Anda di halaman 1dari 3

Semua Rumah

di Desa Berhasil
Mengakses Air
Bersih

Akses universal terhadap air bersih merupakan salah satu target Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan. Hal ini juga yang menjadi mimpi salah satu desa
dampingan WVI di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Akses air bersih bagi
semua anak dan masyarakat merupakan salah satu kunci kesejahteraan anak di
desa. Apalagi akses air bersih dan sanitasi menjadi salah satu penentu
percepatan penurunan angka stunting di desa.

“Dulu di WC kami tidak ada air. Kalau mau ke sekolah, saya harus jalan kaki ke
sungai dulu untuk mandi. Kadang harus pergi ke sungai pagi-pagi sekali. Kalau
tidak begitu, bisa terlambat ke sekolah,” ujar Roky, seorang anak berusia enam
tahun. Ia tinggal di salah satu dusun yang belum memiliki jaringan air bersih.
Melihat kendala ini, pemerintah desa bekerja sama dengan WVI bergotong
royong menyediakan fasilitas jaringan air bersih di dusun tersebut.

Pemerintah desa mulai menyediakan dana sejumlah RP 29.569.000 dan


melaksanakan proses pembangunan. Proses pembangunan sarana air bersih
dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dan Komite Air. Masyarakat
juga mengumpulkan dana sukarela sebesar RP 7.200.000,- untuk biaya konsumsi
selama gotong royong. Walaupun masyarakat juga memiliki tugas berkebun tapi
gotong royong berhasil dilakukan setiap hari hingga proses pembangunan
selesai.

Ketika air bersih akhirnya bisa sampai di depan rumah, anak-anak sangat senang.
“Karena ada sarana air bersih yang dibangun, air sudah sampai ke rumah dan
kami tidak mandi ke sungai lagi. Di WC kami sudah ada air,” tutur Roky dengan
ceria. Saat ini, seluruh rumah tangga di desa tersebut sudah memiliki akses air
bersih. Masalah sanitasi mulai tertangani sehingga ke depannya tidak ada lagi
balita stunting di desa.
Ekonomi Desa
Jadi Lebih
Memikat
dengan Kain
Tenun Ikat

Mayoritas perempuan di salah satu desa di Kabupaten Sumba Timur adalah


penenun. Kain-kain tenun ikat khas Sumba sebenarnya merupakan potensi lokal
yang sangat bernilai ekonomi. Tetapi pada awal BUMDes hadir, alih-alih
mengembangkan pemasaran kain tenun ikat, unit usaha yang dipilih adalah kios
barang eceran. Akibatnya, BUMDes pun macet dan mengalami kerugian.

Bapak Jhoni, sebagai kepala desa, merasa BUMDes tidak mungkin terus-menerus
merugi. Solusi untuk memajukan BUMDes ia dapatkan setelah mengikuti
rangkaian pelatihan yang difasilitasi oleh program ENVISION yang didanai oleh
Uni Eropa (European Union). Ia menyadari dan mulai berharap agar usaha
kelompok perempuan yang sebenarnya selama ini sudah ada di desa dapat
diberdayakan. Potensi lokal berupa kain tenun ikat hasil karya mama-mama di
desa pasti bisa bermanfaat untuk BUMDes dan terlebih lagi untuk masyarakat.

“Kelompok tenun di desa kami terbentur masalah modal. Kami selaku


pemerintah desa mencoba mengakomodir masalah ini. Karena saya melihat ada
potensi dari kreativitas mama-mama di sini. Saat ini BUMDes juga memiliki
peluang yang besar untuk meningkatkan ekonomi, jadi kedua unsur ini saya
dukung sebaik mungkin,” ujar Bapak Jhoni.

Bapak Jhoni dan aparat pemerintah desa lainnya pun makin menyadari bahwa
BUMDes hadir untuk memajukan ekonomi desa dan mensejahterakan
masyarakat desa. Oleh sebab itu, seharusnya unit usaha yang dipilih juga berasal
dari potensi lokal. Selain itu, sama seperti usaha dagang lainnya, produk yang
ditawarkan juga harus memiliki keunikan dan kualitas. Seringkali, produk-produk
seperti ini merupakan hasil karya masyarakat desa, contohnya kain tenun ikat.

“Saat ini, sudah ada 54 lembar kain tenun yang terkumpul di BUMDes, 20
diantaranya sudah terjual dengan total harga lebih dari RP 14.000.000. Dari hasil
penjualan tersebut, RP 5.000.000 sudah diberikan sebagai Pendapatan Asli Desa.
Hasil usaha kain tenun ini membuat BUMDes maju. Perputaran ekonomi di desa
berjalan. Kedepannya, BUMDes bisa mendukung bahan pewarna bagi kelompok
tenun di desa,” tutur Ndapa Hudang, Direktur BUMDes.
Buah manis juga dirasakan oleh kelompok penenun perempuan yang ada di
desa. Permasalahan benang, alat tenun, pewarna, dan kebutuhan modal lainnya
berhasil mereka suarakan dan mendapat dukungan dari pemerintah desa.

Proses produksi kain tenun dapat aktif kembali bahkan hingga terbentuk 10
kelompok penenun di desa. “Sebelum bekerja sama dengan BUMDes, hanya ada
satu-dua kelompok saja. Karena kami kan hanya menjual sendiri di pasar
begitu. Tapi setelah ada BUMDes, pemasaran juga lebih mudah karena
pengurus yang membantu posting-posting, bikin pemasaran yang lebih kreatif
begitu, jadi orang yang tadinya tidak tahu jadi tahu produk kami,” ujar Mama
Lusiana, anggota kelompok penenun di desa.

Mama Lusiana pun menjelaskan bahwa BUMDes juga membantu para


perempuan penenun berkreasi sebaik mungkin untuk mendapat kualitas kain
tenun ikat yang terbaik. Para penenun didorong untuk tidak lagi membuat kain
tenun ikat yang kualitasnya biasa-biasa saja.

“Dari hasil kerja sama kelompok dengan BUMDes ini, kami ibu-ibu bisa dapat
uang yang dipakai untuk bayar uang sekolah anak. Ada juga yang dipakai untuk
kebutuhan makan-minum. Jadi bisa membantu penghasilan bapak-bapak
begitu,” ujar Mama Lusiana. BUMDes yang memperhatikan potensi lokal
mampu memberdayakan para perempuan di desa hingga bisa menjadi salah
satu pundi ekonomi keluarga.

Ketika pengurus BUMDes jeli melihat potensi yang ada di masyarakat, serta
dijembatani dengan baik oleh pemerintah desa, maka akan muncul sinergi yang
baik antara pihak-pihak ini. BUMDes akan kembali aktif dan menghasilkan
keuntungan. Masyarakat pun terhubung dengan unit usaha yang memang
bertujuan untuk mensejahterakan desa. Perputaran ekonomi di desa pun makin
lancar berjalan dan memberi manfaat pada anak dan keluarga.

Anda mungkin juga menyukai