Anda di halaman 1dari 23

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG

BERAKIBAT PADA KEMATIAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosioantropologi Pendidikan

Oleh:

AISYA NABILA
NIM: 2206104030007

Dosen pengampu:

Dr. Drs. Bahrun, M.Pd. (195908241987021001)

KELAS PSIKOLOGI UMUM 03


PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah sederhana ini telah kami
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
meluangkan waktu untuk berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.Akhir kata kami berharap
semoga makalah tentang Hukum Islam ini dapat memberikan manfaat
terhadap pembaca.

Minggu, 26 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENGANTAR.............................................................................................1

A. Pendahuluan..............................................................................................1

B. Teori KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).....................................2

BAB II KASUS.......................................................................................................5

A. Bentuk Tindakan KDRT...........................................................................5

B. Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban Kekerasan.............................5

C. Munculnya Kekerasan Domestik..............................................................6

D. Fenomena Gunung Es...............................................................................8

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................12

A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga Yang Berakibat Kematian.....................................................................12

BAB IV SOLUSI..................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20

ii
BAB I
PENGANTAR

A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara hukum, dasar pijakan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum sekarang ini tertuang dengan jelas pada Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Perubahan Ketiga
yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga dalam
menjalankan semua aturan harus sejalan dengan dasar hukum yang adil,
makmur dan sejahtera harus ditopang dengan sumber daya manusia yang
berkwalitas dan juga harus didukung oleh kondisi keluarga yang sehat dan
dinamis.
Kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja setiap warga negaranya
memiliki hak asasi manusia yang sama, maka dari itu setiap orang harus
mampu mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat demi
kelangsungan hidupnya karena manusia akan bisa hidup sebagai makhluk
sosial dan sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia hidup berkelompok.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-
masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap
anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari
dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota
keluarga sehingga terwujudlah kebahagian dalam keluarga, penyelesaian
konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak
mengendepankan kepentingan pribadi dan mencari akar permasalahan dan
membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui
komunikasi yang baik atau dengan kata lain, apabila konflik diselesaikan
secara tidak sehat maka konflik akan semakin terjadi dalam keluarga. Di sisi
lain ada keluarga yang merasa frustasi dan kurang bijak dalam mengambil
keputusan sehingga masalah tersebut menjadi hal yang sangat besar yang
kemudian berujung pada tindak kekerasan dalam rumah tangga yang
dilakukan pada anggota keluarga tersebut.

1
Rumah tangga adalah kelompok terkecil dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berperan dan berpengaruh
sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian
pada setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan organisasi tersendiri dan
perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yanmemimpin keluarga
lainnya, Anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak adalah satu kesatuan
yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan yang baik ini ditandai
dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota
atau individu yang ada dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis
apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia dan harmonis yang ditandai
dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap
keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) oleh seluruh keluarga.
Ketengangan maupun konflik antara suami dan istri atau orang tua
dengan anak merupakan hal yang wajar atau lumrah dalam sebuah keluarga
atau rumah tangga, tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik yang
mulai awal perkawinan sampai meninggalkan dunia ini baik dan bahagia terus
namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti
secara berlebihan, karena hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang
berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan konflik atau
ketegangan tersebut.

B. Teori KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)


KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender
yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan
relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh
korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah
terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu. Kekerasan
ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang
bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap
perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.

2
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang
terbuka (overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang
(offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan
kepada orang lain. UU no. 23 tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan gambaran gagalnya
sebuah keluarga dalam membangun rumah tangga yang harmonis, kekerasan
yang dilakukan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan yang dalam
hukum atau undang-undang dilarang.
Menurut Mufidah, Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan
oleh seseorang atau sejumlah orang kepada seseorang atau sejumlah orang,
yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non fisik dengan
sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, memberikan penjelasan
apa yang dimaksudkan tindak kekerasan dalam rumah tangga, yakni setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Berdasarkan defenisi tersebut di atas terlihat untuk siapa undang-undang
ini diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja,
tetapi untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi dalam
kenyataannya bukan hanya perempuan, baik yang dewasa maupun anak-anak,
melainkan juga laki-laki baik dewasa maupun anak-anak.

3
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari berbagai
macam bentuk tindak pidana kekerasan yang banyak terjadi.Kekerasan dalam
rumah tangga adalah sebuah fenomena yang hingga saat ini merupakan
kekejaman yang amat sulit untuk dipantau. Mengapa demikian, hal ini
disebabkan karena masih adanya pandangan yang keliru dari sebagian
masyarakat bahwa masalah kekerasan dalam rumah-rumah tangga (KDRT)
adalah masalah interen keluarga dan sangat pribadi sifatnya sehingga orang
luar tidak berhak untuk mencampurinya.

4
BAB II
KASUS
A. Bentuk Tindakan KDRT
Kasus KDRT memiliki banyak bentuk. Biasanya kekerasan dalam rumah
tangga secara mendasar, meliputi:
a) Kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian
b) Kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang
mengakibatkan ketakutan, kehilanagan rasa percaya diri,hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan
c) Kekerasan seksual, yaitu stiap perbuatan yang mencakup pelecehan
seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan
seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki;
dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar
atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari
kebutuhan seksualnya
d) Kekerasan ekonomi, yaitu perbuatan yang membatasi orang  (perempuan)
untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan
atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau
menelantarkan anggota keluarga.

B. Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban Kekerasan


Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan
nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarka, dimana laki-laki
secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Menurut
Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan
arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan
secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya control atas
diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi.
Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui
hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak
yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh system
social tadi yang kemudian melahirkan identitas jender yang membedakan laki-
laki dan perempuan.

5
Secara sosio-kultural, hubungan laki-laki – perempuan (relasi jender) di
Indonesia secara kompleks terbangun melalui beberapa alasan, antara lain:
1. laki-laki secara fisik lebih kuat dari pada perempuan dan ada
kemungkinan tingkat agresivitas yang tinggi memiliki dasar biologis
pula. Dalam masyarakat laki-laki juga dibiasakan untuk melatih
menggunakan fisiknya sekaligus berkelahi, menggunakan senjata dan
menggunakan intimidasi kekuatan sejak masa kanak-kanak.
2. dalam masyarakat ada tradisi panjang mengenai dominasi laki-laki
terhadap perempuan, dan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-
laki. Tradisi tersebut tertampilkan melalui film, pornografi, musik rok,
dan media pada umumnya.
3. realitas ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan
dari orang pada siapa dia bergantung.
4. pada tingkat individual, factor psikologis berinteraksi dengan hal-hal
yang disebutkan di atas, untuk menjelaskan bahwa sebagian laki-laki
melakukan kekerasan dan sebagian perempuan menjadi korban
kekerasan; sementara sebagian laki-laki lain tidak melakukan
kekerasan tersaebut dan sebagian perempuan juga tidak menjadi
sasaran kekerasan.
5. pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan dan
kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam arti perbedaan yang
dipersepsikan sebagai hak dan kemampuan untuk melakukan
pengendalian terhadap satu sama lain.
Maka ketika relasi kuasa tidak seimbang, kekerasan dan ketidakadilan
menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar muncul. Tetapi dalam kasus
tertentu, bisa jadi kenyataan itu terbalik, dan laki-lakilah yang menjadi korban.

C. Munculnya Kekerasan Domestik


Secara biologis, jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda.
Perempuan mempunyai rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan
lain sebagainya. Sifat nature perempuan ini mempunyai hubungan timbal
balik dengan alam, karena sifatnya yang produktif dan kreatif.

6
Perempuan merupakan produsen sistem kehidupan yang baru. Adapun,
laki-laki identik dengan yang mengeksploitasi alam. Kekuatannya diarahkan
untuk menguasai dan menaklukkan alam sesuai dengan keinginan dan
kepentingannya. Hal ini menyebabkan relasi kuasa dan eksploitasi antara laki-
laki dan perempuan yang mengakibatkan subordinasi perempuan. Masyarakat
dan budaya mengkonstruksi perbedaan hubungan antara laki-laki dan
perempuan tersebut untuk membedakan peran dan tugasnya. Berdasarkan
struktur biologisnya, laki-laki diuntungkan dan mendominasi perempuan. 
Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh adanya
perbedaan biologis atau jenis kelamin. Teori nurture melihat perbedaan
tersebut sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan
laki-laki lebih unggul dari perempuan. Kelemahan struktur biologis
perempuan menempatkannya pada posisi yang marginal dalam masyarakat.
Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan fisik, lemah, emosional,
sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan
rumah, mengasuh anak, dan lain-lain. Relasi sosial dilakukan atas dasar
ukuran laki-laki. Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut.
Dengan perbedaan semacam ini, perempuan selalu tertinggal dalam peran dan
kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
nilai sosial yang berbeda.
Konstruksi jender dalam masyarakat itu telah terbangun selama berabad-
abad membentuk sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Teori pembelajaran sosial (Social
Learning Theory) menjelaskan bahwa kita belajar banyak tentang tingkah laku
kita dalam konteks interaksi dengan orang lain. Teori ini beranggapan bahwa
perilaku hubungan seks misalnya, dapat dipelajari tanpa meneliti ketika proses
pembelajaran berlanrgsung, tetapi melalui observasi terhadap orang lain dan
kejadian lain. Misalnya jika kita melihat seseorang dihukum karena
melakukan hubungan seks pra nikah, kita harus menghilangkan kesukaan
pribadi pada hubungan serupa itu. Untuk masalah penyerangan seksual secara
luas, teori ini menggaris bawahi factor-faktor yang betul-betul penting dari

7
pengalaman masa lalu, seperti pengaruh pengasuhan, norma-norma social,
kejadian biologis, dan bagaimana pengalaman seksual terakhir membentuk
cara berpikir dan cara bertindak secara seksual.
Pada umumnya, para peneliti percaya bahwa perempuan yang tak
terlindungi terhadap kekerasan semasa kecilnya mungkin akan melihatnya
sebagai suatu kejadian yang normal, dan karenanya tak pernah memperhatikan
tanda-tanda peringatan dari suami penganiaya. Disisi lain, jika seorang anak
laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal
itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia
lebih mungkin untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri. Ini disebut
sebagai “penularan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission
of violence)”. 
Proses inkulturasi dalam rumah tangga yang dilakukan melalui proses
pengasuhan anak, menjadi cara belajar peran jender yang paling effektif
tentang bagaimana menjadi laki-laki dan bagaimana menjadi perempuan yang
diizinkan oleh masyarakat. Luce Irigaray, seorang feminis postmodernisme
dari Perancis menandaskan bahwa “demokrasi dimulai dari rumah”.
Demokrasi yang menanamkan nilai-nilai hak asasi manusia, kesetaraan dan
kebebasan, menurutnya, ditanamkan pada awalnya dari rumah. Oleh sebab itu,
ia yakin benar bahwa peranan ibu atau perempuan dalam mendidik anaknya di
rumah menjadi sangat menetukan. Terutama pendidikan yang mengajarkan
saling mengasihi, pengembangan aspek emosional, kesensitifan, keperdulian
dan keterhubungan satu sama lain menjadi penting.

D. Fenomena Gunung Es
Rumah, dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman
dan nyaman untuk ditempati. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh
petualangan dan kelelahan. Di rumahlah orang bersikap paling natural, tidak
dibuat-buat, tidak harus jaga image, dan sebagainya. Secara umum masyarakat
beranggapan, bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar rumah. Maka
ketika rumah dituding sebagai tempat berlangsungnya kekerasan, semua orang
memberikan respons yang beragam.

8
Karena KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi
emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus-kasus kriminal dalam konteks
publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestic cenderung
membisu. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT
seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang
yang terlihat.
Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan
hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain:
1. Bahwa tidakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah
terjadi, bahkan dianggap sebagai proses Pendidikan yang dilakukan
suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini
dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin
keluarga, sehingga mempunyai hak mengatur (kalau perlu dengan
kekerasan) terhadap anggota keluarganya.
2. Harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan
mempunyai “siklus kekerasan” yang menipu.  Hal itu dibungkus
sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, tetapi terus
berulang.
3. Ketergantungan ekonomi. Jika perempuan memiliki kemandirian
ekonomi dan mempunyai hak/wibawa dan kekuasaan di luar keluarga,
tingkat kekerasan oleh pasangannya menjadi lebih rendah.
4. Demi anak-anak. Pengetahuan umum yang melihat anak akan menjadi
korban konflik orangtua, seringkali menyebabkan perempuan
mengalah. Sosok ideal perempuan menjelma pada diri seorang ibu
yang berkorban serta membaktikan dirinya pada anak-anak dan suami,
sehingga kebutuhan dan identitas dirinya menjadi hilang dalam
rutinitas rumah tangga yang dijalaninya. Pengorbanan ini tidak hanya
hidup dalam budaya dan masyarakat, melainkan realitas agama. Bunda
Maria digambarkan sebagai sosok ibu yang berkorban untuk anaknya
dan mendapatkan kebahagiaan dalam membahagiakan orang lain. Para
perempuan, menurut Daly, harus mampu mengatakan “tidak” terhadap
moralitas pengorbanan, sehingga kedirian perempuan atau ethic of

9
personhood (etika diri) menjadi muncul dalam menanggapi keinginan
dan kebutuhan personal perempuan.
5. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari
keluarga dan teman. Pandangan masyarakat terhadap perempuan janda
membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan
perkawinannya, dan keluarga sulit memberikan dukungan sebagai
akibat stigma tresebut.
6. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan
anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.
Secara teoritis, para ahli studi perempuan menyebut alasan-alasan di atas
dengan istilah Sindrom Tawanan (Hostage Syndrome)  yaitu gambaran bagi
perempuan yang terjerat secara fisik maupun psikologis oleh norma budaya
dan masyarakat. Keterjeratan ini bisa terjadi dalam keluarga, seperti
perempuan harus mengasuh anak dan suami, serta menganggap lumrah
perlakuan kasar suaminya.
Dalam masyarakat, perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan
jodoh, sehingga kondisi psikologis perempuan mengalami sindrom
ketergantungan dengan sistem nilai laki-laki. Pada awalnya, konsep sindrom
tawanan ini dikembangkan untuk memahami keberhimpitan paradoksal dari
tawanan (perempuan) pada penawannya (suami, masyarakat, dan budaya), dan
kemudian diterapkan dalam upaya memahami situasi perempuan sebagai
korban. Efek tawanan itu kemudian dikembangkan, baik oleh orang yang
menawan atau oleh masyarakat pada umumnya.
Sebagai tawanan masyarakat,  perempuan korban sangat sulit untuk
meninggalkan pasangannya, karena lingkungan sosial kemasyarakatan tidak
memberikan dukungan yang cukup untuk melakukannya. Variabel dari
realitas sosial kemasyarakatan itu antara lain norma perkawinan, peran
perempuan dalam perkawinan, pesan yang diterima perempuan sejak masa
kecil, tiadanya dukungan dalam keluarga dan masyarakat, tidak adanya
sumber daya ekonomis yang memungkinkan bisa hidup mandiri, serta
perlindungan hukum yang tidak memadai.

10
Dengan situasi sosial seperti itu, perempuan korban kemudian beralih ke
sumber daya personalnya sendiri. Untuk dapat bertahan, ia merasionalisasi
penganiayaan yang dialaminya sebagai respons alami yang ditampilkan
pasangannya dalam menghadapi tekanan. Jadi, perempuan korban kemudian
mengadopsi norma-norma budaya yang mengabsahkan kekerasan pasangan
(laki-laki). Bahkan perempuan, pada akhirnya menginternalisasi pandangan
bahwa perempuan bertanggungjawab untuk memastikan keberhasilan
perkawinan. Dalam kondisi atau keadaan keterjeratannya, perempuan akan
dengan mudah menginternalisasi, menghayati banyak perasaan negatif, seperti
rasa malu, bimbang, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri, dan
sebagainya. Kondisi keterjebakan seperti ini dan ketidakmampuan mencari
jalan alternatif pemecahan, menyebabkan perempuan sulit keluar dari
kekerasan yang ada.

11
BAB III
PEMBAHASAN

Beradasarkan beberapa kasus di atas, pada bab ini penulis akan memberi
pembahasan mengenai Tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang
berakibat kematian. Pada Bab ini penulis menggunakan struktur pembahasan
secara kepustakaan yakni suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.

A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga Yang Berakibat Kematian
1. Penyebab KDRT Menurut LKBHUWK
LKBHUWK, Sebuah lembaga bantuan hukum untuk perempuan dan
keluarga mengatakan bahwa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal:
a) Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan bila
menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan dan frustasi.
Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam
keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Tidaklah
mengherankan bila kekerasan biasanya bersifat turun-temurun,
sebabanak-anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan
dengan lingkungan dari orang tuanya, Apabila tindak kekerasan
mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak
mereka akan mengalami hal yang sama setelah mereka menikah nanti.
Hal ini disebabkan mereka menganggap kekerasan merupakan hal
yang wajar atau mereka dianggap gagal kalau tidak mengulang pola
kekerasan tersebut. Perasaan kesal dan marah terhadap orang tua yang
selama ini berusaha ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak
kekerasan terhadap istri, suami atau anakanak.

12
b) Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar diri si pelaku kekerasan.
Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat
melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang
menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang
berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak
dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan
sebagainya. Faktor lingkungan lain seperti stereo type bahwa lakilaki
adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan
harus bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini
menyebabkan banyaknya kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan menurut Moerti Hadiati Soereso, uang seringkali dapat
menjadi pemicu timbulnya perselisihan diantara suami dan istri. Gaji
yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap
bulan, sering menimbulkan pertengkaran, apalagi kalau pencari nafkah
yang utama adalah suami. Dapat juga pertengkaran timbul ketika
suami kehilangan pekerjaan (misalnya di PHK). Ditambah lagi adanya
tuntunan biaya hidup yang tinggi, memicu pertengkaran yang
seringkali berakibat terjadinya tindak kekerasan.
2. Penyebab KDRT yang Mengakibatkan Kematian
Kasus kekerasan dalam rumah tanggan dapat terjadi sebab ada beberapa
faktor yang mempengaruhi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
mengakibatkan kematian diantarnya yaitu:
1) Faktof Individu
Pelaku tidak bisa mengontrol kemarahannya pada uraian kasus dapat
kita lihat pelaku tidak bisa mengontrol kemarahannya sehingga pelaku
sering melakukan kekerasan terhadap istrinya selaku korban sebelum
korban meninggal Pelaku mempunyai kebiasan melakukan kekerasan
fisik. Pelaku mempunyai kebiasaan melakukan kekerasan fisik seperti
memukul, menampar, menendang, dan lainnya ini terlihat pada uraian
kasus yaitu pada bulan september 2018 pelaku melakukan kekerasan
rumah tangga terhadap istrinya dan istrinya sempat mengirim foto
luka-luka yang di alami kepada pamannya dan pada bulan januari 2019

13
saksi Leonara Prsika Latuheru sempat bertemu dengan korban yang
adalah istri pelaku dan korban mengatakan bahwa suaminya sering
melakukan penganiyaan terhadap dirinya hingga kekerasan mengunjak
7 maret 2017 korban meninggal dunia.
2) Komunikasi
Kehidupan rumah tangga antara suami istri yang kurang adanya
komunikasi yang baik hingga menimbulkan rasah tidak saling
menghargai tidak saling jujur tidak terbuka tidak adanya sopan santun
sehingga terjadi pertengkaran hingga mengeluarkan kata-kata jajian
seperti lubang puki, dalam puki,anjing,babi dan akhirnya timbul rasah
sakit hati, dendam, dan selanjutnya terjadi kekerasan fisik seperti
menendang korban dengan mengunakan kaki kemudian menginjak-
ginjak kepala korban dengan mengunakan kaki kanan, menjekik leher
korban dengan mengunakan kelima jari tangan dan mendorong tubuh
korban hingga terjatuh, akibatnya dari perbuatan pelaku (Suami)
menyebabkan korban (Istri) nya meninggal dunia.
3) Budaya Patriaki
Budaya patriaki dimana semuah keputusan ada pada suami, suami
berhak melakukan apa saja terhadap istri. Budaya Patriaki memberikan
mempengaruhi bahwa laki-laki lebih kuat dan berkuasa dari pada
perempuan, sehingga istri memiliki keterbatasan dalam menentukan
pilihan atau keinginan dan kejendurungan untuk menuruti keinginan
suami bahkan keinginan yang buruk sekalipun, ini terihat pada uraian
kasus sesampainya pelaku (Suami) dan Korban (Istri) di kamar kos,
ketika korban berbaring ditempat tidur dalam posisi menyamping
menghadap ketembok kamar maka pelaku menghampiri korban dan
menendang korban dengan mengunakan kaki tangan sebanyak lebih
dari (satu) kali mengenai pantat sampai pinggul korban disaat itu
korban hanya menagis sambil berdiri di dekat dinding kamar.
Kemudian ketika korban berbaring dalam keadaan menangis dalam
posisi menyamping tubuh, menyamping terhadap tembok kamar, maka
kembali pelaku menginjak bangian belekang kepala korban dengan

14
mengunakan kaki tangganya sebanyak lebih dari (satu) kali saat itu
posisi korban masih sama yakni tidur menyamping menghadap ke
tembok dan kemudia korban langsung berdiri dengan posisi korban
berada di bangian samping kiri pelaku, kemudian pelaku menampar
(satu) kali dengan mengunakan tangan kanan mengenai pipi korban
sehingga kepala bagian kanan korban mengenai / membentur dinding
kamar dan saat itu pelaku langsung menjekik leher korban dengan
mengunakan lima jari tangan kanan sehingga tubuh korban langsung
tersandar ditembok kamar kemudian jekikan tersebut terdakwa tetapi
korban masih tetap berdiri lalu pelaku menendang korban dengan
mengunakan kaki kanan sebanyak (satu) kali mengenai rusuk kiri
korban dan selanjutnya mendorong tubuh korban dari bagian dada
dengan mengunakan kedua tangan sampai korban terjatuh di atas
kasur.
4) Faktor Ekonomi
Perilaku kejahatan dalam rumah tangga pada umumnya tidak terlepas
dari pengaruh ekonomi atau status sosial ekonomi yang rendah dan
sangat lemah. Faktor materi atau uang merupakan faktor yang kadang
kalah terbukti paling besar peranannya dalam memungkinkan
timbulnya satu kejahatan. Krahe menyatakan bahwa ada beberapa
faktor yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya KDRT, antara
lain:
 Ketidaksetaraan kekuatan/kekuasaan anataran penganiaya dan
korbannya, yang disubstansikan oleh faktor-faktor ekonomis, yang
memungkinkan orang yang lebih dominan untuk memaksakan
kepentingannya sendiri melalui penggunaan agresi dan ia tidak
mendapatkan sanksi atas perbuatannya itu;
 Suatu struktur normatif yang mendukung penggunaan kekerasan
sebagai strategi untuk mengatasi konflik, yang menyebabkan
terjadinya transmisi gaya-gaya respon agresif dari satu generasi ke
generasi selanjutnya;

15
 Keberadaan stressor eksternal, seperti pengangguran dan kondisi
perumahan yang kumuh;
 Pengalaman kekerasan dalam keluarga yang dilakukan orang
dewasa pada masa kanak-kanak
 Ciri-ciri penganiaya, seperti psikopatologi individual atau
keterampilan mengatasi konflik yang tidak memadai; dan
 Pola-pola perilaku jangka pendek maupun jangka panjang dari
orang yang menjadi targetnya, misalnya perilaku anak yang sulit
atau lansia yang dependen
3. Faktor Penyebab Tingginya Angka Kekerasan Terhadap Perempuan dalam
Rmah Tangga
Selain itu juga Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masih
tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, antara
lain sebagai berikut:
1) Adanya budaya patriaki dimasyarakat Budaya patriarki yang terus
langgengmembuat perempuan berada di dalam kelompok yang
tersubordinasi menjadi rentan terhadap kekerasan. Di sini laki-laki
dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan perempuan;
2) Rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan sebagai istri
Faktor rendahnya pendidikan isteri membuat suami merasa selalu
memiliki kedudukan lebih dalam rumah tangga. Para suami
menganggap isteri hanyalah pelaku kegiatan rumah tangga sehari hari.
Selain itu juga ada suami yang malu mempunyai isteri yang
pendidikannya rendah, lalu melakukan perselingkuhan. Ketika
diketahui oleh isterinya, malah isteri mendapat perlakuan kekerasan
dari suami;
3) Diskriminasi dan ketergantungan secara ekonomi Diskriminasi dan
pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan
wanita (isteri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka isteri mengalami tindakan kekerasan.
Adanya ketergantungan si isteri tehadap suami mengakibatkan
terkadang isteri membiarkan saja kekerasan tersebut terjadi (lumping

16
it). Karena sang isteri tidak memilki keterampilan dan pendidikan yang
layak mereka menjaditakut apabila sang suami pergi atau masuk
penjara apabila melaporkan ke pihak berwajib atas terjadinya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga; dan
4) Lemahnya pemahaman dan penanganan dari aparat penegak hukum
Kendala lain adalah bahwa dalam pelaksanaan dan penerapan pasal-
pasal dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Antara lain penafsiran beberapa pasal kekerasan dalam rumah
tangga yang berbeda antara penegak hukum maupun masyarakat
sendiri. Selain itu, masalah pembuktian maupun belum adanya
Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan pemberian
perlindungan maupun penanganan masih menjadi penghambat bagi
korban maupun penegak hukum. \
Dengan demikian Faktor pendorong terjadinya Kekerasan dalam rumah
tangga, dapat disebabkan oleh adanya berbagai fakor tersebut.Artinya dapat
dipengerahui oleh faktor dari luar atau lingkungan, tetapi dapat juga dipicu
karena adanya faktor dari dalam pelaku sendiri.

17
BAB IV
SOLUSI

Beradasarkan pembahasan kasus diatas maka penulis dapat memberikan


solusi bagaimana mencegah “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Yang Mengakibatkan Kematian”, yaitu:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh
pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan
dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena
didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,
saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling
mengahargai setiap pendapat yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah
rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah
pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya
antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa
saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita
untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang
timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang
kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada
dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi
pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga
dapat diatasi dengan baik.
6. Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami
dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika

18
di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan
diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya
kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa
mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat
mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang
suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya
masing-masing.
7. Antara suami istri harus ada yang bisa mengalah ketika terjadi konflik
dalam rumah tangga sehingga dari konflik tersebut tidak menimbulkan
kekerasan dalam rumah tangga.
Selain upaya di atas, upaya lainnya untuk pencegahan dan
penanggulangan KDRT dalam keluarga dapat dilakukan dengan berbagai
tindakan preventif, antara lain : Meningkatkan komunikasi internal secara
ramah dan santun antara suami istri. Menghargai dan menghomati suami
sebagai kepala keluarga. Memenuhi permintaan suami yang bersifat positif.
Mengkomunikasikan kebutuhan ekonomi keluarga secara bersama-sama.
Membuat perencanaan dalam keluarga secara bersama-sama dan selalu
percaya kepada suami.
Akan tetapi jika setelah upaya preventif ini dilakukan, akan tetapi
kekerasan masih tetap terjadi pada pada istri, maka seorang istri pun harus
melakukan beberapa tindakan antara lain seperti : seorang Istri harus mampu
meninggalkan suami dalam jangka waktu beberapa lama sampai suami
menyadari pentingnya kehadiran istri di dalam kehidupan rumah tangga.
Kemudian istri meminta kepada keluarga terdekat untuk memberikan nasihat
dan ataupun sanksi kepada suami dengan membuat pernyataan yang tegas.
Setelah itu, membuat perjanjian dengan suami akan tindakan KDRT yang
dilakukan dan terahir Istri harus berani melaporkan kepada pihak penegak
hukum untuk diproses secara hukum sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku jika KDRT terus dilakukan oleh suaminya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Kalymitra -


Pusat Komunikasi Dan Informasi Perempuan, 1999.
Budiman, Arief,1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan
Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam Masyarakat.  Jakarta:
Gramedia.
Deslina Rajagukguk. 2014. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat Cahaya
Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) dalam Memberikan
Perlindungan pada Korban Kekerasan dalam Berpacaran di Kota
Bengkulu. Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Huwaidah. 2011. Model Bimbingan Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak
dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Poerwandari, Kristi. 2006. Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. Jakarta:
Program Kajian Wanita – PPs-UI.
Soeroso, Moerti Hadiati. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif
Yuridis - Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai