Anda di halaman 1dari 17

Menyimak Pergeseran Budaya dikalangan Remaja dan Prilaku Hedonisme

dikalangan Remaja

Kalau Anda berkenan untuk sejenak berhenti dari kesibukan membuat tugas kuliah atau
diskusi tentang mata kuliah, baik kalau kita menjadi lebih kritis untuk mengamati
kecenderungan perilaku kaum muda remaja dewasa ini yang tentunya menarik untuk
dipikirkan bersama.

Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan
kwantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak
jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung
mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya
mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran
tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat.
Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis bersliweran dengan berbagai mode
rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim
masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini
kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop.
Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh
kedalam pendangkalan nilai hidup.

Tulisan ini hanya mengajak para pembaca untuk merenungi dampak globalisasi tanpa
harus terjerat ke dalam arus pendangkalan hidup post-modernisasi dan bagaimana hal
tersebut tidak menggerogoti nilai-nilai positif yang menjadi warisan budaya kita.

Euforia Budaya Pop Remaja : Buah Globalisasi

Manusia harus berubah. Itulah hal yang mendasar yang perlu dipikirkan secara bersama.
Memang benar bahwasannya manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus
dikembangkan seoptimal mungkin, karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya
dimuka bumi sebagai God Creature yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.

Kali ini, manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase
sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk
berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum,
sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus
disempurnakan. Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi
mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu.
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan
ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan
bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antaara si kaya dan si
miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya
kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop.
Penghayatan Hidup dikalanagan Remaja yang Semakin Mendangkal

Ilustrasi di awal tulisan ini hanyalah sekelumit deskrispsi yang membuktikan eksistensi
kecenderungan dalam diri manusia modern. Masih banyak contoh-contoh lain sebagai
hasil dari globalisasi. kaum muda remaja dewasa ini lebih suka membaca komik atau
main game daripada harus membaca buku-buku bermutu. Bacaan dengan analisis
mendalam dan novel-novel bermutu hanya menjadi bagian kecil dari skala prioritas
mereka, bahan-bahan bacaan seperti itu hanya tersentuh jika terpaksa atau karena
tuntutan akademis.

Anda dapat mengelak bahwa gejala-gejala ini merupakan bentuk adaptif dari kemajuan
zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kecenderungan manusia sekarang
bukan hanya sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan hal ini adalah
masalah gengsi dan penghayatan hidup.

Bukti yang paling mengena adalah televisi, berbagai acara televisi semakin hari semakin
jauh dari idealisme jurnalistik, bahkan semakin melegalkan budaya kekerasan,
instanisasi, dan bentuk-bentuk kriminalitas. Sebagian tayangan-tayangan tersebut hanya
semakin mendangkalkan sifat afektif manusia. Tayangan mengenai bencana alam,
kemiskinan, perang, kelaparan, penemuan teknologi, pembelajaran budaya, dan lain
sebagainya telah membuat sisi afeksi manusia tidak peka terhadap hal tersebut. Tidak ada
proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan nilai-nilai luhur semakin tereduksi.

Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara,


misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk
menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan
blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya.
Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika
pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan
penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya
penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi
organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran
sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum
muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan!

Solusi : Internalisasi

Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa manusia sebagai homo significans, pada


hakikatnya menjadikan manusia sebagai manusia pemberi makna. Jurus paling ampuh
untuk mengatasi pendangkalan hidup post-modernisasi adalah pengendapan atau
internalisasi. Internalisasi merupakan proses memaknai kembali makna-makna hidup.
Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.

Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu budaya refleksi dan keheningan.
Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus
budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat
berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa Latin re-
flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan,
memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk
mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini. Refleksi adalah usaha untuk
melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi
hingga dapat menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai
bekal hidup. Euforia budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang
hanya berakhir menjadi kesan-kesan tanpa satupun yang dapat dialami. Dengan budaya
refleksi, kesan-kesan tersebut dapat diendapkan. Secara satu persatu pengalaman negatif
maupun positif dapat dianalisis, dipertimbangkan, disimpulkan, dan akhirnya diendapkan
dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan
buruknya suatu sikap. Dalam proses ini juga kaum muda remaja diajak untuk
menindaklanjuti berbagai pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari
setiap kejadian yang dialami, dan tentunya nilai tersebut dapat menjadi bekal hidup
selanjutnya.

Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi, untuk mengingatkan segala larangan
ataupun perintah Tuhan yang diajarkan. Refleksi berperan menjadi fungsi kritis dalam
diri kaum muda remaja. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk
pragmatisme, konformitas buta dan sebagainya. Refleksi menunjukkan kesalahannya, dan
mengarahkan kepada yang benar.

Oleh karena itu kita sebagai kaum muda remaja harus mampu merubah diri kita menjadi
manusia yang bermakna bagi orang lain melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Usaha ini
hanya bisa tercapai melalui usaha pribadi bukan orang lain, ada pepatah mengatakan
jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi
wahai para remaja ... !
Kenakalan Remaja, Peran Orang Tua, Guru dan Lingkungan

Sebenarnya menjaga sikap dan tindak tanduk positif itu tidak hanya tanggung jawab para
guru dan keluarganya, tetapi semua orang, Guru yang selalu mengusahakan keluarganya
menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan dengan sebuah contoh, adalah
cerminan komitmen dan pendalaman makna dari seorang guru. Sang guru harus berusaha
agar keluarganya baik dan tidak korupsi agar ia dapat mengajari kepada murid-muridnya
yang merupakan remaja generasi penerus bangsa memiliki moral dan ahlak baik dan
tidak korupsi, berusaha tidak berbohong agar murid-muridnya sebagai remaja yang baik
tidak menjadi pendusta, tidak terjaebak dalam kenakalan remaja.

Guru adalah profesi yang mulia dan tidak mudah dilaksanakan serta memiliki posisi yang
sangat luhur di masyarakat. Semua orang pasti akan membenarkan pernyataan ini jika
mengerti sejauh mana peran dan tanggung jawab seorang guru . Sejak saya baru berusia 6
tahun hingga dewasa, orang tua saya yang merupakan seorang guru, selalu memberikan
instruksi yang mengingatkan kami para anak-anaknya adalah anak seorang guru yang
harus selalu menjaga tingkah laku agar selalu baik dan jangan sampai melakukan sebuah
kesalahan . Seberat itukah, seharus itukah kami bertindak Lantas apa hubungan profesi
orang tua dengan dengan anak-anaknya, apakah hanya anak seorang guru yang harus
demikian ?.

Peran guru tidak hanya sebatas tugas yang harus dilaksanakan di depan kelas saja, tetapi
seluruh hidupnya memang harus di dedikasikan untuk pendidikan. Tidak hanya
menyampaikan teori-teori akademis saja tetapi suri tauladan yang digambarkan dengan
perilaku seorang guru dalam kehidupan sehari-hari.

Terkesannya seorang Guru adalah sosok orang sempurna yang di tuntut tidak melakukan
kesalahan sedikitpun, sedikit saja sang guru salah dalam bertutur kata itu akan tertanam
sangat mendalam dalam sanubari para remaja. Jika sang guru mempunyai kebiasaan
buruk dan itu di ketahui oleh sang murid, tidak ayal jika itu akan dijadikan referensi bagi
para remaja yang lain tentang pembenaran kesalahan yang sedang ia lakukan, dan ini
dapat menjadi satu penyebab, alasan mengapa terjadi kenakalan remaja.

Sepertinya filosofi sang guru ini layak untuk di jadikan filosofi hidup, karena hampir
setiap orang akan menjadi seorang ayah dan ibu yang notabenenya merupakan guru yang
terdekat bagi anak-anak penerus bangsa ini. Akan sulit bagi seorang ayah untuk melarang
anak remajanya untuk tidak merokok jika seorang ayahnya adalah perokok. Akan sulit
bagi seorang ibu untuk mengajari anak-anak remaja untuk selalu jujur, jika dirumah sang
ibu selalu berdusta kepada ayah dan lingkungannya, atau sebaliknya. jadi bagaimana
mungkin orang tua melarang remaja untuk tidak nakal sementara mereka sendiri nakal?

Suatu siang saya agak miris melihat seorang remaja SMP sedang asik mengisap sebatang
rokok bersama adik kelasnya yang masih di SD, itu terlihat dari seragam yang dikenakan
dan usianya memang terbilang masih remaja. Siapa yang harus disalahkan dalam kasus
ini. Apakah sianak remaja tersebut, sepertinya tidak adil kalau kita hanya menyalahkan si
anak remaja itu saja, anak itu terlahir bagaikan selembar kertas yang masih putih, mau
jadi seperti apa kelak di hari tuanya tergantung dengan tinta dan menulis apa pada
selembar kertas putih itu . Orang pertama yang patut disalahkan mungkin adalah guru,
baik guru yang ada di rumah ( orang tua ), di sekolah ( guru), atau pun lingkungannya
hingga secara tanpa disadari mencetak para remaja tersebut untuk melakukan perbuatan
yang dapat digolongkan ke dalam kenakalan remaja.

Peran orang tua yang bertanggung jawab terhadap keselamatan para remaja tentunya
tidak membiarkan anaknya terlena dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menenggelamkan
si anak remaja kedalam kenakalan remaja, kontrol yang baik dengan selalu memberikan
pendidikan moral dan agama yang baik diharapkan akan dapat membimbing si anak
remaja ke jalan yang benar, bagaimana orang tua dapat mendidik anaknya menjadi
remaja yang sholeh sedangkan orang tuanya jarang menjalankan sesuatu yang
mencerminkan kesholehan, ke masjid misalnya. Jadi jangan heran apabila terjadi
kenakalan remaja, karena sang remaja mencontoh pola kenakalan para orang tua

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang guru. Menjadi guru diharapkan tidak hanya
didasari oleh gaji guru yang akan dinaikkan, bukan merupakan pilihan terakhir setelah
tidak dapat berprofesi di bidang yang lain, tidak juga karena peluang. Selayaknya cita-
cita untuk menjadi guru didasari oleh sebuah idealisme yang luhur, untuk menciptakan
para remaja sebagai generasi penerus yang berkualitas.

Sebaiknya Guru tidak hanya dipandang sebagai profesi saja, tetapi adalah bagian hidup
dan idialisme seorang guru memang harus dijunjung setinggi-tingginya. Idealisme itu
seharusnya tidak tergantikan oleh apapun termasuk uang. Namun guru adalah manusia,
sekuat-kuatnya manusia bertahan dia tetaplah manusia, jika terpaan cobaan itu terlalu
kuat manusia juga dapat melakukan kesalahan.

Akhir akhir ini ada berita di media masa yang sangat meruntuhkan citra sang guru adalah
berita tentang pencabulan Oknum guru terhadap anak didiknya. Kalau pepatah
mengatakan guru kencing bediri murid kencing berlari itu benar, berarti satu orang guru
melakukan itu berapa orang murid yang lebih parah dari itu, hingga akhirnya
menciptakan pola kenakalan remaja yang sangat tidak ingin kita harapkan.

Gejala-gejala ini telah menunjukan kebenarannya. Kita ambil saja kasus siswa remaja
mesum yang dilakukan oleh para remaja belia seperti misalnya kasus-kasus di remaja
mesum di taman sari Pangkalpinang ibukota provinsi Bangka Belitung, lokasi remaja
pacaran di bukit dealova pangkalpinang, dan remaja Ayam kampus yang mulai marak di
tambah lagi foto-foto syur remaja SMP jebus, ini menunjukkan bahwa pepatah itu
menujukkan kebenarannya.

Kerja team yang terdiri dari orang tua (sebagai guru dirumah), Guru di sekolah, dan
Lingkungan (sebagai Guru saat anak-anak, para remaja bermain dan belajar) harus di
bentuk. diawali dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan guru di sekolah,
pertemuan yang intensif antara keduanya akan saling memberikan informasi yang sangat
mendukung bagi pendidikan para remaja. Peran Lingkungan pun harus lebih peduli,
dengan menganggap para remaja yang ada di lingkungannya adalah tanggung jawab
bersama, tentunya lingkungan pun akan dapat memberikan informasi yang benar kepada
orang tua tentang tindak tanduk si remaja tersebut dan kemudian dapat digunakan untuk
mengevaluasi perkembangannya agar tidak terjebak dalam kenakalan remaja.

terlihat betapa peran orang tua sangat memegang peranan penting dalam membentuk pola
perilaku para remaja, setelah semua informasi tentang pertumbuhan anaknya di dapat,
orang tuapun harus pandai mengelola informasi itu dengan benar.

Terlepas dari baik buruknya seorang guru nampaknya filosofi seorang guru dapat
dijadikan pegangan bagi kita semua terutama bagi para orang tua untuk menangkal
kenakalan remaja, mari kita bersama-sama untuk menjadi guru bagi anak-anak dan para
remaja kita para remaja belia, dengan selalu memberi contoh kebenaran dan memberi
dorongan untuk berbuat kebenaran. Sang guru bagi para remaja adalah Orang tua, guru
sekolah dan lingkungan tempat ia di besarkan. Seandainya sang guru dapat memberi
teladan yang baik mudah-mudahan generasi remaja kita akan ada di jalan yang benar dan
selamat dari budaya "kenakalan remaja" yang merusak kehidupan dan masa depan para
remaja, semoga.
SEMUA agama dan budaya mempunyai hari-hari yang diagungkan, menjadi “hari besar”
atau “hari raya”. Dalam agama Islam, hari raya yang canonical atau sah dan resmi
menurut ajaran agama itu sendiri ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan hari-
hari raya Islam yang lain, seperti Tahun Baru Hijriah, Maulid Nabi, Isra’-Mi’raj dan
Nuzulul Qur’an, adalah hari raya “budaya Islam”, bukan hari raya “agama Islam”.
Karena itu, beberapa negara, seperti Arab Saudi dan sekitarnya yang menganut aliran
pemikiran atau mazhab Hanbali dalam tafsiran Muhammad Ibn Abdul Wahhab, selain
Idul Fitri dan Idul Adha tidak ada hari yang dirayakan sebagai bagian dari Keislaman,
walaupun mereka merayakan hari-hari nasional mereka, yang sama sekali “sekular”.

Dari sudut pandang ajaran keagamaan, Idul Fitri dan Idul Adha sesungguhnya sangat
terkait, membentuk suatu garis kelanjutan (kontinuum). Tetapi dalam cara merayakannya
dan tingkat apresiasi kepada kedua hari raya itu, dunia Islam mengenal variasi yang
cukup penting. Di dunia Arab, yaitu kawasan yang meliputi negeri-negeri berbahasa Arab
yang terbentang sejak dari Bahrain di timur sampai Marokko di barat, lebih-lebih di Arab
Saudi dan negara-negara Teluk, Idul Adha selalu jauh lebih agung daripada Idul Fitri.
Sebabnya ialah, Idul Adha berkaitan dengan ibadah haji, yang dalam istilah keagamaan
sering disebut juga “haji besar” (al-hajj al-akbar), sebagai imbangan terhadap ibadah
umrah yang disebut “haji kecil” (al-hajj al-asghar). Dan fenomena perjalanan orang ke
Tanah Suci itu sejak dulu kala merupakan gejala “musim” paling kentara di dunia Arab,
kurang lebih sebanding dengan gejala alam yang menandai datangnya suatu musim di
negeri-negeri beriklim dingin.

Pengaruh pandangan dunia Arab itu ternyata juga dapat dilihat pada budaya Islam di
kalangan orang Jawa, yang menyebut Idul Adha sebagai Riyoyo Besar (Hari Raya Besar)
atau Grebeg Besar, sedangkan Idul Fitri disebut Riyoyo (Hari Raya) saja. Dan perkataan
Riyoyo, dikramakan menjadi Riyadin, dalam benak orang Jawa memang identik dengan
Idul Fitri. Ada juga kalangan orang Jawa yang menyebut Idul Fitri dengan Riyoyo Bodo
(sic., ejaan Jawa yang benar, tentu saja, ialah Riyaya Bada), kadang-kadang Bodo [Bada]
saja, yakni, Hari Raya ba’da - sesudah - puasa Ramadhan. Walaupun begitu,
kenyataannya ialah bahwa Idul Fitri bagi orang Jawa jauh lebih penting daripada Idul
Adha. Sebabnya ialah, pengalaman menjalankan ibadah puasa sedemikian dalam
membekasnya dalam hati orang Jawa, sehingga datangnya tanggal 1 Syawal yang seolah-
olah mendadak merupakan “pesta makan” menjadi sangat kontras dan berbeda tajam
dengan suasana sebulan penuh tanpa makan-minum di siang hari itu. Maka tanggal 1
Syawal pun menjadi amat bermakna, dan Idul Fitri menjelma menjadi Hari Raya par
excellence.

Budaya Islam yang khas Jawa tersebut - yang sedikit-banyak juga menular ke Madura
dan Sunda - dapat ditelusuri asal-usulnya kepada kebijakan budaya keagamaan Sultan
Agung, yang antara lain menggabungkan kalender Saka dengan kalender Hijri. Dengan
penggabungan itu, angka tahun Saka dipertahankan, tetapi penghitungan hari-bulan dan
nama bulan diubah mengikuti kalender Hijri, sehingga yang semula kalender syamsiyah
(berdasarkan gerak matahari, solar) menjadi qamariyah (berdasarkan gerak rembulan,
lunar). Yang amat menarik ialah cara orang Jawa menamakan bulan-bulan kalendernya
yang telah disesuaikan itu. Sekalipun sejajar persis dengan nama-nama bulan kalender
Hijri, namun nama-namanya lain, dan diambil dari ciri khusus bulan bersangkutan dalam
kalender Hijri itu.

Nama Muharram yang menjadi Suro (sic., seharusnya Sura), berasal dari Asyura, artinya
“tanggal sepuluh”, karena pada tanggal 10 Muharram itu terjadi peristiwa amat penting,
yaitu terbunuhnya Husain, cucu Nabi, di Karbala dalam perang sesama kaum Muslim.
Setelah Suro, nama-nama bulan Saka-Hijri ialah, Sapar untuk Safar, Mulud (Mawlid)
untuk Rabi’ al-Awwal (karena dalam bulan ini ada peringatan Maulid, yakni, kelahiran
Nabi), Bakdomulud (Ba’da ‘l-Mawlid) untuk Rabi’ al-Tsani (jadi, “sesudah Maulid”),
Jumadilawal untuk Jumada al-Ula, Jumadilakir untuk Jumada al-Tsaniyah, Rejeb untuk
Rajab, Ruwah (al-Arwah, Arwah) untuk Sya’ban (karena kepercayaan umum bahwa
bulan ini adalah saat yang baik untuk “kirim do’a” bagi arwah leluhur dan keluarga, dan
untuk ziarah kubur, menjelang bulan Puasa), Poso (Puasa) untuk Ramadhan, Sawal untuk
Syawwal, Selo (Sela) untuk Dzu’l-Qa’dah (karena bulan ini merupakan “sela” antara Idul
Fitri dan Idul Adha), dan akhirnya, Besar untuk Dzu ‘l-Hijjah (karena dalam bulan ini ada
Riyoyo Besar).

Begitulah letak Idul Fitri atau Riyoyo dalam konteks budaya Islam lingkungan Jawa.
Bagi orang Jawa, sebenarnya juga bagi sebagian besar orang Indonesia, Hari Raya atau
Riyoyo adalah puncak perjalanan dan perputaran hidup mereka dalam setahun. Boleh
dikata seluruh kegiatan mereka selama setahun adalah untuk Hari Raya, menyiapkan diri
agar dapat merayakannya dengan bahagia bersama keluarga. Sekalipun gejala “mudik”
ada pada setiap bangsa dan budaya seperti orang Amerika pada Thanks giving Day -
tinjauan sekilas di atas dapat membantu memberi penjelasan sebab membludaknya gerak
pulang kampung pada orang Jawa khususnya dan Indonesia umumnya.

Hikmah Hari Raya bagi Bangsa Indonesia

Ada indikasi bahwa orang Jawa (Timur?) mulai banyak menggunakan istilah Idul Fitri
untuk Riyoyo hanya setelah lebih jauh menjadi “orang Indonesia”, melalui pengenalan
bahasa Indonesia yang lebih luas. Ibarat membaca jarum jam, gejala ini menunjukkan
benarnya pendapat peninjau dan pengkaji luar tentang bangsa kita, bahwa bangsa kita
adalah yang paling sukses dari antara bangsa-bangsa baru dalam membina dan
mengembangkan bahasa nasional. Orang Jawa sekarang sedang mengalami
pengindonesiaan yang sangat deras, sedemikian rupa sampai mengancam eksistensi
bahasa mereka. Disebabkan derasnya arus masuk pengaruh bahasa Indonesia, bahasa
Jawa sekarang sedang menghadapi tantangan survival-nya, mengingat sangat sedikitnya
karya-karya baru dalam bahasa Jawa, dan semakin terbatasnya orang Jawa sendiri yang
mampu mengapresiasi karya-karya itu.

Tetapi ibarat “zero sum game“, kita kehilangan sesuatu namun mendapatkan sesuatu, dan
sebaliknya, maka gejala tersebut itu dapat juga dilihat segi positifnya. Berkenaan dengan
Idul Fitri, orang Jawa mungkin akan segera kehilangan pandangan khasnya tentang
Riyoyo, seperti juga tentang segi-segi budaya keagamaan yang lain, dan menjadi lebih
Indonesia. Maka perbendaharaan budayanya tidak lagi terbatas hanya kepada yang
tersedia dalam kekayaan budaya Jawa sendiri, melainkan sudah mengakses budaya-
budaya lain dalam lingkungan Nusantara, bahkan dalam lingkungan dunia.

Sudah tentu semuanya ini tidak terjadi hanya pada saat dewasa ini saja. Jika persoalannya
ialah akses kepada budaya keagamaan Arab di Tanah Suci, gejala pemekaran khazanah
budaya keagamaan Jawa itu sudah tumbuh intensif sejak ditemukannya mesin uap yang
menggerakkan kapal-kapal laut, yang berdampak pelipatgandaan kemudahan pergi ke
Tanah Suci, khususnya untuk naik haji. Timbulnya gerakan-gerakan Islam kontemporer,
seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang kini tampak sekali peranan
nasionalnya, langsung berkaitan dengan kemudahan pergi ke Tanah Suci yang luar biasa
melonjak itu, yang juga berarti akses yang lebih besar dan lebih kaya kepada khazanah
budaya di luar negeri sendiri.
Dalam keseluruhan perkembangan bangsa yang sedang terjadi itu, Idul Fitri dapat
dipandang sebagai paku penguat proses-prosesnya. Melalui jargon-jargon dan logo-logo
yang sama untuk seluruh wilayah bangsa, makna dan hikmah Idul Fitri menjadi mudah
menyebar dan menasional. Sudah sejak para ilmuwan dan budayawan Aceh sejak
berabad-abad yang lalu mengangkat bahasa Melayu dari sekadar sebuah lingua franca
menjadi bahasa ilmu dan budaya, perataan jalan bagi tumbuhnya suatu pola budaya yang
meliputi seluruh Nusantara telah dimulai, untuk diperkuat melalui bahasa Indonesia
modern setelah proklamasi. Dengan fasilitas itu, konsep-konsep dan pengertian-
pengertian keagamaan pun berubah, dan cenderung untuk menjadi semakin homogen,
setidaknya sangat kurang bertentangan satu dengan lainnya.

Kedalam hal itu, dengan sendirinya termasuk konsep-konsep dan pengertian-pengertian


tentang Hari Raya Idul Fitri. Maka orang Jawa, mungkin tanpa banyak kehilangan
kekhususan segi Jawanya, mulai melihat Idul Fitri sebagai gejala nasional, jika bukannya
malah mondial. Karena itu kesediaan orang Jawa tumbuh semakin besar dan kuat untuk
menerima dan mengadopsi budaya Nusantara menjadi budaya sendiri, melalui
penerimaan jargon-jargon dan slogan-slogan sekitar Idul Fitri itu yang menyusup melalui
bahasa Indonesia. Dari sudut pandang yang optimistik, kita dapat berharap bahwa proses-
proses itu akan menjadi sumbangan besar untuk pembangunan bangsa Indonesia secara
keseluruhan.

Tersisa sebuah pertanyaan, seberapa jauh hikmah Idul Fitri yang lebih asasi dapat
ditangkap bersama dan menjadi ramuan pembangunan bangsa. Idul Fitri sebagai hari
besar keagamaan “resmi”, mempunyai kaitan langsung dengan nuktah-nuktah prinsipil
ajaran agama. Semula ialah, agama mengajarkan manusia diciptakan dalam kesucian
asal, yang disebut fitrah, yang membuat manusia itu berkecenderungan alamiah mencari
dan menerima kebenaran dan kebaikan, maka manusia disebut hanif. Tempat
bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia, yang disebut “nurani”
(bersifat terang). Karena fitrah kehanifan dan nuraninya itu, manusia dilahirkan dalam
alam kesucian yang membahagiakan, alam Paradiso.

Tetapi sekalipun punya fitrah yang hanif, manusia adalah makhluk yang lemah.
Kelemahan utamanya ialah ia gampang tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu
perbuatan, sambil melupakan akibat jangka panjangnya yang mungkin merugikan atau
membahayakan. Karena itu manusia selalu terancam untuk tidak dapat menahan diri dari
godaan dosa atau zulm (yang artinya kegelapan, lawan cahaya terang), dan ia menjadi
zalim, pelaku tindakan yang membawa kegelapan pada dirinya. Pada stadium yang parah,
dosa itu membuat seluruh hatinya gelap atau hitam-kelam, dan berubah dari nurani
menjadi zulmani (bersifat gelap). Inilah kebangkrutan rohani, yang menyeret manusia
keluar dari Paradiso menuju Inferno.

Bulan Puasa adalah bulan suci dan pensucian rohani, melalui latihan menahan diri. Bulan
Ramadhan disediakan sebagai Purgatorio. Dengan tujuan menanamkan taqwa atau
kesadaran akan hidup dalam kehadiran Tuhan (Tuhan beserta kita, immanu-El), puasa
membimbing manusia mendapatkan kembali fitrah dan kesucian primordialnya, pulang
ke Paradiso. Itulah saat “kembalinya fitrah” (id al-fitr), yang menjadi nama hari bahagia
di akhir bulan Puasa (Idul Fitri).

Maka dengan Hari Raya ini, manusia diharapkan kembali tampil sebagai manusia suci in
optima forma. Itu berarti, ia harus menyadari bahwa kesucian adalah pembawaan alamiah
dirinya, yang harus dipertahankan dengan tindakan suci. Dan karena kesucian primordial
itu ada pada setiap orang, maka melalui Hari Raya ini manusia disadarkan tentang
kesucian sesamanya. Konsekuensinya ialah, ia harus menghormati sesamanya seperti
menghormati dirinya sendiri, dan ikut berusaha menegakkan pola hidup bersama yang
dijiwai oleh sikap saling percaya dengan baik (husn-u al-zann, prasangka baik).
Sebaliknya, sikap saling tidak percaya atau curiga (su’ al-zann, prasangka buruk) adalah
bertentangan dengan dasar kesucian primordial, sehingga dengan sendirinya juga tidak
manusiawi, menyimpang dari fitrah yang hanif.

Banyak pengamat yang mengatakan, persoalan negara kita sekarang ini adalah akibat
masyarakat kita telah tumbuh menjadi masyarakat dengan tingkat saling percaya yang
rendah (low trust society). Demokrasi yang sehat tidak mungkin tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang demikian itu. Pada saat-saat seperti sekarang ini, kiranya patut
sekali kita merenungkan, menangkap dan mengamalkan hikmah Hari Raya, demi
pembangunan bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Maka kita ucapkan Minal
Aidin Walfaizin, “Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan
berhasil (dalam latihan menahan diri).”*
Melewati Tahun Baru hingga hari raya agama tertentu seakan mengingatkan masa lalu.
Menarik garis lurus ke belakang, saat sekolah tingkat pertama, boleh menjadi satu titik awal kreatifitas
berkarya dilakukan.
Minimnya uang saku yang Cuma 500 rupiah setiap hari, diakali dengan berjalan kaki atopun naik sepeda,
uang 500 tadipun selain bisa disulap jadi makanan ringan, bisa juga menjadi kartu ucapan.

Namun mahalnya kartu ucapan jadi satu pemicu lahirnya kreatifitas akan keinginan mengucapkan selamat
kepada setiap orang yang dikenal.
Maka uang sakupun dikumpulkan dan dibeli satu lembar kertas manila besar yang harganya cuma 4x uang
saku per hari.
Itu artinya dengan uang segitu, kartu ucapan yang minimal 20 biji bisa siap ditangan.

Berbekal corat-coret kecil dan tempel gambar sana sini, jadilah kartu ucapan made in sendiri dan siap kirim
kemanapun tujuannya.

Berkirim kabarpun sedianya jauh-jauh hari sudah ditulis tangan dan disiapkan agar sampai tepat waktu.
Tentu dengan bea perangko yang tinggi dan juga amplop yang menarik. Ditambah satu harapan besar pada
pak pos yang mengantar agar jangan sampe telat.

Pergeseran budaya yang terjadi hingga hari ini, rupanya lebih banyak disebabkan makin majunya teknologi
yang makin hari makin dekat dan nyata didepan mata.

Saling mengucapkan syukur dan selamat saat hari raya maupun event
tertentu, tak lagi disusahkan dengan corat-coret dan persiapan panjang, cukup dengan mengetik pesan
singkat via ponsel, maka dalam waktu lima menitpun rasanya balasan sudah bisa diterima. Hanya saja
ucapan ini begitu mudah pula dihapus dan dilupakan. Sedemikian lewat saja.

Berkirim cerita dengan suratpun bisa digantikan panjang lebar dengan fitur email, yang bisa ditambahkan
dengan gambar maupun suara sekalipun, gak perlu yang namanya kaset tape recorder yang diselipkan
hanya untuk membekali isi surat demi sesuatu yang lebih surprise.

Penyampaian berita pentingpun tak harus menunggu sehari dua lantaran kiriman Telegram tak jua muncul,
tinggal luangkan waktu sejenak dengan harga maksimal 350 rupiah, kabar berita pentingpun bisa sampai
ditujuan dengan selamat.

Namun satu hal yang dapat dirasakan, kini tak ada lagi yang namanya rasa kehangatan ataupun perasaan
menunggu-nunggu kiriman surat dari sang kekasih atau orang yang dicintai, karena dalam waktu sekian
menitpun pasti akan ada jawabannya.

Pergeseran akibat teknologipun sedikit demi sedikit mampu mengikis rasa kehangatan dan kekeluargaan
yang ada dalam kekerabatan sekaligus pula mempermudah komunikasi tanpa jangka waktu yang lama.
Life).

Di jalan kota, budaya masyarakat dicirikan oleh konsumsi. Terutama ketika orang mudah
terhubung dengan beragam produksi ruang, yakni bermacam wilayah sosial dan kultural.
Produksi ruang di sekitar jalan merupakan tanda atas masyarakat pascaindustri di mana pasar
produksi materi dan nonmateri merangsang praktik konsumsi. Ridha al Qadri

Di samping produksi ruang, di sekitar jalan kota jamak dengan media ”tontonan” (spectacle)
seperti iklan, advertensi, pariwara, atau reklame yang membawa persuasi dan kode-kode
kultural.

Dulu, di jalan kota orang mudah menemukan relasi dalam struktur sosial. Sekarang, jalan kota
dimanfaatkan sebagai pasar dan panggung ”tontonan”.

Iklan, warung, toko, dan barang konsumsi menjadi tanda ketika jalan dibentuk sebagai wilayah
untuk dinikmati, bukan manusia yang hendak ditemui. Dengan demikian, praktik kultural
masyarakat di jalan kota sekarang ini lebih dipengaruhi budaya materi dan visual.

Budaya materi

Sekitar tahun 1918, Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kebutuhan masyarakat untuk
pelesir di jalan kota Solo. Dalam novel Student Hidjo itu, mayoritas orang yang menyusuri jalan
kota cenderung berkunjung ke situs budaya.

Dia menggambarkan keramaian masyarakat yang ingin menyaksikan ”bioscoop” dan wayang
orang di Sriwedari. Bahkan menjelang pertemuan pertama Syarekat Islam pun, menonton
wayang orang menjadi salah satu pilihan.

Pilihan Sriwedari itu memberi tafsiran bahwa ruang publik di sekitar jalan kota waktu itu dipahami
sebagai daerah penting untuk menciptakan interaksi sosio-kultural.

Kota Solo zaman itu, begitu pula kota-kota lainnya di negeri ini, tentu saja berbeda dengan
kondisi sekarang. Sekarang, orang menyusuri jalan kota bukan karena mencari sesuatu yang
bersifat kultural. Sekarang orang menyusuri jalan kota karena dorongan yang bersifat konsumtif.
Pada akhirnya, jalan kota sebagai ruang publik bukanlah sebagai tempat berinteraksi sosial lagi
seperti dulu.
Perubahan jalan kota menjadi ruang pasar berbagai komoditas tersebut menciptakan perangkap
dan pendangkalan komunikasi antar warga kota. Kalaupun terjadi interaksi bukan bersifat
personal, tetapi didasarkan pada kepentingan konsumsi.

Budaya visual

Di samping praktik konsumsi yang dikarakterkan budaya materi, di jalan kota, warga juga
didorong untuk ”mengamati” hal-hal yang berciri visual, gambar, image, atau tontonan.

Semua visualitas, seperti yang tampak pada iklan, bangunan, alat transportasi, film, fashion, dan
makanan, berpotensi memproduksi wacana mengenai apa saja dan demi kepentingan siapa saja.

Ciri-ciri bangunan dan tata perkotaan, dan juga gambar-gambar pada iklan, merupakan ruang
representasi yang kerap dilekati kode-kode visual tertentu. Guy Debord menyebut kondisi sosial
ini sebagai ”masyarakat tontonan”, society of the spectacle. Iklan berkonsentrasi pada kesadaran
umum terhadap komoditas konsumsi.

Melalui reklame, masyarakat diarahkan pada realisasi keinginannya, melebihi kebutuhannya.


Misalnya, iklan sebuah sampo rambut dengan model perempuan cantik, yang disertai metafor
dan kiasan khusus, berpotensi memproduksi makna- makna yang beragam dan berbeda-beda
mengenai arti perempuan yang dianggap ideal.

Dengan demikian, segala hal yang berpotensi merepresentasikan segala sesuatu secara visual
merupakan teks-teks retoris yang memengaruhi pikiran.

Tiap tatanan visual bukanlah medium yang membuat pengamat sekadar memperoleh informasi,
tetapi, pengamat lebih dikonstruksi demi mengonsumsi makna, sebelum mengonsumsi
komoditasnya. Proses penikmatan berlangsung ketika sekian teks visual tersebut dikemas
sebagai teks yang polisemis atau multitafsir.

Apa yang dikonsumsi dari teks visual ini adalah makna, bukan materi. Teks visual, atau tontonan,
merupakan budaya konsumsi dari bermacam makna.

Akibatnya, praktik spasial di jalan kota lebih ditentukan oleh apa yang ditekankan Michel de
Certeau tentang arti konsumsi dan mengamati ketika ”berjalan di kota”, bahwa ”hasrat melihat
kota didahului maksud menikmatinya” (1984: 92).
Kenikmatan material dan visual merupakan implikasi dari teks budaya kota yang dominan.
Selanjutnya, tiap menyusuri jalan kota orang mau tidak mau mesti tunduk pada persuasi budaya
materi dan visual. Meskipun praktik spasial itu menggunakan alat transportasi, seperti peringatan
Afrizal Malna dalam bagian puisinya ini: ”dalam mobil, ketika makna tak perlu lagi dicari dalam
puisi…24 jam menyusun tubuhmu dari bau plastik terbakar” (Puisi ”24 Jam Siaran dalam Mobil”).
Budaya Bangsa Indonesia Terancan Akibat Budaya LuarOleh redaksi
Selasa, 24-Juni-2008, 06:30:09 142 klik
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia kian menunjukkan kegagalan
di berbagai aspek. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia tidak lagi memiliki
semangat dan nilai-nilai kejuangan serta kurangnya menghargai budaya bangsa
seperti 100 tahun lalu. Budaya bangsa kita bisa hilang, karena masuknya budaya
luar. Harus ada upaya agar budaya kita dapat dipertahankan
Bangsa Indonesia memiliki enam karakteristik budaya utama yang merusak meliputi
budaya korupsi, kultur kekerasan, kemunafikan, peminta-minta (kurang berusaha),
individualistis, hingga menurunnya kebanggaan atas bangsa sendiri. Untuk itu, perlu
dilakukan pembentukan karakter yang mengedepankan persatuan, penghargaan pada
keberagaman, solidaritas, dan optimistis melalui perbaikan pendidikan dan budaya.
Kekayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari sumber daya alam dan manusia yang begitu
beragam saat ini justru dijadikan alat pemecah bangsa. Bila perbedaan ini dulu dijadikan
semangat untuk bersatu, tetapi sekarang sebaliknya. Semangat dan nilai juang saat dulu
sudah beralih menjadi kepentingan individu.

Kita harus sadar bahwa ada suatu bahaya yang mengancam Indonesia melalui pergeseran
budaya. Pergeseran-pergeseran budaya ini jangan dianggap enteng, sebab akibatnya akan
lebih berat. Budaya bangsa Indonesia saat ini sedang terancam, akibat masuknya budaya
luar yang sulit dibendung.. Harus ada upaya yang tertata rapi agar budaya ketimuran yang
selama ini diikuti oleh bangsa Indonesia tidak hilang.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pembentukan karakter yang mengedepankan persatuan,
penghargaan pada keberagaman, solidaritas, dan optimistis melalui perbaikan pendidikan
dan budaya.
18 July 2009, 09:02 Opini Administrator

PKA, kepanjangannya adalah Pekan Kebudayaan Aceh. Bukan Pekan Kesenian Aceh,
apalagi Pekan Kedai Aceh seperti dimaknai Barlian AW pada opini Hr Serambi, Senin
(13/7) atau Peukateun Aceh yang ditulis Ampuh Devayan di Panteue Hr Serambi,
Minggu (12/7). Karena itu, kegelisahan dua sosok budayawan tersebut (Barlian dan
Ampuh) patut menjadi catatan terpenting dalam konteks manifestasi nilai-nilai
kebudayaan Aceh semacam pagelaran PKA.

Penyelenggaraan PKA tentulah dimaksudkan sebagai upaya melestarikan kekayaan


budaya Aceh dan menjadikannya spirit berperi-kehidupan dalam suatu hubungan
universal masyarakat manusia. Orisinalitas kultur keacehan diakui mengandung sifat
humanisme dan bermuara pada maujud social yang amat dinamis. Itulah akar kekuatan
Aceh sehingga pada ruang dan waktu manapun ia memiliki eksistensi social amat kuat
dalam rasionalitas egalitarian.

Di antara titik kesamaan atas “gugatan” Barlian dan Ampuh terhadap PKA V yakni
terkait penyelenggaraan kegiatan yang dilimpahkan kepada even organizer (EO) - dalam
hal ini PT Dimerta Internusa - yang telah memenangkan tender proyek PKA Pemerintah
Aceh. Keduanya memahami keinginan untuk terciptanya penyelenggaraan even secara
professional demi memudahkan dan tidak merepotkan. Segala hal teknis menjadi beban
tanggungjawab EO dan kita terima beres.

Memang itu cukup menarik dan kita tentu akan bisa menikmati PKA secara nyaman.
Namun karena PKA adalah Pekan Kebudayaan Aceh, bukan Pekan Kesenian Aceh
apalagi Pekan Kedai Aceh ataupun Peukateun Aceh, maka menyerahkan
penyelenggaraan PKA kepada EO merupakan salah satu bentuk rekayasa struktural yang
berdampak pada pergeseran kultural yang menghilangkan semangat kegotongroyongan,
atau menafikan kultur solider tentang saling percaya dalam satu kebersamaan.

Kebijakan pemerintah Aceh melalui system tender, telah menghilangkan tanggungjawab


kolektif orang Aceh. Maka dipastikan, jika kemudian muncul ketidakpuasan di akhir
khanduri budaya PKA, tentu kesalahan akan dilemparkan kepada EO sebagai pihak yang
telah dibayar. Sisi lain itulah telah merefleksikan suatu stile kehidupan social ekonomi
kapitalistik, dan kian mengikis nilai-nilai kebersamaan.

Bermula dari alasan upaya efektivitas dan efesiensi waktu maupun biaya, kemudian
keadaan keseharian kemasyarakatan bergeser pada suasana individualisme bahkan
cenderung egoisme. Kepekaan sosial menjadi sirna selanjutnya membawa pengaruh pada
perubahan kebijakan dan melahirkan sistem yang membuka ruang munculnya
kesenjangan hidup baik sisi sosial, ekonomi, politik bahkan budaya.

Terkait dengan EO, tentu tidak diharamkan. Hanya saja kurang tepat kalau PKA
diserahkan kepada EO, karena ia adalah even kebudayaan. Beda dengan acara kesenian -
sebagai bagian kebudayaan - sepatutnya diserahkan kepada EO agar yang lain dapat
menikmati secara nyaman. Tapi PKA sebagai hajatan kebudayaan seharusnya
menggetarkan nilai-nilai budaya Aceh dalam semua sektor, termasuk implementasi
kebersamaan dalam sebuah kepanitiaan yang dibentuk sendiri melibatkan semua pihak
kemudian mendistribusikan tanggung jawab secara proporsional, sehingga PKA menjadi
milik dan tanggung jawab kita semua.

Inti dari kekuatan budaya Aceh adalah kebersamaan yang egaliter dalam nilai-nilai
ketauhidan yang kuat. Tanggungjawab kolektif atas dasar spirit kejuangan meraih
kehidupan kekal yang bahagia dunia dan akhirat telah mengawal eksistensi keacehan
hingga sekarang. Udep saree matee syahid..! Seharusnya PKA V menjadi momentum
untuk menggetarkan dan menyegarkan kembali budaya kebersamaan pada semua sudut
kehidupan. Apalagi pelaksanaannya di tengah gelombang dahsyat globalisasi yang kian
menghantam sendi-sendi budaya.

Penting sekali dibangun kesadaran bahwa budaya Aceh tidak boleh menjadi inferior di
tengah pertarungan kultural kampung-kampung dunia, tapi harus kian diperkuat sehingga
diakui sebagai produk peradaban bersendikan humanisme universal. Kalaupun
penyelenggaraan PKA V sudah terlanjur dilelang dan PT Dimerta Internusa
memenangkan tender - walaupun tidak professional menurut Ampuh dan Barlian -
sebagai EO yang menyelenggarakan PKA V, haruslah dicermati bahwa EO tak ubahnya
semacam kontraktor yang membangun masjid. Artinya membangun masjid sebagai
proyek pemerintah dan menutup shadaqah umat. Tidak ada tabung amal pembangunan
masjid, karena biaya sudah tersedia dan terukur sesuai dengan perencanaan hingga tuntas
masjid itu dibangun.

Harus diingat bahwa PT Dimerta Internusa sebagai EO, wajib menjaga untuk
menjauhkan diri dari target-target bisnis dalam menyelenggarakan khanduri budaya
Aceh. Keikutsertaan elemen kebudayaan dan stakeholder PKA jauh lebih penting
dibandingkan menjual lapak meukat di arena PKA kepada para pedagang. Apalagi
mencari sponsor, sama artinya dengan membuka tabung amal dalam proyek pemerintah
membangun masjid.

Anda mungkin juga menyukai