Anda di halaman 1dari 8

Mendahulukan bismillah untuk setiap kegiatan

EN
 POPULER
 TERBARU
 REKOMENDASI
 RUBRIK
 MORE
Search
FEATURE

Cerita Kebaikan yang Tidak Mengenal


Agama dan Mereka yang Berjuang untuk
Bertahan Selama Pandemi
Apakah kebaikan mengenal agama? Saya mengalami beberapa hal dan menemukan bahwa
kebaikan tidak pernah mengenal namanya agama

Ahmad Aminuddin10 Mei 2021  213

Yang harus diperhatikan dalam keputusan keagamaan adalah, bagaimana keputusan memiliki
efek atau tidak ke masyarakat bawah. Source: NDTV.com



Perawakannya tidak tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Sebut saja namanya Parmin, pria yang
mengenakan setelan kaos warna kuning dan celana pendek dengan rambutnya yang sudah
beruban namun tetap bugar ini, setiap harinya mangkal di depan stasiun Jombang, Jawa
Timur. Ia dan beberapa tukang becak motor lainnya dengan setia menunggu calon
penumpang, meskipun seringkali tidak ada yang memakai jasa mereka karena kondisi
pandemi hingga saat ini.

Siang itu, saya turun dari kereta Yogyakarta-Jombang dan sedang menunggu bus jurusan
Jombang-Tuban. Seorang Pria yang lebih muda, kira-kira usia 48 tahun yang juga berprofesi
sebagai tukang becak motor mempersilahkan saya untuk menunggu bus sambil berteduh di
tempat mangkal; di bawah pohon yang lumayan rindang. Cukup sejuk dan teduh untuk
digunakan sebagai tempat mangkal sambil menunggu para penjaja jasa Becak Motor stasisun.

Saya pun akhirnya duduk di sebuah kursi persegi dengan ditemani pak Parmin. Melihat
kondisi setahun terakhir dengan kondisi pandemi, saya pun penasaran terkait bagaimana pak
Parmin dan kawan-kawannya, para tukang becak motor stasiun, ini mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, terutama di masa pandemi ini.

Dengan nada bicara yang sopan dan menggunakan bahasa Jawa yang halus (kromo) ia
menceritakan bagaiaman upaya yang ia lakukan untuk survive selama masa pandemi sambil
menunjukkan mimik wajah yang penuh dengan penerimaan atas segala yang terjadi di
hidupnya. Kurang lebih, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Parmin mengatakan:

“Ya bagaimana lagi mas, kondisinya sudah seperti ini. Apalagi ada larangan mudik dari
pemerintah yang tentu ini juga jelas membuat sepi penumpang. Orang belum ada pandemi
saja, penumpang tidak banyak. Kalah sama ojek online. Apalagi ada pandemi, sepi. Belum
lagi ada larangan mudik dari pemerintah. ‘Poko’e rasio dijagakno’ (pokoknya tidak bisa
diharapkan). Padahal rame-ramenya penumpang tuh harusnya pada saat mudik lebaran.”

Satu hal yang lebih mencengangkan lagi ialah ketika tukang becak motor stasiun yang
mengaku sudah berusia 70 tahunan ini mengatakan, bahwa sebenarnya dia dan kawan-
kawannya mangkal setiap hari-tidak hanya di stasiun namun berpindah-pindah tergantung
situasinya-bukan untuk mencari pelanggan yang bersedia menggguanakan jasanya. Namun,
lebih pada mengaharapkan kebaikan orang-orang, khususnya saat bulan Ramadhan ini, yang
membagikan sedekah; entah berupa makanan, sembako, ataupun uang.

“Seringnya di stasiun, mas. Tapi terkadang juga pindah-pindah ke tempat-tempat dekat sini
yang biasanya ada orang-orang baik ngasih sedekah. Tapi yang seperti itu kan tidak bisa
diharapkan juga. Kalau rejeki ya pasti ada jalannya. Cuman kita ini kan juga harus berusaha
untuk menemukan jalannya. Intinya harus ‘nriman’, Mas,” tambahnya.

Miris memang ketika mendengarkan cerita demikian yang bisa jadi di luar sana juga banyak
parmin-parmin lain yang menjalani kehidupan serupa di tengah kondisi pandemi ini. Apalagi,
pak Parmin tentu tidak mencari penghasilan hanya untuk dirinya sendiri, namun ada istri,
anak, dan cucunya di rumah yang menunggu hasil dari jerih payah pak Parmin selama
seharian.
Lain halnya dengan yang dialami oleh Mukiyar, tetangga saya, seorang pemuda yang tinggal
di pelosok desa daerah bantaran sungai Bengawan Solo (Plandirejo) yang masih dalam
wilayah kadipaten Tuban. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, Ia tinggal di desa sebelah
(Bandungrejo) bersama dengan istri dan mertuanya yang berprofesi sebagai seorang
pedagang di pasar tradisional “Pasar Baru Tuban.” Pada saat Razia Covid-19, para pedagang
di sana, termasuk mertuanya diminta untuk melakukan test swap di tempat. Singkat cerita,
mertuanya dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan tes PCR yang momen tersebut
bertepatan beberapa hari setelag hari raya Idul Fitri tahun lalu.

Mengingat Mukiyar tinggal bersama dengan mertuanya, dan pada saat lebaran dia telah
berinterkasi dengan beberapa orang, termasuk orang tuanya sendiri. Akhirnya, setelah
pemerintah desa mendengar bahwa mertua Mukiyar telah dibawa ke Rumah Sakit untuk
menjalani isolasi, pemerintah desa melakukan pendekatan pada Mukiyar yang kebetulan
dalam beberapa hari terakhir menginap di sana. Tujuannya tidak lain adalah agar ia dan
keluarganya bersedia melakukan isolasi mandiri dan tidak berinteraksi dengan orang-orang
sekitar. Mukiar dan keluarnya pun menuruti saran dari pemerintah desa.

Dari sini lah kemudian cerita tentang orang-orang baik dimulai. Karena Mukiyar dan
keluarganya sedang melakukan isolasi mandiri di rumah, tentu hal ini sangat membatasi
ruang gerak mereka, termasuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan sekedar
kebutuhan untuk masak. Namun, para tetangganya yang mengerti kondisi demikian secara
suka rela dan secara bergantin memberi bantuan berupa sayuran dan bumbu masak yang
setiap hari mereka taruh di teras rumah Mukiyar agar bisa digunakan untuk memasak oleh
Mukiyar dan keluarganya.

Lebih dari itu, para tetangga dan pengurus desa juga menunjukkan empati mereka dengan
menjenguk keluarga Mukiyar. Tentu, kisanak sekalian jangan membayangkan jika prosesi
menjenguknya dengan masuk ke rumah dan berbincang santai menanyakan kabar ala
menjenguk orang sakit pada umumnya. Bukan begitu!

Para tetangga yang menjenguk tetap mematuhi protokol Kesehatan. Mereka berdiri di
depan/samping rumah dengan jarak kisaran 3 meter, sedangkan Mukiyar dan keluargnya
berada di dalam dan berdiri di balik jendela. Melalui cara ini, para tetangga dapat berbincang
dengan Mukiyar atau keluarganya, walau hanya sekedar menanyakan kabar dan
mengajak ngobrol santai dan sesekali bercanda untuk menghilangkan kejenuhan Mukiyar
dan keluarganya selama isolasi mandiri.

Kesadaran sebagai Sesama Manusia yang Ingin Dimanusiakan

Kondisi pandemi selama setahun terakhir ini memang memberikan dampak yang sangat
terasa bagi banyak kalangan tanpa memandang strata sosial, profesi, apalagi identitas.
Meskipun demikian, kondisi pandemi ini pula yang kemudian memotivasi dan memunculkan
banyak orang baik yang peduli pada sesama dengan memberikan bantuan kepada orang-
orang seperti pak Parmin dan Mukiyar.

Kita bisa menyaksikan di media sosial, banyak orang menggalang dana untuk membantu
sesama baik berupa kebutuhan pokok, uang, bahkan smarthandphone kepada anak-anak
sekolah dengan latar belakang ekonomi keluarga kurang mampu yang memang
membutuhkannya agar tetap bisa mengikuti kegiatan belajar via daring.
Pun demikian, kedua kisah di atas menujukkan bahwasannya dalam kondisi sesulit apapun,
selalu ada orang baik yang peduli kepada sesamanya. Memang sudah menjadi fitrah manusia
jika rasa empati sebagaimana disampaikan oleh Cronbach (1995) merupakan sesuatu yang
bersifat being, selalu menempel pada diri setiap manusia secara kodrati. Sedangkan, Carkhuff
dalam bukunya yang berjudul Helping and Human Relations (1969) bahkan
mengatakan, “without empathy there is no basis for helping” (tanpa empati, tidak ada alasan
mendasar untuk menolong).

Secara khusus, bagi masyarakat pedesaan yang terbiasa dengan budaya gotong royong, apa
yang mereka lakukan seperti yang terjadi pada cerita Mukiyar di atas, bisa jadi adalah hal
yang biasa saja. Mereka hanya melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sesuai
dengan norma dan etika masyarakat pedesaan yang ketika tetangganya terkena musibah,
mereka akan membantu sebisanya.

Hal ini berjalan begitu saja secara natural tanpa ada yang memberi komando atau perintah.
Namun, di balik itu, masyarakat pedesaan tersebut pada dasarnya telah mengekspresikan apa
yang disebut oleh Emile Durkheim sebagai sebuah “solidaritas mekanik”.

Solidaritas mekanik ini menurut Durkheim banyak muncul dari kalangan masyarakat
pedesaan. Mereka memiliki solidaritas yang didasarkan oleh kesadaran kolektif yang didasari
oleh berbagai kesamaan. Misalnya, tinggal di wilayah, profesi kerja, atau bahkan bisa jadi
sistem kepercayaan yang sama yang mana tingkat individualismenya tergolong masih rendah.
Mereka ini lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan
individu.

Maka tidak heran, ketika Mukiyar dan keluarganya sedang menjalani isolasi mandiri, para
tetangganya adengan suka rela secara bergiliran memberi bantuan.

Terkait solidaritas mekanik yang muncul dari kesadaran kolektif dan berangkat dari sebuah
kesamaan, saya kira kolektifitas itu tidak hanya dibatasi oleh kesamaan yang mendasarkan
pada sudut pandang sempit saja; seperti kesamaan-kesamaan yang saya sebutkan
sebelumnya. Lebih dari itu, saat ini banyak orang yang telah mempunyai kesadaran akan
kesamaan dengan sudut pandang yang lebih luas, yakni kesamaan sebagai sesama manusia
dan makhluk Tuhan yang mampir hidup di bumi.

Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa konteks Parmin dan Mukiyar serta orang-orang di
sekitarnya merupakan masyarakat Jawa yang memiliki konstruksi budaya dan etika Jawa. Hal
tersebut tentu tidak bisa dinafikan pengaruhnya sehingga menjadi wajar jika mereka dengan
sukarela memberi bantuan baik kepada Parmin atau Mukiyar. Franz Magnis Suseno, yang
mengelaborasi pendapat Hildred Geertz, dalam bukunya, Etika Jawa (1996) mengatakan
bahwa ada dua kaidah pokok etika Jawa dalam hal pergaulan masyarakatnya yakni, prinsip
kerukunan dan hormat.

Pada kasus ini, prinsip pertama merupakan prinsip yang paling sesuai untuk melihat
bagaimana prilaku saling tolong menolong di antara masyarakat kita, khususnya yang tinggal
di pedesaan, bisa berjalan secara natural. Karena, pinsip tersebut menghendaki adanya sebuah
hubungan harmonis dalam masyarakat yang sekaligus menuntut penghapusan kepentingan-
kepentingan individu yang pada perkembangannya kemudian menghasilkan sebuah prilaku
yang disebut dengan gotong royong.
Prilaku gotong royong ini lah yang menurut Koentjoroningrat dalam bukunya, Atlas
Etnografi Sedunia: dan Pertjontohan Etnografi Sedunia (1969) memilik tiga nilai utama
yang salah satunya adalah bersedia untuk saling membantu pada sesama. Aksi saling bantu
sesama, termasuk yang terjadi dalam kasus parmin dan Mukiyar, jika dilihat dari kacamata
Etika Jawa tentu akan menafikan adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap individu.
Karena, etika sendiri menurut Suseno adalah “keseluruhan norma dan penilaian yang
digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya” dan juga merupakan prinsip moral yang melampaui batas-batas perbedaan,
termasuk agama (beyond religion).

Kembali soal kesadaran kolektif yang melihat orang lain sebagai sesama manusia yang ingin
“dimanusiakan”, saya melihat bahwa kesadaran ini amat penting untuk dimiliki oleh setiap
individu agar tindakan baik saling membantu sesama pun akan semakin meluas dan yang
terpenting berjalan dengan natural. Dalam melewati masa pandemi ini jika setiap individu
memiliki kesadaran tersebut, saya meyakini bahwa efek yang terjadi karena pandemi akan
lebih mudah untuk dilalui bersama.

Pak Parmin dan teman-temannya sesama tukang becak motor akan dengan mudah
menemukan orang-orang baik yang bersedia memberinya bantuan meskipun sebenarnya
mereka bisa jadi juga terkena dampak pandemi; termasuk bantuan yang lebih bersifat
memberdayakan, yakni menggunakan jasa becak motornya. Dengan itu, paling tidak beban
Parmin dan kawan-kawan, Mukiyar dan keluarganya akan terasa lebih ringan dengan adanya
ekspresi kebaikan-kebaikan yang tumbuh secara natural dari orang-orang di sekililingnya
berdasarkan kesamaan sebagai sesama manusia.

Akhirnya, dalam hal saling berbuat baik pada sesama, jika kesadaran yang tertanam adalah
kesadaran sebagai sesama manusia yang sama-sama ingin dimanusiakan, sekat-sekat yang
bersifat sektoral, kultural, atau bahkan sekat keyakinan akan menjadi hal yang tidak penting
lagi untuk dipersoalkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Dur “Tidak penting apa
pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang,
orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Saya sangat meyakini itu, dan saya yakin kisanak yang sedang membaca ini juga. Karena,
anda apakah kisanak sekalian bisa membayangkan sroang Parmin saat akan diberi bantuan
oleh orang yang tidak dikenal, ia akan bertanya lebih dahulu kepada si pemberi, “sampeyan
muslim?”

Ahmad Aminuddin
Redaktur arrahim.id, dan Pengajar di UIN Sunan Ampel. Dapat disapa melalui twitter
@aminuddinhamid
TOPIK:
AGAMA CERITA AGAMA PUSAD PARAMADINA

islami.co dihidupi oleh jaringan penulis, videomaker dan tim editor yang butuh dukungan
untuk bisa memproduksi konten secara rutin. Jika kamu bersedia menyisihkan sedikit rezeki
untuk membantu kerja-kerja kami dalam memproduksi artikel, video atau infografis yang
mengedukasi publik dengan ajaran Islam yang ramah, toleran dan mencerahkan, kami akan
sangat berterima kasih karenanya. Sebab itu sangat membantu dan meringankan.

Transfer donasi kamu ke rekening:

BACA JUGA

 TELA'AH Titik Temu Agama dan Ilmu: Catatan Pendek Soal Buku Prof.
Akh Minhaji
 KOLOM Sampai Kapan Mau Denial dengan Teror atas Nama Agama?
 KOLOM Terorisme dan Agama: Benarkah Aksi Teroris Tidak Ada
Kaitannya dengan Agama?
 TELA'AH Apa Agama Teroris?
 KOLOM Begini Mengajari Anakku yang Kecil Cara Beragama dengan
Penuh Toleransi

BERITA

 Ramadhan di Madinah: Wajib Vaksin dan Tarawih yang Dibatasi Waktunya


 Apa Iya Malaikat Ngak Mau Masuk Rumah yang Ada Anjing, Ustadz Ahong:
Dulu Cucu Nabi SAW Malah Suka Main dengan Anjing Kecil
 Menakar Pelanggaran HAM di Afghanistan, Prof. Amany Lubis: Militer
Australia Terlibat Pembunuhan 39 Warga Sipil Non-Taliban
 Yenny Wahid: Bukan Ajaran Agama yang Membuat Orang Ikut Gerakan
Radikal dan Intoleran

 Gus Miftah Dihujat Karena Masuk Gereja, Ustadz Ahong: Umar bin Khattab
Dulu Juga Pernah Masuk Gereja

KOLOM

 Perpecahan Palestina di Balik Roket Hamas


 Bekal Untuk Menemukan Kebahagiaan dari Imam al-Ghazali
 Memahami Taktik dan Strategi Israel
 Pentingnya Merumuskan Mekanisme Standar Maaf di Era Digital

 Gausah Berlebihan Menyikapi Bocil, Berbagi Uang di Hari Raya Lebaran


Itu Biasa Saja Fren!!

KAJIAN

 Bani Israel: Potret Para Pembangkang yang Diabadikan al-Quran


 Takbir yang Dibenci Rasulullah
 Kisah Nabi Isa dalam al-Quran: Melawan Tanpa Pasukan
 Apakah Muslim Harus Pakai Surban Seperti Rasulullah?

 Kenapa Mufassir Perempuan itu Jumlahnya Sedikit Banget?


KISAH

 Ketika Nabi Khidir Menjadi Budak Demi Membantu Orang Lain


 Ummu Basyar al-Anshariyah: Sahabat Perempuan yang Diberi Motivasi Nabi
untuk Bekerja
 Kisah Ulama yang Berpindah-pindah Tempat dalam Waktu Singkat
 Kisah Ajaib al-Wakhsyi: Ulama yang Menulis Hadis Cukup dengan Aroma
Roti

 Zainab binti Muawiyah: Sahabat Perempuan, Merintis Industri Rumahan dan


Menafkahi Suami dan Anak-anak Yatim Tanggungannya

IBADAH

 Apakah Masih Boleh Puasa Setelah 6 Hari Pertama Syawal?


 Main Smartphone dan Pulang Saat Khutbah Idul Fitri
 Teks Khutbah Idul Fitri 2021: Hikmah di Balik Wabah Corona di Bulan
Ramadhan
 Besok Hari Raya Idul Fitri, Jangan Lupa Baca Doa Ini di Akhir
Ramadhan

 Cara Mengganti Puasa Orang Tua yang Meninggal Dunia

BUDAYA

 Budaya Melayu: Tradisi Tepung Tawar Masyarakat Melayu Langkat,


Sumatera Utara
 Bayt Al-Quran Al-Akbar Palembang: Al-Quran Ukir Khas Melayu di
Palembang
 Film Tilik: Keterwakilan Emak-Emak Kampung dan Bahasa Daerah di
Layar Sinema
 Mengenal Naguib Mahfouz Sebagai Esais Sastra dan Filsafat

 Namaku Asher Lev: Novel “Santri” Yahudi Favorit Gus Dur

 BERANDA
 REDAKSI
 KIRIM ARTIKEL
 KONTRIBUTOR
 TENTANG ISLAMI
 KONTAK KAMI
 KERJASAMA
© 2018 - 2021. All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai