Anda di halaman 1dari 3

Nama: Carlos Venansius Homba

NIM : 124114020

Kos-kosan: Rumah Inap atau Rumah Bordil?


Perhatian terhadap kebiasaan amoral generasi
pembangunan saat ini secara khusus dibahas dalam
buku yang berjudul “Sex in The Cost”. Buku ini
disusun oleh Iip Wijayanto. Secara garis besar buku
ini menyinggung lirih kegiatan atau yang secara
terpaksa dikatakan sebagai “tradisi” remaja saat ini.
Betapa mengejutkan, muncul angka yang fantastis soal
persentasi virjinitas mahasiswi di Indonesia yang
mencapai angka 97,05%. Bukan main, ini data yang
terpampang di harian Jawa Pos 12 tahun tahun silam.
Bagaimana dengan fakta saat ini?

Pada tahun ajaran baru, tentunya banyak mahasiswa baru yang berbondong-bondong
mencari tempat tinggal. Apalagi mereka yang berdomisili di luar kota atau bahkan di luar
pulau. Tempat yang biasanya menjadi incaran adalah rumah pondok atau dewasa ini biasa
disebut dengan kos-kosan. Kenyataan harus tinggal di kos-kosan ini terkadang membawa
sensasi yang berbeda-beda, ada yang merasa sedih karena harus tinggal sendirian dan jauh
dari orang tua, ada yang bangga karena bisa membuktikan bahwa ia dapat hidup mandiri, ada
pula yang kemudian merasa senang karena bisa lebih bebas dan lepas dari segala kontrol
keluarga. Perasaan yang berbeda-beda itu tetap membawa mereka pada sebuah kenyataan
bahwa mereka adalah orang baru di tempat tersebut, mereka berhadapan dengan kenyataan
yang baru, dan harus mampu menyesuaikan diri dengan tetangga, lingkungan, kebiasaan,
hingga aturan RT/RW setempat.

Segala sesuatu menjadi tanggung jawab diri sendiri. Kurang biasa memegang
tanggung jawab bisa membuat penghuni baru kos tersebut cenderung melupakan apa yang
seharusnya ia lakukan dan jaga. Mereka akan lebih mudah terpesona dengan lingkungan yang
baru, teman baru, jenis makanan yang baru. Apalagi insting coba-coba adalah corak dominan
dalam psikologi remaja maka semuanya pasti mau diraup sebanyak-banyaknya.

Mayoritas anak kos pasti akan terbawa ke dalam perasaan kebebabasan. Perasaan ini
biasanya berkaitan dengan kosakata kesenangan. Anak kos akan mencari segala sesuatu yang
bisa membuat ia senang, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Senang membuat mereka
lupa bahwa harus bersosial dengan tetangga atau pun mengikuti kegiatan RT/RW sekitar.
Kebiasaan baru ini yang kemudian menjadi alasan dari sekian banyak kasus yang ditemukan
mengenai anak kos.

`Seperti yang diunggakapkan oleh Fadi Andi Pratama; mahasiswa Program Studi
Sastra Inggris Uniersitas Sanata Dharma bahwa “Jadi anak kos itu enak, bebas dari kontrol
orang tua, mau pulang kapan terserah, mau kerja tugas terserah, mau bangun jam berapa
terserah. Pokoknya semuanya menjadi kehendak bebas dari si anak kos tersebut”. Ia juga
mengaku kalau jarang terlibat dalam kegiatan di lingkungan kosnya.

Kehendak bebas ini tentunya akan bertabrakan dengan aturan yang dibuat RT/RW
setempat. Berdasarkan hasil investigasi tim kami bahwa rata-rata RT/RW di wilayah Sleman
ini mengeluarkan aturan tertulis kepada masyarakat, termasuk anak kos dalam bertingkah
laku seperti tidak boleh membawa teman lawan jenis ke dalam kamar, kalau pun membawa
harus membuka pintu dan tidak boleh sampai di atas pukul 22.00, menjaga ketenangan
lingkungan, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya masih banyak perilaku penyimpang
yang bisa saja terjadi dengan motif-motif tertentu.

Salah satu yang santer terdengar sebagai kasus anak kos saat ini adalah kegiatan
“kumpul kebo”. Pria membawa pacar perempuannya ke kos dan menginap. Tindakan ini jelas
menyalahi aturan dan norma dalam masyarakat. “Kumpul Kebo” bisa jadi awal dari masalah
hamil di luar nikah, pengguguran bayi, hingga bunuh diri.

Pertanyaannya, siapa yang kemudian disalahkan? Apakah penghuni kos, pemilik kos,
atau masyarakat sekitar? Berdasarkan temuan tim investigasi kami, di temukan sebuah kos
yang melicinkan praktek ini. Terjadi di lingkungan RT/RW 01/01 Jl. STM Pembangunan,
Catur Tunggal, Depok, Sleman. Uniknya, pemilik kos ini bukanlah ibu atau bapak tapi
seorang mahasiswa Atmajaya dengan inisial LKP. Kos tersebut sebelumnya adalah kos-kosan
laki-laki. Tetapi kemudian diganti menjadi kos-kosan perempuan karena sebelumnya sering
terjadi keributan dan banyak masalah. Sejak berdirinya kurang lebih 3,5 tahun yang lalu, kini
kos-kosan tersebut berubah status menjadi kos-kosan perempuan yang terdiri dari empat
kamar dengan biaya sewa Rp 1.200.000,00 pertriwulan. Penghuninya adalah mahasiswi dari
Universitas Sanata Dharma, Universitas Atmajaya, dan Universitas Mercubuana.

Kos-kosan ini juga dikenai aturan yang sama dengan kos-kosan lain. Tetapi ada
perlakuan khusus dari pemilik kos karena pada dasarnya, ada perpektif dalam masyarakat
kalau kos perempuan pasti aman dan tentram, tidak perlu ada yang dikuatirkan.

Pada kenyataannya, di balik balutan tembok pagar yang rapat tersebut, ada praktek
“kumpul kebo”, uniknya, kegiatan ini dilakukan oleh perempuan. Tidak ada warga sekitar
yang mencurigai aksi ini, termasuk RT/RW setempat. Kegiatan tersebut pun berlangsung
sampai sekarang dan terjadi dengan rapi dan rahasia.

Ada motif menarik dalam kasus ini. Pihak yang terlibat bukan saja penghuni kos dan
pasangannya, tetapi juga pemilik kos. Modusnya adalah seperti ini, penghuni kos yang
notabene adalah perempuan, bebas mengajak teman prianya untuk menginap di kosnya,
terserah berapa malam. Syaratnya, penghuni kos harus memberikan charge sebesar Rp
10.000,00 kepada pemilik kos untuk satu malam dan satu tamu. Kalau mau lanjut, dikenai
charge yang sama seperti hari pertama.

Bisa dilihat bahwa ada keterlibatan pihak lain yang juga turut melancarkan aksi
maksiat ini. Bukan main, itu adalah pemilik kos sendiri yang sebenarnya bertanggung jawab
menjaga nama baik kos-kosannya. Ada pihak ketiga yang sebenarnya juga turut bertanggung
jawab atas kejadian ini. Belum ada penelusuran lebih jauh, apakah masyarakat sekitas, atau
pun RT/RW sekitar tidak tahu atau mungkin bungkam karena juga kena “charge”?

Angka 97,05% di atas, bisa jadi terdata oleh karena tindak terselubung seperti ini.
Setelah kita mengetahui kasus tersebut bagaimana kemudian pandangan kita? Masyarakat
Indonesia bahkan mungkin masyarakat luar negeri bisa memberi kesimpulan bahwa moral
kaum muda yang kita miliki rusak dan bobrok. Kebobrokan moral seperti ini akan berakibat
fatal bagi stabilitas negara, tingkat penyimpangan-penyimpangan perilaku, dan kriminalitas
akan meningkat, Pihak yang diharapkan berintelektual dan berpotensi memegang tanggung
jawab penting bagi bangsa di masa depan hancur, Sumber Daya Manusia (SDM) bisa
mengalami keterbelakangan. Mahasiswa dan para intelektual muda Indonesia disibukkan
dengan ta’aruf, pacaran, atau apa pun istilahnya, namun pada ujung-ujungnya adalah pra-
marrietal intercourse (hubungan seks pranikah).

Anda mungkin juga menyukai