Air tuba tersebut berupa penjara karena dinilai hakim PN Tenggarong tidak punya
kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Dia dituduh melanggar UU 36\/
2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32\/1992 tentang
Kesehatan yaitu Misran.
Setelah setahun lebih meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya sore
ini akan diketok palu atas nasib Misran. \\\"Sore ini, jam 16.00 WIB, MK akan memutus
permohonan saya,\\\" kata Misran dalam pesan pendeknya kepada detikcom, Senin
(27\/6\/2011).
Putusan PN Tenggarong ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa bulan setelah
itu. Merasa dizalimi, 13 mantri pun memohon keadilan ke MK karena merasa
dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan. Mereka meminta pasal yang menjadikan mereka
di penjara dicabut karena pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, meski nantinya permohonan Misran dikabulkan, ayah 4 anak tersebut tetap
harus tetap meringkuk di penjara. Meski demikian, jika MK memenangkan, maka
putusan MK akan menguntungkan mantri atau bidan desa di seluruh Indonesia.
Pasalnya, MK telah menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas medis di
pelosok Nusantara.
\\\"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya
berlaku ke depan, tidak berlaku ke belakang,\\\" kata pengacara publik LBH Jakarta,
Edy Halomoan Gurning beberapa waktu lalu.
Menkes memang tidak secara tegas membenarkan perbuatan Misran. Namun, tenaga-
tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman kadang-kadang harus bertindak cepat
untuk keselamatan nyawa pasien mereka.
\\\"Mereka para perawat, dokter, yang ada di ujung-ujung itu kadang-kadang harus
melakukan itu, karena pasien datang untuk minta tolong. Jadi kalau itu sifatnya untuk
menolong dan tidak ada tenaga lain tentu saja harusnya itu diperbolehkan,\\\" katanya.
Liputan6.com, Jakarta Sulit bagi banyak orang saat ini berbuat jujur apalagi saat
dihadapkan dalam situasi mendesak. Namun setiap orang bisa saja berbuat baik meski
mengalami kesulitan ekonomi. Contohnya seperti tunawisma asal Thailand ini.
Saat itu Woralop (44) dalam kondisi yang sulit. Ia tak punya rumah begitu juga
uang. Namun keberuntungan mulai menimpanya setelah menemukan dompet di jalan.
Tanpa basa-basi Woralop langsung mengambilnya dan melihat isinya. Ternyata uang
sekitar 20 ribu Baht atau setara Rp 9 juta di dalamnya. Melihat hal itu, Woralop dilanda dua
pilihan.
Kondisi yang dihadapinya saat ini amat memungkinkan baginya untuk langsung mengambil
uang tersebut. Akan tetapi, ia merasa bukan dirinya sendiri jika sampai menggunakan uang
tersebut.
Woralop memutuskan datang ke polisi untuk mengembalikan dompet itu pada pemilik
aslinya. Pihak kepolisian kemudian berhasil menghubungi sang pemilik dompet yakni, Nitty
Ponkriangyos. Mendengar dompetnya ditemukan Nitty justru dibuat terkejut.
"Aku malah tidak tahu bahwa kehilangan dompet sama sekali. Reaksiku pertama kali
adalah 'wow'. Jika aku berada pada posisinya tanpa uang sama sekali, aku akan langsung
menyimpannya," kata Nitty, dilansir dari Elite Readers.
Sebagai permohonan terima kasih telah menemukan dompetnya, Nitty justru memberikan
Woralop sebuah kejutan.
Nitty memberikannya pekerjaan pada sebuah pabrik besi di Bangkok. Atas kejujurannya,
Woralop kini juga tak lagi menjadi tunawisma. Aksi kejujuran Woralop kemudian menjadi
viral, setelah pacar Nitty membagikan kisahnya.
"Woralop merupakan sebuah contoh bahwa menjadi orang baik itu akan terbayarkan. Jika
kamu baik dengan orang lain, maka orang tersebut akan berbuat sebaliknya," tulisnya.
Karena pekerjaanya, Woralop kini mendapat gaji sebesar Rp 4,6 juta setiap bulannya. Dia
merasa sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk membuat hidupnya menjadi lebih
baik. Kini ia tak lagi mengkhawatirkan tempatnya tidur.
Ketidakjujuran Saat UN
Berkaitan dengan Korupsi
Kamis 16 Apr 2015 13:52 WIB
Hal itu sesuai dengan Permendikbud 5/2015 pasal 23 ayat 5, yang mana
disebutkan siapa yang membocorkan soal UN bisa disanksi pidana.
Ketidakadilan Sosial Jadi
Potret Nyata di Jakarta
Selasa, 27 Februari 2018 13:59
Tempo/Hariandi Hafid
ILUSTRASI Penggusuran
WARTA KOTA, PANCORAN -- Adigum yang kaya makin kaya, yang miskin
makin miskin tampaknya masih menjadi gambaran kondisi sosial di DKI Jakarta
saat ini. Di satu sisi, Jakarta menyuguhkan kemewahan bagi sebagian orang
berduit. Di sisi lainnya, masyarakatnya masih hidup dalam kemiskinan.
Musni Umar, Sosiolog sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
mengungkapkan, sejatinya ketidakadilan sosial di DKI sudah berlangsung sangat
lama.
Karena sudah berlangsung lama, maka masyarakat akhirnya menganggap
ketidakadilan sosial merupakan realitas sosial yang tidak perlu dipersoalkan dan
diributkan.
"Dampaknya masyarakat tidak peduli terhadap ketidakadilan sosial, walaupun
bertentangan dengan teologis, ideologis dan sosiologis," ujar Musni Umar,
Selasa (27/2).
Karena masyarakat diam dan tidak peduli tegaknya keadilan sosial, maka
mereka yang berkuasa seakan cuek dan justru membuat undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah, atau peraturan gubernur yang memihak
kepada kepentingan elit dan pemodal dan tidak memihak terwujudnya keadilan
sosial.
Selanjutnya, dengan alasan untuk kepentingan umum dan penataan kota,
pemerintah daerah melakukan penggusuran tempat tinggal rakyat jelata yang
padat dan kumuh tanpa musyawarah dan ganti rugi.
"Ketiga, demi alasan investasi, mereka yang berkuasa membuat peraturan yang
memihak kepada pemodal dan merugikan kepentingan rakyat jelata, bangsa dan
negara," imbuh Musni Umar.
Suatu hal yang memprihatinkan, masyarakat kelas menengah dan kelas atas,
didukung pemberitaan media dan media sosial, mendukung kebijakan apapun
yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa.
"Akibatnya, pemerintah DKI di masa lalu, sesukanya melakukan penggusuran.
Walaupun sangat menyayat rasa keadilan, tetapi tidak peduli karena merasa
didukung kelas menengah dan elit."
Selain itu, menurut Musni, penguasa dan pemodal suka didukung oleh mereka
yang menyebut diri aktivis.
"Demi uang dan kekuasaan mereka rela menjadi alat untuk menyerang siapapun
penguasa, perorangan atau kelompok yang mencoba membela si kecil dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial. Cara paling jitu yang dilakukan ialah
melaporkan ke polisi dengan tuduhan telah melanggar UU atau Peraturan. Itulah
yang dialami Anies dan Sandi."
Musni heran, saat ini justru sejumlah pihak memusuhi bahkan berusaha
menjatuhkan Anies-Sandi yang menurutnya memiliki program yang benar-benar
menyentuh rakyat kecil dengan tujuan menciptakan keadilan sosial.
"Bentuk kepedulian dan pemihakan Anies dan Sandi kepada kaum marjinal yang
direpresentansikan dengan sebutan anak-anak yatim dan orang-orang miskin
adalah mengeluarkan kebijakan untuk memajukan mereka, tidak hanya memberi
tempat berusaha, tetapi juga pelatihan, permodalan dan melindungi mereka."
Jadi, imbuh Musni Umar, sangat naif dan konyol bila tidak mendukung dan
bahkan menghalang-halangi Anies-Sandi untuk mewujudkan keadilan
sosial dengan berlindung dibawah UU dan Peraturan yang tidak adil dan tidak
memihak kepada mereka yang lemah dan belum maju.
"Saya yakin dan percaya, Anies dan Sandi kuat menghadapi ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan dari segala penjuru untuk menggagalkan
pewujudankeadilan sosial di DKI," imbuhnya.