Disusun oleh :
FAKULTAS HUKUM
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu pandangan tentang tata
susunan rakyat Indonesia yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jau dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta
masukannya demi kebaikan pembuatan makalah ini. dan mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca. Terimakasih.
Kelompok 6
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………. ii
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….……
3.2 Saran……………………………………………………………………….…......
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..……
BAB 1
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Akan tetapi, tak sedikit masyarakat pedesaan khususnya contoh kondisi sosial
masyarakat di suatu wilayah masyarakat desa tertinggal di Indonesia masuk ke dalam
masyarakat yang jauh dari kemajuan teknologi. Lebih parahnya, mereka hampir tak
pernah tersentuh dengan pembangunan sehingga akses mereka jauh dari kata layak.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat desa yang tinggal dan mendiami suatu
wilayah tertentu cenderung memiliki contoh nilai sosial yaitu berupa ikatan yang kuat
antar sesama sehingga ketika yang satu sedang tertimpa musibah, mereka juga akan larut
dalam kesedihan. Masyarakat pedesaan yang tertinggal dengan pembangunan adalah
masyarakat yang sulit untuk dijangkau, mereka jauh dari pusat kota serta minim akan
pendidikan. Tradisi dari nenek moyang yang mereka junjung tinggi juga dapat
mempengaruhi pembaharuan sehingga terkadang mereka lebih memilih patuh terhadap
ketentuan nenek moyang mereka dan tak sedikit yang menolak adanya pembaharuan.
Tak dapat dipungkiri, adanya kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih
dapat berdampak langsung kepada beberapa contoh kondisi sosial masyarakat di suatu
wilayah dari perubahan sosial di masyarakat pedesaan. Ini memang baik, karena
bagaimana pun juga peradaban sosial masyarakat pedesaan juga harus disesuaikan
dengan kemajuan teknologi pada masa kini. Berikut adalah beberapa kondisi sosial
masyarakat yang berhubungan erat dengan etika dan budaya pedesaan :
Persuasive
Perangkat desa atau orang yang dihormati di pedesaan tersebut berusaha meminta,
membujuk atau mengajak adanya peneylesaian kepada orang yang sedang mengalami
konflik
Coersive
Yakni dengan memberikan sanksi mendidik
Compulsive
Beberapa kelompok masyarakat menciptakan suasana yang terkait sehingga mereka yang
sedang konflik dapat patuh terhadap aturan
Pervasion
1. Tradisi. Artinya kekuasaan didapat karena legitimasi adat yang turun temurun.
2. Kharisma. Ini berkaitan dengan watak pribadi yang luar biasa. Seseorang dianggap sah
berkuasa jika memiliki watak pribadi yang istimewa seperti kepahlawanan, kesederhanaan,
santun, peduli terhadap keadaan, dan sebagainya.
Dalam konteks sistem kerajaan, raja sebagai pemimpin tradisional, dipandang sebagai
pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan adanya wahyu sehingga raja mempunyai otoritas kuat
dan dipercaya penuh oleh rakyat. Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan
kawula-Gusti . Menurutnya, pada jaman penjajahan Belanda, ada dua hal yang membuat posisi
Residen (sebagai bagaian dari pemerintahan kolonial) di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit,
yaitu: tradisi dan ideologi panatagama. Sementara simbol-simbol menegaskan kedudukan Sunan
sebagai raja, yaitu sebagai pusat dunia di mana makrokosmos dan mikrokosmos bertemu.
Seperti yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo bahwa Kraton beserta sistem kekuasaannya adalah
kekuasaan yang bersifat kultural ketimbang formalistik. Kekuasaan kultural yang merupakan
bagian dari sistem kebudayaan, diartikan sebagai sebuah sistem makna dan sistem simbol yang
teratur, yang di dalamnya interaksi sosial berlangsung. Pada taraf kultural, ada kerangka kerja
kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka kerja itu,
para individu mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dan
membuat penilaian mereka. Pada taraf sosial ada proses terus menerus dari tingkah laku
interaktif.
Menurut Geertz, karena kebudayaan adalah jalinan makna, maka dengan jalinan makna itu
manusia menafsirkan pengalaman mereka dan mengarahkan tindakan mereka . Raja sebagai
kepemimpinan tradisional diatur dalam sistem kemasyarakatan yang sumber atau proses
menjadinya terkadang sulit dilacak/diketahui. Terkadang, ia hanya merupakan dongeng yang
diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat
lokal sekaligus mencerminkan sistem pemerintahan (kepemimpinan) yang dianut dan
dipraktekkan dalam masyarakat tersebut. Strata tertinggi pada umumnya adalah pemimpin yang
paling berkuasa dan selanjutnya strata terendah merupakan kelompok masyarakat yang
diperintah atau dikuasai bahkan terkadang disetarakan dengan harta milik yang dalam segala hal
harus taat kepada pemimpinnya. Ketaatan kepada sang pemimpin merupakan keharusan sebab
hal itu merupakan partisipasi dalam memelihara ketertiban yang telah ditentukan oleh seluruh
sistem. Dalam hal ini seorang bangsawan/pemimpin atau Raja ditempatkan sebagai wakil Tuhan
di dalam dunia ini. Inilah sumber utama kewibawaan dan kekuasaan sang pemimpin atau Raja.
Menurut Ari Dwipayana, menjelaskan beberapa sumber kekuasaan bangsawan (sultan, raja)
atau pemimpin tradisional, seperti:
a. Kesatuan yang integral antara istana (keraton, pura, puri, tongkonan) dengan bangsawan.
Artinya Istana memberikan makna politis yang sangat besar bagi seorang bangsawan atau
pemimpin.
b. Penguasaan secara hegemonik pada level wacana kebudayaan. Hal ini terjadi sebab
istana merupakan sumber tunggal produksi wacana pengetahuan, kepercayaan, acuan
sistem stratifikasi sosial, simbol status, gaya hidup, dan kesenian masyarakat. Upacara yang
dilakukan dalam istana selain bermakna religius, tetapi juga mempunyai makna status serta
berfungsi sebagai sarana hiburan bagi rakyat pada umumnya. Karena itu, tidak heran jika
upacara sekaten yang dilaksanakan di keraton Surakarta atau Keraton Yogyakarta selalu
mendapat perhatian dari seluruh rakyat. Demikian pula dengan benda-benda pusaka selain
merupakan karya seni yang menarik tetapi juga merupakan simbol status bahkan menjadi
sumber kekuatan atau kesaktian.
d. Penguasaan atas birokrasi dan pengadilan. Kekuasaan bangsawan tidak hanya terbatas
pada tingkat kekuasaan tertinggi dalam istana tetapi ia juga menguasai birokrasi di
bawahnya. Kontrol itu begitu kuatnya sehingga tidak ada pembangkangan terhadap
kekuasaan tertinggi. Kekuasaan yang “mutlak” tersebut diperkuat dengan penguasaan
terhadap lembaga peradilan. Bahkan di beberapa suku, sang pemimpin pemerintahan
sekaligus bertindak sebagai penegak hukum yang mengadili siapa saja yang dianggap
bersalah.
Kelebihan dari sistem ini adalah pemilihan umum bisa dilakukan secara jujur,
adil, bebas dan rahasia. Masyarakat bisa secara langsung menentukan kepala
daerah yang diinginkannya.
Kekurangan dari sistem ini adalah proses pelaksanaannya tidak mudah dan
sederhana. Mengingat kepala daerah dipilih secara langsung maka persiapan
dalam pemilihan ini pun cukup lama. Banyak hal yang perlu dipersiapkan
termasuk budget yang dibutuhkan pun tidak sedikit.
Masyarakat tradisional masih menjaga kebiasaan atau adat yang ada hingga
saat ini, dikarenakan masyarakat desa masih kental dengan adat yang berlaku
disetiap masyarakat yang ada.
3.2 Saran
Tradisi ini boleh dipertahankan tetapi kalo bisa dikembangkan agar relevan
dengan keadaan sosial masyarkat pada saat ini, karena masyarakat itu sifatnya
dinamis dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
https://rendiwalid.blogspot.com/2014/10/struktur-dan-ciri-masyarakat-adat.html
https://materiips.com/contoh-kondisi-sosial-masyarakat-di-suatu-wilayah
https://duniapolitiku.blogspot.com/2010/10/kekuasaan-dan-kepemimpinan-tradisional.html
https://belajargiat.id/jenis-pemilihan-kepala-daerah/