Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SISTEM PERIWAYATAN HADIST

Diajukan untuk memenuhi Tugas


Mata Kuliah Studi Hadist Tarbawi

Oleh :
HADERIAH
NIM; 0422 3103 108

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Abustani Ilyas, M. Ag

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS TEKNOLOGI DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AS’ADIYAH
PASCASARJANA SENGKANG
2022
KATA PENGANTAR

‫بسمٱهّٰلٱ ّلَرْه حمنٱ ّلَرحيم‬


ْ
Segalapuji dan syukurpenulispersembahkankehadirat Allah Swt., yang
senantiasa melimpahkan kasih sayang, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada
setiap manusia .Sehingga penulis dapat bmenyelesaikan makalah dengan judul Sistem
Periwayatan Hadist. Sehingga dapat terselesaikan sekalipun dalam pembahasan dan
penguraiannya masih sederhana .Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada
Nabi Muhammad Saw., keluarga serta para sahabat.
Dalam rangka proses penyelesaiannya, banyakkendala dan hambatan yang
ditemukan penulis, tetapi dengan keyakinan dan usaha kerja keras serta kontribusi
berbagai pihak yang iklhlas membantu penulis hingga makala ini dapa tterselesaikan
meskipun masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu diperlukan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari berbagai pihak.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

A. Latar Belakang............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………… 2
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3

A. Pngertian Hadist……………………………………………………………………… 3
B. Ciri-ciri orang yang meriwayatkan / menerima hadits........................................ 3
C. Bentuk Periwayatan Hadits...................................................................................... 5

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 10

A. Simpulan ………………………………………………………………………………10
B. Saran........................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Oleh karenaitu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja
urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak  didukung
oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya  (periwayatan).
Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad SAW. Hal
ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah SWT. itu tidak bisa diteladani
kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda
dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.
Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu
hadis (ulumul hadis). Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut
sabda atau teks (matan) hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama
menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya. Melakukan pengkajian
secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-
macam periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan
menyampaikan hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka
pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan
ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi.
Hadis dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang
disandarkan kepada  Nabi Muhammad SAW. Faktanya hadis tidaklah langsung disampaikan
dari  Nabi langsung kepada periwayat  hadis tersebut, karenamerekahidup di era yang berbeda.
Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan  tahamul
wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya
sampai pada  periwayat

1
   .    B   Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang akan kami bahas yaitu:
      1. Apa pengertian dari periwayatan hadits
. 2. Bagaimana ciri-ciri orang yang meriwayatkan dan menerima hadits?
.     3.  Bagaiman abentuk periwayatan hadits

. C.Tujuan Masalah
Adapun tujuan permasalahan yang akan kami bahas yaitu:
      1. Untuk mengetahui pengertian dari periwayatan hadits.
. 2. Untuk mengetahui ciri-ciri orang yang meriwayatkan dan menerima hadits.
.     3.  Untuk mengetahui bentuk periwayatan hadits

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Periwayatan Hadis


Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui
proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata
kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan)
dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara
umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan
al-riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu
kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima
hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka
dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang
tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan
hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam
periwayatan hadis Nabi, yaitu:
1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan  ar-
rawiy (periwayat).
2. Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
3. Susunan rangkaian periwayat (sanad/isnad)
4. kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5. kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa
‘ada al- Hadis).

3
B.. Ciri-ciri orang yang meriwayatkan hadits / menerima hadits
yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:
1. Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di
kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini
dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi
ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga
mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedu ametode yang menyatu ini
mempersempit peluang tercecernya hadits.
2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca  hadits  (yang boleh
jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami
oleh sebuah peristiwa k etika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi
dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah
memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
3. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru
kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut
sata demi satu.
4. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru member sebuah atau beberapa hadits atau
kitab utukdiriwayatkan. Metodeinimirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru
bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
5. Al-Mukatabah  yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang .misalnya
tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain.
Kelihatannya, metode ini secara implicit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada
yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof,
A’zam idalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.
6. I’lam al-Syaikh  yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-
hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru
dari sifulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatansi murid kepada orang lain.
7. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridny
asebelum pergi atau meninggal.
8. Al-Wijada  yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis
4
oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah
bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada
masa lalu banyak juga  dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang
memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.

C.  Bentuk Periwayatan Hadits


a.    Bil Lafadzi
Dalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me”
dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan
hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis denganm enggunakan lafadz
sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan
sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsun dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan
dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin
Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari
redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa
dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor
empat.
            Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah Saw. Sebuah
do’a sebelum tidur yang di dalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’
menanyakan apakah kata itu bias diganti dengan “birasūlika” beliau menolak, dan tetap
meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”. Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga
otentisitas hadis ini tergambarj elas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadiss
ebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya.
Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam.
Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi Saw yang akan memasukkan
mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada
sahabat tetapi dapatditemui pula daripendapatsegolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama

5
hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka
mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan
makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit
jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada
antara lain:
a. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir,
doa, syahadat. Hadis yang bias dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir
yang diriwayatkan dari Shaddad bin Ausra.Bahwa :
Rasulullah saw.bersabda:

Mّ M‫ أبوء لك بنعمت‬،‫ وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت‬،‫ خلقتني وأنا عبدك‬،‫ ال إله إال أنت‬،‫ اللهم أنت ربي‬:‫سيد االستغفار‬
،‫ك عل ّي‬
‫ أو‬،‫ة‬MM‫ل الجن‬MM‫ات دخ‬MM‫ إذا قال حين يمسي فم‬.‫ أعوذ بك من شر ما صنعت‬،‫ فإنه ال يغفر الذنوب إال أنت‬،‫وأبوء لك بذنبي فاغفر لي‬
.‫ وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله‬،‫كان من أهل الجنة‬
Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan
selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan
ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan kuakui segala
dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bias mengampuni segala dosaku selai
nEngkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada
waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surge atau ia termasuk dari penduduk
surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”
b. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi Saw
memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh
seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra.bahwa Rasulullah
bersabda
‫المسلممنسلمالمسلمونمنلسانهويده‬
.‫والمهاجرمنهجرمانهىاللهعنه‬
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah
dan tangannya.”

6
c.    Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun
Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang
sifat Allah.
      ‫ أين ملوك األرض؟‬،‫ أنا الملك‬:‫ ثم يقول‬M،‫ ويطوي السماء بيمينه‬،‫يقبض هللا األرض يوم القيامة‬

Artinya: “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-
Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan
saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersi keras
mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin,
Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa
periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan
sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi
(faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah
menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan s ecara lafal tidak
mungkin seluruh hadis bias dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan
segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan
cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan
hadis harus dengan lafal itu tidak bias terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang
telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang
berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat maknadari Nabi saw.
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya
dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
            Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan
hadisnya melalui yaitu:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan
subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi”
7
Berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban
yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu
kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan
terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung
oleh Nabi.
5. Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan
melainkan berupa keadaan.
            Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik
melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
            Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a.   Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka
hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.  Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka mariwayatkan maknanya bukan lafalnya,
karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.
            Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain,
asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Al-qur’an, yakni harus dengan lafal
dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.

b.      Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW.
Periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi
SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak
ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama
diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar
hadits “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang
riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan,
8 `
tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang
diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya
sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh
jadi kesimpulannya juga berbeda.
Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu
ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima
hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang
didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.
Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan
tidaknya   meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting,
Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara  tahammul  ialah dengan cara itu dia
menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-
cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan
penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-
kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi
meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan
maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu
Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. Mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus
meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam
kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahu I
makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu . Namun
demikianJumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna
bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang meng etahui
bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia
sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bias merobahkan
makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal
hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya
dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil
ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madk hal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis
9
marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan
seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa
arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para
sahabat dan ulama salaf periode pertama. Sering kali mereka mengemukakan suatu makna dalam
suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka
berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan
lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila siperawi bukan
seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya
meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang
demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’I telah menerangkan tentang sifat-sifat perawiya itu :
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya
lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahamiapa yang diriwayatkan,
mengetahu ihal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang
menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan
makna,  karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-
hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia
memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara
yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan
maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia
meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis
itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang
merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis
dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang
tidak merusakkannya, maka njumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan
makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu.Dengan demikian
sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam
meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan
makna
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN :
1.    Sebuah periwayatan hadits merupakan bagian proses kodifikasi hadits yang sangat urgen,
penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits tersebut yang
memang benar-benar bias diterima dan tidak ada kontradiksi secara subtansinya dengan al-
Qur’an. Sebagimana kita ketahui hadits adalah sebuah perkataanb seorang manusia, Nabi,
yang tentunya secara gramtika bias ditiru oleh manusia lain.sedangkan al-Qur’an adalah
perkataan Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra atau
tingkat kesulitan olah letak akhir bunyi dan sisi hakikatnya.
2.    Untuk itu perlu ada beberapa criteria bagi orang yang akan menerima riwayat maupun yang
akan meriwayatkannya. Kesemuaya ini merupakan usaha untuk menjaga kesucian ajaran islam
dari pencampur adukan dengan ajaran-ajaran dari luar Islam.
3. Sedangkan dalam masalah matanya, redaksinya, yang merupakan ruh dari hadits tu sendiri,
sebisa mungkin redaksi periwayatanya dengn riwayat  bil-lafdzi, dan sebisa mungkin
menghindari riwayat  bil-ma’na  meskipun dalam realitanya ada riwayat dengan cara
tersebut, bil-ma’na. seandainya jika kita tidak bias menghindari periwayatan dengan bil-
ma’na tentulah harus kita berikan komponen-komponen atau variable kehati-hatian agar
tidak merubah makna yang tekandung dalam pesan Nabi.

B. Saran
Di sarankan kepada pembaca,supaya lebih memahami tentang sistem periwayatan hadits,agar
lebih baik mencari referesi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kata
sempurna untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam sistem pembelajaran.Dan penulis
mengharapkan saran dan kritik dari bapak dosen untuk memperbaiki makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. EndangSoetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis, Bandung, Amal BaktiPerss, 1997.


http://icalfarrijilqulub.blog.com/2011/01/11/metodologi-periwayatan-hadis/
http://wwwfitri-blog.blogspot.com/2010/10/teknik-periwayatan-hadis-bentuk bentuk.html
M.Syhudi Ismail, KaedahKesahihan Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.
Drs. H. EndangSoetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal BaktiPerss, 1997)
http://icalfarrijilqulub.blog.com/2011/01/11/metodologi-periwayatan-hadis/
http://wwwfitri-blog.blogspot.com/2010/10/teknik-periwayatan-hadis-bentuk-bentuk.html
M.Syhudi Ismail, KaedahKesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)

Anda mungkin juga menyukai