Anda di halaman 1dari 14

1

SURAT PROTES BUAT PDAM


Di Bandung.
Parijs van Java, pada suatu ketika.
Waktu itu pagi-pagi benar, nyaris semua orang di
perumahan yang lokasinya di selatan kota itu heboh.
Ada yang menggerutu, menggumam, kesal, sebal.
Juga ada cetusan sumpah serapah. Berkecamuk. Dari
siswa sekolah, kaum ibu hingga para bapak yang
hendak berangkat kerja. Tak sedikit yang bertanya-
tanya, gerangan apa yang terjadi. Sebelumnya tak
pernah separah ini. Baru kali inilah fatal kasusnya.
Terjadi panik masal.
Apa pasal?
Ini peristiwanya. Semalaman, dari petang hingga
pagi, air PDAM di kompleks itu tak keluar setetes
pun. Bayangkan, disedot dengan pompa cuma angin
yang mendesis. Sessss.... kontan saja penghuninya
kalang kabut terutama yang akan pergi karena tidak
bisa mandi dan tidak pula mencuci. Untuk minum,
air minum kemasan (singkat, amik) dan air minum
isi ulang (air minum kemasan ulang, amiku) menjadi
pilihan. Mahal, tentu saja. Dengan berat hati dibeli
juga. Namun, dalam kemuraman itu ternyata masih

16
ada yang lega lantaran sehari sebelumnya sempat
mengisi bak-bak airnya. Tapi, selang sehari, habislah
air tampungannya itu karena pasokan PDAM tak jua
kunjung tiba.
Pukul enam dua puluh menit.
Pagi-pagi sekali.
Pagi itu juga kasus tadi sudah mengudara lewat
radio. Paling tidak, seingat saya, ada tiga atau empat
stasiun radio yang membahasnya. Pokoknya ramai.
Riuh dan hiruk-pikuk. Sampai-sampai ada penyiar
yang kesal. Sebab, berkali-kali Humas PDAM dite-
lefon tapi tiada tanggapan. Katanya, kalau nadanya
tidak sibuk terus, pasti tak ada yang ngangkat.
Maka bertubi-tubilah keluhan, umpatan, cacian,
makian, hujatan, dan kritikan menyembur dari pene-
lefon lalu lepas ke angkasa lewat pemancar radio,
menyusup ke rumah, warung, toko, pasar, dan kantor
PDAM (jika tune in di gelombang radio itu, tentu
saja). Hingga petang krisis air itu jadi topik bincang-
bincang hangat kalau tak bisa disebut panas. Benar-
benar seru!
Hari kedua air belum juga muncul.
Cucian setumpuk. Lantai berdaki. Badan bau.
Untung ada titik terang. Kata pejabat PDAM,
lewat radio juga, ada perbaikan di ruas pipa dan ini
berdampak pada aliran air ke sejumlah perumahan.
Bagaimanapun, paparnya, ini bagian dari perawatan
jaringan distribusi demi peningkatan mutu layanan
ke depan. Perbaikan seperti ini, lanjutnya, akan terus
ada baik di sistem distribusi, transmisi maupun di
instalasi pengolahnya. Waktu itu juga, PDAM yang
layanannya baru 53% dari total warga Bandung ini,
17
minta maaf bila setelah perbaikan nanti airnya agak
keruh. Tapi tidak lama; berangsur-angsur akan jernih
kembali, tuturnya lagi.
Empat hari berlalu.
Pagi itu, matahari sudah sepenggalahan naik.
Sambil buka-buka koran, mata saya terpaku di
lembar tengah. Saya terhenyak. Ada surat pembaca
di koran lokal Jawa Barat itu yang amat pedas kata-
katanya. Memerahkan telinga semua petugas sektor
keairan ini. Heboh pagi itu isinya. Dan ada belasan
pucuk surat senada, tulis koran bertiras terbesar di
Jawa Barat itu, masuk ke redaksi.
Ini fakta. Surat itu adalah bukti, alangkah luas
kegalauan pelanggan akan air bersih. Satu-satu tanpa
disuruh, tanpa dikomando, mereka mengirim surat
protes lewat koran. Dimuat atau tidak, ditanggapi
atau tidak, itu bukan soal; itu soal ke sekian. Yang
penting bagi mereka, unek-uneknya bisa lepas lewat
tulisan, jadi pelipur lara pereda stres/stress. Syukur-
syukur dijawab oleh PDAM via surat pembaca juga.
Lalu apa kenyataannya? Jauh lebih banyak yang tak
dijawab. Cuma dimuat, dibaca dan dilupakan. Bak
angin semilir yang lalu begitu saja.
Pada kali lain saya sempat membaca surat-surat
protes pelanggan PDAM di Jakarta, Tangerang, dan
Palembang yang dimuat di koran terbitan Jakarta.
Surat-surat serupa itu, saya yakin, banyak bertebaran
di kota-kota lain dan di koran-koran lain yang tidak
saya baca. Isinya pasti rupa-rupa. Namun intinya tak
akan jauh dari kekecewaan atas buruknya layanan
PDAM. Kritik yang tak tanggung-tanggung itu tentu
tamparan telak bagi segenap pelaku perairbersihan
18
di Indonesia, tanpa kecuali. Mirip cermin retak atau
pazel (puzzle), mainan anak balita. Sudah tak utuh
lagi potret wajahnya. Centang perenang.
Pada satu-dua alinea berikut ini saya kutipkan
sepenggal-dua penggal surat-surat pelanggan yang
berserakan itu. Isinya saya ringkas sedemikian rupa
sehingga fokus ke soal PDAM semata. Adapun surat
aslinya tentu saja luas lagi panjang. Ini saripatinya.
Mari kita simak lalu diresaprenungkan. Adakah hal
serupa itu menimpa kita? Lantas apa dan bagaimana
jalan keluarnya? Saya optimis, pasti ada solusinya.
Tinggal dicari. Bisa lewat diskusi, textbook, dana,
dan kemauan keras!
Isinya seperti ini.
“…setahun ini, air PDAM yang mengalir ke
rumah kami cuma sekali seminggu. Itu pun hanya
sepuluh menit dan tidak besar sehingga dalam satu
minggu kami hanya kebagian sepanci air. Sepanci!
Meskipun jarang mengucur, rekening tagihannya
tetap harus dibayar. Ini memberatkan dan tidak adil.
Kalau lancar pasti kami mau membayarnya. Berapa
yang kami pakai, segitu juga yang kami bayar. Ada
hak, ada kewajiban …”
Yang lain, seorang pensiunan, menulis begini.
“…kami tak setuju kenaikan tarif. Tingkatkan
dulu layanannya, baru tarifnya. Apalagi airnya kerap
keruh dan tidak pernah mengalir sehari penuh atau
semalaman. Paling sering dapat air pada malam hari
terutama dini hari, sekitar jam tiga. Jadi kami harus
begadang. Capek, bukan? Kalau tidak, terpaksa beli
ke tukang air yang sejerikennya, isi 20 liter, seharga

19
seribu rupiah. Kalau sepuluh jeriken atau 200 liter
berarti sepuluh ribu rupiah…”
Pernah seorang ibu menulis surat yang nadanya
begini. “…belum pernah sekali pun saya menunggak
bayar air. Tiba-tiba ada surat panggilan bahwa saya
belum bayar selama dua bulan, setahun lewat. Uang
tagihannya, bagi ukuran saya, sangat mahal. Ketika
datang ke PDAM, mereka terus meminta saya untuk
menunjukkan bukti tagihan itu. Karena teledor, bukti
itu tidak bisa saya temukan. Tapi PDAM ngotot agar
saya melunasi tagihan itu dulu…”
Demikianlah surat-surat itu. Protes, itu intinya.
Kata yang populer pada saat reformasi 1998 ini sarat
akan rasa tidak puas. Rasa tidak senang atas sesuatu.
Haus perubahan, lapar perbaikan. Temannya tak lain
daripada demonstrasi. Hulunya selalu saja masalah
rakyat kecil, para wong cilik. Atau, cuma mencatut-
catut dan mengeksploitasi nama mereka di semua
lini tanpa kecuali seperti politik, ekonomi, agama,
budaya, pendidikan, pertahanan, keamanan, kebijak-
an yang tak bijak, tidak populis, dan tidak merakyat.
Kita sama-sama tahu. Tahu dari mata kepala ini.
Apalagi mata hati, nurani. Bahwa itu terjadi sampai
detik ini. Omong kosong kalau ada yang berkata
bahwa keadaan sekarang, yaitu pancawarsa kedua
pasacareformasi, jauh lebih baik. Apanya yang lebih
baik? Apa pembandingnya?
Dari paparan di atas bisa kita lihat betapa besar
peran media massa dalam soal per-PDAM-an. Kita
percaya media massa mampu mencetak opini. Opini
apa saja. Yang positif, bisa; negatif juga bisa; yang
benar dan yang rumor alias gosip pun bisa. Perannya
20
pun tak sekadar penyebar ketakpuasan warga atas
layanan peladen rakyat, aparat pamong praja dan
pelaku manajemen di perusahaan daerah, tapi lebih
dari itu juga efektif dalam mengubah kebijakan yang
tidak populer, tak populis dan berseberangan dengan
kemauan kebanyakan warga.
Contohnya, PDAM Kota Bandung. Selama lima
tahun (hingga Oktober 2001) PDAM ini selalu gagal
menaikkan tarifnya karena diprotes banyak kalangan
di banyak media massa. Itu terjadi setelah ribut-ribut
di koran yang akhirnya berpengaruh pada keputusan
DPRD, yakni menolak rencana tarif baru. Semuanya
bermula dari protes dan informasi warga yang terus
diudarakan di radio dan ditulis di koran-koran.
Selain melalui koran, tabloid, dan majalah ada
juga protes yang dilayangkan lewat radio dan TV.
Sekadar contoh adalah lewat radio swasta Maraghita
yang lebih dikenal dengan sebutan Mara. Di acara
Info Mara-nya, penghuni 106,7 FM ini siap meneri-
ma keluh-kesah orang Bandung. Acara yang meng-
udara dari Senin sampai Sabtu, tiga kali sehari ini:
pagi (06.00-09.00), siang (12.00-13.00), dan malam
(18.00-20.00) berupaya menampung semua problem
pendengarnya yang disampaikan lewat telefon, surat,
faksimili atau SMS (servis madah singkat) seperti
fenomena sosial, layanan PLN, Telkom, angkot,
kereta api, tol, sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan
tingkah-polah aparat negara. Dari amatan saya kira-
kira 40% berkaitan dengan PDAM.
Apa yang dilakoni Mara dan media massa lain-
nya penting bagi masyarakat. Penting buat kita. Kita
butuh informasi yang cepat, akurat, dan bermanfaat.
21
Misalnya begini: ketika pipa transmisi air baku dari
Sungai Cisangkuy pecah pada Agustus 2001, Mara
lalu menyiarkannya kepada pelanggan PDAM Kota
Bandung. Waktu itu suplai air tersendat-sendat teru-
tama di Bandung Tengah-Selatan dan sebagian di
Timur-Barat. Pelanggan kecewa. Mereka heran dan
tak habis pikir mengapa pipa sepenting itu, yang
fungsinya bak urat nadi kita, bisa bocor begitu saja.
Entah apa dan bagaimana asal-muasalnya, entah
siapa yang iseng, tiba-tiba ada seloroh. Ada sabota-
se. Teror. Pipa itu dibom, begitu isu atau tepatnya
gosip yang muncul. Namanya juga gosip, tentu tak
dijamin kebenarannya. (Maklumlah, pada Agustus
2001 itu sudah belasan kali terjadi ledakan bom di
banyak daerah di Indonesia menyambut duet anyar
buah Sidang Istimewa MPR: Presiden Megawati
dan Wapres Hamzah Haz, pasca-pelengseran Gus
Dur atau Abdurahman Wahid).
Dengan upayanya, pada saat itu Mara berhasil
mengontak manajemen PDAM yang berada di lokasi
kebocoran di Pameungpeuk, Kabupaten Bandung
dan menyiarkan perbaikan pipa transmisi berusia 40
tahun itu. Adapun pihak PDAM selain minta maaf di
media massa juga menyarankan pelanggannya untuk
menampung air yang dialirkan dari reservoir PDAM
buat keperluan dua-tiga hari ke depan. Mau tak mau,
pelanggan pun akhirnya maklum. Sebab, kalaupun
tak rela, mereka tetap tak bisa mengubah keadaan itu
menjadi lebih baik.
Bisa kita lihat betapa efektif peran media massa
dalam mengubah opini masyarakat termasuk untuk
meraih haknya. Dalam banyak kasus, media massa
22
bahkan jadi pencetus gerakan rakyat lewat berita dan
opininya kemudian menerjang kemapanan dan mem-
buka revolusi. Gerakan mahasiswa 1998 contohnya.
(Ini sisi positifnya. Sisi negatifnya tak kalah banyak
seperti memopulerkan hedonisme/budak nafsu, gaul-
seks bebas, propaganda minor, dusta-publik, dan
berkepribadian ganda/split personality, berperilaku
menyimpang, hidup ber-MKKN, dll.)
Karena itu, khususnya di Bandung, peran media
massa (cetak & elektronik) begitu besar. Makanya
banyak pelanggan yang lebih suka melapor ke Mara
daripada ke PDAM. Alasannya, katanya, lebih cepat
ditanggapi. Kalau lewat surat, selain waktunya lama
juga tidak langsung diterima oleh direksinya. Kalau
lewat hot-line-nya, nadanya sering sibuk atau tidak
diangkat-angkat. Namun, jika lewat radio mungkin
salah satu direkturnya, atau kepala bagiannya atau
petugas lainnya sedang memonitor sehingga segera
bisa ditanggapi dan ditindaklanjuti. Begitulah alasan
pelanggan. (Tapi bisa juga terjadi pelanggan malah
diomeli oleh sang petugas lapangan karena melapor
ke radio, bukannya ke PDAM. Barangkali petugas
ini didamprat oleh atasannya karena tidak cepat-
cepat memperbaiki kerusakan).
Dari gambaran di atas bisa kita katakan bahwa
gundukan protes tadi tak lain daripada lukisan kelam
PDAM sekaligus rekaman kondisi hubungan antara
pelanggan dan PDAM yang masih buram, kusam,
belum harmonis. Posisi jual belinya belum setara.
Dacinnya timpang. Ini mesti dibenahi agar sejajar.
Sepadan! Jangan dibiarkan berlarut-larut. Bisa bum
di kemudian hari. Meledak. Apalagi protes demi
23
protes itu bukanlah barang baru dewasa ini. Ia sudah
lama bergulir di metropolis Jakarta, Bandung, Sura-
baya, dan Medan. Bisa menular kapan saja ke lain
PDAM. Lihat saja nanti. Tunggu waktunya. Disulut
sudah sumbunya; sudah hitung mundur, countdown:
4, 3, 2, 1, bum!
Satu contoh yang kerapkali diprotes adalah tarif,
yaitu kebijakan tarif yang tidak bijak. Semua orang
tahu, di sektor apapun: listrik, telefon, angkot, kereta
api, dan bis, kenaikan tarif pasti sensitif. Lebih-lebih
lagi di sektor yang terpeka, yaitu air bersih komunal
yang nyaris tak seorang pun yang tidak membutuh-
kannya. Protes pun menggelora. Di mana-mana!
Saat ini apalagi. Pascarezim Orde Baru ambruk,
terutama pancawarsa pertama, setiap ada tarif baru
selalu saja meletupkan protes. Gegap-gempita dan
anarkhistis. Begitu pun di PDAM. Tak pelak lagi, ini
nyaris terjadi di lebih dari 300-an PDAM di tanah air
kita, dari yang kaya seperti PAM Jaya di Jakarta
sampai PDAM miskin yang untuk sekadar hidup
saja masih terseok-seok di pelosok. PDAM miskin
inilah yang justru banyak jumlahnya.
Berhasilkah protes-protes itu? Dari amatan saya,
ternyata belum. Belum signifikan. Tak terasa bagi
mayoritas pelanggan. Andaipun ada, saya yakin tak
banyak hasilnya. Cuma secuil. Maknanya, kesulitan
pelanggan belum juga sirna. Kemalangannya belum
beranjak. Bergeming saja. Mirip buah simalakama,
kian terjepit. Begini alasannya: jika berlangganan,
tutur pelanggan, layanannya tidak memuaskan; tapi
jika tidak langganan bisa-bisa malah tambah susah

24
air karena tidak ada lagi sumber air yang lain. Cuma
PDAM sumber airnya. Cuma itu.
Bayangkan.
Siapa yang tak butuh air?
Yang benar-benar bersih?
Yang 100% laik diminum?
Jangankan kita, hewan dan tumbuhan saja perlu
air. Apalagi 65% berat badan kita dan kira-kira 75%
berat badan anak-anak adalah air. Air! Sekali lagi,
air. Mau tak mau, suka tak suka, rela tak rela, harus
terus jadi pelanggan setia walaupun kecewa berat.
Begitulah keluhan pelanggan terutama yang tinggal
di zone rawan air bersih sepanjang tahun. Jangan-
jangan kita termasuk di dalamnya.
Itu kenyataannya. Aksi protes sekeras apapun
terbukti belum mampu mengubah kinerja PDAM
menjadi lebih baik. Demo masif pun tak mempan.
Seolah-olah kebal diprotes, tahan digugat. Makanya
tumbuh isu minor bahwa sulit dan berbelit-belit bila
berurusan dengan PDAM. Capek. Banyak dukanya
ketimbang sukanya, sergah pelanggan.
Ini buktinya: dari dulu sampai sekarang kondisi
pelanggan begitu-begitu saja, tak pernah membaik.
Sayangnya lagi, pelanggan pun masih belum mampu
berbuat banyak kendati ada landasan yuridisnya:
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No.
8/1999 yang telah berlaku efektif per 20 April 2000.
Memang, sejumlah kasus gugat perwalian atau
class action pernah mencuat di satu-dua kota besar
tapi akhirnya pupus ditelan masa. Tiada beritanya
lagi; nyaris luput dari pemberitaan nasional. Ini tentu
lantaran posisi tawar pelanggan berada di bawah
25
PDAM. Maju kena, mundur kena. Kiri-kanan, atas-
bawah tak bisa apa-apa. Diam, tak beringsut jua.
Kalau demikian keadaannya akankah pelanggan
diam saja, pasrah pada nasib? Tak berdaya apa-apa?
Pada saat yang sama, apa yang mesti diperbuat oleh
PDAM yang katanya menjadi pelayan publik agar
misi servisnya tercapai sekaligus menampik tuduhan
sebagai perusahaan berkuping tebal, masuk telinga
kiri keluar telinga kanan? Benarkah pemegang oto-
ritas air publik ini yang salah total tanpa senoktah
celah kebenaran? Bagaimana caranya agar noda,
cacat, stigmanya itu lenyap dari tubuh PDAM? Lalu,
tidakkah pelanggan kebablasan dalam memojokkan
citra PDAM dan tak senang jika tarifnya naik?
Yang pasti, kedua pihak hendaklah mau bekerja
sama, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Adil! Adil antara hak dan wajib. Ini posisi idealnya:
pelanggan mudah mendapatkan air yang menyehat-
kan, setidak-tidaknya tidak menimbulkan penyakit;
di lain sisi PDAM jangan sampai rugi. Jangankan
rugi, impas saja tidak boleh. Harus untung. Namun
ada syaratnya. Semua labanya itu wajib digunakan
untuk mengembangkan usahanya agar area servisnya
kian luas seraya terus serius menata profesionalisme.
Kecuali itu, tentu saja buat kesejahteraan pegawai
dan sanak keluarganya. Dan ujung-ujungnya tak lain
daripada kepuasan dambaan pelanggannya.
Karena itu, ketidakberdayaan PDAM selama ini
sehingga terus-menerus menuai protes hendaknya
dicari sebab-musababnya apakah karena perlakuan
pemerintah provinsi, kota, atau kabupaten yang tidak
tepat ataukah lantaran kemampuan dan kecakapan
26
sumber daya insaninya yang rendah. Boleh jadi juga
lantaran kuantitas dan kualitas sumber-sumber air
bakunya yang betul-betul kritis (debitnya kecil tetapi
besar polusinya) sehingga membebani biaya operasi-
rawat instalasinya. Ongkosnya terlalu mahal karena
rendah efisiensinya. Mungkin inilah salah satu dari
sekian banyak penggerogot kekayaan PDAM.
Yang juga harus dicek ialah tarif airnya. Jangan-
jangan terlampau murah dan tak sebanding dengan
ongkos produksinya. Makanya perlu ada bincang-
bincang antara PDAM dan pelanggannya atau antara
kepala daerah, DPRD, pakar terkait, dan lembaga
perwakilan pelanggan yang betul-betul jadi tameng
pelanggan. Jadi pelindungnya. Tetapi sayang sejuta
sayang, lembaga atau badan semacam ini belum ada.
Kalaupun ada, pelanggan merasa tak terwakili dan
aspirasinya tak diindahkan. Sebab, tak ada komuni-
kasi intensif. Malah cenderung mengusung misi dan
kepentingannya sendiri. Mencari duit buat dirinya
sendiri dengan pura-pura dan seolah-olah membela
pelanggan. Padahal itu tak lebih daripada tindakan
eksploitasi. Kata orangtua, pengisap darah: lintah!
Masalah lainnya adalah keadilan tarif antarjenis
pelanggan. Intinya, subsidi silang atas asas keadilan.
Pelanggan domestik atau rumah tangga harus lebih
murah dibandingkan dengan tarif industri (termasuk
home industry), hotel, toko, kantor, dan segmen
komersial lainnya. Pelanggan domestik pun masih
harus dipilah-pilah lagi sesuai dengan kemampuan
ekonominya, termasuk pemberlakuan tarif progresif.
Polanya ialah si kaya membantu si miskin. Tinggal
dirumuskan alat atau instrumennya yang pas guna
27
pemilahannya itu. Tata-tarif itu pun harus senantiasa
mengacu pada kondisi ekonomi mayoritas pelanggan
dan fakta debit dan mutu sumber air baku PDAM.
Yang terakhir tapi tak kalah penting atau malah
jauh lebih penting adalah soal kepastian bahwa tidak
ada manipulasi dana dalam wujud apapun. Misalnya,
pencurian air dengan segenap modusnya termasuk
proyek-proyek fiktif-kolutif yang membuat PDAM
sengsara seperti saat ini. Ini memang sulit tapi tidak
berarti tak bisa diminimalkan. Malah kalau bisa,
dibasmi habis saja. Musnahkan!
Kepastian yang lain, coba akhiri kreasi dulang-
mendulang uang PDAM buat kepentingan pribadi
pejabat pemegang kemudi, baik itu kepala daerah
dengan jajarannya, anggota dewan, maupun pejabat
teras di perusahaan air itu dan juga aktivis LSM.
Harapan kita, jika tak bisa 100% bersih mudah-
mudahan bisa berkurang lantas terkikis pelan-pelan
dalam rotasi waktu.
Semoga kita bisa berbangga hati atas kejujuran
aparat dan kecanggihan PDAM pada saatnya nanti.*

Pengada air bersih layak dianugerahi, tidak cuma


Nobel, tapi juga bintang.

28
Yang pasti,
pelanggan dan PDAM
harus bekerja sama. Berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah.
Pelanggan harus untung
dan PDAM pun tak boleh rugi;
malah harus berkembang
dan makin profesional,
makin cakap.

29

Anda mungkin juga menyukai