Anda di halaman 1dari 4

Masyarakat Madura sebagai Role Of Model Dalam Mempertahankan Eksistensi Toleransi

di Tengah Pandemi Covid-19

Saat ini Covid-19 memang menjadi masalah utama di Indonesia. Dampak yang paling
terasa di sektor ekonomi dan sosial. Pemerintah juga merespon dengan menerapkan
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) agar penyebaran Covid-19 dapat
ditekan. Dampak secara ekonomi yang dirasakan yaitu, masyarakat menengah-kebawah yang
menggantungkan hidup dari berdagang dan supir transportasi umum mengalami penurunan
penghasilan, bahkan hingga menganggur. Sedangkan sektor sosial, munculnya intoleransi,
khusunya mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19. Contoh kasus di Depok, satu keluarga
yang isoman mengalami intoleransi dengan rumah yang dipagar paksa dan dikucilkan warga.
Disaat seperti inilah peran sosial masyarakat sangatlah penting, karena dengan masyarakat yang
sadar akan kepedulian sesama, maka dampak yang dirasakan secara ekonomi maupun sosial dari
pandemi akan terasa berkurang. Contoh langkah kecil dari kepeduliaan sesama yaitu dimulai dari
tetangga, dengan memastikan tetangga memiliki persediaan yang cukup untuk berdiam di rumah.
Jika soal peran sosial dan kepedulian tentunya masyarakat Indonesia yang multietnis memiliki
ciri khas masing-masing. Salah satunya budaya Madura.

“Pasrah aghih kabbih de’ka Allah, jek kelopaeh mhon bedheh tretan se sosah étlongin”
yang artinya Pasrahkan semua kepada Allah, jangan lupa jika ada saudara yang kesusahan harus
dibantu”. Kalimat yang sering terucap dari masyarakat Madura yang menjadi salah satu permata
Indah di Bumi Pertiwi. Indonesia memang dikenal kaya akan keberagaman suku, agama, ras dan
bahasa. Salah satunya suku Madura. Dikenal sebagai suku yang berjiwa perantau dan lekat
dengan karakter keras dengan logat khas Maduranya. Karakter keras ini terbangun dalam diri
suku Madura karena mata pencaharian mereka yang mayoritas nelayan dan tinggal di pesisir
pantai Pulau Madura, serta beberapa kabupaten di Jawa Timur. Namun, berkarakter keras ini
bukan berarti masyarakat Madura intoleransi dengan perbedaan, tidak mengenal solidaritas atau
sering memicu konflik pemecah persatuan. Karakter keras ini melekat dalam jiwa orang madura
dalam hal semangat mereka dalam bekerja dan pantang menyerah menghadapi kerasnya
kehidupan. akan tetapi dalam hal bersosial, masyarakat madura justru memiliki budaya yang
menjunjung tinggi asas solidaritas, toleransi, dan persatuan. Seperti sikap setretanan, gotong
royong yang semakin hidup dan religius dalam beragama. Masa pandemi ternyata justru
mendorong masyarakat Madura untuk kian memupuk rasa persatuan melalui budaya khasnya.
Tentu budaya ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat umum dalam mempertahankan
eksistensi kepedulian antar sesama. Nah, Berikut ini beberapa budaya suku Madura yang dapat
dijadikan role of model dalam mempertahankan eksistensi kepedulian sesama :

a) Satretanan/Tretan Dhibik

Etnis Madura sangat menjunjung tinggi persaudaraan, terlebih itu saudara seiman
maupun sanak keluarga. Maka tidak heran jika di pelosok daerah yang didominasi masyarakat
ini, akan membangun rumah secara berhimpitan dengan sanak keluarganya. Namun, di era
Pandemi Covid-19, mereka sadar bahwasanya ini bencana bersama dan semua orang juga
terdampak. Maka dari itu, jika terjadi kesulitan ekonomi atau keluarga yang sakit atau
meninggal., tidak heran jika etnis ini rela memberikan harta maupun tenaga untuk membantu
saudara yang kesusahan. Pendirian masyarakat Etnis Madura yang lebih mementingkan saudara
daripada dirinya sendiri “Ghun Karo Pesseh bisa esareh, keng mun tretan esareh dimmah ?”
yang artinya “Cuma uang bisa dicari, namun saudara harus cari dimana ?”. pernyataan tersebut
mempertegas bahwa Etnis Madura berperan sebagai tangan pertama yang mengulurkan tangan
terhadap orang terdekatnya yang terdampak, karena mereka sadar bahwasanya hidup tidak
sendirian dan harus saling tolong menolong dengan sesama.

b) Nhonot Kyaeh

Masyarakat Etnis Madura yang dikenal religius, menempatkan sosok kyai diposisi
tertinggi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Oleh karenanya, mereka sangat menghargai kyai
sebagai panutan dan pengontrol masyarakat, khususnya di tengah pandemi Covid-19. Contoh
saja, Kyai dengan lantang meminta santrinya maupun masyarakat untuk lebih meningkatkan
ibadah dan sunnah nabi, serta patuhi protokol kesehatan dan jangan takut terhadap virus Covid-
19. Sehingga, ketika kebanyakan masjid di tengah pandemi ini ditutup. Maka lain cerita di
pelosok desa, aktivitas beragama berjalan seperti biasanya. Namun, masjid-masjid tersebut tetap
menerapkan protokol kesehatan. “Mhon ca’en kyaéh béjéiyeh yéh toroten lah, béndhér jiah”
yang artinya “Jika kyai berkata begitu, turutin saja karena itu hal yang benar”. Hal ini
menegaskan bahwa sosok kyai, berperan sebagai pengontrol stabilitas masyarakat Madura dan
memerintahkan untuk meningkatkan ibadah sebagai bentuk imunitas tubuh secara batiniah.
c) Sikap Loman dan Kolektivitas Sosial

Loman atau dermawan, memang sudah melekat dalam darah masyarakat etnis Madura.
Hal ini didasari oleh kesadaran kolektif bahwa masalah saudara seiman harus diselesaikan
bersama. Senada dengan Emile Durkheim tentang Teori Kolektivitas, yang dapat dilihat dari
Etnis Madura yang saling bergotong-royong dalam menyelesaikan sautu masalah karena adanya
kesadaran yang dianut bersama. Contoh ketika saudara ada yang meninggal, maka akan ada
sumbangan berupa materi dan tenaga untuk keluarga yang ditinggalkan. Begitupun kepada
saudara yang kesusahan ekonomi di era pandemi Covid-19 ini, mereka tidak segan mengulurkan
tangan untuk membantu secara materi maupun psikis. Jika sungkan untuk membantu secara
langsung, maka dapat dititipkan melalui kyai yang nantinya ditujukan kepada saudara tersebut
atau bisa melalui Lembaga Manajemen Infaq yang selalu siap sedia menyalurkan sedekah dan
infaq ke tangan yang tepat.

Berbuat kebaikan tidak mengenal latar belakang, namun dengan berkaca dari etnis
Madura, begitu uniknya fanatisme dalam memperlakukan saudara seimannya. Hal ini dapat
dijadikan inspirasi bagaimana menempatkan posisi peran dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentunya tidak mudah memulai suatu kebaikan, namun jika tidak diawali dari niat yang tulus
karena Allah, maka semua akan sia-sia. “Mhon éndik pesseh lebih, jek kelopaeh ngingonen anak
jetém bik sedekah, maleh rezeki nekah manfaat de’ka oréng benyak ” yang artinya Jika ada uang
lebih, jangan lupa untuk mengayomi anak yatim dan sedekah, agar rezekinya bermanfaat untuk
orang banyak”. Terkhusus jika Infaq, Waqaf dan Sedekah disalurkan melalui LAZNAS Lembaga
Manajemen Infaq (LMI) yang nantinya disalurkan secara tepat kepada mereka yang benar-benar
membutuhkan. Seperti beasiswa pendidikan anak kurang mampu, anak yatim dan pedagang yang
terdampak Covid-19 secara Ekonomi.
Referensi :

Buku :
Doyle Paul Jhonson.1994. “Teori Sosiologi Klasik dan Modern”. Keccana, Jakarta.

Sarmini.2015.Antropologi Budaya.Unesa University Press, Surabaya.

Wahyudi, Dkk.2015. MADURA: Masyarakat, Budaya, Media, dan Politik. Penerbit


Elmatera,Bangkalan

Jurnal :  
         Utsman Hasani.2018.Tengka : Etika Sosial Dalam Masyarakat Tradisional Madura.UIN
Sunan Kali Jaga.Yogyakarta

Zulaikha, Dkk.2020. Pengabdian Masyarakat Sosialisasi Adaptasi Kebiasaan Baru


Masyarakat Menghadapi Era New Normal di Kabupaten Pamekasan.Universitas Islam Madura

Website :

D. Zawawi. (2013) Mengenal Pandangan Hidup Orang Madura. Juni 17 2021, retrived from
https://www.maduracorner.com/mengenal-pandangan-hidup-orang-madura//.

Suara.Com. (2020). Keluarga Dikucilkan Karena Covid-19, Jalan Menuju Rumah Diblokade.
Diakses 31 Agustus 2021. 09.06

https://Covid.go.id//. Diakses 21 Aguatus 2021. Pukul 20.09

Catatan

Jumlah Kata dalam Essay : 926 Kata (Tidak Termasuk Daftar Pustaka)

Anda mungkin juga menyukai