Artikel Sistem Tanam Paksa
Artikel Sistem Tanam Paksa
DISUSUN OLEH :
UNIVRSITAS TADULAKO
2022
SEJARAH INDONESIA MASA KOLONIA
ABSTRAK
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini
akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja
75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam
pajak.Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan
Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak.
Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem
tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman
VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa
inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal
Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf
oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Tujuan Van Den Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk memproduksi
berbagai komoditi yang menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut
Bosch menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, gula, indigo (nila),
tembakau, teh, lada, kayumanis, jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk itu
adalah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk memproduksinya dan sebab itu
tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992: 239).
PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian pulau Jawa dalam abad ke 19, yaitu merupakan masa
dimana terjadinya system-sistem perekonomian seperti system sewa tanah (land refnt), system
tanam paksa (Cultuurstelsel) dan juga system ekonomi kolonial yang umumnya di sebut system
liberalisme. Perekonomian pulau jawa pada masa itu merupakan masa dimana rakyat pulau jawa
tidak di untungkan dalam kegiatan ekonomi, dikarenakan kegiatan ekonomi umumnya di
monopoli oleh pemerintah kolonial.
Adanya tanam paksa di karenakan kesulitan keuangan yang di alami oleh pemerintah
Belanda. Pengeluaran Belanda di gunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat
perang Belgia pada tahun 1830 di Negara Belanda dan Perang Jawa atau perang di ponegoro
(1825-1830) di Indonesia. Perang Belanda berakhir dengan Kemerdekaan Belgia (memisahkan
diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Di ponegoro
merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak
pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha yang menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa
pemerintahan Van Der Capellen (1819-1825). Van Der Cepellen menerapkan suatu kebijakan
yang menjamin orang Jawa menggunakan dan memetik hasil tanah yang mereka secara bebas.
Kebijakan yang di tempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan
produk yang dapat dijual sehingga lebih mudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini
menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat perang Jawa dan merosotnya harga
komoditif pertanian tropis di dunia.
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini
akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja
75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan
Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak.
Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian.
Tujuan Van Den Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk
memproduksi berbagai komoditi yang menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk mencapai
tujuan tersebut Bosch menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, gula, indigo
(nila), tembakau, teh, lada, kayumanis, jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk
itu adalah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk memproduksinya dan sebab
itu tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992: 239).
Sedangkan ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa sebagaimana tercantum dalam
staatsblad tahun 1834 no.22. yang isinya adalah sebagai berikut.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang
Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan Perang Padri di Sumatera Barat (1821-
1837), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam
Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong,
atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang
bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam
komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian
tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja
bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang
mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar
kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan
sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan
di Jawa.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara
1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta
gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja
kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda
disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia
menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah.
Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handels Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan
juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat
protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun
untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga memproses hasil panennya untuk
diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya ke gudang-gudang tersebut adalah
tugas petani pula. Terutama produksi kopi seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula
muncul pula pabrik-pabrik guna yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur,
1993: 33).
Sistem tanam paksa berhasil memberikan sejumblah keuntungan finansial bagi tanah air
sesuai dengan harapan perancangannya, tapi momen yang dinantikan bagi jawa tidak kunjung
tiba. Karena keuntungan yang begitu besar kenegri Belanda. Akibat system tanam paksa, bagi
pihak belanda sangat jelas dimana Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Uang
dalam jumlah besar dikirim ke Belanda dari 1831 sampai 1877, dimana perbendaharaan kerajaan
Belanda yang telah menerima 832 jiwa gulden.
Terjadi kenaikan produksi dari hasil-hasil tanaman perdagangan dengan sangat pesat yang di
akibatkan oleh penanaman sejak tahun 1839. Misalnya selama tahun 1830 sewaktu penanaman
paksa baru dimulai maka ekspor kopi berjumlah 288 ribu pikul, sedangkan ekspor gula
berjumlah 108 ribu pikul dan ekspor nila berjumlah 42 ribu pound dalam tahun 1831. System
paksa telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor , dan mengirimkannya di negri
induk, dan kemudian dijual kepasar dunia, yang mendatangkan keuntungan besar, dari tahun
1841 sampai 1863, system tanaman paksa telah mendatangkan laba sebesar 416 juta, sehingga
untung negri Belanda dapat tertutupi.
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen si lebak, (Serang
Jawa Barat) ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa indonesia akibat system
tanam paksa dan berusa membelanya. Ia mengarang aebuah judul Max Havelaar (lelang kopi
perdagangan Belanda) dan terbitan tahun 1860. Dalam buku tersebut Douwes Dekker
mengajukan tuntunan kepada pemerintah Belanda agar memperhatikan kehidupan bangsa
Indonesia. Karena kejayaan Belanda merupakan hasil keringat rakyat Indonesia. Douwes Dekker
mengusulkan sikap balas budi Belanda kepada bangsa Indonesia, dengan pendidikan yang layak,
membangun sakuran pengairan, dan memindahkan penduduk dari daerah yang padat ke daerah
yang jarang penduduknya.
Selama tinggal di Indonesia, Baron Van Hoevel menyaksikan penderitan bangsa Indonesia akibat
system tanam paksa. Baron Van Hoevell bersama Fransen Van de Putte mentang system tanam
paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapus system tanam paksa melalui parlemen
Belanda dan meski di usir oleh pemerintahan Belanda, Baron terus berjuang demi kesejahteraan
rakyat Pribumi .
Fransen Van der Putte yang menulis Sulker Contracten sebagai bentuk protes terhadap kegiatan
tanam paksa dan Baron Van Hoevel adalah salah satu tokoh perlemen Belanda yang juga
menganggap kebijakan pemerintah Belanda tidak Pro- rakyat bersama dengan Fransen de Putte,
Baron berupaya menghapuskan system tanam paksa melalui parlemen, dan tidak berhenti
berjuang untuk kesejahteraan rakyat Indonesia meskipun ia sempat di usir oleh pemerintahan
belanda. Dan Fransen Van de Putte menulis Suiker Contracten. Hasil dari perdebatan di
parlemen Belanda yaitu penghapusan system tanam paksa secara pertahap yaitu: pada tanggal
1860 penghapusan tanam paksa lada, dan tahun 1865 penghapusan system tanam paksa the dan
nila, pada tahun 1870 hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan. Setelah penghapusan
tanam paksa, para pengusaha swasta bebas mengatur koloni untuk keuntungan pribadi.
KESIMPULAN
Adanya tanam paksa di karenakan kesulitan keuangan yang di alami oleh pemerintah
Belanda. Pengeluaran Belanda di gunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat
perang Belgia pada tahun 1830 di Negara Belanda dan Perang Jawa atau perang di ponegoro
(1825-1830) di Indonesia. Perang Belanda berakhir dengan Kemerdekaan Belgia (memisahkan
diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Di ponegoro
merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak
pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
Hasil dari tanaman paksa akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang
tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak.Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak
berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel
pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Hutagalung, B.R., Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh
Pemerintah India-Belanda.