BAB III
TINJAUAN TEORITIS
A. Produk
1. Pengertian produk
produk bisa mencakup aspek fisik (tangible, seperti bentuk, warna, fitur,
dan sebagainya). Maupun non fisik (intangible, seperti citra, reputasi, dan
seterusnya.37
dalam pengertian luas adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada
pasar untuk daya tarik, akuisi, penggunaan, atau konsumsi yang bisa
2. Klasifikasi Produk
a. Produk konsumen
Produk konsumen adalah apa yang dibeli oleh konsumen akhir untuk
37
Gregorius Chandra dkk, Pemasaran Global: internasionalisasi dan Internetisasi,
(Yogyakarta: Andi, 2004), h. 293.
38
M. Suyanto, Op.Cit, h. 8
39
Hendra Rjfita MM, Strategi Pemasaran, (Pekanbaru: Mutiara Pesisir Sumatra, 2015), h.
74.
28
29
1) Produk sehari-hari
2) Produk shopping
3) Produk khusus
b. Produk Industri
Produk industri adalah barang yang dibeli untuk diproses lebih lanjut
c. Mutu Produk
Mutu adalah salah satu alat penting bagi pemasar untuk menetapkan
d. Sifat-sifat Produk
Suatu produk dapat ditawarkan dengan berbagai sifat. Sifat adalah alat
dibutuhkan dan dinilai tinggi oleh pelanggan adalah salah satu cara
e. Rancangan Produk
Rancangan adalah konsep yang lebih luas ketimbang gaya. Gaya hanya
menginspirasi kejemuan.40
3. Kualitas Produk
dampak langsung pada kinerja produk dan jasa, oleh karena itu kualitas
40
Prof. Dr. Thamrin Abdullah, Manajemen Pemasaran, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2012), h. 155-159
41
Philip Kotler dan Gary Armstrong, Op.Cit, h.272.
42
John c Mowen & Michael Minor, Perilaku Konsumen, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.90.
31
suatu produk baik berupa barang maupun jasa perlu ditentukan melalui
kali digunakan dalam periode waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu
pula
43
M. Suyanto, Op.cit, h. 111
32
perbaikan barang.
produksi.
44
Husein Umar, Riset Pemasaran & Perilaku Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), h. 37-38.
45
John c Mowen & Michael Minor, Op.cit. h.91.
33
a. Kinerja: Tingkat absolut barang dan jasa pada atribut kunci yang
f. Estetika: penampilan fisik barang atau toko. Daya tarik penyajian jasa.
kualitas yang tampak, yang mengenal merek atau nama toko atas
evaluasi konsumen.46
kita kepada suatu konsep unik tentang berbagai produk dan komuditas.
46
Ibid, h.92.
34
terhadap keduanya. Dalam hal ini ada dua macam istilah yang digunakan
baik dan suci, barang-barang yang bersih dan suci, hal-hal yang baik dan
konsumsi terkait erat dengan nilai-nilai dalam Islam, yaitu nilai keindahan,
dan tidak bernilai tidak dapat digunakan dan juga tidak dianggap sebagai
barang-barang konsumsi.
Istilah al-Rizq diulang 120 kali dalam Qur’an, menurut Yusuf Ali,
dan tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab
35
dalam Islam.47
tertentu. Asosiasi tersebut dapat muncul dalam bentuk citra atau pemikiran
kombinasi dari nama, kata, simbol, atau desain yang member identitas
produk.48
tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa brand image merupakan konsep yang
Oleh karena itu dalam konsep ini persepsi konsumen menjadi lebih penting
47
Prof Dr. H. Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Pekanbaru, Al-Mujtahadah Press:
2014), h.48-49
48
M. Suyanto, Op.cit, h. 81
49
Erna Ferrinadewi, Merek & Psikologi Konsumen, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h.
165-166.
36
kualitas (model dan kenyamanan) dan dari ciri khas itulah yang
konsumen.
bertahan sebagai bagian dari citra merek. Kekuatan asosiasi merek ini
c. Keunikan merek adalah asosiasi terhadap suatu merek mau tidak mau
harus terbagi dengan merek-merek lain. Oleh karena itu, harus diciptakan
merek.
c. Keunikan asosiasi merek terhadap suatu merek mau tidak mau harus
pengalaman emosi.
nama, istilah, tanda, lambang, atau desain, atau kombinasi semua ini, yang
Hendra Rjofita merek adalah nama, istilah, tanda, symbol, atau rancangan,
produk dan jasa dari suatu kelompok penjual dan membedakannya dengan
produk pesaing.53
50
Muhammad Romadhoni, (2015), Pengaruh Citra Merek (Brand Image) Terhadap
Pengambilan Keputusan Pembelian Sepatu Nike pada Mahasiswa fik uny, “skripsi” fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta.
51
Erna Ferrinadewi, Op.Cit, h. 167
52
Philip Kotler dan Gary Armstrong, Op.cit, h. 275.
53
Hendra Rjfita MM, Op.cit, h. 74
38
terbaik menjadi jaminan mutu.54 Oleh karena itu merek adalah tanda
dipikiran yang diharapkan oleh perusahaan agar diingat orang pada waktu
3. Kategori Merek
a. Positioning merek
54
Prof. Dr. Thamrin Abdullah, Op.cit,, h. 161-162
55
Paul Hague dan Peter Jackson, Riset Pemasaran dalam Praktik, (Jakarta Pusat: Ikrar
Mandiri abadi), h. 111.
56
M. Suyanto, Op.cit, h. 78-79..
39
c. Sponsor merek
produk
d. Pengembangan merek
ukuran, bahan, atau rasa baru dari kategori produk yang ada.
57
Hendra Rjfita MM, Op.cit,, h. 78
40
merek yang ada melemah dan nama merek baru diperlukan. Atau
memasuki kategori produk baru dimana tak ada satu pun nama merek
C. Keputusan Pembelian
merek yang paling disukai, tetapi dua faktor bisa berada antara niat
lain, dan faktor kedua adalah faktor situasional yang tidak diharapkan.59
a. Faktor budaya
58
Philip Kotler dan Gary Armstrong, Op.cit, h. 289-290.
59
M. Suyanto, Op.Cit, h. 181
41
b. Faktor sosial
seperti:
status.
c. Faktor pribadi
yaitu:
42
1) Usia dan tahap siklus hidup. Orang membeli barang dan jasa yang
konsumsinya.
menabung.
dan pekerjaan yang sama mungkin saja mempunyai gaya hidup yang
berbeda.
d. Faktor psikologis
pembelian, yaitu:
barang atau jasa tertentu dari proses keputusan membeli dan dapat
atas.61
60
Prof. Dr. Thamrin Abdullah, Op.cit, h. 112-122.
61
Hendro, Op.cit, h. 486.
44
a. Pengenalan kebutuhan
tertentu ini.
b. Pencarian informasi
mungkin tidak. Jika dorongan konsumen itu kuat dan produk yang
kemudian.
c. Evaluasi alteratif
d. Keputusan pembelian
adalah membeli merek yang paling disukai, tetapi dua faktor bisa berada
e. Perilaku pascapembelian
45
Setelah membeli produk, konsumen akan merasa puas dan terlibat dalam
Senada dengan hal ini Abu al-A’la al-Maududi menjelaskan, Islam menutup
Artinya: “dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang
kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah : 88).64
62
Philip Kotler dan Gary Armstrong, Op.cit, h, 179-181
63
Dr. Rozalinda, Op.Cit, h. 108 .
64
Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 122
46
barang dan jasa yang merusak serta membawa seseorang kearah yang
pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang
65
Dr. Rozalinda, Op.Cit, h. 162
47
diantaranya adalah:
2. Prinsip kuantitas
3. Prinsip prioritas
4. Prinsip sosial
zakat bagi yang mampu juga menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf.
5. Kaidah lingkungan
lingkungan.67
66
Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 284-285
67
Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag, Ekonomi Islam 2, (Pekanbaru: Al-Mujtahadah
Press, 2014), h.94-96.
49
Muslim sangat dilarang memiliki sifat kikir dan boros. Islam melarang
Beberapa bentuk infak adalah infak kepada diri sendiri dan keluarga,
menukar barang dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan
dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
Hukum jual beli telah disahkan oleh Alqur’an, sunnah, ijma’. Adapun
68
Sofyan S Harahap, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2011),
h. 139
50
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa’: 29).70
Mengenai hukun dan syarat jual beli, para ulama berbeda pendapat,
berikut ini adalah uraiannya. Menurut Mazhab Hanafi, rukun jual beli hanya
ijab dab kabul saja. Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu
hanya kerelaan kedua belah pihak untuk jual beli. Menurut jumhur ulama
69
Departemen Agama RI, Op.Cip, h. 47
70
Ibid, h. 83
51
a. Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak
b. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang
yang telah balig, berakal, dan mengerti, maka akad yang dilakukan oleh
anak dibawah umur, orang gila, atau idiot tidak sah kecuali dengan seizin
walinya.
c. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua
pihak.
f. Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad.
71
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
h.65-67
72
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Kencana Group,
2012), h. 103