Anda di halaman 1dari 344

SEMUA MAKHLUK HIDUP pasti mati. Tetapi mereka tidak selamanya mati.

Percayalah, aku tahu itu.

Ada sebuah ras vampir yang bisa dikatakan sebagai mayat hidup. Mereka
disebut dengan Strigoi, dan jika kau belum pernah bermimpi buruk tentang
mereka, kau akan segera mendapatkannya. Strigoi sangat kuat, cepat, dan
sanggup membunuh tanpa ragu sedikit pun. Mereka juga makhluk
abadi―yang menyebabkan mereka sulit untuk dibantai. Hanya ada tiga cara
membunuh Strigoi: menusuk jantung mereka dengan pasak perak,
memenggal kepala mereka, dan membakar tubuh mereka. Semua itu tidak
mudah untuk dilaksanakan, tetapi setidaknya lebih baik daripada tidak
memiliki pilihan sama sekali.

Di dunia ini juga ada vampir yang baik. Vampir jenis ini disebut dengan Moroi.
Mereka masih hidup dan memiliki kekuatan keren yang mampu
mengendalikan salah satu dari empat elemen―tanah, udara, air, dan api.
(Yah, sebagian besar Moroi bisa melakukannya―tetapi aku akan menjelaskan
beberapa pengecualian nanti). Mereka sudah tidak terlalu sering
menggunakan sihir, dan itu sebenarnya sangat menyedihkan. Sihir mereka
bisa menjadi senjata yang hebat, tetapi kaum Moroi berkukuh bahwa sihir
harus digunakan untuk tujuan damai. Ini salah satu aturan paling penting yang
berlaku di dalam lingkungan mereka. Umumnya, Moroi bertubuh tinggi dan
langsing, dan mereka tidak tahan terhadap sinar matahari berlebihan. Namun,
mereka juga memiliki indra yang kuat sebagai gantinya, yaitu penglihatan,
penciuman, dan pendengaran.

Kedua jenis vampir itu sama-sama membutuhkan darah. Kurasa karena itulah
mereka dinamakan vampir. Namun, Moroi tidak membunuh demi
mendapatkan darah. Alih-alih membunuh, Moroi memelihara manusia yang
bersedia memberikan sedikit darah mereka secara sukarela. Manusia itu
melakukannya dengan sukarela karena gigitan vampir mengandung hormon
endorfin yang membuat mereka merasa sangat nyaman dan bisa
menyebabkan ketagihan. Aku mengetahuinya dari pengalaman pribadi.
Manusia ini disebut donor, dan mereka benar-benar pecandu gigitan vampir.

Meski begitu, memelihara para donor jauh lebih baik daripada cara yang
dilakukan Strigoi untuk mendapatkan darah. Karena, seperti yang sudah bisa
kauduga, Strigoi membunuh demi mendapatkan darah. Kurasa mereka
memang suka membunuh. Jika Moroi tidak sengaja membunuh seseorang
saat sedang meminum darahnya, maka orang itu akan berubah menjadi
Strigoi. Ada beberapa Moroi yang memang sengaja melakukannya,
mengorbankan sihir dan moral yang mereka miliki demi mendapatkan hidup
abadi. Strigoi juga bisa diciptakan dengan paksa. Jika Strigoi meminum darah
seorang korban dan menyuruh orang itu meminum darah Strigoi, nah… akan
muncul Strigoi baru. Hal ini bisa terjadi pada siapa pun. Moroi, manusia,
maupun… dhampir.

Dhampir.

Itulah aku. Dhampir merupakan setengah manusia dan setengah Moroi.


Menurutku, kami mewarisi hal-hal terbaik kedua ras tersebut. Tubuhku kuat
dan tangguh seperti manusia. Aku juga bisa berada di bawah sinar matahari
sesukaku. Namun, sama seperti Moroi, aku memiliki indra yang kuat dan
refleks yang cepat. Akibatnya, para dhampir bisa menjadi pengawal pribadi
yang hebat―dan sebagian besar dari kami memang melakukannya. Kami
disebut sebagai pengawal.

Aku mencurahkan hidup untuk melindungi Moroi dari serangan Strigoi. Aku
mengikuti berbagai rangkaian kelas dan latihan di Akademi St. Vladimir,
sekolah swasta bagi kaum Moroi dan dhampir. Aku tahu cara menggunakan
berbagai macam senjata dan sanggup memberikan tendangan mematikan.
Aku pernah mengalahkan beberapa cowok yang tubuhnya dua kali lipat lebih
besar daripada aku―baik di dalam maupun di luar kelas. Dan memang,
cowok-lah yang sering kukalahkan, karena di kelasku hanya ada sedikit cewek.

Meskipun dhampir mewarisi semua sifat baik, ada satu hal yang tidak kami
dapatkan. Dhampir tidak bisa memiliki anak bersama dhampir lainnya. Jangan
tanya alasannya. Aku kan bukan ahli genetis atau semacamnya. Sementara
itu, perkawinan antara manusia dan Moroi selalu menghasilkan dhampir baru,
memang begitulah awalnya kami diciptakan. Namun, akhir-akhir ini hal itu
sudah jarang terjadi. Kaum Moroi cenderung menjauhi manusia. Meski
demikian, melalui keanehan genetis lainnya, pencampuran Moroi
dan dhampir akan menghasilkan anak-anak dhampir. Aku tahu, aku tahu,
kedengarannya memang gila. Kau pasti berpikir, dengan pencampuran seperti
itu kami akan mendapatkan bayi yang tiga per empat vampir, ya kan? Salah.
Yang benar adalah, setengah manusia, setengah Moroi.

Sebagian besar dhampir dilahirkan dari hubungan yang terjalin antara pria


Moroi dan wanita dhampir. Para wanita Moroi berkukuh untuk mendapatkan
bayi-bayi Moroi. Semua ini menunjukkan bahwa kaum pria Moroi sering kali
memiliki hubungan sesaat dengan wanita dhampir, lalu pergi begitu saja. Hal
ini menyebabkan banyak wanita dhampir yang menjadi ibu tunggal, dan
karena itulah tidak banyak pengawal wanita. Mereka lebih memilih
membesarkan anak-anak mereka.

Akibatnya, hanya pria dan segelintir wanita yang tersisa untuk menjadi
pengawal. Namun, para dhampir yang memutuskan untuk melindungi Moroi
benar-benar bekerja dengan serius. Dhampir membutuhkan Moroi agar bisa
terus mendapatkan keturunan. Kami harus melindungi mereka. Lagi pula, hal
itu… yah, sesuatu yang mulia untuk dilakukan. Strigoi adalah makhluk jahat.
Moroi harus dilindungi. Para pengawal meyakini hal ini. Aku pun meyakininya.

Selain itu, ada seorang Moroi yang benar-benar ingin kulindungi melebihi siapa
pun di dunia: sahabatku, Lissa. Lissa adalah putri Moroi. Kaum Moroi memiliki
dua belas keluarga bangsawan, dan Lissa orang terakhir yang tersisa dalam
keluarganya―keluarga Dragomir. Namun, ada hal lain yang membuat Lissa
istimewa, selain kenyataan dia adalah sahabatku.

Ingat saat tadi kubilang setiap Moroi bisa mengendalikan salah satu dari
empat elemen? Nah, Lissa ternyata sanggup mengendalikan elemen yang
hingga baru-baru ini tidak disadari keberadaannya, yaitu roh. Selama bertahun-
tahun, kami beranggapan Lissa tidak akan pernah bisa mengembangkan
kemampuan sihirnya. Kemudian, ada beberapa hal aneh yang mulai terjadi di
sekelilingnya. Contohnya, semua vampir memiliki kemampuan yang disebut
kompulsi. Kemampuan ini membuat mereka sanggup memaksakan kehendak
pada orang lain. Kemampuan ini sangat kuat pada Strigoi, tetapi lemah pada
Moroi. Dan terlarang. Namun, kemampuan Lissa dalam hal ini hampir sama
kuat dengan kemampuan Strigoi. Lissa hanya perlu mengedipkan mata dan
orang-orang akan melakukan apa pun yang dimintanya.

Namun, Lissa bisa melakukan hal lain yang bahkan lebih keren lagi.

Tadi di awal kukatakan bahwa mereka yang mati tidak selamanya mati. Nah,
contohnya aku. Jangan takut―aku tidak sama dengan Strigoi. Tapi aku
memang pernah mati. (Aku tidak menyarankanmu untuk melakukannya.)
Semua itu terjadi saat mobil yang sedang kutumpangi tergelincir, hingga
keluar dari jalan. Kecelakaan itu membunuhku, orangtua Lissa, dan kakak
lelakinya. Namun, di tengah kekacauan ini―tanpa menyadarinya―Lissa
menggunakan roh untuk menghidupkan aku lagi. Kami baru menyadari itu
setelah kejadiannya lama berlalu. Bahkan, kami sama sekali tidak tahu bahwa
roh seperti itu memang ada.
Sayangnya, ternyata ada seseorang yang mengetahui keberadaan roh ini
sebelum kami menyadarinya. Victor Dashkov, seorang pangeran Moroi yang
sedang sekarat, mengetahui soal kekuatan Lissa, dan dia memutuskan untuk
mengurung Lissa dengan tujuan menjadikan sahabatku itu sebagai
penyembuh pribadinya―seumur hidup. Saat menyadari ada orang yang
menguntit Lissa, aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini sendiri.
Aku mengajak Lissa kabur dari sekolah dan tinggal di antara manusia. Selalu
berada dalam pelarian terasa sangat menyenangkan―tetapi agak
mendebarkan juga. Kami berhasil melakukannya selama dua tahun, hingga
akhirnya pihak berwenang St. Vladimir memburu dan menyeret kami kembali
ke sekolah beberapa bulan yang lalu.

Pada saat itulah Victor memulai gerakannya. Pria itu menculik dan menyiksa
Lissa hingga menuruti kehendaknya. Selain itu, Victor juga melakukan
beberapa tindakan nekat―salah satunya adalah mengendalikan aku dan
Dimitri, mentorku, dengan mantra kompulsi gairah. (Akan kubalas dia nanti).
Victor juga memanfaatkan pengaruh roh yang membuat mental Lissa mulai
tidak stabil. Namun, hal itu tetap tidak seburuk perlakuannya pada anak
perempuannya, Natalie. Victor bahkan tega membujuk Natalie untuk berubah
jadi Strigoi demi membantunya melarikan diri. Natalie akhirnya mati ditusuk.
Bahkan setelah tertangkap, Victor sepertinya tidak menyesali perbuatannya
pada anak perempuannya itu. Hal itu sedikit banyak membuatku tidak
menyesali kenyataan bahwa aku tumbuh tanpa seorang ayah.

Namun, sekarang aku harus melindungi Lissa dari Strigoi sekaligus Moroi.


Hanya beberapa orang di pihak sekolah yang mengetahui kekuatan Lissa,
tetapi aku yakin di luar sana masih banyak Victor lain yang ingin
memanfaatkan kekuatannya. Untungnya, aku memiliki senjata tambahan
untuk membantuku melindungi Lissa. Entah bagaimana, selama proses
penyembuhanku saat kecelakaan mobil terjadi, roh menyebabkan terjalinnya
ikatan batin antara aku dan Lissa. Aku bisa melihat dan merasakan apa yang
dirasakan Lissa. (Namun, hal ini hanya berlaku satu arah. Lissa tidak bisa
“merasakan” apa yang kurasakan). Ikatan ini memungkinkanku mengawasi
Lissa dan mengetahui jika dia berada dalam bahaya. Meski begitu, membaca
pikiran orang lain kadang terasa aneh. Kami cukup yakin banyak hal lain yang
bisa dilakukan dengan kekuatan roh, tetapi kami belum tahu pasti.

Sementara itu, aku berusaha menjadi pengawal terbaik. Melarikan diri dari
Akademi membuatku ketinggalan pelajaran, jadi aku terpaksa mengambil
kelas tambahan untuk menggantikan waktu yang terbuang. Tak ada apa pun
di dunia ini yang kuinginkan selain melindungi Lissa. Sayangnya, ada satu atau
dua hal yang membuat latihanku kadang terasa rumit. Salah satunya adalah,
aku sering kali bereaksi tanpa berpikir. Aku semakin lihai dalam menghindari
masalah ini, tetapi saat ada yang memancing amarahku, aku cenderung
memukul dulu baru mencari tahu siapa yang kupukul tadi. Jika orang-orang
yang kusayangi berada dalam bahaya… yah, peraturan sepertinya bisa
dikompromikan.

Masalahku yang lain adalah Dimitri. Dimitri-lah yang membunuh Natalie, dan
dia benar-benar jagoan. Dia juga lumayan tampan. Oke―lebih dari sekadar
tampan. Dimitri sangat seksi―jenis seksi yang bisa membuatmu berhenti di
tengah jalan dan tertabrak mobil. Tetapi, seperti yang tadi kukatakan, dia
instrukturku. Dan umurnya dua puluh empat tahun. Kedua hal tersebut
menjadi alasan aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Tetapi sejujurnya, alasan
yang paling penting adalah suatu hari nanti kami berdua akan menjadi
pengawal Lissa setelah lulus dari Akademi. Jika Dimitri dan aku saling
memperhatikan, kami tidak akan mengawasi Lissa.

Aku belum beruntung dalam usahaku melupakan Dimitri, dan aku cukup yakin
dia juga merasakan hal yang sama tentang diriku. Sebenarnya, semua ini
terasa sangat berat karena aku dan Dimitri sempat sangat intim saat kami
berdua terkena mantra kompulsi gairah. Victor bermaksud mengalihkan
perhatian kami saat menculik Lissa, dan usahanya berhasil. Aku sudah siap
menyerahkan keperawananku, dan Dimitri sudah siap menerimanya. Pada
menit-menit terakhir, kami berhasil melepaskan diri dari mantra itu, tetapi
kenangan tentang saat itu akan terus berada di dalam pikiranku, dan kadang
hal itu membuatku sulit memusatkan pikiran saat melakukan gerakan bela
diri.

Oh ya, namaku Rose Hathaway. Umurku tujuh belas tahun, aku dilatih untuk
melindungi dan membunuh vampir. Aku sedang jatuh cinta pada cowok yang
benar-benar terlarang untukku, dan aku memiliki sahabat yang memiliki
kekuatan sihir aneh yang bisa membuatnya gila.

Hei, tak ada yang bilang masa-masa sekolah menengah itu mudah untuk
dijalan
Vampire Academy 2 (Bab 1)

Vampire Academy 2 (Bab 1)


Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

SEMULA KUPIKIR TIDAK akan ada kejadian buruk lagi hari ini, sampai
sahabatku berkata bahwa dia mungkin akan menjadi gila. Lagi.

“Aku… apa katamu?”

Aku berdiri di lobi asrama Lissa, membungkuk untuk memasang sepatu bot.
Seraya mendongak, aku menatap Lissa melalui helaian rambut berwarna
gelap yang menutupi sebagian wajahku. Sepulang sekolah aku ketiduran dan
tidak sempat menyisir rambut supaya bisa pergi tepat waktu. Tentu saja,
rambut Lissa yang berwarna pirang platina selalu terlihat halus dan sempurna,
menggantung di pundaknya bagaikan kerudung pengantin. Dia
memperhatikanku dengan wajah geli.

“Aku tadi bilang sepertinya pil yang kuminum tidak berfungsi sebaik dulu.”

Aku menegakkan tubuh lalu menyingkirkan rambut dari wajah. “Apa


maksudmu?” tanyaku. Di sekeliling kami, para Moroi melintas untuk menemui
teman atau pergi makan malam.

“Kau sudah…” Aku memelankan suara. “Kau sudah mulai mendapatkan


kekuatanmu lagi, ya?”

Lissa menggeleng, dan aku melihat sedikit kilasan penyesalan di matanya.


“Tidak… Aku merasa lebih dekat dengan sihir, tetapi masih tak bisa
menggunakannya. Malah, aku lebih sering memperhatikan hal lain akhir-akhir
ini…. Kadang-kadang aku semakin tertekan. Tapi aku sama sekali tidak
kembali seperti semula.” Lissa buru-buru menambahkan ketika melihat
wajahku. Sebelum meminum pil, suasana hati Lissa bisa begitu muram
sehingga dia sanggup menyayat tubuhnya sendiri. “Hanya ada yang agak
berbeda dari sebelumnya.”

“Bagaimana dengan hal-hal yang dulu sering kaurasakan? Kecemasan?


Pikiran yang tidak masuk akal?”

Lissa tertawa, dia tidak menanggapi masalah ini seserius aku. “Kau seperti
habis membaca buku-buku teks ilmu kejiwaan.”

Sebenarnya aku memang membaca buku-buku itu. “Aku hanya


mengkhawatirkanmu. Kalau menurutmu pilnya sudah tidak berguna lagi, kita
harus melaporkannya.”
“Jangan,” Lissa cepat-cepat berkata. “Aku baik-baik saja kok. Pil-pil itu masih
membantu… hanya tidak seperti dulu. Kurasa kita tidak usah panik. Apalagi
kau―setidaknya, jangan hari ini.”

Usahanya untuk mengalihkan topik pembicaraan berhasil. Satu jam yang lalu
aku baru tahu bahwa aku harus menjalani Kualifikasi hari ini―terima kasih
sudah diberitahu, Teman-Teman. Kualifikasi adalah ujian―atau lebih tepat
disebut wawancara―yang wajib dilaksanakan oleh semua pengawal novis
selama tahun pertamanya di Akademi St. Vladimir. Tahun lalu aku tidak ikut
ujian karena kabur untuk menyembunyikan Lissa. Hari ini aku akan menemui
pengawal yang akan mengujiku di suatu tempat di luar kampus.

“Jangan cemaskan aku,” ulang Lissa sambil tersenyum. “Aku akan bilang
kalau keadaannya memburuk.”

“Baiklah,” kataku ragu.

Tetapi untuk berjaga-jaga, aku membuka semua indra dan membiarkan diri
benar-benar merasakan Lissa melalui ikatan batin kami. Lissa mengatakan
yang sebenarnya. Pagi ini dia merasa tenang dan bahagia, tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Namun, jauh di dasar benaknya, aku bisa merasakan
adanya gumpalan perasaan yang gelap dan gelisah. Perasaan itu tidak
mengancam, tetapi hampir mirip serangan depresi dan amarah yang dulu
sering terjadi padanya. Memang hanya sedikit, tetapi aku tidak suka. Aku tidak
menginginkan kehadiran emosi itu sedikit pun. Aku berusaha semakin dalam
menyelami pikirannya agar bisa merasakan emosinya dengan lebih baik, dan
tiba-tiba aku mengalami perasaan disentuh yang janggal. Perasaan mual
mencengkamku, lalu aku tersentak keluar dari kepala Lissa. Tubuhku agak
menggigil.

“Kau baik-baik saja?” tanya Lissa dengan kening berkerut. “Kau tiba-tiba
kelihatan seperti mau muntah.”

“Aku hanya… gugup menghadapi ujian,” aku berbohong. Dengan ragu aku
kembali mencoba menjangkau Lissa melalui ikatan batin. Kegelapan itu sudah
menghilang sepenuhnya. Tak ada jejak yang tersisa. Mungkin memang tak
ada yang salah dengan pilnya. “Aku baik-baik saja.”

Lissa menuding jam dinding. “Kau takkan baik-baik saja kalau tidak lekas
pergi.”

“Sialan,” umpatku. Lissa benar. Aku memeluknya sekilas. “Sampai ketemu


nanti!”
“Semoga beruntung!” serunya.

Aku bergegas melintasi kampus dan melihat mentorku, Dimitri Belikov, sudah
menungguku di samping mobil Honda Pilot. Sangat membosankan. Kurasa
aku memang tak bisa berharap menyusuri jalan pegunungan Montana dalam
sebuah Porsche, tetapi rasanya akan lebih menyenangkan jika bisa menaiki
mobil yang lebih keren daripada ini.

“Aku tahu, aku tahu,” kataku, melihat tatapannya. “Maaf, aku terlambat.”

Tiba-tiba aku teringat harus mengikuti salah satu ujian paling penting dalam
hidupku, dan segala persoalan tentang Lissa dan pilnya yang mungkin sudah
tidak berfungsi sebaik dulu langsung terlupakan. Aku ingin melindungi Lissa,
tetapi semua itu takkan ada artinya jika aku tidak lulus sekolah menengah dan
menjadi pengawalnya secara resmi.

Dimitri berdiri menungguku, terlihat setampan biasanya. Salju mulai turun di


sekeliling kami, aku memperhatikan sepihannya yang ringan dan menyerupai
kristal perlahan berguguran. Beberapa di antaranya jatuh di atas rambut gelap
Dimitri dan langsung mencair.

“Siapa lagi yang ikut?” tanyaku.

Dimitri mengangkat bahu. “Hanya kau dan aku.”

Suasana hatiku langsung melonjak dari “ceria” ke “bahagia”. Aku dan Dimitri.
Berdua saja. Di dalam mobil. Mungkin semua ini memang sepadan dengan
ujian mendadak.

“Seberapa jauh tempatnya?” Diam-diam aku berharap perjalanannya sangat


jauh. Katakanlah, satu minggu. Dan mengharuskan kami menginap di sebuah
hotel mewah. Mungkin kami akan terdampar di gundukan salju, dan hanya
panas tubuh yang membuat kami bertahan hidup.

“Lima jam.”

“Oh.”

Sedikit lebih cepat dari yang kuharapkan. Namun, lima jam tetap lebih baik
daripada tidak sama sekali. Dan masih ada kemungkinan terdampar di
gundukan salju.

Jalanan bersalju yang suram mungkin akan sulit dilalui manusia biasa, tetapi
kondisi itu bukan masalah bagi mata dhampir kami. Aku memandang lurus ke
depan, berusaha tidak memikirkan aroma tajam segar aftershave Dimitri yang
memenuhi mobil sehingga membuatku seakan ingin meleleh. Alih-alih, aku
berusaha memusatkan pikiran pada Kualifikasi.

Ini bukan sesuatu yang bisa kaupelajari. Kau hanya punya satu pilihan, lulus
atau tidak. Para pengawal kelas atas mengunjungi novis yang sedang
menjalani tahun pertama, lalu bertemu muka secara individu dan membahas
komitmen si murid untuk menjadi pengawal. Aku tidak tahu apa tepatnya yang
mereka tanyakan, tetapi selalu ada kabar burung yang beredar. Para pengawal
yang lebih tua menilai karakter dan dedikasi, dan biasanya ada beberapa novis
yang dinilai tidak memadai untuk melanjutkan karier sebagai pengawal.

“Bukankah biasanya mereka yang mengunjungi Akademi?” tanyaku pada


Dimitri. “Maksudku, aku senang kunjungan lapangan, tapi kenapa kita yang
harus mendatangi mereka?”

“Sebenarnya, hanya satu orang, bukan mereka.” Samar-samar terdengar aksen


Rusia pada ucapan Dimitri, satu-satunya petunjuk mengenai tempatnya
dibesarkan. Selain aksen itu, aku cukup yakin bahasa Inggrisnya jauh lebih
baik daripada aku. “Karena ini kasus istimewa dan dia sudah bersedia
membantu kita, kitalah yang harus mengunjunginya.”

“Memangnya siapa orang itu?”

“Arthur Schoenberg.”

Aku segera mengalihkan pandangan dari jalan ke Dimitri.

“Apa?” jeritku.

Arthur Schoenberg adalah legenda. Dia pembantai Strigoi terhebat sepanjang


sejarah pengawal dan pernah menjabat sebagai ketua Dewan
Pengawal―kelompok orang yang menugaskan para pengawal untuk
melindungi Moroi dan memutuskan semua hal untuk kami. Dia sudah pensiun
dan kembali bertugas melindungi salah satu keluarga bangsawan, keluarga
Badica. Bahkan setelah dia pensiun, aku tahu dia masih mematikan.
Kehebatannya merupakan bagian dari kurikulum yang kuambil.

“Memangnya… memangnya tidak ada orang lain yang bersedia?” tanyaku


pelan.

Aku bisa melihat Dimitri berusaha menahan senyum. “Kau akan baik-baik saja.
Lagi pula, kalau Art memberikan persetujuannya untukmu, kau akan
mendapatkan rekomendasi hebat dalam catatan nilaimu.”
Art. Dimitri memanggil pengawal paling jagoan dengan nama depannya. Tentu
saja, Dimitri sendiri juga jagoan, jadi seharusnya aku tidak perlu kaget
mendengarnya.

Suasana di dalam mobil menjadi sunyi. Aku menggigit bibir, mendadak


mempertanyakan kesanggupanku memenuhi standar Arthur Schoenberg.
Semua nilaiku bagus, tetapi hal-hal seperti melarikan diri dan bertengkar di
sekolah mungkin bisa sedikit membayangi keseriusanku mengenai karier
masa depan.

“Kau akan baik-baik saja,” ulang Dimitri. “Catatanmu lebih banyak bagusnya
daripada buruknya.”

Kadang-kadang Dimitri seperti bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum dan


memberanikan diri meliriknya. Tubuhnya tinggi dan ramping, bahkan ketika
dia sedang duduk. Kedua mata gelapnya seperti tak berdasar. Rambut
cokelatnya diikat di tengkuk. Rambut itu rasanya seperti sutra. Aku tahu itu
karena pernah menyentuhnya saat Victor Dashkov mengguna-gunai kami
dengan mantra kompulsi gairah. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha
memalingkan tatapan darinya.

“Trims, Pelatih,” aku menggodanya, kembali meringkuk di kursi.

“Aku siap membantu,” jawabnya. Suara Dimitri terdengar ringan dan


santai―sesuatu yang jarang terjadi. Biasanya dia sangat tegang, selalu siaga
menghadapi serangan. Mungkin dia merasa aman dalam sebuah Honda―atau
setidaknya seaman yang bisa didapatkannya saat berada di dekatku. Aku
bukan satu-satunya yang punya masalah dalam mengabaikan ketegangan
perasaan yang terjadi di antara kami.

“Kau tahu apa yang akan sangat membantuku?” tanyaku tanpa menatapnya.

“Hmm?”

“Kalau kau mematikan musik payah ini, dan memasang sesuatu yang direkam
setelah tembok Berlin dihancurkan.”

Dimitri tertawa. “Kau paling payah dalam kelas sejarah, tapi entah kenapa tahu
semua hal tentang Eropa Timur.”

“Hei, aku kan harus punya bahan untuk leluconku, Kamerad.”

Masih tersenyum, Dimitri memindahkan saluran radio. Ke stasiun


musik country.
“Hei! Bukan ini maksudku,” seruku.

Aku tahu Dimitri hampir tidak sanggup lagi menahan tawa. “Pilih saja. Yang ini
atau yang tadi.”

Aku mendesah. “Kembalikan ke musik delapan puluhan.”

Dimitri memindahkan saluran, dan aku menyilangkan tangan di depan dada


saat sebuah band yang samar-samar terdengar seperti orang Eropa
memainkan lagu tentang video yang sudah mematikan pamor bintang radio.
Kuharap ada orang yang mematikan radio ini.

Tiba-tiba saja lima jam tidak terasa sesingkat dugaanku semula.

***

Arthur dan keluarga yang dilindunginya tinggal di sebuah kota kecil yang
terbentang di sepanjang jalan bebas hambatan I-90, tidak terlalu jauh dari
Billings. Opini sebagian besar Moroi mengenai tempat tinggal terbelah dua.
Ada yang berpendapat kota besar merupakan tempat terbaik karena
memudahkan para vampir untuk berbaur dalam kerumunan, dan aktivitas
malam hari tidak akan terlalu mencolok. Moroi lainnya, seperti keluarga ini,
lebih memilih kota berpenduduk kecil. Mereka percaya semakin sedikit orang
yang menyadari keberadaanmu, semakin kecil kemungkinan untuk
diperhatikan.

Di tengah jalan aku berhasil meyakinkan Dimitri untuk mampir di sebuah kedai
yang buka 24 jam. Setelah itu, kami sempat berhenti untuk mengisi bensin,
dan tiba di tujuan sekitar tengah hari. Rumah yang kami datangi hanya satu
lantai, dibangun dengan gaya pedesaan dan dilengkapi dengan lis kayu kelabu
serta jendela-jendela besar yang menjorok ke luar―tentu saja dicat gelap
untuk menghalau sinar matahari. Rumahnya tampak baru dan mahal, dan
meskipun letaknya jauh dari mana-mana, rumah itu tetap sesuai dengan
bayanganku mengenai rumah keluarga bangsawan.

Aku melompat turun dari mobil, sepatu botku terbenam dalam salju lembut
setebal tiga sentimeter lalu menginjak batu kerikil yang terdapat di pelataran
mobil. Udaranya tenang, meski angin sesekali berembus. Aku dan Dimitri
berjalan menuju rumah, menyusuri jalan setapak batu yang melintasi halaman
depan. Aku bisa melihat sikap Dimitri berubah menjadi serius, tetapi secara
keseluruhan masih terlihat sama bahagianya denganku. Selama perjalanan
yang menyenangkan tadi, kami berdua sama-sama mendapatkan kepuasan
yang diliputi perasaan bersalah.

Aku terpeleset di atas jalan setapak yang berselimut es, dan Dimitri langsung
mengulurkan tangan untuk membantuku. Aku merasakan sedikit momen déjà
vu, teringat malam pertama kali kami bertemu―saat itu dia juga
menyelamatkanku dari kejadian serupa. Meski udara sangat dingin, tangan
Dimitri terasa hangat pada lenganku, bahkan dengan adanya berlapis-lapis
pakaian di balik mantelku.

“Kau tidak apa-apa?” Dimitri melepaskan genggamannya―yang membuatku


kecewa.

“Yeah,” kataku sambil memelototi jalan setapak yang licin. “Apa orang-orang
ini tidak pernah mendengar soal garam?”

Aku mengucapkannya sebagai lelucon, tetapi Dimitri tiba-tiba berhenti


berjalan. Aku juga langsung terdiam. Ekspresi wajahnya berubah menjadi
tegang dan waspada. Dimitri memalingkan wajah, menatap dataran luas putih
yang mengelilingi kami sebelum akhirnya kembali menatap rumah. Aku ingin
bertanya padanya, tetapi ada sesuatu dalam bahasa tubuhnya yang seakan
menyuruhku tetap diam. Dimitri mengamati bangunan itu selama hampir satu
menit penuh, menunduk menatap jalan setapak, lalu melirik ke arah jalur
masuk yang berselimut salju dan hanya ternoda oleh tapak kaki kami.

Dimitri menghampiri pintu depan dengan waspada, dan aku membuntutinya.


Dia berhenti lagi, kali ini untuk mengamati pintunya. Pintunya tidak terbuka,
tetapi juga tidak menutup sempurna―sepertinya ditutup dengan sangat
terburu-buru. Ketika diamati lebih lanjut terlihat goresan di sepanjang ambang
pintu, seolah sempat dibuka dengan paksa. Dorongan terpelan sekalipun bisa
membukanya. Perlahan jemari Dimitri menelusuri ambang pintu, napasnya
menghasilkan awan kecil di udara. Gagang pintunya sedikit bergoyang saat
disentuh Dimitri, seakan-akan sudah dirusak.

Akhirnya Dimitri berkata pelan, “Rose, tunggu di mobil.”

“Tapi ba―”

“Cepat.”

Hanya satu kata―tetapi sarat dengan kekuasaan. Satu kata itu langsung
mengingatkanku pada seorang pria yang sering kulihat melemparkan tubuh
orang lain dan menusuk Strigoi. Aku mundur, memilih berjalan di atas
halaman berselimut salju daripada mengambil risiko di atas jalan setapak
yang licin. Dimitri berdiri di tempat, tidak bergerak sedikit pun sampai aku
menyelinap masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya sepelan mungkin.
Kemudian, dengan sangat lembut, Dimitri mendorong pintu yang nyaris lepas
itu lalu menghilang ke dalam.

Terbakar rasa penasaran, aku menghitung sampai sepuluh lalu keluar dari
mobil.

Aku tahu seharusnya tidak mengejar Dimitri ke dalam rumah, tetapi aku harus
tahu apa yang terjadi di dalam. Jalan setapak dan pelataran mobil yang
terlantar menunjukkan bahwa rumah ini sudah tidak berpenghuni selama
beberapa hari terakhir. Meski sebenarnya bisa saja keluarga Badica ini tidak
pernah ke luar rumah. Mungkin saja mereka menjadi korban perampokan
biasa yang dilakukan manusia. Tetapi mungkin juga ada sesuatu yang
membuat mereka ketakutan―contohnya, Strigoi. Aku tahu kemungkinan itulah
yang membuat wajah Dimitri terlihat muram, tetapi rasanya itu tidak mungkin
dengan adanya Arthur Schoenberg.

Ketika berdiri di pelataran, aku mendongak menatap langit. Cahayanya muram


dan pucat, tetapi setidaknya ada cahaya. Tengah hari. Matahari sedang
berada di puncaknya. Strigoi tak mungkin keluar dalam cahaya matahari. Aku
tidak perlu mengkhawatirkan mereka, yang perlu kukhawatirkan hanyalah
amarah Dimitri.

Aku memutar ke samping kanan rumah, berjalan di atas salju yang jauh lebih
tebal―tingginya hampir 30 sentimeter. Aku tidak melihat ada yang janggal di
rumah ini. Butiran es bergelantungan dari atap, dan jendela yang dicat tidak
menampakkan apa-apa. Tiba-tiba kakiku menabrak sesuatu, dan aku
menunduk untuk melihatnya. Di kakiku terdapat sebuah pasak perak yang
setengah terkubur dalam salju. Pasak itu tertancap ke dalam tanah. Dengan
kening berkerut, aku memungutnya lalu membersihkan salju yang menempel
di sana. Kenapa ada pasak di sini? Pasak perak sangat berharga. Pasak perak
adalah senjata pengawal yang paling mematikan, sanggup membunuh Strigoi
hanya dengan satu tusukan menembus jantung. Saat senjata ini ditempa,
empat orang Moroi memantrainya dengan sihir yang berasal dari empat
elemen berbeda. Aku belum tahu cara menggunakannya, aku mendadak
merasa aman untuk melanjutkan pemeriksaan ini.
Ada sebuah pintu berukuran besar di bagian belakang rumah yang mengarah
ke teras dek kayu. Mungkin akan sangat menyenangkan bersantai di sana
pada musim panas. Tetapi kaca terasnya pecah, dan lubangnya cukup besar
untuk dimasuki dengan mudah. Aku mengendap-endap menaiki tangga
menuju dek, berhati-hari dengan es yang melapisinya. Aku sadar sepenuhnya
akan mendapat masalah besar kalau Dimitri sampai tahu apa yang kulakukan.
Meski udaranya dingin, keringat mengucur deras di leherku.

Ini siang hari, aku mengingatkan diri sendiri. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku tiba di teras dan mengamati kacanya yang gelap. Aku tidak yakin apa
yang membuatnya pecah. Di dalam, salju tertiup masuk dan menghasilkan
gundukan kecil pada karpet berwarna biru pucat. Aku menyentak gagang
pintunya, tetapi ternyata dikunci. Bukan berarti itu masalah, mengingat adanya
lubang di pintu. Seraya berhati-hati agar tidak terkena pinggirannya yang
tajam, aku mengulurkan tangan melalui lubang dan membuka gerendel pintu
dari dalam. Aku menarik tanganku lagi dengan sama hati-hatinya, dan
menggeser pintu sampai terbuka. Pintu itu mendesis di sepanjang alurnya,
bunyi pelan yang terdengar sangat nyaring di tengah kesunyian mencekam ini.

Aku melangkah masuk, lalu berdiri di bawah seberkas cahaya matahari yang
terpancar ke dalam dari pintu yang terbuka. Mataku segera menyesuaikan diri
dengan cahaya temaram di dalam ruangan. Angin berembus melalui teras
yang terbuka, menari bersama tirai di sekelilingku. Aku berada di ruang
keluarga. Ruangan ini dilengkapi dengan perabot standar. Sofa. Televisi.
Sebuah kursi goyang.

Dan sesosok mayat.

Itu mayat seorang wanita. Dia tergeletak di depan televisi, rambutnya tergerai
di lantai di sekelilingnya. Matanya menatap kosong, wajahnya pucat―terlalu
pucat untuk Moroi sekalipun. Sejenak kupikir rambut panjangnya menutupi
lehernya juga, sampai akhirnya aku sadar bahwa rona gelap yang terdapat
pada kulitnya itu darah―darah kering. Tenggorokannya sobek.

Pemandangan mengerikan itu terlihat begitu tidak nyata sehingga awalnya


aku tidak menyadari apa yang sebenarnya kulihat. Dengan posisi seperti itu,
bisa saja si wanita hanya tertidur. Kemudian aku melihat mayat lainnya.
Seorang pria yang berbaring menyamping hanya beberapa meter dari mayat si
wanita, darah berwarna gelap menodai karpet di sekitarnya. Satu mayat lagi
teronggok di samping sofa; tubuhnya kecil, tubuh seorang anak. Di seberang
ruangan ada mayat lain. Dan mayat lainnya. Di mana-mana ada mayat. Mayat
dan darah.

Sekonyong-konyong aku baru menyadari kengerian kematian yang ada di


sekelilingku, dan jantungku mulai berdebar-debar. Tidak. Ini tidak mungkin
terjadi. Tidak mungkin di siang hari. Jeritan yang hendak keluar tiba-tiba
terhenti saat sebuah tangan bersarung muncul dari belakang dan membekap
mulutku. Aku mulai meronta, lalu aku mencium bau aftershave Dimitri.

“Kenapa,” tanyanya, “kau tak pernah mendengarkan aku? Kau pasti mati
kalau mereka masih ada di sini.”

Aku tak bisa menjawab, tidak hanya karena tangannya membekapku, tetapi
juga karena aku sangat terguncang. Aku pernah melihat orang mati, tetapi
belum pernah yang sedahsyat ini. Setelah hampir satu menit, akhirnya Dimitri
melepaskan tangannya, tetapi tetap berada di belakangku. Aku tidak mau lagi
melihat pemandangan yang ada di hadapanku, namun sepertinya aku tak
sanggup memalingkan wajah. Di mana-mana ada mayat. Mayat dan darah.

Akhirnya aku menghadap Dimitri. “Sekarang siang hari,” bisikku. “Hal buruk
tidak terjadi di siang hari.” Suaraku terdengar putus asa, bagai gadis kecil
yang memohon agar diberitahu bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk.

“Hal buruk bisa terjadi kapan saja,” jawab Dimitri. “Dan ini tidak terjadi di siang
hari. Mungkin sudah dua malam yang lalu.”

Aku memberanikan diri mengintip mayat-mayat itu lagi dan perutku langsung
terasa melilit. Dua hari. Mati selama dua hari, kehidupanmu direnggut―tanpa
seorang pun di dunia ini yang menyadari kepergianmu. Mataku tertumbuk
pada mayat seorang pria yang terdapat di dekat pintu masuk ke arah selasar.
Pria itu tinggi, tubuhnya terlalu kekar untuk seorang Moroi. Dimitri pasti
menyadari arah pandanganku.

“Arthur Schoenberg,” katanya.

Aku memandangi leher Arthur yang berdarah. “Dia sudah mati,” ucapku,
seakan hal itu tidak terlihat dengan jelas. “Bagaimana mungkin dia mati?
Bagaimana mungkin ada Strigoi yang membunuh Arthur Schoenberg?” Ini
sepertinya mustahil. Kau tak bisa membunuh seorang legenda.

Dimitri tidak menjawab. Alih-alih, tangannya meraih tanganku yang


memegang pasak. Aku tersentak.
“Di mana kau menemukannya?” dia bertanya. Aku melonggarkan genggaman
dan membiarkannya mengambil pasak itu.

“Di luar. Tertancap di tanah.”

Dimitri mengangkat pasak itu lalu mengamati permukaannya yang bersinar di


bawah cahaya matahari. “Pasak ini yang menembus pertahanan.”

Pikiranku yang masih terpana membutuhkan waktu beberapa saat untuk


mencerna ucapan Dimitri. Kemudian aku memahaminya. Pertahanan adalah
lingkaran sihir yang dibuat kaum Moroi. Sama seperti pasak, lingkaran ini juga
dibuat dengan menggunakan sihir yang berasal dari keempat elemen.
Pertahanan membutuhkan pengguna sihir Moroi yang kuat, sering kali dua
orang untuk setiap elemen. Pertahanan sanggup menghalau Strigoi karena
sihir dialiri kehidupan, sedangkan Strigoi tidak memilikinya. Tetapi pertahanan
memudar dengan cepat dan membutuhkan banyak perawatan. Sebagian
besar Moroi tidak menggunakannya, tetapi ada beberapa tempat yang masih
mempertahankannya. Akademi St. Vladimir dilingkari oleh beberapa
pertahanan sihir.

Semula tempat ini memiliki pertahanan, tetapi hancur berantakan saat ada
orang yang melemparkan pasak. Sihir keduanya saling melawan, dan pasak
yang menang.

“Strigoi tidak bisa menyentuh pasak,” kataku. Aku baru sadar banyak
menggunakan kata tidak dan tidak bisa. Tidak mudah rasanya keyakinanmu
ditantang habis-habisan seperti ini. “Dan tidak ada Moroi
ataupun dhampir yang tega melakukannya.”

“Seorang manusia mungkin saja melakukannya.”

Aku menatap mata Dimitri. “Manusia tidak membantu Strigoi―” aku berhenti.
Aku menyebutnya lagi. Tidak. Tetapi aku tak bisa menahannya. Satu-satunya
yang bisa kami andalkan dalam melawan Strigoi adalah keterbatasan
mereka―cahaya matahari, pertahanan, pasak sihir, dan lain-lain. Kami
memanfaatkan kelemahan mereka. Jika mereka memiliki
teman―manusia―yang bisa membantu mereka dan tidak terpengaruh oleh
keterbatasan tadi….

Wajah Dimitri terlihat tegang, masih terlihat siap menghadapi apa pun, tetapi
ada percikan kecil rasa simpati di mata gelapnya saat melihatku menghadapi
pertarungan batin.
“Semua ini mengubah banyak hal, kan?” tanyaku.

“Yeah,” jawabnya. “Memang.”

Vampire Academy 2 (Bab 2)

Vampire Academy 2 (Bab 2)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

DIMITRI MENELEPON, DAN sebuah tim SWAT muncul.

Tetapi mereka baru datang setelah dua jam, dan setiap menit yang berlalu
terasa bagaikan satu tahun. Akhirnya aku tidak tahan lagi dan kembali ke
mobil. Dimitri memeriksa rumah secara lebih menyeluruh, lalu ikut duduk di
sampingku. Kami tidak berbicara selama menunggu. Kilasan gambar
mengerikan yang terjadi di dalam terus-menerus menghantui pikiranku. Aku
merasa ketakutan dan kesepian, berharap Dimitri memelukku untuk
menenangkanku.

Aku segera memarahi diri sendiri karena menginginkan hal itu. Untuk keseribu
kalinya aku mengingatkan diri bahwa Dimitri adalah instrukturku dan tidak
punya urusan untuk memelukku, apa pun situasinya. Lagi pula, aku ingin
menjadi kuat. Aku tidak mau menghambur ke pelukan seorang pria setiap kali
mendapat masalah berat.

Saat kelompok pengawal yang pertama muncul, Dimitri membuka pintu mobil
lalu melirik ke arahku. “Kau harus melihat cara mengatasi semua ini.”

Sejujurnya, aku tidak mau melihat rumah itu lagi, tetapi aku tetap membuntuti
Dimitri. Para pengawal ini asing bagiku, tetapi Dimitri mengenal mereka.
Sepertinya dia selalu mengenal semua orang. Kelompok ini terkejut saat
melihat seorang novis di tempat kejadian, tetapi tak ada yang keberatan
dengan kehadiranku di sana.

Aku berjalan di belakang saat mereka memeriksa rumah. Tak ada yang
menyentuh barang-barang, tetapi mereka berlutut di depan mayat-mayat serta
mengamati noda darah dan jendela yang rusak. Ternyata Strigoi tidak hanya
menggunakan pintu depan dan teras belakang untuk memasuki rumah.

Para pengawal berbicara dengan tegas, sama sekali tidak terlihat jijik atau
takut seperti yang kurasakan. Mereka bagaikan mesin. Salah seorang dari
mereka, satu-satunya wanita dalam kelompok itu, berjongkok di samping
Arthur Schoenberg. Aku langsung tertarik karena jarang melihat pengawal
perempuan. Aku mendengar Dimitri memanggilnya Tamara, dan kelihatannya
dia berusia dua puluh lima tahun. Rambut hitamnya hanya sebatas pundak,
seperti umumnya pengawal perempuan.

Kesedihan terpancar dari mata kelabunya saat mengamati wajah pengawal


yang sudah mati itu. “Oh, Arthur,” desahnya. Seperti Dimitri, wanita ini juga
sanggup menyampaikan ratusan hal hanya dalam beberapa kata. “Tak pernah
kuduga ini akan terjadi. Dia mentorku.” Seraya mendesah lagi, Tamara berdiri.

Wajahnya langsung terlihat serius lagi, seolah pria yang dulu melatihnya tidak
terbaring mati di hadapannya. Aku tak bisa percaya ini. Pria itu mentornya.
Bagaimana mungkin dia sanggup mengendalikan diri sekuat ini? Selama
setengah detik, aku membayangkan melihat Dimitri terbaring mati di lantai.
Tidak. Tidak mungkin aku bisa setenang itu jika dalam posisi Tamara. Aku
mungkin akan histeris. Aku mungkin akan menjerit-jerit dan menendang
segala macam benda. Aku mungkin akan memukul siapa pun yang berusaha
menenangkanku dengan mengatakan semuanya baik-baik saja.

Untungnya, aku tidak percaya ada orang yang mampu mengalahkan Dimitri.
Aku pernah melihatnya membunuh Strigoi tanpa mengeluarkan keringat
setetes pun. Dimitri tak terkalahkan. Dia seorang jagoan. Seorang dewa.

Tentu saja, Arthur Schoenberg juga dulu seperti itu.

“Bagaimana mereka melakukannya?” cetusku. Enam pasang mata menoleh


padaku. Kusangka Dimitri akan menatapku dengan pandangan mencela,
tetapi ternyata dia hanya kelihatan penasaran. “Bagaimana mereka
membunuhnya?”
Tamara mengangkat bahu sedikit, wajahnya masih tenang. “Seperti cara
mereka membunuh yang lain. Dia bukan makhluk abadi, sama seperti kita
semua.”

“Yeah, tapi dia kan… Arthur Schoenberg.”

“Bagaimana kalau kau yang memberitahu kami, Rose,” kata Dimitri. “Kau
sudah melihat rumahnya. Katakan cara mereka melakukannya.”

Ketika mereka menatapku, tiba-tiba aku tersadar bahwa mungkin saja


seharian ini aku sedang menjalani ujian. Aku memikirkan semua hal yang
sejak tadi kuperhatikan dan kudengar. Aku menelan ludah, berusaha
menyimpulkan bagaimana yang mustahil menjadi mungkin.

“Ada empat titik jalan masuk, artinya sedikitnya ada empat Strigoi. Di rumah
ini ada tujuh Moroi.” Keluarga yang menghuni rumah ini sedang menjamu
beberapa tamu sehingga pembantaiannya sedahsyat ini. Tiga korban adalah
anak kecil. “…dan tiga pengawal. Yang tewas terlalu banyak. Empat Strigoi tak
mungkin membantai sebanyak itu. Enam Strigoi mungkin sanggup jika
membunuh para pengawal lebih dulu dan melakukannya saat mereka sedang
lengah. Keluarga Moroi itu pasti terlalu panik untuk melawan.”

“Dan bagaimana cara mereka menyerang saat para pengawal sedang


lengah?” desak Dimitri.

Aku ragu-ragu. Para pengawal, sesuai aturan umum, tidak boleh lengah.
“Karena pertahanannya berhasil ditembus. Di rumah yang tidak dilengkapi
pertahanan sihir, mungkin akan ada pengawal yang berjaga-jaga di halaman
pada malam hari. Tapi mereka tidak melakukannya di sini.”

Aku menunggu pertanyaan selanjutnya yang pasti mengenai cara yang


digunakan untuk menembus pertahanannya. Tetapi Dimitri tidak
menanyakannya. Tidak perlu. Kami semua sudah tahu jawabannya. Kami
sudah melihat pasaknya. Aku kembali bergidik. Manusia yang bekerja sama
dengan Strigoi―sekelompok besar Strigoi.

Dimitri hanya mengangguk kecil sebagai tanda persetujuan, dan kelompok itu
melanjutkan pemeriksaan. Saat kami tiba di kamar mandi, aku membuang
muka. Aku sudah melihat ruangan ini bersama Dimitri, dan tidak berminat
mengulangi pengalaman itu. Di dalam kamar mandi itu ada mayat seorang
pria, dan darah keringnya terlihat mencolok di atas lantai keramik putih. Selain
itu, karena ruangan ini berada di dalam, udaranya tidak sedingin ruangan di
dekat teras. Jadi tak ada proses pengawetan. Mayatnya belum busuk, tetapi
tidak harum juga.

Tetapi saat memalingkan wajah, aku menangkap sesuatu yang berwarna


merah gelap―malah cenderung cokelat―di cermin. Aku tadi tidak melihatnya
karena perhatianku terpaku pada semua hal lain di tempat ini. Pada
permukaan cermin ada sebuah pesan yang ditulis dengan darah.

Sungguh malang nasib keluarga Badica. Hanya sedikit yang tersisa. Satu
keluarga bangsawan nyaris musnah. Yang lainnya akan menyusul.

Tamara mendengus jijik dan berpaling dari cermin, mengamati detail lainnya
yang ada di kamar mandi. Tetapi ketika kami keluar, kata-kata itu terus
mengiang dalam kepalaku. Satu keluarga bangsawan nyaris musnah. Yang
lainnya akan menyusul.

Memang benar, keluarga Badica adalah salah satu klan bangsawan terkecil.
Tetapi mereka yang terbunuh di sini sama sekali bukan keturunan terakhir
Badica. Mungkin masih ada sekitar dua ratus orang anggota keluarga Badica
yang tersisa di luar sana. Jumlah mereka tidak sebanyak keluarga lain,
contohnya keluarga Ivashkov. Keluarga bangsawan ini sangat besar dan
tersebar luas. Namun, jumlah keluarga Badica masih lebih banyak daripada
beberapa keluarga bangsawan lain.

Contohnya keluarga Dragomir.

Lissa adalah satu-satunya anggota keluarga Dragomir yang masih tersisa.

Jika Strigoi ingin memusnahkan garis keturunan bangsawan, tidak ada yang
lebih baik daripada mengincar Lissa. Darah Moroi memperkuat Strigoi, jadi
aku memahami keinginan mereka untuk melakukannya. Kurasa secara
spesifik membidik kaum bangsawan hanya bagian dari sifat kejam dan sadis
mereka. Ironis rasanya Strigoi bermaksud menghancurkan kaum Moroi
mengingat sebagian besar dari mereka dulunya bagian dari komunitas itu.

Cermin berisi ancaman itu terus menghantuiku selama kami berada di rumah
tersebut, dan ketakutan serta kekagetanku berubah menjadi amarah.
Bagaimana mungkin mereka melakukan ini? Bagaimana mungkin ada
makhluk yang begitu sinting dan kejam sehingga sanggup melakukan semua
ini pada sebuah keluarga―sehingga mau memusnahkan seluruh garis
keturunannya? Bagaimana mungkin ada makhluk yang sanggup melakukan
semua ini padahal dulu mereka sama seperti aku dan Lissa?
Memikirkan Lissa―dan memikirkan Strigoi yang ingin memusnahkan keluarga
Lissa―membangkitkan amarah gelap dalam diriku. Intensitas emosi tersebut
nyaris membuatku gila. Rasanya gelap dan muram, terus membengkak dan
bergulung. Sebuah awan badai yang siap meledak. Tiba-tiba saja aku merasa
ingin mencabik-cabik setiap Strigoi yang bisa kutemui.

Saat akhirnya naik ke mobil dan kembali ke St. Vladimir bersama Dimitri, aku
membanting pintu mobil dengan begitu keras sehingga aku sendiri heran
pintunya tidak copot.

Dimitri melirikku kaget. “Ada apa?”

“Apa kau serius?” seruku heran. “Bagaimana mungkin kau menanyakannya?


Kau ada di sana. Kau melihatnya.”

“Memang,” kata Dimitri. “Tapi aku tidak melampiaskannya pada mobil.”

Aku memasang sabuk pengaman dan cemberut. “Aku benci mereka. Aku
benci mereka semua! Coba aku ada di sana. Akan kusobek tenggorokan
mereka!”

Aku hampir berteriak. Dimitri menatapku lekat-lekat―dengan wajah


tenang―tetapi jelas dia takjub melihat ledakan amarahku.

“Kau benar-benar yakin dengan semua itu?” tanya Dimitri. “Setelah melihat
apa yang dilakukan Strigoi di dalam sana, kaupikir bisa bertindak lebih baik
daripada Art Schoenberg? Setelah melihat apa yang dilakukan Natalie
kepadamu?”

Aku terdiam. Aku sempat berhadapan dengan sepupu Lissa, Natalie, saat dia
berubah menjadi Strigoi, tepat sebelum Dimitri datang dan menjadi pahlawan.
Bahkan sebagai Strigoi yang baru berubah―lemah dan belum bisa
mengendalikan gerakannya―Natalie bisa melemparku ke seberang ruangan.

Aku menutup mata dan menghela napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku
merasa bodoh. Aku sudah melihat apa yang bisa diperbuat oleh Strigoi. Jika
aku terburu-buru berusaha menjadi pahlawan, nasibku mungkin akan berakhir
dalam kematian yang sangat cepat. Aku sedang berkembang menjadi
pengawal tangguh, tetapi aku masih harus banyak belajar―dan seorang gadis
berusia tujuh belas tahun tak mungkin sanggup melawan enam Strigoi.

Aku membuka mata. “Maafkan aku,” kataku setelah bisa mengendalikan diri
lagi. Kemarahan yang tadi meledak mulai memudar. Aku tidak tahu dari mana
datangnya. Aku memang mudah marah dan sering kali bertindak impulsif,
tetapi ledakan emosi tadi termasuk para dan mengerikan, bahkan untukku.
Aneh.

“Tak apa,” kata Dimitri. Dia meletakkan tangan di atas tanganku selama
beberapa saat. Kemudian dia melepasnya dan menyalakan mobil. “Hari ini
sangat melelahkan. Untuk kita semua.”

***

Ketika kami tiba di Akademi St. Vladimir sekitar tengah malam, semua orang
sudah tahu soal pembantaian itu. Hari sekolah vampir baru saja berakhir, dan
aku belum tidur selama lebih dari dua puluh empat jam. Mata dan tubuhku
terasa berat, dan Dimitri langsung menyuruhku cepat-cepat kembali ke
asrama untuk tidur. Tentu saja, Dimitri masih terlihat waspada dan siap
menghadapi apa pun. Kadang-kadang aku bahkan tidak yakin dia pernah tidur.
Dimitri pergi untuk membahas masalah serangan ini dengan para pengawal
lainnya, dan aku berjanji padanya akan langsung tidur. Tetapi saat Dimitri
sudah tidak terlihat, aku malah berbalik menuju perpustakaan. Aku harus
menemui Lissa, dan menurut ikatan batin kami di sanalah dia sekarang
berada.

Saat aku menyusuri jalan setapak berbatu di alun-alun yang menghubungkan


asramaku dengan bangunan utama sekolah menengah, keadaannya gelap
gulita. Salju sepenuhnya menutupi rumput, tetapi trotoarnya benar-benar
bersih dari es ataupun salju. Ini mengingatkanku pada rumah keluarga Badica
yang malang tadi.

Aula bersama berada di sebuah bangunan besar bergaya gotik yang lebih
mirip lokasi pembuatan film berlatar abad pertengahan daripada sekolah. Di
dalam bangunan, aura misterius dan sejarah kuno terus terpancar. Dinding
batu yang rumit dan lukisan antik berseberangan dengan komputer dan lampu
neon. Teknologi modern memang diterima di tempat ini, tetapi takkan pernah
mendominasi.

Setelah menyelinap melalui gerbang elektronik perpustakaan, aku langsung ke


sudut belakang tempat buku-buku geografi dan perjalanan wisata disimpan.
Benar saja, aku menemukan Lissa duduk di lantai, bersandar pada rak buku.
“Hei,” kata Lissa, mendongak dari buku yang terbuka di atas lututnya. Dia
menyibak beberapa helai rambut dari wajah. Kekasihnya, Christian, berbaring
di lantai di dekatnya, kepalanya bersandar pada lutut Lissa yang lain. Christian
menyapaku dengan anggukan kepala. Mengingat perdebatan yang kadang
membara di antara kami berdua, anggukan itu bisa disamakan dengan
pelukan hangat darinya. Meski Lissa tersenyum tipis, aku bisa merasakan
ketegangan dan ketakutan yang dirasakannya. Emosi tersebut seakan
mengalun dari ikatan batin kami.

“Kau sudah dengar,” kataku sambil duduk bersila.

Senyum Lissa menghilang, perasaan takut dan gelisah yang dirasakannya


semakin menjadi-jadi. Aku senang hubungan batin kami membuatku bisa
melindungi Lissa dengan lebih baik, tetapi sebenarnya aku tidak suka
perasaan gelisahku sendiri berlipat ganda.

“Ini mengerikan,” kata Lissa bergidik. Christian bergeser dan menautkan jari
pada jari Lissa. Lissa balas meremasnya. Mereka berdua benar-benar sedang
jatuh cinta dan memperlakukan satu sama lain dengan sikap semanis gula;
saking manisnya sehingga aku ingin menggosok gigi setelah berada di dekat
mereka. Namun, mereka berdua sekarang terlihat pendiam, pasti gara-gara
berita pembantaian itu. “Mereka bilang… mereka bilang di sana ada enam atau
tujuh Strigoi. Dan katanya ada manusia yang membantu mereka menembus
pertahanan.”

Aku menyandarkan kepala pada rak buku. Berita menyebar dengan cepat.
Tiba-tiba saja aku merasa pusing. “Memang benar.”

“Benarkah?” kata Christian. “Kusangka semua itu berita yang dilebih-lebihkan.”

“Tidak…” Pada saat itu aku baru sadar bahwa tidak ada yang tahu ke mana
aku pergi seharian ini. “Aku… aku ada di sana.”

Kedua mata Lissa melebar, kekagetan yang dirasakannya mengalir padaku


melalui ikatan batin. Bahkan Christian―contoh sejati bocah “sok
tahu”―terlihat muram. Kalau tidak ingat berapa mengerikannya kejadian itu,
aku pasti girang melihat reaksi Christian.

“Kau bercanda,” kata Christian dengan suara tidak yakin.

“Kupikir kau sedang menjalani Kualifikasi….” Suara Lissa tiba-tiba mengecil.


“Mestinya begitu,” kataku. “Bisa dibilang aku berada di tempat dan waktu yang
salah. Pengawal yang seharusnya mengujiku tinggal di rumah itu. Aku dan
Dimitri baru akan masuk ke dalam rumah, dan…”

Aku tak sanggup meneruskan cerita. Gambaran mengenai darah dan


kematian yang memenuhi rumah keluarga Badica melintas di benakku lagi.
Wajah Lissa dan ikatan batin di antara kami menunjukkan kekhawatiran yang
dirasakannya.

“Rose, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan lembut.

Lissa sahabatku, tetapi aku tak mau dia tahu betapa takut dan kesalnya aku
dengan kejadian ini. Aku ingin terlihat tangguh.

“Ya,” jawabku dengan rahang terkatup.

“Seperti apa rasanya?” tanya Christian. Suaranya terdengar penasaran, tetapi


terselip rasa bersalah―seolah dia sadar bahwa penasaran mengenai hal
mengerikan semacam ini keliru. Tetapi dia tak bisa menahan diri untuk tidak
menanyakannya. Satu-satunya kesamaan di antara kami berdua adalah tidak
bisa mengendalikan dorongan spontan.

“Rasanya…” Aku menggeleng. “Aku tak mau membicarakannya.”

Christian sudah hendak protes, tapi Lissa menyapukan tangan ke rambut


hitam lurus Christian. Peringatan lembut itu segera membuat cowok itu
terdiam. Sesaat suasana di antara kami terasa canggung. Saat membaca
pikiran Lissa, aku bisa merasakan dia sedang berusaha keras mengalihkan
topik pembicaraan.

“Mereka bilang kejadian ini akan mengacaukan semua acara liburan,” kata
Lissa beberapa saat kemudian. “Bibinya Christian akan datang berkunjung,
tapi sebagian besar orang sepertinya enggan bepergian. Mereka ingin anak-
anak mereka tetap berada di tempat aman. Mereka khawatir kelompok Strigoi
ini sedang berkeliaran.”

Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan konsekuensi dari serangan seperti


ini. Natal akan tiba sekitar satu minggu lagi. Biasanya, saat Natal kaum Moroi
sibuk bepergian ke berbagai tempat. Para siswa pulang ke rumah untuk
mengunjungi orangtua mereka, atau para orangtua datang menjenguk anak-
anak mereka di kampus.

“Kejadian ini akan memisahkan banyak keluarga,” gumamku.


“Dan mengacaukan banyak acara kumpul-kumpul kaum bangsawan,” kata
Christian. Keseriusannya yang tadi muncul sejenak sudah lenyap, dan
kebiasaan sinisnya kembali. “Kau kan tahu bagaimana sikap mereka pada
saat-saat seperti ini―bersaing mengadakan pesta termegah. Mereka pasti
sangat kebingungan.”

Aku bisa membayangkannya. Hidupku memang berkutat dengan perkelahian,


tetapi kaum Moroi jelas memiliki pertarungan mereka sendiri―terutama yang
berhubungan dengan kaum terpandang dan bangsawan. Mereka menghadapi
pertempuran dengan kata-kata dan aliansi politik, dan sejujurnya, aku lebih
memilih metode tepat sasaran seperti memukul dan menendang. Lissa dan
Christian sendiri harus menghadapi beberapa masalah. Mereka berasal dari
keluarga bangsawan, itu artinya mereka mendapatkan banyak perhatian baik
di dalam maupun di luar Akademi.

Keadaan mereka lebih buruk daripada keluarga bangsawan Moroi pada


umumnya. Keluarga Christian hidup di bawah bayang-bayang kelam kedua
orangtuanya. Kedua orangtua Christian berubah menjadi Strigoi atas
kehendak sendiri, menukar sihir dan kehidupan mereka demi kehidupan abadi
dan membunuh orang lain. Mereka kini sudah meninggal, tetapi kematian
mereka belum menghilangkan ketidakpercayaan orang-orang pada Christian.
Mereka beranggapan Christian bisa berubah menjadi Strigoi kapan saja dan
memaksa yang lain untuk bergabung dengannya. Sikap kasar dan selera
humor gelapnya juga tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.

Lissa menjadi pusat perhatian karena dia satu-satunya yang masih hidup
dalam keluarganya. Selain Lissa, tak ada Moroi lain yang memiliki cukup
darah Dragomir sehingga berhak menyandang nama tersebut. Calon
suaminya mungkin akan berada di suatu tempat dalam silsilah keluarganya
untuk memastikan anak-anak Lissa kelak diakui sebagai keturunan Dragomir.
Tetapi untuk sekarang, menjadi satu-satunya Dragomir membuat Lissa
bagaikan selebriti.

Memikirkan semua ini tiba-tiba mengingatkanku pada peringatan yang tertulis


di cermin. Aku merasa mual. Amarah gelap dan keputusasaan kembali
bergejolak, tetapi aku mengabaikannya dengan sebuah lelucon.

“Kalian harus mencoba menyelesaikan masalah seperti kami. Sedikit


perkelahian mungkin bisa membantu bangsawan seperti kalian.”

Lissa dan Christian tertawa mendengarnya. Christian mendongak menatap


Lissa sambil tersenyum licik, memperlihatkan taringnya. “Bagaimana
menurutmu? Taruhan aku bisa mengalahkanmu kalau kita bertarung satu
lawan satu.”

“Kau pasti bermimpi,” goda Lissa. Perasaan gelisahnya mulai berkurang.

“Sebenarnya aku memang memimpikannya,” kata Christian menatapnya lekat-


lekat.

Suara Christian terdengar begitu sensual sehingga membuat jantung Lissa


langsung berdebar. Kecemburuan langsung menyerangku. Aku dan Lissa
sudah bersahabat seumur hidup. Aku bisa membaca pikirannya. Tetapi
kenyataannya, sekarang Christian menjadi bagian penting dalam kehidupan
Lissa, dan dia punya peran yang tak bisa kugantikan―sama halnya dengan
Christian yang tidak akan bisa ambil bagian dalam ikatan batin yang terjalin
antara aku dan Lissa. Bisa dibilang kami berdua sama-sama menerima tetapi
tidak menyukai kenyataan bahwa kami harus berbagi perhatian Lissa, dan
kadang-kadang sepertinya gencatan senjata yang terjadi di antara kami
setipis kertas.

Lissa mengusap pipi Christian. “Jaga sikapmu.”

“Sudah,” kata Christian, suaranya masih terdengar agak serak. “Kadang-


kadang. Tapi kadang-kadang kau tak membiarkanku untuk…”

Seraya mengerang, aku pun berdiri. “Ya ampun. Aku akan pergi supaya kalian
bisa berduaan.”

Lissa mengerjap dan mengalihkan tatapannya dari Christian, mendadak


terlihat malu.

“Maaf,” gumamnya. Rona merah muda pucat menyebar ke pipinya. Karena


kulit Lissa sangat pucat seperti umumnya kaum Moroi, rona itu malah
membuatnya terlihat lebih cantik. Bukan berarti dia perlu sesuatu untuk
menambah kecantikannya. “Kau tak perlu pergi…”

“Tidak apa-apa. Aku lelah,” aku meyakinkan Lissa. Christian tampaknya tidak
terlalu kecewa melihat kepergianku. “Aku akan menemuimu besok.”

Aku mulai berbalik pergi, tetapi Lissa memanggilku. “Rose? Kau… kau yakin
baik-baik saja? Setelah semua yang terjadi?”

Aku menatap mata hijau giok Lissa. Kekhawatiran yang dirasakannya begitu
kuat dan dalam sehingga membuat dadaku terasa sakit. Aku mungkin lebih
dekat dengan Lissa daripada siapa pun di dunia ini, tetapi aku tak mau dia
mengkhawatirkan aku. Akulah yang bertugas memastikan keselamatannya.
Seharusnya dia tidak terbebani denganku―terutama saat Strigoi tiba-tiba
memutuskan membuat daftar korban yang terdiri atas kaum bangsawan.

Aku menyunggingkan senyum ceria. “Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan selain kemungkinan kalian berdua saling melucuti pakaian
sebelum aku sempat pergi dari sini.”

“Kalau begitu, sebaiknya kau pergi sekarang juga,” kata Christian datar.

Lissa menyikutnya, dan aku memutar bola mata. “Selamat malam,” ucapku.

Begitu aku memunggungi mereka, senyumku langsung lenyap. Aku berjalan ke


asrama dengan hati berat, berharap malam ini tidak akan bermimpi tentang
keluarga Badica.

Vampire Academy 2 (Bab 3)

Vampire Academy 2 (Bab 3)


Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

LOBI ASRAMAKU SANGAT ribut ketika aku berlari menuruni tangga untuk
berlatih sebelum sekolah dimulai. Kehebohan itu tidak mengejutkanku. Tidur
nyenyak sudah membantuku melupakan kilasan gambar kejadian kemarin,
tetapi aku tahu, baik aku maupun teman-teman sekelasku takkan bisa dengan
mudah melupakan kejadian di luar kota Billings itu.

Namun, saat memperhatikan wajah dan kerumunan para novis lainnya, aku
baru sadar ada sesuatu yang aneh. Ketakutan dan ketegangan akibat
peristiwa kemarin masih tersisa, tetapi terlihat ada sesuatu yang baru;
semangat. Ada dua novis baru yang hampir menjerit kegirangan sambil
berbisik-bisik. Di dekat mereka, sekelompok pria sebayaku bergerak tak
terkendali, wajah mereka cengar-cengir penuh semangat.

Pasti ada yang kulewatkan―kecuali sepanjang hari kemarin ternyata cuma


mimpi. Aku berusaha keras tidak menghampiri salah satu dari mereka dan
menanyakan apa yang terjadi. Kalau menunda lagi, aku akan terlambat
latihan. Tetapi rasa penasaran ini benar-benar menggangguku. Apakah para
Strigoi dan sekutu manusia mereka sudah ditemukan dan dibunuh? Tentunya
ini berita bagus, tetapi firasatku mengatakan bukan itu yang terjadi. Aku
membuka pintu depan, dengan sedih memutuskan menunggu sampai waktu
sarapan untuk mencari tahu apa yang terjadi.

“Hathaway-ku, jangan tinggalkan daku,” sebuah suara riang memanggilku.

Aku melirik ke belakang dan tersenyum lebar. Mason Ashford, sesama novis
dan teman baikku, berlari kecil menyamai langkahku.

“Memangnya umurmu berapa sih, dua belas tahun?” tanyaku sambil terus
bergegas menuju gedung olahraga.

“Hampir,” katanya. “Aku merindukan senyum manismu kemarin. Kau ke


mana?”

Ternyata keberadaanku di rumah keluarga Badica masih tidak banyak


diketahui. Sebenarnya itu bukan rahasia, tetapi aku malas membahas
peristiwa mengerikan itu. “Berlatih bersama Dimitri.”

“Astaga,” gumam Mason. “Pria itu selalu saja menyiksamu. Apa Dimitri tidak
sadar dia sudah membuat kami kehilangan kecantikan dan pesona dirimu?”
“Senyum manis? Kecantikan dan pesona? Kau agak berlebihan pagi ini,”
kataku sambil tertawa.

“Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau beruntung ada orang
semenarik dan secemerlang aku yang memperhatikanmu sedalam itu.”

Aku masih nyengir. Mason penggoda ulung, dan terutama dia sangat senang
menggodaku―sebagian karena aku menanggapinya dengan baik dan suka
balas menggodanya. Tetapi aku tahu perasaannya kepadaku lebih dari
sekadar persahabatan, dan aku masih mempertimbangkan perasaanku
kepadanya. Aku dan Mason sama-sama memiliki selera humor konyol, dan
cukup menonjol di kelas atau saat berkumpul bersama teman-teman. Mason
memiliki mata biru yang indah dan rambut merah acak-acakan yang
sepertinya tidak pernah disisir. Tetapi itu malah membuatnya imut.

Namun, berkencan dengan orang baru akan sulit dilakukan kalau aku masih
sering memikirkan saat-saat aku setengah telanjang bersama Dimitri di
tempat tidur.

“Menarik dan cemerlang, ya?” Aku menggelengkan kepala. “Kurasa


perhatianmu padaku tidak sebesar pada egomu. Kau harus ditampar sedikit
rupanya.”

“Oh ya?” tanyanya. “Hmm, kau bisa mencobanya di atas lereng.”

Aku berhenti di tempat. “Di atas apa?”

“Lereng.” Mason memiringkan kepala.“Kau tahu kan, perjalanan ski.”

“Perjalanan ski apa?” Aku jelas-jelas ketinggalan sesuatu yang penting.

“Kau ke mana saja pagi ini?”tanyanya, menatapku seolah aku orang gila.

“Di tempat tidur! Aku baru bangun, lima menit yang lalu. Nah, sekarang mulai
dari awal dan beritahu aku apa yang kaubicarakan.” Aku menggigil kedinginan
karena berhenti bergerak-gerak. “Tapi ceritakan sambil berjalan.”

“Begini, kau tahu kan semua orang cemas kalau anak-anak mereka pulang
untuk Natal? Nah, di Idaho ada sebuah pondok ski 

raksasa

 yang khusus digunakan oleh para bangsawan dan kaum Moroi kaya raya.
Pemiliknya membuka pondok itu untuk murid Akademi dan keluarga
mereka―dan Moroi mana pun yang memang berminat pergi ke tempat itu.
Dengan mengumpulkan semua orang di satu tempat, mereka akan
menyediakan satu ton pengawal untuk melindungi tempat itu, jadi keadaannya
benar-benar aman.”

“Kau pasti bercanda,” jawabku. Kami tiba di gedung olahraga lalu masuk ke
dalam meninggalkan udara luar yang dingin.

Mason mengangguk penuh semangat.“Aku serius. Tempat itu pasti sangat


mengagumkan.” Dia mengulas senyum yang selalu membuatku
membalasnya. “Kita akan hidup bagaikan kaum bangsawan, Rose. Setidaknya
selama satu minggu, kurang lebih. Kita berangkat satu hari setelah Natal.”

Aku hanya terpaku, senang sekaligus terpana. Benar-benar di luar dugaan. Ide
ini benar-benar cemerlang, cara mempertemukan para anggota keluarga
dengan aman. Dan tempat yang dipilih sangat keren! Pondok ski mewah.
Tadinya kukira aku akan menghabiskan liburan dengan menonton televisi
bersama Lissa dan Christian. Sekarang aku akan menghabiskannya di sebuah
tempat berbintang lima. Makan malam dengan lobster. Pijat. Instruktur ski
yang tampan….

Antusiasme Mason menular. Aku bisa merasakannya bergejolak di dalam


diriku, tetapi kemudian, mendadak semuanya lenyap.

Mason melihat wajahku dan langsung menyadari perubahannya. “Ada apa?


Rencana ini kan keren.”

“Memang,” aku mengakui. “Aku mengerti kenapa semua orang terlihat


bersemangat, tapi yang menjadi alasan kita semua pergi ke tempat mewah ini
karena, yah, karena kematian orang-orang. Maksudku, bukankah semua ini
terasa aneh?”

Ekspresi ceria Mason memudar sedikit. “Yeah, tapi kita masih hidup, Rose.
Kita tak boleh berhenti menikmati hidup hanya karena ada yang mati. Dan kita
harus memastikan agar 

lebih banyak

 orang yang tidak ikut mati. Karena itulah ide ini sangat bagus. Tempat itu
aman.” Tatapan Mason berubah marah. “Ya Tuhan, aku tidak sabar ingin
cepat-cepat lulus dan terjun ke lapangan. Setelah mendengar apa yang terjadi,
aku benar-benar ingin mencabik-cabik kaum Strigoi. Coba kita bisa pergi
sekarang juga. Tidak ada alasan untuk menundanya. Mereka membutuhkan
tenaga tambahan, dan bisa dibilang kita sudah tahu semua hal yang harus kita
ketahui.”

Ketegasan dalam nada suara Mason mengingatkanku pada ledakan


amarahku kemarin, meski dia tidak sekesal aku. Semangatnya untuk bertindak
merupakan reaksi spontan dan naif, sedangkan ledakan amarahku berasal
dari sesuatu yang tidak masuk akal, kelam, dan aneh, yang sampai saat ini
belum bisa kupahami.

Karena aku tidak menjawab, Mason menatapku bingung. “Kau tidak mau
melakukannya?”

“Entahlah, Mase.” Aku menunduk, menghindari tatapan Mason dengan


berpura-pura mengamati ujung sepatuku.“Maksudku, aku juga tidak mau
Strigoi berkeliaran di luar sana dan menyerang orang-orang. Dan secara teori
aku ingin menghentikan mereka… tapi kita sama sekali belum siap. Aku
pernah melihat apa yang sanggup mereka lakukan….Entahlah. Terburu-buru
bukanlah jawabannya.” Aku menggeleng dan mendongak lagi. Astaga. Aku
terdengar sangat logis dan waspada. Aku terdengar seperti Dimitri.“Sudahlah,
toh itu tak akan terjadi. Kurasa sebaiknya kita menyambut rencana perjalanan
itu dengan gembira, ya kan?”

Suasana hati Mason mudah berubah, dan dia sudah terlihat santai lagi. “Yap.
Dan kau sebaiknya mengingat-ingat lagi cara bermain ski, karena aku
menantangmu untuk menampar egoku di sana. Tapi sepertinya itu tidak bakal
terjadi, deh.”

Aku tersenyum lagi. “Pasti menyedihkan rasanya kalau 

aku

membuatmu menangis. Aku bahkan sudah merasa bersalah sekarang.”

Mason membuka mulut, sudah hendak membalas ejekanku ketika dia melihat
sesuatu―atau lebih tepatnya, seseorang―di belakangku. Aku melirik ke
belakang dan melihat sosok tinggi Dimitri menghampiri kami dari sisi luar
gedung olahraga.

Mason membungkuk dalam-dalam dengan gaya kesatria padaku. “Tuan dan


penguasamu. Sampai nanti, Hathaway. Mulailah merencanakan strategi ski
dari sekarang.” Mason membuka pintu lalu menghilang ke tengah kegelapan
yang membeku. Aku berbalik dan menghampiri Dimitri.

Seperti novis 
dhampir

 lainnya, aku menghabiskan setengah hari sekolah dengan berbagai bentuk


pelatihan pengawal. Bentuknya bisa pertarungan fisik sungguhan, atau
mempelajari Strigoi dan cara mempertahankan diri saat melawan mereka.
Para novis juga terkadang harus menjalani latihan seusai sekolah. Namun,
aku sendiri berada dalam situasi yang unik.

Aku masih berpendapat keputusanku untuk melarikan diri dari St. Vladimir itu
benar. Ancaman Victor Dashkov pada Lissa terlalu mengkhawatirkan. Tetapi
liburan diperpanjang kami itu ada konsekuensinya. Kabur dari sekolah selama
dua tahun membuatku ketinggalan kelas, jadi pihak sekolah memutuskan aku
harus menebus semua itu dengan menjalani latihan-latihan tambahan
sebelum dan sepulang sekolah.

Bersama Dimitri.

Pihak sekolah sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya juga
memberiku pelajaran lain, yaitu menghindari godaan. Tetapi terlepas dari
ketertarikanku pada Dimitri, aku cepat belajar, dan dengan bantuannya aku
hampir menyusul murid senior yang lain.

Karena Dimitri tidak mengenakan mantel, aku tahu hari ini kami akan berlatih
di dalam ruangan―yang merupakan kabar bagus. Cuaca di luar sangat dingin.
Namun, kebahagiaanku itu sama sekali tidak sebanding dengan yang
kurasakan saat melihat benda yang sudah disiapkan oleh Dimitri di salah satu
ruang latihan.

Beberapa boneka latihan sudah diatur pada dinding seberang, boneka yang
terlihat benar-benar hidup, bukan kantong kanvas berisi jerami. Boneka itu
terdiri atas pria dan wanita yang mengenakan pakaian biasa, dengan kulit
lentur, juga warna rambut dan mata yang berbeda-beda. Ekspresi mereka
berlainan,

ada yang bahagia, takut, marah. Aku pernah berlatih dengan boneka-boneka
ini. Aku menggunakan mereka untuk melatih tendangan dan pukulan. Namun,
aku belum pernah berlatih dengan boneka-boneka ini sambil memegang
benda yang sekarang digenggam oleh Dimitri―sebuah pasak perak.

“Keren,” desahku.

Pasak itu persis dengan yang kutemukan di rumah keluarga Badica. Bagian
bawahnya dilengkapi pegangan, mirip gagang namun tanpa bagian kecil yang
menonjol. Tetapi kemiripannya dengan belati hanya sampai di situ. Alih-alih
rata seperti mata pisau, bagian tengah pasak ini berbentuk bulat dan melancip
hingga ke ujungnya. Lebih menyerupai pisau es. Panjang keseluruhan pasak
itu agak lebih pendek daripada lengan atasku.

Dimitri bersandar ke dinding dengan santai, dalam posisi yang begitu luwes
padahal tinggi badannya hampir dua meter. Dengan sebelah tangan, Dimitri
melempar pasaknya ke udara. Pasak itu jungkir balik beberapa kali sebelum
akhirnya terjatuh. Dimitri menangkap gagangnya.

“Tolong katakan hari ini aku akan mempelajari cara melakukan itu,” kataku.

Kedua mata gelapnya sekilas tampak geli. Kurasa kadang-kadang Dimitri


kesulitan memasang tampang datar saat berada di dekatku.

“Kau beruntung kalau kubiarkan 

memegang

 pasak hari ini,” katanya. Dimitri kembali melempar pasak ke udara. Mataku
mengikuti benda itu dengan tatapan kepingin. Aku sudah hendak mengatakan
pernah memegang pasak, tetapi aku tahu logika tersebut tidak akan
menghasilkan apa-apa.

Alih-alih, aku menjatuhkan ransel ke lantai, melemparkan mantel, lalu


menyilangkan lengan penuh antisipasi. Aku memakai celana longgar yang
diikat di pinggang, 

tank top

, dan jaket bertudung. Rambut gelapku dikuncir asal-asalan ke belakang. Aku


siap menghadapi apa pun.

“Kau ingin aku memberitahumu cara kerja pasak dan kenapa aku harus selalu
berhati-hati saat berada di dekat senjata ini,” kataku lantang.

Dimitri berhenti melempar-lempar pasak dan menatapku takjub.

“Ayolah,” ucapku tertawa. “Kaupikir sampai sekarang aku masih belum paham
cara kerjamu? Kita sudah hampir tiga bulan berbuat ini. Kau selalu
menyuruhku memahami keselamatan dan tanggung jawabnya sebelum aku
bisa bersenang-senang.”

“Baik,” katanya. “Kurasa kau sudah mengerti sekarang. Nah, silakan lanjutkan
pelajarannya. Aku akan menunggu di sini sampai kau membutuhkan aku lagi.”
Dimitri memasukkan pasaknya ke dalam sarung kulit yang berayun dari ikat
pinggangnya, lalu membuat dirinya nyaman dengan bersandar di dinding,
kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Aku menunggu, menebak-nebak
apakah dia hanya bercanda. Tetapi ketika dia tidak mengatakan apa-apa lagi,
aku sadar dia tidak main-main. Sambil mengangkat bahu, aku menyebutkan
segala hal yang kuketahui.

“Perak selalu menimbulkan dampak kuat pada semua makhluk sihir―benda


itu bisa menolong sekaligus menyakiti mereka jika kau memasang kekuatan
yang cukup. Pasak perak benar-benar mematikan karena butuh empat orang
Moroi untuk membuatnya, dan mereka menggunakan semua elemen saat
menempanya.” Aku mengernyit, tiba-tiba teringat pada sesuatu.“Kecuali roh.
Jadi, benda ini sangat kuat dan satu-satunya senjata yang bisa melukai Strigoi
tanpa memenggal kepala mereka―tetapi untuk membunuh mereka, pasaknya
harus ditusukkan menembus jantung.”

“Apa pasak bisa menyakiti

mu

?”

Aku menggeleng. “Tidak. Maksudku, kalau ditusukkan ke dalam jantungku,


tentu saja aku akan kesakitan. Tetapi pasak tidak melukaiku seperti melukai
Moroi. Gores saja mereka dengan pasak, mereka akan terluka cukup
parah―tapi tidak separah dampaknya pada Strigoi. Dan pasak ini juga tidak
akan melukai manusia.”

Aku berhenti sejenak dan menatap linglung jendela di belakang Dimitri.


Serpihan es menutupi kaca dalam pola-pola yang terlihat bagaikan kristal
berkilau, tetapi aku hampir tidak menyadarinya. Saat menyebut manusia dan
pasak, pikiranku mengelana kembali ke rumah keluarga Badica. Darah dan
kematian berkelebat dalam benakku.

Melihat Dimitri mengawasiku, aku langsung menyingkirkan kenangan itu dan


melanjutkan pelajaran. Sesekali Dimitri akan mengangguk atau mengajukan
pertanyaan. Seiring waktu yang berlalu, aku terus berharap Dimitri akan
berkata bahwa tugasku sudah selesai dan kini bisa mulai menggunakan
boneka-boneka itu. Tetapi Dimitri malah menunggu sampai hampir sepuluh
menit sebelum latihan berakhir, baru setelah itu mengajakku menghampiri
salah satu boneka―boneka seorang pria berambut pirang dan berjanggut.
Dimitri mengeluarkan pasak dari sarungnya, tetapi tidak menyerahkannya
padaku.

“Di mana kau akan menusukkannya?”tanya Dimitri.

“Di jantung,” jawabku kesal. “Aku sudah mengatakannya ratusan kali. Bisa
kauserahkan pasak itu sekarang?”

Dimitri membiarkan dirinya tersenyum. “Di mana letak jantungnya?”

Aku memberinya tatapan apa-kau-serius. Dimitri hanya mengangkat bahu.

Dengan penekanan berlebihan, aku menuding sebelah kiri dada boneka.


Dimitri menggeleng.

“Jantungnya bukan ada di sana,”katanya.

“Tentu saja ada di sana. Semua orang meletakkan tangan di atas jantung saat
mengucapkan sumpah setia atau menyanyikan lagu kebangsaan.”

Dimitri terus menatapku penuh tanya.

Aku berbalik menghadap boneka dan mengamatinya. Aku teringat saat


sedang mempelajari teknik pernapasan bantuan dan tempat kami harus
meletakkan tangan. Aku menepuk bagian tengah dada boneka itu.

“Apa di sana?”

Sebelah alis Dimitri terangkat. Biasanya aku menganggapnya keren. Tetapi


hari ini hal itu terlihat menyebalkan.“Aku tak tahu,” katanya. “Benarkah di
sana?”

“Itu yang kutanyakan!”

“Kau seharusnya tidak perlu bertanya. Bukankah kalian semua harus


mengambil kelas fisiologi?”

“Yeah. Tahun pertama. Aku sedang‘berlibur,’ ingat?” Aku menuding pasak


yang mengilap itu. “Sekarang boleh aku menyentuhnya?”

Dimitri kembali memutar pasak, membiarkannya berkilau di bawah cahaya,


lalu mengembalikannya ke dalam sarung.“Aku ingin kau 

memberitahuku

 di mana letak jantungnya saat kita bertemu lagi. Letak persisnya. Dan aku
ingin tahu apa yang menghalanginya.”
Aku memelototi Dimitri, tetapi―jika melihat ekspresinya―sepertinya tidak
segalak yang kuharapkan. Sembilan dari sepuluh kali kesempatan, aku
menganggap Dimitri sebagai makhluk terseksi di muka bumi. Namun, ada
juga saat-saat seperti sekarang….

Dengan kesal aku berjalan menuju pelajaran pertama hari ini―kelas bertarung.
Aku tidak suka terlihat tidak kompeten di hadapan Dimitri, dan aku 

benar-benar

ingin menggunakan pasak. Jadi, di kelas aku menyalurkan kekesalan pada


siapa pun yang bisa kupukul atau kutendang. Ketika kelas berakhir, tidak ada
yang mau bertarung melawanku. Aku tidak sengaja memukul Meredith―salah
satu dari sedikit cewek yang ada di kelas―dengan begitu keras sehingga dia
bisa merasakannya melalui pelindung dagunya. Meredith pasti akan
mendapatkan lebam yang parah, dan kini dia terus-menerus menatapku
seolah aku melakukannya dengan sengaja. Permintaan maafku sia-sia.

Setelah itu, Mason menemuiku lagi.“Wow,” katanya, mengamati wajahku.


“Siapa yang sudah membuatmu kesal?”

Aku langsung bercerita tentang pasak perak dan semua kekesalan hatiku.

Yang membuatku semakin jengkel, Mason malah tertawa. “Kok kau bisa tidak
tahu di mana letak jantung? Mengingat banyaknya jantung cowok patah hati
yang sudah kaulukai?”

Aku memelototinya seperti yang tadi kulakukan pada Dimitri. Kali ini berhasil.
Wajah Mason langsung terlihat pucat.

“Belikov adalah cowok jahat sinting yang harus dilemparkan ke dalam lubang
berisi ular buas karena sudah melakukan kejahatan besar kepadamu pagi ini.”

“Terima kasih,” ucapku angkuh. Kemudian, terpikir olehku sesuatu.


“Memangnya ular bisa buas?”

“Kenapa tidak? Semua makhluk bisa jadi buas. Sepertinya.” Mason


membukakan pintu selasar untukku. “Tapi angsa Kanada bisa lebih
mengerikan daripada ular.”

Aku meliriknya sekilas. “Angsa Kanada lebih mematikan daripada ular?”

“Kau pernah memberi makan bajingan-bajingan kecil itu?” tanyanya, berusaha


tetap serius namun gagal.“Mereka ganas. Kalau kau dilemparkan ke dalam
lubang berisi ular, kau akan mati dengan cepat. Tetapi lubang berisi angsa?
Siksaan akan berlangsung selama berhari-hari. Kau akan lebih menderita.”

“Wow. Aku tidak tahu apa harus merasa terkesan atau takut karena kau sudah
memikirkan semua ini,” seruku.

“Aku hanya berusaha mencari cara kreatif untuk mengembalikan


kehormatanmu, itu saja.”

“Tapi kupikir kau bukan jenis orang yang kreatif, Mase.”

Kami berdiri di luar ruang kelas pelajaran kedua. Ekspresi wajah Mason masih
terlihat ringan dan penuh canda, tetapi saat dia bicara lagi, nada suaranya
terdengar agak menjurus. “Rose, kalau berada di dekatmu, aku memikirkan 

segala macam

 hal kreatif untuk dilakukan.”

Aku masih terkikik karena soal ular tadi, lalu tiba-tiba berhenti dan
memandanginya dengan terkejut. Aku selalu menganggap Mason cukup imut,
tetapi dengan tatapan membara yang serius seperti ini, mendadak terpikir
olehku bahwa sebenarnya dia cukup seksi juga.

“Oh, coba lihat,” Mason tertawa, menyadari bahwa aku lengah. “Rose tidak
sanggup berkata-kata. Satu untuk Ashford, dan kosong untuk Hathaway.”

“Hei, aku tak mau membuatmu menangis sebelum perjalanan ski. Tidak bakal
menyenangkan kalau aku sudah membuatmu kecewa sebelum kita meluncur
di atas lereng bersalju.”

Mason tertawa dan kami masuk ke dalam. Ini kelas teori pengawal, yang
diadakan di dalam ruang kelas sungguhan alih-alih di lapangan latihan. Kelas
ini bisa dianggap sebagai selingan menyenangkan setelah semua siksaan
fisik. Di depan kelas tampak tiga pengawal yang bukan berasal dari resimen
sekolah. Para tamu hari raya, aku tersadar. Para orangtua dan pengawal
mereka sudah mulai berdatangan ke kampus untuk menemani anak-anak
mereka ke resor ski. Ketertarikanku akan perjalanan ini langsung menurun.

Salah satu tamu adalah seorang pria tinggi yang kelihatan berumur seratus
tahun namun masih sanggup menghabisi orang lain. Tamu yang satu lagi kira-
kira sebaya dengan Dimitri. Pria itu berkulit gelap terbakar matahari dan
tubuhnya begitu tegap sehingga beberapa cewek di kelas terlihat nyaris
pingsan.
Pengawal terakhir seorang wanita. Rambut keritingnya yang kemerahan
dipotong pendek, dan kedua mata cokelatnya terlihat menyipit seperti sedang
berpikir. Seperti yang pernah kukatakan, banyak wanita 

dhampir

 yang lebih memilih punya anak daripada menjadi pengawal. Karena aku juga
salah satu dari sedikit perempuan yang memilih profesi ini, aku selalu senang
bertemu dengan perempuan pengawal lain―seperti Tamara.

Namun, wanita ini bukan Tamara. Wanita ini orang yang sudah kukenal
selama bertahun-tahun, orang yang memicu segala emosi kecuali
kebanggaan dan kegembiraan. Alih-alih, aku merasa kesal. Kesal, marah, dan
sangat murka.

Wanita yang berdiri di depan kelas itu ibuku.


Vampire Academy 2 (Bab 4)

Vampire Academy 2 (Bab 4)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

AKU TAK PERCAYA. Janine Hathaway. Ibuku. Ibuku yang luar biasa terkenal
dan tidak pernah ada di sampingku. Ibuku memang bukan Arthur Schoenberg,
tetapi reputasinya cukup tenar di dunia pengawal. Sudah bertahun-tahun aku
tidak bertemu dengannya karena dia selalu pergi untuk menjalankan misi
berbahaya. Namun… kini dia ada di Akademi―tepat di hadapanku―dan dia
bahkan tidak merasa perlu mengabariku tentang kedatangannya. Apalagi
menunjukkan kasih sayang seorang ibu.

Lagi pula, apa yang dilakukan ibuku di sini? Jawabannya datang saat itu juga.
Semua Moroi yang berkunjung ke kampus pasti membawa serta para
pengawal mereka. Ibuku bertugas melindungi seorang bangsawan yang
berasal dari klan Szelsky, dan beberapa orang anggota keluarga itu datang
untuk berlibur. Tentu saja ibuku ikut bersama mereka.

Aku menyelinap duduk di kursi dan merasakan sesuatu bergolak di dalam


perutku. Aku tahu ibuku pasti sudah melihatku masuk, tetapi perhatiannya
sedang terpusat pada hal lain. Dia memakai celana jins dan kaus
berwarna beige, melapisinya dengan jaket denim paling membosankan yang
pernah kulihat. Dengan tinggi badan hanya satu setengah meter, dia terlihat
sangat kerdil di samping pengawal lainnya, tetapi pembawaan dan cara
berdirinya membuat ibuku terlihat lebih tinggi.
Instruktur kami, Stan, memperkenalkan para tamu dan menjelaskan bahwa
mereka akan berbagi pengalaman dengan kami.

Stan berjalan mondar-mandir di depan kelas, alis tebalnya bertaut saat dia
bicara. “Aku tahu ini tidak biasa,” jelasnya. “Pengawal yang berkunjung
biasanya tidak sempat mampir di kelas kita. Tetapi ketiga tamu kita sudah
meluangkan waktu untuk bicara di depan kelas sehubungan dengan peristiwa
yang terjadi baru-baru ini…” Stan berhenti sejenak, dan tak ada yang perlu
menjelaskan peristiwa yang dimaksudnya. Serangan pada keluarga Badica.
Stan berdeham dan melanjutkan. “Mengingat peristiwa yang baru saja terjadi,
kami beranggapan sebaiknya mempersiapkan kalian untuk mempelajari
sesuatu dari mereka yang sekarang sudah terjun di lapangan.”

Seisi kelas tegang saking senangnya. Mendengarkan cerita―terutama yang


berisi banyak darah dan aksi―jauh lebih menarik daripada menganalisis teori
dari buku teks. Pengawal kampus yang lain sepertinya berpikiran sama.
Mereka memang sering mendatangi kelas kami, tetapi hari ini jumlah mereka
lebih banyak dari biasanya. Dimitri adalah salah satu dari mereka yang berdiri
di belakang kelas.

Si pria tua yang pertama bicara. Dia menyampaikan kisahnya, dan aku
langsung terpana. Dia menceritakan kejadian saat putra bungsu dari keluarga
yang menjadi tanggung jawabnya tiba-tiba menghilang di sebuah tempat
umum yang sedang diintai oleh Strigoi.

“Matahari baru akan terbenam,” kata pria itu dengan suara muram. Dia
menyapukan kedua tangan ke bawah, seolah menunjukkan bagaimana proses
matahari terbenam. “Kami hanya berdua dan harus membuat keputusan
singkat untuk mengatasinya.”

Aku memajukan badan, kedua siku di atas meja. Pengawal kerap bekerja
berpasangan. Yang satu―pengawal dekat―biasanya berada di dekat orang
yang sedang mereka lindungi, sementara yang lain―pengawal
jauh―mengamankan area sekitarnya. Pengawal jauh biasanya masih berada
dalam jangkauan pandang, jadi aku memahami dilema yang mereka alami.
Setelah dipikir-pikir, kalau aku berada dalam situasi seperti itu, aku akan
meminta pengawal dekat untuk membawa anggota keluarga yang lain ke
lokasi aman sementara pengawal jauh mencari si bocah yang hilang.

“Akhirnya kami membawa keluarga itu ke dalam sebuah restoran dengan


penjagaan rekanku, sementara aku menyapu seluruh area di sana,” lanjut si
pengawal tua. Dia merentangkan tangan dengan gerakan menyapu, dan aku
langsung merasa sombong karena tebakanku tepat. Kisah itu berakhir
bahagia, mereka menemukan si bocah lelaki dan tidak berpapasan dengan
Strigoi.

Pria kedua, si pengawal tampan, menceritakan anekdot saat dia mengalahkan


seorang Strigoi yang sedang mengincar Moroi.

“Aku sebenarnya sedang tidak bertugas,” katanya. Seorang cewek yang duduk
di dekatku menatapnya dengan mata melebar dan memuja. “Aku sedang
mengunjungi seorang teman dan keluarga yang dilindunginya. Saat
meninggalkan apartemen mereka, aku melihat seorang Strigoi sedang
mengintai di balik bayangan. Dia tidak menduga ada pengawal yang berada di
luar. Aku mengitari blok, menghampirinya dari belakang, lalu…” Pria itu
melakukan gerakan menusuk, jauh lebih dramatis daripada gerakan tangan
pria tua tadi. Dongeng tersebut bahkan melibatkan gerakan memuntir pasak
hingga menembus jantung si Strigoi.

Kemudian, tiba giliran ibuku. Wajahku langsung cemberut bahkan sebelum dia
berkata-kata, dan kerutan pada wajahku itu semakin dalam saat dia memulai
ceritanya. Sumpah deh, kalau tidak memercayai ketidakmampuannya dalam
berimajinasi―dan pilihan busananya yang membosankan yang menunjukkan
bahwa dia benar-benar tidak memiliki imajinasi―aku pasti mengira ibuku
berbohong. Ceritanya sungguh luar biasa. Lebih mirip epik, jenis yang akan
dibuat menjadi film dan memenangi piala Oscar.

Ibuku menceritakan saat Moroi yang menjadi tanggung jawabnya, Lord


Szelsky, dan istrinya menghadiri acara pesta dansa yang diadakan oleh
keluarga bangsawan terpandang lainnya. Ada beberapa Strigoi yang
mengintai. Ibuku menemukan satu dari mereka, bergegas menangkapnya, lalu
memperingatkan para pengawal lain yang hadir di sana. Dengan bantuan
mereka, dia memburu Strigoi lain yang berkeliaran di sana dan membunuh
sebagian besarnya sendirian.

“Itu tidak mudah,” jelasnya. Jika orang lain yang mengucapkan pernyataan itu
mungkin akan terdengar seperti sedang menyombongkan diri. Tetapi tidak
ibuku. Gaya berbicaranya terdengar tegas, menyampaikan fakta dengan
begitu efisien sehingga tidak ada ruang untuk mengada-ada. Ibuku dibesarkan
di Glasgow dan sebagian besar ucapannya masih memiliki aksen samar
Skotlandia. “Di dalam bangunan itu masih ada tiga Strigoi lain. Pada saat itu,
jumlah ini termasuk sangat besar untuk sebuah kelompok yang bekerja sama.
Tetapi sekarang tidak bisa dibilang begitu, mengingat pembantaian keluarga
Badica.”

Beberapa orang mengernyit mendengar gayanya yang santai saat


membicarakan serangan itu. Mayat-mayat itu kembali terbayang dalam
benakku. “Kami harus mengatasi Strigoi yang tersisa secepat dan setenang
mungkin agar tidak disadari oleh yang lain. Nah, kalau kau memiliki elemen
kejutan, cara terbaik mengatasi Strigoi adalah hampiri mereka dari belakang,
patahkan leher mereka, lalu tusuk dengan pasak. Tentu saja, mematahkan
leher takkan membunuh mereka, tapi itu bisa membuat mereka terpana
sehingga memudahkanmu untuk menusuk sebelum mereka sempat bersuara.
Sebenarnya, bagian yang paling sulit adalah menyelinap diam-diam ke
belakang Strigoi. Pendengaran mereka sangat tajam. Karena tubuhku kecil
dan ringan, maka kemungkinanku untuk bergerak tanpa bersuara lebih besar.
Jadi, akhirnya akulah yang melakukan dua dari tiga pembunuhan itu.”

Lagi-lagi, ibuku terdengar apa adanya saat menggambarkan keahliannya


mengendap-endap. Kedengarannya sangat menyebalkan, bahkan lebih
menyebalkan daripada kalau dia terang-terangan menyombongkan diri. Wajah
teman-teman sekelasku tampak bersinar kagum. Mereka jelas kelihatan lebih
tertarik pada gagasan mematahkan leher Strigoi daripada menganalisis
kemampuan bercerita ibuku.

Ibuku melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan pengawal lainnya membunuh


Strigoi yang tersisa, mereka baru sadar bahwa ada dua Moroi yang diculik dari
pesta. Perbuatan seperti itu bukan tidak biasa dilakukan Strigoi. Terkadang
mereka ingin menyimpan Moroi untuk dijadikan “camilan”. Kadang-kadang
ada Strigoi golongan rendah yang diperintahkan oleh golongan yang lebih kuat
untuk membawa pulang mangsa mereka. Apa pun yang terjadi, ada dua orang
Moroi yang menghilang dari pesta dan pengawal mereka terluka.

“Tentu saja, kami tidak bisa membiarkan kedua Moroi itu berada dalam
genggaman Strigoi,” katanya. “Kami melacak Strigoi itu sampai ke tempat
persembunyian mereka dan menemukan beberapa dari mereka hidup
bersama. Aku yakin kalian tahu betapa jarangnya itu terjadi.”

Memang benar. Sifat jahat dan egois kaum Strigoi membuat mereka saling
melawan semudah yang mereka lakukan pada korban mereka. Mengatur
serangan―mengingat hanya keinginan mendesak akan darah yang ada dalam
benak mereka―adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Tetapi tinggal
bersama? Tidak. Hampir mustahil untuk dibayangkan.
“Kami berhasil membebaskan dua Moroi yang diculik, dan ternyata kami
menemukan Moroi lainnya yang juga dijadikan tawanan,” kata ibuku. “Tapi,
kami tak bisa menyuruh Moroi yang kami selamatkan itu pulang sendirian, jadi
para pengawal yang ikut bersamaku pergi mengantar mereka, dan tugas untuk
menyelamatkan yang lainnya diserahkan kepadaku.”

Ya, tentu saja, pikirku. Ibuku yang pemberani pergi sendirian. Di tengah jalan,
dia sempat tertangkap, tetapi berhasil melarikan diri dan menyelamatkan para
tawanan. Saat melakukannya, ibuku melakukan sesuatu yang mungkin bisa
dianggap sebagai hattrick terhebat abad ini. Dia berhasil membunuh Strigoi
dengan tiga cara berbeda: menusuk dengan pasak, memenggal kepala, dan
membakar tubuh mereka.

“Aku baru saja menusuk seorang Strigoi dengan pasak saat ada dua lainnya
datang menyerang,” jelasnya. “Aku tidak sempat mencabut pasaknya saat
mereka melompat ke arahku. Untungnya, di dekat sana ada sebuah perapian,
dan aku mendorong salah satu dari mereka ke dalamnya. Strigoi yang terakhir
mengejarku ke luar, ke sebuah gubuk tua. Di dalam gubuk itu ada sebuah
kapak, dan aku menggunakannya untuk memenggal kepala si Strigoi. Lalu aku
mengambil sekaleng bensin dan kembali ke rumah. Strigoi yang tadi kulempar
ke dalam perapian belum terbakar sepenuhnya, tapi begitu kusiram dengan
bensin, dia langsung terbakar hangus.”

Seisi kelas terkagum-kagum mendengar cerita ibuku. Mulut mereka


ternganga. Mata mereka terbelalak. Tidak ada suara yang terdengar. Saat
melirik sekeliling, aku merasa waktu seakan berhenti untuk semua
orang―kecuali aku. Kelihatannya hanya aku yang tidak terkesan oleh ceritanya
yang mengerikan, dan melihat ekspresi kagum pada wajah semua orang
benar-benar membuatku marah. Setelah ibuku selesai bercerita, ada sekitar
selusin tangan yang terangkat dan membombardirnya dengan pertanyaan
mengenai teknik-teknik yang digunakannya, apakah dia merasa takut, dan
sebagainya.

Setelah kira-kira pertanyaan kesepuluh, aku sudah tidak tahan lagi. Aku
mengacungkan tangan. Butuh beberapa saat hingga akhirnya ibuku
menyadarinya dan memanggil namaku. Kelihatannya dia agak takjub
melihatku ada di kelas. Kuanggap diriku beruntung karena setidaknya dia
mengenaliku.

“Nah, Garda Hathaway,” aku memulai. “Kenapa kalian tidak mengamankan


tempat itu saja?”
Ibuku mengerutkan kening. Kurasa dia agak bingung. “Apa maksudmu?”

Aku mengangkat bahu dan kembali bersandar di kursi, berusaha menunjukkan


kesan santai dan bersahabat. “Entahlah. Menurutku kalian melakukan
kesalahan. Kenapa kalian tidak menyisir tempat itu sejak awal dan
memastikannya terbebas dari Strigoi? Dengan begitu, kalian tidak perlu
bersusah payah seperti itu.”

Semua mata di kelas berbalik menatapku. Sejenak ibuku tak sanggup berkata-
kata. “Kalau kami tidak ‘bersusah payah’ seperti itu, sekarang ada tujuh Strigoi
lain yang masih berkeliaran di muka bumi ini, dan para Moroi lain yang
ditawan sudah mati atau diubah menjadi Strigoi.”

“Ya, ya, aku mengerti bagaimana kalian berhasil menjadi pahlawan dan
macam-macam lagi, tapi aku ingin kembali menyoroti prinsip-prinsip utama.
Maksudku, ini kelas teori, kan?” Aku melirik Stan yang menatapku dengan
marah. Aku dan Stan memiliki sejarah yang panjang dan tidak menyenangkan
di kelas. Kurasa sebentar lagi kami akan mengalami konflik baru. “Jadi, aku
hanya ingin mencari tahu apa yang salah sejak awal.”

Aku kagum pada ibuku―pengendalian dirinya jauh lebih hebat daripada aku.
Seandainya posisi kami dibalik, sekarang aku pasti sudah menghampiri meja
dan menghajar diriku. Namun, wajah ibuku tetap tenang, dan satu-satunya
tanda yang menunjukkan bahwa aku sudah membuatnya kesal adalah
bibirnya yang terlihat agak kaku.

“Tidak sesederhana itu,” jawabnya. “Tata ruang di tempat itu sangat rumit.
Kami sudah memeriksanya secara menyeluruh dan tidak menemukan apa-
apa. Kami yakin para Strigoi datang setelah acara dimulai―atau mungkin ada
jalan dan ruang rahasia yang tidak kami ketahui.”

Seisi kelas riuh oleh seruan kagum saat mendengar tentang jalan rahasia,
tetapi aku sama sekali tidak terkesan.

“Jadi, maksudmu kalian gagal melacak keberadaan mereka saat penyisiran


pertama, atau mereka memang berhasil menembus ‘keamanan’ yang kalian
pasang selama pesta berlangsung. Apa pun itu, sepertinya tetap ada
kesalahan yang dilakukan.”

Bibir ibuku terlihat semakin kaku, dan suaranya mulai terdengar dingin. “Kami
mengambil tindakan terbaik dalam keadaan yang tidak biasa. Aku mengerti
jika orang setingkat dirimu masih belum bisa memahami kerumitan kisah
yang kuceritakan. Tapi kalau sudah benar-benar belajar hingga bisa
memahami lebih dari sekadar teori, kau akan mengerti betapa keadaannya
sangat berbeda saat kau berada di luar sana dan bertanggung jawab atas
nyawa orang lain.”

“Tentu saja.” Aku menyetujui ucapannya. “Apa hakku mempertanyakan


metode yang kaugunakan? Maksudku, yang penting kau bisa mendapatkan
tanda molnija, kan?”

“Miss Hathaway.” Suara berat Stan bergemuruh di dalam ruangan. “Silakan


bawa barang-barangmu dan tunggu di luar hingga kelas selesai.”

Aku memandangnya dengan bingung. “Kau serius? Sejak kapan bertanya


dianggap pelanggaran?”

“Kelakuanmu yang melanggar.” Stan menuding pintu. “Pergi.”

Ruangan dilingkupi kesunyian yang lebih mencekam daripada ketika ibuku


menceritakan kisahnya. Aku berusaha keras tidak mengerut di bawah tatapan
para pengawal dan novis lainnya. Ini bukan pertama kalinya aku dikeluarkan
dari kelas Stan. Bahkan bukan pertama kalinya aku dikeluarkan dari kelas Stan
dengan disaksikan oleh Dimitri. Sambil mengayunkan ransel ke atas bahu, aku
menyeberangi jarak pendek yang terbentang menuju pintu―jarak yang terasa
seperti berkilo-kilo jauhnya―dan menghindari kontak mata dengan ibuku saat
melewatinya.

Sekitar lima menit sebelum kelas bubar, ibuku menyelinap ke luar lalu
menghampiri aku yang sedang duduk di selasar. Saat menunduk menatapku,
ibuku bertolak pinggang dengan gaya menyebalkan sehingga membuatnya
terlihat lebih tinggi dari yang sebenarnya. Rasanya tidak adil orang yang lima
belas sentimeter lebih pendek dariku membuatku merasa sekecil ini.

“Kulihat kelakuanmu selama bertahun-tahun ini belum berubah juga.”

Aku berdiri dan merasa mataku tiba-tiba melotot tajam. “Senang bertemu
denganmu juga. Aku kaget kau mengenaliku. Kusangka kau bahkan
tidak ingat padaku, mengingat kau tidak memberitahuku sedang berada di
kampus.”

Ibuku memindahkan tangan dari pinggung dan menyilangkannya di depan


dada. Sikapnya―kalau memang memungkinkan―semakin datar. “Aku tidak
bisa mengabaikan tugas demi memanjakanmu.”

“Memanjakan?” tanyaku. Seumur hidup wanita ini tidak pernah


memanjakanku. Aku bahkan takjub dia mengenal kata itu.
“Aku tidak berharap kau bisa memahaminya. Dari yang kudengar, kau bahkan
tidak tahu apa yang namanya ‘tugas’ itu.”

“Aku tahu pasti apa yang namanya tugas,” jawabku. Suaraku sengaja
terdengar kasar. “Aku mengenalnya jauh lebih baik daripada sebagian besar
orang.”

Mata ibuku melebar dan kelihatan pura-pura terkejut. Aku sering


menggunakan tatapan sarkastik seperti itu pada banyak orang, dan sangat
tidak suka kalau orang lain melakukannya padaku. “Oh, benarkah? Di mana
kau selama dua tahun terakhir?”

“Kau sendiri di mana selama lima tahun terakhir?” tuntutku. “Apa kau
menyadari kepergianku kalau tidak ada yang memberitahumu?”

“Jangan memutarbalikkan semuanya. Aku pergi jauh karena terpaksa


melakukannya. Kau pergi agar bisa berbelanja dan bergadang semalaman.”

Sakit hati dan rasa maluku berubah menjadi kemarahan. Sepertinya aku tidak
akan pernah bisa menyingkirkan konsekuensi yang harus kutanggung karena
melarikan diri bersama Lissa.

“Kau sama sekali tidak tahu kenapa aku pergi,” kataku dengan suara


meninggi. “Dan kau tidak berhak menduga-duga kehidupanku, karena kau
tidak tahu apa-apa soal itu.”

“Aku sudah membaca laporan mengenai apa yang terjadi. Kau punya alasan
untuk peduli, tapi tindakanmu salah.” Ucapannya terdengar resmi dan tegas.
Dia bisa mengajar di salah satu kelasku. “Kau mestinya meminta bantuan
orang lain.”

“Tak ada yang bisa kumintai tolong―tak ada yang bisa kudatangi karena aku
tidak punya bukti yang meyakinkan. Lagi pula, kami dibiasakan untuk belajar
berpikir mandiri.”

“Ya,” jawabnya. “Tekankan pada kata belajar. Sesuatu yang kaulewatkan


selama dua tahun. Kau sama sekali tidak pantas mengajariku soal protokol
pengawal.”

Aku selalu terlibat dalam perdebatan, ada sesuatu dalam sifatku yang
membuat itu sulit dihindari. Jadi aku sudah terbiasa mempertahankan diri dan
menerima berbagai macam hinaan. Aku sudah tebal muka. Namun, entah
bagaimana jika berada di dekat ibuku―dalam waktu singkat
yang pernah kuhabiskan dengannya―aku selalu merasa seperti anak berusia
tiga tahun. Sikapnya sudah mempermalukan aku, dan menyinggung-
nyinggung pelatihan yang kulewatkan―ini subjek yang sangat rawan―hanya
membuatku merasa lebih buruk. Aku meniru posisinya menyilangkan tangan
dan memasang tampang sombong.

“Oh ya? Tapi guru-guruku tidak sependapat denganmu. Meski ketinggalan


pelajaran, aku masih sanggup menyamai teman-teman sekelasku.”

Ibuku tidak langsung menjawab. Akhirnya, dia menjawab dengan suara datar.
“Kalau tidak kabur, kau pasti bisa melampaui mereka.”

Ibuku berbalik dengan gaya militer, lalu berjalan menyusuri selasar. Satu menit
kemudian, bel berbunyi, dan seisi kelas Stan berhamburan ke selasar.

Mason pun tidak sanggup menghiburku setelahnya. Aku menghabiskan sisa


hari itu dengan marah dan kesal, merasa yakin semua orang berbisik-bisik
mengenai aku dan ibuku. Aku melewatkan makan siang dan pergi ke
perpustakaan untuk membaca buku mengenai psikologi serta anatomi.

Ketika tiba saatnya untuk latihan sepulang sekolah bersama Dimitri, aku
langsung berlari menghampiri boneka latih. Dengan tinju terkepal, aku
menghantam dada boneka, agak ke kiri tetapi lebih ke tengah.

“Di sana,” kataku pada Dimitri. “Jantungnya di sana, dan ada tulang dada serta
tulang rusuk yang menghalanginya. Boleh kupegang pasaknya sekarang?”

Sambil menyilangkan lengan, aku melirik Dimitri penuh kemenangan. Aku


menunggunya menghujaniku dengan pujian atas kecerdikanku yang baru ini.
Alih-alih, Dimitri hanya mengangguk mengiyakan, seolah mestinya aku sudah
tahu semua itu. Dan yeah, mestinya aku sudah tahu.

“Dan bagaimana caramu menembus tulang dada serta tulang rusuk?”


tanyanya.

Aku mendesah. Aku sudah berhasil mendapatkan jawaban dari sebuah


pertanyaan, tetapi malah mendapatkan pertanyaan baru. Seperti biasa.

Kami menghabiskan sebagian besar waktu latihan dengan membicarakan hal


itu, dan Dimitri menunjukkan beberapa teknik membunuh dengan cepat.
Setiap gerakan Dimitri sangat annggun sekaligus mematikan. Dia
membuatnya terlihat mudah, tetapi aku tahu yang sebenarnya.

Saat Dimitri tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyodorkan pasak padaku,


awalnya aku tidak mengerti. “Kau menyerahkannya padaku?”
Mata Dimitri berbinar. “Aku tak percaya kau sanggup menahan diri. Kupikir
kau akan langsung mengambilnya dan berlari pergi.”

“Bukankah kau selalu mengajariku untuk menahan diri?” tanyaku.

“Tidak dalam segala hal.”

“Tapi dalam beberapa hal.”

Aku menyadari makna ganda dalam suaraku dan heran dari mana asalnya.
Aku pernah bisa menerima kenyataan untuk tidak memikirkan Dimitri secara
romantis lagi. Sesekali aku terpeleset dan berharap Dimitri merasakan hal
yang sama―rasanya sangat menyenangkan kalau tahu Dimitri masih
menginginkanku, masih tergila-gila padaku. Tetapi kalau melihatnya sekarang,
aku sadar Dimitri mungkin tidak akan terpeleset sepertiku karena aku
sudah tidak membuatnya tergila-gila. Pikiran itu membuatku sangat sedih.

“Tentu saja,” katanya, sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa kami
sedang membicarakan masalah lain. “Sama seperti yang lainnya.
Keseimbangan. Kau harus tahu apa yang kaukejar―dan apa yang sebaiknya
kaulepaskan.” Dimitri memberi penekanan pada kalimat yang terakhir.

Kami berpandangan sejenak, dan aku merasa ada aliran listrik yang mengaliri
tubuhku. Ternyata dia tahu apa yang kubicarakan. Dan seperti biasa, dia
mengabaikannya dan malah mengguruiku―yang memang seharusnya. Sambil
mendesah, aku menepis perasaanku pada Dimitri, dan berusaha mengingat-
ingat bahwa sebentar lagi aku akan menyentuh senjata yang sudah
kudambakan sejak kecil. Kenangan akan rumah keluarga Badica muncul lagi
dalam ingatanku. Para Strigoi ada di luar sana. Aku harus memusatkan
pikiran.

Dengan ragu, bahkan hampir khidmat, aku mengulurkan tangan dan


melingkarkan jemari pada gagang pasak. Bahan logamnya terasa dingin dan
menyengat. Gagangnya diberi ukiran agar gampang digenggam, tetapi saat
menelusuri sisanya, aku mendapati permukaannya semulus kaca. Aku
mengangkat pasak itu dari tangan Dimitri lalu mengambilnya, berlama-lama
mengamatinya dan membiasakan diri dengan bobotnya. Sebagian diriku yang
cemas ingin berbalik dan menusuk semua boneka, tetapi alih-alih, aku malah
mendongak menatap Dimitri dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan lebih
dulu?”

Seperti biasa, Dimitri mengajari hal-hal dasar dulu, memusatkan pelajaran


pada cara memegang dan menggerakkan pasak. Kemudian, akhirnya dia
membiarkan aku menyerang boneka, pada saat inilah aku menyadari bahwa
ini tidak mudah. Evolusi secara cerdik melindungi jantung dengan membentuk
tulang dada dan tulang rusuk. Meski begitu, Dimitri selalu tekun dan sabar,
membimbingku melalui setiap langkah yang dibutuhkan dan memperbaiki
semuanya hingga ke detail terkecil.

“Dorong ke atas melalui tulang rusuk,” Dimitri menjelaskan, mengawasi aku


yang berusaha menusukkan ujung pasak ke dalam sebuah celah di antara
tulang. “Itu akan lebih mudah karena kau lebih pendek dari sebagian besar
penyerangmu. Selain itu, kau juga bisa mendorongnya di sepanjang tepi tulang
rusuk bawah.”

Setelah latihan, Dimitri mengambil pasaknya dan mengangguk setuju.

“Bagus. Bagus sekali.”

Aku meliriknya kaget. Tidak biasanya Dimitri melontarkan pujian.

“Benarkah?”

“Kau seperti sudah bertahun-tahun melakukannya.”

Aku merasa senyum girang mengulas di wajahku ketika kami hendak


meninggalkan ruang latihan. Dan saat kami berada di dekat pintu, aku melihat
sebuah boneka berambut merah keriting. Tiba-tiba saja semua yang terjadi di
kelas Stan kembali memenuhi kepalaku. Aku cemberut.

“Lain kali bolehkah aku menusuk yang itu?”

Dimitri mengambil mantel lalu memakainya. Mantelnya panjang berwarna


cokelat, terbuat dari kulit yang sudah usang, dan sangat mirip
dengan duster koboi, meski Dimitri tidak pernah mau mengakuinya. Diam-
diam Dimitri mengagumi Old West. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti,
tetapi kalau dipikir-pikir, aku juga tidak memahami selera musiknya yang aneh.

“Kurasa itu tidak baik,” katanya.

“Lebih baik daripada melakukannya pada wanita itu,” gumamku, mengayunkan


ransel ke atas bahu. Kami keluar dari gedung olahraga.

“Kekerasan bukan jawaban dari semua masalah,” kata Dimitri dengan bijak.

“Dia yang bermasalah. Dan kupikir inti pendidikan yang kudapat adalah
kekerasan memang jawabannya.”
“Hanya bagi mereka yang lebih dulu melakukan kekerasan. Ibumu tidak
menyerangmu. Kalian berdua hanya sangat mirip, itu saja.”

Aku berhenti berjalan. “Aku sama sekali tidak seperti dia! Maksudku… mata
kami memang mirip. Tetapi aku jauh lebih tinggi. Dan rambutku sangat
berbeda.” Aku menunjuk ekor kudaku, hanya untuk berjaga-jaga seandainya
Dimitri tidak menyadari bahwa rambut tebalku yang hitam kecokelatan jauh
berbeda dari rambut ibuku yang keriting kemerahan.

Ekspresi wajah Dimitri masih terlihat agak geli, tetapi ada ketegasan di
matanya. “Aku tidak membicarakan soal penampilan kalian, dan kau tahu itu.”

Aku berpaling darinya. Ketertarikanku pada Dimitri sudah dimulai nyaris sejak
pertama kali kami bertemu―dan bukan hanya karena dia sangat tampan. Aku
merasa dia memahami sebagian diriku yang bahkan tidak kupahami, dan
terkadang aku cukup yakin bahwa aku memahami sebagian diri Dimitri yang
tidak dipahaminya.

Satu-satunya masalah adalah Dimitri memiliki kecenderungan menyebalkan


untuk menunjukkan hal-hal tentang diriku yang memang tidak ingin
kumengerti.

“Menurutmu aku iri?”

“Benarkah?” tanyanya. Aku sebal jika dia menjawab pertanyaan dengan


pertanyaan lain. “Iri karena apa?”

Aku melirik Dimitri. “Entahlah. Mungkin iri terhadap reputasinya. Mungkin iri
karena dia lebih banyak meluangkan waktu untuk reputasinya daripada
untukku. Entahlah.”

“Kau tidak menganggap hebat apa yang telah dilakukannya?”

“Ya. Tidak. Entahlah. Hanya saja kedengarannya seperti… yah… seperti


menyombongkan diri. Seolah dia melakukannya demi kejayaan.” Aku
meringis. “Demi tanda.” Tanda molnija adalah tato yang diberikan sebagai
penghargaan bagi pengawal yang berhasil membunuh Strigoi. Setiap tanda
terlihat seperti sebuah huruf x kecil yang terdiri atas dua kilatan petir. Tanda
itu diletakkan di belakang leher kami, dan menunjukkan sejauh mana
pengalaman seorang pengawal.

“Menurutmu menghadapi Strigoi sepadan dengan beberapa buah tanda?


Kusangka kau sudah mempelajari sesuatu saat berada di rumah keluarga
Badica.”
Aku merasa bodoh. “Bukan itu yang ku―”

“Ayo.”

Aku berhenti berjalan. “Apa?”

Kami sedang berjalan ke asramaku, tetapi sekarang Dimitri menganggukkan


kepala ke arah berlawanan. “Aku ingin menunjukkan sesuatu.”

“Menunjukkan apa?”

“Tidak semua tanda bisa dianggap sebagai lencana kehormatan.”

Vampire Academy 2 (Bab 5)

Vampire Academy 2 (Bab 5)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

AKU SAMA SEKALI TIDAK mengerti apa yang dibicarakan Dimitri, tetapi aku
tetap mengikutinya dengan patuh.

Di luar dugaan, dia mengajakku ke luar area kampus menuju hutan di


sekelilingnya. Tanah Akademi sangat luas, dan tidak semuanya digunakan
secara aktif untuk kepentingan pendidikan. Kami berada di daerah terpencil di
Montana, dan terkadang, sekolah ini bisa dibilang satu-satunya kehidupan
yang ada di alam liar sana.

Sejenak kami berjalan dalam diam, kaki kami menginjak salju tebal yang tak
tersentuh apa pun. Beberapa ekor burung terbang melintas, menyanyikan
sapaan pada matahari yang baru saja terbit, tetapi yang paling banyak kulihat
adalah pepohonan hijau berselimut salju. Aku berjuang keras menyamai
langkah Dimitri yang panjang-panjang, terutama karena salju jadi agak
memperlambat langkahku. Tidak lama kemudian, aku melihat sesuatu yang
gelap dan besar di depan. Sepertinya sebuah bangunan.

“Apa itu?” tanyaku. Sebelum Dimitri sempat menjawab, aku baru sadar itu
sebuah kabin kecil dari balok kayu. Setelah melihat lebih dekat, kayu-kayunya
tampak sudah usang dan membusuk di beberapa tempat. Atapnya agak
merosot.
“Itu pos pengawas yang sudah tidak dipakai,” katanya. “Dulu ada pengawal
yang tinggal di pinggir kampus untuk mengawasi kedatangan Strigoi.”

“Kenapa sekarang tidak ada lagi?”

“Kita tidak punya cukup pengawal untuk melakukannya. Lagi pula, Moroi
sudah melapisi kampus dengan sihir pelindung yang cukup kuat, jadi sebagian
besar menganggap tak perlu ada orang yang berjaga lagi.” Asalkan tidak ada
manusia yang menembus pertahanannya, pikirku.

Selama beberapa saat, aku menumbuhkan harapan bahwa Dimitri sedang


menuntunku ke sebuah tempat mengasingkan diri yang romantis. Lalu aku
mendengar suara yang berasal dari sisi lain bangunan. Dengungan perasaan
akrab memasuki benakku. Lissa ada di sana.

Aku dan Dimitri mengitari bangunan, dan mendapati pemandangan yang


mengejutkan. Di sana ada sebuah danau kecil yang membeku, dan Lissa serta
Christian sedang berseluncur di atasnya. Seorang wanita yang tidak kukenal
tampak bersama mereka, tetapi dia memunggungiku. Aku hanya bisa melihat
gelombang rambut hitam pekatnya yang melengkung di sekeliling tubuhnya
saat dia meluncur dan berhenti dengan anggun.

Lissa nyengir saat melihatku. “Rose!” Christian melirikku, dan aku mendapat
kesan dia merasa aku sudah mengganggu saat-saat romantis mereka berdua.

Lissa meluncur ke tepi danau dengan gerakan kaku. Dia tidak terlalu jago
berseluncur.

Aku hanya bisa menatap dengan bingung―dan cemburu. “Terima kasih sudah
mengundangku ke pesta ini.”

“Kusangka kau sedang sibuk,” kata Lissa. “Lagi pula ini memang diam-diam.
Seharusnya kami tidak boleh ada di sini.” Mestinya aku yang bilang begitu
kepada mereka.

Christian meluncur ke samping Lissa, dan si wanita asing segera menyusul.


“Kau membawa tamu tak diundang, Dimka?” tanya wanita itu.

Aku bertanya-tanya wanita itu bicara dengan siapa, sampai aku mendengar
tawa Dimitri. Dimitri jarang tertawa sehingga aku semakin terkejut. “Mustahil
menjauhkan Rose dari tempat yang mestinya tidak dia datangi. Dia selalu bisa
menemukannya pada akhirnya.”
Wanita itu tersenyum lebar lalu berputar, mengayunkan rambut panjangnya ke
balik bahu sehingga mendadak aku bisa melihat seluruh wajahnya. Aku
berusaha keras mengendalikan diriku yang sudah terpana agar tidak bereaksi.
Wajah bentuk hatinya memiliki dua mata besar yang sewarna dengan mata
Christian, biru pucat. Bibir yang tersenyum padaku itu lembut dan indah,
dilapisi kilau merah muda yang mempertegas bagian wajah lainnya.

Tetapi pada pipi kirinya, menodai kulit yang seharusnya putih mulus, terdapat
bekas luka keunguan. Bentuk dan letak bekas luka itu tampak mirip orang
yang sebagian pipinya digigit dan dicabik. Dan aku baru sadar bahwa memang
itulah yang terjadi.

Aku menelan ludah. Aku baru menyadari siapa wanita ini. Dia bibi Christian.
Saat berubah menjadi Strigoi, orangtua Christian datang untuk mengambil
putra mereka, berharap bisa menyembunyikan dan mengubahnya menjadi
Strigoi saat dia sudah lebih besar. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, tetapi
aku tahu bibinya telah mencegah mereka. Namun, seperti yang sudah
kuketahui, Strigoi sangat mematikan. Wanita ini berhasil cukup lama
mengalihkan perhatian mereka hingga akhirnya para pengawal muncul, tetapi
peristiwa itu meninggalkan luka padanya.

Wanita itu mengulurkan tangannya yang bersarung padaku. “Tasha Ozera,”


katanya. “Aku sudah mendengar banyak hal tentang dirimu, Rose.”

Aku menatap Christian dengan galak, dan Tasha tertawa.

“Jangan khawatir,” katanya. “Semua yang kudengar bagus-bagus.”

“Itu tidak benar,” balas Christian.

Tasha menggeleng kesal. “Sejujurnya, aku tidak tahu dari mana Christian
mendapatkan kemampuan sosial yang mengerikan seperti ini. Yang pasti
bukan dariku.” Itu jelas, pikirku.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyaku.

“Aku ingin menghabiskan waktu dengan dua bocah ini.” Kerut kecil menghiasi
kening Tasha. “Tapi aku tak suka berada di lingkungan sekolah. Mereka tidak
selalu ramah….”

Awalnya aku tidak mengerti. Pengawal sekolah biasanya sangat bersemangat


saat para bangsawan datang berkunjung. Kemudian aku tersadar.

“Karena… karena apa yang sudah terjadi….”


Mengingat bagaimana perlakuan orang-orang terhadap Christian karena
perbuatan orangtuanya, mestinya aku tidak terkejut bibinya mengalami
perlakuan serupa.

Tasha mengangkat bahu. “Memang jalannya seperti itu.” Dia menggosok-


gosok kedua tangan dan mengembuskan napas, menghasilkan sebuah awan
beku di udara. “Tapi sebaiknya jangan berdiri di luar saja. Kita bisa
menyalakan api di dalam.”

Aku menatap danau dengan penuh harap untuk terakhir kalinya, lalu mengikuti
yang lain ke dalam. Kabinnya bisa dibilang kosong, tertutup debu dan kotoran.
Kabin itu hanya punya satu ruangan. Di sudut terdapat tempat tidur sempit
yang tidak dilapisi oleh seprai, dan beberapa rak yang mungkin dulunya
dipakai untuk menyimpan makanan. Namun, di sana ada perapian, dan tidak
lama kemudian api sudah menghangatkan ruangan kecil itu. Kami berlima
duduk, berkumpul di sekeliling perapian yang hangat. Tasha mengeluarkan
sekantong marshmallow yang kami panggang di atas api.

Ketika kami menikmati makanan lezat yang kenyal itu, Lissa dan Christian
mengobrol dengan santai dan nyaman seperti yang biasa mereka lakukan.
Yang membuatku heran, Tasha dan Dimitri juga mengobrol dengan akrab.
Mereka rupanya sudah saling kenal sejak dulu. Sejujurnya, aku belum pernah
melihat Dimitri seriang ini. Saat sedang bermesraan denganku pun, dia selalu
terlihat serius. Tetapi bersama Tasha, Dimitri bercanda dan tertawa.

Semakin lama mendengarkan Tasha, aku semakin menyukainya. Akhirnya, tak


sanggup menjauhkan diri dari obrolan mereka, aku pun bertanya, “Jadi, kau
akan ikut dalam perjalanan ski?”

Tasha mengangguk. Seraya menahan kuap, Tasha merenggangkan tubuh


seperti kucing. “Sudah lama sekali aku tidak bermain ski. Tidak sempat. Aku
menghemat jatah liburku untuk ini.”

“Jatah libur?” Aku menatapnya penasaran. “Kau punya… pekerjaan?”

“Sayangnya punya,” kata Tasha, meskipun dia tidak terdengar sedih saat
mengucapkannya. “Aku mengajar di kelas ilmu bela diri.”

Aku memandangnya dengan takjub. Aku tidak akan sekaget ini kalau dia
mengaku sebagai astronot atau peramal melalui telepon.

Banyak kaum bangsawan yang sama sekali tidak bekerja―kalaupun bekerja,


biasanya dalam investasi atau bisnis lading uang yang akan menambah
kekayaan mereka. Dan mereka yang memang bekerja sudah pasti tidak di
bidang ilmu bela diri atau pekerjaan lain yang membutuhkan tenaga fisik.
Moroi memiliki banyak kelebihan hebat: indra yang sangat tajam―penciuman,
penglihatan, dan pendengaran―dan kekuatan sihir. Tetapi secara fisik mereka
tinggi dan langsing, sering kali bertulang kecil. Mereka juga tidak tahan
terhadap cahaya matahari. Nah, semua itu tidak bisa mencegah mereka
menjadi petarung, tetapi upaya mereka jelas lebih sulit. Sebuah gagasan
sudah lama terbentuk di kalangan Moroi bahwa serangan terbaik adalah
bertahan, dan sebagian besar menghindari konflik fisik. Mereka bersembunyi
di tempat-tempat yang sepenuhnya terlindung seperti Akademi, selalu
mengandalkan para dhampir yang lebih kuat dan tangguh untuk melindungi
mereka.

“Bagaimana menurutmu, Rose?” Christian sepertinya sangat terhibur melihat


kekagetanku. “Kau bisa mengalahkan bibiku?”

“Sulit dipastikan,” jawabku.

Tasha nyengir sedikit kepadaku. “Kau merendah. Aku sudah melihat apa yang
bisa kalian lakukan. Bagiku ini hanya hobi.”

Dimitri tergelak. “Kau yang merendah. Kau bisa mengajar sebagian kelas di


sini.”

“Tidak juga,” katanya. “Agak memalukan kalau sampai dikalahkan oleh


sekelompok remaja.”

“Kurasa itu takkan terjadi,” kata Dimitri. “Sepertinya aku ingat bagaimana kau
mengalahkan Neil Szelsky.”

Tasha memutar bola mata. “Menyiram minuman ke wajahnya tidak bisa


dibilang mengalahkan―kecuali kau menghitung kerusakan pada jasnya. Dan
kita semua tahu dia sangat memedulikan busananya.”

Mereka berdua menertawakan lelucon pribadi yang tidak kami ketahui, tetapi
aku hanya setengah mendengarkan. Aku masih tertarik dengan perannya
bersama Strigoi.

Pengendalian diri yang dari tadi berusaha kutahan akhirnya tumbang juga.
“Kau mulai belajar bertarung sebelum atau sesudah kejadian yang menimpa
wajahmu?”

“Rose!” desis Lissa.


Tetapi sepertinya Tasha tidak marah. Begitu pula Christian, padahal biasanya
dia tidak nyaman kalau serangan orangtuanya diungkit-ungkit. Tasha
menatapku dengan tenang sambil menimbang-nimbang. Tatapannya
mengingatkanku pada tatapan Dimitri saat aku melakukan sesuatu yang
mengejutkan tetapi disetujuinya.

“Setelah,” katanya. Tasha tidak menunduk ataupun terlihat malu, tetapi aku
merasakan kesedihan dalam dirinya. “Berapa banyak yang kauketahui?”

Aku melirik Christian. “Hanya garis besarnya saja.”

Tasha mengangguk. “Aku tahu… aku tahu Lucas dan Moira sudah berubah,
tapi aku tidak siap menerimanya. Baik secara mental, fisik, maupun
emosional. Kurasa kalau harus melewatinya lagi, aku tetap tidak akan siap.
Tapi setelah malam itu, aku menatap diri sendiri―secara kiasan―dan
menyadari betapa tak berdayanya diriku. Aku menghabiskan seluruh hidup
dengan berharap pengawal akan melindungi dan menjagaku.

“Aku tidak bermaksud mengatakan para pengawal tidak becus. Seperti yang
tadi kubilang, mungkin saja kau sanggup mengalahkanku dalam suatu
pertarungan. Tapi mereka―Lucas dan Moira―memecat dua orang pengawal
sebelum kami sempat menyadari apa yang terjadi. Aku mengulur waktu agar
mereka tidak membawa Christian―tapi itu pun nyaris gagal. Jika yang lain
tidak segera muncul, aku mungkin sudah mati, dan dia―” Tasha berhenti,
mengernyit, lalu melanjutkan ceritanya. “Aku memutuskan untuk tidak mati
dengan cara seperti itu, tidak tanpa melawan dengan sungguh-sungguh dan
melakukan apa pun untuk melindungi diriku dan orang-orang yang kusayangi.
Jadi, aku mempelajari segala macam pertahanan diri. Dan setelah beberapa
saat, aku tidak bisa, uh, berbaur dengan baik bersama para warga kelas atas
yang ada di sini. Aku pindah ke Minneapolis dan mencari nafkah dengan
mengajar.”

Aku yakin ada Moroi lain yang tinggal di Minneapolis―meski hanya Tuhan
yang tahu alasannya―tetapi aku bisa memahami makna yang tersirat. Tasha
pindah ke kota itu dan berbaur dengan manusia, menjauh dari vampir lain
seperti yang kulakukan bersama Lissa selama dua tahun. Aku juga mulai
penasaran jangan-jangan ada makna tersirat lainnya. Tadi Tasha bilang dia
mempelajari “segala macam pertahanan diri”―sepertinya lebih dari sekadar
ilmu bela diri. Seiring dengan keyakinan mereka mengenai serangan-
pertahanan, kaum Moroi beranggapan bahwa sihir tidak boleh digunakan
sebagai senjata. Dahulu, sihir memang digunakan seperti itu, dan hingga kini
masih ada Moroi yang diam-diam menggunakannya. Aku tahu Christian salah
satunya. Tiba-tiba saja aku sadar dari mana dia mendapatkan gagasan untuk
melakukan hal seperti itu.

Suasana menjadi hening. Sulit rasanya menanggapi cerita sedih seperti itu.
Tetapi Tasha ternyata jenis orang yang selalu bisa mencerahkan suasana.
Sifat itu membuatku semakin menyukainya, dan dia menghabiskan sisa waktu
kami dengan menceritakan kisah-kisah lucu. Tasha tidak bertingkah sombong
seperti sebagian besar kaum bangsawan, jadi dia menceritakan banyak hal
memalukan mengenai semua orang. Dimitri mengenal sebagian besar orang
yang dibicarakan Tasha―yang benar saja, kok bisa sih orang antisosial
semacam dia kenal dengan semua orang di lingkungan Moroi dan pengawal?
―dan terkadang menambahkan sedikit detail. Mereka berdua membuat kami
tertawa histeris sampai akhirnya Tasha melihat jam tangannya.

“Di mana tempat berbelanja terbaik di sekitar sini?” tanya Tasha.

Aku dan Lissa bertukar pandang. “Missoula,” jawab kami serempak.

Tasha mendesah. “Jaraknya beberapa jam dari sini. Kalau berangkat


sekarang, aku mungkin masih sempat berbelanja sebelum tokonya tutup. Aku
benar-benar tertinggal dalam urusan belanja Natal.”

Aku mengerang. “Aku rela mati agar bisa berbelanja.”

“Aku juga,” kata Lissa.

“Mungkin kita bisa ikut menyelinap pergi….” Aku menatap Dimitri penuh harap.

“Tidak,” dia buru-buru berkata. Aku langsung mendesah.

Tasha menguap lagi. “Aku harus minum kopi supaya tidak ketiduran di mobil.”

“Apa salah seorang pengawalmu tak bisa mengantarmu?”

Tasha menggelengkan kepala. “Aku tak punya.”

“Kau tak punya…” Aku mengernyit, berusaha mencerna ucapannya. “Kau tak
punya pengawal?”

“Tidak.”

Aku terlonjak. “Tapi itu mustahil! Kau seorang bangsawan. Seharusnya kau
punya setidaknya satu orang pengawal. Bahkan dua.”

Pengawal disebar di antara Moroi dengan cara yang rumit oleh Dewan
Pengawal. Sistemnya bisa dikatakan tidak adil mengingat rasio antara
pengawal dan Moroi. Kaum nonbangsawan cenderung mendapatkan
pengawal dengan sistem lotre. Kaum bangsawan selalu mendapatkan
pengawal. Bangsawan kelas atas sering mendapatkan lebih dari satu
pengawal, tapi bangsawan kelas bawah sekalipun tak mungkin tidak punya
satu pengawal.

“Keluarga Ozera bisa dibilang tidak berada di urutan pertama dalam


penempatan pengawal,” kata Christian getir. “Sejak… orangtuaku meninggal…
bisa dibilang kami kekurangan pengawal.”

Kemarahanku memuncak. “Tapi itu tidak adil. Mereka tak bisa menghukummu
atas perbuatan orangtuamu.”

“Itu bukan hukuman, Rose.” Menurutku Tasha tidak kelihatan semarah yang
seharusnya. “Hanya… pengaturan ulang prioritas.”

“Mereka membiarkan kalian tanpa perlindungan. Kau tak boleh pergi


sendirian!”

“Aku bukannya tanpa perlindungan, Rose. Aku sudah bilang padamu. Dan
kalau benar-benar menginginkan pengawal, aku bisa saja membuat ulah agar
mendapatkannya, tapi itu terlalu menyulitkan. Untuk saat ini aku baik-baik
saja.”

Dimitri meliriknya. “Kau mau aku ikut denganmu?”

“Dan membuatmu terjaga semalaman?” Tasha menggelengkan kepala. “Aku


takkan melakukan itu padamu, Dimka.”

“Dia takkan keberatan,” aku buru-buru berkata, merasa senang dengan solusi
ini.

Dimitri kelihatan geli melihatku bicara atas namanya, tetapi dia tidak
membantahnya. “Aku memang tidak keberatan.”

Tasha ragu-ragu. “Baiklah. Tapi sepertinya kita harus pergi sebentar lagi.”

Kelompok kecil kami yang melanggar ini pun membubarkan diri. Para Moroi
pergi ke arah yang sama, aku dan Dimitri ke arah lain. Dia dan Tasha sudah
berjanji untuk bertemu lagi dalam setengah jam.

“Jadi, apa pendapatmu tentang Tasha?” tanya Dimitri saat kami tinggal
berdua.
“Aku menyukainya. Dia asyik.” Aku memikirkan Tasha sejenak. “Dan aku
mengerti apa yang kaumaksud dengan tanda-tanda itu.”

“Oh?”

Aku mengangguk, mengamati pijakan saat menyusuri jalan setapak. Bahkan


setelah ditaburi garam dan dibersihkan, jalan setapak itu masih memiliki
petak-petak es tersembunyi.

“Tasha tidak melakukannya demi kejayaan. Dia melakukannya karena


terpaksa. Sama seperti… sama seperti ibuku.” Aku benci mengakuinya, tapi itu
benar. Janine Hathaway mungkin saja ibu paling payah yang pernah ada,
tetapi dia pengawal yang hebat. “Tandanya tidak penting.
Baik molnija maupun bekas luka.”

“Kau cepat belajar,” Dimitri memuji.

Aku melambung mendengarnya. “Kenapa dia memanggilmu Dimka?”

Dimitri tertawa lembut. Aku mendengarnya banyak tertawa malam ini, dan aku
memutuskan ingin mendengar lebih banyak lagi tawa itu.

“Dimka adalah panggilan untuk Dimitri.”

“Tapi itu tidak masuk akal. Dimka sama sekali tidak kedengaran seperti
Dimitri. Seharusnya kau dipanggil, entahlah, Dimi atau semacam itu.”

“Dalam bahasa Rusia tidak seperti itu,” katanya.

“Bahasa Rusia itu aneh.” Dalam bahasa Rusia, nama panggilan untuk Vasilisa
adalah Vasya, dan menurutku itu tidak masuk akal.

“Bahasa Inggris juga aneh.”

Aku menatapnya dengan licik. “Kalau kau mengajariku umpatan dalam bahasa
Rusia, mungkin aku bisa sedikit lebih menghargainya.”

“Kau sudah kebanyakan mengumpat.”

“Aku hanya berusaha mengekspresikan perasaan.”

“Oh, Roza….” Dimitri mendesah, dan aku langsung merasa kegirangan. “Roza”
adalah nama Rusiaku. Dimitri jarang menggunakannya. “Kau sudah
mengekspresikan diri lebih sering daripada siapa pun yang kukenal.”
Aku tersenyum lalu berjalan lagi tanpa mengatakan apa-apa. Jantungku
berdebar lebih kencang. Aku merasa sangat bahagia berada di dekat Dimitri.
Ada sesuatu yang terasa hangat dan tepat dengan kebersamaan kami.

Namun, meski aku merasa di awang-awang, pikiranku terpaku pada hal lain
yang sejak tadi kupikirkan. “Kau tahu, ada sesuatu yang lucu dengan bekas
luka Tasha.”

“Apa itu?” tanyanya.

“Bekas luka itu… menghancurkan wajahnya,” aku mulai pelan-pelan. Aku


kesulitan menyampaikan pikiran dengan kata-kata. “Maksudku, Tasha pasti
dulunya cantik. Bahkan sekarang, dengan bekas lukanya…. Tapi dia tetap
cantik dengan cara berbeda. Seolah… seolah bekas luka itu bagian dari
dirinya. Bekas luka itu membuatnya utuh.” Mungkin kedengarannya konyol,
tetapi itu memang benar.

Dimitri tidak mengatakan apa-apa, tetapi melirikku sekilas. Aku membalas


tatapannya, dan saat mata kami bertemu, aku melihat sekilas rasa tertarik
yang dulu pernah ada. Kilasan itu hanya sebentar dan berlalu terlalu cepat,
tetapi aku melihatnya. Rasa bangga dan persetujuan menggantikannya, dan
keduanya nyaris sama hebatnya.

Saat Dimitri bicara, ucapannya hanya menggaungkan pikirannya tadi. “Kau


cepat belajar, Roza.”
Vampire Academy 2 (Bab 6)

Vampire Academy 2 (Bab 6)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

KEESOKAN HARINYA, saat sedang bergegas menuju latihan sebelum sekolah,


aku merasa sangat optimistis. Pertemuan rahasia semalam sangat
menyenangkan, dan aku merasa bangga karena sudah melawan sistem
dengan menyemangati Dimitri untuk pergi bersama Tasha. Dan hebatnya lagi,
kemarin aku menggunakan pasak perak untuk kali pertama dan membuktikan
bisa menanganinya dengan baik. Dengan perasaan bangga terhadap diri
sendiri, aku tak sabar ingin cepat-cepat berlatih lagi. 

Setelah menggunakan pakaian latihan yang biasa, aku langsung menyelinap


ke gedung olahraga. Tetapi ketika aku melongokkan kepala ke dalam ruang
latihan yang kemarin kami pakai, ruangan itu gelap dan sunyi. Aku
menyalakan lampu, lalu memandang sekeliling untuk berjaga-jaga seandainya
Dimitri sedang melakukan sebuah latihan rahasia yang aneh. Tidak. Kosong.
Tak ada pasak hari ini. 

“Brengsek,” gumamku. 
“Dia tidak ada di sini.” 

Aku menjerit dan nyaris melompat setinggi tiga meter ke udara. Saat berbalik,
aku melihat mata cokelat ibuku. 

“Apa yang kaulakukan di sini?” Begitu kata-kata itu terucap, aku baru
menyadari penampilannya. Kaus lengan pendek dari bahan spandex elastis.
Celana latihan model serut longgar yang mirip dengan yang kupakai.
“Brengsek,” kataku lagi.

“Jaga mulutmu,” bentaknya. “Kau boleh bertindak seperti tak punya tata
krama, tapi setidaknya jangan bicara seperti itu.”

“Mana Dimitri?”
“Garda Belikov sedang tidur. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu dan
butuh istirahat.”

Umpatan yang lain sudah sampai di bibirku, tetapi aku langsung


menggigitnya. Tentu saja Dimitri sedang tidur. Dia harus pergi ke Missoula
bersama Tasha pada siang hari agar bisa tiba di sana pada jam belanja
manusia. Dengan perhitungan waktu Akademi, bisa dibilang dia terjaga
semalaman dan mungkin baru saja kembali. Ugh. Seandainya tahu akan
berakhir seperti ini, mungkin aku takkan terlalu menyemangatinya untuk
menolong Tasha.

“Yah,” aku buru-buru berkata. “Kurasa itu artinya latihan dibatalkan―”

“Tutup mulutmu dan pakai ini.” Ibuku menyerahkan sarung tangan latih
padaku. Bentuknya mirip dengan sarung tinju tetapi tidak setebal dan sebesar
itu. Tetapi fungsinya sama. Untuk melindungi tangan dan mencegah agar
tidak mencakar lawan.

“Kami sedang berlatih menggunakan pasak,” kataku dengan angkuh sambil


memakai sarung tangan.

“Nah, tapi sekarang kita latihan ini. Ayo.”

Sambil berharap seandainya tadi ditabrak bus saat berjalan dari asrama, aku
mengikutinya menuju gedung olahraga. Rambut keriting ibuku dijepit di
puncak sehingga memperlihatkan bagian belakang lehernya. Kulit lehernya
tertutup tato. Di paling atas tampak sebuah garis berliku bagai ular, tanda
sumpah yang diberikan saat seorang pengawal lulus dari akademi seperti St.
Vladimir dan berjanji akan mengabdi. Di bawahnya, tanda molnija yang
diberikan setiap kali seorang pengawal membunuh Strigoi. Bentuknya seperti
kilatan petir yang menjadi asal namanya. Aku tidak bisa menghitung berapa
jumlah pastinya, tetapi anggap saja cukup mengherankan masih ada bagian
leher ibuku yang bisa ditato. Ibuku sudah banyak melakukan pembunuhan.

Saat kami tiba di tempat yang diinginkannya, ibuku berbalik menghadapku lalu
mengambil posisi menyerang. Setengah berharap ibuku akan langsung
menyerangku saat itu juga, aku langsung meniru posisinya.

“Kau sedang apa?” tanyaku.

“Serangan dan pertahanan dasar. Gunakan garis merah sebagai batas.”

“Itu saja?” tanyaku.


Ibuku melompat ke arahku. Aku mengelak―benar-benar nyaris―dan
tersandung kakiku sendiri saat melakukannya. Aku cepat-cepat memperbaiki
posisiku.

“Nah,” ibuku berkata dengan nada yang hampir terdengar sarkastik. “Karena


sepertinya kau sangat senang mengingatkanku bahwa sudah lima tahun aku
tidak bertemu denganmu. Aku sama sekali tidak tahu apa yang bisa
kaulakukan.”

Ibuku menyerangku lagi, dan lagi, hingga aku nyaris tidak bisa bertahan di
dalam garis saat menghindarinya. Ibuku benar-benar tidak memberiku
kesempatan untuk menyerang. Atau mungkin aku memang tidak punya
kemampuan untuk melakukannya. Seluruh waktuku habis untuk
mempertahankan diri―setidaknya secara fisik. Meskipun kesal, aku harus
mengakui ibuku memang hebat. Sangat hebat. Tetapi sudah pasti aku takkan
memberitahunya.

“Jadi,” kataku, “inikah caramu menebus kelalaian sebagai seorang ibu?”

“Ini caraku membantumu menyingkirkan kekesalanmu. Sejak aku datang


sikapmu benar-benar keterlaluan. Kau ingin bertarung?” Kepalan tangannya
tiba-tiba terangkat dan menyentuh lenganku. “Kalau begitu, kita bertarung.
Sistem poin.”

“Sistem poin,” ulangku sambil bergerak mundur. “Aku tak mau bertarung. Aku
hanya berusaha mengobrol denganmu.”

“Mencecarku di kelas tidak bisa disebut mengobrol. Poin.”

Aku mengerang saat terkena pukulan. Ketika pertama kali berlatih dengan
Dimitri, aku mengeluh karena harus melawan orang yang tiga puluh
sentimeter lebih tinggi dariku. Dimitri menekankan bahwa banyak Strigoi yang
lebih tinggi dan peribahasa kuno itu memang benar: ukuran bukan masalah.
Terkadang aku berpikir Dimitri memberiku harapan palsu, tetapi saat melihat
performa ibuku sekarang, aku mulai memercayai ucapannya.

Aku belum pernah melawan orang yang tubuhnya lebih kecil dariku. Sebagai
salah satu dari sedikit cewek di kelas novis, aku sudah menerima kenyataan
untuk selalu lebih pendek dan lebih kurus dari lawan-lawanku. Namun, tubuh
ibuku lebih kecil lagi, dan jelas terlihat bahwa tubuh mungilnya itu hanya
mengandung otot.

“Aku memiliki cara unik dalam berkomunikasi, itu saja,” ucapku.


“Kau memiliki khayalan aneh khas gadis remaja yang membuatmu merasa
diperlakukan tidak adil selama tujuh belas tahun ini.” Ibuku menendang
pahaku. “Poin. Padahal kenyataannya, kau diperlakukan sama persis
seperti dhampir lainnya. Bahkan lebih baik. Aku bisa saja mengirimmu untuk
tinggal bersama sepupuku. Apa kau mau menjadi pelacur darah? Itukah yang
sebenarnya kauinginkan?”

Istilah “pelacur darah” selalu membuatku mengernyit. Istilah itu sering


digunakan untuk menyebut wanita dhampir yang menjadi ibu tunggal dan
memutuskan untuk membesarkan anak-anaknya alih-alih menjadi pengawal.
Mereka biasanya menjalani hubungan jangka pendek dengan pria Moroi, dan
dipandang rendah karenanya―meski sebenarnya tidak ada lagi yang bisa
mereka lakukan karena kaum pria Moroi pun pada akhirnya hanya akan
menikahi wanita Moroi. Istilah “pelacur darah” muncul karena ada
wanita dhampir yang membiarkan pria Moroi meminum darah mereka saat
berhubungan seks. Di dunia kami, hanya manusia yang memberikan
darah. Dhampir yang berbuat itu akan dianggap kotor dan binal―apalagi saat
berhubungan seks. Aku menduga sebenarnya hanya beberapa
wanita dhampir yang benar-benar melakukannya, tetapi dengan tidak adil,
istilah itu cenderung diterapkan pada mereka semua. Aku pernah memberikan
darahku pada Lissa selama kami dalam pelarian, dan meskipun aku
melakukannya karena tidak ada jalan lain, stigma tadi akan tetap menempel
padaku.

“Tidak. Tentu saja aku tak mau jadi pelacur darah.” Napasku menjadi berat.
“Tidak semuanya seperti itu. Dan hanya sedikit yang benar-benar seperti itu.”

“Mereka sendiri yang menyebabkan munculnya reputasi itu,” geramnya. Aku


mengelak dari serangannya. “Mereka seharusnya bertugas sebagai pengawal,
bukan terus-menerus mencari masalah dan menjalin cinta sesaat dengan
Moroi.”

“Mereka membesarkan anak-anak,” gerutuku. Aku sebenarnya ingin berteriak


tetapi tidak mau membuang-buang oksigen. “Sesuatu yang tidak kaupahami.
Lagi pula, bukankah kau sama saja dengan mereka? Aku tidak melihat cincin
di jarimu. Bukankah ayahku juga hanya cinta sesaat bagimu?”

Wajah ibuku mengeras. “Kau,” ucapnya dengan mulut terkatup, “tidak tahu
apa-apa soal itu. Poin.”

Aku mengernyit karena pukulannya, tetapi merasa senang karena berhasil


memancing emosinya. Aku sama sekali tidak tahu siapa ayahku. Satu-satunya
informasi yang kuketahui mengenai ayahku adalah dia orang Turki. Aku
mungkin saja mewarisi tubuh berlekuk dan wajah cantik ibuku―meski dengan
sombong aku bisa bilang wajahku lebih cantik daripada wajahnya
sekarang―tetapi semua warna yang ada pada diriku berasal dari ayahku. Kulit
yang agak kecokelatan, dengan rambut dan mata berwarna gelap.

“Bagaimana kejadiannya?” tanyaku. “Kau sedang bertugas di Turki? Lalu


bertemu dengannya di pasar lokal? Atau lebih murahan lagi? Apa kau
memakai teori Darwin dan memilih pria yang paling mungkin menurunkan gen
pejuang pada anakmu? Maksudku, aku tahu kau memutuskan untuk memiliki
aku karena itu sudah menjadi kewajiban, jadi kurasa kau harus memastikan
agar bisa memberikan spesimen terbaik untuk para pengawal.”

“Rosemarie,” ibuku memperingatkan dengan gigi terkatup, “sekali ini saja,


tutup mulutmu.”

“Kenapa? Apa aku sudah merusak reputasimu yang berharga? Seperti yang
kaubilang: Kau juga tidak jauh berbeda dari dhampir lainnya. Kau hanya tidur
dengannya dan―”

Ada alasan tertentu mengapa orang-orang menggunakan istilah,


“Kesombongan menyebabkan kehancuran.” Aku terlalu larut dalam
keangkuhanku sendiri sehingga lupa memperhatikan kakiku. Aku terlalu dekat
dengan garis merah. Jika aku berada di luar garis, poin akan bertambah untuk
ibuku, jadi aku berjuang agar tetap berada di dalam garis dan mengelak dari
serangannya pada saat bersamaan. Sayangnya, hanya satu yang berhasil
kulakukan. Tinjunya melayang ke arahku dengan keras dan cepat―dan, yang
lebih penting, agak lebih tinggi dari yang diizinkan dalam aturan latihan
semacam ini. Tinjunya memukul wajahku dengan kekuatan yang setara
dengan sebuah truk kecil dan tubuhku pun melayang ke belakang, dengan
punggung yang pertama kali menghantam lantai, disusul kepala. Dan aku
keluar dari garis. Sial.

Rasa sakit menjalari bagian belakang kepalaku. Pandanganku menjadi kabur


dan berkunang-kunang. Dalam beberapa detik, ibuku langsung membungkuk
di atas tubuhku.

“Rose? Rose? Kau baik-baik saja?” Suaranya serak dan panik. Dunia serasa
berputar.
Sesaat setelah itu orang-orang berdatangan, dan entah bagaimana aku
berakhir di klinik kesehatan Akademi. Di sana, seseorang menyorotkan cahaya
ke mataku dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat bodoh.

“Siapa namamu?”

“Apa?” tanyaku, menyipitkan mata karena cahaya yang disorotkannya.

“Namamu.” Aku mengenali wajah Dr. Olendzky yang sedang menatapku.

“Kau kan tahu siapa namaku.”

“Aku ingin kau menyebutkannya.”

“Rose. Rose Hathaway.”

“Kau ingat tanggal lahirmu?”

“Tentu saja aku ingat. Kenapa kau menanyakan hal-hal bodoh seperti itu? Kau
kehilangan catatanku?”

Dr. Olendzky mendesah berlebihan lalu berjalan pergi, membawa serta cahaya
menyebalkan itu bersamanya. “Kurasa dia baik-baik saja,” ucapnya
memberitahu seseorang. “Aku ingin dia tetap di sini selama jam sekolah,
hanya untuk memastikan bahwa dia tidak mengalami gegar otak. Yang pasti
aku tidak mau dia berada dekat-dekat dengan kelas pengawal.”

Aku menghabiskan sisa hari itu dengan berulang kali tertidur dan terbangun
karena Dr. Olendzky selalu membangunkanku untuk melakukan tes. Dia juga
memberiku sebungkus es dan menyuruhku menempelkannya di wajah. Ketika
kelas-kelas di Akademi bubar, dia memutuskan aku sudah cukup sehat untuk
pergi.

“Kurasa sebaiknya kau punya kartu pasien langganan, Rose.” Wajahnya


tersenyum sekilas. “Sama seperti yang dimiliki oleh mereka yang punya
masalah dengan alergi atau asma. Kurasa aku tidak pernah melihat siswa lain
yang datang sesering dirimu.”

“Trims,” jawabku, meskipun aku sama sekali tidak yakin apakah aku
menginginkan kehormatan tersebut. “Jadi, tidak ada gegar otak?”

Dr. Olendzky menggelengkan kepala. “Tidak. Tapi kau akan merasa kesakitan.
Sebelum kau pergi, aku akan memberimu sesuatu untuk mengobatinya.”
Senyum di wajahnya menghilang, dan tiba-tiba saja dia terlihat gugup.
“Sejujurnya, Rose, kurasa kerusakan paling parah terjadi pada, hmm,
wajahmu.”

Aku melompat bangun dari tempat tidur. “Apa maksudmu dengan kerusakan
paling parah terjadi pada wajahku?”

Wanita itu mengerdik ke arah cermin di atas bak cuci di seberang ruangan.
Aku berlari menghampirinya dan melihat bayanganku.

“Keparat!”

Noda merah keunguan menutupi bagian atas sisi kiri wajahku, terutama di
dekat mata. Aku berbalik menghadap dokter itu dengan putus asa.

“Ini akan segera lenyap, kan? Kalau aku terus menempelkan es di atasnya?”

Dia kembali menggeleng. “Esnya memang bisa membantu… tapi sepertinya


akan muncul lebam hitam mengerikan di matamu. Mungkin besok akan
terlihat sangat parah, tapi mestinya lebam itu hilang dalam waktu kira-kira
satu minggu. Tidak lama lagi kau akan kembali seperti biasa.”

Aku meninggalkan klinik dengan perasaan linglung yang tidak ada


hubungannya dengan luka di kepalaku. Hilang dalam waktu kira-kira satu
minggu? Bisa-bisanya Dr. Olendzky berkata seringan itu mengenai masalah
ini. Apa dia tidak sadar apa yang sedang terjadi? Aku akan terlihat seperti
mutan selama Nataldan sebagian besar perjalanan ski kami. Mataku hitam
lebam. Lebam mengerikan.

Dan ibukulah penyebabnya.

Vampire Academy 2 (Bab 7)

Vampire Academy 2 (Bab 7)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

DENGAN MARAH AKU mendorong pintu ganda yang mengarah ke asrama


Moroi. Salju mendesing di belakangku, dan beberapa orang yang sedang
duduk-duduk di lantai utama mendongak saat mendengar kedatanganku.
Beberapa dari mereka terheran-heran saat melihat wajahku. Seraya menelan
ludah, aku memaksa diri tidak bereaksi. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak
perlu panik. Para novis terluka setiap saat. Justru yang lebih jarang terjadi
adalah tidak terluka. Memang harus diakui, luka yang kualami sekarang paling
jelas terlihat, tetapi aku bisa mengatasinya sampai lukanya sembuh, kan? Dan
bukan berarti ada orang lain yang tahu bagaimana aku mendapatkan luka itu.

“Hei, Rose, benarkah ibumu sendiri yang memukulmu?”

Tubuhku membeku. Aku bisa mengenali suara soprano bernada mengejek itu
di mana pun aku mendengarnya. Aku berbalik perlahan, dan menatap mata
biru tua Mia Rinaldi. Rambut pirang keriting membingkai wajah yang mungkin
akan terlihat imut jika tidak ada seringai jahat yang menghiasinya.

Dengan usia satu tahun lebih muda daripada kami, Mia menantang Lissa
(otomatis termasuk aku) dalam sebuah perang untuk membuktikan siapa
yang sanggup lebih cepat menghancurkan hidup yang lain―perang yang,
kalau boleh kutambahkan, dimulai oleh

nya

. Perang itu termasuk tindakannya merebut mantan kekasih Lissa―terlepas


dari kenyataan bahwa akhirnya Lissa memutuskan tidak lagi menginginkan
cowok itu―dan menyebarkan segala macam kabar burung.

Harus diakui, kebencian yang dirasakan Mia tidak sepenuhnya tak berdasar.
Kakak lelaki Lissa, Andre―yang terbunuh dalam kecelakaan yang secara
teknis “membunuhku” juga―pernah memperlakukan Mia dengan cukup buruk
saat cewek itu baru masuk sekolah. Seandainya sikap Mia tidak menyebalkan
seperti sekarang, aku pasti akan kasihan kepadanya. Andre memang salah
karena sudah memperlakukannya seperti itu, dan meski bisa memahami
amarah Mia, aku tidak yakin apakah Mia bersikap adil dengan melampiaskan
kemarahannya pada Lissa.

Secara teknis aku dan Lissa memenangi perang itu, tetapi entah bagaimana
Mia berhasil bangkit lagi. Sekarang Mia tidak bergaul dengan kaum elite yang
dulu, tetapi dia membangun sebuah kelompok kecil yang terdiri atas teman-
temannya. Jahat atau tidak, pemimpin yang kuat selalu berhasil menarik
pengikut.

Dari sekitar sembilan puluh persen waktu yang kuhabiskan dengan Mia, aku
sadar bahwa respons paling efektif adalah dengan mengabaikannya. Tetapi
kami baru saja bergeser ke sepuluh persen sisanya, karena rasanya mustahil
mengabaikan seseorang yang mengumumkan pada dunia bahwa ibumu baru
saja meninjumu―sekalipun itu benar. Aku menatapnya. Mia sedang berdiri
dekat mesin penjual minuman, sadar telah berhasil memancingku. Aku
bahkan tidak repot-repot menanyakan dari mana dia tahu ibukulah yang
memberiku mata lebam ini. Sangat sulit menjaga rahasia di tempat ini.

Ketika dia melihat seluruh wajahku, kedua matanya melebar girang tanpa
perasaan bersalah. “Wow. Coba lihat wajah yang hanya bisa dicintai seorang
ibu.”

Ha. Lucu. Jika orang lain yang mengatakannya, aku mungkin akan bertepuk
tangan memuji lelucon itu.

“Yah, kau lebih ahli soal luka di wajah,” kataku. “Bagaimana hidungmu?”

Senyum dingin Mia mengendur sedikit, tetapi dia tidak menyerah. Aku pernah
mematahkan hidungnya sekitar sebulan yang lalu―dan parahnya, itu terjadi
saat pesta dansa sekolah. Meski sekarang sudah sembuh, hidungnya masih
terlihat agak miring. Dokter bedah plastik mungkin bisa menyembuhkannya,
tetapi jika melihat keadaan keuangan keluarganya, sepertinya itu takkan
mungkin diwujudkan dalam waktu dekat.

“Sudah mendingan,” jawab Mia ketus.“Untungnya, hidungku dipatahkan oleh


pelacur psikopat, bukan orang yang punya hubungan darah denganku.”

Aku memberinya senyum psikopat terbaikku. “Sayang sekali. Anggota


keluarga biasanya memukulmu karena tidak sengaja. Pelacur psikopat
biasanya selalu kembali untuk melakukannya lagi.”

Ancaman kekerasan fisik biasanya selalu ampuh untuk melawan Mia, tetapi
sekarang kami dikelilingi banyak orang sehingga ancaman itu tidak terasa
terlalu mengkhawatirkan. Dan Mia menyadarinya. Bukan berarti aku tidak
berani menyerang orang lain di tengah keramaian seperti ini―tentu saja aku
sering melakukannya―tetapi akhir-akhir ini aku 

sedang

 berusaha mengendalikan emosi.

“Sepertinya itu bukan tidak disengaja,” kata Mia. “Bukankah kalian punya
peraturan mengenai pukulan di wajah? Maksudku, kelihatannya itu 

benar-benar

jauh dari batas yang seharusnya.”


Aku membuka mulut untuk menyuruhnya tutup mulut, tetapi tak ada suara
yang keluar. Mia benar juga. Luka yang kualami

memang

 jauh dari batas yang seharusnya. Dalam pertarungan semacam itu,


seharusnya kau tidak boleh memukul di atas leher. Luka yang kualami jauh di
atas garis terlarang itu.

Mia melihat keraguanku, dan rasanya seolah hari Natal datang seminggu lebih
awal baginya. Baru kali ini, sepanjang sejarah permusuhan kami, Mia bisa
membuatku tak sanggup berkata-kata.

“Nona-Nona,” suara tegas seorang wanita terdengar. Moroi yang menjaga


meja resepsionis mencondongkan badan dan menatap kami dengan tajam.
“Ini lobi, bukan ruang santai. Sebaiknya kalian ke atas, atau pergi ke luar.”

Selama sesaat, mematahkan hidung Mia terdengar seperti gagasan terbaik di


seluruh dunia―persetan dengan hukuman atau skorsing. Setelah menghela
napas dalam-dalam, aku memutuskan bahwa mundur merupakan tindakan
paling bermartabat untukku saat ini. Aku berjalan menuju tangga yang
mengarah ke asrama perempuan. Di belakangku, aku mendengar Mia
berseru,“Jangan takut, Rose. Lukanya akan memudar. Lagi pula, cowok-cowok
bukan tertarik pada wajahmu.”

Tiga puluh detik kemudian, aku mengetuk pintu kamar Lissa dengan sangat
keras, sehingga aku sendiri heran kepalan tanganku tidak menembus
pintunya. Lissa membukanya pelan-pelan lalu mengintip ke kiri-kanan.

“Kau sendirian? Kupikir ada satu pasukan―astaga.” Alis Lissa terangkat saat
melihat sisi kiri wajahku. “Apa yang terjadi?”

“Kau belum tahu? Mungkin kau satu-satunya yang belum mendengarnya,”


gerutuku. “Biarkan aku masuk.”

Seraya berbaring telentang di atas tempat tidur Lissa, aku menceritakan


semua kejadian hari itu. Sesuai dugaanku, Lissa tercengang mendengarnya.

“Aku mendengar kalau kau terluka, tapi kusangka ini kejadian normal saja,”
kata Lissa.

Dengan sedih aku menatap langit-langit. “Dan yang paling parah, Mia benar.
Ini bukan kecelakaan.”
“Maksudmu, ibumu melakukannya dengan sengaja?” Saat aku tidak
menjawab, suara Lissa berubah jadi ragu-ragu. “Ayolah, dia tidak akan
melakukannya. Tak mungkin.”

“Kenapa? Karena dia Janine Hathaway yang sempurna, pakar dalam


mengendalikan emosi? Masalahnya, dia juga Janine Hathaway yang
sempurna, pakar dalam bertarung dan mengendalikan gerakan. Tapi, entah
bagaimana pukulannya meleset.”

“Kalau begitu,” kata Lissa, “kurasa lebih masuk akal jika dia tersandung dan
pukulannya meleset daripada melakukannya dengan sengaja. Dia pasti benar-
benar kehilangan kendali kalau sampai melakukannya dengan sengaja.”

“Saat itu dia 

memang

 sedang bicara denganku. Dan isinya cukup membuat siapa pun kehilangan
kendali. Saat itu aku menuduhnya tidur dengan ayahku karena pria itu pilihan
terbaik menurut teori evolusi.”

“Rose,” Lissa mengerang. “Kau tidak bilang soal itu dalam ceritamu tadi.
Kenapa kau mengatakan itu kepadanya?”

“Karena mungkin saja itu memang benar.”

“Tapi kau pasti tahu itu akan membuatnya kesal. Kenapa kau terus-menerus
memancing kemarahannya? Kenapa kau tidak berdamai saja dengannya?”

Aku duduk tegak. “Berdamai dengannya? 

Dia membuat mataku hitam lebam

. Mungkin dengan sengaja! Bagaimana mungkin aku berdamai dengan orang


seperti itu?”

Lissa hanya menggeleng lalu berjalan menghampiri cermin untuk memeriksa


riasan wajahnya. Perasaan yang terpancar melalui ikatan batin kami adalah
keputusasaan dan kekesalan. Di baliknya ada sedikit rasa penasaran juga.
Setelah selesai mengeluarkan unek-unek, aku merasa cukup tenang untuk
mengamatinya dengan lebih saksama. Lissa mengenakan kemeja sutra
berwarna ungu muda dan rok hitam selutut. Rambut panjangnya tampak halus
sempurna, kesempurnaan yang hanya bisa didapatkan dengan menghabiskan
satu jam menggunakan alat pengering dan pelurus rambut.
“Kau kelihatan cantik. Ada acara apa?”

Perasaannya sedikit berubah, kekesalannya padaku sedikit memudar.


“Sebentar lagi aku akan menemui Christian.”

Selama beberapa menit tadi, rasanya kami seperti kembali ke masa lalu.
Hanya kami berdua, bercengkerama dan mengobrol. Saat Lissa menyebut-
nyebut nama Christian―saat aku menyadari bahwa dia akan segera pergi
meninggalkanku demi Christian―menimbulkan perasaan kelam di dadaku…
perasaan yang enggan kuakui sebagai rasa cemburu. Biasanya aku tidak
memperlihatkan perasaan itu.

“Wow. Apa yang dia lakukan hingga berhak mendapatkannya?


Menyelamatkan anak yatim piatu dari bangunan yang terbakar? Kalau benar
begitu, sebaiknya kau pastikan bukan dia yang membakarnya.” Elemen sihir
Christian adalah api. Sangat cocok karena api adalah elemen yang paling
merusak.

Lissa tertawa, berpaling dari cermin dan melihatku menyentuh wajahku yang
bengkak dengan hati-hati. Senyumnya menjadi lembut. “Tidak separah itu
kok.”

“Terserah apa katamu. Kau tahu kan aku selalu tahu kalau kau berbohong.
Dan Dr. Olendzky bilang besok lebamnya akan semakin parah.” Aku kembali
berbaring di tempat tidur. “Mungkin di dunia ini tidak tersedia cukup banyak
lotion penyamar noda untuk menutupi lebam ini, ya kan? Sepertinya aku dan
Tasha sama-sama harus berinvestasi membeli topeng bergaya 

Phantom of the Opera

.”

Lissa mendesah, lalu duduk di dekatku. “Sayang sekali aku tak bisa
menyembuhkanmu.”

Aku tersenyum. “Menyenangkan sekali kalau kau bisa melakukannya.”

Kompulsi dan karisma yang dihasilkan roh memang hebat, tetapi


sesungguhnya, kemampuan Lissa yang paling keren adalah menyembuhkan.
Banyaknya hal yang mampu dilakukan oleh Lissa benar-benar
mencengangkan.
Lissa juga sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan roh. “Kuharap ada
cara lain untuk mengendalikan roh ini…cara yang masih memungkinkanku
menggunakan sihir…”

“Yeah,” jawabku. Aku memahami gairahnya yang menyala-nyala untuk


melakukan hal-hal hebat dan membantu orang-orang. Hal itu memancar dari
diri Lissa. Lagi pula, aku juga akan senang jika lebam pada mataku lenyap
saat ini juga daripada harus menunggu selama berhari-hari. “Aku juga
berharap ada cara lain.”

Lissa mendesah lagi. “Dan tak ada yang kuharapkan selain bisa
menyembuhkan dan melakukan hal lainnya dengan kekuatan roh. Aku juga,
yah, aku merindukan sihir. Kemampuan itu masih ada, hanya dihambat oleh
pil-pil yang kuminum. Kemampuan itu membara di dalam diriku. Kekuatan itu
menginginkanku, dan aku menginginkannya. Tapi ada dinding yang
menghalangi kami. Kau sama sekali tak bisa membayangkannya.”

“Sebenarnya, aku bisa.”

Itu benar. Selain bisa merasakan emosinya secara umum, kadang-kadang aku
juga bisa “menyelinap ke dalam dirinya”. Hal ini sulit dijelaskan, dan lebih sulit
lagi dijalani. Saat itu terjadi aku sungguh-sungguh bisa melihat melalui mata
Lissa dan 

merasakan

 apa yang sedang dialaminya. Pada saat-saat seperti itu, aku 

adalah

Lissa. Sering kali, aku berada di dalam kepala Lissa saat dia sedang
merindukan sihir dan aku bisa merasakan kebutuhannya yang menyala-nyala.
Lissa sering terbangun di malam hari, mendambakan kekuatan yang tidak
bisa diraihnya lagi.

“Oh, yeah,” kata Lissa muram.“Kadang-kadang aku melupakan hal itu.”

Lissa diselimuti perasaan muram. Perasaan itu tidak ditujukan padaku


sekalipun situasi sedang tidak menguntungkannya. Amarah bergejolak di
dalam dirinya. Sama sepertiku, Lissa juga tidak suka merasa putus asa.
Amarah dan keputusasaannya berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap dan
mengerikan, sesuatu yang tidak kusukai.

“Hei,” kataku sambil menyentuh lengannya. “Kau baik-baik saja?”


Lissa memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi. “Aku benar-benar
benci semua ini.”

Intensitas perasaan Lissa mengingatkanku pada pembicaraan kami sebelum


aku berangkat ke rumah keluarga Badica. “Kau masih merasa pengaruh pilnya
melemah?”

“Entahlah. Sedikit.”

“Kau merasa semakin parah?”

Lissa menggelengkan kepala. “Tidak. Aku masih tak bisa menggunakan sihir.
Aku merasa 

lebih dekat

 dengan sihir… tapi masih terhalang.”

“Tapi kau masih… suasana hatimu….”

“Yeah… suasana hatiku mulai bertingkah. Tapi jangan cemas,” kata Lissa
ketika melihat wajahku. “Aku tidak pernah berkhayal yang aneh-aneh, atau
berusaha menyakiti diri sendiri.”

“Bagus.” Aku lega mendengarnya, walaupun masih cemas. Meski Lissa masih
tidak bisa menggunakan sihir, aku tidak suka mendengar keadaan mentalnya
yang mulai kembali mengkhawatirkan. Aku sungguh-sungguh berharap situasi
ini akan membaik dengan sendirinya. “Aku di sini,” ucapku lembut sambil
menatapnya lekat-lekat. “Kalau ada sesuatu yang aneh terjadi… beritahu aku,
ya?”

Dengan seketika, perasaan kelam di dalam diri Lissa menghilang. Saat


perasaan itu menghilang, aku merasakan getaran aneh dalam ikatan batin
kami. Aku tak bisa menjelaskannya, tetapi tubuhku menggigil akibat perasaan
tersebut. Lissa tidak menyadarinya. Suasana hatinya kembali ceria dan dia
tersenyum padaku.

“Trims,” katanya. “Aku pasti memberitahumu.”

Aku tersenyum, senang melihatnya kembali seperti biasa. Kami larut dalam
kesunyian, dan sejenak aku merasa ingin mencurahkan isi hatiku padanya.
Akhir-akhir ini aku sedang banyak pikiran. Mengenai ibuku, Dimitri, dan rumah
keluarga Badica. Selama ini aku memendamnya, dan semua perasaan itu
mulai mencabik-cabik diriku. Sekarang―setelah sekian lama―aku merasa
nyaman berada di dekat Lissa, dan sepertinya kali ini giliranku membiarkannya
menyelami perasaanku.

Sebelum sempat membuka mulut, aku merasakan pikiran Lissa tiba-tiba


berubah. Perasaannya mendadak lebih bersemangat dan gugup. Ada sesuatu
yang ingin dikatakannya, sesuatu yang sudah dipikirkannya matang-matang.
Sia-sia saja harapanku untuk mencurahkan isi hatiku padanya. Jika Lissa ingin
membicarakan sesuatu, aku takkan membebaninya dengan masalah-
masalahku, jadi aku menyingkirkan keinginan itu dan menunggunya bicara.

“Aku menemukan sesuatu dalam penelitianku bersama Ms. Carmack. Sesuatu


yang aneh….”

“Oh ya?” tanyaku, tiba-tiba merasa penasaran.

Moroi biasanya memiliki spesialisasi elemen yang berkembang selama masa


remaja. Setelah itu mereka akan ditempatkan dalam kelas sihir yang sesuai
dengan elemen masing-masing. Namun, sebagai satu-satunya pengguna
elemen roh, bisa dibilang Lissa tidak memiliki kelas. Sebagian besar orang
meyakini Lissa belum menemukan spesialisasinya, tetapi dia dan Ms.
Carmack―guru sihir di St. Vladimir―mengadakan pertemuan pribadi untuk
mempelajari cara menggunakan kekuatan roh. Mereka meneliti catatan-
catatan lama maupun baru, memeriksa kemungkinan adanya petunjuk yang
bisa menuntun mereka pada pengguna roh lainnya, karena mereka sudah tahu
ciri-cirinya yang khas. Yaitu ketidakmampuan memiliki spesialisasi,
ketidakstabilan mental, dan lain-lain.

“Aku tidak menemukan orang lain yang terbukti sebagai pengguna roh, tapi
aku menemukan… laporan mengenai, em, fenomena yang tidak bisa
dijelaskan.”

Aku mengerjap kaget. “Contohnya seperti apa?” tanyaku, memikirkan apa saja
yang bisa dikatakan sebagai“fenomena yang tidak bisa dijelaskan” bagi
vampir. Saat aku dan Lissa tinggal bersama manusia, 

kami

 bisa digolongkan sebagai fenomena yang tidak bisa dijelaskan.

“Laporannya memang berceceran… tapi, salah satunya tentang seorang lelaki


yang bisa membuat orang lain melihat sesuatu yang sesungguhnya tidak
nyata. Dia bisa membuat orang-orang yakin mereka melihat monster, atau
orang lain, atau semacamnya.”
“Itu mungkin kompulsi.”

“Kompulsi yang sangat kuat. Aku tidak bisa melakukannya, dan kompulsiku
sekarang―atau setidaknya dulu―lebih kuat daripada siapa pun yang kita
kenal. Dan kekuatan itu berasal dari penggunaan roh….”

“Jadi,” aku menyimpulkan, “menurutmu si lelaki yang menyebabkan ilusi ini


menggunakan kekuatan roh juga.” Lissa mengangguk. “Kenapa kau tidak
menghubunginya dan mencari tahu soal itu?”

“Karena informasinya tidak ada! Informasinya dirahasiakan. Dan ada lagi yang
aneh. Contohnya orang yang sanggup menguras energi fisik orang lain. Orang-
orang di dekatnya akan menjadi lemah dan kehilangan seluruh kekuatan
mereka. Mereka sampai pingsan. Lalu ada orang lain yang sanggup membuat
barang-barang yang dilemparkan ke arahnya berhenti dan mengambang di
udara.” Perasaan bersemangat membuat wajahnya berbinar.

“Bisa saja dia pengguna sihir udara,” aku memberi masukan.

“Mungkin,” katanya. Aku bisa merasakan keingintahuan dan antusiasme yang


berputar-putar dalam dirinya. Lissa sangat ingin meyakini bahwa di luar sana
ada orang lain seperti dirinya.

Aku tersenyum. “Siapa sangka? Ternyata Moroi juga memiliki kasus-kasus


seperti Roswell―dan Area 51. Cukup mengherankan aku tidak diteliti di suatu
tempat untuk mencari tahu soal ikatan batin ini.”

Suasana hati Lissa yang berubah-ubah menjadi jengkel. “Kadang-kadang aku


berharap bisa melihat ke dalam pikiranmu. Aku ingin tahu bagaimana
perasaanmu pada Mason.”

“Mason temanku,” kataku tegas, terkejut dengan topik pembicaraan yang tiba-
tiba berubah. “Hanya itu.”

Lissa mendecakkan lidah. “Dulu kau sering bergenit-genit―dan melakukan hal


lain―dengan cowok mana pun yang bisa kaudapatkan.”

“Hei!” ucapku, tersinggung. “Aku tidak seburuk itu.”

“Oke… mungkin tidak. Tapi kelihatannya kau sudah tidak tertarik lagi dengan
cowok.”

Aku masih tertarik dengan cowok―setidaknya seorang cowok.

“Mason benar-benar baik,” lanjut Lissa. “Dan tergila-gila padamu.”


“Memang,” aku sependapat. Aku memikirkan perasaanku pada Mason saat
tiba-tiba menganggapnya seksi―ketika kami sedang berada di luar kelas Stan.
Selain itu, Mason benar-benar lucu, dan hubungan kami sangat baik. Bisa
dibilang dia tidak buruk untuk dijadikan kekasih.

“Kalian berdua punya banyak kesamaan. Kalian berdua sama-sama


melakukan hal yang seharusnya tidak kalian lakukan.”

Aku tertawa. Itu juga benar. Aku teringat semangat Mason untuk menumpas
semua Strigoi yang ada di dunia ini. Aku mungkin belum siap―terlepas dari
luapan amarahku saat berada di mobil―tapi aku sama cerobohnya dengan
Mason. Mungkin sudah saatnya aku memberinya kesempatan, pikirku. Saling
meledek dengan Mason rasanya menyenangkan, dan rasanya sudah lama
sekali aku tidak pernah mencium seseorang. Dimitri membuatku sakit hati…
tetapi bukan berarti ada hal lain yang terjadi di antara kami.

Lissa mengamatiku dengan penuh perhatian, seakan dia tahu apa yang
sedang kupikirkan―yah, selain hal yang berkaitan dengan Dimitri. “Kudengar
Meredith menganggapmu tolol karena tidak berkencan dengan Mason.
Menurutnya, kau tidak mau berkencan dengan Mason karena kaupikir kau
terlalu hebat untuknya.”

“Apa? Itu tidak benar.”

“Hei, bukan 

aku

 yang mengatakannya. Omong-omong, dia bilang dia sedang berpikir-pikir


untuk mengejar Mason.”

“Mason dan Meredith?” aku mendengus.“Itu sama saja menunggu bencana.


Mereka tidak punya kesamaan apa pun.”

Memang agak picik, tetapi aku sudah terbiasa dengan Mason yang selalu
mengintil ke mana pun aku pergi. Tiba-tiba saja memikirkannya direbut orang
lain membuatku kesal.

“Kau posesif,” kata Lissa, lagi-lagi menebak jalan pikiranku. Tidak heran dia
sangat kesal jika aku membaca pikirannya.

“Hanya sedikit.”
Lissa tertawa. “Rose, kalaupun bukan dengan Mason, sebaiknya kau mulai
berkencan lagi. Ada banyak cowok yang rela mati agar bisa berkencan
denganmu―cowok yang memang baik hati.”

Pilihanku dalam urusan cowok memang tidak selalu tepat. Lagi-lagi, aku
merasakan dorongan untuk mencurahkan semua kekhawatiranku padanya.
Selama ini aku selalu ragu untuk menceritakan soal Dimitri pada Lissa, meski
rahasia ini membara dalam diriku. Duduk bersama Lissa seperti sekarang
mengingatkanku dia 

memang

sahabatku. Aku bisa mengatakan apa pun padanya dan dia takkan
menghakimiku. Namun, sama seperti tadi, aku sudah kehilangan kesempatan
untuk menceritakan apa yang ada di dalam benakku.

Lissa melirik jam alarmnya, dan langsung terlonjak bangun dari tempat tidur.

“Aku terlambat! Aku harus menemui Christian!”

Kebahagiaan melingkupinya, dibayangi sedikit kegugupan. Cinta. Apa yang


bisa kaulakukan? Aku menelan kembali rasa cemburu yang mulai
memunculkan sosoknya yang buruk rupa. Lagi-lagi Christian merenggut Lissa
dariku. Aku tak akan bisa menceritakan kegelisahanku kepada Lissa malam
ini.

Aku dan Lissa meninggalkan asrama, dan bisa dibilang dia berlari, berjanji
untuk mengobrol lagi besok. Aku kembali ke asramaku sendiri. Saat tiba di
kamar, aku melewati cermin dan langsung mengerang saat melihat wajahku.
Lebam hitam keunguan terlihat di sekeliling mataku. Saat mengobrol dengan
Lissa, aku nyaris melupakan semua yang terjadi dengan ibuku. Aku
menghampiri cermin agar bisa mengamati wajahku dengan lebih jelas.
Mungkin kedengarannya sombong, tetapi aku tahu penampilanku keren. Aku
memakai 

bra

 ukuran C dan memiliki tubuh yang paling didambakan di seluruh sekolah,


karena cewek-cewek lain umumnya sekurus supermodel. Dan seperti yang
kukatakan tadi, wajahku juga cantik. Untuk sehari-hari, nilaiku sembilan―dan
sepuluh pada hari-hari istimewa.

Tetapi hari ini? Yeah. Bisa dibilang nilaiku minus. Aku berniat terlihat
mengagumkan dalam perjalanan ski nanti.
“Ibuku memukuliku,” aku memberitahu pantulanku. Pantulanku membalas
tatapanku dengan simpatik.

Seraya mendesah, kuputuskan lebih baik bersiap-siap tidur. Malam ini aku tak
ingin melakukan apa-apa lagi, dan mungkin tidur lebih lama bisa
mempercepat proses penyembuhan. Aku pergi ke kamar mandi di ujung
selasar untuk mencuci muka dan menyisir rambut. Saat kembali ke kamar,
aku memakai piama kesayanganku dan sentuhan kain flanel yang lembut
membuatku agak lebih ceria.

Aku sedang mempersiapkan ranselku untuk keperluan besok saat sebuah


ledakan emosi tiba-tiba terpancar melalui ikatan batinku dengan Lissa. Emosi
tersebut menyerangku saat sedang lengah sehingga aku tidak punya
kesempatan untuk melawannya. Rasanya seperti dihantam angin berkekuatan
badai, lalu tiba-tiba saja aku sudah tidak menatap ranselku. Aku berada di
“dalam” tubuh Lissa, hidup dalam dunianya secara langsung.

Dan pada saat itulah semuanya terasa canggung.

Karena Lissa sedang bersama Christian.

Dan keadaan di antara mereka mulai… memanas.


Vampire Academy 2 (Bab 8)

Vampire Academy 2 (Bab 8)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

CHRISTIAN SEDANG MENCIUM Lissa, dan wow, ciumannya benar-benar


hebat. Christian tidak main-main. Ini jenis ciuman yang tidak boleh dilihat oleh
anak-anak. Dan hei, ini bahkan ciuman yang tidak boleh dilihat oleh siapa
pun―apalagi dirasakan melalui hubungan batin.

Seperti yang sudah kusebutkan, emosi kuat yang dirasakan Lissa bisa
memicu fenomena ini―fenomena yang menyebabkan aku terseret ke dalam
kepala Lissa. Tetapi hal itu selalu, selalu, terjadi akibat emosi negatif. Emosi
tersebut akan meraihku saat Lissa merasa marah atau putus asa. Namun kali
ini? Lissa tidak sedang marah.

Lissa bahagia. Sangat, sangat bahagia.

Ya ampun. Aku harus keluar dari sini.

Mereka sedang berada di loteng kapel sekolah, yang biasa kusebut sebagai
sarang cinta mereka. Loteng itu dulu mereka gunakan untuk melarikan diri
saat keduanya sedang tidak ingin bersosialisasi dan ingin menghindar.
Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak bersosialisasi bersama-sama,
kemudian satu hal mulai mengarah pada hal lainnya. Sejak mereka terang-
terangan berkencan, aku tidak tahu bahwa mereka masih sering
menghabiskan waktu di tempat ini. Mungkin mereka ke sini untuk mengenang
masa lalu.

Dan memang, sepertinya sedang ada perayaan di tempat ini. Lilin-lilin kecil
beraroma diletakkan di sekitar tempat usang yang berdebu itu. Lilin-lilin ini
memenuhi udara dengan aroma bunga lilac. Aku mungkin akan agak khawatir
menyalakan lilin sebanyak itu di dekat kardus dan buku yang mudah terbakar,
tetapi sepertinya Christian menganggap dirinya sanggup mengendalikan api
seandainya terjadi kecelakaan.

Mereka akhirnya mengakhiri ciuman yang sangat lama itu dan sama-sama
mundur untuk saling menatap. Mereka berbaring miring di atas lantai. Ada
beberapa helai selimut yang terhampar di bawah mereka.

Wajah Christian terlihat jujur dan lembut saat menatap Lissa, matanya yang
biru pucat berbinar akibat emosi yang dirasakannya. Tatapannya berbeda dari
cara Mason menatapku. Mason memang jelas-jelas terlihat memuja, tetapi
tatapannya lebih mirip perasaan saat kau berada di dalam gereja dan jatuh
berlutut karena kekaguman dan ketakutan akan sesuatu yang kaupuja namun
tidak sepenuhnya kaupahami. Christian jelas-jelas memuja Lissa dengan
caranya sendiri, tetapi di dalam matanya terlihat kilau pemahaman. Sesuatu
yang mengatakan bahwa keduanya saling memahami dengan begitu
sempurna dan kuat sehingga mereka tidak membutuhkan kata-kata untuk
menyampaikannya.

“Apa menurutmu kita akan masuk neraka karena melakukan semua ini?” tanya
Lissa.

Christian menyentuh wajah Lissa, menyusurkan jemari pada pipi dan lehernya,
lalu turun hingga ke bagian atas kemeja sutranya. Napas Lissa menjadi berat
karena sentuhan itu, yang sangat lembut dan ringan, tetapi membangkitkan
gairah kuat di dalam dirinya.

“Karena semua ini?” Christian memainkan tepi kemeja Lissa, dan membiarkan
jemarinya hampir menyentuh apa yang ada di baliknya.

“Bukan,” Lissa tertawa. “Karena ini.” Lissa memberi isyarat ke sekeliling


loteng. “Ini gereja. Seharusnya kita tidak boleh melakukan, em, hal semacam
ini di sini.”

“Tidak juga,” Christian membantah. Dengan lembut Christian mendorong


Lissa hingga berbaring telentang, lalu membungkuk di atasnya. “Gerejanya
ada di bawah. Loteng ini hanya gudang. Tuhan tidak akan keberatan.”

“Kau tidak percaya pada Tuhan,” tuduh Lissa. Tangan Lissa menelusuri dada
Christian. Gerakannya seringan dan sepelan gerakan Christian tadi, tetapi jelas
memicu respons yang sama kuatnya pada diri Christian.

Christian mendesah senang. “Aku hanya menggodamu.”


“Kau boleh mengatakan apa pun saat ini,” tuduh Lissa. Dia meraup tepi baju
Christian dan menariknya hingga terlepas.

“Kau benar,” katanya. Perlahan-lahan Christian membuka kancing blus Lissa.


Hanya satu. Kemudian dia membungkuk lagi dan memberi Lissa ciuman yang
dalam dan kuat. Saat melepaskan diri untuk menarik napas, Christian
melanjutkan ucapannya seolah tidak terjadi apa-apa. “Katakan apa yang ingin
kaudengar dan aku akan mengatakannya.” Dia membuka kancing lainnya.

“Aku tak ingin mendengar apa pun,” kata Lissa sambil tertawa. Kancing yang
lain pun terlepas. “Kau boleh mengatakan apa saja―tapi lebih baik yang
sebenarnya.”

“Kebenaran, huh? Tak ada yang mau mendengar tentang kebenaran.


Kebenaran itu tidak pernah seksi. Tapi kau…” Kancing terakhir pun lepas, dan
Christian menyingkap kemeja Lissa. “Kau terlalu seksi untuk menjadi
kenyataan.”

Kata-kata itu diucapkan Christian dengan nada tajamnya yang khas, tetapi
matanya menampakkan pesan yang sepenuhnya berbeda. Aku menyaksikan
semua ini melalui mata Lissa, tetapi aku bisa membayangkan apa yang dilihat
Christian. Kulit Lissa yang putih dan mulus. Pinggang dan pinggul yang
ramping. Bra putih berenda. Melalui ikatan batin kami, aku bisa merasakan
bahan renda itu terasa gatal, tetapi Lissa tidak memedulikannya.

Perasaan senang dan bergairah tergambar pada wajah Christian. Dari dalam
diri Lissa aku bisa merasakan jantungnya berdebar dan napasnya semakin
cepat. Perasaan yang sama seperti perasaan Christian mengaburkan pikiran
lainnya. Christian bergeser, lalu berbaring di atas tubuh Lissa dan merapatkan
tubuh. Mulutnya mencari mulut Lissa lagi, dan saat itu pula, aku tahu
aku harus keluar dari sana.

Karena sekarang aku mengerti. Aku mengerti mengapa Lissa berdandan


cantik, dan mengapa sarang cinta mereka dihias hingga terlihat mirip ruang
pajang Yankee Candle. Inilah saatnya. Momen penting. Setelah berkencan
selama satu bulan, mereka akan berhubungan seks. Aku tahu Lissa pernah
melakukannya dengan kekasihnya yang dulu. Aku tidak tahu masa lalu
Christian, tetapi aku ragu banyak gadis yang menjadi korban pesonanya yang
kasar.

Namun, saat merasakan isi hati Lissa, aku tahu semua itu bukan masalah
untuknya. Tidak pada saat itu. Pada saat itu, yang ada hanya mereka berdua
dan perasaan terhadap satu sama lain. Dengan kehidupan yang berisi lebih
banyak masalah daripada yang seharusnya dialami orang seumurnya, saat ini
Lissa benar-benar yakin akan apa yang sedang dilakukannya. Inilah yang
diinginkannya. Yang sejak lama diinginkannya bersama Christian.

Dan aku tidak berhak menyaksikannya.

Memangnya aku sedang membodohi siapa? Aku tidak mau menyaksikannya.


Aku sama sekali tidak mendapatkan kesenangan melihat orang lain
melakukannya, dan sudah pasti aku tidak mau merasakan berhubungan seks
dengan Christian. Rasanya seperti kehilangan keperawanan secara virtual.

Tetapi astaga, Lissa tidak mempermudahku keluar dari dalam kepalanya. Dia
tidak berniat melepaskan diri dari perasaan dan emosinya, dan semakin kuat
emosinya, semakin kuat juga cengkeramannya pada diriku. Aku berusaha
menjauhkan diri dari Lissa, dan memusatkan energi untuk kembali ke dalam
diriku, berkonsentrasi sekuat mungkin.

Semakin banyak pakaian yang terlepas….

Ayolah, ayolah, aku menyuruh diriku dengan galak.

Kondomnya dikeluarkan… ih.

Kau memiliki tubuh sendiri, Rose. Kembalilah ke dalam kepalamu.

Tungkai mereka bertautan, tubuh mereka bergerak bersama….

Sial―

Aku terlepas dari Lissa dan kembali pada diriku sendiri. Aku kembali ke dalam
kamarku, tetapi aku sudah tidak berminat mengemas ransel. Seluruh duniaku
hancur berantakan. Aku merasa aneh dan dicurangi―nyaris tidak yakin
apakah aku ini Rose atau Lissa. Aku juga kembali merasa kesal pada
Christian. Sudah pasti aku tidak mau berhubungan seks dengan Lissa, tetapi
ada sesuatu yang terasa sakit di dalam diriku, perasaan frustrasi karena
sekarang aku bukan pusat dunianya lagi.

Aku meninggalkan ranselku, lalu pergi tidur sambil memeluk tubuh dan
bergelung seperti bola, berusaha menekan rasa sakit di dalam dada.

***

 
Bisa dibilang aku langsung tertidur dan akibatnya bangun lebih awal.
Biasanya, aku harus menyeret diri untuk turun dari tempat tidur dan menemui
Dimitri, tetapi hari ini aku muncul lebih awal hingga berhasil mendahuluinya
datang ke gedung olahraga. Saat menunggu, aku melihat Mason memotong
jalan ke salah satu bangunan berisi kelas-kelas.

“Whoa,” teriakku. “Sejak kapan kau bangun sepagi ini?”

“Sejak harus mengulang ujian Matematika,” jawab Mason sambil berjalan ke


arahku. Dia tersenyum nakal. “Tapi aku rela melewatkannya demi
menghabiskan waktu denganmu.”

Aku tertawa, tiba-tiba teringat pembicaraanku dengan Lissa. Ya, jelas ada hal-
hal yang lebih buruk untuk kulakukan daripada bergenit-genit dan memulai
sesuatu dengan Mason.

“Jangan. Kau bisa dapat masalah, dan kalau itu yang terjadi, aku tidak akan
punya tantangan sejati di lereng salju.”

Mason memutar bola mata, tetapi masih tersenyum. “Akulah yang tidak punya
tantangan sejati, ingat?”

“Apa kau sudah siap untuk mempertaruhkan sesuatu? Atau kau masih terlalu
takut?”

“Jaga mulutmu,” dia memperingatkan, “atau kubatalkan kado Natal untukmu.”

“Kau menyiapkan kado untukku?” Aku sama sekali tidak menduganya.

“Yap. Tapi kalau kau terus-menerus bicara tidak sopan, mungkin aku akan
memberikannya pada orang lain.”

“Misalnya pada Meredith?” godaku.

“Dia bahkan tidak satu level denganmu, dan kau tahu itu.”

“Sekalipun dengan mata lebam?” tanyaku nyengir.

“Sekalipun dengan dua mata lebam.”

Tatapan Mason barusan tidak terlihat menggoda atau pun menjurus.


Tatapannya terlihat manis. Manis, ramah, dan perhatian. Seolah dia benar-
benar peduli. Setelah semua ketegangan yang kualami akhir-akhir ini, aku
memutuskan aku suka diperhatikan. Dan dengan berkurangnya kepedulian
Lissa, aku baru menyadari senang juga ada seseorang yang ingin memberikan
perhatian lebih padaku.
“Apa rencanamu pada hari Natal?” tanyaku.

Mason mengangkat bahu. “Tak ada. Tadinya ibuku mau datang, tapi dia
membatalkannya pada saat-saat terakhir… kau tahu kan, dengan segala
kejadian kemarin.”

Ibu Mason bukan pengawal. Ibunya seorang dhampir yang memilih menjadi


ibu rumah tangga dan membesarkan anak-anaknya. Akibatnya, aku tahu
Mason tidak bisa sering-sering menemuinya. Menurutku itu sangat ironis.
Ibuku sendiri ada di sini, tetapi mengingat berbagai alasan dan tujuan, dia
seperti berada di tempat lain.

“Ikut saja denganku,” ucapku spontan. “Aku akan menghabiskannya bersama


Lissa, Christian, dan bibinya. Pasti menyenangkan.”

“Benarkah?”

“Sangat menyenangkan.”

“Bukan itu yang kutanyakan.”

Aku menyeringai. “Aku tahu. Datang saja, oke?”

Mason membungkuk bak kesatria seperti yang biasa dilakukannya padaku.


“Pasti.”

Mason pergi tepat saat Dimitri datang untuk memulai latihan kami. Mengobrol
dengan Mason sudah membuatku merasa limbung dan bahagia. Ketika
bersamanya, aku sama sekali tidak memikirkan wajahku. Tetapi saat bersama
Dimitri, aku mendadak menjadi sadar diri. Aku tidak ingin terlihat kurang
sempurna di hadapan Dimitri, jadi ketika kami berjalan ke dalam gedung
olahraga, aku berusaha memalingkan wajah supaya dia tidak bisa melihat
seluruh wajahku. Mengkhawatirkan hal itu membuat suasana hatiku menurun,
dan ketika itu terjadi, hal-hal yang tadi membuatku kesal kembali
bermunculan.

Kami kembali ke ruang latihan yang dilengkapi dengan boneka, dan Dimitri
berkata bahwa dia hanya ingin aku mengulang gerakan-gerakan yang kami
latih dua hari lalu. Senang karena dia tidak mengungkit-ungkit pertarungan
dengan ibuku, aku menjalankan tugasku dengan semangat berkobar. Aku
memperlihatkan pada boneka-boneka itu apa yang akan terjadi jika mereka
berani mencari masalah dengan Rose Hathaway. Aku sadar amarah
bertarungku tidak hanya dipicu oleh hasrat sederhana untuk melakukan yang
terbaik. Pagi ini perasaanku berada di luar kendali, berat dan tertekan setelah
pertarungan dengan ibuku serta kejadian Christian dan Lissa yang kusaksikan
semalam. Dimitri duduk santai sambil memperhatikan aku, sesekali
mengkritik teknik yang kupakai dan menyarankan taktik-taktik baru.

“Rambutmu menghalangi,” dia berkata suatu kali. “Bukan hanya menghalangi


pandangan ke sudut mata, tapi juga berisiko memberi musuh sesuatu untuk
digenggam.”

“Kalau benar-benar terlibat dalam pertarungan, aku pasti akan mengikatnya ke


atas.” Aku mengerang saat menusukkan pasak dengan cermat di antara
“tulang rusuk” boneka. Aku tidak tahu terbuat dari bahan apa, tetapi tulang-
tulang palsu ini sulit untuk ditaklukkan. Aku memikirkan ibuku lagi dan
menambahkan tenaga ekstra ketika menusuk. “Hari ini aku hanya ingin
menggerainya, itu saja.”

“Rose,” kata Dimitri dengan nada mengingatkan. Aku mengabaikannya, dan


kembali menusuk. Saat dia bicara lagi, suara Dimitri terdengar lebih tajam.
“Rose. Hentikan.”

Aku mundur menjauhi boneka, terkejut mendapati napasku terengah-engah.


Aku tidak sadar sudah berlatih sekeras itu. Punggungku menghantam dinding.
Karena tak ada tempat untuk melarikan diri, aku berpaling dari Dimitri dan
mengarahkan mata ke lantai.

“Lihat aku,” perintahnya.

“Dimitri―”

“Lihat aku.”

Apa pun yang diam-diam terjadi di antara kami, Dimitri tetap instrukturku. Aku
tidak bisa menolak perintah langsung. Perlahan-lahan, dengan ragu, aku
berbalik menghadapnya. Aku masih memiringkan kepala sedikit agar
rambutku terurai menutupi sisi wajahku. Dimitri bangkit dari kursinya, berjalan
menghampiri, lalu berdiri di hadapanku.

Aku menghindari tatapan Dimitri, tetapi melihat tangannya terulur untuk


menyapu rambutku ke belakang. Ketertarikan singkat yang terjadi di antara
kami memang dipenuhi berbagai pertanyaan dan pengendalian diri, tetapi ada
satu hal yang kutahu pasti: Dimitri dulu sangat menyukai rambutku. Mungkin
sekarang pun masih. Harus kuakui, rambutku memang bagus. Panjang, halus,
dan berwarna gelap. Dulu Dimitri selalu mencari-cari alasan untuk
menyentuhnya, dan dia menasihatiku agar tidak memotong pendek rambutku
seperti sebagian besar pengawal perempuan.

Tangan Dimitri tetap berada di sana, dan dunia seakan berhenti saat aku
menunggu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Setelah beberapa saat
yang terasa bagaikan berabad-abad, Dimitri perlahan menurunkan tangannya
lagi. Kekecewaan menyapuku, namun pada saat yang sama aku juga
menyadari sesuatu. Dimitri ragu-ragu. Dia takut untuk menyentuhku, yang
mungkin―hanya mungkin―berarti dia masih ingin melakukannya. Dimitri
terpaksa menahan diri.

Perlahan aku menoleh sehingga kami bertatapan. Sebagian besar rambutku


jatuh menutupi wajah―tetapi tidak semua. Tangan Dimitri kembali bergerak,
dan aku berharap dia akan mengulurkannya lagi. Tangannya terdiam lagi.
Harapanku memudar.

“Apa rasanya sakit?” tanyanya. Harum aftershave Dimitri, bercampur dengan


keringatnya, menyapuku. Ya Tuhan, kuharap dia menyentuhku.

“Tidak,” aku berbohong.

“Kelihatannya tidak terlalu parah,” kata Dimitri. “Lebamnya akan sembuh.”

“Aku benci dia,” kataku, terkejut saat menyadari betapa banyak racun yang
terkandung dalam tiga kata itu. Bahkan saat mendadak merasa bergairah dan
menginginkan Dimitri, aku masih tidak bisa mengubur dendam yang
kurasakan pada ibuku.

“Tidak, kau tidak membencinya,” Dimitri berkata lembut.

“Aku membencinya.”

“Kau tak punya waktu untuk membenci siapa pun,” Dimitri menasihati,
suaranya masih terdengar manis. “Setidaknya dalam profesi kita. Kau harus
berdamai dengannya.”

Lissa pernah mengatakan hal yang persis sama. Murka menambah emosiku
yang lain. Kegelapan di dalam diriku mulai membabar. “Berdamai dengannya?
Setelah dia sengaja membuat mataku lebam? Kenapa hanya aku yang bisa
melihat betapa gilanya semua itu?”

“Tentu saja dia tidak sengaja melakukannya,” kata Dimitri, suaranya tegas.


“Tak peduli betapa kau membencinya, kau harus memercayai hal itu. Dia tak
mungkin melakukannya, lagi pula aku melihat dia pada hari itu. Dia
mencemaskanmu.”

“Mungkin dia lebih khawatir kalau ada orang yang menuntutnya dengan
tuduhan kekerasan pada anak,” aku menggerutu.

“Bukankah ini momen yang tepat untuk memaafkan?”

Aku mendesah keras-keras. “Ini bukan acara spesial Natal! Ini hidupku. Dalam
dunia nyata, keajaiban dan kebaikan tidak terjadi begitu saja.”

Dimitri masih menatapku dengan tenang. “Dalam dunia nyata, kau bisa
menciptakan keajaibanmu sendiri.”

Rasa frustrasiku mendadak mencapai titik ledak, dan aku tak sanggup lagi
terus-menerus berusaha mengendalikan diri. Aku sangat lelah selalu disuruh
melakukan hal-hal yang praktis dan masuk akal setiap kali ada yang salah
dalam hidupku. Aku tahu Dimitri hanya ingin membantuku, tetapi sekarang
aku sedang tidak ingin mendengar kata-kata bijak. Aku ingin mendapat
ketenangan setelah semua masalah yang kualami. Aku tidak mau memikirkan
cara menjadi orang yang lebih baik. Aku hanya berharap Dimitri mau
memelukku dan mengatakan semuanya baik-baik saja.

“Oke, sekali ini saja, bisakah kau menghentikannya?” tuntutku, bertolak


pinggang.

“Menghentikan apa?”

“Semua omong kosong Zen yang mendalam ini. Kau tidak bicara denganku
sebagai orang sungguhan. Semua yang kaukatakan itu hanya omong kosong
mengenai pelajaran hidup yang bijaksana. Kau memang kedengaran seperti
sebuah acara spesial Natal.” Aku tahu tidak adil melampiaskan amarahku
pada Dimitri, tetapi aku sadar bahwa aku sedang berteriak padanya. “Sumpah,
kadang-kadang kau sepertinya hanya ingin mendengar dirimu bicara! Dan
aku tahu kau tidak selalu begini. Kau benar-benar normal saat sedang
mengobrol dengan Tasha. Tetapi denganku? Kau tak pernah bersungguh-
sungguh. Kau tak peduli padaku. Kau terjebak dalam peran bodohmu sebagai
mentorku.”

Dimitri menatapku, tanpa terduga dia terlihat kaget. “Aku tak peduli padamu?”

“Tidak.” Aku bersikap picik―amat sangat picik. Dan aku tahu yang
sebenarnya―bahwa dia memang peduli dan lebih dari sekadar mentor
untukku. Namun, aku tak sanggup menahan diri. Aku mendorong dadanya
dengan jari. “Aku hanya seorang murid biasa bagimu. Kau terus-menerus
membicarakan nasihat kehidupan bodohmu itu sehingga―”

Tangan yang semula kuharap akan menyentuh rambutku tiba-tiba saja terulur
dan merenggut tanganku yang menunjuk dadanya. Dimitri menekannya ke
dinding, dan aku aku terkejut melihat kobaran emosi yang terpancar pada
matanya. Emosi itu tidak bisa disebut sebagai amarah… itu semacam rasa
frustrasi.

“Jangan beritahu aku apa yang kurasakan,” geramnya.

Saat itu aku melihat setidaknya sebagian ucapanku tadi memang benar.
Dimitri hampir selalu bersikap tenang, selalu terkendali―bahkan saat sedang
bertarung. Namun, Dimitri pernah bercerita bagaimana emosinya meledak
hingga akhirnya dia memukuli ayah Moroi-nya. Sesungguhnya dia dulu mirip
denganku―selalu terdorong emosi untuk bertindak tanpa berpikir, dan
melakukan hal-hal yang dia tahu tidak boleh dilakukannya.

“Itu masalahnya, ya kan?” aku bertanya.

“Apa?”

“Kau selalu bertarung untuk mendapatkan kendali. Kau sebenarnya sama saja
denganku.”

“Tidak,” katanya, jelas-jelas terlihat marah. “Aku sudah bisa mengendalikan


diri.”

Kesadaran baru ini entah bagaimana membuatku merasa berani. “Tidak,”


kataku. “Kau belum bisa. Kau memasang tampang manis, dan sering kali kau
memang berhasil mengendalikan diri. Tapi kadang-kadang kau tidak bisa. Dan
kadang-kadang…” Aku memajukan badan sambil merendahkan suara.
“Kadang-kadang kau tak ingin melakukannya.”

“Rose…”

Aku bisa melihat napas Dimitri yang tersengal-sengal, dan aku tahu
jantungnya juga berdetak sekencang jantungku. Dan dia tidak menarik diri.
Aku tahu ini salah―sadar sepenuhnya akan semua alasan logis yang
mengharuskan kami saling menjauh. Namun, pada saat itu aku tidak peduli.
Aku tidak mau mengendalikan diri. Aku tidak mau bersikap manis.

Sebelum Dimitri menyadari apa yang sedang terjadi, aku menciumnya. Bibir
kami bertemu, dan saat merasakan dia membalas ciumanku, aku tahu aku
benar. Dimitri menekan tubuh ke arahku, memerangkapku di antara tubuhnya
dan dinding. Dia terus memegangi tanganku, tetapi tangannya yang lain
meliuk ke belakang kepalaku dan meluncur ke rambutku. Ciumannya sangat
dalam. Ciuman itu mengandung amarah, gairah, dan pelepasan….

Dimitri-lah yang mengakhirinya. Dia menarik tubuh lalu mundur beberapa


langkah, wajahnya terlihat terguncang.

“Jangan pernah lakukan itu lagi,” kata Dimitri kaku.

“Kalau begitu, jangan balas ciumanku,” jawabku.

Dimitri menatapku sangat lama. “Aku tidak memberikan ‘nasihat ala Zen’
untuk mendengar diriku bicara. Aku tidak menasihatimu karena
menganggapmu sebagai murid biasa. Aku melakukannya untuk mengajarimu
cara mengendalikan diri.”

“Kau melakukannya dengan hebat,” kataku getir.

Dimitri memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas, lalu


menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Tanpa melirikku lagi, Dimitri
keluar dari ruangan.
Vampire Academy 2 (Bab 9)

Vampire Academy 2 (Bab 9)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

SETELAH ITU AKU tidak pernah bertemu lagi dengan Dimitri. Siangnya, dia
mengirim pesan yang mengatakan bahwa menurutnya kami sebaiknya
membatalkan dua sesi latihan berikutnya karena rencana keberangkatan yang
sudah semakin dekat. Toh pelajarannya juga akan segera berakhir, begitu
katanya. Beristirahat sejenak dari latihan kedengarannya memang masuk
akal.

Itu alasan yang payah, dan aku tahu itu bukan alasan sebenarnya Dimitri
membatalkan latihan kami. Jika dia ingin menghindar, aku lebih suka dia
mengarang cerita mengenai rencananya bersama pengawal lain untuk
meningkatkan keamanan bagi kaum Moroi, atau melatih gerakan-gerakan
ninja super-rahasia.
Terlepas dari itu, aku tahu Dimitri menghindariku karena ciuman kami. Ciuman
sialan itu. Aku tidak menyesalinya, sama sekali tidak. Hanya Tuhan yang tahu
betapa besar keinginanku untuk menciumnya. Tetapi aku melakukannya
dengan alasan yang salah. Aku melakukannya karena kesal, frustrasi, dan
sekadar ingin membuktikan bahwa aku 

bisa

 melakukannya. Aku capek harus selalu bertindak benar dan cerdas. Akhir-
akhir ini aku berusaha untuk lebih mengendalikan diri, tetapi sepertinya aku
terpeleset.

Aku belum melupakan peringatan yang pernah diberikan Dimitri―bahwa


masalah pada hubungan kami bukan sekadar soal umur. Hubungan kami akan
memengaruhi pekerjaan kami. Memancingnya dengan ciuman… hmm, bisa
dibilang sama saja dengan mengipasi api masalah yang akhirnya bisa melukai
Lissa. Seharusnya aku tidak menciumnya. Kemarin aku tak sanggup menahan
diri. Hari ini aku bisa melihat perbuatanku itu dengan sudut pandang yang
lebih jelas, dan aku tak percaya apa yang sudah kulakukan.

Mason menemuiku pada pagi hari Natal, dan kami pergi untuk berkumpul
dengan yang lain. Ini memberiku kesempatan baik untuk menyingkirkan
Dimitri dari kepalaku. Aku menyukai Mason―sangat suka. Dan bukan berarti
aku akan melarikan diri dan menikahinya. Seperti yang dikatakan Lissa,
kembali berkencan akan menjadikan kehidupanku lebih sehat.

Tasha mengadakan sarapan siang Natal di ruang tamu elegan yang terdapat
di area tamu Akademi. Banyak acara dan pesta kelompok yang diadakan di
seluruh penjuru sekolah, tetapi aku langsung menyadari bahwa kehadiran
Tasha selalu menimbulkan gangguan. Orang-orang biasanya memandanginya,
atau menjauh untuk menghindarinya. Terkadang Tasha menantang mereka.
Terkadang dia diam saja. Hari ini, dia memilih menghindari bangsawan lain
dan menikmati pesta kecil akrab bersama orang-orang yang tidak
mengucilkannya.

Dimitri juga diundang, dan keteguhan hatiku agak tumbang saat melihatnya.
Dia benar-benar berdandan rapi untuk acara ini. Oke, “berdandan rapi”
mungkin berlebihan, tetapi penampilannya saat ini mendekati gambaran itu.
Biasanya dia terlihat agak urakan… seakan-akan bisa terjun ke dalam
pertarungan kapan saja. Hari ini, rambut gelapnya diikat di tengkuk, seolah dia
sudah berusaha merapikannya. Dia memakai sepatu bot kulit dan celana
jinsnya yang biasa, tetapi alih-alih kaus oblong atau kaus tangan panjang,
Dimitri memakai sweter rajut warna hitam. Sweter yang dipakainya biasa saja,
bukan buatan desainer dan tidak mahal, tetapi memberikan sentuhan lain
yang belum pernah kulihat pada dirinya. Dan ya Tuhan, sweter itu sangat
cocok untuknya.

Dimitri tidak bersikap jahat atau semacamnya kepadaku, tetapi jelas-jelas dia
juga tidak berusaha mengobrol denganku. Namun, dia berbincang dengan
Tasha, dan dengan takjub kulihat mereka mengobrol dengan santai. Aku baru
tahu bahwa seorang teman baik Dimitri adalah sepupu jauh keluarga Tasha,
dan dari sanalah mereka berdua saling mengenal.

“Lima?” tanya Dimitri kaget. Mereka sedang membicarakan anak-anak teman


mereka itu. “Aku baru dengar.”

Tasha menganggukkan kepala. “Memang sinting. Kurasa istrinya tidak punya


waktu kosong lebih dari enam bulan sebelum mengandung anak berikutnya.
Perempuan itu bertubuh pendek―jadi tubuhnya terus melebar, dan semakin
lebar.”

“Saat pertama kali aku bertemu dengannya, dia bersumpah tak ingin punya
anak.”

Mata Tasha melebar senang. “

Benar

! Aku sendiri tidak percaya. Kau harus melihat dia sekarang. Dia benar-benar
tak berdaya saat berada di dekat anak-anaknya. Aku bahkan sering tak
mengerti ucapannya. Aku berani sumpah, dia lebih sering bicara bahasa bayi
daripada bahasa Inggris.”

Dimitri menyunggingkan senyum langkanya. “Yah… anak-anak memang


sanggup menyebabkan orang-orang bertingkah seperti itu.”

“Aku tak bisa membayangkan itu terjadi pada

mu

,” kata Tasha sambil tertawa. “Sikapmu selalu tenang. Tentu saja… kurasa kau
akan mengucapkan bahasa bayi dalam bahasa Rusia, jadi takkan ada yang
menyadarinya.”

Mereka berdua tertawa dan aku memalingkan wajah, bersyukur ada Mason
yang bisa diajak bicara. Mason merupakan pengalih perhatian yang baik,
karena selain Dimitri mengabaikan aku, Lissa dan Christian juga sedang
mengobrol di dunia kecil mereka sendiri. Sepertinya seks membuat mereka
lebih saling mencintai, dan aku bertanya-tanya apa akan punya waktu
bersama Lissa dalam perjalanan ski kami nanti. Akhirnya Lissa memang
berpaling dari Christian untuk memberikan kado Natal kepadaku.

Aku membuka kotak yang diberikan Lissa lalu menatap isinya. Aku melihat
seuntai manik-manik berwarna merah tua, dan aroma mawar pun menguar.

“Apa-apa―”

Aku mengangkat manik-manik itu, dan sebuah salib emas menggantung di


ujungnya. Lissa memberiku 

chotki

Chotki

 mirip dengan rosario, hanya lebih kecil. Seukuran gelang.

“Kau sedang berusaha membuatku berpindah agama?” tanyaku masam. Lissa


tidak terlalu religius, tetapi dia percaya pada Tuhan dan mengunjungi gereja
secara teratur. Seperti halnya keluarga-keluarga Moroi yang berasal dari Rusia
dan Eropa Timur, Lissa adalah penganut Kristen Ortodoks.

Sedangkan aku? Bisa dibilang aku seorang Agnostik Ortodoks. Mungkin


Tuhan memang ada, tetapi aku tak punya waktu ataupun energi untuk
menyelidikinya lebih lanjut. Lissa menghormati pandanganku dan tidak pernah
berusaha memaksakan kepercayaannya, sehingga kado yang diberikannya
terasa lebih janggal lagi.

“Coba kaubalik salibnya,” kata Lissa, jelas geli melihat kekagetanku.

Aku melakukan apa yang diminta. Di bagian belakang salib, seekor naga yang
dikelilingi jalinan bunga terukir pada emasnya. Simbol keluarga Dragomir. Aku
mendongak menatap Lissa dengan bingung.

“Itu warisan keluarga,” kata Lissa.“Salah seorang teman baik ayahku


menyimpan barang-barang peninggalannya. 

Chotki

 itu milik pengawal nenek buyutku.”

“Liss…” aku berkata. Benda itu kini terlihat sepenuhnya berbeda. “Aku tak
bisa… kau tak bisa memberiku benda seperti ini.”
“Tapi sudah pasti aku tak bisa menyimpannya. Benda ini ditujukan bagi
seorang pengawal. Pengawalku.”

Aku melingkarkan manik-manik itu ke pergelangan tangan. Salibnya terasa


dingin pada kulitku.

“Tahukah kau,” aku menggoda Lissa, “ada kemungkinan aku sudah


dikeluarkan dari sekolah sebelum sempat menjadi pengawalmu.”

Lissa nyengir. “Hmm, kalau itu yang terjadi, kau bisa mengembalikannya
kepadaku.”

Semua orang tertawa mendengarnya. Tasha hendak mengatakan sesuatu,


tetapi berhenti saat mendongak ke pintu.

“Janine!”

Ibuku berdiri di depan pintu, tampak sekaku dan sedatar biasanya.

“Maaf terlambat,” katanya. “Ada urusan yang harus kuselesaikan.”

Urusan. Seperti biasa. Saat Natal sekalipun.

Aku merasa perutku melilit dan ada hawa panas yang naik ke pipiku saat
detail pertarungan kami kembali mengisi benakku. Ibuku belum mengatakan
apa-apa sejak peristiwa itu terjadi dua hari yang lalu, bahkan saat aku masih
berada di klinik. Tak ada permintaan maaf. Tak ada apa pun. Aku
mengertakkan gigi.

Ibuku duduk dan langsung bergabung dalam obrolan kami. Sudah lama aku
tahu bahwa ibuku hanya bisa mengobrol mengenai satu hal: urusan pengawal.
Aku ingin tahu apakah dia punya hobi. Serangan keluarga Badica masih
hangat dalam ingatan semua orang, dan hal itu mendorongnya memulai
pembicaraan mengenai pertarungan serupa yang pernah dialaminya. Yang
membuatku ngeri, Mason terpukau oleh setiap patah kata ibuku.

“Memang, memenggal kepala tidak semudah yang terlihat,” kata ibuku dengan
nada inilah-yang-sesungguhnya-terjadi. Aku sama sekali tidak pernah
menganggapnya mudah, tetapi nada suara ibuku menunjukkan keyakinannya
bahwa semua orang menganggap remeh soal itu. “Kau harus menembus
tulang belakang dan banyak tendon.”

Melalui ikatan batin, aku bisa merasakan Lissa mulai agak mual. Dia tidak
tahan dengan pembicaraan yang mengerikan seperti ini.
Mata Mason berbinar. “Apa senjata terbaik untuk melakukannya?”

Ibuku berpikir-pikir. “Kapak. Kau bisa mendapat beban tambahan di bagian


belakang.” Ibuku membuat gerakan mengayun sebagai gambaran.

“Keren,” kata Mason. “Oh, kuharap mereka mengizinkanku menggunakan


kapak.” Gagasan itu terdengar konyol dan menggelikan karena kapak
bukanlah senjata yang biasa dibawa ke mana-mana. Sejenak, bayangan
Mason berjalan-jalan sambil memikul kapak di atas bahu membuat suasana
hatiku agak membaik. Tetapi tidak lama.

Sejujurnya aku tak percaya bahwa kami membicarakan hal semacam ini saat
Natal. Kehadiran ibuku telah merusak segalanya. Untungnya, acara kumpul-
kumpul ini akhirnya bubar. Christian dan Lissa pergi untuk menyelesaikan
urusan mereka, sedangkan Dimitri dan Tasha merasa masih banyak hal yang
ingin mereka perbincangkan. Aku dan Mason sedang berjalan menuju asrama 

dhampir

 saat ibuku menghampiri kami.

Tidak seorang pun dari kami yang bicara. Bintang bertaburan di langit hitam,
tajam dan terang, kilau mereka serupa dengan es dan salju di sekeliling kami.
Aku memakai parka berwarna gading dengan bulu buatan. Parka ini menjaga
tubuhku tetap hangat, meski sama sekali tak berguna dalam melawan angin
dingin yang menerpa wajahku. Selama kami berjalan, aku terus-menerus
berharap ibuku berbalik menuju area pengawal yang lain, tetapi dia ikut masuk
ke dalam asrama bersama kami.

“Sejak tadi aku ingin bicara denganmu,” akhirnya ibuku berkata. Alarm di
dalam tubuhku berbunyi. Apa salahku kali ini?

Ibuku hanya berkata seperti itu, tetapi Mason langsung mengerti. Mason sama
sekali tidak bodoh dan sepenuhnya menyadari petunjuk-petunjuk dalam
bersosialisasi, tetapi saat ini aku mengharapkan sebaliknya. Menurutku sikap
Mason juga sangat ironis, dia ingin membantai semua Strigoi di dunia, tetapi
pada saat yang sama takut pada ibuku.

Mason menatapku dengan pandangan meminta maaf, mengangkat bahu, lalu


berkata, “Hei, aku harus, em, pergi. Sampai nanti.”

Aku menatap kepergian Mason dengan menyesal, berharap bisa berlari


menyusulnya. Mungkin ibuku akan menjegal kakiku dan menonjok mataku
yang satu lagi kalau aku berusaha melarikan diri. Sebaiknya aku menurut dan
menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Sambil beringsut gelisah, aku
menghindari tatapannya dan menunggunya bicara. Dari sudut mataku, aku
melihat beberapa orang melirik ke arah kami. Saat teringat bahwa semua
orang di dunia ini sepertinya tahu ibukulah yang menyebabkan lebam mataku,
tiba-tiba aku memutuskan tidak mau ada orang lain yang menyaksikan
ceramah atau apa pun yang akan diempaskannya kepadaku.

“Kau mau, em, naik ke kamarku?” aku bertanya.

Ibuku kelihatan kaget, hampir tidak yakin. “Tentu saja.”

Aku mengajaknya ke lantai atas, menjaga tetap berada dalam jarak aman saat
kami berjalan. Suasana di antara kami terasa tegang dan canggung. Ibuku
tidak mengatakan apa-apa saat kami tiba di kamar, tetapi kulihat dia
mengamati setiap detail dengan saksama, seolah ada Strigoi yang mungkin
sedang mengintai kami. Aku duduk di tempat tidur dan menunggu ibuku
mondar-mandir, bingung harus berbuat apa. Ibuku menyapukan jemari pada
setumpuk buku mengenai evolusi dan perilaku hewan.

“Buku-buku ini kaugunakan untuk membuat laporan?” tanyanya.

“Tidak. Aku hanya tertarik untuk membacanya, itu saja.”

Alisnya terangkat. Dia tidak tahu soal itu. Tetapi bagaimana dia bisa tahu?
Ibuku tidak tahu apa-apa soal aku. Dia melanjutkan pengamatannya, sesekali
berhenti untuk mempelajari hal-hal kecil tentang aku yang sepertinya
membuatnya kaget. Sebuah foto yang memperlihatkan aku dan Lissa
berdandan seperti peri saat Halloween. Satu kantong SweetTart. Rasanya
seolah ibuku baru pertama kali bertemu denganku.

Tiba-tiba, ibuku berbalik dan mengulurkan tangan ke arahku. “Ini.”

Dengan terkejut aku meletakkan telapak di bawah tangannya. Sebuah benda


kecil dan dingin terjatuh ke tanganku. Benda itu liontin berukuran
kecil―diameternya tidak lebih besar daripada koin. Alas peraknya menahan
cakram datar berisi lingkaran-lingkaran kaca berwarna. Dengan kening
berkerut, aku menyapukan jempol pada permukaannya. Rasanya aneh, tetapi
lingkaran-lingkaran itu hampir tampak seperti mata. Lingkaran terdalam
berukuran kecil, menyerupai pupil. Warnanya biru gelap hampir seperti hitam.
Bagian luarnya dikelilingi lingkaran yang lebih besar warna biru pucat, lalu
dikelilingi lagi oleh lingkaran putih. Sebuah lingkaran yang sangat, sangat tipis
berwarna biru gelap mengitari bagian luarnya.
“Trims,” ucapku. Aku tidak mengharapkan kado apa pun dari ibuku. Hadiah ini
sangat aneh―untuk apa dia memberiku mata?―tetapi tetap saja ini hadiah.
“Aku… aku tidak menyiapkan kado untukmu.”

Ibuku mengangguk, wajahnya kembali terlihat kosong dan tak peduli. “Tak
apa-apa. Aku tak membutuhkan apa pun.”

Ibuku membalikkan badan lalu mulai berjalan mengitari ruangan. Dia tidak
punya banyak tempat untuk melakukannya, tetapi tubuh pendeknya membuat
langkahnya lebih kecil. Setiap kali dia melewati jendela di atas tempat tidurku,
rambutnya yang berwarna kemerahan akan terkena cahaya dan tampak
menyala. Aku menatapnya dengan penasaran dan baru sadar bahwa ibuku
sama gugupnya denganku.

Ibuku berhenti mondar-mandir dan melirik ke arahku. “Bagaimana matamu?”

“Sudah mendingan.”

“Bagus.” Ibuku membuka mulut, dan aku punya firasat dia hendak minta maaf.
Tetapi dia tidak melakukannya.

Saat dia mulai mondar-mandir lagi, aku memutuskan tidak tahan diam saja
seperti ini. Aku mulai menyimpan hadiah-hadiah yang kudapatkan. Aku
mendapatkan cukup banyak barang pagi ini. Salah satunya adalah sehelai
gaun sutra dari Tasha, warnanya merah dan dihiasi bordiran bunga. Ibuku
melihatku menggantungnya ke dalam lemari kecil yang ada di kamarku.

“Tasha baik sekali.”

“Yeah,” aku sependapat. “Aku tak menyangka dia akan memberiku sesuatu.
Aku benar-benar menyukainya.”

“Aku juga.”

Aku berbalik dari lemari dengan terkejut dan menatap ibuku. Keterkejutannya
sama dengan yang kurasakan. Seandainya aku tidak tahu bagaimana keadaan
sebenarnya, mungkin aku akan berpendapat bahwa kami baru saja sepakat
mengenai sesuatu. Mungkin keajaiban Natal memang ada.

“Garda Belikov akan menjadi pasangan yang tepat untuknya.”

“Aku―” Aku mengerjap, tidak sepenuhnya memahami ucapan ibuku. “Dimitri?”

“Garda Belikov,” ibuku meralat dengan tegas, masih tidak setuju dengan
caraku yang santai dalam memanggil nama Dimitri.
“Pasangan… pasangan seperti apa?” tanyaku.

Ibuku mengangkat alis. “Kau belum dengar? Tasha meminta Garda Belikov
menjadi pengawalnya―karena dia belum punya pengawal.”

Aku merasa seperti dipukul lagi. “Tapi dia… ditugaskan di sini. Dan untuk
Lissa.”

“Semua itu bisa diatur. Dan terlepas dari reputasi Ozera… dia tetap seorang
bangsawan. Jika terus memaksa, dia bisa mendapatkan keinginannya.”

Aku menatap kosong. “Yah, kurasa mereka 

memang

 berteman dan semacamnya.”

“Lebih dari itu―atau setidaknya mungkin akan lebih dari itu.”

Bum!

 Pukulan lagi.

Apa

?”

“Hmm? Oh. Tasha… 

tertarik

 padanya.” Dari nada suara ibuku, jelas dia sama sekali tidak tertarik pada
urusan percintaan. “Tasha ingin memiliki anak-anak 

dhampir

, jadi mungkin saja mereka akan membuat, em, kesepakatan jika Garda
Belikov menjadi pengawalnya.”

Ya Tuhan.

Waktu membeku.

Jantungku berhenti berdetak.

Aku sadar ibuku sedang menunggu tanggapanku. Dia bersandar pada meja
sambil mengawasi aku. Ibuku mungkin sanggup memburu Strigoi, tetapi dia
jelas tidak menyadari perasaanku.
“Apa… apa dia akan melakukannya? Menjadi pengawal Tasha?” tanyaku
lemah.

Ibuku mengangkat bahu. “Kurasa Garda Belikov belum menyetujuinya, tapi


tentu saja dia akan melakukannya. Itu kesempatan hebat.”

“Tentu saja,” ulangku. Memangnya kenapa Dimitri mau menolak kesempatan


menjadi pengawal untuk temannya sendiri 

dan

 memiliki anak bersamanya?

Kurasa setelah itu ibuku mengatakan hal lain, tetapi aku tidak mendengarnya.
Aku tidak mendengar apa-apa. Aku terus berpikir mengenai Dimitri yang akan
meninggalkan Akademi, meninggalkan 

aku

. Aku memikirkan bagaimana Dimitri dan Tasha terlihat sangat akrab.


Kemudian, setelah mengingat semua itu, imajinasiku mulai mengembangkan
skenario masa depan. Tasha dan Dimitri bersama. Saling menyentuh.
Berciuman. Tanpa busana. Hal-hal lainnya….

Aku memejamkan mata selama setengah detik, lalu membukanya lagi.

“Aku benar-benar lelah.”

Ibuku berhenti di tengah ucapannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang
sedang dibicarakannya sebelum aku menyelanya.

“Aku benar-benar lelah,” ulangku. Aku bisa mendengar kekosongan dalam


suaraku. Kosong. Tak ada emosi. “Terima kasih untuk mata… em, kadonya,
tapi kalau kau tak keberatan….”

Ibuku menatapku dengan kaget, ekspresi wajahnya terlihat tulus dan bingung.
Kemudian, dengan begitu saja, dinding profesionalismenya yang dingin
kembali ke tempat semula. Sebelum saat itu, aku tidak sadar bahwa ibuku
sudah menyingkirkan dinding itu jauh-jauh. Namun, dia memang
melakukannya. Untuk sesaat ibuku sudah membiarkan dirinya menjadi rapuh
saat bersamaku. Kerapuhan itu sekarang lenyap.

“Tentu saja,” ibuku berkata kaku. “Aku takkan mengganggumu.”

Aku ingin memberitahunya bahwa bukan itu masalahnya. Aku ingin


memberitahunya bahwa aku bukan mengusirnya karena alasan pribadi. Dan
aku ingin memberitahunya bahwa aku berharap dia ibu yang penyayang dan
pengertian seperti yang sering kaudengar dalam cerita, ibu yang bisa
kujadikan tempat mengadu. Bahkan mungkin ibu yang bisa kumintai nasihat
mengenai kehidupan cintaku yang bermasalah.

Ya Tuhan. Sebenarnya aku berharap bisa menceritakan masalah kehidupan


cintaku pada 

siapa pun

. Terutama saat ini.

Tetapi aku begitu terperangkap dalam drama pribadiku sehingga tak bisa
mengucapkan semua itu. Aku merasa seperti ada orang yang merenggut
jantungku dan melemparkannya ke sisi lain ruangan. Aku merasakan nyeri
yang membara dan menyakitkan di dada, namun tidak tahu cara
menyembuhkannya. Menerima kenyataan bahwa aku tak bisa mendapatkan
Dimitri sudah cukup sulit kuhadapi. Namun, menyadari bahwa ada orang lain
yang 

bisa

 memilikinya benar-benar sulit.

Aku tidak mengatakan apa-apa lagi karena kemampuan bicaraku sudah


lenyap. Mata ibuku berkilat marah, dan bibirnya terkatup rapat hingga
membentuk ekspresi tidak senang yang sering terlihat di wajahnya. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, ibuku berbalik pergi, membanting pintu.
Sebenarnya, aku pun mungkin sudah membanting pintu. Kurasa kami
memang berbagi gen yang sama.

Namun, bisa dibilang aku melupakan ibuku saat itu juga. Aku tetap duduk dan
berpikir. Berpikir dan berandai-andai.

Aku menghabiskan sisa hari tanpa melakukan apa-apa. Aku melewatkan


makan malam. Aku menangis. Sisanya, aku hanya duduk di tempat tidur
sambil berpikir dan semakin tertekan. Aku juga menyadari bahwa satu-
satunya yang lebih buruk dari membayangkan Dimitri dan Tasha bersama
adalah mengingat saat-saat 

aku

 dan Dimitri bersama. Dimitri takkan pernah menyentuhku seperti itu lagi,
takkan pernah menciumku seperti itu lagi….
Ini Natal terburuk.

Vampire Academy 2 (Bab 10)

Vampire Academy 2 (Bab 10)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

PERJALANAN SKI INI bisa dibilang tiba pada saat yang benar-benar tepat.
Rasanya mustahil menyingkirkan Dimitri dan Tasha dari dalam kepalaku,
tetapi setidaknya berkemas dan menyiapkan segala keperluan memastikan
aku tidak mencurahkan seratus persen kekuatan otakku pada Dimitri.
Tepatnya sembilan puluh lima persen.
Ada hal lain yang mengalihkan perhatianku. Akademi mungkin―sudah
sewajarnya―berlebihan dalam melindungi kami, tetapi kadang-kadang itu bisa
diartikan sebagai hal-hal yang cukup keren. Contohnya, Akademi memiliki
akses ke beberapa pesawat pribadi. Ini artinya tidak ada Strigoi yang bisa
menyerang kami di bandara, 

dan

 kami bisa bepergian dengan gaya. Pesawat pribadinya lebih kecil daripada
pesawat komersil, tetapi tempat duduknya sangat nyaman dan ruang untuk
kakinya lapang. Kursinya bisa dimundurkan cukup jauh, sehingga kau bisa
berbaring untuk tidur. Dalam penerbangan jarak jauh, tempat duduknya
dilengkapi konsol-konsol kecil yang memberi kami pilihan untuk menonton.
Kadang-kadang yang disajikan bahkan makanan mewah. Namun, aku berani
bertaruh penerbangan kali ini terlalu singkat untuk mendapatkan film atau
makanan bermutu.

Kami berangkat tanggal 26 malam. Saat naik ke pesawat, aku memandang


berkeliling mencari Lissa. Aku ingin bicara dengannya. Kami belum bicara lagi
setelah acara sarapan siang pada hari Natal. Aku tidak terkejut mendapatinya
duduk bersama Christian, dan kelihatannya mereka tidak ingin diganggu. Aku
tak bisa mendengar pembicaraan mereka, tetapi lengan Christian merangkul
tubuh Lissa dan wajahnya terlihat santai dan menggoda, ekspresi yang hanya
mampu dibangkitkan oleh Lissa. Aku masih sepenuhnya yakin bahwa
Christian tidak bisa melindungi Lissa sebaik aku, tetapi Christian jelas
membuatnya bahagia. Aku memasang senyum dan mengangguk saat
melewati mereka di lorong, dan menghampiri Mason yang sedang melambai
padaku. Di tengah jalan aku juga melewati Dimitri yang duduk bersama Tasha.
Aku terang-terangan mengabaikan mereka.

“Hei,” kataku sambil menyelinap duduk di samping Mason.

Mason tersenyum. “Hei. Kau sudah siap untuk tantangan skinya?”

“Tidak pernah sesiap ini.”

“Jangan takut,” katanya. “Aku akan sedikit mengalah untumu.”

Aku mendengus lalu menyandarkan kepala ke kursi. “Kau kebanyakan


berkhayal.”

“Lelaki yang waras itu membosankan.”


Secara mengejutkan tangan Mason menyelinap ke atas tanganku. Kulitnya
terasa hangat, dan kulitku yang disentuhnya tergelitik. Sentuhannya
membuatku terpana. Aku meyakinkan diri bahwa Dimitri adalah cowok
terakhir yang akan kutanggapi.

Saatnya melanjutkan hidup

, pikirku. 

Dimitri jelas sudah melakukannya. Seharusnya kau sudah melakukannya sejak


lama.

Aku menautkan jemari dengan jemari Mason, membuatnya kaget. “Ini akan
menyenangkan.”

***

Dan memang menyenangkan.

Aku terus mengingatkan diri bahwa kami sekarang berada di tempat ini
karena sebuah tragedi, bahwa di luar sana ada Strigoi dan manusia yang
mungkin akan menyerang lagi. Namun, sepertinya yang lain tidak mengingat
hal itu, dan harus kuakui aku sendiri kesulitan melakukannya.

Resor skinya sangat indah. Tempat itu dibangun agar terlihat menyerupai
kabin kayu, tetapi tak ada kabin biasa yang sanggup menampung ratusan
orang sekaligus memiliki akomodasi semewah ini. Bangunan kayu yang
berkilau keemasan setinggi tiga lantai itu terletak di tengah pohon-pohon
pinus yang menjulang. Semua jendelanya tinggi dan melengkung dengan
anggun, kacanya digelapkan demi kenyamanan para Moroi. Lentera-lentera
kristal―menggunakan listrik tetapi dibentuk hingga menyerupai
obor―bergantung di sekeliling pintu masuk, membuat seisi bangunan
berkilau, nyaris seperti dihiasi permata.

Pegunungan―yang pada malam hari hanya terlihat samar oleh penglihatanku


yang lebih peka―mengelilingi kami, dan aku berani bertaruh pemandangannya
pasti lebih mengagumkan pada siang hari. Salah satu sisi lahan mengarah ke
area ski, lengkap dengan bukit-bukit curam, tanjakan, lift pengangkut, dan tali-
tali penarik. Di sisi lain penginapan terdapat arena seluncur es, yang
membuatku girang karena aku tidak ikut bermain seluncur es saat berada di
kabin dekat hutan kampus. Di dekatnya, ada bukit-bukit mulus yang disiapkan
untuk bermain kereta luncur.

Dan itu baru yang ada di luar saja.

Di dalam, ada berbagai macam fasilitas yang diatur untuk memenuhi


kebutuhan Moroi. Para donor selalu siaga, siap melayani dua puluh empat jam
sehari. Lereng-lereng salju beroperasi dengan jadwal nokturnal. Seluruh
tempat ini dikelilingi oleh pertahanan sihir dan para pengawal. Segala macam
hal yang diinginkan oleh vampir hidup.

Lobi utamanya memiliki langit-langit yang mirip katedral dan sebuah lampu
hias raksasa bergantung di sana. Lantainya terbuat dari marmer, dan
resepsionis ada setiap saat untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Bagian
lain penginapan―selasar dan ruang duduk―ditata dengan pola warna merah,
hitam, dan emas. Warna merah gelap mendominasi warna lainnya, dan aku
bertanya-tanya apakah kemiripannya dengan warna darah hanya kebetulan
belaka. Cermin dan karya seni menghiasi dinding, dan meja hias ditempatkan
di sana-sini. Di atasnya terdapat vas-vas berisi bunga anggrek hijau pucat
berbintik ungu yang memenuhi udara dengan aroma tajam.

Kamar yang kutempati bersama Lissa lebih besar daripada kamar asrama
kami dijadikan satu, dan ditata dengan warna-warna mewah seperti ruangan
lain di dalam penginapan. Karpetnya sangat mewah dan empuk hingga aku
langsung membuka sepatu di depan pintu dan berjalan bertelanjang kaki,
menikmati kemewahan yang kurasakan saat kakiku menginjak bahan yang
lembut itu. Tempat tidur kami 

king-size

, dilapisi selimut bulu angsa dengan begitu banyak bantal di atasnya sehingga
aku berani sumpah orang bisa tersesat di antara bantal-bantal itu dan tak
pernah ditemukan lagi. Pintu prancis membuka ke balkon luas, dan mengingat
kami berada di lantai paling atas, pemandangannya pasti sangat keren meski
di luar sana udaranya membeku. Sepertinya bak mandi air panas untuk dua
orang di ujung balkon sangat sepadan dengan udara yang dingin.

Tenggelam dalam kemewahan seperti ini, aku mencapai titik kewalahan yang
membuat semua akomodasi seakan mulai melayang bersama-sama. Bak
mandi marmer. Televisi layar 

plasma
. Keranjang berisi cokelat dan makanan ringan lain. Saat akhirnya kami
memutuskan untuk bermain ski, bisa dibilang aku harus menyeret tubuh ke
luar kamar. Aku bisa saja menghabiskan sisa liburan ini dengan bermalas-
malasan di dalam kamar dan merasa sepenuhnya bahagia.

Tetapi akhirnya kami berjalan-jalan di luar, dan setelah berhasil menyingkirkan


Dimitri dan ibuku dari pikiranku, aku mulai bisa menikmatinya. Ukuran
penginapan yang sangat luas membuat kemungkinan bertemu dengan
mereka cukup kecil.

Untuk kali pertama dalam berminggu-minggu, akhirnya aku bisa memusatkan


pikiran sepenuhnya pada Mason dan menyadari betapa menyenangkannya
dia. Aku juga memiliki lebih banyak waktu untuk bercengkerama dengan
Lissa. Semua itu membuat suasana hatiku semakin baik.

Dengan waktu yang kuhabiskan bersama Lissa, Christian, dan Mason, bisa
dibilang kami berkencan ganda. Kami berempat menghabiskan hari pertama
dengan bermain ski, meskipun kedua Moroi itu agak kesulitan untuk
mengimbangi kami. Mengingat apa yang harus aku dan Mason lalui di kelas,
kami tidak takut mencoba aksi-aksi yang menantang. Sifat kompetitif
membuat kami lebih bersemangat untuk berusana sekeras mungkin
mengalahkan satu sama lain.

“Kalian berdua benar-benar cari mati,” suatu kali Christian berseru. Di luar
sudah gelap, dan tiang-tiang lampu tinggi menyinari wajahnya yang terlihat
geli.

Christian dan Lissa sejak tadi menunggu di dasar bukit tanjakan,


mengamatiku dan Mason meluncur turun. Kami berdua bergerak dalam
kecepatan yang tidak masuk akal. Bagian diriku yang selama ini berusaha
mempelajari pengendalian diri dan sifat bijaksana sadar ini berbahaya, tetapi
bagian diriku yang lain ingin melakukan kecerobohan ini. Sifat kelam
pemberontak belum sepenuhnya lepas diri dariku.

Mason nyengir saat kami berhenti mendadak sehingga mencipratkan salju.


“Tidak, ini baru pemanasan. Maksudku, Rose saja bisa mengimbangiku. Ini
permainan anak-anak.”

Lissa menggelengkan kepala. “Apa kalian tidak kelewatan?”

Aku dan Mason berpandangan. “Tidak.”

Lissa menggeleng. “Kami mau masuk saja. Jangan saling bunuh, ya?”
Lissa dan Christian pergi meninggalkan kami, saling merangkul. Aku
mengawasi kepergian mereka, lalu berbalik menghadap Mason. “Aku masih
ingin bermain ski sebentar lagi. Bagaimana denganmu?”

“Tentu saja.”

Kami naik lift sampai ke puncak bukit. Saat kami hendak turun, Mason
menuding.

“Oke, bagaimana kalau begini? Kita ke tanjakan itu, melompat di atas


punggung bukit, melewati kelokan itu, menghindari pohon-pohon, lalu
mendarat di sana.”

Aku mengikuti arah jarinya yang menunjuk sebuah jalan berliku di bawah
salah satu lereng terbesar. Aku mengernyit.

“Itu benar-benar sinting, Mase.”

“Ah,” kata Mason penuh kemenangan. “Akhirnya dia menyerah juga.”

Aku menggeram. “Dia tidak menyerah.” Setelah mengamati rute gila yang
ditunjuk Mason lagi, aku menyerah. “Baiklah. Ayo kita lakukan.”

Mason memberi isyarat. “Kau duluan.”

Aku menghela napas lalu melompat turun. Sepatu skiku meluncur mulus di
atas salju, dan angin yang dingin menusuk menampar wajahku. Aku
melakukan lompatan pertama dengan lihai dan tepat, tetapi saat bagian
selanjutnya mendekat dengan cepat, aku baru sadar betapa berbahaya semua
ini. Dalam waktu yang sangat singkat, aku harus membuat keputusan. Jika
aku tidak melakukannya, Mason takkan pernah berhenti meledekku―dan aku 

benar-benar

 ingin pamer di hadapannya. Kalau berhasil, aku bisa mematenkan


kekerenanku. Tetapi jika aku mencoba dan gagal… leherku bisa patah.

Di salah satu sudut kepalaku, suara yang secara mencurigakan terdengar


seperti Dimitri mulai berbicara tentang pilihan bijak, dan belajar untuk
mengetahui kapan saat yang tepat untuk menahan diri.

Kuputuskan untuk mengabaikan suara itu dan melanjutkan aksiku.

Lintasan ini memang sesulit yang kuduga, tetapi aku berhasil melakukannya
tanpa cela, dari satu gerakan sinting ke gerakan sinting lainnya. Salju
beterbangan di sekelilingku setiap kali aku membuat putaran tajam dan
berbahaya. Saat tiba di dasar dengan selamat, aku mendongak dan melihat
Mason membuat isyarat-isyarat liar. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya
ataupun mendengar kata-kata yang diucapkannya, tetapi bisa kubayangkan
dia menyoraki aku. Aku balas melambai dan menunggunya melakukan hal
serupa.

Tetapi dia gagal. Saat baru separuh jalan, Mason tidak sanggup
menyelesaikan satu lompatan. Sepatu skinya tersangkut, dan kakinya
tertekuk. Dia pun tersungkur ke bawah.

Aku menghampirinya pada saat yang kira-kira bersamaan dengan beberapa


staf resor. Semua orang lega melihat Mason tidak mengalami patah leher
atau anggota tubuh lainnya. Tetapi pergelangan kakinya terkilir, yang mungkin
akan membatasi kegiatan skinya selama sisa perjalanan kami ini.

Salah satu instruktur yang bertugas mengawasi lereng berlari mendekat,


wajahnya tampak murka.

“Apa yang ada dalam pikiran kalian, Anak-Anak?” seru wanita itu. Dia berbalik
padaku. “Aku tak percaya saat melihatmu melakukan aksi bodoh itu!” Lalu
tatapan tajamnya beralih ke Mason. “Kemudian 

kau

 malah ikut-ikutan menirunya!”

Aku ingin mendebatnya dan mengatakan semua ini ide Mason, tetapi saat ini
tak ada gunanya menyalahkan orang lain. Aku hanya lega Mason baik-baik
saja. Tetapi saat kami berjalan ke dalam resor, rasa bersalah mulai
menggerogotiku. Aku 

sudah

bertindak tak bertanggung jawab. Bagaimana kalau Mason terluka parah?


Gambaran-gambaran mengerikan menari-nari dalam pikiranku. Mason dengan
kaki yang patah… leher yang patah….

Apa yang ada dalam pikiranku tadi? Tak ada yang memaksaku melakukannya.
Mason hanya memberi ide… tetapi aku tidak menentangnya. Tuhan tahu
bahwa aku bisa saja menolaknya. Aku mungkin harus menghadapi beberapa
ejekan, tetapi Mason sangat tergila-gila padaku hingga bujukan feminin
mungkin akan sanggup menghentikan kegilaan ini. Aku terperangkap dalam
kesenangan dan risikonya―sama seperti saat aku mencium Dimitri―tidak
memikirkan konsekuensinya dengan baik karena diam-diam, di dalam diriku,
gairah impulsif untuk menjadi liar masih tetap mengintai. Mason juga memiliki
gairah serupa, dan dia menantangku.

Suara Dimitri yang ada di benakku mencelaku lagi.

Setelah Mason kembali ke penginapan dengan selamat dan pergelangan


kakinya dikompres dengan es, aku pergi ke luar untuk menyimpan peralatan
ski kami di gudang. Saat kembali ke dalam, aku melewati pintu yang tidak
biasa kulewati. Pintu masuk ini terletak di belakang sebuah beranda besar dan
terbuka, dengan birai kayu berukir. Berandanya dibangun menempel pada sisi
gunung, pemandangan gunung dan lembah di sekeliling kami terlihat sangat
menakjubkan dari sana―kalau kau bersedia berdiri cukup lama dalam suhu
membeku untuk mengaguminya. Sebagian besar orang tidak mau
melakukannya.

Aku menaiki tangga ke beranda, mengentakkan-entakkan salju dari sepatu


botku. Sebuah aroma tajam, terasa pedas sekaligus manis, menggantung di
udara. Ada sesuatu yang terasa akrab dengan aroma itu, tetapi sebelum aku
sempat mengenalinya, sebuah suara tiba-tiba bicara padaku dari balik
bayangan.

“Hei, 

Dhampir

 Kecil.”

Aku terkejut dan baru sadar ada orang yang sedang berdiri di beranda.
Seorang cowok―Moroi―bersandar pada dinding tidak jauh dari pintu. Cowok
itu mengangkat rokoknya ke mulut, mengisapnya dalam-dalam, lalu
menjatuhkannya ke lantai. Dia menginjak puntung rokok itu lalu
menyunggingkan senyum padaku. Aku baru sadar aroma itulah yang tadi
kucium. Rokok cengkih.

Dengan waspada aku berhenti lalu menyilangkan lengan di dada sambil


mengamati cowok itu. Dia agak lebih pendek dari Dimitri tetapi tidak sekurus
pria Moroi pada umumnya. Mantel panjang berwarna kelabu tua―mungkin
terbuat dari bahan campuran wol dan kasmir yang sangat mahal―menempel
pada tubuhnya dengan sempurna, dan sepatu kulit yang dipakainya juga
menunjukkan jumlah uang yang tidak sedikit. Rambut cowok itu berwarna
cokelat dan sepertinya sengaja ditata untuk menampilkan kesan agak acak-
acakan. Matanya entah berwarna biru entah hijau―tidak bisa kupastikan
karena cahaya di tempat itu suram. Kurasa wajahnya cukup tampan, dan
kuperkirakan usianya hanya beberapa tahun di atasku. Cowok ini kelihatannya
baru saja pulang dari pesta makan malam.

“Yeah?” jawabku.

Kedua matanya menyapu seluruh tubuhku. Aku sudah terbiasa mendapatkan


perhatian dari cowok Moroi. Hanya saja biasanya tidak terang-terangan
seperti ini. Dan biasanya aku tidak terbalut pakaian musim dingin dan bermata
lebam sebelah.

Cowok itu mengangkat bahu. “Hanya menyapa, itu saja.”

Aku menunggu sebentar, tetapi yang dilakukannya hanya memasukkan


tangan ke dalam saku mantel. Sambil mengangkat bahu juga, aku maju
beberapa langkah.

“Wangimu enak, kau tahu itu?” tiba-tiba dia berkata.

Aku berhenti berjalan lagi lalu menatapnya dengan bingung, dan sikapku itu
hanya membuat senyumnya semakin lebar.

“Aku… em, apa?”

“Wangimu enak,” ulangnya.

“Kau bercanda! Seharian ini aku berkeringat. Tubuhku bisa dibilang


menjijikkan.” Aku ingin menjauh, tetapi ada sesuatu yang menakutkan namun
menarik dalam diri cowok ini. Seperti rongsokan kereta. Aku bukan tertarik
padanya, aku hanya tiba-tiba merasa tertarik untuk mengobrol dengannya.

“Keringat bukan hal jelek,” katanya sambil menyandarkan kepala ke dinding


dan menatap ke atas dengan serius. “Beberapa hal terbaik dalam hidup ini
terjadi sambil berkeringat. Yeah, kalau kau terlalu banyak berkeringat dan
membiarkannya lama-lama sampai bau, keringat memang jadi menjijikkan.
Tetapi pada seorang perempuan cantik? Memabukkan. Kalau bisa mencium
berbagai hal seperti yang dilakukan vampir, kau pasti mengerti apa yang
kumaksud. Sebagian besar orang merusaknya dengan menyiram tubuh
mereka dengan parfum. Parfum boleh-boleh saja… apalagi kalau cocok
dengan aroma alami tubuhmu. Tetapi kau hanya butuh sedikit saja.
Campurkan dua puluh persen parfum dengan delapan puluh persen wangi
alamimu… mmm.” Dia memiringkan kepala lalu menatapku. “Seksi setengah
mati.”

Tiba-tiba aku teringat pada Dimitri dan harum 


aftershave

-nya. Yeah. 

Itu

 juga seksi setengah mati, tetapi sudah pasti aku takkan memberitahu cowok
ini.

“Terima kasih untuk pelajaran kebersihannya,” kataku. “Tapi aku tak punya
parfum 

dan

 aku mau membasuh semua keringat seksi ini dari tubuhku. Maaf.”

Cowok itu mengeluarkan sebungkus rokok lalu menawarkannya padaku. Dia


hanya maju satu langkah, tetapi sudah cukup sehingga aku bisa mencium bau
lain darinya. Alkohol. Aku menolak tawaran rokoknya, dan dia mengeluarkan
satu batang untuk dirinya sendiri.

“Kebiasaan buruk,” ucapku, memperhatikannya menyalakan rokok.

“Salah satu dari banyak kebiasaan burukku,” jawabnya. Dia mengisapnya


dalam-dalam. “Kau ada di sini bersama rombongan St. Vlad?”

“Yup.”

“Jadi kalau sudah dewasa, kau akan menjadi pengawal.”

“Sudah pasti.”

Cowok itu mengembuskan asap, dan aku melihat asap itu melayang ke dalam
kegelapan malam. Terlepas dari penciuman vampir yang super atau tidak,
cukup mengejutkan dia bisa mencium aroma lain di tengah aroma cengkih ini.

“Berapa lama lagi kau akan dewasa?” tanyanya. “Mungkin saja aku butuh
pengawal.”

“Aku lulus pada musim semi. Tapi aku sudah dilamar. Maaf.”

Rasa terkejut terpancar di matanya. “Oh ya? Siapa pria itu?”

Perempuan 

itu namanya Vasilisa Dragomir.”


“Ah.” Dia tersenyum lebar. “Begitu melihatmu, aku tahu kau ini biang onar. Kau
anak perempuan Janine Hathaway.”

“Namaku Rose Hathaway,” aku meralat ucapannya, tidak sudi dikenal karena
nama ibuku.

“Senang berkenalan denganmu, Rose Hathaway.” Dia mengulurkan tangannya


yang bersarung padaku, yang kuterima dengan ragu. “Adrian Ivashkov.”

“Dan menurutmu 

aku

 yang biang onar,” gumamku. Keluarga Ivashkov adalah salah satu keluarga
bangsawan yang paling kaya dan berkuasa. Mereka jenis orang yang berpikir
bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, dan melakukan semua itu
dengan cara mereka. Tidak heran cowok ini sangat arogan.

Adrian tertawa. Tawanya menyenangkan, renyah, dan hampir bermelodi.


Tawanya membuatku teringat pada karamel hangat yang menetes-netes dari
sendok. “Bagus, ya? Reputasi kita sama-sama lebih dulu dikenal daripada diri
kita sendiri.”

Aku menggelengkan kepala. “Kau tak tahu apa-apa tentangku. Dan aku hanya
tahu soal 

keluargamu

. Aku tak tahu apa-apa soal dirimu.”

“Kau ingin tahu?” dia bertanya dengan nada mengejek.

“Maaf. Aku tidak tertarik pada cowok yang lebih tua.”

“Aku dua puluh satu tahun. Tidak beda jauh denganmu.”

“Aku punya pacar.” Itu kebohongan kecil. Mason jelas belum menjadi pacarku,
tetapi aku berharap Adrian tak akan menggangguku lagi jika dia mengira aku
sudah punya pacar.

“Lucu juga kau tidak langsung mengakuinya,” kata Adrian heran. “Bukan dia
yang membuat matamu lebam, kan?”

Aku merasa tersipu, bahkan di tengah udara dingin ini. Sejak tadi aku berharap
dia tidak melihat mataku yang lebam, dan bisa dibilang itu harapan bodoh.
Dengan mata vampirnya, dia mungkin langsung menyadarinya sejak aku
melangkah ke beranda ini.
“Kalau dia yang melakukannya, dia pasti sudah mati. Aku mendapatkan lebam
ini saat… latihan. Maksudku, aku kan sedang dilatih untuk menjadi pengawal.
Semua kelas kami memang keras.”

“Itu sangat seksi,” katanya. Adrian menjatuhkan rokok kedua ke lantai lalu
mematikannya dengan menginjaknya.

“Memukul mataku?”

“Bukan. Tentu saja bukan itu. Maksudku, gagasan melakukan sesuatu yang
kasar denganmu itu yang seksi. Aku penggemar olahraga keren.”

“Aku yakin begitu,” kataku datar. Adrian arogan dan sok tahu, tetapi aku masih
tidak sanggup memaksa diri untuk pergi.

Bunyi langkah kaki di belakangku membuatku segera membalikkan badan.


Mia muncul di jalan setapak dan menaiki tangga. Saat melihat kami, dia
langsung berhenti.

“Hei, Mia.”

Mia melirik kami berdua.

“Cowok 

lain

 lagi?” tanyanya. Jika mendengar nada suaranya, kau pasti akan menduga aku
memiliki sekelompok cowok simpanan.

Adrian menatapku dengan pandangan bertanya sekaligus geli. Aku


mengertakkan gigi dan memutuskan tidak akan membuatnya senang dengan
menanggapi. Aku memilih sikap sopan yang tidak biasanya kumiliki.

“Mia, kenalkan ini Adrian Ivashkov.”

Adrian memasang pesona yang sama dengan yang tadi digunakannya


padaku. Dia menjabat tangan Mia. “Aku selalu senang berkenalan dengan
teman Rose, apalagi yang cantik.” Adrian berbicara seolah kami sudah saling
kenal sejak kanak-kanak.

“Kami tidak berteman,” kataku. Sudah cukup sikap sopannya.

“Rose hanya menghabiskan waktu dengan cowok dan psikopat,” kata Mia.
Nada suaranya terdengar penuh kebencian seperti yang biasa ditunjukkannya
kepadaku, tetapi ada sesuatu di wajahnya yang memperlihatkan bahwa Adrian
berhasil menarik perhatiannya.
“Wah,” kata Adrian ceria, “karena aku seorang psikopat dan juga cowok,
sepertinya hal itu menjelaskan alasan kami berteman baik.”

“Kau dan aku juga tidak berteman,” kataku pada Adrian.

Adrian tertawa. “Selalu bersikap jual mahal, huh?”

“Dia tidak sesulit itu untuk didapatkan,” kata Mia, jelas terlihat kesal karena
Adrian lebih memperhatikan aku. “Tanya saja pada sebagian cowok di sekolah
kami.”

“Yeah,” balasku, “dan kau bisa bertanya tentang Mia pada sebagian lainnya.
Kalau kau mau melakukan sesuatu untuknya, dia akan melakukan 

banyak

 hal untukmu.” Saat mengobarkan perang denganku dan Lissa, Mia memaksa
beberapa cowok memberitahu semua orang di sekolah bahwa aku pernah
berbuat hal-hal yang cukup mengerikan bersama mereka. Ironisnya, Mia
berhasil menyuruh para cowok itu berbohong dengan tidur bersama mereka.

Rasa malu melintasi wajah Mia, tetapi dia tetap bertahan.

“Yah,” katanya, “setidaknya aku tidak melayani mereka dengan gratis.”

Adrian meniru suara kucing.

“Kau sudah selesai?” tanyaku. “Sekarang sudah lewat jam tidurmu, dan
saatnya bagi orang-orang dewasa untuk mengobrol.” Wajah Mia yang
kekanak-kanakan merupakan titik kelemahannya, sesuatu yang sering kali
kujadikan sasaran.

“Tentu saja,” kata Mia tajam. Pipinya bersemu merah, mempertegas


penampilannya yang bak boneka porselen. “Lagi pula, aku punya hal lain yang
lebih menyenangkan untuk dilakukan.” Mia berbalik ke pintu, lalu tiba-tiba
berhenti dengan tangan masih memegang pintu. Dia melirik Adrian. “Kau tahu,
ibunya yang menyebabkan matanya lebam.”

Mia masuk ke dalam. Pintu kaca yang mewah itu mengayun tertutup di
belakangnya.

Aku dan Adrian tidak bersuara. Akhirnya, Adrian mengeluarkan rokok lagi lalu
menyalakannya. “Ibumu?”

“Tutup mulutmu.”
“Kau jenis orang yang punya belahan jiwa atau justru musuh bebuyutan, ya
kan? Tidak setengah-setengah. Kau dan Vasilisa mungkin seperti adik-kakak,
ya?”

“Kurasa begitu.”

“Bagaimana dia?”

“Huh? Apa maksudmu?”

Adrian mengangkat bahu, dan kalau saja tidak lebih tahu, aku pasti menduga
dia bersikap santai dengan berlebihan. “Entahlah. Maksudku, aku tahu kalian
berdua pernah melarikan diri… lalu ada peristiwa yang terjadi pada
keluarganya dan Victor Dashkov….”

Tubuhku membeku saat mendengar nama Victor disebut. “Lalu?”

“Entahlah. Hanya saja kupikir semua itu mungkin terlalu berat untuk, kau tahu
kan, dihadapi olehnya.”

Aku mengamati Adrian dengan saksama, penasaran dengan apa yang ingin
disampaikannya. Mungkin memang ada sedikit kebocoran mengenai
kesehatan mental Lissa yang rapuh, tetapi semua itu sudah ditangani sebaik
mungkin. Kebanyakan orang mungkin sudah melupakan semua itu, atau
beranggapan semua itu hanya bohong belaka.

“Aku harus pergi.” Aku memutuskan bahwa menghindar merupakan taktik


terbaik untuk sekarang.

“Kau yakin?” Adrian terdengar sedikit kecewa. Selebihnya dia tampak


sombong dan geli seperti sebelumnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih
membuatku penasaran, tetapi apa pun itu, tidak cukup untuk membuatku
melawan hal lain yang kurasakan, atau untuk mengambil risiko membicarakan
Lissa. “Kusangka sekarang saatnya orang dewasa mengobrol. Banyak
masalah orang dewasa yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Sekarang sudah malam, aku lelah, dan rokokmu membuatku sakit kepala,”
gerutuku.

“Kurasa itu cukup masuk akal.” Adrian mengisap rokok dan mengembuskan
asapnya. “Beberapa perempuan beranggapan rokok membuatku terlihat
seksi.”

“Kurasa kau merokok supaya ada sesuatu yang bisa kaulakukan saat sedang
memikirkan ledekan lainnya.”
Adrian tersedak asapnya sendiri, terperangkap antara mengisap rokok dan
tertawa. “Rose Hathaway, aku tak sabar ingin bertemu denganmu lagi. Kalau
kau semenarik ini saat merasa lelah dan kesal, 

dan 

secantik ini meskipun sedang memar dan memakai baju ski, kau pasti sangat
mematikan pada saat-saat primamu.”

“Kalau yang kaumaksud dengan ‘mematikan’ adalah kau harus


mengkhawatirkan nyawamu, maka jawabannya ya. Kau benar.” Aku
menyentak pintu sampai terbuka. “Selamat malam, Adrian.”

“Sampai bertemu secepatnya.”

“Sepertinya tidak bakal. Sudah kubilang, aku tidak suka cowok yang lebih tua.”

Aku berjalan memasuki penginapan. Saat pintu tertutup, aku sempat


mendengarnya berseru di belakangku, “Tentu, kau memang tak suka.”

Vampire Academy 2 (Bab 11)

Vampire Academy 2 (Bab 11)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

LISSA SUDAH BANGUN dan tidak ada di kamar saat aku terjaga keesokan
paginya. Itu artinya aku bisa menguasai kamar mandi sambil bersiap-siap.
Aku suka sekali kamar mandinya. Ukurannya luar biasa luas. Tempat
tidur king-size kami bisa dimasukkan ke dalamnya dengan mudah. Tiga buah
pancuran air panas membuat tubuhku terasa segar, meskipun otot-ototku
masih terasa sakit akibat kegiatan kemarin. Saat aku berdiri di depan cermin
setinggi badan dan menyisir rambutku, dengan kecewa aku melihat memar itu
masih ada. Namun, warnanya sudah agak lebih terang dan berubah menjadi
kekuningan. Sedikit cairan penyamar noda dan bedak bisa menutup memar itu
hampir seluruhnya.

Aku pergi ke lantai bawah untuk mencari makanan. Ruang makannya baru
akan ditutup karena jam sarapan sudah berakhir, tetapi seorang pelayan
memberiku dua buah scone selai peach untuk dibawa. Seraya berjalan dan
mengunyah sepotong scone, aku mempertajam indraku untuk merasakan
keberadaan Lissa. Beberapa saat kemudian, aku bisa merasakannya di sisi
lain penginapan, jauh dari kamar para murid. Aku mengikuti jejaknya hingga
akhirnya tiba di sebuah kamar yang terletak di lantai tiga. Aku mengetuk
pintunya.

Christian membuka pintu. “Putri Tidur sudah tiba. Selamat datang.”

Christian menyuruhku masuk. Lissa sedang duduk bersila di tempat tidur, dan
langsung tersenyum saat melihatku. Kamarnya sama menakjubkannya seperti
kamarku, tetapi sebagian besar perabotnya sudah digeser ke samping
sehingga menghasilkan ruang kosong, dan Tasha berdiri di area lapang itu.

“Selamat pagi,” kata Tasha.

“Hei,” aku menjawab. Sia-sia saja usahaku untuk menghindarinya.

Lissa menepuk-nepuk tempat di sampingnya. “Kau harus melihat ini.”

“Apa yang terjadi?” Aku duduk di tempat tidur dan menghabiskan


potongan scone yang terakhir.

“Hal-hal yang tidak baik,” kata Lissa dengan nakal. “Kau pasti akan
menyukainya.”

Christian berjalan menghampiri ruang kosong dan berdiri di hadapan Tasha.


Mereka berdua saling mengamati, melupakan kehadiranku dan Lissa.
Rupanya kedatanganku telah menyela apa pun yang sedang mereka lakukan.

“Jadi, kenapa aku tak boleh terus memakai mantra pembeku?” tanya
Christian.

“Karena mantra itu membutuhkan banyak energi,” jawab Tasha. Bahkan


dengan celana jins dan rambut dikucir―dan bekas lukanya―Tasha tetap
terlihat benar-benar imut. “Lagi pula, mantra itu bisa membunuh lawanmu.”

Christian mendengus. “Memangnya kenapa aku harus menahan diri untuk


membunuh Strigoi?”
“Kau tidak selalu melawan Strigoi. Atau mungkin saja kau membutuhkan
informasi dari mereka. Apa pun itu, kau harus selalu siap.”

Aku baru menyadari bahwa mereka sedang berlatih sihir untuk menyerang.
Rasa tertarik dan semangat menggantikan kemuraman yang semula
kurasakan saat melihat Tasha. Lissa sama sekali tidak bercanda saat
mengatakan bahwa mereka sedang melakukan “hal-hal yang tidak baik.” Aku
selalu curiga mereka memang melakukan sihir ofensif, tapi… wow. Menduga
sesuatu dan benar-benar melihatnya merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Menggunakan sihir sebagai senjata adalah perbuatan terlarang. Pelanggaran
yang ada hukumannya. Murid yang bereksperimen melakukannya mungkin
bisa diampuni dan hanya diberi hukuman ringan, tetapi orang dewasa yang
secara aktif mengajari seorang anak di bawah umur… yeah. Itu bisa membuat
Tasha terlibat masalah besar. Sejenak terpikir olehku untuk melaporkan
perbuatannya ini. Tetapi saat itu juga aku menyingkirkan pikiran tersebut. Aku
mungkin membenci Tasha karena mendekati Dimitri, tetapi sebagian diriku
bisa dibilang meyakini apa yang dilakukan Tasha dan Christian. Lagi pula, itu
sangat keren.

“Mantra pengalih perhatian nyaris sama bergunanya,” lanjut Tasha.

Mata biru Tasha terlihat sangat fokus, seperti yang sering kulihat saat seorang
Moroi sedang menggunakan sihir. Pergelangan tangannya tertekuk ke depan,
dan ada seberkas api yang meliuk melewati wajah Christian. Apinya tidak
mengenai tubuh Christian, tetapi kalau melihat ekspresinya yang menghindar,
kurasa apinya cukup dekat hingga dia bisa merasakan hawa panasnya.

“Cobalah,” kata Tasha.

Christian ragu-ragu sejenak, lalu meniru gerakan tangan Tasha tadi. Api
memancar keluar, tetapi warnanya tidak secantik api Tasha tadi. Christian
juga tidak membidik sebaik Tasha. Apinya langsung mengarah ke wajah
Tasha, tetapi sebelum sempat menyentuhnya, api itu terbelah dan mengarah
ke kedua sisi Tasha, seolah mengenai sebuah tameng tidak terlihat. Tasha
menangkisnya dengan sihirnya sendiri.

“Lumayan―terlepas dari kenyataan bahwa kau bisa saja membakar wajahku


sampai hangus.”

Bahkan aku pun tidak menginginkan wajah Tasha terbakar hangus. Tapi
rambutnya… ah, ya. Kita lihat secantik apa dirinya tanpa rambutnya yang
sehitam bulu gagak itu.
Tasha dan Christian terus berlatih selama beberapa saat. Kemampuan
Christian terus meningkat seiring waktu berlalu, meskipun jelas terlihat dia
masih perlu waktu lama untuk bisa menyamai keahlian Tasha. Ketertarikanku
bertambah saat melihat mereka terus berlatih, dan aku merenungkan semua
kemungkinan yang mampu ditawarkan oleh sihir seperti ini.

Mereka menyelesaikan latihan saat Tasha berkata bahwa dia harus pergi.
Christian mendesah, jelas terlihat kesal karena tidak sanggup menguasai
mantranya dalam satu jam. Sifat kompetitifnya nyaris sekuat sifatku.

“Aku tetap berpendapat lebih mudah membakar mereka seutuhnya,” Christian


beralasan.

Tasha tersenyum sambil menyisir rambutnya dan menguncirnya menjadi ekor


kuda yang lebih tinggi. Yeah. Dia jelas lebih bagus tanpa rambut itu, terutama
karena aku tahu betapa Dimitri menyukai rambut panjang.

“Lebih mudah karena hanya membutuhkan sedikit usaha. Tindakan itu


ceroboh. Sihirmu bisa lebih kuat untuk waktu yang lama jika berhasil
mempelajari ini. Dan, seperti yang kubilang, sihir ini memiliki banyak manfaat.”

Aku sebenarnya tidak mau sependapat dengan Tasha, tetapi apa boleh buat.

“Sihir itu akan sangat berguna kalau kau sedang melawan Strigoi bersama
seorang pengawal,” kataku penuh semangat. “Apalagi mengingat membakar
Strigoi membutuhkan energi yang sangat besar. Dengan cara ini, kau hanya
perlu menggunakan sedikit luapan energi untuk mengalihkan perhatian
Strigoi. Dan itu pasti akan mengalihkan perhatian mereka karena mereka
sangat membenci api. Jadi, si pengawal akan mendapat kesempatan untuk
menusuk mereka. Kau bisa menumbangkan banyak Strigoi dengan cara
seperti itu.”

Tasha tersenyum padaku. Beberapa Moroi―seperti Lissa dan


Adrian―tersenyum tanpa memperlihatkan gigi. Tasha selalu tersenyum
dengan memperlihatkan gigi, termasuk taring-taringnya.

“Tepat sekali. Kau dan aku harus berburu Strigoi kapan-kapan,” goda Tasha.

“Kurasa tidak,” jawabku.

Kata-kata itu sendiri sebenarnya tidak seburuk itu, tetapi nada yang kupakai
untuk mengucapkannya jelas-jelas buruk. Dingin. Tidak ramah. Untuk sesaat
Tasha tampak kaget dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba, tetapi
langsung mengabaikannya. Kekagetan Lissa mengalir melalui ikatan batin
kami.

Namun, Tasha juga kelihatannya tidak ambil pusing. Dia mengobrol lagi
dengan kami selama beberapa saat dan berencana menemui Christian saat
makan malam nanti. Lissa menatapku dengan tajam saat kami dan Christian
menuruni tangga melingkar ke lobi.

“Ada apa dengan sikapmu tadi?” tanyanya.

“Memangnya ada apa dengan sikapku?” tanyaku dengan polos.

“Rose,” kata Lissa penuh arti. Sulit rasanya berpura-pura bodoh jika temanmu
tahu kau bisa membaca pikirannya. Aku tahu pasti apa yang sedang
dibicarakan Lissa. “Kau bersikap menyebalkan pada Tasha.”

“Tidak terlalu menyebalkan.”

“Sikapmu kasar,” seru Lissa, menghindari sekelompok Moroi yang


menghambur ke dalam lobi. Mereka semua memakai parka, dan seorang
instruktur ski Moroi bertampang lelah mengikuti di belakang mereka.

Aku meletakkan tangan di pinggul. “Hei, aku hanya sedang uring-uringan, oke?
Aku kurang tidur. Lagi pula, aku tidak seperti kau. Aku tidak perlu bersikap
sopan setiap saat.”

Seperti yang akhir-akhir ini sering terjadi, aku tak percaya apa yang baru saja
kukatakan. Lissa menatapku, lebih terlihat kaget daripada sakit hati. Christian
menggeram, hampir mengatakan hal kasar untuk membalasku, tetapi
untungnya Mason datang menghampiri kami. Mason tidak sampai harus
memakai gipsi atau semacamnya, tetapi jalannya agak pincang.

“Hei, Tukang Lompat,” kataku sambil menyelipkan tangan ke tangannya.

Christian menahan amarahnya padaku lalu berpaling pada Mason. “Benarkah


gerakan cari mati kalian akhirnya membuatmu terluka?”

Mason menatapku. “Benarkah kau bergaul dengan Adrian Ivashkov?”

“Aku―apa?”

“Kudengar semalam kalian mabuk-mabukan.”

“Benarkah?” tanya Lissa dengan kaget.

Aku menatap mereka bergantian. “Tidak, tentu saja tidak! Aku bahkan tidak
terlalu kenal dia.”
“Tapi kau memang mengenalnya,” tuntut Mason.

“Tidak terlalu.”

“Dia punya reputasi jelek,” Lissa mengingatkan.

“Yeah,” kata Christian. “Dia sering sekali berganti pacar.”

Aku tak percaya ini. “Bisa kalian hentikan semua ini? Aku hanya mengobrol
dengannya selama, entahlah, mungkin lima menit! Dan itu karena dia
menghalangi jalan masuk. Dari mana kau mendengar semua ini?” Saat itu juga
aku langsung menjawab pertanyaanku sendiri. “Mia.”

Mason mengangguk dan setidaknya bersikap jantan dengan memperlihatkan


ekspresi malu.

“Sejak kapan kau biasa mengobrol dengannya?” tanyaku.

“Aku tidak sengaja berpapasan dengannya, itu saja,” kata Mason.

“Dan kau percaya padanya? Kau kan tahu dia berbohong hampir setiap saat.”

“Yeah, tapi biasanya ada sedikit kebenaran dalam kebohongan itu. Dan kau
kan memang mengobrol dengan cowok itu.”

“Ya. Mengobrol. Hanya itu.”

Aku benar-benar berusaha mempertimbangkan dengan serius untuk


berkencan dengan Mason, jadi aku tidak suka kalau dia tidak memercayaiku.
Mason-lah yang membantuku membongkar kebohongan Mia pada awal tahun
pelajaran, jadi aku kaget melihat sikapnya yang paranoid seperti ini. Mungkin
perasaannya untukku sudah tumbuh semakin dalam, sehingga dia lebih lekas
cemburu.

Anehnya, Christian-lah yang menjadi penyelamatku dan mengubah topik


pembicaraan. “Kurasa hari ini tidak ada jadwal bermain ski, huh?” Christian
menuding pergelangan kaki Mason, yang langsung memicu respons tidak
terima.

“Apa, kaupikir ini akan mengurangi kehebatanku?” tanya Mason.

Amarahnya menghilang, tergantikan keinginan membara untuk membuktikan


diri―keinginan yang kami berdua rasakan. Lissa dan Christian menatap
seolah Mason sudah gila, tetapi aku tahu tak ada yang bisa kami katakan
untuk mencegah dia.

“Kalian mau ikut dengan kami?” tanyaku kepada Lissa dan Christian.
Lissa menggelengkan kepala. “Tidak bisa. Kami harus menghadiri makan
siang yang diadakan oleh keluarga Conta.”

Christian mengerang. “Hmm, kau yang harus pergi.”

Lissa menyikutnya. “Begitu pula denganmu. Pada undangannya tertulis aku


boleh membawa teman. Lagi pula, ini hanya pemanasan untuk undangan yang
lebih besar.”

“Undangan yang mana?” tanya Mason.

“Pesta makan malam besar-besaran yang diadakan oleh Priscilla Voda,” kata
Christian sambil mendesah. Melihatnya sangat menderita seperti itu
membuatku tersenyum. “Sahabat sang ratu. Semua bangsawan paling
sombong akan datang ke pesta itu, dan aku terpaksa memakai jas.”

Mason nyengir padaku. Kekesalannya yang tadi sudah menghilang. “Bermain


ski kedengarannya lebih menyenangkan, huh? Tidak ada aturan berbusana.”

Kami meninggalkan kedua Moroi itu dan pergi ke luar. Mason tidak bisa
bertanding denganku seperti yang kami lakukan kemarin, gerakannya masih
lamban dan canggung. Meski begitu, dia tetap bermain dengan baik. Cedera
yang dialaminya tidak seburuk yang kami khawatirkan semula, tetapi
setidaknya dia cukup bijaksana dengan bertahan melakukan gerakan yang
mudah.

Bulan purnama menggantung di tengah kehampaan, sebuah bulatan yang


berkilau putih keperakan. Cahaya bagaikan listrik itu mengalahkan sebagian
besar pencahayaan yang ada di daratan, tetapi di sana-sini―di balik
bayangan―bulan hampir tidak berhasil memantulkan kilaunya. Kuharap
cahaya bulan cukup terang hingga bisa menerangi daerah di sekeliling
pegunungan, tetapi puncak-puncak gunung itu tetap diselimuti kegelapan. Aku
lupa memperhatikannya siang hari tadi.

Rute yang kami lalui sangat sederhana untukku, tetapi aku tetap bertahan di
samping Mason dan kadang-kadang menggodanya dengan mengatakan
permainan ski ala terapi ini membuatku mengantuk. Membosankan atau tidak,
rasanya tetap menyenangkan berada di luar bersama teman-temanku.
Aktivitas ini cukup mengalirkan darah sehingga membuatku tetap hangat di
tengah udara yang membeku ini. Tiang-tiang lampu menerangi salju dan
mengubahnya menjadi lautan putih yang luas, kristal-kristal serpihan salju
yang berkilau samar. Jika aku berpaling dan menghalau cahaya dari
jangkauan pandang, aku bisa mendongak dan melihat bintang-bintang yang
bertaburan di langit. Bintang-bintang itu terlihat jelas bagaikan kristal di
tengah udara jernih yang membeku ini. Kami kembali menghabiskan hampir
sepanjang hari ini dengan berada di luar, tetapi kali ini aku menyudahinya lebih
cepat dengan berpura-pura lelah agar Mason bisa beristirahat. Dia mungkin
sanggup bermain ski ringan dengan pergelangan kakinya yang cedera, tetapi
aku bisa melihat bahwa itu mulai membuatnya kesakitan.

Aku dan Mason kembali ke penginapan dan berjalan sangat rapat seraya
menertawakan sesuatu yang kami lihat tadi. Tiba-tiba aku melihat kilasan
putih di sudut mata, dan sebuah bola salju menghantam wajah Mason. Aku
langsung bergerak defensif, tersentak mundur dan menatap sekeliling.
Teriakan dan jeritan terdengar dari sebuah area di lahan resor yang digunakan
sebagai gudang dan dikelilingi oleh pohon pinus yang menjulang tinggi.

“Terlalu lamban, Ashford,” seseorang berkata. “Itu akibatnya jika sedang jatuh
cinta.”

Lebih banyak suara tawa. Sahabat Mason, Eddie Castile, dan beberapa novis
lain dari sekolah kami bermunculan dari balik segerumbul pepohonan. Aku
mendengar teriakan lainnya dari belakang mereka.

“Tapi kami masih menerima dirimu kalau ingin masuk ke dalam tim kami,”
kata Eddie. “Meskipun kau mengelak seperti perempuan.”

“Tim?” tanyaku bersemangat.

Di Akademi, saling melempar bola salju dilarang keras. Pejabat sekolah


khawatir kami akan melemparkan bola salju yang berisi pecahan gelas atau
silet. Sesungguhnya aku tidak mengerti bagaimana mungkin mereka berpikir
kami bisa memegang benda-benda semacam itu tanpa melukai diri sendiri.

Perang bola salju bukan tindakan yang sangat membangkang, tetapi setelah


semua ketegangan yang kulalui akhir-akhir ini, melempari orang dengan
sesuatu terdengar seperti gagasan terbaik setelah sekian lama. Aku dan
Mason langsung bergabung dengan mereka. Pertarungan terlarang memberi
Mason energi baru dan membuatnya lupa pada rasa sakit di pergelangan
kakinya. Kami bersiap-siap dengan semangat pantang menyerah.

Perang ini langsung terfokus untuk mengalahkan sebanyak mungkin orang,


dan pada saat bersamaan mengelak dari serangan mereka. Aku sangat hebat
dalam keduanya, dan menambah ketidakdewasaan ini dengan meledek dan
menyerukan hinaan-hinaan konyol pada semua korbanku.
Ketika akhirnya ada orang yang menyadari perbuatan kami lalu memarahi
kami, kami semua tertawa-tawa dengan tubuh tertutup salju. Setelah itu, aku
dan Mason melanjutkan perjalanan ke penginapan. Saat itu suasana hati kami
benar-benar gembira sehingga aku tahu masalah Adrian sudah lama
terlupakan.

Dan memang benar. Mason menatapku tepat sebelum kami masuk. “Maaf,
aku, uh, tadi menuduhmu begitu saja soal Adrian.”

Aku meremas tangannya. “Tak apa-apa. Aku tahu Mia sanggup menceritakan
kisah-kisah yang cukup meyakinkan.”

“Yeah… tapi kalaupun kau memang bersama cowok itu… bukan berarti aku
berhak untuk….”

Aku menatapnya, terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi


malu-malu. “Benarkah kau tidak berhak untuk melakukannya?” tanyaku.

Senyum tersungging di bibirnya. “Aku berhak?”

Aku membalas senyumannya, melangkah maju, dan menciumnya. Bibir


Mason terasa sangat hangat di tengah udara yang membeku. Ciuman kami
bukan jenis yang sanggup menggetarkan bumi seperti yang kulakukan
bersama Dimitri sebelum perjalanan ski ini, tetapi ciuman ini rasanya manis
dan menyenangkan―semacam ciuman bersahabat yang mungkin bisa
berkembang lebih dari itu. Setidaknya, begitulah aku memandangnya. Jika
melihat ekspresi pada wajah Mason, kelihatannya seolah seluruh dunianya
baru saja terguncang.

“Wow,” kata Mason dengan mata melebar. Cahaya bulan membuat matanya
terlihat biru keperakan.

“Kaulihat?” ucapku. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bukan Adrian, atau
siapa pun.”

Kami berciuman lagi―kali ini sedikit lebih lama―sebelum akhirnya memaksa


diri berpisah. Suasana hati Mason jelas sudah membaik, seperti yang
seharusnya, dan aku menjatuhkan diri ke tempat tidur sambil tersenyum.
Sesungguhnya aku tidak yakin apakah aku dan Mason sudah menjadi
pasangan atau belum, tetapi kami sudah mendekati ke arah sana.

Namun, saat tidur aku memimpikan Adrian Ivashkov.


Aku sedang berdiri di beranda bersamanya lagi, hanya saja saat itu musim
panas. Udara terasa lembap dan hangat. Matahari bersinar cerah, menyelimuti
segala sesuatunya dengan cahaya keemasan. Kali terakhir aku berada dalam
sinar matahari seterik ini adalah saat tinggal bersama manusia. Di sekeliling
kami pegunungan dan perbukitan terlihat hijau dan hidup. Burung-burung
berkicau di seluruh penjuru.

Adrian bersandar pada birai beranda, melirik ke belakang, dan tampak terkejut
saat melihatku. “Oh. Tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini.” Dia
tersenyum. “Ternyata aku benar. Dalam keadaan bersih
kau memang mematikan.”

Tanpa sadar aku menyentuh kulit di sekitar mataku.

“Sudah hilang,” kata Adrian.

Bahkan tanpa melihatnya, entah bagaimana aku tahu yang dikatakan Adrian
itu benar. “Kau tidak merokok.”

“Kebiasaan buruk,” katanya. Adrian mengangguk ke arahku. “Apa kau takut?


Kau memakai banyak jimat pelindung.”

Aku mengernyit, lalu melihat ke bawah. Aku tidak memperhatikan pakaianku.


Aku memakai celana jins berbordir yang dulu pernah kulihat tetapi tak
sanggup kubeli. Kausku dipotong pendek, memperlihatkan perut, dan aku
memakai anting pusar. Aku selalu ingin menindik pusarku, tetapi tak pernah
punya uang untuk melakukannya. Perhiasan yang kupakai saat itu adalah
kalung perak kecil dengan liontin aneh berbentuk mata berwarna biru
pemberian ibuku. Chotki pemberian Lissa terpasang pada pergelangan
tanganku.

Aku mendongak membalas tatapan Adrian, mengamati matahari yang


menyinari rambut cokelatnya. Di tempat ini, di bawah cahaya matahari, aku
bisa melihat matanya ternyata memang hijau―warna jamrud tua yang
bertolak belakang dengan warna hijau giok pucat mata Lissa. Tiba-tiba ada
sesuatu yang tebersit dalam benakku.

“Apa cahaya matahari seterik ini tidak mengganggumu?”

Adrian mengangkat bahu dengan malas. “Tidak. Ini kan mimpiku.”

“Bukan, ini mimpiku.”

“Kau yakin?” Adrian tersenyum lagi.


Aku merasa kebingungan. “Aku… entahlah.”

Adrian tergelak, tetapi sesaat kemudian tawa itu mereda. Untuk kali pertama
sejak aku bertemu dengan Adrian, dia tampak serius. “Kenapa di sekelilingmu
begitu banyak kegelapan?”

Aku mengerutkan kening. “Apa?”

“Kau dikelilingi oleh kegelapan.” Mata Adrian mengamatiku dengan tajam,


tetapi bukan pandangan orang yang main mata. “Aku belum pernah bertemu
orang sepertimu. Di mana-mana ada bayangan. Aku sama sekali tidak
menduganya. Bahkan saat kau sedang berdiri, bayangan itu terus
berkembang.”

Aku menunduk menatap kedua tanganku, tetapi tidak melihat sesuatu yang
tidak biasa. Aku mendongak lagi. “Aku dicium bayangan….”

“Apa maksudnya?”

“Aku pernah mati.” Aku tidak pernah membicarakan hal ini selain dengan
Lissa dan Victor Dashkov, tetapi ini kan hanya mimpi. Jadi tidak masalah.
“Dan aku hidup lagi.”

Perasaan takjub membuat wajah Adrian berbinar. “Ah, menarik….”

Aku terbangun.

Ada orang yang mengguncang tubuhku. Orang itu Lissa. Emosi Lissa
menghantamku dengan sangat kuat melalui ikatan batin hingga selama
sesaat aku tersentak masuk ke dalam kepalanya dan mendapati diri sedang
memandang tubuhku sendiri. “Aneh” tidak cukup menggambarkan
perasaanku saat itu. Aku menarik diri agar kembali ke tubuhku sendiri,
berusaha terlepas dari kengerian dan ketakutan yang berasal dari Lissa.

“Ada apa?”

“Ada serangan Strigoi lagi.”

Vampire Academy 2 (Bab 12)

Vampire Academy 2 (Bab 12)


Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

AKU BANGUN DARI tempat tidur secepat kilat. Kami mendapati seisi
penginapan dihebohkan oleh berita tersebut. Orang-orang berkerumun dalam
kelompok-kelompok kecil di sepanjang selasar. Anggota keluarga saling
mencari. Sebagian pembicaraan dilakukan dalam bisikan ketakutan, sebagian
lagi dengan lantang sehingga mudah untuk mengupingnya. Aku menghentikan
beberapa orang, berusaha mendapatkan cerita yang sebenarnya. Namun,
semua orang memiliki versi yang berbeda-beda, dan beberapa di antara
mereka bahkan tidak mau berhenti untuk bicara denganku. Mereka berjalan
melewatiku dengan langkah cepat, entah berusaha mencari orang-orang yang
mereka sayangi, entah bersiap-siap meninggalkan resor ini. Mereka yakin ada
tempat lain yang lebih aman.

Merasa frustrasi dengan cerita yang berbeda-beda, akhirnya aku―dengan


ragu―sadar harus mencari salah satu dari dua orang yang bisa memberikan
informasi yang meyakinkan. Ibuku atau Dimitri. Rasanya seperti melempar
koin. Saat ini aku sedang tidak terlalu bersemangat untuk bertemu dengan
keduanya. Aku berpikir sejenak dan akhirnya memutuskan memilih ibuku,
karena setidaknya dia tidak sedang mendekati Tasha Ozera.

Pintu kamar ibuku terbuka. Saat aku dan Lissa masuk, aku melihat ada
semacam markas sementara yang didirikan di kamar ini. Banyak pengawal
yang mondar-mandir di dalam ruangan, atau yang keluar-masuk, dan mereka
tampak sedang membahas strategi. Beberapa di antara mereka menatap
kami dengan aneh, tetapi tak ada yang berhenti untuk menanyai kami. Aku
dan Lissa duduk di sebuah sofa kecil dan mendengarkan pembicaraan ibuku.

Ibuku berdiri bersama sekelompok pengawal, salah satunya Dimitri. Sia-sia


aku berusaha menghindarinya. Mata cokelatnya melirikku sekilas dan aku
langsung membuang muka. Saat ini aku tidak mau berurusan dengan
perasaanku yang gundah karena dia.

Tak lama kemudian, aku dan Lissa sudah tahu detail kejadiannya. Delapan
orang Moroi terbunuh bersama lima pengawal mereka. Ada tiga Moroi yang
masih hilang, entah mati entah berubah menjadi Strigoi. Sebenarnya
serangannya tidak terjadi di dekat sini, tetapi di California bagian utara. Meski
begitu, tragedi semacam ini sudah pasti menghebohkan dunia Moroi, dan bagi
beberapa pihak, jarak yang hanya terpisahkan oleh dua negara bagian
sepertinya terlalu dekat. Orang-orang ketakutan, dan aku akan segera
mengetahui apa tepatnya yang membuat serangan ini menjadi pusat
perhatian.

“Jumlahnya pasti lebih banyak dari yang sebelumnya,” ibuku berkata.

“Lebih banyak?” salah seorang pengawal berseru. “Kelompok yang terakhir itu
tidak kedengaran kabarnya. Aku masih tak bisa percaya sembilan Strigoi
sanggup bekerja sama―kau berharap aku percaya bahwa mereka sanggup
mengumpulkan lebih banyak orang untuk bekerja sama?”

“Ya,” tukas ibuku.

“Ada bukti keberadaan manusia?” tanya pengawal yang lain.

Ibuku ragu-ragu, lalu, “Ya. Lebih banyak pertahanan sihir yang ditembus. Dan
cara mereka melakukannya… sangat identik dengan serangan pada keluarga
Badica.”

Suara ibuku tegas, tetapi di dalamnya terdengar nada lelah. Bukan kelelahan
fisik, melainkan mental. Ketegangan dan sakit hati akibat masalah yang
sedang mereka bicarakan sekarang. Selama ini aku selalu menganggap ibuku
sebagai mesin pembunuh yang tidak punya perasaan, tetapi masalah ini jelas
berat untuknya. Masalah ini sulit dan mengerikan untuk dibahas―tetapi pada
saat yang sama, ibuku mengatasinya tanpa keraguan. Ini pekerjaannya.

Ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku, tetapi aku cepat-cepat


menelannya kembali. Manusia. Identik dengan serangan terhadap keluarga
Badica. Sejak pembantaian itu, kami telah menganalisis keganjilan yang
terlihat pada sekelompok besar Strigoi yang bekerja sama dan merekrut
manusia. Kami pernah berandai-andai tentang “seandainya hal seperti ini
terjadi lagi…” Namun, tak ada yang sungguh-sungguh menduga kelompok
ini―pembunuh keluarga Badica―akan melakukannya lagi. Satu kali bisa
dianggap kebetulan―mungkin ada sekelompok Strigoi yang kebetulan sedang
berkumpul dan secara spontan memutuskan untuk melakukan penyerangan.
Hal itu terdengar mengerikan, tetapi kami bisa mengabaikannya.

Namun sekarang… sekarang kelihatannya kelompok Strigoi ini bukan


kebetulan semata. Mereka bersatu untuk sebuah tujuan, memanfaatkan
manusia sebagai bagian dari rencana, dan menyerang lagi. Sekarang
sepertinya kami mendapatkan polanya. Strigoi yang bergerak aktif mencari
sekelompok besar mangsa. Pembunuhan berantai. Kami tak bisa lagi
memercayai perlindungan dari pertahanan sihir. Kami bahkan tak bisa lagi
memercayai sinar matahari. Manusia bisa beraktivitas di siang hari,
memetakan keadaan dan melakukan sabotase. Siang hari sudah tidak aman
lagi.

Aku teringat ucapanku pada Dimitri saat berada di rumah keluarga


Badica. Semua ini mengubah banyak hal, 

kan

Ibuku membolak-balik kertas pada papan jepitnya. “Mereka belum


mendapatkan detail forensik, tapi Strigoi dengan jumlah yang sama bisa
melakukan semua ini. Tidak satu pun anggota keluarga Drozdov atau
karyawannya yang berhasil melarikan diri. Dengan lima pengawal, tujuh orang
Strigoi pasti dibuat sibuk―setidaknya selama beberapa saat―sehingga ada
yang bisa melarikan diri. Mungkin kita sedang menghadapi sembilan atau
sepuluh Strigoi.”

“Janine benar,” kata Dimitri. “Dan kalau melihat tempat kejadiannya…


ukurannya terlalu besar. Tujuh orang tidak mungkin sanggup menguasainya.”

Keluarga Drozdov adalah salah satu keluarga bangsawan. Keluarga mereka


besar dan makmur, tidak sekarat seperti klan Lissa. Mereka masih memiliki
banyak anggota keluarga lainnya, tetapi tentu saja, serangan seperti ini tetap
saja mengerikan. Terlebih lagi, ada sesuatu mengenai mereka yang seakan
menggelitik otakku. Ada sesuatu yang seharusnya kuingat… sesuatu yang
seharusnya kuketahui mengenai keluarga Drozdov.

Sementara benakku berpikir, aku mengamati ibuku dengan takjub. Aku pernah
mendengarnya menceritakan berbagai kisah yang dialaminya. Aku pernah
melihat dan merasakan bertarung dengannya. Namun, sejujurnya, aku belum
pernah melihatnya beraksi menangani krisis dalam kehidupan nyata. Ibuku
memperlihatkan pengendalian diri tingkat tinggi yang biasa dilakukannya saat
sedang bersamaku, tetapi di tempat ini, aku bisa memahami pentingnya sikap
itu. Situasi seperti ini menyebabkan kepanikan. Bahkan di antara para
pengawal, aku bisa merasakan ada orang-orang yang merasa begitu tegang
sehingga mereka ingin bertindak drastis. Ibuku merupakan suara nalar,
pengingat bahwa mereka harus tetap memusatkan pikiran dan menilai
situasinya secara menyeluruh. Ketenangannya menenteramkan semua orang.
Sikap teguhnya mengilhami mereka. Aku menyadari bahwa seperti inilah
seharusnya seorang pemimpin.
Dimitri juga setenang ibuku, tetapi dia selalu meminta pendapat ibuku
sebelum melakukan apa pun. Terkadang aku sampai harus mengingatkan diri
bahwa Dimitri termasuk muda untuk ukuran pengawal. Mereka lebih banyak
membahas soal serangan itu, bahwa keluarga Drozdov sedang merayakan
pesta Natal di sebuah aula saat diserang.

“Pertama keluarga Badica, sekarang keluarga Drozdov,” gumam seorang


pengawal. “Mereka mengincar keluarga bangsawan.”

“Mereka mengincar Moroi,” kata Dimitri dengan nada datar. “Bangsawan.


Bukan bangsawan. Itu tidak masalah.”

Bangsawan. Bukan bangsawan. Tiba-tiba saja aku tahu mengapa keluarga


Drozdov terasa penting. Instingku yang spontan menyuruhku melompat
bangun dan menanyakan sesuatu saat itu juga, tetapi aku tahu sebaiknya
tidak melakukannya. Ini kejadian sungguhan. Ini bukan saatnya bertingkah
mengesalkan. Aku ingin sekuat ibuku dan Dimitri, jadi aku menunggu hingga
diskusi mereka berakhir.

Saat kelompok itu mulai membubarkan diri, aku melompat bangun dari sofa
dan bergegas menghampiri ibuku.

“Rose,” kata ibuku, terkejut. Sama seperti saat di kelas Stan, dia tidak
menyadari keberadaanku di kamar ini. “Apa yang kaulakukan di sini?”

Itu pertanyaan bodoh, jadi aku tidak berusaha menjawabnya. Memangnya dia
pikir sedang apa aku di sini? Ini salah satu peristiwa terbesar yang terjadi
pada Moroi.

Aku menuding papan jepitnya. “Siapa lagi yang terbunuh?”

Rasa kesal membuat keningnya berkerut. “Keluarga Drozdov.”

“Iya, tapi siapa lagi?”

“Rose, kita tak punya waktu―”

“Mereka punya karyawan, kan? Dimitri tadi bilang bukan bangsawan. Siapa


mereka?”

Lagi-lagi aku bisa melihat kelelahan pada diri ibuku. Kematian ini sulit
dihadapi olehnya. “Aku tidak hafal semua namanya.” Sambil membuka
beberapa halaman, ibuku memutar papan jepitnya ke arahku. “Ini.”

Aku membaca daftarnya. Jantungku serasa copot.


“Oke,” kataku. “Trims.”

Aku dan Lissa meninggalkan kamar, membiarkan mereka bertugas. Aku ingin
bisa membantu, tetapi para pengawal sudah berfungsi dengan mulus dan
efisien tanpa bantuan siapa pun. Para pengawal tidak butuh novis yang
merecoki urusan mereka.

“Ada apa?” tanya Lissa saat kami berjalan kembali ke bagian utama


penginapan.

“Karyawan keluarga Drozdov,” jawabku. “Ibu Mia bekerja untuk mereka…”

Lissa terkesiap. “Dan?”

Aku mendesah. “Dan namanya ada di dalam daftar.”

“Ya Tuhan.” Lissa berhenti berjalan. Dia menatap hampa, mengerjap agar air
matanya tidak turun. “Ya Tuhan,” ulangnya.

Aku bergerak ke hadapannya dan memegang bahunya. Tubuh Lissa gemetar.

“Jangan takut,” ucapku. Gelombang ketakutannya mengalir padaku, tetapi


rasanya kaku. Dia terguncang. “Semuanya akan baik-baik saja.”

“Kaudengar sendiri kata mereka,” kata Lissa. “Ada sekelompok Strigoi yang


bersekutu untuk menyerang kita! Berapa banyak? Apa mereka sedang menuju
ke tempat ini?”

“Tidak,” jawabku tegas. Tentu saja, aku tak punya bukti akan hal itu. “Kita
aman di sini.”

“Mia yang malang….”

Aku tidak berkomentar apa-apa soal itu. Mia memang sangat menyebalkan,
tetapi aku tak mungkin mengharapkan kejadian seperti ini pada siapa pun,
pada musuh terbesarku sekalipun―dan bisa dibilang Mia adalah musuh
terbesarku. Aku cepat-cepat meralat pikiran itu. Mia bukan musuh terbesarku.

Aku tidak sanggup meninggalkan Lissa sepanjang sisa hari itu. Aku tahu tidak
ada Strigoi yang mengintai di penginapan ini, tetapi insting melindungiku
terlalu kuat untuk diabaikan. Para pengawal bertugas melindungi Moroi
mereka. Seperti biasa, aku juga mengkhawatirkan kecemasan dan kekesalan
yang dirasakan Lissa, jadi aku berusaha sebisaku memadamkan perasaan-
perasaan itu dari dalam dirinya.
Pengawal yang lain juga memastikan keselamatan Moroi. Mereka tidak selalu
mendampingi Moroi, tetapi mereka meningkatkan keamanan penginapan dan
terus berhubungan dengan para pengawal yang berada di lokasi penyerangan.
Informasi mengenai detail penyerangan yang mengerikan itu terus
berdatangan, begitu pula spekulasi mengenai keberadaan gerombolan Strigoi
itu. Tentu saja, hanya sedikit informasi ini yang diberikan kepada para novis.

Sementara para pengawal melakukan pekerjaan mereka dengan sebaik


mungkin, para Moroi juga melakukan―sayangnya―hal terbaik yang bisa
mereka lakukan: mengobrol.

Dengan begitu banyak bangsawan dan orang penting Moroi lainnya di


penginapan, pada malam harinya diadakan sebuah pertemuan untuk
membahas apa yang baru saja terjadi dan apa yang bisa dilakukan di masa
mendatang. Tidak ada keputusan resmi pada pertemuan ini, kaum Moroi
memiliki seorang ratu dan dewan pemerintah yang biasa memutuskan hal-hal
seperti ini. Namun, semua orang tahu bahwa opini yang dikumpulkan pada
pertemuan ini akan disampaikan hingga ke rantai komando paling atas.
Keselamatan kami di masa depan bisa dikatakan bergantung pada hasil
pertemuan ini.

Pertemuan diadakan di aula besar dalam penginapan, sebuah ruangan yang


dilengkapi podium dan banyak kursi. Meskipun atmosfer bisnis sangat terasa,
kau pasti akan langsung menyadari bahwa ruangan ini didesain untuk hal-hal
selain pertemuan yang membahas pembantaian dan pertahanan. Karpetnya
terasa bagaikan beledu dengan desain bunga yang rumit berwarna hitam dan
perak. Kursi-kursinya terbuat dari kayu hitam berpelitur dan bersandaran
tinggi, jelas dimaksudkan untuk acara jamuan mewah. Lukisan para
bangsawan Moroi yang sudah lama mati tergantung di dinding. Sejenak aku
menatap salah seorang ratu yang tidak kuketahui namanya. Wanita itu
memakai gaun bergaya kuno―terlalu banyak renda untuk seleraku―dan
berambut pucat seperti rambut Lissa.

Seorang pria yang tidak kukenal bertugas menjadi moderator dan berdiri di
podium. Sebagian besar bangsawan yang ada di penginapan ini berkumpul di
depan ruangan. Semua orang, termasuk para murid, duduk di kursi mana pun
yang tersedia. Christian dan Mason sudah bergabung dengan kami, dan saat
kami semua hendak duduk di belakang, tiba-tiba Lissa menggelengkan kepala.

“Aku akan duduk di depan.”


Kami bertiga memandangi Lissa. Aku terlalu terpana untuk menyelami
pikirannya.

“Lihat.” Dia menuding. “Semua bangsawan duduk di depan, dikelompokkan


per keluarga.”

Memang benar. Anggota klan yang sama duduk berkelompok: keluarga


Badica, Ivashkov, Zeklos, dan lain-lain. Tasha juga duduk di depan, tetapi dia
sendirian. Christian satu-satunya Ozera lain yang ada di sini.”

“Aku harus duduk di sana,” kata Lissa.

“Tak ada yang menyuruhmu duduk di sana,” kataku kepadanya.

“Aku harus mewakili keluarga Dragomir.”

Christian mendengus. “Itu semua hanya omong kosong bangsawan.”

Wajah Lissa menunjukkan keteguhan. “Aku harus duduk di sana.”

Aku membuka pikiran untuk menyelami perasaan Lissa, dan menyukai apa
yang kudapati di sana. Seharian ini Lissa banyak diam dan merasa ketakutan,
terutama saat kami tahu apa yang menimpa ibu Mia. Ketakutan itu masih ada,
tetapi dikalahkan oleh kepercayaan diri dan keteguhan yang mantap. Lissa
sadar dirinya merupakan salah seorang Moroi yang berkuasa, dan meski
pikiran mengenai keberadaan sekelompok Strigoi yang sedang berkeliaran
membuatnya takut, dia ingin ikut ambil bagian.

“Lakukan saja,” kataku lembut. Selain itu, aku juga menyukai gagasan
menentang Christian.

Lissa menatap mataku dan tersenyum. Dia tahu apa yang baru saja kurasakan
pada dirinya. Sesaat kemudian dia menoleh pada Christian. “Sebaiknya kau
bergabung dengan bibimu.”

Christian membuka mulut untuk protes. Kalau tidak ingat betapa mengerikan
situasi ini, melihat Lissa memberi perintah pada Christian akan sangat lucu.
Christian keras kepala dan berpendirian kukuh, orang-orang yang berusaha
memaksanya tak akan berhasil. Saat menatap wajah Christian, aku melihat
dia juga menyadari perasaan Lissa yang tadi kurasakan. Dia juga senang
melihat Lissa kuat. Christian tersenyum.

“Oke.” Christian meraih tangan Lissa, lalu keduanya berjalan ke depan


ruangan.
Aku dan Mason duduk. Tepat sebelum acara dimulai, Dimitri duduk di
sebelahku, rambutnya diikat di tengkuk dan mantel kulitnya terhampar di
sekitar tubuhnya saat dia duduk. Aku meliriknya dengan kaget namun tidak
mengatakan apa-apa. Ada beberapa pengawal lain dalam pertemuan ini,
sisanya terlalu sibuk melakukan pengamanan. Bisa dibayangkan. Dan di
sanalah aku, terperangkap di antara dua lelaki dalam hidupku.

Pertemuan segera dimulai. Semua orang bersemangat menyampaikan


pendapat mereka mengenai cara menyelamatkan Moroi, tetapi sesungguhnya
ada dua teori yang mendapatkan perhatian paling banyak.

“Jawabannya ada di sekeliling kita,” seorang bangsawan berkata saat dia


diberi kesempatan untuk bicara. Pria itu berdiri di samping kursinya dan
menatap sekeliling ruangan. “Di sini. Di tempat-tempat seperti penginapan ini. 

Dan St. Vladimir. Kita mengirim anak-anak kita ke tempat aman, tempat yang
membuat mereka berkumpul dan bisa dilindungi dengan mudah. Dan lihat
berapa banyak yang ada di sini, anak-anak dan orang dewasa. Kenapa kita
tidak hidup berdampingan seperti ini setiap saat?”

“Banyak yang sudah melakukannya,” jawab seseorang.

Pria itu menepis pendapat tersebut. “Beberapa keluarga tersebar di sana-sini.


Atau sebuah kota dengan populasi Moroi yang cukup besar. Tapi semua
Moroi itu masih tersebar. Sebagian besar Moroi tidak menggabungkan
sumber daya yang mereka miliki―pengawal dan sihir mereka. Kalau kita bisa
meniru semua ini…” Dia merentangkan tangan lebar-lebar. “…kita tidak perlu
lagi khawatir soal Strigoi.”

“Dan Moroi tidak akan bisa berinteraksi dengan penduduk bumi lainnya,”
gumamku. “Sampai akhirnya manusia menemukan kota-kota vampir rahasia
yang terletak di tengah alam liar. Barulah kita akan
melakukan banyak interaksi.”

Teori melindungi Moroi yang dikemukakan selanjutnya tidak terlalu banyak


melibatkan masalah logistik, tetapi memiliki dampak pribadi yang lebih
besar―terutama untukku.

“Sebenarnya masalahnya sederhana saja, kita tidak punya cukup banyak


pengawal.” Yang mengajukan rencana ini adalah seorang wanita dari klan
Szelsky. “Jadi, jawabannya juga sederhana: tambah pengawal. Keluarga
Drozdov memiliki 
lima orang pengawal, dan ternyata itu tidak cukup. Lebih dari selusin Moroi
hanya dilindungi oleh enam orang pengawal! Itu tak bisa diterima. Tidak heran
hal seperti ini terus terjadi.”

“Menurutmu, dari mana kita bisa mendapatkan lebih banyak pengawal?” tanya
pria yang mengusulkan agar kaum Moroi bersatu. “Jumlah mereka terbatas.”

Wanita itu menuding tempat aku dan beberapa novis lain duduk. “Kita punya
banyak. Aku sudah melihat bagaimana mereka dilatih. Mereka mematikan.
Kenapa kita harus menunggu sampai mereka berumur delapan belas tahun?
Kalau kita mempercepat program latihan dan lebih berfokus pada latihan
bertarung daripada teori, kita bisa mendapatkan pengawal baru saat mereka
berumur enam belas tahun.”

Dimitri mengeluarkan geraman yang menunjukkan bahwa dia tidak menyukai


apa yang didengarnya. Dia membungkukkan tubuh, meletakkan siku di atas
lutut, dan menumpu dagu dengan kedua tangan. Matanya menyipit.

“Bukan hanya itu, kita punya banyak pengawal yang tersia-sia. Mana para
wanita dhampir? Ras kita berkaitan. Moroi sudah melakukan tugas dengan
membantu kaum dhampir agar bisa terus bertahan. Kenapa para wanita itu
tidak melakukan hal yang sama? Kenapa mereka tak ada di sini?”

Terdengar tawa panjang dan provokatif sebagai jawabannya. Semua mata


berpaling ke arah Tasha Ozera. Sementara sebagian besar bangsawan
berdandan rapi, Tasha tetap terlihat sederhana dan santai. Dia memakai
celana jinsnya yang biasa, tank top putih yang sedikit memperlihatkan
perutnya, dan kardigan rajut berenda warna biru sepanjang lutut.

Seraya melirik ke arah sang moderator, Tasha bertanya, “Boleh aku bicara?”

Pria itu mengangguk. Si wanita Szelsky duduk, dan Tasha berdiri. Tidak
seperti pembicara yang lain, Tasha langsung menghampiri podium sehingga
semua orang bisa melihatnya. Rambut hitamnya yang mengilat dikucir,
sepenuhnya memperlihatkan bekas lukanya, dan aku curiga dia melakukannya
dengan sengaja. Wajahnya terlihat berani dan menantang. Cantik.

“Wanita-wanita itu tak ada di sini, Monica, karena mereka sibuk membesarkan
anak-anak mereka―kau tahu kan

, anak-anak yang ingin segera kaukirim ke garis depan begitu mereka bisa
berjalan. Dan kumohon jangan menghina kita semua dengan bertingkah
seakan kaum Moroi sudah melakukan sesuatu yang besar bagi kaum dhampir,
hanya karena kita membantu mereka mendapatkan keturunan. Mungkin
kebiasaan di dalam keluargamu memang berbeda, tetapi untuk kami semua,
seks itu menyenangkan. Kaum Moroi yang melakukannya
bersama dhampir tidak bisa dikatakan melakukan pengorbanan besar.”

Sekarang Dimitri sudah duduk tegak, wajahnya tidak lagi terlihat marah.
Mungkin dia senang karena kekasihnya yang baru menyebut-nyebut soal seks.
Rasa kesal langsung mengaliri tubuhku, dan kuharap seandainya wajahku
terlihat seperti ingin membunuh, orang-orang akan beranggapan aku kesal
pada Strigoi, bukan pada perempuan yang sedang membicarakan kami.

Di balik Dimitri, tiba-tiba aku melihat Mia yang duduk sendirian, jauh di ujung
barisan. Sebelumnya aku tidak menyadari keberadaannya di sini. Mia duduk
merosot di kursinya. Matanya terlihat merah, wajahnya lebih pucat dari
biasanya. Ada rasa sakit janggal yang membakar dadaku, rasa sakit yang
tidak pernah kuduga akan disebabkan oleh Mia.

“Dan alasan kita menunggu sampai para pengawal ini berumur delapan belas
tahun adalah membiarkan mereka menikmati kehidupan gadungan sebelum
memaksa mereka menghabiskan sisa hidup dalam bahaya. Mereka
membutuhkan tahun-tahun tambahan itu untuk mengembangkan diri secara
mental maupun fisik. Kalau kau mengerahkan mereka sebelum siap,
memperlakukan mereka seperti suku cadang dalam perakitan―kau hanya
akan menyediakan pakan ternak bagi Strigoi.”

Beberapa orang terkesiap mendengar pilihan kata Tasha yang terkesan tak
berperasaan, tetapi dia berhasil mendapatkan perhatian semua orang.

“Kau juga hanya akan menambah pakan ternak kalau berusaha memaksa
wanita dhampir lainnya menjadi pengawal. Kau tak bisa memaksa mereka
menjalani kehidupan yang tidak mereka inginkan. Keseluruhan rencanamu
mendapatkan lebih banyak pengawal adalah dengan mengorbankan anak-
anak dan orang-orang yang melakukannya secara terpaksa untuk terjun ke
tengah mara bahaya, supaya kau bisa―sedikit―lebih maju daripada musuh.
Aku akan bilang ini rencana paling bodoh yang pernah kudengar, seandainya
belum mendengar saran dia.”

Tasha menunjuk si pembicara pertama, pria yang mengusulkan agar semua


Moroi hidup bergerombol. Pria itu tampak malu.
“Kalau begitu, coba jelaskan pada kami, Natasha,” kata pria itu. “Katakan apa
yang menurutmu harus kita lakukan, mengingat kau sudah sangat
berpengalaman menghadapi Strigoi.”

Senyum tipis menghias bibir Tasha, tetapi dia tidak terpancing oleh hinaan itu.
“Menurutku?” Dia berjalan mendekati bibir panggung, menatap kami saat
menjawab pertanyaan itu. “Kurasa kita harus berhenti membuat rencana yang
hanya mengandalkan seseorang atau sesuatu untuk melindungi kita.
Menurutmu jumlah pengawal terlalu sedikit? Bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah terlalu banyak Strigoi. Dan kita sudah membiarkan jumlah
mereka berlipat ganda dan semakin kuat, karena kita tidak melakukan apa-apa
selain mengadakan perdebatan bodoh seperti ini. Kita berlari dan
bersembunyi di balik dhampir dan membiarkan Strigoi berkeliaran bebas. Ini
salah kita. Kitalah alasan keluarga Drozdov mati. Kau menginginkan pasukan?
Nah, kita ada di sini. Bukan hanya dhampir yang bisa belajar bertarung.
Pertanyaannya, Monica, bukanlah di mana para wanita dhampir.
Pertanyaannya adalah: Di mana kita?”

Sekarang Tasha mengucapkannya sambil berteriak, dan kegiatan itu


membuat pipinya merona merah muda. Matanya berbinar akibat perasaan
yang menggebu-gebu, dan jika digabungkan dengan bagian wajah lainnya
yang cantik―bahkan dengan bekas lukanya―Tasha terlihat sangat
menakjubkan. Sebagian besar orang yang ada di sana tidak sanggup
mengalihkan pandangan darinya. Lissa menatap Tasha dengan kagum,
terilhami oleh kata-katanya. Dimitri tampak sangat terkesan. Dan jauh di
baliknya….

Jauh di balik Dimitri ada Mia. Mia sudah tidak duduk merosot di kursinya lagi.
Sekarang dia duduk tegak, setegak tongkat, matanya membesar selebar yang
memungkinkan. Dia menatap Tasha seolah perempuan itulah satu-satunya
orang yang tahu semua jawaban tentang kehidupan.

Monica Szelsky tidak sekagum itu, dan dia menatap Tasha lekat-lekat.
“Tentunya kau tidak menyarankan agar Moroi bertempur bersama para
pengawal saat Strigoi datang, kan?”

Tasha menatapnya. “Tidak. Aku menyarankan agar Moroi dan pengawal


melawan Strigoi sebelum mereka datang.”

Seorang cowok berumur dua puluhan yang kelihatan seperti model iklan Ralph
Lauren tiba-tiba berdiri. Aku berani bertaruh cowok ini pasti bangsawan. Tak
ada orang selain bangsawan yang sanggup membiayai highlight pirang
sesempurna itu. Dia membuka ikatan sweter dari pinggangnya lalu
menyampirkannya ke punggung kursi. “Oh,” kata cowok itu dengan suara
mengejek, menyela pembicaraan begitu saja. “Jadi, kau hanya akan memberi
kami tongkat dan pasak, lalu mengirim kami ke 

medan perang?”

Tasha mengangkat bahu. “Kalau memang itu yang dibutuhkan, Andrew,


jawabannya tentu saja.” Senyum licik melintasi bibir Tasha. “Tapi ada senjata
lain yang bisa kita pelajari. Senjata yang tidak dimiliki pengawal.”

Ekspresi wajah Andrew memperlihatkan pendapatnya yang menganggap


betapa gilanya gagasan tersebut. Dia memutar bola mata. “Oh, ya? Contohnya
apa?”

Senyum Tasha berubah menjadi seringai lebar. “Contohnya ini.”

Tasha melambaikan tangan, dan sweter yang diletakkan Andrew di punggung


kursinya pun tersulut api.

Andrew berseru kaget lalu menjatuhkan sweter itu ke lantai, menginjaknya


untuk memadamkan api.

Sejenak ruangan itu dipenuhi helaan napas serentak. Kemudian… kekacauan


pun terjadi.
Vampire Academy 2 (Bab 13)

Vampire Academy 2 (Bab 13)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

SEMUA ORANG BERDIRI dan berteriak, ingin pendapat mereka didengar.


Meski begitu, sebagian besar memiliki pandangan yang sama: Tasha keliru.
Mereka mengatainya gila. Menurut mereka, mengirim Moroi
dan dhampir untuk bertempur melawan Strigoi akan menyebabkan kepunahan
dua ras sekaligus. Mereka bahkan menuduh Tasha, mengatakan bahwa itulah
yang direncanakannya sejak awal―bahwa entah bagaimana Tasha bekerja
sama dengan Strigoi dalam semua rencana ini.

Dimitri berdiri, wajahnya terlihat jijik saat menatap kekacauan itu. “Sebaiknya
kalian pergi saja. Tak ada yang penting lagi sekarang.”

Aku dan Mason berdiri, tetapi dia menggelengkan kepala saat aku mulai
berjalan membuntuti Dimitri keluar dari ruangan.

“Kau duluan saja,” kata Mason. “Aku ingin memeriksa sesuatu dulu.”

Aku melirik orang-orang yang sedang berdiri sambil berdebat. “Semoga


beruntung.”
Aku tak percaya bahwa baru beberapa hari berlalu sejak terakhir kali aku
bicara dengan Dimitri. Saat berjalan bersamanya menuju selasar, aku merasa
seperti sudah bertahun-tahun yang lalu. Beberapa hari terakhir yang
kuhabiskan bersama Mason memang fantastis, tetapi saat bertemu Dimitri
lagi, semua perasaanku kepadanya kembali menyerbu. Mason mendadak
terlihat seperti seorang bocah. Kekhawatiranku karena masalah Tasha juga
kembali, dan kata-kata bodoh meluap keluar sebelum aku sempat
menghentikannya.

“Bukankah mestinya kau ada di dalam untuk melindungi Tasha?” tanyaku.


“Sebelum orang-orang itu menyerangnya? Dia pasti mendapatkan masalah
besar karena menggunakan sihir seperti itu.”

Dimitri mengangkat alis. “Tasha bisa mengurus dirinya sendiri.”

“Ya, ya, karena dia jagoan karate yang memiliki keahlian sihir. Aku mengerti.
Kupikir karena kau akan menjadi pengawalnya, maka…”

“Dari mana kau mendengar soal itu?”

“Aku punya sumber sendiri.” Entah mengapa, kalau kubilang tahu dari ibuku,
kedengarannya kurang keren. “Kau sudah memutuskan untuk menerimanya,
kan? Maksudku, sepertinya itu tawaran bagus, mengingat dia akan
memberimu keuntungan lain….”

Dimitri menatapku tajam. “Apa yang terjadi antara aku dan Tasha sama sekali
bukan urusanmu,” dia menjawab tegas.

Kata-kata antara aku dan Tasha terasa menyengat. Kedengarannya dia dan


Tasha sudah menjadi satu paket. Dan, seperti yang sering kali terjadi saat
merasa terluka, amarah dan sikap kasarku langsung mengambil alih.

“Aku yakin kalian berdua akan bahagia bersama. Dia juga tipe perempuan
yang kausuka―aku tahu kau menyukai perempuan yang tidak sebaya
denganmu. Maksudku, umurnya berapa sih, enam tahun lebih tua? Tujuh? Dan
aku tujuh tahun lebih muda darimu.”

“Ya,” kata Dimitri setelah terdiam beberapa saat. “Kau memang lebih muda
tujuh tahun. Dan semakin lama, kau hanya membuktikan betapa tidak dewasa
dirimu yang sesungguhnya.”

Whoa. Rahangku nyaris menyentuh lantai. Bahkan pukulan ibuku tidak terasa
sesakit ini. Sejenak aku melihat penyesalan di mata Dimitri, seolah dia juga
baru sadar betapa kasarnya perkataannya barusan. Namun, momen itu berlalu
dan ekspresinya mengeras lagi.

“Dhampir Kecil.” Sebuah suara tiba-tiba terdengar di dekatku.

Perlahan, karena masih terpana, aku berbalik dan melihat Adrian Ivashkov. Dia
nyengir padaku dan mengangguk singkat menyapa Dimitri. Kurasa wajahku
terlihat merah membara. Berapa banyak yang didengar oleh Adrian?

Adrian mengangkat tangannya dengan gaya santai. “Aku tidak bermaksud


mengganggu. Aku hanya ingin mengobrol denganmu kalau kau punya waktu
luang.”

Aku ingin memberitahu Adrian bahwa aku tidak punya waktu untuk bermain-
main sekarang, tetapi ucapan Dimitri masih membuatku kesal. Dimitri
menatap Adrian dengan pandangan tidak suka. Aku menduga Dimitri sama
seperti semua orang, sudah mendengar reputasi jelek Adrian. Bagus, pikirku.
Tiba-tiba saja aku ingin Dimitri merasa cemburu. Aku ingin menyakiti Dimitri
seperti dia menyakitiku akhir-akhir ini.

Seraya menelan sakit hati, aku memasang senyum penakluk cowok


andalanku, senyum yang sudah lama tidak kugunakan dengan sepenuh hati.
Aku menghampiri Adrian dan memegang lengannya.

“Aku punya waktu sekarang.” Aku juga menganggukkan kepala pada Dimitri
lalu menarik Adrian pergi, merapat dengannya. “Sampai nanti, Garda Belikov.”

Mata gelap Dimitri mengikuti kami dengan pandangan dingin. Kemudian aku
berbalik, dan tidak menengok ke belakang.

“Tidak pernah tertarik pada cowok yang lebih tua, huh?” tanya Adrian saat
kami hanya berdua.

“Kau terlalu banyak berkhayal,” kataku. “Kecantikanku yang menakjubkan ini


rupanya sudah mengaburkan akal sehatmu.”

Adrian memperdengarkan tawanya yang menyenangkan. “Itu sangat mungkin


terjadi.”

Aku mulai menjauh, tetapi Adrian malah melingkarkan lengan padaku. “Tidak,
tidak, kau tadi yang ingin dekat-dekat denganku―sekarang kau harus
menyelesaikannya.”

Aku memutar bola mata pada Adrian dan membiarkan lengannya tetap
merangkulku. Aku bisa mencium bau alkohol dan aroma cengkih yang terus-
menerus tercium dari tubuhnya. Aku penasaran apakah Adrian sekarang
sedang mabuk. Aku punya firasat mungkin saja sikapnya saat mabuk atau
tidak hanya beda tipis.

“Apa yang kauinginkan?” tanyaku.

Sejenak Adrian mengamatiku. “Aku ingin kau mengajak Vasilisa dan ikut
denganku. Kita akan bersenang-senang. Kau mungkin ingin membawa baju
renang juga.” Dia kelihatan kecewa saat mengatakan ini. “Kecuali kau ingin
melakukannya tanpa busana.”

“Apa? Sekelompok Moroi dan dhampir baru saja dibantai, tapi kau malah ingin
berenang dan ‘bersenang-senang’?”

“Ini bukan sekadar berenang,” kata Adrian dengan sabar. “Lagi pula, justru
karena pembantaian itulah kau harus melakukan ini.”

Sebelum bisa mendebatnya, aku melihat teman-temanku berjalan ke arah


kami. Lissa, Mason, dan Christian. Eddie Castile bergabung dengan mereka,
dan ini sebenarnya tidak mengejutkanku, tetapi Mia juga ada bersama
mereka―nah, yang ini jelas-jelas mengagetkanku. Mereka sedang serius
mengobrol, tetapi langsung berhenti saat melihatku.

“Ternyata kau di sini,” kata Lissa, wajahnya terlihat bingung.

Aku tiba-tiba ingat lengan Adrian masih merangkulku. Aku menjauh darinya.
“Hei, Teman-Teman,” aku berkata. Sejenak suasana di antara kami terasa
canggung, dan aku berani bersumpah mendengar Adrian tergelak pelan. Aku
tersenyum padanya, lalu pada teman-temanku. “Adrian mengundang kita
untuk berenang.”

Mereka menatapku dengan kaget, dan aku hampir bisa melihat berbagai
spekulasi berputar-putar di kepala mereka. Wajah Mason terlihat agak muram,
tetapi seperti yang lain, dia tidak mengatakan apa-apa. Aku menahan diri agar
tidak mengerang.

Adrian menanggapi inisiatifku mengundang orang lain ke pesta rahasianya


dengan cukup baik. Aku sudah menduganya mengingat sifatnya yang santai.
Setelah mengambil baju renang, kami mengikuti petunjuk yang diberikan
Adrian menuju salah satu sayap di bagian lain penginapan. Pada sayap
tersebut terdapat tangga ke lantai bawah―dan turun semakin ke bawah. Aku
nyaris pusing karena tangganya terus mengular turun. Lampu-lampu listrik
tergantung di dinding, tetapi saat kami berjalan semakin jauh, dinding-dinding
bercat itu berubah menjadi dinding batu yang dipahat.

Saat tiba di tempat tujuan, kami mendapati ternyata Adrian benar―ini bukan
sekadar berenang. Kami berada di area spa istimewa milik resor ini. Spa ini
hanya digunakan oleh kaum Moroi yang paling terpandang. Saat
ini, spa tersebut dipesan untuk sekelompok bangsawan yang kuperkirakan
sebagai teman-teman Adrian. Di sana ada tiga puluh orang―semuanya seusia
Adrian atau lebih tua―yang penampilannya memperlihatkan bahwa mereka
orang kaya dan terpandang.

Spa ini terdiri atas beberapa kolam mineral panas. Mungkin tempat ini dulunya
sebuah gua atau semacamnya, tetapi orang-orang yang membangun
penginapan sudah merapikan area di sekelilingnya. Dinding dan langit-langit
batu hitam yang ada tampak terawat dan cantik seperti semua ruangan yang
ada di resor. Rasanya seperti berada di dalam gua―gua rancangan desainer
yang sangat nyaman. Rak-rak berisi handuk berjajar di dinding, begitu pula
dengan meja-meja yang dipenuhi oleh makanan eksotik. Kolam mandinya
serasi dengan dekorasi keseluruhan ruangan yang menyerupai gua; kolam-
kolam berpinggiran batu berisi air yang dipanaskan oleh energi bawah tanah.
Uap air memenuhi ruangan, dan ada bau logam yang samar-samar
menggantung di udara. Suara orang-orang yang sedang berpesta dan cipratan
air bergema di sekeliling kami.

“Kenapa Mia ikut bersama kalian?” tanyaku pelan pada Lissa. Kami sedang
berkeliling ruangan, mencari kolam yang kosong.

“Dia sedang mengobrol dengan Mason saat kami bersiap-siap pergi,” jawab
Lissa. Dia juga menjaga suaranya tetap pelan. “Rasanya kejam kalau…
entahlah… meninggalkannya begitu saja….”

Bahkan aku pun menyetujui pendapat tersebut. Tanda-tanda kesedihan jelas


terlihat di wajah Mia, tetapi setidaknya untuk sementara perhatiannya
teralihkan oleh entah apa yang sedang dikatakan Mason kepadanya.

“Kusangka kau tidak kenal Adrian,” tambah Lissa. Suara dan ikatan batin
menunjukkan bahwa dia tidak menyukainya. Akhirnya kami menemukan
sebuah kolam besar yang agak jauh dari kolam lainnya. Sepasang kekasih
tampak sibuk bermesraan di sisi seberang, tetapi masih banyak ruang yang
tersisa untuk kami. Tidak sulit mengabaikan mereka.
Aku memasukkan sebelah kaki ke dalam kolam itu lalu langsung menariknya
lagi.

“Aku memang tidak kenal,” aku berkata pada Lissa. Perlahan-lahan aku
memasukkan kakiku lagi, diikuti anggota tubuh lainnya. Aku meringis saat
airnya mencapai perut. Aku memakai bikini warna merah tua, dan air kolam
yang panas terasa menyengat perutku.

“Kau pasti sedikit mengenalnya. Dia sampai mengundangmu ke sebuah


pesta.”

“Yeah, tapi apa kau melihatnya bersama kita sekarang?”

Lissa mengikuti arah pandanganku. Adrian sedang berdiri di ujung ruangan


bersama sekelompok gadis dengan bikini yang lebih mini daripada punyaku.
Salah satunya rancangan Betsey Johnson yang pernah kulihat di majalah dan
sangat kudambakan. Aku mendesah dan memalingkan wajah.

Pada saat itu kami sudah berada di dalam air. Airnya begitu panas sehingga
aku merasa seperti berada dalam panci sup. Saat Lissa sepertinya sudah
yakin aku tidak berhubungan apa-apa dengan Adrian, aku bergabung dengan
obrolan teman-temanku.

“Kalian sedang membicarakan apa?” aku menyela. Bertanya seperti itu jauh
lebih mudah daripada ikut mendengarkan sampai menyadari apa yang sedang
mereka bicarakan.

“Hasil pertemuan,” kata Mason bersemangat. Sepertinya dia sudah bisa


melupakan kekesalannya melihatku bersama Adrian.

Christian duduk nyaman di sebuah ceruk kecil yang ada di dalam kolam. Lissa
bergelung di sampingnya. Christian merangkul Lissa dengan sikap memiliki,
dan menyandarkan punggung ke tepi kolam.

“Pacarmu ingin memimpin pasukan untuk melawan Strigoi,” kata Christian.


Aku tahu Christian mengatakannya untuk memancing amarahku.

Aku menatap Mason dengan pandangan bertanya. Aku tidak mau membuang-
buang tenaga menanggapi tantangan Christian yang menyebut Mason
“pacarku”.

“Hei, bibimu yang menyarankan semua ini,” Mason mengingatkan Christian.


“Dia hanya bilang kita harus menemukan Strigoi sebelum mereka menemukan
kita lagi,” jawab Christian. “Dia bukan mendorong para novis untuk bertarung.
Itu ide Monica Szelsky.”

Seorang pelayan datang membawa nampan berisi minuman berwarna merah


muda. Minumannya disajikan dalam gelas-gelas kristal bergagang yang
terlihat elegan, bibir gelasnya dihiasi butiran gula. Aku sangat curiga
minumannya mengandung alkohol, tetapi aku ragu siapa pun yang ada di
pesta ini akan dikeluarkan karenanya. Aku sama sekali tidak bisa menebak
apa yang ada di dalam minuman ini. Pengalamanku dengan alkohol hanya
melibatkan bir murahan. Aku mengambil satu gelas lalu menoleh ke Mason
lagi.

“Menurutmu itu ide bagus?” tanyaku kepadanya. Aku menyesap minuman


dengan hati-hati. Sebagai pengawal yang sedang menjalani pelatihan, aku
merasa harus selalu waspada, tetapi malam ini aku sedang ingin
membangkang. Minumannya terasa seperti punch. Sari buah grapefruit. Ada
sesuatu yang manis, mungkin stroberi. Aku masih yakin minuman ini
mengandung alkohol, tetapi kelihatannya tidak cukup kuat untuk membuatku
mabuk.

Tidak lama kemudian, pelayan lain datang membawa nampan berisi makanan.
Aku meliriknya dan nyaris tidak mengenali semua makanan itu. Di atas
nampan terdapat sesuatu yang terlihat mirip jamur yang diisi keju, lalu
sesuatu yang kelihatan seperti bulatan daging atau sosis. Sebagai karnivora
yang baik, aku mengambil sepotong dan berpikir rasanya pasti tidak akan
terlalu buruk.

“Itu foie gras,” kata Christian. Wajahnya memperlihatkan senyum yang tidak


kusukai.

Aku menatapnya dengan cemas. “Apa itu?”

“Kau tak tahu?” Nada suara Christian terdengar angkuh, dan untuk kali
pertama dalam hidupnya, dia terdengar seperti seorang bangsawan yang
memamerkan pengetahuan elitenya di hadapan bawahannya. Dia mengangkat
bahu. “Coba saja. Cari tahu sendiri.”

Lissa mendesah kesal. “Itu hati angsa.”

Aku segera menarik tanganku. Si pelayan berlalu, dan Christian tertawa. Aku
memelototinya.
Sementara itu Mason masih menanggapi pertanyaanku mengenai perlunya
para novis ikut bertarung sebelum kelulusan.

“Memangnya apa lagi yang bisa kita lakukan?” tanya Mason dengan nada
menantang. “Apa yang kaulakukan? Setiap pagi kau berlari keliling lapangan
dengan Belikov. Apa gunanya semua itu untukmu? Untuk Moroi?”

Apa gunanya semua itu untukku? Membuat jantungku berdebar kencang dan
benakku menerawang dengan pikiran-pikiran yang tidak senonoh.

Alih-alih aku menjawab, “Kita belum siap.”

“Hanya tinggal enam bulan lagi sebelum lulus,” Eddie menimbrung.

Mason mengangguk sependapat. “Yeah. Berapa banyak lagi yang bisa kita
pelajari?”

“Banyak,” kataku seraya memikirkan betapa banyak yang kupelajari dari sesi
latihanku bersama Dimitri. Aku menghabiskan minuman. “Lagi pula, kapan
semua itu akan berakhir? Anggap saja mereka mengakhiri sekolah enam
bulan lebih awal, lalu mengirim kita bertarung. Selanjutnya apa? Mereka akan
memutuskan bertindak lebih jauh dan memotong tahun terakhir sekolah?
Tahun awal?”

Mason mengangkat bahu. “Aku tak takut bertempur. Aku bisa mengalahkan
Strigoi bahkan saat masih berada di tahun kedua.”

“Yeah,” kataku datar. “Sama seperti saat kau bermain ski di atas lereng.”

Wajah Mason yang sudah merona akibat panasnya air terlihat semakin merah.
Aku langsung menyesali ucapanku, apalagi saat Christian mulai tertawa.

“Tak kusangka aku mengalami hari ketika aku sependapat denganmu, Rose.
Tapi sayangnya itu memang terjadi.” Pelayan yang membawa minuman
datang lagi. Christian dan aku sama-sama kembali mengambil minuman.
“Moroi harus mulai membantu kita mempertahankan diri sendiri.”

“Dengan sihir?” tiba-tiba Mia bertanya.

Itu kali pertama Mia bicara sejak kami tiba di sini. Sejak tadi dia diam saja.
Kurasa Mason dan Eddie tidak menanggapi pertanyaannya karena mereka
tidak tahu apa-apa soal bertempur menggunakan sihir. Aku, Lissa, dan
Christian tahu―dan kami berusaha keras agar terlihat tidak tahu apa-apa.
Namun, kedua mata Mia menunjukkan sesuatu yang menyerupai harapan, dan
aku hanya bisa membayangkan apa yang sudah dialaminya hari ini. Dia
bangun dan mendapati ibunya meninggal, lalu terpaksa mengikuti perdebatan
mengenai politik dan strategi bertarung. Kenyataan bahwa dia duduk di sini
dengan sikap cukup tenang bisa dikatakan ajaib. Aku selalu menduga orang
yang sungguh-sungguh mencintai ibunya pasti takkan sanggup melakukan
apa-apa dalam situasi seperti ini.

Saat tidak ada orang yang kelihatan akan menjawabnya, aku berkata, “Kurasa
begitu. Tapi… aku tak tahu banyak soal itu.”

Aku menghabiskan minuman dan mengalihkan pandangan, berharap ada


orang lain yang menyambungnya. Ternyata tidak. Mia kelihatan kecewa, tetapi
tidak mengatakan apa-apa lagi saat Mason kembali berdebat soal Strigoi.

Aku mengambil gelas ketiga dan menenggelamkan diri sedalam mungkin ke


air, masih memegangi gelas. Minuman yang ini rasanya berbeda. Sepertinya
mengandung cokelat dan dihias krim kocok di puncaknya. Aku mencobanya
dan merasakan jejak alkohol. Tetapi kupikir cokelat mungkin akan
melarutkannya.

Saat ingin mengambil minuman keempat, aku tidak melihat pelayan di dekat
kami. Mason mendadak terlihat sangat imut di mataku. Aku ingin
mendapatkan perhatian romantis darinya, tetapi dia masih membicarakan
Strigoi dan persoalan logistik jika ingin melakukan serangan mendadak. Mia
dan Eddie mengangguk-angguk penuh semangat, dan aku punya firasat jika
Mason memutuskan untuk memburu Strigoi sekarang juga, mereka pasti akan
langsung membuntutinya. Christian sebenarnya ikut terlibat dalam
pembicaraan, tetapi bisa dibilang dia lebih berperan sebagai pihak yang
memanas-manasi. Seperti biasanya. Dia mengutarakan semacam serangan
pencegahan yang melibatkan pengawal dan Moroi, sama seperti yang
disampaikan Tasha. Mason, Mia, dan Eddie berpendapat bahwa jika kaum
Moroi tidak sanggup melakukannya, para pengawal harus mengatasi
semuanya sendiri.

Harus kuakui, antusiasme mereka agak menular. Aku lumayan suka dengan
gagasan menyerang Strigoi. Tetapi dalam serangan terhadap keluarga Badica
dan Drozdov, semua pengawalnya terbunuh. Sudah jelas para Strigoi
bergabung menjadi kelompok-kelompok besar dan mendapatkan bantuan,
tetapi menurutku semua itu hanya menunjukkan bahwa kami harus lebih
berhati-hati.

Terlepas dari ketampanannya, aku tak mau mendengar Mason membicarakan


keahlian bertarungnya lagi. Aku ingin menambah minuman. Aku berdiri lalu
naik ke tepi kolam. Aku terkejut saat duniaku mulai terasa berputar. Aku
pernah mengalami hal serupa saat terlalu cepat keluar dari bak mandi air
panas, tetapi saat keadaan di sekelilingku tidak segera pulih, aku sadar efek
minuman tadi mungkin lebih keras daripada yang kuduga.

Aku juga memutuskan sepertinya mengambil minuman keempat mungkin


bukan ide bagus, tetapi aku tak mau kembali ke kolam dan membiarkan
orang-orang tahu aku sudah mabuk. Aku berjalan ke ruangan samping yang
kulihat dimasuki pelayan. Kuharap mereka menyembunyikan hidangan
pencuci mulut di sana, mousse cokelat alih-alih hati angsa. Sambil berjalan,
aku menaruh perhatian lebih pada lantai yang licin, dengan pikiran jika terjatuh
ke dalam salah satu kolam dan tulang tengkorakku patah, aku akan
kehilangan poin kerenku.

Aku begitu sibuk mengawasi langkah dan berusaha tidak berjalan limbung
sampai-sampai menabrak seseorang. Untungnya, dia yang salah. Cowok itu
sedang berjalan mundur hingga menabrakku.

“Hei, lihat-lihat dong,” kataku sambil menyeimbangkan tubuh.

Tetapi cowok itu sama sekali tidak memperhatikanku. Matanya sedang


menatap cowok lain, seorang cowok dengan hidung berdarah.

Aku berjalan tepat ke tengah-tengah sebuah perkelahian.


Vampire Academy 2 (Bab 14)

Vampire Academy 2 (Bab 14)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

DUA ORANG COWOK yang belum pernah kulihat sedang berhadapan.


Kelihatannya mereka berusia dua puluhan, dan tak satu pun dari mereka yang
menyadari keberadaanku. Cowok yang menabrakku mendorong lawannya
dengan keras, memaksanya terhuyung-huyung mundur.

“Kau takut!” cowok yang berada di dekatku berteriak. Dia memakai celana
renang berwarna hijau, dan rambut hitamnya menempel rapi ke belakang
karena basah. “Kalian semua pengecut. Kalian hanya ingin bersembunyi di
rumah mewah kalian dan membiarkan para pengawal yang melakukan
pekerjaan kotor. Apa yang akan kalian lakukan kalau mereka semua mati?
Kalau itu terjadi, siapa yang akan melindungi kalian?”

Cowok di hadapannya mengusap darah dari wajah dengan punggung tangan.


Aku tiba-tiba mengenalinya―berkat highlight pirangnya. Dia bangsawan yang
meneriaki Tasha soal menggiring Moroi ke medan pertempuran. Tasha
memanggilnya Andrew. Dia berusaha mendaratkan pukulan dan gagal,
tekniknya benar-benar salah. “Inilah cara yang paling aman. Kalau kau
mendengarkan si pecinta Strigoi, kita semua pasti akan mati. Dia berusaha
memusnahkan ras kita!”

“Dia berusaha menyelamatkan kita!”

“Dia berusaha agar kita menggunakan sihir hitam!”

Si “pecinta Strigoi” yang dimaksud pasti Tasha. Si cowok bukan bangsawan


adalah orang pertama di luar kelompok kecil kami yang kudengar membela
Tasha. Aku penasaran ada berapa orang yang berpendapat sama seperti
cowok ini di luar sana. Dia menonjok Andrew lagi, dan insting dasarku―atau
mungkin tonjokannya―membuatku langsung beraksi.
Aku melompat maju lalu menempatkan diri di antara keduanya. Aku masih
merasa pusing dan sedikit limbung. Kalau keduanya tidak berdiri sedekat itu,
mungkin aku sudah terjungkal. Mereka berdua ragu, jelas-jelas lengah.

“Pergi dari sini,” bentak Andrew.

Keduanya Moroi, jadi mereka lebih tinggi dan lebih besar dariku, tetapi
mungkin aku lebih kuat dari mereka. Berharap bisa melakukannya sebaik
mungkin, aku merenggut lengan mereka, menarik mereka mendekat, lalu
mendorong keduanya sejauh mungkin. Mereka terhuyung, sama sekali tidak
menduga kekuatanku. Aku sendiri juga agak terhuyung.

Si cowok bukan bangsawan melotot dan maju menghampiriku. Aku


mengandalkan kemungkinan bahwa dia orang yang berpandangan kuno dan
tidak tega memukul perempuan. “Apa yang kaulakukan?” serunya. Beberapa
orang sudah berkumpul dan menonton dengan penuh semangat.

Aku membalas tatapannya. “Aku berusaha menghentikan kalian agar tidak


bertingkah lebih bodoh lagi! Kalian ingin bantuan? Berhentilah berkelahi!
Berusaha mencopot kepala satu sama lain tidak akan menyelamatkan Moroi,
kecuali kalian berusaha mengurangi kebodohan dari kolam gen kalian.” Aku
menuding Andrew. “Tasha Ozera bukan berusaha membunuh semua orang.
Dia berusaha agar kalian tidak terus-menerus menjadi korban.” Aku berbalik
ke cowok satunya. “Dan kau, kau harus berpikir lagi kalau menganggap ini
sebagai jalan untuk mendapatkan keinginanmu. Sihir―terutama sihir
menyerang―butuh pengendalian diri yang tinggi, dan sejauh yang kulihat, kau
tidak membuatku terkesan. Aku bisa melakukannya dengan lebih baik, dan
kalau mengenalku sedikit saja, kau pasti akan mengerti betapa gilanya hal
itu.”

Kedua cowok itu memandangiku dengan takjub. Ternyata aku lebih ampuh
daripada senjata penyengat. Yah, setidaknya selama beberapa detik. Karena
saat efek mengagetkan kata-kataku mulai memudar, mereka kembali saling
menyerang. Aku terjebak dalam arena pertempuran dan terdorong ke
samping, nyaris terjatuh. Tiba-tiba, Mason muncul dari belakang untuk
membelaku. Dia meninju orang pertama yang bisa digapainya―si cowok
bukan bangsawan.

Cowok itu terlempar ke belakang, terjatuh ke dalam salah satu kolam dengan
cipratan keras. Aku menjerit, teringat kekhawatiran mematahkan tulang
tengkorak yang sempat tebersit dalam benakku. Tetapi sesaat kemudian,
cowok itu berhasil mendapatkan pijakan dan mengusap air dari matanya.
Aku merenggut lengan Mason, berusaha menahannya, tetapi dia menepisku
dan mengejar Andrew. Mason mendorong Andrew dengan keras,
menyudutkannya ke arah beberapa Moroi―kuduga mereka teman-teman
Andrew―yang tampaknya sedang berusaha menengahi perkelahian. Si cowok
yang ada di dalam kolam memanjat ke luar, wajahnya tampak murka, lalu
mulai menghampiri Andrew. Kali ini aku dan Mason menghalanginya. Dia
memelototi kami.

“Jangan,” aku memperingatkannya.

Cowok itu mengepalkan tinju dan tampak ingin melawan. Tetapi kami terlihat
menakutkan, dan sepertinya dia tidak punya gerombolan teman seperti
Andrew―yang sekarang meneriakkan kata-kata kasar sambil dibawa pergi.
Seraya menggumamkan beberapa ancaman, si cowok bukan bangsawan pun
mundur.

Begitu dia pergi, aku menoleh pada Mason. “Kau sudah gila, ya?”

“Huh?”

“Ikut-ikutan dalam perkelahian itu!”

“Kau juga,” balas Mason.

Aku hendak mendebatnya, lalu tersadar bahwa yang diucapkannya memang


benar. “Itu berbeda,” gerutuku.

Mason membungkuk ke arahku. “Kau mabuk, ya?”

“Tidak. Tentu saja tidak. Aku hanya berusaha mencegahmu bertindak bodoh.
Hanya karena kau berkhayal sanggup mengalahkan Strigoi, bukan berarti kau
bisa melampiaskannya pada semua orang.”

“Berkhayal?” tanya Mason tajam.

Pada saat itu aku mulai merasa mual. Kepalaku terasa berputar, dan aku
berusaha melanjutkan perjalanan menuju ruangan samping, berharap tidak
tersandung.

Tetapi saat tiba di sana, kulihat ruangan itu sama sekali bukan tempat
menyimpan hidangan pencuci mulut atau minuman. Yah, setidaknya tidak
seperti yang kuduga. Itu ruang donor. Beberapa manusia sedang berbaring di
sofa panjang berlapis sutra bersama Moroi di sampingnya. Dupa beraroma
melati memenuhi udara. Aku terpana dan dengan takjub menyaksikan
seorang cowok Moroi berambut pirang membungkuk lalu menggigit leher
seorang gadis berambut merah yang sangat cantik. Saat itu aku baru sadar
bahwa semua donor yang ada di sana sangat cantik. Sepertinya mereka aktris
atau model. Hanya yang terbaik untuk kaum bangsawan.

Cowok itu minum dengan isapan yang dalam dan panjang, si gadis menutup
mata dan mulutnya terbuka, wajahnya terlihat sangat bahagia saat endorfin
yang berasal dari Moroi membanjiri aliran darahnya. Tubuhku menggigil,
teringat saat aku mengalami euforia yang sama. Dalam benakku yang dilapisi
alkohol, segala sesuatunya tiba-tiba terlihat sangat erotis. Bahkan, aku
merasa seperti sedang mengganggu―seolah sedang melihat orang yang
sedang berhubungan seks. Saat Moroi itu selesai dan menjilat tetesan darah
terakhir, dia mencium lembut pipi mulus si gadis donor.

“Mau jadi sukarelawan?”

Ada jemari yang menyapu ringan leherku, dan aku pun terlonjak. Aku berbalik
lalu melihat mata hijau Adrian dan senyum sok tahunya.

“Jangan lakukan itu,” kataku sambil menepis tangannya.

“Kalau begitu, apa yang kaulakukan di sini?” tanya Adrian.

Aku memberi isyarat ke sekelilingku. “Aku tersesat.”

Adrian menatapku. “Kau mabuk, ya?”

“Tidak. Tentu saja tidak… tapi…” Mualnya sudah agak menghilang, tetapi aku
masih merasa tidak enak badan. “Sepertinya aku harus duduk.”

Adrian meraih lenganku. “Kalau begitu, jangan duduk di sini. Orang lain bisa
salah paham. Ayo, kita pergi ke tempat yang sepi.”

Adrian membimbingku ke ruangan yang lain, dan aku memandang sekeliling


dengan penasaran. Ini area pijat. Beberapa Moroi sedang berbaring dan
menikmati pijatan punggung serta kaki dari karyawan hotel. Minyak pijat yang
digunakan sepertinya beraroma rosemary dan lavender. Pada saat-saat yang
lain, pijat akan terdengar sangat menyenangkan, tetapi berbaring
menelungkup sepertinya ide yang sangat buruk untuk saat ini.

Aku duduk di lantai beralas karpet dan bersandar ke dinding. Adrian pergi lalu
kembali sambil membawa segelas air. Dia duduk di sampingku, lalu
menyerahkan gelasnya.

“Minum ini. Bisa membuatmu merasa lebih baik.”


“Sudah kubilang, aku tidak mabuk,” gumamku. Tapi aku tetap meminum
airnya.

“Uh-huh.” Adrian tersenyum. “Kau menangani perkelahiannya dengan hebat.


Siapa cowok yang membantumu tadi?”

“Pacarku,” jawabku. “Yah, bisa dibilang begitu.”

“Mia ternyata benar. Kehidupanmu memang dipenuhi banyak cowok.”

“Sebenarnya bukan begitu.”

“Oke.” Adrian masih tersenyum. “Vasilisa mana? Kupikir dia akan selalu
menempel denganmu.”

“Dia sedang bersama pacarnya.” Aku mengamati Adrian.

“Kenapa nada bicaramu begitu? Kau cemburu? Kau menginginkan cowok itu
untukmu sendiri?”

“Astaga, tidak. Aku hanya tidak menyukainya.”

“Apakah dia memperlakukan Vasilisa dengan buruk?” tanya Adrian.

“Tidak,” aku mengakui. “Dia memuja Lissa. Hanya saja dia agak
menyebalkan.”

Adrian jelas-jelas menikmati semua ini. “Ah, kau memang cemburu. Apa


Vasilisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan cowok itu daripada
denganmu?”

Aku mengabaikan pertanyaannya. “Kenapa kau terus-menerus menanyakan


Lissa? Kau menyukainya, ya?”

Adrian tertawa. “Tenanglah, aku tidak menyukainya seperti aku menyukaimu.”

“Tapi kau menyukainya.”

“Aku hanya ingin mengobrol dengannya.”

Adrian pergi mengambil air lagi. “Sudah baikan?” dia bertanya sambil
menyerahkan gelas. Gelasnya terbuat dari kristal dengan ukiran rumit pada
permukaannya. Kelihatannya terlalu mewah untuk diisi air putih saja.

“Yeah… aku tidak menyangka minumannya sekeras itu.”

“Di sanalah letak keindahannya,” Adrian tergelak. “Dan omong-omong soal


keindahan… warna itu sangat cocok untukmu.”
Aku bergeser. Mungkin aku tidak memperlihatkan kulit telanjang sebanyak
gadis-gadis lain, tapi lebih banyak dari yang sebenarnya ingin kutunjukkan
pada Adrian. Atau sebenarnya aku memang menginginkannya? Ada sesuatu
yang aneh pada diri Adrian. Tingkah lakunya yang arogan membuatku kesal…
tetapi aku tetap senang berada di dekatnya. Mungkin sifat sok yang ada di
dalam diriku mengenali jiwa yang serupa.

Di salah sudut pikiranku yang sedang mabuk, sebuah cahaya tiba-tiba


menyala. Tetapi aku belum bisa memahaminya. Aku minum lebih banyak air.

“Kau tidak merokok selama, hmm, mungkin sepuluh menit terakhir,” kataku,
berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Adrian mencibir. “Di sini tidak boleh merokok.”

“Aku yakin kau sudah mendapat gantinya di dalam punch.”

Adrian kembali tersenyum. “Sebagian dari kita bisa menahan diri untuk tidak
minum minuman keras. Kau tidak akan muntah, kan?”

Aku masih merasa agak mabuk tetapi sudah tidak mual. “Tidak.”

“Bagus.”

Aku teringat pada mimpiku tentang Adrian. Itu memang hanya mimpi, tetapi


aku masih terus mengingatnya, terutama saat dia mengatakan bahwa aku
dikelilingi oleh kegelapan. Aku ingin menanyakannya pada Adrian… meski aku
tahu betapa bodohnya keinginan itu. Itu mimpiku, bukan mimpi Adrian.

“Adrian….”

Adrian mengarahkan mata hijaunya padaku. “Ya, darling?”

Aku tidak sanggup menanyakannya. “Lupakan saja.”

Adrian hendak menjawab, tetapi kemudian menelengkan kepala ke arah pintu.


“Ah, dia sudah datang.”

“Siapa―”

Lissa masuk ke dalam ruangan, matanya menyapu sekeliling. Saat dia melihat
kami, kulihat rasa lega membanjiri dirinya. Namun, aku tak bisa
merasakannya. Zat memabukkan seperti alkohol membuat ikatan batin di
antara kami menjadi tumpul. Ini alasan lain mengapa malam ini seharusnya
aku tidak melakukan hal bodoh seperti itu.
“Ternyata kau di sini,” kata Lissa sambil berlutut di sampingku. Lissa
mengangguk seraya melirik Adrian. “Hei.”

“Hei juga, Sepupu,” jawab Adrian, menggunakan istilah kekeluargaan yang


terkadang digunakan kaum bangsawan terhadap satu sama lain.

“Kau baik-baik saja?” Lissa bertanya padaku. “Saat aku melihat betapa
mabuknya dirimu, kupikir kau mungkin terjatuh di suatu tempat dan
tenggelam.”

“Aku tidak―” Aku menyerah terus-menerus menyangkal. “Aku baik-baik saja.”

Ekspresi wajah Adrian yang biasa kulihat berubah menjadi serius saat
mengamati Lissa. Lagi-lagi hal itu mengingatkan aku pada mimpinya.
“Bagaimana kau menemukannya?”

Lissa menatap Adrian dengan bingung. “Aku, em, memeriksa semua ruangan.”

“Oh.” Adrian kelihatan kecewa. “Kupikir kau menggunakan ikatan batin kalian.”

Aku dan Lissa berpandangan.

“Bagaimana kau tahu soal itu?” tuntutku. Di sekolah hanya sedikit orang yang
tahu. Adrian membicarakannya dengan santai seperti sedang membicarakan
warna rambutku.

“Hei, aku tak bisa membocorkan rahasiaku, kan?” tanya Adrian dengan nada
misterius. “Lagi pula, ada sesuatu yang berbeda dengan cara kalian berdua
berinteraksi… tapi sulit untuk menjelaskannya. Keren juga… semua mitos kuno
itu ternyata benar.”

Lissa menatap Adrian dengan waspada. “Ikatan batinnya hanya berlaku satu
arah. Rose bisa merasakan apa yang kurasakan dan kupikirkan, tapi aku tak
bisa melakukannya pada Rose.”

“Ah.” Sejenak kami tidak mengatakan apa-apa, dan aku minum lebih banyak
air. Adrian bicara lagi. “Memangnya spesialisasimu apa, Sepupu?”

Lissa tampak malu. Kami berdua sama-sama tahu betapa pentingnya


merahasiakan kekuatan roh yang dimiliki Lissa agar tidak dimanfaatkan orang
lain, tetapi menutupinya, dengan mengatakan belum memiliki spesialisasi
selalu membuat Lissa risih.

“Belum ada,” kata Lissa.

“Apa menurut mereka kau akan mendapatkannya? Terlambat berkembang?”


“Tidak.”

“Tapi mungkin saja kemampuanmu lebih tinggi dalam elemen lain, kan?
Hanya tidak cukup kuat untuk menguasai salah satunya?” Adrian mengulurkan
tangan untuk menepuk bahu Lissa dan berusaha menunjukkan dukungan
dengan cara berlebihan.

“Yeah, bagaimana kau―”

Begitu jemari Adrian menyentuhnya, Lissa terkesiap. Seakan-akan ada petir


yang menyambar tubuhnya. Wajah Lissa menunjukkan ekspresi yang sangat
aneh. Sekalipun sedang mabuk aku bisa merasakan luapan kebahagiaan yang
mengalir melalui ikatan batin kami. Lissa menatap Adrian dengan takjub.
Mata Adrian juga terpaku pada mata Lissa. Aku tidak mengerti mengapa
mereka saling menatap seperti itu, tetapi yang pasti hal itu membuatku risih.

“Hei,” aku berkata. “Hentikan. Sudah kubilang, dia punya pacar.”

“Aku tahu,” kata Adrian, masih menatap Lissa. Senyum simpul terbentuk di
bibirnya. “Kapan-kapan kita harus mengobrol, Sepupu.”

“Ya,” Lissa sepakat.

“Hei.” Aku semakin bingung. “Kau punya pacar. Dan ini dia orangnya datang.”

Lissa mengerjapkan mata dan kembali ke kenyataan. Kami bertiga menoleh


ke pintu. Christian dan yang lain-lain sedang berdiri di sana. Tiba-tiba aku
teringat pada saat mereka menemukanku dengan tangan Adrian merangkul
tubuhku. Keadaan saat ini tidak lebih baik. Aku dan Lissa sedang duduk di
kedua sisi Adrian, dalam jarak yang sangat dekat.

Lissa melompat berdiri, wajahnya terlihat agak bersalah. Christian


menatapnya dengan penasaran.

“Kami mau pergi dari sini,” kata Christian.

“Oke,” jawab Lissa. Dia menunduk menatapku. “Kau sudah siap?”

Aku mengangguk dan mulai bangkit. Adrian langsung menangkap lenganku


lalu membantuku berdiri. Dia tersenyum pada Lissa. “Menyenangkan sekali
bisa bicara denganmu.” Kemudian dia bergumam padaku dengan sangat
pelan, “Jangan takut. Sudah kubilang, aku tidak menyukainya dalam artian
seperti itu. Dia tidak kelihatan sehebat dirimu dalam baju renang. Mungkin
tanpa baju renang juga tidak sehebat itu.”
Aku menarik lenganku. “Kau takkan pernah mengetahuinya dengan pasti.”

“Tak masalah,” katanya. “Imajinasiku cukup hebat.”

Aku bergabung dengan yang lain, dan kami kembali ke bagian utama
penginapan. Mason menatapku dengan cara yang sama anehnya dengan cara
Christian memandang Lissa. Dia menjauh dariku, berjalan di depan bersama
Eddie. Aku terkejut dan tidak nyaman saat menyadari bahwa aku sedang
berjalan di samping Mia. Dia tampak sedih.

“Aku… aku benar-benar menyesal mendengar apa yang terjadi,” kataku


akhirnya.

“Kau tak perlu pura-pura peduli, Rose.”

“Tidak, tidak. Aku sungguh-sungguh. Kejadiannya sangat mengerikan… Aku


ikut berduka.” Mia tidak mau menatapku. “Apa… apa kau akan segera
menemui ayahmu?”

“Saat mereka mengadakan upacara pemakaman,” Mia berkata kaku.

“Oh.”

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi dan mengalihkan perhatian pada anak
tangga yang sedang kami naiki menuju lantai dasar penginapan. Tanpa
diduga, Mia-lah yang melanjutkan pembicaraan kami.

“Aku melihatmu menengahi perkelahian tadi…” kata Mia pelan. “Kau tadi
menyebut-nyebut soal sihir menyerang. Seolah kau tahu banyak soal itu.”

Oh. Hebat sekali. Mia akan berusaha untuk memerasku… atau tidak? Pada
saat ini dia terlihat hampir bersahabat.

“Aku hanya menebak-nebak,” kataku. Aku tidak mungkin membocorkan soal


Tasha dan Christian. “Sebenarnya aku tidak tahu sebanyak itu. Hanya dari
cerita-cerita yang kudengar.”

“Oh.” Wajah Mia terlihat merengut. “Cerita-cerita seperti apa?”

“Um, yah….” Aku berusaha memikirkan sebuah cerita yang tidak terlalu samar
tetapi juga tidak terlalu spesifik. “Sama seperti yang kukatakan pada mereka…
konsentrasi itu sangat penting. Karena kalau kau sedang bertempur melawan
Strigoi, segala macam hal bisa mengalihkan perhatianmu. Jadi, kau harus bisa
mengendalikan diri.”
Sebenarnya itu aturan dasar pengawal, tetapi Mia pasti baru mendengarnya.
Matanya melebar penuh semangat. “Apa lagi? Mantra apa saja yang dipakai?”

Aku menggelengkan kepala. “Entahlah. Aku tak mengerti cara kerja mantra,
dan seperti yang kubilang, semua ini hanya… cerita yang kudengar. Sepertinya
kau harus mencari cara agar elemen yang kaukuasai bisa digunakan sebagai
senjata. Contohnya… para pengguna sihir api benar-benar memiliki
keuntungan karena api bisa membunuh Strigoi, jadi hal itu cukup mudah bagi
mereka. Dan pengguna sihir udara bisa mencekik orang.” Aku pernah
sungguh-sungguh merasakan hal itu melalui Lissa. Rasanya sangat
mengerikan.

Mata Mia semakin lebar. “Bagaimana dengan pengguna sihir air?” tanyanya.
“Bagaimana cara air bisa menyakiti Strigoi?”

Aku terdiam sejenak. “Aku, eh, tidak pernah mendengar cerita mengenai
pengguna sihir air. Maaf.”

“Tapi bisakah kau memikirkan sebuah cara? Cara yang bisa dipelajari orang-
orang sepertiku?”

Ah. Jadi, ternyata itu inti permasalahannya. Sebenarnya tidak terlalu


mengejutkan. Aku ingat bagaimana wajah Mia kelihatan bersemangat saat
Tasha membicarakan rencana menyerang Strigoi pada pertemuan tadi. Mia
ingin membalas dendam pada Strigoi atas kematian ibunya. Tidak heran sejak
tadi dia dan Mason sangat akur.

“Mia,” kataku lembut, memegangi pintu untuk membiarkannya masuk.


Sekarang kami hampir tiba di lobi. “Aku tahu kau pasti ingin… melakukan
sesuatu. Tapi kurasa sebaiknya kau harus membiarkan dirimu untuk, em,
berduka dulu.”

Wajah Mia memerah, dan tiba-tiba aku melihat Mia yang pemarah seperti
biasanya. “Jangan remehkan aku,” katanya.

“Hei, aku tidak meremehkanmu. Aku serius. Aku hanya tidak ingin kau
bertindak gegabah selama masih sedih. Lagi pula….” Aku menelan kembali
kata-kata yang hendak kuucapkan.

Mia menyipitkan mata. “Apa?”

Persetan. Mia tetap harus mengetahuinya. “Yah, sebenarnya aku tak tahu apa
gunanya sihir air dalam melawan Strigoi. Bisa dibilang air elemen paling tidak
berguna dalam melawan Strigoi.”
Wajahnya tampak sangat marah. “Kau benar-benar menyebalkan, tahu?”

“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”

“Nah, kuberitahu kau yang sebenarnya. Kau benar-benar idiot untuk urusan


cowok.”

Aku memikirkan Dimitri. Pendapat Mia tidak sepenuhnya melenceng.

“Mason hebat,” lanjut Mia. “Salah satu cowok terbaik yang pernah
kukenal―dan kau bahkan tidak menyadarinya! Dia bersedia melakukan apa
saja untukmu, tapi kau malah menjatuhkan diri ke pelukan Adrian Ivashkov.”

Ucapan Mia membuatku terkejut. Mungkinkah Mia naksir Mason? Dan


meskipun aku sama sekali tidak menjatuhkan diri ke pelukan Adrian, aku
mengerti bahwa orang-orang mungkin akan beranggapan seperti itu. Dan
kalaupun itu tidak benar, mungkin Mason akan tetap merasa sakit hati dan
terkhianati.

“Kau benar,” ucapku.

Mia terbelalak, dia benar-benar tercengang karena aku menyetujui


pendapatnya, sehingga tidak mengatakan apa-apa lagi sepanjang sisa
perjalanan kami.

Kami tiba di bagian penginapan yang bercabang menuju dua sayap berbeda,
satu untuk lelaki dan satu untuk perempuan. Aku meraih lengan Mason. Yang
lain terus berjalan.

“Tunggu,” kataku. Aku sangat ingin meyakinkannya soal Adrian, tetapi ada
sebagian kecil diriku yang penasaran apakah aku melakukannya karena benar-
benar menginginkan Mason, atau karena menyukai kenyataan bahwa dia
menginginkan aku dan tidak mau kehilangan semua itu. Mason berhenti dan
menatapku. Wajahnya terlihat waspada. “Aku ingin minta maaf. Seharusnya
aku tidak berteriak padamu setelah perkelahian itu―aku tahu kau hanya
berusaha membantu. Sedangkan soal Adrian… tidak ada yang terjadi. Aku
serius.”

“Kelihatannya tidak begitu,” kata Mason. Tetapi amarah di wajahnya sudah


memudar.

“Aku tahu, tapi percayalah, dia saja yang agak tergila-gila padaku.”

Nada suaraku sepertinya terdengar meyakinkan karena Mason tersenyum.


“Yah. Memang sulit untuk tidak tergila-gila padamu.”
“Aku tidak tertarik padanya,” lanjutku. “Atau pada siapa pun juga.” Ini
kebohongan kecil, tetapi kurasa itu tidak penting. Tak lama lagi aku akan
melupakan Dimitri, dan pendapat Mia soal Mason benar. Mason memang
hebat, baik hati, dan tampan. Aku pasti bodoh jika tidak menerimanya… ya
kan?

Tanganku masih memegang lengan Mason, dan aku menarik tubuhnya


mendekat. Dia tidak memerlukan sinyal lain. Mason membungkuk dan
menciumku, dan selama kami melakukannya, aku terdorong hingga merapat
ke dinding―sama seperti yang terjadi bersama Dimitri di ruang latihan. Tentu
saja, rasanya tidak sebanding dengan yang kurasakan bersama Dimitri, tetapi
tetap menyenangkan dalam cara tersendiri. Aku melingkarkan lengan pada
tubuh Mason dan menariknya mendekat.

“Kita bisa pergi… ke suatu tempat,” kataku.

Mason mundur dan tertawa. “Tidak di saat kau sedang mabuk.”

“Aku tidak… semabuk itu lagi,” aku berkata, berusaha menariknya mendekat.

Mason mencium bibirku sekilas lalu melangkah mundur. “Cukup mabuk.


Dengar, ini tidak mudah untuk dilakukan. Percayalah padaku. Tapi kalau besok
kau masih menginginkan aku―saat kau sudah tidak mabuk―kita bisa
membicarakannya.”

Mason membungkuk dan menciumku lagi. Aku berusaha melingkarkan lengan


ke tubuhnya, tetapi dia menjauh.

“Kendalikan dirimu, Nona,” godanya, mundur menuju selasar.

Aku melotot, tetapi dia hanya tertawa dan berbalik pergi. Saat dia berjalan
menjauh, tatapan tajamku memudar dan aku kembali ke kamarku dengan
wajah tersenyum.

Kamilah
Next

Ary Panda

Keyen bgt min.....


Ditunggu next part nya....

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

tapi mungkin besok blm bisa post... besok banyak kerjaan.... maybe lusa lanjutnya lagi

Ary Panda
Kalo boleh jujur sich au agak kecewa min kalo sering ditunda postingnya, tetapi sebagai pembaca yg
baik au cuman bisa kasih semangat aja buat mimin biar lusa bisa posting lagi....
Lagian au ngerti koq, kalo qta juga sibuk dgn kerjaan di dunia nyata

Fiansyah Kinanda Santy

Keren

Farhan Riwanto

maaf nih mas cerita lebih bagus lagi ya... :-)


Ika Rosana Dewi

Agrhh min, lanjut lg d0ng. . .kurang greget . .

Vampire Academy 2 (Bab 15)

Vampire Academy 2 (Bab 15)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

BESOK PAGINYA AKU sedang berusaha mengecat kuku kakiku―tidak mudah


melakukannya dengan hangover separah ini―saat tiba-tiba terdengar ketukan
di pintu. Lissa sudah tidak ada di kamar saat aku bangun, jadi aku terhuyung-
huyung menyeberangi kamar, berusaha tidak merusak cat kuku yang masih
basah. Di pintu, aku melihat seorang karyawan hotel sedang berdiri sambil
memegangi sebuah kardus besar. Pria itu menggeser kardusnya sedikit agar
bisa menatapaku.

“Saya mencari Rose Hathaway.”

“Itu aku.”

Aku mengambil kardus itu darinya. Kardusnya besar, tetapi tidak berat. Aku
mengucapkan terima kasih dengan singkat, lalu menutup pintu. Aku bertanya-
tanya apakah harus memberinya tip. Ah, sudahlah.

Aku duduk di lantai dengan kardus itu. Tidak ada tanda apa pun di sana dan
kardusnya disegel dengan pita perekat. Aku menemukan pulpen dan
menggunakannya untuk membuka pita perekat. Setelah menyobeknya cukup
lebar, aku membuka kardus lalu mengintip isinya.

Kardus itu dipenuhi parfum.

Di dalam kardus itu setidaknya ada tiga puluh botol parfum. Aku pernah
mendengar beberapa di antaranya, dan sebagian lagi belum pernah kudengar
sama sekali. Harga parfum-parfum ini berkisar dari sangat mahal, kaliber
bintang film, sampai jenis murahan yang biasa kulihat di toko obat. Eternity.
Angel. Vanilla Fields. Jade Blossom. Michael Kors. Poison. Hypnotic Poison.
Pure Poison. Happy. Light Blue. Jõvan Musk. Pink Sugar. Vera Wang. Aku
mengambil kotak pembungkusnya satu demi satu, membaca deskripsi yang
tertulis, lalu mengeluarkan botol parfum untuk mengendus baunya.

Aku sudah setengah jalan saat tiba-tiba menyadari sesuatu. Semua parfum ini
berasal dari Adrian.

Aku tidak tahu bagaimana dia bisa meminta semua parfum ini dikirim ke hotel
dalam waktu sesingkat ini, tetapi uang sanggup mewujudkan hampir semua
hal. Meski begitu, aku tidak membutuhkan perhatian seorang Moroi kaya yang
manja. Sepertinya Adrian tidak menangkap sinyal yang kuberikan. Dengan
menyesal aku mengembalikan semua parfum itu ke dalam kardus―lalu
berhenti. Tentu saja aku akan mengembalikan parfumnya… tetapi tak ada
salahnya kan kalau aku mengendus sisanya sebelum melakukannya.

Aku kembali mengeluarkan botol demi botol parfum yang ada di dalam
kardus. Sebagian hanya kuendus setelah membuka tutupnya, sedangkan yang
lain kusemprotkan ke udara. Serendipity. Dolce & Gabbana. Shalimar.
Daisy. Aroma demi aroma menyentuh hidungku; mawar,
bunga violet, sandalwood, jeruk, vanila, anggrek….

Setelah selesai, hidungku bisa dibilang tidak berfungsi lagi. Semua parfum ini
dirancang untuk manusia. Indra penciuman mereka lebih lemah daripada
vampir dan dhampir, jadi wewangian ini terlalu kuat untukku. Aku jadi sedikit
menghargai pendapat Adrian yang mengatakan bahwa kami hanya
membutuhkan setetes parfum saja. Jika semua botol parfum ini sanggup
membuatku pusing seperti sekarang, aku tak bisa membayangkan apa yang
dirasakan oleh Moroi. Indra penciuman yang kewalahan seperti ini sama tidak
mengurangi sakit kepala yang kurasakan sejak bangun tidur.

Kali ini aku benar-benar memasukkan kembali semua botol parfum, dan hanya
berhenti saat memegang satu parfum yang benar-benar kusukai. Aku ragu-
ragu, memegangi kotak kecil itu. Kemudian, aku mengeluarkan botolnya yang
berwarna merah dan mengendusnya lagi. Wanginya segar dan manis. Ada
wangi buah―tapi bukan buah yang manis. Aku menguras otak mengingat-
ingat sebuah wewangian yang pernah kucium pada seorang cewek yang
tinggal di asrama yang sama denganku. Dia pernah bilang namanya.
Wanginya seperti buah ceri… tapi lebih tajam. Currant, itu dia. Dan baunya
tercium dalam parfum ini, tercampur dengan aroma beberapa jenis bunga: lily
of the valley, dan beberapa bunga lain yang tidak kukenali. Entah campuran
apa yang ada di dalamnya, ada sesuatu pada wanginya yang memesonaku.
Manis―tapi tidak terlalu manis. Aku membaca kotak pembungkusnya,
berusaha mencari namanya. Amor amor.

“Cocok sekali,” gumamku, mengingat betapa banyak masalah percintaan yang


kualami akhir-akhir ini. Tetapi aku tetap menyimpan parfum itu dan
membungkus kembali sisanya.

Aku membawa kardus itu ke meja resepsionis lalu meminta pita perekat untuk
menyegelnya lagi. Aku juga menanyakan arah ke kamar Adrian. Ternyata
keluarga Ivashkov memiliki sayap tersendiri di penginapan. Letaknya tidak
terlalu jauh dari kamar Tasha.

Merasa bagaikan gadis petugas pengiriman, aku berjalan menyusuri selasar


lalu berhenti di depan pintu kamar Adrian. Sebelum aku sempat mengetuk,
pintunya sudah terbuka, dan Adrian berdiri di hadapanku. Dia kelihatan sama
terkejutnya denganku.

“Dhampir Kecil,” kata Adrian ramah. “Tak kusangka akan bertemu denganmu


di sini.”

“Aku ingin mengembalikan ini.” Aku mengangsurkan kardus itu ke Adrian


sebelum dia sempat protes. Adrian menerimanya dengan canggung, agak
terhuyung karena kaget. Setelah berhasil memeganginya dengan mantap,
Adrian mundur beberapa langkah lalu meletakkan kardusnya di lantai.

“Apa tak ada yang kausukai?” tanyanya. “Mau kubelikan yang lain?”

“Jangan kirimi aku hadiah lagi.”

“Ini bukan hadiah. Ini layanan umum. Perempuan macam apa yang tak punya
parfum?”

“Jangan lakukan itu lagi,” kataku tegas.

Tiba-tiba, dari belakang Adrian terdengar sebuah suara, “Rose? Kaukah itu?”

Aku menatap ke balik tubuh Adrian. Lissa.

“Sedang apa kau di sini?”

Karena sakit kepala dan menduga Lissa menghabiskan waktu bersama


Christian, pagi ini sebisa mungkin aku menghalau Lissa dari dalam pikiranku.
Rasanya, aku akan langsung merasakan keberadaannya saat menghampiri
ruangan tempatnya berada saat itu. Aku membuka pikiranku lagi, membiarkan
kekagetan yang dirasakannya mengalir padaku. Lissa sama sekali tidak
menyangka aku akan mendatangi kamar Adrian.

“Kau sedang apa di sini?” tanya Lissa.

“Nona-Nona,” kata Adrian menggoda kami. “Kalian tak perlu memperebutkan


aku.”

Aku melotot. “Enak saja. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini.”

Embusan aroma aftershave menerpaku, lalu aku mendengar sebuah suara di


belakangku. “Aku juga ingin tahu.”

Aku terlonjak. Saat memutar tubuh, kulihat Dimitri berdiri di selasar. Aku sama
sekali tidak tahu apa yang dilakukannya di sayap keluarga Ivashkov.

Dia sedang menuju kamar Tasha, kata sebuah suara di dalam kepalaku.

Tak diragukan lagi, Dimitri selalu menganggapku terlibat masalah, tetapi


kurasa dia terkejut ketika melihat Lissa. Dimitri berjalan melewatiku, lalu
bergantian menatap kami bertiga.

“Murid perempuan dan lelaki tidak boleh saling mengunjungi kamar.”

Aku tahu mengatakan bahwa Adrian sebenarnya bukan murid tak akan bisa
melepaskan kami dari masalah. Kami mestinya tidak boleh berada di kamar
pria mana pun.

“Bagaimana caramu melakukannya?” tanyaku pada Adrian dengan putus asa.

“Melakukan apa?”

“Terus-menerus membuat kami tampak buruk!”

Adrian tergelak. “Kalian berdualah yang datang ke kamarku.”

“Mestinya Anda tidak mengizinkan mereka masuk,” Dimitri memarahinya.


“Aku yakin Anda tahu peraturan yang berlaku di St. Vladimir.”

Adrian mengangkat bahu. “Yeah, tapi aku tak perlu mengikuti peraturan bodoh
sekolah mana pun.”

“Mungkin tidak,” kata Dimitri dingin. “Tapi kupikir Anda masih menghargai
peraturan-peraturan itu.”

Adrian memutar bola mata. “Aku agak kaget melihatmu menasihati soal


gadis-gadis di bawah umur.”
Aku melihat amarah berkilat di mata Dimitri, dan sejenak kupikir aku akan
melihatnya kehilangan kendali seperti yang terjadi ketika aku menggodanya.
Namun, Dimitri tetap tenang dan hanya tinju terkepalnya yang menunjukkan
betapa marahnya dia.

“Lagi pula,” lanjut Adrian, “kami tidak berbuat mesum. Kami hanya
bercengkerama.”

“Kalau Anda ingin bercengkerama dengan gadis-gadis muda, lakukan di


tempat umum.”

Aku tidak begitu suka mendengar Dimitri menyebut kami “gadis-gadis muda”,
dan aku merasa reaksinya berlebihan. Aku juga curiga reaksinya berhubungan
dengan kenyataan bahwa aku ada di sini.

Adrian tertawa mendengarnya, tawa aneh yang membuatku merinding.


“Gadis-gadis muda? Gadis-gadis muda? Yang benar saja. Tua dan muda pada
saat bersamaan. Mereka bisa dibilang belum melihat apa pun dalam hidup ini,
tapi mereka sebenarnya sudah melihat terlalu banyak. Yang satu ditandai oleh
kehidupan, yang lain oleh kematian… tapi kau malah
mengkhawatirkan mereka? Khawatirkan saja dirimu sendiri, Dhampir.
Khawatirkan dirimu dan khawatirkan diriku. Kitalah yang muda.”

Kami semua menatapnya. Kurasa tak ada yang mengira Adrian tiba-tiba
meracau seperti orang gila.

Adrian langsung tenang dan kembali terlihat seperti biasa. Dia membalikkan
badan lalu menghampiri jendela, melirik kami dengan santai sambil
mengeluarkan rokok.

“Kalian para gadis sebaiknya pergi. Dia benar. Aku memang pengaruh buruk.”

Aku berpandangan dengan Lissa. Kami cepat-cepat pergi dan mengikuti


Dimitri menyusuri selasar menuju lobi.

“Itu… aneh,” kataku beberapa menit kemudian. Aku mengatakan sesuatu yang
sudah jelas, tapi, yah, harus ada yang mengatakannya.

“Sangat,” kata Dimitri. Dia lebih terdengar bingung daripada marah.

Saat kami tiba di lobi, aku hendak mengikuti Lissa ke kamar kami, tetapi
Dimitri memanggilku.

“Rose,” panggilnya. “Bisa aku bicara denganmu?”


Aku merasakan luapan emosi simpatik dari Lissa. Aku berbalik menghadap
Dimitri dan melangkah ke sisi ruangan, menghindari orang-orang yang lalu-
lalang. Ada sekelompok Moroi yang mengenakan berlian dan mantel bulu
melewati kami, wajah mereka terlihat cemas. Para pelayan mengikuti di
belakang mereka sambil membawakan koper. Masih banyak yang
meninggalkan tempat ini untuk mencari tempat yang lebih aman. Ketakutan
akibat Strigoi sama sekali belum berakhir.

Suara Dimitri menyentak perhatianku kembali padanya. “Orang tadi Adrian


Ivashkov.” Nada suara Dimitri sama dengan nada semua orang saat menyebut
nama Adrian.

“Yeah, aku tahu.”

“Ini kali kedua aku melihatmu bersamanya.”

“Yeah,” jawabku sedikit berlebihan. “Kadang-kadang kami menghabiskan


waktu bersama-sama.”

Dimitri mengangkat sebelah alis mata, lalu mengedikkan kepala ke arah


kedatangan kami tadi. “Kau sering menghabiskan waktu di dalam kamarnya?”

Ada beberapa jawaban yang bermunculan di kepalaku, tetapi kemudian


sebuah jawaban emas mengambil alih. “Apa yang terjadi antara aku dan
Adrian sama sekali bukan urusanmu.” Aku berhasil mengatakannya dengan
nada yang sangat mirip dengan nada bicara Dimitri saat mengatakan
komentar serupa mengenai dirinya dan Tasha.

“Sebenarnya, selama kau masih bersekolah di Akademi, semua yang


kaulakukan itu urusanku.”

“Bukan untuk urusan pribadiku. Kau tidak punya hak dalam hal itu.”

“Kau belum bisa dianggap dewasa.”

“Hampir. Lagi pula, bukan berarti saat berulang tahun kedelapan belas nanti
aku akan berubah menjadi dewasa secara ajaib.”

“Benar sekali,” kata Dimitri.

Wajahku merona. “Bukan itu maksudku. Maksudku―”

“Aku tahu maksudmu. Dan sekarang semua masalah teknik itu tidak penting.
Kau murid Akademi. Aku instrukturmu. Sudah menjadi tugasku untuk
membantumu dan melindungimu. Berada di dalam kamar tidur bersama
orang seperti dia… hmm, sama sekali tidak aman.”

“Aku sanggup menghadapi Adrian Ivashkov,” gumamku. “Dia orang yang


aneh―sangat aneh malah―tapi tak berbahaya.”

Diam-diam aku bertanya-tanya apakah sebenarnya Dimitri cemburu. Dia tidak


menarik Lissa ke tepi ruangan dan memarahinya. Pikiran itu membuatku agak
bahagia, tetapi kemudian aku teringat rasa penasaranku tadi tentang alasan
Dimitri datang ke tempat itu.

“Omong-omong soal kehidupan pribadi… Kurasa kau tadi ada di sana untuk
mengunjungi Tasha, kan?”

Aku tahu ucapanku sangat picik, dan aku menduga akan mendapatkan
jawaban “bukan urusanmu.” Alih-alih, Dimitri menjawab, “Sebenarnya, aku
mengunjungi ibumu.”

“Kau akan mengencani ibuku juga?” Tentu saja aku tahu bukan itu yang
dimaksud Dimitri, tetapi ejekan ini sepertinya sulit untuk dilewatkan.

Sepertinya Dimitri juga menyadarinya dan hanya melirikku dengan letih.


“Tidak, kami sedang mempelajari data terbaru mengenai serangan Strigoi
terhadap Drozdov.”

Amarah dan sikap ketusku langsung menguap. Keluarga Drozdov. Keluarga


Badica. Semua hal yang terjadi pagi ini mendadak terasa sangat tidak penting.
Bagaimana mungkin aku berdiri di sini berdebat soal percintaan yang mungkin
terjadi atau mungkin juga tidak, sedangkan Dimitri dan pengawal lainnya
sedang berusaha melindungi kami?

“Apa yang kalian temukan?” aku bertanya pelan.

“Kami berhasil melacak beberapa Strigoi,” kata Dimitri. “Atau setidaknya


manusia yang ada bersama mereka. Beberapa saksi yang tinggal di dekat
sana mengaku melihat mobil-mobil yang digunakan kelompok itu. Pelat
nomornya berasal dari negara bagian yang berlainan―kelompok itu sepertinya
berpencar, mungkin untuk menyulitkan kita. Tapi ada beberapa saksi yang
sempat melihat salah satu pelat nomornya. Pelat itu terdaftar dengan sebuah
alamat di Spokane.”

“Spokane?” tanyaku bingung. “Spokane, Washington? Siapa yang menjadikan


Spokane tempat persembunyian mereka?” Aku pernah mengunjungi tempat
itu sekali. Tempat itu sama membosankannya dengan kota terpencil lain yang
ada di daerah barat laut.

“Sepertinya kaum Strigoi,” kata Dimitri serius. “Alamatnya palsu, tapi bukti-
bukti lain menunjukkan bahwa mereka ada di sana. Ada sebuah pusat
perbelanjaan yang memiliki terowongan bawah tanah. Dan ada beberapa
penampakan Strigoi di daerah itu.”

“Lalu…” Aku mengerutkan kening. “Kau akan mengejar mereka? Apakah ada
yang akan mengejar mereka? Maksudku, ini kan yang selalu diucapkan Tasha
selama ini… Kalau kita tahu di mana mereka berada….”

Dimitri menggelengkan kepala. “Para pengawal tidak bisa melakukan apa-apa


tanpa izin dari pihak berwenang. Hal itu takkan terjadi dalam waktu dekat.”

Aku mendesah. “Karena para Moroi terlalu banyak bicara.”

“Mereka bersikap hati-hati,” kata Dimitri.

Aku kembali merasa bergairah. “Ayolah. Bahkan kau pun tak ingin bersikap
hati-hati dalam hal ini. Kalian sebenarnya tahu di mana Strigoi bersembunyi.
Strigoi yang membantai anak-anak. Apa kau tak ingin mengejar mereka saat
mereka lengah?” Sekarang aku terdengar seperti Mason.

“Tidak semudah itu,” kata Dimitri. “Kami harus mematuhi Dewan Pengawal
dan pemerintah Moroi. Kami tak bisa pergi begitu saja dan bertindak secara
impulsif. Lagi pula, informasi yang kami dapat belum lengkap. Kita tidak boleh
memasuki situasi apa pun tanpa tahu semua detailnya.”

“Lagi-lagi pelajaran hidup ala Zen,” desahku. Aku menyelipkan sehelai rambut
ke belakang telinga. “Omong-omong, kenapa kau memberitahuku semua ini?
Ini kan urusan pengawal. Bukan sesuatu yang biasanya diberitahukan pada
novis.”

Dimitri memikirkan jawabannya dengan hati-hati, dan ekspresi wajahnya


melembut. Dia memang selalu terlihat mengagumkan, tetapi aku paling suka
melihatnya seperti ini. “Aku mengucapkan beberapa hal… kemarin dan hari
ini… yang seharusnya tidak kuucapkan. Sesuatu yang menghina umurmu.
Sekarang umurmu baru tujuh belas tahun… tapi kau sudah mampu menangani
dan menghadapi berbagai hal yang juga dihadapi orang-orang yang lebih tua
darimu.”

Dadaku terasa ringan dan mengawang. “Benarkah?”


Dimitri mengangguk. “Dilihat dari mana pun, kau memang masih sangat
muda―dan bertingkah tidak dewasa―tapi satu-satunya cara mengubahnya
adalah dengan memperlakukanmu seperti orang dewasa. Aku harus lebih
sering melakukannya. Aku tahu kau bisa menerima dan memahami betapa
pentingnya informasi ini, dan merahasiakannya.”

Aku tidak suka dikatakan bertingkah tidak dewasa, tetapi aku menyukai
gagasan bahwa Dimitri akan bicara denganku seperti mitra sejajar.

“Dimka,” sebuah suara berkata. Tasha Ozera berjalan menghampiri kami. Dia
tersenyum saat melihatku. “Halo, Rose.”

Hilang sudah suasana hatiku yang ceria. “Hei,” ucapku datar.

Tasha meletakkan tangan pada lengan Dimitri, jemarinya meluncur di atas


mantel kulit Dimitri. Aku menatap jemari itu dengan marah. Berani-beraninya
dia menyentuh Dimitri.

“Tatapanmu seperti itu lagi,” Tasha berkata padanya.

“Tatapan apa?” tanya Dimitri. Tatapan tegas yang sejak tadi ditunjukkan
Dimitri di hadapanku langsung menghilang. Senyum tipis dan sok tahu
melintas di bibirnya. Senyum yang hampir penuh canda.

“Tatapan yang mengatakan bahwa kau akan bertugas seharian penuh.”

“Benarkah? Tatapanku seperti itu?” Suara Dimitri terdengar menggoda dan


meledek.

Tasha mengangguk. “Kapan sesungguhnya giliran kerjamu selesai?”

Dimitri sungguh-sungguh tampak―aku bersumpah―tersipu. “Satu jam yang


lalu.”

“Kau tak bisa terus-menerus begini,” Tasha mengerang. “Kau perlu istirahat.”

“Yah… kalau kau mempertimbangkan kenyataan bahwa aku harus selalu


menjadi pengawal Lissa….”

“Untuk sekarang,” kata Tasha yakin. Aku merasa lebih mual daripada
semalam. “Di lantai atas sedang diadakan turnamen biliar.”

“Aku tak bisa,” kata Dimitri, tetapi senyum masih menghiasi wajahnya. “Meski
aku sudah lama tidak memainkannya….”

Apa-apaan ini? Dimitri main biliar?


Tiba-tiba saja pembicaraan kami mengenai Dimitri yang ingin
memperlakukanku seperti orang dewasa terasa tidak penting lagi. Sebagian
diriku tahu itu pujian darinya―tetapi sebagian diriku yang lain ingin Dimitri
memperlakukanku seperti dia memperlakukan Tasha. Penuh canda.
Menggoda. Santai. Mereka memperlakukan satu sama lain dengan akrab,
benar-benar nyaman.

“Kalau begitu, ayo,” Tasha memohon. “Hanya satu putaran! Kita bisa
mengalahkan mereka semua.”

“Tidak bisa,” ulang Dimitri. Dia terdengar sangat menyesal. “Aku tidak bisa
melakukannya, mengingat segala hal yang terjadi.”

Tasha berubah menjadi agak serius. “Tidak. Kurasa memang tidak bisa.”
Seraya melirik ke arahku, Tasha berkata dengan nada bercanda, “Kuharap kau
sadar panutan yang kaumiliki ini benar-benar pekerja keras. Dia tak pernah
berhenti bertugas.”

“Yah,” kataku, meniru nada suara Tasha yang terdengar mendayu-dayu,


“setidaknya, untuk sekarang.”

Tasha terlihat bingung. Kurasa dia sama sekali tidak menduga aku akan
mengolok-olok dirinya. Tatapan mata Dimitri yang muram menunjukkan
bahwa dia tahu persis apa yang sedang kulakukan. Aku segera menyadari
bahwa aku baru saja memusnahkan kemajuan apa pun yang tadi kudapatkan
sebagai orang dewasa.

“Urusan kita sudah selesai, Rose. Ingatlah apa yang kukatakan tadi.”

“Yeah,” ucapku sambil berbalik pergi. Aku mendadak ingin pergi ke kamar dan
bersantai sebentar. Hari ini sudah membuatku lelah. “Pasti.”

Aku belum beranjak terlalu jauh saat berpapasan dengan Mason. Ya Tuhan.
Cowok di mana-mana.

“Kau sedang marah,” Mason langsung berkata saat melihat wajahku. Dia
memiliki bakat khusus mengetahui suasana hatiku. “Apa yang terjadi?”

“Ada sedikit… masalah dengan pihak berwenang. Pagi ini benar-benar aneh.”

Aku mendesah, tak sanggup menyingkirkan Dimitri dari dalam otak. Saat
menatap Mason, aku teringat bagaimana semalam aku ingin melakukan
sesuatu yang serius dengannya. Aku pasti sudah gila. Aku tak sanggup
membuat keputusan mengenai siapa pun. Aku memutuskan bahwa cara
terbaik menyingkirkan cowok adalah dengan memberikan perhatian pada
cowok lain, jadi aku merenggut tangan Mason lalu mengajaknya pergi.

“Ayolah. Bukankah kita punya kesepakatan untuk pergi ke suatu tempat yang…
em, pribadi hari ini?”

“Sepertinya kau sudah tidak mabuk lagi,” canda Mason. Tetapi sorot matanya
terlihat sangat serius. Dan tertarik dengan tawaranku. “Kusangka
kesepakatannya batal.”

“Hei, aku selalu membuktikan ucapanku, apa pun yang terjadi.” Aku membuka
pikiran, berusaha mencari Lissa. Dia sudah tidak ada di kamar. Lissa pergi ke
suatu acara bangsawan, tidak diragukan lagi masih melakukan pemanasan
untuk pesta makan malam besar-besaran yang akan diadakan oleh Priscilla
Voda. “Ayo,” kataku. “Kita pergi ke kamarku.”

Selain Dimitri yang kebetulan melewati kamar orang lain, tidak ada yang
sungguh-sungguh memedulikan peraturan soal kunjungan lawan jenis.
Rasanya seperti kembali ke asrama Akademi. Saat aku dan Mason pergi ke
lantai atas, aku memberitahunya informasi yang diceritakan Dimitri tadi,
informasi mengenai Strigoi yang berada di Spokane. Tadi Dimitri memintaku
merahasiakannya, tetapi aku marah padanya, dan menurutku tak ada salahnya
jika aku memberitahu Mason. Aku tahu dia pasti tertarik mendengarnya.

Ternyata dugaanku benar. Mason marah saat mendengarnya.

“Apa?” seru Mason saat kami memasuki kamarku. “Mereka


tidak melakukan apa pun?”

Aku mengangkat bahu dan duduk di tempat tidur. “Dimitri bilang―”

“Aku tahu, aku tahu… aku dengar yang kaukatakan tadi. Soal berhati-hati dan
semacamnya.” Mason mondar-mandir dengan marah di dalam kamar. “Tapi
kalau para Strigoi itu pergi mengejar Moroi lain… keluarga lain… sial! Kalau itu
yang terjadi, mereka pasti berharap tidak bersikap sehati-hati itu.”

“Lupakan saja,” kataku. Aku agak kesal karena diriku yang sedang berbaring di
tempat tidur tidak sanggup mengalihkan Mason dari rencana bertempurnya
yang sinting itu. “Tak ada yang bisa kita lakukan.”

Mason berhenti berjalan. “Kita bisa pergi.”

“Pergi ke mana?” aku bertanya dengan bodoh.

“Ke Spokane. Ada bus yang bisa ditumpangi dari kota.”


“Aku… tunggu. Apa kau mengusulkan kita pergi ke Spokane dan melawan
Strigoi?”

“Tentu saja. Eddie pasti mau ikut juga… kita bisa pergi ke mal itu. Mereka tak
mungkin berkelompok terus, jadi kita bisa menunggu dan menculik mereka
satu per satu….”

Aku hanya bisa menatapnya dengan hampa. “Sejak kapan kau jadi sebodoh
ini?”

“Oh, aku mengerti. Terima kasih atas kepercayaan yang kauberikan.”

“Ini bukan masalah kepercayaan,” aku menyanggah, lalu berdiri dan


menghampiri Mason. “Kau sangat hebat dalam bertarung. Aku pernah
melihatnya. Tapi ini… Bukan begini caranya. Kita tak bisa pergi begitu saja dan
mengajak Eddie melawan Strigoi. Kita butuh lebih banyak orang. Lebih banyak
perencanaan. Lebih banyak informasi.”

Aku meletakkan tangan di dada Mason. Dia meletakkan tangan di atas


tanganku dan tersenyum. Api pertempuran masih menyala-nyala di matanya,
tetapi bisa kulihat perhatiannya mulai beralih pada urusan yang lebih cepat.
Contohnya aku.

“Aku tidak bermaksud menyebutmu bodoh,” ucapku. “Maafkan aku.”

“Kau hanya mengatakannya agar bisa mendapatkan keinginanmu.”

“Memang,” kataku sambil tertawa, senang melihat Mason lebih santai.


Pembicaraan ini mengingatkanku pada pembicaraan Christian dan Lissa saat
mereka berada di loteng kapel.

“Yah,” katanya, “kurasa aku tidak sulit dimanfaatkan.”

“Bagus. Karena ada banyak hal yang ingin kulakukan.”

Tanganku merayap naik dan merangkul lehernya. Kulit Mason terasa hangat,
dan aku teringat betapa nikmatnya mencium cowok ini semalam.

Tiba-tiba, tanpa alasan jelas, Mason berkata, “Kau memang benar-benar


muridnya.”

“Murid siapa?”

“Murid Belikov. Hal itu terpikir olehku saat kau menyebut-nyebut soal
membutuhkan lebih banyak informasi dan semacamnya. Tingkahmu persis
seperti dia. Kau berubah menjadi serius setelah bergaul dengannya.”
“Tidak, aku tidak berubah menjadi serius.”

Mason menarik tubuhku mendekat, tetapi tiba-tiba saja aku tidak merasa
romantis lagi. Aku ingin bercumbu dan melupakan Dimitri sejenak, bukan
membicarakannya. Dari mana datangnya semua ini? Mason seharusnya
mengalihkan perhatianku.

Mason tidak menyadari ada sesuatu yang salah. “Kau hanya berubah, itu saja.
Itu tidak buruk… hanya berbeda.”

Ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku marah, tetapi sebelum aku
sempat membalas, Mason sudah menciumku. Pembicaraan yang tidak masuk
akal tadi bisa dikatakan langsung lenyap. Sedikit amarah gelap mulai bangkit
dalam diriku, tetapi aku langsung menyalurkannya ke dalam aktivitas fisik saat
tubuh kami saling merapat. Aku menarik Mason ke tempat tidur, berhasil
melakukannya tanpa berhenti berciuman. Aku mencengkeram punggung
Mason, sementara tangannya meraih leherku dan melepaskan kucirku. Mason
membelai rambutku yang tergerai, lalu mencium leherku.

“Kau… mengagumkan,” kata Mason. Dan aku tahu dia sungguh-sungguh.


Wajahnya berbinar oleh rasa sayangnya untukku.

Aku melengkungkan punggung sehingga bibir Mason menekan kulitku lebih


keras sementara tangannya terselip ke dalam kausku. Tangan itu merayap ke
perutku, dan sekilas menyentuh pinggir bra-ku.

Mengingat kami baru saja berdebat beberapa menit yang lalu, aku terkejut
keadaannya bisa memanas secepat ini. Namun, sejujurnya… aku tidak
keberatan. Beginilah caraku menjalani hidup. Segala sesuatunya selalu
berjalan cepat dan dalam saat bersamaku. Ketika aku dan Dimitri menjadi
korban mantra kompulsi gairah Victor Dashkov, ada hasrat membara yang
terlibat. Tetapi Dimitri berhasil mengendalikannya, jadi terkadang kami
bersikap santai… dan hal itu tetap mengagumkan dengan cara tersendiri.
Tetapi lebih sering kami tak sanggup menahan diri. Dan aku bisa
merasakannya sekarang. Bagaimana tangan Mason menelusuri tubuhku.
Ciumannya dalam dan kuat.

Pada saat itulah aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

Aku sedang berciuman dengan Mason, tetapi dalam benakku aku sedang
melakukannya bersama Dimitri. Dan aku bukan sekadar mengingat saat
sedang bersamanya. Bisa dibilang aku membayangkan diriku bersama
Dimitri―saat ini juga―menghidupkan kembali malam itu. Sangat mudah untuk
berpura-pura dengan kedua mata terpejam.

Namun, saat membuka mata dan menatap mata Mason, aku tahu dialah yang
sedang bersamaku. Mason memujaku dan menginginkanku sejak dulu. Jika
aku melakukan semua ini… bercumbu dengannya dan berpura-pura sedang
melakukannya dengan orang lain….

Maka tindakanku salah.

Aku menggeliat menghindari sentuhannya. “Tidak… jangan.”

Mason langsung berhenti, karena dia memang jenis cowok seperti itu.

“Terlalu berlebihan?” dia bertanya. Aku mengangguk. “Tak apa-apa. Kita tak
perlu melakukannya.”

Mason mulai mendekatiku lagi, tetapi aku menjauh. “Tidak, aku hanya tidak…
entahlah. Kita hentikan saja, oke?”

“Aku….” Sejenak Mason tak sanggup berkata-kata. “Apa yang terjadi dengan
‘banyak hal’ yang ingin kaulakukan tadi?”

Yeah… kelihatannya memang buruk, tapi aku bisa bilang apa? Aku tak bisa
bermesraan denganmu, karena saat melakukannya aku terus-menerus teringat
pada cowok lain yang sebenarnya kuinginkan. Kau hanya pemeran pengganti.

Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa bodoh. “Maaf, Mase. Aku tak bisa
melakukannya.”

Mason duduk tegak dan menyapu rambutnya. “Oke. Tak apa-apa.”

Aku bisa mendengar nada tegas dalam suaranya. “Kau marah.”

Mason melirikku, ekspresi wajahnya terlihat kesal. “Aku hanya bingung. Aku
tak mengerti sinyal-sinyal yang kauberikan. Sesaat kau bersikap hangat,
sesaat kemudian berubah menjadi dingin. Kau bilang menginginkanku, lalu
kau bilang tak menginginkanku. Kalau kau memutuskan salah satu di
antaranya, tak ada masalah, tapi kau selalu membuatku menduga-duga, tapi
akhirnya malah melakukan sesuatu yang benar-benar berbeda. Bukan hanya
sekarang―tapi setiap saat.”

Apa yang diucapkan Mason memang benar. Aku terus-menerus memainkan


perasaannya. Terkadang aku menggoda Mason, kali lain aku benar-benar
mengabaikannya.
“Apa kau ingin aku melakukan sesuatu?” tanya Mason saat aku tidak
mengatakan apa-apa. “Sesuatu yang akan… entahlah. Membuatmu lebih
nyaman bersamaku?”

“Entahlah,” jawabku lemah.

Mason mendesah. “Kalau begitu, apa yang kauinginkan?”

Dimitri, pikirku. Alih-alih mengatakannya, aku mengulangi jawabanku.


“Entahlah.”

Seraya menggeram, Mason berdiri lalu berjalan ke pintu. “Rose, untuk


seseorang yang mengaku ingin mendapatkan informasi sebanyak mungkin,
masih banyak yang harus kaupelajari tentang dirimu sendiri.”

Pintu kamar terbanting setelah Mason keluar. Suaranya membuatku


tersentak, dan saat aku menatap tempat Mason tadi berdiri, aku sadar dia
benar. Aku memang masih harus banyak belajar.

Dijah Dije

Akhir'a.. :D
Yasin

akhirnya

Vinda Hidayati

next !!!

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

bsok d'posting gie yha min,,, kn selalu qu tunggu k'lanjutan πγåª min :D

Ester Budiyanti
min, boleh request gak? tolong share dong novel Jepang/temanya Jepang gituu^ itu juga kalau bisa,
kalau enggak ya gpp :) *makasih min…

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

Jatuh cinta ma Mason ;)

Sarah Angelica

awwwww

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou


Ќє̲ήά̲̣þα
̥̣ kak ? :)

Zuraida Syafry

Lanjut min

Maya Gemini

next,,

Bunga Anggraini
ahh gila rose bnyk bgt yg naksir.. ama mason jga gpp. kasian mason di phpin..

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

kerennn

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

Iyha kak,,, si dimitri ma mason mlah gntengan mason :D

Tiara Dewata
YeEny Zenny

Ih rose gmna sich kan kasian mas0n d mainin perasaanya.jdi gemes sndri.

Sade Nopo Mawon

min lanjutin.

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

sesuai bangettt
Tiara Dewata

tapi bukan pemeran asli min, cocok tapi :3


Min, buku ke-3 belum di post? Gk sabar lanjutannya min :)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

buku ke 3 kayaknya gak mungkin di post di sini.... soalnya bukunya cukup tebel... kalau ada yg
nyumbang sih boleh

Tiara Dewata
Nunggu filmnya aja nih. Katanya buku sampai seri 7/8 udah dicetak lagi. :) Mimin nyari bukunya dmn?

Ika Rosana Dewi

dimitri na biasa aja hehe adrian,christian, eddie baru cakeppp =D piss

Tiara Dewata

@Ika: haha.. :D iya iya :D Dimka menang badan aja tuh.

Scwarze Orchidee
y ampunnn cristian,, gila cakep bener jd cowo

Sarah Oswell

Ini cast paling cocok. kecewa banget pas filmnya nggak sesuai dgn bayangan aku. :(

Sarah Oswell

Utamanya Christian! ♥ ♥ ♥ Nicholas Hoult emang cocok! 100%

Write a comment...

Vampire Academy 2 (Bab 16)


Vampire Academy 2 (Bab 16)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

SIANG HARINYA LISSA menemuiku. Aku tertidur setelah Mason pergi, terlalu
sedih untuk meninggalkan tempat tidur. Bantingan pintu Lissa
membangunkan aku.

Aku senang bertemu dengan Lissa. Aku ingin mencurahkan semua kejadian
bersama Mason tadi, tetapi sebelum melakukannya, aku membaca pikirannya
dulu. Pikiran Lissa sama gundahnya dengan perasaanku. Jadi, seperti biasa,
aku mendahulukan kepentingannya.

“Apa yang terjadi?”

Lissa duduk di atas tempat tidur, melesak ke dalam selimut bulu angsa,
perasaannya menunjukkan bahwa dia sedang marah sekaligus sedih.
“Christian.”

“Benarkah?” Aku tidak pernah melihat mereka bertengkar. Mereka sering


saling mengolok, tetapi canda mereka bukan sesuatu yang bisa membuat
Lissa menangis.

“Dia tahu… tadi pagi aku bersama Adrian.”

“Oh, wow,” aku berkata. “Yeah. Itu memang bisa bikin masalah.” Aku berdiri,
lalu menghampiri meja rias dan mencari sisir. Seraya menyipitkan mata, aku
berdiri di hadapan cermin berpigura emas sepuhan lalu mulai menyisir
rambutku yang kusut karena tidur siang.

Lissa mengerang. “Tapi tak ada yang terjadi! Kemarahan Christian tidak
masuk akal. Aku heran dia tak memercayaiku.”

“Christian percaya. Semua ini memang aneh, itu saja.” Aku teringat pada
Dimitri dan Tasha. “Rasa cemburu membuat orang melakukan dan
mengatakan hal-hal bodoh.”

“Tapi tak ada yang terjadi,” ulang Lissa. “Maksudku, kau juga ada di sana
dan―hei, sampai sekarang aku belum mendapatkan jawaban. Kenapa kau tadi
ke sana?”

“Adrian mengirimiku beberapa parfum.”


“Dia―maksudmu kardus raksasa yang tadi kaubawa?”

Aku mengangguk.

“Whoa.”

“Yeah. Aku datang untuk mengembalikannya,” jawabku. “Pertanyaannya


adalah, apa yang kaulakukan di sana?”

“Hanya mengobrol,” kata Lissa. Lissa terlihat bersemangat, nyaris


mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba berhenti. Aku merasa pikiran itu hampir
tiba di permukaan, tetapi kemudian tersingkir lagi ke belakang. “Banyak yang
ingin kuceritakan, tapi kau harus bilang dulu apa yang terjadi padamu.”

“Tak ada yang terjadi.”

“Terserah apa katamu, Rose. Aku memang bukan peramal sepertimu, tapi aku
selalu tahu kalau kau sedang kesal. Kau agak muram sejak Natal. Ada apa?”

Sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan apa yang terjadi ketika
Natal, ketika ibuku memberitahuku tentang Tasha dan Dimitri. Tetapi aku
menceritakan soal Mason―membuang bagian alasan aku tiba-tiba
berhenti―dan hanya menceritakan bahwa aku melakukannya.

“Hmm…” ucap Lissa setelah aku selesai bercerita, “kau berhak


melakukannya.”

“Aku tahu. Tapi bisa dibilang aku yang memancingnya. Aku mengerti kenapa
dia kesal.”

“Tapi kalian masih bisa memperbaikinya. Bicaralah padanya. Dia tergila-gila


padamu.”

Ini bukan sekadar salah paham. Keadaan di antara aku dan Mason tak bisa
diperbaiki begitu saja. “Entahlah,” aku berkata. “Tidak semua orang sepertimu
dan Christian.”

Wajah Lissa langsung muram. “Christian. Aku masih tak percaya dia bersikap
sebodoh ini.”

Aku tidak bermaksud melakukannya, tetapi aku tertawa. “Liss, kalian berdua
pasti langsung berbaikan dan berciuman lagi dalam satu hari saja. Mungkin
lebih dari berciuman.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja sebelum sempat kucegah. Mata Lissa
melebar. “Kau tahu.” Lissa menggeleng kesal. “Tentu saja kau tahu.”
“Sori,” kataku. Aku tidak berniat mengatakan aku tahu soal seks mereka,
setidaknya sampai dia menceritakannya sendiri padaku.

Lissa memelototiku. “Berapa banyak yang kautahu?”

“Em, tidak banyak,” aku berbohong. Aku sudah selesai menyisir rambut, tetapi
mulai mempermainkan gagang sisir untuk menghindari tatapan mata Lissa.

“Aku harus belajar mencegahmu memasuki kepalaku,” gumamnya.

“Itu satu-satunya caraku bisa ‘bicara’ denganmu akhir-akhir ini.” Kelepasan


omong lagi.

“Apa maksud ucapanmu itu?” tuntut Lissa.

“Bukan apa-apa… aku…” Lissa menatapku dengan tajam. “Aku… entahlah. Aku
hanya merasa akhir-akhir ini kita jarang mengobrol seperti dulu lagi.”

“Butuh kedua belah pihak untuk memperbaiki masalah itu,” kata Lissa,
suaranya terdengar manis lagi.

“Kau benar,” kataku, tanpa menyebutkan bahwa kedua pihak bisa


memperbaiki masalah itu selama salah satu tidak selalu menghabiskan waktu
bersama pacarnya. Memang, aku merasa bersalah karena sering
merahasiakan sesuatu―tetapi akhir-akhir ini aku selalu ingin menceritakannya
pada Lissa. Waktunya seperti tidak pernah tepat―sekarang pun tidak.
“Tahukah kau, aku tidak pernah mengira kau akan melakukannya duluan. Atau,
kurasa aku tidak pernah menyangka aku masih perawan saat sudah menjadi
murid senior.”

“Yeah,” Lissa berkata datar. “Aku juga.”

“Hei! Apa maksud ucapanmu itu?”

Lissa nyengir, lalu melirik jam tangannya. Senyumnya menghilang. “Uh. Aku
harus pergi ke pesta makan malam Priscilla. Seharusnya Christian pergi
denganku, tetapi tiba-tiba dia bersikap seperti idiot….” Dia menatapku penuh
harap.

“Apa? Tidak. Ayolah, Liss. Kau tahu betapa bencinya aku pada urusan
bangsawan seperti itu.”

“Oh, ayolah,” Lissa memohon. “Christian sudah gugur. Kau tak boleh
melemparku ke tengah serigala. Dan bukankah barusan kaubilang kita harus
lebih sering mengobrol?” Aku mengerang. “Lagi pula, kalau sudah menjadi
pengawalku, kau harus melakukan hal semacam ini setiap saat.”

“Aku tahu,” kataku muram. “Kupikir setidaknya aku bisa menikmati enam
bulan terakhir kebebasanku.”

Namun, pada akhirnya Lissa berhasil membujukku untuk ikut dengannya,


seperti yang sudah bisa ditebak.

Kami tidak punya banyak waktu, dan aku harus buru-buru mandi,
mengeringkan rambut, dan merias wajah. Aku telah membawa gaun
pemberian Tasha karena dorongan hati semata. Namun sekarang, meski
masih ingin Tasha sangat menderita karena menyukai Dimitri, aku merasa
bersyukur atas hadiahnya ini. Aku mengenakan gaun sutra itu, dan senang
saat melihat warna merahnya tampak sangat keren saat kupakai, persis
seperti yang kubayangkan. Gaunnya panjang, bergaya Asia, dan kainnya
dihiasi bordiran bunga. Kerahnya yang tinggi dan lengannya yang panjang
menutupi sebagian besar kulitku, tetapi bahannya menempel pada tubuh dan
terlihat seksi dalam cara yang berbeda dari yang dihasilkan gaun model
terbuka. Mata lebamku bisa dikatakan sudah tidak tampak lagi.

Seperti biasa, Lissa tampak mengagumkan. Dia mengenakan gaun berwarna


ungu tua rancangan Johnna Raski, seorang perancang Moroi terkenal.
Gaunnya tanpa lengan dan terbuat dari bahan satin. Kristal-kristal kecil
menyerupai batu kecubung yang dipasang pada tali gaun terlihat berkilau di
atas kulit Lissa yang pucat. Lissa menata rambutnya menjadi sebuah cepol
longgar yang terlihat sangat bergaya.

Saat tiba di ruang pesta, kami menarik perhatian beberapa pasang mata.
Kurasa para bangsawan tidak menduga sang putri Dragomir akan membawa
teman dhampir-nya ke pesta makan malam yang sudah ditunggu-tunggu dan
hanya terbuka bagi para undangan ini. Tetapi pada kartu undangan Lissa
tertera “dan teman”. Aku dan Lissa duduk di salah satu meja bersama
beberapa bangsawan yang namanya langsung terlupakan olehku. Mereka
dengan senang hati mengabaikan aku, dan aku senang diabaikan oleh
mereka.

Lagi pula, masih banyak hal lain yang lebih menarik untuk diperhatikan. Ruang
pesta ditata dalam warna perak dan biru. Kain sutra berwarna biru langit
tengah malam melapisi meja-meja, kainnya sangat mengilat dan mulus
sehingga aku takut untuk makan di atasnya. Tempat lilin tergantung di seluruh
dinding, dan di salah satu sudut ruangan terdapat perapian berhias kaca patri
dengan api yang berderak-derak di dalamnya. Efek yang dihasilkan berupa
panorama warna dan cahaya yang mengagumkan, menyilaukan mata. Di
sudut ruangan, seorang wanita Moroi bertubuh langsing memainkan alat
musik selo dengan lembut, wajahnya tampak menerawang saat pikirannya
terpusat pada lagu. Suara gelas-gelas kristal berisi anggur yang berdenting
melengkapi nada rendah dan manis yang dihasilkan dawai-dawai itu.

Makan malamnya juga sama mengagumkan. Makanannya beraneka macam,


tetapi aku mengenali setiap makanan yang disajikan di atas piringku (piring
keramik, tentu saja) dan menyukai semuanya. Di sini tidak ada foie gras. Ikan
salmon dengan saus jamur shiitake. Salad dengan buah pir dan keju
kambing. Pastry lembut berisi kacang almond sebagai hidangan pencuci
mulut. Satu-satunya keluhanku adalah porsinya yang sedikit. Seolah makanan
itu hanya sebagai penghias piring, dan aku berani sumpah menghabiskannya
dalam sepuluh gigitan saja. Moroi memang masih membutuhkan makanan
selain darah yang mereka minum, tetapi kebutuhan mereka tidak sebanyak
manusia―atau, katakanlah seorang gadis dhampir dalam masa pertumbuhan.

Meski begitu, makanannya saja sudah membuat kedatanganku ke tempat ini


menjadi tidak sia-sia, pikirku. Sayang, seusai makan malam, Lissa bilang kami
belum bisa meninggalkan pesta.

“Kita harus berbaur,” bisiknya.

Berbaur?

Lissa tertawa melihat ketidaknyamananku. “Kaulah yang senang bergaul.”

Itu memang benar. Dalam sebagian besar kesempatan, akulah yang sering
membuka diri dan tidak takut bicara dengan orang lain. Lissa cenderung lebih
pemalu. Namun, dalam kelompok ini, keadaannya terbalik. Ini daerah
kekuasaan Lissa, bukan daerah kekuasaanku. Dan aku benar-benar takjub
saat melihat betapa luwesnya Lissa bergaul dengan kalangan atas. Sikapnya
sempurna, anggun dan sopan. Semua orang ingin mengobrol dengannya, dan
sepertinya Lissa selalu tahu jawaban yang tepat. Sebenarnya Lissa tidak
menggunakan kompulsi, tetapi dia memancarkan aura yang seakan menarik
orang lain untuk berada di dekatnya. Kurasa itu mungkin efek roh yang muncul
tanpa disadari. Bahkan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya, karisma
sihir dan alaminya tetap terpancar. Kalau dulu baginya interaksi sosial terasa
dipaksakan dan membuatnya sangat tertekan, sekarang Lissa melakukan
semua itu dengan santai. Aku bangga padanya. Sebagian besar obrolan berisi
topik-topik ringan: fashion, kehidupan cinta para bangsawan, dan lain-lain.
Sepertinya tak ada yang ingin merusak suasana dengan membicarakan
Strigoi.

Jadi, aku menempel di sisi Lissa sepanjang sisa malam itu. Aku berusaha
menghibur diri dengan menganggap semua ini sebagai latihan untuk masa
depan, saat aku akan mengikuti ke mana pun Lissa pergi, bagaikan bayangan
bisu. Sejujurnya, aku merasa sangat tidak nyaman dengan kelompok ini, dan
aku tahu mekanisme pertahananku yang ketus tidak akan berguna di sini. Lagi
pula, aku sadar betul bahwa akulah satu-satunya tamu dhampir pada makan
malam ini. Memang ada dhampir lain, tetapi mereka sedang bertugas secara
resmi sebagai pengawal, bergerak mengintai ke sekeliling ruangan.

Kami menghampiri sebuah kelompok kecil yang suaranya terdengar semakin


nyaring. Aku mengenali salah satu dari mereka. Dia cowok yang
perkelahiannya kulerai. Alih-alih celana renang, kali ini dia mengenakan
setelan tuksedo hitam rapi. Dia mendongak saat kami mendekat, terang-
terangan menatap kami, tetapi sepertinya tidak mengingatku. Dia
mengabaikan kami, lalu melanjutkan perdebatannya. Tidak mengejutkan,
mereka sedang membicarakan perlindungan kaum Moroi. Dialah yang
mendukung kaum Moroi untuk ikut menyerang Strigoi.

“Apa yang tidak kaupahami dari kata-kata ‘bunuh diri’?” kata seorang pria yang
berdiri di dekatnya. Pria itu berambut keperakan dan berkumis lebat. Dia juga
memakai tuksedo, tetapi si cowok yang lebih muda kelihatan jauh lebih keren
darinya. “Melatih Moroi sebagai serdadu akan menjadi akhir ras kita.”

“Ini bukan bunuh diri,” seru si cowok muda. “Ini sesuatu yang harus kita
lakukan. Kita harus mulai menjaga diri sendiri. Belajar bertarung dan
menggunakan sihir adalah aset terbesar kita, selain pengawal.”

“Ya, tapi dengan adanya pengawal, kita tidak membutuhkan aset yang lain,”
kata si Rambut Perak. “Kau terlalu sering mendengarkan orang-orang yang
bukan bangsawan. Mereka tidak punya pengawal pribadi, jadi tentu saja
ketakutan. Tapi itu bukan alasan untuk menyeret kita dan mempertaruhkan
hidup kita dalam risiko sebesar itu.”

“Kalau begitu jangan,” tiba-tiba Lissa berkata. Suaranya lembut, tetapi semua
orang yang ada di dalam kelompok kecil ini berhenti bicara dan menatapnya.
“Saat kau berbicara tentang Moroi yang mempelajari cara bertarung,
kedengarannya seperti masalah yang pilihannya hanya ya atau tidak. Bukan
begitu. Kalau tak mau bertarung, kau tak perlu melakukannya. Aku
sepenuhnya mengerti.” Si Rambut Perak agak melunak. “Tapi itu karena
kau bisa mengandalkan pengawal. Banyak Moroi yang tidak melakukannya.
Dan kalau mereka ingin mempelajari pertahanan diri, tak ada alasan untuk
melarang mereka.”

Si cowok yang lebih muda tersenyum penuh kemenangan pada lawannya.


“Nah, kau sudah mengerti?”

“Tapi tidak semudah itu,” jawab si Rambut Perak. “Kalau masalahnya hanya
soal orang-orang sinting seperti kalian yang ingin mati, terserah. Lakukan saja.
Tapi memangnya di mana kalian akan mempelajari keahlian yang kalian sebut
sebagai ilmu bertarung ini?”

“Kami akan mempelajari sihir sendiri. Pengawal akan mengajari kami cara
bertarung yang sesungguhnya.”

“Nah, kaulihat? Aku tahu ujungnya pasti akan seperti ini. Meski kami semua
tak mau ambil bagian dalam misi bunuh dirimu itu, kau bermaksud merebut
para pengawal kami untuk melatih pasukan gadungan kalian.”

Si cowok muda mendengus saat mendengar kata gadungan, dan aku mulai


penasaran apakah akan ada tinju yang melayang. “Kau berutang pada kami.”

“Tidak, mereka tidak berutang padamu,” kata Lissa.

Tatapan penasaran berbalik ke arahnya. Kali ini, si Rambut Perak yang


menatap Lissa dengan penuh kemenangan. Wajah si cowok yang lebih muda
memerah karena marah.

“Pengawal adalah sumber daya termpur terbaik yang kita miliki.”

“Memang,” Lissa sependapat, “tapi bukan berarti kau berhak merenggut


mereka dari tugas mereka begitu saja.” Si Rambut Perak bisa dibilang terlihat
berbinar.

“Kalau begitu, bagaimana cara kita belajar?” tuntut si cowok muda.

“Sama seperti yang dilakukan pengawal,” Lissa menjelaskan. “Kalau mau


mempelajari cara bertarung, pergilah ke Akademi. Bentuk kelas-kelas baru dan
mulailah dari awal, sama seperti yang dilakukan para novis. Dengan begitu,
kau tidak merebut pengawal yang sedang melakukan perlindungan secara
aktif. Akademi merupakan lingkungan yang aman, lagi pula pengawal yang
ada di sana memang memiliki keahlian untuk mengajar murid.” Lissa berhenti
sejenak dan tampak berpikir. “Kau bahkan bisa memulai kelas bela diri dari
kurikulum standar untuk murid-murid yang memang sudah bersekolah di
sana.”

Semua orang menatap Lissa dengan takjub, termasuk aku. Itu solusi yang
elegan, dan semua orang di sekitar kami pun menyadarinya. Solusi ini tidak
seratus persen memenuhi tuntutan kedua pihak, tetapi menghasilkan suatu
cara yang tidak merugikan pihak mana pun. Sungguh genius. Moroi lainnya
mengamati Lissa dengan kagum dan terpana.

Tiba-tiba saja semua orang mulai bicara pada saat yang sama, mereka
bersemangat dengan gagasan ini. Mereka menarik Lissa mendekat, dan
pembicaraan mengenai rencana Lissa ini segera berlangsung penuh
semangat. Aku terdorong ke samping dan memutuskan itu tidak masalah.
Kemudian, aku menjauh lalu mencari sebuah sudut di dekat pintu.

Di tengah jalan aku melewati seorang pelayan yang membawa nampan


berisi hors d’oeuvres―makanan pembuka. Karena masih lapar, aku menatap
makanan itu dengan curiga, tetapi tidak melihat sesuatu yang kelihatan
seperti foie gras yang kulihat tempo hari. Aku menunjuk makanan yang
kelihatan seperti tumisan daging mentah.

“Apa itu hati angsa?” tanyaku.

Pelayan wanita itu menggeleng. “Sweetbread.”

Kedengarannya tidak terlalu buruk. Aku mengulurkan tangan untuk


mengambilnya.

“Itu pankreas,” sebuah suara di belakangku berkata. Aku menarik tanganku


lagi.

“Apa?” suaraku terdengar mencicit. Si pelayan menganggap kekagetanku itu


sebagai penolakan, dan berlalu.

Adrian Ivashkov beringsut ke dalam jangkauan pandangku. Dia terlihat sangat


menikmati kejadian tadi.

“Kau main-main, kan?” tanyaku. “’Sweetbread’ itu pankreas?” Aku tak tahu


kenapa aku harus sekaget ini. Moroi mengonsumsi banyak darah. Apa
salahnya dengan jeroan hewan? Meski begitu, aku menahan diri agar tidak
bergidik.

Adrian mengangkat bahu. “Rasanya sangat enak.”

Aku menggeleng jijik. “Astaga. Orang-orang kaya memang payah.”


Adrian semakin geli mendengarnya. “Apa yang kaulakukan di
sini, Dhampir Kecil? Kau membuntutiku, ya?”

“Tentu saja tidak,” aku mendengus. Seperti biasa, Adrian berdandan


sempurna. “Apalagi setelah masalah yang kausebabkan pada kami.”

Adrian menyunggingkan senyum menggoda yang menjadi ciri khasnya, dan


meskipun dia membuatku kesal, lagi-lagi aku merasakan keinginan tak
tertahankan untuk berada di dekatnya. Apa-apaan ini?

“Entahlah,” Adrian meledekku. Saat ini dia kelihatan sepenuhnya waras, tidak
menunjukkan jejak-jejak perilaku aneh yang kusaksikan saat berada di
kamarnya. Dan yeah, dia kelihatan jauh lebih pantas memakai tuksedo
daripada lelaki mana pun yang sejauh ini kulihat di tempat ini. “Sudah berapa
kali kita bertemu? Lima kali? Sepertinya mulai terlihat mencurigakan. Tapi
jangan takut. Aku takkan memberitahu pacarmu kok. Dua-duanya.”

Aku membuka mulut untuk protes, tetapi teringat Adrian tadi melihatku
sedang bersama Dimitri. Aku tidak mau terlihat tersipu. “Aku hanya
punya satu pacar. Bisa dibilang begitu. Lagi pula, aku tak perlu
menceritakannya. Aku bahkan tak suka padamu.”

“Benarkah?” tanya Adrian, masih tersenyum. Dia membungkuk ke arahku,


seolah ingin menceritakan sebuah rahasia. “Kalau begitu, kenapa kau
memakai parfum dariku?”

Kali ini aku benar-benar tersipu. Aku mundur satu langkah. “Tidak.”

Adrian tertawa. “Tentu saja kau memakainya. Aku menghitung kotak


parfumnya setelah kau pergi. Lagi pula, aku bisa menciumnya pada tubuhmu
sekarang. Wanginya enak. Tajam… tapi tetap manis―dan aku yakin itulah
dirimu yang sebenarnya. Dan kau tahu, kau memakainya dengan pas. Cukup
menambah keharuman… tapi tidak sampai menenggelamkan aroma
alamimu.” Cara Adrian mengatakan “aroma” membuat kata itu terdengar
cabul.

Bangsawan Moroi mungkin membuatku tidak nyaman, tetapi lain halnya


dengan cowok sok yang menggodaku. Aku sering berurusan dengan mereka.
Aku membuang rasa malu dan mengingat siapa diriku yang sebenarnya.

“Hei,” kataku sambil mengayunkan rambut ke balik pundak. “Aku berhak


mengambilnya. Kau kan yang menawarkannya padaku. Kau saja yang berpikir
macam-macam, padahal sebenarnya itu bukan masalah besar. Kecuali
mungkin kau seharusnya lebih berhati-hati dalam membuang uang.”

“Ooh, Rose Hathaway hadir di sini untuk ikut bermain, Saudara-Saudara.”


Adrian berhenti sejenak lalu mengambil gelas yang sepertinya berisi
sampanye dari seorang pelayan yang melintas. “Kau mau?”

“Aku tidak minum alkohol.”

“Yang benar saja.” Adrian tetap memberiku satu gelas, lalu menyuruh si
pelayan pergi dan meminum sampanyenya. Aku punya firasat itu bukan gelas
pertamanya untuk malam ini. “Nah. Sepertinya Vasilisa berhasil
mempermalukan ayahku.”

“Ayah…” Aku melirik kelompok yang baru saja kutinggalkan. Si Rambut Perak
masih berdiri di sana, menggerak-gerakkan tangan dengan penuh semangat.
“Pria itu ayahmu?”

“Ibuku bilang begitu.”

“Kau sependapat dengannya? Bahwa Moroi yang ikut bertarung sama saja
bunuh diri?”

Adrian mengangkat bahu dan menyesap minumannya lagi. “Bisa dibilang aku
tak punya pendapat soal itu.”

“Itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin kau tidak mendukung salah satunya?”

“Entah. Bukan sesuatu yang ingin kupikirkan. Banyak hal lain yang lebih
menarik untuk dilakukan.”

“Contohnya menguntitku,” aku menuduhnya. “Dan Lissa.” Aku masih ingin


tahu mengapa Lissa ada di kamar Adrian.

Adrian tersenyum lagi. “Sudah kubilang, kaulah yang membuntutiku.”

“Ya, ya, aku tahu. Lima kali―” Aku berhenti. “Lima kali?”

Adrian mengangguk.

“Tidak, kita baru bertemu empat kali.” Aku menghitung dengan tanganku yang
tidak memegang gelas. “Malam pertama kali kita bertemu, malam hari di spa,
lalu saat aku mendatangi kamarmu, dan malam ini.”

Senyum Adrian berubah penuh rahasia. “Kalau kaubilang begitu.”


“Memang begitu…” Ucapanku kembali menggantung. Aku pernah mengobrol
dengan Adrian pada satu kesempatan lain. Yah, bisa dibilang begitu.
“Maksudmu bukan…”

“Apa maksudku?” Kedua mata Adrian berbinar oleh ekspresi penasaran dan
bersemangat. Tatapannya lebih terlihat berharap daripada angkuh.

Aku menelan ludah, teringat pada mimpiku. “Bukan apa-apa.” Tanpa berpikir
panjang, aku meminum sampanye. Dari seberang ruangan, perasaan Lissa
membara ke dalam diriku, tenang dan bahagia. Bagus.

“Kenapa kau tersenyum?” tanya Adrian.

“Karena Lissa masih ada di sana, memesona kerumunan itu.”

“Tidak mengherankan. Vasilisa adalah orang yang sanggup memesona siapa


pun jika dia berusaha cukup keras. Bahkan orang-orang yang membencinya.”

Aku menatap Adrian dengan sinis. “Aku merasa seperti itu saat bicara
denganmu.”

“Tapi kau kan tidak membenciku,” kata Adrian, menghabiskan sampanye.


“Tidak terlalu.”

“Tapi aku juga tidak menyukaimu.”

“Kau terus-menerus mengatakan itu.” Adrian bergerak mendekatiku, tidak


mengancam, hanya mempersempit jarak di antara kami. “Tapi aku bisa
menerimanya.”

“Rose!”

Suara tajam ibuku membelah udara. Beberapa orang yang berada dalam
jangkauan dengar langsung melirik ke arah kami. Ibuku―yang tingginya hanya
satu setengah meter―menghambur marah ke arah kami.
Ayu Lestari Df

Ini sampe part berapa min?

Ningsih Wati

Next...

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

kalau nggak salah 26... ehh ga tau jg ya... admin lupa


Yasin

makasih min. dan jangan patah semangat

Riri Amelia

Boleh minta lebih sring di post ga min, biar cepet selse gtu. Makasih

Vinda Hidayati

Next
Vampire Academy 2 (Bab 17)

Vampire Academy 2 (Bab 17)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

“APA YANG KAULAKUKAN?” tuntutnya. Menurutku suaranya masih terlalu


lantang.

“Tak ada, aku―”

“Permisi, Lord Ivashkov,” gumam ibuku. Kemudian, seakan aku masih berumur
lima tahun, dia merenggut lenganku dan menarikku keluar dari ruangan.
Sampanyeku menciprat ke luar dari gelas dan mengenai bagian bawah
gaunku.

“Apa yang kaulakukan?” seruku saat kami sudah berada di selasar. Dengan
sedih, aku menunduk menatap gaunku. “Ini dari sutra. Kau mungkin sudah
merusaknya.”

Ibuku merebut gelas sampanye dan meletakkannya di meja di dekat kami.


“Bagus. Mungkin itu akan membuatmu berhenti berpakaian seperti pelacur
murahan lagi.”

“Whoa,”aku berseru kaget. “Ucapanmu cukup kasar. Dan kenapa kau tiba-tiba
bersikap keibuan seperti ini?” Aku menuding gaunku. “Gaun ini tidak bisa
dibilang murahan. Kau bahkan pernah bilang Tasha baik sekali karena
menghadiahiku gaun ini.”

“Aku bilang begitu karena tidak menduga kau akan memakainya bersama
seorang Moroi dan membuat dirimu jadi tontonan.”

“Aku tidak membuat diriku jadi tontonan. Lagi pula, gaun ini menutupi seluruh
tubuh.”

“Gaun seketat itu sama saja dengan memperlihatkan semua bagian tubuh,”
bentaknya. Ibuku, tentu saja, mengenakan pakaian pengawal berwarna hitam,
celana berpotongan resmi warna hitam dan blazer yang serasi. Ibuku sendiri
memiliki tubuh yang cukup berlekuk, tetapi semua itu tersembunyi di balik
pakaiannya.
“Apalagi kalau kau sedang bersama kelompok seperti itu. Tubuhmu… sangat
menarik perhatian. Dan menggoda seorang Moroi tidak menjadikannya lebih
baik.”

“Aku tidak menggodanya.”

Tuduhan itu membuatku marah karena akhir-akhir ini aku merasa berkelakuan
baik. Biasanya aku selalu bergenit-genit―dan melakukan hal lainnya―dengan
cowok Moroi, tetapi setelah mengobrol beberapa kali dan mengalami satu
kejadian memalukan bersama Dimitri, aku menyadari betapa bodohnya hal itu.
Para cewek dhampir memang harus berhati-hati dalam menghadapi cowok
Moroi, dan sekarang aku selalu mengingat hal itu.

Sebuah hal picik tiba-tiba tebersit dalam benakku. “Lagi pula,” kataku dengan
nada mencemooh, “bukankah ini yang mestinya kulakukan? Berhubungan
dengan seorang Moroi dan memperbanyak rasku? Itulah yang kaulakukan.”

Ibuku merengut. “Tidak saat seusiamu.”

“Kau hanya beberapa tahun lebih tua dariku saat itu.”

“Jangan bertindak bodoh, Rose,” katanya. “Kau masih terlalu muda untuk
punya bayi. Kau belum berpengalaman―kau bahkan belum menjalani
kehidupan sendiri. Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan yang
kauinginkan.”

Aku mengerang, benar-benar merasa dipermalukan. “Benarkah kita


membahas ini? Bagaimana mungkin tuduhan aku sedang menggoda cowok
Moroi tiba-tiba berubah menjadi bagaimana kalau aku punya bayi? Aku tidak
berhubungan seks dengannya atau siapa pun juga, dan kalaupun
melakukannya, aku tahu alat pencegah kehamilan. Kenapa kau bicara seolah
aku anak kecil?”

“Karena kau bertingkah seperti anak kecil.” Persis yang dikatakan Dimitri.

Aku melotot. “Dan kau sekarang akan menghukumku dengan menyuruhku


pergi ke kamar?”

“Tidak, Rose.” Tiba-tiba saja ibuku terlihat lelah. “Kau tak perlu kembali ke
kamar, tapi jangan kembali ke dalam juga. Semoga kau tidak terlalu menarik
perhatian.”

“Kau bereaksi seolah aku baru saja menari erotis bersama seorang cowok di
dalam sana,” kataku. “Aku hanya makan malam bersama Lissa.”
“Kau pasti kaget kalau tahu apa saja yang bisa memicu kabar burung. Apalagi
dengan Adrian Ivashkov.”

Setelah itu, ibuku langsung membalikkan badan lalu berjalan menyusuri


selasar. Saat menatap kepergiannya, aku merasakan amarah dan kebencian
membara di dalam diriku. Dia sudah kelewatan. Aku kan tidak melakukan
kesalahan apa pun. Aku tahu ibuku memiliki ketakutan tersendiri mengenai
masalah pelacur darah dan semacamnya, tetapi ini terlalu ekstrem, bahkan
untuknya. Dan yang paling parah, ibuku menyeretku keluar dari ruangan
dengan disaksikan beberapa orang. Bagi orang yang tidak ingin aku menjadi
pusat perhatian, ibuku bisa dibilang sudah mengacaukannya.

Sepasang Moroi yang tadi berdiri di dekatku dan Adrian berjalan keluar dari
ruangan. Mereka melirik ke arahku dan saling membisikkan sesuatu saat
melewatiku.

“Terima kasih, Mom,” gumamku pelan.

Merasa sangat malu, aku berjalan ke arah yang berbeda, sama sekali tidak
tahu harus ke mana. Aku berjalan ke bagian belakang penginapan, menjauh
dari semua aktivitas.

Akhirnya aku tiba di ujung selasar, dan di sebelah kiri ada sebuah pintu yang
mengarah ke tangga. Pintunya tidak dikunci, jadi aku menaiki tangga yang
ternyata mengarah ke pintu lain. Aku senang sekali saat mendapati pintunya
membuka ke sebuah dek atap yang sepertinya jarang dipakai. Dek tersebut
diselimuti salju, tetapi sekarang masih pagi dan matahari bersinar cerah,
membuat segala sesuatunya terlihat berkilau.

Aku menyingkirkan salju dari atas sebuah kotak besar yang sepertinya bagian
dari sistem ventilasi. Aku duduk di atasnya tanpa memedulikan gaunku.
Seraya memeluk tubuh, aku menerawang, menikmati pemandangan dan
matahari yang jarang kudapatkan.

Aku kaget ketika beberapa menit kemudian pintu tadi tiba-tiba membuka. Saat
menoleh, aku bahkan lebih terkejut lagi melihat Dimitri yang muncul. Hatiku
agak bergetar, lalu aku berpaling lagi, tidak yakin harus berpikir apa. Sepatu
bot Dimitri berderak menginjak salju saat dia berjalan menghampiriku. Sesaat
kemudian, Dimitri membuka mantel panjangnya lalu menyampirkannya ke
pundakku.

Dimitri duduk di sampingku. “Kau pasti kedinginan.”


Aku memang kedinginan, tetapi tak sudi mengakuinya. “Mataharinya cerah.”

Dimitri memiringkan kepala, menatap langit biru yang sempurna. Aku tahu
Dimitri juga merindukan matahari, sama seperti yang terkadang kurasakan.
“Memang. Tapi kita berada di pegunungan pada pertengahan musim dingin.”

Aku tidak menjawab. Sejenak kami duduk nyaman dalam kesunyian. Sesekali
embusan angin ringan meniup salju yang ada di sekitar kami. Saat itu malam
hari bagi para Moroi, dan sebagian besar dari mereka akan segera tidur, jadi
lintasan skinya sepi.

“Hidupku hancur berantakan,” akhirnya aku berkata.

“Tentu saja tidak,” jawab Dimitri seketika.

“Kau mengikutiku dari pesta?”

“Ya.”

“Aku tidak tahu kau ada di sana.” Setelan gelap yang dipakainya menunjukkan
bahwa Dimitri sedang bertugas di pesta itu. “Jadi kau melihat Janine yang
tersohor membuat kehebohan dengan menyeretku keluar dari pesta.”

“Itu bukan kehebohan. Hampir tak ada yang melihatnya. Aku melihatnya
karena sedang memperhatikanmu.”

Aku menahan diri agar tidak kegirangan saat mendengarnya. “Bukan itu yang
dibilang ibuku,” kataku. “Menurutnya aku terlihat seperti sedang menjual diri.”

Aku menceritakan pembicaraan kami di selasar.

“Dia hanya mengkhawatirkanmu,” kata Dimitri setelah aku selesai bicara.

“Reaksinya berlebihan.”

“Kadang-kadang para ibu memang berlebihan dalam melindungi anak-


anaknya.”

Aku menatap Dimitri. “Yeah, tapi kita sedang membicarakan ibuku. Dan
sesungguhnya, sikapnya tidak terlalu melindungi. Kurasa dia lebih terlihat
cemas aku akan mempermalukannya, atau semacam itu. Dan nasihatnya soal
terlalu-muda-untuk-menjadi-ibu itu benar-benar bodoh. Aku tak mungkin
melakukan hal semacam itu.”

“Mungkin dia tidak sedang membicarakan dirimu,” kata Dimitri.

Sunyi lagi. Aku melongo.


Kau belum berpengalaman―kau bahkan belum menjalani kehidupan sendiri.
Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan yang kauinginkan.

Ibuku berusia dua puluh tahun saat aku dilahirkan. Selama ini aku selalu
menganggap usia itu sangat tua. Namun sekarang… usia itu hanya terpaut
beberapa tahun dari usiaku. Sama sekali tidak tua. Apakah ibuku menganggap
dirinya terlalu muda saat mengandungku? Apakah dia melakukan pekerjaan
yang payah demi membesarkan aku karena pada saat itu dia tidak tahu apa
yang harus dilakukan? Apakah dia menyesali hubungan kami yang berakhir
seperti ini? Dan apakah… apakah mungkin ibuku memiliki pengalaman sendiri
bersama pria-pria Moroi, dan orang-orang yang menyebarkan kabar burung
tentang dirinya? Ternyata aku mewarisi banyak hal dari ibuku. Maksudku,
bahkan malam ini aku bisa melihat keindahan tubuhnya. Ibuku juga
cantik―maksudku untuk ukuran wanita yang hampir berusia empat puluh
tahun. Mungkin saja pada masa mudanya ibuku sangat cantik….

Aku mendesah. Aku tidak mau membicarakannya. Kalau aku melakukannya,


mungkin aku terpaksa meninjau ulang hubunganku dengannya―bahkan aku
mungkin terpaksa mengakui ibuku sebagai manusia biasa―dan sekarang saja
aku sudah memiliki banyak hubungan yang membuatku tertekan. Lissa selalu
membuatku khawatir, meski kali ini dia kelihatan baik-baik saja. Kehidupan
cintaku―jika bisa dibilang begitu―bersama Mason hancur berantakan. Dan
tentu saja, hubunganku dengan Dimitri….

“Tumben kita tidak bertengkar,” cetusku.

Dimitri melirikku sekilas. “Kau ingin kita bertengkar?”

“Tidak. Aku benci bertengkar denganmu. Maksudku secara verbal. Aku tidak
keberatan berkelahi denganmu di ruang olahraga.”

Kurasa aku melihat sekilas senyum. Senyumnya untukku selalu hanya


setengah. Jarang sekali dia memberiku senyuman utuh. “Aku juga tidak suka
bertengkar denganmu.”

Saat duduk di samping Dimitri, aku terkagum-kagum dengan emosi hangat


dan bahagia yang tumbuh dalam diriku. Ada sesuatu yang membuatku
merasa sangat nyaman saat berada di sampingnya, sesuatu yang
menggetarkan hati dan tidak kurasakan saat bersama Mason. Cinta tak bisa
dipaksakan, aku tersadar. Cinta ada di dalam hati atau tidak sama sekali.
Kalau tidak merasakan kehadirannya, kau harus sanggup mengakuinya.
Namun, kalau bisa merasakannya, kau harus melakukan apa pun untuk
melindungi orang yang kaucintai.

Kata-kata selanjutnya yang meluncur dari mulutku benar-benar membuatku


terpana, karena sama sekali tidak egois dan aku mengucapkannya dengan
sungguh-sungguh.

“Kau harus menerimanya.”

Dimitri mengernyit. “Apa?”

“Tawaran dari Tasha. Kau harus menerimanya. Itu benar-benar kesempatan


hebat.”

Aku teringat ucapan ibuku mengenai kesiapan memiliki anak. Aku belum siap.
Mungkin ibuku juga dulu belum siap. Namun, Tasha sudah siap. Dan aku tahu
Dimitri juga sudah siap. Mereka berdua juga sangat cocok. Dimitri bisa
menjadi pengawal Tasha, memiliki beberapa anak bersamanya… itu akan
menjadi kesepakatan yang baik untuk keduanya.

“Tidak kuduga akan mendengarmu mengatakannya,” kata Dimitri dengan


suara kaku. “Apalagi setelah―”

“Setelah sikapku yang sangat menyebalkan akhir-akhir ini? Yeah.” Aku


merapatkan mantel Dimitri untuk melawan rasa dingin. Mantel ini memiliki
bau yang sama dengan tubuh Dimitri. Baunya memabukkan, dan aku bisa
separuh membayangkan bagaimana rasanya berada dalam pelukan Dimitri.
Ucapan Adrian soal kekuatan wewangian mungkin ada benarnya juga. “Nah.
Seperti yang tadi kubilang, aku tak mau bertengkar lagi. Aku tak mau kita
saling membenci. Dan… em….” Aku memejamkan mata, lalu membukanya lagi.
“Apa pun yang kurasakan mengenai kita berdua… aku ingin kau bahagia.”

Sunyi lagi. Pada saat itu aku menyadari dadaku yang terasa perih.

Dimitri mengulurkan tangan dan merangkul tubuhku. Dia menarikku


mendekat, dan aku meletakkan kepala di dadanya. “Roza,” hanya itu yang
diucapkan Dimitri.

Inilah kali pertama Dimitri sungguh-sungguh menyentuhku sejak malam kami


terkena mantra kompulsi gairah. Kejadian di ruang latihan benar-benar
berbeda… lebih liar. Pelukan ini tidak ada hubungannya dengan seks. Pelukan
ini hanya berkaitan dengan perasaan saat berada di dekat seseorang yang
benar-benar kausayangi, berkaitan dengan emosi terhubung yang seakan
membanjiri dirimu.
Dimitri boleh saja melarikan diri bersama Tasha, tetapi aku akan tetap
mencintainya. Aku mungkin akan selalu mencintainya.

Aku menyayangi Mason. Namun, aku mungkin tak akan pernah mencintainya.

Aku mendesah di dada Dimitri, berharap bisa terus berada dalam posisi ini
selamanya. Kebersamaanku dengan Dimitri terasa tepat. Dan―sesakit apa
pun diriku saat membayangkan Dimitri bersama Tasha―melakukan apa yang
terbaik untuknya terasa tepat. Sekarang aku sadar, inilah saatnya aku berhenti
bersikap pengecut dan mengatasi masalahku yang lain dengan benar. Mason
bilang aku harus belajar tentang diriku sendiri. Aku baru saja melakukannya.

Dengan enggan aku menjauhkan diri lalu mengembalikan mantel Dimitri. Aku
berdiri. Dimitri menatapku dengan heran, merasakan kegundahanku.

“Kau mau ke mana?” tanyanya.

“Menyakiti hati seseorang,” jawabku.

Aku mengagumi Dimitri sejenak lebih lama―mata gelapnya yang sangat


mengenalku dan rambutnya yang sehalus sutra. Aku harus minta maaf pada
Mason… dan memberitahunya bahwa di antara kami berdua tak akan pernah
terjadi apa-apa.

Ningsih Wati

Next min.....t o p b g t
Dwy Nuerra Rahmawaty

minn,,lagiiiiii.....

Triya Aprodithe II

min bsok d'lnjut yha please (ˆʃƪˆ)

Kamilah

Lanjut .
Maya Gemini

next min

Zuraida Syafry

Lanjut min...

Ika Rosana Dewi


Serasa jg rose dh. .rasana perih kalo orang yg kta cinta tp ga bsa qta miliki. . . .
Argggh greget. . . .
Lanjut min :)

Yasin

makasih

Putri

lbih perih lagi lw kita sling mncintai pie gx biza brsama


Anggun Linda Kusuma

Tetep sabar tunggu chapter slanjtnya, bkal ada sweat ending dri rose&dimitri d akir bku k-2ni KEREN!!

Moi Yulie

whoa roza apa yg kau lakukan?bahkan kalian blum brjuang bwt nyatuin cinta kalian,pdahal brharap
bgt klo rose&dimitri jadian,tpi gk masalah sih rose sama adrian ishakov :-D

Sade Nopo Mawon

senang dimitri besikap seperti itu :)


next min :)
Fiansyah Kinanda Santy

Keren

Hilda Chamberlain

sakit hati banget, berharap rose sama dimitri aja, knpa sih udah nherah padahal belum di perjuangin :(

Scwarze Orchidee

hebat.. rose bisa bersikap dewasa.. salud bgt


Eka Tyas

min, cepet donk di lanjut, ini kan udah hari senin

Write a comment...

Zuraida Syafry

Lanjut min

Devina Ferling
thanks min, ditunggu kelanjutannya ;)

Robbi

Mana lagi sambungan nya mimin..?

Vampire Academy 2 (Bab 18)

Vampire Academy 2 (Bab 18)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

SEPATU HAK TINGGI ini mulai menyakiti kakiku, jadi aku mencopotnya saat
kembali ke dalam, lalu berjalan bertelanjang kaki melintasi penginapan. Aku
belum pernah ke kamar Mason, tetapi aku ingat dia pernah menyebutkan
nomornya dan langsung menemukannya tanpa kesulitan.
Shane, teman sekamar Mason, yang membuka pintu beberapa saat setelah
kuketuk. “Hei, Rose.”

Shane memberi jalan untukku, dan aku masuk ke dalam kamar sambil
memandang sekeliling. Televisi sedang menayangkan infomercial―salah satu
kerugian menjalani kehidupan nokturnal adalah tidak bisa mendapatkan
program televisi yang bermutu―dan kaleng-kaleng soda menutupi hampir
setiap permukaan kosong yang ada di dalam kamar. Tidak ada tanda
kehadiran Mason sedikit pun.

“Di mana dia?” tanyaku.

Shane menahan kuap. “Kupikir dia bersamamu.”

“Aku belum bertemu dengannya seharian ini.”

Shane menguap lagi, lalu mengerutkan kening dan berpikir serius. “Tadi dia
mengemasi barangnya ke dalam tas. Kupikir kalian berdua akan pergi liburan
romantis gila-gilaan. Piknik atau semacamnya. Hei, gaunmu cantik sekali.”

“Trims,” aku bergumam, dan merasa keningku sendiri mulai berkerut.

Mengemasi barang? Itu tidak masuk akal. Tidak ada tempat yang bisa dituju.
Dan tidak ada jalan untuk pergi dari tempat ini. Resor ini dijaga ketat seperti
halnya Akademi. Dulu aku dan Lissa berhasil melarikan diri berkat kompulsi,
dan itu pun sangat sulit dilakukan. Tetapi, untuk apa Mason berkemas-kemas
jika takkan pergi ke mana-mana?

Aku menanyakan beberapa hal lagi pada Shane dan memutuskan untuk
mencari tahu kemungkinannya, segila apa pun kedengarannya. Aku
menemukan pengawal yang berwenang dalam urusan keamanan dan jadwal.
Pria itu memberitahu nama pengawal yang bertugas menjaga perbatasan
resor saat terakhir kali Mason terlihat. Aku mengenali sebagian besar nama,
dan kebanyakan sedang tidak bertugas sekarang sehingga memudahkanku
untuk mencari mereka.

Sayangnya, dua orang pertama yang kudatangi tidak melihat Mason hari ini.
Saat mereka bertanya mengapa aku menanyakan hal itu, aku memberi
jawaban samar lalu bergegas pergi. Orang ketiga yang ada di dalam daftarku
adalah pria bernama Alan, seorang pengawal yang biasanya bertugas di
kampus dasar Akademi. Alan baru saja masuk setelah bermain ski dan
sedang membuka peralatan skinya di dekat pintu. Dia mengenaliku, lalu
tersenyum saat aku menghampirinya.
“Ya, aku melihatnya,” kata Alan sambil membungkuk di atas sepatu botnya.

Perasaan lega membanjiriku. Baru saat itulah aku sadar betapa cemasnya
diriku.

“Kau tahu di mana dia sekarang?”

“Tidak. Aku mengizinkan dia, Eddie Castile… dan, siapa itu namanya, si gadis
Rinaldi, keluar melalui gerbang utara. Dan aku belum melihatnya lagi setelah
itu.”

Aku melongo. Alan melanjutkan mencopot sepatu skinya seolah kami sedang
mengobrolkan kondisi lereng salju.

“Kau mengizinkan Mason, Eddie… dan Mia keluar?”

“Yap.”

“Em… kenapa?”

Alan selesai mencopot sepatunya dan balas menatapku, bisa dibilang


ekspresi wajahnya terlihat senang dan geli. “Karena mereka memintanya.”

Sensasi sedingin es mulai menjalariku. Aku mencari tahu pengawal mana


yang mengawasi gerbang utara bersama Alan, dan langsung mencarinya.
Pengawal itu memberikan jawaban yang sama. Dia mengizinkan Mason,
Eddie, dan Mia keluar dari resor tanpa menanyakan apa pun. Dan, sama
seperti Alan, pria ini juga sepertinya tidak menganggap aneh kejadian itu. Dia
hampir kelihatan terpana. Aku pernah melihat ekspresi seperti itu… ekspresi
yang terpancar pada wajah orang-orang saat Lissa menggunakan kompulsi.

Lebih tepatnya, aku melihat hal yang sama saat Lissa meminta orang-orang
agar tidak bisa mengingat sesuatu dengan baik. Lissa sanggup mengubur
ingatan orang-orang, entah dengan menghapusnya entah
menyembunyikannya untuk sementara. Tetapi kompulsi Lissa benar-benar
hebat, sehingga dia sanggup membuat orang-orang melupakan semuanya
begitu saja. Jika mereka masih punya sedikit ingatan, berarti kompulsi si
pelaku tidak sehebat Lissa.

Pelaku seperti, katakanlah, Mia.

Aku bukan jenis orang yang gampang pingsan, tetapi untuk sesaat, aku
merasa seperti akan ambruk ke lantai. Dunia seolah berputar, aku
memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam. Saat aku sudah bisa
melihat lagi, keadaan di sekelilingku sudah stabil. Oke. Tak masalah. Aku akan
mencari jalan keluar.

Mason, Eddie, dan Mia meninggalkan resor sejak tadi. Bukan hanya itu,
mereka melakukannya dengan menggunakan kompulsi―yang dilarang keras.
Mereka tidak memberitahu siapa pun. Mereka pergi melalui gerbang utara.
Aku pernah melihat peta resor ini. Gerbang utara menjaga jalan mobil yang
berhubungan dengan satu-satunya jalan semi-utama di area ini, jalan bebas
hambatan yang mengarah ke sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilometer
dari sini. Kota yang menurut Mason memiliki layanan bus.

Ke Spokane.

Spokane―kota yang mungkin menjadi tempat tinggal sekelompok Strigoi dan


manusia yang sedang berkeliaran.

Spokane―tempat Mason bisa memenuhi impian sintingnya untuk membantai


Strigoi.

Spokane―yang tidak akan diketahui Mason kalau bukan karena aku.

“Tidak, tidak, tidak,” gumamku pelan, hampir berlari menuju kamarku.

Di sana aku melepas gaun lalu berganti mengenakan pakaian musim dingin
yang tebal: sepatu bot, celana jins, dan sweter. Seraya meraih mantel dan
sarung tangan, aku bergegas kembali ke pintu, lalu berhenti. Aku tadi
bertindak tanpa berpikir dulu. Apa yang sebenarnya akan kulakukan? Sudah
jelas aku harus memberitahu seseorang… tetapi jika aku melakukannya,
mereka bertiga akan mendapat masalah besar. Selain itu, Dimitri juga akan
tahu bahwa aku telah membocorkan informasi mengenai keberadaan Strigoi
di Spokane. Informasi yang diceritakannya sebagai tanda bahwa dia
menghargaiku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.

Aku menghitung-hitung waktu. Jika kami menghilang, orang-orang di sekitar


resor baru akan menyadarinya beberapa saat kemudian. Itu pun kalau aku
bisa keluar dari resor ini.

Beberapa menit kemudian, aku mendapati diri sedang mengetuk pintu kamar
Christian. Dia membukanya dengan wajah mengantuk dan sinis seperti biasa.

“Kalau kau datang untuk minta maaf atas nama Lissa,” kata Christian angkuh,
“kau bisa langsung melakukannya dan―”

“Oh, tutup mulut,” bentakku. “Ini bukan soal dirimu.”


Aku menceritakan detail kejadiannya dengan tergesa-gesa. Bahkan Christian
tidak bisa menjawabnya dengan sindiran sinis.

“Jadi… Mason, Eddie, dan Mia pergi ke Spokane untuk memburu Strigoi?”

“Ya.”

“Sial. Kenapa kau tidak ikut? Sepertinya ini sesuatu yang bakal kaulakukan.”

Aku menahan diri menonjok wajahnya. “Karena aku masih waras! Tapi aku
akan mengejar mereka, sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih bodoh
lagi.”

Saat itulah Christian mulai mengerti. “Lalu apa yang kaubutuhkan dariku?”

“Aku harus keluar dari resor ini. Mereka menyuruh Mia menggunakan
kompulsi pada para pengawal. Aku membutuhkanmu untuk hal yang sama.
Aku tahu kau sudah melatihnya.”

“Aku memang sudah berlatih,” Christian membenarkan. “Tapi… um…” Untuk


kali pertama dalam hidupnya Christian terlihat malu. “Aku tidak terlalu hebat.
Dan melakukannya pada dhampir bisa dibilang mustahil. Liss seratus kali
lebih hebat dariku. Atau dari Moroi mana pun.”

“Aku tahu. Tapi aku tak mau Lissa terlibat masalah.”

Christian mendengus. “Tapi kau tak keberatan kalau aku yang mendapat
masalah?”

Aku mengangkat bahu. “Sama sekali tidak.”

“Kau ini benar-benar menyebalkan, tahu tidak?”

“Yeah. Sejujurnya, aku tahu.”

Jadi, lima menit kemudian, aku dan Christian sudah berjalan menuju gerbang
utara. Matahari mulai meninggi, jadi sebagian besar orang berada di dalam.
Situasi ini menguntungkan kami, dan kuharap memang akan memudahkan
kami untuk melarikan diri.

Bodoh, bodoh, itulah yang terus-menerus terpikir olehku. Kami semua akan


mendapat masalah gara-gara ini. Mengapa Mason melakukannya? Aku tahu
perilakunya kadang agak sok jago… dan dia jelas kelihatan kesal karena para
pengawal tidak berbuat apa-apa terhadap serangan yang terjadi baru-baru ini.
Tetapi tetap saja dia tak perlu bersikap seperti ini. Apa dia sudah benar-benar
sinting? Dia seharusnya tahu betapa berbahaya semua ini. Mungkinkah…
mungkinkah aku sudah membuatnya begitu kesal karena bencana yang terjadi
saat kami bercumbu, sehingga dia memutuskan untuk melakukan hal gila ini?
Begitu marah sehingga membuatnya melarikan diri, lalu mengajak Mia dan
Eddie untuk ikut dengannya? Bukan berarti kedua orang itu sulit dibujuk. Eddie
pasti akan mengikuti ke mana pun Mason pergi, sedangkan Mia hampir
sebersemangat Mason untuk membunuh setiap Strigoi yang ada di dunia.

Namun, dari semua masalah yang mengusikku, ada satu yang pasti. Akulah
yang memberitahu Mason mengenai keberadaan Strigoi di Spokane. Tidak
salah lagi, semua ini salahku, dan tanpaku, semua ini takkan pernah terjadi.

“Lissa selalu melakukannya dengan kontak mata,” aku memberitahu Christian


saat kami semakin dekat dengan pintu keluar. “Dan bicara dengan suara yang
sangat tenang. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi. Lissa memusatkan
pikiran juga, jadi coba lakukan itu. Pusatkan pikiranmu untuk memaksakan
kehendak pada mereka.”

“Aku tahu,” bentak Christian. “Aku pernah melihat Lissa melakukannya.”

“Ya sudah,” aku balas membentak. “Aku hanya mencoba membantu.” Aku
menyipitkan mata dan melihat hanya ada satu pengawal yang berdiri di
gerbang―benar-benar beruntung. Saat itu pergantian giliran jaga. Dengan
matahari yang bersinar tinggi, risiko keberadaan Strigoi pun menghilang. Para
pengawal akan tetap bertugas jaga, tetapi mereka bisa melakukannya dengan
agak lebih santai.

Pria yang sedang bertugas sepertinya tidak curiga melihat penampilan kami.
“Sedang apa kalian di luar sini, Anak-Anak?”

Christian menelan ludah. Aku bisa melihat kerut tegang di wajahnya.

“Kau akan mengizinkan kami keluar dari gerbang,” kata Christian. Kegugupan
menyebabkan suaranya agak bergetar, tetapi selain itu, dia menggunakan
nada menenangkan yang hampir sama dengan Lissa. Sayangnya, ucapannya
tidak berdampak apa pun pada si pengawal. Seperti kata Christian tadi,
menggunakan kompulsi pada pengawal bisa dikatakan mustahil. Mia
sepertinya beruntung. Si pengawal nyengir pada kami.

“Apa?” tanyanya, jelas-jelas terlihat geli.


Christian mencoba lagi. “Kau akan mengizinkan kami keluar dari sini.”

Senyum pria itu agak memudar, dan aku melihat matanya berkedip kaget.
Mata pria itu tidak berkaca-kaca seperti yang biasanya terjadi pada korban
Lissa, tetapi Christian sudah berhasil membuatnya terpana sejenak.
Sayangnya, aku langsung tahu bahwa itu tidak akan cukup membuatnya
mengizinkan kami ke luar dan melupakan semuanya. Untunglah, aku sudah
dilatih untuk memaksa orang tanpa menggunakan kekuatan sihir.

Di dekat pos jaganya tergeletak sebuah senter Maglite berukuran raksasa,


panjangnya setengah meter dan beratnya tiga kilogram. Aku meraih senter itu
lalu memukul bagian belakang kepala si pengawal. Dia menggeram dan
terkulai ke tanah. Pria itu sama sekali tidak menyadari seranganku. Dan
terlepas dari tindakanku yang mengerikan, aku sedikit berharap salah seorang
instrukturku ada di sana untuk menilai performaku yang mengagumkan tadi.

“Astaga,” seru Christian. “Kau baru saja menyerang pengawal.”

“Yeah.” Sia-sia saja usahaku membawa pulang teman-temanku tanpa


mendapat masalah. “Aku sama sekali tidak menyangka kemampuanmu
menggunakan kompulsi sepayah itu. Aku akan mengurus masalah ini nanti.
Terima kasih atas bantuanmu. Kau harus cepat-cepat kembali sebelum giliran
jaga berikutnya tiba.”

Christian menggeleng dan nyengir. “Tidak, aku akan ikut denganmu.”

“Tidak,” debatku. “Aku hanya membutuhkanmu untuk keluar dari gerbang.


Jangan sampai kau terlibat masalah gara-gara ini.”

“Aku sudah mendapat masalah!” Christian menunjuk si pengawal. “Dia sudah


melihat wajahku. Bagaimanapun aku tetap akan mendapat masalah, jadi lebih
baik aku ikut denganmu dan menjadi pahlawan. Sesekali berhentilah bersikap
menyebalkan.”

Kami bergegas pergi, dan aku melirik si pengawal dengan tatapan bersalah
untuk terakhir kalinya. Aku cukup yakin pukulanku tidak begitu keras hingga
menyebabkan luka serius, dan dengan matahari yang bersinar, tubuhnya tak
akan membeku atau semacamnya.

Setelah lima menit berjalan menyusuri jalan bebas hambatan, aku tahu kami
punya masalah lain. Meski tubuhnya terlindung dan memakai kacamata
hitam, matahari membuat Christian kewalahan. Hal ini memperlambat kami,
dan tak lama lagi ada orang yang akan menemukan si pengawal yang kupukul
sampai pingsan, lalu mereka akan mengejar kami.

Sebuah mobil―bukan milik Akademi―muncul di belakang kami, dan aku


sudah membuat keputusan. Aku sama sekali tidak suka menumpang mobil
orang asing. Bahkan orang sepertiku tahu betapa berbahayanya hal itu. Tetapi
kami harus pergi ke kota secepat mungkin, dan kuharap kami berdua sanggup
mengalahkan pria mengerikan mana pun yang berniat macam-macam dengan
kami.

Untungnya, saat mobil itu menepi, penumpangnya adalah sepasang suami


istri paruh baya yang terlihat mengkhawatirkan kami. “Kalian baik-baik saja,
Anak-Anak?”

Aku menudingkan jempol ke belakang. “Mobil kami tergelincir ke bahu jalan.


Apa kalian bisa memberi kami tumpangan ke kota supaya aku bisa
menelepon ayahku?”

Ternyata berhasil. Lima belas menit kemudian, mereka menurunkan kami di


sebuah pompa bensin. Sebenarnya aku malah kesulitan menyingkirkan
pasangan itu, karena mereka tampak sangat ingin menolong kami. Akhirnya,
kami berhasil meyakinkan mereka bahwa kami baik-baik saja, lalu berjalan
sejauh beberapa blok menuju stasiun bus. Seperti dugaanku, kota ini tidak
bisa dikatakan ramai dengan akses memadai. Ada tiga jalur perjalanan yang
tersedia dari kota ini; dua di antaranya menuju resor ski dan satu menuju
Lowston, Idaho. Dari Lowston, barulah kami bisa pergi ke tempat-tempat lain.

Aku setengah berharap bisa menyusul Mason dan yang lain-lain sebelum bus
yang akan mereka tumpangi datang. Jadi, kami bisa mengajak mereka pulang
tanpa terlibat masalah. Sayangnya, tidak ada tanda keberadaan mereka sama
sekali. Wanita ceria yang menjaga konter juga tahu siapa yang kami cari. Dia
memastikan ketiganya sudah membeli tiket menuju Spokane melalui
Lowston.

“Brengsek,” ucapku. Wanita itu mengangkat sebelah alis saat mendengarku


mengumpat. Aku menoleh pada Christian. “Kau punya uang untuk beli tiket
bus?”

 
***

Aku dan Christian jarang mengobrol sepanjang perjalanan, kecuali saat aku
mengatainya idiot karena sikapnya dalam menanggapi masalah Lissa dan
Adrian. Ketika kami tiba di Lowston, aku berhasil meyakinkannya, dan itu bisa
dikatakan mukjizat kecil. Christian tidur selama perjalanan menuju Spokane,
tetapi aku tetap terjaga. Aku terus-menerus berpikir bahwa semua ini
kesalahanku.

Kami tiba di Spokane pada sore hari. Kami menanyai beberapa orang, dan
akhirnya berhasil menemukan orang yang tahu lokasi pusat perbelanjaan yang
dimaksud Dimitri. Jaraknya jauh dari terminal bus, tetapi bisa dicapai dengan
berjalan kaki. Kakiku terasa kaku setelah berada dalam bus selama lima jam,
dan aku ingin menggerak-gerakkannya. Matahari belum lagi terbenam, tetapi
sudah mulai turun dan tidak terlalu menyiksa bagi para vampir, jadi Christian
tidak keberatan kami berjalan kaki ke sana.

Dan, seperti yang sering terjadi saat merasa tenang, aku merasakan tarikan ke
dalam kepala Lissa. Aku membiarkan diri terseret ke dalam kepalanya karena
ingin tahu apa yang sedang terjadi di resor.

“Aku tahu kau ingin melindungi mereka, tapi kami harus tahu di mana mereka
berada.”

Lissa sedang duduk di kamar tidur kami, sementara ibuku dan Dimitri
menunduk menatapnya. Yang bicara tadi Dimitri. Melihatnya melalui mata
Lissa terasa menarik. Lissa menyukai dan menghormati Dimitri, sangat
berbeda dengan emosi bagaikan roller coaster yang selalu kurasakan
untuknya.

“Sudah kubilang,” kata Lissa. “Aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang terjadi.”

Frustrasi dan kekhawatiran pada nasib kami membara dalam diri Lissa. Aku
sedih melihatnya secemas ini, tetapi pada saat yang sama aku juga lega tidak
melibatkannya. Lissa tak bisa melaporkan sesuatu yang tidak diketahuinya.

“Aku tak percaya mereka tidak memberitahumu ke mana mereka pergi,” ibuku
berkata. Kata-kata yang diucapkan ibuku terdengar datar, tetapi di wajahnya
terlihat kerutan cemas. “Apalagi jika mengingat… ikatan batin kalian.”

“Ikatan batinnya hanya bekerja satu arah,” kata Lissa sedih. “Kau kan tahu itu.”
Dimitri berlutut hingga sejajar dengan Lissa dan menatap lurus ke matanya.
Dia memang hampir selalu harus berjongkok untuk menatap mata seseorang.
“Kau yakin tak tahu apa-apa? Apa pun yang bisa kauberitahukan pada kami?
Mereka tak ada di kota. Pria yang bertugas di stasiun bus tidak melihat
mereka… meski kami cukup yakin ke sanalah mereka pergi. Kami
membutuhkan sesuatu, apa pun untuk bisa bertindak.”

Pria yang bertugas di stasiun bus? Itu keberuntungan kami yang lain. Wanita
yang menjual tiket pada kami pasti sudah pulang. Orang yang
menggantikannya tidak akan mengenali kami.

Lissa mengertakkan gigi dan melotot. “Memangnya kaupikir kalau aku tahu,
aku takkan memberitahukannya pada kalian? Kaupikir aku tidak
mengkhawatirkan mereka? Aku tidak tahu di mana mereka. Sama sekali. Dan
kenapa mereka harus pergi… itu juga tidak masuk akal. Apalagi mereka pergi
bersama Mia.” Sengatan rasa sakit hati terpancar melalui ikatan batin kami,
sakit hati karena merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan apa pun yang sedang
kami lakukan, sesalah apa pun kegiatan tersebut.

Dimitri mendesah dan kembali berdiri. Dari ekspresi wajahnya, dia jelas
memercayai ucapan Lissa. Dan Dimitri juga jelas tampak cemas―cemas
dalam cara yang lebih profesional. Dan melihat
kekhawatirannya―kekhawatirannya untukku―membuat hatiku mencelus.

“Rose?” Suara Christian membawaku kembali ke dalam diriku. “Kurasa kita


sudah sampai.”

Plaza ini berupa area terbuka yang luas di depan mal perbelanjaan. Sebuah
café tampak di salah satu sudut bangunan utama, meja-mejanya diletakkan
sampai ke area terbuka. Orang-orang berseliweran keluar masuk komplek ini,
tampak sibuk bahkan pada jam begini.

“Jadi, bagaimana cara kita menemukan mereka?” tanya Christian.

Aku mengangkat bahu. “Mungkin kalau kita bertingkah seperti Strigoi, mereka
akan langsung menusuk kita.”

Senyum kecil dan ragu tersungging pada wajah Christian. Dia tidak mau
mengakuinya, tetapi Christian menganggap leluconku itu lucu.
Kami masuk ke dalam mal. Seperti mal lainnya, mal ini dipenuhi berbagai
macam merek terkenal, dan bagian diriku yang egois berpikir jika berhasil
cukup cepat menemukan mereka, kami masih punya waktu untuk berbelanja.

Dua kali aku dan Christian mengelilingi tempat itu, tetapi tidak melihat tanda
keberadaan teman-teman kami, ataupun sesuatu yang menyerupai
terowongan.

“Mungkin kita datang ke tempat yang salah,” akhirnya aku berkata.

“Atau mungkin mereka yang salah,” kata Christian. “Mungkin saja mereka


pergi ke tempat―tunggu dulu.”

Christian menuding, dan aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Ketiga orang
pelarian itu sedang duduk di sebuah meja di tengah-tengah food court, tampak
sedih. Mereka kelihatan sangat merana, hingga aku nyaris merasa kasihan
pada mereka.

“Aku rela mati kalau bisa mendapat kamera sekarang juga,” kata Christian
sambil tertawa mengejek.

“Tidak lucu,” ucapku seraya berjalan menuju kelompok itu. Dalam hati aku
merasa lega. Kelompok itu jelas belum menemukan satu Strigoi pun, mereka
semua masih hidup, dan mungkin bisa diajak kembali ke resor sebelum kami
mendapat lebih banyak masalah.

Mereka tidak menyadari kedatanganku sampai aku berada di samping


mereka. Eddie mendongak kaget. “Rose? Apa yang kaulakukan di sini?”

“Kalian sudah sinting, ya?” aku berteriak. Beberapa orang di dekat kami
tampak kaget. “Kalian tahu sebesar apa masalah yang akan kalian dapatkan?
Masalah yang akan kita dapatkan?”

“Bagaimana kalian bisa menemukan kami?” tanya Mason dengan suara


rendah, memandang sekeliling dengan cemas.

“Kalian bukan ahli kejahatan yang hebat,” kataku. “Informan kalian di stasiun
bus yang membuka rahasia. Itu, dan aku aku sudah menebak kau pasti ingin
pergi melakukan pengejaran Strigoi dengan sia-sia.”

Tatapan Mason memperlihatkan bahwa dia masih marah kepadaku. Mia-lah


yang menjawab.
“Pengejarannya tidak sia-sia.”

“Oh ya?” tuntutku. “Apa kalian sudah membunuh Strigoi? Atau setidaknya apa
kalian sudah menemukan mereka?”

“Belum,” Eddie mengakui.

“Bagus,” kataku. “Kalian beruntung.”

“Kenapa kau begitu menentang membunuh Strigoi?” tanya Mia berapi-api.


“Bukankah kau dilatih untuk membunuh Strigoi?”

“Aku dilatih untuk melakukan misi yang masuk akal, bukan aksi kenakak-
kanakan seperti ini.”

“Ini tidak kekanak-kanakan,” jerit Mia. “Mereka membunuh ibuku. Dan para
pengawal tidak berbuat apa pun. Bahkan informasi yang mereka dapat salah.
Di terowongan itu tidak ada satu pun Strigoi. Mungkin tak ada satu pun Strigoi
di kota ini.”

Christian kelihatan terkesan. “Kalian menemukan terowongannya?”

“Yeah,” jawab Eddie. “Tapi seperti yang Mia bilang, terowongannya tak
berguna.”

“Kita harus melihatnya dulu sebelum pulang,” kata Christian padaku. “Pasti
keren, dan kalau datanya salah, artinya terowongannya tidak berbahaya.”

“Tidak,” bentakku. “Kita pulang. Sekarang.”

Mason terlihat lelah. “Kami akan menyisir kota lagi. Kau pun tak bisa
memaksa kami untuk pulang, Rose.”

“Memang tidak bisa, tapi pengawal sekolah bisa melakukannya kalau aku
menelepon dan memberitahukan bahwa kalian ada di sini.”

Ini boleh disebut pemerasan atau tukang ngadu, efeknya tetap sama. Mereka
bertiga menatapku seolah aku baru saja menonjok perut mereka secara
bergantian.

“Kau benar-benar akan melakukannya?” tanya Mason. “Kau akan mengadukan


kami?”
Aku menggosok mata, bertanya-tanya dengan putus asa mengapa aku yang
berperan sebagai suara hari nurani di sini. Mana gadis yang melarikan diri dari
sekolah? Mason benar. Aku sudah berubah.

“Ini bukan soal mengadukan siapa. Ini soal mempertahankan nyawa kalian.”

“Menurutmu kami begitu tidak berdaya?” tanya Mia. “Menurutmu kami akan
langsung terbunuh?”

“Ya,” jawabku. “Kecuali kau sudah mendapatkan cara menggunakan air


sebagai senjata?”

Mia tersipu dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

“Kami membawa pasak perak,” kata Eddie.

Bagus. Mereka pasti mencurinya. Aku menatap Mason dengan pandangan


memohon.

“Mason. Kumohon. Batalkan semua ini. Ayo kita pulang.”

Mason menatapku lama. Akhirnya dia mendesah. “Baiklah.”

Eddie dan Mia tampak terguncang, tetapi Mason sudah bertindak sebagai
pemimpin, dan mereka tidak punya inisiatif untuk melanjutkan rencana
tanpanya. Sepertinya Mia yang paling berat menerima keputusan ini, dan aku
kasihan padanya. Mia hampir tak sempat untuk sungguh-sungguh berduka
atas kematian ibunya, dan langsung memutuskan ikut dalam rencana ini
dengan niat balas dendam yang digunakannya sebagai jalan untuk mengatasi
kesedihannya. Mia harus menghadapi banyak hal saat kami kembali nanti.

Christian masih penasaran dengan terowongan bawah tanah. Mengingat dia


menghabiskan banyak waktu di loteng, mestinya aku tidak perlu sekaget itu.

“Aku sudah melihat jadwalnya,” kata Christian. “Kita masih punya waktu
sebelum bus berikutnya tiba.”

“Kita tak bisa memasuki sarang Strigoi begitu saja,” aku membantah seraya
berjalan menuju pintu keluar mal.

“Di sana tak ada Strigoi,” kata Mason. “Di sana hanya ada barang-barang
petugas kebersihan. Tidak ada yang aneh. Menurutku informasi yang
didapatkan pengawal benar-benar salah.”
“Rose,” kata Christian, “ayo kita bersenang-senang dulu.”

Mereka semua menatapku. Aku merasa seperti seorang ibu yang tidak
mengizinkan anak-anaknya membeli permen di toko serba ada.

“Oke, baiklah. Tapi kita mengintip saja.”

Ketiganya membimbing aku dan Christian ke sisi lain mal, melalui sebuah
pintu yang bertuliskan KHUSUS PEGAWAI. Kami menghindari beberapa
petugas kebersihan, lalu menyelinap ke pintu lain yang mengarah ke sebuah
tangga ke bawah. Sejenak aku mengalami déjà vu, teringat pada anak tangga
menuju pesta spa Adrian. Hanya saja, tangga ini jauh lebih kotor dan baunya
cukup busuk.

Kami tiba di dasar tangga. Terowongannya lebih menyerupai koridor sempit,


permukaannya tertutup oleh semen bernoda. Lampu-lampu neon dipasang tak
beraturan di sepanjang dinding. Jalurnya terbentang ke kiri dan kanan.
Kardus-kardus berisi alat kebersihan dan peralatan listrik teronggok di pojok.

“Kaulihat?” kata Mason. “Membosankan.”

Aku menuding kedua arah terowongan. “Di sana ada apa?”

“Tak ada apa-apa,” desah Mia. “Biar kami tunjukkan.”

Kami berjalan ke kanan dan menemukan hal yang kurang lebih sama. Aku
mulai setuju dengan penilaian mereka bahwa tempat ini membosankan, tetapi
kemudian kami melewati tulisan berwarna hitam di salah satu dinding. Aku
berhenti dan menatapnya. Ternyata daftar huruf.

            D 

                      B 

                      C 

                      O 

                      T 

                      D 

                      V 
                      L 

                      D 

                      Z 

                      S 

            I

Beberapa huruf diberi garis atau tanda x di sampingnya, tetapi selebihnya


pesan itu tidak masuk akal. Mia melihatku mengamati huruf-huruf itu.

“Mungkin ini urusan petugas kebersihan,” kata Mia. “Atau mungkin anggota
geng yang melakukannya.”

“Mungkin,” jawabku, masih mengamati tulisan itu. Teman-temanku beringsut


gelisah, tidak mengerti ketertarikanku pada huruf-huruf acak ini. Aku sendiri
juga tidak mengerti, tetapi ada sesuatu di dalam kepalaku yang menyuruhku
tetap berada di sana.

Kemudian, aku memahaminya.

B untuk Badica. Z untuk Zeklos. I untuk Ivashkov….

Aku melongo. Huruf pertama setiap nama keluarga bangsawan ada di sana.
Di sana tertulis tiga huruf D, tetapi berdasarkan urutannya, dafatr huruf ini
sebenarnya bisa dibaca sebagai peringkat ukuran. Daftarnya dimulai dengan
keluarga yang lebih kecil―Dragomir, Badica, Conta―hingga ke keluarga besar
Ivashkov. Aku tidak memahami garis putus-putus yang ada di samping
beberapa huruf, tetapi aku langsung menyadari nama-nama yang di
sampingnya terdapat tanda x: Badica dan Drozdov.

Aku menjauh dari dinding. “Kita harus keluar dari sini,” ucapku. Suaraku
sendiri membuatku agak takut. “Sekarang juga.”

Teman-temanku yang lain menatapku dengan terkejut. “Kenapa?” tanya Eddie.


“Ada apa?”

“Aku akan memberitahu kalian nanti. Yang penting sekarang kita harus pergi.”

Mason menuding jalan yang akan kami tuju. “Jalan ini menuju pintu keluar
yang letaknya beberapa blok dari sini. Lebih dekat ke stasiun.”
Aku menyipitkan mata ke dalam kegelapan yang misterius. “Tidak,” kataku.
“Kita akan keluar melalui jalan yang kita masuki tadi.”

Saat kembali menyusuri jalan tadi, mereka semua menatapku seolah aku
sudah gila, tetapi tak ada yang membantah. Kami keluar dari pintu depan mal,
dan aku mengembuskan napas lega melihat matahari masih bersinar, meski
sudah ditelan cakrawala dan memancarkan cahaya oranye merah ke atas
bangunan-bangunan. Cahaya yang tersisa ini masih cukup untuk mengantar
kami ke stasiun bus sebelum kami bertemu dengan Strigoi.

Dan sekarang aku yakin di Spokane ini memang ada Strigoi. Informasi yang
didapat Dimitri benar. Aku tidak tahu arti daftar huruf tadi, tetapi jelas
berhubungan dengan serangan-serangan Strigoi. Aku harus cepat-cepat
melaporkannya kepada pengawal lain, dan tentu saja aku tak bisa
menceritakannya pada teman-temanku sampai kami tiba di penginapan
dengan selamat. Mason mungkin akan kembali ke terowongan kalau sampai
tahu.

Sebagian besar perjalanan kaki kami ke stasiun dilakukan dalam kesunyian.


Kurasa suasana hatiku sudah membuat teman-temanku takut. Bahkan
Christian pun seperti kehabisan komentar sinis. Dalam hati, emosiku campur
aduk, berganti antara marah dan bersalah saat mengingat-ingat kembali peran
sertaku dalam semua ini.

Eddie tiba-tiba berhenti berjalan di depanku, dan aku nyaris menabraknya. Dia
menatap sekeliling. “Kita ada di mana?”

Aku tersentak keluar dari lamunanku, lalu ikut mengamati area sekitar kami.
Aku tidak ingat pernah melihat bangunan-bangunan ini. “Brengsek,” aku
berseru. “Apa kita tersesat? Dari tadi tak ada yang memperhatikan jalan, ya?”

Pertanyaan itu tidak adil karena aku sendiri juga tidak memperhatikan jalan,
tetapi emosiku membuatku bereaksi tanpa berpikir jernih. Mason
mengamatiku beberapa saat, lalu menuding. “Ke sini.”

Kami berbalik lalu menyusuri sebuah jalan sempit yang diapit dua buah
bangunan. Kurasa arah yang kami tuju masih salah, tetapi aku tidak punya ide
yang lebih bagus. Aku juga tidak mau diam di tempat sambil berdebat.

Kami belum berjalan terlalu jauh ketika mendengar bunyi mesin dan decit ban.
Mia sedang berjalan di tengah jalan, dan insting melindungi langsung
mengambil alih sebelum aku sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Aku menyambar tubuh Mia lalu menariknya dari tengah jalan hingga merapat
ke dinding salah satu bangunan. Yang lain berbuat sama.

Sebuah mobil van kelabu yang jendelanya dicat baru saja menikung di sudut
jalan menuju ke arah kami. Kami merapat ke dinding, menunggu mobil itu
melewati kami.

Namun, hal itu tidak terjadi.

Mobil itu berhenti mendadak di depan kami, dan pintu-pintunya bergeser


membuka. Tiga pria bertubuh besar turun dari dalam mobil, dan lagi-lagi,
instingku mengambil alih. Aku sama sekali tidak tahu siapa mereka atau apa
yang mereka inginkan, tetapi yang pasti mereka tidak ramah. Hanya itu yang
perlu kuketahui.

Salah satu dari mereka menghampiri Christian. Aku langsung menyerang dan
meninju orang itu. Pria itu sama sekali tidak terjengkang, tetapi kurasa dia
terkejut karena bisa merasakan tinjuku. Pria itu sepertinya tidak menduga
orang sekecil aku bisa berbahaya juga. Dia mengabaikan Christian, dan ganti
mengincarku. Dari sudut mata, kulihat Eddie dan Mason sedang melawan dua
pria lainnya. Mason bahkan sudah mengeluarkan pasak perak curiannya. Mia
dan Christian hanya berdiri terpaku.

Para penyerang kami benar-benar mengandalkan otot. Mereka tidak memiliki


teknik menyerang dan bertahan seperti yang kami miliki. Selain itu, mereka
manusia biasa, sedangkan kami memiliki kekuatan dhampir. Sayangnya, kami
memiliki kelemahan dengan terpojok ke dinding. Kami tidak bisa mundur.
Yang lebih penting lagi, ada sesuatu yang bisa mereka ambil dari kami.

Contohnya Mia.

Pria yang bertarung dengan Mason sepertinya menyadari hal ini. Dia menjauh
dari Mason lalu menyambar Mia. Aku nyaris tidak melihat kilasan senjata itu
sebelum moncongnya ditekankan ke leher Mia. Seraya mundur dari lawanku,
aku berteriak pada Eddie agar berhenti. Kami semua sudah dilatih untuk
segera menanggapi perintah semacam itu, dan Eddie langsung menghentikan
serangannya, menatapku dengan bingung. Ketika melihat Mia, wajahnya
memucat.
Tak ada yang kuinginkan selain terus memukuli pria-pria ini―siapa pun
mereka―tapi aku tak bisa mengambil risiko Mia disakiti oleh pria itu. Pria itu
juga menyadarinya. Dia bahkan tidak perlu mengeluarkan ancaman. Dia
seorang manusia, tetapi dia tahu cukup banyak tentang kami. Dia tahu kami
akan melakukan apa pun untuk melindungi Moroi. Sejak kecil para novis
sudah dicekoki dengan istilah: Hanya mereka yang penting.

Semua orang berhenti, lalu bergantian menatapku dan pria itu. Sepertinya
kami pemimpin yang diakui di sini. “Apa yang kauinginkan?” tanyaku dengan
kasar.

Pria itu semakin menekankan senjatanya ke leher Mia, dan gadis itu merintih
pelan. Terlepas dari ucapannya mengenai bertarung, tubuh Mia lebih kecil
dariku dan jauh lebih lemah. Mia juga terlalu takut untuk bergerak.

Pria itu memiringkan kepala ke arah pintu mobil van yang terbuka. “Aku ingin
kalian masuk ke dalam. Dan jangan macam-macam. Kalau kalian bikin ulah,
nyawanya melayang.”

Aku menatap Mia, mobil van, teman-temanku yang lain, lalu kembali menatap
pria-pria itu. Sialan.

Ran Sovie'Anna

akhirnya :)
Zuraida Syafry

Wah seruuu min lanjuttttt

Tri Wahyuni

aiss penasaran pake banget banget , 1 bab lgi dong :(

Kamilah

Next
As Psyche

seruuuu makin penaasarannnnnn....

Sade Nopo Mawon

min lanjut dong, 4 hari loh min skrng mau dibikin penasaran lagi?

Rizky Handayani

Min 1 bab lgi dong, sumpah penasaran bngit.. Please min


Yasin

makash...

Chusie Bellamy

ooohhhhhh.... Gue bca'y deg_deg sumpah keren abis Lnjut dong

Yunita Isnaini Sulistya Wati

10 bab lagi dunk...


Yunita Isnaini Sulistya Wati

1 bab lagi dunk...

Riizma Haris

Minnn aku udah nnton film'a ϑĩ bioskop kereennnn deh min

Moi Yulie

whoaaa keren bingit.aku kira itu strigoi trnyatat manusia toh.aduh dbkin tegang dpart ini nih.
Write a comment...

Vampire Academy 2 (Bab 19)

Vampire Academy 2 (Bab 19)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

AKU BENCI MERASA tak berdaya. Dan aku benci menyerah tanpa perlawanan.
Yang terjadi di gang tadi bukan pertarungan sebenarnya. Seandainya itu yang
terjadi―seandainya aku dihajar sampai menyerah… maka, yeah. Mungkin aku
bisa menerimanya. Tetapi aku tidak dihajar. Tanganku hampir tidak kotor.
Alih-alih, aku mengikuti mereka tanpa melawan.

Setelah menyuruh kami duduk di lantai mobil van, mereka mengikat tangan
kami di belakang dengan borgol plastik terkunci yang sanggup menahan apa
pun sekuat borgol logam.

Setelah itu kami berkendara dalam diam. Pria-pria itu sesekali


menggumamkan sesuatu, mengobrol dengan suara yang terlalu pelan untuk
bisa kami dengar. Christian atau Mia mungkin bisa mendengarnya, tetapi
posisi mereka sama sekali tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan
satu pun dari kami. Mia masih terlihat ketakutan seperti ketika berada di jalan
tadi, dan meski rasa takut Christian dengan cepat berubah menjadi
kemarahannya yang biasa, dia pun tidak berani bertingkah macam-macam
dengan kawalan penjaga di dekatnya.

Aku lega karena Christian bisa mengendalikan diri. Aku tidak ragu pria-pria itu
pasti akan langsung memukul jika Christian kelewatan, dan baik posisiku
maupun para novis yang lain tidak memungkinkan untuk menghentikan
mereka. Itulah yang benar-benar membuatku gila. Insting melindungi Moroi
begitu terpatri dalam diriku, sehingga aku bahkan tak sanggup berhenti
sejenak untuk mengkhawatirkan diriku sendiri. Christian dan Mia yang
menjadi pusat perhatianku. Merekalah yang harus kuselamatkan dari semua
kekacauan ini.
Dan bagaimana semua kekacauan ini bisa terjadi? Siapa pria-pria ini? Itu
masih misteri. Mereka manusia, tetapi aku tak percaya
sekelompok dhampir dan Moroi sudah menjadi korban penculikan acak. Kami
menjadi target karena alasan tertentu.

Penculik kami tidak berusaha menutup mata kami atau menyamarkan rute
perjalanan, dan hal itu kuanggap sebagai pertanda tidak baik. Apa mereka
mengira kami tidak mengenal kota ini sehingga takkan bisa mengingat jalan
kembali? Atau mereka mengira hal itu tidak penting, karena kami takkan
pernah meninggalkan tempat mana pun yang sedang kami tuju sekarang? Aku
hanya bisa merasa kami semakin jauh dari pusat kota, melaju ke daerah
pinggiran. Spokane memang sangat membosankan seperti yang sudah
kuduga. Alih-alih salju putih yang terhampar dalam gundukan, jalanan
dipenuhi kubangan lumpur es kelabu dan petak-petak kotor yang tersebar di
pekarangan. Di sini juga tidak ada pepohonan hijau seperti yang biasa kulihat.
Pepohonan meranggas berbatang kurus yang ada di sini terlihat bagai
tengkorak. Mereka hanya menambah kemuraman bencana yang segera
datang.

Setelah perjalanan yang rasanya berlangsung kurang dari satu jam, mobil van
berbelok ke jalan buntu yang sepi, menuju sebuah rumah yang terlihat sangat
biasa―namun luas. Rumah-rumah lainnya―terlihat identik seperti yang umum
terjadi pada rumah-rumah di kawasan suburban―terletak berdekatan, dan hal
ini memberiku sedikit harapan. Mungkin kami bisa mendapat bantuan dari
para tetangga.

Mobil dimasukkan ke dalam garasi, dan begitu pintu garasi diturunkan, pria-
pria itu langsung menggiring kami ke dalam rumah. Bagian dalam rumah ini
kelihatan jauh lebih menarik. Sofa dan kursi antik dengan kaki berbentuk
cakar. Sebuah akuarium besar berisi ikan air laut. Pedang-pedang yang
bersilangan di atas perapian. Sejenis lukisan semi modern yang berisi
beberapa garis yang dicoretkan di atas kanvas.

Bagian diriku yang senang menghancurkan sangat tertarik untuk mempelajari


cara menggunakan pedang-pedang itu secara detail, tetapi ternyata tujuan
kami bukan lantai utama. Alih-alih, kami digiring ke tangga, turun ke ruang
bawah tanah yang sama luasnya dengan lantai atas. Hanya saja, tidak seperti
ruang terbuka di lantai utama, ruang bawah tanahnya dibagi menjadi beberapa
selasar dan pintu-pintu yang tertutup. Tempat ini terlihat bagaikan labirin
tikus. Tanpa ragu, para penculik menggiring kami ke sebuah ruangan kecil
dengan lantai beton dan dinding yang tidak dicat.

Perabot di dalam terdiri atas beberapa kursi kayu bersandaran tipis yang
terlihat sangat tidak nyaman―sandaran yang terbukti cocok untuk mengikat
kembali tangan kami. Pria-pria itu mendudukkan kami sedemikian rupa
sehingga Mia dan Christian berada di satu sisi ruangan, sedangkan kami
para dhampir di sisi yang lain. Seorang pria―ternyata
pemimpinnya―mengawasi dengan saksama ketika salah seorang anak
buahnya mengikat tangan Eddie dengan borgol plastik biru.

“Mereka yang harus lebih kauawasi,” pria itu memperingatkan sambil


mengedikkan dagu ke arah kami. “Mereka akan melawan.” Matanya menatap
wajah Eddie, lalu wajah Mason, dan terakhir wajahku. Aku bertatapan dengan
pria itu selama beberapa saat, lalu aku merengut. Pria itu menoleh pada
temannya lagi. “Terutama awasi dia.”

Setelah merasa puas dengan ikatan kami, pria itu meneriakkan beberapa
perintah lagi, lalu pergi meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan
suara keras. Saat berjalan menaiki tangga, langkah kakinya bergema ke
seluruh rumah. Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi.

Kami hanya bisa duduk seraya saling pandang. Beberapa menit kemudian,
Mia merintih dan mulai bicara. “Apa yang akan kalian―”

“Diam,” salah seorang pria itu menggeram pada Mia. Pria itu mendekatinya
dengan langkah mengancam. Wajah Mia memucat dan mengernyit, tetapi
kelihatannya dia masih ingin mengatakan sesuatu. Aku menatapnya dan
menggelengkan kepala. Mia tidak mengatakan apa-apa, kedua matanya
melebar, dan bibirnya agak gemetar.

Tidak ada yang lebih buruk daripada menunggu dan tak tahu apa yang akan
terjadi padamu selanjutnya. Imajinasimu bisa begitu kejam. Karena orang-
orang yang menjaga kami tidak mengatakan ataupun memberitahukan apa
pun pada kami, akhirnya aku membayangkan berbagai skenario mengerikan.
Senjata-senjata itu merupakan ancaman yang sangat nyata, dan aku
membayangkan bagaimana rasanya ditembus peluru. Sepertinya
menyakitkan. Dan bagian mana yang akan mereka tembak? Jantung, atau
kepala? Kematiannya akan cepat. Tapi bagaimana kalau di bagian lain?
Misalnya di perut? Kematiannya akan lambat dan menyakitkan. Aku menggigil
saat membayangkan darahku menetes sampai habis. Memikirkan darah
sebanyak itu membuatku teringat pada rumah keluarga Badica, dan
membayangkan kemungkinan leher kami digorok. Selain pistol, sepertinya
pria-pria ini juga memiliki pisau.

Tentu saja, aku juga bertanya-tanya mengapa sampai detik ini kami masih
hidup. Sudah jelas mereka menginginkan sesuatu dari kami, tapi apa? Mereka
tidak menanyakan informasi tertentu pada kami. Dan mereka manusia. Apa
yang diinginkan manusia dari kami? Biasanya yang kami takuti adalah jenis
manusia yang ingin membantai kaum kami, atau mereka yang ingin
melakukan eksperimen pada kami. Sepertinya mereka bukan keduanya.

Jadi, apa yang mereka inginkan? Kenapa kami ada di tempat ini? Aku terus
membayangkan kejadian-kejadian yang lebih mengerikan. Ekspresi wajah
teman-temanku menunjukkan bahwa aku bukan satu-satunya yang sanggup
membayangkan berbagai siksaan yang mungkin akan kami terima. Bau
keringat dan ketakutan memenuhi ruangan ini.

Aku sudah tidak bisa mengira-ngira waktu, dan tiba-tiba tersentak keluar dari
imajinasiku saat mendengar bunyi langkah kaki di tangga. Si pimpinan
penculik tiba di selasar. Pria-pria lainnya langsung berdiri, mereka terlihat
tegang. Ya Tuhan. Sekaranglah saatnya, aku tersadar. Inilah yang kami tunggu
sedari tadi.

“Ya, Sir,” aku mendengar si pemimpin berkata. “Mereka ada di dalam, seperti
yang kauminta.”

Akhirnya, batinku. Orang di balik penculikan kami. Rasa panik menyerbuku.


Aku harus melarikan diri.

“Keluarkan kami dari sini!” teriakku sambil menarik-narik ikatan tanganku.


“Keluarkan kami dari sini, dasar kau ba―”

Aku berhenti. Ada sesuatu di dalam diriku yang seakan mengerut.


Kerongkonganku terasa kering. Jantungku seakan ingin berhenti berdetak. Si
penjaga sudah kembali bersama seorang pria dan wanita yang tidak kukenal.
Namun, aku tahu bahwa mereka adalah….

…Strigoi.
Strigoi yang nyata dan hidup―yah, secara kiasan. Tiba-tiba saja semuanya
terlihat masuk akal. Ternyata bukan hanya laporan mengenai Spokane saja
yang benar. Kekhawatiran kami―bahwa Strigoi bekerja sama dengan
manusia―ternyata juga benar. Semua ini akan mengubah banyak hal. Siang
hari tak lagi aman. Tak satu pun dari kita yang aman. Yang lebih parah, aku
baru sadar mereka ini Strigoi yang licik―Strigoi yang menyerang dua keluarga
Moroi dengan bantuan manusia. Semua ingatan itu kembali membanjiri
benakku, mayat dan darah yang berceceran di mana-mana. Cairan asam mulai
naik ke kerongkonganku, dan aku berusaha menyingkirkan ingatan masa lalu
dengan situasi sekarang. Bukan berarti situasi sekarang lebih menyenangkan.

Kaum Moroi berkulit pucat, jenis kulit yang mudah merona dan terbakar sinar
matahari. Tetapi para vampir Strigoi ini…kulit mereka seputih kapur, jenis putih
yang membuat kulit terlihat seperti hasil riasan yang buruk. Pupil mereka
dikelilingi lingkaran merah, menunjukkan kepribadian mereka yang seperti
monster.

Sebenarnya, si wanita mengingatkanku pada Natalie―temanku yang bernasib


malang karena diyakinkan oleh ayahnya sendiri untuk berubah menjadi Strigoi.
Perlu beberapa saat bagiku untuk memikirkan persamaan di antara mereka,
karena keduanya tidak mirip sama sekali. Wanita ini bertubuh
pendek―mungkin sebelum menjadi Strigoi, dia manusia biasa―dan
rambutnya berwarna cokelat dengan highlight jelek.

Kemudian aku tersadar. Strigoi ini baru saja berubah, sama seperti Natalie
dulu. Hal ini terlihat semakin jelas setelah aku membandingkan dia dengan
pria yang bersamanya. Wajah si wanita Strigoi masih menunjukkan sedikit
kehidupan. Tetapi wajah si pria…memperlihatkan wajah kematian.

Wajah si pria sama sekali tidak menunjukkan kehangatan ataupun emosi


lembut lainnya. Ekspresi wajahnya dingin dan penuh perhitungan, dan dihiasi
seringai jahat. Pria itu bertubuh tinggi, setinggi Dimitri, dan ramping. Tubuh
rampingnya menunjukkan bahwa dia dulu Moroi sebelum berubah menjadi
Strigoi. Wajahnya dibingkai rambut hitam sepanjang bahu yang terlihat
mencolok di atas kemeja merah cerah yang dipakainya. Mata cokelatnya
terlihat sangat gelap, sehingga tanpa lingkaran merah itu, batas antara pupil
dan irisnya akan sulit ditentukan.
Salah satu pria yang menjaga kami mendorongku dengan keras, padahal aku
tidak mengatakan apa-apa. Kemudian dia melirik si pria Strigoi. “Apa aku
harus menyumpal mulutnya?”

Tiba-tiba aku tersadar bahwa dari tadi aku merapat ke sandaran kursi,
berusaha menjauh dari pria itu. Si pria Strigoi pun menyadarinya, dan dia
menyunggingkan senyum tipis tanpa memperlihatkan giginya.

“Jangan,” dia berkata. Suaranya terdengar angkuh dan pelan. “Aku ingin
mendengar apa yang ingin disampaikannya.” Pria itu mengangkat sebelah alis
padaku. “Silakan. Lanjutkan saja.”

Aku menelan ludah.

“Tak mau? Tak ada lagi yang ingin kaukatakan? Nah. Silakan bersuara jika ada
sesuatu yang tebersit dalam pikiranmu.”

“Isaiah,” si wanita berseru. “Kenapa kau menyekap mereka di sini? Kenapa kau
tidak langsung menghubungi yang lain saja?”

“Elena, Elena,” gumam Isaiah. “Jaga tingkahmu. Aku takkan melewatkan


kesempatan menikmati dua orang Moroi dan…” Isaiah berjalan ke belakang
kursiku lalu mengangkat rambutku, membuatku menggigil. Sesaat kemudian
dia menatap leher Mason dan Eddie. “…tiga dhampir yang darahnya belum
tercemar.” Isaiah mengucapkan kalimat itu nyaris dengan desahan bahagia,
dan aku sadar bahwa dia tadi sedang memeriksa keberadaan tato pengawal.

Isaiah menghampiri Mia dan Christian, lalu berkacak pinggang sambil


mengamati mereka. Mia hanya sanggup menatapnya sejenak sebelum
akhirnya memalingkan wajah. Rasa takut Christian terlihat jelas, tetapi dia
berhasil membalas tatapan si Strigoi. Hal itu membuatku bangga padanya.

“Lihat mata ini, Elena.” Elena menghampirinya dan berdiri di samping Isaiah
yang berbicara lagi. “Mata biru pucat ini. Bagaikan es. Bagaikan
batu aquamarine. Bisa dibilang kau takkan bisa mendapatkan mata seperti ini
di luar keluarga bangsawan. Keluarga Badica. Keluarga Ozera. Beberapa
orang keluarga Zeklos.”

“Ozera,” Christian berkata, berusaha keras tidak terdengar takut.


Isaiah memiringkan kepala. “Benarkah? Tentunya kau bukan…” Isaiah
membungkuk lebih dekat pada Christian. “Tapi usianya memang cocok… dan
rambut itu…” Pria itu tersenyum. “Putra Lucas dan Moira?”

Christian tidak mengatakan apa-apa, tetapi konfirmasi yang tergambar di


wajahnya terlihat jelas.

“Aku kenal orangtuamu. Orang-orang hebat. Tak ada yang bisa menandingi.
Kematian mereka sangat disayangkan… tapi, yah… terpaksa kubilang itu
memang kesalahan mereka. Aku sudah menyuruh mereka agar tidak kembali
untuk menjemputmu. Karena akan sia-sia saja membangkitkanmu dalam usia
semuda itu. Mereka bilang hanya akan menjagamu dan membangkitkanmu
kalau sudah lebih besar. Aku sudah memperingatkan mereka bahwa itu hanya
akan membawa bencana, tapi…” Isaiah mengangkat bahu pelan.
‘Membangkitkan’ adalah istilah yang mereka gunakan saat berubah menjadi
Strigoi. Kedengarannya seperti pengalaman religius. “Mereka tak mau dengar,
dan bencana pun menghampiri mereka.”

Kebencian yang dalam dan gelap membara di mata Christian. Isaiah


tersenyum lagi.

“Sebenarnya cukup mengharukan, karena setelah sekian lama, akhirnya kau


berhasil menemuiku. Mungkin aku memang bisa mewujudkan impian
orangtuamu.”

“Isaiah,” si wanita―Elena―berkata lagi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya


terdengar seperti rengekan. “Panggil yang lain―”

“Berhenti memerintahku!” Isaiah merenggut bahu Elena lalu


mendorongnya―hanya saja, dorongannya itu sanggup melemparkan tubuh
Elena ke seberang ruangan dan hampir menembus dinding. Elena nyaris tidak
sempat mengulurkan tangan untuk mencegah tubuhnya menabrak dinding.
Strigoi memiliki refleks yang lebih baik daripada dhampir atau bahkan Moroi.
Gerakan Elena yang kurang anggun menunjukkan bahwa dia benar-benar
sedang lengah. Dan sesungguhnya, tangan Isaiah hampir tidak menyentuh
tubuh Elena. Dorongannya pelan―tetapi kekuatannya setara dengan tenaga
mobil kecil.

Kejadian itu membuatku semakin yakin bahwa Isaiah berada di kelas yang
berbeda dari Elena. Kekuatannya jauh melampaui kekuatan Elena. Elena
terlihat bagaikan seekor lalat yang bisa disingkirkannya kapan saja. Kekuatan
Strigoi bertambah seiring pertambahan usia―juga dengan meminum darah
Moroi, dan dengan efek yang lebih rendah, darah dhampir. Kemudian aku baru
sadar, pria ini tidak hanya tua. Dia sangat tua. Dan dia sudah
meminum banyak darah selama bertahun-tahun. Wajah Elena terlihat ngeri,
dan aku bisa memahami ketakutannya. Strigoi sering kali berbalik melawan
satu sama lain. Isaiah bisa saja merenggut kepalanya hingga putus kalau
mau.

Elena menunduk, menghindari tatapan Isaiah. “Aku… maafkan aku, Isaiah.”

Isaiah merapikan kemejanya―meski kemeja itu sama sekali tidak kusut.


Suaranya terdengar ramah namun dingin seperti semula. “Kau memang punya
hak untuk bersuara, Elena, dan kuharap kau bisa menyampaikannya dengan
sopan. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan dengan bayi-bayi ini?”

“Kau harus―maksudku, kurasa sebaiknya kita membawa mereka sekarang.


Terutama para Moroi.” Elena berusaha keras tidak merengek dan membuat
Isaiah kesal lagi. “Kecuali… kau tidak berniat mengadakan pesta makan
malam lagi, kan? Itu sungguh sia-sia. Kita terpaksa berbagi dan kau tahu kan
yang lain tidak akan berterima kasih. Mereka tidak pernah melakukannya.”

“Aku tidak akan menjadikan mereka pesta makan malam,” kata Isaiah dengan
angkuh. Pesta makan malam? “Tapi aku juga tidak akan membunuh mereka
sekarang. Kau masih muda, Elena. Kau hanya berpikir mengenai kesenangan
sesaat. Kalau sudah setua aku, kau takkan bersikap… seceroboh ini.”

Elena memutar bola mata ketika Isaiah sedang tidak melihatnya.

Isaiah berbalik lalu memandangku, Mason, dan Eddie. “Sayangnya, kalian


bertiga akan mati. Tidak ada cara menghindarinya. Aku ingin bilang aku
menyesal, tapi, hmm, aku sama sekali tidak menyesal. Begitulah hidup ini
berjalan. Namun, kalian memang bisa memilih cara bagaimana akan mati, dan
hal itu ditentukan oleh perilaku kalian.” Isaiah menatapku. Aku sungguh-
sungguh tidak mengerti mengapa semua orang sepertinya memilihku sebagai
si pembuat onar. Yah, mungkin itu benar. “Beberapa di antara kalian akan mati
dengan cara yang lebih menyakitkan daripada yang lain.”

Aku tidak perlu menatap Mason dan Eddie untuk mengetahui bahwa mereka
juga sama takutnya denganku. Aku bahkan cukup yakin mendengar Eddie
merintih pelan.
Isaiah mendadak membalikkan tubuh dengan gaya militer, lalu menatap Mia
dan Christian. “Untungnya, kalian berdua punya pilihan. Hanya satu dari kalian
yang akan mati. Yang lainnya akan tetap hidup dalam keabadian yang
menakjubkan. Aku bahkan akan bermurah hati dan mendidikmu sampai
sedikit lebih dewasa. Anggaplah aku beramal.”

Aku tak bisa menahannya. Aku mendengus tertawa.

Isaiah berbalik lagi lalu menatapku. Aku terdiam dan menunggunya


melemparku ke seberang ruangan seperti yang dilakukannya pada Elena,
tetapi dia tidak melakukan apa-apa selain menatapku. Tatapannya saja sudah
cukup. Jantungku berdebar kencang, dan aku merasa air mataku
menggenang. Ketakutan yang kurasakan membuatku malu. Aku ingin seperti
Dimitri. Bahkan mungkin seperti ibuku. Setelah beberapa saat yang terasa
lama dan menyiksa, Isaiah kembali menoleh pada para Moroi.

“Nah. Seperti yang tadi kubilang, salah satu dari kalian akan dibangkitkan dan
hidup untuk selamanya. Tapi bukan aku yang akan membangkitkan kalian.
Kalian boleh memilih sesuai kehendak kalian.”

“Tidak akan,” kata Christian. Dia berhasil mengatakan dua kata itu dengan
nada sesinis mungkin, tetapi semua orang di dalam ruangan masih bisa
melihat betapa takutnya dia.

“Ah, betapa aku menyukai semangat keluarga Ozera,” kata Isaiah dengan geli.
Dia melirik Mia, dan mata merahnya berbinar. Mia mengerut ketakutan. “Tapi
jangan biarkan dia mengalahkanmu, Sayang. Darah orang biasa juga
mengandung kekuatan. Dan inilah cara yang akan digunakan untuk
memutuskan hal itu.” Isaiah menuding kami para dhampir. Tatapannya
membuat seluruh tubuhku merinding, dan aku merasa seperti bisa mencium
bau busuk. “Kalau kau mau hidup, yang harus kaulakukan hanyalah
membunuh salah satu dari mereka.” Isaiah berbalik lagi ke arah para Moroi.
“Hanya itu. Sama sekali tidak sulit. Bilang saja pada pria-pria ini bahwa kau
ingin melakukannya. Mereka akan melepas ikatanmu. Lalu, kau minum darah
mereka dan terbangkitkan sebagai salah satu dari kami. Siapa pun yang
pertama melakukannya akan keluar dari sini sebagai orang bebas. Yang
lainnya akan menjadi makan malam untukku dan Elena.”

Ruangan menjadi sunyi.


“Tidak,” kata Christian. “Aku tidak mungkin membunuh salah satu temanku.
Aku tak peduli apa pun yang akan kaulakukan. Aku lebih baik mati.”

Isaiah melambaikan tangan tanda tak peduli. “Sangat mudah bersikap berani
saat kau tidak merasa lapar. Cobalah hidup beberapa hari tanpa sokongan
lain… dan benar, ketiga orang ini akan mulai terlihat sangat menggiurkan. Dan
mereka memang sangat menggiurkan. Para dhampir memang lezat. Beberapa
orang bahkan lebih menyukai mereka daripada Moroi, dan meski tidak
sependapat, aku jelas tidak keberatan menikmati mereka.”

Christian mendengus.

“Kau tak percaya?” tanya Isaiah. “Kalau begitu, izinkan aku membuktikannya.”
Isaiah berjalan kembali ke arahku. Aku menyadari apa yang akan
dilakukannya, dan bicara tanpa memikirkannya terlebih dulu.

“Aku saja,” cetusku. “Minumlah darahku.”

Wajah angkuh Isaiah sejenak terlihat kaget, dan alisnya terangkat. “Kau
menawarkan diri?”

“Aku pernah melakukannya. Maksudku membiarkan Moroi meminum darahku.


Aku tak keberatan. Jangan ganggu yang lain.”

“Rose!” Mason berseru.

Aku mengabaikan Mason dan menatap Isaiah dengan pandangan memohon.


Aku tidak mau dia meminum darahku. Memikirkannya saja sudah membuatku
mual. Tetapi aku pernah memberikan darahku, dan aku merasa sebaiknya dia
mengambil berliter-liter darahku daripada menyentuh Eddie atau Mason.

Aku tak bisa membaca ekspresi wajah Isaiah saat dia mengamatiku. Sejenak
kukira dia akan langsung melakukannya, tetapi dia malah menggelengkan
kepala.

“Tidak. Bukan kau. Tidak sekarang.”

Isaiah berjalan lagi lalu berdiri di hadapan Eddie. Aku menarik tanganku yang
terikat dengan begitu kuat sehingga borgol plastiknya mengiris kulitku. Borgol
itu bergeming. “Tidak! Jangan ganggu dia!”
“Diam,” Isaiah membentak tanpa menatapku. Dia meletakkan satu tangan ke
wajah Eddie. Tubuh Eddie gemetar dan terlihat begitu pucat sehingga
kusangka dia akan pingsan. “Aku bisa membuat semua ini terasa mudah, atau
aku bisa membuatnya terasa sakit. Sikap diammu membuatku memilih yang
pertama.”

Aku ingin berteriak, ingin memaki Isaiah dengan berbagai umpatan dan
ancaman. Tetapi aku tak bisa melakukannya. Mataku menyapu sekeliling
ruangan, mencari jalan keluar, sama seperti yang kulakukan berkali-kali
sebelumnya. Tetapi kali ini sama sekali tidak ada jalan keluar. Hanya dinding-
dinding putih polos. Tak ada jendela. Satu-satunya pintu yang sangat berharga
selalu dijaga. Aku benar-benar tak berdaya, kami sudah tak berdaya sejak
mereka menarik kami masuk ke dalam mobil van. Aku merasa ingin
menangis, tangis yang lebih disebabkan oleh frustrasi ketimbang rasa takut.
Aku akan menjadi pengawal macam apa jika tak sanggup melindungi teman-
temanku sendiri?

Tetapi aku tetap diam, dan wajah Isaiah pun terlihat puas. Cahaya lampu neon
menyebabkan kulit Isaiah terlihat kelabu mengerikan, membuat lingkaran
gelap di bawah matanya terlihat semakin jelas. Aku ingin menonjok wajahnya.

“Bagus.” Isaiah tersenyum pada Eddie dan memegangi wajahnya sehingga


keduanya saling menatap. “Nah, kau takkan melawanku, kan?”

Seperti yang sudah kubilang, Lissa memang hebat dalam kompulsi. Tapi dia
tidak akan bisa melakukan apa yang dilakukan Isaiah sekarang. Dalam
hitungan detik, Eddie sudah tersenyum.

“Tidak. Aku takkan melawanmu.”

“Bagus,” ulang Isaiah. “Dan kau akan menyerahkan lehermu secara sukarela,
bukan?”

“Tentu saja,” jawab Eddie sambil memiringkan kepala.

Isaiah menurunkan mulutnya, dan aku membuang muka, berusaha


memusatkan pandangan pada karpet yang sudah usang. Aku tidak mau
melihat semua itu. Aku mendengar Eddie mengeluarkan erangan lembut dan
bahagia. Prosesnya bisa dibilang cukup sunyi―tidak terdengar suara
menyeruput atau semacamnya.
“Nah.”

Aku mendongak saat mendengar Isaiah bicara lagi. Darah menetes-netes dari
bibirnya, dan dia menjilatinya. Aku tidak bisa melihat luka di leher Eddie, tetapi
kuduga juga berdarah dan mengerikan. Mia dan Christian membelalakkan
mata karena takut sekaligus takjub. Tatapan Eddie terlihat menerawang
dalam kabut memabukkan dan menyenangkan, teler karena hormon endorfin
sekaligus pengaruh kompulsi.

Isaiah berdiri tegak lalu tersenyum pada kedua Moroi, menjilat tetes terakhir
darah yang ada di bibirnya. “Kalian mengerti?” kata Isaiah kepada mereka
sambil menghampiri pintu. “Semudah itu.”

Yasin

makasih

Ningsih Wati

Lagi min hiks mnegangkan...


Agustia Wulandari

iya yg rajin ya min postingnya,heu

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

thanks min Ǘϑªh d'lanjut'n,, bsok d'lanjut lagi yha,,, (ˆʃƪˆ). deg"an bgt waktu baca πγåª

Yunita Isnaini Sulistya Wati

Mind Edie cwe tw cwo?


Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

cowok lah... namanya Eddie Castile

Indah Pertiwi

Dilanjut min

Sade Nopo Mawon

min lagi ya :)
Erni Rantika

min.ini sampe bab berapa?

Chusie Bellamy

aduh seru abissssss Lanjut donk

Dev Andra

Oon yg namanya eddi kebnykn cowo lah


Maryadin Abdullah

Sip

Fiansyah Kinanda Santy

Keren.....

Wisnu Hermawan

slamat pagi sist mau tanya donk buku k 3 ya vampire academy ada gak sist
Novri

Wkakakakakakak kl ecchi baru cewek

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

ga punya kakak .... :(

Write a comment...

Vampire Academy 2 (Bab 20)

Vampire Academy 2 (Bab 20)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

KAMI PERLU RENCANA untuk kabur, dan kami memerlukannya saat ini juga.
Sayangnya, ide-ide yang kumiliki membutuhkan banyak hal yang berada di luar
kendaliku. Contohnya, kami ditinggalkan sendirian sehingga bisa menyelinap
pergi. Atau, mendapatkan penjaga yang bodoh sehingga kami bisa kabur.
Atau setidaknya, tangan kami diikat dengan ceroboh sehingga kami bisa
melepaskan diri.

Namun, tak satu pun yang terjadi. Setelah hampir dua puluh empat jam,
situasi kami belum berubah. Kami masih menjadi tawanan dengan tangan
terikat kencang. Para penculik kami masih waspada, hampir sama efisiennya
dengan sekelompok pengawal. Hampir.

Satu-satunya kesempatan untuk melarikan diri yang dijaga dengan ketat―dan


sangat memalukan―adalah saat rehat ke kamar mandi. Mereka sama sekali
tidak memberi kami makanan atau air minum. Bagiku ini sangat berat, tetapi
campuran manusia dan vampir membuat dhampir lebih tangguh. Aku sanggup
menahan ketidaknyamanan ini, meski aku akan segera mencapai titik ketika
aku rela mati agar bisa mendapatkan sepotong burger keju dan kentang
goreng yang amat berminyak.

Sedangkan Mia dan Christian… yah, keadaannya agak lebih sulit untuk
mereka. Moroi tahan berminggu-minggu tanpa makan dan minum selama
terus mendapat asupan darah. Tanpa darah, mereka hanya sanggup bertahan
beberapa hari sebelum berubah jadi lemah dan sakit, selama mereka masih
mendapat makanan lain. Begitulah yang kulakukan bersama Lissa saat
melarikan diri dari Akademi, karena aku tak sanggup memberikan darahku
pada Lissa setiap hari.

Jika tidak mendapatkan makanan, darah, dan air, ketahanan tubuh Moroi akan
merosot tajam. Aku memang lapar, tetapi Mia dan Christian bisa dibilang
kelaparan. Wajah mereka langsung terlihat lebih cekung, dan mata mereka
nyaris tampak seperti sedang demam. Isaiah memperburuk keadaan dengan
berkunjung setiap beberapa saat. Pada setiap kunjungannya, Isaiah akan
mencerocos dengan gayanya yang menyebalkan. Kemudian sebelum pergi,
dia meminum darah Eddie lagi. Pada kunjungannya yang ketiga, bisa dibilang
aku melihat Mia dan Christian meneteskan air liur. Karena pengaruh hormon
endorfin dan kurangnya asupan makanan, aku cukup yakin Eddie tidak tahu di
mana dirinya sekarang berada.

Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya aku tidak bisa tidur, tetapi pada hari
kedua aku mulai terkantuk-kantuk. Kelaparan dan kelelahan bisa membuatmu
seperti itu. Suatu kali aku bahkan bermimpi, sangat mengejutkan karena aku
sama sekali tak menduga bisa tidur lelap dalam kondisi sesinting ini.
Dalam mimpiku―dan aku tahu pasti ini hanya mimpi―aku berdiri di tepi
pantai. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya aku mengenali pantainya. Aku
sedang berada di pesisir Oregon―pantainya berpasir dan hangat, dengan
Samudra Pasifik yang bergulung di kejauhan. Aku dan Lissa pernah
berkunjung ke tempat ini saat kami tinggal di Portland. Saat itu cuacanya
sangat cerah, tetapi Lissa tidak sanggup menahan cahaya matahari seterik
itu. Karena itu kami mempersingkat kunjungan, tetapi aku selalu berharap bisa
tinggal lebih lama dan menikmati sinar matahari. Sekarang aku bisa
mendapatkan cahaya matahari yang hangat itu sebanyak yang kuinginkan.

“Dhampir Kecil,” sebuah suara di belakangku berkata. “Akhirnya kau muncul


juga.”

Aku berbalik dengan kaget dan mendapati Adrian Ivashkov sedang


menatapku. Dia mengenakan celana khaki dan kaus longgar, dan―dengan
gaya kasual yang tidak biasa baginya―tanpa memakai sepatu. Angin
mengacak-acak rambut cokelatnya, dan dengan kedua tangan dimasukkan ke
dalam saku, Adrian menatapku dengan cengirannya yang khas.

“Kau masih memakai jimat pelindung,” tambahnya.

Aku mengernyit, sesaat kupikir dia sedang memandangi dadaku. Kemudian


aku sadar dia sedang menatap perutku. Aku memakai celana jins dan atasan
bikini, dan lagi-lagi, liontin mata biru pemberian ibuku bergantung-gantung dari
pusarku. Chotki pemberian Lissa melingkari pergelangan tanganku.

“Dan kau berada di bawah cahaya matahari lagi,” ucapku. “Jadi kurasa ini
memang mimpimu.”

“Ini mimpi kita.”

Aku menyurukkan jari kaki ke dalam pasir. “Bagaimana mungkin dua orang
yang berbeda bisa berbagi mimpi yang sama?”

“Semua orang berbagi mimpi setiap saat, Rose.”

Aku mendongak menatap Adrian dengan kening berkerut. “Aku ingin tahu apa
maksudmu. Soal kegelapan yang kaubilang berada di sekelilingku. Apa
maksudnya?”

“Sejujurnya, aku tak tahu. Semua orang memiliki cahaya di sekeliling tubuh
mereka, kecuali kau. Kau memiliki bayangan. Kau mendapatkannya dari
Lissa.”
Aku semakin bingung. “Aku tak mengerti.”

“Aku tak bisa menjelaskannya sekarang,” kata Adrian. “Bukan itu alasanku
datang ke sini.”

“Kau ke sini karena alasan tertentu?” aku bertanya, mataku menerawang ke


arah air yang biru kelabu. Aku seperti terhipnotis. “Kau tidak hanya… datang
untuk berada di sini?”

Adrian maju lalu meraih tanganku, memaksaku untuk mendongak


menatapnya. Semua ekspresi canda pada dirinya lenyap. Adrian benar-benar
serius. “Kau ada di mana?”

“Di sini,” aku berkata dengan bingung. “Sama sepertimu.”

Adrian menggeleng. “Tidak, bukan itu yang kumaksud. Di dunia nyata. Kau ada
di mana?”

Dunia nyata? Pantai yang berada di sekeliling kami tiba-tiba terlihat buram,
bagaikan sebuah film yang kehilangan fokus. Beberapa saat kemudian,
keadaannya kembali tenang. Aku memeras otak. Dunia nyata. Gambar-
gambar berkelebat di dalam otakku. Kursi. Penjaga. Borgol plastik.

“Di ruang bawah tanah…” kataku perlahan. Rasa cemas mendadak


menghancurkan keindahan momen tersebut saat aku mulai bisa mengingat
semuanya lagi. “Ya Tuhan, Adrian. Kau harus menolong Mia dan Christian.
Aku tak bisa―”

Genggaman Adrian pada tanganku mengencang. “Di mana?” Dunia seakan


berbayang lagi, tetapi kali ini tidak kembali fokus. Adrian mengumpat. “Kau
ada di mana, Rose?”

Dunia mulai terurai. Adrian mulai terurai.

“Di ruang bawah tanah. Di sebuah rumah. Di―”

Adrian menghilang. Aku terbangun. Bunyi pintu yang terbuka menyentakku


kembali ke dunia nyata.

Isaiah masuk bersama Elena. Aku berusaha keras menahan cibiran saat
melihat wanita itu. Isaiah angkuh, kejam, dan benar-benar jahat. Tetapi Isaiah
bersikap seperti itu karena dialah sang pemimpin. Isaiah memiliki kekuatan
dan kekuasaan yang mendukung kekejamannya―meski aku tidak
menyukainya. Tetapi Elena? Dia seorang pesuruh. Elena mengancam kami
dan mencetuskan komentar-komentar sinis, tetapi dia bisa melakukannya
hanya karena menjadi pendamping Isaiah. Dia benar-benar penjilat.

“Halo, Anak-Anak,” kata Isaiah. “Bagaimana keadaan kalian hari ini?”

Tatapan marah menjawab pertanyaannya.

Isaiah mendekati Mia dan Christian, kedua tangannya dilipat di balik


punggung. “Ada yang berubah pikiran sejak kunjungan terakhirku? Kalian
sangat lama memutuskannya, dan itu membuat Elena kesal. Kalian tahu, dia
kelaparan, tapi―kurasa―tidak selapar kalian berdua.”

Christian menyipitkan mata. “Pergi kau,” katanya dengan gigi terkatup.

Elena menggeram dan melompat maju. “Berani-beraninya kau―”

Isaiah mengayunkan tangan pada Elena. “Biarkan saja. Ini artinya kita harus
menunggu sedikit lebih lama, dan sungguh, penantian ini sangat menghibur.”

Elena menatap Christian dengan marah.

“Sejujurnya,” lanjut Isaiah sambil mengamati Christian, “aku tak bisa


memutuskan mana yang lebih kuinginkan: membunuhmu atau menyuruhmu
bergabung dengan kami. Masing-masing memiliki hiburan tersendiri.”

“Apa kau tidak bosan mendengar ocehanmu sendiri?” tanya Christian.

Isaiah mempertimbangkannya. “Tidak. Tidak juga. Dan aku juga tidak bosan
melakukan ini.”

Isaiah berbalik lalu menghampiri Eddie. Eddie nyaris tidak bisa lagi duduk
tegak di kursinya setelah darahnya diminum sesering itu. Parahnya, Isaiah
bahkan tidak perlu menggunakan kompulsi. Wajah Eddie langsung terlihat
berbinar dan nyengir bodoh, tidak sabar untuk gigitan selanjutnya. Eddie
sudah kecanduan menjadi donor.

Amarah dan rasa jijik membanjiri diriku.

“Brengsek!” teriakku. “Jangan ganggu dia!”

Isaiah melirikku. “Diam, Non. Aku tidak terlalu menyukaimu seperti aku
menyukai Mr. Ozera.”

“Oh ya?” semburku. “Kalau aku membuatmu kesal, gunakan aku untuk
membuktikan ucapan bodohmu itu. Gigit saja aku. Tunjukkan betapa
hebatnya dirimu.”
“Tidak!” seru Mason. “Gunakan aku saja.”

Isaiah memutar bola mata. “Ya ampun. Benar-benar sekelompok orang suci.
Kalian semua Spartacus, ya?”

Isaiah menjauh dari Eddie lalu meletakkan jari di dagu Mason, mendongakkan
kepalanya. “Tapi kau,” katanya, “tidak bersungguh-sungguh dengan
ucapanmu. Kau hanya menawarkan diri karena dia.” Isaiah melepaskan
Mason lalu berjalan ke hadapanku, menunduk menatapku dengan matanya
yang sangat hitam. “Dan kau… awalnya aku juga tidak terlalu memercayaimu.
Tapi sekarang?” Isaiah berlutut hingga sejajar denganku. Aku tidak mau
memalingkan wajah, meski tahu aku bisa terkena kompulsi karenanya.
“Kurasa kau sungguh-sungguh. Tapi itu bukan karena sikap mulia juga.
Kau memang menginginkannya. Kau pernah digigit sebelumnya.” Suara Isaiah
terdengar magis. Menghipnotis. Sebenarnya dia tidak menggunakan kompulsi,
tetapi ada suatu karisma tidak wajar yang mengelilinginya. Seperti Lissa dan
Adrian. Aku terpana pada setiap kata yang diucapkannya. “Dan kurasa sering,”
tambahnya.

Isaiah membungkuk ke arahku, napasnya terasa panas di leherku. Di


belakangnya, aku bisa mendengar Mason meneriakkan sesuatu, tetapi
perhatianku hanya terpusat pada betapa dekatnya gigi Isaiah dengan kulitku.
Dalam beberapa bulan terakhir, aku hanya digigit satu kali―itu pun saat Lissa
sedang benar-benar genting. Sebelum itu, Lissa setidaknya menggigitku dua
kali seminggu selama dua tahun, dan baru-baru ini saja aku sadar betapa dulu
aku kecanduan gigitan itu. Tidak ada apa pun―apa pun―di dunia ini yang bisa
menyamai gigitan Moroi, rasanya seperti banjir kebahagiaan yang dikirim ke
dalam tubuhmu. Tentu saja, menurut orang-orang, gigitan Strigoi jauh lebih
kuat….

Aku menelan ludah, tiba-tiba menyadari napasku yang berat dan jantungku
yang berdebar kencang. Isaiah tergelak pelan.

“Ya. Kau memang calon pelacur darah. Tapi malangnya dirimu―karena aku
takkan memberikan apa yang kauinginkan.”

Isaiah mundur dan aku merosot di kursi. Tanpa menunda lagi, dia kembali
pada Eddie dan meminum darahnya. Aku tidak sanggup melihatnya, tetapi kali
ini karena aku merasa iri, bukan jijik. Hatiku serasa membara karena
mendambakannya. Aku mendambakan gigitan itu, mendambakannya dengan
setiap helai saraf yang ada dalam tubuhku.

Setelah selesai, Isaiah beranjak meninggalkan ruangan, lalu tiba-tiba berhenti.


Dia berkata kepada Mia dan Christian. “Jangan tunda lagi,” Isaiah
memperingatkan keduanya. “Raih kesempatan untuk menyelamatkan diri.” Dia
memiringkan kepala ke arahku. “Kalian bahkan sudah memiliki korban yang
menawarkan diri.”

Isaiah pergi. Aku menatap Christian di seberang ruangan. Entah mengapa,


wajahnya terlihat lebih cekung daripada beberapa jam yang lalu. Rasa lapar
seakan membara di matanya, dan aku tahu tatapanku menunjukkan
sebaliknya, sebuah gairah untuk memuaskan rasa laparnya. Ya Tuhan. Kami
benar-benar berada dalam masalah. Kurasa pada saat yang sama Christian
juga menyadari hal itu. Bibirnya tertekuk menjadi senyum getir.

“Kau tidak pernah terlihat semenggoda ini, Rose,” Christian sempat berkata
sebelum penjaga menyuruhnya diam.  

* * * 

Beberapa kali aku tertidur sepanjang hari itu, tetapi Adrian tidak kembali ke
dalam mimpiku. Alih-alih, saat berada di ambang kesadaran, aku mendapati
diriku menyelinap ke dalam teritori yang lebih akrab: kepala Lissa. Setelah
berbagai hal aneh yang terjadi dalam dua hari terakhir, berada di dalam benak
Lissa rasanya seperti pulang ke rumah.

Lissa berada di salah satu ruang pesta penginapan, hanya saja ruangannya
kosong. Dia duduk di lantai di ujung ruangan, berusaha tidak terlihat
mencurigakan. Lissa merasa gugup. Dia sedang menunggu sesuatu―atau
tepatnya, seseorang. Beberapa menit kemudian Adrian menyelinap masuk.

“Sepupu,” kata Adrian dengan gayanya yang khas. Adrian duduk bersila di
samping Lissa, sama sekali tidak memedulikan celana rapinya yang mahal.
“Maaf aku telat.”

“Tak masalah,” kata Lissa.


“Kau tidak tahu aku ada di sini sampai kau melihatku, kan?”

Lissa menggeleng kecewa. Aku merasa lebih bingung lagi.

“Dan duduk bersamaku… kau tak bisa merasakan apa pun?”

“Tidak.”

Adrian mengangkat bahu. “Yah. Mudah-mudahan akan segera terjadi.”

“Memang bagaimana kelihatannya?” tanya Lissa dengan rasa penasaran yang


membara.

“Kau tahu apa itu aura?”

“Aura itu seperti… berkas cahaya yang ada di sekitar tubuh seseorang, kan?
Suatu teori New Age?”

“Bisa dibilang begitu. Setiap orang memiliki energi spiritual yang terpancar
dari dirinya. Yah, hampir setiap orang.” Keraguan Adrian membuatku bertanya-
tanya apakah dia sedang memikirkan aku dan kegelapan yang menurutnya
berada di sekelilingku. “Berdasarkan warna dan penampilannya, kau bisa tahu
banyak tentang seseorang… em, maksudku kalau kau bisa melihat aura.”

“Dan kau bisa,” kata Lissa. “Dan kau tahu aku menggunakan kekuatan roh
karena melihat auraku?”

“Sebagian besar auramu berwarna emas. Sama seperti auraku. Warnanya


kadang berganti sesuai dengan situasi yang kaualami, tapi warna emasnya
akan selalu ada.”

“Kau kenal berapa banyak orang yang seperti kita di luar sana?”

“Tidak banyak. Aku hanya menemukannya sesekali. Mereka biasanya


merahasiakan hal itu. Kaulah yang pertama kuajak bicara. Aku bahkan tidak
tahu sebutannya ‘roh.’ Kalau saja aku tahu soal ini saat tidak memiliki
spesialisasi sihir. Dulu kupikir aku orang aneh.”

Lissa mengulurkan lengan dan memandanginya, berharap bisa melihat cahaya


yang bersinar di sekelilingnya. Tidak ada. Lissa mendesah lalu menurunkan
lengan.

Pada saat itulah aku menyadarinya.


Adrian pengguna roh juga. Karena itulah dia sangat penasaran soal Lissa,
karena itulah dia ingin mengobrol dengan Lissa dan bertanya mengenai ikatan
batin kami dan spesialisasi Lissa. Ini juga menjelaskan banyak hal
lainnya―seperti karisma yang tidak sanggup kuhindari saat berada di
dekatnya. Saat aku dan Lissa berada di kamarnya tempo hari, Adrian
menggunakan kompulsi―itulah yang dilakukannya sehingga Dimitri
membebaskannya.

“Jadi, akhirnya mereka melepasmu?” tanya Adrian kepada Lissa.

“Yeah. Akhirnya mereka memutuskan bahwa aku memang tidak tahu apa-
apa.”

“Bagus,” kata Adrian. Dia mengerutkan kening, dan kulihat kali ini Adrian tidak
mabuk. “Dan kau yakin kau memang tidak tahu apa-apa?”

“Sudah kubilang. Ikatan batinnya tidak bisa bekerja dua arah.”

“Hmm. Kau harus bisa melakukannya.”

Lissa melotot. “Apa, kaukira aku sengaja menahannya? Kalau bisa


menemukan Rose, aku pasti akan melakukannya!”

“Aku tahu, tapi untuk melakukan semua itu, kalian harus memiliki ikatan yang
kuat. Gunakan ikatan itu untuk bicara dengannya di dalam mimpi. Aku sudah
berusaha, tapi aku tak bisa menahannya cukup lama untuk―”

“Apa kaubilang?” seru Lissa. “Bicara dengannya di dalam mimpi?”

Sekarang Adrian yang kelihatan bingung. “Tentu saja. Memangnya kau tak
tahu cara melakukannya?”

“Tidak! Apa kau serius? Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa dilakukan?”

Mimpiku….

Aku ingat Lissa pernah mengatakan soal fenomena Moroi yang tidak bisa
dijelaskan, bahwa di luar sana mungkin ada kekuatan roh lainnya selain
penyembuhan, hal-hal yang belum diketahui siapa pun. Sepertinya kehadiran
Adrian dalam mimpiku bukan kebetulan semata. Adrian bisa memasuki
kepalaku, mungkin dengan cara yang sama aku memasuki benak Lissa.
Pikiran itu membuatku gelisah. Lissa bahkan kesulitan memahaminya.
Adrian mengusap rambutnya lalu menengadah, menatap lampu gantung
kristal sambil termenung. “Oke. Jadi. Kau tidak bisa melihat aura, dan kau tak
bisa bicara dengan orang lain melalui mimpi. Kalau begitu apa
yang bisa kaulakukan?”

“Aku… aku bisa menyembuhkan orang. Hewan. Tanaman juga. Aku bisa
menghidupkan makhluk yang sudah mati.”

“Benarkah?” Adrian kelihatan terkesan. “Oke. Kau mendapat pujian untuk itu.
Apa lagi?”

“Em, aku bisa menggunakan kompulsi.”

“Kita semua bisa melakukannya.”

“Tidak, aku bisa benar-benar melakukannya. Sama sekali tidak sulit. Aku bisa


menyuruh orang melakukan apa pun yang kuinginkan―hal-hal jelek
sekalipun.”

“Aku juga bisa.” Mata Adrian berbinar. “Aku ingin tahu apa yang akan terjadi
kalau kau berusaha menggunakannya padaku….”

Lissa ragu-ragu dan tanpa sadar menyapukan jemari pada karpet merah yang
bertekstur. “Yah… aku tak bisa.”

“Kau baru saja bilang bisa melakukannya.”

“Bisa―tapi tidak sekarang. Aku sedang mengonsumsi obat… untuk mengobati


depresi dan beberapa hal lain… dan hal itu menyebabkanku terputus dari
sihir.”

Adrian melontarkan tangan ke udara. “Kalau begitu, bagaimana aku bisa


mengajarimu cara berjalan melintasi mimpi? Bagaimana lagi kita bisa
menemukan Rose?”

“Dengar,” kata Lissa dengan marah. “Aku juga tidak mau minum obat-obatan


ini. Tapi kalau berhenti meminumnya… aku bisa bertindak gila. Dan berbahaya.
Itulah yang dilakukan roh padamu.”

“Aku tidak meminum obat apa pun. Aku baik-baik saja,” kata Adrian.

Tidak, Adrian tidak baik-baik saja, aku tersadar. Lissa menyadarinya juga.
“Kau tiba-tiba terlihat aneh saat Dimitri ada di kamarmu,” kata Lissa. “Kau
mulai meracau, dan ucapanmu tidak masuk akal.”

“Oh, itu? Yeah… itu memang kadang terjadi. Tapi jarang, sungguh. Paling
sebulan sekali.” Adrian terdengar jujur.

Lissa menatap Adrian, mendadak memikirkan kembali semuanya. Bagaimana


kalau Adrian memang bisa melakukannya? Bagaimana kalau Adrian bisa
menggunakan kekuatan roh tanpa meminum pil dan tanpa mengalami efek
samping yang berbahaya? Semuanya akan persis seperti yang diharapkannya
selama ini. Lagi pula, Lissa juga sudah tidak yakin apakah pil-pil yang
diminumnya masih berfungsi seperti dulu….

Adrian tersenyum. Dia sedang menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran
Lissa.

“Bagaimana, Sepupu?” tanya Adrian. Adrian tidak perlu menggunakan


kompulsi. Tawaran yang diajukannya sudah sangat menggoda. “Aku bisa
mengajari semua hal yang kuketahui jika kau bisa menyentuh kekuatan
sihirmu lagi. Butuh sedikit waktu untuk menghilangkan pengaruh pil dari
dalam tubuhmu, tapi sesudah itu….”

Yasin

Sippp
Fiansyah Kinanda Santy

Rose bersabarlah

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

(´⌣`ʃƪ)♡ †нªηк You :) min,,, d'tunggu lanjut-n πγåª

Chusie Bellamy

Lanjut... aku sukaaaaa


Anggun Linda Kusuma

Nti bkal ada sweat moment Dimitri&Rose dichapter akhir.. Hmm.. :)

Scwarze Orchidee

wow

Risa Koizumi

udh gk suka lg sma dimitri.....

Write a comment...
Vampire Academy 2 (Bab 21)

Vampire Academy 2 (Bab 21)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

AKU BENAR-BENAR tidak butuh semua ini sekarang. Aku sanggup


menghadapi apa pun yang dilakukan Adrian pada Lissa: merayunya,
menyuruhnya mengisap rokok konyolnya, atau apa pun itu. Tapi tidak yang ini.
Aku justru sudah berusaha keras agar Lissa tidak berhenti meminum pilnya.

Dengan enggan aku menarik diri keluar dari kepala Lissa dan kembali ke
dalam situasiku sendiri yang kelam. Aku ingin melihat kelanjutan yang terjadi
antara Lissa dan Adrian, tetapi menonton mereka tidak ada gunanya. Oke.
Aku benar-benarbutuh rencana sekarang. Aku harus bertindak. Aku harus
mengeluarkan kami semua dari tempat ini. Tetapi saat melirik sekeliling, aku
tetap tidak menemukan jalan keluar, dan aku menghabiskan setengah jam
berikutnya dengan merenung dan mempertimbangkan semuanya.

Hari ini kami dijaga oleh tiga orang. Mereka kelihatan agak bosan tetapi tidak
sampai bersikap lengah. Di dekatku, Eddie kelihatannya tidak sadarkan diri
dan Mason menatap lantai dengan pandangan kosong. Di seberang ruangan,
Christian entah sedang memelototi apa, dan kurasa Mia sedang tidur. Karena
sadar sepenuhnya betapa kering tenggorokanku, aku hampir tertawa saat
ingat pernah memberitahu Mia bahwa sihir air sama sekali tidak berguna. Sihir
air mungkin tidak akan berguna dalam pertarungan, tetapi aku bersedia
memberi Mia apa pun jika dia mau memanggil sedikit―

Sihir.

Kenapa tidak terpikir olehku sebelumnya? Kami tidak sepenuhnya tak berdaya.

Sebuah rencana mulai terbentuk di benakku―rencana yang bisa dikatakan


sinting, tetapi juga yang terbaik yang kami miliki. Jantungku tiba-tiba berdebar
penuh semangat, dan aku cepat-cepat mengatur wajah agar terlihat tenang
sebelum para penjaga menyadari semangat baruku. Christian mengamatiku
dari seberang ruangan. Dia sempat melihat wajahku yang berbinar penuh
semangat dan menyadari bahwa aku baru saja mendapatkan gagasan.
Christian mengamatiku dengan penasaran, dia terlihat sama siapnya
denganku untuk beraksi.

Ya Tuhan. Bagaimana kami bisa melakukannya? Aku membutuhkan bantuan


Christian, tetapi aku tak tahu cara memberitahukan gagasanku padanya.
Bahkan, aku sama sekali tidak yakin Christian sanggup membantuku―kondisi
tubuhnya cukup lemah.

Aku menatap Christian lekat-lekat, berharap dia mengerti bahwa aku akan
segera bertindak. Wajahnya terlihat bingung, tetapi diiringi tekad bulat. Setelah
memastikan tidak satu pun penjaga yang melihat ke arahku, aku bergeser
sedikit dan menarik pelan pergelangan tanganku. Aku melirik ke belakang
sesering mungkin, lalu menatap mata Christian lagi. Kening Christian berkerut,
dan aku mengulangi gerakan tadi.

“Hei,” ucapku keras-keras. Mia dan Mason sama-sama tersentak kaget. “Apa
kalian akan terus membiarkan kami kelaparan? Tak bisakah kami minta air
sedikit?”

“Diam,” bentak seorang penjaga. Itu jawaban standar setiap kali ada salah
satu dari kami yang bicara.

“Ayolah.” Aku menggunakan gaya bicaraku yang paling menyebalkan.


“Setidaknya seteguk saja? Tenggorokanku terbakar. Rasanya seperti ada api
yang menyala-nyala.” Aku mengalihkan tatapan pada Christian saat
mengucapkan beberapa kata terakhir, lalu menatap si penjaga yang tadi
bicara.

Seperti yang sudah kuduga, pria itu berdiri dari kursinya lalu menghampiriku.
“Jangan membuatku mengulanginya lagi,” pria itu menggeram. Aku tidak tahu
apakah dia akan melakukan kekerasan, tetapi aku tidak berniat terus
memancing amarahnya, setidaknya bukan sekarang. Lagi pula, aku sudah
mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika Christian tidak mengerti petunjuk
yang kuberikan tadi, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Berharap wajahku
terlihat ketakutan, aku menutup mulut.

Si penjaga kembali ke tempat duduknya, dan setelah beberapa saat barulah


dia berhenti mengawasiku. Aku menatap Christian lagi dan menarik
pergelangan tanganku. Ayo, ayo, pikirku. Hubungkan semua petunjuknya,
Christian.

Kedua alis Christian tiba-tiba terangkat, dan dia menatapku dengan takjub.
Bagus. Kelihatannya dia sudah mengerti. Aku hanya berharap yang dipahami
Christian sama seperti maksudku. Tatapan mata Christian berubah dan
terlihat bertanya-tanya, seolah bertanya apa aku benar-benar serius. Aku
mengangguk dengan sepenuh hati. Selama beberapa saat, kening Christian
berkerut sambil berpikir, lalu dia menghela napas dalam-dalam dan mantap.

“Baiklah,” kata Christian. Semua orang terlonjak lagi.

“Diam,” salah satu penjaga otomatis berkata. Pria itu terdengar lelah.

“Tidak,” kata Christian. “Aku sudah siap. Siap untuk minum.”

Semua orang yang ada di dalam ruangan ini seakan membeku selama
beberapa saat, termasuk aku. Sebenarnya, bukan ini yang terlintas dalam
benakku.

Si pemimpin berdiri. “Jangan macam-macam dengan kami.”

“Tidak,” kata Christian. Wajah Christian terlihat seperti orang yang sedang
demam dan putus asa, dan menurutku itu tidak sepenuhnya palsu. “Aku sudah
muak dengan semua ini. Aku ingin keluar dari tempat ini, dan aku tak mau
mati. Aku mau minum―dan aku menginginkan dia.” Christian mengangguk ke
arahku. Mia menjerit pelan saking kagetnya. Mason memanggil Christian
dengan sebutan yang akan membuatnya terkena hukuman kalau diucapkan di
sekolah.

Ini jelas-jelas bukan yang kumaksud.

Dua orang penjaga lainnya menatap pemimpin mereka dengan pandangan


bertanya. “Apa sebaiknya kita panggil Isaiah?” tanya salah satu dari mereka.

“Kurasa dia sedang tidak ada,” jawab si pemimpin. Pria itu menatap Christian
sejenak, lalu membuat keputusan. “Lagi pula aku tak mau mengganggunya
kalau ternyata semua ini hanya lelucon. Lepaskan dia dan kita cari tahu.”

Salah satu pria mengeluarkan tang. Dia berjalan ke belakang Christian dan
membungkuk. Aku mendengar bunyi plastik putus saat borgolnya lepas.
Seraya memegangi lengan Christian, si penjaga menyentaknya sampai berdiri
lalu menuntunnya ke arahku.

“Christian,” seru Mason dengan suara penuh amarah. Mason berjuang


melepaskan ikatannya sehingga kursinya sedikit bergoyang. “Kau sudah gila?
Jangan biarkan mereka melakukannya!”

“Kalian semua pasti mati, tapi aku tidak,” bentak Christian, menyingkirkan
rambut hitamnya yang menghalangi mata. “Tidak ada jalan keluar dari semua
ini.”

Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku yakin harus
menunjukkan lebih banyak emosi jika sebentar lagi mati. Dua orang penjaga
memegangi Christian, mengawasinya dengan waspada saat membungkuk di
atasku.

“Christian,” bisikku, terkejut saat menyadari betapa mudahnya berpura-pura


terdengar takut. “Jangan lakukan ini.”

Bibir Christian tertekuk menjadi senyum getir yang dilakukannya dengan


sangat baik. “Kau dan aku tidak pernah saling menyukai, Rose. Kalau aku
terpaksa membunuh seseorang, lebih baik aku membunuhmu.” Kata-kata
yang diucapkan Christian terdengar sedingin es, dan tepat sasaran. Bisa
dipercaya. “Lagi pula, kupikir kau memang menginginkannya.”

“Bukan ini. Kumohon, jangan―”

Salah satu penjaga mendorong Christian. “Cepat selesaikan, atau kembali ke


kursimu.”

Dengan senyum kelam yang masih tersungging, Christian mengangkat bahu.


“Maaf, Rose. Bagaimanapun kau tetap akan mati. Jadi bagaimana kalau kau
melakukannya untuk tujuan baik?” Christian menurunkan wajah ke leherku.
“Mungkin akan terasa sakit sedikit,” tambahnya.

Aku sebenarnya meragukan hal itu…jika dia memang berniat melakukannya.


Karena dia takkan benar-benar melakukannya… ya kan? Aku bergerak-gerak
gelisah. Menurut orang-orang, jika semua darahmu diisap sampai habis,
selama prosesnya berlangsung kau juga akan mendapatkan hormon endorfin
yang bertujuan menumpulkan rasa sakit. Rasanya seperti tertidur. Tentu saja,
semua itu baru perkiraan. Karena orang-orang yang mati digigit vampir tidak
ada yang kembali untuk menceritakan pengalamannya.

Christian menggosokkan hidung pada leherku, menggerakkan wajah di bawah


rambutku sehingga dia merasa agak canggung. Bibirnya menyapu kulitku,
rasanya selembut yang kuingat saat dia dan Lissa berciuman. Sesaat
kemudian ujung taringnya menyentuh kulitku.

Kemudian aku merasa sakit. Sakit sungguhan.

Namun, rasa sakitnya bukan berasal dari gigitan Christian. Giginya hanya
menekan kulitku; tidak sampai menembusnya. Lidah Christian menjilati
leherku, tetapi tidak ada darah yang diisap. Semua ini justru terasa seperti
sebuah ciuman yang aneh dan sinting.

Tidak, rasa sakitnya berasal dari pergelangan tanganku. Rasa sakit yang
membara. Christian menggunakan sihir untuk menyalurkan panas ke borgol
plastikku, persis seperti yang kuinginkan. Dia memahami pesanku. Plastiknya
terasa semakin panas saat Christian terus mengisap darahku yang tidak
keluar. Siapa pun yang melihat dari jarak dekat pasti akan sadar Christian
sedang berpura-pura, tetapi pandangan para penjaga terhalang rambutku.

Aku tahu plastik sulit dilelehkan, tetapi sekarang aku baru bisa memahaminya.
Temperatur yang dibutuhkan untuk menghancurkan plastik sungguh luar
biasa. Rasanya seperti mencelupkan tangan ke dalam lava. Borgol plastiknya
membakar kulitku, panas dan menyakitkan. Aku bergerak-gerak, berharap bisa
menghilangkan rasa sakitnya. Tidak bisa. Namun, aku sadar borgolnya agak
melonggar saat aku bergerak. Borgol itu semakin lunak. Oke. Meski
menyakitkan, aku hanya perlu bertahan sedikit lebih lama. Dengan putus asa
aku berusaha memusatkan pikiran pada gigitan Christian dan mengalihkan
perhatian. Usahaku berhasil selama kira-kira lima detik. Christian tidak
memberikan efek yang sama seperti hormon endorfin, dan sudah pasti tidak
cukup untuk melawan rasa sakit yang bertambah parah. Aku merintih, dan
mungkin membuatku terlihat meyakinkan.

“Aku tak percaya,” salah satu penjaga bergumam. “Dia benar-benar


melakukannya.” Aku bisa mendengar suara Mia yang menangis di balik
mereka.
Borgolnya semakin membakar kulitku. Seumur hidup aku belum pernah
merasa sesakit ini, dan aku sudah mengalami banyak hal. Kemungkinan besar
aku akan segera pingsan.

“Hei,” salah satu penjaga berkata. “Bau apa ini?”

Itu bau plastik terbakar. Atau mungkin daging yang terbakar. Sejujurnya, itu
tidak masalah karena saat aku menggerakkan tangan lagi, borgol plastik yang
meleleh dan mendidih itu langsung terlepas.

Aku memiliki sepuluh detik untuk memanfaatkan elemen kejutan, dan aku
menggunakannya. Aku melompat dari kursi, dan pada saat yang sama
mendorong Christian ke belakang. Dia diapit oleh dua orang penjaga, dan
salah satunya masih memegangi tang. Dalam satu gerakan, aku merebut tang
lalu membenamkannya ke pipi pria itu. Dia berteriak, tetapi aku tidak
menunggu untuk melihat apa yang terjadi. Elemen kejutanku sudah berakhir,
dan aku tak bisa menyia-nyiakan waktu. Begitu melepaskan tang, aku meninju
pria kedua. Tendanganku pasti lebih kuat dari tinjuku, tetapi aku masih
sanggup memukulnya dengan cukup keras dan membuatnya terhuyung.

Pada saat itu, si pemimpin sudah bertindak. Seperti yang sudah


kukhawatirkan, dia masih memegang pistol, dan dia memang
menggunakannya. “Jangan bergerak!” teriaknya sambil membidikku.

Tubuhku membeku. Penjaga yang kutonjok bergerak maju dan merenggut


lenganku. Di dekat kami, pria yang kutusuk sedang mengerang di lantai.
Seraya terus mengarahkan pistolnya padaku, si pemimpin mulai mengatakan
sesuatu lalu berteriak kaget. Pistol yang digenggamnya samar-samar berbinar
oranye dan terjatuh dari tangannya. Kulit tangan yang memegangi pistol itu
terlihat merah membara. Christian pasti telah memanaskan logamnya. Yeah.
Mestinya sejak awal kami sudah menggunakan sihir. Kalau kami berhasil
selamat dari peristiwa ini, aku akan mendukung rencana Tasha. Tradisi
antisihir kaum Moroi sudah terpatri dalam benak sehingga kami bahkan tidak
terpikir untuk melakukannya lebih cepat. Benar-benar bodoh.

Aku berbalik menghadapi pria yang memegangiku. Kurasa dia tidak menduga
gadis sekecil aku sanggup melawan segigih ini, selain itu dia juga masih
terpana melihat yang terjadi pada temannya dan pistol itu. Aku berhasil
mendaratkan tendangan ke perutnya, tendangan yang akan memberiku nilai A
di kelas bertarung. Pria itu menggeram saat terkena, dan gerakan itu
membuatnya terpelanting ke dinding. Secepat kilat aku sudah berada di atas
tubuhnya. Seraya menjambak rambutnya, aku menghantamkan kepalanya ke
lantai dengan cukup keras hingga membuatnya pingsan tetapi tidak sampai
membunuhnya.

Aku cepat-cepat melompat bangun, terkejut karena si pemimpin belum


mengejarku. Seharusnya dia tidak membutuhkan waktu lama untuk pulih dari
kekagetan yang diakibatkan pistol panas. Namun, saat aku berbalik ternyata
ruangannya sepi. Si pemimpin berbaring tak sadarkan diri di lantai―dan di
atasnya Mason berdiri menjulang, dia baru saja dibebaskan. Di dekatnya,
Christian berdiri sambil menggenggam tang di satu tangan dan pistol di
tangan lain. Pistol itu masih panas, tetapi kekuatan Christian pasti
membuatnya imun. Dia sedang membidik pria yang tadi kutusuk. Pria itu tidak
pingsan, hanya berdarah. Tetapi seperti aku tadi, tubuhnya membeku di
bawah todongan moncong senjata.

“Astaga,” gumamku sambil menatap sekeliling ruangan. Aku terhuyung


menghampiri Christian, lalu mengulurkan tangan. “Berikan padaku sebelum
kau melukai orang lain.”

Aku menduga akan mendapat jawaban sinis, tetapi ternyata Christian hanya
menyerahkan senjata itu dengan tangan gemetar. Aku menyisipkannya ke
dalam ikat pinggang. Saat mengamati Christian dengan lebih saksama, aku
melihat betapa pucat kulitnya. Dia sepertinya bisa pingsan kapan saja.
Christian baru saja melakukan sihir yang cukup besar bagi orang yang
kelaparan selama dua hari.

“Mase, ambil borgolnya,” aku berkata. Tanpa membalikkan badan, Mason


mundur beberapa langkah menuju kotak tempat para penculik kami
menyimpan borgol plastiknya. Mason mengeluarkan tiga borgol dan sesuatu
yang lain. Seraya melirikku dengan pandangan bertanya, dia mengangkat satu
gulung pita perekat.

“Sempurna,” kataku.

Kami mengikat pria-pria itu ke kursi. Salah satu dari mereka dalam keadaan
sadar, tetapi kami tetap memukulnya sampai pingsan, lalu memasang pita
perekat ke mulut mereka. Mereka akan terbangun juga nantinya, dan aku tidak
mau mereka membuat keributan.
Setelah melepaskan Mia dan Eddie, kami berlima berkumpul dan
merencanakan tindakan selanjutnya. Christian dan Eddie nyaris tidak sanggup
berdiri, tetapi setidaknya Christian masih menyadari sekelilingnya. Wajah Mia
dibanjiri air mata, tetapi sepertinya dia masih bisa menerima perintah. Hanya
aku dan Mason yang masih bisa berfungsi maksimal.

“Jam pria itu menunjukkan sekarang pagi hari,” kata Mason. “Yang harus kita
lakukan hanyalah pergi ke luar, dan mereka tidak bisa menyentuh kita.
Setidaknya selama tidak ada manusia lain.”

“Mereka bilang Isaiah sedang pergi,” kata Mia pelan. “Seharusnya kita bisa
langsung keluar, kan?”

“Pria-pria itu tidak pernah meninggalkan kita selama berjam-jam,” kataku.


“Bisa saja mereka salah. Kita tak boleh gegabah.”

Mason membuka pintu dengan hati-hati lalu mengintip selasar yang kosong.
“Menurutmu, ada jalan keluar langsung dari bawah sini?”

“Kalau saja semudah itu,” gumamku. Aku melirik ke yang lain-lain. “Tunggu di
sini. Kami akan pergi untuk memeriksa bagian lain ruang bawah tanah ini.”

“Bagaimana kalau ada yang datang?” seru Mia.

“Tidak akan,” aku meyakinkannya. Aku cukup yakin tak ada orang lain di ruang
bawah tanah ini. Kalau memang ada, mereka pasti sudah berdatangan saat
mendengar keributan tadi. Dan jika ada yang turun dari lantai atas, kami pasti
lebih dulu mendengar langkah kaki mereka di tangga.

Meskipun begitu, aku dan Mason bergerak dengan hati-hati saat mengintai ke
sekeliling ruang bawah tanah, saling menjaga, dan memeriksa setiap sudut
ruangan. Ruang bawah tanah ini masih terlihat seperti labirin tikus seperti
yang kuingat saat pertama kali dibawa ke sini. Selasar yang berbelok-belok
dan banyak kamar. Kami membuka satu per satu pintu yang ada di sana.
Semua kamar itu kosong, kecuali satu atau dua buah kursi. Tubuhku
menggigil saat memikirkan bahwa semua kamar ini mungkin digunakan
sebagai ruang rahasia, sama seperti kamar yang kami tempati.

“Sama sekali tak ada jendela di tempat ini,” gumamku saat kami selesai
menyisir ruangan. “Kita harus ke lantai atas.”
Kami kembali ke ruangan tempat kami disekap, tetapi sebelum tiba di sana
Mason menangkap lengaku. “Rose….”

Aku berbalik dan menatapnya. “Yeah?”

Kedua mata birunya―lebih serius dari yang pernah kulihat selama


ini―menunduk menatapku dengan pandangan menyesal. “Aku benar-benar
sudah mengacaukan semuanya.”

Aku memikirkan semua kejadian yang membawa kami hingga ke tempat ini.
“Kita memang mengacaukan semuanya, Mason.”

Mason mendesah. “Kuharap… kuharap saat semua ini sudah beres, kita bisa
duduk untuk mengobrol dan membicarakan semuanya. Seharusnya aku tidak
marah padamu.”

Aku ingin berkata bahwa semua itu takkan terjadi, bahwa saat dia menghilang,
aku sebenarnya sedang mencarinya untuk memberitahukan keadaan di antara
kami tidak akan pernah membaik. Karena sekarang sepertinya bukan saat
maupun tempat yang tepat untuk memutuskan hubungan dengannya, aku
berbohong.

Aku meremas tangan Mason. “Aku juga mengharapkannya.”

Mason tersenyum, lalu kami kembali pada teman-teman kami yang lain.

“Baiklah,” kataku pada mereka. “Ini yang akan kita lakukan.”

Kami membahas sebuah rencana dengan cepat, lalu mengendap-endap


menaiki tangga. Aku yang memimpin jalan, diikuti Mia yang berusaha
menopang Christian yang lemah. Mason paling belakang, bisa dikatakan
sambil menyeret Eddie.

“Aku saja yang masuk duluan,” gumam Mason saat kami berdiri di puncak
tangga.

“Tidak,” bentakku, meletakkan tangan di atas kenop pintu.

“Yeah, tapi kalau ada yang terjadi―”

“Mason,” aku menyela. Aku menatapnya lekat-lekat, dan tiba-tiba teringat akan
ibuku saat serangan keluarga Drozdov terjadi. Tenang dan terkendali, bahkan
pada situasi yang sangat mengerikan. Mereka membutuhkan seorang
pemimpin, sama seperti yang dibutuhkan kelompok ini sekarang, dan aku
berusaha keras menirunya. “Kalau ada yang terjadi, kau harus mengeluarkan
mereka dari sini. Larilah dengan cepat dan pergilah yang jauh. Jangan kembali
tanpa membawa pengawal.”

“Kaulah yang akan pertama diserang! Lalu apa yang harus kulakukan?”
desisnya. “Meninggalkanmu?”

“Ya. Kau tak usah memedulikan aku jika bisa mengeluarkan mereka dari sini.”

“Rose, aku tidak akan―”

“Mason.” Sekali lagi aku membayangkan ibuku, berjuang mendapatkan


kekuatan dan kekuasaan demi memimpin yang lain. “Kau bisa melakukannya
atau tidak?”

Kami saling pandang selama beberapa saat sementara yang lain menahan
napas.

“Aku bisa melakukannya,” Mason berkata kaku. Aku mengangguk dan


berbalik.

Pintu ruang bawah tanah agak berderit saat kubuka, dan aku meringis saat
mendengarnya. Nyaris tidak berani bernapas, aku berdiri tegak di puncak
tangga; menunggu dan memasang telinga. Rumah dan dekorasinya yang
eksentrik masih terlihat sama seperti saat kami dibawa ke sini. Tirai gelap
menutupi semua jendela, tetapi di pinggir-pinggirnya aku bisa melihat cahaya
terang yang mengintip. Cahaya matahari tidak pernah terasa semanis saat itu.
Bisa mencapai cahaya matahari sama artinya dengan mendapatkan
kebebasan.

Di dalam rumah tak ada suara, tak ada gerakan. Aku memandang sekeliling,
dan berusaha mengingat letak pintu depan. Pintunya terletak di sisi lain
rumah―sebenarnya tidak jauh kalau situasinya normal, tetapi pada saat ini
rasanya bagaikan dibatasi jurang yang menganga.

“Ikutlah denganku,” bisikku pada Mason, berharap bisa membuatnya merasa


lebih baik dengan melibatkannya.

Mason menyandarkan tubuh Eddie pada Mia sebentar, lalu bersamaku


menyisir ruang duduk dengan cepat. Tidak ada apa-apa. Jalan dari sini
menuju pintu depan aman. Aku mendesah lega. Mason memegangi Eddie lagi,
dan kami pun bergerak maju. Kami semua tegang dan gugup. Ya Tuhan. Kami
benar-benar akan melakukannya. Kami benar-benar akan melakukannya. Aku
tak percaya betapa beruntungnya kami. Kami sudah sangat dekat dengan
bencana―dan nyaris tidak sanggup menghindarinya. Ini salah satu kejadian
yang membuatmu menghargai hidup dan ingin membalikkan keadaan.
Kesempatan kedua yang membuatmu bersumpah tidak akan menyia-
nyiakannya. Sebuah kesadaran akan―

Aku mendengar gerakan mereka hampir bersamaan dengan saat aku melihat
kemunculan mereka di hadapan kami. Rasanya seolah ada penyihir yang
memunculkan Isaiah dan Elena begitu saja. Hanya saja kali ini aku tahu tidak
ada sihir yang terlibat. Strigoi memang bergerak secepat itu. Mereka pasti
berada di salah satu kamar lantai utama yang kami sangka kosong―tadi kami
tidak ingin membuang-buang lebih banyak waktu untuk memastikannya.
Dalam hati aku memarahi diri sendiri karena tidak memeriksa setiap senti
rumah ini. Di suatu sudut ingatanku, aku mendengar diriku mengejek ibuku
saat berada di kelas Stan: “Menurutku kalian melakukan kesalahan. Kenapa
kalian tidak menyisir tempat itu sejak awal dan memastikannya terbebas dari
Strigoi? Dengan begitu kalian tidak perlu bersusah payah seperti itu.”

Karma benar-benar menyebalkan.

“Anak-Anak,” gumam Isaiah. “Permainannya bukan seperti ini. Kalian


melanggar aturannya.” Senyum kejam melintas di bibirnya. Isaiah
menganggap kami sebagai sesuatu yang lucu, sama sekali bukan ancaman.
Sejujurnya? Dia memang benar.

“Cepat dan jauh, Mason,” kataku dengan suara rendah, tanpa melepaskan
pandangan dari para Strigoi.

“Astaga… kalau saja tatapan bisa membunuh….” Isaiah mengangkat alis


seolah terpikir olehnya sesuatu. “Kaupikir kau sanggup mengalahkan kami
berdua tanpa bantuan siapa pun?” Isaiah tergelak. Elena tergelak. Aku
mengertakkan gigi.

Tidak, aku tidak berpikir sanggup mengalahkan keduanya. Bahkan, aku cukup
yakin aku akan mati. Namun, aku juga yakin sanggup memberikan pengalih
perhatian yang cukup hebat sebelum itu terjadi.

Aku melompat ke arah Isaiah tetapi menembakkan pistol ke arah Elena. Kau
mungkin bisa menerjang penjaga manusia―tetapi kau tidak bisa
melakukannya pada Strigoi. Bisa dikatakan mereka sudah melihat gerakanku
bahkan sebelum aku bergerak. Namun, mereka tidak menyangka aku punya
senjata. Dan saat Isaiah menangkis serangan tubuhku nyaris tanpa bersusah
payah, aku berhasil menembak Elena sebelum akhirnya pria itu menangkap
lenganku dan menahanku. Bunyi pistol terdengar nyaring di telingaku, dan
Elena berteriak kesakitan sekaligus terkejut. Aku membidik perutnya, tetapi
meleset dan hanya mengenai pahanya. Bukan berarti itu penting. Dia takkan
mati di mana pun aku menembaknya, tetapi luka di perut akan terasa jauh
lebih menyakitkan.

Isaiah memegangi pergelangan tanganku dengan begitu kencang sehingga


kupikir dia akan meremukkan tulangku. Aku menjatuhkan pistol. Senjata itu
menghantam lantai, memantul, dan bergulir ke arah pintu. Elena meratap
marah dan mencakarku. Isaiah menyuruhnya mengendalikan diri dan
menjauhkanku darinya. Sementara itu, aku mengayunkan tubuh sejauh
mungkin, tetapi tidak berhasil membantuku melarikan diri, dan malah
membuatku semakin kesakitan.

Kemudian, aku mendengar bunyi terindah yang pernah kudengar.

Pintu depan membuka.

Mason sudah memanfaatkan pengalih perhatian yang kuciptakan. Mason


meninggalkan Eddie bersama Mia, lalu berlari mengitariku dan Strigoi yang
sedang bergulat, dan bergegas membuka pintu. Isaiah berbalik secepat
kilat―dan berteriak saat matahari membanjiri tubuhnya. Namun, meski
sedang menderita, gerakan refleksnya masih cepat. Isaiah menarik diri
menjauh dari berkas cahaya dan masuk ke ruang duduk, menyeret aku dan
Elena bersamanya―Elena pada lengan, sedangkan aku diseret pada leher.

“Keluarkan mereka dari sini!” teriakku.

“Isaiah―” Elena mulai bicara, melepaskan diri dari cengkeramannya.

Isaiah mendorongku ke lantai dan berbalik, memandangi korban-korbannya


yang melarikan diri. Aku terengah-engah menarik napas karena
cengkeramannya pada leherku sudah lepas, dan mengintip ke arah pintu
melalui helaian rambutku yang kusut. Aku sempat melihat Mason menyeret
Eddie melewati ambang pintu, keluar menuju cahaya yang aman. Mia dan
Christian sudah menghilang. Aku hampir menangis saking leganya.
Isaiah berbalik lagi ke arahku dengan amarah sedahsyat badai, mata hitamnya
terlihat kejam saat dia berdiri menjulang di atasku. Wajahnya, yang selalu
terlihat menakutkan, berubah menjadi sesuatu yang hampir sukar dipahami.
“Mengerikan” bahkan tidak cukup untuk menggambarkannya.

Isaiah menjambak rambutku. Aku menjerit kesakitan, dan pria itu menurunkan
kepala sehingga wajah kami saling menempel.

“Kau mau gigitan, Nona?” tuntutnya. “Kau ingin menjadi pelacur darah? Nah,
bisa kita atur. Dalam arti sesungguhnya. Dan itu takkan menyenangkan.
Kau takkan merasa kebas. Rasanya akan sangat menyakitkan―kompulsi bisa
dilakukan dalam dua cara, kau tahu? Dan aku akan meyakinkanmu bahwa kau
sedang menderita rasa sakit paling buruk seumur hidup. Aku juga akan
memastikan kematianmu berlangsung sangat lama. Kau akan menjerit-jerit.
Kau akan menangis. Kau akan memohon padaku agar mengakhirinya dan
membiarkanmu mati―”

“Isaiah,” Elena berteriak putus asa. “Bunuh saja dia. Kalau saja kau
melakukannya sejak awal, seperti yang sudah kubilang, semua ini takkan
terjadi.”

Isaiah tetap mencengkeramku, tetapi matanya melirik Elena. “Jangan


mengangguku.”

“Sikapmu berlebihan,” lanjut Elena. Yeah, wanita itu memang senang


merengek. Tak pernah kusangka Strigoi bisa seperti itu. Hampir terlihat
menggelikan. “Dan sia-sia.”

“Jangan membantahku juga,” kata Isaiah.

“Aku lapar. Aku hanya bilang agar kau―”

“Lepaskan dia, atau kubunuh kau.”

Kami semua berbalik saat mendengar suara baru yang tiba-tiba terdengar,
suara yang kelam dan marah. Mason berdiri di ambang pintu, terbingkai
cahaya matahari, mengenggam pistol yang tadi kujatuhkan. Isaiah
mengamatinya sejenak.

“Tentu,” akhirnya Isaiah berkata. Suaranya kedengaran bosan. “Coba saja.”


Mason tidak ragu. Dia menembak dan terus menembak sampai
mengosongkan seluruh isi peluru ke dada Isaiah. Setiap peluru itu membuat si
Strigoi sedikit berjengit, tetapi selain itu, dia masih tetap berdiri dan
memegangiku. Beginilah seorang Strigoi yang tua dan kuat, aku tersadar.
Sebutir peluru yang bersarang di paha sanggup menyakiti vampir muda
seperti Elena. Namun Isaiah? Tertembak di dada berulang kali hanyalah
gangguan kecil.

Mason menyadarinya juga, dan wajahnya terlihat mengeras saat


melemparkan senjata yang kosong itu.

“Keluar!” aku berteriak. Mason masih berada di bawah cahaya matahari,


masih aman.

Namun, dia tidak menuruti perkataanku. Mason berlari menghampiri kami,


keluar dari cahaya yang melindunginya. Aku menggandakan perlawananku,
berharap bisa mengalihkan perhatian Isaiah dari Mason. Tidak berhasil. Isaiah
mendorongku ke arah Elena sebelum Mason setengah jalan menuju kami.
Isaiah menghalau dan menangkap Mason dengan gesit, sama persis seperti
yang dilakukannya padaku tadi.

Hanya saja, tidak seperti yang dilakukannya padaku, Isaiah tidak


mencengkeram lengan Mason. Isaiah tidak mendongakkan kepala Mason
dengan menjambak rambutnya, atau mencerocos soal ancaman kematian
yang menyakitkan. Isaiah hanya menghentikan serangan, merenggut kepala
Mason dengan kedua tangan, lalu memuntirnya dengan cepat. Terdengar
bunyi derak memilukan. Kedua mata Mason melebar. Lalu tatapannya
berubah hampa.

Seraya mendesah tidak sabar, Isaiah melepaskan genggamannya lalu


melemparkan tubuh lunglai Mason ke tempat Elena sedang memegangiku.
Tubuhnya mendarat di depan kami. Pandanganku menjadi buram saat rasa
mual dan pusing meliputi tubuhku.

“Nah,” kata Isaiah pada Elena. “Siapa tahu itu bisa sedikit mengganjal rasa
laparmu. Dan sisakan sedikit untukku.” 
Berlynda P

Adminnn semangatt.

Faridha

mason mati?

Agustia Wulandari

masooooon , oh tidaaaak
Ningsih Wati

Hiks....sebal...sebal....kok ktangkep sih tp low ndak ktangkep ndak seru za ....next min

Litha BintangPertama

Tidaaaaakkkkk, .. Mason, aku nggak mau kamu mati, ..

Angel

tidakkkkKkkkkkkk .. kau bodoh mason ! Kenapa kau kembali masonnnnnnnnnn ... ros kau harus
membunuh isaiah dan elena harus (-̩-̩̩̩ -̩̩̩ __-̩
̩̩ -̩̩̩ -̩̩̩ )̩̩ god bye masonnn (˘̩.˘̩
̩̩ ƪ)
̩̩ #sampai_nangis_baca_nya
Yasin

makasih

Neng Wulan

hiksssss...g rela....

Ran Sovie'Anna

mason :'( :'(


Hannief Wisnu Setiadji

Tamat ampe bab berapa?

Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

ya Tuhan,, pada hal yg paling aku sukai itu mason tapi kenapa justru malah dia yg harus pergi duluan,,
good bye mason aku mencintai mu sampai akhir (┎_⌣̀)̩̩ (˘̩~˘̩
̩̩ ƪ)
̩

Riska Dwi Safitri

mason -,
Iyeth Doank

Waaah aku jarang on nich jdi ketinggalan beeuuh ada apa aja nich

Chusie Bellamy

aaahhhhhhhh masoon........Qo dimitri blm juga dtg chi ntr rose kebru mati... seru minn Lnjut donng

Ika Rosana Dewi

Yah masa mason mati si? Gak rela gak rela. . . . Arggg. . .
Fitria Nurbarokah

Ya ampun! Rose! Mason! Gak tau harus komentar apa.Rose pemberani banget dan Mason,
kasian.strigoi jahat!

Shanty Asgar

Ga relaaaaaaaaaaaa..,... Knpa Mason hrus kya gtu matinya.... Dasar strigoi iblis, jahat bgt.....

Nadia
tuh kan Mason dipart ini mati :'(
isaiah emang jahat bgt!

Fiansyah Kinanda Santy

Mason mati aduh terus rose gimna?????

YeEny Zenny

Mas0n kq mati sich ?? Gk rela gk rela ..

Deby Hana Cahyanti


Mason dibilangin rose ga dilaksanain sih. . . . Argh, , panas dngin baca ini. . . . Huh, , tegang!! --'

Ade Bepe Bocul Mandalawangi

Vini Hilyani

waduhhhhh tambah seru min. next Min.. semangat ngetiknya. ;)

Moi Yulie
mason.a mati?hah sumpah kgak rellaaaa...oh ayolah siapapun bntu rose,dimitri?adrian oh ayolah...

Naa

mason..!!!
mati? #lemes

Naa

mase..!!!
mati? #lemes
Amelia Pevensie

Mason emang mati :'( gue udah baca di situs wiki VA... tapi dia bakal ttp ada kok...

Ina' Bangets

Sebel dh sm mason.. Dksh tau g nurut, Mati dh!!

Write a comment...

Vampire Academy 2 (Bab 22)

Vampire Academy 2 (Bab 22)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

AKU BEGITU NGERI dan terguncang sehingga kupikir jiwaku akan melayang
pergi, dan dunia akan berakhir saat itu juga―karena tentunya, tentunya dunia
tidak bisa terus berputar setelah peristiwa ini. Tak seorang pun yang sanggup
melanjutkan hidup setelah kejadian ini. Aku ingin meneriakkan rasa sakitku ke
alam semesta. Aku ingin menangis sampai tubuhku meleleh. Aku ingin
terkulai di samping Mason dan mati bersamanya.

Elena melepaskan tubuhku, sepertinya dia tidak menganggapku sebagai


ancaman karena berada di antara dirinya dan Isaiah. Dia berpaling
menghadap tubuh Mason.

Kemudian, aku melepaskan perasaanku. Dan langsung bertindak.

“Jangan. Sentuh. Dia.” Aku tidak mengenali suaraku sendiri.


Elena memutar bola mata. “Ya ampun, kau ini menyebalkan sekali. Aku mulai
mengerti maksud Isaiah―kau memang harus menderita dulu sebelum mati.”
Elena berbalik, berlutut di lantai, lalu menggulingkan tubuh Mason hingga
telentang.

“Jangan sentuh dia!” teriakku. Aku mendorong tubuh Elena tetapi hanya
berdampak kecil. Elena balas mendorongku dan hampir menjatuhkan
tubuhku. Aku harus berusaha keras menyeimbangkan kaki dan tetap berdiri
tegak.

Isaiah menatapku dengan geli, kemudian tatapannya beralih ke


lantai. Chotki pemberian Lissa terjatuh dari saku mantelku. Isaiah
mengambilnya. Ternyata Strigoi bisa menyentuh benda suci―kisah yang
menyebutkan bahwa mereka takut pada salib sama sekali tidak benar. Mereka
hanya tidak bisa memasuki wilayah suci. Isaiah membalikkan salibnya dan
meraba naga yang terukir di sana.

“Ah, keluarga Dragomir,” Isaiah berseru senang. “Aku sudah melupakan


mereka. Sangat mudah untuk dilupakan. Mereka tersisa berapa, satu orang?
Dua orang? Hampir tidak pantas untuk diingat.” Mata merah mengerikan itu
terarah padaku. “Kau kenal salah satu dari mereka? Aku harus menemui
mereka dalam waktu dekat. Takkan terlalu sulit untuk―”

Tiba-tiba aku mendengar bunyi ledakan. Akuarium meledak saat air


menyembur dari dalam, memecahkan wadah kacanya. Serpihan kaca
berhamburan ke arahku, tetapi aku nyaris tidak menyadarinya. Air itu
menggumpal di udara, membentuk bola yang agak lonjong. Kemudian air itu
mulai melayang. Menuju Isaiah. Aku melongo menatapnya.

Isaiah melihatnya juga, tetapi dia lebih terlihat bingung daripada takut.
Setidaknya sampai airnya menggulung wajahnya dan mulai mencekiknya.

Seperti halnya peluru, kehabisan udara juga tidak bisa membunuhnya. Tetapi
hal itu bisa membuatnya sangat tidak nyaman.

Tangan Isaiah melesat ke wajah, berusaha keras “melepaskan” air darinya.


Usahanya sia-sia. Jemarinya hanya terus-menerus menembus air. Elena
melupakan Mason dan langsung melompat bangun.

“Apa ini?” jerit Elena. Dia menggoyang-goyang tubuh Isaiah untuk


membebaskannya, namun melihatnya sama sia-sianya dengan usaha Isaiah
tadi. “Apa yang terjadi?”
Lagi-lagi aku tidak merasa. Aku bertindak. Tanganku menggenggam sepotong
besar kaca yang berasal dari akuarium yang pecah. Serpihan kaca itu
bergerigi dan tajam, mengiris tanganku.

Seraya berlari maju, aku membenamkan pecahan kaca itu ke dada Isaiah,
membidik jantung yang kutemukan dengan susah payah saat latihan. Isaiah
mengeluarkan jeritan tercekik di dalam air lalu tumbang ke lantai. Bola
matanya mendelik ke atas saat dia tak sadarkan diri akibat kesakitan.

Elena melongo, sama terguncangnya denganku saat melihat Isaiah


membunuh Mason. Tentu saja, Isaiah belum mati, tetapi untuk sementara ini
dia tidak sadarkan diri. Wajah Elena jelas menunjukkan bahwa dia sama sekali
tidak menduga hal itu bisa terjadi.

Tindakan paling cerdas pada saat itu tentu saja berlari ke pintu dan berlindung
di bawah amannya cahaya matahari. Alih-alih, aku berlari ke arah berbeda,
menuju perapian. Aku meraih salah satu pedang antik yang tergantung di sana
lalu berbalik menghadap Elena. Aku tidak perlu bergerak terlalu jauh karena
Elena sudah pulih dari kekagetannya dan sedang bergegas ke arahku.

Elena menggeram murka, dan berusaha menyambar tubuhku. Aku belum


pernah dilatih menggunakan pedang, tetapi aku diajari untuk menggunakan
apa pun yang bisa kutemukan sebagai senjata dadakan. Aku menggunakan
pedang untuk menjaga jarak di antara kami, gerakanku masih sedikit
canggung namun cukup efektif untuk saat ini.

Taring-taring putih menyembul dari mulut Elena. “Aku akan membuatmu―”

“Menderita, bertanggung jawab, menyesal aku pernah dilahirkan?” aku


menantangnya.

Aku teringat saat sedang bertarung dengan ibuku, saat itu aku terus-menerus
dalam posisi bertahan. Taktik seperti itu tak bisa kugunakan saat ini. Aku
harus menyerang. Aku menusuk ke depan, berusaha memukul Elena. Tidak
berhasil. Dia sudah mengantisipasi setiap gerakanku.

Tiba-tiba, dari belakang Elena terdengar erangan Isaiah yang mulai tersadar
kembali. Elena melirik ke balik pundaknya, gerakan kecil yang
memungkinkanku untuk mengayunkan pedang ke dadanya. Pedang itu
menyayat kaus dan kulitnya, tetapi hanya itu. Meski begitu, Elena tetap
tersentak dan menunduk dengan panik. Kurasa ingatan akan kaca yang
menusuk jantung Isaiah masih segar dalam benaknya.
Dan memang hanya itu yang kubutuhkan.

Aku mengumpulkan kekuatan, menarik mundur pedang, lalu


mengayunkannya.

Mata pedang mengenai leher samping Elena dengan keras dan dalam. Wanita
itu mengeluarkan jeritan pilu dan mengerikan, ratapan yang membuat kulitku
merinding. Elena berusaha menghampiriku. Aku mundur dan menyerang lagi.
Kedua tangannya memegangi leher, dan lututnya mulai ambruk. Aku
menyerang dan terus menyerang, dan pedangnya terbenam semakin dalam
pada lehernya. Memenggal kepala orang ternyata lebih sulit dari yang kuduga.
Pedang tua yang tumpul juga sepertinya tidak banyak membantu.

Tetapi akhirnya kulihat Elena sudah tidak bergerak lagi. Kepalanya tergeletak
begitu saja, terputus dari tubuhnya, kedua matanya yang mati seolah
menatapku dengan pandangan tak percaya. Aku sendiri tak percaya.

Ada orang yang berteriak, dan sejenak kupikir itu suara Elena. Kemudian aku
mendongak dan menatap sekeliling ruangan. Mia sedang berdiri di ambang
pintu, matanya terbelalak dan kulitnya terlihat kehijauan seperti mau muntah.
Jauh dalam benakku, aku tersadar bahwa Mia-lah yang membuat akuarium
meledak. Ternyata sihir air sama sekali tidak tak berguna.

Meski masih agak gemetar, Isaiah berusaha bangkit. Tetapi aku sudah
menyerangnya sebelum dia sepenuhnya bangun. Pedang menghunjam,
menghasilkan darah dan penderitaan dalam setiap serangan. Aku merasa
seperti ahli sekarang. Isaiah terkulai ke lantai lagi. Dalam benak, aku terus-
menerus melihatnya mematahkan leher Mason, dan aku terus menghunjam
sekeras mungkin, seolah menyerangnya dengan ganas sanggup
menghilangkan kenangan itu.

“Rose! Rose!”

Aku hampir tidak bisa mendengar suara Mia di tengah kabut kebencian yang
menyelimutiku.

“Rose, dia sudah mati!”

Perlahan, dengan tubuh gemetar, aku menahan serangan berikutnya dan


menunduk menatap tubuh Isaiah―kepalanya tidak lagi menempel ke tubuh.
Mia benar. Isaiah sudah mati. Benar-benar mati.

Aku memandang sekeliling. Darah berceceran di mana-mana, tetapi kengerian


akan keadaan tersebut tidak bisa kurasakan. Duniaku seolah melambat,
melambat menjadi dua tugas yang sangat sederhana. Membunuh Strigoi.
Melindungi Mason. Aku tak bisa memikirkan yang lain.

“Rose,” bisik Mia. Tubuh Mia gemetar, suaranya terdengar takut. Mia takut
padaku, bukan pada Strigoi. “Rose, kita harus pergi. Ayo.”

Aku mengalihkan pandangan dari Mia dan menatap jasad Isaiah. Beberapa
saat kemudian, aku merangkak menghampiri tubuh Mason, masih
menggenggam pedang.

“Tidak,” kataku serak. “Aku tak bisa meninggalkannya. Mungkin ada Strigoi
lain yang akan datang….”

Mataku terasa panas, seolah tak kuat lagi menahan tangis. Tetapi aku tidak
yakin. Gairah membunuh masih menggempurku, emosi yang kurasakan saat
ini hanyalah kemurkaan.

“Rose, kita akan kembali untuk menjemputnya. Kalau ada Strigoi lain yang
datang, kita harus cepat pergi.”

“Tidak,” kataku lagi, bahkan tanpa menatap Mia. “Aku takkan


meninggalkannya. Aku takkan meninggalkan Mason sendirian.” Aku
mengusap rambut Mason dengan tanganku yang bebas.

“Rose―”

Aku mendongak. “Keluar!” aku berteriak. “Keluar dan tinggalkan kami berdua.”

Mia maju beberapa langkah, dan aku mengangkat pedang ke arahnya. Mia
terdiam.

“Keluar,” ulangku. “Cari bantuan.”

Perlahan Mia mundur ke pintu. Dia menatapku dengan putus asa untuk
terakhir kalinya, lalu berlari keluar.

Suasana menjadi sunyi, dan aku melonggarkan genggaman namun tetap tidak
mau melepaskan pedang. Tubuhku merosot ke depan lalu aku meletakkan
kepala di dada Mason. Aku tidak menyadari apa pun; dunia yang ada di
sekelilingku, maupun waktu itu sendiri. Entah berapa detik yang sudah berlalu.
Mungkin berjam-jam. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa pun, hanya tahu
bahwa aku tidak boleh meninggalkan Mason sendirian. Aku berada dalam
kondisi teralihkan, kondisi yang mengabaikan kengerian dan kesedihan. Aku
tidak percaya Mason sudah mati. Aku tidak percaya aku baru saja membunuh.
Selama menolak mengakuinya, aku bisa berpura-pura semua itu tidak terjadi.
Akhirnya terdengar suara dan langkah kaki, dan aku mendongak. Orang-orang
berhamburan masuk melalui pintu, jumlahnya sangat banyak. Aku tidak bisa
mengenali satu pun dari mereka. Memang tidak perlu. Mereka adalah
ancaman; ancaman yang harus kujauhkan dari Mason. Beberapa dari mereka
menghampiriku, dan aku melompat bangun. Aku mengangkat pedang dan
memegangnya di atas tubuh Mason dengan sikap melindungi.

“Menjauh,” aku memperingatkan. “Menjauhlah darinya.”

Mereka terus mendekat.

“Berhenti!” teriakku. Mereka berhenti. Kecuali satu orang.

“Rose,” sebuah suara lembut berkata. “Letakkan pedangnya.”

Tanganku gemetar. Aku menelan ludah. “Menjauhlah dari kami.”

“Rose.”

Suara itu berkata lagi, suara yang akan dikenali oleh jiwaku di mana pun aku
mendengarnya. Dengan enggan aku membiarkan diri menyadari keadaan di
sekelilingku lagi, membiarkan semua detail kejadian meresap ke dalam
pikiran. Aku memfokuskan mata pada sosok pria yang berdiri di hadapanku.
Mata cokelat Dimitri yang lembut dan tegas sedang menatapku.

“Jangan takut,” kata Dimitri. “Semuanya akan baik-baik saja. Kau bisa
melepaskan pedangnya.”

Tanganku bahkan lebih gemetar lagi saat berusaha tetap menggenggam


gagang pedang. “Aku tak bisa.” Kata-kata yang kuucapkan terasa
menyakitkan. “Aku tak bisa meninggalkannya sendirian. Aku harus melindungi
Mason.”

“Kau sudah melindunginya,” kata Dimitri.

Pedang itu terjatuh dari tanganku dan mendarat di lantai kayu dengan bunyi
kelontang nyaring. Tubuhku menyusul ambruk ke lantai. Aku merasa ingin
menangis tetapi masih belum sanggup melakukannya.

Lengan Dimitri merangkulku saat dia berusaha membantuku berdiri. Suara-


suara mulai berdengung di sekeliling kami, dan satu per satu, aku mengenali
orang-orang yang kukenal dan kupercaya. Dimitri hendak menuntunku ke
pintu, tetapi aku masih tidak mau bergerak. Aku tak bisa. Tanganku
menggenggam kaus Dimitri dan meremas kainnya. Masih dengan satu tangan
merangkul tubuhku, Dimitri menyapu rambutku agar tidak menutupi wajah.
Aku menyandarkan kepala ke tubuh Dimitri, dan dia terus mengusap-usap
rambutku dan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Aku tidak
memahami satu kata pun, tetapi nadanya yang lembut membuatku tenang.

Para pengawal menyebar di seluruh penjuru rumah, memeriksanya senti demi


senti. Beberapa dari mereka menghampiri kami dan berlutut di dekat mayat-
mayat yang tidak mau kulihat.

“Dia yang melakukannya? Dua-duanya?”

“Pedang itu sudah tidak diasah selama bertahun-tahun!”

Sebuah suara aneh tersangkut di dalam tenggorokanku. Dimitri meremas


pundakku untuk menenangkan.

“Bawa dia keluar dari sini, Belikov,” aku mendengar seorang wanita berkata di
belakang Dimitri, suara wanita itu terdengar tidak asing.

Dimitri meremas pundakku lagi. “Ayo, Roza. Saatnya pergi.”

Kali ini aku menurut. Dimitri menuntunku keluar dari rumah, tetap
memegangiku saat aku berjuang mengambil setiap langkah yang
menyakitkan. Benakku masih menolak memikirkan apa yang sudah terjadi.
Aku belum sanggup melakukan apa pun selain menuruti perintah sederhana
yang diberikan orang-orang di sekelilingku.

Akhirnya aku berada di dalam salah satu pesawat milik Akademi. Bunyi mesin
menderu di sekeliling kami saat pesawat lepas landas. Dimitri bergumam
bahwa dia akan segera kembali, lalu meninggalkanku sendirian. Aku menatap
lurus ke depan, mengamati detail tempat duduk di hadapanku.

Seseorang duduk di sampingku lalu menyampirkan selimut ke pundakku.


Pada saat itu aku baru menyadari bahwa tubuhku gemetar hebat. Aku
merapatkan selimut.

“Aku kedinginan,” kataku. “Kenapa aku sangat kedinginan?”

“Kau mengalami syok,” jawab Mia.


Aku berbalik dan menatap Mia, mengamati rambut ikalnya yang pirang dan
mata birunya yang besar. Entah mengapa menatap Mia seakan melepaskan
semua ingatanku yang terpendam. Semuanya bermunculan lagi. Aku
memejamkan mataku erat-erat.

“Ya Tuhan,” aku menghela napas. Aku membuka mata dan menatap Mia lagi.
“Kau menyelamatkanku―kau menyelamatkanku dengan meledakkan
akuarium. Seharusnya kau tidak melakukannya. Seharusnya kau tidak boleh
kembali ke rumah itu lagi.”

Mia mengangkat bahu. “Kau juga seharusnya tidak boleh mengambil pedang.”

Benar juga. “Terima kasih,” kataku pada Mia. “Apa yang kaulakukan itu… tidak
akan pernah terpikir olehku untuk melakukannya. Itu benar-benar cemerlang.”

“Aku tidak yakin soal itu,” Mia berkata sambil tersenyum sedih. “Air kan tidak
bisa digunakan sebagai senjata, kauingat?”

Aku tergelak, meski sebenarnya aku tidak menganggap lucu kata-kata yang
dulu kuucapkan. Tidak lagi.

“Air senjata yang hebat,” akhirnya aku menjawab. “Saat kembali nanti, kita
harus melatih berbagai cara menggunakannya.”

Wajah Mia terlihat berbinar. Ketangguhan terpancar dari matanya. “Aku setuju.
Melebihi segalanya.”

“Aku ikut berduka… atas kematian ibumu.”

Mia hanya mengangguk. “Kau beruntung karena ibumu masih ada. Kau tidak
tahu betapa beruntungnya dirimu.”

Aku berpaling dan menatap punggung kursi lagi. Kata-kata yang selanjutnya
keluar dari mulutku benar-benar membuatku terkejut. “Kuharap dia ada di
sini.”

“Memang ada,” kata Mia dengan suara yang terdengar kaget. “Ibumu ada
bersama kelompok yang menggeledah rumah. Kau tidak melihatnya?”

Aku menggeleng.
Kami berdua terdiam. Mia berdiri lalu meninggalkan aku. Satu menit
kemudian, seseorang yang lain duduk di sampingku. Aku tidak perlu melihat
untuk tahu siapa orangnya. Aku tahu saja.

“Rose,” ibuku berkata. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ibuku terdengar
tidak yakin pada dirinya sendiri. Mungkin dia takut. “Mia bilang kau ingin
menemuiku.” Aku tidak menjawab. Aku tidak menatapnya. “Kau… kau butuh
apa?”

Aku tidak tahu apa yang kubutuhkan. Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Sengatan pada mataku semakin tak tertahankan, dan sebelum
menyadarinya aku pun menangis. Sedu sedan yang keras dan menyakitkan
mengguncang tubuhku. Air mata yang sejak tadi kutahan membanjiri wajahku.
Rasa takut dan sedih yang sejak tadi kutolak akhirnya meledak dan membara
di dadaku. Aku nyaris tak bisa bernapas.

Ibuku merangkulku, dan aku membenamkan wajah di dadanya, terisak


semakin keras.

“Aku tahu,” kata ibuku lembut dan mempererat pelukannya. “Aku mengerti.”

Nur Solehah

sedih :'(
Dijah Dije

Sedih.. ;(

Scwarze Orchidee

rose keren bgt!! mia juga,,

Fitry Ana Hidayat

:'( sedih bangt..... Hikh....


Desi Zuliana

Miiiin lanjuuuuuut :D

Faridha

Keren :'(

Tri Wahyuni

duhh sedih bgt , yesek baca na mksi da post


Riska Dwi Safitri

mia keren juga :D

Nurul Kamilah

Next :'(

Chusie Bellamy

ya ampun sedih bgt rose sbar'y .... setiap rose sedih psti masoon yg menghibur'y trus sekrg masoon
dh mati syp Lagi yg bsa nghibur rose selain Lisaa... min Lnjut donhg
Ika Rosana Dewi

Wuih rose kerennn. . .


Eh dimka, knpa si bru dateng? Kmana aja? Kasian kan tuh si mason. . . .hiks
lanjut min. . .hehe

Ran Sovie'Anna

nangis bcanya :'(

Vini Hilyani
;'( ;'( ;'( part yg plg menyedihkan. mksih Min udah d post. d tunggu banget kelanjutanya. ttp semangat
ngetiknya. ;)

Maricha Valencia

meweekk.. :'(

Tarri

Nangis bacanya .;-(

Fiansyah Kinanda Santy


Bonus dong

Neng Wulan

sesek min..huhuhuhuhu :'(

Angel

:') :') :') (-̩-̩̩̩ -̩̩̩ __-̩


̩̩ -̩̩̩ -̩̩̩ )̩̩

YeEny Zenny
Smpek kbwa prasaan bca part ini.

Ningsih Wati

Nyesek....bru d bab ini ngrasain nyesek....bner2 nyesek

Lucy Ajja

hikss, nangis bacanya... :'(

Yasin

makasih
Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

nangis lagi,, + mewek saat ingat Mason Ǘϑªh meninggal,,, (˘̩~˘̩


̩̩ ƪ)
̩

Isnasyaif

hadooh... Nyezeq bgt min lanjt dung

Fitria Nurbarokah

Nyesek dah
Dewi Kusumawati

;(

Reren Sofyan

kakak admin yg baik hati, baca dari awal ini novel di part ini yg bikin Baper pgn nangis. .
next baca lanjut lg

Write a comment...

Vampire Academy 2 (Bab 23)

Vampire Academy 2 (Bab 23)

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia


UDARANYA HANGAT PADA hari upacara molnija-ku dilangsungkan. Bahkan,
cuacanya begitu hangat sehingga salju yang menutupi kampus mulai mencair,
dan mengalir di kedua sisi bangunan batu Akademi dalam aliran sungai kecil
berwarna keperakan. Akhir musim dingin masih sangat lama, jadi aku tahu
semuanya akan kembali membeku dalam beberapa hari. Namun, saat ini
rasanya seluruh dunia sedang menangis.

Aku berhasil lolos dari insiden Spokane hanya dengan memar dan luka ringan.
Luka bakar yang disebabkan borgol plastik yang meleleh merupakan luka
paling parah yang kualami. Tetapi aku masih kesulitan mengatasi kematian
yang kusebabkan dan yang kusaksikan. Aku hanya ingin meringkuk seperti
bola di suatu tempat tanpa bicara pada siapa pun, mungkin kecuali Lissa.
Namun, pada hari keempat kepulanganku ke Akademi, ibuku menemuiku dan
berkata sudah saatnya aku menerima tanda.

Perlu beberapa saat sebelum akhirnya aku memahami apa yang dibicarakan
ibuku. Kemudian, aku teringat bahwa aku berhak mendapatkan dua
tanda molnija karena berhasil memenggal kepala dua Strigoi. Tanda molnija-
ku yang pertama. Kesadaran itu membuatku terpana. Seumur hidup, dengan
berasumsi akan berkarier sebagai pengawal, aku selalu berharap
mendapatkan tanda ini. Aku menganggap tanda ini sebagai lencana
kehormatan. Tapi sekarang? Sekarang tanda ini hanya akan menjadi
pengingat sesuatu yang ingin kulupakan.

Upacara dilangsungkan di gedung pengawal, di ruangan besar yang biasa


digunakan untuk pertemuan dan perjamuan. Ruangannya jauh berbeda dari
aula jamuan besar yang ada di resor. Ruangan ini efisien dan praktis, sama
seperti karakter pengawal. Karpetnya berwarna abu kebiruan, tenunannya tipis
dan rapat. Dinding putih polosnya dihiasi oleh pigura-pigura foto hitam putih
St. Vladimir semasa hidup. Selain itu tidak ada dekorasi ataupun hiasan
lainnya, tetapi kekhidmatan dan kewibawaan momen ini tampak jelas. Semua
pengawal di kampus―tapi tidak ada novis―menghadirinya. Mereka
berkerumun di sekitar ruang pertemuan utama gedung, berdiri berkelompok
namun tidak mengobrol. Saat upacara dimulai, tanpa diperintah mereka
langsung berbaris rapi, dan menatapku.

Aku duduk di bangku yang diletakkan di sudut ruangan, membungkuk hingga


rambutku menutupi wajah. Di belakangku ada seorang pengawal bernama
Lionel yang memegang sebuah jarum tato di atas leher belakangku. Aku
mengenal Lionel sejak tinggal di Akademi, tetapi tidak tahu bahwa dia terlatih
menggambar tanda molnija.

Sebelum mulai menggambar, Lionel bercakap-cakap pelan dengan ibuku dan


Alberta.

“Dia takkan mendapatkan tanda sumpah,” kata Lionel. “Dia belum lulus.”

“Hal seperti ini kadang terjadi,” kata Alberta. “Dia sudah membunuh Strigoi.
Gambarkan tanda molnija-nya saja, dan dia akan mendapatkan tanda
sumpahnya belakangan.”

Mengingat rasa sakit yang sering kualami, aku tidak menyangka pembuatan
tato akan sesakit ini. Namun, aku menggigit bibir dan tetap diam selama
Lionel membuat tandanya. Proses pembuatan tato terasa bagaikan berabad-
abad lamanya. Setelah selesai, Lionel mengeluarkan dua buah cermin, dan
dengan penempatan yang tepat, aku bisa melihat bagian belakang leherku.
Dua tanda hitam kecil terukir berdampingan di atas kulitku yang terlihat
memerah dan sensitif. Molnija artinya “petir” dalam bahasa Rusia, dan bentuk
bergerigi itu adalah simbol makna tersebut. Dua buah tanda. Satu untuk Isaiah
dan satu untuk Elena.

Setelah aku melihatnya, Lionel memasang perban dan memberiku petunjuk


cara merawat lukanya sampai sembuh. Aku tidak menangkap sebagian besar
petunjuknya, tetapi kurasa aku bisa menanyakannya lagi nanti. Aku masih
agak terguncang karena semua kejadian ini.

Setelah itu, semua pengawal yang berkumpul menghampiriku satu per satu.
Mereka semua menunjukkan sedikit perhatian―pelukan atau ciuman
pipi―dan kata-kata penuh dukungan.

“Selamat datang di jajaran ini,” kata Alberta, wajahnya yang keras agak
melembut saat memberiku pelukan hangat.

Saat gilirannya tiba, Dimitri tidak mengatakan apa-apa, tetapi seperti biasa,
tatapannya sudah mengucapkan banyak hal. Rasa bangga dan kelembutan
tergambar di wajahnya, dan aku terpaksa menahan air mata. Dengan lembut
Dimitri meletakkan satu tangan di pipiku, menganggukkan kepala, lalu berjalan
pergi.
Ketika Stan―instruktur yang sering bertengkar denganku sejak hari pertamaku
di Akademi―memeluk tubuhku dan berkata, “Sekarang kau salah satu dari
kami. Aku selalu tahu kau akan menjadi salah satu yang terbaik,” kupikir aku
akan pingsan.

Kemudian, saat ibuku menghampiri, aku tidak sanggup menahan air mata
yang mengalir di pipi. Ibuku mengusapnya, dan menyentuh bagian belakang
leherku. “Jangan pernah lupa,” katanya.

Tidak ada yang mengucapkan “Selamat,” dan aku lega karenanya. Kematian
tidak patut dirayakan.

Minuman dan makanan pun disajikan. Aku berjalan menuju meja jamuan dan
mengisi piring dengan beberapa potong quiche feta mini, dan
sepotong cheesecake mangga. Aku makan tanpa benar-benar merasakannya,
dan menjawab pertanyaan dari pengawal lain tanpa menyadari apa yang
kuucapkan. Aku merasa seperti robot yang melakukan semua gerakan sesuai
yang diharapkan. Kulit di belakang leherku terasa menyengat, dan di dalam
benakku aku terus-menerus melihat mata biru Mason serta mata merah
Isaiah.

Aku merasa bersalah karena tidak bisa menikmati hari besarku ini, tetapi aku
lega saat orang-orang mulai membubarkan diri. Ibuku menghampiriku saat
yang lain menggumamkan selamat tinggal. Selain ucapannya saat upacara,
kami belum mengobrol lagi sejak luapan emosiku di pesawat. Aku masih
merasa agak aneh dengan kejadian itu―dan agak malu juga. Ibuku tidak
pernah menyebut-nyebut soal itu, tetapi hubungan kami sudah sedikit
berubah. Selama bisa disebut berteman… tetapi kami juga tidak bisa lagi
dikatakan sebagai musuh.

“Lord Szelsky sebentar lagi akan meninggalkan tempat ini,” kata ibuku saat
kami berdiri di dekat pintu, tak jauh dari tempatku berteriak padanya pada hari
pertama kami mengobrol. “Aku akan pergi bersamanya.”

“Aku tahu,” ucapku. Kepergiannya tidak perlu diragukan lagi. Memang


begitulah keadaannya. Para pengawal mengikuti Moroi. Merekalah yang harus
diutamakan.

Ibuku menatapku sejenak, mata cokelatnya seperti berpikir. Setelah sekian


lama, untuk pertama kalinya kami benar-benar saling memandang, bukan dia
memandang rendah aku seperti biasanya. Kurasa memang sudah saatnya
mengingat tubuhku yang lima belas senti lebih tinggi darinya.

“Kau hebat,” akhirnya ibuku berkata. “Mengingat keadaannya.”

Bisa dikatakan itu hanya setengah pujian, tetapi aku memang tidak berhak
mendapatkan lebih dari itu. Sekarang aku memahami semua kekeliruan dan
salah perhitungan yang menyebabkan berbagai kejadian di rumah Isaiah.
Sebagian kesalahanku, sebagian lagi bukan. Kuharap aku bisa mengubah
beberapa hal, tetapi aku tahu ibuku benar. Pada akhirnya aku sudah
melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kesalahan yang kubuat.

“Membunuh Strigoi ternyata tidak seglamor yang kubayangkan,” ucapku.

Ibuku tersenyum sedih. “Tidak. Memang tidak pernah.”

Aku teringat pada semua tanda yang terdapat di balik leher ibuku, semua
pembunuhan yang dilakukannya. Tubuhku menggigil.

“Oh ya.” Aku tak sabar ingin mengubah topik pembicaraan, jadi aku merogoh
ke dalam saku lalu mengeluarkan liontin kecil berbentuk mata biru yang
diberikannya padaku. “Benda yang kauberikan padaku. Ini sebuah n-nazar.”
Aku tergagap saat mengucapkan namanya. Ibuku kelihatan kaget.

“Ya. Bagaimana kau bisa tahu?”

Aku tidak mau menjelaskan mimpiku bersama Adrian. “Ada yang


memberitahuku. Ini jimat pelindung, kan?”

Ibuku termenung sejenak, lalu mengembuskan napas dan mengangguk. “Ya.


Awalnya dari sebuah takhayul di Timur Tengah… Beberapa orang percaya
bahwa orang-orang yang ingin menyakitimu bisa mengutuk atau memberimu
‘mata jahat.’ Nazar ini dimaksudkan untuk melawan mata jahat… dan
memberikan perlindungan secara menyeluruh pada siapa pun yang
memakainya.”

Aku menyentuh potongan kaca itu. “Timur Tengah… jadi, tempat seperti, em,
Turki?”

Bibir ibuku tiba-tiba tertekuk. “Tempat seperti Turki.” Ibuku ragu-ragu. “Benda
itu… hadiah. Hadiah yang kuterima sudah lama sekali….” Dia menerawang,
tenggelam dalam kenangan. “Aku mendapatkan banyak… perhatian dari lelaki
saat seumurmu. Perhatian yang pada awalnya terlihat menyanjung, tapi pada
akhirnya sama sekali tidak seperti itu. Kadang-kadang sulit untuk
membedakan mana yang benar-benar perhatian, mana yang hanya ingin
mencari kesempatan darimu. Tapi kalau kau merasakan cinta yang
sesungguhnya… yah, kau akan tahu.”

Saat itu aku baru mengerti mengapa ibuku berusaha keras melindungi
reputasiku―saat masih muda dulu reputasinya sendiri sempat terancam.
Mungkin lebih parah lagi.

Aku juga tahu siapa yang memberikan nazar itu kepadanya. Ayahku yang


memberikannya. Kurasa ibuku tidak ingin membicarakannya lebih lanjut, jadi
aku tidak bertanya. Mungkin, hanya mungkin, lebih baik kalau aku cukup tahu
bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar bisnis dan genetik.

Kami mengucapkan selamat tinggal, dan aku kembali ke kelas. Semua orang
tahu keberadaanku pagi ini, dan teman-teman novisku ingin melihat
tanda molnija-ku. Aku tidak menyalahkan mereka. Kalau keadaannya dibalik,
aku juga akan berbuat sama.

“Ayolah, Rose,” Shane Reyes memohon. Kami sedang berjalan keluar dari
kelas latihan pagi, dan dia terus-menerus berusaha menggeser kucir
rambutku. Dalam hati aku membuat catatan untuk menggerai rambutku
besok. Beberapa orang lainnya mengikuti kami dan mengulangi permintaan
Shane.

“Yeah, ayolah. Biarkan kami melihat apa yang kaudapatkan untuk gelar
barumu!”

Mata mereka berbinar oleh rasa penasaran dan semangat. Aku adalah sang
pahlawan, teman sekelas mereka yang berhasil memenggal kepala pemimpin
kelompok Strigoi yang meneror kami selama liburan. Namun, mataku
berserobok dengan seseorang yang berdiri paling belakang, seseorang yang
tidak kelihatan penasaran ataupun semangat. Eddie. Saat menatapku, Eddie
tersenyum sedih. Dia mengerti.

“Maafkan aku, Teman-Teman,” kataku seraya berbalik. “Tandanya masih


diperban. Perintah dokter.”

Jawabanku ditanggapi oleh gerutu yang segera berubah menjadi pertanyaan


mengenai bagaimana caraku membunuh para Strigoi itu. Memenggal kepala
merupakan salah satu cara yang paling sulit dan jarang dilakukan untuk
membunuh vampir, tetapi memegang pedang juga tidak semudah itu. Jadi,
aku berusaha sebisa mungkin memberitahu teman-temanku tentang apa yang
terjadi, dan memastikannya tetap sesuai dengan kenyataan dan tidak melebih-
lebihkan proses pembunuhannya.

Pelajaran hari itu terasa cepat berlalu, tahu-tahu aku sedang berjalan bersama
Lissa menuju asramaku. Aku dan Lissa belum mendapat kesempatan
mengobrol sejak semua kejadian di Spokane. Aku harus menjawab banyak
pertanyaan, lalu pemakaman Mason. Lissa juga sibuk dengan urusannya
sendiri dengan kepergian para bangsawan dari kampus, jadi waktu luangnya
juga tidak lebih banyak dariku.

Berada di dekat Lissa membuatku merasa lebih baik. Meski aku bisa
memasuki pikiran Lissa kapan saja, rasanya tetap tidak sama dengan
sungguh-sungguh berada di dekat manusia lain yang memang peduli padamu.

Saat kami tiba di depan pintu kamarku, aku melihat sebuah buket
bunga freesia yang diletakkan di lantai. Aku mendesah, lalu mengambil bunga
berbau harum itu tanpa melihat kartu yang menempel di sana.

“Apa itu?” tanya Lissa saat aku membuka pintu kamar.

“Dari Adrian,” jawabku. Kami masuk ke kamar, dan aku menuding meja tempat
beberapa buket lainnya disimpan. Aku meletakkan bunga freesia di samping
buket lainnya. “Aku akan sangat lega saat dia meninggalkan kampus. Kurasa
aku tak sanggup menghadapinya lagi.”

Lissa berbalik lalu menatapku dengan kaget. “Oh. Em, kau belum tahu ya?”

Aku mendapatkan peringatan melalui ikatan batin kami bahwa aku takkan
suka mendengar berita yang sebentar lagi akan disampaikan Lissa.

“Tahu apa?”

“Uh, Adrian tidak akan meninggalkan kampus. Dia akan tinggal di sini untuk
sementara.”

“Dia harus pergi,” sanggahku. Setahuku, satu-satunya alasan Adrian kembali


ke sini adalah untuk menghadiri pemakaman Mason. Dan aku sendiri masih
tidak mengerti mengapa dia melakukannya, karena dia hampir tidak mengenal
Mason. Mungkin Adrian hanya melakukannya untuk pamer. Atau mungkin
agar bisa tetap menguntitku dan Lissa. “Dia kan kuliah. Atau mungkin sekolah
anak-anak nakal. Entahlah, tapi pasti ada hal lain yang harus dilakukannya.”

“Dia mengambil cuti selama satu semester.”

Aku melongo.

Lissa tersenyum melihat kekagetanku, lalu menganggukkan kepala. “Adrian


akan tinggal di sini dan bekerja sama denganku… dan Ms. Carmack. Selama
ini Adrian bahkan tidak tahu roh itu apa. Adrian hanya tahu dirinya tidak
memiliki spesialisasi tapi memiliki kemampuan yang tidak biasa. Adrian
merahasiakan semua ini, kecuali saat bertemu dengan pengguna roh lainnya.
Tapi sama seperti Adrian, mereka juga tidak tahu banyak soal itu.”

“Seharusnya aku tahu lebih awal,” kataku geli. “Ada sesuatu yang berbeda
saat berada di dekatnya… Aku selalu ingin mengobrol dengannya, kau tahu?
Dia memiliki… karisma tertentu. Sama sepertimu. Kurasa semua itu
berhubungan dengan roh dan kompulsi, atau entah apa lagi. Semua itu
membuatku menyukainya… meski aku tidak menyukainya.”

“Benarkah kau tidak menyukainya?” goda Lissa.

“Tidak,” jawabku mantap. “Dan aku juga tidak suka dengan mimpi-mimpi itu.”

Mata hijau giok Lissa melebar takjub. “Itu kan keren,” katanya. “Kau selalu
tahu apa yang sedang terjadi padaku, tapi aku tak pernah bisa berkomunikasi
denganmu. Aku senang kalian berhasil meloloskan diri… tapi kuharap aku
sudah tahu soal mimpi ini supaya bisa membantu menemukan kalian.”

“Menurutku tidak,” ucapku. “Aku senang Adrian tidak berhasil membujukmu


untuk berhenti minum obat.”

Aku baru mengetahuinya beberapa hari setelah kejadian Spokane. Ternyata


Lissa menolak saran Adrian untuk menghentikan konsumsi pil agar bisa
belajar lebih banyak tentang roh. Namun, Lissa mengakui seandainya aku dan
Christian menghilang lebih lama lagi, dia mungkin akan menyerah.

“Bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?” tanyaku, tiba-tiba teringat pada


kekhawatiran Lissa soal pengobatannya. “Kau masih merasa pilnya sudah
tidak berfungsi?”
“Mmm… sulit dijelaskan. Aku masih merasa lebih dekat dengan sihir, seakan-
akan pilnya sudah tidak menghalaunya lagi. Tapi aku juga tidak merasakan
efek samping mental lainnya… aku tidak merasa kesal atau semacamnya.”

“Wow, itu hebat.”

Senyum indah membuat wajah Lissa berbinar. “Aku tahu. Itu membuatku
berpikir bahwa suatu hari nanti aku masih bisa menggunakan sihir.”

Melihat Lissa sebahagia ini membuatku tersenyum juga. Aku sama sekali
tidak suka saat melihat perasaan kelam itu kembali, dan sekarang aku lega
saat melihatnya lenyap. Aku tidak mengerti bagaimana atau mengapa semua
itu bisa terjadi, tetapi selama Lissa merasa baik-baik saja―

Semua orang dikelilingi cahaya, kecuali dirimu. Kau memiliki bayangan. Kau
mendapatkannya dari Lissa.

Kata-kata Adrian itu tiba-tiba menghantam benakku. Dengan gelisah aku


teringat pada sikapku beberapa minggu terakhir ini. Ledakan amarah. Sikap
memberontakku―yang bahkan untuk diriku termasuk tidak biasa. Gulungan
emosi kelam yang bergulung di dalam dada….

Tidak, batinku. Sama sekali tidak ada kesamaan. Perasaan kelam yang
dirasakan Lissa disebabkan oleh sihir. Sedangkan yang kurasakan akibat
stres. Lagi pula, sekarang aku merasa baik-baik saja.

Menyadari Lissa sedang menatapku, aku berusaha mengingat-ingat


pembicaraan kami tadi sampai di mana. “Mungkin akhirnya kau bisa
menemukan cara menggunakannya? Maksudku, kalau Adrian saja bisa
menemukan cara menggunakan roh dan tidak memerlukan pengobatan…”

Lissa tiba-tiba tertawa. “Kau tidak tahu, ya?”

“Tahu apa?”

“Tahu bahwa Adrian mengobati dirinya sendiri.”

“Benarkah? Tapi dia bilang―” erangku. “Tentu saja dia mengobati dirinya
sendiri. Dengan rokok. Dengan minuman keras. Entah dengan apa lagi, hanya
Tuhan yang tahu.”
Lissa mengangguk. “Yap. Dia selalu memasukkan sesuatu ke dalam
tubuhnya.”

“Tapi mungkin malam itu dia tidak melakukannya… karena itulah dia bisa
menyelinap ke dalam mimpiku.”

“Ya ampun, kuharap aku bisa melakukannya,” desah Lissa.

“Mungkin kau akan mempelajarinya suatu hari nanti. Tapi jangan berubah
menjadi pecandu alkohol saat kau sedang berusaha melakukannya.”

“Tidak akan,” Lissa meyakinkanku. “Tapi aku akan mempelajarinya. Tak ada


pengguna roh lain yang bisa melakukannya, Rose―yah, selain St. Vladimir.
Aku akan belajar untuk melakukannya seperti dia. Aku akan belajar untuk
menggunakannya―dan aku takkan membiarkannya menyakitiku.”

Aku tersenyum dan menyentuh tangan Lissa. Aku benar-benar yakin dia bisa
melakukannya. “Aku tahu.”

Kami mengobrol sampai malam. Saat tiba waktunya latihan rutinku bersama
Dimitri, aku berpisah dengan Lissa. Saat berjalan menjauh, aku memikirkan
sesuatu yang mengangguku selama ini. Meski kelompok Strigoi yang
melakukan serangan itu memiliki lebih banyak anggota, para pengawal yakin
Isaiah-lah pemimpin mereka. Bukan berarti di masa yang akan datang tidak
ada ancaman lain, tetapi mereka menduga para Strigoi ini membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk berkomplot lagi.

Tetapi aku tak bisa berhenti memikirkan daftar yang kulihat di terowongan
Spokane, daftar berisi nama-nama keluarga bangsawan sesuai jumlahnya.
Dan Isaiah pernah menyebut nama Dragomir. Dia tahu bahwa keluarga itu
hampir punah, dan kedengarannya dia senang sekali jika bisa menjadi orang
yang menghabisi mereka. Memang, sekarang dia sudah mati… tetapi apakah
di luar sana ada Strigoi lain yang berpikiran sama dengannya?

Aku menggeleng. Aku tidak bisa mengkhawatirkan soal itu. Tidak sekarang.
Aku masih harus memulihkan diri. Namun, aku pasti akan segera
menghadapinya.

Aku bahkan tidak yakin latihan kami masih dilakukan atau tidak, tetapi aku
tetap pergi ke ruang loker. Setelah berganti dengan pakaian olahraga, aku
menuju gedung olahraga dan menemukan Dimitri di ruang penyimpanan. Dia
sedang membaca novel Western kesukaannya. Dimitri mendongak saat aku
masuk. Aku jarang bertemu dengannya beberapa hari terakhir ini, dan
menduga dia sedang sibuk bersama Tasha.

“Sudah kuduga kau akan datang,” kata Dimitri sambil meletakkan pembatas
buku di antara dua halaman.

“Saatnya latihan.”

Dimitri menggeleng. “Tidak. Hari ini tak ada latihan. Kau masih harus
memulihkan diri.”

“Aku memiliki catatan kesehatan yang bersih. Aku siap berlatih.” Sebisa
mungkin aku mengatakannya dengan gaya nekat khas Rose Hathaway.

Dimitri sama sekali tidak percaya. Dia menunjuk kursi di sebelahnya.


“Duduklah, Rose.”

Aku hanya ragu sebentar sebelum akhirnya menuruti permintaannya. Dimitri


menggeser kursinya sendiri sehingga lebih dekat dengan kursiku dan kami
duduk berhadap-hadapan. Jantungku bergetar saat menatap mata gelap
Dimitri yang indah.

“Tidak ada orang yang sanggup menghadapi pembunuhan pertamanya… dua


pembunuhan pertama… dengan mudah. Bahkan dengan Strigoi pun… yah,
secara teknis masih disebut mengambil nyawa. Hal itu sangat sulit untuk
dihadapi. Dan dengan segala hal lain yang sudah kaulalui…” Dimitri mendesah,
lalu mengulurkan tangan, meraih tanganku. Jemarinya terasa persis seperti
yang kuingat, panjang dan kuat, kapalan akibat latihan bertahun-tahun. “Saat
aku melihat wajahmu… saat kami menemukanmu di dalam rumah itu… kau tak
bisa membayangkan apa yang kurasakan.”

Aku menelan ludah. “Apa… apa yang kaurasakan?”

“Putus asa… sedih. Kau memang masih hidup, tapi jika melihat
penampilanmu… kusangka kau takkan pulih lagi. Dan aku merasa terpukul
saat memikirkan semua itu terjadi padamu dalam usia semuda ini.” Dimitri
meremas tanganku. “Kau pasti akan pulih―aku tahu itu, dan aku lega
karenanya. Tapi kau belum mencapai titik itu. Belum. Kehilangan orang yang
kausayangi memang tidak pernah mudah.”
Tatapanku beralih dari mata Dimitri dan menekuni lantai. “Ini salahku,” kataku
pelan.

“Hmm?”

“Mason. Terbunuh.”

Aku tidak perlu menatap wajah Dimitri untuk melihat perasaan sayang yang
terpancar darinya. “Oh, Roza. Tidak. Kau memang membuat beberapa
keputusan yang salah… seharusnya kau memberitahu orang lain saat Mason
menghilang… tapi kau tak boleh menyalahkan diri sendiri. Kau tidak
membunuh Mason.”

Air mataku sudah tergenang saat aku mendongak lagi. “Bisa dibilang aku
membunuhnya. Alasan Mason pergi ke tempat itu―itu salahku. Kami
bertengkar… dan aku memberitahunya soal Spokane, meski kau sudah
menyuruhku merahasiakannya….”

Sebutir air mata menetes dari sudut mataku. Aku sungguh-sungguh harus
belajar menghentikannya. Seperti yang dilakukan ibuku, Dimitri mengusap air
mata dari pipiku dengan lembut.

“Kau tak boleh menyalahkan diri,” kata Dimitri. “Kau boleh menyesali
keputusanmu dan berharap melakukan semuanya dengan cara berbeda, tapi
pada akhirnya, Mason sendiri yang memutuskan. Itu pilihannya. Pada akhirnya
itu keputusan Mason, apa pun peran awalmu.” Saat Mason kembali untuk
menyelamatkanku, aku tersadar, dia sudah membiarkan dirinya dipengaruhi
perasaannya padaku. Itulah yang selama ini selalu dikhawatirkan oleh Dimitri.
Dia selalu khawatir jika kami memiliki hubungan semacam itu, hal itu akan
menyebabkan kami―dan Moroi mana pun yang kami lindungi―berada dalam
bahaya.

“Aku hanya berharap aku bisa… entahlah, melakukan sesuatu….”

Aku menahan air mata, menarik tanganku dari genggaman Dimitri, lalu berdiri
sebelum mengatakan sesuatu yang bodoh.

“Sebaiknya aku pergi,” kataku serak. “Kabari aku kalau kau ingin memulai
latihannya lagi. Dan terima kasih untuk… obrolannya.”

Aku hendak berbalik, lalu mendengar Dimitri tiba-tiba berkata, “Tidak.”


Aku meliriknya lagi. “Apa?”

Dimitri menatapku, dan ada sesuatu yang terasa hangat, mengagumkan, dan
sangat kuat yang terpancar di antara kami.

“Tidak,” ulangnya. “Aku menolaknya. Tasha.”

“Aku…” Aku menutup mulut sebelum rahangku menyentuh lantai. “Tapi…


kenapa? Itu kesempatan yang hanya datang sekali seumur hidup. Kau bisa
memiliki anak. Dan dia… Tasha, kau tahu kan, dia menyukaimu….”

Sisa-sisa senyum melintasi wajah Dimitri. “Ya, memang. Sekarang pun masih.
Dan karena itulah aku terpaksa menolaknya. Aku tidak bisa membalas
perasaannya… tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya. Tidak di saat…”
Dimitri maju beberapa langkah untuk menghampiriku. “Tidak di saat hatiku
ada di tempat lain.”

Aku hampir menangis lagi. “Tapi kelihatannya kau sangat menyukai Tasha.
Dan kau sering mengatakan betapa tidak dewasanya sikapku.”

“Kau bersikap tidak dewasa,” kata Dimitri, “karena kau memang masih muda.


Tapi kau tahu banyak hal, Roza. Hal-hal yang bahkan tidak diketahui oleh
orang-orang yang lebih tua darimu. Pada hari itu…” Aku langsung tahu hari
mana yang dimaksud oleh Dimitri. Hari ketika dia menyudutkanku di dinding
ruang latihan dan aku menciumnya. “Kau memang benar, soal aku yang selalu
berusaha mengendalikan diri. Belum pernah ada orang yang menyadari hal
itu―dan itu membuatku takut. Kau membuatku takut.”

“Kenapa? Kau tak mau ada orang lain yang mengetahuinya?”

Dimitri mengangkat bahu. “Soal mereka tahu atau tidak, sama sekali bukan
masalah. Yang menjadi masalah adalah saat ada seseorang―yaitu kau―yang
mengenalku sebaik itu. Rasanya sulit saat ada orang yang bisa melihat ke
dalam jiwamu. Hal itu memaksamu untuk terbuka. Rapuh. Jauh lebih mudah
untuk menghabiskan waktu bersama orang yang lebih tepat dikatakan
sebagai teman dekat.”

“Seperti Tasha.”

“Tasha Ozera wanita yang mengagumkan. Dia cantik dan pemberani. Tapi dia
tidak―”
“Dia tidak memahami dirimu,” aku menyelesaikan ucapannya.

Dimitri mengangguk. “Aku tahu itu. Tapi aku masih ingin menjalin hubungan.
Aku tahu menjalin hubungan dengan Tasha mudah untuk dilakukan, dan dia
bisa menjauhkanku darimu. Kupikir dia bisa membuatku melupakanmu.”

Aku juga berpikir seperti itu mengenai Mason. “Tapi dia tidak bisa
melakukannya.”

“Ya. Dan, itulah… masalahnya.”

“Karena kita tidak bisa bersama.”

“Ya.”

“Karena perbedaan usia di antara kita.”

“Ya.”

“Tapi yang paling utama adalah karena kita akan menjadi pengawal Lissa, dan
harus memusatkan perhatian padanya―bukan satu sama lain.”

“Ya.”

Aku memikirkannya sejenak, lalu menatap mata Dimitri lekat-lekat. “Begini,”


akhirnya aku berkata, “kalau dari sudut pandangku, kita belum menjadi
pengawal Lissa.”

Tubuhku membeku saat menunggu tanggapan Dimitri selanjutnya. Aku tahu


jawabannya pasti salah satu nasihat hidup ala Zen lagi. Sesuatu mengenai
kekuatan batin dan kegigihan, bahwa pilihan yang kita buat hari ini merupakan
gambaran masa depan, atau omong kosong lainnya.

Alih-alih, Dimitri menciumku.

Waktu seakan berhenti saat Dimitri mengulurkan dan menangkupkan kedua


tangan pada wajahku. Dia menurunkan mulut dan menyapukannya pada
bibirku. Awalnya sentuhan itu tak bisa disebut sebagai ciuman, tetapi
kemudian meningkat dengan cepat hingga semakin dalam dan kuat. Saat
Dimitri akhirnya menarik diri, dan mencium keningku. Dimitri membiarkan
bibirnya tetap berada di sana selama beberapa saat, dan lengannya memeluk
tubuhku dengan erat.
Aku berharap ciuman itu akan berlangsung selamanya. Saat melepas
rangkulannya, Dimitri menyapukan jemari pada rambutku dan terus turun ke
pipi. Kemudian dia mundur menuju pintu.

“Sampai nanti, Roza.”

“Pada latihan kita berikutnya?” tanyaku. “Kita akan memulainya lagi, kan?


Maksudku, masih banyak yang harus kauajarkan padaku.”

Seraya berdiri di ambang pintu, Dimitri menoleh padaku dan tersenyum. “Ya.
Sangat banyak.”

Fiansyah Kinanda Santy

Wow keren tp q hrp ada season 3

Neng Wulan

wahhhhhh....dimitri nafsu amat :-D


Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou

\=D/ɑ̤̥̈̊Şε̲
̲ ǝǝǝє̲є̲к̲к̣ d'lanjut,, makasih bnyk yha min (ˆ‫ˆں‬ʃƪ)

Ningsih Wati

Hahhhhh leganya...Dimitri ohh Dimitri

Maricha Valencia

ini udah slesai?


Fitria Nurbarokah

Huft .. Novel ini emang keren dan bikin perasaanku campur aduk

Ika Rosana Dewi

Dimka oh dimka ahirnya ngaku juga haha


keren binget min, bikin aku jungkir balik bacana. . .sukur" d lanjut buku ke 3 n seterusnya pelan" jg g
papa hehe (ngarep banget)
tanggung mincan . . .
TOP BGT DEH =D
Nur Solehah

penasaran buku ketiga,,,, :'(

Isnasyaif

plz lanjt bku3x dung ngrep bgt

Hanji Zoe

ohhh.. akhirnya.. lanjut dong bku 3 nya.. *ngarep*

Rizky Handayani
Min.. Ngaret jga gag papa min,, asal d lnjut aj.. Oiya min cara mesen buku VA ke 3 scara online
gmana?

Yulia Nurjanah

pengen buku ke 3 nya dong ><

Aam Uminya SyifaIrsyad

pu2s sudh hrapan ku bca novel ke 3 dsni #krn q tau itu mustahal y min, secra buku y tebel pke bgt

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia


banget -_-

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

coba di bukabuku.com

Aam Uminya SyifaIrsyad

berapa ratus??? #jgn bilang ratusan y ntr jdi ky iklan tanggo wkwkwk .. min kau beli bku k 3 hrg
berapa?

Vina Maulida R
min ini udah ada DVD nya blum ya ??

Devina Ferling

min thank you yaaa, btw aku udh berburu di dunia maya nyari ebook nya (heheu gamau rugi yah) dan
udah dapet VA 3 sampe 5 dan itupun ebooknya yg ga full khususnya yg berbahasa Indonesia,klo yg
bahasa Inggris sih lengkap. Jadi agak aneh jg sih setengah buku baca yg bhs Indo, sisanya buka
ebook yg bhs Inggris, dan ceritanya makin gila bikin ketagihan hehe. Well, untuk yg frostbite itu
susahhhh bgt nyari ebooknya, jd postingan mimin amat sgt berguna bgt, skali lg makasih ya miiin :D
*yg mau ebooknya bs message-in email kalian ke aku ya,ntar aku share filenya.

Vally

aku mau dong VA 3 SAMPE 6nya emailnya: sciencevava@gmail.com


Vally

lanjut dong season 3 nya VA keren gila

Rara Ayu Amalia

aku mau dong.. amaliarara89@gmail.com makasih ya sebelumnya :)

Devina Ferling

Cek email ya :D
Rizqi Ika Fitriana

aku jg ya..
rizqi.ika.fitriana@gmail.com

Anasthasya Ayoenda

minta filenya jg ya ..
anastayoenda@gmail.com.. Thanks ya

Devina Ferling
silahkan cek email :)

Kanekhan Syah

Aq mau juga
Sdeietcha@yahoo.com

Lusiana Gusfi

aku juga dong :)


gogoncumin@yahoo.co.Id

Devina Ferling

sudah yaa,di cek emailnya :)


Devina Ferling

untuk yang emialnya gogoncumin@yahoo.co.id kok failed mulu ya, ada email lain kah?

Siti Fachriah

Aku jg dong
siti_fachriah@yahoo.co.id
makasih :)

Imelda Lukitasari
Aq mau dong Lukitasarii@gmail.com. Teng Kyu

Devina Ferling

Maaf baru baca, udah aku email barusan ya, silahkan di cek :)

Allail Muhawwi

aq jg mau dong.. Tlg d email ya..


Allail.muhawwi@gmail.com

Erna Watie

Q jg,blh mnta ga ebook ny.


Email : erna_e123@yahoo.com
mksh sblm ny :-)
Realita Asha Septiana

Fiuhh akhirnya selesai jg bca dri VA 1 ampe VA 2, hehe maaf ya min baru komen :D Thanks a lot buat
mimin yg udah ngepost ini semua, kalo bisa request VA 3'a jg ya min wkw tp ktanya tebel ya,
yasudahlah gpp, makasih mimin ^^

Fida Nisa

kak devi q mau dong


fidanisa78@yahoo.co.id
sebelumnya makasih kak
Hernita Sari Pratiwi

aku juga mau dong ka, maaf juga ya ikutan nimbrung hehe :P
emailku saripnita@gmail.com

Devina Ferling

Done, cek email ya teman-teman :)

Devina Ferling

Khusus fidanisa78@yahoo.co.id, ada email yg lain?2x aku send failed terus nih :)
Elza Juliani

Kakak, aku jg mauu dong e-booknya :) kirim ya di felicia_elza@yahoo.com ᵗʰᵃᶰᵏᵧₒᵤ (•̪ ▿ •̪)~♥

Devina Ferling

cek email ya :)

Amrih Rahayuni Samkhah

kak devina aku juga mau dong ebooknya. ini emailku amrihrahayuni@rocketmail.com :)
Vera Intani Dewi

Aku jg mau dong kak? :-)


Ini email-ku :
vhee_rara79@yahoo.com
makasih sebelumnya :-)

Eva Wati

suka suka suka suka suka

Choirunnisa Prisanti

devina, aku mau ebook nya dong kirim ke email icha.prisanti@yahoo.com makasi yaa sebelumnya :)
Risa Soraya

aku juga mw donk seluruh file nya VA,, tlg yah kak ke risa.soraya89@gmail.com,,mksh

Cahyaningsih

Maaf telat
Tp aq 5sih blh mnta VA'nya gak kak
nie email qu
cahyaningsih60@yahoo.Com
Sebelumnya terima kasih
Indri Andiniarti

salam kenal devina, aku juga mau dong ebooknya, minta tolong kirim ke sherrynoconan@yahoo.com
ya...terima kasih

Sella Meilina

salam kenal kak devina . boleh ga aku minta ebooknya VA yg 3 . kalo boleh kirim ke email aku yang ini
sella.meilina@gmail.com . makasih sebelumnyaaa :)

Anis Novitasari

Kakak, aku juga mau dong e-booknya :) . Ini emailku sari.novieta50@yahoo.com


Audrey Viansa

Kak devina aku juga mau dong ebooknya pliiisss. email ke sherinamevianshaa@yahoo.com makasih
kaakk :)

Apriel Q

hai Devina salam kenal maaf telat bnget boleh mnta ebooknya VA3nya yaa ini emailku
aprielq@yahoo.co.id makasih....

Dewi Destiani Heryanto


ak juga mau ya devina :)
dewidestiani@gmail.com
trims :)

Devina Ferling

waaah banyak bgt ternyata yg mau di email yaa, maafkan baru baca skrg, yg message lgsg jg
banyaaak. Insyaallah bsk diemail ya :D

Khoirotun Nikmah

Hai devina, aku mau juga dong ebooknya.


Tolong kirim ke email ini yah imaaimooy@gmail.com
terima kasih :)
Ika Nur Afiyah

hallo devina... wah ini bnyak yg minta... aku juga mint yaaa... meskipun telat,, hehe
email ku ikanurafiyah29@gmail.com

Schaar

Aku juga! :D boleh ya ...


Aprodith_archer@yahoo.com.

Thanks :)
Devina Ferling

udah aku email semua ya teman-teman, bagi yg blm nerima tlg email ulang. Makasih :)

Hanny Eva

Salam kenal devina :)mau ebooknya juga ya, minta tolong kirimin ke hannyeva2011@gmail.com
Makasih :D

Devina Ferling

cek email yaa :)


Suci Lestari

Kak, aku mau juga dong, emailku: sucilestari5sos@gmail.com Makasih sebelumnyaa :)

Devina Ferling

maaf baru cek FB, udah aku email ya suci :)

Aritatus Syamsiyah

salam kenal devina


minta linknya juga
aritatussyamsiyah@gmail.com
terima kasih
Riska Citra

hai devina, salam kenal ya. aku kuga minta ya ebook nya VA. Citrariskaasri@gmail.com makasih :)

Rizky Handayani

ka aku mau jga dong.. .putririqkyhandayani@gmail.com makasih ka

Astii Asti
Astikurnia2.aa@gmail.com

Aku juga mau ya ka, mkasihhh bangeyyy

Suci

hei aku pngen ebooknya jg dong... punya yg frostbite jg ga? kl boleh tlg kirim ke
ilovemyself089@gmail.com ya. thanks so much ya....

Reza Mevia

ka aku mau juga dong VA 3-6 klau bleh, ni kak emailnya rezartameviaj@gmail.com
Asry Lestari

hey aku jga mau dong, ini email aku asrylestari9@gmail.com mkasih yaaah

Haniyyah Muthmainnah

kak Devina aku juga mau dong, tolong ya kak kirim ke email haniyyah.14@gmail.com pleaseee

Devina Ferling

maaf baru buka FB, udah aku email ya semuanya :)


Laila

mau donk kak afrahlaila@gmail.com

Clarissa Euranike

Mbak masih bisa minta ebooknya gk? Kalau masih bisa minta tolong dikirim ke
clarissaeuranike@gmail.com makasih ya mbak.

Desi Dedes
Min mau lanjutannya donk. Penah baca pdf nya si tapi cuma setengah. Btw, novel nya keren tp film
nya jelek. Kaku banget. Thnks min

Write a comment...

Anda mungkin juga menyukai