Anda di halaman 1dari 12

JST 9 (1) (2020)

JURNAL SENI TARI


Terakreditasi SINTA 4

Perbandingan Beksan Lawung Ageng dalam Pernikahan Agung Tahun 2013


dengan Peringatan 30 Tahun Bertahta Sri Sultan Hamengku Buwono X Tahun
2019 di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat : Kajian Aspek Makna, Bentuk,
dan Fungsi

Riki Kristianto, Kuswarsantyo


Jurusan Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel
Diterima : Penelitian ini bertujuan membandingkan persamaan dan perbedaan Beksan Lawung Ageng pada pernikahan antara
GKR Hayu dengan KPH Notonegoro tahun 2013 dengan yang ditampilkan pada peringatan 30 tahun bertahta
01 Mei 2020
Sultan Hamengku Buwono X tahun 2019. Metode penelitian kualitatif dan Etnokoreologi digunakan dalam
Disetujui : penelitian ini dengan deskripsi analisis selain menggunakan hermeneutika yang merupakan teori tentang interpretasi
01 Juni 2020 juga menggunakan pendekatan etnokoreologi, sejarah, sosiologi, antropologi dan semiotika. Teknik pengumpulan
Dipublikasikan : data menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui reduksi data,
05 Juli 2020 penyajian data, dan kesimpulan. Uji keabsahan data dengan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
terdapat perubahan dan perbedaan fungsi serta bentuk Beksan Lawung Ageng pada pernikahan GKR Hayu dengan
KPH Notonegoro pada tahun 2013 dengan peringatan 30 tahun bertahta Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu
Keywords: diketahui faktor-faktor dan alasan-alasan atas perubahan fungsi dan perbedaan bentuk Beksan Lawung Ageng pada
pernikahan GKR Hayu dengan KPH Notonegoro pada tahun 2013 dan Beksan Lawung Ageng pada peringatan
Lawung Ageng dance,
30 tahun bertahta Sultan Hamengku Buwono X yang mengungkapkan kebijakan Karaton Ngayogyakarta
Yogyakarta classical Hadiningrat di era Sultan Hamengku Buwono X dalam perlindungan dan pengembangan pusaka tari.
dance, Yogyakarta
palace, royal wedding,
Abstract
accession to the throne
This study aims to compare the similarities and differences of Beksan Lawung Ageng in marriage between GKR Hayu and
KPH Notonegoro in 2013 with those displayed on the 30th anniversary of Sultan Hamengku Buwono X's year 2019.
Qualitative research methods and ethnocoreology were used in this study with analytical descriptions other than using
hermeneutics which is a theory of interpretation also uses ethnochoreology, history, sociology, anthropology and semiotics
approaches. Data collection techniques using observation, interviews, and study documentation. Data analysis is performed
through data reduction, data presentation, and conclusions. Test the validity of the data by triangulation. The results of
this study indicate that there are changes and differences in the function and form of the Beksan Lawung Ageng at GKR
Hayu's marriage to KPH Notonegoro in 2013 with the 30th anniversary of Sultan Hamengku Buwono X's throne. Besides,
there are also factors and reasons for changes in function and differences. the form of Beksan Lawung Ageng at the wedding
of GKR Hayu with KPH Notonegoro in 2013 and Beksan Lawung Ageng at the 30th anniversary of Sultan Hamengku
Buwono X's reign which revealed the Ngayogyakarta Hadiningrat Karaton policy in the era of Sultan Hamengku Buwono X
in the protection and development of dance heirlooms.

© 2020 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: ISSN 2503-2585
Jl. Colombo No.1, Karang Malang, Caturtunggal, Kec. Depok,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
Email : kuswarsantyo@uny.ac.id

65
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

PENDAHULUAN pernikahan putri-putri Sultan serta dalam


Beksan Lawung berdasar wawancara R.B. menyambut tamu Sultan. Selain itu juga
Soedarsono dengan narasumber Rio ditampilkan pada perkawinan masyarakat
Yosodipuro pada tanggal 28 November 1983, umum karena Karaton Ngayogyakarta
menyatakan bahwa Beksan Lawung telah ada Hadiningrat memperbolehkan Beksan Lawung
sejak jaman Kerajaan Jenggala, dengan dengan Ageng ditampilkan di luar karena Karaton
adanya Beksan Lawung dan Dhadhap yang Ngayogyakarta Hadiningrat (Kuswarsantyo,
digunakan untuk menarik dan menambah 2019).
semangat prajurit dalam berolah senjata.
Kemudian Beksan Lawung berkembang terus METODE
hingga jaman kerajaan Mataram, yang Menurut Slamet (2018) bahwa tari
perkembangannya menjadi Beksan Lawung merupakan fenomena sosial yang mengalami
gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta proses dalam mencapai kemapanan.
(Soedarsono, 1984). Permasalahan-permasalahan dalam tari selalu
Beksan Lawung Ageng gaya Yogyakarta terkait dengan fenomena sosial lainnya yang
adalah bagian dari Beksan Trunajaya, yang dalam melakukan analisis dapat menggunakan
secara lengkap dibagi menjadi tiga bagian yaitu perbandingan komparatif atau grafis, sehingga
Beksan Lawung Alit (alus), Beksan Lawung dalam meneliti tari sebagai suatu ilmu tidak
Ageng (gagah), dan Beksan Sekar Madura (alus berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya yaitu
dan gagah). Tarian ini mendapat inspirasi dari penelitian kualitatif.
keadaan sosial politik saat itu, di mana Sultan Dengan metode deskripsi analisis
Hamengku Buwono (HB) I (1755 – 1792) menurut Sedyawati (2004) akan didapatkan
yang sangat mengagumi keberanian gambaran terhadap subyek dan objek
Pangeran Trunajaya dari Madura dalam penelitian berdasar fakta yang merupakan
perang melawan VOC, sehingga Sultan HB I representasi obyektif dari gejala-gejala yang
memasukan unsur Madura dalam pocapan terdapat pada setting penelitian. Dilakukannya
Beksan Lawung Ageng (Suryobrongto, 1981). analisis untuk memunculkan makna sosial
Beksan Lawung Ageng merupakan tarian
budaya dalam sebuah peristiwa guna
prajurit yang berlatih perang dengan
memberikan pandangan yang lebih mendalam
menggunakan senjata lawung untuk
dan menyeluruh terhadap permasalahan yang
menujukkan semangat, keberanian dan
dibahas. Selain itu digunakan hermeneutika
kepahlawanan para prajurit Karaton
yang menurut Siswanto (2017) bahwa
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang ditampilkan
hermeneutika pada dasarnya adalah sama
melalui gerak yang bertema kepahlawanan
dengan teori tentang interpretasi di mana
(warisanbudaya.kemdikbud.go.id., 2010).
bahasa dikenal strukturnya lewat tata bahasa
Dalam perkembangannya, Beksan
atau gramatik, namun menganalisis tata
Lawung Ageng termasuk sebagai tari upacara
bahasa belum cukup untuk dapat menganalisis
sehingga selain ditampilkan dalam pernikahan
teks sehingga diperlukan suatu prinsip untuk
putra-putri raja juga dipentaskan dalam
memahami. Pendekatan etnokoreologi yang
menyambut tamu agung atau upacara
menurut Ahimsa-Putra (2007:93)
kenegaraan/kerajaan lainnya (Soedarsono,
menempatkan tari sebagai objek
1984) sehingga Beksan Lawung Ageng
multidimensional, di mana etnokoreologi
memiliki kedudukan yang sangat tinggi
masih sekerabat dengan etnosains dan etnoart
(Soedarsono, 1990).
yang merupakan pendekatan yang muncul
Pertunjukan Beksan Trunajaya secara
dalam antropologi budaya.
lengkap terakhir kali dipentaskan dalam Telaah seni pertunjukan di Indonesia
pernikahan putra raja pada tahun 1917, di era pada saat ini sering menggunakan perspektif
Sultan HB VII (1877-1920) dalam merayakan kajian pertunnjukan dengan menggunakan
pesta pernikahan KPH Brongtodiningrat semiotika dan antropologi sebagai alat
(Soedarsono, 1984). Sejak itu Beksan analisisnya yang dikombinasikan dengan
Trunajaya tidak lagi ditampilkan secara estetika koreologi dan lainnya (Pramayoza,
lengkap, bahkan Beksan Lawung Ageng telah 2013). Pendapat Soedarsono dengan merujuk
dipadatkan dan dipersingkat. pada pendapat De Marinis (dalam Sumaryono,
Pada era Sultan HB X sekarang ini, 2017:63) bahwa seni pertunjukan, termasuk di
Beksan Lawung Ageng juga ditampilkan dalamnya seni tari hakikatnya bersifat entitas
dalam

6
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

multilapis yang memiliki dua perspektif yaitu


tentang tari-tari etnis yang menyertakan juga
teks dan konteks di mana teks adalah kajian-
keterlibatan masyarakat pendukungnya,
kajian tentang peristiwa seni pertunjukannya,
karena tari adalah produk sebuah masyarakat
dan konteks adalah kaitannya dengan sosial
yang mengandung nilai-nilai yang dianut
kehidupan, sejarah dan latar belakang
masyarakat tersebut; 4) Perbadingan seni
kebudayaan yang melingkupi tari tersebut di
dengan menekankan pentingnya keterkaitan
dalam kelompok suku yang dimaksud
antar karya seni baik secara historis teoritis dan
(Ayuningtyas, 2018: 139). Sehingga penelitian-
studi kritik; 5) Semiotika dengan mengungkap
penelitian tentang seni pertunjukan, termasuk
simbol-simbol dalam yang ada dalam Beksan
seni tari, disebut multi-disiplin karena
Lawung Ageng; 6) Sosiologi dengan
analisis- analisis yang berupa teks dan konteks
mempelajari masyarakat dalam penelitian ini
membuat penelitian menjadi utuh dengan
khususnya digunakan dalam melihat status
melibatkan berbagai disiplin ilmu sebagai
sosial khususnya cara pandang kaum ningrat
ilmu bantu (Sumaryono, 2017).
terhadap tarian istana atau tari klasik
Pendapat Wuthnow (dalam Pramayoza,
khususnya Beksan Lawung Ageng yang
2013:xii-xiii) empat pendekatan yang dapat
tentunya akan berbeda dengan masyarakat
digunakan dalam kajian pergelaran yaitu: 1)
kebanyakan atau masyarakat umum; 7)
Pendekatan struktural yaitu pendekatan yang
Cabang ilmu filsafat yaitu Hermeneutika
menekankan pada pencarian atas pola dan
digunakan untuk mengungkapkan pikiran-
aturan yang mengikat kebudayaan sebagai
pikiran seseorang. Teori Hermeneutika yang
kesatuan (Sutiyono, 2013: 48); 2) Pendekatan
akan digunakan adalah Hermeneutika
dramaturgi yang berfokus pada aspek ekspresi
Fenomenologi Paul Ricoeur (1913-2005) dan
dan komunikasi suatu kebudayaan melalui
Hermeneutika Teologis Rudolf Karl Bultmann
bentuk ucapan, tidakan benda dan peristiwa,
(1884-1976).
di mana ritual dan tindakan simbolik
lainnya pada dasarnya merupakan
dramatisasi kualitas hubungan sosial; 3)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan institusional menekankan
pentingnya peran organisasi yang
Makna Simbolis dan Mitos dalam Beksan
mengkonstitusi kesenian, di mana sumber
daya dan distribusinya kepada seluruh Lawung Ageng pada Pernikahan Agung
anggota budaya menghadirkan relasi kuasa Tahun 2013 di Karaton Ngayogyakarta
antara kesenian, negara, pendidikan, lembaga Hadiningrat
ilmu pengetahuan dan media masa sebagai Schleiermacher dengan hermeneutika
agen yang menguasai dan mendistribusikan universal tidak membatasi diri hanya pada
berbagai sumber daya kebudayaan; 4) teks- teks khusus dan “Penafsir” atau peneliti
Pendekatan dialektis yaitu pendekatan dengan harus memposisikan diri baik secara subjektif
menggunakan perkembangan masyarakat dan maupun objektif ke dalam posisi pencipta
pemikirannya. (Hardiman, 2015). Menurut Schleimacher
Penelitian-penelitian tentang tari bahwa penafsir harus memiliki kemampuan
merupakan sebuah penelitian multi-disiplin memahami sebuah teks yang dikenal dengan
karena analisis-analisis yang berupa teks dan lingkaran hermeneutika, di mana menafsirkan
konteks membuat penelitian menjadi utuh teks atau dalam hal ini sebuah tarian yang
dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu bernama Beksan Lawung Ageng merupakan
sebagai ilmu bantu, diantaranya : 1) Sejarah, tugas reproduktif, yakni menghadirkan
menurut Sedyawati (1980:30) bahwa Sejarah kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak
tari adalah bentuk dan fungsi-fungsi tari; 2) pencipta seperti kehendak Sultan HB I.
Ilmu antropologi yang mempelajari budaya Dengan bertolak dari gagasan
dan masyarakat pendukung tari, dalam Schleiermacher, Dilthey berpendapat bahwa
penelitian ini Karaton Ngayogyakarta, serta untuk memahami suatu teks, kita harus
melihat fungsi Beksan Lawung Ageng sebagai menempatkannya di dalam konteks kehidupan
tarian ritual dan sakral di Karaton penulisnya, dan konteks kehidupan terdiri atas
Ngayogyakarta Hadiningrat serta pandangan masyarakat, kebudayaan dan sejarah
masyarakat Jawa tentang Karaton (Hardiman, 2015).
Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat Pendapat Schleimacher dan Dilthey
budaya Jawa; 3) Etnokoreologi yaitu Ilmu dilanjutkan oleh Ricoeur. Pendapat Ricoeur

6
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

menyatakan bahwa simbol-simbol tidak hanya


yang mutlak, satu kedwitunggalan dalam
untuk interpretasi, tetapi juga untuk refleksi
pengertian yang paling dalam. Sehingga Beksan
filosofis dan membiarkan mitos-mitos itu
Lawung Ageng yang merupakan bagian dari
berbicara kepada kita untuk masa kini yang
upacara dhaup juga memiliki makna yang sama
dalam konteks kekinian (Hardiman, 2015).
(Djoharnurani, 1991).
Sehingga ada hubungan yang kuat antara
Secara filosofis Beksan Lawung Ageng
hermeneutika Schleimacher dengan
menuntun manusia pada cara-cara yang benar
hermeneutika Ricoeur.
dalam ulah kridhaning asmara atau teknik
Pernikahan akan merubah peran dari
berolah asmara yang menandai dan memaknai
kedua mempelai yang harus melepaskan
upacara ritual kejawen tantris seperti pendapat
keterikatan dan kebiasaan lamanya serta
Zoetmulder, serta pandangan manunggaling
membentuk yang baru, dari dua manusia lajang
kawula-Gusti seperti pendapat Kraemer
menjadi suami istri, dari peran seorang anak
(Djoharnurani, 1991).
yang setelah menikah akan menjadi orang tua
Ywanjono (dalam Pramutomo 2009:73)
dan lainnya. Perubahan peran ini dianggap
menyatakan bahwa beliau selalu ingat kata-
penting dalam masyarakat Jawa sehingga
kata ayahnya, G.P.B.H. Suryobrongto, yang
memerlukan ritual supaya mencapai
menyatakan bahwa ragam gerak sodhoran silih
keberhasilan. Oleh karena itu dalam
ungkih sebenarnya menunjukan karakter Jajar
perkawinan putra-putri Sultan Yogyakarta
dalam Beksan Lawung seperti ayam jago
dilakukan dengan tata cara dan syarat-
yang hendak diadu sehingga bulu-bulu pada
syaratnya serta ditampilkan Beksan Lawung
lehernya serta kedua kaki ayam itu selalu
Ageng sebagai tarian sakral untuk keperluan
bergejolak. Sehingga menurut Pramutomo
ritual tersebut.
(2009) bahwa Beksan Lawung Ageng
Perkawinan dikondisikan sebagai daur
ulang manusia yang dirituskan seperti berhubungan dengan kontekstualitas sistem
pernyataan Kraemer (dalam Djoharnurani, simbol dan hubungan seks menurut konteks
1991:94) bahwa perkawinan adalah hubungan upacara perkawinan Karaton Ngayogyakarta
kawula dan gusti, maka perkawinan termasuk Hadiningrat.
sebuah proses ekstasis dalam monisme yang Peran Jajar divisualisasikan sifat
radikal. Selanjutnya pendapat Zoetmulder hubungan seks yang merupakan refleksi dari
(dalam Djoharnurani, 1991:94) bahwa sepasang pengantin yang baru pertama kali
pembagian Ada atau ruh suci yang berhubungan seks (Widaryanto & Sumardjo
diaminasikan menurut dua lingkungan yang (Ed.), 2012). Sedangkan penari Lurah
ditampilkan sebagai hakikat pria dan wanita divisualisasikan sebagai cara-cara tingkat lanjut
mengingatkan pada tantrisme. menikmati hubungan seks, serta gerak ragam
Beksan Lawung Ageng berfungsi sebagai kagok impur dari peran Lurah adalah sebuah
wakil Sultan pada pernikahan putra-putri raja, ungkapan tingkat lanjut yang lebih tenang serta
sehingga Beksan Lawung Ageng memiliki nilai mengingatkan terhadap laku hubungan sakral
dan kedudukan yang tinggi serta memiliki antara suami istri yang semestinya didahului
kekuatan yang dapat menyempurnakan dengan suatu bentuk pemanasan yang cukup
kelangsungan upacara ritual, sehingga bersifat lama serta kemudian berakhir dengan klimaks
wajib ada dalam setiap pernikahan putra-putri yang teramat pendek disimbolkan melalui
Sultan (Djoharnurani, 1991). Seluruh elemen gerakan perang dengan sodok menyodok yang
dari Beksan Lawung Ageng baik secara mikro merupakan klimaks yang sangat pendek
maupun makro memiliki makna ritual serta dibanding persiapan perang yang panjang
fungsi yang penting dalam menciptakan makna (Widaryanto & Sumardjo (Ed.), 2012).
Fungsi Beksan Lawung Ageng sebagai
yang total (Djoharnurani, 1991).
kawruh urip yang harus dicerna oleh sepasang
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut,
pengantin yang disampaikan melalui lagon
bahwa perkawinan putra-putri sultan
diawal pertunjukan yang merupakan petuah
dimaknakan sebagi ritual untuk menyatukan
Sultan tentang sebuah perkawinan, yang
dengan Tuhan, telah manunggal dengan Zat
kemudian diakhiri dengan simbol kesuburan
yang Ada, Zat Ketuhanan. Sehingga upacara
yang dalam Beksan Lawung Ageng
perkawinan putra-putri Sultan (Dhaup) adalah
disimbolkan dengan properti lawung dan
merupakan pernyataan hubungan ritus,
perempuan disimbolkan dengan tanah sebagai
luluhnya dua kekuatan menjadi satu kekuatan
“Ibu Bumi” (Paluseri, et al, 2017) atau sering
juga disebut Ibu Pertiwi sebagai lambang

6
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

keperempuan
dalam peringatan 30 Tahun bertahta Sultan HB
(warisanbudaya.kemdikbud.go.id, 2010) atau
X Tahun 2019.
mitologi Dewi Sri sebagai dewa kesuburan
Tiga gendhing inti sebagai iringan Beksan
(Endraswara, 2015). Sehingga arah lawung
Lawung Ageng adalah Gendhing Gangsaran,
dalam sodoran yang melambangkan hubungan
Gendhing Roning Tawang, Gendhing Rog-
seksual, posisi lawung adalah ke bawah rog Asem. Dalam Beksan Lawung Ageng
menusuk bumi (Sugiharti, 2019). terdapat dua kali adegan/gerakan sodoran,
yang pertama dilakukan oleh penari Jajar dan
Perbandingan Bentuk Penyajian Beksan yang kedua oleh penari Lurah, dan keduanya
Lawung Ageng dalam Pernikahan Agung diiringi dengan gendhing Gangsaran. Sesuai
Tahun 2013 dengan Peringatan 30 Tahun urutan gendhing Beksan Lawung Ageng
Bertahta Sultan HB X Tahun 2019 di untuk mengiringi penari Jajar yaitu Gangsaran,
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Roning Tawang, pada sodoran diiringi dengan
Gendhing Gangsaran lalu setelah sodoran
Persamaan kembali ke Gendhing Roning Tawang. Empat
Dalam Beksan Lawung Ageng yang penari Lurah masuk ke atas pentas dengan
ditampilkan pada pernikahan agung tahun diiringi Gendhing Bima Kurda. Beberapa
2013 dan yang ditampilkan dalam rangka gerakan tari sebelum sodoran diiringi
peringatan 30 tahun bertahta Sultan HB X Gendhing Rog-rog Asem. Selanjutnya pada
pada saat penari melakukan motif gerak yang gerakan sodoran diiringi Gendhing Gangsaran.
menimbulkan desain garis, dengan kesan yang Setelah sodoran Gendhing Bima Kurda
ditimbulkan adalah tegas, manis, dinamis
mengiringi penari Lawung Lurah, dan diakhiri
bahkan lembut.
dengan Gendhing Gangsaran.
Beksan Lawung Ageng yang termasuk
Tata busana dan tata rias tari gaya
dalam tari gagah gaya Yogyakarta maka
Yogyakarta yang digunakan sekarang adalah
geraknya memiliki volume yang luas, sehingga
karya Sultan HB VIII (1921 - 1939) yang
motif geraknya menunjukan volume yang lebar
memiliki banyak perbedaan dengan jaman
dan garis lurus yang tegas. Hal ini
sebelumnya, hanya kostum bedhaya yang tidak
menunjukkan bahwa Beksan Lawung Ageng
banyak mengalami perubahan pada tata busana
memiliki karakter keras dan tegas terlihat dari
dan tata riasnya (Kawendrasusanta, 1981).
gerakan dan pola lantai yang semuanya
Pada era Sultan HB VII kostum penari
menggunakan pola garis yang lurus
sangat sederhana sehingga penari dituntut
(horizontal) yang memunculkan kesan gagah
lebih berat dalam penjiwaan, karena tanpa
dan tegas pada gerakan-gerakan tersebut.
pakaian sebagai identitas khusus, para penari
Beksan Lawung Ageng pada pernikahan agung
harus mampu menampilkan tokoh yang
tahun 2013 dan peringatan 30 tahun bertahta
dibawakan dengan sempurna supaya penonton
Sultan HB X sama-sama menggunakan gerak
mengerti dan dapat membedakan antara
lurus dan menggunakan volume yang lebar
masing-masing tokoh (Suharto, 1981). Menurut
sehingga membentuk ruang gerak yang luas.
Suharti (2002) dalam Beksan Lawung Ageng
Sebagian besar penyajian Beksan Lawung
terdapat peran yang berbeda-beda sehingga
Ageng menggunakan level medium karena
kostum juga berbeda untuk setiap peran
tarian ini merupakan hasil inspirasi
kelompoknya.
perlombaan watangan. Penggunaan level
Djoharnurani (1980) dalam penelitiannya
rendah yang digunakan dalam motif gerak
menyimpulkan bahwa bahasa dalam pocapan
Beksan Lawung Ageng terdapat pada awal dan
mayoritas menggunakan Bahasa Madura, dan
akhir penyajian pada gerak sembahan dan
hanya sedikit sekali menggunakan bahasa
gerakan jengkengan mengambil lawung pada
Bugis. Menurutnya dari keseluruhan rangkaian
pada awal penyajian.
pocapan yang tertulis, secara implisit
Komposisi Beksan Lawung Ageng dibagi-
menggambarkan ada suatu pertunjukan pada
bagi untuk memudahkan dalam menganalisis,
suatu pesta, tetapi jika dilihat secara harafiah
dan secara keseluruhan dibagi menjadi lima
tidak menunjukan adanya percakapan yang
bagian yaitu Ajon-ajon, jogedan, sodoran atau
menggambarkan suatu kejadian yang
sodoran, dan mundur beksa. Tidak ada
bermakna ritual. Makna pocapan belum dapat
perbedaan urutan gerak Beksan Lawung Ageng
dipahami sebagai makna ritual kecuali
dalam pernikahan GKR Hayu tahun 2013
dikaitkan dengan unsur-unsur lain dalam
dengan pertunjukan Beksan Lawung Ageng
Beksan Lawung Ageng dan didudukkan dalam
konteks keseluruhan yang bermakna ritual,

6
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

seperti gerak tari dan

7
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

kandha serta lagon atau ada-ada. Pocapan


untuk memperindah pertunjukan seperti tata
dalam kedua Beksan Lawung Ageng yang
pentas, tata lampu dan properti menjadi satu
dipentaskan pada pernikahan antara GKR
kesatuan yang utuh dari konsep pertunjukan.
Hayu denga KPH Notonegoro pada tahun 2013
Pada panggung prosenium sengaja diciptakan
dan Peringatan 30 tahun masehi bertahtanya
jarak antara pertunjukan dan penonton, dan
Sultan HB X tidak terdapat perbedaan.
panggung berbentuk bingkai bagi pertunjukan
dan penonton untuk berkomunikasi dalam
Perbedaan
menikmati penampilan dengan suasana formal
Pada penyajiannya Beksan Lawung
dan tercipta ketenangan.
Ageng pada pernikahan agung tahun 2013
Beksan Lawung Ageng yang ditampilkan
menggunakan sistem “pendhapan” di mana dalam peringatan 30 tahun bertahta Sultan HB
penari Beksan Lawung Ageng masuk dari arah X terdapat perbedaan yang dapat dilihat
kanan dan kiri pendhapa. Penari menghadap dengan jelas dari jumlah penarinya. Àkan
ke utara menghadap kepada mempelai yang tetapi menurut Kuswarsantyo (2020) secara
didampingi orang tua pengantin, termasuk struktural tidak ada perbedaan. Yang berbeda
Sultan HB X. Pendhapa sebagai suatu dari kedua Beksan Lawung Ageng yang
panggung pertunjukan tari Karaton
ditampilkan adalah jumlah penari Jajar dan
Ngayogyakarta Hadiningrat selalu dikaitkan
Pengampil atau Ploncon saja, yaitu dari masing-
dengan upacara sakral dan mempunyai makna
masing peran yang biasanya 4 orang penari
tertentu sehingga latar belakang keterkaitan
menjadi masing-masing berjumlah 16 penari,
antara pertunjukan dan upacara tersebut yang
sehingga jumlah penari Jajar dan Pengampil
bermuara pada konsep ratu gung binathara
atau Ploncon menjadi 32 orang penari.
yang menghubungkan semua aspek
Sedangkan Botoh dan Salaotho masing-masing
kehidupan untuk menopang keberlangsungan
2 penari, serta Lurah 4 orang, sehingga total
kekuasaan raja (Martiara, 2003). Konsep
penari adalah 40 orang (Kuswarsantyo, 2020).
pendhapa adalah menghubungkan aspek
Perubahan ini karena adanya interpretasi dan
kehidupan untuk menopang keberlangsungan
penafsiran dari pemilik ide dan/atau
kekuasaan raja, sehingga makna simbolis
koreografer atau penata tari. Meskipun begitu
pergelaran di pendhapa dapat dicermati dari
secara umum tidak ada yang berubah dari
aturan-aturan tertentu yang mengikat, bauk
koreografi untuk Botoh dan Lurah, namun
itu sebelum, sewaktu dan sesudah pergelaran
untuk Jajar berubah karena menyesuaikan
berlangsung (Martiara, 2003).
jumlah penari.
Dalam peringatan 30 tahun bertahta
Tata lampu dan tata cahaya memegang
Sultan HB X, meskipun ditampilkan di dalam
peranan penting supaya penari terlihat tiga
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
dimensi. Tata cahaya pada tari Beksan Lawung
penyajian tari di ruangan terbuka antara
Ageng yang digunakan dalam pernikahan
Sitihinggil dan gedung Pagelaran. Semua
agung tahun 2013 adalah general lighting,
penonton termasuk Sultan HB X menyaksikan
karena dilakukan di pendhapa Kepatihan. Hal
penyajian dari bangsal Pagelaran yang berada
ini sesuai dengan konsep ruang tari yang
di sisi utara Sitihinggil, sehingga penari
berbentuk pendhapa serta acara perkawinan
menghadap ke utara. Penari memasuki ruang
yang agung dan sakral. Sedangkan dalam
tari dari arah Sitihinggil menuruni tangga
peringatan 30 tahun bertahta Sultan HB X
Sitihinggil, dan mundur juga melalui pintu dan penampilan Beksan Lawung Ageng
tangga yang sama. Penyajian tari seperti pada
menggunakan tata lampu kontemporer, meski
bentuk proscenium, yang menurut Martiara Beksan Lawung Ageng yang ditampilkan
(2003) bahwa pertunjukan yang ditonton dari
adalah dalam bentuk pengembangan dan
satu arah menjadikan suatu pertunjukan
lokasi serta background bangunan Karaton
bagaikan lukisan dengan fokus pandangan
Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki bentuk
terpusat pada satu arah, yang menyebabkan
klasik.
pertunjukan itu menjadi indah dan penuh
pemandangan. Bentuk panggung prosenium Demitologisasi Beksan Lawung Ageng pada
menciptakan jarak sehingga penoton harus Peringatan 30 tahun Bertahta Sultan HB X
memusatkan pikiran dan berkonsentrasi Tahun 2019
penuh supaya dapat menangkap seluruh
Beksan Lawung Ageng yang ditampilkan
koreografi beserta aspek pendukung yang dalam peringatan 30 tahun bertahta Sultan
digunakan HB

7
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

X telah mengalami perubahan yang dapat


dipahami oleh orang modern itu sendiri
dilihat dengan jelas dari jumlah penarinya.
(Ariyanto, 2008).
Perubahan ini karena adanya interpretasi dan
Soedjono (1997) menyatakan bahwa
penafsiran dari pemilik ide dan/atau
suatu perubahan akan terjadi terhadap sesuatu
koreografer atau penata tari.
hidup, dan akan tumbuh dan berkembang
Martin Heidegger (1899-1976) dengan
sesuai dengan fitrah keberadaannya. Demikian
teori hermeneutika faksisitas menyatakan
pula dengan kebudayaan yang mengalami
bahwa teks tidak dapat direproduksi dan
perubahan sesuai dengan tantangan dan
makna menyingkapkan diri kepada pembaca
tuntutan jaman baik berupa keadaan
karena memahami bukan proses kognitif
lingkungan alam maupun kemasyarakatan,
belaka melainkan dengan kondisi eksistensial
karena berjalannya waktu telah menunjukan
(Hardiman, 2015). Konsep Heidegger tentang
adanya indikasi yang membutuhkan
pra-struktur digunakan oleh Rudolf Karl
penyesuaian atau adaptasi baru. Sangat besar
Bultmann (1884-1976) dalam menerapkan
kemungkinan tradisi peninggalan leluhur
dalam penjelasan atau penafsiran teks alkitab
berubah sesuai perkembangan jaman yang
dengan mencoba memahami alkitab bukan
juga telah memberikan nuansa pada budaya
dari makna historisnya melainkan dari makna
tradisi tersebut. Shils (dalam
eksistensialnya (Hardiman, 2015). Dengan
Soedjono,1997:322-324) menyatakan bahwa
demitologisasi, Bultmann memahami makna
budaya tradisi tidak akan berubah dengan
eksistensial mitos, dan berupaya untuk
sendirinya karena dalam diri budaya itu
menjembatani kesenjangan antara bahasa
terdapat berbagai potensi yang dapat diubah
mistis teks sakral dan pemahaman rasional
oleh manusia, baik dari dalam maupun dari
pembaca modern sehingga demitologisasi
luar lingkungan budayanya.
dapat memperkaya penjelasan atau penafsiran Dalam hal Beksan Lawung Ageng, pada
teks (Hardiman, 2015). saat ini telah mengalami perubahan baik
Pandangan Bultmann tentang
dalam fungsi dan bentuknya. Perubahan-
demitologisasi bahwa pusat dari konsep
perubahan tersebut juga disebabkan oleh
demitologisasi adalah pandangan orang pada
beberapa faktor baik dari dalam dan juga
abad pertama yang bercirikan mitos dan orang
faktor di luar Karaton Ngayogyakarta
modern tidak dapat menerima kerangka yang
Hadiningrat.
bersifat mitos, serta mitos merupakan cerita
Perubahan Beksan Lawung Ageng yang
yang tidak membedakan fakta dari yang bukan
sangat signifikan karena faktor dari dalam
fakta yang di dalam isinya berasal dari suatu
adalah:
jaman pra-ilmiah (Ariyanto, 2008).
1. Pada tahun 1950an ketika Sultan HB
Mitos adalah suatu cerita kuno yang di IX membuat kebijakan bahwa semua tarian
dalamnya mengandung pertanyaan-
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
pertanyaan dan jawaban-jawaban tentang hal- tadinya bersifat ritual menjadi tarian hiburan,
hal pokok dalam hidup dan mati, tentang
sehingga Bedhaya Sanga, Srimpi dan Beksan
Tuhan dan manusia dan lain-lain yang Lawung Ageng yang tadinya tidak boleh
dipikirkan dan diteruskan dalam bentuk cerita
dibawakan di luar Karaton Ngayogyakarta
sehingga demitologisasi memiliki arti bahwa Hadiningrat diajarkan di luar Karaton
mitologi atau kumpulan mitos-mitos yang
(Soerjobrongto, 1981)
perlu dihilangkan (Ariyanto, 2008). 2. Beksan Trunojoyo yang terdiri dari
Tujuan dari mitos adalah untuk
Beksan Lawung Ageng, Beksan Lawung Alit
menyatakan pengertian manusia tentang serta Beksan Sekar Medura adalah pusaka
dirinya sendiri, bukan untuk menyajikan
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
gambaran objektif tentang dunia. Mitos merupakan tari upacara berfungsi sebagai
menggunakan perumpamaan dan istilah-istilah
wakil pribadi Sultan pada perkawinan agung di
untuk menyatakan keyakinan-keyakinan Kepatihan. Selain itu Beksan Lawung juga
tentang pengertian manusia mengenai dirinya
dipentaskan untuk menyambut tamu atau
sendiri. Sehingga demitologisasi berarti upacara kenegaraan Kasultanan Yogyakarta.
penafsiran secara eksistensial menurut
Pertunjukan Beksan Trunajaya yang lengkap
pengertian manusia terhadap keberadaannya dengan hanya berlangsung sampai tahun 1917.
sendiri dengan istilah-istilah yang dapat
3. Sultan HB X hadir dalam resepsi
pernikahan putri-putrinya di mana pada
jaman dahulu seorang raja yang sedang
bertahta tidak diperbolehkan menghadiri
resepsi pernikahan
7
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

putra atau putrinya, dan kehadiran raja


panggung pertunjukan sesuai dengan pangsa
diwakili oleh Beksan Lawung Ageng.
pasar. Tarian istana bukan lagi sebagai sarana
4. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
upacara saja atau sebagai satu institusi yang
membuka diri kepada masyarakatnya,
berfungsi tunggal, karena tari juga menjadi
sehingga masyarakat luas sekarang dapat
dimensi ganda.
melihat kegiatan Karaton dengan
Dengan terjadinya perubahan-perubahan
memaksimalkan penggunakan teknologi.
yang ada di dalam Karaton Ngayogyakarta
Sedangkan faktor perubahan dari luar
Hadiningrat dan dihilangkannya mitos-mitos
adalah berubahnya kedudukan dan fungsi
yang ada dalam Beksan Lawung Ageng maka
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
tercipta pengembangan Beksan Lawung Ageng
kemudian turut andil dalam merubah Beksan
yang ditampilkan dalam pembukaan pameran
Lawung Ageng dari tarian ritual menjadi tarian
manuskrip milik Karaton Ngayogyakarta
sekuler yang hanya bersifat hiburan atau sekular
Hadiningrat dalam memperingati 30 tahun
atau profan yaitu:
bertahta Sultan HB X.
1. Perubahan politik pada tanggal 5
Mitos dan makna filosofis dari Beksan
September 1945 ketika Sultan HB IX
Lawung Ageng dalam tarian ritual tidak
menyatakan bahwa Yogyakarta sebagai bagian
direproduksi, kecuali sisi kepahlawanan dari
dari Republik Indonesia, melakukan
Beksan Lawung Ageng sehingga penyingkapan
reorganisasi pemerintahan Kasultanan
makna Beksan Lawung Ageng yang
Yogyakarta, dengan menggeser dan tidak
ditampilkan dalam peringatan 30 tahun
mengganti kedudukan Pepatih Dalem
bertahta Sultan HB X tahun 2019 tergantung
(Dwiyanto, Ronald, Suwito, Suharti, &
dari pemilik ide dan/atau koreografer serta
Purwodiningrat, 2010).
ruang tari. Koreografer mengkompromikan
2. Perubahan demografi di mana
pada pertemuan antara kehendak tarian
masyarakat Yogya sudah tidak lagi
dengan konteks acara, penonton dan
homogeny (Dwiyanto, Ronald, Suwito,
ruangan.
Suharti, & Purwodiningrat, 2010). Dalam abad
Koreografer tidak bersikap pasif terhadap
ke-21 ini Yogyakarta menghadapi tantangan
tradisi yang ada meski secara keseluruhan tarian
dalam masalah demografi yaitu angka
tersebut tetap tidak terjadi perubahan gerak,
penduduk usia muda Yogyakarta yang besar
tetapi koreografer bersikap kritis sehingga
(Giyarto, 2019). Hal ini juga mempengaruhi
berani melakukan intepretasi baru atas Beksan
Karaton Ngayogyakarta
Lawung Ageng. Koreografer tidak hanya
Hadiningrat untuk memperkenalkan
mengambil esensi yang ada dalam Beksan
seni pertunjukan Karaton Ngayogyakarta
Lawung Ageng tapi juga mengamplifikasi
Hadiningrat terhadap generasi muda melalui
penyampaian esensinya dengan menambah
aktif di media sosial.
jumlah penari Jajar menjadikan penampilan
3. Faktor ekonomi ikut merubah
Beksan Lawung Ageng lebih megah, sehingga
kebudayaan yang ada di Yogyakarta, bahwa
orang-orang ingin melihat penampilan Beksan
kondisi ketimpangan ekonomi di Yogyakarta
Lawung Ageng.
sangat ironis karena karena pola pembangunan
ekonomi yang lebih banyak mengandalkan Arah dan Kebijakan Karaton
mekanisme pasar yaitu berlakunya mekanisme Ngayogyakarta Hadiningrat dalam
berupa penumpukan modal (Hardiyanto, Perlindungan Pusaka Budaya di Era Sultan
2018). Ketimpangan ekonomi sangat HB X
berpengaruh pada minat masyarakat untuk Sultan HB X naik tahta pada 7
mengenal kebudayaannya karena Maret 1989, memberikan harapan yang positif
masyarakat lebih berkonsentrasi untuk bagi kehidupan seni terutama seni tradisi,
pemenuhan kebutuhan dasar seperti dengan arah kepemimpinannya terdapat dalam
kebutuhan makan dan pakaian sehingga tidak simbol- simbol yang ada dalam Bedhaya Sang
memikirkan untuk mengenal budayanya.
Amurwabumi yang mengandung ajaran-ajaran
4. Yogyakarta sebagai daerah tujuan
kepemimpinan di masa yang makin maju
wisata utama Indonesia, dan seni tari memiliki
(Suharti, 1992).
keterkaitan dengan industri wisata di Indonesia,
Sultan HB X (dalam Pragota, &
menyebabkan terjadinya suatu usaha
Kusumadewi, 2018) menyatakan bahwa
penyesuaiaan sehingga tarian istanapun
masyarakat berubah, Karaton Ngayogyakarta
mengikuti orientasi pasar, dikemas untuk
Hadiningrat berubah dan manusianya juga
berganti, dan Karaton Ngayogyakarta

7
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

Hadiningrat bukan subjek kaku yang kolot


dan kemudian mempromosikannya kepada
terhadap perubahan. Menurut Sultan HB X
masyarakat. Supaya suatu tarian lestari maka
bahwa tradisi yang berusaha dipertahankan
harus memastikan bahwa masyarakat faham
tidak boleh hanya mengendap menjadi dan bisa mengapresiasi tarian tersebut.
seremoni belaka sebab nafas budaya mestinya
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
mampu mewujud dalam setiap kebijakan dan berusaha mencari peminat kebudayaan istana
Sultan mengemban tugas sebagai penjaga dalam upaya membumikan kebudayaan
kebudayaan sekaligus pemimpin spiritual istana di masyarakat, di antaranya sejak tahun
(Pragota, & Kusumadewi, 2018) dsn Karaton 2015 aktif di dunia maya supaya untuk
Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat menjangkau kaum muda.
kebudayaan tidak pernah berhenti untuk Sebuah karya seni ekslusif semakin
memproduksi maupun mereproduksi ilmu
disengker lama-lama akan ditinggalkan dan
pengetahuan (Hayu, 2019).
dari sisi pelaku seni sudah tidak bisa
Kebijakan Sultan HB X dalam hal
membawakan karya tersebut yang akibatnya
kebudayaan Karaton Ngayogyakarta
pusaka tersebut hilang. Sehingga menurut hal
Hadiningrat juga tidak bisa dilepaskan dari
ini bersifat dua belah pihak yaitu tergantung
statusnya sebagai Gubernur Daerah Istimewa
pasokan dan permintaan.
Yogyakarta dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pengaturan
Pemeliharaan dan Pengembangan SIMPULAN
Kebudayaan dilaksanakan berdasarkan Hasil penelitian ini menunjukan
prinsip keterbukaan terhadap budaya lain, bahwa terdapat perubahan dan perbedaan
kemampuan mengolah budaya, kesadaran fungsi serta bentuk Beksan Lawung Ageng
dialogis, kepribadian kuat, kesinambungan pada pernikahan GKR Hayu dengan KPH
dan kesatuan budaya mandiri. Kasultanan Notonegoro pada tahun 2013 dengan
Yogyakarta berperan dan bertanggung jawab peringatan 30 tahun bertahta Sultan HB X
dalam menjaga dan mengembangkan budaya tahun 2019. Selain itu diketahui faktor-faktor
Yogyakarta yang dilakukan melalui dan alasan-alasan atas perubahan fungsi dan
pelaksanaan pemeliharaan dan perbedaan bentuk Beksan Lawung Ageng,
pengembangan termasuk adat istiadat dan seni yang mengungkapkan kebijakan Karaton
yang dimiliki, dilakukan dan dikembangkan Ngayogyakarta Hadiningrat di era Sultan HB
oleh Kasultanan dengan difasilitasi oleh X dalam perlindungan dan pengembangan
Pemerintah Daerah yang dilaksanakan pusaka tari. Perubahan-perubahan tersebut
melalui koordinasi antara Pemerintah Daerah telah mendapat arahan dan persetujuan dari
dengan Kasultanan. Sultan HB X karena Karaton mengikuti
Menurut Bandem (2003) masalah perkembangan jaman.
pembinaan dan pengembangan kebudayaan Perubahan fungsi terjadi pada
merupakan persoalan yang kompleks dan peringatan 30 Tahun Bertahta Sultan HB X
rumit sehingga kebudayaan perlu diolah tahun 2019, menjadi tarian sekuler yang
dengan strategi holistik. merupakan tontonan. Perubahan bentuk
Kebijakan Sultan HB X dalam bidang terutama karena jumlah penari, di mana
seni tari dilakukan oleh Kawedanan Hageng jumlah penari dalam pernikahan agung tahun
Panakawan (KHP) Kridha Mardawa Kraton 2013 berjumlah 16 orang, sedangkan dalam
dengan langkah awal yang dilakukan dalam peringatan 30 Tahun Bertahta Sultan HB X
melaksanakan program adalah tahun 2019 dibawakan oleh 40 orang penari.
mengembalikan marwah keraton seperti asal Dalam Beksan Lawung Ageng yang
mulanya. ditampilkan dalam peringatan 30 Tahun
Dalam rangka pelestarian dan Bertahta Sultan HB X tahun 2019, mitos
promosi tarian keraton, khususnya Beksan kesuburan yang digunakan dalam perkawinan
Lawung Ageng, bahwa untuk menjadi agung tahun 2013 dihilangkan, sehingga yang
warisan tak benda terdapat berbagai syarat dimunculkan adalah segi fisiknya yaitu
diantaranya harus lestari atau berkelanjutan, kepahlawanan (keprajuritan/wireng). Tetapi
sehingga tarian tersebut harus ditarikan secara meskipun bersifat tontonan, kesakralan
rutin. Langkah yang telah dilakukan adalah Beksan Lawung Ageng dalam peringatan 30
secara rutin melatih Beksan Lawung Ageng Tahun Bertahta Sultan HB X tahun 2019 tetap
dipertahankan kesakralannya melalui nyekar

7
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

ke makam leluhur di Imogiri, wilujengan dan


Pengetahuan dan Penciptaan Seni, I
adanya sesaji (sajen).
(02), 89-101.
Perbedaan pendapat terhadap
perubahan Beksan Lawung Ageng
Dwiyanto, D., Ronald, A., Suwito, Y.S.,
dikarenakan faktor sosiologis misal yang
Suharti, T. & Purwodiningrat, K.R.T.
melihat dari cara pandang ningrat yang tidak
(2010), Ensiklopedi Kraton Yogyakarta,
ingin terjadi perubahan, karena studi tentang
Yogyakarta: Dinas Kebudayaan
tari dan musik Jawa hampir selalu dilakukan
Provinsi Daerah Istimewa
secara ahistoris yang biasanya
Yogyakarta.
menggambarkan aspek-aspek seni tradisional
seperti tidak berubah (Lindsay,1991). Dalam
Endraswara, S. (2015), Agama Jawa Ajaran
kenyataan, perubahan tari terjadi ketika
diajarkan karena telah diintepretasikan, dan Amalan dan Asal-usul Kejawen,
suatu warisan tradisi tidak harus dipertahankan Yogyakarta: Narasi.
tanpa perubahan sehingga menjadi unsur yang
hidup dalam masyarakat pendukungnya Hardiman, F.B. (2014, Februari), Seni
(Rohmat, 2013). Memahami: Hermeneutika dari
Schleiermacher sampai Gadamer,
DAFTAR PUSTAKA makalah disampaikan dalam Kuliah
Pertama Kelas Filsafat Seni, Serambi
Salihara, Jakarta.
Achmad, S.W. (2019), Sejarah Agama Jawa
Menelusuri Kejawen sebagai Subkultur Hayu, G.K.R. (2019, Maret), Sambutan Ketua
Agama Jawa, Yogyakarta: Araska. Panitia Simposium Internasional
Budaya Jawa dan Naskah Karaton
Ahimsa-Putra, H.S. (2007), Etnosains Untuk Ngayogyakarta Hadiningrat, pidato
Etnokoreologi Nusantara (Antropologi dalam International Symposium on
dan Khasanah Tari), dalam R.M. Javanese Studies and Manuscripts of
Pramutomo (Ed.), 2007, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Etnokoreologi Nusantara (Batasan 2019, Yogyakarta.
Kajian, Sistematika dan Aplikasi
Keilmuannya), 86-110, Surakarta: Kawendrasusanta, R.M.K. (1981), Tata Rias
ISI Press. dan Busana Tari Gaya Yogyakarta,
dalam F. Wibowo (Ed.), Tari Klasik
Ariyanto, M.D. (2008), Rudolf Bultmann: gaya Yogyakarta, 164-176,
Demitologisasi dalam Perjanjian Yogyakarta: Dewan Kesenian
Baru, SUHUF Fakultas Agama Islam Propinsi DIY.
Universitas Muhammadiyah Surakarta,
20 (2), 175-192. Kuswarsantyo, K.R.T.C. (2019, Maret),
Beksan Lawung Ageng Karya Sri
Ayuningtyas, Dinda Putri., Sutiyono, S. 2018. Sultan Hamengku Buwono I,
Eksistensi Kesenian Barongan Setyo makalah disampaikan dalam
Budoyo di Desa Loram Wetan, International Symposium on Javanese
Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Studies and Manuscripts of Karaton
Imaji: Jurnal Seni dan Pendidikan Ngayogyakarta Hadiningrat 2019,
Seni, Vol. 16, No. 1, 138 – 146. Yogyakarta.

Bandem, I.M. (2003), Pembangunan Bangsa: Lindsay, J. (1991), Klasik, Kitsch, Kontemporer
Perspektif Manajemen Kebudayaan, Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan
dalam A.M.H. Kusmayati (Ed.), Jawa, Yogyakarta: Gadjah Mada
Kembang Setaman: Persembahan untuk University Press.
sang Mahaguru, 10-19, Yogyakarta:
BP ISI Yogyakarta. Martiara, R. (2003), Pengaruh Timnbal Balik
antara Arena Pertunjukan dan
Djoharnurani, S. (1991), Beksan Lawung Pertunjukan yang Dipersentasikan,
Kraton Yogyakarta, Seni: Jurnal dalam A.M.H. Kusmayati (Ed.),

7
Riki Kristianto / Jurnal Seni Tari 9 (1)

Kembang Setaman: Persembahan untuk


Soedjono, S. (1997), Dari Ritual ke Sekuler:
sang Mahaguru, 169-185, Yogyakarta: Proses De-Mythology dalam Karya
ISI Yogyakarta. Seni Pertunjukan, Seni: Jurnal
Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Edisi
Pragota, A. & Kusumadewi, A. (Ed.), (11 Khusus, 322-334.
April 2018), Kisah Sultan HB X:
Jalan Sukar Menuju Tahta Keraton, Suharti, T. (1992), Bedaya Sang
diakses dari Amurwabumi: Sebuah Bentuk
https://kumparan.com/@kumparan Ekspresi Seni Budaya Tradisi dalam
news/kisah-sultan-hb-x-jalan-sukar- Era Budaya Baru, Seni: Jurnal
menuju-takhta-keraton. Pengetahuan dan Penciptaan Seni, II
(03), 1-13.
Pramayoza, D. (2013), Strategi Membaca
‘Pagelaran’, Seorang Antropolog, dan Suryobrongto, G.B.P.H. (1981), Kawruh Joged-
Sebuah Mozaik Penelitian, dalam Mataram, Yogyakarta: Dewan Ahli
Simatupang, L. & D. Pramayoza Yayasan Siswa Among Beksa
(2013), Pergelaran, Sebuah Mozaik Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penelitian Seni-Budaya, Cetakan I,
Yogyakarta: Jalasutra. Sutiyono. (2013). Poros Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pramutomo, R.M. (2009), Tari, Seremoni, dan
Politik Kolonial I: “Pseudoabsolutisme” Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Pasca Pejanjian Giyanti 1755 dan (warisanbudaya.kemdikbud.go.id, 1
Konteks Perkembangan Tari Jawa Gaya Januari 2010), Beksan Lawung, diakses
Yogyakarta, Cetakan pertama, dari
Surakarta: ISI Press. https://warisanbudaya.kemdikbud.g
o.id/?newdetail&detailCatat=88
Rohmat, N. (2013), Pewarisan Tari Topeng
Gaya Dermayon: Studi Kasus Gaya Widaryanto, F.X. & Sumardjo, J. (Ed.), (2002),
Rasinah, Resital, XIV (1), 33-40. Merengkuh Sublimitas Ruang, Cetakan
Pertama, Bandung: STSI Press
Sedyawati, E. (1980), Sejarah Tari Indonesia: Bandung.
Sebuah Rangka Permasalahan,
Analisis Kebudayaan, I (2), 27-34.

Siswanto, J. (2017), Horizon Hermeneutika,


Cetakan kedua, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Slamet, (2018), Metodologi Penelitian Tari,


Cetakan Pertama, Surakarta: ISI
Press.

Soedarsono, R.B. (1984), Studi Komparatif


Beksan Lawung Gaya Surakarta dan
Gaya Yogyakarta, Laporan Penelitian,
ASTI Yogyakarta, Yogyakarta:
Tidak diterbitkan.

Soedarsono, R.M. (1997), Wayang Wong:


Drama Tari Ritual Kenegaraan di
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Cetakan pertama, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai