Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Teori Sosiologi Sastra


Sosiologi merupakan pendekatan ilmiah yang menekankan analisis secara objektif
tentang manusia dalam kehidupan bermasyarakat, lembaga kemasyarakatan, dan
proses-proses sosial. Gabstein (dalam Damono, 1979) menyatakan bahwa karya sastra tidak
mudah dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang
telah menghasilkannya. Mempelajari karya sastra tidak cukup hanya sebatas memahami teks
secara tertulis setapi harus dipelajari secara mendalam dan seluas-luasnya. setiap sastra
adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu
sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Gagasan-gagasan yang ada dalam karya sastra
sama pentingnya dengan bentuk dan teknik tulisannya, bahkan bisa dikatakan gagasan
menentukan hasil dari bentuk dan teknik tulisan karya sastra. Tidak mungkin ada sebuah
karya sastra yang besar diciptakan oleh gagasan sepele dan dangkal. Istilah sosiologi sastra
dalam ilmu sastra sebenarnya dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah
sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosial, status
sosial dan ideologi, kondisi ekon dan profesinya. Mereka memandang bahwa karya sastra
secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams
dalam Taum, 1997:47). Teori sosiologi sastra sesungguhnya merupakan suatu bidang
ilmu yang tergolong masih cukup muda, berkaitan dengan kemantapan dan
kemampanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang reletif
masih labil (Damono, 1979). berkaitan dengan hal tersebut perlu pertimbangan yang matang
mengenai definisi sosiologi sastra dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara
karya sastra dengan masyarakat.
B. Sejarah Perkembangan Sosiologi Sastra
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seseorang
pengarang dan pengarang adalah makhluk-makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam
kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, karya sastra juga dibentuk oleh
masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari
kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam
derajat tertentu dengan masyarakatnya dan sosiologi sastra berupaya menautkan hubungan
antara sastra dan masyarakat sosial dari berbagai dimensi, seperti kelas sosial, status sosial,
ekonomi, dan sebagainya (Soemanto, 1993). Lahirnya sebuah teori sosiologi sastra ini
sebenarnya tidak terlepas dari munculnya tokoh-tokoh sastra yang menanamkan
konsep awal tentang hubungan sastra dan masyarakat. Tokoh-tokoh penting yang telah
melahirkan teori sosiologi sastra di antaranya adalah Plato, Aristoteles, Johan
Gottfried von Herder, Madame de Stael, dan Hippolyte Taine.
Plato dan Aristoteles sebenarnya tokoh yang mempelopori konsep dasar sosiologi sastra
dengan mempopulerkan istilah 'mimesis' yang menyinggung hubungan antara sastra
dan masyarakat sebagai cermin. Luxemburg (1987) tegas menyatakan bahwa Istilah
'mimesis' yang dikembangkan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322) memiliki
peranan yang sangat penting dalam perkembangan teori-teori sastra dan seni di Eropa. Dalam
bukunya yang berjudul "len dan Republik", Plato menyinggung masalah hubungan antara
sastra dan masyarakat menyinggung masalah hubungan antara sastra dan masyarakat.
Menurut Plato, segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya merupakan tiruan dari kenyataan
yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan/imajinasi, terdapat suatu manusia dan
semua yang ada di dunia ini adalah tiruan manusia y berada di dunia imajinasi tersebut. Plato
menyebut ada tiga jenis seniman, yaitu pengguna, pembuat, dan peniru. Pengguna memberi
petunjuk kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu yang kemudian bisa ditiru oleh
peniru. Sastra, khususnya puisi memegang peranan penting dalam pendidikan karakter anak
Cerita-cerita yang tersebar di masyarakat harus disensor terlebih dahulu sebelum disampaikan
kepada anak-anak karena mungkin bisa menyesatkan. Puisi tidak cocok bagi masyarakat yang
berpikir sehat, karena menurut Plato, setiap warga republik harus lebih banyak menggunakan
pikiran dan bukan menggunakan perasaan.
Plato (428-348) mempunyai pandangan bahwa setiap benda yang berwujud
mencerminkan suatu ide asli. Setiap orang akan terinspirasi untuk menciptakan hal-hal
yang sama atau sesuatu yang lebih baik atau bagus dari benda-benda yang berwujud di
sekitar mereka. Plato mengilustrasikannya dengan seorang tukang jika ia akan
membuat kursi, maka ia hanya perlu menjiplak/meniru kursi yang terdapat dalam
dunia senyatanya. Jiplakan atau tiruan itu selalu tidak sama percis seperti aslinya, hal itu
disebabkan oleh kenyataan yang diamati selalu kalah dari dunia ide. Seni itu pada umumnya
hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan yang juga hanya tiruan dari
kenyataan yang sebenarnya sehingga tetap jauh dari kebenaran.
Aristoteles (384-322) menyempurnakan pandangan yang dikemukakan oleh Plato
tentang istilah 'mimesis' dengan menyatakan bahwa seni menggambarkan kenyataan,
tetapi 'mimesis' tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan
sesuatu yang baru karena semua itu bergantung pada sikap kreatif orang dalam
memandang kenyataan. karya seni sastra bukanlah meniru hasil tiruan atau meniru
kenyataan, melainkan suatu ungkapan atau perwujudan mengenai ke-universalan tentang
kehidupan manusia atau sekitar manusia (alam). Dalam menciptakan seni sastra, seorang
penyair atau pengarang akan memilih beberapa unsur lalu menyusun dan menciptakan suatu
gambaran yang dapat dipahami oleh pembaca karena menampilkan kodrat manusia dan
kebenaran universal yang berlaku paada segala zaman.
menurut plato, segala sesuatu yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari
kenyataan yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan atau imajinasi, terdapat suatu
manusia dan semua yang ada di dunia ini adalah tiruan manusia yang berada di dunia
imajinasi. plato menyebut ada tiga jenis seniman, yaitu pengguna,pembuat, dan peniru.
Pengguna memberi petunjuk kepada pembuat tentang cara pembuatan sesuatu yang kemudian
bisa ditiru oleh peniru.
Plato (428-348) mempunyai pandangan bahwa setiap benda yang berwujud mencerminkan
suatu ide asli. Setiap orang akan terinspirasi untuk menciptakan hal-hal yang sama atau
sesuatu yang lebih baik atau bagus dari benda-benda yang berwujud di sekitar mereka. Plato
mengilustrasikannya dengan seorang tukang jika ia akan membuat kursi, maka ia hanya perlu
menjiplak/meniru kursi yang terdapat dalam dunia senyatanya. Jiplakan atau tiruan itu selalu
tidak sama percis seperti aslinya, hal itu disebabkan oleh kenyataan yang diamati selalu kalah
dari dunia ide. Seni itu pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang
kenyataan yang juga hanya tiruan dari kenyataan yang sebenarnya sehingga tetap jauh dari
kebenaran.
Aristoteles (384-322) menyempurnakan pandangan yang dikemukakan oleh Plato tentang
istilah 'mimesis' dengan menyatakan bahwa seni menggambarkan kenyataan, tetap 'mimesis'
tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru
karena semua itu bergantung pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi
karya seni sastra bukanlah meniru hasil tiruan atau meniru kenyataan, melainkan suatu
ungkapan atau perwujudan mengenal Leuniversalan tentang kehidupan manusia atau sekitar
manusia (alam). Dalam menciptakan seni sastra, seorang penyair a pengarang akan memilih
beberapa unsur lalu menyusun das menciptakan suatu gambaran yang dapat dipahami oleh
karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran yang berlaku pada segala zaman.
Setelah Plato dan Aristoteles, muncullah tokoh yang bernama Johan Gestfred von
Harder, ia menolak pandangan yang menyatakan keindahan hanya ditimbulkan oleh
suatu penilaian murni yang tampak pamrih. Harder beranggapan bahwa setiap karya
sastra berakar dari lingkungan sosial dan geografi tertentu. Harder menggunakan
sejarah sebagai acuan untuk menganalisis sastra dan menggunakan sastra sebagai alat
untuk memahami sejarah. Hampir serupa dengan pandangan Harder, tokoh yang bernama
Madame de Stael menyatakan bahwa sastra sesungguhnya dapat pengaruh dari agama,
adat istiadat, dan hukum dalam pengertian sastra sebagai tulisan yang melibatkan
penggunaan pikiran kecuali ilmu fisika. Stael memisahkan antara Sastra Utara dan
Sastra Selatan untuk wilayah Eropa. Sastra Utara bersifat murung atau bersuasana
melankolis karena masyarakat yang mendiami Eropa Utara lebih suka murung atau
merenung. Sastra Selatan bersuasana lebih cerah karena Eropa Selatan merupakan daerah
sejuk, penuh hutan lebat dan air sungai yang jernih. Iklim bukan satu-satunya yang
mempengaruhi sifat sastra. Kepribadian bangsa juga sangat mempengaruhi perkembangan
sastra di suatu daerah karena sifat-sifat bangsa yang dipengaruhi oleh berbagai lembaga sosial
seperti agama, hukum, dan politik.

Konsep atau pandangan mimesis hidup kembali setelah sekian lama tenggelam pada zaman
humanisme renaissance dan nasionalisme romantik. Humanisme Renaissance berupaya
menghilangkan perdebatan prinsipal antara sastra modern de sara lama dengan menggariskan
paham bahwa masing-masing karya sastra merupakan ciptaan unik yang memiliki visualisa
historis dalam zamannya (Levin dalam Taum, 1997: 45). lebih lanjut Levin (dalam Taum,
1997: 49) menegaskan bahwa dasar visualisasi historis ini telah dikembangkan pula dalam
zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali
tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. kedua pandangan
tersebut kemudian diwariskan pada zaman berikutnya yakni pada zaman positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting yaitu
Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan dan kritikus naturalis Prancis
yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern (Taum, 1997:49).
Seorang Taine mempunyai terobosan yang sangat penting dengan merumuskan
pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-
metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam atau ilmu pasti. Seorang Taine
menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijabarkan dan dijelaskan menurut
tiga faktor, yaitu ras, momen, dan lingkungan (Taum, 1997: 49). Ras yang dimaksud
adalah segala sesuatu yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. momen adalah situasi
sosial politik yang terjadi dalam suatu periode tertentu. Sedangkan, lingkungan meliputi
alam, iklim, dan sosial masyarakat tertentu. Bila seorang pembaca mengetahui fakta tentang
ras, lingkungan, dan momen, maka pembaca/penikmat sastra tersebut dapat memahami
dengan baik iklim suatu kebudayaan yang mampu melahirkan seorang pengarang beserta
karya-karyanya. Lingkungan, ras, dan momen inilah yang menjadi faktor-faktor penentu
terbentuknnya struktur mental pengarang yang selanjutnya dapat diwujudkan menjadi suatu
karya sastra dan seni. konsep inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang
menghubungkan kritik sastra dan ilmu-ilmu sosial.
C. ALIRAN SOSIOLOGI SASTRA
Aliran Frankfurt adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Hokheimer dan
Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan
psikoanalisis Freud dalam mengkritik sosial kapitalis (Hartoko dalam Taum, 1997:52).
Dalam bidang sastra, estetika Marxis aliran Frankfurt mengembangkan apa yang
disebut teori kritik. Teori kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan
yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marxis dan aliran Freud. Seni dan kesusastraan
mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena istilah satu-satunya
wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs
bahwa sastra berbeda dari pemikiran tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan
realitas. Keterpisahan itu menurut Adorno justru memberikan kekuatan kepada seni untuk
mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avan Garde. Seni-
seni populer sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya sehingga tidak
mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang
ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua
aspek mencerminkan esensi yang sama. Adorno menolak teori-teori tradisional tentang
kesatuan dan pentingnya individualitas atau mengenai bahasa yang penuh arti karena hanya
membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa
individualistis dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang
absurd, penokohan yang membosankan dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek
estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam sebua drama. Inilah sebuah
pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe
masyarakat suatu dimensi.
Santosa dan Wahyuningtyas (2011, hlm. 24) menyatakan, karya sastra itu unik karena
merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang dengan kehidupan sosial yang
kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai
cermin kehidupan sosial masyarakatnya karena masalah yang dilukiskan dalam karya sastra
merupakan masalah-masalah yang ada di lingkungan kehidupan pengarangnya sebagai
anggota masyarakat. Di sinilah keduanya bertemu kembali dan menyiratkan bahwa harus
terjadi interaksi interdisiplin dalam mengkaji suatu karya sastra. Pembagian sosiologi
sastra:
1.Sosiologi Pengarang
Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi sastra.
Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial,
status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan
pengarang di luar karya sastra. Dapat dikatakan bahwa sosiologi pengarang adalah
kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian pada pengarang sebagai pencipta
karya sastra (Wiyatmi, 2013, hlm. 29).
Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra dianggap merupakan
makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh status sosialnya dalam masyarakat, ideologi
yang dianutnya, posisinya dalam masyarakat, juga hubungannya dengan pembaca. Dalam
penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan, karena realitas yang
digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya (Caute dalam Junus,
1986, hlm. 8). Meskipun begitu, realitas yang digambarkan dalam karya sastra sering kali
bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas seperti yang diidealkan pengarang. Tidak heran
jika beberapa karya sastra mencampuradukkan realitas dan imajinasi pengarang di dalamnya.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra melalui sosiologi pengarang
membutuhkan data dan interpretasi sejumlah hal yang berhubungan dengan pengarang.
2.Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra dalam
hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat (Wiyatmi,
2013, hlm. 45). Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang
menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain
yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek
dan Warren, 1994 dalam Wiyatmi, 2013, hlm. 45).
3.Sosiologi Pembaca
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca
(Wiyatmi, 2013, hlm. 60).
permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, sejauh mana karya sastra
ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial
(Wellek dan Warren, 1994 dalam Wiyatmi, 2013, hlm. 60).
D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA
KELEBIHAN
Melalui penelitian sosiologi sastra, para peneliti akan memperoleh manfaat penting,
yaitu:
(1) Memahami riak gelombang sosial yang diobsesikan oleh sastrawan.
(2) Memahami pengaruh timbal balik antara sastra dan masyarakat.
(3) Memahami sejauhmana resepsi masyarakat terhadap karya sastra. Dari penelitian
tersebut, setidaknya akan terdeteksi karya-karya sastra mana yang memiliki pengaruh
besar terhadap perkembangan sosial.
KEKURANGAN

E.PENGAPLIKASIAN

Santosa dan Wahyuningtyas (2011, hlm. 24) menyatakan, karya sastra


itu unik karena merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang
dengan kehidupan sosial yang kompleks. Oleh sebab itu, sering
dikatakan bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai cermin
kehidupan sosial masyarakatnya karena masalah yang dilukiskan
dalam karya sastra merupakan masalah-masalah yang ada di
lingkungan kehidupan pengarangnya sebagai anggota masyarakat. Di
sinilah keduanya bertemu kembali dan menyiratkan bahwa harus terjadi
interaksi interdisiplin dalam mengkaji suatu karya sastra.

Terdapat tiga pendekatan yang umumnya dilakukan, yakni sosiologi


pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut
dikemukakan oleh Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature
(1994, hlm. 109-133). Berikut adalah penjelasan dari ketiga pendekatan
sosiologi sastra yang dapat digunakan untuk mengkaji sastra.

Sosiologi Pengarang

Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra


dianggap merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh
status sosialnya dalam masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya
dalam masyarakat, juga hubungannya dengan pembaca. Dalam
penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan, karena
realitas yang digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran
penulisnya (Caute dalam Junus, 1986, hlm. 8).

Meskipun begitu, realitas yang digambarkan dalam karya sastra sering kali
bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas seperti yang diidealkan
pengarang. Tidak heran jika beberapa karya sastra mencampuradukkan
realitas dan imajinasi pengarang di dalamnya. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap karya sastra melalui sosiologi pengarang membutuhkan data dan
interpretasi sejumlah hal yang berhubungan dengan pengarang.

Dari berbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang


lingkup atau yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain
adalah meliputi:

1. status sosial pengarang,


2. ideologi sosial pengarang,
3. latar belakang sosial budaya pengarang,
4. posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
5. masyarakat pembaca yang dituju,
6. mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra),
7. profesionalisme dalam kepengarangan.

Semua hal yang berkaitan dengan pengarang tersebut akan berpengaruh


langsung pada karya sastra yang dibuatnya. Misalnya, status sosial
pengarang yang tinggi akan memberikan berbagai perspektif yang berbeda
dengan penulis yang berada di status sosial rendah. Kacamata keduanya
akan berbeda jauh bak orang yang melihat dari atas ke bawah, dan orang
yang melihat dari bawah ke atas. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian
terhadap latar belakang pengarang untuk mengkaji lebih jauh mengenai
karya sastra yang ditelurkannya.

Sosiologi Karya Sastra

Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang
berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994 dalam Wiyatmi,
2013, hlm. 45). Sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin
masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap
mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat
dalam masyarakat.

Beberapa wilayah atau yang menjadi kajian utama dalam sosiologi


karya sastra meliputi:

1. isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam
karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial;
2. mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat atau bias realita dari
kenyataan; dan
3. mengkaji sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat
kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada masa tertentu
(Junus, 1986).

Sosiologi Pembaca

Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra


yang memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra
dengan pembaca (Wiyatmi, 2013, hlm. 60). Hal-hal yang menjadi
wilayah kajian sosiologi pembaca antara lain adalah:

1. permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra,


2. sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar
sosial,
3. perubahan dan perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994
dalam Wiyatmi, 2013, hlm. 60).

4. Sosiologi pembaca juga mengkaji fungsi sosial sastra, mengkaji


sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.

Pembaca

Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam


menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan
masyarakat pembaca atau publiknya, menurut Wellek dan Warren
(1994), seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya
atau pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya.
Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal tersebut,
misalnya penyair Coleridge. Sastrawan baru, harus menciptakan cita
rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya. Perlu dilakukan kajian
secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca yang secara nyata
(riel) membaca karya-karya pengarang tertentu.

Perlu dilakukan kajian secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca


yang secara nyata (riel) membaca karya-karya pengarang tertentu.

Anda mungkin juga menyukai