Anda di halaman 1dari 44

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Senin / 20 Mei 2013
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT BAKHTI YUDHA

Nama Mahasiswa : Nur Hafizah Ainaa binti Abu Hassan TandaTangan:


NIM : 11-2011-167
Dokter Pembimbing : dr. Dini Adriani SpS TandaTangan:

BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. B
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pancoran Mas Blok D13 Panmas Depok
No CM : 25-51-91
Dirawat di ruang : Belladona/ 207
Tanggal masuk RS : 8 Mei 2013
Tanggal keluar RS : 12 Mei 2013

II. SUBJEKTIF
Auto dan alloanamnesis (anak pasien), pada tanggal 10 Mei 2013, jam 2245 WIB.

Keluhan utama :
Keempat anggota gerak tidak dapat digerakkan 30 menit SMRS.

1
Riwayat penyakit Sekarang :
Pasien perempuan usia 54 tahun datang ke Unit Gawat Darurat RSBY dibawa oleh
keluarganya dalam keadaan keempat anggota gerak tidak dapat digerakkan sejak 30 menit
SMRS. Pasien masuk ke dalam UGD dibawa dengan berangkar karena pasien tidak bisa
berjalan sendiri. Pasien datang dalam keadaan sadar, membuka mata spontan, menjawab
pertanyan dengan spontan dan berespon dengan arahan yang diberikan. Keempat ekstremitas
pasien lemas dan tidak dapat digerakkan oleh pasien. Semasa di anamnesa, pasien
menceritakan kejadian bahwa pasien mau ke jemuran dan semasa di dapur tiba-tiba pasien
terpelesok dan pasien jatuh dengan kepalanya terjatuh ke pot bunga dan pot bunga tersebut
pecah. Pasien mengatakan bahwa bagian kiri kepala terjatuh dahulu dengan dahi kiri mengenai
pot bunga sehingga terdapat 2 luka di alis dan dahi kiri. Setelah itu pasien cuba untuk bangun
dan pasien sudah mulai merasa kesemutan dan baal di kedua tungkainya tetapi pasien tidak
bisa bangun. Beberapa menit kemudian pasien sudah tidak dapat menggerakkan keempat
anggota tubuhnya. Ketika itu pasien berada dalam posisi tengkurap. Pasien ditemukan oleh
anak laki-lakinya di tempat kejadian dan di bawa ke UGD RSBY setelah itu. Pasien juga
merasa sangat lemas di tangan dan bahunya. Keluhan mual, muntah, nyeri kepala, pusing dan
pingsan disangkal oleh pasien. Keluhan perasaan seperti berputar dan ada mendengar bunyi di
telinga juda disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan dia mempunyai riwayat trauma berulang
dan sering kontrol dan berobat ke dr. Hardhi P. SpS karena pasien menderita Cervical
Syndrome C4-5 dan C5-6. Riwayat sering mengangkat berat disangkal oleh pasien.
Pasien di rawat di ruang Belladona kamer 207. Pada hari pertama perawatan di RSBY,
pasien masih mengeluh merasa lemas dan tidak dapat menggerakkan keempat anggota
tubuhnya. Leher pasien masih dipasang Collar Neck untuk imobilisasi servikal. Pasien masih
tiduran di tempat tidur dan tidak bisa duduk sama sekali. Pasien mengeluh perutnya terasa
melilit dan mules. Pasien juga mengeluh mencret 3 kali pada pagi hari tanggal 9 Mei 2013.
Pada hari kedua perawatan di RSBY, pasien masih tiduran di tempat tidur dan masih
tidak bisa bangun dan leher masih dipasang Collar Neck. Pasien mengeluh terasa kesemutan di
kaki dan masih terasa lemas dah tidak dapat menggerakan extremitas bawah tetapi pasien
sudah mulai bisa fleksi dan extensi kedua tangan tetapi kekuatannya masih lemah. Kekuatan di
tungkai pasien masih lemah dan pasien tidak bisa mengangkat kaki. Pasien masih di pasang
kateter karena masih tidak bisa berjalan sendiri.

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus : (-)
- Riwayat Penyakit Jatung : (-)
- Riwayat Stroke : (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus : (-)
- Riwayat Penyakit Jatung : (-)
- Riwayat Stroke : (-)
- Riwayat Alergi : (-)
- Riwayat Osteoartritis : (+) genu; bilateral
- Riwayat Cervical Syndrome : (+) ; C4-5 dan C5-6 ; berobat pada Oktober 2012
- Riwayat Trauma Berulang : (+)
- Riwayat Hipotensi : (+)

Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi :


Kesan : Keadaan sosial ekonomi pasien baik.
Kepribadian : Tidak ada gangguan kepribadian.

III. OBJEKTIF
1. Status Generalis (Dilakukan pada tanggal 10 Mei 2013)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 68 kali/menit
Pernafasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,3° C
Kepala : Normosefali, Simetris
Mata : Konjungtiva ananemis, Sklera anikterik

3
Isokor Ø 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+
Tenggorokan : Tidak hiperemis, T1-T1
Leher : Simetris, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Dada : Simetris, deformitas (-)
Paru : Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-) , ronkhi (-/-)
Jantung : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Perut : Datar, supel, nyeri tekan (-), normotimpani, BU (+) normal,
hepar dan lien tidak teraba membesar.
Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, Edema (-/-)
Berat badan : 86 kg
Tinggi badan : 164 cm

2. Status Psikis
Cara berpikir : Wajar; sesuai umur
Perasaan hati : Baik
Tingkah laku : Wajar; pasien sadar, pasif
Ingatan : Baik, amnesia (-)
Kecerdasan : Kurang

3. Status Neurologis
a) Kepala
i) Bentuk : Normocephali
ii) Nyeri tekan : (+) ; nyeri di alis dan dahi kiri atas karena terdapat luka jahit
iii) Simetris : (+)
iv) Pulsasi : (+)

b) Leher
i) Sikap : Simetris
ii) Pergerakan : Tidak bebas ; dipakai Collar Neck
iii) Kaku Kuduk : Tidak dapat dilakukan

4
c) Pemeriksaan Saraf Kranialis
i) Nervus Olfaktorius (N. I)
Penciuman : Tidak dilakukan

ii) Nervus Optikus (N. II)


Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Pengenalan warna Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Lapang pandang Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

iii) Nervus Okulomotorius (N. III)


Kanan Kiri
Kelopak mata Terbuka Terbuka
Gerakan mata:
Superior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Inferior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Medial Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil:
Diameter Ø 3 mm Ø 3 mm
Bentuk Bulat Bulat
Posisi Sentral Sentral
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak + +
langsung
Strabismus - -
Nistagmus - -

iv) Nervus Trochlearis (N. IV)


Gerak mata ke lateral :
Kanan Kiri
Bawah Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Strabismus - -
Diplopia - -

v) Nervus Trigeminus (N. V)


Membuka mulut Tidak ada kelainan
Sensibilitas atas Tidak dilakukan
Sensibilitas bawah Tidak dilakukan

5
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks masseter Tidak dilakukan
Trismus Tidak dilakukan

vi) Nervus Abducens (N. VI)


Kanan Kiri
Gerak mata ke lateral Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Strabismus divergen - -
Diplopia - -

vii) Nervus Facialis (N. VII)


Kanan Kiri
Mengerutkan dahi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Kerutan kulit dahi Kerutan (+) Kerutan (+)
Menutup mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Lipatan nasolabial Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Sudut mulut Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Meringis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Memperlihatkan gigi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
depan

viii) Nervus Vestibulochoclearis (N. VIII)


Kanan Kiri
Mendengar suara berbisik Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Test Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Test Shwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

ix) Nervus Glossofarigeus (N. IX)


Arkus faring Tidak dilakukan
Daya mengecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan
Sengau Tidak dilakukan
Tersedak Tidak dilakukan

x) Nervus Vagus (N. X)


Arkus faring Tidak dilakukan
Menelan Tidak ada kelainan

6
xi) Nervus Accesorius (N. XI)
Menoleh kanan, kiri, bawah Tidak dapat dilakukan
Angkat bahu Tidak dapat dilakukan
Atrofi otot bahu Tidak ada kelainan

xii) Nervus Hypoglossus (N. XII)


Sikap lidah dalam mulut Tidak ada kelainan
Julur lidah Tidak ada kelainan
Tremor Tidak ada kelainan
Fasikulasi Tidak ada kelainan

d) Tanda Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk : Tidak dapat dilakukan
Brudzinski I : Tidak dapat dilakukan
Brudzinski II : (-)
Laseque : (-)
Kernig : (-)

e) Badan dan Anggota Gerak


1) Badan
a. Motorik
i. Respirasi: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
ii. Duduk : Tidak dapat dinilai
iii. Bentuk columna verterbralis : tidak dapat dinilai
iv. Pergerakan columna vertebralis : bebas

b. Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil + +
Nyeri + +
Thermi tidak dilakukan
Diskriminasi tidak dilakukan

c. Refleks

7
Refleks kulit perut atas : Tidak dilakukan
Refleks kulit perut bawah : Tidak dilakukan
Refleks kulit perut tengah : Tidak dilakukan
Refleks kremaster : Tidak dilakukan

2. Anggota gerak atas


a. Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan Terbatas Terbatas
Kekuatan 2-3-3-2 2-3-3-2
Tonus Spastik Spastik
Atrofi (-) (-)
b. Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil baik baik
Nyeri baik baik
Thermi tidak dilakukan
Diskriminasi tidak dilakukan

c. Refleks
Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps +++ +++
Brachioradialis Tidak dilakukan
Tromner-hoffman (+) (+)

3. Anggota gerak bawah


a. Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan Terbatas Terbatas
Kekuatan 2-1-1-1 1-1-1-2
Tonus Spastik Spastik

8
Atrofi (-) (-)

b. Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil baik baik
Nyeri baik baik
Thermi tidak dilakukan
Diskriminasi tidak dilakukan

9
c. Refleks
Kanan Kiri
Patella +++ +++
Achilles +++ +++
Babinski (+) (+)
Chaddock (+) (+)
Rossolimo (-) (-)
Mendel-Bechterev (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

f) Koordinasi, Gait dan Keseimbangan


 Cara berjalan : tidak dilakukan
 Test Romberg : tidak dilakukan
 Disdiadokokinesia : tidak dilakukan
 Ataksia : tidak dilakukan
 Rebound phenomenon : tidak dilakukan
 Dismetria : tidak dilakukan
 Nistagmus test : tidak dilakukan

g) Gerakan-gerakan Abnormal
 Tremor : (-)
 Miokloni : (-)
 Khorea : (-)

h) Alat Vegetatif
 Miksi : lewat kateter
 Defekasi : normal

10
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Laboratorium :
Tanggal 8 Mei 2013, jam 0825 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,2 g/dl 12-18
Leukosit 6,34 ribu/mm 5-10
Hematokrit 36 % 38-47
Trombosit 196 Ribu/mm 150-450
MCV 86.3 fL 82-92
MCH 29.3 pg 27-42
MCHC 34 g/dL 34-45
LED 20 mm/jam <20
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 3 % 1-3
Neutrofil stab 2 % 3-5
Neutrofil segmen 44 % 54-62
Limfosit 43 % 25-33
Monosit 8 % 3-7

KIMIA DARAH
Ureum 16 mg/dL 10-50
Kreatinin 0,6 mg/dL 2,7-7
GDS 89 mg/dL <180

11
b) Pemeriksaan Radiologi
i. MRI Servikal

Hasil :
Sagital MR masih memperlihatkan kelangkungan yang mengurang, tidak ada
listesis. Intensitas signal bone marrow seluruh korpus vertebrae terlihat normal,
tampak formasi osteophyt multiple, tidak ada kompresi vertebrae.

12
Tampak ekstrusio dengan tandan dehidrasi disc C5-6 dengan penekanan medio-
lateral kiri dural sac dan medulla spinalis, terlihat penebalan dengan kalsifikasi
ligamentum longtudinale mulai dari level C3-C6 yang menekan mediolateral
kanan kiri dural sac, terutama menekan hebat di lever C3-C4 emnyebabkan
penyempitan kanal spinal.
Tidak ada stenosis kanal spinal demikian pula tidak ada intraforaminal nerve
root etrapmen. Neural foramina terbuka lapang dan tidak ada hipertrofik faser
maupun ligamentum flava. Pedikel dan lamina masih baik.

Kesan :
a. HNP dengan tanda dehidrasi disc C5-6 dengan penekanan mediolateral
kiri dural sac dan medulla spinalis.
b. Penebalas dan kalsifikasi ligamentum longitudinal mulai level C3-C6,
teutama menekan hebat pada level C3-4 yang menyebabkan
penyempitan kanal spinal.
c. Spondiloarthrosis cervicalis.

ii. MRI Lumbo-Sakral

13
Hasil :
Sagital view MR memperlihatkan kelengkungan yang mengurang, tidak ada
listesis. Intensitas signal bone marrow seluruh korpus vertebrae terlihat normal,
tampak formasi osteophytet multiple, tidak ada kompresi vertebrae. Intensitas
signal conus medulare dan cauda equine masih normal demikian pula tidak
tampak perubahan signal flow CSF.
Tampak buldging dengan tanda dehidrasi disc L4-5 dengan annulus tear yang
menekan mediolateral kiri dural sac, terlihat juga hypertrophy facet joint mulai
dari lever L2-L5 yang menekan neural foramina kanan kiri pada level L3-L5.
Tidak ada stenosis kanal spinal dan neural foraminal lainya masih cukup lapang.
Tidak ada penebalasn ligamentum flave. Pedikel, lamina dan prosessus masih
baik.

Kesan :
- Buldging dengan tanda dehidrasi disc L4-5 dengan annulus tear yang
menekan mediolateral kiri dural sac
- Hipetrophy facet multiple mulai level L2-L5 yang menekan neural foramina
kanan kiri pada level L3-L5
- Spondiloarthrosis lumbal

14
c) Elektrokardiografi

Kesan: Normal EKG

V. RESUME
Subjektif :
Perempuan usia 51 tahun, dibawa keluarga ke UGD RS Bhakti Yuhda dengan keluhan
keempat anggota gerak lemas dan tidak dapat digerakkan 30 menit SMRS. Tangan dan tungkai
kanan dan kiri tidak dapat digerakkan oleh pasien karena terjatuh ketika mau ke jemuran dan
kepala bagian kiri terjatuh di pot bunga dan pot bunga tersebut pecah. Semasa dibawa ke
RSBY, kesadaran pasien tidak terganggu, dapat membuka mata spontan, menjawab spontan
dan dapat mengikut arahan yang diberikan. Keluhan mual, muntah, pusing, nyeri kepala dan
pingsan disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan dia merasa baal dan kesemutan mulai
pinggang ke kaki. Perasaan pusing seperti berputar, padangan ganda dan gelap sesaat tidak
ada. Masih dapat berkomunikasi baik dengan orang lain. Riwayat penyakit keluarga: tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu; riwayat hipotens, Osteroarthritis genu bilateral, Cervical Syndrome
C4-5 dan C5-6, riwayat trauma jatuh berulang dan kontrol berobat ke dr. Hardhi P. SpS.

15
Objektif :
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tanda-tanda Vital : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36,3 oC
Pemeriksaan N.cranialis : Kesan = baik
Sistem motorik
i. Inspeksi : Atrofi (-), gerak abnormal (-)
ii. Kekuatan : 2-3-3-2 2-3-3-2
2-1-1-1 1-1-1-2
iii. Tonus otot : Spastik
iv. Koordinasi gerak : Tidak ada gangguan

Sistem sensorik : Tidak ada gangguan.


Reflek fisiologis: + + Refleks patologi : + +
+++ +++ + +
+++ +++
+++ +++

Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
Hematokrit : 36 %
LED : 20 mm/jam
Neutrofil stab :2%
Neutrofil segmen : 44 %
Limfosit : 43 %
Monosit :8%
Kreatinin : 0,6 mg/dL

16
b) Pemeriksaan Radiologi
i. MRI Servikal
 HNP dengan tanda dehidrasi disc C5-6 dengan penekanan mediolateral kiri
dural sac dan medulla spinalis.
 Penebalas dan kalsifikasi ligamentum longitudinal mulai level C3-C6,
teutama menekan hebat pada level C3-4 yang menyebabkan penyempitan
kanal spinal.
 Spondiloarthrosis cervicalis.

ii. MRI Lumbal


 Buldging dengan tanda dehidrasi disc L4-5 dengan annulus tear yang
menekan mediolateral kiri dural sac
 Hipetrophy facet multiple mulai level L2-L5 yang menekan neural foramina
kanan kiri pada level L3-L5
 Spondiloarthrosis lumbal

c) Elektrokariografi : Normal

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik :
1. Tetraparese UMN et causa Cervical Injury
2. Hipestesi dan parastesi setinggi Cervikal 5

Diagnosis Topik : Medulla Spinalis Cervical C5 – C6

Diagnosis Etiologik : Trauma

Diagnosis Patologis : Inflamasi

17
VII. PENATALAKSANAAN
 Non-Medika Mentosa

- Fisioterapi
- Konsul dokter Bedah Saraf
 Medika Mentosa

- Cairan : IVFD Asering 20 tpm

- Kortikosteriod : Methyprednisolon 250 mg 3x1

- Analgetik : Tramadol 100 mg 2x1

- Antibiotik : Ceftriaxone 1 gram 3x1

- Anti-spasitas : Diazepam 10 mg 3x1

- Vitamin : Metkobalamin 500 mg 3x1

- PP Inhibitor : Omeprazole 1 vial 2x1

Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.


Perawatan ditujukan pada pencegahan:
1. KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara
miring kanan, kiri, dan telentang.
2. ANGGOTA GERAK
Pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan
fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi
netral.
3. TRAKTUS URINARIUS
Untuk ini perlu apakah gangguan saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN
terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar
tidak menimbulkan infeksi.
4. TRAKTUS DIGESTIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjakan secara manual.
5. TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan
pernapasan pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.

18
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

IX. FOLLOW UP

11 MEI 2013 12 MEI 2013


S: Pasien mengeluh kaki dan tangan masih S: Kesemutan dar paha atas sampai ke
berat. Terasa bbaal dan kesemutan mulai dari pergelangan kaki pada kedua kaki. Terasa
pinggang ke ekstremitas bawah. Tungkai sudah kram dan baal di kedua tangan sampai jari-
bisa ditekuk sendiri. Sudah tidak mencret. jari. Pasien merasa tangan masih berat dan
Nafsu makan baik dan bisa tidur. Perut sedikit pasien sudah bisa tidur dan nafsu makan
mules setelah makan. membaik.
O: O:
Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Compos Mentis Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5) GCS : 15 (E4M6V5)
TTV : TD : 130/80 TTV : TD : 130/80
N : 84 x/menit N : 72 x/menit
RR : 20 x/menit RR : 20 x/menit
S : 36,2 S : 36,5
Kekuatan Motorik : Kekuatan Motorik :
2332 2332 2332 2332
2311 2322 2333 2222

Refleks Fisiologis : Refleks Fisiologis :


++ ++ ++ ++
+ ++ +++ + ++ +++

Rekleks patologi: Rekleks patologi:


+ + - -
+ + + +

19
A: A:
 Tetraparesis UMN ec Trauma Servikal  Tetraparesis UMN ec Trauma Sevikal
 Hiperestesi dan paraestesi setinggi  Hipestesi dan parastesi setinggi
Torakal 10 Torakal 10
P: P:
 Methyprednisolon 3 x 250 mg  Methyprednisolon 3 x 250 mg
 Tramadol 3 x 100mg  Tramadol 3 x 100mg
 Diazepman 3 x 100 mg  Diazepman 3 x 100 mg
 Metkobalamin 3 x 500 mg  Metkobalamin 3 x 500 mg
 Ceftriaxone 3 x 1 gram  Ceftriaxone 3 x 1 gram
 Omeprazole 3 x 1 vial  Omeprazole 3 x 1 vial Rujuk ke
RSPAD untuk Dokter Bedah Saraf

20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MEDULLA SPINALIS


Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang.
Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan antara perifer
dan otak.
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf Pusat Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut
conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu terminalis serabut-
serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
Terdapat 31 pasang syaraf spinal: 8 pasang syaraf servikal 12, 12 pasang syaraf Torakal,
5 pasang syaraf Lumbal, 5 Pasang syaraf Sacral dan 1 pasang syaraf coxigeal. Akar
syaraf lumbal dan sacral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh
1
tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
Gambar 1. Pembagian Medulla Spinalis
Struktur Internal terdapat substansi abu-abu dan substansi putih. Substansi abu-abu
membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi
bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan median septum yang disebut dengan
posterior median septum. Keluar dari medulla spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari
saraf spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferent, akson
tidak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu
membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan comissura
abu-abu untu reflex silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin. 1

1 Spinal Nerve
2 Dorsal Root Ganglion
3 Dorsal Root (Sensory)
4 Ventral Root (Motor)
6 Central Canal
7 White Matter
Gambar 2. Penampang Melintang Medulla Spinalis

Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di


tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus
descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol
fungsi tubuh)
Gambar 3. Hubungan Nervus Spinalis dengan Vertebra
Susunan Neuromuskular
Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. Susunan
neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron
(LMN). Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulansaraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di
saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan lower
motor neuron (LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari
batang otak atau yang keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudiannya
pergi ke otot.1Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam
sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak
secara terencana dan terukur. 2

1. Sel (ventral) cornu anterior


2. Saraf perifer
3. Neuromusuler junction
4.Otot
Gambar 4. Susunan Neuromuskuler

Berikut merupakan perbandingan antara ciri-ciri kelumpuhan tipe LMN dan tipe UMN.

Lower motor neuron weakness (LMN) Upper motor neuron weakness (UMN)
Flaccid Spasticity
Decreased tone Increased tone
Decreased muscle stretch reflexes Increased muscle stretch reflexes
Profound muscle atrophy Minimal muscle atrophy
Pathologic reflexes (-) Pathologic reflexes (+)

2.2 PARESES
2.2.1 Parese
Parese adalah kelemahan/ kelumpuhan parsial yang ringan/ tidak lengkap atau suatu kondisi
yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Kelemahan adalah
hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan
gangguan mobilitas bagian yang terkena. Parese pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam,
yaitu: 3
 Monoparese : Kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas bawah
 Paraparese : Kelemahan pada kedua ekstremitas bawah
 Hemiparese : Kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atau dan satu
ekstremitas bawah pada sisi yang sama
 Tetraparese : Kelemahan pada keempat ekstremitas

2.2.2 Tetraparesis
Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadiparese, yang keduanya merupakan parese dari
keempat ekstremitas. “Tetra” dari bahasa Yunani sedangkan “Quadra” dari bahasa Latin.
Tetraparese adalah kelumpuhan/ kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma pada
manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak,
dengan kelumpuhan/ kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan
tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tolang belakang pada
tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem saraf perifer,
kerusakan neuromuscular atau penyekit otot. Kerusakan diketahui karena adanya lesi yang
menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai.
Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau aport
injury) atau karena penyakit (seperti myelitis trasversal, polio atau spina bifida).
Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan dalam
mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran kemih dan rectum,
sistem pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya dapat terjadi penuruanan/
kehilangan fungsi sensorik. Adapun manifestasi seperti kekakuan, penurunan sensorik
dan nyeri neuropatik. Walaupun pada tetreparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat
anggota gerak tapi terkadang tungkai dan lengan masih dapat digunakan atau jari-jari
tangan yang tidak dapat memengang kuat suatu benda tapi jari-jari tersebut masih bisa
digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi lenganya masih bisa digerakkan
atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini
semua tergantung dari luas tidaknya kerusakan. 3

2.2.3 Epidemiologi
Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medulla spinalis. Menurut
Pusat Data Nasional Cedera Medulla Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data Research
Centre), memperkirakan adanya 10.000 kasus baru cedera medulla spinalis setiap tahunya di
Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 10 per
100.000 penduduk dengan tetraparese 100.000 merupakan penyebab utama cedera medulla
spinalis.Cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan
ada/ tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk
meramalkan prognosis dan penangangan selanjutnya. Data di Amerika Serikat menunjukan
urutan frekensi disabilitas neurologis karena sedera medulla spinalis traumatika sebab:
i. Tetraparese Inkomplet : 29,5%
ii. Paraparese Komplet : 27,3%
iii. Paraparese Inkomplet : 21,3%
iv. Tetraparese Komplet : 18,5%

2.2.4 Klasifikasi Tetraparese


Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya: 6
a) Tetraparese spastik
Tetraparese speastik terjadi karena kerusakan yang mengenai Upper Motor Neuron
(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
b) Tetraparese flasid
Tetraparese flasid terjadi karena kerusakan yang mengenai Lower Motor Neuron
(LMN), sehingga menyebabakan penurunan tonus otot atau hipotoni.

2.2.5 Patofisiologi Tetraparese


Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) atau kerusakan
Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan terjadi pada kerusakan Upper Motor Neuron
(UMN) disebabkan karena adanya lesi di medulla spinalis. Kerusakan bisa dalam bentuk
jaringan scar atau kerusakan karena tekanan dari vertebra atau diskus invertebralis. Hal ini
berbeda dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari cornu
anterior medulla spinalis sampai ke otot.
Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikalis,
thorakal, lumbal dan sacral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari
servikal dan lumbosakral pada nervus spinalis dari servikal dan lumbosakral dapat
menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan pada keempat anggota gerak. Wilayah ini
penting, jika terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan berpengaruh pada otot, organ
dan sensorik yang dipersarafinya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian di bawah
lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese)
dan arau mungkin kerusakan senssorik. Lesi pada UMN dapat menyebabkan parase
spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese flasid. 2,4,6
i. Lesi di Mid or Upper Cervical Cord
Tiap lesi di medulla spinalis yang merusakan daerah jaras kortikospinalis lateral
menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh
yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis pada tingkat
servikal, misalnya C5 mengakibatkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada
otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotom C6 sampai miotom C8, lalu otot-otot
thoraks dan abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang mengakibatkan
kelumpuhan parsial dan deficit neurologis yang tidak massif diseluruh tubuh. Lesi yang
terletak di medulla spinalis tersebut maka akan menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan
keempat anggota gerak yang disebut tetraparese spastik.
ii. Lesi di Low Cervical Cord
Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja memutuskan jaras
kortikospinalis lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan asendens dan
desendens lain. Disamping itu kelompok motor neuron yang berada di dalam segmen
C5 ke bawah ikut rusak. Ini berarti bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat
Lower Motor Neuron (LMN) dan di bawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron
(UMN). Di bawah ini kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN) akan diuraikan
menurut komponen-komponen Lower Motor Neuron (LMN).
Motorneuron-motor neuron berkelompok di kornu anterior dan dapat
mengalami gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan
bangunan di sekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal sindrom lesi di kornu anterior,
sindrom lesi yang selektif merusak motorneuron di jaras kortikospinalis, sindrom lesi di
substansia grisea sentralis. Lesi ini biasanya disebabkan karena adanya infesi, misalnya
poliomyelitis. Pada umumnya motorneuron-motorneuron yang rusak di daerah
intumesensia servikal dan lumbils sehingga kelumpuhan LMN adalah anggota gerak.
Kerusakan pada radiks ventrals (dan dorsalis) yang reversible dan menyeluruh
dapat terjadi. Kerusakan itu merupakan pewujudan reaksi imunopatologik. Walaupun
segenap radiks (ventralis/ dorsalis) terkena, namun yang berada di intumesensia
servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan. Karena daerah ini yang
mengurus anggota gerak atas dan bawah. Pada umumnya bermula di bagian distal
tungkai kemudian bergerak ke bagian proksimalnya. Kelumpuhan meluas ke bagian
tubuh atas, terutama otot-otot kedua lengan. Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat
disebabkan kelainan sepanjang seraf tepi sendiri. Salah satu penyakit dengan lesi utama
pada neuron saraf perifer adalah polineuropati.
Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau selnya
yang disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/ endogen dan degenerasi herediter.
Karena serabut otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak dapat melakukan
tugasnya. Penyakit di otot bisa berupa miopati dan distrofi, dapat menyebabkan
kelemahan di keempat anggota gerak biasanya bagian proksimal lebih lemah di banding
distalnya. Pada penderita distrofi muscle didapatkan enzim kreatinin fosfokinase dalam
jumlah yang besar. Sebelum terdapat manifestasi ini, kadar enzim ini di dalam serum
sudah jelas meningkat akan tetapi mengapa enzim ini dapat beredar di dalam darah tepi
masih belum diketahui.
Disamping kelainan pada sistem enzim, secara klinis juga dapat ditentukan
kelainan morfologik pada otot. Jauh sebelum tenaga otot berkurang sudah terlihat
banyak sel lemak (liposit) menyusup di antara sel-sel serabut otot. Ketika kelemahan
otot menjadi nyata, terdapat pembengkakan dan nekrosis-nekrosis serabut otot. Seluruh
endropalsma serabut otot ternyata menjadi lemak. Otot-otot yang terkena ada yang
membesar dan sebangian mengecil. Pembesaran tersebut bukan karena bertambannya
jumlah serabut otot melainkan karena degenerasi lemak.
2.6.7 Tetraparese dengan Hemiparese Bilateral
Tetraparese dengan hemiparese bilateral (bihemiparese) mempunyai arti yang sama yaitu
kelemahan pada keempat anggota gerak. Namun, pada bihemiparese kelemahan/
kelumpuhannya tidak terjadi langsung pada keempat anggota gerak. Bihemiparese bersifat
kerusakan pada upper motor neuron, yaitu adanya infark di hemispere serebral bilateral dapat
disebabkan karena dua lesi iskemik didaerah kedua arteri serebri (anterior/media) atau di kedua
kapsula interna. Lesi pada arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada daerah mesensefalon.
Lesi ini dapat disebabkan oleh adanya arterosklerosis, emboli, aneurisma, dan inflamas.
Pada awal stroke terjadi hemiparese unilateral karena infark di hemisfer serebral
unilateral yang disebabkan adanya lesi pada arteri serebri (anterior/media) atau di
kapsula interna unilateral. Lama – kelamaan lesi ini juga dapat ditemukan pada arteri
serebri (anterior/media) atau kapsula interna yang lain, sehingga terjadi infark pada
hemisfer serebral bilateral. Oklusi pada arteri basilaris juga dapat menyebabkan
hemiparese bilateral.

2.2.6 Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan


a) Penyakit Infeksi
 Myelitis Transversal
 Poliomyelitis
b) Polioneuropati
c) Guillain-Barre Syndrome (GBS)
d) Myastenia Gravis (MG)
e) Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
2.3 TRAUMA MEDULLA SPINALIS
2.3.1 Definisi
Adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di medulla spinalis sehinga
menimbulkan gangguan neurologis dan dapat menyenbabkan kecacatan menetap atau kematian.

2.3.2 Etiologi
Trauma medulla spinalis dapat terjadi karena kecelakaan, luka tusuk/ tembak atau tumor.

2.3.3 Klasifikasi
1. American Spinal Injury Association/ International Medical Society of Paraplegia
(ASIA/ IMSOP)
Klasifikasi tingkat tinggi dan keparahan trauma medulla spinalis ditegakkan pada saat 72
jam sampai 7 hari setelah trauma.
a. Berdasarkan impairment scale 4
Tabel 3. Klasifikasi lesi trauma medulla spinalis menurut ASIA/ IMOP

b. Berdasarkan tipe dan lokasi trauma


i. Complete spinal cord injury (Grade A)
 Unilevel
 Multilevel
ii. Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
 Cervico medullary syndrome
 Central cord syndrome
Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera
hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan
spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medulla
spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus
tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya
cedera adalah akibat penjepitan medulla spinalis oleh ligamentum flavum
di posterior dan kompresi osteofit atau material diskus dari anterior.
Bagian medulla spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan
vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord
Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami
nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat
meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera.
Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan
hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan
adanya edema.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang
lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah.
Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara
pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN. Gambaran klinik
dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen
yang unilateral
 Anterior cord syndrome
 Posterior cord syndrome
 Brown Sequard syndrome
 Conus medullary syndrome
iii. Complete Cauda Equina Injury (Grade A)
iv. Incomplete Cauda Equina Injury (Grade B, C, D)

2. Sindrom Medulla Spinalis 4


Sindrom Kausa Utama Gejala & Tanda Klinis
Brown Trauma tembus o Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan
Kompresi ekstrensik
Sequard LMN setinggi lesi
Syndrome o Gangguan eksteroseptif (nyeri & suhu)
kontralateral
o Gangguan propioseptif (raba & tekan)
ipsilateral
Sindrom Cedera yang o Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah
Spinalis menyebabkan HNP lesi
o Dapat disertai disosiasi sensibilitas
Anterior pada T4-6
o Gangguan eksteroseptif, propioseptif
normal
o Disfungsi spinkter
Sindrom Hematomielia o Paresis lengan > tungkai
Trauma spinalis o Gangguan sensorik bervariasi (diestesia/
Spinalis
(fleksi-ekstensi) hiperestesia) di ujung distal lengan
Sentral
o Disosiasi sensibilitas
o Disfungsi miksi, defekasi dan sensual
Sindrom Trauma o Paresis ringan
Infark A. Spinalis o Gangguan eksteroseptif (nyeri/ parastesia)
Spinalis
Posterior pada punggung, leher dan bokong
Posterior
o Gangguan propioseptif bilateral
Sindrom konus Trauma lower sacral o Gangguan motorik ringan, simetris, tidak
medullaris cord ada atropi
o Gangguan sensorik saddle anestesi, muncul
lebih awal, bilateral, ada disosiasi
sensibilitas
o Nyeri jarang, relative ringan
o Simetris, bilateral pada daerah perineum
dan paha, reflex Achilles (-), reflex Patella
(+)
o Disfungsi spincther terjadi dini dan berat
o Rafleks bulboavernosus dan anal (-)
o Gangguan ereksi dan ejakulasi
Sindrome Cedera akar saraf o Gangguan motorik sedang sampai berat,
Cauda Equina lumbosakral asimetris dan atrofi
o Gangguan sensibilitas saddle anestesi,
asimetris, timbul lebih lambat, disosiasi
sensibilitas (-)
o Nyeri menonjol hebat, timbul dini,
radikuler, asimetris
o Gangguan reflex bervariasi, gangguan
spincter timbul lambat, jarang berat, reflex
jarang terganggu, disgungsi seksual jarang
2.3.4 Epidemiologi
Insidens trauma medulla sinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk pertahun dengan
sekitar 8.000 – 10.000 kasusu per tahun. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam
pertama dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan vertebra servikalis
yang mememiliki resiko trauma yang paling besar dengan level tersering C5 diikuti C4, C6 dan
kemudian T12, L1 dan T10. 4

2.3.5 Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang
segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya
sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-fragmen
tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah
rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi.
Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam
kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan
dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada
tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2,
C5-6 dan T11-12.
Gambar 5 : Manifestasi Paresis/ Plegi pada Trauma Medulla Spinalis
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan
yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di
medulla spinalis. Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan
dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak
langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau
dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :


1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami
dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan
menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan
aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan posterior.

2.3.6 Manifestasi Lesi Traumatik


1) Komosio Medula Spinalis
Komosi medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla spinalis hilang
sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh
sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa
meninggalkan gejala sisa. Kerusakan yang medasari komosio medulla spinalis berupa
edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada
inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya
sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan
perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan patologik daripada
fisiologik.
2) Kontusio Medula Spinalis
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan gangguan
fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis
didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan,
pembengkakan (edema), perubahan neuron, reaksi peradangan. Perdarahan didalam
substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi Wallerian dan pada
kornu anterior terjadi hilangnya neuron.
3) Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas
medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan,
fraktur dislokasi vertebra.
4) Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun
hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat
dari sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang ringan tetapi segera diikuti
paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan diatas
memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam
substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi,
trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh
dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis
di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang
dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis
dan posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas
hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan
dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi
funikulus posterior.
5) Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan
epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla
spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri
radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat
hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf
tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan
menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai
hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis. Di bawah
lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan gangguan sensorik serta
otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi
akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla
spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat
gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel,
perineum dan bokong.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan
hilangnya control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
6) Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla spinalis.
Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat
kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi oleh
motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral
kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik proprioseptif, sedangkan
pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, urin lengkap, gula darah sewaktu, ureum
dan kreatinin dan analisa gas darah.

2. Radiologik

Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami
trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.
Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid)
untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal
sesuai dengan letak lesi. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance
Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla
spinalis akibat cedera/trauma. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut
terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-2. 4

3. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor
serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan
beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini
harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat
dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila
diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut. 4
4. Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal,
sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
5. Pemeriksaan lain
Dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) bila terdapat aritmia jantung.

2.3.8 Penalataksaan
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet
hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla spinalis komplet yang tidak
menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk.
Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila
fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih
dari 50%
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula
spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat.
Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih
dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken
dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-
satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera
medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan
seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of
Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien
dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas
bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional
terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas,
mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL).
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan
dengan profesi dan harapan pasien.
Menurut Konsensus Manajemen di Rumah Sakit 4
1. A (AIRWAY)
Menjaga jalan nafas supaya tetap lapang,
2. B (BREATHING)
Mengatasi gangguan pernafasan kalau perlu lakukan intubasi endotrakheal (pada cedera
medulla spinalis servikal atas) dan pemasangan alat bantu nafas supaya oksigenasi
adekuat.
3. C (CIRCULATION)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi karena pengaruh pada sistem saraf
ortosimpatis. Harus dibedakan antara:
a) Syok Hipovolemik (hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin/ basah)
Tindakan : Berikan cairan kristaloid (NaCl 0,9%/ Ringer Laktat) kalau perlu
dengan koloid (missal: Albumin)
b) Syok Neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat/ kering)
Pemberian cairan tidak akan menaikkan tendi (awasi edema paru), maka harus
diberikan obat vasopressor:
 Dopamine untuk menjada MAP > 70
 Bila perlu adrenalin 0,2 mg subkutan
 Boleh diulangi 1 jam kemudian
4. Selanjutnya
 Pasang foley kateker untuk monitor hasil urine dan cegah retensi urin.
 Pasang pipa nasogastrik (hati-hati pada cedera servikal) dengan tujuan untuk :
o Dekompresi lambung pada distensi
o Kepentingan nutrisi enteral
 Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
o Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan disamping
kiri-kanan leher diletakkan bantal.
o Thorakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace)
o Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal
5. Pemberian Kortikosteriod
 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca-trauma diberikan :
o Methylprednisolon 30 mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama
45 menit (tidak diberikan Methylprednisolon), selanjutnya diberikan infuse
terus menerus Methylprenisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/
kgBB/jam
 Bila 3-8 jam : hanya infus Methylprednisolon dilanjutkan untuk 47 jam.
 Bila > 8 jam : tidak dianjurkan pemberian Methylprednisolon
6. Pemberian obat-obatan
 Lanjutkan pemberian Methlprednisolon (mencegah proses sekunder)
 Anti-spasitas otot sesuai keadaan klinis
 Analgetik
 Mencegah dekubitus, kalau perlu pakai kasur khusus
 Mencegah thrombosis vena dalam (DVT) dengan Stoking kaki khusus atau
fisioterapi. Kalau perlu dapat diberikan anti-koagulant.
 Mencegah proses sekunder dengan pemberian anti-oksidan
 Stimulasi sel daraf dengan pemberian GM1-Ganglioside
o Dimulai dalam waktu 72 jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari
 Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotic bila ada infeksi
 Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel
7. Operasi
 Waktu Operasi
o Waktu operasi antara 24 jam sampai dengan 3 minggu
o Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan
neurologis, komplikasi dan keluaran skor motorik atu tahun pasca-trauma.
 Indikasi Operatif
o Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis
o Gambaran neurologis progresif memburuk
o Fraktur, dislokasi yang labil
o Terjadi herniasi diskus intertebralis yang menekan medulla spinalis
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pasien perempuan usia 51 tahun, dibawa keluarga ke UGD RS Bhakti Yuhda dengan
keluhan keempat anggota gerak lemas dan tidak dapat digerakkan 30 menit SMRS. Tangan dan
tungkai kanan dan kiri tidak dapat digerakkan oleh pasien karena terjatuh terpeleset di dapur
ketika mau ke jemuran dan kepala bagian kiri terjatuh di pot bunga dan pot bunga tersebut pecah.
Semasa dibawa ke RSBY, kesadaran pasien tidak terganggu, dapat membuka mata spontan,
menjawab spontan dan dapat mengikut arahan yang diberikan. Pasien mengatakan dia merasa
baal dan kesemutan mulai pinggang ke kaki kemudian pasien mula merasakan kedua tangannya
tidak dapat digerakkan juga. Berdasarkan anamnesa di atas, didapatkan adanya tetraparese pada
keempat ekstremitas atas dan bawah, ini menyebutkan bahwa terdapat kelainan atau terdapat lesi
pada medulla spinalis. Pasien juga mengatakan bahwa di jatuh terpeleset ketika mau ke jemuran,
dan setelah itu dia mulai merasakan baal disekitar pinggangnya dan menyebar ke kaki. Tidak
berapa lama kemudian pasien tidak dapat menggerakkan keempat ekstremitasnya. Ini
menunjukkan bahwa adanya suatu proses trauma kepada pasien karena pasien terpeleset jatuh
dan setelah itu pasien tidak dapat menggerakan ekstremitasnya. Proses ini bersifat akut dan cepat
karena setelah pasien terpapar dengan trauma, pasien serta merta tidak dapat menggerakkan
keempat ekstremitasnya.
Pada pemeriksaan fisik neurologis didapatkan GCS E4M6V5 = 15. Pupil isokor ODS, Ɵ 3
mm, RCL +/+, RCTL +/+ ODS, Nervus kranialis baik, reflex fisiologis ekstremitas atas kanan
dan kiri pada biceps didapatkan adanya hiporefleksi dan triceps ditemukan adanya hiperefleks.
Pada reflex fisiologis extremitas bawah (KPR dan APR) pada kaki kanan dan kiri ditemukan
adanya hiperreflex, reflex patologis babinski dan chaddok positif pada kedua kaki dan reflex
patologis Hoffman-tromner juga positif pada kedua ekstremitas atas. Adanya hipestesi dan
parastesi setinggi thorakal X ke bawah. Dapat disimpulkan bahwa letak lesi berada pada UMN
karena pasien mengalami tetraparese karena mempunyai gangguan untuk menggerakakan otot
motoriknya. Ini menunjukkan adanya lesi di traktus kortikospinal/ traktus piramidalis. Menurut
teori pada lesi di traktus kortikospinalis, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan tes Babinsky
positif, akan terdapat penurunan reflex (hiporefleks) pada lokasi dimana terdapatnya lesi di
medulla spinalis, peningkatan reflex (hiperrefleksi) pada lokasi di bawah lesi di medulla spinalis.
Pada pemeriksaan didapatkan reflex biceps menurun ini menunjukkan terdapat lesi di C5 dan C6.
Pada pemeriksaan reflex triceps, patella dan achilles terdapat peningkatan reflex karena terletak
di bawah lesi. Selain itu, keempat ekstremitas terdapat spastik sesuai dengan gejala pada lesi di
UMN.

Gambar 7. Potongan Medulla Spinalis menunjukan bagian Traktus Kortikospinalis

Untuk membantu menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan MRI cervikal dan


lumbal untuk mengetahui penyebab tetrapaseresis pada pasien. Hasil MRI servikal ditemukan
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dengan tanda dehidrasi disc C5-6 dengan penekanan
mediolateral kiri dural sac dan medulla spinalis, terdapat penebalan dan kalsifikasi ligamentum
longitudinal mulai level C3-C6, teutama menekan hebat pada level C3-4 yang menyebabkan
penyempitan kanal spinal dan spondiloarthrosis cervicalis. Daripada MRI servikal didapatkan
adanya penjepitan saraf di C5 – C6.
Sesuai dengan buku Diagnosis Topik Neurologis Duus, dimana pasien mengalami trauma
dan kelumpuhan bermula dengan ekstremitas bawah dan kemudian ekstremitas atas. Hal ini
sesuai dengan paparan anatomis medulla spinalis dimana pada traktus kortikospinalis yaitu, saraf
motorik untuk ekstremitas bawah terdapat di bagian lateral dan pada pasien ini kemungkinan
semasa pasien jatuh bagian traktus kortikospinalis lateralis bagian ekstremitas bawah terkena
dahulu menyebabkan pasien tidak dapat menggerakkan tungkainya. Kemudian lesi menyebar ke
bagian abdomen dan ekstremitas atas sekaligus menyebabkan pasien tidak dapat menggerakkan
ekstremitasnya. Didapatkan juga keluhan klinis hipestesi dan parastesi setinggi sevikal 5, ini
menggambarkan semasa kejadian terjadi ia trauma juga mengenai traktus spinothalamikus dan
funikulus posterior yang menyebabkan pasien hilangnya rasa raba, taktil dan sensibilitas mulai
dari servikal 5 hingga ke ekstremitas bawah.
Hasil MRI Lumbal, ditemukan adanya buldging dengan tanda dehidrasi disc L4-5 dengan
annulus tear yang menekan mediolateral kiri dural sac, hipetrophy facet multiple mulai level L2-
L5 yang menekan neural foramina kanan kiri pada level L3-L5 damn spondiloarthrosis lumbal.
Daripada kedua hasil MRI servikal dan lumbal didapatkan adanya tanda2 trauma/ HNP pada
servikal dan lumbal yang menunjukan buldging yang menyebabkan saraf terjepit sekaligus
menyebakan terjadinya tetrapareses pada pasien.
Daripada hasil pemeriksaan dapat ditegakkan diagnosa klinis adalah Tetrapareses UMN
et causa Servical Injury karena kelumpuhan pasien bersifat akut dan cepat dan setelah dilakukan
pemeriksaan MRI servikalis terdapatnya herniasi diskus di C5-C6 yang menyebabkan terjadinya
tetraparese.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan sesuai dengan buku Konsensus Nasional
Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal dimana pada pasien dengan trauma pada medulla
spinalis haruslah diperhatikan golden hours saat pasien di bawa masuk ke rumah sakit. Hal ini
karena pemberian kortikosteriod pada kurang dari 3 jam pertama setelah trauma dapat
mengurangkan pemburukan gejala pada pasien. Pada kasus ini, pasien di bawa ke IGD RSBY
pada jam 06.45 pagi dan setelah dilakukan penegakkan diagnosa tidak dilakukan pemberikan
kortikosteroid dosis besar kepada pasien untuk mengurangkan inflamasi pada medulla spinalis.
Pemberian kortikosteriod hanya diberikan setelah pasien dibawa masuk ke ruangan. Untuk
memberian obat-obat semasa pasien di rawat inap juga diberikan sesuai Konsensus Nasional
yaitu diberikan carian IVFD Asering 20 tpm sebagai tujuan untuk pemberian cairan dan
berfungsi sebagai IV line untuk memasukkan obat lewat vena, pemberian kortikosteriod yaitu,
methylprenisolon dengan 3 x 250 mg untuk mengurangkan inflamasi pada lokasi trauma di
servikal dan lumbal dan untuk mencegah terjadinya proses sekunder. Pasien juga diberikan obat
analgetik tramadol 3 x 100 mg untuk mengurangi rasa nyeri. Antibiotik sebagai profilaksis
diberikan injeksi ceftriaxone 3 x 1 gram per hari atas dasar terdapat dua luka terbuka pada dahi
kiri pasien dan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder diberikan antibiotik. Untuk
mengatasi spasitas otot pada ekstremitas pasien diberikan diazepam 3 x 10 mg. Diberikan juga
vitamin saraf metkobalamin (Vitamin B12) 3 x 500 mg. Untuk mengurangkan gejala
gastrointestinal diberikan obat proton-pump inhibitor yaitu omeprazole injeksi 2 x 1. Pasien
dikonsulkan ke dokter bedah saraf di RSPAD.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Spine and Spinal Cord. New York :2004
2. M. Baehr, M. Frotscher. Diagnosis Topic Neurologi Duus: Anatomi,Fisiologi, Tanda,
Gejala. Jakarta : EGC, 2010
3. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page:
301-305. 1991.
4. Dr. Lyna Soertidewi et al. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitits dan Trauma
Spinal. Perhimpunan Doketer Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta :2006
5. Lain. W, Graham L. Essential Neurology. Clinical skill, Physical sign dan Anatomy.
Fourth edition. Blackwell Publishing, USA. 2005
6. Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 1988.
7. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of
Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5

Anda mungkin juga menyukai