Anda di halaman 1dari 6

Crossbite

Crossbite merupakan salah satu jenis maloklusi akibat adanya diskrepansi


transversal negatif antara maksila dan mandibula ketika kedua lengkung rahang
beroklusi (Caroccia dkk, 2021). 'Crossbite' mengacu pada kondisi di mana satu
atau lebih gigi mungkin malposisi abnormal secara bukal, lingual atau labial
dengan mengacu pada gigi lawannya (Premkumar, 2015).
Klasifikasi
a. Anterior Crossbite
Anterior crossbite merupakan masalah utama selama tahap perkembangan
anak terutama estetik dan fungsional. Anterior crossbite disebut juga gigitan
silang, merupakan kelainan posisi gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual
daripada gigi anterior rahang bawah. Istilah gigi yang terkunci sering digunakan
untuk anterior crossbite. Crossbite anterior adalah suatu kondisi dimana satu atau
lebih gigi insisivus desidui atau permanen rahang atas berada di lingual dari gigi
insisivus rahang bawah (Asiry dkk, 2018).
Crossbite dapat berasal dari gigi atau tulang atau kombinasi keduanya.
Jika midline mengalami pergeseran kompensasi atau kebiasaan ketika gigi
beroklusi pada crossbite, maka kondisi ini disebut pergeseran fungsional.
Crossbite anterior dapat berupa crossbite gigi tunggal atau crossbite segmental
(Premkumar, 2015). Anterior crossbite dapat dijumpai pada anak terutama pada
periode gigi bercampur. Kasus ini sering menjadi keluhan pasien oleh karena
menimbulkan penampilan yang kurang menarik, disamping itu dapat
mengakibatkan terjadinya trauma oklusi (Christiono & Agusmawanti, 2018).

Gambar 2.1 Crossbite anterior (Premkumar, 2015).


b. Crossbite Posterior
Crossbite posterior adalah hubungan bukal-lingual yang abnormal antara
gigi premolar dan/atau molar dari lengkung rahang yang berlawanan pada oklusi

4
sentrik (Caroccia dkk, 2021). Gigitan silang posterior dinilai jika satu gigi, lebih
dari satu gigi, atau seluruh segmen secara tidak normal mengalami malposisi
bukal atau lingual dengan mengacu pada gigi lawan yang bisa terjadi bilateral atau
unilateral (Asiry dkk, 2018; Caroccia dkk, 2021).
Crossbite posterior terjadi terutama pada gigi sulung dan campuran,
dengan tingkat prevalensi berkisar 7,5%-22% (Caroccia dkk, 2021). Crossbite
posterior terjadi dengan prevalensi 8% hingga 23%. Crossbite posterior
mempengaruhi perempuan lebih sering daripada laki-laki dan telah dikaitkan
dengan kebiasaan jari. Mayoritas kasus crossbite unilateral menunjukkan
pergeseran fungsional rahang bawah menuju sisi crossbite (Bukhari dkk, 2018).
Berdasarkan klasifikasi maloklusi transversal yang diusulkan Lorente pada tahun
2002, crossbites posterior dibagi menjadi crossbites unilateral dan bilateral
(Premkumar, 2015). Crossbite posterior yang paling umum adalah tipe unilateral,
yang biasanya merupakan pergeseran fungsional rahang ke arah sisi crossbite
(Caroccia dkk, 2021).
Crossbite Posterior (Premkumar, 2015).
Crossbite Unilateral a. Crossbite unilateral dengan maksila normal
disertai konstriksi dentoalveolar process
b. Crossbite unilateral dengan maksila normal
disertai konstriksi dentoalveolar process
asimetris
c. Crossbite unilateral disertai konstriksi maksila
dengan salah satunya perpindahan
dentoalveolar process secara bukal
Crossbite Bilateral a. Crossbite bilateral disertai konstriksi maksila
b. Crossbite bilateral disertai konstriksi maksila
dan bukoversi dentoalveolar processes
c. Crossbite bilateral disertai konstriksi maksila
dan mandibular excess
Crossbite unilateral dengan maksila normal disertai konstriksi dentoalveolar
process
Pada crossbite ini tidak ada perubahan rahang atas, karena rahang atas
normal tanpa penyempitan tetapi penyempitan terlihat pada tingkat proses
dentoalveolar di daerah posterior. Secara oklusal, prosesus dentoalveolar
menyempit, crossbite unilateral terjadi karena perpindahan mandibula lateral.
Secara klinis, prosesus dentoalveolar menyempit secara simetris meskipun pasien
akan menunjukkan crossbite unilateral pada saat pemeriksaan intraoral
(Premkumar, 2015).

Gambar 2.2. (A) Crossbite unilateral dengan maksila normal disertai konstriksi
dentoalveolar process; (B) Ekspansi dentoalveolar menggunakan
Quad Helix (Premkumar, 2015).
Crossbite unilateral dengan maksila normal dan konstriksi prosesus
dentoalveolar unilateral
Pada kondisi ini, tidak terdapat perubahan skeletal pada maksila tetapi
terdapat konstriksi pada salah satu prosesus dentoalveolar posterior yang
mengakibatkan crossbite unilateral pada sisi yang menyempit. Perbedaan antara
kondisi ini dan kondisi sebelumnya adalah bahwa crossbite unilateral tetap ada
bahkan ketika mandibula direposisi ke oklusi sentris (Premkumar, 2015).

Gambar 2.3. (A) Crossbite unilateral dengan maksila normal dan konstriksi
prosesus dentoalveolar unilateral; (B) Ekspansi palatal
menggunakan Haas Expander; (C) Ekspansi dentoalveolar
menggunakan Quad Helix (Premkumar, 2015).
Crossbite unilateral disertai konstriksi maksila dengan salah satunya
perpindahan dentoalveolar process secara bukal
Pada kondisi ini terjadi perubahan skeletal rahang atas akibat konstriksi
maksila. Prosesus dentoalveolar berada dalam hubungan yang tidak seimbang
dengan tulang basal yaitu satu sisi memiliki crossbite karena hubungan yang
harmonis dan sisi lainnya memiliki oklusi normal karena perpindahan bukal
(Premkumar, 2015).
Crossbite bilateral dengan konstriksi maksila
Pada keadaan ini maksila memiliki konstriksi skeletal. Crossbite posterior
bilateral asal skeletal akan terlihat jika hubungan antara prosesus alveolaris dan
tulang basal harmonis (Premkumar, 2015).

Gambar 2.4. (A) Crossbite bilateral dengan konstriksi maksila; (B) Ekspansi
palatal menggunakan Haas Expander (Premkumar, 2015).
Crossbite bilateral dengan konstriksi maksila disertai perpindahan
dentoalveolar processes secara bukal
Konstriksi tulang rahang atas terlihat dengan prosesus dentoalveolar
rahang atas yang bergeser ke bukal yang mencoba mengkompensasi defisit tulang.
Pada pemeriksaan intraoral, tidak akan ada crossbite bilateral tetapi hanya
defisiensi perkembangan rahang atas yang terlihat sebagai bentuk segitiga yang
perlu diekspansi jika diperhatikan (Premkumar, 2015).

Gambar 2.5. (A) Crossbite bilateral dengan konstriksi maksila disertai


perpindahan dentoalveolar processes secara bukal; (B) Ekspansi
dentoalveolar menggunakan Quad Helix; (C) Ekspansi palatal
menggunakan Haas Expander (Premkumar, 2015).
Crossbite bilateral disertai konstriksi maksila dan mandibular excess
Pada kondisi ini crossbite bilateral disebabkan oleh perkembangan
mandibula yang berlebihan yang sangat sulit untuk dilakukan intervensi
dibandingkan crossbite yang disebabkan oleh defisiensi tulang rahang atas
(Premkumar, 2015).
Faktor yang disarankan dalam etiologi crossbite termasuk crowding,
kehilangan prematur atau retensi gigi sulung, palatal cleft (dengan atau tanpa cleft
lip), defisiensi lengkung rahang, dan bad habit (Caroccia dkk, 2021). Penyebab
paling umum untuk crossbite gigi tunggal adalah gigi seri sulung yang mengalami
retensi terlalu lama. Crossbite anterior lengkap (complete anterior crossbite)
dapat menunjukkan masalah pertumbuhan skeletal dan berkembangnya maloklusi
kelas III. Defisiensi panjang lengkung rahang juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya crossbite dan pada beberapa kasus bahkan dengan panjang lengkung
yang memadai, gigi insisivus lateral erupsi terlalu jauh ke lingual dan mahkota
klinis dipaksa sepenuhnya erupsi ke sisi lingual gigi insisivus bawah yang
berlawanan karena gigi atas dan bawah dibawa ke dalam kebiasaan oklusi.
Kecenderungan ini mungkin lebih nyata pada apa yang disebut individu berwajah
lurus dengan overbite kurang dari rata-rata, dan terlihat ada kecenderungan family
Kelas III. Selain itu, trauma pada gigi sulung anterior menyebabkan perpindahan
benih gigi permanen yang sedang berkembang (Premkumar, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Asiry MA, AlShahrani I. Prevalence of malocclusion among school children of


Southern Saudi Arabia. J Orthod Sci. 2019; 8: 2.
Bukhari A, Kennedy D, Hannam A, Aleksejūnienė J, Yen E. Dimensional
changes in the palate associated with slow maxillary expansion for early
treatment of posterior crossbite. Angle Orthod. 2018; 88(4): 390-396.
Caroccia F, Moscagiuri F, Falconio L, Festa F, D'Attilio M. Early Orthodontic
Treatments of Unilateral Posterior Crossbite: A Systematic Review. J Clin
Med. 2020; 10(1): 33.
Christiono S, Agusmawanti P. Penatalaksaan anterior crossbite dengan incline
bite plane lepasan. Indonesian Journal of Paediatric. 2018; 1(2): 184-187.
Premkumar S. Textbook of Orthodontics. India: Reed Elsevier India Pvt. Ltd;
2015.

Anda mungkin juga menyukai