Anda di halaman 1dari 28

KEHIDUPAN TUNAWISMA DI KOTA PALU

(SUATU KAJIAN ANTROPOLOGI PERKOTAAN)

PROPOSAL

“Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


(S1) Dibidang Ilmu Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Tadulako”

Oleh

INTAN NIMAN
B 301 17 032

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2020
Kehidupan Tunawisma di Kota Palu (Suatu Kajian Antropologi Perkotaan)

1. Latar Belakang

Tulisan ini akan melihat tunawisma atau gelandangan sebagai suatu

permasalahan dan fenomena sosial yang ada di perkotaan. Perkotaan

merupakan pusat perekonomian, kebudayaan, politik dan pemerintahan

sehingga meningkatkan arus urbanisasi yang cukup pesat dari daerah pedesaan

ke daerah perkotaan yang mengakibatkan kepadatan penduduk. Masyarakat

pedesaan yang melakukan perpindahan atau mobilitas ke perkotaan berharap

akan mendapat pekerjaan yang layak karena melihat keadaan perkotaan yang

menurut mereka bisa mengubah kehidupan sosial ekonominya. Dengan

berbekakal pengetahuan, pendidikan, dan keahlian yang terbatas masyarakat

pedesaan kebanyakan memutuskan untuk melakukan perpindahan ke kota.

Perpindahan yang mereka lakukan dimaksudkan untuk mencari pekerjaan dan

mencapai tujuan yang diinginkannya.

Kota cenderung untuk terus tumbuh dan menjadi semakin kompleks

karena mempunyai potensi atau kemampuan untuk menampung pendatang-

pendatang baru yang melakukan perpindahan dari desa ke kota atau biasa

disebut Urbanisi. Kemampuan kota untuk menampung pendatang baru untuk

dapat hidup dalam wilayahnya adalah, karena corak sistem ekonomi di

perkotaan yang lebih memfokuskan pekerjaan dalam bidang industri dan

produksi. Sehingga, hal ini mendorong masyarakat pedesaan melakukan

perpindahan atau mobilitas ke perkotaan.

1
Kedatangan kaum urban ke kota di sisi lain juga menimbulkan beberapa

masalah yang nantinya akan menimbulkan fenomena-fenomena sosial

perkotaan. Dalam hal ini, para pendatang yang melakukan perpindahan di

perkotaan tanpa ada keterampilan dan penegtahuan yang dimiliki,

mengakibatkan timbulnya fenomena atau masalah pengangguran dan

kemiskinan. Kesempatan kerja yang tersedia di kota tidak cukup besar untuk

menampung para pendatang. Apalagi, jika mereka tidak mempunyai

keterampilan, pengetahuan, serta pendidikan yang mendukung mereka untuk

bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Pada akhirnya mereka dengan

terpaksa bekerja di sektor informal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pasurdi

Suparlan (1995:7)

“Di daerah perkotaan kalau dibandingkan dengan di daerah


pedesaan, lebih banyak terdapat alternatif-alternatif untuk memperoleh
pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan keahlian. Dari yang paling halus
sampai dengan yang paling kasar, dari yang paling bersih sampai dengan
paling kotor, dan dari yang paling bermoral sampai dengan yang paling
tidak bernoral”.

Pekerjaan di sektor informal banyak juga ditemui di Kota Palu, mulai

dari jual beli barang, usaha jasa, sampai dengan yang berhubungan dengan

barang bekas. Salah satu sektor informal dalam bidang barang bekas ini yang

paling banyak digeluti oleh para kaum miskin perkotaan yaitu memulung.

Memulung merupakan pekerjaan yang bisa membantu para kaum miskin

apalagi para pendatang yang tidak mempunyai pengetahuan yang luas dan

pekerjaan yang layak untuk dapat mendukung mereka dalam bertahan hidup di

kota. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa selain memulung para kaum miskin

juga bisa melakukan kegiatan lain seperti mengemis dan sebagainya.

2
Kemiskinan yang ada di perkotaan, merupakan masalah sosial yang

umum yang dapat menghadirkan masalah-masalah soosial lainnya yang ada di

perkotaan. Salah satunya yaitu, penyandang tunawisma atau biasa yang disebut

dengan gelandangan. Tunawisma atau gelandangan menurut Pasurdi Suparlan

yaitu orang-orang yang selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-pindah.

Masyarakat gelandangan ialah mereka yang tempat tinggalnya relatif tidak

menetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap juga serta dianggap

rendah dan hina oleh masyarakat di luar masyarakat kecil itu yang merupakan

suatu masyarakat yang lebih luas (1999:1).

Hakekatnya sejak awal kehidupan manusia, rumah merupakan tempat

tinggal manusia untuk berlindung sekaligus menjadi ruang pribadi bagi

berbagai karakter yang hidup bersama. Bayangkan jika manusia hidup tanpa

rumah, perasaan terancam dan tidak nyaman senantiasa akan muncul. Seperti

para penyandang tunawisma yang hari-hari hidup mereka dihabiskan dijalanan.

Faktor kemiskinan seperti ini juga terjadi dibeberapa kota besar seperti

yang dijelaskan Pasurdi Suparlan (1995:62) bahwa:

Pada tahap permulaan revolusi di Eropa, di sana juga terdapat penduduk


yang tidur di jalanan, namun keadaan itu telah lenyap kecuali berkenaan
dengan segelintir kaum gelandangan dan pengembara. Tetapi di kota
Culcutta sekitar 600.000 orang tidur di jalanan. Karena itu banyak
pekerja di kota telah membangun gubuk dari bamboo atau karung goni
dan wanita memasak diatas tungku yang menggumul asap menggunakan
kotoran sapi sebagai bahan bakar. Di India, satu gubuk semacam ini
dihuni sampai 10 orang bersama-sama. Di Lagos, Nigeria seorang
gelandangan akan bersedia menjadi centeng toko dengan imbalan dan
diperkenankan tidur diambang pintu tokonya, dan ditugaskan mengusir
gelandangan lain yang hendak tidur di depan toko.

3
Permasalahan semakin banyaknya gelandangan merupakan contoh yang

ada saat ini bahwa kemiskinan adalah faktor utama yang paling berpengaruh

dan mendasari mengapa masalah sosial itu terjadi, apalagi fenomena sosial

tersebut banyak ditemukan di perkotaan (Suparlan 1999:24).

Kehidupan gelandangan merupakan salah satu kehidupan yang berbeda

dengan masyarakat kota pada umumnya. Kehidupan jalanan tidak memberikan

rasa nyaman kepada orang yang tinggal di dalamnya terutama bagi tunawisma

atau gelandangan. Mereka yang tinggal di jalanan tidak memiliki alamat yang

jelas, tidak memiliki KTP dan KK. Sehingga, ini membuat para tunawisma

atau gelandangan yang hidup di jalanan susah atau bahkan tidak dapat

mengakses fasilitas-fasilitas sosial bahkan ketika mereka sakit sekalipun.

Kehadiran kaum gelandangan atau penyandang tunawisma ini sudah

beberapa kali dijumpai di jalanan Kota Palu. Seperti ketika saya sering

melewati jalan Moh., di situ saya sering melihat gerobak dan ada seorang

bapak dan tiga anaknya di depan lapangan Vatulemo sedang beristrahat di

gerobak itu. Hal ini mungkin sudah menjadi biasa dan umum dilihat apalagi

bagi para pengguna jalan Moh.Yamin pasti sering dan selalu melihat bapak dan

anaknya di tempat itu.

Penyandang tunawisma juga sudah beberapa kali saya jumpai di Kota

Palu, tepatnya tempat yang sekarang sudah ramai dengan pedagang-pedagang

yaitu di Jalur dua bundaran Sigma. Sebelum banyaknya penjual di tempat itu,

saya sering melihat seorang bapak yang melakukan aktivitasnya di bawah

pohon, ia memasak, tidur dan melakukan aktivitas lainnya di situ. Tetapi ketika

4
tempat itu sudah dijadikan tempat nongkrong masyarakat Palu sekarang, kini

saya sering menjumpai bapak itu ketika saya kebetulan melewati jalan

Mamboro, Tondo dan Lagarutu bapak itu selalu berada dijalanan membawa

barang-barang miliknya.

Obeservasi awal yang diceritakan di atas, ketika sering menjumpai

mereka saya sering berpikir bagaimana mereka bisa menjalani kehidupan yang

menurut masyarakat pada umumnya pasti sulit untuk dijalani. Bagi semua

manusia tentunya menginginkan kehidupan yang layak dan tempat tinggal

yang layak untuk hidup bersama dengan keluarga. Begitu juga dengan para

Tunawisma, yang setiap harinya harus tinggal di jalanan dan hidup di jalanan.

Kelaparan, kedinginan, kepanasan, merupakan yang harus mereka lewati setiap

harinya. Dalam eksistensinya menjadi Tunawisma dan menjalani kehidupan

dijalanan harus dipahami melalui perspektif mereka, karena tujuan, keadaan

serta aktivitas mereka setiap harinya hanya dimengerti oleh mereka sendiri.

Inilah yang menjadi ketertarikan saya untuk mencoba mengungkapkan

dan memahami berbagai aktivitas tunawisma ditengah jeratan kemiskinan yang

melanda mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam

kemiskinan perkotaan yang dialami Tunawisma dalam perkotaan dan juga

melihat pola-pola bertahan hidup para Tunawisma. Mengkaji mengenai

kehidupan sosial ekonomi dan memahami salah satu dari sekian banyak

permasalahan pada kaum marginal yang berada dalam masyarakat perkoptaan

khususnya di Kota Palu. Untuk itu judul penelitian saya yaitu mengenai

“Kehidupan Tunawisma di Kota Palu (Suatu Kajian Antropologi Perkotaan”.

5
2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kehidupan sosial dan ekonomi Tunawisma yang ada di

Kota Palu?

2. Bagaimana strategi bertahan hidup tunawisma di Kota Palu?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini memiliki 2

tujuan yaitu:

1. Tujuan Praktis

Penelitian ini dilakukan untuk bertujuan menjawab dari rumusan masalah

yang saya ambil. Mengetahui mengenai kehidupan Tunawisma yang ada di

Kota Palu dalam kehidupan sosial maupun kehidupan ekonominya. Kemudian

dalam penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk-bentuk strategi bertahan

hidup yang dilakukan para Tunawisma.

2. Tujuan Akademis

Agar mengetahui dan mendapatkan lebih banyak ilmu dari hasil

penelitian yang berhubungan dengan kajian-kajiuan penulisan ini.

4. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Prakits

Kiranya tulisan ini mampu memberikan gambaran kepada masyarakat

ataupun para pengambil dan pembuat kebijakan mengenai kehidupan para

masyarakat marginal ditengah tekananan sosial dan ekonomi di perkotaan

khususnya di daerah Kota Palu. Kiranya program-program pembangunan

terkhusus bagi para Tunawisma yang ada di Kota Palu diharapkan lebih

6
diperhatikan sehingga memberikan dampak yang posoitif bagi para

Tunawisma.

b. Manfaat Akademis

Melalui data dan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, penulisan ini

diharapkan dapat bermanfaat bagi setiap orang yang hendak mengetahui

Kehidupan Tunawisma di Kota Palu dan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan

mahasiswi, khususnya pada mahasiswa dan mahasiswi Antropologi yang

hendak mencari rujukan mengenai Tunawisma yang ada di Kota palu. Serta

harapan saya agar kajian ini dapat berguna dalam kajian antropologi Perkotaan

dalam melihat permasalahan-permasalahan yang ada di kehidupan perkotaan.

5. Kerangka Konsep

1. Tunawisma (Gelandangan)

Gelandangan atau tunawisma sering dikategorikan sebagai kelompok

yang terisolasi, terpinggirkan tidak beruntung dan kelompok rentan. Istilah

gelandangan secara asosiatif mengingatkan pada anggota masyarakat yang

tidur di kaki lima, yang mengorek-ngorek sampah yang sehari semalam berada

di jalanan, yang meminta sekedar sedekah pada orang-orang yang berkendara

ketika berhenti di perempatan jalan. Seperti yang dikemukakan Naning

Ramdlon bahwa gelandangan atau tunawisma adalah mereka yang hidupnya

mengembara di jalanan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, mereka

meninggalkan tempat asalnya ialah pedesaan menghuni tempat-tempat di kota-

kota, berpindah-pindah tidak menetap dari satu tempat ke tempat lain. Mereka

itu termaksud golongan manusia yang tunakarya dan tunawisma (1983:67).

7
Tunawisma atau gelandangan mempunyai pergaulan hidup, norma dan

aturan yang berbeda dengan masyarakat biasa, tidur seenaknya di tempat

umum, makanpun mereka seadanya, memakai pakaian yang seadanya juga.

Menurut Suparlan bahwa standar kehidupan yang rendah bagi tunawisma ini

secara langsung mempengaruhi tingkat kesehatan, rasa percaya diri mereka

yang tergolong orang miskin. Mereka diwarnai oleh mentalitas yang

mendambakan pola kehidupan yang bebas (1995:15)

Artidjo Alkotsar mengemukakan bahwa yang melatar belakangi

tunawisma atau gelandangan yaitu yang pertama faktor ekonomi di mana

faktor ini meliputi kurangnya lapangan pekerjaan, rendahnya pendapatan

perkapita dan tidak tercukupi kebutuhan hidup. Yang kedua faktor sosial,

meliputi arus urbanisasi yang semakin meningkat, kurangnya partisipasi

masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial. Ketiga faktor pendidikan,

rendahnya pendidikan sehingga kurangnya bekal keterampilan untuk hidup

lebih layak dan kurangnya bekal pendidikan informal dalam keluarga. Keempat

faktor psikologis, adanya perpecahan dalam keluarga dan keinginan untuk

melupakan masa lalu yang menyedihkan serta kurangnya semangat kerja.

Kelima faktor kultural, pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang merupakan

rintangan dan hambatan mental. Keenam faktor lingkungan, khusnya pada

tunawisma yang berkeluarga dan mempunyai anak sudah nampak adanya

pembibitan tunawisma. Yang terakhir faktor agama, kurangnya dasar-dasar

ajaran agama, sehingga membuat tipisnya iman dan membuat mereka mudah

putus asa terhadap tantangan hidup dan tidak mau berusaha (Suroto, 2004:56).

8
Menurut Maghfur Ahmad dalam jurnalnya Gelandangan atau tunawisma

merupakan gambaran masyarakat tak berdaya. Tunawisma tidak mampu

berkompetisi di sektor formal, karena berpendidikan rendah, tidak memiliki

modal, tidak memiliki keterampilan yang memadai. Sebab itu, mereka biasanya

masuk ke sektor informal atau mereka hanya bekerja serabutan seperti

memulung, mengemis dan pekerjaan lain yang tidak mengharuskan

menggunakan keahlian khusus dan modal (2010:2).

Gambaran latar belakang timbulnya gelandangan atau tunawisma

tersebut jelas ada banyak kesamaan seperti yang di kemukakan oleh Sadli

faktor yang mempengaruhi tunawisma itu ada yaitu faktor kemiskinan

(struktural dan pribadi), faktor keterbatasan kesiapan kerja (intern dan ekstern).

Faktor yang berhubungan dengan urbanisasi yang masih ditambah lagi dengan

faktor pribadi, tidak perlu mengindahkan kaidah normatif yang berlaku umum,

biasanya hidup sesuai dengan keinginan sendri, dapat dikatakan mereka hidup

dalam taraf primer (1996:125).

Permasalahan tunawisma sebenarnya merupakan turunan dari

permasalahan kemiskinan. Umumnya para tunwisma adalah orang-orang yang

melakukan urbanisasi ke kota untuk mengadu nasib namun tidak didukung oleh

tingkat pendidikan yang cukup dan keahlian yang terbatas. Terdapat tiga

gambaran umum mengenai tunawisma menurut (Mutolib dan Sudjarwo

1986:18) yaitu:

1) Gelandangan atau tunawisma mengandung arti sekelompok orang


miksin atau dimiskinkan oleh masyarakat
2) Gelandangan adalah orang yang disingkirkan dari kehidupan
masyarakat umumnya

9
3) Geladangan merupakan pola atau cara hidup agar mampu bertahan
dalam kemiskinan atau keterasingan.

Kebebasan dan bahkan kemiskinan yang melekat pada kehidupan

tunawisma membuat mereka hidup tidak seperti dengan masyarakat yang

lainnya yang hidupnya dapat diatur dengan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat pada umumnya. Menurut Sarwono tunawisma adalah mereka

orang-orang miskin yang hidup di kota-kota yang tidak mempunyai tempat

tinggal tertentu yang sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban

pemerintah kota karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas

perkotaan, tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati itu,

membayar pajak misalnya (2006:49).

2. Kehidupan Sosial Ekonomi

Kehidupan sebenarnya merupakan cara atau keadaan tentang hidup,

kemudian kata sosial merupakan hal yang berkenaan dengan perilaku

interpersonal atau yang berkaitan dengan proses interaksi masyarakat.

Sedangkan ekonomi, merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukan

setiap tindakan atau proses yang bersangkutan dengan penciptaan benda atau

jasa-jasa yang dihasilkan dengan pengetahuan yang berlaku. Artinya, konsep

sosial ekonomi ini merupakan kondisi yang dialami suatu kelompok

masyarakat yang menyangkut dengan masalah kebutuhan sehari-hari, yang

harus dipenuhi tepat pada waktunya (Marotja, 1995:33).

Kehidupan sosial ekonomi harus dipandang sebagai suatu sistem (sistem

sosial), yaitu suatu keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling

berhubungan dalam suatu kesatuan. Kehidupan sosial adalah kehidupan

10
bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup dalam suatu pergaulan.

Dalam kehidupan sosial, sering berkaitan dengan adanya interaksi antar

manusia yang tinggal dalam suatu lingkungan yang sama. Adanya hubungan-

hubungan sosial yang saling mempengaruhi dengan kata lain terjadi interaksi

sosial.

Pola interaksi ini tentu saja dipengaruhi lingkungan dimana masyarakat

tersebut tinggal. Dalam masyarakat pedesaan kita tahu bahwa, interaksi yang

terjadi lebih erat dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Pada masyarakat

perkotaan, hubungan interaksi biasanya lebih direkatkan pada hubungan

pekerjaan, status dan jabatannya. Sehingga kehidupan diperkotaan lebih

menitikberatkan pada siapa yang lebih tinggi jabatan, pendapatan dan statusnya

maka dialah yang paling dihormati (Suparlan, 1995:175).

Kehidupan manusia mempunyai banyak kebutuhan, dan sudah menjadi

keharusan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhannya baik itu berupa

makanan, tempat tinggal, pendidikan dan lain sebagainya. Dalam pemenuhan

kebutuhannya manusia tidak bisa lepas dari manusia lain, artinya seorang

individu juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

itu. Dalam pemenuhan kebutuhannya manusia juga saling berinteraksi satu

sama lain. Sehingga kehidupan sosial dan ekonomi saling beriringan di dalam

kehidupan manusia.

Sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan hidup manusia, antara lain sandang, pangan dan papan. Pemenuhan

kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan yang dimiliki. Hal ini sesuai

11
dengan pendapat Melly G. Tan bahwa untuk melihat kedudukan sosial

ekonomi dapat dilihat dari pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan.

Berdasarkan ini suatu masyarakat dapat digolongkan kedalam keadaan sosial

ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Sumardi: 159).

Kehidupan sosial ekonomi secara umum pada seseorang atau keluarga

diukur melalui pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatannya. Selain itu,

Koenjaraningrat mengemukakan selain pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan,

faktor lain yang sering diikutsertakan oleh beberapa ahli lainnya adalah pola

pemukiman/perumahan, dan kesehatan (Sumardi, 1999:160)

Kehidupan sosial ekonomi adalah perilaku sosial dalam masyrakat yang

menyangkut dengan interaksinya dan perilaku ekonomi yang menyangkut

dengan pendapatan dan pemanfaatannya. Jika berbicara mengenai kehidupan

sosial ekonomi berarti juga membahas tentang kebutuhan dan bagaiamana

seseorang berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dan manfaat dari hasil yang

didapatkan. Bisa dikatakan bahwa kehidupan sosial ekonomi adalah cara-cara

atau strategi yang diterapkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari, manfaat dari hasil yang diperoleh, serta juga berbicara mengenai

kehidupan sehari-hari (Maslow, 1994:44).

Manusia dalam pemenuhan kebutuhannya, bekerja dan menghasilkan

barang dan jasa untuk dapat selalu memenuhi kebutuhan hidup yang

diperlukanya setiap hari. Berhubungan dengan kehidupan sosial ekonomi yang

didalamnya terdapat unsur kebutuhan dan pemenuhan, ada beberapa tingkat

kebutuhan manusia menurut Maslow:

12
1. Kebutuhan dasar fisiologis/kebutuhan fisik (Phisiological Needs), yang

diperlukan untuk mempertahankan hidup seperti kebutuhan akan

makanan, istrahat, udara segar, air, vitamin, dan lain sebagainya.

Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer.

2. Kebutuhan akan rasa aman, ditujukan oleh anak dengan pemenuhan

kebutuhan secara pasti dan teratur. Anak mudah terganggu dalam situasi

yang dirasakan sebagai situasi yang membahayakan, stuasi yang kacau,

tak mennentu, ia mudah menarik diri dalam situasi asing baginya. Anak

membutuhkan perlindungan yang memberi rasa aman.

3. Kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, merupakan dorongan atau

keharusan baginya untuk mendapatkan tempat dalam satu kelompok

dimana ia memperoleh kehangatan perasaan dan hubungan dengan

masyarakat lain secara umum.

4. Kebutuhan akan aktualisasi diri, memberikan dorongan kepada setiap

individu untuk mengembangkan atau mewujudkan seluruh potensi

dirinya. Dorongan ini merupakan dasar perjuangan setiap individu untuk

merealisasikan dirinya, untuk menentukan dirinya/identitasnya, dan

menjadi dirinya sendiri. Kebutuhan ini tumbuh secara wajar dalam

dirinya sendiri (Maslow, 1994:3)

3. Strategi Adaptif

Setiap manusia berusaha untuk menjaga keberlangsungan hidupnya

dengan baik sehingga manusia seringkali memikirkan cara yang harus

dilakukan agar kehidupannya dapat berlangsung dengan baik. Strategi

13
merupakan bentuk manusia dalam mendaptkan sesuatu yang diinginkannya.

Baik itu dalam pekerjaan maupun dalam perencanaan hidupnya. Strategi

merupakan dasar tindakan yang mengarahkan kegiatan dalam kondisi

persaingan dlingkungan yang selalu berubah agar dapat mencapai tujuan yang

diharapkan.

Secara etimologis, kata strategi berasal dari Bahasa Yunani yaitu

strategos yang mengakar pada strates yang berarti militer, dan Ag yang berarti

pemimpin, kata ini pada mulanya diadopsi dari dunia militer untuk

memenangkan suatu peperangan (Komarudin, 1994:32). Sehingga dalam hal

ini manusia harus mampu beradaptasi baik dengan lingkungan, fisik, sosial

maupun ekonomi. Tujuan dari adaptasi adalah untuk meneysuaikan diri secara

senetis dan memberikan sumbangan terhadap generasi-generasi berikutnya dan

juga sebagai cara mempertahankan kondisi-kondisi keberadaan kehidupan

dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam lingkungan

ataupun dalam cara mempertahankan keberlangsungan hidupnya.

Manusia dalam beradaptasi berusaha memahami ciri-ciri yang penting

dari lingkungannya, kemudian mereka menciptakan dan mengembangkan cara-

cara mengatasi tantangan tersebut, dan untuk selanjutnya manusia berusaha

menangkap umpan balik dari tindakannya. Pada kondisi seperti ini, wujud

lingkungan itu sendiri dipengaruhi dan dibentuk oleh sejumlah tindakan

manusia yang akhirnya mengabstraksikan pengalamannya dan

memasyarakatkan cara yang paling tepat dalam mengatasi berbagai tantangan

dari lingkungan tersebut.

14
Kaplan dan Manners (2002:112) beranggapan bahwa konsep adaptasi

sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dan lingkungannya.

Sehingga jelas bahwa mustahil berpikir tentang adaptasi tanpa mengacu pada

suatu lingkungan tertentu. Sehingga setiap manusia senantiasa berusaha untuk

menjaga kelangsungan hidupnya dengan baik, sehingga dalam hal ini maka

manusia senantiasa berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya baik

fiisik, sosial maupun ekonominya.

Adaptasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri guna

memenuhi kebutuhan hidupnya bagi individu maupun kelompok yang

bermukim disuatu tempat. Sebagai mana diketahui bahwa manusia dengan

ilmu penegtahuan yang dimilikinya akan mampu menghadapi setiap persoalan

yang dihadapinya dalam kehidupannya di lingkungan sosial dan budaya tempat

tinggalnya. Sehingga, dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin akan

terjadi pada dirinya manusia harus mampu mengadaptasikan dirinya dengan

berbagai cara.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, membutuhkan kegiatan-

kegiatan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup.kegiatan ini

juga dinamakan sebagai kegiatan ekonomi. Seperti yang didefinisikan Sairin

dan Somedi bahwa kegiatan ekonomi sebagai upaya manusia untuk memenuhi

kebutuhan hidup di tengah-tengah alam dan lingkungan sosialnya (2002:16).

Manusia dalam upayanya mempertahankan hidupnya di tengah-tengah

lingkungan dan sosial tempat ia tinggal dalam hal ini ialah strategi bertahan

hidup. Suharto menyatakan definisi strategi bertahan hidup (coping strategis)

15
adalah kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk

mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya (2009:29).

Dalam konteks pada keluarga miskin, strategi penanganan masalah ini pada

dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola

aset yang dimilikinya. Bisa juga disamakan dengan kapabilitas keluarga miskin

dalam menanggapi goncangan dan tekanan (shock and Stress).

Sementara itu menurut Conner, beberapa pola startegi bertahan hidup

yang dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup yaitu:

1. Memiliki pekerjaan lebih dari satu walaupun lebih sedikit pemasukan

yang didapatkan.

2. Apabila belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya kemudian

menggunakan ikatan kekerabatan, ketetanggaan, dan hubungan timbal

balik. Dalam hal ini berkaitan dengan tunawisma sendiri, mereka bisa

menggunakan keadaan mereka untuk mendapatkan belas kasih orang

lain.

3. Jam kerja diperbanyak atau memulai pekerjaan dari pagi-pagi buta

sampai pada malam hari untuk mendapkan hasil yang lebih banyak.

4. Jika menurutnya tempat ia bekerja atau mencari nafkah tidak

menghasilkan lebih banyak pemasukan maka ia akan berpindah ke

tempat yang lebih menghasilkan atau lebih memberi banyak pemasukan

(Kusnadi, 2000:7-8).

Konteks penelitian ini menggambarkan bagaimana tunawisma dapat

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tempat ia tinggal yang sering

16
mengalami perubahan. Melakukan atau memikirkan strategi sebagai upaya

mereka untuk mempertahankan hidupnya dan melangsungkan kehidupan untuk

memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Kemiskinan yang melekat pada tunawisma mengaharuskan para

tunawisma memutar otak untuk tetap melangsungkan kehidupannya meskipun

dalam keadaan susah sekalipun. Dengan pengalaman yang mereka dapatkan

dari hidup di jalanan dan sudah terbiasa menjadi orang yang tidak memiliki

tempat tinggal, sehingga dalam cara-cara penyesusian diri para tunawisma

dalam menghadapi kerasnya hidup dijalanan sudah begitu sangat erat dengan

kehidupan mereka sehari-hari. Cara-cara penyesuaian diri itu seperti dalam

strategi mereka untuk bertahan hidup seperti, bekerja lebih keras atau

mengoptimalkan jam kerja, mengurangi pemenuhan kebutuhan makanan,

pemanfaatan jaringan sosial seperti halnya saat mereka mengemis, hal-hal

inilah yang setidaknya diawali dengan proses adaptasi yang panjang selama

mereka menjadi tunawisma.

6. Metode Penelitian

1. Dasar dan Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini merupakan tipe penelitian deskriptif dengan dasar

penelitian kualitatif yang bertujuan memberikan gambaran serta analisis secara

terperinci mengenai Kehidupan Tunawisma Di Kota Palu. Dalam pandangan

penelitian kualitatif, gejala itu bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat

dipisah-pisahkan), sehingga peneliti kualitatif tidak akan menempatkan

penelitiannya hanya berdasarkan variable penelitian, tetapi keseluruhan situasi

17
sosial yang diteliti yakni meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan

aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2017:207)

2. Ruang Lingkup Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertempat di Kota Palu sesuai dengan judulnya yaitu

Kehidupan Tunawisma di Kota Palu. Pengambilan lokasi ini berdasarkan

pertimbangan bahwa Kota Palu merupakan salah satu kota yang masih banyak

ditemukan para penyandang tunawisma, penelitian tunawisma di Kota Palu

juga masih sedikit, sehingga hasil penelitian ini nantinya menjadi masalah yang

penting.

b. Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian ini adalah para penyandang tunawisma yang

berada di jalanan Kota Palu.

c. Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini adalah para penyandang tunawisma yang

ada di Kota Palu. Dimana dari hasil pengamatan penulis sebelumnya, peneliti

akan mengambil 3 orang informan yaitu tunawisma yang beraktivitas sebagai

pengumpul barang bekas (pemulung), mengemis dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengumpulkan data ada beberapa tahapan pengumpulan data yang akan

peneliti lakukan di antaranya:

a. Studi Pustaka

18
Melalui pengumpulan data dengan studi pustaka, peneliti akan

mengumpulkan data yang berasal dari penulisan-penulisan terdahulu yang

berhubungan dengan Kehidupan Tunawisma. Buku-buku, artikel, jurnal,

media, serta sumber-sumber ilmiah lainnya yang dapat menunjang tentang

penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan

Ketika peneliti akan melakukan penelitian, peneliti akan melakukan

langkah-langkah berikut:

1. Pengamatan

Peneliti akan mengamati terlebih dahulu tentang perilaku, aktivitas,

dan kegiatan para Tunawisma.

2. Wawancara

Langkah berikut yang akan peneliti lakukan adalah wawancara. Peneliti

membangun wawancara awal guna menjalin keakraban dengan informan.

Kemudian peneliti juga akan menanyakan beberapa pertanyaan yang sudah

disiapkan oleh peneliti kepada informan sesuai dengan pedoman wawancara

yang disiapkan.

3. Dokumentasi

Peneliti akan melakukan dokumentasi sebagai salah satu bahan untuk

memperkuat data dan salah satu pengumpulan data yang berisi tentang

gambar aktivitas, kegiatan-kegiatan yang dilakukan informan. Hal ini berguna

untuk memberikan gambaran tentang tulisan ini.

4. Teknik Analisis Data

19
Teknik analisis data menurut Miles dan Huberman memaparkan bahwa

ada tiga macam dalam analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, model data

(data display), dan penarikan atau verifikasi kesimpulan (Sugiyono,

2007:209).

a. Reduksi Data

Reduksi data berarti proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan, reduksi data dilakukan secara

terus menerus selama penelitian berlangsung. Pada tahap reduksi peneliti

memilih dan memilah data yang diperoleh melalui hasil dokumentasi,

wawancara, dan observasi.

b. Penyajian Data (Data Display)

Miles & Huberman membatasi suatu penyajian sebagai

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya

penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Mereka meyakini

bahwa penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang

utama bagi analisis kualitatif yang valid, yang meliputi: berbagai jenis

matrik, grafik, jaringan dan bagan. Semuanya dirancang guna

menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu

dan mudah dimengerti. Dengan demikian seorang penganalisis dapat

melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik

kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis

20
yang menurut saran yang dikisahkan oleh penyajian sebagai sesuatu yang

mungkin berguna.

c. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan menurut Miles & Huberman hanyalah

sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-

kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Kesimpulan

akhir tidak hanya terjadi pada waktu proses pengumpulan data saja, akan

tetapi perlu diverifikasi agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Secara skematis proses analisis data menggunakan model analisis data

interaktif Miles dan Huberman dapat dilihat pada bagan berikut:

Pengumpulan Penyajian Data


Data

Verifikasi/
Reduksi Data Penarikan
Kesimpulan

(Sumber, Sugiyono 2007:210)

7. Sistematika Penulisan

Dalam memperoleh hasil penyusunan proposal yang sistematis, maka

dalam penulisan ini saya menyusun kedalam 5 (lima) Bab pembahasan. Dalam

5 (lima) bab tersebut akan saling berkaitan.

21
Bab I Pendahuluan : Dalam bab ini akan ada sub pembahasan mengenai Latar

Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka

Konseptual, Metode Penelitian dan Sistemtika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka : Dalam Bab ini akan akan membahas tentang

kajian Kehidupan Tunawisma di perkotaan dari beberapa penelitian terdahulu

yang serelevan dengan judul penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini.

Bab III Gambaran Umum Lokasi Penelitian: Dalam bab ini akan berisi

tentang penjelasan terperinci mengenai lokasi tempat tinggal tunawisma,

keberadaan tunawisma dan profil informan.

Bab IV Pembahasan : Dalam Bab ini akan membahas mengenai kehidupan

sosial ekonomi tunawisma dan bentuk-bentuk strategi bertahan hidup

tunawisma.

Bab V Penutup: Pada bab terakhir ini berisikan kesimpulan dan saran-saran

yang dibangun oleh peneliti sendiri berdasarkan hasil penelitian yang

didapatkan di lapangan.

22
DAFTAR RENCANA ISI

SAMPUL LUAR

SAMPUL DALAM

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah Penelitian

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

2. Manfaat Penelitian

D. Kerangka Konseptual

1. Tunawisma
2. Kehidupan Sosial Ekonomi
3. Strategi Adaptif

E. Metode Penelitian

1. Dasar dan Tipe Penelitian

2. Ruang Lingkup Penelitian


3. Teknik Pengumpulan Data

4. Teknik Analisis Data

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu Tentang Tunawisma

BAB III. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Lokasi Tempat Tinggal Tunawisma


B. Keberadaan Tunawisma di Kota Palu
C. Profil Informan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kehidupan Sosial dan Ekonomi Tunawisma di Kota Palu


B. Strategi Bertahan Hidup di Perkotaan

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

-
Daftar Pustaka

Buku-Buku

Jon Muttolib, Sudajarwo.


1986. Gelandangan di kancah reformasi. Jakarta: LP3ES
Kaplan, David dan Robert A. Manners.
2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komarudin.
1994. Ensiklopedia Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara
Koentjaraningrat.
1985. Metode-metode penelitian masyarakat. Jakarta: PT Gramedia
Kusnadi.
2000. Nelayan; Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial, Yogyakarta: LkiS
Maslow, A.
1994. Motivasi dan Kepribadian. Jakartra: PT. Pustaka Biman Presindo
Ramlond Naning.
1983. Problema Gelandangan Dalam Tinjauan Tokoh Pendidikan dan
Psikologi. Bandung: Penerbit CV.Armacon
Sarlito Sarwono.
2006. Masalah Sosial dan Penanganannya. Bandung: PT Persada Rosda
Karya
Sjafiri Sairin, Somedi.
2002. Pengantar Antropologi ekonomi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sopariah Sadli.
1996. Perilaku geladangan dan penanggulangan. Jakarta:LP3ES
Sugiyono.
2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cetakan ke-25.
Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sumardi, Mulaynto dkk.
1999. Kemiskinan dan kebutuhan pokok. Jakarta:CV Rajawali
Suparlan Parsudi.
1995 Kemiskinan Diperkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan Parsudi.
1999. Gelandangan Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota. Jakarta:
LP3ES.
Suroto.
2004. Pembinaan gelandangan dan pengemis di Yogyakarta. Yogyakarta:
Kamisius
Suharto Edi.
2003. Membangun Masyrakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: PT
Repika Aditama

Jurnal
Maghfur Ahmad.
2010, Strategi Keberlangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis
(Gepeng). Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vo.7. No.2. hlm 1-15
Dg.Maroja
1995. Kehidupan sosial ekonomi Pengrajin Bingga (Studi Kasus di Desa
Langaleso Kecamatan Dolo Kabupaten Dati II Donggala). JURNALIIS
Universitas Tadulako: hlm 30-45

Anda mungkin juga menyukai