Anda di halaman 1dari 15

ARTIKEL

“PEMINDAHAN IBU KOTA DAN KONEKTIVITAS PEMERATAAN EKONOMI”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8:

>RIZALDI A32121025

>FABYAN TRY NUGRAHA A32121027

>MOH RIZKI A32121028

>RIHASTI A32121031

>SELVIANI A32121029

ABSTRACT

Along with the development of understanding about the discourse of the relocation of Indonesia's
capital city by existing studies, one of the various positive potentials to be obtained from this
policy is the realization of the connectivity of economic equality. In addition to balancing
regional development, the new location's connectivity should be as capable as possible in
creating economic equality concerning its archipelagic concept of country. It is undeniable that
Indonesia's economy is centered on Java island, especially around the Jakarta capital city, with a
very high level of development as a center of national scale growth, far beyond the other large
islands such as Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, and Papua. In creating a more equitable
economic growth, the relocation of the capital city should as much as possible refer to economic
connectivity as a trigger in improving the economy of the large islands in Indonesia. A question
arises how the potential of connectivity of economic equality in the context of relocation of
Indonesia's capital city. The article aims to present a literature study producing an understanding
regarding this matter for the consideration of stakeholders in decision making. This study uses a
descriptive and evaluative method with secondary data sources such as scientific journals,
literature books, and internet news. Its result confirms the existence of an opportunity to create
economic equality through the policy of the capital city relocation with the assumption that new
growth centers of national scale will emerge outside Java. The flow of migration, investment,
internal connectivity, and external connectivity are the elements making this happen.
PENDAHULUAN

Dewasa ini isu ketimpangan pembangunan antar wilayah di tanah air kian sering
didengungkan. Tingginya disparitas pertumbuhan antar wilayah menjadi alasan mengapa selalu
ada gejolak di daerah-daerah. Ketimpangan perekonomian cenderung sebagai penyebab
tingginya animo masyarakat untuk lebih konsen terhadap bagaimana menciptakan perekonomian
yang lebih merata. Mewujudkan pemerataan ekonomi di wilayah Indonesia memang bukan hal
yang mudah. Wilayah yang luas, terdiri dari berbagai pulau dan berbagai suku bangsa yang
berbedabeda menjadikan tantangan tersendiri dalam mewujudkan pemerataan ekonomi menjadi
semakin rumit dan kompleks (Muchdie dkk., 2001). Tipikal negara kepulauan berdampak pada
pola pengembangan wilayah yang diterapkan di Indonesia menjadi berbeda dengan negara
lainnya. Pengembangan wilayah yang dilakukan lebih tepat dengan pendekatan negara
kepulauan, bukan pengembangan negara yang hanya terdiri dari satu daratan (Adisasmita, 2011).
Pengembangan negara kepulauan menjadi semakin kompleks karena perencanaannya dilakukan
dengan mengeluarkan kebijakankebijakan dengan bertujuan untuk membangun suatu wilayah
(pulau) menjadi terkoneksi, dengan secara bersamaan juga mewujudkan efek multiplier terhadap
pulau lainnya. Berkenaan hal tersebut, tidak disangkal bahwa sebagian besar perekonomian
Indonesia berada di pulau Jawa (Firman, 2002; Nurzaman, 2002; Winarso & Firman, 2002).
Alasan hal ini terjadi sebagai akibat dari posisi ibu kota negara di Jakarta (pulau Jawa) menjadi
perdebatan yang tidak terselesaikan. Apakah tingginya aktifitas perekonomian tersebut didorong
oleh lokasi ibu kota, ataukah terjadi dengan sendirinya masih diperdebatkan. Namun secara
logika, tentunya posisi dari ibu kota berdampak langsung dengan meningkatnya aktifitas
perekonomian bagi wilayah disekitarnya. Hal ini didorong kemudahan administratif, pelayanan
dan perhatian langsung dari pemerintah pusat. Isu pemerataan ekonomi dalam konteks
pemindahan ibu kota menjadi urgensi tersendiri untuk dapat dipahami lebih lanjut. Artikel ini
mempertanyakan bagaimana potensi konektivitas pemerataan ekonomi dalam rangka
pemindahan Ibu Kota Indonesia? lebih lanjut Apakah dengan merelokasi ibu kota menjadi
jawaban dalam mewujudkan pemerataan ekonomi atau tidak? Artikel ini bertujuan memberikan
pemahaman terhadap isu tersebut melalui kajian literatur, serta bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, juga sebagai pelengkap
literatur berkenaan kajian sejenis bagi akademisi.

Implementasi pemerataan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari tingginya beban dalam
pengelolaan ekonomi negara. Jumlah penduduk miskin, per Maret 2017 mencapai 27,77 juta
orang (10,64 %), naik 6,90 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September
2016 yang sebanyak 27,76 juta orang (10,70 %), dimana hasil proyeksi penduduk menunjukkan
bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 261.890,9 ribu orang (BPS, 2017).
Jumlah penduduk miskin yang tinggi berdampak pada semakin besarnya upaya yang harus
dilakukan dalam penanganannya. Setiap tahunnya angka kemiskinan meningkat akibat
bertambahnya jumlah penduduk dan pengangguran. Hal ini diwaspadai sebagai dampak
perkembangan ekonomi yang naik turun dan krisis ekonomi yang pernah melanda (Firman,
2002). Berkenaan hal tersebut tingkat ketimpangan/ gini ratio bergerak stagnan. Gini ratio per
Maret 2017 sebesar 0,393 (ketidakmerataan sedang), relatif stagnan dibandingkan pada
September 2016 yang mencapai 0,394 atau turun tipis 0,001 poin (BPS, 2017). Ratio gini
stagnan karena pertumbuhan orang kaya menurun dan pertumbuhan orang miskin pun melambat,
kenaikan paling tinggi terjadi di masyarakat kelas menengah, bukan pada lapisan terkaya dan
termiskin. Atau dengan kata lain jumlah kekayaan yang dihimpun oleh orang kaya semakin
menurun, di sisi lain pertumbuhan jumlah penduduk miskin juga melambat, sehingga membuat
jurang kesenjangan tidak banyak berubah (Sari, 2017) Berdasarkan survei Tahun 2017 lembaga
keuangan Swiss, Credit Suisse, menyampaikan bahwa 1 % orang terkaya di Indonesia menguasai
49,3 % kekayaan nasional. Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia
termasuk paling buruk di dunia (peringkat 4 ketimpangan ekonomi). Kondisi ini hanya lebih baik
dibanding Rusia, India dan Thailand. Dengan demikian terdapat disparitas/ perbedaan yang jauh
antara yang kaya dan yang miskin (Credit Suisse International, 2017). Variasi karakteristik
masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat dan terletak pada kondisi
geografis wilayah yang berbeda-beda (dataran tinggi, dataran rendah dan pesisir). Penanganan
ini berimplikasi pada pendekatan pengembangan masyarakat melalui perencanaan partisipatori
yang cenderung menyesuaikan dengan norma masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

>Kompleksitas Pemerataan Ekonomi

Bersangkutan (Prasetia, 2016). Perencanaan dilakukan melalui pelibatan seluruh elemen


masyarakat untuk menghasilkan kebijakan yang disetujui oleh semua pihak (Djunaedi, 2014;
Johansen & Chandler, 2015; Shalaby, 2013). Rendahnya peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) masyarakat, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, dengan nilai
indeks 0,686, turun dari posisi 110 nilai indeks 0,689 di 2016 (UNDP, 2016), pada tahun 2016,
angka IPM Indonesia sebesar 70,18, tumbuh 0,91 % atau bertambah 0,63 poin dibandingkan
Tahun 2015 (69,55), pertumbuhan tersebut sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun
sebelumnya sebesar 0,93 % (BPS, 2017). Peningkatan IPM masih terkendala akibat distribusi
harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk seluruh masyarakat tidak
tersebar secara merata. Cakupan luas wilayah yang besar, luas Indonesia 1.913.578,68 km2, garis
pantai sepanjang 81.000 km, dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 di tahun 2015 (BPS, 2017).
Semakin luas wilayah yang dikelola akan membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif
dan lebih memakan waktu, ditambah lagi luasan wilayah tersebut terdiri dari pulau-pulau.
Cakupan wilayah negara yang terdiri dari kepulauan mengakibatkan pemerataan ekonomi
cenderung terkendala oleh kondisi geografis, pusat-pusat pertumbuhan yang ada tidak serta
merta berpengaruh untuk seluruh wilayah negara, namun terbatas pada pulau bersangkutan. Jarak
terpanjang dari ujung paling Barat (Sabang) sampai ke ujung paling Timur (Jayapura) mencapai
bentangan lebih dari 5.000 km atau sama jaraknya dari Seatle sampai ke New York di Amerika
Serikat. Dilihat dari aspek kewilayahan, Indonesia dapat diinterpretasikan terdiri dari daratan
(pulau-pulau) yang dipisahkan dan dihubungkan oleh perairan (lautan), tetapi dapat dikatakan
pula merupakan hamparan perairan (laut luas) yang ditaburi oleh pulau-pulau (daratan)
(Adisasmita & Adisasmita, 2011).

>Disparitas Antar Wilayah Kepulauan

Disparitas regional merupakan fenomena universal, di semua negara tanpa memandang


ukuran dan tingkat pembangunannya. Disparitas pembangunan merupakan masalah
pembangunan antar-wilayah yang tidak merata. Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang
tidak merata telah melahirkan masalah-masalah politik. Hampir di semua negara, baik pada
sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana secara terpusat, kebijakan-kebijakan
pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparitas antar wilayah, maka dalam usaha
peningkatan perekonomian terdapat adanya urgensi pembangunan antar wilayah secara
berimbang (Friedmann, 1968; Nurzaman, 2012; Rustiadi, 2018; Sujarto, 2006). Ketimpangan
pembangunan antar wilayah di Indonesia diantara negara berkembang termasuk yang sangat
tinggi. Indeks ketimpangan tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat
berimplikasi negatif dan cenderung mendorong timbulnya kecemburuan sosial daerah
terbelakang terhadap daerah maju yang selanjutnya dapat menibulkan dampak politis bila tidak
diatasi sesegera mungkin (Sjafrizal, 2014). Tabel 1.

Tabel 1. Dampak Spasial terhadap Output, Pendapatan dan Kesempatan Kerja dari
Kebijakan Peningkatan Ekspor Sektor Industri Nasional

No Pulau Output (Rp M) Dampak Output1 (Rp M) Persen Pendapatan (Rp M) Pendapatan2
(Rp M) Persen Tenaga Kerja (ribu) Dampak tenaga kerja3 (ribu) Persen 1 Sumatera 80.437
16.034 19,9 12.185 1.838 15,1 14.093 2.777 19,7 2 Jawa 227.368 35.250 15,5 40.682 4.883 12,0
44.723 6.953 15,5 3 Kalimantan 27.254 8.001 29,4 5.388 1.259 23,4 3.935 1.182 30,0 4 Nusa
Tenggara 11.298 587 5,2 2.467 90 3,6 5.897 298 5,1 5 Lainnya 21.962 3.839 17,4 4.973 648
13,0 5.587 1.076 19,3 Total 368.320 63.702 17,3 65.695 8.717 13,3 74.235 12.286 16,6
1Dampak output meningkatnya ekspor sektor industri sebesar 100% 2Dampak pendapatan
meningkatnya ekspor sektor industri sebesar 100% 3Dampak kesempatan kerja meningkatnya
ekspor sektor industri sebesar 100% Sumber: Disadur dari Muchdie,2011.

Pembangunan antar pulau dapat dilihat dari investasi yang digelontorkan untuk daerah
tersebut. Sebaran investasi di luar Jawa semakin meningkat menjadi Rp 75,3 triliun atau setara
dengan 45,4% dari total investasi (dibanding Triwulan I 2016 yang hanya sebesar 44,9%),
dimana realisasi investasi di Pulau Jawa sebesar Rp 90,5 triliun (54,6%) (BKPM, 2017). Nilai
investasi di suatu wilayah akan meningkatkan perekonomian wilayah tersebut, hal ini akan
mendorong perluasan tenaga kerja, pembangunan infrastruktur dan menjadi idriver
pembangunan kawasannya. BKPM (2017) juga mencatat bahwa realisasi investasi (Penanaman
Modal Dalam Negeri/ PMDN+Penanaman Model Asing/ PMA) berdasarkan lokasi proyek (5
besar) adalah: Jawa Barat (Rp 29,3 Triliun, 17,7%); DKI Jakarta (Rp 24,2 Triliun, 14,6%); Jawa
Timur (Rp 12,6 Triliun, 7,6%); Banten (Rp 12,4 Triliun, 7,4%) dan Jawa Tengah (Rp 11,9
Triliun, 7,2%). Dari uraian tersebut masih menunjukkan terdapat adanya ketimpangan antara
investasi di pulau Jawa dan luar pulau Jawa yang sifgnifikan. Sejak zaman kolonial
perekonomian Nusantara didominasi oleh Pulau Jawa, dilanjutkan masa Orde Lama dan
dipertajam oleh masa Orde Baru. Ditandai dengan terkonsentrasinya berbagai fasilitas sosial,
budaya, ekonomi dan politik (Bresnan, 1998; Hill, 1994). Muchdie dkk. (2001) menyampaiakan
bahwa lebih dari 60 % output total dalam perekonomian Indonesia terkonsentrasi di Jawa, sekitar
20 % di Sumatera dan sisanya (sekitar 10 %) di Kawasan Timur Indonesia (Tabel 1). Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa pulau Jawa merupakan pusat pertumbuhan skala nasional
yang ditandai dengan tingginya aktifitas output total perekonomian negara, serta ditunjang
dengan tingginya angka investasi yang digelontorkan untuk wilayah tersebut. Data tersebut
memberikan esensi bahwa perekonomian terkonsentrasi di Pulau Jawa yang berimplikasi pada
alokasi sumber daya (SDM dan SDA) menuju daerah tersebut akibat dari kegiatan ekonomi
terpusat. Namun disadari bahwa wilayah negara yang luas dan terdiri dari pulau-pulau mestinya
angka persentase output dapat disebar pada pulau-pulau lainnya, sehingga pulau Jawa tidak
dipenuhi oleh arus urbanisasi dan tenaga kerja lokal di luar pulau jawa dapat membangun
daerahnya masing-masing.

Pembangunan ekonomi menekankan azas pemerataan dalam melakukan pengembangan


wilayah. Namun tampaknya hal ini tidak berjalan mulus dilihat dari adanya ketimpangan
perekonomian antar pulau yang ada. Pengembangan perekonomian Indonesia tidak hanya
memperhatikan wilayah tertentu tanpa memperdulikan daerah lainnya, karena kalau ditinggalkan
maka terjadi ketidak adilan di masyarakat. Adapun pembahasan pada makalah ini lebih kepada
potensi relokasi ibukota, apakah mampu menjadi trigger dalam meningkatkan perekonomian
kota tujuan sembari mewujudkan pemerataan ekonomi agar perekonomian Indonesia tidak hanya
didominasi oleh pulau jawa dan terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru di luar pulau Jawa
agar nantinya mampu mengimbangi kemajuannya. Penanganan disparitas perekonomian antar
wilayah dapat dilakukan melalui konsep pengembangan wilayah dengan tujuan memperkecil
kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah (Mahi, 2016; Setiono &
Setiyono, 2010; Tarigan, 2012). Dalam pembahasan ini, relokasi ibu kota dijadikan alat
(kebijakan) pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah yang dilakukan tentunya
mengidentifikasikan relokasi ibu kota menuju wilayah yang paling efektif mendatangkan
keuntungan tertinggi negara untuk mendistribusikan perekonomian khususnya bagi daerah luar
pulau Jawa, sehingga menstimulus pemerataan ekonomi.
METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ini merupakan studi literatur dengan sumber data sekunder seperti jurnal ilmiah,
buku literatur dan berita internet. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif evaluatif
(Neuman, 2014). Metode ini berupaya memberikan penilaian terhadap suatu permasalahan sosial
yang diperbincangkan dengan argumen yang lebih beralasan. Setelah data dikumpulkan,
pengelolaannya dimulai dari interpretasi awal melalui pemaparan fakta empiris dengan
mengelaborasikan data dan gagasan dari literatur terkait. Selanjutnya dilakukan interpretasi
terfokus yang didasarkan pada pemaparan data tersebut. Fase ini menghasilkan tinjauan yang
lebih spesifik sebagai landasan argumen untuk menjawab pertanyaan penelitian. Adapun fokus
kajian yang diamati antara lain (1) kompleksitas pemerataan ekonomi; (2) disparitas antar
wilayah kepulauan; (3) kontekstual wacana pemindahan ibu kota; dan (4) potensi konektivitas
pemerataan ekonomi. Fase akhir dilakukan dengan pengambilan kesimpulan yang menghasilkan
jawaban utama terhadap pertanyaan penelitian. Sebagaimana kajian ini dibangun melalui
pendekatan kualitatif (Creswell, 2014), maka subyektifitas penulis menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari analisa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

> Kontekutual Wacana Pemindahan Ibu Kota

Wacana Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta menuju tempat lainnya telah mulai
dibahas sekitaran tahun 2010. Banyak pendapat yang melatarbelakangi hal ini, diantaranya
kondisi Jakarta pada saat ini sudah tidak representatif lagi untuk menjadi ibu kota negara
diakibatkan alasan lingkungan seperti tingkat kemacetan yang serius, jumlah dan kepadatan
penduduk, hingga daya dukung, banjir dan equity (alasan pemerataan). Tingkat kemacetan
Jakarta sudah sangat serius, hal ini mempengaruhi aktivitas kinerja masyarakat, tingkat stress
penduduk dan menurunnya produktifitas. Diantara waktu-waktu yang biasanya terjadi kemacetan
yakni di saat aktifitas perkantoran dimulai/ pergi kantor (masuk kantor sekitar pukul 07.00 WIB
s.d. 09.00 WIB), istirahat makan siang (12.00 WIB13.00 WIB) dan saat pulang kantor (16.00
WIB s.d 17.00 WIB) Ditambah lagi dengan tingginya intensitas kemacetan di seputar tol
kawasan Jakarta. Kemacetan di Jakarta memiliki karakteristik tersendiri, terdapat pengaruh
kemacetan yang didorong oleh kondisi hujan. Jika dikaitkan dengan kondisi pada waktu hujan,
maka hal ini menyebabkan jalan tol dan jalan protokol cenderung lebih cepat menjadi macet
seperti halnya perempatan Cengkareng arah ke Pesing, Km 4 Tol Pancoran arah Semanggi, di
depan Kantor Kementerian Tenaga Kerja Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jalan Daan Mogot
Jakarta Barat, Cipete arah Jalan Fatmawati di Jakarta Selatan, Jalan Mayjen Soetoyo arah
Pancoran, Jalan Raya Pabrik Acid di Bekas, Jalan Raya Condet arah Jalan Dewi Sartika dan
Jalan MT Haryono, serta Jalan Boulevar Barat Kelapa Gading (TMC Polda Metro Jaya, 2017).
Baru-baru ini Tom-Tom Traffict melakukan survey tingkat kemacetan pada kotakota di dunia,
menempatkan Jakarta pada urutan ke-3 dari 189 kota paling macet di dunia. Di urutan teratas,
ada kota Meksiko lalu disusul urutan kedua yakni Bangkok. Jakarta diberitakan memiliki level
kemacetan sebesar 58 %, dengan puncak kemacetan yang terjadi pada saat pagi (91 %) dan
malam (95 %) (tomtom.com, 2017) (Gambar 1)

Tren pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi melonjak dari tahun ke tahun. Kepadatan
penduduk disumbangkan oleh angka kelahiran dan faktor lain yang sangat memegang peranan,
yakni tingkat urbanisasi (Pontoh & Kustiwan, 2009). Anggapan untuk bisa mendapatkan
lapangan pekerjaan yang lebih mudah menjadi salah satu pemicu mengapa banyak masyarakat
daerah berbondong-bondong datang ke Ibu Kota. Jakarta diibaratkan suatu kota yang dipenuhi
oleh jumlah penduduk dengan batas akut karena mengemban limpahan penduduk dari pulau
lainnya (pengaruh kondisi sebagai pusat pertumbuhan tingkat nasional), yang berimplikasi pada
berkurangnya daya dukung lingkungan. Jakarta memiliki luas wilayah daratan 661,52 km2
dengan jumlah penduduk 10.177.924 dan kepadatan penduduk 662,33/km2 (BPS, 2017).
Tingginya kepadatan penduduk mendatangkan bermacam masalah, diantaranya meningkatkan
jumlah pengangguran, karena penduduk semakin bertambah sementara kesempatan kerja tidak
bertambah, dibarengi juga dengan adanya arus urbanisasi. Di sisi lain juga mengakibatkan
kemiskinan yang berdampak pada hal lain seperti kelaparan, menurunnya tingkat kesehatan, dan
menurunnya kualitas masyarakat (quality of life).

Penanganan laju pertumbuhan penduduk yang disebabkan urbanisasi dapat diatasi dengan
melakukan pemerataan lapangan kerja. Pemerataan lapangan kerja dilakukan dengan
mengembangkan industri, pertanian, perkebunan, petambangan dan perikanan di wilayah yang
lain. Dengan upaya ini diharapkan penduduk tidak terfokus untuk mencari pekerjaan di satu
wilayah saja. Hal ini berhubungan dengan relokasi ibu kota yang akan berdampak pada
penyebaran penduduk sehingga tidak berpusat di pulau Jawa, karena relokasi tersebut akan serta
merta membawa dampak untuk mewujudkan pusat pertumbuhan tingkat nasional baru. Daya
dukung lingkungan tergerus oleh kepadatan penduduk, aktifitasnya dan bangunan, menjadi
dampak tersendiri akibat dari tingginya populasi di Jakarta. Semakin banyaknya pembangunan
seperti gedung pencakar langit, pertokoan, rumah penduduk, industri, pasar, hotel, apartemen
dan pabrik, berdampak pada daya dukung lingkungan yang terus berkurang. Berdampak juga
pada ruang terbuka perkotaan yang bertambah sempit, daya dukung air dan pengelolaan limbah
yang meningkat. Pembangunan gedung-gedung dan bangunan bertingkat tinggi dalam jumlah
besar akan berdampak pada daya dukung lahan, yang terdiri dari lapisan tanah dan pencemaran
hingga pemanasan global. Perlunya perhatian dan perhitungan terhadap daya dukung lahan yang
menjadi lokasinya serta jenis lapisan tanah dan batuanbatuan di bawahnya, jika tidak
diperhatikan maka berdampak pada intrusi air laut yang memiliki kandungan garam yang tinggi,
dapat membuat keropos lapisan bebatuan hingga fondasi gedung/ bangunan yang tinggi
terperosok masuk tanah lebih dalam (Adisasmita & Adisasmita, 2011). Eksploitasi tanah secara
besar-besaran berdampak pada penurunan permukaan tanah. “Sebagai contoh di Jl. H. M.
Thamrin dan Jl. Jenderal Sudirman dan sekitarnya banyak sekali gedung bertingkat tinggi
melakukan penyedotan air bawah tanah dalam volume yang sangat besar, maka tidak
mengherankan permukaan tanah di dua daerah tersebut mengalami penurunan yang cukup berarti
(Gedung Sarinah dan BPPT mengalami retak-retak)” (Adisasmita, 2011). Penurunan muka tanah
yang terus terjadi hampir pada sebagian besar wilayah DKI Jakarta salah satunya ditengarai oleh
kegiatan eksploitasi air tanah. Hasil penelitian pada tahun 2012, bahwa penyebab penurunan
tanah karena pengambilan air tanah berkontribusi 5 - 19 % (terbesar di daerah rawa buaya, kali
deres, cengkareng dan sekitarnya). Sedangkan penyebab utama adalah konsolidasi/ kondisi
alamiah batuan/ tanah setempat dan beban bangunan sebesar 30-60 %. Walaupun aspek
pengambilan air tanah bukan hal utama penurunan tanah di Jakarta, tetapi kegiatan ini harus
menjadi perhatian dalam kebijakannya karena selain kondisi air tanah Jakarta yang semakin
menurun baik kualitas maupun kuantitasnya, juga kegiatan pengambilan air tanah pada dasarnya
harus dikendalikan (Dinas Perindustrian dan Energi Pempprov DKI Jakarta, 2013) (Gambar 2).

Banjir merupakan penyakit tersendiri kota Jakarta. Terdapat setidaknya 49 titik banjir yang
sedianya berpotensi banjir jika terjadi hujan lebat mengguyur Jakarta, sebanyak 22 titik banjir
terdapat di Jakarta Pusat (Gunandha, 2017). Dari 44 kecamatan di Jakarta, sebanyak 32
kecamatan berpotensi banjir (72,72 %). Disisi lain menurut laporan Science Advance tahun 2017
NASA menyampaikan bahwa Jakarta sebagai salah satu kota dari empat kota di indonesia (selain
Banda Aceh, Jawa Timur dan Makassar) yang terkena dampak banjir akibat pemanasan global
yang menyebabkan melelehnya es di Kutub Selatan hingga berdampak pada tingginya
permukaan laut dengan peningkatan permukaan laut 1.713 mm. Menurut para ilmuwan,
perputaran Bumi dan efek gravitasi akan membuat air dari gunung maupun lapisan es akan
menyebar ke seluruh dunia. Bandara Internasional Soekarno Hatta juga tidak luput dari
jangkauan banjir di Juni 2017, akibat guyuran hujan yang deras Terminal 3 Bandara berpotensi
banjir, air menggenangi kawasan area parkir pesawat hingga sekitar 30 cm. Hujan deras juga
menyebabkan pendaratan pesawat Malaysia Airlines MH725 tujuan Kuala Lumpur-Jakarta tidak
berjalan mulus. Pesawat mengalami hard landing dan pecah ban saat mendarat (kumparan.com,
2017). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta (Gambar 3), merilis data
dan peta sebaran banjir DKI Jakarta, terdapat sejumlah wilayah banjir yang tersebar di mayoritas
tiga kota administrasi di Jakarta. BPBD mengkategorikan skala banjir dengan tiga warna: kuning
untuk kedalaman 10-70 cm, oranye untuk 71-150 cm, dan merah untuk kedalaman lebih dari 150
cm. Diantara daerah yang memiliki tingkat kerawanan banjir yakni sekitar Cipinang Melayu,
Kemang, dan Kalideres. Dalam data tersebut, disebutkan total 46 RW, 21 kelurahan, dan 15
kecamatan yang terkena dampak (detik.com, 2017). Adalah sangat layak jika pusat pemerintahan
direlokasi kepada daerah lain (pulau lain di luar Jawa) untuk menciptakan pemerataan perhatian
pemerintah pusat kepada daerah. Karena relokasi pusat pemerintahan bukan hal yang dipandang
sepele (dengan tidak mengkaitkannya dengan pertumbuhan wilayah), „namun terjadinya relokasi
ibu kota dengan sendirinya akan mengalihkan perhatian pemerintah pusat ke daerah tujuan,
segala bentuk program tingkat nasional, infrastruktur, perdagangan, investasi, perhatian asing,
politik, sosial dan budaya akan serta merta memberi dampak kepada daerah tujuan serta potensi
konektivitas (kemampuan membangun daerah/ pulau sekitarnya) yang lebih tinggi.
Pemindahan ibu kota bukan hal yang gampang, diperkirakan 400.000 pegawai negara
beserta keluarganya akan dimobilisasi, dengan demikian misalkan 1 orang aparatur beserta
keluarganya berjumlah 4 orang, maka akan ada 1,6 juta jiwa yang akan pindah menuju lokasi ibu
kota baru, diperkiraan dengan jumlah tersebut sudah dapat menjadi satu kota mandiri
(Brodjonegoro dalam kompas.com, 2017). Perkiraan biaya yang dibutuhkan sekitar Rp. 100
triliun dengan selang waktu penganggaran 10 tahun dengan harapan menjadikannya sebagai
investasi bangsa untuk menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang. Memerlukan kesiapan
daerah tujuan, dalam memenuhi kebutuhan konsumtif seperti pangan, sandang dan papan, serta
kesediaan penduduk dan etnis lokal untuk dapat berinteraksi positif menuju masyarakat
metropolitan yang pluralis. Pengembangan wilayah skala besar akan terjadi, lokasi sekitar
wilayah pembangunan perlahan-lahan akan menjadi lahan non pertanian yang lebih produktif
sebagai penunjang pembangunan dan perluasan kompleks Kepresidenan, DPR, Yudikatif,
Mahkamah Agung, Kementerian/ Lembaga. Pembangunan perkantoran pemerintahan akan
diikuti oleh pembangunan infrastruktur lainnya seperti jalan, transportasi, bandara internasional,
perumahan, pertokoan, perdagangan, pasar dsb. Di sisi lain potensi ekspansi ranah industri juga
akan bertolak menuju daerah pertumbuhan baru sehingga mengurangi dominasi pulau Jawa. Dari
sisi dampak sosial kemasyarakatan yang akan terjadi adalah akan membentuk masyarakat
metropolitan pluralis. Penduduk lokal harus siap dengan situasi tersebut, terjadi pertukaran
budaya (kultur) karena norma-norma yang ada selama ini dapat saja berintegrasi dengan
masyarakat yang lebih pluralis (bercampur) membentuk norma yang lebih berwawasan
keanekaragaman yang ber-bhinneka tunggal ika. Dalam hal ini penulis memprediksikan untuk
memenuhi aspek kesetaraan, maka dengan bentuk negara kepulauan tersebut diperlukan relokasi
pusat pemerintahan bukan hanya sekali, namun berkali-kali hingga setiap daerah yang dilaluinya
sebagai pusat pemerintahan meningkat pertumbuhannya menyamai Jakarta dan sebagai pusat
pertumbuhan utama pulau tersebut.

>Potensi Konektivitas Pemerataan Ekonomi

Pusat petumbuhan nasional merupakan kawasan yang memiliki fungsi khusus dalam hal
meningkatkan perekonomian suatu negara, disana terdapat pusat perdagangan, jasa, bisnis
maupun industri berskala nasional. Pusat pertumbuhan ini mendorong perekonomian suatu
negara dengan memfasilitasi daerah sekitarnya (cenderung berdampak hanya bagi wilayah
berbatasan daratan) dalam hal perekonomian. Setiap negara mempunyai pusat pertumbuhan
ekonomi skala nasionalnya masingmasing. Keunikan yang terjadi di Indonesia adalah meskipun
terdiri dari pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) namun pusat
pertumbuhan berskala nasionalnya hanya terdapat di Jakarta (pulau Jawa). Hal ini dapat dilihat
dari besaran output ekspor (output total perekonomian) dan investasi yang cenderung sebagian
besar ada di pulau Jawa (pembahasan sebelumnya). Implikasi dari kondisi tersebut terjadinya
ketergantungan bukan hanya terhadap daerah sekitarnya namun juga terhadap daerah dari pulau-
pulau di luarnya.
>Tabel 2. Negara-Negara yang Pernah Melakukan Relokasi Ibu Kota

No Negara Tahun Lokasi Asal Lokasi Baru Alasan 1 Pantai Gading 1983 Abidjan
Yamoussoukro Mendongkrak pembangunan di wilayah tengah negara 2 Inggris 1066 Winchester
London Mendongkrak pembangunan wilayah 3 Australia 1927 Melbourne Canberra
Memisahkan pusat pertumbuhan dan pusat pemerintahan 4 India 1991 Delhi New Delhi
Memisahkan pusat pertumbuhan dan pusat pemerintahan 5 Rusia 1918 St. Petersbugr Moskow
Identitas negara 6 Brasil 1960 Rio de Janeiro Brasillia Memisahkan pusat pertumbuhan dan
pusat pemerintahan 7 Nigeria 1991 Lagos Abuja Kepadatan penduduk dan mendongkrak
pembangunan wilayah 8 Myanmar 2005 Yangoon Naypyidau Mendongkrak pembangunan
wilayah 9 Kazakhstan 1997 Almaty Astana Terlalu sempit, rawan gempa, serta berlokasi terlalu
dekat dengan negara lain, tidak punya ruang untuk berkembang, untuk efektivitas pelayanan dan
kinerja 10 Pakistan 1959 Karachi Islamabad Efektivitas pelayanan dan mendongkrak
pembangunan wilayah 11 Amerika Serikat 1800 New York Washington DC Memisahkan pusat
pemerintahan dan pusat pertumbuhan, serta mewujudkan spesifikasi sektor unggulan wilayah 12
Malaysia 1995 Kuala Lumpur Putrjaya Kepadatan penduduk, kemacetan, memisahkan pusat
pertumbuhan dan pusat pemerintahan, untuk efektivitas pelayanan dan kinerja 13 Argentina 1987
Boenos Aires Viedma Memisahkan pusat pemerintahan dan kinerja 14 Jepang 1990 Tokyo
Tokai/ Hokuto/ Mie-Kio Tekanan politik dan ekonomi yang berlebihan serta memisahkan pusat
pemerintahan dan pusat pertumbuhan Sumber: kompas.com, 2017.

Idealnya pusat pertumbuhan berskala nasional terdapat juga di lokasi tertentu pada pulau-
pulau besar lainnya, sehingga tidak terdapat ketergantungan yang berlebihan terhadap pulau
Jawa. Untuk mewujudkan agar setiap pulau-pulau besar memiliki pusat pertumbuhannya
masing-masing, hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah, dengan
pertimbangan keterbatasan biaya dan sumber daya manusia yang ada. Hal ini perlu untuk
dimulai, bukan karena takut gagal, namun lebih kepada investasi jangka panjang untuk
pemerataan dan konektivitas pemerataan ekonomi. Pada pembahasan ini, relokasi ibu kota
memungkinkan adanya pusat pertumbuhan nasional baru dengan harapan lokasi tujuan akan
berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi motor perekonomian baru selain di Jakarta.
Menilik kepada kasus-kasus pemindahan ibu kota yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia,
memberikan gambaran tersendiri terhadap pentingnya relokasi ibu kota berlandaskan berbagai
pertimbangan (Tabel 2). Alasan yang paling umum relokasi ibu kota adalah untuk meningkatkan
pemerataan ekonomi dan memisahkan antara pusat pertumbuhan nasional dengan pusat
pemerintahannya. Dari tabel tersebut sebagian besar negaranegara yang telah melakukan relokasi
ibu kotanya memiliki latar belakang tujuan untuk memisahkan pusat pemerintahan dan pusat
pertumbuhan nasionalnya dengan alasan kota sebelumnya memiliki beberapa kendala
diantaranya kemacetan, pengaruh politik, sosial dan ekonomi yang berlebihan (stabilitas),
kepadatan penduduk, keterbatasan areal lahan untuk pengembangan serta untuk memajukan dan
mendongkrak perekonomian wilayah bagian negara. Alasan relokasi ibu kota Indonesia dengan
tujuan mendongkrak perekonomian wilayah bagian negara sangat tepat bagi Indonesia karena
akan membawa dampak positif bagi lokasi tujuan, perhatian perekonomian akan tertuju
kepadanya, disertai dengan invertasi dan munculnya pusat pertumbuhan berskala nasional baru.
Disisi ain juga daerah tujuan harus siap dengan eksternalitas yang ada, baik positif maupun
negatif. Kota tersebut akan tumbuh sebagai kota metropolitan yang pluralis.

Pemerataan ekonomi dimaksudkan bahwa dengan adanya relokasi ibu kota merdampak
pada kecenderungan urbanisasi ke pulau Jawa akan menurun, arus urbanisasi akan terfokus ke
ibu kota baru. Fokus pencarian lapangan kerja akan teralihkan dengan pola perubahan arah
pergerakan urbanisasi yang baru. Hal ini didasari akan pembangunan infrastruktur, perpindahan
aparatur kementerian/ lembaga pemerintahan, kesempatan kerja dan tumbuhnya pusat bisnis.
Idealnya pusat pertumbuhan berskala nasional terdapat juga di lokasi tertentu pada pulau-pulau
besar lainnya, sehingga tidak terdapat ketergantungan yang berlebihan terhadap pulau Jawa.
Untuk mewujudkan agar setiap pulau-pulau besar memiliki pusat pertumbuhannya masing-
masing, hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah, dengan pertimbangan
keterbatasan biaya dan sumber daya manusia yang ada. Hal ini perlu untuk dimulai, bukan
karena takut gagal, namun lebih kepada investasi jangka panjang untuk pemerataan dan
konektivitas pemerataan ekonomi. Pada pembahasan ini, relokasi ibu kota memungkinkan
adanya pusat pertumbuhan nasional baru dengan harapan lokasi tujuan akan berkembang
sedemikian rupa sehingga menjadi motor perekonomian baru selain di Jakarta. Menilik kepada
kasus-kasus pemindahan ibu kota yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia, memberikan
gambaran tersendiri terhadap pentingnya relokasi ibu kota berlandaskan berbagai pertimbangan.
Alasan yang paling umum relokasi ibu kota adalah untuk meningkatkan pemerataan ekonomi
dan memisahkan antara pusat pertumbuhan nasional dengan pusat pemerintahannya. Dari tabel
tersebut sebagian besar negaranegara yang telah melakukan relokasi ibu kotanya memiliki latar
belakang tujuan untuk memisahkan pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan nasionalnya
dengan alasan kota sebelumnya memiliki beberapa kendala diantaranya kemacetan, pengaruh
politik, sosial dan ekonomi yang berlebihan (stabilitas), kepadatan penduduk, keterbatasan areal
lahan untuk pengembangan serta untuk memajukan dan mendongkrak perekonomian wilayah
bagian negara. Alasan relokasi ibu kota Indonesia dengan tujuan mendongkrak perekonomian
wilayah bagian negara sangat tepat bagi Indonesia karena akan membawa dampak positif bagi
lokasi tujuan, perhatian perekonomian akan tertuju kepadanya, disertai dengan invertasi dan
munculnya pusat pertumbuhan berskala nasional baru. Disisi ain juga daerah tujuan harus siap
dengan eksternalitas yang ada, baik positif maupun negatif. Kota tersebut akan tumbuh sebagai
kota metropolitan yang pluralis. Pemerataan ekonomi dimaksudkan bahwa dengan adanya
relokasi ibu kota merdampak pada kecenderungan urbanisasi ke pulau Jawa akan menurun, arus
urbanisasi akan terfokus ke ibu kota baru. Fokus pencarian lapangan kerja akan teralihkan
dengan pola perubahan arah pergerakan urbanisasi yang baru. Hal ini didasari akan
pembangunan infrastruktur, perpindahan aparatur kementerian/ lembaga pemerintahan,
kesempatan kerja dan tumbuhnya pusat bisnis. Pemindahan ibu kota akan mewujudkan pusat-
pusat pertumbuhan baru karena wilayah sekitar ibu kota akan menjadi sumber mata pencaharian
sendiri, bukan hanya bagi penduduk lokal, namun penduduk nasional dan internasional. Karena
secara sistematis akan dibangun sarana, prasarana atau infrastruktur untuk mendukung
perkembangan wilayah seperti istana kepresidenan, kementerian, perkantoran, perhotelan,
pemukiman, infrastruktur, infrastruktur jalan, transportasi, bandara internasional, pasar, pusat
industri, jasa, perdagangan dsb. Penyerapan tenaga kerja akan booming, tenaga kerja akan
berdatangan dari berbagai penjuru negeri hingga akhirnya membentuk sistem jaringan
pergerakan dengan motif ekonomi baru. Relokasi ibu kota diharapkan dapat mewujudkan
pemerataan ekonomi, serta penentuan lokasi tujuan sedapat mungkin memenuhi nilai-nilai
konektivitas antar pulau, baik konektivitas internal maupun konektivitas eksternal negara.
Pemerataan ekonomi disini dimaksudkan dengan adanya relokasi, maka akan ada kesempatan
bagi wilayah kepulauan lainnya untuk dapat meningkatkan perekonomiannya dengan lebih besar
lagi. Adapun wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya, maka secara geoekonomi
berdampak pada kemajuan ekonomi wilayah sekitarnya khususnya pulau Kalimantan dan Pulau
Sulawesi. Proyek berskala nasional dengan sendirinya akan dikembangkan pada dua wilayah
tersebut untuk mewujudkan lokasi industrialisasi, bisnis dan perdagangan yang lebih
berkembang.

Konektivitas internal dimaksudkan dengan adanya relokasi ibukota mewujudkan integrasi


ekonomi antar pulau seperti Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan
Papua. Kota tujuan ibu kota dijadikan sebagai pendorong kemajuan perekonomian lokasinya
hingga mewujudkan pusat pertumbuhan tingkat nasional baru dan adanya konektivitas pulau-
pulau disekitarnya dalam distribusi perekonomian, baik melalui jalur darat maupun jalur laut
yang lebih terintegrasi. Teori Christaller tentang tempat sentral salah satunya menyatakan bahwa
penduduk serta daya belinya tersebar merata di seluruh wilayah serta konsumen bertindak
rasional sesuai dengan prinsip minimasi jarak (Christaller, 1966). Konektivitas disini
dimaksudkan dengan prinsip meminimasi jarak, yang artinya relokasi ibu kota dapat
memperpendek jarak pelayanan khususnya bagi lokasi tujuan (misalnya Palangkaraya di pulau
Kalimantan) sehingga segala bentuk aktifitas ekonomi khususnya khususnya bagi lokasi tujuan
akan mendatangkan keuntungan tersendiri. Relokasi ibu kota akan bersamaan dengan arus
urbanisasi yang mengakibatkan tingginya tingkat konsumsi dan permintaan. Berkenaan hal
tersebut relokasi ibu kota dengan sendirinya akan membentuk kawasan pertumbuhan baru karena
dengan adanya permintaan maka akan menimbulkan penawaran dalam bentuk usaha-usaha
seperti pasar, pertokoan hingga industri. Lebih jauh konektivitas ini bukan hanya berdampak
pada pulau Kalimantan namun juga pada pulau di sekitarnya seperti Sulawesi, Sumatera, Maluku
dan Papua hingga negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan
Filipina. Konektivitas yang lebih dekat akan memberi dampak pemerataan ekonomi yang lebih
tinggi lagi bagi pulau-pulau lain di luar Jawa. Kebijakan dengan sengaja menyalurkan
pertumbuhan ke tempat-tempat tertentu yang disukai untuk mencapai i tujuan regional atau
nasional yang lebih luas sekarang dianjurkan dan dipraktekkan di berbagai negara, selanjutnya
tempat-tempat tersebut akan membentuk pusatpusat pertumbuhan sendiri (McCann, 2013;
O‟Sullivan, 2012; Arnot dan McMillan, 2006; Moseley, 1974) (Arnott & McMillen, 2008;
McCann, 2013; Moseley, 2013; O‟Sullivan, 2011). Potensi besar terbentuknya pusat-pusat
industri berskala nasional baru akan terjadi seiring dengan adanya relokasi ibu kota, karena misi
ini sedianya bukan dilakukan hanya untuk memisahkan busat bisnis dengan pusat pemerintahan,
namun lebih jauh dari itu yakni untuk pemerataan ekonomi dan mendorong terbentuknya pusat
pertumbuhan berskala nasional baru.

Perroux melalui teori kutub pertumbuhannya menyampaikan bahwa inti pokok dari
pertumbuhan wilayah terletak pada inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaanperusahaan atau
industri-industri berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar perusahaan atau industri,
unit-unit ekonomi berskala besar dapat mendominasi pengaruh-pengaruhnya terhadap ekonomi
lainnya, dengan demikian adanya kaitan erat antara skala perusahaan, dominasi, dan dorongan
untuk melakukan inovasi ( Perroux dalam Adisasmita, 2008). Konektivitas eksternal
dimaksudkan dengan adanya relokasi ibu kota akan meningkatkan kerjasama negara dengan
negara tetangga maupun negara lainnya, seperti halnya memaksimalkan aktivitas ekonomi dari
kerjasama bilateral antar kawasan dalam kerja sama ekonomi diantaranya: (1) ASEAN
(Association of Southeast Asian Nations), (2) SIJORI Treangle (Singapore, Johor, Riau Islands),
(3) BIMP EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines East Asean Growth
Area), (4) IMT GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Treangle), dan (5) IMS GT
(Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Treangle) (Gambar 4). Ibu Kota yang baru akan
menambah daya tarik Indonesia di mata dunia internasional, dan daya tarik itu akan
mendatangkan nilai devisa bagi negara melalui aliran investasi, industri, bisnis, perdagangan
maupun pariwisata. Potensi keuntungan ini tidak dapat di pandang remeh, posisi ibu kota yang
berada lebih dekat dengan segi tiga pertumbuhan (Indonesia, Malaysia dan Singapura) membawa
wawasan baru bagaimana aliran distribusi yagn selama ini berporos di Singapura dapat dialihkan
menjadi berada di pulau Kalimantan. Relokasi ibu kota mendatangkan konektivitas sub-regional,
meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah
perbatasan kawasan kerja sama anar negara sehingga menjadi motor penggerak ekonomi,
sementara pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Lebih jauh konektivitas sub-
regional diharapkan dapat mendukung implementasi konektivitas regional di kawasan ASEAN
sebagaimana ditulis dalam Masterplan Konektivitas ASEAN (kemenlu, 2017). Hubungan antar
negera akibat adanya relokasi dipermudah karena meningkatkan kapasitas geostrategis dan
geopolitik Indonesia. Karena pada dasarnya negara-negara tetangga yang posisinya berdekatan
dengan Indonesia merupakan mitra dagang yang strategis. Konektivitas ini sebagai salah satu
instrumen kunci untuk menerapkan visi bersama mewujudkan berbagai kawasan dengan pola/
fungsi tertentu, seperti perkebunan, pangan dan pusat ekowisata di ASEAN dan kawasan Asia
lainnya. Disisi lain kerja sama ini juga berkoordinasi dengan lembaga-lembaga eksternal, sebagai
contoh pada penanganan BIMP-EAGA, pengembangan kerja sama dibantu oleh adalah Asian
Development Bank (ADB) sebagai mitra pembangunan dan penasihat regional, Jepang dan
China sebagai mitra pembangunan dan Growth Triangle Zone (GTZ) sebagai mitra strategis,
selain itu BIMPEAGA juga telah bekerja sama dengan Northern Territory, Australia.
>KESIMPILAN

Pemindahan ibu kota berdampak pada potensi konektifitas pemerataan ekonomi.


Pemerataan ekonomi dapat dicapai dengan adanya relokasi ibu kota, karena menimbulkan
konsentrasi pusat pertumbuhan ekonomi skala nasional baru, disertai dengan arus migrasi
penduduk menuju lokasi tujuan. Dari sisi lokasinya, dengan adanya pemindahan ibu kota akan
berdampak pada konektifitas internal dan eksternal seiring dengan perubahannya. Konektifitas
internal memungkinkan pengembangan ekonomi akan mengarah pada pembangunan wilayah
kepulauan terluar lain (selain pulau Jawa) seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku
hingga Papua. Konektivitas eksternal akan berdampak lebih positif pada kerjasama luar negeri
antar kawasan di Asia Tenggara, perhatian akan lebih fokus kepada segitiga pusat pertumbuhan
seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura maupun antara Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam dan Filipina. Ibu Kota yang baru akan menambah daya tarik Indonesia di mata dunia
internasional, dan daya tarik itu akan mendatangkan nilai devisa bagi negara melalui aliran
investasi dan pariwisata. Meskipun di sisi lain relokasi ibu kota bukan merupakan pekerjaan
yang mudah, karena pada akhirnya akan menginginkan integrasi antara penduduk lokal dengan
pendatang yang berimplikasi pada aspek sosial, politik, budaya dan ekonomi, baik dalam bentuk
eksternalitas positif maupun eksternalitas negatif untuk menuju masyarakat metropolitan pluralis.
Penulis merekomendasikan untuk kajian selanjutnya terkait dengan prediksi, bahwa adanya
relokasi ibu kota yang menimbulkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, titinjau dari sisi kajian
yang berbeda seperti potensi-potensi yang tidak menyebabkan stimulasi peningkatan ekonomi
bagi daerah sekeliling tujuan lokasi relokasi, ataupun sisi negatif dari pertumbuhan ekonomi
akibat relokasi ibu kota.

 DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. (2008). Pengembangan wilayah: Konsep dan teori. Graha Ilmu. Adisasmita, R.
(2011). Pembangunan kelautan dan kewilayahan. Graha Ilmu. Adisasmita, R., & Adisasmita, S.
A. (2011). Logika pemindahan ibukota Jakarta. Graha Ilmu. Arnott, R. J., & McMillen, D. P.
(2008). A Companion to Urban Economics. John Wiley & Sons. BKPM. (2017). Realisasi
investasi triwulan I. Badan Koordinasi Penanaman Modal. BPS. (2017). Laporan Bulanan Data
Sosial Ekonomi November 2017. Badan Pusat Statistik. Bresnan, J. (1998). The Indonesian
Economy Since 1996: Southeast Asia‟s Emerging Giant. JSTOR. Christaller, W. (1966). Central
Places in Southern Germany. Prentic-Hall. Credit Suisse International. (2017). Di Indonesia, 1%
Orang Terkaya Menguasai 49% Kekayaan Nasional. katadata.co.id.
https://databoks.katadata.co.id/datapublis h/2017/01/10/di-indonesia-1-orangterkaya-menguasai-
49-kekayaan-nasional Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and
mixed methods approaches (4th ed.). SAGE. Djunaedi, A. (2014). Pengantar perencanaan
wilayah dan kota. Gadjah Mada University Press. Firman, T. (2002). Urban development in
Indonesia, 1990–2001: From the boom to the early reform era through the crisis. Habitat
International, 26(2), 229–249. Friedmann, J. (1968). Education for regional planning in
developing countries. Regional Studies, 2(1), 131–138.
https://doi.org/10.1080/095952368001851 01 Gunandha. (2017). Inilah 49 Wilayah Jakarta yang
Masih Terendam Banjir. suara.com. https://www.suara.com/news/2017/02/21/ 113333/inilah-49-
wilayah-jakarta-yangmasih-terendam-banjir Hill, H. (1994). Indonesia‟s New Order: The
Dynamics of Socio-Economic Transformation. University of Hawaii Press. Johansen, P. H., &
Chandler, T. L. (2015). Mechanisms of power in participatory rural planning. Journal of Rural
Studies, 40, 12–20. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2015.05. 006 kemenlu. (2017). Brunei
Indonesia Malaysia Philippines East Asean Growth Area Bimp Eaga | Portal Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia. kemenlu.go.id. https://kemlu.go.id/portal/i/list/halaman_li
st_lainnya/94/brunei-indonesia-malaysiaphilippines-east-asean-growth-area-bimpeaga
kumparan.com. (2017). Banjir Terjadi di Area Parkir Pesawat Terminal 3 Bandara Soetta.
kumparan.com. https://kumparan.com/kumparannews/are a-parkir-pesawat-terminal-3-
bandarasoetta-banjir Mahi, A. K. (2016). Pengembangan Wilayah: Terori & Aplikasi. Kencana.
McCann, P. (2013). Modern Urban and Regional Economics. OUP Oxford. Moseley, M. J.
(2013). Growth Centres in Spatial Planning: Pergamon Urban and Regional Planning. Elsevier.
Muchdie, Alkadri, & Suhandojo. (2001). 3 pilar pengembangan wilayah, sumber daya alam,
sumberdaya manusia, teknologi. Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan
Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Neuman, W. L. (2014). Social research
methods: Qualitative and quantitative approaches (7th ed.). Pearson Education Limited.
Nurzaman, S. S. (2002). Perencanaan wilayah di Indonesia pada masa sekitar krisis. Penerbit
ITB. Nurzaman, S. S. (2012). Perencanaan wilayah dalam konteks Indonesia. Penerbit ITB.
O‟Sullivan, A. (2011). Urban Economics (8 ed.). McGraw-Hill. Pontoh, N. K., & Kustiwan, I.
(2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Penerbit ITB. Prasetia, A. (2016). Ekonomi Maritim
Indonesia. Diandra Kreatif. Rustiadi, E. (2018). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sari, E. V. (2017). Penduduk Miskin Bertambah, Tingkat
Ketimpangan Stagnan. cnnindonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/2
0170717160147-78-228406/pendudukmiskin-bertambah-tingkat-ketimpanganstagnan Setiono,
D. N. S., & Setiyono, P. (2010). Ekonomi pengembangan wilayah: Teori dan analisis. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Shalaby, N. W. (2013). Multi agent modeling
for the participatory planning process. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 105, 851–865.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.11.0 87 Sjafrizal. (2014). Ekonomi wilayah dan perkotaan.
Sujarto, D. (2006). Perencanaan pembangunan kota. Prodi PWK-SAPPK ITB. Suryowati, E.
(2017). Bappenas: 400.000 PNS Pusat Bakal “Diangkut” ke Ibu Kota yang Baru. kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2017/07 /11/22505221/bappenas.400.000.pns.pusa
t.bakal.diangkut.ke.ibu.kota.yang.baru Tarigan, R. (2012). Perencanaan pembangunan wilayah.
Bumi Aksara. tomtom.com. (2017). TomTom Traffic Index.

Anda mungkin juga menyukai