desember 2018; 30(3): 207-214
7. Irianti MI, Fitriana W, Arifianti AE, Rahmasari R. Herpes Simplex Virus Tipe 1:
Prevalensi, Infeksi dan Penemuan Obat Baru. Sainstech Farma. 2020; 13(1); 21-26
8. Zakiawati D, Farisyi MA, Wahyuni IS. Clinical variability of recurrent oral HSV-1
infection with a high level of serum IgG antibody: Three case reports. Clin Case Rep.
2021; 9(9): 1-7
9. Megawati A, Hidayat W. Potensi gaya hidup terhadap tingkat kekambuhan recurrent
intraoral herpes: serial kasus. Makassar Dental Journal. 2022; 11(1): 25-28
10. Crimi S, Fiorillo L, Bianchi A, D'Amico C, Amoroso G, Gorassini F, Mastroieni R,
Marino S, Scoglio C, Catalano F, Campagna P, Bocchieri S, De Stefano R, Fiorillo
MT, Cicciù M. Herpes Virus, Oral Clinical Signs and QoL: Systematic Review of
Recent Data. Viruses. 2019; 11(5): 463.

Anda mungkin juga menyukai