Anda di halaman 1dari 15

Makalah

SOSIOLOGI PERTANIAN
“ SOSIOLOGI MASYARAKAT AGRARIS PEDESAAN “

Dosen pengajar :
Dr. Ir. Ahmad Dedy Syathori S,ST. M.Si
Di susun oleh :
Nama :Aphis salma saumi
NPM : ( 22001032092 )
Jurusan : Agribisnis

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

Alhamdulillah. Puja dan puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang


senantiasa telah memberikan kita rahmat dan karunia Nya yang berupa iman dan
kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar
muhammad S.A.W yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman terang benderang.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah sosiologi pertanian. Selain itu makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang “ sosiologi masyarakat agraris pedesaan “ bagi
kita semua.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Ir. Ahmad dedy
syathory S,ST. M.Si selaku dosen sosiologi pertanian yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dengan bidang studi yang saya
tekuni saat ini. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membagi pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari,makalah yang sya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

26,oktober 2020

Aphis salma saumi


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong masyarakat yang sangat


jauh tertinggal, hal ini disebabkan keberedaan wilayah yang jauh dari
pusat pembangunan Nasional. Bahkan hampir tidak tersentuh oleh
pembangunan Nasional. Beberapa metode dan pendekatan telah
dikembangkan untuk memahami masalah dan membantu merumuskan
kebijakan guna memecahkan masalah pembangunan pedesaan. Sejak
tahun 1970an para pakar banyak yang memanfaatkan metode,
pendekatan, dan logika berfikir survei verifikatif dalam meriset
masalah sosial masyarakat pedesaan.
Masyarakat desa adalah komunitas yang tinggal di dalam satu daerah
yang sama, yang bersatu dan bersama-sama, memiliki ikatan yang
kuat dan sangat mempengaruhi satu sama lain. Hal ini dikarenakan
pada masyarakat desa tradisi itu masih sangat kuat dan kental. Bahkan
terkadang tradisi ini juga sangat mempengaruhi perkembangan desa,
karena terlalu tinggi menjunjung kepercayaan nenek moyang
mengakibatkan sulitnya untuk melakukan pembaharuan desa. Di sisi
lain banyak hal yang mengakibatkan sebuah desa sulit untuk
mengalami pembaharuan, antara lain isolasi wilayah, yaitu desa yang
wilayahnya berada jauh dari pusat ekonomi daerah, desa yang
mengalami ketertinggalan di bidang pembangunan jalan dan sarana-
sarana lainnya, sulitnya akses dari luar, bahkan desa yang mengalami
kemiskinan dan keminiman tingkat pendidikan. Pada umumnya
masyarakat desa diidentikkan dengan masyarakat petani, ini
dikarenakan masyarakat pedesaan dominan bermata pencaharian dari
hasil pertanian yang merupakan petani-petani miskin yang mata
pencahariannya di bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan
kesenjangan yang sangat jauh dari masyarakat perkotaan.

1.2 Rumusan Masalah


• Bagaimana keadaan masyarakat pedesaan di Indonesia?
• Bagaimana suatu komunitas desa melakukan kegiatan bercocok
tanam di Ladang ?
• Bagaimana masyarakat desa di Jawa , Madura , Bali melakukan
bercocok tanam secara menetap ?
• Bagaimana mobilitas komunitas di desa ?
• Masalah apakah yang terjadi pada masyarakat desa dan di dunia di
luar desa ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Desa/Pedesaan

Yang dimaksud desa menurut Sutardjo Kartohadikusuma


mengemukakan sebagai berikut:
“ desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu
masyarakat pemerintahan sendiri.”
Menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi,
social, ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di situ (suatu
daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik
dengan daerah lain.
Sedangkan menurut Paul h. Landis, desa adalah penduduknya kurang
dari 2.500 jiwa.
Ciri-ciri masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut:
1. Di dalam masyarakat pedesaan memiliki hubungan yang lebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan
lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2. System kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar
kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban)
3. Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-
pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part
time) yag biasa mengisi waktu luang.
4. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adat-istiadat dan sebagainya.

Masyarakat pedesaan identic dengan istilah ‘gotong-royong’ yang


merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan
mereka. Kerja bakti itu ada dua macam:
1. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif
warga masyarakat itu sendiri (biasanya di istilahkan dari bawah).
2. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari
inisiatif warga itu sendiriberasal dari luar (biasanya berasal dari atas).
Beberapa gejala-gejala social yang sering diistilahkan dengan:
1. Konflik (pertengkaran)
2. Kontraversi (pertentangan)
3. Kompetisi (persiapan)
4. Kegiatan pada masyarakat pedesaan
5. Sistem nilai budaya petani indonesia
Sistem nilai budaya petani Indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Para petani di Indonesia terutama di pulau jawa pada dasarnya
menganggap bahwa hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk,
penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia harus
menghindari hidup yang nyata dan menghindarkan diri dengan
bersembunnyi di dalam kebatinan atau dengan bertapa, bahkan
sebaliknya wajib menyadari keburukan hidup itu dengan jelas berlaku
prihatin dan kemudian sebaik-baiknya dengan penuh usaha atau
ikhtiar.
2. Mereka beranggapan bahwa orang bekerja itu untuk hidup, dan
kadang-kadnag untuk mencapai kedudukannya.
3. Mereka berorientasi pada masa ini (sekarang), kurang
memperdulikan masa depan, mereka kurang mampu untuk itu. Bahkan
kadang-kadang ia rindu masa lampau mengenang kekayaan masa
lampau menanti datangnya kembali sang ratu adil yang membawa
kekayaan bagi mereka).
4. Mereka menganggap alam tidak menakutkan bila ada bencana alam
atau bencana lain itu hanya merupakan sesuatu yang harus wajib
diterima kurang adanya agar peristiwa-peristiwa macam itu tidak
berulang kembali. Mereka cukup saja menyesuaikan diri dengan alam,
kurang adanya usaha untuk menguasainya.
5. Dan unutk menghadapi alam mereka cukup dengan hidup
bergotong-royong, mereka sadar bahwa dalam hidup itu tergantung
kepada sesamanya.
6. Unsur-unsur desa
• Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak,
beserta penggunaanya.
• Penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah pertambahan, kepadatan,
persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat.
• Tata kehidupan, dalam hal ini pola pergaulan dan ikatan-ikatan
pergaulan warga desa.
Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak berdiri
sendiri.
2.2 Fungsi Desa
• Pertama, dalam hubungan dengan kota, maka desa yang merupakan
“hinterland” atau daerah dukung yang berfungsi sebagai suatu daerah
pemberian bahan makanan pokok.
• Kedua, desa ditinjau dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai
lumbung bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja (man power)
yang tidak kecil artinya.
• Ketiga, dari segi kegiatan kerja (occupation) desa dapat merupakan
desa agraris, desa manufaktur, desa industry, desa nelayan dan
sebagainya.
Dari uraian tersebut maka secara singkat ciri-ciri masyarakat pedesaan
di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Homogenitas social
Bahwa masyarakat desa terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan
saja, sehingga pola hidup tingkah laku maupun kebudayaan
sama/homogen.Hubungan primer pada masyarakat desa hubungan
kekeluargaan dilakukan secara musyawarah.
2. Kontrol sosial yang ketat
Setiap anggota masyarakat saling mengetahui masalah yang dihadapi
anggota lain bahkan ikut menyelesaikannya.
3. Gotong royong
Nilai-nilai gotong royong pada masyarakat pedesaan tumbuh dengan
subur dan membudaya.
4. Ikatan sosial
Setiap anggota masyarakat pedesaan diikat dengan nilai-nilai adat dan
kebudayaan secara ketat.
5. Magis religius
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat desa
sangat mendalam.
6. Pola kehidupan
Masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik
pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Bercocok Tanam di Ladang

Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komu¬nitas


desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa
menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah.
Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di
suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat
mungkin masih perawan. Para petani mulai membuka suatu la¬dang
dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari
hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang,
cabang-cabang, dahan-dahan serta daun-daun dibakar, dan dengan
demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami dengan
bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa
dicangkul, diberi air atau pupuk secara khusus. Abu yang berasal dan
pembakaran pohon cukup untuk memberi kesuburan pada tanaman.
Air pun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi
yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlan
sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tugal berupa
tongkat yang berujung runcing yang diberati dengan batu, dekat pada
ujungnya yang runcing itu. Dengan tongkat itulah para petani pria
menusuk lubang ke dalam tanah, di mana biji-biji tanaman
dimasukkan, pekerjaan yang dilakukan oleh wanita. Pekerjaan
selanjutnya ialah membersihkan ladang dari tanaman liar, dan
menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus dan hama lainnya
3.2 Bercocok Tanam Menetap di Jawa , Bali dan Madura

a.Tipe-tipe Penggunaan Tanah


Seorang petani di Jawa, Madura atau di Bali, dalam kenyataan
menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu: (1) kebun kecil di
seki¬tar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan
mene¬tap, tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang
diirigasi.
b.Tahap-tahap Produksi Bercocok-Tanam di Sawah
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air,
yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Rangkaian
tahap-tahap produksi dalam hal bercocok-tanam di sawah itu dimulai
pada akhir musim kering, yang menurut teori jatuh pada bulan
Oktober atau November. Dalam kenyataan, banyak petani di Jawa
menentukan sendiri saat mereka memulai rangkaian tahap-tahap
produksi tersebut, yang biasanya banyak dipengaruhi oleh cara-cara
perhitungan tradisional seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu
dukun yang disebut primbon.Agar pembagian air ke sawah-sawah itu
dapat berlangsung lancar dan adil, maka desa-desa di tanah yang
rendah itu seringkali mempunyai seorang anggota pamong desa yang
tugasnya khusus mengurus soal irigasi ini. Anggota pamong desa ini
antara lain disebut ulu-ulu.
Sawah digenangi air selama beberapa waktu, yaitu antara satu hingga
dua minggu. Sementara itu sisa-sisa tanaman padi sebelumnya dan
tumbuh-tumbuhan lain di sawah dibersihkan. Setelah itu tanah
dicangkul atau dibajak. Sementara itu sudah disiapkan juga tempat-
tempat untuk menyebarkan benih. Untuk kedua kalinya sawah diolah
dengan bajak dan cangkul, serta dibiarkan lagi terendam air selama
beberapa hari. Tanah yang sudah diolah untuk kedua kalinya, dan
digenangi air selama satu hingga dua minggu itu, kemudian diratakan
dengan garu, yang ditarik oleh kerbau atau sapi, tetapi seringkali juga
oleh manusia. Setelah pekerjaan ini selesai, maka sawah siap untuk
ditanami.Pekerjaan menanam dilakukan oleh tenaga wanita.
Selama tumbuh, para petani harus memelihara dan menjaga ta¬naman
mereka dari berbagai tumbuh-tumbuhan liar (matun) yang dilakukan
oleh wanita. Tiga atau empat bulan setelah panen, sementara
menunggu penanaman padi yang berikutnya, para petani menanam
bermacam tanaman lain, tetapi berbagai jenis ta¬naman lain yang
termasuk golongan palawija itu sekarang secara berangsur-angsur
rupa-rupanya telah diterima juga oleh rakyat desa, dan sudah mulai
diintegrasikan ke dalam sistem bercocok-tanam di sawah-sawah.
Pengerahan Tenaga Pada Cocok-Tanam di Sawah
Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan
bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah
sistem bantu-membantu yang di Indonesia kita kenal dengan istilah
“gotong-royong”dan juga menyangkut lapangan kehidupan sosial
lainnya seperti:
1. Dalam hal kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu
mendapat pertolongan dari tetangga
2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga
3. Dalam hal pesta-pesta
4. Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan
umum dalam masyarakat desa
Dalam pertanian di Jawa, sistem gotong-royong biasanya hanya
dilakukan untuk pekerjaan yang meliputi perbaikan pematang dan
saluran air, mencangkul dan membajak, menanam dan membersihkan
sawah dari tumbuh-tumbuhan liar (matun). Untuk pekerjaan
memotong padi dipergunakan tenaga buruh tani wanita dan anak-anak
yang diberi upah. Upah secara adat dibayar dengan sebagian dari hasil
pertanian, dan jumlahnya tergantung keadaan . Sistem-sistem
pembayaran buruh tani secara adat ini bisa mempunyai akibat yang
baik, karena para buruh tani de¬ngan demikian berusaha untuk
bekerja segiat-giatnya, agar dapat menghasilkan sebanyak-banyaknya,
sehingga upahnya pun dapat bertambah banyak.
Masa kini, terutama dalam produksi bercocok-tanam terjadi proses
pergeseran dari cara pengarahan tenaga bantuan di luar rumah-tangga
dengan gotong-royong ke cara dengan menyewa buruh.Akhir-akhir ini
malahan timbul keadaan yang lebih gawat lagi. Di banyak tempat di
Jawa adat para petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen
mereka dengan buruh tani mulai mencapai batas kemampuannya.
Bagian yang diperoleh para kerabat, tetangga, dan buruh pemotong
tadi disebut dengan istilah adat Jawa, bawon.
Proses pergeseran dari cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-
royong menjadi sistem menyewa buruh tani, antara lain terdorong oleh
murahnya tenaga buruh tani, terutama di Jawa.Dalam contoh terakhir,
adat pengerahan tenaga pembantu dalam produksi pangan tergeser
oleh teknologi baru, namun pada umumnya proses penggeseran cara
pengerahan tenaga tani dan gotong-royong menjadi menyewa buruh
tani itu, antara lain disebabkan karena tenaga buruh tani itu menjadi
sangat murah. Adapun sangat murahnya biaya menyewa buruh tani itu
disebabkan karena makin bertambahnya jumlah petani yang tidak
memiliki tanah, atau petani yang hanya memiliki tanah yang sangat
kecil sehingga tidak cukup menghasilkan untuk memberi makan satu
keluarga Jawa sepanjang musim.
Fragmentasi Sawah di Jawa, Madura dan Bali
Tanah pertanian berupa sawah atau tegalan yang sudah demikian
kecilnya itu pada umumnya kemudian dipecah-pecah lebih lanjut
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi.Fragmentasi yang sifatnya
ekstrim seperti itu terjadi karena petani pemiliknya membagi-bagi
tanahnya untuk digarap oleh sejumlah petani lain dengan berbagai
macam cara. Di antaranya ada cara yang paling tradisional, yaitu
ketiga adat bagi-hasil: maro, mertelu da\n merpat. Fragmentasi
sekarang juga terjadi karena di samping membagi hasil bagian-bagian
dari tanahnya kepada sejumlah petani lain, seorang petani pemilik
seringkali juga menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga
dengan demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil
bumi tetapi juga berupa uang tunai.
Pada masa kini banyak petani pemilik tanah juga sering
menggadaikan bagian-bagian tertentu dari tanahnya selama satu atau
dua kali panen. Proses fragmentasi tanah di Jawa dan Madura
memang berjalan terus, dan dengan demikian maka tanah pertanian
milik para petani itu menjadi semakin kecil juga. Perlu diperhatikan
bahwa proses fragmentasi tanah pertanian garapan di Jawa, Madura
dan Bali yang menjadi semakin ekstrem ini, yang disebabkan karena
penambahan penduduk yang sangat cepat, dibarengi dengan proses
lain yang sebenarnya bertentangan.
Konsep Geertz Tentang Involusi Pertanian
Ahli antropologi terkenal, C. Geertz, yang pernah melakukan
penelitian mengenai sejarah ekonomi pertanian di Jawa, pernah
mengembangkan konsep “involusi pertanian”, atau agricultural
involutin, yang dipakainya untuk menggambarkan proses sejarah
pertanian di Jawa sampai dasawarsa 50-an yang lalu. Uraian mengenai
konsep itu termaktub dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal,
yaitu Agricultural Involution (1963).
Walaupun demikian, kemiskinan di Jawa tidak bertambah secara cepat
serta secara besar-besaran. karena dengan makin bertambamnya
intensitas penggarapan bidang-bidang sawah yang kecil itu,maka
banyak pula tenaga kerja dapat tertampung. Proses inilah yang oleh
Geertz dicoba digambarkan dengan istilah “involusi” itu. Untuk
menguraikan konsepnya, Geertz antara lain memakai proses makin
terpecah-pecahnya tanah petani Jawa itu akibat pemberian bagian-
bagian dari tanahnya oleh para petani yang kecukupan kepada petani-
petani kecil, dengan cara-cara seperti menyewakan, membagihasilkan,
atau menggadaikan, sebagai contoh-contoh yang penting (Geertz,
1963:100-101).
Van den Muijzenberg menyarankan bahwa dalam menganalisa proses
perkembangan pertanian di bidang-bidang tanah sawah yang kecil
dengan adanya unsur tekanan penduduk yang makin besar jumlahnya
seperti di Luzon Tengah atau di Jawa, seorang peneliti sebaiknya
membedakan secara tajam antara aspek produksi dan aspek konsumsi.
Untuk menyebut aspek yang mengenai aspek produksi ini Van den
Muijzenberg menerima istilah Geertz agricul¬tural involution.
Namun, hasil panen yang bertambah sebagai akibat intensifikasi
penggarapan tanah tadi, dibagi rata antara para petani yang juga
bertambah jumlahnya. Untuk menyebut aspek mengenai konsumsi ini,
Van den Muijzenberg menyarankan untuk mempergu-nakan istilah
Geertz yang kedua yaitu shared poverty.
Kecaman Van den Muijzenberg bahwa Geertz sama sekali
mengabaikan fakta bahwa sebagian besar petani kecil di Jawa, seperti
juga halnya di Luzon, banyak mempunyai sumber mata pencahanan di
luar pertanian, memang merupakan kecaman yang tepat.

3.3 Mobilitas Komunitas Desa

Mata Pencaharian Petani di Luar Sektor Pertanian


Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor per¬tanian,
dalam tiap komunitas desa di seluruh Indonesia sudah jelas banyak
terdapat sumber mata pencaharian hidup yang lain. Pendu¬duk desa
pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di
luar sektor pertanian, dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada
waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder. Tetapi
banyak pula desa-desa, terutama di Jawa, di mana sebagian besar
penduduknya bekerja di luar sektor per¬tanian. Meskipun demikian
kepada pegawai sensus, petugas survai KB, atau kepada para peneliti
ilmu sosial, mereka itu biasanya mengidentifikasikan dirinya sebagai
petani. Bagi seorang peneliti memang sulit untuk menentukan
perbedaan antara petani dan non-petani dan juga antara pekerjaan
primer dan sekunder itu, hanya berdasarkan atas pernyataan mereka
saja.
Mobilitas Geografis
Pola-pola, mata pencaharian dan aktivitas pekerjaan di luar sektor
pertanian tersebut di atas tentu menyebabkan terjadinya suatu
mobilitas geografikal yang sangat ekstensif dalam masyarakat
pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa. Hal ini telah
dilukiskan dalam suatu laporan penelitian mengenai kehidupan
komunitas-komunitas desa sekitar Jakarta (Koentjaraningrat 1975),
yang juga termuat dalam bagian ke III dari buku bunga rampai ini.
Dalam bagian yang khusus memuat karangan-karangan mengenai
migrasi, transmigrasi dan urbanisasi itu, masalah mobilitas geografikal
dari pendu¬duk komunitas desa di Indonesia akan dibahas lebih
mendalam.
3.4 Komunitas Desa Dan Dunia Di Luar Desa

Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia, dari


daerah Aceh hingga Irian Jaya, telah didominasi oleh suatu kekuasaan
pusat tertentu. Banyak di antaranya telah mengalami dominasi itu
sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional; banyak yang
mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan
banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu
terakhir ini. Dengan demikian, juga karena makin berkembangnya
kesempatan dan prasarana untuk suatu gaya hidup dengan mobilitas
geografikal yang tinggi, pada waktu sekarang ini hampir tidak ada lagi
komunitas desa bersahaja yang terisolasi di negara kita ini, yaitu desa
dengan penduduk yang tidak sadar akan adanya dunia di luar desa itu.
Dalam pada itu terhadap banyak komunitas desa di Indonesia kita
dapat menerapkan konsep Redfield mengenai masyarakat petani yang
warganya berupa “ . . . . orang pedesaan, bagian dari peradaban-
peradaban kuno, …. yang menggarap tanah mereka sebagai mata
pencaharian hidup dan sebagai suatu cara hidup tradisional. Mereka
itu berorientasi terhadap serta terpengaruh oleh suatu golongan priyayi
di kota-kota dengan cara hidup yang sama seperti mereka walaupun
dalam bentuk yang lebih beradab.”
Walaupun demikian kesadaran akan adanya suatu dunia luas di luar
komunitas desa sendiri perlu dianalisa, lepas dari jangkauan hubungan
dari para petani pedesaan dengan orang-orang atau kelompok-
kelompok tertentu di dunia luar itu tadi, sedangkan kesadaran tadi itu
juga belum berarti bahwa para petani pedesaan itu juga mempunyai
perhatian dan pengertian yang luas dari dunia luar itu. Seorang petani
pedesaan tertentu mungkin mempunyai kesadaran akan adanya suatu
dunia yang luas di luar batas komunitasnya sendiri; ia malahan
mungkin mempunyai perhatian serta pengertian besar mengenai
beberapa masalah yang adadi dunia luar tadi, padahal ruang lingkup
hubungannya dengan individu-individu atau kelompok-kelompok di
kota terbatas sekali. Sebaliknya, seorang petani tetangganya,
walaupun juga memiliki kesadaran tadi, mungkin saja tidak
mempunyai perhatian banyak serta penger¬tian mengenai dunia di
luar desanya, meskipun ia mungkin mengenal banyak orang di kota,
bahkan di beberapa kota lain yang jauh letaknya.
Pada hemat saya, suatu konsep yang sangat cocok untuk menganalisa
perbedaan antara kesadaran dan pengertian dari para petani pedesaan
mengenai dunia di luar batas komunitas itu, serta ruang lingkup
hubungan sosialnya di sana, adalah konsep yang dikembangkan oleh
ahli antropologi-sosial J.A. Barnes mengenai “lapangan lapangan
sosial” atau social fields (1954). Menurut konsep itu, petani desa pun
dalam kehidupan sosialnya dapat bergerak dalam “lapangan-lapangan
sosial” yang berbeda-beda, menurut keadaannya yang berbeda-beda
dan dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu banyak petani di
Indonesia pada umumnya mempunyai hubungan sosialnya dalam
“lapangan hidup” pertanian. Dalam hubungan sosial ini termasuk
kerabatnya yang terdekat, tetangganya, kenalan-kenalannya yang
memiliki tanah pertanian dekat pada tanah pertaniannya sendiri,
penduduk dukuh-dukuh lain yang juga menjadi anggota organisasi
irigasi subak yang sama, para pemilik tanah yang tanahnya sedang
digarap atas dasar bagi-hasil, dan para buruh tani yang berasal dari
desa-desa lain pada musim panen.
Banyak di antara para petani mempunyai mata pencaharian tambahan
sebagai penjaja buah-buahan atau sayur-mayur, atau menjadi
pedagang barang kerajinan tangan atau kebutuhan rumah tangga di
pasar. Kecuali kaum kerabatnya, tetangga-tetangganya, dan teman-
temannya, para petani dari golongan ini juga mempunyai hubungan
dalam lapangan sosial para pembelinya dan langganannya, yang
biasanya berasal dari desa lain, atau dengan para tengkulak yang
memang mungkin berasal dari desanya sendiri, tetapi lebih lazim dari
desa dan bahkan kota lain.
Para petani yang dalam bulan-bulan sewaktu kesibukan produksi
pertanian sedang menurun, seringkali pergi merantau secara musiman
untuk bekerja menjadi buruh pekerjaan umum dalam proyek-proyek
pemugaran atau pembangunan jalan raya, jembatan, bendungan serta
saluran irigasi, atau untuk menjadi buruh bangunan dalam proyek-
proyek penamahan di kota-kota, atau menjadi tukang becak di kota-
kota. Mereka ini biasanya mempunyai hubungan yang lebih ekstensif
lagi, dan yang melingkupi lapangan-lapangan sosial yang lebih luas.
Dengan mempergunakan konsep “lapangan sosial” sebagai jaringan-
jaringan hubungan para petani pedesaan, seorang peneliti dengan
demikian dapat membuat suatu deskripsi kongkrit secara kualitatif dan
kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan-lapangan sosial
para petani yang berdasarkan sifat, ruang lingkup, intensitas, serta
frekuensi dari hubungan-hubungannya.
Loyalitas para petani terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok
tertentu ditentukan oleh perhatian mereka terhadap orang-orang atau
kelompok-kelompok itu. Perhatian itu sebaliknya ditentukan oleh sifat
dari “lapangan sosial” yang menjadi lapangan hidup serta lapangan
orientasi mereka. Dalam tahun 50-an, ketika G.W. Skinner dan
beberapa ahli antropologi Amerika meneliti daerah pedesaan di
beberapa tempat di Indonesia, dan berdasarkan observasi mereka telah
menulis karangan-karangan mengenai Local, Ethnic and National
Loyaltiesdn Village Indonesia (1959), ternyata bahwa loyalitas orang
desa di negeri kita masih sangat terorientasi terhadap orang-orang dan
kelompok-kelompok dalam lingkungan masyarakat desanya sendiri.
Data yang diajukan dalam karangan-karangan tersebut memang
menunjukkan bahwa ruang lingkup pola-pola “lapangan sosial” para
petani Indonesia waktu itu rupa-rupanya masih terbatas kepada
lingkungan lokal, dan perhatian para petani terhadap masalah-masalah
nasional belum berkembang. Jika para ahli antropologi tadi
mengadakan pengamatan mereka sekarang, dalam dasawarsa 70-an
ini, mereka mungkin akan melihat bahwa per¬hatian terhadap
masalah-masalah di luar lokalitas desa mereka sudah banyak, dan
karena itu pola-pola “lapangan sosial” orang desa sudah mempunyai
ruang-lingkup yang jauh lebih luas. Sebaliknya, masalah apakah
loyalitas nasional para petani di berbagai daerah pedesaan di
Indonesia juga sudah berkembang adalah hal yang memang masih
perlu diteliti lebih mendalam.
Loyalitas etnik adalah masalah yang lain lagi. Semua penduduk
pedesaan di Indonesia secara primordial tentu sudah memiliki
loyalitas etnik terhadap suku-bangsanya masing-masing, karena sejak
kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan
suku bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia biasanya dihuni
oleh penduduk dari satu suku-bangsa tertentu; apabila ada warga
suku-bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam
masyarakat desa itu. Dengan demikian, dalam masyarakat desa seperti
yang juga akan diuraikan pada halaman lain, hubungan antara suku-
bangsa jarang menimbulkan masalah. Hanya dalam masyarakat kota,
di mana bermukim berbagai suku-bangsa yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia, untuk bersaing dalam memperoleh kesempatan
pendidikan, kerja dan politik, maka masalah hubungan antar suku
bangsa itu timbul.
Usaha yang penting dari para perencana pembangunan masya¬rakat
desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya
kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan
“lapangan-lapangan sosial” dengan ruang-lingkup lokal. Dengan
demikian kecenderungan orang-orang desa untuk pindah ke kota dapat
terjaga. Juga usaha pengembangan loyalitas nasional pada penduduk
desa di Indonesia sebaiknya merupakan usaha pengem¬bangan lebih
lanjut dari perhatian mereka terhadap masalah-masalah lokal. Dalam
hal ini loyalitas nasional merupakan ekstensi dari loyalitas lokal.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Komunitas desa di Indonesia digolongkan berdasarkan jenis usaha
taninya yaitu Desa yang bercocok tanam di Ladang dan Desa yang
bercocok tanam di Sawah .Untuk cara bercocok tanam Menetap dapat
melakukan 3 perlakuan yaitu mengelola kebun kecil di sekitar rumah ,
Tanah pertanian kering, Tanah pertanian basah yang di irigasi .
Pertanian di desa mengalami suatu fregmentasi karena pertambahan
penduduk yang meningkat . Sehingga memunculkan suatu Involusi
pertanian yang menyebabkan munculnya suatu Mobilitas komunitas
desa yang menyebabkan pencaharian penduduk berubah sesuai
dengan kondisinya .
4.2 Saran

Untuk makalah ini seharusnya para pembaca dapat memahami betul


isi dari makalah ini karena akan berpengaruh pada kondisi atau
perkembangan tentang pertanian . Khususnya bagi perkembangan
pertanian di Indonesia dan juga nasib petani di Indonesia yang saat ini
makin memburuk .

Anda mungkin juga menyukai