Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

TATA SUSUNAN RAKYAT INDONESIA


Dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat yang diampu oleh
Sugiatminingsih, S.H.,MH

Disusun oleh :

1. Umu Syarifah (201910110311223)


2. Rahmi Maulidatul Izzah (201910110311233)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Hukum Adat.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu pandangan tentang tata
susunan rakyat Indonesia yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jau dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta
masukannya demi kebaikan pembuatan makalah ini. dan mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca. Terimakasih.

Malang, 4 Desember 2019

Kelompok 6
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………..… i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………...

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………...

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….

2.1 Kemasyarakatan dalam suatu desa ………............................................................

2.2 Kewibawaan masyarakat dalam suatu desa ……………………………………..

2.3 Pengangkatan Kepala Desa …………………………………….…………………

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………….……

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….……

3.2 Saran……………………………………………………………………….…......

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..……
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam masyarakat Indonesia masih ada lagi dua jenis landasan mempersatukan orang
bedasarkan keturunan, yaitu garis keturunan yang dalam bahasa belanda disebut alternerend,
dan garis keturunan yang dalam bahasa belanda pula disebut dubbel-unilateraal. Kedua garis
keturunanini merupakan bentuk-bentuk istimewa dalam menarik garis keturunan , yaitu yang
dalam fase permulaannya terdapat dalam masyarakat hukum adat kebapaan.
Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian keturunan menurut
suatu garis alternerend adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya menarik garis
keturunan yang berganti-ganti secara bergiliran melalui garis ayah maupuun melalui garis ibu
sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur,
kawin semendo maupun kawin semendo rajo-rajo (timor).
Pengetahuan kita tentang susunan msyarakat hukum adat di atas menjadi dasar untuk
menelaah hukum perkaawinan adat dan hukum waris adat.
Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, yaitu masyarakat hukum adat
yang disusun berdasasrkan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para
anggotanya merasa bersatu dan bersama-sama menjaga kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah
tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat
yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara, yaitu anggota masing-masing
masyakat tersebut dengan tanah yang didiami sejak kelahirannya, yang didiami oleh orang
tuanya, nenek moyangnya secara turun temurun. Ikatan dengan tanah menjadi inti asas
teritorial itu.
Meninggalkan tempat tinggal bersama lingkungan daerah untuk sementara waktu,
tidaklah membawa hilangnya keanggotaan masyarakat dan sebaliknya. Orang asing (orang
yang berasal dan datang dari luar lingkungan daerah) tidak dengan begitu saja diterima dan
diangkat menurut hukum adat menjadi masyarakat hukum adat, yaitu menjadi teman
segolongan, teman hidup sedesa, seraya mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota
sepenuhnya (misalnya, berhak ikut serta dalam rukun desa). Supaya dapat menjadi anggota
penuh masyarakat hukum adat,  maka orang asing itu sebelumnya harus memenuhi beberapa
syarat-syarat selama belum dijadikan anggota penuh masyarakat hukum adat. Maka, orang
asing itu berstatus orang pendatang. Di dalam kehidupan nyata sehari-hari di desa, perbedaan
antara penduduk inti (kerndorpers) dan pendatang kelihatan dengan terang, biarpun dalam
suasana desa yang telah dimodernisasi perbedaan tersebut, makin lama makin lenyaplah
perbedaan antara penduduk inti dan pendatang. Yang sesuai dengan persosialisasinya atau
versocialisering struktur desa.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, disusunlah rumusan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana Kemasyarakatan dalam masyarakat desa ?
2) Bagaimana Kewibawaan dalam masyarakat desa ?
3) Bagaimana Pengangkatan Kepala Rakyat dalam masyarakat desa ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kemasyarakatan dalam suatu desa


Desa adalah suatu wilayah ditinggali oleh seseorang dengan memiliki keunikan
geografi, sosial, ekonomi, politik dan budaya dimana wilayah ini diatur oleh pemerintah
desa dibawah naungan Undang-Undang. Oleh pemerintah, mereka diberikan wewenang
untuk mengelola dan mengatur pemerintahannya sendiri. Masyarakat pedesaan sering
berinteraksi langsung dengan lingkungan alamnya yang masih asli sehingga hal ini
memicu hampir seluruh lapisan masyarakat untuk bekerja dengan bertani, berkebun,
ataupun bisnis perikanan. Selain itu, mereka juga dikenal sangat menjunjung tinggi adat
istiadat. Antara desa yang dengan desa lainnya akan mempunyai karakteristik aspek
budaya dan adat istiadat yang berbeda.

Akan tetapi, tak sedikit masyarakat pedesaan khususnya contoh kondisi sosial
masyarakat di suatu wilayah masyarakat desa tertinggal di Indonesia masuk ke dalam
masyarakat yang jauh dari kemajuan teknologi. Lebih parahnya, mereka hampir tak
pernah tersentuh dengan pembangunan sehingga akses mereka jauh dari kata layak.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat desa yang tinggal dan mendiami suatu
wilayah tertentu cenderung memiliki contoh nilai sosial yaitu berupa ikatan yang kuat
antar sesama sehingga ketika yang satu sedang tertimpa musibah, mereka juga akan larut
dalam kesedihan. Masyarakat pedesaan yang tertinggal dengan pembangunan adalah
masyarakat yang sulit untuk dijangkau, mereka jauh dari pusat kota serta minim akan
pendidikan. Tradisi dari nenek moyang yang mereka junjung tinggi juga dapat
mempengaruhi pembaharuan sehingga terkadang mereka lebih memilih patuh terhadap
ketentuan nenek moyang mereka dan tak sedikit yang menolak adanya pembaharuan.

Ciri-Ciri Masyarakat Pedesaan :

 Memiliki kelompok dominan


 Menjunjung tunggi kekeluargaan
 Bersifat homogen dalam segala aspek kehidupan
 Pengaruh mobilitas sosial rendah
 Proporsi anak lebih besar
 Memiliki jumpah penduduk yang kecil dan terbatas
 Dikuasai alam
 Sebagian besar adalah petani

Kondisi Sosial Masyarakat Pedesaan

Tak dapat dipungkiri, adanya kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih
dapat berdampak langsung kepada beberapa contoh kondisi sosial masyarakat di suatu
wilayah dari perubahan sosial di masyarakat pedesaan. Ini memang baik, karena
bagaimana pun juga peradaban sosial masyarakat pedesaan juga harus disesuaikan
dengan kemajuan teknologi pada masa kini. Berikut adalah beberapa kondisi sosial
masyarakat yang berhubungan erat dengan etika dan budaya pedesaan :

1. Menjunjung tinggi kesederhanaa


2. Cenderung mudah curiga
3. Menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku
4. Memiliki sifat kekeluargaan yang erat
5. Cenderung berbicara apa adanya
6. Sangat tertutup dengan hal yang menyangkit keuangan
7. Merasa tidak percaya diri dengan masyarakat kota
8. Sangat menghargai orang lain
9. Berjiwa demokratis
10. Menjunjung tinggi agama
11. Menjunjung tinggi sikap gotong royong
12. Bersikap sopan santun dan ramah tamah
13. Menjunjung tinggi adat isitiadat budaya leluhur
14. Selalu bermusyawarah

Sedangkan untuk menyelesaikan sebuah konflik yang terjadi diantara masyarakat


pedesaan, mereka akan menggunakan metode yang berupa bentuk-bentuk kontak sosial
primer seperti :

 Persuasive

Perangkat desa atau orang yang dihormati di pedesaan tersebut berusaha meminta,
membujuk atau mengajak adanya peneylesaian kepada orang yang sedang mengalami
konflik

 Coersive
Yakni dengan memberikan sanksi mendidik

 Compulsive

Beberapa kelompok masyarakat menciptakan suasana yang terkait sehingga mereka yang
sedang konflik dapat patuh terhadap aturan

 Pervasion

Melakukan sosialisasi norma sehingga mereka dapat memegangnya erat dan


orang yang berkonflikbisa merubah perilakunya.
2.2 Kewibawaan masyarakat dalam suatu desa
Menurut Max Weber (dalam Sugandi, 2007) terdapat tiga sumber kekuasaan, yaitu:

1. Tradisi. Artinya kekuasaan didapat karena legitimasi adat yang turun temurun.

2. Kharisma. Ini berkaitan dengan watak pribadi yang luar biasa. Seseorang dianggap sah
berkuasa jika memiliki watak pribadi yang istimewa seperti kepahlawanan, kesederhanaan,
santun, peduli terhadap keadaan, dan sebagainya.

3. Rasionalitas dan legalitas. Artinya legitimasi kekuasaan diperoleh karena ia memiliki


jenjang kekuasaan melalui prosedur atau peraturan yang dibuat secara rasional dan legal.

Dalam konteks sistem kerajaan, raja sebagai pemimpin tradisional, dipandang sebagai
pemilik sah kerajaan melalui kepercayaan adanya wahyu sehingga raja mempunyai otoritas kuat
dan dipercaya penuh oleh rakyat. Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan
kawula-Gusti . Menurutnya, pada jaman penjajahan Belanda, ada dua hal yang membuat posisi
Residen (sebagai bagaian dari pemerintahan kolonial) di depan elite pribumi dan rakyat itu sulit,
yaitu: tradisi dan ideologi panatagama. Sementara simbol-simbol menegaskan kedudukan Sunan
sebagai raja, yaitu sebagai pusat dunia di mana makrokosmos dan mikrokosmos bertemu.
Seperti yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo bahwa Kraton beserta sistem kekuasaannya adalah
kekuasaan yang bersifat kultural ketimbang formalistik. Kekuasaan kultural yang merupakan
bagian dari sistem kebudayaan, diartikan sebagai sebuah sistem makna dan sistem simbol yang
teratur, yang di dalamnya interaksi sosial berlangsung. Pada taraf kultural, ada kerangka kerja
kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka kerja itu,
para individu mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dan
membuat penilaian mereka. Pada taraf sosial ada proses terus menerus dari tingkah laku
interaktif.

Menurut Geertz, karena kebudayaan adalah jalinan makna, maka dengan jalinan makna itu
manusia menafsirkan pengalaman mereka dan mengarahkan tindakan mereka . Raja sebagai
kepemimpinan tradisional diatur dalam sistem kemasyarakatan yang sumber atau proses
menjadinya terkadang sulit dilacak/diketahui. Terkadang, ia hanya merupakan dongeng yang
diturun-alihkan secara lisan dari generasi ke generasi. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat
lokal sekaligus mencerminkan sistem pemerintahan (kepemimpinan) yang dianut dan
dipraktekkan dalam masyarakat tersebut. Strata tertinggi pada umumnya adalah pemimpin yang
paling berkuasa dan selanjutnya strata terendah merupakan kelompok masyarakat yang
diperintah atau dikuasai bahkan terkadang disetarakan dengan harta milik yang dalam segala hal
harus taat kepada pemimpinnya. Ketaatan kepada sang pemimpin merupakan keharusan sebab
hal itu merupakan partisipasi dalam memelihara ketertiban yang telah ditentukan oleh seluruh
sistem. Dalam hal ini seorang bangsawan/pemimpin atau Raja ditempatkan sebagai wakil Tuhan
di dalam dunia ini. Inilah sumber utama kewibawaan dan kekuasaan sang pemimpin atau Raja.

Menurut Ari Dwipayana, menjelaskan beberapa sumber kekuasaan bangsawan (sultan, raja)
atau pemimpin tradisional, seperti:

a. Kesatuan yang integral antara istana (keraton, pura, puri, tongkonan) dengan bangsawan.
Artinya Istana memberikan makna politis yang sangat besar bagi seorang bangsawan atau
pemimpin.
b. Penguasaan secara hegemonik pada level wacana kebudayaan. Hal ini terjadi sebab
istana merupakan sumber tunggal produksi wacana pengetahuan, kepercayaan, acuan
sistem stratifikasi sosial, simbol status, gaya hidup, dan kesenian masyarakat. Upacara yang
dilakukan dalam istana selain bermakna religius, tetapi juga mempunyai makna status serta
berfungsi sebagai sarana hiburan bagi rakyat pada umumnya. Karena itu, tidak heran jika
upacara sekaten yang dilaksanakan di keraton Surakarta atau Keraton Yogyakarta selalu
mendapat perhatian dari seluruh rakyat. Demikian pula dengan benda-benda pusaka selain
merupakan karya seni yang menarik tetapi juga merupakan simbol status bahkan menjadi
sumber kekuatan atau kesaktian.

c. Penguasaan basis ekonomi politik. Artinya dalam sistem kepemimpinan tradisional


bangsawan menjadi penguasa atas pengelolaan seluruh sumber ekonomi milik kerajaan.

d. Penguasaan atas birokrasi dan pengadilan. Kekuasaan bangsawan tidak hanya terbatas
pada tingkat kekuasaan tertinggi dalam istana tetapi ia juga menguasai birokrasi di
bawahnya. Kontrol itu begitu kuatnya sehingga tidak ada pembangkangan terhadap
kekuasaan tertinggi. Kekuasaan yang “mutlak” tersebut diperkuat dengan penguasaan
terhadap lembaga peradilan. Bahkan di beberapa suku, sang pemimpin pemerintahan
sekaligus bertindak sebagai penegak hukum yang mengadili siapa saja yang dianggap
bersalah.

2.3 Pengangkatan Kepala Rakyat dalam suatu desa


Kepala Daerah di Pilih Langsung Oleh Rakyat
Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat definisinya adalah rakyat secara
langsung melakukan pemilihan umum kepala daerah. Calon kepala daerah yang
di usung oleh partai politik dan telah lulus seleksi KPU maka ia berhak untuk
mengikuti pemilihan umum. Masyarakat memilih kepala daerah berdasarkan
program kerja yang disampaikan para calon kepala daerah pada saat kampanye.

Kelebihan dari sistem ini adalah pemilihan umum bisa dilakukan secara jujur,
adil, bebas dan rahasia. Masyarakat bisa secara langsung menentukan kepala
daerah yang diinginkannya.
Kekurangan dari sistem ini adalah proses pelaksanaannya tidak mudah dan
sederhana. Mengingat kepala daerah dipilih secara langsung maka persiapan
dalam pemilihan ini pun cukup lama. Banyak hal yang perlu dipersiapkan
termasuk budget yang dibutuhkan pun tidak sedikit.

Terlepas dari macam-macam sistem pemilihan/pengangkatan kepala daerah hal


terpenting yang harus diperhatikan adalah kepala daerah yang ditunjuk mampu
bertanggung jawab atas jabatan yang diembannya. Tujuan utama dari terpilihnya
kepala negara adalah agar proses administrasi dapat berjalan dengan lancar sehingga
mampu mewujudkan setiap program kerja pemerintah yang telah dibuat.
Perkembangan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia sendiri pada dasarnya
sebagai proses belajarnya suatu negara untuk memperoleh proses pemilihan umum
yang ideal. Ideal dalam arti kepuasan masyarakat terhadap calon kepala daerah
terpenuhi dan proses pemilihan yang tidak rumit dan menelan biaya yang tidak banyak.
Dalam prosesnya ini tentu masih ada kekurangan di beberapa bagian. Namun hal ini
terus diperbaiki baik dalam bentuk peraturan KPU maupun peraturan perundang-
undangan yang terus diperbaharui. Tujuannya agar pemilihan umun yang dilakukan
mampu memenuhi standar perundang-undangan. Serta kepala daerah yang terpilih
dapat bertanggung jawab dan dipertanggungjawabkan kepemimpinannya.

Masyarakat yang dipimpinnya pun dapat merasakan penerapan Pancasila di


kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat sudah dapat merasakan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari maka kehidupan berbangsa dan bernegara serta merta akan
berjalan dengan baik. Cita-cita dan tujuan negara akan dapat terwujud dengan peran
serta aktif masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Masyarakat tradisional masih menjaga kebiasaan atau adat yang ada hingga
saat ini, dikarenakan masyarakat desa masih kental dengan adat yang berlaku
disetiap masyarakat yang ada.

3.2 Saran

Tradisi ini boleh dipertahankan tetapi kalo bisa dikembangkan agar relevan
dengan keadaan sosial masyarkat pada saat ini, karena masyarakat itu sifatnya
dinamis dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
https://rendiwalid.blogspot.com/2014/10/struktur-dan-ciri-masyarakat-adat.html

https://materiips.com/contoh-kondisi-sosial-masyarakat-di-suatu-wilayah

https://duniapolitiku.blogspot.com/2010/10/kekuasaan-dan-kepemimpinan-tradisional.html

https://belajargiat.id/jenis-pemilihan-kepala-daerah/

Anda mungkin juga menyukai