Anda di halaman 1dari 3

Proses perumusan kebijakan publik di era sekarang dengan demikian tidak hanya dilaksanakan

oleh dan di badan-badan pernerintah saja, tetapi juga badan, individu, ataupun kelompok di luar
pemerintah juga ikut berperan sangat besar. Kelompok kepentingan (NGO) misalnya dewasa ini
telah menunjukkan perannya yang sangat besar dalam menyuarakan apa yang menjadi
kepentingan masyarakat dan peran mereka tidak di ragukan lagi berpengaruh besar pula
terhadap proses perumusan kebijakan publik. Perubahan karakter dalam proses perumusan
kebijakan publik sebagaimana tersebut di atas tentunya akan berpengaruh pula terhadap
perkembangan model formulasi kebijakan publik. Menurut Lester dan Stewart (2000), dengan
mengutip pandangan Anderson ( 1990), bahwa "By the term policy formulation, we mean the
stage of the policy process where pertinent and acceptable courses of action for dealing with
some particular public problem are identified and enacted into law" (Yang kami maksudkan
dengan formulasi kebijakan adalah proses kebijakan di mana serangkaian tindakan yang
relevan dengan dan telah diterima sehubungan dengan adanya masalah publik tertentu
diidentiftkasi dan diusulkan menjadi hukum). Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa masing-
masing tahap dalam proses perumusan kebijakan publik itu secara teoritis bisa dibedakan satu
sama lain, tetapi secara praktis mereka menyatu. Misalnya, apakah rnasalah kebijakan itu bisa
diproses masuk ke agenda pemerintah dan juga serangkaian tindakan itu apa dapat diubah
menjadi hukum? Hasil yang diharapkan dari proses formulasi kebijakan adalah tersedianya
sejumlah alternatif solusi terhadap suatu masalah kebijakan. Menurut Deborah Stone (lihat
dalarn Lester dan Stewart, 2000) ada 5 (lima) macam solusi kebijakan, yaitu
( 1) inducements, berupa dorongan atau insentif baik yang positif (misalnya kredit pajak)
ataupun yang negatif (misalnya hukuman alas polusi);
(2) rules, berupa sejumlah aturan yang harus dipatuhi (misalnya regulasi tentang
polusi/pencemaran udara);
(3) facts, pemanfaatan informasi faktual untuk mendorong kelompok masyarakat melakukan
sesuatu dengan cara tertentu (misalnya info mengenai bahaya merokok sembarangan);
(4) rights, memberikan hak-hak tertentu kepada warga masyarakat (misalnya, hak warga untuk
mengadukan keluhan alas kualitas pelayanan dari pemerintah); dan
(5) powers, kekuasaan yang diberikan kepada badan pembuat kebijakan untuk meningkatkan
kualitas kebijakannya (misalnya hak anggaran badan legislatif untuk meningkatkan mutu
anggaran negara). Solusi kebijakan dapat berupa undang-undang, keputusan eksekutif,
keputusan rnahkarnah, dan sebagainya. lnti dari kegiatan rnemformulasikan kebijakan adalah
memilih di antara pelbagai rnacarn alternatif solusi untuk mengatasi suatu rnasalah publik.
Gambaran tentang proses memilih alternatif solusi masalah tersebut oleh para ahli kebijakan
publik dinamakan 'models of decision making', Berikut ini akan saya sajikan pandangan para
pakar tentang model-model perumusan kebijakan publik. Simmons dan Dvorin ( I 977)
mengidentifikasi adanya 5 (lima) macam model perumusan kebijakan publik, yaitu
(I) model deskriptif, yang fokus perhatiannya ditujukan pada pendeskripsian tentang
bagaimanakah kebijakan publik itu dibuat dalam suatu lingkungan tertentu. Di sini, peristiwa,
nilai, kornitmen, dan aktor dari berbagai organisasi dideskripsikan dan dianalisa dengan
mengidentifikasi aktor kunci atau peristiwa yang sangat penting atau serangkaian keadaan yang
berpengaruh terhadap proses perumusan kebijakan publik;
(2) model preskriptif, yang fokus perhatiannya ditujukan pada pilihan-pilihan ekonomi atau
Jogika yang mendasari pilihan tersebut. Bila kita ingin memperoleh dampak yang kita inginkan
maka sernua hal yang diperlukan adalah dengan mengubah faktor pendorong dan penghambat
yang ada dan menyesuaikan faktor biaya dan tanggung jawab yang diemban. Sering kali juga
melibatkan cara-cara gabungan antara paksaan (koersif) dan persuasive;
(3) model eksplanatoris, yang fokusnya diarahkan pada upaya menemukan faktor determinan
(yang menentukan) pilihan-pilihan kebijakan publik. Juga pada upaya mendeskripsikan dan
mengalkulasi perbedaan-perbedaan dampak kebijakan bila dikaitkan dengan variabel-variabel
sosio-ekonomi dan politik dalarn suatu sistem politik tertentu;
(4) model normatif, yang sangat perhatian terhadap definisi atau makna akan 'kehidupan yang
baik' , atau sesuatu yang seyogianya terjadi/dilakukan, misalnya 'pernerintahan yang baik' ,
'program kesejahteraan yang baik' , 'sistem pendidikan yang baik' , 'transportasi publik yang
baik' , dan sebagainya. Pokoknya, segala macarn kebijakan yang ideal yang harus dibuat
dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih baik; dan
(5) model evaluatif, yang fokusnya pada penilaian atas dampak langsung kebijakan yang
sedang berjalan terhadap lingkungan di sekitarnya. Perhatian utamanya adalah pada penilaian
terhadap orang, kegiatan organisasi, dan tujuan kebijakan, serta darnpak pelaksanaan
kebijakan.
Untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak Sejumlah strategi memang telah dikeluarkan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengatasi masalah minyak goreng itu, mulai dari
memberlakukan kewajiban pemenuhan dalam negeri (DMO), kewajiban harga dalam negeri
(DPO), menetapkan harga eceran tertinggi (HET), hingga menggelontorkan triliunan rupiah
untuk minyak goreng tetapi tepap saja belum membuahkan hasil.
Kemudian Untuk mengatasi masalah kelangkaan ini, hindari intervensi pasar yang dilakukan di
luar lokasi pasar karena akan lebih banyak menimbulkan moral hazard. Pemerintah harus
mengotimalkan fungsi pasar agar sesempurna mungkin.
Rossanto menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang harus diupayakan oleh pemerintah.
Dengan penerapan tiga hal tersebut, diharapkan kelangkaan minyak goreng dalam negeri bisa
teratasi.
1. Menaikkan Pajak Ekspor Minyak Goreng
Harga minyak goreng dunia mengalami kenaikan dari yang awalnya di harga $1100 menjadi
$1340. Untuk itu, pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri.
Harga minyak luar negeri saat ini memang cukup menjanjikan. Namun apabila dirasa kurang
efektif dalam mendorong kebutuhan pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan pajak
ekspor minyak goreng menjadi lebih tinggi.
Dengan begitu pemerintah dapat memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri tercukupi,
Kebijakan perdagangan juga bisa dilakukan pemerintah dengan menaikturunkan kebijakan
ekspor. Apabila kebutuhan dalam negeri masih kurang, maka pemerintah bisa menaikkan pajak
ekspor sehingga mengurangi motivasi produsen domestik untuk mengekspor minyak ke luar
negeri karena pajak tinggi..
• Relaksasi Kebijakan Biodiesel 30 Persen (B30)
Kedua, menurut Rossanto, pemerintah dapat melakukan relaksasi atau pengenduran kewajiban
produsen untuk memenuhi kebutuhan biodiesel 30 persen. Persentase biodiesel bisa dikurangi
menjadi 20 persen selama masa gejolak kelangkaan minyak goreng terjadi. “Jika dirasa masih
cukup tinggi, bisa diturunkan lagi sampai 15 persen,” tambahnya.
• Melakukan Operasi Pasar
Dalam jangka pendek, pemerintah bisa melakukan operasi pasar. Misalnya dengan melacak
dari produsen harus memiliki kewajiban untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri terlebih
dahulu sebelum memenuhi kebutuhan ekspor. Pemerintah harus memastikan pasokan minyak
goreng dalam negeri terpenuhi dengan harga yang wajar dan terjangkau oleh masyarakat.
“Misalnya dengan menerapkan kebijakan 20-30 persen dari produksi harus dipasarkan di dalam
negeri.
Sumber Referensi:
https://news.unair.ac.id/
https://www.cnnindonesia.com/
https://tribratanews.polri.go.id/
Muh. Irfan Islamy.2022.Kebijakan Publik (KB 1 Model Perumusan Kebijakan Publik). Modul 6
Edisi 2, Universitas Terbuka : Tangerang Selatan

Anda mungkin juga menyukai