Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah perekonomian merupakan masalah utama yang dialami oleh Indonesia sejak

dahulu. Banyaknya pengangguran menjadi faktor pemicu terjadinya kasus-kasus kriminal yang banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Alasan orang berbuat kriminal, tidak lain hanya karena masalah uang. Lapangan pekerjaan yang dibuat oleh pemerintah seolah tidak cukup untuk menaungi para pengangguran yang tersebar di seluruh Indonesia. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang terjun ke lapangan sebagai pengemis dan gelandangan. Kota Denpasar dan kota-kota lainnya di Bali tumbuh juga secara baik dan bahkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu persoalan yang muncul adalah kesenjangan atau ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan antara berbagai golongan pendapatan, antara daerah perkotaan dan pedesaan. Ini berarti juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat belum berhasil untuk menanggulangi masalah kemiskinan, seperti pengangguran dan masalah sosial-ekonomi lainnya, seperti gelandangan dan pengemis. Tetapi, arus urbanisasi, khususnya yang menuju Kota Denpasar dan kota-kota lainnya seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi regional. Kota Denpasar yang sebagai Ibukota Provinsi Bali menjadi daerah yang subur bagi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, kesempatan kerja yang tersedia dan peluang berusaha di Kota Denpasar termasuk kota-kota lainnya di Bali (seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja) ternyata tidak mampu menampung pelaku-pelaku urbanisasi karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki di daerah asal. Apalagi mereka yang melakukan urbanisasi tidak memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan sengaja untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis. Akibatnya, mereka yang dengan sengaja untuk menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di kota-kota seperti Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja akan semakin menjadi sosok yang sangat tidak dibutuhkan karena dirasakan mengganggu ketertiban dan keamanan di jalanan termasuk dibeberapa permukiman. Secara umum, mereka yang menjadi Gepeng di ke empat kota seperti yang disebutkan di atas hampir seluruhnya berasal dari Dusun Munti Gunung di Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1.2.1 1.2.2 Apa faktor penyebab adanya gepeng? Bagaimana upaya terhadap masalah gepeng dari pihak pemerintah dan

mahasiswa sendiri?

1.3

Tujuan Berdasarkan rumusan masalah, dapat disusun tujuan sebagai berikut : 1.3.1 1.3.2 Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab adanya pengemis dan gelandangan. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan

mahasiswa sendiri.

1.4

Manfaat Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini ialah semoga para pembaca tidak selalu berpikiran negati tentang para gepeng. Kita semua sama, hanya keadaanlah yang membuat kita berbeda. Maka dari itu, marilah kita mengarahkan mereka ke jalan terbaik demi kepentingan kita bersama.

BAB II ARTIKEL TERKAIT


Berikut ini adalah artikel yang saya dapatkan yang terkait dengan masalah sosial, yaitu masalah gelandangan pengemis (gepeng), khususnya di Kota Denpasar.

Sumber pula.html

http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2010/02/25/sudah-miskin-ditangkap-

Sudah Miskin, Ditangkap Pula


Oleh: Luh De Suriyani, dalam kategori: Denpasar, Kabar Anyar, Sosial

Teks Luh De Suriyani, Foto Anton Muhajir

Sebanyak 38 pengemis ditangkap Satpol PP Kota Denpasar, sepanjang akhir pekan lalu dari berbagai tempat di Denpasar. Mereka terdiri dari ibu dan anak-anaknya yang berjumlah 25 orang, berusia 3 bulan sampai 13 tahun.

Senin lalu semua pengemis ini mengaku akan kembali mengemis di Denpasar jika dikembalikan ke daerah asalnya di Karangasem dan Bangli. Jika saya tak kembali ke Denpasar, saya tak punya uang, demikian juga anak-anak, ujar Ni Ketut Muliani, 28 tahun, seorang ibu yang ditangkap bersama tiga anaknya. Muliani pagi itu baru bangun di tempat penampungan sementara di kantor Satpol PP. Ia tidur bersama 20 orang lainnya dalam satu kamar berukuran sekitar 34 meter persegi.

Muliani mengaku berasal dari Banjar Betenaas, Munti Gunung, Karangasem, salah satu desa yang terkenal sebagai pemasok pengemis di Bali. Ia membesarkan ketiga anaknya sambil mengemis di beberapa ruas jalan di Denpasar. Ketiga anaknya masih berusia di bawah tujuh tahun.

Dua anaknya yang terbesar sudah bisa mengemis sendiri. Sementara Muliani mengemis dengan menggendong si bungsu berusia setahun. Semakin kecil pengemis, semakin banyak dapat, ujarnya. Misalnya, dua anaknya tiap hari rata-rata bisa mendapat uang Rp 30 ribu. Sebagian dibelanjakan dan sebagian diberikan ibunya. Kalau di kampung, mau makan apa? Desa kami kering, seperti dikutuk karena ternak sering mati, jagung hanya panen sekali dalam setahun, papar Muliani lagi. Ia mengatakan sejumlah bantuan memang diberikan oleh yayasan atau dermawan, bahkan orang asing namun penyebarannya tak merata. Misalnya yang sudah pernah diberikan adalah bibit sapi, beras, dan keterampilan menganyam. Semuanya cepat habis karena tak berkembang. Ternak cepat mati di desa, dan sulit air, kilahnya. Saat musim hujan seperti ini, air memang bisa ditampung tapi kayu bakar sulit didapat. Kami dapat lebih pasti dengan mengemis. Dalam sehari bisa dapat Rp 50 ribu, untuk beli nasi, dan keperluan upacara adat di kampung, tambah seornag ibu lainnya.

Mereka mengaku ketergantungan untuk mengemis. Menurutnya masih mudah mendapat uang di jalanan dibanding harus bekerja. Tidak mungkin saya bisa bekerja sambil bawa tiga anak kecil. Suami saya buruh bangunan, kata Muliani.

Selain tak punya keterampilan, hampir semua termasuk anak-anaknya buta hurup. Ketergantungan juga dialami Murni, pengemis perempuan berusia 12 tahun ini. Saya sudah sering kejar-kejaran dengan polisi (Satpol PP) dan baru dua kali kena tangkap, katanya santai. Ia mengatakan bisa membaca bukan hal penting. Kalaus ekolah, nanti saya tak boleh minta-minta lagi, keluhnya.

I Nyoman Ambara, Kabid Operasional dan Pengembangan Kapasitas Satpol PP Denpasar mengatakan rata-rata tiap bulan menangkap 100 pengemis dari jalanan. Kita hanya melakukan penangkapan, pembinaan urusan Dinas Sosial, ujarnya. Menurutnya setahun ini, pengemis-pengemis baru banyak, selain yang lama. Seperti tangkapan terakhir, sebagian besar baru sekali ini ditangkap. Saya tau mereka akan balik lagi ke kota. Apa daya, kita sulit mencegahnya, katanya. Menurutnya Dinas Sosial paling memberikan penyuluhan soal agama sebelum dipulangkan ke desanya.

Karena masalah inilah, DPRD Bali berencana mengusulkan Ranperda Penanggulangan Gepeng di Bali. Nanti, dalam Perda itu rencananya si pemberi juga akan kena sanksi seperti Perda di Jakarta, kata I Nyoman Partha, Ketua Komisi IV DPRD Bali yang membidangi kesehatan dan kesejahteraan. Ia mengharap LSM atau publik memberikan masukan untuk draft Ranperda ini karena sangat kompleks menyangkut masalah sosial dan budaya.

Jaringan kelompok perlindungan perempuan dan anak di Bali mengharapkan rancangan Perda yang belum dibahas ini tak mengkriminalisasi anak dan perempuan dengan dalih ketertiban. Sumber masalah adalah kemiskinan. Kita tahu anak-anak jalanan itu juga dieksploitasi oleh orang-orang tertentu, dan inilah yang harus dibongkar, ujar Asana Viebeke Lengkong, aktivis I am An Angel, jaringan sosial yang kerap membawa bantuan ke Munti Gunung dan desa-desa miskin lainnya di Bali.

Pemerintah Provinsi Bali mencatat, jumlah penduduk tergolong miskin di Bali sebanyak 182 ribu orang per Maret 2009 ini atau sekitar 5 persen dari 3,4 juta penduduknya. Sebagiannya berada di pedesaan yang terisolir seperti Karangasem dan Buleleng. Sebagian lagi ada di perkotaan. [b]

BAB III PEMBAHASAN


Maraknya gepeng sudah menjadi masalah yang hingga kini belum dapat dituntaskan 100% oleh pemerintah. Kebanyakan gepeng yang berkeliaran pada umumnya masih anakanak di bawah umur dan wanita. Faktor ekonomi keluarga merupakan faktor utama yang memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut. Hal itu yang mungkin mendorong mereka untuk menadahkan tangan pada orang lain. Awalnya pasti kita akan memberi uang karena terdorongan rasa kasihan melihat ekspresi kelaparan yang tersirat pada wajah pengemis, apalagi pengemis tersebut masih anak-anak, yang bahkan sama sekali tidak layak untuk melakukan pekerjaan tersebut. Namun jika hal ini diteruskan mereka bisa saja berpikir untuk terus mengemis, karena tiap mereka meminta pasti akan diberi. Dengan begitu mereka akan terus-terusan menadahkan tangan, bahkan akan terus mengikuti sampai kita memberi mereka uang. Mereka akan menjadi manja, bahkan akan terus menjadi pengemis. Hal itu tentu saja tidak bisa kita biarkan. Masalah gepeng memang sangat pelik, hal ini tidak bisa dipandang dalam satu sudut. Jelasnya fenomena pengemis yang selalu terjadi di setiap kota-kota besar, khususnya di Denpasar selalu membawa masalah, karena mengganggu ketertiban umum, pengguna jalan raya merasa terganggu dengan adanya sekelompok pengemis anak-anak di setiap persimpangan jalan, hingga ternganggunya ketertiban masyarakat di antaranya aksi pengemis di pasar-pasar maupun di rumah-rumah penduduk. Pemerintah Kota Denpasar sebenarnya sudah sering melakukan operasi untuk menangkap para pengemis. Seperti pada artikel di atas, Satpol PP Denpasar telah menangkap rata-rata 100 orang pengemis tiap bulannya. Mereka diberikan penyuluhan, kemudian mereka akan dipulangkan ke daerahnya masing-masing, yaitu di daerah Karangasem dan Bangli. Namun, para pengemis tersebut pasti akan kembali lagi ke Kota Denpasar. Menurut seorang pengemis, di kampungnya (Desa Munti Gunung), sangat kering, ternak pun cepat mati. Keadaan seperti itulah yang mengharuskannya untuk kembali ke Kota Denpasar. Pasalnya, jika tidak ke Kota Denpasar, mereka tidak akan punya uang untuk makan. Sedangkan mereka punya keluarga untuk dihidupi. Di sinilah kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Denpasar. Upaya yang mereka kerjakan dibatasi oleh tenaga dan anggaran dana karena masalahnya terus berputarputar. Sejumlah pengemis yang ditangkap pun merupakan orang yang sama. Mereka tidak bisa mencegah para pengemis untuk kembali ke kota.

Sebenarnya, para pengemis, khususnya anak-anak, tidaklah bekerja sendiri. Mereka diorganisir oleh seseorang. Namun hingga kini pemerintah belum berhasil menemukan siapakah orang tersebut, karena para pengemis pun menutup mulut, tidak ada yang mau mengaku. Kalau begini, tentunya pemerintah juga susah untuk mengatasi masalah gepeng tersebut.

Korelasi Terhadap Hak Asasi Manusia Kehidupan masyarakat bangsa ini yang tidak dan merata membuat sebagian masyarakat memilih profesi sebagai pengemis. Terlepas tidaknya mereka dari orang-orang yang mengorganisasi mereka, pekerjaan tersebut tidak akan mereka lakukan andai lapangan pekerjaan tersedia untuk anak bangsa Indonesia. Peraturan dibuat untuk kepentingan bersama dan untuk ketertiban masyarakat. Jika pengemis meresahkan masyarakat, saya rasa adil untuk menangkap mereka selama ada dasar hukum yang jelas. Hanya saja pemerintah harus punya moral dan memikirkan solusi yang terbaik untuk pengemis tersebut sesuai dengan visi pemerintah mengurangi kemiskinan dan amanah dari UUD 1945 pasal 34 ayat 1. Dan menurut kami juga, sebenarnya Pemda juga melanggar HAM dengan perda larangan memberikan uang bagi pengemis. Menangkap pengemis jangan dilihat dari adil atau tidak adil. Lebih baik pakai pendekatan hukum. Masalah ini berkaitan dengan budaya sosial juga. Beberapa pengamatan melihat bahwa pengemis di kota besar ternyata punya penghasilan yang lebih baik dari pegawai negeri rendahan, dan ini lebih berkaitan dengan mental. Pengamatan tersebut memang benar, tetapi dengan adanya pengemis berarti menunjukkan ketidakbecusan Negara, karena fungsi Negara adalah mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 ayat 1. Pengemis hanya produk, yang salah adalah ideologi yang menciptakan sistem. Produk tidak bisa disalahkan, pembuatannyalah yang harus dicarikan solusi. Sebaiknya pengemis itu diberantas dengan memaksa mereka bekerja di tempat/proyek tertentu. Sehingga para pengemis ini memiliki jati diri yang lebih baik bagi bangsanya dan Hak asasi manusia bagi mereka juga terpenuhi. Jika itu disosialisasikan dengan baik sekaligus pembekalan dalam agama, psikologi, dan ketrampilan, pasti pengemis juga setuju dengan program itu. Yang buat pengemis jengkel adalah pemaksaan dengan kekerasan satpol PP dan tidak ada kejelasan dari pemerintah menyangkut hidup mereka selanjutnya.

2.1

Faktor Penyebab Adanya Gelandangan Pengemis (Gepeng) Berdasarkan sumber yang saya temukan, ada beberapa kota yang kerap terdapat

gepeng yaitu di empat kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja), serta observasi di lokasi daerah asal, yaitu Munti Gunung dan sekitarnya, diperoleh beberapa faktor penyebab terjadinya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Beberapa faktor penyebab tersebut di antaranya adalah faktor yang ada di internal individu dan keluarga Gepeng, internal masyarakat, dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktorfaktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya.

2.1.1 Faktor Internal Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan dalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini.

2.1.1.1 Kemiskinan Individu dan Keluarga Melalui penelitian yang dilakukan ternyata kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan mengemis. Kondisi ini tercermin dari informasi yang diperoleh bahwa rata-rata penguasaan lahan Gepeng dan keluarganya adalah relatif sempit, yaitu 38,23 are, dengan interval antara 20-60 are. Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersediaan air, kecuali saat musim hujan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Oleh karena itu, pada saat musim kemarau Gepeng dan keluarganya mencari penghasilan ke kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) hanya untu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar, yaitu kebutuhan pangan. Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan ketrampilan, yaitu menjadi Gepeng.

2.1.1.2 Umur Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup signifikan, dimana sebagian terbesar (sekitar 74,32 %) dari gelandangan dan pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Umur yang masih muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat. Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlari-lari dan bercanda dengan temannya saat menggepeng. Kondisi ini sangat berbeda atau berbanding terbalik dengan mereka yang telah menginjak usia remaja. Hal ini, tercermin dari hasil penelitian bahwa Gepeng yang berusia antara 15 40 tahun tidak ditemukan di empat kota yang menjadi lokasi studi. Hal yang menarik juga terlihat dari penelitian ini, yaitu tidak ditemukannya Gepeng yang berusia 15-40 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa laki-laki yang sudah dewasa sudah merasa tidak pantas lagi menjadi Gepeng karena malu. Selain itu, diperoleh informasi juga bahwa mereka yang berusia remaja telah beralih fungsi pekerjaan menjadi buruh, kuli, pembantu rumah tangga, tukang, termasuk buruh tani, khususnya pada musim-musim panen cengkeh di Kabupaten Buleleng. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan juga bahwa kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh belas kasihan dari penduduk kota. Kondisi tersebut sangat wajar jika dikaji lebih lanjut dimana mereka akan mendapat beberapa keuntungan, di antaranya adalah sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii) uang yang diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang mereka diberikan juga makanan, khususnya untuk anak yang digendongnya.

2.1.1.3 Pendidikan Formal Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata faktor pendidikan juga turut mempengaruhi responden untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua. Tidak berpendidikannya responden menyebabkan mereka tidak memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan sebagai Gepeng.

2.1.1.4 Ijin Orang Tua Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di desa, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi sosial ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi Gepeng di dusun tergolong sangat miskin. Sehingga pada musim kemarau, mereka terpaksa membiarkan anaknya dan menyuruh anaknya untuk ikut mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

2.1.1.5 Rendahnya Ketrampilan Hasil wawancara terhadap seluruh Gepeng yang beroperasi di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia yang belia atau muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka yang tergolong umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh pendidikan ketrampilan di desa. Oleh karena itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka, mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba untuk meminta-minta, dimana tidak semua calon pemberi sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak memperdulikannya.

2.1.1.6 Sikap Mental Kondisi ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan sarana produktif, serta terbatasnya ketrampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, mereka mengatakan juga bahwa tiada jalan lain selain mengemis untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, sikap mental yang malas ini juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat lainnya atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh warga karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas. Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat dalam jangka pendek bagi mereka

yang menjadi Gepeng. Keadaan yang demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga adanya budaya mengemis yang terjadi.

2.1.2 Faktor Eksternal/Lingkungan Berdasarkan sumber, faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permitif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota.

2.1.2.1 Kondisi Hidrologis Mempersoalkan kondisi hidrologis di Dusun Munti Gunung, sepertinya tidak dapat dilepaskan juga dari kondisi yang sama di desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kubu, dimana faktor air merupakan faktor utama sebagai pembatas dalam aktivitas warga. Hanya beberapa wilayah yang berada di dekat pesisir yang dapat memperoleh air sepanjang tahun karena pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum telah membangun sumur-sumur bor dan dilengkapi dengan prasarananya, seperti mesin pompa dan instalasi pipa-pipa. Secara alamiah Dusun Munti Gunung termasuk daerah yang sangat gersang dan tandus sebagai akibat dari keterbatasan ketersediaan air. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim kemarau yang panjang. Pada musim ini, mereka yang tergolong miskin sangat kesulitan untuk memperoleh air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Kondisi inilah yang kemudian mendorong bagi warga masyarakat yang miskin dengan terpaksa harus keluar dari dusunnya untuk mencari penghasilan karena pada periode musim kemarau tersebut mereka tidak dapat melakukan aktivitas ekonomis. Perlu diketahui juga bahwa, sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah pertanian.

2.1.2.2 Kondisi Pertanian Secara topografis, Dusun Munti Gunung memiliki kondisi yang kurang mendukung jika dihubungkan dengan pengelolaan usahatani atau pembangunan pertanian (termasuk ternak) di lahan kering. Topografinya adalah berbukit atau bergunung ditambah dengan ketiadaan teknologi budidaya pertanian menjadikan penduduk termasuk Gepeng dan keluarganya tidak mampu mengelola lahannya. Apalagi keadaan hidrologisnya sangat tidak mendukung untuk kegiatan pertanian.

Penguasaan teknologi pertanian yang terbatas sangat memperparah pengelolaan usahatani di desa. Mereka umumnya menanam tanaman palawija (kacang-kacangan dan umbi-umbian) yang tidak memerlukan banyak air irigasi. Pengunaan bibit, pemupupukan termasuk penanganan hama dan penyakit dapat dikatakan sangat rendah kualitasnya sehingga produktivitas yang dihasilkan juga menjadi rendah. Kondisi yang demikian inilah selanjutnya mengakibatkan mereka memperoleh penghasilan/pendapatan yang rendah, sementara kebutuhan hidup keluarga Gepeng termasuk penduduk lainnya semakin tinggi. Oleh karena itu, terbatasnya sumber dan besarnya pendapatan mendorong mereka untuk keluar dari dusun guna mencari penghasilan di kota.

2.1.2.3 Kondisi Prasarana Fisik Keadaan topografis Dusun Munti Gunung yang berbukit dan secara geografis termasuk terisolasi mengakibatkan pembangunan prasarana fisik seperti jalan, pasar, sekolah, air bersih adalah sangat terbatas. Prasarana transportasi sebagai salah satu prasarana yang pokok, seperti jalan darat baik yang menghubungkan antar dusun maupun di dalam dusun relatif belum bagus, yaitu sebagian besar merupakan jalan yang tidak beraspal atau merupakan jalan geladag (yang hanya diperkeras) atau jalan tanah. Seperti telah disebutkan di depan bahwa sebesar 70 % dari panjang jalan sekitar 18,50 km jalan yang ada di wilayah Dusun Munti Gunung merupakan jalan tanah. Rendahnya kualitas jalan menyebabkan terjadinya inefisiensi di dalam kegiatan transportasi sehingga mengakibatkan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomis menjadi relatif rendah. Penghasilan yang kecil ini tampaknya juga mendorong mereka meninggalkan dusunnya untuk mencari pekerjaan di luar desa, seperti menggelandang dan mengemis. Prasarana lainnya yang terbatas adalah prasarana air bersih, dimana mereka hanya membangun bak-bak penampungan air yang disebut dengan cubang baik yang dikelola secara kolektif selain secara individual yang berfungsi untuk menampung air hujan. Sebagai penduduk di bawah garis kemiskinan di desa, mereka tertarik mendapatkan uang di kota. Kota sebagai tempat mengadu nasib dianggap sebagai faktor penarik hijrahnya orang dari desa ke kota.

2.1.2.4 Terbatasnya Akses Informasi dan Modal Usaha Warga Dusun Munti Gunung memiliki keterbatasan di dalam mengakses informasi baik yang berkenaan dengan berbagai aspek ekonomi produktif, sosial maupun aspek lainnya. Keterbatasan dalam mengakses informasi ini juga diperparah oleh keterbatasan pemilikan prasarana media, seperti televisi, koran dan lain sebagainya. Ternyata, keterbatasan ini

diakibatkan juga oleh belum masuknya jaringan listrik secara meluas di Dusun Munti Gunung. Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal usaha memerlukan berberapa syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh warga dusun, termausk keluarga Gepeng. Syarat utama yang dibutuhkan adalah adanya agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga dusun dan keluarga Gepeng tidak berani menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai agunan karena mereka tidak mau mengambil resko terburuk, yaitu tanahnya disita jika usahanya tidak berhasil.

2.1.2.5 Kondisi Permisif di Kota Tujuan Sikap permisif masyarakat di Kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) terlihat dari adanya sikap yang memberi bila ada Gepeng yang mendekatinya, baik yang ke rumah, di pinggir jalan, di warung dan lain sebagainya. Rasa kasihan, kepedulian dan berbagi antar sesama umat yang merupakan ajaran moralitas mengakibatkan warga kota memberikan sedekahnya kepada Gepeng. Sementara di sisi lain, pandangan tersebut dimanfaatkannya secara baik guna terus berlaku dengan cara menunjukkan kondisi yang layak untuk mendapatkan rasa welas asih. Selain itu, sikap permisif masih terlihat juga dari dibiarkannya Gepeng melintasi wilayah-wilayah tertentu, seperti di sekitar rumahnya atau di tempat umum. Hasil survai dan observasi menunjukkan juga bahwa terdapat kesulitan bagi warga untuk melarangnya karena mereka hanya melintas. Selain itu, diperoleh informasi juga bahwa warga tidak memiliki hak atau kewajiban untuk menegur apalagi menangkap Gepeng.

2.1.2.6 Kelemahan Penanganan Gepeng di Kota Walaupun pemerintah di (Kota Denapasar, Kabupaten Gianyar, Tabanan dan Buleleng) telah berupaya secara maksimal di dalam menangani Gepeng di wilayahnya masing-masing, namun hasilnya belum maksimal. Kondisi ini terlihat dari adanya Gepeng yang telah ditangkap dan dikembalikan ke desa akan selalu balik kembali untuk melakukan kegiatannya. Malahan selain ditangkap, Gepeng juga dibina, tetapi ternyata setelah dipulangkan mereka balik kembali. Oleh karena itu, terlihat bahwa penanganan Gepeng belum efektif. Selain itu, meskipun pemerintah seperti di Kota Denpasar telah memasang spanduk yang berisikan agar warga tidak memberikan sedekah kepada Gepeng, namun tetap saja terjadi pemberian sedekah kepada Gepeng.

2.2

Upaya Pemerintah Daerah Untuk Mengatasi Gepeng Usaha pemerintah, khususnya di Kota Denpasar menangkap gepeng, kemudian

mengembalikan mereka ke daerah asal bisa dikatakan sia-sia, karena mereka pasti akan kembali ke kota. Kembalinya gepeng ke kota sepenuhnya bukan salah mereka, tapi lebih disebabkan masih ada sebagian masyarakat yang memberikan mereka peluang untuk kembali turun ke jalan. Hal ini mendorong keinginan Karang Taruna Kota Denpasar yang mempunyai cara tersendiri dalam memerangi keberadaan gelandangan pengemis (Gepeng). Kepedulian anggota Karang Taruna Kota Denpasar untuk ikut memerangi penyakit sosial ini, bukannya turun melakukan operasi yustisi, tapi dengan memasang baliho yang isinya mengajak masyarakat untuk tidak memanjakan gepeng. Ketua Karang Taruna Kota Denpasar, Alit Setia Utama didampingi Sekretarisnya, I Gede Sumadi Eka Putra,ditemui di sela-sela pemasangan baliho imbauan, di persimpangan Jalan Sudirman- Dewi Sartika, mengatakan, pemasangan baliho imbauan itu merupakan wujud kepedulian Karang Taruna terhadap persoalan gepeng di Kota Denpasar. Kegiatan itu dilakukan, atas kerja sama Karang Taruna Kota Denpasar dengan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kota Denpasar. Pihak Karang Taruna Kota Denpasar memasang tiga baliho. Baliho baliho ini dipasang di tempat-tempat strategis yang juga sering dijadikan tempat mangkal para gepeng, yaitu di persimpangan Jalan Sudirman-Dewi Sartika, Lumintang, dan perempatan Tohpati. Imbauan yang tertera dalam baliho itu Bukan aku tak mau memberi, tapi aku tak mau kamu tetap menjadi pengemis. Pemasangan baliho ini, bukan berarti untuk memusuhi para gepeng, tapi mengajak masyarakat ikut peduli mencegah makin banyaknya gepeng. Selama ini, upaya yustisi sudah sering dilakukan, namun hasilnya belum maksimal. Karena dengan pola diciduk, dibina selanjutnya dipulangkan, tak membuat para gepeng jera. Melainkan mereka cederung kembali menekuni profesinya. Melalui imbauan ini, pemerintah berharap masyarakat ikut peduli, dengan menutup peluang kepada anak-anak tersebut untuk kembali menggepeng. Dalam mengatasi masalah sosial seperti ini, peran masyarakat sangat diharapkan. Bagaimana pun anak anak yang menggepeng itu harus diselamatkan, mengingat mereka masih usia sekolah.

2.3

Upaya Mahasiswa Untuk Mengatasi Gepeng Mengatasi gepeng memang suatu hal yang mustahil untuk dilakukan, karena mereka

pasti akan kembali untuk mengemis. Namun kita sebagai mahasiswa bisa melakukan tindak pencegahan terhadap hal tersebut. Misalnya saja mahasiswa bisa memberikan kursus ketrampilan kepada mereka, mengumpulkan dana untuk memulai usaha, dan memberikan pendidikan. Sehingga para pengemis ini memiliki jati diri yang lebih baik bagi bangsanya dan hak asasi manusia bagi mereka juga terpenuhi. Jika itu disosialisasikan dengan baik sekaligus pembekalan dalam agama, psikologi, dan ketrampilan, pasti pengemis juga setuju dengan program itu. Dan semoga tidak akan terjun ke jalanan lagi.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Keberadaan gepeng di kota-kota besar tentunya sudah menjadi hal yang biasa. Sebagian besar gepeng merupakan anak-anak dibawah umur dan wanita. Faktor utama penyebab adanya gepeng adalah faktor ekonomi, dimana sebagian besar gepeng berasal dari dari Desa Munti Gunung, sebuah daerah yang memang kekurangan, baik dari segi pangan, dari segi topografis, maupun dari segi hidrologisnya. Keberadaan gepeng sendiri tentunya mengganggu aktifitas pengguna jalan sebab sering kali meminta-minta di lampu merah atau perempatan jalan. Pemerintah daerah sendiri telah melakukan usaha maksimal yaitu dengan menangkap kemudian memulangkan mereka ke daerah asal masing-masing. Namun usaha pemerintah daerah tersebut bisa dikatakan mubazir karena para gepeng yang telah dipulangkan pasti akan kembali ke kota. Jadi bisa dikatakan, masalah gepeng merupakan masalah sosial yang hingga kini belum ada solusi tepat untuk menanganinya. 4.2 Saran Pemerintah daerah bisa saja melakukan tindak pencegahan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk mengemis di kota. Bisa saja membuka lapangan kerja, namun perlu diingat bahwa sebagian besar gepeng adalah anak-anak di bawah umur. Saran saya bagaimana jika masing-masing pemerintah daerah membuat suatu balai penampungan, dimana balai tersebut digunakan sebagai tempat penampungan gepeng cilik. Di tempat ini nantinya para gepeng akan diajak belajar, layaknya di sekolah, sehingga mereka tidak perlu berkeliaran di jalanan. Hal ini tentu akan sangat bermanfaat jika dibandingkan menangkap mereka, memulangkan ke daerah asal tapi akhirnya mereka kembali untuk mengemis.

4.3

Sumber-sumber lain http://fajarbali.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=674:m asyarakat-dihimbau-tak-manjakan-gepeng-&catid=46:denpasar&Itemid=55 http://gedesedana.wordpress.com/2009/07/28/faktor-penyebab-terjadinyagelandangan-dan-pengemis/ http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2008/09/22/sulitnya-menanganipengemis-di-kota-denpasar.html

Anda mungkin juga menyukai