Anda di halaman 1dari 3

TUGAS KELOMPOK 3

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Di susun oleh :

Disusun oleh :
Syarif Hidayat - 200501072205
Irna Dwi Putri - 210501010071
Adi Sumarna - 210501010064
Bilqis – 200501072023
David – 200501010015
EPPY Manu - 210501010099

PROGRAM STUDI PJJ KOMUNIKASI


UNIVERSITAS SIBER ASIA
JAKARTA
2022
Ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1) diatas telah menghilangkan hak memilih warga
negara yang telah berusia 17 tahun dan atau sudah kawin. Padahal hak memilih adalah hak yang
dijamin konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan,
peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari
warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1) dan (3) UUD
1945. Jelas menghasilkan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilihan secara lansung
sebagai sebuah persengketaan yang memerlukan kepastian hukum. Sehingga payung hukum yang
menjamin semua persengketaan didalam pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden yang
dilaksanakan secara lansung bisa diselesaikan dengan sebaik dan seadil mungkin menjadi kebutuhan
yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan hilangnya hak memilih sebagian besar warga Negara, secara
tidak lansung Negara telah melanggar hak-hak asasi manusia yang pada saat ini sedang gencar-
gencarnya didengungkan oleh sebagian besar Negara-negara di dunia berupa hak untuk dipilih dan
hak untuk memilih.
Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya memberikan hak tersebut pada warga negara yang sudah
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau Daftar Pemilih Tambahan. Sehingga warga negara yang
telah memenuhi syarat untuk memilih, akan tetapi masih belum terdaftar dalam DPT telah dirugikan
atas keberlakuan pasal dalam undang-undang tersebut. Sehingga dipastikan apabila tidak diajukannya
judicial review atas pasal tersebut, maka tidak bisa menggunakan haknya dalam Pemilihan Umum
Presiden.
Terkait dengan persoalan itu, Mahkamah Konstitusi menilai perlunya suatu solusi untuk
melengkapi Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga penggunaan hak pilih warga tidak terhalangi. Bagi
Mahkamah Konstitusi, pemutakhiran data oleh KPU bukan solusi yang tepat mengingat waktu yang
tersisa sangat terbatas. Karena itu, penggunaan KTP atau paspor bagi pemilih yang terdapat di luar
negeri merupakan alternatif paling aman untuk melindungi hak warga.
Soal penggunaan KTP ini, hakim konstitusi Arsyad Sanusi mengatakan, KPU dapat langsung
melaksanakannya dengan berdasar putusan Mahkamah Konstitusi. Penggunaan KTP tidak
memerlukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk melaksanakannya karena
putusan MK bersifat langsung dapat dilaksanakan.
Mahkamah Konstitusi ternyata menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 UU 42 Tahun 2008 tersebut
tidaklah inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi justru malah mengukuhkan keberadaan Pasal 28 dan
Pasal 111 UU 42 Tahun 2008 dengan menyatakan bahwa kedua Pasal tersebut adalah Konstitusional.
Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan lima syarat konstitusionalitas Pasal 28 dan Pasal 111
UU 42 Tahun 2008 tersebut. Artinya, dengan menetapkan lima syarat konstitusionalitas Pasal 28 dan
Pasal 111 UU 42 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi menempatkan diri sebagai lembaga penafsir
Undang-undang dan mempunyai kewenangan untuk membuat norma perundang-undangan.
Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, maka seluruh aspek penyelenggaraan pemilihan umum harus
dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Tidak adanya jaminan terhadap hak warga negara
dalam memilih pemimpin negaranya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi. Terlebih lagi,
UUD 1945 Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hak pilih juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C (1)
UUD 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi
setiap warga negara Indonesia untuk dapat melaksanakan hak pilihnya. Ketentuan tersebut
menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur mengenai
pemilihan umum sudah seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara
untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
UUD 1945 telah menjamin perlindungan hak pilih warga negara Indonesia dalam pemilihan
umum. Namun, masih terdapat kendala dalam pelaksanaan hak pilih tersebut, salah satu masalah
utama yang muncul berkaitan dengan hak pilih warga negara dalam pemilihan umum adalah daftar
pemilih yang tidak akurat. 
Sebagai negara hukum Indonesia, menjadikan hukum sebagai panglima dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum seyogyanya harus melindungi hak-hak warga negaranya.
Dengan adanya permohonan judicial review terhadap ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No. 42
Tahun 2008 terhadap UUD 1945 memperlihatkan bahwa hukum belum maksimal dalam melindungi
hak-hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, untuk ke depannya diperlukan peraturan-
peraturan hukum yang betul-betul komprehensif dan lebih berpihak kepada masyarakat, sehingga
tidak terjadi benturan-benturan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya. Dengan
adanya proses peradilan yang cepat serta menghasilkan suatu putusan yang dapat mengangkat nilai-
nilai keadilan menjadi sebuah contoh bagi lembaga-lembaga peradilan lainnya. Sehingga, diperlukan
terobosan-terobosan baru di dalam peradilan agar dapat memberikan rasa keadilan dan kepastian
hukum bagi permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai