Ada sebuah ras vampir yang bisa dikatakan sebagai mayat hidup. Mereka
disebut dengan Strigoi, dan jika kau belum pernah bermimpi buruk tentang
mereka, kau akan segera mendapatkannya. Strigoi sangat kuat, cepat, dan
sanggup membunuh tanpa ragu sedikit pun. Mereka juga makhluk
abadi―yang menyebabkan mereka sulit untuk dibantai. Hanya ada tiga cara
membunuh Strigoi: menusuk jantung mereka dengan pasak perak,
memenggal kepala mereka, dan membakar tubuh mereka. Semua itu tidak
mudah untuk dilaksanakan, tetapi setidaknya lebih baik daripada tidak
memiliki pilihan sama sekali.
Di dunia ini juga ada vampir yang baik. Vampir jenis ini disebut dengan Moroi.
Mereka masih hidup dan memiliki kekuatan keren yang mampu
mengendalikan salah satu dari empat elemen―tanah, udara, air, dan api.
(Yah, sebagian besar Moroi bisa melakukannya―tetapi aku akan menjelaskan
beberapa pengecualian nanti). Mereka sudah tidak terlalu sering
menggunakan sihir, dan itu sebenarnya sangat menyedihkan. Sihir mereka
bisa menjadi senjata yang hebat, tetapi kaum Moroi berkukuh bahwa sihir
harus digunakan untuk tujuan damai. Ini salah satu aturan paling penting yang
berlaku di dalam lingkungan mereka. Umumnya, Moroi bertubuh tinggi dan
langsing, dan mereka tidak tahan terhadap sinar matahari berlebihan. Namun,
mereka juga memiliki indra yang kuat sebagai gantinya, yaitu penglihatan,
penciuman, dan pendengaran.
Kedua jenis vampir itu sama-sama membutuhkan darah. Kurasa karena itulah
mereka dinamakan vampir. Namun, Moroi tidak membunuh demi
mendapatkan darah. Alih-alih membunuh, Moroi memelihara manusia yang
bersedia memberikan sedikit darah mereka secara sukarela. Manusia itu
melakukannya dengan sukarela karena gigitan vampir mengandung hormon
endorfin yang membuat mereka merasa sangat nyaman dan bisa
menyebabkan ketagihan. Aku mengetahuinya dari pengalaman pribadi.
Manusia ini disebut donor, dan mereka benar-benar pecandu gigitan vampir.
Meski begitu, memelihara para donor jauh lebih baik daripada cara yang
dilakukan Strigoi untuk mendapatkan darah. Karena, seperti yang sudah bisa
kauduga, Strigoi membunuh demi mendapatkan darah. Kurasa mereka
memang suka membunuh. Jika Moroi tidak sengaja membunuh seseorang
saat sedang meminum darahnya, maka orang itu akan berubah menjadi
Strigoi. Ada beberapa Moroi yang memang sengaja melakukannya,
mengorbankan sihir dan moral yang mereka miliki demi mendapatkan hidup
abadi. Strigoi juga bisa diciptakan dengan paksa. Jika Strigoi meminum darah
seorang korban dan menyuruh orang itu meminum darah Strigoi, nah… akan
muncul Strigoi baru. Hal ini bisa terjadi pada siapa pun. Moroi, manusia,
maupun… dhampir.
Dhampir.
Aku mencurahkan hidup untuk melindungi Moroi dari serangan Strigoi. Aku
mengikuti berbagai rangkaian kelas dan latihan di Akademi St. Vladimir,
sekolah swasta bagi kaum Moroi dan dhampir. Aku tahu cara menggunakan
berbagai macam senjata dan sanggup memberikan tendangan mematikan.
Aku pernah mengalahkan beberapa cowok yang tubuhnya dua kali lipat lebih
besar daripada aku―baik di dalam maupun di luar kelas. Dan memang,
cowok-lah yang sering kukalahkan, karena di kelasku hanya ada sedikit cewek.
Meskipun dhampir mewarisi semua sifat baik, ada satu hal yang tidak kami
dapatkan. Dhampir tidak bisa memiliki anak bersama dhampir lainnya. Jangan
tanya alasannya. Aku kan bukan ahli genetis atau semacamnya. Sementara
itu, perkawinan antara manusia dan Moroi selalu menghasilkan dhampir baru,
memang begitulah awalnya kami diciptakan. Namun, akhir-akhir ini hal itu
sudah jarang terjadi. Kaum Moroi cenderung menjauhi manusia. Meski
demikian, melalui keanehan genetis lainnya, pencampuran Moroi
dan dhampir akan menghasilkan anak-anak dhampir. Aku tahu, aku tahu,
kedengarannya memang gila. Kau pasti berpikir, dengan pencampuran seperti
itu kami akan mendapatkan bayi yang tiga per empat vampir, ya kan? Salah.
Yang benar adalah, setengah manusia, setengah Moroi.
Akibatnya, hanya pria dan segelintir wanita yang tersisa untuk menjadi
pengawal. Namun, para dhampir yang memutuskan untuk melindungi Moroi
benar-benar bekerja dengan serius. Dhampir membutuhkan Moroi agar bisa
terus mendapatkan keturunan. Kami harus melindungi mereka. Lagi pula, hal
itu… yah, sesuatu yang mulia untuk dilakukan. Strigoi adalah makhluk jahat.
Moroi harus dilindungi. Para pengawal meyakini hal ini. Aku pun meyakininya.
Selain itu, ada seorang Moroi yang benar-benar ingin kulindungi melebihi siapa
pun di dunia: sahabatku, Lissa. Lissa adalah putri Moroi. Kaum Moroi memiliki
dua belas keluarga bangsawan, dan Lissa orang terakhir yang tersisa dalam
keluarganya―keluarga Dragomir. Namun, ada hal lain yang membuat Lissa
istimewa, selain kenyataan dia adalah sahabatku.
Ingat saat tadi kubilang setiap Moroi bisa mengendalikan salah satu dari
empat elemen? Nah, Lissa ternyata sanggup mengendalikan elemen yang
hingga baru-baru ini tidak disadari keberadaannya, yaitu roh. Selama bertahun-
tahun, kami beranggapan Lissa tidak akan pernah bisa mengembangkan
kemampuan sihirnya. Kemudian, ada beberapa hal aneh yang mulai terjadi di
sekelilingnya. Contohnya, semua vampir memiliki kemampuan yang disebut
kompulsi. Kemampuan ini membuat mereka sanggup memaksakan kehendak
pada orang lain. Kemampuan ini sangat kuat pada Strigoi, tetapi lemah pada
Moroi. Dan terlarang. Namun, kemampuan Lissa dalam hal ini hampir sama
kuat dengan kemampuan Strigoi. Lissa hanya perlu mengedipkan mata dan
orang-orang akan melakukan apa pun yang dimintanya.
Namun, Lissa bisa melakukan hal lain yang bahkan lebih keren lagi.
Tadi di awal kukatakan bahwa mereka yang mati tidak selamanya mati. Nah,
contohnya aku. Jangan takut―aku tidak sama dengan Strigoi. Tapi aku
memang pernah mati. (Aku tidak menyarankanmu untuk melakukannya.)
Semua itu terjadi saat mobil yang sedang kutumpangi tergelincir, hingga
keluar dari jalan. Kecelakaan itu membunuhku, orangtua Lissa, dan kakak
lelakinya. Namun, di tengah kekacauan ini―tanpa menyadarinya―Lissa
menggunakan roh untuk menghidupkan aku lagi. Kami baru menyadari itu
setelah kejadiannya lama berlalu. Bahkan, kami sama sekali tidak tahu bahwa
roh seperti itu memang ada.
Sayangnya, ternyata ada seseorang yang mengetahui keberadaan roh ini
sebelum kami menyadarinya. Victor Dashkov, seorang pangeran Moroi yang
sedang sekarat, mengetahui soal kekuatan Lissa, dan dia memutuskan untuk
mengurung Lissa dengan tujuan menjadikan sahabatku itu sebagai
penyembuh pribadinya―seumur hidup. Saat menyadari ada orang yang
menguntit Lissa, aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini sendiri.
Aku mengajak Lissa kabur dari sekolah dan tinggal di antara manusia. Selalu
berada dalam pelarian terasa sangat menyenangkan―tetapi agak
mendebarkan juga. Kami berhasil melakukannya selama dua tahun, hingga
akhirnya pihak berwenang St. Vladimir memburu dan menyeret kami kembali
ke sekolah beberapa bulan yang lalu.
Pada saat itulah Victor memulai gerakannya. Pria itu menculik dan menyiksa
Lissa hingga menuruti kehendaknya. Selain itu, Victor juga melakukan
beberapa tindakan nekat―salah satunya adalah mengendalikan aku dan
Dimitri, mentorku, dengan mantra kompulsi gairah. (Akan kubalas dia nanti).
Victor juga memanfaatkan pengaruh roh yang membuat mental Lissa mulai
tidak stabil. Namun, hal itu tetap tidak seburuk perlakuannya pada anak
perempuannya, Natalie. Victor bahkan tega membujuk Natalie untuk berubah
jadi Strigoi demi membantunya melarikan diri. Natalie akhirnya mati ditusuk.
Bahkan setelah tertangkap, Victor sepertinya tidak menyesali perbuatannya
pada anak perempuannya itu. Hal itu sedikit banyak membuatku tidak
menyesali kenyataan bahwa aku tumbuh tanpa seorang ayah.
Sementara itu, aku berusaha menjadi pengawal terbaik. Melarikan diri dari
Akademi membuatku ketinggalan pelajaran, jadi aku terpaksa mengambil
kelas tambahan untuk menggantikan waktu yang terbuang. Tak ada apa pun
di dunia ini yang kuinginkan selain melindungi Lissa. Sayangnya, ada satu atau
dua hal yang membuat latihanku kadang terasa rumit. Salah satunya adalah,
aku sering kali bereaksi tanpa berpikir. Aku semakin lihai dalam menghindari
masalah ini, tetapi saat ada yang memancing amarahku, aku cenderung
memukul dulu baru mencari tahu siapa yang kupukul tadi. Jika orang-orang
yang kusayangi berada dalam bahaya… yah, peraturan sepertinya bisa
dikompromikan.
Masalahku yang lain adalah Dimitri. Dimitri-lah yang membunuh Natalie, dan
dia benar-benar jagoan. Dia juga lumayan tampan. Oke―lebih dari sekadar
tampan. Dimitri sangat seksi―jenis seksi yang bisa membuatmu berhenti di
tengah jalan dan tertabrak mobil. Tetapi, seperti yang tadi kukatakan, dia
instrukturku. Dan umurnya dua puluh empat tahun. Kedua hal tersebut
menjadi alasan aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Tetapi sejujurnya, alasan
yang paling penting adalah suatu hari nanti kami berdua akan menjadi
pengawal Lissa setelah lulus dari Akademi. Jika Dimitri dan aku saling
memperhatikan, kami tidak akan mengawasi Lissa.
Aku belum beruntung dalam usahaku melupakan Dimitri, dan aku cukup yakin
dia juga merasakan hal yang sama tentang diriku. Sebenarnya, semua ini
terasa sangat berat karena aku dan Dimitri sempat sangat intim saat kami
berdua terkena mantra kompulsi gairah. Victor bermaksud mengalihkan
perhatian kami saat menculik Lissa, dan usahanya berhasil. Aku sudah siap
menyerahkan keperawananku, dan Dimitri sudah siap menerimanya. Pada
menit-menit terakhir, kami berhasil melepaskan diri dari mantra itu, tetapi
kenangan tentang saat itu akan terus berada di dalam pikiranku, dan kadang
hal itu membuatku sulit memusatkan pikiran saat melakukan gerakan bela
diri.
Oh ya, namaku Rose Hathaway. Umurku tujuh belas tahun, aku dilatih untuk
melindungi dan membunuh vampir. Aku sedang jatuh cinta pada cowok yang
benar-benar terlarang untukku, dan aku memiliki sahabat yang memiliki
kekuatan sihir aneh yang bisa membuatnya gila.
Hei, tak ada yang bilang masa-masa sekolah menengah itu mudah untuk
dijalan
Vampire Academy 2 (Bab 1)
SEMULA KUPIKIR TIDAK akan ada kejadian buruk lagi hari ini, sampai
sahabatku berkata bahwa dia mungkin akan menjadi gila. Lagi.
Aku berdiri di lobi asrama Lissa, membungkuk untuk memasang sepatu bot.
Seraya mendongak, aku menatap Lissa melalui helaian rambut berwarna
gelap yang menutupi sebagian wajahku. Sepulang sekolah aku ketiduran dan
tidak sempat menyisir rambut supaya bisa pergi tepat waktu. Tentu saja,
rambut Lissa yang berwarna pirang platina selalu terlihat halus dan sempurna,
menggantung di pundaknya bagaikan kerudung pengantin. Dia
memperhatikanku dengan wajah geli.
“Aku tadi bilang sepertinya pil yang kuminum tidak berfungsi sebaik dulu.”
Lissa tertawa, dia tidak menanggapi masalah ini seserius aku. “Kau seperti
habis membaca buku-buku teks ilmu kejiwaan.”
Usahanya untuk mengalihkan topik pembicaraan berhasil. Satu jam yang lalu
aku baru tahu bahwa aku harus menjalani Kualifikasi hari ini―terima kasih
sudah diberitahu, Teman-Teman. Kualifikasi adalah ujian―atau lebih tepat
disebut wawancara―yang wajib dilaksanakan oleh semua pengawal novis
selama tahun pertamanya di Akademi St. Vladimir. Tahun lalu aku tidak ikut
ujian karena kabur untuk menyembunyikan Lissa. Hari ini aku akan menemui
pengawal yang akan mengujiku di suatu tempat di luar kampus.
“Jangan cemaskan aku,” ulang Lissa sambil tersenyum. “Aku akan bilang
kalau keadaannya memburuk.”
Tetapi untuk berjaga-jaga, aku membuka semua indra dan membiarkan diri
benar-benar merasakan Lissa melalui ikatan batin kami. Lissa mengatakan
yang sebenarnya. Pagi ini dia merasa tenang dan bahagia, tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Namun, jauh di dasar benaknya, aku bisa merasakan
adanya gumpalan perasaan yang gelap dan gelisah. Perasaan itu tidak
mengancam, tetapi hampir mirip serangan depresi dan amarah yang dulu
sering terjadi padanya. Memang hanya sedikit, tetapi aku tidak suka. Aku tidak
menginginkan kehadiran emosi itu sedikit pun. Aku berusaha semakin dalam
menyelami pikirannya agar bisa merasakan emosinya dengan lebih baik, dan
tiba-tiba aku mengalami perasaan disentuh yang janggal. Perasaan mual
mencengkamku, lalu aku tersentak keluar dari kepala Lissa. Tubuhku agak
menggigil.
“Kau baik-baik saja?” tanya Lissa dengan kening berkerut. “Kau tiba-tiba
kelihatan seperti mau muntah.”
“Aku hanya… gugup menghadapi ujian,” aku berbohong. Dengan ragu aku
kembali mencoba menjangkau Lissa melalui ikatan batin. Kegelapan itu sudah
menghilang sepenuhnya. Tak ada jejak yang tersisa. Mungkin memang tak
ada yang salah dengan pilnya. “Aku baik-baik saja.”
Lissa menuding jam dinding. “Kau takkan baik-baik saja kalau tidak lekas
pergi.”
Aku bergegas melintasi kampus dan melihat mentorku, Dimitri Belikov, sudah
menungguku di samping mobil Honda Pilot. Sangat membosankan. Kurasa
aku memang tak bisa berharap menyusuri jalan pegunungan Montana dalam
sebuah Porsche, tetapi rasanya akan lebih menyenangkan jika bisa menaiki
mobil yang lebih keren daripada ini.
“Aku tahu, aku tahu,” kataku, melihat tatapannya. “Maaf, aku terlambat.”
Tiba-tiba aku teringat harus mengikuti salah satu ujian paling penting dalam
hidupku, dan segala persoalan tentang Lissa dan pilnya yang mungkin sudah
tidak berfungsi sebaik dulu langsung terlupakan. Aku ingin melindungi Lissa,
tetapi semua itu takkan ada artinya jika aku tidak lulus sekolah menengah dan
menjadi pengawalnya secara resmi.
Suasana hatiku langsung melonjak dari “ceria” ke “bahagia”. Aku dan Dimitri.
Berdua saja. Di dalam mobil. Mungkin semua ini memang sepadan dengan
ujian mendadak.
“Lima jam.”
“Oh.”
Sedikit lebih cepat dari yang kuharapkan. Namun, lima jam tetap lebih baik
daripada tidak sama sekali. Dan masih ada kemungkinan terdampar di
gundukan salju.
Jalanan bersalju yang suram mungkin akan sulit dilalui manusia biasa, tetapi
kondisi itu bukan masalah bagi mata dhampir kami. Aku memandang lurus ke
depan, berusaha tidak memikirkan aroma tajam segar aftershave Dimitri yang
memenuhi mobil sehingga membuatku seakan ingin meleleh. Alih-alih, aku
berusaha memusatkan pikiran pada Kualifikasi.
Ini bukan sesuatu yang bisa kaupelajari. Kau hanya punya satu pilihan, lulus
atau tidak. Para pengawal kelas atas mengunjungi novis yang sedang
menjalani tahun pertama, lalu bertemu muka secara individu dan membahas
komitmen si murid untuk menjadi pengawal. Aku tidak tahu apa tepatnya yang
mereka tanyakan, tetapi selalu ada kabar burung yang beredar. Para pengawal
yang lebih tua menilai karakter dan dedikasi, dan biasanya ada beberapa novis
yang dinilai tidak memadai untuk melanjutkan karier sebagai pengawal.
“Arthur Schoenberg.”
“Apa?” jeritku.
Aku bisa melihat Dimitri berusaha menahan senyum. “Kau akan baik-baik saja.
Lagi pula, kalau Art memberikan persetujuannya untukmu, kau akan
mendapatkan rekomendasi hebat dalam catatan nilaimu.”
Art. Dimitri memanggil pengawal paling jagoan dengan nama depannya. Tentu
saja, Dimitri sendiri juga jagoan, jadi seharusnya aku tidak perlu kaget
mendengarnya.
“Kau akan baik-baik saja,” ulang Dimitri. “Catatanmu lebih banyak bagusnya
daripada buruknya.”
“Kau tahu apa yang akan sangat membantuku?” tanyaku tanpa menatapnya.
“Hmm?”
“Kalau kau mematikan musik payah ini, dan memasang sesuatu yang direkam
setelah tembok Berlin dihancurkan.”
Dimitri tertawa. “Kau paling payah dalam kelas sejarah, tapi entah kenapa tahu
semua hal tentang Eropa Timur.”
Aku tahu Dimitri hampir tidak sanggup lagi menahan tawa. “Pilih saja. Yang ini
atau yang tadi.”
***
Arthur dan keluarga yang dilindunginya tinggal di sebuah kota kecil yang
terbentang di sepanjang jalan bebas hambatan I-90, tidak terlalu jauh dari
Billings. Opini sebagian besar Moroi mengenai tempat tinggal terbelah dua.
Ada yang berpendapat kota besar merupakan tempat terbaik karena
memudahkan para vampir untuk berbaur dalam kerumunan, dan aktivitas
malam hari tidak akan terlalu mencolok. Moroi lainnya, seperti keluarga ini,
lebih memilih kota berpenduduk kecil. Mereka percaya semakin sedikit orang
yang menyadari keberadaanmu, semakin kecil kemungkinan untuk
diperhatikan.
Di tengah jalan aku berhasil meyakinkan Dimitri untuk mampir di sebuah kedai
yang buka 24 jam. Setelah itu, kami sempat berhenti untuk mengisi bensin,
dan tiba di tujuan sekitar tengah hari. Rumah yang kami datangi hanya satu
lantai, dibangun dengan gaya pedesaan dan dilengkapi dengan lis kayu kelabu
serta jendela-jendela besar yang menjorok ke luar―tentu saja dicat gelap
untuk menghalau sinar matahari. Rumahnya tampak baru dan mahal, dan
meskipun letaknya jauh dari mana-mana, rumah itu tetap sesuai dengan
bayanganku mengenai rumah keluarga bangsawan.
Aku melompat turun dari mobil, sepatu botku terbenam dalam salju lembut
setebal tiga sentimeter lalu menginjak batu kerikil yang terdapat di pelataran
mobil. Udaranya tenang, meski angin sesekali berembus. Aku dan Dimitri
berjalan menuju rumah, menyusuri jalan setapak batu yang melintasi halaman
depan. Aku bisa melihat sikap Dimitri berubah menjadi serius, tetapi secara
keseluruhan masih terlihat sama bahagianya denganku. Selama perjalanan
yang menyenangkan tadi, kami berdua sama-sama mendapatkan kepuasan
yang diliputi perasaan bersalah.
Aku terpeleset di atas jalan setapak yang berselimut es, dan Dimitri langsung
mengulurkan tangan untuk membantuku. Aku merasakan sedikit momen déjà
vu, teringat malam pertama kali kami bertemu―saat itu dia juga
menyelamatkanku dari kejadian serupa. Meski udara sangat dingin, tangan
Dimitri terasa hangat pada lenganku, bahkan dengan adanya berlapis-lapis
pakaian di balik mantelku.
“Yeah,” kataku sambil memelototi jalan setapak yang licin. “Apa orang-orang
ini tidak pernah mendengar soal garam?”
“Tapi ba―”
“Cepat.”
Hanya satu kata―tetapi sarat dengan kekuasaan. Satu kata itu langsung
mengingatkanku pada seorang pria yang sering kulihat melemparkan tubuh
orang lain dan menusuk Strigoi. Aku mundur, memilih berjalan di atas
halaman berselimut salju daripada mengambil risiko di atas jalan setapak
yang licin. Dimitri berdiri di tempat, tidak bergerak sedikit pun sampai aku
menyelinap masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya sepelan mungkin.
Kemudian, dengan sangat lembut, Dimitri mendorong pintu yang nyaris lepas
itu lalu menghilang ke dalam.
Terbakar rasa penasaran, aku menghitung sampai sepuluh lalu keluar dari
mobil.
Aku tahu seharusnya tidak mengejar Dimitri ke dalam rumah, tetapi aku harus
tahu apa yang terjadi di dalam. Jalan setapak dan pelataran mobil yang
terlantar menunjukkan bahwa rumah ini sudah tidak berpenghuni selama
beberapa hari terakhir. Meski sebenarnya bisa saja keluarga Badica ini tidak
pernah ke luar rumah. Mungkin saja mereka menjadi korban perampokan
biasa yang dilakukan manusia. Tetapi mungkin juga ada sesuatu yang
membuat mereka ketakutan―contohnya, Strigoi. Aku tahu kemungkinan itulah
yang membuat wajah Dimitri terlihat muram, tetapi rasanya itu tidak mungkin
dengan adanya Arthur Schoenberg.
Aku memutar ke samping kanan rumah, berjalan di atas salju yang jauh lebih
tebal―tingginya hampir 30 sentimeter. Aku tidak melihat ada yang janggal di
rumah ini. Butiran es bergelantungan dari atap, dan jendela yang dicat tidak
menampakkan apa-apa. Tiba-tiba kakiku menabrak sesuatu, dan aku
menunduk untuk melihatnya. Di kakiku terdapat sebuah pasak perak yang
setengah terkubur dalam salju. Pasak itu tertancap ke dalam tanah. Dengan
kening berkerut, aku memungutnya lalu membersihkan salju yang menempel
di sana. Kenapa ada pasak di sini? Pasak perak sangat berharga. Pasak perak
adalah senjata pengawal yang paling mematikan, sanggup membunuh Strigoi
hanya dengan satu tusukan menembus jantung. Saat senjata ini ditempa,
empat orang Moroi memantrainya dengan sihir yang berasal dari empat
elemen berbeda. Aku belum tahu cara menggunakannya, aku mendadak
merasa aman untuk melanjutkan pemeriksaan ini.
Ada sebuah pintu berukuran besar di bagian belakang rumah yang mengarah
ke teras dek kayu. Mungkin akan sangat menyenangkan bersantai di sana
pada musim panas. Tetapi kaca terasnya pecah, dan lubangnya cukup besar
untuk dimasuki dengan mudah. Aku mengendap-endap menaiki tangga
menuju dek, berhati-hari dengan es yang melapisinya. Aku sadar sepenuhnya
akan mendapat masalah besar kalau Dimitri sampai tahu apa yang kulakukan.
Meski udaranya dingin, keringat mengucur deras di leherku.
Ini siang hari, aku mengingatkan diri sendiri. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Aku tiba di teras dan mengamati kacanya yang gelap. Aku tidak yakin apa
yang membuatnya pecah. Di dalam, salju tertiup masuk dan menghasilkan
gundukan kecil pada karpet berwarna biru pucat. Aku menyentak gagang
pintunya, tetapi ternyata dikunci. Bukan berarti itu masalah, mengingat adanya
lubang di pintu. Seraya berhati-hati agar tidak terkena pinggirannya yang
tajam, aku mengulurkan tangan melalui lubang dan membuka gerendel pintu
dari dalam. Aku menarik tanganku lagi dengan sama hati-hatinya, dan
menggeser pintu sampai terbuka. Pintu itu mendesis di sepanjang alurnya,
bunyi pelan yang terdengar sangat nyaring di tengah kesunyian mencekam ini.
Aku melangkah masuk, lalu berdiri di bawah seberkas cahaya matahari yang
terpancar ke dalam dari pintu yang terbuka. Mataku segera menyesuaikan diri
dengan cahaya temaram di dalam ruangan. Angin berembus melalui teras
yang terbuka, menari bersama tirai di sekelilingku. Aku berada di ruang
keluarga. Ruangan ini dilengkapi dengan perabot standar. Sofa. Televisi.
Sebuah kursi goyang.
Itu mayat seorang wanita. Dia tergeletak di depan televisi, rambutnya tergerai
di lantai di sekelilingnya. Matanya menatap kosong, wajahnya pucat―terlalu
pucat untuk Moroi sekalipun. Sejenak kupikir rambut panjangnya menutupi
lehernya juga, sampai akhirnya aku sadar bahwa rona gelap yang terdapat
pada kulitnya itu darah―darah kering. Tenggorokannya sobek.
“Kenapa,” tanyanya, “kau tak pernah mendengarkan aku? Kau pasti mati
kalau mereka masih ada di sini.”
Aku tak bisa menjawab, tidak hanya karena tangannya membekapku, tetapi
juga karena aku sangat terguncang. Aku pernah melihat orang mati, tetapi
belum pernah yang sedahsyat ini. Setelah hampir satu menit, akhirnya Dimitri
melepaskan tangannya, tetapi tetap berada di belakangku. Aku tidak mau lagi
melihat pemandangan yang ada di hadapanku, namun sepertinya aku tak
sanggup memalingkan wajah. Di mana-mana ada mayat. Mayat dan darah.
Akhirnya aku menghadap Dimitri. “Sekarang siang hari,” bisikku. “Hal buruk
tidak terjadi di siang hari.” Suaraku terdengar putus asa, bagai gadis kecil
yang memohon agar diberitahu bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk.
“Hal buruk bisa terjadi kapan saja,” jawab Dimitri. “Dan ini tidak terjadi di siang
hari. Mungkin sudah dua malam yang lalu.”
Aku memberanikan diri mengintip mayat-mayat itu lagi dan perutku langsung
terasa melilit. Dua hari. Mati selama dua hari, kehidupanmu direnggut―tanpa
seorang pun di dunia ini yang menyadari kepergianmu. Mataku tertumbuk
pada mayat seorang pria yang terdapat di dekat pintu masuk ke arah selasar.
Pria itu tinggi, tubuhnya terlalu kekar untuk seorang Moroi. Dimitri pasti
menyadari arah pandanganku.
Aku memandangi leher Arthur yang berdarah. “Dia sudah mati,” ucapku,
seakan hal itu tidak terlihat dengan jelas. “Bagaimana mungkin dia mati?
Bagaimana mungkin ada Strigoi yang membunuh Arthur Schoenberg?” Ini
sepertinya mustahil. Kau tak bisa membunuh seorang legenda.
Semula tempat ini memiliki pertahanan, tetapi hancur berantakan saat ada
orang yang melemparkan pasak. Sihir keduanya saling melawan, dan pasak
yang menang.
“Strigoi tidak bisa menyentuh pasak,” kataku. Aku baru sadar banyak
menggunakan kata tidak dan tidak bisa. Tidak mudah rasanya keyakinanmu
ditantang habis-habisan seperti ini. “Dan tidak ada Moroi
ataupun dhampir yang tega melakukannya.”
Aku menatap mata Dimitri. “Manusia tidak membantu Strigoi―” aku berhenti.
Aku menyebutnya lagi. Tidak. Tetapi aku tak bisa menahannya. Satu-satunya
yang bisa kami andalkan dalam melawan Strigoi adalah keterbatasan
mereka―cahaya matahari, pertahanan, pasak sihir, dan lain-lain. Kami
memanfaatkan kelemahan mereka. Jika mereka memiliki
teman―manusia―yang bisa membantu mereka dan tidak terpengaruh oleh
keterbatasan tadi….
Wajah Dimitri terlihat tegang, masih terlihat siap menghadapi apa pun, tetapi
ada percikan kecil rasa simpati di mata gelapnya saat melihatku menghadapi
pertarungan batin.
“Semua ini mengubah banyak hal, kan?” tanyaku.
Tetapi mereka baru datang setelah dua jam, dan setiap menit yang berlalu
terasa bagaikan satu tahun. Akhirnya aku tidak tahan lagi dan kembali ke
mobil. Dimitri memeriksa rumah secara lebih menyeluruh, lalu ikut duduk di
sampingku. Kami tidak berbicara selama menunggu. Kilasan gambar
mengerikan yang terjadi di dalam terus-menerus menghantui pikiranku. Aku
merasa ketakutan dan kesepian, berharap Dimitri memelukku untuk
menenangkanku.
Aku segera memarahi diri sendiri karena menginginkan hal itu. Untuk keseribu
kalinya aku mengingatkan diri bahwa Dimitri adalah instrukturku dan tidak
punya urusan untuk memelukku, apa pun situasinya. Lagi pula, aku ingin
menjadi kuat. Aku tidak mau menghambur ke pelukan seorang pria setiap kali
mendapat masalah berat.
Saat kelompok pengawal yang pertama muncul, Dimitri membuka pintu mobil
lalu melirik ke arahku. “Kau harus melihat cara mengatasi semua ini.”
Sejujurnya, aku tidak mau melihat rumah itu lagi, tetapi aku tetap membuntuti
Dimitri. Para pengawal ini asing bagiku, tetapi Dimitri mengenal mereka.
Sepertinya dia selalu mengenal semua orang. Kelompok ini terkejut saat
melihat seorang novis di tempat kejadian, tetapi tak ada yang keberatan
dengan kehadiranku di sana.
Aku berjalan di belakang saat mereka memeriksa rumah. Tak ada yang
menyentuh barang-barang, tetapi mereka berlutut di depan mayat-mayat serta
mengamati noda darah dan jendela yang rusak. Ternyata Strigoi tidak hanya
menggunakan pintu depan dan teras belakang untuk memasuki rumah.
Para pengawal berbicara dengan tegas, sama sekali tidak terlihat jijik atau
takut seperti yang kurasakan. Mereka bagaikan mesin. Salah seorang dari
mereka, satu-satunya wanita dalam kelompok itu, berjongkok di samping
Arthur Schoenberg. Aku langsung tertarik karena jarang melihat pengawal
perempuan. Aku mendengar Dimitri memanggilnya Tamara, dan kelihatannya
dia berusia dua puluh lima tahun. Rambut hitamnya hanya sebatas pundak,
seperti umumnya pengawal perempuan.
Wajahnya langsung terlihat serius lagi, seolah pria yang dulu melatihnya tidak
terbaring mati di hadapannya. Aku tak bisa percaya ini. Pria itu mentornya.
Bagaimana mungkin dia sanggup mengendalikan diri sekuat ini? Selama
setengah detik, aku membayangkan melihat Dimitri terbaring mati di lantai.
Tidak. Tidak mungkin aku bisa setenang itu jika dalam posisi Tamara. Aku
mungkin akan histeris. Aku mungkin akan menjerit-jerit dan menendang
segala macam benda. Aku mungkin akan memukul siapa pun yang berusaha
menenangkanku dengan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Untungnya, aku tidak percaya ada orang yang mampu mengalahkan Dimitri.
Aku pernah melihatnya membunuh Strigoi tanpa mengeluarkan keringat
setetes pun. Dimitri tak terkalahkan. Dia seorang jagoan. Seorang dewa.
“Bagaimana kalau kau yang memberitahu kami, Rose,” kata Dimitri. “Kau
sudah melihat rumahnya. Katakan cara mereka melakukannya.”
“Ada empat titik jalan masuk, artinya sedikitnya ada empat Strigoi. Di rumah
ini ada tujuh Moroi.” Keluarga yang menghuni rumah ini sedang menjamu
beberapa tamu sehingga pembantaiannya sedahsyat ini. Tiga korban adalah
anak kecil. “…dan tiga pengawal. Yang tewas terlalu banyak. Empat Strigoi tak
mungkin membantai sebanyak itu. Enam Strigoi mungkin sanggup jika
membunuh para pengawal lebih dulu dan melakukannya saat mereka sedang
lengah. Keluarga Moroi itu pasti terlalu panik untuk melawan.”
Aku ragu-ragu. Para pengawal, sesuai aturan umum, tidak boleh lengah.
“Karena pertahanannya berhasil ditembus. Di rumah yang tidak dilengkapi
pertahanan sihir, mungkin akan ada pengawal yang berjaga-jaga di halaman
pada malam hari. Tapi mereka tidak melakukannya di sini.”
Dimitri hanya mengangguk kecil sebagai tanda persetujuan, dan kelompok itu
melanjutkan pemeriksaan. Saat kami tiba di kamar mandi, aku membuang
muka. Aku sudah melihat ruangan ini bersama Dimitri, dan tidak berminat
mengulangi pengalaman itu. Di dalam kamar mandi itu ada mayat seorang
pria, dan darah keringnya terlihat mencolok di atas lantai keramik putih. Selain
itu, karena ruangan ini berada di dalam, udaranya tidak sedingin ruangan di
dekat teras. Jadi tak ada proses pengawetan. Mayatnya belum busuk, tetapi
tidak harum juga.
Sungguh malang nasib keluarga Badica. Hanya sedikit yang tersisa. Satu
keluarga bangsawan nyaris musnah. Yang lainnya akan menyusul.
Tamara mendengus jijik dan berpaling dari cermin, mengamati detail lainnya
yang ada di kamar mandi. Tetapi ketika kami keluar, kata-kata itu terus
mengiang dalam kepalaku. Satu keluarga bangsawan nyaris musnah. Yang
lainnya akan menyusul.
Memang benar, keluarga Badica adalah salah satu klan bangsawan terkecil.
Tetapi mereka yang terbunuh di sini sama sekali bukan keturunan terakhir
Badica. Mungkin masih ada sekitar dua ratus orang anggota keluarga Badica
yang tersisa di luar sana. Jumlah mereka tidak sebanyak keluarga lain,
contohnya keluarga Ivashkov. Keluarga bangsawan ini sangat besar dan
tersebar luas. Namun, jumlah keluarga Badica masih lebih banyak daripada
beberapa keluarga bangsawan lain.
Jika Strigoi ingin memusnahkan garis keturunan bangsawan, tidak ada yang
lebih baik daripada mengincar Lissa. Darah Moroi memperkuat Strigoi, jadi
aku memahami keinginan mereka untuk melakukannya. Kurasa secara
spesifik membidik kaum bangsawan hanya bagian dari sifat kejam dan sadis
mereka. Ironis rasanya Strigoi bermaksud menghancurkan kaum Moroi
mengingat sebagian besar dari mereka dulunya bagian dari komunitas itu.
Cermin berisi ancaman itu terus menghantuiku selama kami berada di rumah
tersebut, dan ketakutan serta kekagetanku berubah menjadi amarah.
Bagaimana mungkin mereka melakukan ini? Bagaimana mungkin ada
makhluk yang begitu sinting dan kejam sehingga sanggup melakukan semua
ini pada sebuah keluarga―sehingga mau memusnahkan seluruh garis
keturunannya? Bagaimana mungkin ada makhluk yang sanggup melakukan
semua ini padahal dulu mereka sama seperti aku dan Lissa?
Memikirkan Lissa―dan memikirkan Strigoi yang ingin memusnahkan keluarga
Lissa―membangkitkan amarah gelap dalam diriku. Intensitas emosi tersebut
nyaris membuatku gila. Rasanya gelap dan muram, terus membengkak dan
bergulung. Sebuah awan badai yang siap meledak. Tiba-tiba saja aku merasa
ingin mencabik-cabik setiap Strigoi yang bisa kutemui.
Saat akhirnya naik ke mobil dan kembali ke St. Vladimir bersama Dimitri, aku
membanting pintu mobil dengan begitu keras sehingga aku sendiri heran
pintunya tidak copot.
Aku memasang sabuk pengaman dan cemberut. “Aku benci mereka. Aku
benci mereka semua! Coba aku ada di sana. Akan kusobek tenggorokan
mereka!”
“Kau benar-benar yakin dengan semua itu?” tanya Dimitri. “Setelah melihat
apa yang dilakukan Strigoi di dalam sana, kaupikir bisa bertindak lebih baik
daripada Art Schoenberg? Setelah melihat apa yang dilakukan Natalie
kepadamu?”
Aku terdiam. Aku sempat berhadapan dengan sepupu Lissa, Natalie, saat dia
berubah menjadi Strigoi, tepat sebelum Dimitri datang dan menjadi pahlawan.
Bahkan sebagai Strigoi yang baru berubah―lemah dan belum bisa
mengendalikan gerakannya―Natalie bisa melemparku ke seberang ruangan.
Aku menutup mata dan menghela napas dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku
merasa bodoh. Aku sudah melihat apa yang bisa diperbuat oleh Strigoi. Jika
aku terburu-buru berusaha menjadi pahlawan, nasibku mungkin akan berakhir
dalam kematian yang sangat cepat. Aku sedang berkembang menjadi
pengawal tangguh, tetapi aku masih harus banyak belajar―dan seorang gadis
berusia tujuh belas tahun tak mungkin sanggup melawan enam Strigoi.
Aku membuka mata. “Maafkan aku,” kataku setelah bisa mengendalikan diri
lagi. Kemarahan yang tadi meledak mulai memudar. Aku tidak tahu dari mana
datangnya. Aku memang mudah marah dan sering kali bertindak impulsif,
tetapi ledakan emosi tadi termasuk para dan mengerikan, bahkan untukku.
Aneh.
“Tak apa,” kata Dimitri. Dia meletakkan tangan di atas tanganku selama
beberapa saat. Kemudian dia melepasnya dan menyalakan mobil. “Hari ini
sangat melelahkan. Untuk kita semua.”
***
Ketika kami tiba di Akademi St. Vladimir sekitar tengah malam, semua orang
sudah tahu soal pembantaian itu. Hari sekolah vampir baru saja berakhir, dan
aku belum tidur selama lebih dari dua puluh empat jam. Mata dan tubuhku
terasa berat, dan Dimitri langsung menyuruhku cepat-cepat kembali ke
asrama untuk tidur. Tentu saja, Dimitri masih terlihat waspada dan siap
menghadapi apa pun. Kadang-kadang aku bahkan tidak yakin dia pernah tidur.
Dimitri pergi untuk membahas masalah serangan ini dengan para pengawal
lainnya, dan aku berjanji padanya akan langsung tidur. Tetapi saat Dimitri
sudah tidak terlihat, aku malah berbalik menuju perpustakaan. Aku harus
menemui Lissa, dan menurut ikatan batin kami di sanalah dia sekarang
berada.
Aula bersama berada di sebuah bangunan besar bergaya gotik yang lebih
mirip lokasi pembuatan film berlatar abad pertengahan daripada sekolah. Di
dalam bangunan, aura misterius dan sejarah kuno terus terpancar. Dinding
batu yang rumit dan lukisan antik berseberangan dengan komputer dan lampu
neon. Teknologi modern memang diterima di tempat ini, tetapi takkan pernah
mendominasi.
“Ini mengerikan,” kata Lissa bergidik. Christian bergeser dan menautkan jari
pada jari Lissa. Lissa balas meremasnya. Mereka berdua benar-benar sedang
jatuh cinta dan memperlakukan satu sama lain dengan sikap semanis gula;
saking manisnya sehingga aku ingin menggosok gigi setelah berada di dekat
mereka. Namun, mereka berdua sekarang terlihat pendiam, pasti gara-gara
berita pembantaian itu. “Mereka bilang… mereka bilang di sana ada enam atau
tujuh Strigoi. Dan katanya ada manusia yang membantu mereka menembus
pertahanan.”
Aku menyandarkan kepala pada rak buku. Berita menyebar dengan cepat.
Tiba-tiba saja aku merasa pusing. “Memang benar.”
“Tidak…” Pada saat itu aku baru sadar bahwa tidak ada yang tahu ke mana
aku pergi seharian ini. “Aku… aku ada di sana.”
Lissa sahabatku, tetapi aku tak mau dia tahu betapa takut dan kesalnya aku
dengan kejadian ini. Aku ingin terlihat tangguh.
“Mereka bilang kejadian ini akan mengacaukan semua acara liburan,” kata
Lissa beberapa saat kemudian. “Bibinya Christian akan datang berkunjung,
tapi sebagian besar orang sepertinya enggan bepergian. Mereka ingin anak-
anak mereka tetap berada di tempat aman. Mereka khawatir kelompok Strigoi
ini sedang berkeliaran.”
Lissa menjadi pusat perhatian karena dia satu-satunya yang masih hidup
dalam keluarganya. Selain Lissa, tak ada Moroi lain yang memiliki cukup
darah Dragomir sehingga berhak menyandang nama tersebut. Calon
suaminya mungkin akan berada di suatu tempat dalam silsilah keluarganya
untuk memastikan anak-anak Lissa kelak diakui sebagai keturunan Dragomir.
Tetapi untuk sekarang, menjadi satu-satunya Dragomir membuat Lissa
bagaikan selebriti.
Seraya mengerang, aku pun berdiri. “Ya ampun. Aku akan pergi supaya kalian
bisa berduaan.”
“Tidak apa-apa. Aku lelah,” aku meyakinkan Lissa. Christian tampaknya tidak
terlalu kecewa melihat kepergianku. “Aku akan menemuimu besok.”
Aku mulai berbalik pergi, tetapi Lissa memanggilku. “Rose? Kau… kau yakin
baik-baik saja? Setelah semua yang terjadi?”
Aku menatap mata hijau giok Lissa. Kekhawatiran yang dirasakannya begitu
kuat dan dalam sehingga membuat dadaku terasa sakit. Aku mungkin lebih
dekat dengan Lissa daripada siapa pun di dunia ini, tetapi aku tak mau dia
mengkhawatirkan aku. Akulah yang bertugas memastikan keselamatannya.
Seharusnya dia tidak terbebani denganku―terutama saat Strigoi tiba-tiba
memutuskan membuat daftar korban yang terdiri atas kaum bangsawan.
Aku menyunggingkan senyum ceria. “Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan selain kemungkinan kalian berdua saling melucuti pakaian
sebelum aku sempat pergi dari sini.”
“Kalau begitu, sebaiknya kau pergi sekarang juga,” kata Christian datar.
Lissa menyikutnya, dan aku memutar bola mata. “Selamat malam,” ucapku.
LOBI ASRAMAKU SANGAT ribut ketika aku berlari menuruni tangga untuk
berlatih sebelum sekolah dimulai. Kehebohan itu tidak mengejutkanku. Tidur
nyenyak sudah membantuku melupakan kilasan gambar kejadian kemarin,
tetapi aku tahu, baik aku maupun teman-teman sekelasku takkan bisa dengan
mudah melupakan kejadian di luar kota Billings itu.
Namun, saat memperhatikan wajah dan kerumunan para novis lainnya, aku
baru sadar ada sesuatu yang aneh. Ketakutan dan ketegangan akibat
peristiwa kemarin masih tersisa, tetapi terlihat ada sesuatu yang baru;
semangat. Ada dua novis baru yang hampir menjerit kegirangan sambil
berbisik-bisik. Di dekat mereka, sekelompok pria sebayaku bergerak tak
terkendali, wajah mereka cengar-cengir penuh semangat.
Aku melirik ke belakang dan tersenyum lebar. Mason Ashford, sesama novis
dan teman baikku, berlari kecil menyamai langkahku.
“Memangnya umurmu berapa sih, dua belas tahun?” tanyaku sambil terus
bergegas menuju gedung olahraga.
“Astaga,” gumam Mason. “Pria itu selalu saja menyiksamu. Apa Dimitri tidak
sadar dia sudah membuat kami kehilangan kecantikan dan pesona dirimu?”
“Senyum manis? Kecantikan dan pesona? Kau agak berlebihan pagi ini,”
kataku sambil tertawa.
“Hei, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau beruntung ada orang
semenarik dan secemerlang aku yang memperhatikanmu sedalam itu.”
Aku masih nyengir. Mason penggoda ulung, dan terutama dia sangat senang
menggodaku―sebagian karena aku menanggapinya dengan baik dan suka
balas menggodanya. Tetapi aku tahu perasaannya kepadaku lebih dari
sekadar persahabatan, dan aku masih mempertimbangkan perasaanku
kepadanya. Aku dan Mason sama-sama memiliki selera humor konyol, dan
cukup menonjol di kelas atau saat berkumpul bersama teman-teman. Mason
memiliki mata biru yang indah dan rambut merah acak-acakan yang
sepertinya tidak pernah disisir. Tetapi itu malah membuatnya imut.
Namun, berkencan dengan orang baru akan sulit dilakukan kalau aku masih
sering memikirkan saat-saat aku setengah telanjang bersama Dimitri di
tempat tidur.
“Kau ke mana saja pagi ini?”tanyanya, menatapku seolah aku orang gila.
“Di tempat tidur! Aku baru bangun, lima menit yang lalu. Nah, sekarang mulai
dari awal dan beritahu aku apa yang kaubicarakan.” Aku menggigil kedinginan
karena berhenti bergerak-gerak. “Tapi ceritakan sambil berjalan.”
“Begini, kau tahu kan semua orang cemas kalau anak-anak mereka pulang
untuk Natal? Nah, di Idaho ada sebuah pondok ski
raksasa
yang khusus digunakan oleh para bangsawan dan kaum Moroi kaya raya.
Pemiliknya membuka pondok itu untuk murid Akademi dan keluarga
mereka―dan Moroi mana pun yang memang berminat pergi ke tempat itu.
Dengan mengumpulkan semua orang di satu tempat, mereka akan
menyediakan satu ton pengawal untuk melindungi tempat itu, jadi keadaannya
benar-benar aman.”
“Kau pasti bercanda,” jawabku. Kami tiba di gedung olahraga lalu masuk ke
dalam meninggalkan udara luar yang dingin.
Aku hanya terpaku, senang sekaligus terpana. Benar-benar di luar dugaan. Ide
ini benar-benar cemerlang, cara mempertemukan para anggota keluarga
dengan aman. Dan tempat yang dipilih sangat keren! Pondok ski mewah.
Tadinya kukira aku akan menghabiskan liburan dengan menonton televisi
bersama Lissa dan Christian. Sekarang aku akan menghabiskannya di sebuah
tempat berbintang lima. Makan malam dengan lobster. Pijat. Instruktur ski
yang tampan….
Ekspresi ceria Mason memudar sedikit. “Yeah, tapi kita masih hidup, Rose.
Kita tak boleh berhenti menikmati hidup hanya karena ada yang mati. Dan kita
harus memastikan agar
lebih banyak
orang yang tidak ikut mati. Karena itulah ide ini sangat bagus. Tempat itu
aman.” Tatapan Mason berubah marah. “Ya Tuhan, aku tidak sabar ingin
cepat-cepat lulus dan terjun ke lapangan. Setelah mendengar apa yang terjadi,
aku benar-benar ingin mencabik-cabik kaum Strigoi. Coba kita bisa pergi
sekarang juga. Tidak ada alasan untuk menundanya. Mereka membutuhkan
tenaga tambahan, dan bisa dibilang kita sudah tahu semua hal yang harus kita
ketahui.”
Karena aku tidak menjawab, Mason menatapku bingung. “Kau tidak mau
melakukannya?”
Suasana hati Mason mudah berubah, dan dia sudah terlihat santai lagi. “Yap.
Dan kau sebaiknya mengingat-ingat lagi cara bermain ski, karena aku
menantangmu untuk menampar egoku di sana. Tapi sepertinya itu tidak bakal
terjadi, deh.”
aku
Mason membuka mulut, sudah hendak membalas ejekanku ketika dia melihat
sesuatu―atau lebih tepatnya, seseorang―di belakangku. Aku melirik ke
belakang dan melihat sosok tinggi Dimitri menghampiri kami dari sisi luar
gedung olahraga.
Seperti novis
dhampir
Aku masih berpendapat keputusanku untuk melarikan diri dari St. Vladimir itu
benar. Ancaman Victor Dashkov pada Lissa terlalu mengkhawatirkan. Tetapi
liburan diperpanjang kami itu ada konsekuensinya. Kabur dari sekolah selama
dua tahun membuatku ketinggalan kelas, jadi pihak sekolah memutuskan aku
harus menebus semua itu dengan menjalani latihan-latihan tambahan
sebelum dan sepulang sekolah.
Bersama Dimitri.
Pihak sekolah sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya juga
memberiku pelajaran lain, yaitu menghindari godaan. Tetapi terlepas dari
ketertarikanku pada Dimitri, aku cepat belajar, dan dengan bantuannya aku
hampir menyusul murid senior yang lain.
Karena Dimitri tidak mengenakan mantel, aku tahu hari ini kami akan berlatih
di dalam ruangan―yang merupakan kabar bagus. Cuaca di luar sangat dingin.
Namun, kebahagiaanku itu sama sekali tidak sebanding dengan yang
kurasakan saat melihat benda yang sudah disiapkan oleh Dimitri di salah satu
ruang latihan.
Beberapa boneka latihan sudah diatur pada dinding seberang, boneka yang
terlihat benar-benar hidup, bukan kantong kanvas berisi jerami. Boneka itu
terdiri atas pria dan wanita yang mengenakan pakaian biasa, dengan kulit
lentur, juga warna rambut dan mata yang berbeda-beda. Ekspresi mereka
berlainan,
ada yang bahagia, takut, marah. Aku pernah berlatih dengan boneka-boneka
ini. Aku menggunakan mereka untuk melatih tendangan dan pukulan. Namun,
aku belum pernah berlatih dengan boneka-boneka ini sambil memegang
benda yang sekarang digenggam oleh Dimitri―sebuah pasak perak.
“Keren,” desahku.
Pasak itu persis dengan yang kutemukan di rumah keluarga Badica. Bagian
bawahnya dilengkapi pegangan, mirip gagang namun tanpa bagian kecil yang
menonjol. Tetapi kemiripannya dengan belati hanya sampai di situ. Alih-alih
rata seperti mata pisau, bagian tengah pasak ini berbentuk bulat dan melancip
hingga ke ujungnya. Lebih menyerupai pisau es. Panjang keseluruhan pasak
itu agak lebih pendek daripada lengan atasku.
Dimitri bersandar ke dinding dengan santai, dalam posisi yang begitu luwes
padahal tinggi badannya hampir dua meter. Dengan sebelah tangan, Dimitri
melempar pasaknya ke udara. Pasak itu jungkir balik beberapa kali sebelum
akhirnya terjatuh. Dimitri menangkap gagangnya.
“Tolong katakan hari ini aku akan mempelajari cara melakukan itu,” kataku.
memegang
pasak hari ini,” katanya. Dimitri kembali melempar pasak ke udara. Mataku
mengikuti benda itu dengan tatapan kepingin. Aku sudah hendak mengatakan
pernah memegang pasak, tetapi aku tahu logika tersebut tidak akan
menghasilkan apa-apa.
tank top
“Kau ingin aku memberitahumu cara kerja pasak dan kenapa aku harus selalu
berhati-hati saat berada di dekat senjata ini,” kataku lantang.
“Ayolah,” ucapku tertawa. “Kaupikir sampai sekarang aku masih belum paham
cara kerjamu? Kita sudah hampir tiga bulan berbuat ini. Kau selalu
menyuruhku memahami keselamatan dan tanggung jawabnya sebelum aku
bisa bersenang-senang.”
“Baik,” katanya. “Kurasa kau sudah mengerti sekarang. Nah, silakan lanjutkan
pelajarannya. Aku akan menunggu di sini sampai kau membutuhkan aku lagi.”
Dimitri memasukkan pasaknya ke dalam sarung kulit yang berayun dari ikat
pinggangnya, lalu membuat dirinya nyaman dengan bersandar di dinding,
kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Aku menunggu, menebak-nebak
apakah dia hanya bercanda. Tetapi ketika dia tidak mengatakan apa-apa lagi,
aku sadar dia tidak main-main. Sambil mengangkat bahu, aku menyebutkan
segala hal yang kuketahui.
mu
?”
“Di jantung,” jawabku kesal. “Aku sudah mengatakannya ratusan kali. Bisa
kauserahkan pasak itu sekarang?”
“Tentu saja ada di sana. Semua orang meletakkan tangan di atas jantung saat
mengucapkan sumpah setia atau menyanyikan lagu kebangsaan.”
“Apa di sana?”
memberitahuku
di mana letak jantungnya saat kita bertemu lagi. Letak persisnya. Dan aku
ingin tahu apa yang menghalanginya.”
Aku memelototi Dimitri, tetapi―jika melihat ekspresinya―sepertinya tidak
segalak yang kuharapkan. Sembilan dari sepuluh kali kesempatan, aku
menganggap Dimitri sebagai makhluk terseksi di muka bumi. Namun, ada
juga saat-saat seperti sekarang….
Dengan kesal aku berjalan menuju pelajaran pertama hari ini―kelas bertarung.
Aku tidak suka terlihat tidak kompeten di hadapan Dimitri, dan aku
benar-benar
Aku langsung bercerita tentang pasak perak dan semua kekesalan hatiku.
Yang membuatku semakin jengkel, Mason malah tertawa. “Kok kau bisa tidak
tahu di mana letak jantung? Mengingat banyaknya jantung cowok patah hati
yang sudah kaulukai?”
Aku memelototinya seperti yang tadi kulakukan pada Dimitri. Kali ini berhasil.
Wajah Mason langsung terlihat pucat.
“Belikov adalah cowok jahat sinting yang harus dilemparkan ke dalam lubang
berisi ular buas karena sudah melakukan kejahatan besar kepadamu pagi ini.”
“Wow. Aku tidak tahu apa harus merasa terkesan atau takut karena kau sudah
memikirkan semua ini,” seruku.
Kami berdiri di luar ruang kelas pelajaran kedua. Ekspresi wajah Mason masih
terlihat ringan dan penuh canda, tetapi saat dia bicara lagi, nada suaranya
terdengar agak menjurus. “Rose, kalau berada di dekatmu, aku memikirkan
segala macam
Aku masih terkikik karena soal ular tadi, lalu tiba-tiba berhenti dan
memandanginya dengan terkejut. Aku selalu menganggap Mason cukup imut,
tetapi dengan tatapan membara yang serius seperti ini, mendadak terpikir
olehku bahwa sebenarnya dia cukup seksi juga.
“Oh, coba lihat,” Mason tertawa, menyadari bahwa aku lengah. “Rose tidak
sanggup berkata-kata. Satu untuk Ashford, dan kosong untuk Hathaway.”
“Hei, aku tak mau membuatmu menangis sebelum perjalanan ski. Tidak bakal
menyenangkan kalau aku sudah membuatmu kecewa sebelum kita meluncur
di atas lereng bersalju.”
Mason tertawa dan kami masuk ke dalam. Ini kelas teori pengawal, yang
diadakan di dalam ruang kelas sungguhan alih-alih di lapangan latihan. Kelas
ini bisa dianggap sebagai selingan menyenangkan setelah semua siksaan
fisik. Di depan kelas tampak tiga pengawal yang bukan berasal dari resimen
sekolah. Para tamu hari raya, aku tersadar. Para orangtua dan pengawal
mereka sudah mulai berdatangan ke kampus untuk menemani anak-anak
mereka ke resor ski. Ketertarikanku akan perjalanan ini langsung menurun.
Salah satu tamu adalah seorang pria tinggi yang kelihatan berumur seratus
tahun namun masih sanggup menghabisi orang lain. Tamu yang satu lagi kira-
kira sebaya dengan Dimitri. Pria itu berkulit gelap terbakar matahari dan
tubuhnya begitu tegap sehingga beberapa cewek di kelas terlihat nyaris
pingsan.
Pengawal terakhir seorang wanita. Rambut keritingnya yang kemerahan
dipotong pendek, dan kedua mata cokelatnya terlihat menyipit seperti sedang
berpikir. Seperti yang pernah kukatakan, banyak wanita
dhampir
yang lebih memilih punya anak daripada menjadi pengawal. Karena aku juga
salah satu dari sedikit perempuan yang memilih profesi ini, aku selalu senang
bertemu dengan perempuan pengawal lain―seperti Tamara.
Namun, wanita ini bukan Tamara. Wanita ini orang yang sudah kukenal
selama bertahun-tahun, orang yang memicu segala emosi kecuali
kebanggaan dan kegembiraan. Alih-alih, aku merasa kesal. Kesal, marah, dan
sangat murka.
AKU TAK PERCAYA. Janine Hathaway. Ibuku. Ibuku yang luar biasa terkenal
dan tidak pernah ada di sampingku. Ibuku memang bukan Arthur Schoenberg,
tetapi reputasinya cukup tenar di dunia pengawal. Sudah bertahun-tahun aku
tidak bertemu dengannya karena dia selalu pergi untuk menjalankan misi
berbahaya. Namun… kini dia ada di Akademi―tepat di hadapanku―dan dia
bahkan tidak merasa perlu mengabariku tentang kedatangannya. Apalagi
menunjukkan kasih sayang seorang ibu.
Lagi pula, apa yang dilakukan ibuku di sini? Jawabannya datang saat itu juga.
Semua Moroi yang berkunjung ke kampus pasti membawa serta para
pengawal mereka. Ibuku bertugas melindungi seorang bangsawan yang
berasal dari klan Szelsky, dan beberapa orang anggota keluarga itu datang
untuk berlibur. Tentu saja ibuku ikut bersama mereka.
Stan berjalan mondar-mandir di depan kelas, alis tebalnya bertaut saat dia
bicara. “Aku tahu ini tidak biasa,” jelasnya. “Pengawal yang berkunjung
biasanya tidak sempat mampir di kelas kita. Tetapi ketiga tamu kita sudah
meluangkan waktu untuk bicara di depan kelas sehubungan dengan peristiwa
yang terjadi baru-baru ini…” Stan berhenti sejenak, dan tak ada yang perlu
menjelaskan peristiwa yang dimaksudnya. Serangan pada keluarga Badica.
Stan berdeham dan melanjutkan. “Mengingat peristiwa yang baru saja terjadi,
kami beranggapan sebaiknya mempersiapkan kalian untuk mempelajari
sesuatu dari mereka yang sekarang sudah terjun di lapangan.”
Si pria tua yang pertama bicara. Dia menyampaikan kisahnya, dan aku
langsung terpana. Dia menceritakan kejadian saat putra bungsu dari keluarga
yang menjadi tanggung jawabnya tiba-tiba menghilang di sebuah tempat
umum yang sedang diintai oleh Strigoi.
“Matahari baru akan terbenam,” kata pria itu dengan suara muram. Dia
menyapukan kedua tangan ke bawah, seolah menunjukkan bagaimana proses
matahari terbenam. “Kami hanya berdua dan harus membuat keputusan
singkat untuk mengatasinya.”
Aku memajukan badan, kedua siku di atas meja. Pengawal kerap bekerja
berpasangan. Yang satu―pengawal dekat―biasanya berada di dekat orang
yang sedang mereka lindungi, sementara yang lain―pengawal
jauh―mengamankan area sekitarnya. Pengawal jauh biasanya masih berada
dalam jangkauan pandang, jadi aku memahami dilema yang mereka alami.
Setelah dipikir-pikir, kalau aku berada dalam situasi seperti itu, aku akan
meminta pengawal dekat untuk membawa anggota keluarga yang lain ke
lokasi aman sementara pengawal jauh mencari si bocah yang hilang.
“Aku sebenarnya sedang tidak bertugas,” katanya. Seorang cewek yang duduk
di dekatku menatapnya dengan mata melebar dan memuja. “Aku sedang
mengunjungi seorang teman dan keluarga yang dilindunginya. Saat
meninggalkan apartemen mereka, aku melihat seorang Strigoi sedang
mengintai di balik bayangan. Dia tidak menduga ada pengawal yang berada di
luar. Aku mengitari blok, menghampirinya dari belakang, lalu…” Pria itu
melakukan gerakan menusuk, jauh lebih dramatis daripada gerakan tangan
pria tua tadi. Dongeng tersebut bahkan melibatkan gerakan memuntir pasak
hingga menembus jantung si Strigoi.
Kemudian, tiba giliran ibuku. Wajahku langsung cemberut bahkan sebelum dia
berkata-kata, dan kerutan pada wajahku itu semakin dalam saat dia memulai
ceritanya. Sumpah deh, kalau tidak memercayai ketidakmampuannya dalam
berimajinasi―dan pilihan busananya yang membosankan yang menunjukkan
bahwa dia benar-benar tidak memiliki imajinasi―aku pasti mengira ibuku
berbohong. Ceritanya sungguh luar biasa. Lebih mirip epik, jenis yang akan
dibuat menjadi film dan memenangi piala Oscar.
“Itu tidak mudah,” jelasnya. Jika orang lain yang mengucapkan pernyataan itu
mungkin akan terdengar seperti sedang menyombongkan diri. Tetapi tidak
ibuku. Gaya berbicaranya terdengar tegas, menyampaikan fakta dengan
begitu efisien sehingga tidak ada ruang untuk mengada-ada. Ibuku dibesarkan
di Glasgow dan sebagian besar ucapannya masih memiliki aksen samar
Skotlandia. “Di dalam bangunan itu masih ada tiga Strigoi lain. Pada saat itu,
jumlah ini termasuk sangat besar untuk sebuah kelompok yang bekerja sama.
Tetapi sekarang tidak bisa dibilang begitu, mengingat pembantaian keluarga
Badica.”
“Tentu saja, kami tidak bisa membiarkan kedua Moroi itu berada dalam
genggaman Strigoi,” katanya. “Kami melacak Strigoi itu sampai ke tempat
persembunyian mereka dan menemukan beberapa dari mereka hidup
bersama. Aku yakin kalian tahu betapa jarangnya itu terjadi.”
Memang benar. Sifat jahat dan egois kaum Strigoi membuat mereka saling
melawan semudah yang mereka lakukan pada korban mereka. Mengatur
serangan―mengingat hanya keinginan mendesak akan darah yang ada dalam
benak mereka―adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Tetapi tinggal
bersama? Tidak. Hampir mustahil untuk dibayangkan.
“Kami berhasil membebaskan dua Moroi yang diculik, dan ternyata kami
menemukan Moroi lainnya yang juga dijadikan tawanan,” kata ibuku. “Tapi,
kami tak bisa menyuruh Moroi yang kami selamatkan itu pulang sendirian, jadi
para pengawal yang ikut bersamaku pergi mengantar mereka, dan tugas untuk
menyelamatkan yang lainnya diserahkan kepadaku.”
Ya, tentu saja, pikirku. Ibuku yang pemberani pergi sendirian. Di tengah jalan,
dia sempat tertangkap, tetapi berhasil melarikan diri dan menyelamatkan para
tawanan. Saat melakukannya, ibuku melakukan sesuatu yang mungkin bisa
dianggap sebagai hattrick terhebat abad ini. Dia berhasil membunuh Strigoi
dengan tiga cara berbeda: menusuk dengan pasak, memenggal kepala, dan
membakar tubuh mereka.
“Aku baru saja menusuk seorang Strigoi dengan pasak saat ada dua lainnya
datang menyerang,” jelasnya. “Aku tidak sempat mencabut pasaknya saat
mereka melompat ke arahku. Untungnya, di dekat sana ada sebuah perapian,
dan aku mendorong salah satu dari mereka ke dalamnya. Strigoi yang terakhir
mengejarku ke luar, ke sebuah gubuk tua. Di dalam gubuk itu ada sebuah
kapak, dan aku menggunakannya untuk memenggal kepala si Strigoi. Lalu aku
mengambil sekaleng bensin dan kembali ke rumah. Strigoi yang tadi kulempar
ke dalam perapian belum terbakar sepenuhnya, tapi begitu kusiram dengan
bensin, dia langsung terbakar hangus.”
Setelah kira-kira pertanyaan kesepuluh, aku sudah tidak tahan lagi. Aku
mengacungkan tangan. Butuh beberapa saat hingga akhirnya ibuku
menyadarinya dan memanggil namaku. Kelihatannya dia agak takjub
melihatku ada di kelas. Kuanggap diriku beruntung karena setidaknya dia
mengenaliku.
Semua mata di kelas berbalik menatapku. Sejenak ibuku tak sanggup berkata-
kata. “Kalau kami tidak ‘bersusah payah’ seperti itu, sekarang ada tujuh Strigoi
lain yang masih berkeliaran di muka bumi ini, dan para Moroi lain yang
ditawan sudah mati atau diubah menjadi Strigoi.”
“Ya, ya, aku mengerti bagaimana kalian berhasil menjadi pahlawan dan
macam-macam lagi, tapi aku ingin kembali menyoroti prinsip-prinsip utama.
Maksudku, ini kelas teori, kan?” Aku melirik Stan yang menatapku dengan
marah. Aku dan Stan memiliki sejarah yang panjang dan tidak menyenangkan
di kelas. Kurasa sebentar lagi kami akan mengalami konflik baru. “Jadi, aku
hanya ingin mencari tahu apa yang salah sejak awal.”
Aku kagum pada ibuku―pengendalian dirinya jauh lebih hebat daripada aku.
Seandainya posisi kami dibalik, sekarang aku pasti sudah menghampiri meja
dan menghajar diriku. Namun, wajah ibuku tetap tenang, dan satu-satunya
tanda yang menunjukkan bahwa aku sudah membuatnya kesal adalah
bibirnya yang terlihat agak kaku.
“Tidak sesederhana itu,” jawabnya. “Tata ruang di tempat itu sangat rumit.
Kami sudah memeriksanya secara menyeluruh dan tidak menemukan apa-
apa. Kami yakin para Strigoi datang setelah acara dimulai―atau mungkin ada
jalan dan ruang rahasia yang tidak kami ketahui.”
Seisi kelas riuh oleh seruan kagum saat mendengar tentang jalan rahasia,
tetapi aku sama sekali tidak terkesan.
Bibir ibuku terlihat semakin kaku, dan suaranya mulai terdengar dingin. “Kami
mengambil tindakan terbaik dalam keadaan yang tidak biasa. Aku mengerti
jika orang setingkat dirimu masih belum bisa memahami kerumitan kisah
yang kuceritakan. Tapi kalau sudah benar-benar belajar hingga bisa
memahami lebih dari sekadar teori, kau akan mengerti betapa keadaannya
sangat berbeda saat kau berada di luar sana dan bertanggung jawab atas
nyawa orang lain.”
Sekitar lima menit sebelum kelas bubar, ibuku menyelinap ke luar lalu
menghampiri aku yang sedang duduk di selasar. Saat menunduk menatapku,
ibuku bertolak pinggang dengan gaya menyebalkan sehingga membuatnya
terlihat lebih tinggi dari yang sebenarnya. Rasanya tidak adil orang yang lima
belas sentimeter lebih pendek dariku membuatku merasa sekecil ini.
Aku berdiri dan merasa mataku tiba-tiba melotot tajam. “Senang bertemu
denganmu juga. Aku kaget kau mengenaliku. Kusangka kau bahkan
tidak ingat padaku, mengingat kau tidak memberitahuku sedang berada di
kampus.”
“Aku tahu pasti apa yang namanya tugas,” jawabku. Suaraku sengaja
terdengar kasar. “Aku mengenalnya jauh lebih baik daripada sebagian besar
orang.”
“Kau sendiri di mana selama lima tahun terakhir?” tuntutku. “Apa kau
menyadari kepergianku kalau tidak ada yang memberitahumu?”
Sakit hati dan rasa maluku berubah menjadi kemarahan. Sepertinya aku tidak
akan pernah bisa menyingkirkan konsekuensi yang harus kutanggung karena
melarikan diri bersama Lissa.
“Aku sudah membaca laporan mengenai apa yang terjadi. Kau punya alasan
untuk peduli, tapi tindakanmu salah.” Ucapannya terdengar resmi dan tegas.
Dia bisa mengajar di salah satu kelasku. “Kau mestinya meminta bantuan
orang lain.”
“Tak ada yang bisa kumintai tolong―tak ada yang bisa kudatangi karena aku
tidak punya bukti yang meyakinkan. Lagi pula, kami dibiasakan untuk belajar
berpikir mandiri.”
Aku selalu terlibat dalam perdebatan, ada sesuatu dalam sifatku yang
membuat itu sulit dihindari. Jadi aku sudah terbiasa mempertahankan diri dan
menerima berbagai macam hinaan. Aku sudah tebal muka. Namun, entah
bagaimana jika berada di dekat ibuku―dalam waktu singkat
yang pernah kuhabiskan dengannya―aku selalu merasa seperti anak berusia
tiga tahun. Sikapnya sudah mempermalukan aku, dan menyinggung-
nyinggung pelatihan yang kulewatkan―ini subjek yang sangat rawan―hanya
membuatku merasa lebih buruk. Aku meniru posisinya menyilangkan tangan
dan memasang tampang sombong.
Ibuku tidak langsung menjawab. Akhirnya, dia menjawab dengan suara datar.
“Kalau tidak kabur, kau pasti bisa melampaui mereka.”
Ibuku berbalik dengan gaya militer, lalu berjalan menyusuri selasar. Satu menit
kemudian, bel berbunyi, dan seisi kelas Stan berhamburan ke selasar.
Ketika tiba saatnya untuk latihan sepulang sekolah bersama Dimitri, aku
langsung berlari menghampiri boneka latih. Dengan tinju terkepal, aku
menghantam dada boneka, agak ke kiri tetapi lebih ke tengah.
“Di sana,” kataku pada Dimitri. “Jantungnya di sana, dan ada tulang dada serta
tulang rusuk yang menghalanginya. Boleh kupegang pasaknya sekarang?”
“Tapi dalam beberapa hal.”
Aku menyadari makna ganda dalam suaraku dan heran dari mana asalnya.
Aku pernah bisa menerima kenyataan untuk tidak memikirkan Dimitri secara
romantis lagi. Sesekali aku terpeleset dan berharap Dimitri merasakan hal
yang sama―rasanya sangat menyenangkan kalau tahu Dimitri masih
menginginkanku, masih tergila-gila padaku. Tetapi kalau melihatnya sekarang,
aku sadar Dimitri mungkin tidak akan terpeleset sepertiku karena aku
sudah tidak membuatnya tergila-gila. Pikiran itu membuatku sangat sedih.
“Tentu saja,” katanya, sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa kami
sedang membicarakan masalah lain. “Sama seperti yang lainnya.
Keseimbangan. Kau harus tahu apa yang kaukejar―dan apa yang sebaiknya
kaulepaskan.” Dimitri memberi penekanan pada kalimat yang terakhir.
Kami berpandangan sejenak, dan aku merasa ada aliran listrik yang mengaliri
tubuhku. Ternyata dia tahu apa yang kubicarakan. Dan seperti biasa, dia
mengabaikannya dan malah mengguruiku―yang memang seharusnya. Sambil
mendesah, aku menepis perasaanku pada Dimitri, dan berusaha mengingat-
ingat bahwa sebentar lagi aku akan menyentuh senjata yang sudah
kudambakan sejak kecil. Kenangan akan rumah keluarga Badica muncul lagi
dalam ingatanku. Para Strigoi ada di luar sana. Aku harus memusatkan
pikiran.
“Benarkah?”
“Kekerasan bukan jawaban dari semua masalah,” kata Dimitri dengan bijak.
“Dia yang bermasalah. Dan kupikir inti pendidikan yang kudapat adalah
kekerasan memang jawabannya.”
“Hanya bagi mereka yang lebih dulu melakukan kekerasan. Ibumu tidak
menyerangmu. Kalian berdua hanya sangat mirip, itu saja.”
Aku berhenti berjalan. “Aku sama sekali tidak seperti dia! Maksudku… mata
kami memang mirip. Tetapi aku jauh lebih tinggi. Dan rambutku sangat
berbeda.” Aku menunjuk ekor kudaku, hanya untuk berjaga-jaga seandainya
Dimitri tidak menyadari bahwa rambut tebalku yang hitam kecokelatan jauh
berbeda dari rambut ibuku yang keriting kemerahan.
Ekspresi wajah Dimitri masih terlihat agak geli, tetapi ada ketegasan di
matanya. “Aku tidak membicarakan soal penampilan kalian, dan kau tahu itu.”
Aku berpaling darinya. Ketertarikanku pada Dimitri sudah dimulai nyaris sejak
pertama kali kami bertemu―dan bukan hanya karena dia sangat tampan. Aku
merasa dia memahami sebagian diriku yang bahkan tidak kupahami, dan
terkadang aku cukup yakin bahwa aku memahami sebagian diri Dimitri yang
tidak dipahaminya.
Aku melirik Dimitri. “Entahlah. Mungkin iri terhadap reputasinya. Mungkin iri
karena dia lebih banyak meluangkan waktu untuk reputasinya daripada
untukku. Entahlah.”
“Ayo.”
“Menunjukkan apa?”
AKU SAMA SEKALI TIDAK mengerti apa yang dibicarakan Dimitri, tetapi aku
tetap mengikutinya dengan patuh.
Sejenak kami berjalan dalam diam, kaki kami menginjak salju tebal yang tak
tersentuh apa pun. Beberapa ekor burung terbang melintas, menyanyikan
sapaan pada matahari yang baru saja terbit, tetapi yang paling banyak kulihat
adalah pepohonan hijau berselimut salju. Aku berjuang keras menyamai
langkah Dimitri yang panjang-panjang, terutama karena salju jadi agak
memperlambat langkahku. Tidak lama kemudian, aku melihat sesuatu yang
gelap dan besar di depan. Sepertinya sebuah bangunan.
“Apa itu?” tanyaku. Sebelum Dimitri sempat menjawab, aku baru sadar itu
sebuah kabin kecil dari balok kayu. Setelah melihat lebih dekat, kayu-kayunya
tampak sudah usang dan membusuk di beberapa tempat. Atapnya agak
merosot.
“Itu pos pengawas yang sudah tidak dipakai,” katanya. “Dulu ada pengawal
yang tinggal di pinggir kampus untuk mengawasi kedatangan Strigoi.”
“Kita tidak punya cukup pengawal untuk melakukannya. Lagi pula, Moroi
sudah melapisi kampus dengan sihir pelindung yang cukup kuat, jadi sebagian
besar menganggap tak perlu ada orang yang berjaga lagi.” Asalkan tidak ada
manusia yang menembus pertahanannya, pikirku.
Lissa nyengir saat melihatku. “Rose!” Christian melirikku, dan aku mendapat
kesan dia merasa aku sudah mengganggu saat-saat romantis mereka berdua.
Lissa meluncur ke tepi danau dengan gerakan kaku. Dia tidak terlalu jago
berseluncur.
Aku hanya bisa menatap dengan bingung―dan cemburu. “Terima kasih sudah
mengundangku ke pesta ini.”
“Kusangka kau sedang sibuk,” kata Lissa. “Lagi pula ini memang diam-diam.
Seharusnya kami tidak boleh ada di sini.” Mestinya aku yang bilang begitu
kepada mereka.
Aku bertanya-tanya wanita itu bicara dengan siapa, sampai aku mendengar
tawa Dimitri. Dimitri jarang tertawa sehingga aku semakin terkejut. “Mustahil
menjauhkan Rose dari tempat yang mestinya tidak dia datangi. Dia selalu bisa
menemukannya pada akhirnya.”
Wanita itu tersenyum lebar lalu berputar, mengayunkan rambut panjangnya ke
balik bahu sehingga mendadak aku bisa melihat seluruh wajahnya. Aku
berusaha keras mengendalikan diriku yang sudah terpana agar tidak bereaksi.
Wajah bentuk hatinya memiliki dua mata besar yang sewarna dengan mata
Christian, biru pucat. Bibir yang tersenyum padaku itu lembut dan indah,
dilapisi kilau merah muda yang mempertegas bagian wajah lainnya.
Tetapi pada pipi kirinya, menodai kulit yang seharusnya putih mulus, terdapat
bekas luka keunguan. Bentuk dan letak bekas luka itu tampak mirip orang
yang sebagian pipinya digigit dan dicabik. Dan aku baru sadar bahwa memang
itulah yang terjadi.
Aku menelan ludah. Aku baru menyadari siapa wanita ini. Dia bibi Christian.
Saat berubah menjadi Strigoi, orangtua Christian datang untuk mengambil
putra mereka, berharap bisa menyembunyikan dan mengubahnya menjadi
Strigoi saat dia sudah lebih besar. Aku tidak tahu bagaimana detailnya, tetapi
aku tahu bibinya telah mencegah mereka. Namun, seperti yang sudah
kuketahui, Strigoi sangat mematikan. Wanita ini berhasil cukup lama
mengalihkan perhatian mereka hingga akhirnya para pengawal muncul, tetapi
peristiwa itu meninggalkan luka padanya.
Tasha menggeleng kesal. “Sejujurnya, aku tidak tahu dari mana Christian
mendapatkan kemampuan sosial yang mengerikan seperti ini. Yang pasti
bukan dariku.” Itu jelas, pikirku.
“Aku ingin menghabiskan waktu dengan dua bocah ini.” Kerut kecil menghiasi
kening Tasha. “Tapi aku tak suka berada di lingkungan sekolah. Mereka tidak
selalu ramah….”
Aku menatap danau dengan penuh harap untuk terakhir kalinya, lalu mengikuti
yang lain ke dalam. Kabinnya bisa dibilang kosong, tertutup debu dan kotoran.
Kabin itu hanya punya satu ruangan. Di sudut terdapat tempat tidur sempit
yang tidak dilapisi oleh seprai, dan beberapa rak yang mungkin dulunya
dipakai untuk menyimpan makanan. Namun, di sana ada perapian, dan tidak
lama kemudian api sudah menghangatkan ruangan kecil itu. Kami berlima
duduk, berkumpul di sekeliling perapian yang hangat. Tasha mengeluarkan
sekantong marshmallow yang kami panggang di atas api.
Ketika kami menikmati makanan lezat yang kenyal itu, Lissa dan Christian
mengobrol dengan santai dan nyaman seperti yang biasa mereka lakukan.
Yang membuatku heran, Tasha dan Dimitri juga mengobrol dengan akrab.
Mereka rupanya sudah saling kenal sejak dulu. Sejujurnya, aku belum pernah
melihat Dimitri seriang ini. Saat sedang bermesraan denganku pun, dia selalu
terlihat serius. Tetapi bersama Tasha, Dimitri bercanda dan tertawa.
“Sayangnya punya,” kata Tasha, meskipun dia tidak terdengar sedih saat
mengucapkannya. “Aku mengajar di kelas ilmu bela diri.”
Aku memandangnya dengan takjub. Aku tidak akan sekaget ini kalau dia
mengaku sebagai astronot atau peramal melalui telepon.
Tasha nyengir sedikit kepadaku. “Kau merendah. Aku sudah melihat apa yang
bisa kalian lakukan. Bagiku ini hanya hobi.”
“Kurasa itu takkan terjadi,” kata Dimitri. “Sepertinya aku ingat bagaimana kau
mengalahkan Neil Szelsky.”
Mereka berdua menertawakan lelucon pribadi yang tidak kami ketahui, tetapi
aku hanya setengah mendengarkan. Aku masih tertarik dengan perannya
bersama Strigoi.
Pengendalian diri yang dari tadi berusaha kutahan akhirnya tumbang juga.
“Kau mulai belajar bertarung sebelum atau sesudah kejadian yang menimpa
wajahmu?”
“Setelah,” katanya. Tasha tidak menunduk ataupun terlihat malu, tetapi aku
merasakan kesedihan dalam dirinya. “Berapa banyak yang kauketahui?”
Tasha mengangguk. “Aku tahu… aku tahu Lucas dan Moira sudah berubah,
tapi aku tidak siap menerimanya. Baik secara mental, fisik, maupun
emosional. Kurasa kalau harus melewatinya lagi, aku tetap tidak akan siap.
Tapi setelah malam itu, aku menatap diri sendiri―secara kiasan―dan
menyadari betapa tak berdayanya diriku. Aku menghabiskan seluruh hidup
dengan berharap pengawal akan melindungi dan menjagaku.
“Aku tidak bermaksud mengatakan para pengawal tidak becus. Seperti yang
tadi kubilang, mungkin saja kau sanggup mengalahkanku dalam suatu
pertarungan. Tapi mereka―Lucas dan Moira―memecat dua orang pengawal
sebelum kami sempat menyadari apa yang terjadi. Aku mengulur waktu agar
mereka tidak membawa Christian―tapi itu pun nyaris gagal. Jika yang lain
tidak segera muncul, aku mungkin sudah mati, dan dia―” Tasha berhenti,
mengernyit, lalu melanjutkan ceritanya. “Aku memutuskan untuk tidak mati
dengan cara seperti itu, tidak tanpa melawan dengan sungguh-sungguh dan
melakukan apa pun untuk melindungi diriku dan orang-orang yang kusayangi.
Jadi, aku mempelajari segala macam pertahanan diri. Dan setelah beberapa
saat, aku tidak bisa, uh, berbaur dengan baik bersama para warga kelas atas
yang ada di sini. Aku pindah ke Minneapolis dan mencari nafkah dengan
mengajar.”
Aku yakin ada Moroi lain yang tinggal di Minneapolis―meski hanya Tuhan
yang tahu alasannya―tetapi aku bisa memahami makna yang tersirat. Tasha
pindah ke kota itu dan berbaur dengan manusia, menjauh dari vampir lain
seperti yang kulakukan bersama Lissa selama dua tahun. Aku juga mulai
penasaran jangan-jangan ada makna tersirat lainnya. Tadi Tasha bilang dia
mempelajari “segala macam pertahanan diri”―sepertinya lebih dari sekadar
ilmu bela diri. Seiring dengan keyakinan mereka mengenai serangan-
pertahanan, kaum Moroi beranggapan bahwa sihir tidak boleh digunakan
sebagai senjata. Dahulu, sihir memang digunakan seperti itu, dan hingga kini
masih ada Moroi yang diam-diam menggunakannya. Aku tahu Christian salah
satunya. Tiba-tiba saja aku sadar dari mana dia mendapatkan gagasan untuk
melakukan hal seperti itu.
Suasana menjadi hening. Sulit rasanya menanggapi cerita sedih seperti itu.
Tetapi Tasha ternyata jenis orang yang selalu bisa mencerahkan suasana.
Sifat itu membuatku semakin menyukainya, dan dia menghabiskan sisa waktu
kami dengan menceritakan kisah-kisah lucu. Tasha tidak bertingkah sombong
seperti sebagian besar kaum bangsawan, jadi dia menceritakan banyak hal
memalukan mengenai semua orang. Dimitri mengenal sebagian besar orang
yang dibicarakan Tasha―yang benar saja, kok bisa sih orang antisosial
semacam dia kenal dengan semua orang di lingkungan Moroi dan pengawal?
―dan terkadang menambahkan sedikit detail. Mereka berdua membuat kami
tertawa histeris sampai akhirnya Tasha melihat jam tangannya.
“Mungkin kita bisa ikut menyelinap pergi….” Aku menatap Dimitri penuh harap.
Tasha menguap lagi. “Aku harus minum kopi supaya tidak ketiduran di mobil.”
“Kau tak punya…” Aku mengernyit, berusaha mencerna ucapannya. “Kau tak
punya pengawal?”
“Tidak.”
Aku terlonjak. “Tapi itu mustahil! Kau seorang bangsawan. Seharusnya kau
punya setidaknya satu orang pengawal. Bahkan dua.”
Pengawal disebar di antara Moroi dengan cara yang rumit oleh Dewan
Pengawal. Sistemnya bisa dikatakan tidak adil mengingat rasio antara
pengawal dan Moroi. Kaum nonbangsawan cenderung mendapatkan
pengawal dengan sistem lotre. Kaum bangsawan selalu mendapatkan
pengawal. Bangsawan kelas atas sering mendapatkan lebih dari satu
pengawal, tapi bangsawan kelas bawah sekalipun tak mungkin tidak punya
satu pengawal.
Kemarahanku memuncak. “Tapi itu tidak adil. Mereka tak bisa menghukummu
atas perbuatan orangtuamu.”
“Itu bukan hukuman, Rose.” Menurutku Tasha tidak kelihatan semarah yang
seharusnya. “Hanya… pengaturan ulang prioritas.”
“Aku bukannya tanpa perlindungan, Rose. Aku sudah bilang padamu. Dan
kalau benar-benar menginginkan pengawal, aku bisa saja membuat ulah agar
mendapatkannya, tapi itu terlalu menyulitkan. Untuk saat ini aku baik-baik
saja.”
“Dia takkan keberatan,” aku buru-buru berkata, merasa senang dengan solusi
ini.
Dimitri kelihatan geli melihatku bicara atas namanya, tetapi dia tidak
membantahnya. “Aku memang tidak keberatan.”
Tasha ragu-ragu. “Baiklah. Tapi sepertinya kita harus pergi sebentar lagi.”
Kelompok kecil kami yang melanggar ini pun membubarkan diri. Para Moroi
pergi ke arah yang sama, aku dan Dimitri ke arah lain. Dia dan Tasha sudah
berjanji untuk bertemu lagi dalam setengah jam.
“Jadi, apa pendapatmu tentang Tasha?” tanya Dimitri saat kami tinggal
berdua.
“Aku menyukainya. Dia asyik.” Aku memikirkan Tasha sejenak. “Dan aku
mengerti apa yang kaumaksud dengan tanda-tanda itu.”
“Oh?”
Dimitri tertawa lembut. Aku mendengarnya banyak tertawa malam ini, dan aku
memutuskan ingin mendengar lebih banyak lagi tawa itu.
“Tapi itu tidak masuk akal. Dimka sama sekali tidak kedengaran seperti
Dimitri. Seharusnya kau dipanggil, entahlah, Dimi atau semacam itu.”
“Bahasa Rusia itu aneh.” Dalam bahasa Rusia, nama panggilan untuk Vasilisa
adalah Vasya, dan menurutku itu tidak masuk akal.
Aku menatapnya dengan licik. “Kalau kau mengajariku umpatan dalam bahasa
Rusia, mungkin aku bisa sedikit lebih menghargainya.”
“Oh, Roza….” Dimitri mendesah, dan aku langsung merasa kegirangan. “Roza”
adalah nama Rusiaku. Dimitri jarang menggunakannya. “Kau sudah
mengekspresikan diri lebih sering daripada siapa pun yang kukenal.”
Aku tersenyum lalu berjalan lagi tanpa mengatakan apa-apa. Jantungku
berdebar lebih kencang. Aku merasa sangat bahagia berada di dekat Dimitri.
Ada sesuatu yang terasa hangat dan tepat dengan kebersamaan kami.
Namun, meski aku merasa di awang-awang, pikiranku terpaku pada hal lain
yang sejak tadi kupikirkan. “Kau tahu, ada sesuatu yang lucu dengan bekas
luka Tasha.”
“Brengsek,” gumamku.
“Dia tidak ada di sini.”
Aku menjerit dan nyaris melompat setinggi tiga meter ke udara. Saat berbalik,
aku melihat mata cokelat ibuku.
“Apa yang kaulakukan di sini?” Begitu kata-kata itu terucap, aku baru
menyadari penampilannya. Kaus lengan pendek dari bahan spandex elastis.
Celana latihan model serut longgar yang mirip dengan yang kupakai.
“Brengsek,” kataku lagi.
“Jaga mulutmu,” bentaknya. “Kau boleh bertindak seperti tak punya tata
krama, tapi setidaknya jangan bicara seperti itu.”
“Mana Dimitri?”
“Garda Belikov sedang tidur. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu dan
butuh istirahat.”
“Tutup mulutmu dan pakai ini.” Ibuku menyerahkan sarung tangan latih
padaku. Bentuknya mirip dengan sarung tinju tetapi tidak setebal dan sebesar
itu. Tetapi fungsinya sama. Untuk melindungi tangan dan mencegah agar
tidak mencakar lawan.
Sambil berharap seandainya tadi ditabrak bus saat berjalan dari asrama, aku
mengikutinya menuju gedung olahraga. Rambut keriting ibuku dijepit di
puncak sehingga memperlihatkan bagian belakang lehernya. Kulit lehernya
tertutup tato. Di paling atas tampak sebuah garis berliku bagai ular, tanda
sumpah yang diberikan saat seorang pengawal lulus dari akademi seperti St.
Vladimir dan berjanji akan mengabdi. Di bawahnya, tanda molnija yang
diberikan setiap kali seorang pengawal membunuh Strigoi. Bentuknya seperti
kilatan petir yang menjadi asal namanya. Aku tidak bisa menghitung berapa
jumlah pastinya, tetapi anggap saja cukup mengherankan masih ada bagian
leher ibuku yang bisa ditato. Ibuku sudah banyak melakukan pembunuhan.
Saat kami tiba di tempat yang diinginkannya, ibuku berbalik menghadapku lalu
mengambil posisi menyerang. Setengah berharap ibuku akan langsung
menyerangku saat itu juga, aku langsung meniru posisinya.
Ibuku menyerangku lagi, dan lagi, hingga aku nyaris tidak bisa bertahan di
dalam garis saat menghindarinya. Ibuku benar-benar tidak memberiku
kesempatan untuk menyerang. Atau mungkin aku memang tidak punya
kemampuan untuk melakukannya. Seluruh waktuku habis untuk
mempertahankan diri―setidaknya secara fisik. Meskipun kesal, aku harus
mengakui ibuku memang hebat. Sangat hebat. Tetapi sudah pasti aku takkan
memberitahunya.
“Sistem poin,” ulangku sambil bergerak mundur. “Aku tak mau bertarung. Aku
hanya berusaha mengobrol denganmu.”
Aku mengerang saat terkena pukulan. Ketika pertama kali berlatih dengan
Dimitri, aku mengeluh karena harus melawan orang yang tiga puluh
sentimeter lebih tinggi dariku. Dimitri menekankan bahwa banyak Strigoi yang
lebih tinggi dan peribahasa kuno itu memang benar: ukuran bukan masalah.
Terkadang aku berpikir Dimitri memberiku harapan palsu, tetapi saat melihat
performa ibuku sekarang, aku mulai memercayai ucapannya.
Aku belum pernah melawan orang yang tubuhnya lebih kecil dariku. Sebagai
salah satu dari sedikit cewek di kelas novis, aku sudah menerima kenyataan
untuk selalu lebih pendek dan lebih kurus dari lawan-lawanku. Namun, tubuh
ibuku lebih kecil lagi, dan jelas terlihat bahwa tubuh mungilnya itu hanya
mengandung otot.
“Tidak. Tentu saja aku tak mau jadi pelacur darah.” Napasku menjadi berat.
“Tidak semuanya seperti itu. Dan hanya sedikit yang benar-benar seperti itu.”
Wajah ibuku mengeras. “Kau,” ucapnya dengan mulut terkatup, “tidak tahu
apa-apa soal itu. Poin.”
“Kenapa? Apa aku sudah merusak reputasimu yang berharga? Seperti yang
kaubilang: Kau juga tidak jauh berbeda dari dhampir lainnya. Kau hanya tidur
dengannya dan―”
“Rose? Rose? Kau baik-baik saja?” Suaranya serak dan panik. Dunia serasa
berputar.
Sesaat setelah itu orang-orang berdatangan, dan entah bagaimana aku
berakhir di klinik kesehatan Akademi. Di sana, seseorang menyorotkan cahaya
ke mataku dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat bodoh.
“Siapa namamu?”
“Tentu saja aku ingat. Kenapa kau menanyakan hal-hal bodoh seperti itu? Kau
kehilangan catatanku?”
Dr. Olendzky mendesah berlebihan lalu berjalan pergi, membawa serta cahaya
menyebalkan itu bersamanya. “Kurasa dia baik-baik saja,” ucapnya
memberitahu seseorang. “Aku ingin dia tetap di sini selama jam sekolah,
hanya untuk memastikan bahwa dia tidak mengalami gegar otak. Yang pasti
aku tidak mau dia berada dekat-dekat dengan kelas pengawal.”
Aku menghabiskan sisa hari itu dengan berulang kali tertidur dan terbangun
karena Dr. Olendzky selalu membangunkanku untuk melakukan tes. Dia juga
memberiku sebungkus es dan menyuruhku menempelkannya di wajah. Ketika
kelas-kelas di Akademi bubar, dia memutuskan aku sudah cukup sehat untuk
pergi.
“Trims,” jawabku, meskipun aku sama sekali tidak yakin apakah aku
menginginkan kehormatan tersebut. “Jadi, tidak ada gegar otak?”
Dr. Olendzky menggelengkan kepala. “Tidak. Tapi kau akan merasa kesakitan.
Sebelum kau pergi, aku akan memberimu sesuatu untuk mengobatinya.”
Senyum di wajahnya menghilang, dan tiba-tiba saja dia terlihat gugup.
“Sejujurnya, Rose, kurasa kerusakan paling parah terjadi pada, hmm,
wajahmu.”
Aku melompat bangun dari tempat tidur. “Apa maksudmu dengan kerusakan
paling parah terjadi pada wajahku?”
Wanita itu mengerdik ke arah cermin di atas bak cuci di seberang ruangan.
Aku berlari menghampirinya dan melihat bayanganku.
“Keparat!”
Noda merah keunguan menutupi bagian atas sisi kiri wajahku, terutama di
dekat mata. Aku berbalik menghadap dokter itu dengan putus asa.
“Ini akan segera lenyap, kan? Kalau aku terus menempelkan es di atasnya?”
Tubuhku membeku. Aku bisa mengenali suara soprano bernada mengejek itu
di mana pun aku mendengarnya. Aku berbalik perlahan, dan menatap mata
biru tua Mia Rinaldi. Rambut pirang keriting membingkai wajah yang mungkin
akan terlihat imut jika tidak ada seringai jahat yang menghiasinya.
Dengan usia satu tahun lebih muda daripada kami, Mia menantang Lissa
(otomatis termasuk aku) dalam sebuah perang untuk membuktikan siapa
yang sanggup lebih cepat menghancurkan hidup yang lain―perang yang,
kalau boleh kutambahkan, dimulai oleh
nya
Harus diakui, kebencian yang dirasakan Mia tidak sepenuhnya tak berdasar.
Kakak lelaki Lissa, Andre―yang terbunuh dalam kecelakaan yang secara
teknis “membunuhku” juga―pernah memperlakukan Mia dengan cukup buruk
saat cewek itu baru masuk sekolah. Seandainya sikap Mia tidak menyebalkan
seperti sekarang, aku pasti akan kasihan kepadanya. Andre memang salah
karena sudah memperlakukannya seperti itu, dan meski bisa memahami
amarah Mia, aku tidak yakin apakah Mia bersikap adil dengan melampiaskan
kemarahannya pada Lissa.
Secara teknis aku dan Lissa memenangi perang itu, tetapi entah bagaimana
Mia berhasil bangkit lagi. Sekarang Mia tidak bergaul dengan kaum elite yang
dulu, tetapi dia membangun sebuah kelompok kecil yang terdiri atas teman-
temannya. Jahat atau tidak, pemimpin yang kuat selalu berhasil menarik
pengikut.
Dari sekitar sembilan puluh persen waktu yang kuhabiskan dengan Mia, aku
sadar bahwa respons paling efektif adalah dengan mengabaikannya. Tetapi
kami baru saja bergeser ke sepuluh persen sisanya, karena rasanya mustahil
mengabaikan seseorang yang mengumumkan pada dunia bahwa ibumu baru
saja meninjumu―sekalipun itu benar. Aku menatapnya. Mia sedang berdiri
dekat mesin penjual minuman, sadar telah berhasil memancingku. Aku
bahkan tidak repot-repot menanyakan dari mana dia tahu ibukulah yang
memberiku mata lebam ini. Sangat sulit menjaga rahasia di tempat ini.
Ketika dia melihat seluruh wajahku, kedua matanya melebar girang tanpa
perasaan bersalah. “Wow. Coba lihat wajah yang hanya bisa dicintai seorang
ibu.”
Ha. Lucu. Jika orang lain yang mengatakannya, aku mungkin akan bertepuk
tangan memuji lelucon itu.
“Yah, kau lebih ahli soal luka di wajah,” kataku. “Bagaimana hidungmu?”
Senyum dingin Mia mengendur sedikit, tetapi dia tidak menyerah. Aku pernah
mematahkan hidungnya sekitar sebulan yang lalu―dan parahnya, itu terjadi
saat pesta dansa sekolah. Meski sekarang sudah sembuh, hidungnya masih
terlihat agak miring. Dokter bedah plastik mungkin bisa menyembuhkannya,
tetapi jika melihat keadaan keuangan keluarganya, sepertinya itu takkan
mungkin diwujudkan dalam waktu dekat.
Ancaman kekerasan fisik biasanya selalu ampuh untuk melawan Mia, tetapi
sekarang kami dikelilingi banyak orang sehingga ancaman itu tidak terasa
terlalu mengkhawatirkan. Dan Mia menyadarinya. Bukan berarti aku tidak
berani menyerang orang lain di tengah keramaian seperti ini―tentu saja aku
sering melakukannya―tetapi akhir-akhir ini aku
sedang
“Sepertinya itu bukan tidak disengaja,” kata Mia. “Bukankah kalian punya
peraturan mengenai pukulan di wajah? Maksudku, kelihatannya itu
benar-benar
memang
Mia melihat keraguanku, dan rasanya seolah hari Natal datang seminggu lebih
awal baginya. Baru kali ini, sepanjang sejarah permusuhan kami, Mia bisa
membuatku tak sanggup berkata-kata.
Tiga puluh detik kemudian, aku mengetuk pintu kamar Lissa dengan sangat
keras, sehingga aku sendiri heran kepalan tanganku tidak menembus
pintunya. Lissa membukanya pelan-pelan lalu mengintip ke kiri-kanan.
“Kau sendirian? Kupikir ada satu pasukan―astaga.” Alis Lissa terangkat saat
melihat sisi kiri wajahku. “Apa yang terjadi?”
“Aku mendengar kalau kau terluka, tapi kusangka ini kejadian normal saja,”
kata Lissa.
Dengan sedih aku menatap langit-langit. “Dan yang paling parah, Mia benar.
Ini bukan kecelakaan.”
“Maksudmu, ibumu melakukannya dengan sengaja?” Saat aku tidak
menjawab, suara Lissa berubah jadi ragu-ragu. “Ayolah, dia tidak akan
melakukannya. Tak mungkin.”
“Kalau begitu,” kata Lissa, “kurasa lebih masuk akal jika dia tersandung dan
pukulannya meleset daripada melakukannya dengan sengaja. Dia pasti benar-
benar kehilangan kendali kalau sampai melakukannya dengan sengaja.”
memang
sedang bicara denganku. Dan isinya cukup membuat siapa pun kehilangan
kendali. Saat itu aku menuduhnya tidur dengan ayahku karena pria itu pilihan
terbaik menurut teori evolusi.”
“Rose,” Lissa mengerang. “Kau tidak bilang soal itu dalam ceritamu tadi.
Kenapa kau mengatakan itu kepadanya?”
“Tapi kau pasti tahu itu akan membuatnya kesal. Kenapa kau terus-menerus
memancing kemarahannya? Kenapa kau tidak berdamai saja dengannya?”
Selama beberapa menit tadi, rasanya kami seperti kembali ke masa lalu.
Hanya kami berdua, bercengkerama dan mengobrol. Saat Lissa menyebut-
nyebut nama Christian―saat aku menyadari bahwa dia akan segera pergi
meninggalkanku demi Christian―menimbulkan perasaan kelam di dadaku…
perasaan yang enggan kuakui sebagai rasa cemburu. Biasanya aku tidak
memperlihatkan perasaan itu.
Lissa tertawa, berpaling dari cermin dan melihatku menyentuh wajahku yang
bengkak dengan hati-hati. Senyumnya menjadi lembut. “Tidak separah itu
kok.”
“Terserah apa katamu. Kau tahu kan aku selalu tahu kalau kau berbohong.
Dan Dr. Olendzky bilang besok lebamnya akan semakin parah.” Aku kembali
berbaring di tempat tidur. “Mungkin di dunia ini tidak tersedia cukup banyak
lotion penyamar noda untuk menutupi lebam ini, ya kan? Sepertinya aku dan
Tasha sama-sama harus berinvestasi membeli topeng bergaya
.”
Lissa mendesah, lalu duduk di dekatku. “Sayang sekali aku tak bisa
menyembuhkanmu.”
Lissa mendesah lagi. “Dan tak ada yang kuharapkan selain bisa
menyembuhkan dan melakukan hal lainnya dengan kekuatan roh. Aku juga,
yah, aku merindukan sihir. Kemampuan itu masih ada, hanya dihambat oleh
pil-pil yang kuminum. Kemampuan itu membara di dalam diriku. Kekuatan itu
menginginkanku, dan aku menginginkannya. Tapi ada dinding yang
menghalangi kami. Kau sama sekali tak bisa membayangkannya.”
Itu benar. Selain bisa merasakan emosinya secara umum, kadang-kadang aku
juga bisa “menyelinap ke dalam dirinya”. Hal ini sulit dijelaskan, dan lebih sulit
lagi dijalani. Saat itu terjadi aku sungguh-sungguh bisa melihat melalui mata
Lissa dan
merasakan
adalah
Lissa. Sering kali, aku berada di dalam kepala Lissa saat dia sedang
merindukan sihir dan aku bisa merasakan kebutuhannya yang menyala-nyala.
Lissa sering terbangun di malam hari, mendambakan kekuatan yang tidak
bisa diraihnya lagi.
“Entahlah. Sedikit.”
Lissa menggelengkan kepala. “Tidak. Aku masih tak bisa menggunakan sihir.
Aku merasa
lebih dekat
“Yeah… suasana hatiku mulai bertingkah. Tapi jangan cemas,” kata Lissa
ketika melihat wajahku. “Aku tidak pernah berkhayal yang aneh-aneh, atau
berusaha menyakiti diri sendiri.”
“Bagus.” Aku lega mendengarnya, walaupun masih cemas. Meski Lissa masih
tidak bisa menggunakan sihir, aku tidak suka mendengar keadaan mentalnya
yang mulai kembali mengkhawatirkan. Aku sungguh-sungguh berharap situasi
ini akan membaik dengan sendirinya. “Aku di sini,” ucapku lembut sambil
menatapnya lekat-lekat. “Kalau ada sesuatu yang aneh terjadi… beritahu aku,
ya?”
Aku tersenyum, senang melihatnya kembali seperti biasa. Kami larut dalam
kesunyian, dan sejenak aku merasa ingin mencurahkan isi hatiku padanya.
Akhir-akhir ini aku sedang banyak pikiran. Mengenai ibuku, Dimitri, dan rumah
keluarga Badica. Selama ini aku memendamnya, dan semua perasaan itu
mulai mencabik-cabik diriku. Sekarang―setelah sekian lama―aku merasa
nyaman berada di dekat Lissa, dan sepertinya kali ini giliranku membiarkannya
menyelami perasaanku.
“Aku tidak menemukan orang lain yang terbukti sebagai pengguna roh, tapi
aku menemukan… laporan mengenai, em, fenomena yang tidak bisa
dijelaskan.”
Aku mengerjap kaget. “Contohnya seperti apa?” tanyaku, memikirkan apa saja
yang bisa dikatakan sebagai“fenomena yang tidak bisa dijelaskan” bagi
vampir. Saat aku dan Lissa tinggal bersama manusia,
kami
“Kompulsi yang sangat kuat. Aku tidak bisa melakukannya, dan kompulsiku
sekarang―atau setidaknya dulu―lebih kuat daripada siapa pun yang kita
kenal. Dan kekuatan itu berasal dari penggunaan roh….”
“Karena informasinya tidak ada! Informasinya dirahasiakan. Dan ada lagi yang
aneh. Contohnya orang yang sanggup menguras energi fisik orang lain. Orang-
orang di dekatnya akan menjadi lemah dan kehilangan seluruh kekuatan
mereka. Mereka sampai pingsan. Lalu ada orang lain yang sanggup membuat
barang-barang yang dilemparkan ke arahnya berhenti dan mengambang di
udara.” Perasaan bersemangat membuat wajahnya berbinar.
“Mason temanku,” kataku tegas, terkejut dengan topik pembicaraan yang tiba-
tiba berubah. “Hanya itu.”
“Oke… mungkin tidak. Tapi kelihatannya kau sudah tidak tertarik lagi dengan
cowok.”
Aku tertawa. Itu juga benar. Aku teringat semangat Mason untuk menumpas
semua Strigoi yang ada di dunia ini. Aku mungkin belum siap―terlepas dari
luapan amarahku saat berada di mobil―tapi aku sama cerobohnya dengan
Mason. Mungkin sudah saatnya aku memberinya kesempatan, pikirku. Saling
meledek dengan Mason rasanya menyenangkan, dan rasanya sudah lama
sekali aku tidak pernah mencium seseorang. Dimitri membuatku sakit hati…
tetapi bukan berarti ada hal lain yang terjadi di antara kami.
Lissa mengamatiku dengan penuh perhatian, seakan dia tahu apa yang
sedang kupikirkan―yah, selain hal yang berkaitan dengan Dimitri. “Kudengar
Meredith menganggapmu tolol karena tidak berkencan dengan Mason.
Menurutnya, kau tidak mau berkencan dengan Mason karena kaupikir kau
terlalu hebat untuknya.”
“Hei, bukan
aku
Memang agak picik, tetapi aku sudah terbiasa dengan Mason yang selalu
mengintil ke mana pun aku pergi. Tiba-tiba saja memikirkannya direbut orang
lain membuatku kesal.
“Kau posesif,” kata Lissa, lagi-lagi menebak jalan pikiranku. Tidak heran dia
sangat kesal jika aku membaca pikirannya.
“Hanya sedikit.”
Lissa tertawa. “Rose, kalaupun bukan dengan Mason, sebaiknya kau mulai
berkencan lagi. Ada banyak cowok yang rela mati agar bisa berkencan
denganmu―cowok yang memang baik hati.”
Pilihanku dalam urusan cowok memang tidak selalu tepat. Lagi-lagi, aku
merasakan dorongan untuk mencurahkan semua kekhawatiranku padanya.
Selama ini aku selalu ragu untuk menceritakan soal Dimitri pada Lissa, meski
rahasia ini membara dalam diriku. Duduk bersama Lissa seperti sekarang
mengingatkanku dia
memang
sahabatku. Aku bisa mengatakan apa pun padanya dan dia takkan
menghakimiku. Namun, sama seperti tadi, aku sudah kehilangan kesempatan
untuk menceritakan apa yang ada di dalam benakku.
Lissa melirik jam alarmnya, dan langsung terlonjak bangun dari tempat tidur.
Aku dan Lissa meninggalkan asrama, dan bisa dibilang dia berlari, berjanji
untuk mengobrol lagi besok. Aku kembali ke asramaku sendiri. Saat tiba di
kamar, aku melewati cermin dan langsung mengerang saat melihat wajahku.
Lebam hitam keunguan terlihat di sekeliling mataku. Saat mengobrol dengan
Lissa, aku nyaris melupakan semua yang terjadi dengan ibuku. Aku
menghampiri cermin agar bisa mengamati wajahku dengan lebih jelas.
Mungkin kedengarannya sombong, tetapi aku tahu penampilanku keren. Aku
memakai
bra
Tetapi hari ini? Yeah. Bisa dibilang nilaiku minus. Aku berniat terlihat
mengagumkan dalam perjalanan ski nanti.
“Ibuku memukuliku,” aku memberitahu pantulanku. Pantulanku membalas
tatapanku dengan simpatik.
Seraya mendesah, kuputuskan lebih baik bersiap-siap tidur. Malam ini aku tak
ingin melakukan apa-apa lagi, dan mungkin tidur lebih lama bisa
mempercepat proses penyembuhan. Aku pergi ke kamar mandi di ujung
selasar untuk mencuci muka dan menyisir rambut. Saat kembali ke kamar,
aku memakai piama kesayanganku dan sentuhan kain flanel yang lembut
membuatku agak lebih ceria.
Seperti yang sudah kusebutkan, emosi kuat yang dirasakan Lissa bisa
memicu fenomena ini―fenomena yang menyebabkan aku terseret ke dalam
kepala Lissa. Tetapi hal itu selalu, selalu, terjadi akibat emosi negatif. Emosi
tersebut akan meraihku saat Lissa merasa marah atau putus asa. Namun kali
ini? Lissa tidak sedang marah.
Mereka sedang berada di loteng kapel sekolah, yang biasa kusebut sebagai
sarang cinta mereka. Loteng itu dulu mereka gunakan untuk melarikan diri
saat keduanya sedang tidak ingin bersosialisasi dan ingin menghindar.
Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak bersosialisasi bersama-sama,
kemudian satu hal mulai mengarah pada hal lainnya. Sejak mereka terang-
terangan berkencan, aku tidak tahu bahwa mereka masih sering
menghabiskan waktu di tempat ini. Mungkin mereka ke sini untuk mengenang
masa lalu.
Dan memang, sepertinya sedang ada perayaan di tempat ini. Lilin-lilin kecil
beraroma diletakkan di sekitar tempat usang yang berdebu itu. Lilin-lilin ini
memenuhi udara dengan aroma bunga lilac. Aku mungkin akan agak khawatir
menyalakan lilin sebanyak itu di dekat kardus dan buku yang mudah terbakar,
tetapi sepertinya Christian menganggap dirinya sanggup mengendalikan api
seandainya terjadi kecelakaan.
Mereka akhirnya mengakhiri ciuman yang sangat lama itu dan sama-sama
mundur untuk saling menatap. Mereka berbaring miring di atas lantai. Ada
beberapa helai selimut yang terhampar di bawah mereka.
Wajah Christian terlihat jujur dan lembut saat menatap Lissa, matanya yang
biru pucat berbinar akibat emosi yang dirasakannya. Tatapannya berbeda dari
cara Mason menatapku. Mason memang jelas-jelas terlihat memuja, tetapi
tatapannya lebih mirip perasaan saat kau berada di dalam gereja dan jatuh
berlutut karena kekaguman dan ketakutan akan sesuatu yang kaupuja namun
tidak sepenuhnya kaupahami. Christian jelas-jelas memuja Lissa dengan
caranya sendiri, tetapi di dalam matanya terlihat kilau pemahaman. Sesuatu
yang mengatakan bahwa keduanya saling memahami dengan begitu
sempurna dan kuat sehingga mereka tidak membutuhkan kata-kata untuk
menyampaikannya.
“Apa menurutmu kita akan masuk neraka karena melakukan semua ini?” tanya
Lissa.
Christian menyentuh wajah Lissa, menyusurkan jemari pada pipi dan lehernya,
lalu turun hingga ke bagian atas kemeja sutranya. Napas Lissa menjadi berat
karena sentuhan itu, yang sangat lembut dan ringan, tetapi membangkitkan
gairah kuat di dalam dirinya.
“Karena semua ini?” Christian memainkan tepi kemeja Lissa, dan membiarkan
jemarinya hampir menyentuh apa yang ada di baliknya.
“Kau tidak percaya pada Tuhan,” tuduh Lissa. Tangan Lissa menelusuri dada
Christian. Gerakannya seringan dan sepelan gerakan Christian tadi, tetapi jelas
memicu respons yang sama kuatnya pada diri Christian.
“Aku tak ingin mendengar apa pun,” kata Lissa sambil tertawa. Kancing yang
lain pun terlepas. “Kau boleh mengatakan apa saja―tapi lebih baik yang
sebenarnya.”
Kata-kata itu diucapkan Christian dengan nada tajamnya yang khas, tetapi
matanya menampakkan pesan yang sepenuhnya berbeda. Aku menyaksikan
semua ini melalui mata Lissa, tetapi aku bisa membayangkan apa yang dilihat
Christian. Kulit Lissa yang putih dan mulus. Pinggang dan pinggul yang
ramping. Bra putih berenda. Melalui ikatan batin kami, aku bisa merasakan
bahan renda itu terasa gatal, tetapi Lissa tidak memedulikannya.
Perasaan senang dan bergairah tergambar pada wajah Christian. Dari dalam
diri Lissa aku bisa merasakan jantungnya berdebar dan napasnya semakin
cepat. Perasaan yang sama seperti perasaan Christian mengaburkan pikiran
lainnya. Christian bergeser, lalu berbaring di atas tubuh Lissa dan merapatkan
tubuh. Mulutnya mencari mulut Lissa lagi, dan saat itu pula, aku tahu
aku harus keluar dari sana.
Namun, saat merasakan isi hati Lissa, aku tahu semua itu bukan masalah
untuknya. Tidak pada saat itu. Pada saat itu, yang ada hanya mereka berdua
dan perasaan terhadap satu sama lain. Dengan kehidupan yang berisi lebih
banyak masalah daripada yang seharusnya dialami orang seumurnya, saat ini
Lissa benar-benar yakin akan apa yang sedang dilakukannya. Inilah yang
diinginkannya. Yang sejak lama diinginkannya bersama Christian.
Tetapi astaga, Lissa tidak mempermudahku keluar dari dalam kepalanya. Dia
tidak berniat melepaskan diri dari perasaan dan emosinya, dan semakin kuat
emosinya, semakin kuat juga cengkeramannya pada diriku. Aku berusaha
menjauhkan diri dari Lissa, dan memusatkan energi untuk kembali ke dalam
diriku, berkonsentrasi sekuat mungkin.
Sial―
Aku terlepas dari Lissa dan kembali pada diriku sendiri. Aku kembali ke dalam
kamarku, tetapi aku sudah tidak berminat mengemas ransel. Seluruh duniaku
hancur berantakan. Aku merasa aneh dan dicurangi―nyaris tidak yakin
apakah aku ini Rose atau Lissa. Aku juga kembali merasa kesal pada
Christian. Sudah pasti aku tidak mau berhubungan seks dengan Lissa, tetapi
ada sesuatu yang terasa sakit di dalam diriku, perasaan frustrasi karena
sekarang aku bukan pusat dunianya lagi.
Aku meninggalkan ranselku, lalu pergi tidur sambil memeluk tubuh dan
bergelung seperti bola, berusaha menekan rasa sakit di dalam dada.
***
Bisa dibilang aku langsung tertidur dan akibatnya bangun lebih awal.
Biasanya, aku harus menyeret diri untuk turun dari tempat tidur dan menemui
Dimitri, tetapi hari ini aku muncul lebih awal hingga berhasil mendahuluinya
datang ke gedung olahraga. Saat menunggu, aku melihat Mason memotong
jalan ke salah satu bangunan berisi kelas-kelas.
Aku tertawa, tiba-tiba teringat pembicaraanku dengan Lissa. Ya, jelas ada hal-
hal yang lebih buruk untuk kulakukan daripada bergenit-genit dan memulai
sesuatu dengan Mason.
“Jangan. Kau bisa dapat masalah, dan kalau itu yang terjadi, aku tidak akan
punya tantangan sejati di lereng salju.”
Mason memutar bola mata, tetapi masih tersenyum. “Akulah yang tidak punya
tantangan sejati, ingat?”
“Apa kau sudah siap untuk mempertaruhkan sesuatu? Atau kau masih terlalu
takut?”
“Yap. Tapi kalau kau terus-menerus bicara tidak sopan, mungkin aku akan
memberikannya pada orang lain.”
“Dia bahkan tidak satu level denganmu, dan kau tahu itu.”
Mason mengangkat bahu. “Tak ada. Tadinya ibuku mau datang, tapi dia
membatalkannya pada saat-saat terakhir… kau tahu kan, dengan segala
kejadian kemarin.”
“Benarkah?”
“Sangat menyenangkan.”
Mason pergi tepat saat Dimitri datang untuk memulai latihan kami. Mengobrol
dengan Mason sudah membuatku merasa limbung dan bahagia. Ketika
bersamanya, aku sama sekali tidak memikirkan wajahku. Tetapi saat bersama
Dimitri, aku mendadak menjadi sadar diri. Aku tidak ingin terlihat kurang
sempurna di hadapan Dimitri, jadi ketika kami berjalan ke dalam gedung
olahraga, aku berusaha memalingkan wajah supaya dia tidak bisa melihat
seluruh wajahku. Mengkhawatirkan hal itu membuat suasana hatiku menurun,
dan ketika itu terjadi, hal-hal yang tadi membuatku kesal kembali
bermunculan.
Kami kembali ke ruang latihan yang dilengkapi dengan boneka, dan Dimitri
berkata bahwa dia hanya ingin aku mengulang gerakan-gerakan yang kami
latih dua hari lalu. Senang karena dia tidak mengungkit-ungkit pertarungan
dengan ibuku, aku menjalankan tugasku dengan semangat berkobar. Aku
memperlihatkan pada boneka-boneka itu apa yang akan terjadi jika mereka
berani mencari masalah dengan Rose Hathaway. Aku sadar amarah
bertarungku tidak hanya dipicu oleh hasrat sederhana untuk melakukan yang
terbaik. Pagi ini perasaanku berada di luar kendali, berat dan tertekan setelah
pertarungan dengan ibuku serta kejadian Christian dan Lissa yang kusaksikan
semalam. Dimitri duduk santai sambil memperhatikan aku, sesekali
mengkritik teknik yang kupakai dan menyarankan taktik-taktik baru.
“Dimitri―”
“Lihat aku.”
Apa pun yang diam-diam terjadi di antara kami, Dimitri tetap instrukturku. Aku
tidak bisa menolak perintah langsung. Perlahan-lahan, dengan ragu, aku
berbalik menghadapnya. Aku masih memiringkan kepala sedikit agar
rambutku terurai menutupi sisi wajahku. Dimitri bangkit dari kursinya, berjalan
menghampiri, lalu berdiri di hadapanku.
Tangan Dimitri tetap berada di sana, dan dunia seakan berhenti saat aku
menunggu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Setelah beberapa saat
yang terasa bagaikan berabad-abad, Dimitri perlahan menurunkan tangannya
lagi. Kekecewaan menyapuku, namun pada saat yang sama aku juga
menyadari sesuatu. Dimitri ragu-ragu. Dia takut untuk menyentuhku, yang
mungkin―hanya mungkin―berarti dia masih ingin melakukannya. Dimitri
terpaksa menahan diri.
“Aku benci dia,” kataku, terkejut saat menyadari betapa banyak racun yang
terkandung dalam tiga kata itu. Bahkan saat mendadak merasa bergairah dan
menginginkan Dimitri, aku masih tidak bisa mengubur dendam yang
kurasakan pada ibuku.
“Aku membencinya.”
“Kau tak punya waktu untuk membenci siapa pun,” Dimitri menasihati,
suaranya masih terdengar manis. “Setidaknya dalam profesi kita. Kau harus
berdamai dengannya.”
Lissa pernah mengatakan hal yang persis sama. Murka menambah emosiku
yang lain. Kegelapan di dalam diriku mulai membabar. “Berdamai dengannya?
Setelah dia sengaja membuat mataku lebam? Kenapa hanya aku yang bisa
melihat betapa gilanya semua itu?”
“Mungkin dia lebih khawatir kalau ada orang yang menuntutnya dengan
tuduhan kekerasan pada anak,” aku menggerutu.
Aku mendesah keras-keras. “Ini bukan acara spesial Natal! Ini hidupku. Dalam
dunia nyata, keajaiban dan kebaikan tidak terjadi begitu saja.”
Dimitri masih menatapku dengan tenang. “Dalam dunia nyata, kau bisa
menciptakan keajaibanmu sendiri.”
Rasa frustrasiku mendadak mencapai titik ledak, dan aku tak sanggup lagi
terus-menerus berusaha mengendalikan diri. Aku sangat lelah selalu disuruh
melakukan hal-hal yang praktis dan masuk akal setiap kali ada yang salah
dalam hidupku. Aku tahu Dimitri hanya ingin membantuku, tetapi sekarang
aku sedang tidak ingin mendengar kata-kata bijak. Aku ingin mendapat
ketenangan setelah semua masalah yang kualami. Aku tidak mau memikirkan
cara menjadi orang yang lebih baik. Aku hanya berharap Dimitri mau
memelukku dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
“Menghentikan apa?”
“Semua omong kosong Zen yang mendalam ini. Kau tidak bicara denganku
sebagai orang sungguhan. Semua yang kaukatakan itu hanya omong kosong
mengenai pelajaran hidup yang bijaksana. Kau memang kedengaran seperti
sebuah acara spesial Natal.” Aku tahu tidak adil melampiaskan amarahku
pada Dimitri, tetapi aku sadar bahwa aku sedang berteriak padanya. “Sumpah,
kadang-kadang kau sepertinya hanya ingin mendengar dirimu bicara! Dan
aku tahu kau tidak selalu begini. Kau benar-benar normal saat sedang
mengobrol dengan Tasha. Tetapi denganku? Kau tak pernah bersungguh-
sungguh. Kau tak peduli padaku. Kau terjebak dalam peran bodohmu sebagai
mentorku.”
Dimitri menatapku, tanpa terduga dia terlihat kaget. “Aku tak peduli padamu?”
“Tidak.” Aku bersikap picik―amat sangat picik. Dan aku tahu yang
sebenarnya―bahwa dia memang peduli dan lebih dari sekadar mentor
untukku. Namun, aku tak sanggup menahan diri. Aku mendorong dadanya
dengan jari. “Aku hanya seorang murid biasa bagimu. Kau terus-menerus
membicarakan nasihat kehidupan bodohmu itu sehingga―”
Tangan yang semula kuharap akan menyentuh rambutku tiba-tiba saja terulur
dan merenggut tanganku yang menunjuk dadanya. Dimitri menekannya ke
dinding, dan aku aku terkejut melihat kobaran emosi yang terpancar pada
matanya. Emosi itu tidak bisa disebut sebagai amarah… itu semacam rasa
frustrasi.
Saat itu aku melihat setidaknya sebagian ucapanku tadi memang benar.
Dimitri hampir selalu bersikap tenang, selalu terkendali―bahkan saat sedang
bertarung. Namun, Dimitri pernah bercerita bagaimana emosinya meledak
hingga akhirnya dia memukuli ayah Moroi-nya. Sesungguhnya dia dulu mirip
denganku―selalu terdorong emosi untuk bertindak tanpa berpikir, dan
melakukan hal-hal yang dia tahu tidak boleh dilakukannya.
“Apa?”
“Kau selalu bertarung untuk mendapatkan kendali. Kau sebenarnya sama saja
denganku.”
“Rose…”
Aku bisa melihat napas Dimitri yang tersengal-sengal, dan aku tahu
jantungnya juga berdetak sekencang jantungku. Dan dia tidak menarik diri.
Aku tahu ini salah―sadar sepenuhnya akan semua alasan logis yang
mengharuskan kami saling menjauh. Namun, pada saat itu aku tidak peduli.
Aku tidak mau mengendalikan diri. Aku tidak mau bersikap manis.
Sebelum Dimitri menyadari apa yang sedang terjadi, aku menciumnya. Bibir
kami bertemu, dan saat merasakan dia membalas ciumanku, aku tahu aku
benar. Dimitri menekan tubuh ke arahku, memerangkapku di antara tubuhnya
dan dinding. Dia terus memegangi tanganku, tetapi tangannya yang lain
meliuk ke belakang kepalaku dan meluncur ke rambutku. Ciumannya sangat
dalam. Ciuman itu mengandung amarah, gairah, dan pelepasan….
Dimitri menatapku sangat lama. “Aku tidak memberikan ‘nasihat ala Zen’
untuk mendengar diriku bicara. Aku tidak menasihatimu karena
menganggapmu sebagai murid biasa. Aku melakukannya untuk mengajarimu
cara mengendalikan diri.”
SETELAH ITU AKU tidak pernah bertemu lagi dengan Dimitri. Siangnya, dia
mengirim pesan yang mengatakan bahwa menurutnya kami sebaiknya
membatalkan dua sesi latihan berikutnya karena rencana keberangkatan yang
sudah semakin dekat. Toh pelajarannya juga akan segera berakhir, begitu
katanya. Beristirahat sejenak dari latihan kedengarannya memang masuk
akal.
Itu alasan yang payah, dan aku tahu itu bukan alasan sebenarnya Dimitri
membatalkan latihan kami. Jika dia ingin menghindar, aku lebih suka dia
mengarang cerita mengenai rencananya bersama pengawal lain untuk
meningkatkan keamanan bagi kaum Moroi, atau melatih gerakan-gerakan
ninja super-rahasia.
Terlepas dari itu, aku tahu Dimitri menghindariku karena ciuman kami. Ciuman
sialan itu. Aku tidak menyesalinya, sama sekali tidak. Hanya Tuhan yang tahu
betapa besar keinginanku untuk menciumnya. Tetapi aku melakukannya
dengan alasan yang salah. Aku melakukannya karena kesal, frustrasi, dan
sekadar ingin membuktikan bahwa aku
bisa
melakukannya. Aku capek harus selalu bertindak benar dan cerdas. Akhir-
akhir ini aku berusaha untuk lebih mengendalikan diri, tetapi sepertinya aku
terpeleset.
Mason menemuiku pada pagi hari Natal, dan kami pergi untuk berkumpul
dengan yang lain. Ini memberiku kesempatan baik untuk menyingkirkan
Dimitri dari kepalaku. Aku menyukai Mason―sangat suka. Dan bukan berarti
aku akan melarikan diri dan menikahinya. Seperti yang dikatakan Lissa,
kembali berkencan akan menjadikan kehidupanku lebih sehat.
Tasha mengadakan sarapan siang Natal di ruang tamu elegan yang terdapat
di area tamu Akademi. Banyak acara dan pesta kelompok yang diadakan di
seluruh penjuru sekolah, tetapi aku langsung menyadari bahwa kehadiran
Tasha selalu menimbulkan gangguan. Orang-orang biasanya memandanginya,
atau menjauh untuk menghindarinya. Terkadang Tasha menantang mereka.
Terkadang dia diam saja. Hari ini, dia memilih menghindari bangsawan lain
dan menikmati pesta kecil akrab bersama orang-orang yang tidak
mengucilkannya.
Dimitri juga diundang, dan keteguhan hatiku agak tumbang saat melihatnya.
Dia benar-benar berdandan rapi untuk acara ini. Oke, “berdandan rapi”
mungkin berlebihan, tetapi penampilannya saat ini mendekati gambaran itu.
Biasanya dia terlihat agak urakan… seakan-akan bisa terjun ke dalam
pertarungan kapan saja. Hari ini, rambut gelapnya diikat di tengkuk, seolah dia
sudah berusaha merapikannya. Dia memakai sepatu bot kulit dan celana
jinsnya yang biasa, tetapi alih-alih kaus oblong atau kaus tangan panjang,
Dimitri memakai sweter rajut warna hitam. Sweter yang dipakainya biasa saja,
bukan buatan desainer dan tidak mahal, tetapi memberikan sentuhan lain
yang belum pernah kulihat pada dirinya. Dan ya Tuhan, sweter itu sangat
cocok untuknya.
Dimitri tidak bersikap jahat atau semacamnya kepadaku, tetapi jelas-jelas dia
juga tidak berusaha mengobrol denganku. Namun, dia berbincang dengan
Tasha, dan dengan takjub kulihat mereka mengobrol dengan santai. Aku baru
tahu bahwa seorang teman baik Dimitri adalah sepupu jauh keluarga Tasha,
dan dari sanalah mereka berdua saling mengenal.
“Saat pertama kali aku bertemu dengannya, dia bersumpah tak ingin punya
anak.”
Benar
! Aku sendiri tidak percaya. Kau harus melihat dia sekarang. Dia benar-benar
tak berdaya saat berada di dekat anak-anaknya. Aku bahkan sering tak
mengerti ucapannya. Aku berani sumpah, dia lebih sering bicara bahasa bayi
daripada bahasa Inggris.”
mu
,” kata Tasha sambil tertawa. “Sikapmu selalu tenang. Tentu saja… kurasa kau
akan mengucapkan bahasa bayi dalam bahasa Rusia, jadi takkan ada yang
menyadarinya.”
Mereka berdua tertawa dan aku memalingkan wajah, bersyukur ada Mason
yang bisa diajak bicara. Mason merupakan pengalih perhatian yang baik,
karena selain Dimitri mengabaikan aku, Lissa dan Christian juga sedang
mengobrol di dunia kecil mereka sendiri. Sepertinya seks membuat mereka
lebih saling mencintai, dan aku bertanya-tanya apa akan punya waktu
bersama Lissa dalam perjalanan ski kami nanti. Akhirnya Lissa memang
berpaling dari Christian untuk memberikan kado Natal kepadaku.
Aku membuka kotak yang diberikan Lissa lalu menatap isinya. Aku melihat
seuntai manik-manik berwarna merah tua, dan aroma mawar pun menguar.
“Apa-apa―”
chotki
.
Chotki
Aku melakukan apa yang diminta. Di bagian belakang salib, seekor naga yang
dikelilingi jalinan bunga terukir pada emasnya. Simbol keluarga Dragomir. Aku
mendongak menatap Lissa dengan bingung.
Chotki
“Liss…” aku berkata. Benda itu kini terlihat sepenuhnya berbeda. “Aku tak
bisa… kau tak bisa memberiku benda seperti ini.”
“Tapi sudah pasti aku tak bisa menyimpannya. Benda ini ditujukan bagi
seorang pengawal. Pengawalku.”
Lissa nyengir. “Hmm, kalau itu yang terjadi, kau bisa mengembalikannya
kepadaku.”
“Janine!”
Aku merasa perutku melilit dan ada hawa panas yang naik ke pipiku saat
detail pertarungan kami kembali mengisi benakku. Ibuku belum mengatakan
apa-apa sejak peristiwa itu terjadi dua hari yang lalu, bahkan saat aku masih
berada di klinik. Tak ada permintaan maaf. Tak ada apa pun. Aku
mengertakkan gigi.
Ibuku duduk dan langsung bergabung dalam obrolan kami. Sudah lama aku
tahu bahwa ibuku hanya bisa mengobrol mengenai satu hal: urusan pengawal.
Aku ingin tahu apakah dia punya hobi. Serangan keluarga Badica masih
hangat dalam ingatan semua orang, dan hal itu mendorongnya memulai
pembicaraan mengenai pertarungan serupa yang pernah dialaminya. Yang
membuatku ngeri, Mason terpukau oleh setiap patah kata ibuku.
“Memang, memenggal kepala tidak semudah yang terlihat,” kata ibuku dengan
nada inilah-yang-sesungguhnya-terjadi. Aku sama sekali tidak pernah
menganggapnya mudah, tetapi nada suara ibuku menunjukkan keyakinannya
bahwa semua orang menganggap remeh soal itu. “Kau harus menembus
tulang belakang dan banyak tendon.”
Melalui ikatan batin, aku bisa merasakan Lissa mulai agak mual. Dia tidak
tahan dengan pembicaraan yang mengerikan seperti ini.
Mata Mason berbinar. “Apa senjata terbaik untuk melakukannya?”
Sejujurnya aku tak percaya bahwa kami membicarakan hal semacam ini saat
Natal. Kehadiran ibuku telah merusak segalanya. Untungnya, acara kumpul-
kumpul ini akhirnya bubar. Christian dan Lissa pergi untuk menyelesaikan
urusan mereka, sedangkan Dimitri dan Tasha merasa masih banyak hal yang
ingin mereka perbincangkan. Aku dan Mason sedang berjalan menuju asrama
dhampir
Tidak seorang pun dari kami yang bicara. Bintang bertaburan di langit hitam,
tajam dan terang, kilau mereka serupa dengan es dan salju di sekeliling kami.
Aku memakai parka berwarna gading dengan bulu buatan. Parka ini menjaga
tubuhku tetap hangat, meski sama sekali tak berguna dalam melawan angin
dingin yang menerpa wajahku. Selama kami berjalan, aku terus-menerus
berharap ibuku berbalik menuju area pengawal yang lain, tetapi dia ikut masuk
ke dalam asrama bersama kami.
“Sejak tadi aku ingin bicara denganmu,” akhirnya ibuku berkata. Alarm di
dalam tubuhku berbunyi. Apa salahku kali ini?
Ibuku hanya berkata seperti itu, tetapi Mason langsung mengerti. Mason sama
sekali tidak bodoh dan sepenuhnya menyadari petunjuk-petunjuk dalam
bersosialisasi, tetapi saat ini aku mengharapkan sebaliknya. Menurutku sikap
Mason juga sangat ironis, dia ingin membantai semua Strigoi di dunia, tetapi
pada saat yang sama takut pada ibuku.
Aku mengajaknya ke lantai atas, menjaga tetap berada dalam jarak aman saat
kami berjalan. Suasana di antara kami terasa tegang dan canggung. Ibuku
tidak mengatakan apa-apa saat kami tiba di kamar, tetapi kulihat dia
mengamati setiap detail dengan saksama, seolah ada Strigoi yang mungkin
sedang mengintai kami. Aku duduk di tempat tidur dan menunggu ibuku
mondar-mandir, bingung harus berbuat apa. Ibuku menyapukan jemari pada
setumpuk buku mengenai evolusi dan perilaku hewan.
Alisnya terangkat. Dia tidak tahu soal itu. Tetapi bagaimana dia bisa tahu?
Ibuku tidak tahu apa-apa soal aku. Dia melanjutkan pengamatannya, sesekali
berhenti untuk mempelajari hal-hal kecil tentang aku yang sepertinya
membuatnya kaget. Sebuah foto yang memperlihatkan aku dan Lissa
berdandan seperti peri saat Halloween. Satu kantong SweetTart. Rasanya
seolah ibuku baru pertama kali bertemu denganku.
Ibuku mengangguk, wajahnya kembali terlihat kosong dan tak peduli. “Tak
apa-apa. Aku tak membutuhkan apa pun.”
Ibuku membalikkan badan lalu mulai berjalan mengitari ruangan. Dia tidak
punya banyak tempat untuk melakukannya, tetapi tubuh pendeknya membuat
langkahnya lebih kecil. Setiap kali dia melewati jendela di atas tempat tidurku,
rambutnya yang berwarna kemerahan akan terkena cahaya dan tampak
menyala. Aku menatapnya dengan penasaran dan baru sadar bahwa ibuku
sama gugupnya denganku.
“Sudah mendingan.”
“Bagus.” Ibuku membuka mulut, dan aku punya firasat dia hendak minta maaf.
Tetapi dia tidak melakukannya.
Saat dia mulai mondar-mandir lagi, aku memutuskan tidak tahan diam saja
seperti ini. Aku mulai menyimpan hadiah-hadiah yang kudapatkan. Aku
mendapatkan cukup banyak barang pagi ini. Salah satunya adalah sehelai
gaun sutra dari Tasha, warnanya merah dan dihiasi bordiran bunga. Ibuku
melihatku menggantungnya ke dalam lemari kecil yang ada di kamarku.
“Yeah,” aku sependapat. “Aku tak menyangka dia akan memberiku sesuatu.
Aku benar-benar menyukainya.”
“Aku juga.”
Aku berbalik dari lemari dengan terkejut dan menatap ibuku. Keterkejutannya
sama dengan yang kurasakan. Seandainya aku tidak tahu bagaimana keadaan
sebenarnya, mungkin aku akan berpendapat bahwa kami baru saja sepakat
mengenai sesuatu. Mungkin keajaiban Natal memang ada.
“Garda Belikov,” ibuku meralat dengan tegas, masih tidak setuju dengan
caraku yang santai dalam memanggil nama Dimitri.
“Pasangan… pasangan seperti apa?” tanyaku.
Ibuku mengangkat alis. “Kau belum dengar? Tasha meminta Garda Belikov
menjadi pengawalnya―karena dia belum punya pengawal.”
Aku merasa seperti dipukul lagi. “Tapi dia… ditugaskan di sini. Dan untuk
Lissa.”
“Semua itu bisa diatur. Dan terlepas dari reputasi Ozera… dia tetap seorang
bangsawan. Jika terus memaksa, dia bisa mendapatkan keinginannya.”
memang
Bum!
Pukulan lagi.
Apa
?”
tertarik
padanya.” Dari nada suara ibuku, jelas dia sama sekali tidak tertarik pada
urusan percintaan. “Tasha ingin memiliki anak-anak
dhampir
, jadi mungkin saja mereka akan membuat, em, kesepakatan jika Garda
Belikov menjadi pengawalnya.”
Ya Tuhan.
Waktu membeku.
Aku sadar ibuku sedang menunggu tanggapanku. Dia bersandar pada meja
sambil mengawasi aku. Ibuku mungkin sanggup memburu Strigoi, tetapi dia
jelas tidak menyadari perasaanku.
“Apa… apa dia akan melakukannya? Menjadi pengawal Tasha?” tanyaku
lemah.
dan
Kurasa setelah itu ibuku mengatakan hal lain, tetapi aku tidak mendengarnya.
Aku tidak mendengar apa-apa. Aku terus berpikir mengenai Dimitri yang akan
meninggalkan Akademi, meninggalkan
aku
Ibuku berhenti di tengah ucapannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang
sedang dibicarakannya sebelum aku menyelanya.
Ibuku menatapku dengan kaget, ekspresi wajahnya terlihat tulus dan bingung.
Kemudian, dengan begitu saja, dinding profesionalismenya yang dingin
kembali ke tempat semula. Sebelum saat itu, aku tidak sadar bahwa ibuku
sudah menyingkirkan dinding itu jauh-jauh. Namun, dia memang
melakukannya. Untuk sesaat ibuku sudah membiarkan dirinya menjadi rapuh
saat bersamaku. Kerapuhan itu sekarang lenyap.
siapa pun
Tetapi aku begitu terperangkap dalam drama pribadiku sehingga tak bisa
mengucapkan semua itu. Aku merasa seperti ada orang yang merenggut
jantungku dan melemparkannya ke sisi lain ruangan. Aku merasakan nyeri
yang membara dan menyakitkan di dada, namun tidak tahu cara
menyembuhkannya. Menerima kenyataan bahwa aku tak bisa mendapatkan
Dimitri sudah cukup sulit kuhadapi. Namun, menyadari bahwa ada orang lain
yang
bisa
Namun, bisa dibilang aku melupakan ibuku saat itu juga. Aku tetap duduk dan
berpikir. Berpikir dan berandai-andai.
aku
dan Dimitri bersama. Dimitri takkan pernah menyentuhku seperti itu lagi,
takkan pernah menciumku seperti itu lagi….
Ini Natal terburuk.
PERJALANAN SKI INI bisa dibilang tiba pada saat yang benar-benar tepat.
Rasanya mustahil menyingkirkan Dimitri dan Tasha dari dalam kepalaku,
tetapi setidaknya berkemas dan menyiapkan segala keperluan memastikan
aku tidak mencurahkan seratus persen kekuatan otakku pada Dimitri.
Tepatnya sembilan puluh lima persen.
Ada hal lain yang mengalihkan perhatianku. Akademi mungkin―sudah
sewajarnya―berlebihan dalam melindungi kami, tetapi kadang-kadang itu bisa
diartikan sebagai hal-hal yang cukup keren. Contohnya, Akademi memiliki
akses ke beberapa pesawat pribadi. Ini artinya tidak ada Strigoi yang bisa
menyerang kami di bandara,
dan
kami bisa bepergian dengan gaya. Pesawat pribadinya lebih kecil daripada
pesawat komersil, tetapi tempat duduknya sangat nyaman dan ruang untuk
kakinya lapang. Kursinya bisa dimundurkan cukup jauh, sehingga kau bisa
berbaring untuk tidur. Dalam penerbangan jarak jauh, tempat duduknya
dilengkapi konsol-konsol kecil yang memberi kami pilihan untuk menonton.
Kadang-kadang yang disajikan bahkan makanan mewah. Namun, aku berani
bertaruh penerbangan kali ini terlalu singkat untuk mendapatkan film atau
makanan bermutu.
, pikirku.
Aku menautkan jemari dengan jemari Mason, membuatnya kaget. “Ini akan
menyenangkan.”
***
Aku terus mengingatkan diri bahwa kami sekarang berada di tempat ini
karena sebuah tragedi, bahwa di luar sana ada Strigoi dan manusia yang
mungkin akan menyerang lagi. Namun, sepertinya yang lain tidak mengingat
hal itu, dan harus kuakui aku sendiri kesulitan melakukannya.
Resor skinya sangat indah. Tempat itu dibangun agar terlihat menyerupai
kabin kayu, tetapi tak ada kabin biasa yang sanggup menampung ratusan
orang sekaligus memiliki akomodasi semewah ini. Bangunan kayu yang
berkilau keemasan setinggi tiga lantai itu terletak di tengah pohon-pohon
pinus yang menjulang. Semua jendelanya tinggi dan melengkung dengan
anggun, kacanya digelapkan demi kenyamanan para Moroi. Lentera-lentera
kristal―menggunakan listrik tetapi dibentuk hingga menyerupai
obor―bergantung di sekeliling pintu masuk, membuat seisi bangunan
berkilau, nyaris seperti dihiasi permata.
Lobi utamanya memiliki langit-langit yang mirip katedral dan sebuah lampu
hias raksasa bergantung di sana. Lantainya terbuat dari marmer, dan
resepsionis ada setiap saat untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Bagian
lain penginapan―selasar dan ruang duduk―ditata dengan pola warna merah,
hitam, dan emas. Warna merah gelap mendominasi warna lainnya, dan aku
bertanya-tanya apakah kemiripannya dengan warna darah hanya kebetulan
belaka. Cermin dan karya seni menghiasi dinding, dan meja hias ditempatkan
di sana-sini. Di atasnya terdapat vas-vas berisi bunga anggrek hijau pucat
berbintik ungu yang memenuhi udara dengan aroma tajam.
Kamar yang kutempati bersama Lissa lebih besar daripada kamar asrama
kami dijadikan satu, dan ditata dengan warna-warna mewah seperti ruangan
lain di dalam penginapan. Karpetnya sangat mewah dan empuk hingga aku
langsung membuka sepatu di depan pintu dan berjalan bertelanjang kaki,
menikmati kemewahan yang kurasakan saat kakiku menginjak bahan yang
lembut itu. Tempat tidur kami
king-size
, dilapisi selimut bulu angsa dengan begitu banyak bantal di atasnya sehingga
aku berani sumpah orang bisa tersesat di antara bantal-bantal itu dan tak
pernah ditemukan lagi. Pintu prancis membuka ke balkon luas, dan mengingat
kami berada di lantai paling atas, pemandangannya pasti sangat keren meski
di luar sana udaranya membeku. Sepertinya bak mandi air panas untuk dua
orang di ujung balkon sangat sepadan dengan udara yang dingin.
Tenggelam dalam kemewahan seperti ini, aku mencapai titik kewalahan yang
membuat semua akomodasi seakan mulai melayang bersama-sama. Bak
mandi marmer. Televisi layar
plasma
. Keranjang berisi cokelat dan makanan ringan lain. Saat akhirnya kami
memutuskan untuk bermain ski, bisa dibilang aku harus menyeret tubuh ke
luar kamar. Aku bisa saja menghabiskan sisa liburan ini dengan bermalas-
malasan di dalam kamar dan merasa sepenuhnya bahagia.
Dengan waktu yang kuhabiskan bersama Lissa, Christian, dan Mason, bisa
dibilang kami berkencan ganda. Kami berempat menghabiskan hari pertama
dengan bermain ski, meskipun kedua Moroi itu agak kesulitan untuk
mengimbangi kami. Mengingat apa yang harus aku dan Mason lalui di kelas,
kami tidak takut mencoba aksi-aksi yang menantang. Sifat kompetitif
membuat kami lebih bersemangat untuk berusana sekeras mungkin
mengalahkan satu sama lain.
“Kalian berdua benar-benar cari mati,” suatu kali Christian berseru. Di luar
sudah gelap, dan tiang-tiang lampu tinggi menyinari wajahnya yang terlihat
geli.
Lissa menggeleng. “Kami mau masuk saja. Jangan saling bunuh, ya?”
Lissa dan Christian pergi meninggalkan kami, saling merangkul. Aku
mengawasi kepergian mereka, lalu berbalik menghadap Mason. “Aku masih
ingin bermain ski sebentar lagi. Bagaimana denganmu?”
“Tentu saja.”
Kami naik lift sampai ke puncak bukit. Saat kami hendak turun, Mason
menuding.
Aku mengikuti arah jarinya yang menunjuk sebuah jalan berliku di bawah
salah satu lereng terbesar. Aku mengernyit.
Aku menggeram. “Dia tidak menyerah.” Setelah mengamati rute gila yang
ditunjuk Mason lagi, aku menyerah. “Baiklah. Ayo kita lakukan.”
Aku menghela napas lalu melompat turun. Sepatu skiku meluncur mulus di
atas salju, dan angin yang dingin menusuk menampar wajahku. Aku
melakukan lompatan pertama dengan lihai dan tepat, tetapi saat bagian
selanjutnya mendekat dengan cepat, aku baru sadar betapa berbahaya semua
ini. Dalam waktu yang sangat singkat, aku harus membuat keputusan. Jika
aku tidak melakukannya, Mason takkan pernah berhenti meledekku―dan aku
benar-benar
Lintasan ini memang sesulit yang kuduga, tetapi aku berhasil melakukannya
tanpa cela, dari satu gerakan sinting ke gerakan sinting lainnya. Salju
beterbangan di sekelilingku setiap kali aku membuat putaran tajam dan
berbahaya. Saat tiba di dasar dengan selamat, aku mendongak dan melihat
Mason membuat isyarat-isyarat liar. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya
ataupun mendengar kata-kata yang diucapkannya, tetapi bisa kubayangkan
dia menyoraki aku. Aku balas melambai dan menunggunya melakukan hal
serupa.
Tetapi dia gagal. Saat baru separuh jalan, Mason tidak sanggup
menyelesaikan satu lompatan. Sepatu skinya tersangkut, dan kakinya
tertekuk. Dia pun tersungkur ke bawah.
“Apa yang ada dalam pikiran kalian, Anak-Anak?” seru wanita itu. Dia berbalik
padaku. “Aku tak percaya saat melihatmu melakukan aksi bodoh itu!” Lalu
tatapan tajamnya beralih ke Mason. “Kemudian
kau
Aku ingin mendebatnya dan mengatakan semua ini ide Mason, tetapi saat ini
tak ada gunanya menyalahkan orang lain. Aku hanya lega Mason baik-baik
saja. Tetapi saat kami berjalan ke dalam resor, rasa bersalah mulai
menggerogotiku. Aku
sudah
Apa yang ada dalam pikiranku tadi? Tak ada yang memaksaku melakukannya.
Mason hanya memberi ide… tetapi aku tidak menentangnya. Tuhan tahu
bahwa aku bisa saja menolaknya. Aku mungkin harus menghadapi beberapa
ejekan, tetapi Mason sangat tergila-gila padaku hingga bujukan feminin
mungkin akan sanggup menghentikan kegilaan ini. Aku terperangkap dalam
kesenangan dan risikonya―sama seperti saat aku mencium Dimitri―tidak
memikirkan konsekuensinya dengan baik karena diam-diam, di dalam diriku,
gairah impulsif untuk menjadi liar masih tetap mengintai. Mason juga memiliki
gairah serupa, dan dia menantangku.
“Hei,
Dhampir
Kecil.”
Aku terkejut dan baru sadar ada orang yang sedang berdiri di beranda.
Seorang cowok―Moroi―bersandar pada dinding tidak jauh dari pintu. Cowok
itu mengangkat rokoknya ke mulut, mengisapnya dalam-dalam, lalu
menjatuhkannya ke lantai. Dia menginjak puntung rokok itu lalu
menyunggingkan senyum padaku. Aku baru sadar aroma itulah yang tadi
kucium. Rokok cengkih.
“Yeah?” jawabku.
Aku berhenti berjalan lagi lalu menatapnya dengan bingung, dan sikapku itu
hanya membuat senyumnya semakin lebar.
-nya. Yeah.
Itu
juga seksi setengah mati, tetapi sudah pasti aku takkan memberitahu cowok
ini.
“Terima kasih untuk pelajaran kebersihannya,” kataku. “Tapi aku tak punya
parfum
dan
aku mau membasuh semua keringat seksi ini dari tubuhku. Maaf.”
“Yup.”
“Sudah pasti.”
Cowok itu mengembuskan asap, dan aku melihat asap itu melayang ke dalam
kegelapan malam. Terlepas dari penciuman vampir yang super atau tidak,
cukup mengejutkan dia bisa mencium aroma lain di tengah aroma cengkih ini.
“Berapa lama lagi kau akan dewasa?” tanyanya. “Mungkin saja aku butuh
pengawal.”
“Aku lulus pada musim semi. Tapi aku sudah dilamar. Maaf.”
Perempuan
“Namaku Rose Hathaway,” aku meralat ucapannya, tidak sudi dikenal karena
nama ibuku.
“Dan menurutmu
aku
yang biang onar,” gumamku. Keluarga Ivashkov adalah salah satu keluarga
bangsawan yang paling kaya dan berkuasa. Mereka jenis orang yang berpikir
bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, dan melakukan semua itu
dengan cara mereka. Tidak heran cowok ini sangat arogan.
Aku menggelengkan kepala. “Kau tak tahu apa-apa tentangku. Dan aku hanya
tahu soal
keluargamu
“Aku punya pacar.” Itu kebohongan kecil. Mason jelas belum menjadi pacarku,
tetapi aku berharap Adrian tak akan menggangguku lagi jika dia mengira aku
sudah punya pacar.
“Lucu juga kau tidak langsung mengakuinya,” kata Adrian heran. “Bukan dia
yang membuat matamu lebam, kan?”
Aku merasa tersipu, bahkan di tengah udara dingin ini. Sejak tadi aku berharap
dia tidak melihat mataku yang lebam, dan bisa dibilang itu harapan bodoh.
Dengan mata vampirnya, dia mungkin langsung menyadarinya sejak aku
melangkah ke beranda ini.
“Kalau dia yang melakukannya, dia pasti sudah mati. Aku mendapatkan lebam
ini saat… latihan. Maksudku, aku kan sedang dilatih untuk menjadi pengawal.
Semua kelas kami memang keras.”
“Itu sangat seksi,” katanya. Adrian menjatuhkan rokok kedua ke lantai lalu
mematikannya dengan menginjaknya.
“Memukul mataku?”
“Bukan. Tentu saja bukan itu. Maksudku, gagasan melakukan sesuatu yang
kasar denganmu itu yang seksi. Aku penggemar olahraga keren.”
“Aku yakin begitu,” kataku datar. Adrian arogan dan sok tahu, tetapi aku masih
tidak sanggup memaksa diri untuk pergi.
“Hei, Mia.”
“Cowok
lain
lagi?” tanyanya. Jika mendengar nada suaranya, kau pasti akan menduga aku
memiliki sekelompok cowok simpanan.
“Rose hanya menghabiskan waktu dengan cowok dan psikopat,” kata Mia.
Nada suaranya terdengar penuh kebencian seperti yang biasa ditunjukkannya
kepadaku, tetapi ada sesuatu di wajahnya yang memperlihatkan bahwa Adrian
berhasil menarik perhatiannya.
“Wah,” kata Adrian ceria, “karena aku seorang psikopat dan juga cowok,
sepertinya hal itu menjelaskan alasan kami berteman baik.”
“Dia tidak sesulit itu untuk didapatkan,” kata Mia, jelas terlihat kesal karena
Adrian lebih memperhatikan aku. “Tanya saja pada sebagian cowok di sekolah
kami.”
“Yeah,” balasku, “dan kau bisa bertanya tentang Mia pada sebagian lainnya.
Kalau kau mau melakukan sesuatu untuknya, dia akan melakukan
banyak
hal untukmu.” Saat mengobarkan perang denganku dan Lissa, Mia memaksa
beberapa cowok memberitahu semua orang di sekolah bahwa aku pernah
berbuat hal-hal yang cukup mengerikan bersama mereka. Ironisnya, Mia
berhasil menyuruh para cowok itu berbohong dengan tidur bersama mereka.
“Kau sudah selesai?” tanyaku. “Sekarang sudah lewat jam tidurmu, dan
saatnya bagi orang-orang dewasa untuk mengobrol.” Wajah Mia yang
kekanak-kanakan merupakan titik kelemahannya, sesuatu yang sering kali
kujadikan sasaran.
Mia masuk ke dalam. Pintu kaca yang mewah itu mengayun tertutup di
belakangnya.
Aku dan Adrian tidak bersuara. Akhirnya, Adrian mengeluarkan rokok lagi lalu
menyalakannya. “Ibumu?”
“Tutup mulutmu.”
“Kau jenis orang yang punya belahan jiwa atau justru musuh bebuyutan, ya
kan? Tidak setengah-setengah. Kau dan Vasilisa mungkin seperti adik-kakak,
ya?”
“Kurasa begitu.”
“Bagaimana dia?”
Adrian mengangkat bahu, dan kalau saja tidak lebih tahu, aku pasti menduga
dia bersikap santai dengan berlebihan. “Entahlah. Maksudku, aku tahu kalian
berdua pernah melarikan diri… lalu ada peristiwa yang terjadi pada
keluarganya dan Victor Dashkov….”
“Entahlah. Hanya saja kupikir semua itu mungkin terlalu berat untuk, kau tahu
kan, dihadapi olehnya.”
Aku mengamati Adrian dengan saksama, penasaran dengan apa yang ingin
disampaikannya. Mungkin memang ada sedikit kebocoran mengenai
kesehatan mental Lissa yang rapuh, tetapi semua itu sudah ditangani sebaik
mungkin. Kebanyakan orang mungkin sudah melupakan semua itu, atau
beranggapan semua itu hanya bohong belaka.
“Sekarang sudah malam, aku lelah, dan rokokmu membuatku sakit kepala,”
gerutuku.
“Kurasa itu cukup masuk akal.” Adrian mengisap rokok dan mengembuskan
asapnya. “Beberapa perempuan beranggapan rokok membuatku terlihat
seksi.”
“Kurasa kau merokok supaya ada sesuatu yang bisa kaulakukan saat sedang
memikirkan ledekan lainnya.”
Adrian tersedak asapnya sendiri, terperangkap antara mengisap rokok dan
tertawa. “Rose Hathaway, aku tak sabar ingin bertemu denganmu lagi. Kalau
kau semenarik ini saat merasa lelah dan kesal,
dan
secantik ini meskipun sedang memar dan memakai baju ski, kau pasti sangat
mematikan pada saat-saat primamu.”
“Sepertinya tidak bakal. Sudah kubilang, aku tidak suka cowok yang lebih tua.”
LISSA SUDAH BANGUN dan tidak ada di kamar saat aku terjaga keesokan
paginya. Itu artinya aku bisa menguasai kamar mandi sambil bersiap-siap.
Aku suka sekali kamar mandinya. Ukurannya luar biasa luas. Tempat
tidur king-size kami bisa dimasukkan ke dalamnya dengan mudah. Tiga buah
pancuran air panas membuat tubuhku terasa segar, meskipun otot-ototku
masih terasa sakit akibat kegiatan kemarin. Saat aku berdiri di depan cermin
setinggi badan dan menyisir rambutku, dengan kecewa aku melihat memar itu
masih ada. Namun, warnanya sudah agak lebih terang dan berubah menjadi
kekuningan. Sedikit cairan penyamar noda dan bedak bisa menutup memar itu
hampir seluruhnya.
Aku pergi ke lantai bawah untuk mencari makanan. Ruang makannya baru
akan ditutup karena jam sarapan sudah berakhir, tetapi seorang pelayan
memberiku dua buah scone selai peach untuk dibawa. Seraya berjalan dan
mengunyah sepotong scone, aku mempertajam indraku untuk merasakan
keberadaan Lissa. Beberapa saat kemudian, aku bisa merasakannya di sisi
lain penginapan, jauh dari kamar para murid. Aku mengikuti jejaknya hingga
akhirnya tiba di sebuah kamar yang terletak di lantai tiga. Aku mengetuk
pintunya.
Christian menyuruhku masuk. Lissa sedang duduk bersila di tempat tidur, dan
langsung tersenyum saat melihatku. Kamarnya sama menakjubkannya seperti
kamarku, tetapi sebagian besar perabotnya sudah digeser ke samping
sehingga menghasilkan ruang kosong, dan Tasha berdiri di area lapang itu.
“Hal-hal yang tidak baik,” kata Lissa dengan nakal. “Kau pasti akan
menyukainya.”
“Jadi, kenapa aku tak boleh terus memakai mantra pembeku?” tanya
Christian.
Aku baru menyadari bahwa mereka sedang berlatih sihir untuk menyerang.
Rasa tertarik dan semangat menggantikan kemuraman yang semula
kurasakan saat melihat Tasha. Lissa sama sekali tidak bercanda saat
mengatakan bahwa mereka sedang melakukan “hal-hal yang tidak baik.” Aku
selalu curiga mereka memang melakukan sihir ofensif, tapi… wow. Menduga
sesuatu dan benar-benar melihatnya merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Menggunakan sihir sebagai senjata adalah perbuatan terlarang. Pelanggaran
yang ada hukumannya. Murid yang bereksperimen melakukannya mungkin
bisa diampuni dan hanya diberi hukuman ringan, tetapi orang dewasa yang
secara aktif mengajari seorang anak di bawah umur… yeah. Itu bisa membuat
Tasha terlibat masalah besar. Sejenak terpikir olehku untuk melaporkan
perbuatannya ini. Tetapi saat itu juga aku menyingkirkan pikiran tersebut. Aku
mungkin membenci Tasha karena mendekati Dimitri, tetapi sebagian diriku
bisa dibilang meyakini apa yang dilakukan Tasha dan Christian. Lagi pula, itu
sangat keren.
Mata biru Tasha terlihat sangat fokus, seperti yang sering kulihat saat seorang
Moroi sedang menggunakan sihir. Pergelangan tangannya tertekuk ke depan,
dan ada seberkas api yang meliuk melewati wajah Christian. Apinya tidak
mengenai tubuh Christian, tetapi kalau melihat ekspresinya yang menghindar,
kurasa apinya cukup dekat hingga dia bisa merasakan hawa panasnya.
Christian ragu-ragu sejenak, lalu meniru gerakan tangan Tasha tadi. Api
memancar keluar, tetapi warnanya tidak secantik api Tasha tadi. Christian
juga tidak membidik sebaik Tasha. Apinya langsung mengarah ke wajah
Tasha, tetapi sebelum sempat menyentuhnya, api itu terbelah dan mengarah
ke kedua sisi Tasha, seolah mengenai sebuah tameng tidak terlihat. Tasha
menangkisnya dengan sihirnya sendiri.
Bahkan aku pun tidak menginginkan wajah Tasha terbakar hangus. Tapi
rambutnya… ah, ya. Kita lihat secantik apa dirinya tanpa rambutnya yang
sehitam bulu gagak itu.
Tasha dan Christian terus berlatih selama beberapa saat. Kemampuan
Christian terus meningkat seiring waktu berlalu, meskipun jelas terlihat dia
masih perlu waktu lama untuk bisa menyamai keahlian Tasha. Ketertarikanku
bertambah saat melihat mereka terus berlatih, dan aku merenungkan semua
kemungkinan yang mampu ditawarkan oleh sihir seperti ini.
Mereka menyelesaikan latihan saat Tasha berkata bahwa dia harus pergi.
Christian mendesah, jelas terlihat kesal karena tidak sanggup menguasai
mantranya dalam satu jam. Sifat kompetitifnya nyaris sekuat sifatku.
Aku sebenarnya tidak mau sependapat dengan Tasha, tetapi apa boleh buat.
“Sihir itu akan sangat berguna kalau kau sedang melawan Strigoi bersama
seorang pengawal,” kataku penuh semangat. “Apalagi mengingat membakar
Strigoi membutuhkan energi yang sangat besar. Dengan cara ini, kau hanya
perlu menggunakan sedikit luapan energi untuk mengalihkan perhatian
Strigoi. Dan itu pasti akan mengalihkan perhatian mereka karena mereka
sangat membenci api. Jadi, si pengawal akan mendapat kesempatan untuk
menusuk mereka. Kau bisa menumbangkan banyak Strigoi dengan cara
seperti itu.”
“Tepat sekali. Kau dan aku harus berburu Strigoi kapan-kapan,” goda Tasha.
Kata-kata itu sendiri sebenarnya tidak seburuk itu, tetapi nada yang kupakai
untuk mengucapkannya jelas-jelas buruk. Dingin. Tidak ramah. Untuk sesaat
Tasha tampak kaget dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba, tetapi
langsung mengabaikannya. Kekagetan Lissa mengalir melalui ikatan batin
kami.
Namun, Tasha juga kelihatannya tidak ambil pusing. Dia mengobrol lagi
dengan kami selama beberapa saat dan berencana menemui Christian saat
makan malam nanti. Lissa menatapku dengan tajam saat kami dan Christian
menuruni tangga melingkar ke lobi.
“Rose,” kata Lissa penuh arti. Sulit rasanya berpura-pura bodoh jika temanmu
tahu kau bisa membaca pikirannya. Aku tahu pasti apa yang sedang
dibicarakan Lissa. “Kau bersikap menyebalkan pada Tasha.”
Aku meletakkan tangan di pinggul. “Hei, aku hanya sedang uring-uringan, oke?
Aku kurang tidur. Lagi pula, aku tidak seperti kau. Aku tidak perlu bersikap
sopan setiap saat.”
Seperti yang akhir-akhir ini sering terjadi, aku tak percaya apa yang baru saja
kukatakan. Lissa menatapku, lebih terlihat kaget daripada sakit hati. Christian
menggeram, hampir mengatakan hal kasar untuk membalasku, tetapi
untungnya Mason datang menghampiri kami. Mason tidak sampai harus
memakai gipsi atau semacamnya, tetapi jalannya agak pincang.
“Aku―apa?”
Aku menatap mereka bergantian. “Tidak, tentu saja tidak! Aku bahkan tidak
terlalu kenal dia.”
“Tapi kau memang mengenalnya,” tuntut Mason.
“Tidak terlalu.”
Aku tak percaya ini. “Bisa kalian hentikan semua ini? Aku hanya mengobrol
dengannya selama, entahlah, mungkin lima menit! Dan itu karena dia
menghalangi jalan masuk. Dari mana kau mendengar semua ini?” Saat itu juga
aku langsung menjawab pertanyaanku sendiri. “Mia.”
“Dan kau percaya padanya? Kau kan tahu dia berbohong hampir setiap saat.”
“Yeah, tapi biasanya ada sedikit kebenaran dalam kebohongan itu. Dan kau
kan memang mengobrol dengan cowok itu.”
“Kalian mau ikut dengan kami?” tanyaku kepada Lissa dan Christian.
Lissa menggelengkan kepala. “Tidak bisa. Kami harus menghadiri makan
siang yang diadakan oleh keluarga Conta.”
“Pesta makan malam besar-besaran yang diadakan oleh Priscilla Voda,” kata
Christian sambil mendesah. Melihatnya sangat menderita seperti itu
membuatku tersenyum. “Sahabat sang ratu. Semua bangsawan paling
sombong akan datang ke pesta itu, dan aku terpaksa memakai jas.”
Kami meninggalkan kedua Moroi itu dan pergi ke luar. Mason tidak bisa
bertanding denganku seperti yang kami lakukan kemarin, gerakannya masih
lamban dan canggung. Meski begitu, dia tetap bermain dengan baik. Cedera
yang dialaminya tidak seburuk yang kami khawatirkan semula, tetapi
setidaknya dia cukup bijaksana dengan bertahan melakukan gerakan yang
mudah.
Rute yang kami lalui sangat sederhana untukku, tetapi aku tetap bertahan di
samping Mason dan kadang-kadang menggodanya dengan mengatakan
permainan ski ala terapi ini membuatku mengantuk. Membosankan atau tidak,
rasanya tetap menyenangkan berada di luar bersama teman-temanku.
Aktivitas ini cukup mengalirkan darah sehingga membuatku tetap hangat di
tengah udara yang membeku ini. Tiang-tiang lampu menerangi salju dan
mengubahnya menjadi lautan putih yang luas, kristal-kristal serpihan salju
yang berkilau samar. Jika aku berpaling dan menghalau cahaya dari
jangkauan pandang, aku bisa mendongak dan melihat bintang-bintang yang
bertaburan di langit. Bintang-bintang itu terlihat jelas bagaikan kristal di
tengah udara jernih yang membeku ini. Kami kembali menghabiskan hampir
sepanjang hari ini dengan berada di luar, tetapi kali ini aku menyudahinya lebih
cepat dengan berpura-pura lelah agar Mason bisa beristirahat. Dia mungkin
sanggup bermain ski ringan dengan pergelangan kakinya yang cedera, tetapi
aku bisa melihat bahwa itu mulai membuatnya kesakitan.
Aku dan Mason kembali ke penginapan dan berjalan sangat rapat seraya
menertawakan sesuatu yang kami lihat tadi. Tiba-tiba aku melihat kilasan
putih di sudut mata, dan sebuah bola salju menghantam wajah Mason. Aku
langsung bergerak defensif, tersentak mundur dan menatap sekeliling.
Teriakan dan jeritan terdengar dari sebuah area di lahan resor yang digunakan
sebagai gudang dan dikelilingi oleh pohon pinus yang menjulang tinggi.
“Terlalu lamban, Ashford,” seseorang berkata. “Itu akibatnya jika sedang jatuh
cinta.”
Lebih banyak suara tawa. Sahabat Mason, Eddie Castile, dan beberapa novis
lain dari sekolah kami bermunculan dari balik segerumbul pepohonan. Aku
mendengar teriakan lainnya dari belakang mereka.
“Tapi kami masih menerima dirimu kalau ingin masuk ke dalam tim kami,”
kata Eddie. “Meskipun kau mengelak seperti perempuan.”
Dan memang benar. Mason menatapku tepat sebelum kami masuk. “Maaf,
aku, uh, tadi menuduhmu begitu saja soal Adrian.”
Aku meremas tangannya. “Tak apa-apa. Aku tahu Mia sanggup menceritakan
kisah-kisah yang cukup meyakinkan.”
“Yeah… tapi kalaupun kau memang bersama cowok itu… bukan berarti aku
berhak untuk….”
“Wow,” kata Mason dengan mata melebar. Cahaya bulan membuat matanya
terlihat biru keperakan.
“Kaulihat?” ucapku. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bukan Adrian, atau
siapa pun.”
Adrian bersandar pada birai beranda, melirik ke belakang, dan tampak terkejut
saat melihatku. “Oh. Tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini.” Dia
tersenyum. “Ternyata aku benar. Dalam keadaan bersih
kau memang mematikan.”
Bahkan tanpa melihatnya, entah bagaimana aku tahu yang dikatakan Adrian
itu benar. “Kau tidak merokok.”
Adrian tergelak, tetapi sesaat kemudian tawa itu mereda. Untuk kali pertama
sejak aku bertemu dengan Adrian, dia tampak serius. “Kenapa di sekelilingmu
begitu banyak kegelapan?”
Aku menunduk menatap kedua tanganku, tetapi tidak melihat sesuatu yang
tidak biasa. Aku mendongak lagi. “Aku dicium bayangan….”
“Apa maksudnya?”
“Aku pernah mati.” Aku tidak pernah membicarakan hal ini selain dengan
Lissa dan Victor Dashkov, tetapi ini kan hanya mimpi. Jadi tidak masalah.
“Dan aku hidup lagi.”
Aku terbangun.
Ada orang yang mengguncang tubuhku. Orang itu Lissa. Emosi Lissa
menghantamku dengan sangat kuat melalui ikatan batin hingga selama
sesaat aku tersentak masuk ke dalam kepalanya dan mendapati diri sedang
memandang tubuhku sendiri. “Aneh” tidak cukup menggambarkan
perasaanku saat itu. Aku menarik diri agar kembali ke tubuhku sendiri,
berusaha terlepas dari kengerian dan ketakutan yang berasal dari Lissa.
“Ada apa?”
AKU BANGUN DARI tempat tidur secepat kilat. Kami mendapati seisi
penginapan dihebohkan oleh berita tersebut. Orang-orang berkerumun dalam
kelompok-kelompok kecil di sepanjang selasar. Anggota keluarga saling
mencari. Sebagian pembicaraan dilakukan dalam bisikan ketakutan, sebagian
lagi dengan lantang sehingga mudah untuk mengupingnya. Aku menghentikan
beberapa orang, berusaha mendapatkan cerita yang sebenarnya. Namun,
semua orang memiliki versi yang berbeda-beda, dan beberapa di antara
mereka bahkan tidak mau berhenti untuk bicara denganku. Mereka berjalan
melewatiku dengan langkah cepat, entah berusaha mencari orang-orang yang
mereka sayangi, entah bersiap-siap meninggalkan resor ini. Mereka yakin ada
tempat lain yang lebih aman.
Pintu kamar ibuku terbuka. Saat aku dan Lissa masuk, aku melihat ada
semacam markas sementara yang didirikan di kamar ini. Banyak pengawal
yang mondar-mandir di dalam ruangan, atau yang keluar-masuk, dan mereka
tampak sedang membahas strategi. Beberapa di antara mereka menatap
kami dengan aneh, tetapi tak ada yang berhenti untuk menanyai kami. Aku
dan Lissa duduk di sebuah sofa kecil dan mendengarkan pembicaraan ibuku.
Tak lama kemudian, aku dan Lissa sudah tahu detail kejadiannya. Delapan
orang Moroi terbunuh bersama lima pengawal mereka. Ada tiga Moroi yang
masih hilang, entah mati entah berubah menjadi Strigoi. Sebenarnya
serangannya tidak terjadi di dekat sini, tetapi di California bagian utara. Meski
begitu, tragedi semacam ini sudah pasti menghebohkan dunia Moroi, dan bagi
beberapa pihak, jarak yang hanya terpisahkan oleh dua negara bagian
sepertinya terlalu dekat. Orang-orang ketakutan, dan aku akan segera
mengetahui apa tepatnya yang membuat serangan ini menjadi pusat
perhatian.
“Lebih banyak?” salah seorang pengawal berseru. “Kelompok yang terakhir itu
tidak kedengaran kabarnya. Aku masih tak bisa percaya sembilan Strigoi
sanggup bekerja sama―kau berharap aku percaya bahwa mereka sanggup
mengumpulkan lebih banyak orang untuk bekerja sama?”
Ibuku ragu-ragu, lalu, “Ya. Lebih banyak pertahanan sihir yang ditembus. Dan
cara mereka melakukannya… sangat identik dengan serangan pada keluarga
Badica.”
Suara ibuku tegas, tetapi di dalamnya terdengar nada lelah. Bukan kelelahan
fisik, melainkan mental. Ketegangan dan sakit hati akibat masalah yang
sedang mereka bicarakan sekarang. Selama ini aku selalu menganggap ibuku
sebagai mesin pembunuh yang tidak punya perasaan, tetapi masalah ini jelas
berat untuknya. Masalah ini sulit dan mengerikan untuk dibahas―tetapi pada
saat yang sama, ibuku mengatasinya tanpa keraguan. Ini pekerjaannya.
kan
Sementara benakku berpikir, aku mengamati ibuku dengan takjub. Aku pernah
mendengarnya menceritakan berbagai kisah yang dialaminya. Aku pernah
melihat dan merasakan bertarung dengannya. Namun, sejujurnya, aku belum
pernah melihatnya beraksi menangani krisis dalam kehidupan nyata. Ibuku
memperlihatkan pengendalian diri tingkat tinggi yang biasa dilakukannya saat
sedang bersamaku, tetapi di tempat ini, aku bisa memahami pentingnya sikap
itu. Situasi seperti ini menyebabkan kepanikan. Bahkan di antara para
pengawal, aku bisa merasakan ada orang-orang yang merasa begitu tegang
sehingga mereka ingin bertindak drastis. Ibuku merupakan suara nalar,
pengingat bahwa mereka harus tetap memusatkan pikiran dan menilai
situasinya secara menyeluruh. Ketenangannya menenteramkan semua orang.
Sikap teguhnya mengilhami mereka. Aku menyadari bahwa seperti inilah
seharusnya seorang pemimpin.
Dimitri juga setenang ibuku, tetapi dia selalu meminta pendapat ibuku
sebelum melakukan apa pun. Terkadang aku sampai harus mengingatkan diri
bahwa Dimitri termasuk muda untuk ukuran pengawal. Mereka lebih banyak
membahas soal serangan itu, bahwa keluarga Drozdov sedang merayakan
pesta Natal di sebuah aula saat diserang.
Saat kelompok itu mulai membubarkan diri, aku melompat bangun dari sofa
dan bergegas menghampiri ibuku.
“Rose,” kata ibuku, terkejut. Sama seperti saat di kelas Stan, dia tidak
menyadari keberadaanku di kamar ini. “Apa yang kaulakukan di sini?”
Itu pertanyaan bodoh, jadi aku tidak berusaha menjawabnya. Memangnya dia
pikir sedang apa aku di sini? Ini salah satu peristiwa terbesar yang terjadi
pada Moroi.
Lagi-lagi aku bisa melihat kelelahan pada diri ibuku. Kematian ini sulit
dihadapi olehnya. “Aku tidak hafal semua namanya.” Sambil membuka
beberapa halaman, ibuku memutar papan jepitnya ke arahku. “Ini.”
Aku dan Lissa meninggalkan kamar, membiarkan mereka bertugas. Aku ingin
bisa membantu, tetapi para pengawal sudah berfungsi dengan mulus dan
efisien tanpa bantuan siapa pun. Para pengawal tidak butuh novis yang
merecoki urusan mereka.
“Ya Tuhan.” Lissa berhenti berjalan. Dia menatap hampa, mengerjap agar air
matanya tidak turun. “Ya Tuhan,” ulangnya.
“Tidak,” jawabku tegas. Tentu saja, aku tak punya bukti akan hal itu. “Kita
aman di sini.”
“Mia yang malang….”
Aku tidak berkomentar apa-apa soal itu. Mia memang sangat menyebalkan,
tetapi aku tak mungkin mengharapkan kejadian seperti ini pada siapa pun,
pada musuh terbesarku sekalipun―dan bisa dibilang Mia adalah musuh
terbesarku. Aku cepat-cepat meralat pikiran itu. Mia bukan musuh terbesarku.
Aku tidak sanggup meninggalkan Lissa sepanjang sisa hari itu. Aku tahu tidak
ada Strigoi yang mengintai di penginapan ini, tetapi insting melindungiku
terlalu kuat untuk diabaikan. Para pengawal bertugas melindungi Moroi
mereka. Seperti biasa, aku juga mengkhawatirkan kecemasan dan kekesalan
yang dirasakan Lissa, jadi aku berusaha sebisaku memadamkan perasaan-
perasaan itu dari dalam dirinya.
Pengawal yang lain juga memastikan keselamatan Moroi. Mereka tidak selalu
mendampingi Moroi, tetapi mereka meningkatkan keamanan penginapan dan
terus berhubungan dengan para pengawal yang berada di lokasi penyerangan.
Informasi mengenai detail penyerangan yang mengerikan itu terus
berdatangan, begitu pula spekulasi mengenai keberadaan gerombolan Strigoi
itu. Tentu saja, hanya sedikit informasi ini yang diberikan kepada para novis.
Seorang pria yang tidak kukenal bertugas menjadi moderator dan berdiri di
podium. Sebagian besar bangsawan yang ada di penginapan ini berkumpul di
depan ruangan. Semua orang, termasuk para murid, duduk di kursi mana pun
yang tersedia. Christian dan Mason sudah bergabung dengan kami, dan saat
kami semua hendak duduk di belakang, tiba-tiba Lissa menggelengkan kepala.
Aku membuka pikiran untuk menyelami perasaan Lissa, dan menyukai apa
yang kudapati di sana. Seharian ini Lissa banyak diam dan merasa ketakutan,
terutama saat kami tahu apa yang menimpa ibu Mia. Ketakutan itu masih ada,
tetapi dikalahkan oleh kepercayaan diri dan keteguhan yang mantap. Lissa
sadar dirinya merupakan salah seorang Moroi yang berkuasa, dan meski
pikiran mengenai keberadaan sekelompok Strigoi yang sedang berkeliaran
membuatnya takut, dia ingin ikut ambil bagian.
“Lakukan saja,” kataku lembut. Selain itu, aku juga menyukai gagasan
menentang Christian.
Lissa menatap mataku dan tersenyum. Dia tahu apa yang baru saja kurasakan
pada dirinya. Sesaat kemudian dia menoleh pada Christian. “Sebaiknya kau
bergabung dengan bibimu.”
Christian membuka mulut untuk protes. Kalau tidak ingat betapa mengerikan
situasi ini, melihat Lissa memberi perintah pada Christian akan sangat lucu.
Christian keras kepala dan berpendirian kukuh, orang-orang yang berusaha
memaksanya tak akan berhasil. Saat menatap wajah Christian, aku melihat
dia juga menyadari perasaan Lissa yang tadi kurasakan. Dia juga senang
melihat Lissa kuat. Christian tersenyum.
Dan St. Vladimir. Kita mengirim anak-anak kita ke tempat aman, tempat yang
membuat mereka berkumpul dan bisa dilindungi dengan mudah. Dan lihat
berapa banyak yang ada di sini, anak-anak dan orang dewasa. Kenapa kita
tidak hidup berdampingan seperti ini setiap saat?”
“Dan Moroi tidak akan bisa berinteraksi dengan penduduk bumi lainnya,”
gumamku. “Sampai akhirnya manusia menemukan kota-kota vampir rahasia
yang terletak di tengah alam liar. Barulah kita akan
melakukan banyak interaksi.”
“Menurutmu, dari mana kita bisa mendapatkan lebih banyak pengawal?” tanya
pria yang mengusulkan agar kaum Moroi bersatu. “Jumlah mereka terbatas.”
Wanita itu menuding tempat aku dan beberapa novis lain duduk. “Kita punya
banyak. Aku sudah melihat bagaimana mereka dilatih. Mereka mematikan.
Kenapa kita harus menunggu sampai mereka berumur delapan belas tahun?
Kalau kita mempercepat program latihan dan lebih berfokus pada latihan
bertarung daripada teori, kita bisa mendapatkan pengawal baru saat mereka
berumur enam belas tahun.”
“Bukan hanya itu, kita punya banyak pengawal yang tersia-sia. Mana para
wanita dhampir? Ras kita berkaitan. Moroi sudah melakukan tugas dengan
membantu kaum dhampir agar bisa terus bertahan. Kenapa para wanita itu
tidak melakukan hal yang sama? Kenapa mereka tak ada di sini?”
Seraya melirik ke arah sang moderator, Tasha bertanya, “Boleh aku bicara?”
Pria itu mengangguk. Si wanita Szelsky duduk, dan Tasha berdiri. Tidak
seperti pembicara yang lain, Tasha langsung menghampiri podium sehingga
semua orang bisa melihatnya. Rambut hitamnya yang mengilat dikucir,
sepenuhnya memperlihatkan bekas lukanya, dan aku curiga dia melakukannya
dengan sengaja. Wajahnya terlihat berani dan menantang. Cantik.
“Wanita-wanita itu tak ada di sini, Monica, karena mereka sibuk membesarkan
anak-anak mereka―kau tahu kan
, anak-anak yang ingin segera kaukirim ke garis depan begitu mereka bisa
berjalan. Dan kumohon jangan menghina kita semua dengan bertingkah
seakan kaum Moroi sudah melakukan sesuatu yang besar bagi kaum dhampir,
hanya karena kita membantu mereka mendapatkan keturunan. Mungkin
kebiasaan di dalam keluargamu memang berbeda, tetapi untuk kami semua,
seks itu menyenangkan. Kaum Moroi yang melakukannya
bersama dhampir tidak bisa dikatakan melakukan pengorbanan besar.”
Sekarang Dimitri sudah duduk tegak, wajahnya tidak lagi terlihat marah.
Mungkin dia senang karena kekasihnya yang baru menyebut-nyebut soal seks.
Rasa kesal langsung mengaliri tubuhku, dan kuharap seandainya wajahku
terlihat seperti ingin membunuh, orang-orang akan beranggapan aku kesal
pada Strigoi, bukan pada perempuan yang sedang membicarakan kami.
Di balik Dimitri, tiba-tiba aku melihat Mia yang duduk sendirian, jauh di ujung
barisan. Sebelumnya aku tidak menyadari keberadaannya di sini. Mia duduk
merosot di kursinya. Matanya terlihat merah, wajahnya lebih pucat dari
biasanya. Ada rasa sakit janggal yang membakar dadaku, rasa sakit yang
tidak pernah kuduga akan disebabkan oleh Mia.
“Dan alasan kita menunggu sampai para pengawal ini berumur delapan belas
tahun adalah membiarkan mereka menikmati kehidupan gadungan sebelum
memaksa mereka menghabiskan sisa hidup dalam bahaya. Mereka
membutuhkan tahun-tahun tambahan itu untuk mengembangkan diri secara
mental maupun fisik. Kalau kau mengerahkan mereka sebelum siap,
memperlakukan mereka seperti suku cadang dalam perakitan―kau hanya
akan menyediakan pakan ternak bagi Strigoi.”
Beberapa orang terkesiap mendengar pilihan kata Tasha yang terkesan tak
berperasaan, tetapi dia berhasil mendapatkan perhatian semua orang.
“Kau juga hanya akan menambah pakan ternak kalau berusaha memaksa
wanita dhampir lainnya menjadi pengawal. Kau tak bisa memaksa mereka
menjalani kehidupan yang tidak mereka inginkan. Keseluruhan rencanamu
mendapatkan lebih banyak pengawal adalah dengan mengorbankan anak-
anak dan orang-orang yang melakukannya secara terpaksa untuk terjun ke
tengah mara bahaya, supaya kau bisa―sedikit―lebih maju daripada musuh.
Aku akan bilang ini rencana paling bodoh yang pernah kudengar, seandainya
belum mendengar saran dia.”
Senyum tipis menghias bibir Tasha, tetapi dia tidak terpancing oleh hinaan itu.
“Menurutku?” Dia berjalan mendekati bibir panggung, menatap kami saat
menjawab pertanyaan itu. “Kurasa kita harus berhenti membuat rencana yang
hanya mengandalkan seseorang atau sesuatu untuk melindungi kita.
Menurutmu jumlah pengawal terlalu sedikit? Bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah terlalu banyak Strigoi. Dan kita sudah membiarkan jumlah
mereka berlipat ganda dan semakin kuat, karena kita tidak melakukan apa-apa
selain mengadakan perdebatan bodoh seperti ini. Kita berlari dan
bersembunyi di balik dhampir dan membiarkan Strigoi berkeliaran bebas. Ini
salah kita. Kitalah alasan keluarga Drozdov mati. Kau menginginkan pasukan?
Nah, kita ada di sini. Bukan hanya dhampir yang bisa belajar bertarung.
Pertanyaannya, Monica, bukanlah di mana para wanita dhampir.
Pertanyaannya adalah: Di mana kita?”
Jauh di balik Dimitri ada Mia. Mia sudah tidak duduk merosot di kursinya lagi.
Sekarang dia duduk tegak, setegak tongkat, matanya membesar selebar yang
memungkinkan. Dia menatap Tasha seolah perempuan itulah satu-satunya
orang yang tahu semua jawaban tentang kehidupan.
Monica Szelsky tidak sekagum itu, dan dia menatap Tasha lekat-lekat.
“Tentunya kau tidak menyarankan agar Moroi bertempur bersama para
pengawal saat Strigoi datang, kan?”
Seorang cowok berumur dua puluhan yang kelihatan seperti model iklan Ralph
Lauren tiba-tiba berdiri. Aku berani bertaruh cowok ini pasti bangsawan. Tak
ada orang selain bangsawan yang sanggup membiayai highlight pirang
sesempurna itu. Dia membuka ikatan sweter dari pinggangnya lalu
menyampirkannya ke punggung kursi. “Oh,” kata cowok itu dengan suara
mengejek, menyela pembicaraan begitu saja. “Jadi, kau hanya akan memberi
kami tongkat dan pasak, lalu mengirim kami ke
medan perang?”
Dimitri berdiri, wajahnya terlihat jijik saat menatap kekacauan itu. “Sebaiknya
kalian pergi saja. Tak ada yang penting lagi sekarang.”
Aku dan Mason berdiri, tetapi dia menggelengkan kepala saat aku mulai
berjalan membuntuti Dimitri keluar dari ruangan.
“Kau duluan saja,” kata Mason. “Aku ingin memeriksa sesuatu dulu.”
“Ya, ya, karena dia jagoan karate yang memiliki keahlian sihir. Aku mengerti.
Kupikir karena kau akan menjadi pengawalnya, maka…”
“Aku punya sumber sendiri.” Entah mengapa, kalau kubilang tahu dari ibuku,
kedengarannya kurang keren. “Kau sudah memutuskan untuk menerimanya,
kan? Maksudku, sepertinya itu tawaran bagus, mengingat dia akan
memberimu keuntungan lain….”
Dimitri menatapku tajam. “Apa yang terjadi antara aku dan Tasha sama sekali
bukan urusanmu,” dia menjawab tegas.
“Aku yakin kalian berdua akan bahagia bersama. Dia juga tipe perempuan
yang kausuka―aku tahu kau menyukai perempuan yang tidak sebaya
denganmu. Maksudku, umurnya berapa sih, enam tahun lebih tua? Tujuh? Dan
aku tujuh tahun lebih muda darimu.”
“Ya,” kata Dimitri setelah terdiam beberapa saat. “Kau memang lebih muda
tujuh tahun. Dan semakin lama, kau hanya membuktikan betapa tidak dewasa
dirimu yang sesungguhnya.”
Whoa. Rahangku nyaris menyentuh lantai. Bahkan pukulan ibuku tidak terasa
sesakit ini. Sejenak aku melihat penyesalan di mata Dimitri, seolah dia juga
baru sadar betapa kasarnya perkataannya barusan. Namun, momen itu berlalu
dan ekspresinya mengeras lagi.
Perlahan, karena masih terpana, aku berbalik dan melihat Adrian Ivashkov. Dia
nyengir padaku dan mengangguk singkat menyapa Dimitri. Kurasa wajahku
terlihat merah membara. Berapa banyak yang didengar oleh Adrian?
Aku ingin memberitahu Adrian bahwa aku tidak punya waktu untuk bermain-
main sekarang, tetapi ucapan Dimitri masih membuatku kesal. Dimitri
menatap Adrian dengan pandangan tidak suka. Aku menduga Dimitri sama
seperti semua orang, sudah mendengar reputasi jelek Adrian. Bagus, pikirku.
Tiba-tiba saja aku ingin Dimitri merasa cemburu. Aku ingin menyakiti Dimitri
seperti dia menyakitiku akhir-akhir ini.
“Aku punya waktu sekarang.” Aku juga menganggukkan kepala pada Dimitri
lalu menarik Adrian pergi, merapat dengannya. “Sampai nanti, Garda Belikov.”
Mata gelap Dimitri mengikuti kami dengan pandangan dingin. Kemudian aku
berbalik, dan tidak menengok ke belakang.
“Tidak pernah tertarik pada cowok yang lebih tua, huh?” tanya Adrian saat
kami hanya berdua.
Aku mulai menjauh, tetapi Adrian malah melingkarkan lengan padaku. “Tidak,
tidak, kau tadi yang ingin dekat-dekat denganku―sekarang kau harus
menyelesaikannya.”
Aku memutar bola mata pada Adrian dan membiarkan lengannya tetap
merangkulku. Aku bisa mencium bau alkohol dan aroma cengkih yang terus-
menerus tercium dari tubuhnya. Aku penasaran apakah Adrian sekarang
sedang mabuk. Aku punya firasat mungkin saja sikapnya saat mabuk atau
tidak hanya beda tipis.
Sejenak Adrian mengamatiku. “Aku ingin kau mengajak Vasilisa dan ikut
denganku. Kita akan bersenang-senang. Kau mungkin ingin membawa baju
renang juga.” Dia kelihatan kecewa saat mengatakan ini. “Kecuali kau ingin
melakukannya tanpa busana.”
“Apa? Sekelompok Moroi dan dhampir baru saja dibantai, tapi kau malah ingin
berenang dan ‘bersenang-senang’?”
“Ini bukan sekadar berenang,” kata Adrian dengan sabar. “Lagi pula, justru
karena pembantaian itulah kau harus melakukan ini.”
Aku tiba-tiba ingat lengan Adrian masih merangkulku. Aku menjauh darinya.
“Hei, Teman-Teman,” aku berkata. Sejenak suasana di antara kami terasa
canggung, dan aku berani bersumpah mendengar Adrian tergelak pelan. Aku
tersenyum padanya, lalu pada teman-temanku. “Adrian mengundang kita
untuk berenang.”
Mereka menatapku dengan kaget, dan aku hampir bisa melihat berbagai
spekulasi berputar-putar di kepala mereka. Wajah Mason terlihat agak muram,
tetapi seperti yang lain, dia tidak mengatakan apa-apa. Aku menahan diri agar
tidak mengerang.
Saat tiba di tempat tujuan, kami mendapati ternyata Adrian benar―ini bukan
sekadar berenang. Kami berada di area spa istimewa milik resor ini. Spa ini
hanya digunakan oleh kaum Moroi yang paling terpandang. Saat
ini, spa tersebut dipesan untuk sekelompok bangsawan yang kuperkirakan
sebagai teman-teman Adrian. Di sana ada tiga puluh orang―semuanya seusia
Adrian atau lebih tua―yang penampilannya memperlihatkan bahwa mereka
orang kaya dan terpandang.
Spa ini terdiri atas beberapa kolam mineral panas. Mungkin tempat ini dulunya
sebuah gua atau semacamnya, tetapi orang-orang yang membangun
penginapan sudah merapikan area di sekelilingnya. Dinding dan langit-langit
batu hitam yang ada tampak terawat dan cantik seperti semua ruangan yang
ada di resor. Rasanya seperti berada di dalam gua―gua rancangan desainer
yang sangat nyaman. Rak-rak berisi handuk berjajar di dinding, begitu pula
dengan meja-meja yang dipenuhi oleh makanan eksotik. Kolam mandinya
serasi dengan dekorasi keseluruhan ruangan yang menyerupai gua; kolam-
kolam berpinggiran batu berisi air yang dipanaskan oleh energi bawah tanah.
Uap air memenuhi ruangan, dan ada bau logam yang samar-samar
menggantung di udara. Suara orang-orang yang sedang berpesta dan cipratan
air bergema di sekeliling kami.
“Kenapa Mia ikut bersama kalian?” tanyaku pelan pada Lissa. Kami sedang
berkeliling ruangan, mencari kolam yang kosong.
“Dia sedang mengobrol dengan Mason saat kami bersiap-siap pergi,” jawab
Lissa. Dia juga menjaga suaranya tetap pelan. “Rasanya kejam kalau…
entahlah… meninggalkannya begitu saja….”
“Kusangka kau tidak kenal Adrian,” tambah Lissa. Suara dan ikatan batin
menunjukkan bahwa dia tidak menyukainya. Akhirnya kami menemukan
sebuah kolam besar yang agak jauh dari kolam lainnya. Sepasang kekasih
tampak sibuk bermesraan di sisi seberang, tetapi masih banyak ruang yang
tersisa untuk kami. Tidak sulit mengabaikan mereka.
Aku memasukkan sebelah kaki ke dalam kolam itu lalu langsung menariknya
lagi.
“Aku memang tidak kenal,” aku berkata pada Lissa. Perlahan-lahan aku
memasukkan kakiku lagi, diikuti anggota tubuh lainnya. Aku meringis saat
airnya mencapai perut. Aku memakai bikini warna merah tua, dan air kolam
yang panas terasa menyengat perutku.
Pada saat itu kami sudah berada di dalam air. Airnya begitu panas sehingga
aku merasa seperti berada dalam panci sup. Saat Lissa sepertinya sudah
yakin aku tidak berhubungan apa-apa dengan Adrian, aku bergabung dengan
obrolan teman-temanku.
“Kalian sedang membicarakan apa?” aku menyela. Bertanya seperti itu jauh
lebih mudah daripada ikut mendengarkan sampai menyadari apa yang sedang
mereka bicarakan.
Christian duduk nyaman di sebuah ceruk kecil yang ada di dalam kolam. Lissa
bergelung di sampingnya. Christian merangkul Lissa dengan sikap memiliki,
dan menyandarkan punggung ke tepi kolam.
Aku menatap Mason dengan pandangan bertanya. Aku tidak mau membuang-
buang tenaga menanggapi tantangan Christian yang menyebut Mason
“pacarku”.
Tidak lama kemudian, pelayan lain datang membawa nampan berisi makanan.
Aku meliriknya dan nyaris tidak mengenali semua makanan itu. Di atas
nampan terdapat sesuatu yang terlihat mirip jamur yang diisi keju, lalu
sesuatu yang kelihatan seperti bulatan daging atau sosis. Sebagai karnivora
yang baik, aku mengambil sepotong dan berpikir rasanya pasti tidak akan
terlalu buruk.
“Kau tak tahu?” Nada suara Christian terdengar angkuh, dan untuk kali
pertama dalam hidupnya, dia terdengar seperti seorang bangsawan yang
memamerkan pengetahuan elitenya di hadapan bawahannya. Dia mengangkat
bahu. “Coba saja. Cari tahu sendiri.”
Aku segera menarik tanganku. Si pelayan berlalu, dan Christian tertawa. Aku
memelototinya.
Sementara itu Mason masih menanggapi pertanyaanku mengenai perlunya
para novis ikut bertarung sebelum kelulusan.
“Memangnya apa lagi yang bisa kita lakukan?” tanya Mason dengan nada
menantang. “Apa yang kaulakukan? Setiap pagi kau berlari keliling lapangan
dengan Belikov. Apa gunanya semua itu untukmu? Untuk Moroi?”
Apa gunanya semua itu untukku? Membuat jantungku berdebar kencang dan
benakku menerawang dengan pikiran-pikiran yang tidak senonoh.
Mason mengangguk sependapat. “Yeah. Berapa banyak lagi yang bisa kita
pelajari?”
“Banyak,” kataku seraya memikirkan betapa banyak yang kupelajari dari sesi
latihanku bersama Dimitri. Aku menghabiskan minuman. “Lagi pula, kapan
semua itu akan berakhir? Anggap saja mereka mengakhiri sekolah enam
bulan lebih awal, lalu mengirim kita bertarung. Selanjutnya apa? Mereka akan
memutuskan bertindak lebih jauh dan memotong tahun terakhir sekolah?
Tahun awal?”
Mason mengangkat bahu. “Aku tak takut bertempur. Aku bisa mengalahkan
Strigoi bahkan saat masih berada di tahun kedua.”
“Yeah,” kataku datar. “Sama seperti saat kau bermain ski di atas lereng.”
Wajah Mason yang sudah merona akibat panasnya air terlihat semakin merah.
Aku langsung menyesali ucapanku, apalagi saat Christian mulai tertawa.
“Tak kusangka aku mengalami hari ketika aku sependapat denganmu, Rose.
Tapi sayangnya itu memang terjadi.” Pelayan yang membawa minuman
datang lagi. Christian dan aku sama-sama kembali mengambil minuman.
“Moroi harus mulai membantu kita mempertahankan diri sendiri.”
Itu kali pertama Mia bicara sejak kami tiba di sini. Sejak tadi dia diam saja.
Kurasa Mason dan Eddie tidak menanggapi pertanyaannya karena mereka
tidak tahu apa-apa soal bertempur menggunakan sihir. Aku, Lissa, dan
Christian tahu―dan kami berusaha keras agar terlihat tidak tahu apa-apa.
Namun, kedua mata Mia menunjukkan sesuatu yang menyerupai harapan, dan
aku hanya bisa membayangkan apa yang sudah dialaminya hari ini. Dia
bangun dan mendapati ibunya meninggal, lalu terpaksa mengikuti perdebatan
mengenai politik dan strategi bertarung. Kenyataan bahwa dia duduk di sini
dengan sikap cukup tenang bisa dikatakan ajaib. Aku selalu menduga orang
yang sungguh-sungguh mencintai ibunya pasti takkan sanggup melakukan
apa-apa dalam situasi seperti ini.
Saat tidak ada orang yang kelihatan akan menjawabnya, aku berkata, “Kurasa
begitu. Tapi… aku tak tahu banyak soal itu.”
Saat ingin mengambil minuman keempat, aku tidak melihat pelayan di dekat
kami. Mason mendadak terlihat sangat imut di mataku. Aku ingin
mendapatkan perhatian romantis darinya, tetapi dia masih membicarakan
Strigoi dan persoalan logistik jika ingin melakukan serangan mendadak. Mia
dan Eddie mengangguk-angguk penuh semangat, dan aku punya firasat jika
Mason memutuskan untuk memburu Strigoi sekarang juga, mereka pasti akan
langsung membuntutinya. Christian sebenarnya ikut terlibat dalam
pembicaraan, tetapi bisa dibilang dia lebih berperan sebagai pihak yang
memanas-manasi. Seperti biasanya. Dia mengutarakan semacam serangan
pencegahan yang melibatkan pengawal dan Moroi, sama seperti yang
disampaikan Tasha. Mason, Mia, dan Eddie berpendapat bahwa jika kaum
Moroi tidak sanggup melakukannya, para pengawal harus mengatasi
semuanya sendiri.
Harus kuakui, antusiasme mereka agak menular. Aku lumayan suka dengan
gagasan menyerang Strigoi. Tetapi dalam serangan terhadap keluarga Badica
dan Drozdov, semua pengawalnya terbunuh. Sudah jelas para Strigoi
bergabung menjadi kelompok-kelompok besar dan mendapatkan bantuan,
tetapi menurutku semua itu hanya menunjukkan bahwa kami harus lebih
berhati-hati.
Aku begitu sibuk mengawasi langkah dan berusaha tidak berjalan limbung
sampai-sampai menabrak seseorang. Untungnya, dia yang salah. Cowok itu
sedang berjalan mundur hingga menabrakku.
“Kau takut!” cowok yang berada di dekatku berteriak. Dia memakai celana
renang berwarna hijau, dan rambut hitamnya menempel rapi ke belakang
karena basah. “Kalian semua pengecut. Kalian hanya ingin bersembunyi di
rumah mewah kalian dan membiarkan para pengawal yang melakukan
pekerjaan kotor. Apa yang akan kalian lakukan kalau mereka semua mati?
Kalau itu terjadi, siapa yang akan melindungi kalian?”
Keduanya Moroi, jadi mereka lebih tinggi dan lebih besar dariku, tetapi
mungkin aku lebih kuat dari mereka. Berharap bisa melakukannya sebaik
mungkin, aku merenggut lengan mereka, menarik mereka mendekat, lalu
mendorong keduanya sejauh mungkin. Mereka terhuyung, sama sekali tidak
menduga kekuatanku. Aku sendiri juga agak terhuyung.
Kedua cowok itu memandangiku dengan takjub. Ternyata aku lebih ampuh
daripada senjata penyengat. Yah, setidaknya selama beberapa detik. Karena
saat efek mengagetkan kata-kataku mulai memudar, mereka kembali saling
menyerang. Aku terjebak dalam arena pertempuran dan terdorong ke
samping, nyaris terjatuh. Tiba-tiba, Mason muncul dari belakang untuk
membelaku. Dia meninju orang pertama yang bisa digapainya―si cowok
bukan bangsawan.
Cowok itu terlempar ke belakang, terjatuh ke dalam salah satu kolam dengan
cipratan keras. Aku menjerit, teringat kekhawatiran mematahkan tulang
tengkorak yang sempat tebersit dalam benakku. Tetapi sesaat kemudian,
cowok itu berhasil mendapatkan pijakan dan mengusap air dari matanya.
Aku merenggut lengan Mason, berusaha menahannya, tetapi dia menepisku
dan mengejar Andrew. Mason mendorong Andrew dengan keras,
menyudutkannya ke arah beberapa Moroi―kuduga mereka teman-teman
Andrew―yang tampaknya sedang berusaha menengahi perkelahian. Si cowok
yang ada di dalam kolam memanjat ke luar, wajahnya tampak murka, lalu
mulai menghampiri Andrew. Kali ini aku dan Mason menghalanginya. Dia
memelototi kami.
Cowok itu mengepalkan tinju dan tampak ingin melawan. Tetapi kami terlihat
menakutkan, dan sepertinya dia tidak punya gerombolan teman seperti
Andrew―yang sekarang meneriakkan kata-kata kasar sambil dibawa pergi.
Seraya menggumamkan beberapa ancaman, si cowok bukan bangsawan pun
mundur.
Begitu dia pergi, aku menoleh pada Mason. “Kau sudah gila, ya?”
“Huh?”
“Tidak. Tentu saja tidak. Aku hanya berusaha mencegahmu bertindak bodoh.
Hanya karena kau berkhayal sanggup mengalahkan Strigoi, bukan berarti kau
bisa melampiaskannya pada semua orang.”
Pada saat itu aku mulai merasa mual. Kepalaku terasa berputar, dan aku
berusaha melanjutkan perjalanan menuju ruangan samping, berharap tidak
tersandung.
Tetapi saat tiba di sana, kulihat ruangan itu sama sekali bukan tempat
menyimpan hidangan pencuci mulut atau minuman. Yah, setidaknya tidak
seperti yang kuduga. Itu ruang donor. Beberapa manusia sedang berbaring di
sofa panjang berlapis sutra bersama Moroi di sampingnya. Dupa beraroma
melati memenuhi udara. Aku terpana dan dengan takjub menyaksikan
seorang cowok Moroi berambut pirang membungkuk lalu menggigit leher
seorang gadis berambut merah yang sangat cantik. Saat itu aku baru sadar
bahwa semua donor yang ada di sana sangat cantik. Sepertinya mereka aktris
atau model. Hanya yang terbaik untuk kaum bangsawan.
Cowok itu minum dengan isapan yang dalam dan panjang, si gadis menutup
mata dan mulutnya terbuka, wajahnya terlihat sangat bahagia saat endorfin
yang berasal dari Moroi membanjiri aliran darahnya. Tubuhku menggigil,
teringat saat aku mengalami euforia yang sama. Dalam benakku yang dilapisi
alkohol, segala sesuatunya tiba-tiba terlihat sangat erotis. Bahkan, aku
merasa seperti sedang mengganggu―seolah sedang melihat orang yang
sedang berhubungan seks. Saat Moroi itu selesai dan menjilat tetesan darah
terakhir, dia mencium lembut pipi mulus si gadis donor.
Ada jemari yang menyapu ringan leherku, dan aku pun terlonjak. Aku berbalik
lalu melihat mata hijau Adrian dan senyum sok tahunya.
“Tidak. Tentu saja tidak… tapi…” Mualnya sudah agak menghilang, tetapi aku
masih merasa tidak enak badan. “Sepertinya aku harus duduk.”
Adrian meraih lenganku. “Kalau begitu, jangan duduk di sini. Orang lain bisa
salah paham. Ayo, kita pergi ke tempat yang sepi.”
Aku duduk di lantai beralas karpet dan bersandar ke dinding. Adrian pergi lalu
kembali sambil membawa segelas air. Dia duduk di sampingku, lalu
menyerahkan gelasnya.
“Oke.” Adrian masih tersenyum. “Vasilisa mana? Kupikir dia akan selalu
menempel denganmu.”
“Kenapa nada bicaramu begitu? Kau cemburu? Kau menginginkan cowok itu
untukmu sendiri?”
“Tidak,” aku mengakui. “Dia memuja Lissa. Hanya saja dia agak
menyebalkan.”
Adrian pergi mengambil air lagi. “Sudah baikan?” dia bertanya sambil
menyerahkan gelas. Gelasnya terbuat dari kristal dengan ukiran rumit pada
permukaannya. Kelihatannya terlalu mewah untuk diisi air putih saja.
“Kau tidak merokok selama, hmm, mungkin sepuluh menit terakhir,” kataku,
berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Adrian kembali tersenyum. “Sebagian dari kita bisa menahan diri untuk tidak
minum minuman keras. Kau tidak akan muntah, kan?”
Aku masih merasa agak mabuk tetapi sudah tidak mual. “Tidak.”
“Bagus.”
“Adrian….”
“Siapa―”
Lissa masuk ke dalam ruangan, matanya menyapu sekeliling. Saat dia melihat
kami, kulihat rasa lega membanjiri dirinya. Namun, aku tak bisa
merasakannya. Zat memabukkan seperti alkohol membuat ikatan batin di
antara kami menjadi tumpul. Ini alasan lain mengapa malam ini seharusnya
aku tidak melakukan hal bodoh seperti itu.
“Ternyata kau di sini,” kata Lissa sambil berlutut di sampingku. Lissa
mengangguk seraya melirik Adrian. “Hei.”
“Kau baik-baik saja?” Lissa bertanya padaku. “Saat aku melihat betapa
mabuknya dirimu, kupikir kau mungkin terjatuh di suatu tempat dan
tenggelam.”
Ekspresi wajah Adrian yang biasa kulihat berubah menjadi serius saat
mengamati Lissa. Lagi-lagi hal itu mengingatkan aku pada mimpinya.
“Bagaimana kau menemukannya?”
Lissa menatap Adrian dengan bingung. “Aku, em, memeriksa semua ruangan.”
“Oh.” Adrian kelihatan kecewa. “Kupikir kau menggunakan ikatan batin kalian.”
“Bagaimana kau tahu soal itu?” tuntutku. Di sekolah hanya sedikit orang yang
tahu. Adrian membicarakannya dengan santai seperti sedang membicarakan
warna rambutku.
“Hei, aku tak bisa membocorkan rahasiaku, kan?” tanya Adrian dengan nada
misterius. “Lagi pula, ada sesuatu yang berbeda dengan cara kalian berdua
berinteraksi… tapi sulit untuk menjelaskannya. Keren juga… semua mitos kuno
itu ternyata benar.”
Lissa menatap Adrian dengan waspada. “Ikatan batinnya hanya berlaku satu
arah. Rose bisa merasakan apa yang kurasakan dan kupikirkan, tapi aku tak
bisa melakukannya pada Rose.”
“Ah.” Sejenak kami tidak mengatakan apa-apa, dan aku minum lebih banyak
air. Adrian bicara lagi. “Memangnya spesialisasimu apa, Sepupu?”
“Tapi mungkin saja kemampuanmu lebih tinggi dalam elemen lain, kan?
Hanya tidak cukup kuat untuk menguasai salah satunya?” Adrian mengulurkan
tangan untuk menepuk bahu Lissa dan berusaha menunjukkan dukungan
dengan cara berlebihan.
“Aku tahu,” kata Adrian, masih menatap Lissa. Senyum simpul terbentuk di
bibirnya. “Kapan-kapan kita harus mengobrol, Sepupu.”
“Hei.” Aku semakin bingung. “Kau punya pacar. Dan ini dia orangnya datang.”
Aku bergabung dengan yang lain, dan kami kembali ke bagian utama
penginapan. Mason menatapku dengan cara yang sama anehnya dengan cara
Christian memandang Lissa. Dia menjauh dariku, berjalan di depan bersama
Eddie. Aku terkejut dan tidak nyaman saat menyadari bahwa aku sedang
berjalan di samping Mia. Dia tampak sedih.
“Oh.”
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi dan mengalihkan perhatian pada anak
tangga yang sedang kami naiki menuju lantai dasar penginapan. Tanpa
diduga, Mia-lah yang melanjutkan pembicaraan kami.
“Aku melihatmu menengahi perkelahian tadi…” kata Mia pelan. “Kau tadi
menyebut-nyebut soal sihir menyerang. Seolah kau tahu banyak soal itu.”
Oh. Hebat sekali. Mia akan berusaha untuk memerasku… atau tidak? Pada
saat ini dia terlihat hampir bersahabat.
“Um, yah….” Aku berusaha memikirkan sebuah cerita yang tidak terlalu samar
tetapi juga tidak terlalu spesifik. “Sama seperti yang kukatakan pada mereka…
konsentrasi itu sangat penting. Karena kalau kau sedang bertempur melawan
Strigoi, segala macam hal bisa mengalihkan perhatianmu. Jadi, kau harus bisa
mengendalikan diri.”
Sebenarnya itu aturan dasar pengawal, tetapi Mia pasti baru mendengarnya.
Matanya melebar penuh semangat. “Apa lagi? Mantra apa saja yang dipakai?”
Aku menggelengkan kepala. “Entahlah. Aku tak mengerti cara kerja mantra,
dan seperti yang kubilang, semua ini hanya… cerita yang kudengar. Sepertinya
kau harus mencari cara agar elemen yang kaukuasai bisa digunakan sebagai
senjata. Contohnya… para pengguna sihir api benar-benar memiliki
keuntungan karena api bisa membunuh Strigoi, jadi hal itu cukup mudah bagi
mereka. Dan pengguna sihir udara bisa mencekik orang.” Aku pernah
sungguh-sungguh merasakan hal itu melalui Lissa. Rasanya sangat
mengerikan.
Mata Mia semakin lebar. “Bagaimana dengan pengguna sihir air?” tanyanya.
“Bagaimana cara air bisa menyakiti Strigoi?”
Aku terdiam sejenak. “Aku, eh, tidak pernah mendengar cerita mengenai
pengguna sihir air. Maaf.”
“Tapi bisakah kau memikirkan sebuah cara? Cara yang bisa dipelajari orang-
orang sepertiku?”
Wajah Mia memerah, dan tiba-tiba aku melihat Mia yang pemarah seperti
biasanya. “Jangan remehkan aku,” katanya.
“Hei, aku tidak meremehkanmu. Aku serius. Aku hanya tidak ingin kau
bertindak gegabah selama masih sedih. Lagi pula….” Aku menelan kembali
kata-kata yang hendak kuucapkan.
Persetan. Mia tetap harus mengetahuinya. “Yah, sebenarnya aku tak tahu apa
gunanya sihir air dalam melawan Strigoi. Bisa dibilang air elemen paling tidak
berguna dalam melawan Strigoi.”
Wajahnya tampak sangat marah. “Kau benar-benar menyebalkan, tahu?”
“Mason hebat,” lanjut Mia. “Salah satu cowok terbaik yang pernah
kukenal―dan kau bahkan tidak menyadarinya! Dia bersedia melakukan apa
saja untukmu, tapi kau malah menjatuhkan diri ke pelukan Adrian Ivashkov.”
Kami tiba di bagian penginapan yang bercabang menuju dua sayap berbeda,
satu untuk lelaki dan satu untuk perempuan. Aku meraih lengan Mason. Yang
lain terus berjalan.
“Tunggu,” kataku. Aku sangat ingin meyakinkannya soal Adrian, tetapi ada
sebagian kecil diriku yang penasaran apakah aku melakukannya karena benar-
benar menginginkan Mason, atau karena menyukai kenyataan bahwa dia
menginginkan aku dan tidak mau kehilangan semua itu. Mason berhenti dan
menatapku. Wajahnya terlihat waspada. “Aku ingin minta maaf. Seharusnya
aku tidak berteriak padamu setelah perkelahian itu―aku tahu kau hanya
berusaha membantu. Sedangkan soal Adrian… tidak ada yang terjadi. Aku
serius.”
“Aku tahu, tapi percayalah, dia saja yang agak tergila-gila padaku.”
“Aku tidak… semabuk itu lagi,” aku berkata, berusaha menariknya mendekat.
Aku melotot, tetapi dia hanya tertawa dan berbalik pergi. Saat dia berjalan
menjauh, tatapan tajamku memudar dan aku kembali ke kamarku dengan
wajah tersenyum.
Kamilah
Next
Ary Panda
tapi mungkin besok blm bisa post... besok banyak kerjaan.... maybe lusa lanjutnya lagi
Ary Panda
Kalo boleh jujur sich au agak kecewa min kalo sering ditunda postingnya, tetapi sebagai pembaca yg
baik au cuman bisa kasih semangat aja buat mimin biar lusa bisa posting lagi....
Lagian au ngerti koq, kalo qta juga sibuk dgn kerjaan di dunia nyata
Keren
Farhan Riwanto
“Itu aku.”
Aku mengambil kardus itu darinya. Kardusnya besar, tetapi tidak berat. Aku
mengucapkan terima kasih dengan singkat, lalu menutup pintu. Aku bertanya-
tanya apakah harus memberinya tip. Ah, sudahlah.
Aku duduk di lantai dengan kardus itu. Tidak ada tanda apa pun di sana dan
kardusnya disegel dengan pita perekat. Aku menemukan pulpen dan
menggunakannya untuk membuka pita perekat. Setelah menyobeknya cukup
lebar, aku membuka kardus lalu mengintip isinya.
Di dalam kardus itu setidaknya ada tiga puluh botol parfum. Aku pernah
mendengar beberapa di antaranya, dan sebagian lagi belum pernah kudengar
sama sekali. Harga parfum-parfum ini berkisar dari sangat mahal, kaliber
bintang film, sampai jenis murahan yang biasa kulihat di toko obat. Eternity.
Angel. Vanilla Fields. Jade Blossom. Michael Kors. Poison. Hypnotic Poison.
Pure Poison. Happy. Light Blue. Jõvan Musk. Pink Sugar. Vera Wang. Aku
mengambil kotak pembungkusnya satu demi satu, membaca deskripsi yang
tertulis, lalu mengeluarkan botol parfum untuk mengendus baunya.
Aku sudah setengah jalan saat tiba-tiba menyadari sesuatu. Semua parfum ini
berasal dari Adrian.
Aku tidak tahu bagaimana dia bisa meminta semua parfum ini dikirim ke hotel
dalam waktu sesingkat ini, tetapi uang sanggup mewujudkan hampir semua
hal. Meski begitu, aku tidak membutuhkan perhatian seorang Moroi kaya yang
manja. Sepertinya Adrian tidak menangkap sinyal yang kuberikan. Dengan
menyesal aku mengembalikan semua parfum itu ke dalam kardus―lalu
berhenti. Tentu saja aku akan mengembalikan parfumnya… tetapi tak ada
salahnya kan kalau aku mengendus sisanya sebelum melakukannya.
Aku kembali mengeluarkan botol demi botol parfum yang ada di dalam
kardus. Sebagian hanya kuendus setelah membuka tutupnya, sedangkan yang
lain kusemprotkan ke udara. Serendipity. Dolce & Gabbana. Shalimar.
Daisy. Aroma demi aroma menyentuh hidungku; mawar,
bunga violet, sandalwood, jeruk, vanila, anggrek….
Setelah selesai, hidungku bisa dibilang tidak berfungsi lagi. Semua parfum ini
dirancang untuk manusia. Indra penciuman mereka lebih lemah daripada
vampir dan dhampir, jadi wewangian ini terlalu kuat untukku. Aku jadi sedikit
menghargai pendapat Adrian yang mengatakan bahwa kami hanya
membutuhkan setetes parfum saja. Jika semua botol parfum ini sanggup
membuatku pusing seperti sekarang, aku tak bisa membayangkan apa yang
dirasakan oleh Moroi. Indra penciuman yang kewalahan seperti ini sama tidak
mengurangi sakit kepala yang kurasakan sejak bangun tidur.
Kali ini aku benar-benar memasukkan kembali semua botol parfum, dan hanya
berhenti saat memegang satu parfum yang benar-benar kusukai. Aku ragu-
ragu, memegangi kotak kecil itu. Kemudian, aku mengeluarkan botolnya yang
berwarna merah dan mengendusnya lagi. Wanginya segar dan manis. Ada
wangi buah―tapi bukan buah yang manis. Aku menguras otak mengingat-
ingat sebuah wewangian yang pernah kucium pada seorang cewek yang
tinggal di asrama yang sama denganku. Dia pernah bilang namanya.
Wanginya seperti buah ceri… tapi lebih tajam. Currant, itu dia. Dan baunya
tercium dalam parfum ini, tercampur dengan aroma beberapa jenis bunga: lily
of the valley, dan beberapa bunga lain yang tidak kukenali. Entah campuran
apa yang ada di dalamnya, ada sesuatu pada wanginya yang memesonaku.
Manis―tapi tidak terlalu manis. Aku membaca kotak pembungkusnya,
berusaha mencari namanya. Amor amor.
Aku membawa kardus itu ke meja resepsionis lalu meminta pita perekat untuk
menyegelnya lagi. Aku juga menanyakan arah ke kamar Adrian. Ternyata
keluarga Ivashkov memiliki sayap tersendiri di penginapan. Letaknya tidak
terlalu jauh dari kamar Tasha.
“Apa tak ada yang kausukai?” tanyanya. “Mau kubelikan yang lain?”
“Ini bukan hadiah. Ini layanan umum. Perempuan macam apa yang tak punya
parfum?”
Tiba-tiba, dari belakang Adrian terdengar sebuah suara, “Rose? Kaukah itu?”
Aku melotot. “Enak saja. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini.”
Aku terlonjak. Saat memutar tubuh, kulihat Dimitri berdiri di selasar. Aku sama
sekali tidak tahu apa yang dilakukannya di sayap keluarga Ivashkov.
Dia sedang menuju kamar Tasha, kata sebuah suara di dalam kepalaku.
Aku tahu mengatakan bahwa Adrian sebenarnya bukan murid tak akan bisa
melepaskan kami dari masalah. Kami mestinya tidak boleh berada di kamar
pria mana pun.
“Melakukan apa?”
Adrian mengangkat bahu. “Yeah, tapi aku tak perlu mengikuti peraturan bodoh
sekolah mana pun.”
“Mungkin tidak,” kata Dimitri dingin. “Tapi kupikir Anda masih menghargai
peraturan-peraturan itu.”
“Lagi pula,” lanjut Adrian, “kami tidak berbuat mesum. Kami hanya
bercengkerama.”
Aku tidak begitu suka mendengar Dimitri menyebut kami “gadis-gadis muda”,
dan aku merasa reaksinya berlebihan. Aku juga curiga reaksinya berhubungan
dengan kenyataan bahwa aku ada di sini.
Kami semua menatapnya. Kurasa tak ada yang mengira Adrian tiba-tiba
meracau seperti orang gila.
Adrian langsung tenang dan kembali terlihat seperti biasa. Dia membalikkan
badan lalu menghampiri jendela, melirik kami dengan santai sambil
mengeluarkan rokok.
“Kalian para gadis sebaiknya pergi. Dia benar. Aku memang pengaruh buruk.”
“Itu… aneh,” kataku beberapa menit kemudian. Aku mengatakan sesuatu yang
sudah jelas, tapi, yah, harus ada yang mengatakannya.
Saat kami tiba di lobi, aku hendak mengikuti Lissa ke kamar kami, tetapi
Dimitri memanggilku.
“Bukan untuk urusan pribadiku. Kau tidak punya hak dalam hal itu.”
“Hampir. Lagi pula, bukan berarti saat berulang tahun kedelapan belas nanti
aku akan berubah menjadi dewasa secara ajaib.”
“Aku tahu maksudmu. Dan sekarang semua masalah teknik itu tidak penting.
Kau murid Akademi. Aku instrukturmu. Sudah menjadi tugasku untuk
membantumu dan melindungimu. Berada di dalam kamar tidur bersama
orang seperti dia… hmm, sama sekali tidak aman.”
“Omong-omong soal kehidupan pribadi… Kurasa kau tadi ada di sana untuk
mengunjungi Tasha, kan?”
Aku tahu ucapanku sangat picik, dan aku menduga akan mendapatkan
jawaban “bukan urusanmu.” Alih-alih, Dimitri menjawab, “Sebenarnya, aku
mengunjungi ibumu.”
“Kau akan mengencani ibuku juga?” Tentu saja aku tahu bukan itu yang
dimaksud Dimitri, tetapi ejekan ini sepertinya sulit untuk dilewatkan.
“Sepertinya kaum Strigoi,” kata Dimitri serius. “Alamatnya palsu, tapi bukti-
bukti lain menunjukkan bahwa mereka ada di sana. Ada sebuah pusat
perbelanjaan yang memiliki terowongan bawah tanah. Dan ada beberapa
penampakan Strigoi di daerah itu.”
“Lalu…” Aku mengerutkan kening. “Kau akan mengejar mereka? Apakah ada
yang akan mengejar mereka? Maksudku, ini kan yang selalu diucapkan Tasha
selama ini… Kalau kita tahu di mana mereka berada….”
Aku kembali merasa bergairah. “Ayolah. Bahkan kau pun tak ingin bersikap
hati-hati dalam hal ini. Kalian sebenarnya tahu di mana Strigoi bersembunyi.
Strigoi yang membantai anak-anak. Apa kau tak ingin mengejar mereka saat
mereka lengah?” Sekarang aku terdengar seperti Mason.
“Tidak semudah itu,” kata Dimitri. “Kami harus mematuhi Dewan Pengawal
dan pemerintah Moroi. Kami tak bisa pergi begitu saja dan bertindak secara
impulsif. Lagi pula, informasi yang kami dapat belum lengkap. Kita tidak boleh
memasuki situasi apa pun tanpa tahu semua detailnya.”
“Lagi-lagi pelajaran hidup ala Zen,” desahku. Aku menyelipkan sehelai rambut
ke belakang telinga. “Omong-omong, kenapa kau memberitahuku semua ini?
Ini kan urusan pengawal. Bukan sesuatu yang biasanya diberitahukan pada
novis.”
Aku tidak suka dikatakan bertingkah tidak dewasa, tetapi aku menyukai
gagasan bahwa Dimitri akan bicara denganku seperti mitra sejajar.
“Dimka,” sebuah suara berkata. Tasha Ozera berjalan menghampiri kami. Dia
tersenyum saat melihatku. “Halo, Rose.”
“Tatapan apa?” tanya Dimitri. Tatapan tegas yang sejak tadi ditunjukkan
Dimitri di hadapanku langsung menghilang. Senyum tipis dan sok tahu
melintas di bibirnya. Senyum yang hampir penuh canda.
“Kau tak bisa terus-menerus begini,” Tasha mengerang. “Kau perlu istirahat.”
“Untuk sekarang,” kata Tasha yakin. Aku merasa lebih mual daripada
semalam. “Di lantai atas sedang diadakan turnamen biliar.”
“Aku tak bisa,” kata Dimitri, tetapi senyum masih menghiasi wajahnya. “Meski
aku sudah lama tidak memainkannya….”
“Kalau begitu, ayo,” Tasha memohon. “Hanya satu putaran! Kita bisa
mengalahkan mereka semua.”
“Tidak bisa,” ulang Dimitri. Dia terdengar sangat menyesal. “Aku tidak bisa
melakukannya, mengingat segala hal yang terjadi.”
Tasha berubah menjadi agak serius. “Tidak. Kurasa memang tidak bisa.”
Seraya melirik ke arahku, Tasha berkata dengan nada bercanda, “Kuharap kau
sadar panutan yang kaumiliki ini benar-benar pekerja keras. Dia tak pernah
berhenti bertugas.”
Tasha terlihat bingung. Kurasa dia sama sekali tidak menduga aku akan
mengolok-olok dirinya. Tatapan mata Dimitri yang muram menunjukkan
bahwa dia tahu persis apa yang sedang kulakukan. Aku segera menyadari
bahwa aku baru saja memusnahkan kemajuan apa pun yang tadi kudapatkan
sebagai orang dewasa.
“Urusan kita sudah selesai, Rose. Ingatlah apa yang kukatakan tadi.”
“Yeah,” ucapku sambil berbalik pergi. Aku mendadak ingin pergi ke kamar dan
bersantai sebentar. Hari ini sudah membuatku lelah. “Pasti.”
Aku belum beranjak terlalu jauh saat berpapasan dengan Mason. Ya Tuhan.
Cowok di mana-mana.
“Kau sedang marah,” Mason langsung berkata saat melihat wajahku. Dia
memiliki bakat khusus mengetahui suasana hatiku. “Apa yang terjadi?”
“Ada sedikit… masalah dengan pihak berwenang. Pagi ini benar-benar aneh.”
Aku mendesah, tak sanggup menyingkirkan Dimitri dari dalam otak. Saat
menatap Mason, aku teringat bagaimana semalam aku ingin melakukan
sesuatu yang serius dengannya. Aku pasti sudah gila. Aku tak sanggup
membuat keputusan mengenai siapa pun. Aku memutuskan bahwa cara
terbaik menyingkirkan cowok adalah dengan memberikan perhatian pada
cowok lain, jadi aku merenggut tangan Mason lalu mengajaknya pergi.
“Ayolah. Bukankah kita punya kesepakatan untuk pergi ke suatu tempat yang…
em, pribadi hari ini?”
“Sepertinya kau sudah tidak mabuk lagi,” canda Mason. Tetapi sorot matanya
terlihat sangat serius. Dan tertarik dengan tawaranku. “Kusangka
kesepakatannya batal.”
“Hei, aku selalu membuktikan ucapanku, apa pun yang terjadi.” Aku membuka
pikiran, berusaha mencari Lissa. Dia sudah tidak ada di kamar. Lissa pergi ke
suatu acara bangsawan, tidak diragukan lagi masih melakukan pemanasan
untuk pesta makan malam besar-besaran yang akan diadakan oleh Priscilla
Voda. “Ayo,” kataku. “Kita pergi ke kamarku.”
Selain Dimitri yang kebetulan melewati kamar orang lain, tidak ada yang
sungguh-sungguh memedulikan peraturan soal kunjungan lawan jenis.
Rasanya seperti kembali ke asrama Akademi. Saat aku dan Mason pergi ke
lantai atas, aku memberitahunya informasi yang diceritakan Dimitri tadi,
informasi mengenai Strigoi yang berada di Spokane. Tadi Dimitri memintaku
merahasiakannya, tetapi aku marah padanya, dan menurutku tak ada salahnya
jika aku memberitahu Mason. Aku tahu dia pasti tertarik mendengarnya.
“Aku tahu, aku tahu… aku dengar yang kaukatakan tadi. Soal berhati-hati dan
semacamnya.” Mason mondar-mandir dengan marah di dalam kamar. “Tapi
kalau para Strigoi itu pergi mengejar Moroi lain… keluarga lain… sial! Kalau itu
yang terjadi, mereka pasti berharap tidak bersikap sehati-hati itu.”
“Lupakan saja,” kataku. Aku agak kesal karena diriku yang sedang berbaring di
tempat tidur tidak sanggup mengalihkan Mason dari rencana bertempurnya
yang sinting itu. “Tak ada yang bisa kita lakukan.”
“Tentu saja. Eddie pasti mau ikut juga… kita bisa pergi ke mal itu. Mereka tak
mungkin berkelompok terus, jadi kita bisa menunggu dan menculik mereka
satu per satu….”
Aku hanya bisa menatapnya dengan hampa. “Sejak kapan kau jadi sebodoh
ini?”
Tanganku merayap naik dan merangkul lehernya. Kulit Mason terasa hangat,
dan aku teringat betapa nikmatnya mencium cowok ini semalam.
“Murid siapa?”
“Murid Belikov. Hal itu terpikir olehku saat kau menyebut-nyebut soal
membutuhkan lebih banyak informasi dan semacamnya. Tingkahmu persis
seperti dia. Kau berubah menjadi serius setelah bergaul dengannya.”
“Tidak, aku tidak berubah menjadi serius.”
Mason menarik tubuhku mendekat, tetapi tiba-tiba saja aku tidak merasa
romantis lagi. Aku ingin bercumbu dan melupakan Dimitri sejenak, bukan
membicarakannya. Dari mana datangnya semua ini? Mason seharusnya
mengalihkan perhatianku.
Mason tidak menyadari ada sesuatu yang salah. “Kau hanya berubah, itu saja.
Itu tidak buruk… hanya berbeda.”
Ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku marah, tetapi sebelum aku
sempat membalas, Mason sudah menciumku. Pembicaraan yang tidak masuk
akal tadi bisa dikatakan langsung lenyap. Sedikit amarah gelap mulai bangkit
dalam diriku, tetapi aku langsung menyalurkannya ke dalam aktivitas fisik saat
tubuh kami saling merapat. Aku menarik Mason ke tempat tidur, berhasil
melakukannya tanpa berhenti berciuman. Aku mencengkeram punggung
Mason, sementara tangannya meraih leherku dan melepaskan kucirku. Mason
membelai rambutku yang tergerai, lalu mencium leherku.
Mengingat kami baru saja berdebat beberapa menit yang lalu, aku terkejut
keadaannya bisa memanas secepat ini. Namun, sejujurnya… aku tidak
keberatan. Beginilah caraku menjalani hidup. Segala sesuatunya selalu
berjalan cepat dan dalam saat bersamaku. Ketika aku dan Dimitri menjadi
korban mantra kompulsi gairah Victor Dashkov, ada hasrat membara yang
terlibat. Tetapi Dimitri berhasil mengendalikannya, jadi terkadang kami
bersikap santai… dan hal itu tetap mengagumkan dengan cara tersendiri.
Tetapi lebih sering kami tak sanggup menahan diri. Dan aku bisa
merasakannya sekarang. Bagaimana tangan Mason menelusuri tubuhku.
Ciumannya dalam dan kuat.
Aku sedang berciuman dengan Mason, tetapi dalam benakku aku sedang
melakukannya bersama Dimitri. Dan aku bukan sekadar mengingat saat
sedang bersamanya. Bisa dibilang aku membayangkan diriku bersama
Dimitri―saat ini juga―menghidupkan kembali malam itu. Sangat mudah untuk
berpura-pura dengan kedua mata terpejam.
Namun, saat membuka mata dan menatap mata Mason, aku tahu dialah yang
sedang bersamaku. Mason memujaku dan menginginkanku sejak dulu. Jika
aku melakukan semua ini… bercumbu dengannya dan berpura-pura sedang
melakukannya dengan orang lain….
Mason langsung berhenti, karena dia memang jenis cowok seperti itu.
“Terlalu berlebihan?” dia bertanya. Aku mengangguk. “Tak apa-apa. Kita tak
perlu melakukannya.”
Mason mulai mendekatiku lagi, tetapi aku menjauh. “Tidak, aku hanya tidak…
entahlah. Kita hentikan saja, oke?”
“Aku….” Sejenak Mason tak sanggup berkata-kata. “Apa yang terjadi dengan
‘banyak hal’ yang ingin kaulakukan tadi?”
Yeah… kelihatannya memang buruk, tapi aku bisa bilang apa? Aku tak bisa
bermesraan denganmu, karena saat melakukannya aku terus-menerus teringat
pada cowok lain yang sebenarnya kuinginkan. Kau hanya pemeran pengganti.
Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa bodoh. “Maaf, Mase. Aku tak bisa
melakukannya.”
Mason melirikku, ekspresi wajahnya terlihat kesal. “Aku hanya bingung. Aku
tak mengerti sinyal-sinyal yang kauberikan. Sesaat kau bersikap hangat,
sesaat kemudian berubah menjadi dingin. Kau bilang menginginkanku, lalu
kau bilang tak menginginkanku. Kalau kau memutuskan salah satu di
antaranya, tak ada masalah, tapi kau selalu membuatku menduga-duga, tapi
akhirnya malah melakukan sesuatu yang benar-benar berbeda. Bukan hanya
sekarang―tapi setiap saat.”
Dijah Dije
Akhir'a.. :D
Yasin
akhirnya
Vinda Hidayati
next !!!
bsok d'posting gie yha min,,, kn selalu qu tunggu k'lanjutan πγåª min :D
Ester Budiyanti
min, boleh request gak? tolong share dong novel Jepang/temanya Jepang gituu^ itu juga kalau bisa,
kalau enggak ya gpp :) *makasih min…
Sarah Angelica
awwwww
Zuraida Syafry
Lanjut min
Maya Gemini
next,,
Bunga Anggraini
ahh gila rose bnyk bgt yg naksir.. ama mason jga gpp. kasian mason di phpin..
kerennn
Tiara Dewata
YeEny Zenny
Ih rose gmna sich kan kasian mas0n d mainin perasaanya.jdi gemes sndri.
min lanjutin.
sesuai bangettt
Tiara Dewata
buku ke 3 kayaknya gak mungkin di post di sini.... soalnya bukunya cukup tebel... kalau ada yg
nyumbang sih boleh
Tiara Dewata
Nunggu filmnya aja nih. Katanya buku sampai seri 7/8 udah dicetak lagi. :) Mimin nyari bukunya dmn?
Tiara Dewata
Scwarze Orchidee
y ampunnn cristian,, gila cakep bener jd cowo
Sarah Oswell
Ini cast paling cocok. kecewa banget pas filmnya nggak sesuai dgn bayangan aku. :(
Sarah Oswell
Write a comment...
SIANG HARINYA LISSA menemuiku. Aku tertidur setelah Mason pergi, terlalu
sedih untuk meninggalkan tempat tidur. Bantingan pintu Lissa
membangunkan aku.
Aku senang bertemu dengan Lissa. Aku ingin mencurahkan semua kejadian
bersama Mason tadi, tetapi sebelum melakukannya, aku membaca pikirannya
dulu. Pikiran Lissa sama gundahnya dengan perasaanku. Jadi, seperti biasa,
aku mendahulukan kepentingannya.
Lissa duduk di atas tempat tidur, melesak ke dalam selimut bulu angsa,
perasaannya menunjukkan bahwa dia sedang marah sekaligus sedih.
“Christian.”
“Oh, wow,” aku berkata. “Yeah. Itu memang bisa bikin masalah.” Aku berdiri,
lalu menghampiri meja rias dan mencari sisir. Seraya menyipitkan mata, aku
berdiri di hadapan cermin berpigura emas sepuhan lalu mulai menyisir
rambutku yang kusut karena tidur siang.
Lissa mengerang. “Tapi tak ada yang terjadi! Kemarahan Christian tidak
masuk akal. Aku heran dia tak memercayaiku.”
“Christian percaya. Semua ini memang aneh, itu saja.” Aku teringat pada
Dimitri dan Tasha. “Rasa cemburu membuat orang melakukan dan
mengatakan hal-hal bodoh.”
“Tapi tak ada yang terjadi,” ulang Lissa. “Maksudku, kau juga ada di sana
dan―hei, sampai sekarang aku belum mendapatkan jawaban. Kenapa kau tadi
ke sana?”
Aku mengangguk.
“Whoa.”
“Terserah apa katamu, Rose. Aku memang bukan peramal sepertimu, tapi aku
selalu tahu kalau kau sedang kesal. Kau agak muram sejak Natal. Ada apa?”
Sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan apa yang terjadi ketika
Natal, ketika ibuku memberitahuku tentang Tasha dan Dimitri. Tetapi aku
menceritakan soal Mason―membuang bagian alasan aku tiba-tiba
berhenti―dan hanya menceritakan bahwa aku melakukannya.
“Aku tahu. Tapi bisa dibilang aku yang memancingnya. Aku mengerti kenapa
dia kesal.”
Ini bukan sekadar salah paham. Keadaan di antara aku dan Mason tak bisa
diperbaiki begitu saja. “Entahlah,” aku berkata. “Tidak semua orang sepertimu
dan Christian.”
Wajah Lissa langsung muram. “Christian. Aku masih tak percaya dia bersikap
sebodoh ini.”
Aku tidak bermaksud melakukannya, tetapi aku tertawa. “Liss, kalian berdua
pasti langsung berbaikan dan berciuman lagi dalam satu hari saja. Mungkin
lebih dari berciuman.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja sebelum sempat kucegah. Mata Lissa
melebar. “Kau tahu.” Lissa menggeleng kesal. “Tentu saja kau tahu.”
“Sori,” kataku. Aku tidak berniat mengatakan aku tahu soal seks mereka,
setidaknya sampai dia menceritakannya sendiri padaku.
“Em, tidak banyak,” aku berbohong. Aku sudah selesai menyisir rambut, tetapi
mulai mempermainkan gagang sisir untuk menghindari tatapan mata Lissa.
“Bukan apa-apa… aku…” Lissa menatapku dengan tajam. “Aku… entahlah. Aku
hanya merasa akhir-akhir ini kita jarang mengobrol seperti dulu lagi.”
“Butuh kedua belah pihak untuk memperbaiki masalah itu,” kata Lissa,
suaranya terdengar manis lagi.
Lissa nyengir, lalu melirik jam tangannya. Senyumnya menghilang. “Uh. Aku
harus pergi ke pesta makan malam Priscilla. Seharusnya Christian pergi
denganku, tetapi tiba-tiba dia bersikap seperti idiot….” Dia menatapku penuh
harap.
“Apa? Tidak. Ayolah, Liss. Kau tahu betapa bencinya aku pada urusan
bangsawan seperti itu.”
“Oh, ayolah,” Lissa memohon. “Christian sudah gugur. Kau tak boleh
melemparku ke tengah serigala. Dan bukankah barusan kaubilang kita harus
lebih sering mengobrol?” Aku mengerang. “Lagi pula, kalau sudah menjadi
pengawalku, kau harus melakukan hal semacam ini setiap saat.”
“Aku tahu,” kataku muram. “Kupikir setidaknya aku bisa menikmati enam
bulan terakhir kebebasanku.”
Kami tidak punya banyak waktu, dan aku harus buru-buru mandi,
mengeringkan rambut, dan merias wajah. Aku telah membawa gaun
pemberian Tasha karena dorongan hati semata. Namun sekarang, meski
masih ingin Tasha sangat menderita karena menyukai Dimitri, aku merasa
bersyukur atas hadiahnya ini. Aku mengenakan gaun sutra itu, dan senang
saat melihat warna merahnya tampak sangat keren saat kupakai, persis
seperti yang kubayangkan. Gaunnya panjang, bergaya Asia, dan kainnya
dihiasi bordiran bunga. Kerahnya yang tinggi dan lengannya yang panjang
menutupi sebagian besar kulitku, tetapi bahannya menempel pada tubuh dan
terlihat seksi dalam cara yang berbeda dari yang dihasilkan gaun model
terbuka. Mata lebamku bisa dikatakan sudah tidak tampak lagi.
Saat tiba di ruang pesta, kami menarik perhatian beberapa pasang mata.
Kurasa para bangsawan tidak menduga sang putri Dragomir akan membawa
teman dhampir-nya ke pesta makan malam yang sudah ditunggu-tunggu dan
hanya terbuka bagi para undangan ini. Tetapi pada kartu undangan Lissa
tertera “dan teman”. Aku dan Lissa duduk di salah satu meja bersama
beberapa bangsawan yang namanya langsung terlupakan olehku. Mereka
dengan senang hati mengabaikan aku, dan aku senang diabaikan oleh
mereka.
Lagi pula, masih banyak hal lain yang lebih menarik untuk diperhatikan. Ruang
pesta ditata dalam warna perak dan biru. Kain sutra berwarna biru langit
tengah malam melapisi meja-meja, kainnya sangat mengilat dan mulus
sehingga aku takut untuk makan di atasnya. Tempat lilin tergantung di seluruh
dinding, dan di salah satu sudut ruangan terdapat perapian berhias kaca patri
dengan api yang berderak-derak di dalamnya. Efek yang dihasilkan berupa
panorama warna dan cahaya yang mengagumkan, menyilaukan mata. Di
sudut ruangan, seorang wanita Moroi bertubuh langsing memainkan alat
musik selo dengan lembut, wajahnya tampak menerawang saat pikirannya
terpusat pada lagu. Suara gelas-gelas kristal berisi anggur yang berdenting
melengkapi nada rendah dan manis yang dihasilkan dawai-dawai itu.
Berbaur?
Itu memang benar. Dalam sebagian besar kesempatan, akulah yang sering
membuka diri dan tidak takut bicara dengan orang lain. Lissa cenderung lebih
pemalu. Namun, dalam kelompok ini, keadaannya terbalik. Ini daerah
kekuasaan Lissa, bukan daerah kekuasaanku. Dan aku benar-benar takjub
saat melihat betapa luwesnya Lissa bergaul dengan kalangan atas. Sikapnya
sempurna, anggun dan sopan. Semua orang ingin mengobrol dengannya, dan
sepertinya Lissa selalu tahu jawaban yang tepat. Sebenarnya Lissa tidak
menggunakan kompulsi, tetapi dia memancarkan aura yang seakan menarik
orang lain untuk berada di dekatnya. Kurasa itu mungkin efek roh yang muncul
tanpa disadari. Bahkan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya, karisma
sihir dan alaminya tetap terpancar. Kalau dulu baginya interaksi sosial terasa
dipaksakan dan membuatnya sangat tertekan, sekarang Lissa melakukan
semua itu dengan santai. Aku bangga padanya. Sebagian besar obrolan berisi
topik-topik ringan: fashion, kehidupan cinta para bangsawan, dan lain-lain.
Sepertinya tak ada yang ingin merusak suasana dengan membicarakan
Strigoi.
Jadi, aku menempel di sisi Lissa sepanjang sisa malam itu. Aku berusaha
menghibur diri dengan menganggap semua ini sebagai latihan untuk masa
depan, saat aku akan mengikuti ke mana pun Lissa pergi, bagaikan bayangan
bisu. Sejujurnya, aku merasa sangat tidak nyaman dengan kelompok ini, dan
aku tahu mekanisme pertahananku yang ketus tidak akan berguna di sini. Lagi
pula, aku sadar betul bahwa akulah satu-satunya tamu dhampir pada makan
malam ini. Memang ada dhampir lain, tetapi mereka sedang bertugas secara
resmi sebagai pengawal, bergerak mengintai ke sekeliling ruangan.
“Apa yang tidak kaupahami dari kata-kata ‘bunuh diri’?” kata seorang pria yang
berdiri di dekatnya. Pria itu berambut keperakan dan berkumis lebat. Dia juga
memakai tuksedo, tetapi si cowok yang lebih muda kelihatan jauh lebih keren
darinya. “Melatih Moroi sebagai serdadu akan menjadi akhir ras kita.”
“Ini bukan bunuh diri,” seru si cowok muda. “Ini sesuatu yang harus kita
lakukan. Kita harus mulai menjaga diri sendiri. Belajar bertarung dan
menggunakan sihir adalah aset terbesar kita, selain pengawal.”
“Ya, tapi dengan adanya pengawal, kita tidak membutuhkan aset yang lain,”
kata si Rambut Perak. “Kau terlalu sering mendengarkan orang-orang yang
bukan bangsawan. Mereka tidak punya pengawal pribadi, jadi tentu saja
ketakutan. Tapi itu bukan alasan untuk menyeret kita dan mempertaruhkan
hidup kita dalam risiko sebesar itu.”
“Kalau begitu jangan,” tiba-tiba Lissa berkata. Suaranya lembut, tetapi semua
orang yang ada di dalam kelompok kecil ini berhenti bicara dan menatapnya.
“Saat kau berbicara tentang Moroi yang mempelajari cara bertarung,
kedengarannya seperti masalah yang pilihannya hanya ya atau tidak. Bukan
begitu. Kalau tak mau bertarung, kau tak perlu melakukannya. Aku
sepenuhnya mengerti.” Si Rambut Perak agak melunak. “Tapi itu karena
kau bisa mengandalkan pengawal. Banyak Moroi yang tidak melakukannya.
Dan kalau mereka ingin mempelajari pertahanan diri, tak ada alasan untuk
melarang mereka.”
“Tapi tidak semudah itu,” jawab si Rambut Perak. “Kalau masalahnya hanya
soal orang-orang sinting seperti kalian yang ingin mati, terserah. Lakukan saja.
Tapi memangnya di mana kalian akan mempelajari keahlian yang kalian sebut
sebagai ilmu bertarung ini?”
“Kami akan mempelajari sihir sendiri. Pengawal akan mengajari kami cara
bertarung yang sesungguhnya.”
“Nah, kaulihat? Aku tahu ujungnya pasti akan seperti ini. Meski kami semua
tak mau ambil bagian dalam misi bunuh dirimu itu, kau bermaksud merebut
para pengawal kami untuk melatih pasukan gadungan kalian.”
Semua orang menatap Lissa dengan takjub, termasuk aku. Itu solusi yang
elegan, dan semua orang di sekitar kami pun menyadarinya. Solusi ini tidak
seratus persen memenuhi tuntutan kedua pihak, tetapi menghasilkan suatu
cara yang tidak merugikan pihak mana pun. Sungguh genius. Moroi lainnya
mengamati Lissa dengan kagum dan terpana.
Tiba-tiba saja semua orang mulai bicara pada saat yang sama, mereka
bersemangat dengan gagasan ini. Mereka menarik Lissa mendekat, dan
pembicaraan mengenai rencana Lissa ini segera berlangsung penuh
semangat. Aku terdorong ke samping dan memutuskan itu tidak masalah.
Kemudian, aku menjauh lalu mencari sebuah sudut di dekat pintu.
“Entahlah,” Adrian meledekku. Saat ini dia kelihatan sepenuhnya waras, tidak
menunjukkan jejak-jejak perilaku aneh yang kusaksikan saat berada di
kamarnya. Dan yeah, dia kelihatan jauh lebih pantas memakai tuksedo
daripada lelaki mana pun yang sejauh ini kulihat di tempat ini. “Sudah berapa
kali kita bertemu? Lima kali? Sepertinya mulai terlihat mencurigakan. Tapi
jangan takut. Aku takkan memberitahu pacarmu kok. Dua-duanya.”
Aku membuka mulut untuk protes, tetapi teringat Adrian tadi melihatku
sedang bersama Dimitri. Aku tidak mau terlihat tersipu. “Aku hanya
punya satu pacar. Bisa dibilang begitu. Lagi pula, aku tak perlu
menceritakannya. Aku bahkan tak suka padamu.”
Kali ini aku benar-benar tersipu. Aku mundur satu langkah. “Tidak.”
“Yang benar saja.” Adrian tetap memberiku satu gelas, lalu menyuruh si
pelayan pergi dan meminum sampanyenya. Aku punya firasat itu bukan gelas
pertamanya untuk malam ini. “Nah. Sepertinya Vasilisa berhasil
mempermalukan ayahku.”
“Ayah…” Aku melirik kelompok yang baru saja kutinggalkan. Si Rambut Perak
masih berdiri di sana, menggerak-gerakkan tangan dengan penuh semangat.
“Pria itu ayahmu?”
“Kau sependapat dengannya? Bahwa Moroi yang ikut bertarung sama saja
bunuh diri?”
Adrian mengangkat bahu dan menyesap minumannya lagi. “Bisa dibilang aku
tak punya pendapat soal itu.”
“Itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin kau tidak mendukung salah satunya?”
“Entah. Bukan sesuatu yang ingin kupikirkan. Banyak hal lain yang lebih
menarik untuk dilakukan.”
“Ya, ya, aku tahu. Lima kali―” Aku berhenti. “Lima kali?”
Adrian mengangguk.
“Tidak, kita baru bertemu empat kali.” Aku menghitung dengan tanganku yang
tidak memegang gelas. “Malam pertama kali kita bertemu, malam hari di spa,
lalu saat aku mendatangi kamarmu, dan malam ini.”
“Apa maksudku?” Kedua mata Adrian berbinar oleh ekspresi penasaran dan
bersemangat. Tatapannya lebih terlihat berharap daripada angkuh.
Aku menelan ludah, teringat pada mimpiku. “Bukan apa-apa.” Tanpa berpikir
panjang, aku meminum sampanye. Dari seberang ruangan, perasaan Lissa
membara ke dalam diriku, tenang dan bahagia. Bagus.
Aku menatap Adrian dengan sinis. “Aku merasa seperti itu saat bicara
denganmu.”
“Rose!”
Suara tajam ibuku membelah udara. Beberapa orang yang berada dalam
jangkauan dengar langsung melirik ke arah kami. Ibuku―yang tingginya hanya
satu setengah meter―menghambur marah ke arah kami.
Ayu Lestari Df
Ningsih Wati
Next...
Riri Amelia
Boleh minta lebih sring di post ga min, biar cepet selse gtu. Makasih
Vinda Hidayati
Next
Vampire Academy 2 (Bab 17)
“Permisi, Lord Ivashkov,” gumam ibuku. Kemudian, seakan aku masih berumur
lima tahun, dia merenggut lenganku dan menarikku keluar dari ruangan.
Sampanyeku menciprat ke luar dari gelas dan mengenai bagian bawah
gaunku.
“Apa yang kaulakukan?” seruku saat kami sudah berada di selasar. Dengan
sedih, aku menunduk menatap gaunku. “Ini dari sutra. Kau mungkin sudah
merusaknya.”
“Whoa,”aku berseru kaget. “Ucapanmu cukup kasar. Dan kenapa kau tiba-tiba
bersikap keibuan seperti ini?” Aku menuding gaunku. “Gaun ini tidak bisa
dibilang murahan. Kau bahkan pernah bilang Tasha baik sekali karena
menghadiahiku gaun ini.”
“Aku bilang begitu karena tidak menduga kau akan memakainya bersama
seorang Moroi dan membuat dirimu jadi tontonan.”
“Aku tidak membuat diriku jadi tontonan. Lagi pula, gaun ini menutupi seluruh
tubuh.”
“Gaun seketat itu sama saja dengan memperlihatkan semua bagian tubuh,”
bentaknya. Ibuku, tentu saja, mengenakan pakaian pengawal berwarna hitam,
celana berpotongan resmi warna hitam dan blazer yang serasi. Ibuku sendiri
memiliki tubuh yang cukup berlekuk, tetapi semua itu tersembunyi di balik
pakaiannya.
“Apalagi kalau kau sedang bersama kelompok seperti itu. Tubuhmu… sangat
menarik perhatian. Dan menggoda seorang Moroi tidak menjadikannya lebih
baik.”
Tuduhan itu membuatku marah karena akhir-akhir ini aku merasa berkelakuan
baik. Biasanya aku selalu bergenit-genit―dan melakukan hal lainnya―dengan
cowok Moroi, tetapi setelah mengobrol beberapa kali dan mengalami satu
kejadian memalukan bersama Dimitri, aku menyadari betapa bodohnya hal itu.
Para cewek dhampir memang harus berhati-hati dalam menghadapi cowok
Moroi, dan sekarang aku selalu mengingat hal itu.
Sebuah hal picik tiba-tiba tebersit dalam benakku. “Lagi pula,” kataku dengan
nada mencemooh, “bukankah ini yang mestinya kulakukan? Berhubungan
dengan seorang Moroi dan memperbanyak rasku? Itulah yang kaulakukan.”
“Jangan bertindak bodoh, Rose,” katanya. “Kau masih terlalu muda untuk
punya bayi. Kau belum berpengalaman―kau bahkan belum menjalani
kehidupan sendiri. Kau takkan bisa mendapatkan pekerjaan yang
kauinginkan.”
“Karena kau bertingkah seperti anak kecil.” Persis yang dikatakan Dimitri.
“Tidak, Rose.” Tiba-tiba saja ibuku terlihat lelah. “Kau tak perlu kembali ke
kamar, tapi jangan kembali ke dalam juga. Semoga kau tidak terlalu menarik
perhatian.”
“Kau bereaksi seolah aku baru saja menari erotis bersama seorang cowok di
dalam sana,” kataku. “Aku hanya makan malam bersama Lissa.”
“Kau pasti kaget kalau tahu apa saja yang bisa memicu kabar burung. Apalagi
dengan Adrian Ivashkov.”
Sepasang Moroi yang tadi berdiri di dekatku dan Adrian berjalan keluar dari
ruangan. Mereka melirik ke arahku dan saling membisikkan sesuatu saat
melewatiku.
Merasa sangat malu, aku berjalan ke arah yang berbeda, sama sekali tidak
tahu harus ke mana. Aku berjalan ke bagian belakang penginapan, menjauh
dari semua aktivitas.
Akhirnya aku tiba di ujung selasar, dan di sebelah kiri ada sebuah pintu yang
mengarah ke tangga. Pintunya tidak dikunci, jadi aku menaiki tangga yang
ternyata mengarah ke pintu lain. Aku senang sekali saat mendapati pintunya
membuka ke sebuah dek atap yang sepertinya jarang dipakai. Dek tersebut
diselimuti salju, tetapi sekarang masih pagi dan matahari bersinar cerah,
membuat segala sesuatunya terlihat berkilau.
Aku menyingkirkan salju dari atas sebuah kotak besar yang sepertinya bagian
dari sistem ventilasi. Aku duduk di atasnya tanpa memedulikan gaunku.
Seraya memeluk tubuh, aku menerawang, menikmati pemandangan dan
matahari yang jarang kudapatkan.
Aku kaget ketika beberapa menit kemudian pintu tadi tiba-tiba membuka. Saat
menoleh, aku bahkan lebih terkejut lagi melihat Dimitri yang muncul. Hatiku
agak bergetar, lalu aku berpaling lagi, tidak yakin harus berpikir apa. Sepatu
bot Dimitri berderak menginjak salju saat dia berjalan menghampiriku. Sesaat
kemudian, Dimitri membuka mantel panjangnya lalu menyampirkannya ke
pundakku.
Dimitri memiringkan kepala, menatap langit biru yang sempurna. Aku tahu
Dimitri juga merindukan matahari, sama seperti yang terkadang kurasakan.
“Memang. Tapi kita berada di pegunungan pada pertengahan musim dingin.”
Aku tidak menjawab. Sejenak kami duduk nyaman dalam kesunyian. Sesekali
embusan angin ringan meniup salju yang ada di sekitar kami. Saat itu malam
hari bagi para Moroi, dan sebagian besar dari mereka akan segera tidur, jadi
lintasan skinya sepi.
“Ya.”
“Aku tidak tahu kau ada di sana.” Setelan gelap yang dipakainya menunjukkan
bahwa Dimitri sedang bertugas di pesta itu. “Jadi kau melihat Janine yang
tersohor membuat kehebohan dengan menyeretku keluar dari pesta.”
“Itu bukan kehebohan. Hampir tak ada yang melihatnya. Aku melihatnya
karena sedang memperhatikanmu.”
Aku menahan diri agar tidak kegirangan saat mendengarnya. “Bukan itu yang
dibilang ibuku,” kataku. “Menurutnya aku terlihat seperti sedang menjual diri.”
“Reaksinya berlebihan.”
Aku menatap Dimitri. “Yeah, tapi kita sedang membicarakan ibuku. Dan
sesungguhnya, sikapnya tidak terlalu melindungi. Kurasa dia lebih terlihat
cemas aku akan mempermalukannya, atau semacam itu. Dan nasihatnya soal
terlalu-muda-untuk-menjadi-ibu itu benar-benar bodoh. Aku tak mungkin
melakukan hal semacam itu.”
Ibuku berusia dua puluh tahun saat aku dilahirkan. Selama ini aku selalu
menganggap usia itu sangat tua. Namun sekarang… usia itu hanya terpaut
beberapa tahun dari usiaku. Sama sekali tidak tua. Apakah ibuku menganggap
dirinya terlalu muda saat mengandungku? Apakah dia melakukan pekerjaan
yang payah demi membesarkan aku karena pada saat itu dia tidak tahu apa
yang harus dilakukan? Apakah dia menyesali hubungan kami yang berakhir
seperti ini? Dan apakah… apakah mungkin ibuku memiliki pengalaman sendiri
bersama pria-pria Moroi, dan orang-orang yang menyebarkan kabar burung
tentang dirinya? Ternyata aku mewarisi banyak hal dari ibuku. Maksudku,
bahkan malam ini aku bisa melihat keindahan tubuhnya. Ibuku juga
cantik―maksudku untuk ukuran wanita yang hampir berusia empat puluh
tahun. Mungkin saja pada masa mudanya ibuku sangat cantik….
“Tidak. Aku benci bertengkar denganmu. Maksudku secara verbal. Aku tidak
keberatan berkelahi denganmu di ruang olahraga.”
Aku teringat ucapan ibuku mengenai kesiapan memiliki anak. Aku belum siap.
Mungkin ibuku juga dulu belum siap. Namun, Tasha sudah siap. Dan aku tahu
Dimitri juga sudah siap. Mereka berdua juga sangat cocok. Dimitri bisa
menjadi pengawal Tasha, memiliki beberapa anak bersamanya… itu akan
menjadi kesepakatan yang baik untuk keduanya.
Sunyi lagi. Pada saat itu aku menyadari dadaku yang terasa perih.
Aku menyayangi Mason. Namun, aku mungkin tak akan pernah mencintainya.
Aku mendesah di dada Dimitri, berharap bisa terus berada dalam posisi ini
selamanya. Kebersamaanku dengan Dimitri terasa tepat. Dan―sesakit apa
pun diriku saat membayangkan Dimitri bersama Tasha―melakukan apa yang
terbaik untuknya terasa tepat. Sekarang aku sadar, inilah saatnya aku berhenti
bersikap pengecut dan mengatasi masalahku yang lain dengan benar. Mason
bilang aku harus belajar tentang diriku sendiri. Aku baru saja melakukannya.
Dengan enggan aku menjauhkan diri lalu mengembalikan mantel Dimitri. Aku
berdiri. Dimitri menatapku dengan heran, merasakan kegundahanku.
Ningsih Wati
Next min.....t o p b g t
Dwy Nuerra Rahmawaty
minn,,lagiiiiii.....
Triya Aprodithe II
Kamilah
Lanjut .
Maya Gemini
next min
Zuraida Syafry
Lanjut min...
Yasin
makasih
Putri
Tetep sabar tunggu chapter slanjtnya, bkal ada sweat ending dri rose&dimitri d akir bku k-2ni KEREN!!
Moi Yulie
whoa roza apa yg kau lakukan?bahkan kalian blum brjuang bwt nyatuin cinta kalian,pdahal brharap
bgt klo rose&dimitri jadian,tpi gk masalah sih rose sama adrian ishakov :-D
Keren
Hilda Chamberlain
sakit hati banget, berharap rose sama dimitri aja, knpa sih udah nherah padahal belum di perjuangin :(
Scwarze Orchidee
Write a comment...
Zuraida Syafry
Lanjut min
Devina Ferling
thanks min, ditunggu kelanjutannya ;)
Robbi
SEPATU HAK TINGGI ini mulai menyakiti kakiku, jadi aku mencopotnya saat
kembali ke dalam, lalu berjalan bertelanjang kaki melintasi penginapan. Aku
belum pernah ke kamar Mason, tetapi aku ingat dia pernah menyebutkan
nomornya dan langsung menemukannya tanpa kesulitan.
Shane, teman sekamar Mason, yang membuka pintu beberapa saat setelah
kuketuk. “Hei, Rose.”
Shane memberi jalan untukku, dan aku masuk ke dalam kamar sambil
memandang sekeliling. Televisi sedang menayangkan infomercial―salah satu
kerugian menjalani kehidupan nokturnal adalah tidak bisa mendapatkan
program televisi yang bermutu―dan kaleng-kaleng soda menutupi hampir
setiap permukaan kosong yang ada di dalam kamar. Tidak ada tanda
kehadiran Mason sedikit pun.
Shane menguap lagi, lalu mengerutkan kening dan berpikir serius. “Tadi dia
mengemasi barangnya ke dalam tas. Kupikir kalian berdua akan pergi liburan
romantis gila-gilaan. Piknik atau semacamnya. Hei, gaunmu cantik sekali.”
Mengemasi barang? Itu tidak masuk akal. Tidak ada tempat yang bisa dituju.
Dan tidak ada jalan untuk pergi dari tempat ini. Resor ini dijaga ketat seperti
halnya Akademi. Dulu aku dan Lissa berhasil melarikan diri berkat kompulsi,
dan itu pun sangat sulit dilakukan. Tetapi, untuk apa Mason berkemas-kemas
jika takkan pergi ke mana-mana?
Aku menanyakan beberapa hal lagi pada Shane dan memutuskan untuk
mencari tahu kemungkinannya, segila apa pun kedengarannya. Aku
menemukan pengawal yang berwenang dalam urusan keamanan dan jadwal.
Pria itu memberitahu nama pengawal yang bertugas menjaga perbatasan
resor saat terakhir kali Mason terlihat. Aku mengenali sebagian besar nama,
dan kebanyakan sedang tidak bertugas sekarang sehingga memudahkanku
untuk mencari mereka.
Sayangnya, dua orang pertama yang kudatangi tidak melihat Mason hari ini.
Saat mereka bertanya mengapa aku menanyakan hal itu, aku memberi
jawaban samar lalu bergegas pergi. Orang ketiga yang ada di dalam daftarku
adalah pria bernama Alan, seorang pengawal yang biasanya bertugas di
kampus dasar Akademi. Alan baru saja masuk setelah bermain ski dan
sedang membuka peralatan skinya di dekat pintu. Dia mengenaliku, lalu
tersenyum saat aku menghampirinya.
“Ya, aku melihatnya,” kata Alan sambil membungkuk di atas sepatu botnya.
Perasaan lega membanjiriku. Baru saat itulah aku sadar betapa cemasnya
diriku.
“Tidak. Aku mengizinkan dia, Eddie Castile… dan, siapa itu namanya, si gadis
Rinaldi, keluar melalui gerbang utara. Dan aku belum melihatnya lagi setelah
itu.”
Aku melongo. Alan melanjutkan mencopot sepatu skinya seolah kami sedang
mengobrolkan kondisi lereng salju.
“Yap.”
“Em… kenapa?”
Lebih tepatnya, aku melihat hal yang sama saat Lissa meminta orang-orang
agar tidak bisa mengingat sesuatu dengan baik. Lissa sanggup mengubur
ingatan orang-orang, entah dengan menghapusnya entah
menyembunyikannya untuk sementara. Tetapi kompulsi Lissa benar-benar
hebat, sehingga dia sanggup membuat orang-orang melupakan semuanya
begitu saja. Jika mereka masih punya sedikit ingatan, berarti kompulsi si
pelaku tidak sehebat Lissa.
Aku bukan jenis orang yang gampang pingsan, tetapi untuk sesaat, aku
merasa seperti akan ambruk ke lantai. Dunia seolah berputar, aku
memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam. Saat aku sudah bisa
melihat lagi, keadaan di sekelilingku sudah stabil. Oke. Tak masalah. Aku akan
mencari jalan keluar.
Mason, Eddie, dan Mia meninggalkan resor sejak tadi. Bukan hanya itu,
mereka melakukannya dengan menggunakan kompulsi―yang dilarang keras.
Mereka tidak memberitahu siapa pun. Mereka pergi melalui gerbang utara.
Aku pernah melihat peta resor ini. Gerbang utara menjaga jalan mobil yang
berhubungan dengan satu-satunya jalan semi-utama di area ini, jalan bebas
hambatan yang mengarah ke sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilometer
dari sini. Kota yang menurut Mason memiliki layanan bus.
Ke Spokane.
Di sana aku melepas gaun lalu berganti mengenakan pakaian musim dingin
yang tebal: sepatu bot, celana jins, dan sweter. Seraya meraih mantel dan
sarung tangan, aku bergegas kembali ke pintu, lalu berhenti. Aku tadi
bertindak tanpa berpikir dulu. Apa yang sebenarnya akan kulakukan? Sudah
jelas aku harus memberitahu seseorang… tetapi jika aku melakukannya,
mereka bertiga akan mendapat masalah besar. Selain itu, Dimitri juga akan
tahu bahwa aku telah membocorkan informasi mengenai keberadaan Strigoi
di Spokane. Informasi yang diceritakannya sebagai tanda bahwa dia
menghargaiku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.
Beberapa menit kemudian, aku mendapati diri sedang mengetuk pintu kamar
Christian. Dia membukanya dengan wajah mengantuk dan sinis seperti biasa.
“Kalau kau datang untuk minta maaf atas nama Lissa,” kata Christian angkuh,
“kau bisa langsung melakukannya dan―”
“Jadi… Mason, Eddie, dan Mia pergi ke Spokane untuk memburu Strigoi?”
“Ya.”
“Sial. Kenapa kau tidak ikut? Sepertinya ini sesuatu yang bakal kaulakukan.”
Aku menahan diri menonjok wajahnya. “Karena aku masih waras! Tapi aku
akan mengejar mereka, sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih bodoh
lagi.”
Saat itulah Christian mulai mengerti. “Lalu apa yang kaubutuhkan dariku?”
“Aku harus keluar dari resor ini. Mereka menyuruh Mia menggunakan
kompulsi pada para pengawal. Aku membutuhkanmu untuk hal yang sama.
Aku tahu kau sudah melatihnya.”
Christian mendengus. “Tapi kau tak keberatan kalau aku yang mendapat
masalah?”
Jadi, lima menit kemudian, aku dan Christian sudah berjalan menuju gerbang
utara. Matahari mulai meninggi, jadi sebagian besar orang berada di dalam.
Situasi ini menguntungkan kami, dan kuharap memang akan memudahkan
kami untuk melarikan diri.
Namun, dari semua masalah yang mengusikku, ada satu yang pasti. Akulah
yang memberitahu Mason mengenai keberadaan Strigoi di Spokane. Tidak
salah lagi, semua ini salahku, dan tanpaku, semua ini takkan pernah terjadi.
“Ya sudah,” aku balas membentak. “Aku hanya mencoba membantu.” Aku
menyipitkan mata dan melihat hanya ada satu pengawal yang berdiri di
gerbang―benar-benar beruntung. Saat itu pergantian giliran jaga. Dengan
matahari yang bersinar tinggi, risiko keberadaan Strigoi pun menghilang. Para
pengawal akan tetap bertugas jaga, tetapi mereka bisa melakukannya dengan
agak lebih santai.
Pria yang sedang bertugas sepertinya tidak curiga melihat penampilan kami.
“Sedang apa kalian di luar sini, Anak-Anak?”
“Kau akan mengizinkan kami keluar dari gerbang,” kata Christian. Kegugupan
menyebabkan suaranya agak bergetar, tetapi selain itu, dia menggunakan
nada menenangkan yang hampir sama dengan Lissa. Sayangnya, ucapannya
tidak berdampak apa pun pada si pengawal. Seperti kata Christian tadi,
menggunakan kompulsi pada pengawal bisa dikatakan mustahil. Mia
sepertinya beruntung. Si pengawal nyengir pada kami.
Senyum pria itu agak memudar, dan aku melihat matanya berkedip kaget.
Mata pria itu tidak berkaca-kaca seperti yang biasanya terjadi pada korban
Lissa, tetapi Christian sudah berhasil membuatnya terpana sejenak.
Sayangnya, aku langsung tahu bahwa itu tidak akan cukup membuatnya
mengizinkan kami ke luar dan melupakan semuanya. Untunglah, aku sudah
dilatih untuk memaksa orang tanpa menggunakan kekuatan sihir.
Kami bergegas pergi, dan aku melirik si pengawal dengan tatapan bersalah
untuk terakhir kalinya. Aku cukup yakin pukulanku tidak begitu keras hingga
menyebabkan luka serius, dan dengan matahari yang bersinar, tubuhnya tak
akan membeku atau semacamnya.
Setelah lima menit berjalan menyusuri jalan bebas hambatan, aku tahu kami
punya masalah lain. Meski tubuhnya terlindung dan memakai kacamata
hitam, matahari membuat Christian kewalahan. Hal ini memperlambat kami,
dan tak lama lagi ada orang yang akan menemukan si pengawal yang kupukul
sampai pingsan, lalu mereka akan mengejar kami.
Aku setengah berharap bisa menyusul Mason dan yang lain-lain sebelum bus
yang akan mereka tumpangi datang. Jadi, kami bisa mengajak mereka pulang
tanpa terlibat masalah. Sayangnya, tidak ada tanda keberadaan mereka sama
sekali. Wanita ceria yang menjaga konter juga tahu siapa yang kami cari. Dia
memastikan ketiganya sudah membeli tiket menuju Spokane melalui
Lowston.
***
Aku dan Christian jarang mengobrol sepanjang perjalanan, kecuali saat aku
mengatainya idiot karena sikapnya dalam menanggapi masalah Lissa dan
Adrian. Ketika kami tiba di Lowston, aku berhasil meyakinkannya, dan itu bisa
dikatakan mukjizat kecil. Christian tidur selama perjalanan menuju Spokane,
tetapi aku tetap terjaga. Aku terus-menerus berpikir bahwa semua ini
kesalahanku.
Kami tiba di Spokane pada sore hari. Kami menanyai beberapa orang, dan
akhirnya berhasil menemukan orang yang tahu lokasi pusat perbelanjaan yang
dimaksud Dimitri. Jaraknya jauh dari terminal bus, tetapi bisa dicapai dengan
berjalan kaki. Kakiku terasa kaku setelah berada dalam bus selama lima jam,
dan aku ingin menggerak-gerakkannya. Matahari belum lagi terbenam, tetapi
sudah mulai turun dan tidak terlalu menyiksa bagi para vampir, jadi Christian
tidak keberatan kami berjalan kaki ke sana.
Dan, seperti yang sering terjadi saat merasa tenang, aku merasakan tarikan ke
dalam kepala Lissa. Aku membiarkan diri terseret ke dalam kepalanya karena
ingin tahu apa yang sedang terjadi di resor.
“Aku tahu kau ingin melindungi mereka, tapi kami harus tahu di mana mereka
berada.”
Lissa sedang duduk di kamar tidur kami, sementara ibuku dan Dimitri
menunduk menatapnya. Yang bicara tadi Dimitri. Melihatnya melalui mata
Lissa terasa menarik. Lissa menyukai dan menghormati Dimitri, sangat
berbeda dengan emosi bagaikan roller coaster yang selalu kurasakan
untuknya.
“Sudah kubilang,” kata Lissa. “Aku tak tahu. Aku tak tahu apa yang terjadi.”
Frustrasi dan kekhawatiran pada nasib kami membara dalam diri Lissa. Aku
sedih melihatnya secemas ini, tetapi pada saat yang sama aku juga lega tidak
melibatkannya. Lissa tak bisa melaporkan sesuatu yang tidak diketahuinya.
“Aku tak percaya mereka tidak memberitahumu ke mana mereka pergi,” ibuku
berkata. Kata-kata yang diucapkan ibuku terdengar datar, tetapi di wajahnya
terlihat kerutan cemas. “Apalagi jika mengingat… ikatan batin kalian.”
“Ikatan batinnya hanya bekerja satu arah,” kata Lissa sedih. “Kau kan tahu itu.”
Dimitri berlutut hingga sejajar dengan Lissa dan menatap lurus ke matanya.
Dia memang hampir selalu harus berjongkok untuk menatap mata seseorang.
“Kau yakin tak tahu apa-apa? Apa pun yang bisa kauberitahukan pada kami?
Mereka tak ada di kota. Pria yang bertugas di stasiun bus tidak melihat
mereka… meski kami cukup yakin ke sanalah mereka pergi. Kami
membutuhkan sesuatu, apa pun untuk bisa bertindak.”
Pria yang bertugas di stasiun bus? Itu keberuntungan kami yang lain. Wanita
yang menjual tiket pada kami pasti sudah pulang. Orang yang
menggantikannya tidak akan mengenali kami.
Lissa mengertakkan gigi dan melotot. “Memangnya kaupikir kalau aku tahu,
aku takkan memberitahukannya pada kalian? Kaupikir aku tidak
mengkhawatirkan mereka? Aku tidak tahu di mana mereka. Sama sekali. Dan
kenapa mereka harus pergi… itu juga tidak masuk akal. Apalagi mereka pergi
bersama Mia.” Sengatan rasa sakit hati terpancar melalui ikatan batin kami,
sakit hati karena merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan apa pun yang sedang
kami lakukan, sesalah apa pun kegiatan tersebut.
Dimitri mendesah dan kembali berdiri. Dari ekspresi wajahnya, dia jelas
memercayai ucapan Lissa. Dan Dimitri juga jelas tampak cemas―cemas
dalam cara yang lebih profesional. Dan melihat
kekhawatirannya―kekhawatirannya untukku―membuat hatiku mencelus.
Plaza ini berupa area terbuka yang luas di depan mal perbelanjaan. Sebuah
café tampak di salah satu sudut bangunan utama, meja-mejanya diletakkan
sampai ke area terbuka. Orang-orang berseliweran keluar masuk komplek ini,
tampak sibuk bahkan pada jam begini.
Aku mengangkat bahu. “Mungkin kalau kita bertingkah seperti Strigoi, mereka
akan langsung menusuk kita.”
Senyum kecil dan ragu tersungging pada wajah Christian. Dia tidak mau
mengakuinya, tetapi Christian menganggap leluconku itu lucu.
Kami masuk ke dalam mal. Seperti mal lainnya, mal ini dipenuhi berbagai
macam merek terkenal, dan bagian diriku yang egois berpikir jika berhasil
cukup cepat menemukan mereka, kami masih punya waktu untuk berbelanja.
Dua kali aku dan Christian mengelilingi tempat itu, tetapi tidak melihat tanda
keberadaan teman-teman kami, ataupun sesuatu yang menyerupai
terowongan.
Christian menuding, dan aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Ketiga orang
pelarian itu sedang duduk di sebuah meja di tengah-tengah food court, tampak
sedih. Mereka kelihatan sangat merana, hingga aku nyaris merasa kasihan
pada mereka.
“Aku rela mati kalau bisa mendapat kamera sekarang juga,” kata Christian
sambil tertawa mengejek.
“Tidak lucu,” ucapku seraya berjalan menuju kelompok itu. Dalam hati aku
merasa lega. Kelompok itu jelas belum menemukan satu Strigoi pun, mereka
semua masih hidup, dan mungkin bisa diajak kembali ke resor sebelum kami
mendapat lebih banyak masalah.
“Kalian sudah sinting, ya?” aku berteriak. Beberapa orang di dekat kami
tampak kaget. “Kalian tahu sebesar apa masalah yang akan kalian dapatkan?
Masalah yang akan kita dapatkan?”
“Kalian bukan ahli kejahatan yang hebat,” kataku. “Informan kalian di stasiun
bus yang membuka rahasia. Itu, dan aku aku sudah menebak kau pasti ingin
pergi melakukan pengejaran Strigoi dengan sia-sia.”
“Oh ya?” tuntutku. “Apa kalian sudah membunuh Strigoi? Atau setidaknya apa
kalian sudah menemukan mereka?”
“Aku dilatih untuk melakukan misi yang masuk akal, bukan aksi kenakak-
kanakan seperti ini.”
“Ini tidak kekanak-kanakan,” jerit Mia. “Mereka membunuh ibuku. Dan para
pengawal tidak berbuat apa pun. Bahkan informasi yang mereka dapat salah.
Di terowongan itu tidak ada satu pun Strigoi. Mungkin tak ada satu pun Strigoi
di kota ini.”
“Yeah,” jawab Eddie. “Tapi seperti yang Mia bilang, terowongannya tak
berguna.”
“Kita harus melihatnya dulu sebelum pulang,” kata Christian padaku. “Pasti
keren, dan kalau datanya salah, artinya terowongannya tidak berbahaya.”
Mason terlihat lelah. “Kami akan menyisir kota lagi. Kau pun tak bisa
memaksa kami untuk pulang, Rose.”
“Memang tidak bisa, tapi pengawal sekolah bisa melakukannya kalau aku
menelepon dan memberitahukan bahwa kalian ada di sini.”
Ini boleh disebut pemerasan atau tukang ngadu, efeknya tetap sama. Mereka
bertiga menatapku seolah aku baru saja menonjok perut mereka secara
bergantian.
“Ini bukan soal mengadukan siapa. Ini soal mempertahankan nyawa kalian.”
“Menurutmu kami begitu tidak berdaya?” tanya Mia. “Menurutmu kami akan
langsung terbunuh?”
Eddie dan Mia tampak terguncang, tetapi Mason sudah bertindak sebagai
pemimpin, dan mereka tidak punya inisiatif untuk melanjutkan rencana
tanpanya. Sepertinya Mia yang paling berat menerima keputusan ini, dan aku
kasihan padanya. Mia hampir tak sempat untuk sungguh-sungguh berduka
atas kematian ibunya, dan langsung memutuskan ikut dalam rencana ini
dengan niat balas dendam yang digunakannya sebagai jalan untuk mengatasi
kesedihannya. Mia harus menghadapi banyak hal saat kami kembali nanti.
“Aku sudah melihat jadwalnya,” kata Christian. “Kita masih punya waktu
sebelum bus berikutnya tiba.”
“Kita tak bisa memasuki sarang Strigoi begitu saja,” aku membantah seraya
berjalan menuju pintu keluar mal.
“Di sana tak ada Strigoi,” kata Mason. “Di sana hanya ada barang-barang
petugas kebersihan. Tidak ada yang aneh. Menurutku informasi yang
didapatkan pengawal benar-benar salah.”
“Rose,” kata Christian, “ayo kita bersenang-senang dulu.”
Mereka semua menatapku. Aku merasa seperti seorang ibu yang tidak
mengizinkan anak-anaknya membeli permen di toko serba ada.
Ketiganya membimbing aku dan Christian ke sisi lain mal, melalui sebuah
pintu yang bertuliskan KHUSUS PEGAWAI. Kami menghindari beberapa
petugas kebersihan, lalu menyelinap ke pintu lain yang mengarah ke sebuah
tangga ke bawah. Sejenak aku mengalami déjà vu, teringat pada anak tangga
menuju pesta spa Adrian. Hanya saja, tangga ini jauh lebih kotor dan baunya
cukup busuk.
Kami berjalan ke kanan dan menemukan hal yang kurang lebih sama. Aku
mulai setuju dengan penilaian mereka bahwa tempat ini membosankan, tetapi
kemudian kami melewati tulisan berwarna hitam di salah satu dinding. Aku
berhenti dan menatapnya. Ternyata daftar huruf.
D
B
C
O
T
D
V
L
D
Z
S
I
“Mungkin ini urusan petugas kebersihan,” kata Mia. “Atau mungkin anggota
geng yang melakukannya.”
B untuk Badica. Z untuk Zeklos. I untuk Ivashkov….
Aku melongo. Huruf pertama setiap nama keluarga bangsawan ada di sana.
Di sana tertulis tiga huruf D, tetapi berdasarkan urutannya, dafatr huruf ini
sebenarnya bisa dibaca sebagai peringkat ukuran. Daftarnya dimulai dengan
keluarga yang lebih kecil―Dragomir, Badica, Conta―hingga ke keluarga besar
Ivashkov. Aku tidak memahami garis putus-putus yang ada di samping
beberapa huruf, tetapi aku langsung menyadari nama-nama yang di
sampingnya terdapat tanda x: Badica dan Drozdov.
Aku menjauh dari dinding. “Kita harus keluar dari sini,” ucapku. Suaraku
sendiri membuatku agak takut. “Sekarang juga.”
“Aku akan memberitahu kalian nanti. Yang penting sekarang kita harus pergi.”
Mason menuding jalan yang akan kami tuju. “Jalan ini menuju pintu keluar
yang letaknya beberapa blok dari sini. Lebih dekat ke stasiun.”
Aku menyipitkan mata ke dalam kegelapan yang misterius. “Tidak,” kataku.
“Kita akan keluar melalui jalan yang kita masuki tadi.”
Saat kembali menyusuri jalan tadi, mereka semua menatapku seolah aku
sudah gila, tetapi tak ada yang membantah. Kami keluar dari pintu depan mal,
dan aku mengembuskan napas lega melihat matahari masih bersinar, meski
sudah ditelan cakrawala dan memancarkan cahaya oranye merah ke atas
bangunan-bangunan. Cahaya yang tersisa ini masih cukup untuk mengantar
kami ke stasiun bus sebelum kami bertemu dengan Strigoi.
Dan sekarang aku yakin di Spokane ini memang ada Strigoi. Informasi yang
didapat Dimitri benar. Aku tidak tahu arti daftar huruf tadi, tetapi jelas
berhubungan dengan serangan-serangan Strigoi. Aku harus cepat-cepat
melaporkannya kepada pengawal lain, dan tentu saja aku tak bisa
menceritakannya pada teman-temanku sampai kami tiba di penginapan
dengan selamat. Mason mungkin akan kembali ke terowongan kalau sampai
tahu.
Eddie tiba-tiba berhenti berjalan di depanku, dan aku nyaris menabraknya. Dia
menatap sekeliling. “Kita ada di mana?”
Aku tersentak keluar dari lamunanku, lalu ikut mengamati area sekitar kami.
Aku tidak ingat pernah melihat bangunan-bangunan ini. “Brengsek,” aku
berseru. “Apa kita tersesat? Dari tadi tak ada yang memperhatikan jalan, ya?”
Pertanyaan itu tidak adil karena aku sendiri juga tidak memperhatikan jalan,
tetapi emosiku membuatku bereaksi tanpa berpikir jernih. Mason
mengamatiku beberapa saat, lalu menuding. “Ke sini.”
Kami berbalik lalu menyusuri sebuah jalan sempit yang diapit dua buah
bangunan. Kurasa arah yang kami tuju masih salah, tetapi aku tidak punya ide
yang lebih bagus. Aku juga tidak mau diam di tempat sambil berdebat.
Kami belum berjalan terlalu jauh ketika mendengar bunyi mesin dan decit ban.
Mia sedang berjalan di tengah jalan, dan insting melindungi langsung
mengambil alih sebelum aku sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Aku menyambar tubuh Mia lalu menariknya dari tengah jalan hingga merapat
ke dinding salah satu bangunan. Yang lain berbuat sama.
Sebuah mobil van kelabu yang jendelanya dicat baru saja menikung di sudut
jalan menuju ke arah kami. Kami merapat ke dinding, menunggu mobil itu
melewati kami.
Salah satu dari mereka menghampiri Christian. Aku langsung menyerang dan
meninju orang itu. Pria itu sama sekali tidak terjengkang, tetapi kurasa dia
terkejut karena bisa merasakan tinjuku. Pria itu sepertinya tidak menduga
orang sekecil aku bisa berbahaya juga. Dia mengabaikan Christian, dan ganti
mengincarku. Dari sudut mata, kulihat Eddie dan Mason sedang melawan dua
pria lainnya. Mason bahkan sudah mengeluarkan pasak perak curiannya. Mia
dan Christian hanya berdiri terpaku.
Contohnya Mia.
Pria yang bertarung dengan Mason sepertinya menyadari hal ini. Dia menjauh
dari Mason lalu menyambar Mia. Aku nyaris tidak melihat kilasan senjata itu
sebelum moncongnya ditekankan ke leher Mia. Seraya mundur dari lawanku,
aku berteriak pada Eddie agar berhenti. Kami semua sudah dilatih untuk
segera menanggapi perintah semacam itu, dan Eddie langsung menghentikan
serangannya, menatapku dengan bingung. Ketika melihat Mia, wajahnya
memucat.
Tak ada yang kuinginkan selain terus memukuli pria-pria ini―siapa pun
mereka―tapi aku tak bisa mengambil risiko Mia disakiti oleh pria itu. Pria itu
juga menyadarinya. Dia bahkan tidak perlu mengeluarkan ancaman. Dia
seorang manusia, tetapi dia tahu cukup banyak tentang kami. Dia tahu kami
akan melakukan apa pun untuk melindungi Moroi. Sejak kecil para novis
sudah dicekoki dengan istilah: Hanya mereka yang penting.
Semua orang berhenti, lalu bergantian menatapku dan pria itu. Sepertinya
kami pemimpin yang diakui di sini. “Apa yang kauinginkan?” tanyaku dengan
kasar.
Pria itu semakin menekankan senjatanya ke leher Mia, dan gadis itu merintih
pelan. Terlepas dari ucapannya mengenai bertarung, tubuh Mia lebih kecil
dariku dan jauh lebih lemah. Mia juga terlalu takut untuk bergerak.
Pria itu memiringkan kepala ke arah pintu mobil van yang terbuka. “Aku ingin
kalian masuk ke dalam. Dan jangan macam-macam. Kalau kalian bikin ulah,
nyawanya melayang.”
Aku menatap Mia, mobil van, teman-temanku yang lain, lalu kembali menatap
pria-pria itu. Sialan.
Ran Sovie'Anna
akhirnya :)
Zuraida Syafry
Tri Wahyuni
Kamilah
Next
As Psyche
min lanjut dong, 4 hari loh min skrng mau dibikin penasaran lagi?
Rizky Handayani
makash...
Chusie Bellamy
Riizma Haris
Moi Yulie
whoaaa keren bingit.aku kira itu strigoi trnyatat manusia toh.aduh dbkin tegang dpart ini nih.
Write a comment...
AKU BENCI MERASA tak berdaya. Dan aku benci menyerah tanpa perlawanan.
Yang terjadi di gang tadi bukan pertarungan sebenarnya. Seandainya itu yang
terjadi―seandainya aku dihajar sampai menyerah… maka, yeah. Mungkin aku
bisa menerimanya. Tetapi aku tidak dihajar. Tanganku hampir tidak kotor.
Alih-alih, aku mengikuti mereka tanpa melawan.
Setelah menyuruh kami duduk di lantai mobil van, mereka mengikat tangan
kami di belakang dengan borgol plastik terkunci yang sanggup menahan apa
pun sekuat borgol logam.
Aku lega karena Christian bisa mengendalikan diri. Aku tidak ragu pria-pria itu
pasti akan langsung memukul jika Christian kelewatan, dan baik posisiku
maupun para novis yang lain tidak memungkinkan untuk menghentikan
mereka. Itulah yang benar-benar membuatku gila. Insting melindungi Moroi
begitu terpatri dalam diriku, sehingga aku bahkan tak sanggup berhenti
sejenak untuk mengkhawatirkan diriku sendiri. Christian dan Mia yang
menjadi pusat perhatianku. Merekalah yang harus kuselamatkan dari semua
kekacauan ini.
Dan bagaimana semua kekacauan ini bisa terjadi? Siapa pria-pria ini? Itu
masih misteri. Mereka manusia, tetapi aku tak percaya
sekelompok dhampir dan Moroi sudah menjadi korban penculikan acak. Kami
menjadi target karena alasan tertentu.
Penculik kami tidak berusaha menutup mata kami atau menyamarkan rute
perjalanan, dan hal itu kuanggap sebagai pertanda tidak baik. Apa mereka
mengira kami tidak mengenal kota ini sehingga takkan bisa mengingat jalan
kembali? Atau mereka mengira hal itu tidak penting, karena kami takkan
pernah meninggalkan tempat mana pun yang sedang kami tuju sekarang? Aku
hanya bisa merasa kami semakin jauh dari pusat kota, melaju ke daerah
pinggiran. Spokane memang sangat membosankan seperti yang sudah
kuduga. Alih-alih salju putih yang terhampar dalam gundukan, jalanan
dipenuhi kubangan lumpur es kelabu dan petak-petak kotor yang tersebar di
pekarangan. Di sini juga tidak ada pepohonan hijau seperti yang biasa kulihat.
Pepohonan meranggas berbatang kurus yang ada di sini terlihat bagai
tengkorak. Mereka hanya menambah kemuraman bencana yang segera
datang.
Setelah perjalanan yang rasanya berlangsung kurang dari satu jam, mobil van
berbelok ke jalan buntu yang sepi, menuju sebuah rumah yang terlihat sangat
biasa―namun luas. Rumah-rumah lainnya―terlihat identik seperti yang umum
terjadi pada rumah-rumah di kawasan suburban―terletak berdekatan, dan hal
ini memberiku sedikit harapan. Mungkin kami bisa mendapat bantuan dari
para tetangga.
Mobil dimasukkan ke dalam garasi, dan begitu pintu garasi diturunkan, pria-
pria itu langsung menggiring kami ke dalam rumah. Bagian dalam rumah ini
kelihatan jauh lebih menarik. Sofa dan kursi antik dengan kaki berbentuk
cakar. Sebuah akuarium besar berisi ikan air laut. Pedang-pedang yang
bersilangan di atas perapian. Sejenis lukisan semi modern yang berisi
beberapa garis yang dicoretkan di atas kanvas.
Perabot di dalam terdiri atas beberapa kursi kayu bersandaran tipis yang
terlihat sangat tidak nyaman―sandaran yang terbukti cocok untuk mengikat
kembali tangan kami. Pria-pria itu mendudukkan kami sedemikian rupa
sehingga Mia dan Christian berada di satu sisi ruangan, sedangkan kami
para dhampir di sisi yang lain. Seorang pria―ternyata
pemimpinnya―mengawasi dengan saksama ketika salah seorang anak
buahnya mengikat tangan Eddie dengan borgol plastik biru.
Setelah merasa puas dengan ikatan kami, pria itu meneriakkan beberapa
perintah lagi, lalu pergi meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan
suara keras. Saat berjalan menaiki tangga, langkah kakinya bergema ke
seluruh rumah. Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi.
Kami hanya bisa duduk seraya saling pandang. Beberapa menit kemudian,
Mia merintih dan mulai bicara. “Apa yang akan kalian―”
“Diam,” salah seorang pria itu menggeram pada Mia. Pria itu mendekatinya
dengan langkah mengancam. Wajah Mia memucat dan mengernyit, tetapi
kelihatannya dia masih ingin mengatakan sesuatu. Aku menatapnya dan
menggelengkan kepala. Mia tidak mengatakan apa-apa, kedua matanya
melebar, dan bibirnya agak gemetar.
Tidak ada yang lebih buruk daripada menunggu dan tak tahu apa yang akan
terjadi padamu selanjutnya. Imajinasimu bisa begitu kejam. Karena orang-
orang yang menjaga kami tidak mengatakan ataupun memberitahukan apa
pun pada kami, akhirnya aku membayangkan berbagai skenario mengerikan.
Senjata-senjata itu merupakan ancaman yang sangat nyata, dan aku
membayangkan bagaimana rasanya ditembus peluru. Sepertinya
menyakitkan. Dan bagian mana yang akan mereka tembak? Jantung, atau
kepala? Kematiannya akan cepat. Tapi bagaimana kalau di bagian lain?
Misalnya di perut? Kematiannya akan lambat dan menyakitkan. Aku menggigil
saat membayangkan darahku menetes sampai habis. Memikirkan darah
sebanyak itu membuatku teringat pada rumah keluarga Badica, dan
membayangkan kemungkinan leher kami digorok. Selain pistol, sepertinya
pria-pria ini juga memiliki pisau.
Tentu saja, aku juga bertanya-tanya mengapa sampai detik ini kami masih
hidup. Sudah jelas mereka menginginkan sesuatu dari kami, tapi apa? Mereka
tidak menanyakan informasi tertentu pada kami. Dan mereka manusia. Apa
yang diinginkan manusia dari kami? Biasanya yang kami takuti adalah jenis
manusia yang ingin membantai kaum kami, atau mereka yang ingin
melakukan eksperimen pada kami. Sepertinya mereka bukan keduanya.
Jadi, apa yang mereka inginkan? Kenapa kami ada di tempat ini? Aku terus
membayangkan kejadian-kejadian yang lebih mengerikan. Ekspresi wajah
teman-temanku menunjukkan bahwa aku bukan satu-satunya yang sanggup
membayangkan berbagai siksaan yang mungkin akan kami terima. Bau
keringat dan ketakutan memenuhi ruangan ini.
Aku sudah tidak bisa mengira-ngira waktu, dan tiba-tiba tersentak keluar dari
imajinasiku saat mendengar bunyi langkah kaki di tangga. Si pimpinan
penculik tiba di selasar. Pria-pria lainnya langsung berdiri, mereka terlihat
tegang. Ya Tuhan. Sekaranglah saatnya, aku tersadar. Inilah yang kami tunggu
sedari tadi.
“Ya, Sir,” aku mendengar si pemimpin berkata. “Mereka ada di dalam, seperti
yang kauminta.”
…Strigoi.
Strigoi yang nyata dan hidup―yah, secara kiasan. Tiba-tiba saja semuanya
terlihat masuk akal. Ternyata bukan hanya laporan mengenai Spokane saja
yang benar. Kekhawatiran kami―bahwa Strigoi bekerja sama dengan
manusia―ternyata juga benar. Semua ini akan mengubah banyak hal. Siang
hari tak lagi aman. Tak satu pun dari kita yang aman. Yang lebih parah, aku
baru sadar mereka ini Strigoi yang licik―Strigoi yang menyerang dua keluarga
Moroi dengan bantuan manusia. Semua ingatan itu kembali membanjiri
benakku, mayat dan darah yang berceceran di mana-mana. Cairan asam mulai
naik ke kerongkonganku, dan aku berusaha menyingkirkan ingatan masa lalu
dengan situasi sekarang. Bukan berarti situasi sekarang lebih menyenangkan.
Kaum Moroi berkulit pucat, jenis kulit yang mudah merona dan terbakar sinar
matahari. Tetapi para vampir Strigoi ini…kulit mereka seputih kapur, jenis putih
yang membuat kulit terlihat seperti hasil riasan yang buruk. Pupil mereka
dikelilingi lingkaran merah, menunjukkan kepribadian mereka yang seperti
monster.
Kemudian aku tersadar. Strigoi ini baru saja berubah, sama seperti Natalie
dulu. Hal ini terlihat semakin jelas setelah aku membandingkan dia dengan
pria yang bersamanya. Wajah si wanita Strigoi masih menunjukkan sedikit
kehidupan. Tetapi wajah si pria…memperlihatkan wajah kematian.
Tiba-tiba aku tersadar bahwa dari tadi aku merapat ke sandaran kursi,
berusaha menjauh dari pria itu. Si pria Strigoi pun menyadarinya, dan dia
menyunggingkan senyum tipis tanpa memperlihatkan giginya.
“Jangan,” dia berkata. Suaranya terdengar angkuh dan pelan. “Aku ingin
mendengar apa yang ingin disampaikannya.” Pria itu mengangkat sebelah alis
padaku. “Silakan. Lanjutkan saja.”
“Tak mau? Tak ada lagi yang ingin kaukatakan? Nah. Silakan bersuara jika ada
sesuatu yang tebersit dalam pikiranmu.”
“Isaiah,” si wanita berseru. “Kenapa kau menyekap mereka di sini? Kenapa kau
tidak langsung menghubungi yang lain saja?”
“Lihat mata ini, Elena.” Elena menghampirinya dan berdiri di samping Isaiah
yang berbicara lagi. “Mata biru pucat ini. Bagaikan es. Bagaikan
batu aquamarine. Bisa dibilang kau takkan bisa mendapatkan mata seperti ini
di luar keluarga bangsawan. Keluarga Badica. Keluarga Ozera. Beberapa
orang keluarga Zeklos.”
“Aku kenal orangtuamu. Orang-orang hebat. Tak ada yang bisa menandingi.
Kematian mereka sangat disayangkan… tapi, yah… terpaksa kubilang itu
memang kesalahan mereka. Aku sudah menyuruh mereka agar tidak kembali
untuk menjemputmu. Karena akan sia-sia saja membangkitkanmu dalam usia
semuda itu. Mereka bilang hanya akan menjagamu dan membangkitkanmu
kalau sudah lebih besar. Aku sudah memperingatkan mereka bahwa itu hanya
akan membawa bencana, tapi…” Isaiah mengangkat bahu pelan.
‘Membangkitkan’ adalah istilah yang mereka gunakan saat berubah menjadi
Strigoi. Kedengarannya seperti pengalaman religius. “Mereka tak mau dengar,
dan bencana pun menghampiri mereka.”
Kejadian itu membuatku semakin yakin bahwa Isaiah berada di kelas yang
berbeda dari Elena. Kekuatannya jauh melampaui kekuatan Elena. Elena
terlihat bagaikan seekor lalat yang bisa disingkirkannya kapan saja. Kekuatan
Strigoi bertambah seiring pertambahan usia―juga dengan meminum darah
Moroi, dan dengan efek yang lebih rendah, darah dhampir. Kemudian aku baru
sadar, pria ini tidak hanya tua. Dia sangat tua. Dan dia sudah
meminum banyak darah selama bertahun-tahun. Wajah Elena terlihat ngeri,
dan aku bisa memahami ketakutannya. Strigoi sering kali berbalik melawan
satu sama lain. Isaiah bisa saja merenggut kepalanya hingga putus kalau
mau.
“Aku tidak akan menjadikan mereka pesta makan malam,” kata Isaiah dengan
angkuh. Pesta makan malam? “Tapi aku juga tidak akan membunuh mereka
sekarang. Kau masih muda, Elena. Kau hanya berpikir mengenai kesenangan
sesaat. Kalau sudah setua aku, kau takkan bersikap… seceroboh ini.”
Aku tidak perlu menatap Mason dan Eddie untuk mengetahui bahwa mereka
juga sama takutnya denganku. Aku bahkan cukup yakin mendengar Eddie
merintih pelan.
Isaiah mendadak membalikkan tubuh dengan gaya militer, lalu menatap Mia
dan Christian. “Untungnya, kalian berdua punya pilihan. Hanya satu dari kalian
yang akan mati. Yang lainnya akan tetap hidup dalam keabadian yang
menakjubkan. Aku bahkan akan bermurah hati dan mendidikmu sampai
sedikit lebih dewasa. Anggaplah aku beramal.”
“Nah. Seperti yang tadi kubilang, salah satu dari kalian akan dibangkitkan dan
hidup untuk selamanya. Tapi bukan aku yang akan membangkitkan kalian.
Kalian boleh memilih sesuai kehendak kalian.”
“Tidak akan,” kata Christian. Dia berhasil mengatakan dua kata itu dengan
nada sesinis mungkin, tetapi semua orang di dalam ruangan masih bisa
melihat betapa takutnya dia.
“Ah, betapa aku menyukai semangat keluarga Ozera,” kata Isaiah dengan geli.
Dia melirik Mia, dan mata merahnya berbinar. Mia mengerut ketakutan. “Tapi
jangan biarkan dia mengalahkanmu, Sayang. Darah orang biasa juga
mengandung kekuatan. Dan inilah cara yang akan digunakan untuk
memutuskan hal itu.” Isaiah menuding kami para dhampir. Tatapannya
membuat seluruh tubuhku merinding, dan aku merasa seperti bisa mencium
bau busuk. “Kalau kau mau hidup, yang harus kaulakukan hanyalah
membunuh salah satu dari mereka.” Isaiah berbalik lagi ke arah para Moroi.
“Hanya itu. Sama sekali tidak sulit. Bilang saja pada pria-pria ini bahwa kau
ingin melakukannya. Mereka akan melepas ikatanmu. Lalu, kau minum darah
mereka dan terbangkitkan sebagai salah satu dari kami. Siapa pun yang
pertama melakukannya akan keluar dari sini sebagai orang bebas. Yang
lainnya akan menjadi makan malam untukku dan Elena.”
Isaiah melambaikan tangan tanda tak peduli. “Sangat mudah bersikap berani
saat kau tidak merasa lapar. Cobalah hidup beberapa hari tanpa sokongan
lain… dan benar, ketiga orang ini akan mulai terlihat sangat menggiurkan. Dan
mereka memang sangat menggiurkan. Para dhampir memang lezat. Beberapa
orang bahkan lebih menyukai mereka daripada Moroi, dan meski tidak
sependapat, aku jelas tidak keberatan menikmati mereka.”
Christian mendengus.
“Kau tak percaya?” tanya Isaiah. “Kalau begitu, izinkan aku membuktikannya.”
Isaiah berjalan kembali ke arahku. Aku menyadari apa yang akan
dilakukannya, dan bicara tanpa memikirkannya terlebih dulu.
Wajah angkuh Isaiah sejenak terlihat kaget, dan alisnya terangkat. “Kau
menawarkan diri?”
Aku tak bisa membaca ekspresi wajah Isaiah saat dia mengamatiku. Sejenak
kukira dia akan langsung melakukannya, tetapi dia malah menggelengkan
kepala.
Isaiah berjalan lagi lalu berdiri di hadapan Eddie. Aku menarik tanganku yang
terikat dengan begitu kuat sehingga borgol plastiknya mengiris kulitku. Borgol
itu bergeming. “Tidak! Jangan ganggu dia!”
“Diam,” Isaiah membentak tanpa menatapku. Dia meletakkan satu tangan ke
wajah Eddie. Tubuh Eddie gemetar dan terlihat begitu pucat sehingga
kusangka dia akan pingsan. “Aku bisa membuat semua ini terasa mudah, atau
aku bisa membuatnya terasa sakit. Sikap diammu membuatku memilih yang
pertama.”
Aku ingin berteriak, ingin memaki Isaiah dengan berbagai umpatan dan
ancaman. Tetapi aku tak bisa melakukannya. Mataku menyapu sekeliling
ruangan, mencari jalan keluar, sama seperti yang kulakukan berkali-kali
sebelumnya. Tetapi kali ini sama sekali tidak ada jalan keluar. Hanya dinding-
dinding putih polos. Tak ada jendela. Satu-satunya pintu yang sangat berharga
selalu dijaga. Aku benar-benar tak berdaya, kami sudah tak berdaya sejak
mereka menarik kami masuk ke dalam mobil van. Aku merasa ingin
menangis, tangis yang lebih disebabkan oleh frustrasi ketimbang rasa takut.
Aku akan menjadi pengawal macam apa jika tak sanggup melindungi teman-
temanku sendiri?
Tetapi aku tetap diam, dan wajah Isaiah pun terlihat puas. Cahaya lampu neon
menyebabkan kulit Isaiah terlihat kelabu mengerikan, membuat lingkaran
gelap di bawah matanya terlihat semakin jelas. Aku ingin menonjok wajahnya.
Seperti yang sudah kubilang, Lissa memang hebat dalam kompulsi. Tapi dia
tidak akan bisa melakukan apa yang dilakukan Isaiah sekarang. Dalam
hitungan detik, Eddie sudah tersenyum.
“Bagus,” ulang Isaiah. “Dan kau akan menyerahkan lehermu secara sukarela,
bukan?”
Aku mendongak saat mendengar Isaiah bicara lagi. Darah menetes-netes dari
bibirnya, dan dia menjilatinya. Aku tidak bisa melihat luka di leher Eddie, tetapi
kuduga juga berdarah dan mengerikan. Mia dan Christian membelalakkan
mata karena takut sekaligus takjub. Tatapan Eddie terlihat menerawang
dalam kabut memabukkan dan menyenangkan, teler karena hormon endorfin
sekaligus pengaruh kompulsi.
Isaiah berdiri tegak lalu tersenyum pada kedua Moroi, menjilat tetes terakhir
darah yang ada di bibirnya. “Kalian mengerti?” kata Isaiah kepada mereka
sambil menghampiri pintu. “Semudah itu.”
Yasin
makasih
Ningsih Wati
thanks min Ǘϑªh d'lanjut'n,, bsok d'lanjut lagi yha,,, (ˆʃƪˆ). deg"an bgt waktu baca πγåª
Indah Pertiwi
Dilanjut min
min lagi ya :)
Erni Rantika
Chusie Bellamy
Dev Andra
Sip
Keren.....
Wisnu Hermawan
slamat pagi sist mau tanya donk buku k 3 ya vampire academy ada gak sist
Novri
Write a comment...
KAMI PERLU RENCANA untuk kabur, dan kami memerlukannya saat ini juga.
Sayangnya, ide-ide yang kumiliki membutuhkan banyak hal yang berada di luar
kendaliku. Contohnya, kami ditinggalkan sendirian sehingga bisa menyelinap
pergi. Atau, mendapatkan penjaga yang bodoh sehingga kami bisa kabur.
Atau setidaknya, tangan kami diikat dengan ceroboh sehingga kami bisa
melepaskan diri.
Namun, tak satu pun yang terjadi. Setelah hampir dua puluh empat jam,
situasi kami belum berubah. Kami masih menjadi tawanan dengan tangan
terikat kencang. Para penculik kami masih waspada, hampir sama efisiennya
dengan sekelompok pengawal. Hampir.
Sedangkan Mia dan Christian… yah, keadaannya agak lebih sulit untuk
mereka. Moroi tahan berminggu-minggu tanpa makan dan minum selama
terus mendapat asupan darah. Tanpa darah, mereka hanya sanggup bertahan
beberapa hari sebelum berubah jadi lemah dan sakit, selama mereka masih
mendapat makanan lain. Begitulah yang kulakukan bersama Lissa saat
melarikan diri dari Akademi, karena aku tak sanggup memberikan darahku
pada Lissa setiap hari.
Jika tidak mendapatkan makanan, darah, dan air, ketahanan tubuh Moroi akan
merosot tajam. Aku memang lapar, tetapi Mia dan Christian bisa dibilang
kelaparan. Wajah mereka langsung terlihat lebih cekung, dan mata mereka
nyaris tampak seperti sedang demam. Isaiah memperburuk keadaan dengan
berkunjung setiap beberapa saat. Pada setiap kunjungannya, Isaiah akan
mencerocos dengan gayanya yang menyebalkan. Kemudian sebelum pergi,
dia meminum darah Eddie lagi. Pada kunjungannya yang ketiga, bisa dibilang
aku melihat Mia dan Christian meneteskan air liur. Karena pengaruh hormon
endorfin dan kurangnya asupan makanan, aku cukup yakin Eddie tidak tahu di
mana dirinya sekarang berada.
Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya aku tidak bisa tidur, tetapi pada hari
kedua aku mulai terkantuk-kantuk. Kelaparan dan kelelahan bisa membuatmu
seperti itu. Suatu kali aku bahkan bermimpi, sangat mengejutkan karena aku
sama sekali tak menduga bisa tidur lelap dalam kondisi sesinting ini.
Dalam mimpiku―dan aku tahu pasti ini hanya mimpi―aku berdiri di tepi
pantai. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya aku mengenali pantainya. Aku
sedang berada di pesisir Oregon―pantainya berpasir dan hangat, dengan
Samudra Pasifik yang bergulung di kejauhan. Aku dan Lissa pernah
berkunjung ke tempat ini saat kami tinggal di Portland. Saat itu cuacanya
sangat cerah, tetapi Lissa tidak sanggup menahan cahaya matahari seterik
itu. Karena itu kami mempersingkat kunjungan, tetapi aku selalu berharap bisa
tinggal lebih lama dan menikmati sinar matahari. Sekarang aku bisa
mendapatkan cahaya matahari yang hangat itu sebanyak yang kuinginkan.
“Dan kau berada di bawah cahaya matahari lagi,” ucapku. “Jadi kurasa ini
memang mimpimu.”
Aku menyurukkan jari kaki ke dalam pasir. “Bagaimana mungkin dua orang
yang berbeda bisa berbagi mimpi yang sama?”
Aku mendongak menatap Adrian dengan kening berkerut. “Aku ingin tahu apa
maksudmu. Soal kegelapan yang kaubilang berada di sekelilingku. Apa
maksudnya?”
“Sejujurnya, aku tak tahu. Semua orang memiliki cahaya di sekeliling tubuh
mereka, kecuali kau. Kau memiliki bayangan. Kau mendapatkannya dari
Lissa.”
Aku semakin bingung. “Aku tak mengerti.”
“Aku tak bisa menjelaskannya sekarang,” kata Adrian. “Bukan itu alasanku
datang ke sini.”
Adrian menggeleng. “Tidak, bukan itu yang kumaksud. Di dunia nyata. Kau ada
di mana?”
Dunia nyata? Pantai yang berada di sekeliling kami tiba-tiba terlihat buram,
bagaikan sebuah film yang kehilangan fokus. Beberapa saat kemudian,
keadaannya kembali tenang. Aku memeras otak. Dunia nyata. Gambar-
gambar berkelebat di dalam otakku. Kursi. Penjaga. Borgol plastik.
Isaiah masuk bersama Elena. Aku berusaha keras menahan cibiran saat
melihat wanita itu. Isaiah angkuh, kejam, dan benar-benar jahat. Tetapi Isaiah
bersikap seperti itu karena dialah sang pemimpin. Isaiah memiliki kekuatan
dan kekuasaan yang mendukung kekejamannya―meski aku tidak
menyukainya. Tetapi Elena? Dia seorang pesuruh. Elena mengancam kami
dan mencetuskan komentar-komentar sinis, tetapi dia bisa melakukannya
hanya karena menjadi pendamping Isaiah. Dia benar-benar penjilat.
Isaiah mengayunkan tangan pada Elena. “Biarkan saja. Ini artinya kita harus
menunggu sedikit lebih lama, dan sungguh, penantian ini sangat menghibur.”
Isaiah mempertimbangkannya. “Tidak. Tidak juga. Dan aku juga tidak bosan
melakukan ini.”
Isaiah berbalik lalu menghampiri Eddie. Eddie nyaris tidak bisa lagi duduk
tegak di kursinya setelah darahnya diminum sesering itu. Parahnya, Isaiah
bahkan tidak perlu menggunakan kompulsi. Wajah Eddie langsung terlihat
berbinar dan nyengir bodoh, tidak sabar untuk gigitan selanjutnya. Eddie
sudah kecanduan menjadi donor.
Isaiah melirikku. “Diam, Non. Aku tidak terlalu menyukaimu seperti aku
menyukai Mr. Ozera.”
“Oh ya?” semburku. “Kalau aku membuatmu kesal, gunakan aku untuk
membuktikan ucapan bodohmu itu. Gigit saja aku. Tunjukkan betapa
hebatnya dirimu.”
“Tidak!” seru Mason. “Gunakan aku saja.”
Isaiah memutar bola mata. “Ya ampun. Benar-benar sekelompok orang suci.
Kalian semua Spartacus, ya?”
Isaiah menjauh dari Eddie lalu meletakkan jari di dagu Mason, mendongakkan
kepalanya. “Tapi kau,” katanya, “tidak bersungguh-sungguh dengan
ucapanmu. Kau hanya menawarkan diri karena dia.” Isaiah melepaskan
Mason lalu berjalan ke hadapanku, menunduk menatapku dengan matanya
yang sangat hitam. “Dan kau… awalnya aku juga tidak terlalu memercayaimu.
Tapi sekarang?” Isaiah berlutut hingga sejajar denganku. Aku tidak mau
memalingkan wajah, meski tahu aku bisa terkena kompulsi karenanya.
“Kurasa kau sungguh-sungguh. Tapi itu bukan karena sikap mulia juga.
Kau memang menginginkannya. Kau pernah digigit sebelumnya.” Suara Isaiah
terdengar magis. Menghipnotis. Sebenarnya dia tidak menggunakan kompulsi,
tetapi ada suatu karisma tidak wajar yang mengelilinginya. Seperti Lissa dan
Adrian. Aku terpana pada setiap kata yang diucapkannya. “Dan kurasa sering,”
tambahnya.
Aku menelan ludah, tiba-tiba menyadari napasku yang berat dan jantungku
yang berdebar kencang. Isaiah tergelak pelan.
“Ya. Kau memang calon pelacur darah. Tapi malangnya dirimu―karena aku
takkan memberikan apa yang kauinginkan.”
Isaiah mundur dan aku merosot di kursi. Tanpa menunda lagi, dia kembali
pada Eddie dan meminum darahnya. Aku tidak sanggup melihatnya, tetapi kali
ini karena aku merasa iri, bukan jijik. Hatiku serasa membara karena
mendambakannya. Aku mendambakan gigitan itu, mendambakannya dengan
setiap helai saraf yang ada dalam tubuhku.
“Kau tidak pernah terlihat semenggoda ini, Rose,” Christian sempat berkata
sebelum penjaga menyuruhnya diam.
* * *
Beberapa kali aku tertidur sepanjang hari itu, tetapi Adrian tidak kembali ke
dalam mimpiku. Alih-alih, saat berada di ambang kesadaran, aku mendapati
diriku menyelinap ke dalam teritori yang lebih akrab: kepala Lissa. Setelah
berbagai hal aneh yang terjadi dalam dua hari terakhir, berada di dalam benak
Lissa rasanya seperti pulang ke rumah.
Lissa berada di salah satu ruang pesta penginapan, hanya saja ruangannya
kosong. Dia duduk di lantai di ujung ruangan, berusaha tidak terlihat
mencurigakan. Lissa merasa gugup. Dia sedang menunggu sesuatu―atau
tepatnya, seseorang. Beberapa menit kemudian Adrian menyelinap masuk.
“Sepupu,” kata Adrian dengan gayanya yang khas. Adrian duduk bersila di
samping Lissa, sama sekali tidak memedulikan celana rapinya yang mahal.
“Maaf aku telat.”
“Tidak.”
“Aura itu seperti… berkas cahaya yang ada di sekitar tubuh seseorang, kan?
Suatu teori New Age?”
“Bisa dibilang begitu. Setiap orang memiliki energi spiritual yang terpancar
dari dirinya. Yah, hampir setiap orang.” Keraguan Adrian membuatku bertanya-
tanya apakah dia sedang memikirkan aku dan kegelapan yang menurutnya
berada di sekelilingku. “Berdasarkan warna dan penampilannya, kau bisa tahu
banyak tentang seseorang… em, maksudku kalau kau bisa melihat aura.”
“Dan kau bisa,” kata Lissa. “Dan kau tahu aku menggunakan kekuatan roh
karena melihat auraku?”
“Kau kenal berapa banyak orang yang seperti kita di luar sana?”
“Yeah. Akhirnya mereka memutuskan bahwa aku memang tidak tahu apa-
apa.”
“Bagus,” kata Adrian. Dia mengerutkan kening, dan kulihat kali ini Adrian tidak
mabuk. “Dan kau yakin kau memang tidak tahu apa-apa?”
“Aku tahu, tapi untuk melakukan semua itu, kalian harus memiliki ikatan yang
kuat. Gunakan ikatan itu untuk bicara dengannya di dalam mimpi. Aku sudah
berusaha, tapi aku tak bisa menahannya cukup lama untuk―”
Sekarang Adrian yang kelihatan bingung. “Tentu saja. Memangnya kau tak
tahu cara melakukannya?”
“Tidak! Apa kau serius? Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa dilakukan?”
Mimpiku….
Aku ingat Lissa pernah mengatakan soal fenomena Moroi yang tidak bisa
dijelaskan, bahwa di luar sana mungkin ada kekuatan roh lainnya selain
penyembuhan, hal-hal yang belum diketahui siapa pun. Sepertinya kehadiran
Adrian dalam mimpiku bukan kebetulan semata. Adrian bisa memasuki
kepalaku, mungkin dengan cara yang sama aku memasuki benak Lissa.
Pikiran itu membuatku gelisah. Lissa bahkan kesulitan memahaminya.
Adrian mengusap rambutnya lalu menengadah, menatap lampu gantung
kristal sambil termenung. “Oke. Jadi. Kau tidak bisa melihat aura, dan kau tak
bisa bicara dengan orang lain melalui mimpi. Kalau begitu apa
yang bisa kaulakukan?”
“Aku… aku bisa menyembuhkan orang. Hewan. Tanaman juga. Aku bisa
menghidupkan makhluk yang sudah mati.”
“Benarkah?” Adrian kelihatan terkesan. “Oke. Kau mendapat pujian untuk itu.
Apa lagi?”
“Aku juga bisa.” Mata Adrian berbinar. “Aku ingin tahu apa yang akan terjadi
kalau kau berusaha menggunakannya padaku….”
Lissa ragu-ragu dan tanpa sadar menyapukan jemari pada karpet merah yang
bertekstur. “Yah… aku tak bisa.”
“Aku tidak meminum obat apa pun. Aku baik-baik saja,” kata Adrian.
Tidak, Adrian tidak baik-baik saja, aku tersadar. Lissa menyadarinya juga.
“Kau tiba-tiba terlihat aneh saat Dimitri ada di kamarmu,” kata Lissa. “Kau
mulai meracau, dan ucapanmu tidak masuk akal.”
“Oh, itu? Yeah… itu memang kadang terjadi. Tapi jarang, sungguh. Paling
sebulan sekali.” Adrian terdengar jujur.
Adrian tersenyum. Dia sedang menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran
Lissa.
Yasin
Sippp
Fiansyah Kinanda Santy
Rose bersabarlah
Chusie Bellamy
Scwarze Orchidee
wow
Risa Koizumi
Write a comment...
Vampire Academy 2 (Bab 21)
Dengan enggan aku menarik diri keluar dari kepala Lissa dan kembali ke
dalam situasiku sendiri yang kelam. Aku ingin melihat kelanjutan yang terjadi
antara Lissa dan Adrian, tetapi menonton mereka tidak ada gunanya. Oke.
Aku benar-benarbutuh rencana sekarang. Aku harus bertindak. Aku harus
mengeluarkan kami semua dari tempat ini. Tetapi saat melirik sekeliling, aku
tetap tidak menemukan jalan keluar, dan aku menghabiskan setengah jam
berikutnya dengan merenung dan mempertimbangkan semuanya.
Hari ini kami dijaga oleh tiga orang. Mereka kelihatan agak bosan tetapi tidak
sampai bersikap lengah. Di dekatku, Eddie kelihatannya tidak sadarkan diri
dan Mason menatap lantai dengan pandangan kosong. Di seberang ruangan,
Christian entah sedang memelototi apa, dan kurasa Mia sedang tidur. Karena
sadar sepenuhnya betapa kering tenggorokanku, aku hampir tertawa saat
ingat pernah memberitahu Mia bahwa sihir air sama sekali tidak berguna. Sihir
air mungkin tidak akan berguna dalam pertarungan, tetapi aku bersedia
memberi Mia apa pun jika dia mau memanggil sedikit―
Sihir.
Kenapa tidak terpikir olehku sebelumnya? Kami tidak sepenuhnya tak berdaya.
Aku menatap Christian lekat-lekat, berharap dia mengerti bahwa aku akan
segera bertindak. Wajahnya terlihat bingung, tetapi diiringi tekad bulat. Setelah
memastikan tidak satu pun penjaga yang melihat ke arahku, aku bergeser
sedikit dan menarik pelan pergelangan tanganku. Aku melirik ke belakang
sesering mungkin, lalu menatap mata Christian lagi. Kening Christian berkerut,
dan aku mengulangi gerakan tadi.
“Hei,” ucapku keras-keras. Mia dan Mason sama-sama tersentak kaget. “Apa
kalian akan terus membiarkan kami kelaparan? Tak bisakah kami minta air
sedikit?”
“Diam,” bentak seorang penjaga. Itu jawaban standar setiap kali ada salah
satu dari kami yang bicara.
Seperti yang sudah kuduga, pria itu berdiri dari kursinya lalu menghampiriku.
“Jangan membuatku mengulanginya lagi,” pria itu menggeram. Aku tidak tahu
apakah dia akan melakukan kekerasan, tetapi aku tidak berniat terus
memancing amarahnya, setidaknya bukan sekarang. Lagi pula, aku sudah
mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika Christian tidak mengerti petunjuk
yang kuberikan tadi, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Berharap wajahku
terlihat ketakutan, aku menutup mulut.
Kedua alis Christian tiba-tiba terangkat, dan dia menatapku dengan takjub.
Bagus. Kelihatannya dia sudah mengerti. Aku hanya berharap yang dipahami
Christian sama seperti maksudku. Tatapan mata Christian berubah dan
terlihat bertanya-tanya, seolah bertanya apa aku benar-benar serius. Aku
mengangguk dengan sepenuh hati. Selama beberapa saat, kening Christian
berkerut sambil berpikir, lalu dia menghela napas dalam-dalam dan mantap.
“Diam,” salah satu penjaga otomatis berkata. Pria itu terdengar lelah.
Semua orang yang ada di dalam ruangan ini seakan membeku selama
beberapa saat, termasuk aku. Sebenarnya, bukan ini yang terlintas dalam
benakku.
“Tidak,” kata Christian. Wajah Christian terlihat seperti orang yang sedang
demam dan putus asa, dan menurutku itu tidak sepenuhnya palsu. “Aku sudah
muak dengan semua ini. Aku ingin keluar dari tempat ini, dan aku tak mau
mati. Aku mau minum―dan aku menginginkan dia.” Christian mengangguk ke
arahku. Mia menjerit pelan saking kagetnya. Mason memanggil Christian
dengan sebutan yang akan membuatnya terkena hukuman kalau diucapkan di
sekolah.
“Kurasa dia sedang tidak ada,” jawab si pemimpin. Pria itu menatap Christian
sejenak, lalu membuat keputusan. “Lagi pula aku tak mau mengganggunya
kalau ternyata semua ini hanya lelucon. Lepaskan dia dan kita cari tahu.”
Salah satu pria mengeluarkan tang. Dia berjalan ke belakang Christian dan
membungkuk. Aku mendengar bunyi plastik putus saat borgolnya lepas.
Seraya memegangi lengan Christian, si penjaga menyentaknya sampai berdiri
lalu menuntunnya ke arahku.
“Kalian semua pasti mati, tapi aku tidak,” bentak Christian, menyingkirkan
rambut hitamnya yang menghalangi mata. “Tidak ada jalan keluar dari semua
ini.”
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku yakin harus
menunjukkan lebih banyak emosi jika sebentar lagi mati. Dua orang penjaga
memegangi Christian, mengawasinya dengan waspada saat membungkuk di
atasku.
Namun, rasa sakitnya bukan berasal dari gigitan Christian. Giginya hanya
menekan kulitku; tidak sampai menembusnya. Lidah Christian menjilati
leherku, tetapi tidak ada darah yang diisap. Semua ini justru terasa seperti
sebuah ciuman yang aneh dan sinting.
Tidak, rasa sakitnya berasal dari pergelangan tanganku. Rasa sakit yang
membara. Christian menggunakan sihir untuk menyalurkan panas ke borgol
plastikku, persis seperti yang kuinginkan. Dia memahami pesanku. Plastiknya
terasa semakin panas saat Christian terus mengisap darahku yang tidak
keluar. Siapa pun yang melihat dari jarak dekat pasti akan sadar Christian
sedang berpura-pura, tetapi pandangan para penjaga terhalang rambutku.
Aku tahu plastik sulit dilelehkan, tetapi sekarang aku baru bisa memahaminya.
Temperatur yang dibutuhkan untuk menghancurkan plastik sungguh luar
biasa. Rasanya seperti mencelupkan tangan ke dalam lava. Borgol plastiknya
membakar kulitku, panas dan menyakitkan. Aku bergerak-gerak, berharap bisa
menghilangkan rasa sakitnya. Tidak bisa. Namun, aku sadar borgolnya agak
melonggar saat aku bergerak. Borgol itu semakin lunak. Oke. Meski
menyakitkan, aku hanya perlu bertahan sedikit lebih lama. Dengan putus asa
aku berusaha memusatkan pikiran pada gigitan Christian dan mengalihkan
perhatian. Usahaku berhasil selama kira-kira lima detik. Christian tidak
memberikan efek yang sama seperti hormon endorfin, dan sudah pasti tidak
cukup untuk melawan rasa sakit yang bertambah parah. Aku merintih, dan
mungkin membuatku terlihat meyakinkan.
Itu bau plastik terbakar. Atau mungkin daging yang terbakar. Sejujurnya, itu
tidak masalah karena saat aku menggerakkan tangan lagi, borgol plastik yang
meleleh dan mendidih itu langsung terlepas.
Aku memiliki sepuluh detik untuk memanfaatkan elemen kejutan, dan aku
menggunakannya. Aku melompat dari kursi, dan pada saat yang sama
mendorong Christian ke belakang. Dia diapit oleh dua orang penjaga, dan
salah satunya masih memegangi tang. Dalam satu gerakan, aku merebut tang
lalu membenamkannya ke pipi pria itu. Dia berteriak, tetapi aku tidak
menunggu untuk melihat apa yang terjadi. Elemen kejutanku sudah berakhir,
dan aku tak bisa menyia-nyiakan waktu. Begitu melepaskan tang, aku meninju
pria kedua. Tendanganku pasti lebih kuat dari tinjuku, tetapi aku masih
sanggup memukulnya dengan cukup keras dan membuatnya terhuyung.
Aku berbalik menghadapi pria yang memegangiku. Kurasa dia tidak menduga
gadis sekecil aku sanggup melawan segigih ini, selain itu dia juga masih
terpana melihat yang terjadi pada temannya dan pistol itu. Aku berhasil
mendaratkan tendangan ke perutnya, tendangan yang akan memberiku nilai A
di kelas bertarung. Pria itu menggeram saat terkena, dan gerakan itu
membuatnya terpelanting ke dinding. Secepat kilat aku sudah berada di atas
tubuhnya. Seraya menjambak rambutnya, aku menghantamkan kepalanya ke
lantai dengan cukup keras hingga membuatnya pingsan tetapi tidak sampai
membunuhnya.
Aku menduga akan mendapat jawaban sinis, tetapi ternyata Christian hanya
menyerahkan senjata itu dengan tangan gemetar. Aku menyisipkannya ke
dalam ikat pinggang. Saat mengamati Christian dengan lebih saksama, aku
melihat betapa pucat kulitnya. Dia sepertinya bisa pingsan kapan saja.
Christian baru saja melakukan sihir yang cukup besar bagi orang yang
kelaparan selama dua hari.
“Sempurna,” kataku.
Kami mengikat pria-pria itu ke kursi. Salah satu dari mereka dalam keadaan
sadar, tetapi kami tetap memukulnya sampai pingsan, lalu memasang pita
perekat ke mulut mereka. Mereka akan terbangun juga nantinya, dan aku tidak
mau mereka membuat keributan.
Setelah melepaskan Mia dan Eddie, kami berlima berkumpul dan
merencanakan tindakan selanjutnya. Christian dan Eddie nyaris tidak sanggup
berdiri, tetapi setidaknya Christian masih menyadari sekelilingnya. Wajah Mia
dibanjiri air mata, tetapi sepertinya dia masih bisa menerima perintah. Hanya
aku dan Mason yang masih bisa berfungsi maksimal.
“Jam pria itu menunjukkan sekarang pagi hari,” kata Mason. “Yang harus kita
lakukan hanyalah pergi ke luar, dan mereka tidak bisa menyentuh kita.
Setidaknya selama tidak ada manusia lain.”
“Mereka bilang Isaiah sedang pergi,” kata Mia pelan. “Seharusnya kita bisa
langsung keluar, kan?”
Mason membuka pintu dengan hati-hati lalu mengintip selasar yang kosong.
“Menurutmu, ada jalan keluar langsung dari bawah sini?”
“Kalau saja semudah itu,” gumamku. Aku melirik ke yang lain-lain. “Tunggu di
sini. Kami akan pergi untuk memeriksa bagian lain ruang bawah tanah ini.”
“Tidak akan,” aku meyakinkannya. Aku cukup yakin tak ada orang lain di ruang
bawah tanah ini. Kalau memang ada, mereka pasti sudah berdatangan saat
mendengar keributan tadi. Dan jika ada yang turun dari lantai atas, kami pasti
lebih dulu mendengar langkah kaki mereka di tangga.
Meskipun begitu, aku dan Mason bergerak dengan hati-hati saat mengintai ke
sekeliling ruang bawah tanah, saling menjaga, dan memeriksa setiap sudut
ruangan. Ruang bawah tanah ini masih terlihat seperti labirin tikus seperti
yang kuingat saat pertama kali dibawa ke sini. Selasar yang berbelok-belok
dan banyak kamar. Kami membuka satu per satu pintu yang ada di sana.
Semua kamar itu kosong, kecuali satu atau dua buah kursi. Tubuhku
menggigil saat memikirkan bahwa semua kamar ini mungkin digunakan
sebagai ruang rahasia, sama seperti kamar yang kami tempati.
“Sama sekali tak ada jendela di tempat ini,” gumamku saat kami selesai
menyisir ruangan. “Kita harus ke lantai atas.”
Kami kembali ke ruangan tempat kami disekap, tetapi sebelum tiba di sana
Mason menangkap lengaku. “Rose….”
Aku memikirkan semua kejadian yang membawa kami hingga ke tempat ini.
“Kita memang mengacaukan semuanya, Mason.”
Mason mendesah. “Kuharap… kuharap saat semua ini sudah beres, kita bisa
duduk untuk mengobrol dan membicarakan semuanya. Seharusnya aku tidak
marah padamu.”
Aku ingin berkata bahwa semua itu takkan terjadi, bahwa saat dia menghilang,
aku sebenarnya sedang mencarinya untuk memberitahukan keadaan di antara
kami tidak akan pernah membaik. Karena sekarang sepertinya bukan saat
maupun tempat yang tepat untuk memutuskan hubungan dengannya, aku
berbohong.
Mason tersenyum, lalu kami kembali pada teman-teman kami yang lain.
“Aku saja yang masuk duluan,” gumam Mason saat kami berdiri di puncak
tangga.
“Mason,” aku menyela. Aku menatapnya lekat-lekat, dan tiba-tiba teringat akan
ibuku saat serangan keluarga Drozdov terjadi. Tenang dan terkendali, bahkan
pada situasi yang sangat mengerikan. Mereka membutuhkan seorang
pemimpin, sama seperti yang dibutuhkan kelompok ini sekarang, dan aku
berusaha keras menirunya. “Kalau ada yang terjadi, kau harus mengeluarkan
mereka dari sini. Larilah dengan cepat dan pergilah yang jauh. Jangan kembali
tanpa membawa pengawal.”
“Kaulah yang akan pertama diserang! Lalu apa yang harus kulakukan?”
desisnya. “Meninggalkanmu?”
“Ya. Kau tak usah memedulikan aku jika bisa mengeluarkan mereka dari sini.”
Kami saling pandang selama beberapa saat sementara yang lain menahan
napas.
Pintu ruang bawah tanah agak berderit saat kubuka, dan aku meringis saat
mendengarnya. Nyaris tidak berani bernapas, aku berdiri tegak di puncak
tangga; menunggu dan memasang telinga. Rumah dan dekorasinya yang
eksentrik masih terlihat sama seperti saat kami dibawa ke sini. Tirai gelap
menutupi semua jendela, tetapi di pinggir-pinggirnya aku bisa melihat cahaya
terang yang mengintip. Cahaya matahari tidak pernah terasa semanis saat itu.
Bisa mencapai cahaya matahari sama artinya dengan mendapatkan
kebebasan.
Di dalam rumah tak ada suara, tak ada gerakan. Aku memandang sekeliling,
dan berusaha mengingat letak pintu depan. Pintunya terletak di sisi lain
rumah―sebenarnya tidak jauh kalau situasinya normal, tetapi pada saat ini
rasanya bagaikan dibatasi jurang yang menganga.
Aku mendengar gerakan mereka hampir bersamaan dengan saat aku melihat
kemunculan mereka di hadapan kami. Rasanya seolah ada penyihir yang
memunculkan Isaiah dan Elena begitu saja. Hanya saja kali ini aku tahu tidak
ada sihir yang terlibat. Strigoi memang bergerak secepat itu. Mereka pasti
berada di salah satu kamar lantai utama yang kami sangka kosong―tadi kami
tidak ingin membuang-buang lebih banyak waktu untuk memastikannya.
Dalam hati aku memarahi diri sendiri karena tidak memeriksa setiap senti
rumah ini. Di suatu sudut ingatanku, aku mendengar diriku mengejek ibuku
saat berada di kelas Stan: “Menurutku kalian melakukan kesalahan. Kenapa
kalian tidak menyisir tempat itu sejak awal dan memastikannya terbebas dari
Strigoi? Dengan begitu kalian tidak perlu bersusah payah seperti itu.”
“Cepat dan jauh, Mason,” kataku dengan suara rendah, tanpa melepaskan
pandangan dari para Strigoi.
Tidak, aku tidak berpikir sanggup mengalahkan keduanya. Bahkan, aku cukup
yakin aku akan mati. Namun, aku juga yakin sanggup memberikan pengalih
perhatian yang cukup hebat sebelum itu terjadi.
Aku melompat ke arah Isaiah tetapi menembakkan pistol ke arah Elena. Kau
mungkin bisa menerjang penjaga manusia―tetapi kau tidak bisa
melakukannya pada Strigoi. Bisa dikatakan mereka sudah melihat gerakanku
bahkan sebelum aku bergerak. Namun, mereka tidak menyangka aku punya
senjata. Dan saat Isaiah menangkis serangan tubuhku nyaris tanpa bersusah
payah, aku berhasil menembak Elena sebelum akhirnya pria itu menangkap
lenganku dan menahanku. Bunyi pistol terdengar nyaring di telingaku, dan
Elena berteriak kesakitan sekaligus terkejut. Aku membidik perutnya, tetapi
meleset dan hanya mengenai pahanya. Bukan berarti itu penting. Dia takkan
mati di mana pun aku menembaknya, tetapi luka di perut akan terasa jauh
lebih menyakitkan.
Isaiah menjambak rambutku. Aku menjerit kesakitan, dan pria itu menurunkan
kepala sehingga wajah kami saling menempel.
“Kau mau gigitan, Nona?” tuntutnya. “Kau ingin menjadi pelacur darah? Nah,
bisa kita atur. Dalam arti sesungguhnya. Dan itu takkan menyenangkan.
Kau takkan merasa kebas. Rasanya akan sangat menyakitkan―kompulsi bisa
dilakukan dalam dua cara, kau tahu? Dan aku akan meyakinkanmu bahwa kau
sedang menderita rasa sakit paling buruk seumur hidup. Aku juga akan
memastikan kematianmu berlangsung sangat lama. Kau akan menjerit-jerit.
Kau akan menangis. Kau akan memohon padaku agar mengakhirinya dan
membiarkanmu mati―”
“Isaiah,” Elena berteriak putus asa. “Bunuh saja dia. Kalau saja kau
melakukannya sejak awal, seperti yang sudah kubilang, semua ini takkan
terjadi.”
Kami semua berbalik saat mendengar suara baru yang tiba-tiba terdengar,
suara yang kelam dan marah. Mason berdiri di ambang pintu, terbingkai
cahaya matahari, mengenggam pistol yang tadi kujatuhkan. Isaiah
mengamatinya sejenak.
“Nah,” kata Isaiah pada Elena. “Siapa tahu itu bisa sedikit mengganjal rasa
laparmu. Dan sisakan sedikit untukku.”
Berlynda P
Adminnn semangatt.
Faridha
mason mati?
Agustia Wulandari
masooooon , oh tidaaaak
Ningsih Wati
Hiks....sebal...sebal....kok ktangkep sih tp low ndak ktangkep ndak seru za ....next min
Litha BintangPertama
Angel
tidakkkkKkkkkkkk .. kau bodoh mason ! Kenapa kau kembali masonnnnnnnnnn ... ros kau harus
membunuh isaiah dan elena harus (-̩-̩̩̩ -̩̩̩ __-̩
̩̩ -̩̩̩ -̩̩̩ )̩̩ god bye masonnn (˘̩.˘̩
̩̩ ƪ)
̩̩ #sampai_nangis_baca_nya
Yasin
makasih
Neng Wulan
hiksssss...g rela....
Ran Sovie'Anna
ya Tuhan,, pada hal yg paling aku sukai itu mason tapi kenapa justru malah dia yg harus pergi duluan,,
good bye mason aku mencintai mu sampai akhir (┎_⌣̀)̩̩ (˘̩~˘̩
̩̩ ƪ)
̩
mason -,
Iyeth Doank
Waaah aku jarang on nich jdi ketinggalan beeuuh ada apa aja nich
Chusie Bellamy
aaahhhhhhhh masoon........Qo dimitri blm juga dtg chi ntr rose kebru mati... seru minn Lnjut donng
Yah masa mason mati si? Gak rela gak rela. . . . Arggg. . .
Fitria Nurbarokah
Ya ampun! Rose! Mason! Gak tau harus komentar apa.Rose pemberani banget dan Mason,
kasian.strigoi jahat!
Shanty Asgar
Ga relaaaaaaaaaaaa..,... Knpa Mason hrus kya gtu matinya.... Dasar strigoi iblis, jahat bgt.....
Nadia
tuh kan Mason dipart ini mati :'(
isaiah emang jahat bgt!
YeEny Zenny
Vini Hilyani
Moi Yulie
mason.a mati?hah sumpah kgak rellaaaa...oh ayolah siapapun bntu rose,dimitri?adrian oh ayolah...
Naa
mason..!!!
mati? #lemes
Naa
mase..!!!
mati? #lemes
Amelia Pevensie
Mason emang mati :'( gue udah baca di situs wiki VA... tapi dia bakal ttp ada kok...
Ina' Bangets
Write a comment...
AKU BEGITU NGERI dan terguncang sehingga kupikir jiwaku akan melayang
pergi, dan dunia akan berakhir saat itu juga―karena tentunya, tentunya dunia
tidak bisa terus berputar setelah peristiwa ini. Tak seorang pun yang sanggup
melanjutkan hidup setelah kejadian ini. Aku ingin meneriakkan rasa sakitku ke
alam semesta. Aku ingin menangis sampai tubuhku meleleh. Aku ingin
terkulai di samping Mason dan mati bersamanya.
“Jangan sentuh dia!” teriakku. Aku mendorong tubuh Elena tetapi hanya
berdampak kecil. Elena balas mendorongku dan hampir menjatuhkan
tubuhku. Aku harus berusaha keras menyeimbangkan kaki dan tetap berdiri
tegak.
Isaiah melihatnya juga, tetapi dia lebih terlihat bingung daripada takut.
Setidaknya sampai airnya menggulung wajahnya dan mulai mencekiknya.
Seperti halnya peluru, kehabisan udara juga tidak bisa membunuhnya. Tetapi
hal itu bisa membuatnya sangat tidak nyaman.
Seraya berlari maju, aku membenamkan pecahan kaca itu ke dada Isaiah,
membidik jantung yang kutemukan dengan susah payah saat latihan. Isaiah
mengeluarkan jeritan tercekik di dalam air lalu tumbang ke lantai. Bola
matanya mendelik ke atas saat dia tak sadarkan diri akibat kesakitan.
Tindakan paling cerdas pada saat itu tentu saja berlari ke pintu dan berlindung
di bawah amannya cahaya matahari. Alih-alih, aku berlari ke arah berbeda,
menuju perapian. Aku meraih salah satu pedang antik yang tergantung di sana
lalu berbalik menghadap Elena. Aku tidak perlu bergerak terlalu jauh karena
Elena sudah pulih dari kekagetannya dan sedang bergegas ke arahku.
Aku teringat saat sedang bertarung dengan ibuku, saat itu aku terus-menerus
dalam posisi bertahan. Taktik seperti itu tak bisa kugunakan saat ini. Aku
harus menyerang. Aku menusuk ke depan, berusaha memukul Elena. Tidak
berhasil. Dia sudah mengantisipasi setiap gerakanku.
Tiba-tiba, dari belakang Elena terdengar erangan Isaiah yang mulai tersadar
kembali. Elena melirik ke balik pundaknya, gerakan kecil yang
memungkinkanku untuk mengayunkan pedang ke dadanya. Pedang itu
menyayat kaus dan kulitnya, tetapi hanya itu. Meski begitu, Elena tetap
tersentak dan menunduk dengan panik. Kurasa ingatan akan kaca yang
menusuk jantung Isaiah masih segar dalam benaknya.
Dan memang hanya itu yang kubutuhkan.
Mata pedang mengenai leher samping Elena dengan keras dan dalam. Wanita
itu mengeluarkan jeritan pilu dan mengerikan, ratapan yang membuat kulitku
merinding. Elena berusaha menghampiriku. Aku mundur dan menyerang lagi.
Kedua tangannya memegangi leher, dan lututnya mulai ambruk. Aku
menyerang dan terus menyerang, dan pedangnya terbenam semakin dalam
pada lehernya. Memenggal kepala orang ternyata lebih sulit dari yang kuduga.
Pedang tua yang tumpul juga sepertinya tidak banyak membantu.
Tetapi akhirnya kulihat Elena sudah tidak bergerak lagi. Kepalanya tergeletak
begitu saja, terputus dari tubuhnya, kedua matanya yang mati seolah
menatapku dengan pandangan tak percaya. Aku sendiri tak percaya.
Ada orang yang berteriak, dan sejenak kupikir itu suara Elena. Kemudian aku
mendongak dan menatap sekeliling ruangan. Mia sedang berdiri di ambang
pintu, matanya terbelalak dan kulitnya terlihat kehijauan seperti mau muntah.
Jauh dalam benakku, aku tersadar bahwa Mia-lah yang membuat akuarium
meledak. Ternyata sihir air sama sekali tidak tak berguna.
Meski masih agak gemetar, Isaiah berusaha bangkit. Tetapi aku sudah
menyerangnya sebelum dia sepenuhnya bangun. Pedang menghunjam,
menghasilkan darah dan penderitaan dalam setiap serangan. Aku merasa
seperti ahli sekarang. Isaiah terkulai ke lantai lagi. Dalam benak, aku terus-
menerus melihatnya mematahkan leher Mason, dan aku terus menghunjam
sekeras mungkin, seolah menyerangnya dengan ganas sanggup
menghilangkan kenangan itu.
“Rose! Rose!”
Aku hampir tidak bisa mendengar suara Mia di tengah kabut kebencian yang
menyelimutiku.
“Rose,” bisik Mia. Tubuh Mia gemetar, suaranya terdengar takut. Mia takut
padaku, bukan pada Strigoi. “Rose, kita harus pergi. Ayo.”
Aku mengalihkan pandangan dari Mia dan menatap jasad Isaiah. Beberapa
saat kemudian, aku merangkak menghampiri tubuh Mason, masih
menggenggam pedang.
“Tidak,” kataku serak. “Aku tak bisa meninggalkannya. Mungkin ada Strigoi
lain yang akan datang….”
Mataku terasa panas, seolah tak kuat lagi menahan tangis. Tetapi aku tidak
yakin. Gairah membunuh masih menggempurku, emosi yang kurasakan saat
ini hanyalah kemurkaan.
“Rose, kita akan kembali untuk menjemputnya. Kalau ada Strigoi lain yang
datang, kita harus cepat pergi.”
“Rose―”
Aku mendongak. “Keluar!” aku berteriak. “Keluar dan tinggalkan kami berdua.”
Mia maju beberapa langkah, dan aku mengangkat pedang ke arahnya. Mia
terdiam.
Perlahan Mia mundur ke pintu. Dia menatapku dengan putus asa untuk
terakhir kalinya, lalu berlari keluar.
Suasana menjadi sunyi, dan aku melonggarkan genggaman namun tetap tidak
mau melepaskan pedang. Tubuhku merosot ke depan lalu aku meletakkan
kepala di dada Mason. Aku tidak menyadari apa pun; dunia yang ada di
sekelilingku, maupun waktu itu sendiri. Entah berapa detik yang sudah berlalu.
Mungkin berjam-jam. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa pun, hanya tahu
bahwa aku tidak boleh meninggalkan Mason sendirian. Aku berada dalam
kondisi teralihkan, kondisi yang mengabaikan kengerian dan kesedihan. Aku
tidak percaya Mason sudah mati. Aku tidak percaya aku baru saja membunuh.
Selama menolak mengakuinya, aku bisa berpura-pura semua itu tidak terjadi.
Akhirnya terdengar suara dan langkah kaki, dan aku mendongak. Orang-orang
berhamburan masuk melalui pintu, jumlahnya sangat banyak. Aku tidak bisa
mengenali satu pun dari mereka. Memang tidak perlu. Mereka adalah
ancaman; ancaman yang harus kujauhkan dari Mason. Beberapa dari mereka
menghampiriku, dan aku melompat bangun. Aku mengangkat pedang dan
memegangnya di atas tubuh Mason dengan sikap melindungi.
“Rose.”
Suara itu berkata lagi, suara yang akan dikenali oleh jiwaku di mana pun aku
mendengarnya. Dengan enggan aku membiarkan diri menyadari keadaan di
sekelilingku lagi, membiarkan semua detail kejadian meresap ke dalam
pikiran. Aku memfokuskan mata pada sosok pria yang berdiri di hadapanku.
Mata cokelat Dimitri yang lembut dan tegas sedang menatapku.
“Jangan takut,” kata Dimitri. “Semuanya akan baik-baik saja. Kau bisa
melepaskan pedangnya.”
Pedang itu terjatuh dari tanganku dan mendarat di lantai kayu dengan bunyi
kelontang nyaring. Tubuhku menyusul ambruk ke lantai. Aku merasa ingin
menangis tetapi masih belum sanggup melakukannya.
“Bawa dia keluar dari sini, Belikov,” aku mendengar seorang wanita berkata di
belakang Dimitri, suara wanita itu terdengar tidak asing.
Kali ini aku menurut. Dimitri menuntunku keluar dari rumah, tetap
memegangiku saat aku berjuang mengambil setiap langkah yang
menyakitkan. Benakku masih menolak memikirkan apa yang sudah terjadi.
Aku belum sanggup melakukan apa pun selain menuruti perintah sederhana
yang diberikan orang-orang di sekelilingku.
Akhirnya aku berada di dalam salah satu pesawat milik Akademi. Bunyi mesin
menderu di sekeliling kami saat pesawat lepas landas. Dimitri bergumam
bahwa dia akan segera kembali, lalu meninggalkanku sendirian. Aku menatap
lurus ke depan, mengamati detail tempat duduk di hadapanku.
“Ya Tuhan,” aku menghela napas. Aku membuka mata dan menatap Mia lagi.
“Kau menyelamatkanku―kau menyelamatkanku dengan meledakkan
akuarium. Seharusnya kau tidak melakukannya. Seharusnya kau tidak boleh
kembali ke rumah itu lagi.”
Mia mengangkat bahu. “Kau juga seharusnya tidak boleh mengambil pedang.”
Benar juga. “Terima kasih,” kataku pada Mia. “Apa yang kaulakukan itu… tidak
akan pernah terpikir olehku untuk melakukannya. Itu benar-benar cemerlang.”
“Aku tidak yakin soal itu,” Mia berkata sambil tersenyum sedih. “Air kan tidak
bisa digunakan sebagai senjata, kauingat?”
Aku tergelak, meski sebenarnya aku tidak menganggap lucu kata-kata yang
dulu kuucapkan. Tidak lagi.
“Air senjata yang hebat,” akhirnya aku menjawab. “Saat kembali nanti, kita
harus melatih berbagai cara menggunakannya.”
Wajah Mia terlihat berbinar. Ketangguhan terpancar dari matanya. “Aku setuju.
Melebihi segalanya.”
Mia hanya mengangguk. “Kau beruntung karena ibumu masih ada. Kau tidak
tahu betapa beruntungnya dirimu.”
Aku berpaling dan menatap punggung kursi lagi. Kata-kata yang selanjutnya
keluar dari mulutku benar-benar membuatku terkejut. “Kuharap dia ada di
sini.”
“Memang ada,” kata Mia dengan suara yang terdengar kaget. “Ibumu ada
bersama kelompok yang menggeledah rumah. Kau tidak melihatnya?”
Aku menggeleng.
Kami berdua terdiam. Mia berdiri lalu meninggalkan aku. Satu menit
kemudian, seseorang yang lain duduk di sampingku. Aku tidak perlu melihat
untuk tahu siapa orangnya. Aku tahu saja.
“Rose,” ibuku berkata. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ibuku terdengar
tidak yakin pada dirinya sendiri. Mungkin dia takut. “Mia bilang kau ingin
menemuiku.” Aku tidak menjawab. Aku tidak menatapnya. “Kau… kau butuh
apa?”
Aku tidak tahu apa yang kubutuhkan. Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Sengatan pada mataku semakin tak tertahankan, dan sebelum
menyadarinya aku pun menangis. Sedu sedan yang keras dan menyakitkan
mengguncang tubuhku. Air mata yang sejak tadi kutahan membanjiri wajahku.
Rasa takut dan sedih yang sejak tadi kutolak akhirnya meledak dan membara
di dadaku. Aku nyaris tak bisa bernapas.
“Aku tahu,” kata ibuku lembut dan mempererat pelukannya. “Aku mengerti.”
Nur Solehah
sedih :'(
Dijah Dije
Sedih.. ;(
Scwarze Orchidee
Miiiin lanjuuuuuut :D
Faridha
Keren :'(
Tri Wahyuni
Nurul Kamilah
Next :'(
Chusie Bellamy
ya ampun sedih bgt rose sbar'y .... setiap rose sedih psti masoon yg menghibur'y trus sekrg masoon
dh mati syp Lagi yg bsa nghibur rose selain Lisaa... min Lnjut donhg
Ika Rosana Dewi
Ran Sovie'Anna
Vini Hilyani
;'( ;'( ;'( part yg plg menyedihkan. mksih Min udah d post. d tunggu banget kelanjutanya. ttp semangat
ngetiknya. ;)
Maricha Valencia
meweekk.. :'(
Tarri
Neng Wulan
Angel
YeEny Zenny
Smpek kbwa prasaan bca part ini.
Ningsih Wati
Lucy Ajja
Yasin
makasih
Triya SiibOntoeitseya Miou-Miou
Isnasyaif
Fitria Nurbarokah
Nyesek dah
Dewi Kusumawati
;(
Reren Sofyan
kakak admin yg baik hati, baca dari awal ini novel di part ini yg bikin Baper pgn nangis. .
next baca lanjut lg
Write a comment...
Aku berhasil lolos dari insiden Spokane hanya dengan memar dan luka ringan.
Luka bakar yang disebabkan borgol plastik yang meleleh merupakan luka
paling parah yang kualami. Tetapi aku masih kesulitan mengatasi kematian
yang kusebabkan dan yang kusaksikan. Aku hanya ingin meringkuk seperti
bola di suatu tempat tanpa bicara pada siapa pun, mungkin kecuali Lissa.
Namun, pada hari keempat kepulanganku ke Akademi, ibuku menemuiku dan
berkata sudah saatnya aku menerima tanda.
Perlu beberapa saat sebelum akhirnya aku memahami apa yang dibicarakan
ibuku. Kemudian, aku teringat bahwa aku berhak mendapatkan dua
tanda molnija karena berhasil memenggal kepala dua Strigoi. Tanda molnija-
ku yang pertama. Kesadaran itu membuatku terpana. Seumur hidup, dengan
berasumsi akan berkarier sebagai pengawal, aku selalu berharap
mendapatkan tanda ini. Aku menganggap tanda ini sebagai lencana
kehormatan. Tapi sekarang? Sekarang tanda ini hanya akan menjadi
pengingat sesuatu yang ingin kulupakan.
“Dia takkan mendapatkan tanda sumpah,” kata Lionel. “Dia belum lulus.”
“Hal seperti ini kadang terjadi,” kata Alberta. “Dia sudah membunuh Strigoi.
Gambarkan tanda molnija-nya saja, dan dia akan mendapatkan tanda
sumpahnya belakangan.”
Mengingat rasa sakit yang sering kualami, aku tidak menyangka pembuatan
tato akan sesakit ini. Namun, aku menggigit bibir dan tetap diam selama
Lionel membuat tandanya. Proses pembuatan tato terasa bagaikan berabad-
abad lamanya. Setelah selesai, Lionel mengeluarkan dua buah cermin, dan
dengan penempatan yang tepat, aku bisa melihat bagian belakang leherku.
Dua tanda hitam kecil terukir berdampingan di atas kulitku yang terlihat
memerah dan sensitif. Molnija artinya “petir” dalam bahasa Rusia, dan bentuk
bergerigi itu adalah simbol makna tersebut. Dua buah tanda. Satu untuk Isaiah
dan satu untuk Elena.
Setelah itu, semua pengawal yang berkumpul menghampiriku satu per satu.
Mereka semua menunjukkan sedikit perhatian―pelukan atau ciuman
pipi―dan kata-kata penuh dukungan.
“Selamat datang di jajaran ini,” kata Alberta, wajahnya yang keras agak
melembut saat memberiku pelukan hangat.
Saat gilirannya tiba, Dimitri tidak mengatakan apa-apa, tetapi seperti biasa,
tatapannya sudah mengucapkan banyak hal. Rasa bangga dan kelembutan
tergambar di wajahnya, dan aku terpaksa menahan air mata. Dengan lembut
Dimitri meletakkan satu tangan di pipiku, menganggukkan kepala, lalu berjalan
pergi.
Ketika Stan―instruktur yang sering bertengkar denganku sejak hari pertamaku
di Akademi―memeluk tubuhku dan berkata, “Sekarang kau salah satu dari
kami. Aku selalu tahu kau akan menjadi salah satu yang terbaik,” kupikir aku
akan pingsan.
Kemudian, saat ibuku menghampiri, aku tidak sanggup menahan air mata
yang mengalir di pipi. Ibuku mengusapnya, dan menyentuh bagian belakang
leherku. “Jangan pernah lupa,” katanya.
Tidak ada yang mengucapkan “Selamat,” dan aku lega karenanya. Kematian
tidak patut dirayakan.
Minuman dan makanan pun disajikan. Aku berjalan menuju meja jamuan dan
mengisi piring dengan beberapa potong quiche feta mini, dan
sepotong cheesecake mangga. Aku makan tanpa benar-benar merasakannya,
dan menjawab pertanyaan dari pengawal lain tanpa menyadari apa yang
kuucapkan. Aku merasa seperti robot yang melakukan semua gerakan sesuai
yang diharapkan. Kulit di belakang leherku terasa menyengat, dan di dalam
benakku aku terus-menerus melihat mata biru Mason serta mata merah
Isaiah.
Aku merasa bersalah karena tidak bisa menikmati hari besarku ini, tetapi aku
lega saat orang-orang mulai membubarkan diri. Ibuku menghampiriku saat
yang lain menggumamkan selamat tinggal. Selain ucapannya saat upacara,
kami belum mengobrol lagi sejak luapan emosiku di pesawat. Aku masih
merasa agak aneh dengan kejadian itu―dan agak malu juga. Ibuku tidak
pernah menyebut-nyebut soal itu, tetapi hubungan kami sudah sedikit
berubah. Selama bisa disebut berteman… tetapi kami juga tidak bisa lagi
dikatakan sebagai musuh.
“Lord Szelsky sebentar lagi akan meninggalkan tempat ini,” kata ibuku saat
kami berdiri di dekat pintu, tak jauh dari tempatku berteriak padanya pada hari
pertama kami mengobrol. “Aku akan pergi bersamanya.”
Bisa dikatakan itu hanya setengah pujian, tetapi aku memang tidak berhak
mendapatkan lebih dari itu. Sekarang aku memahami semua kekeliruan dan
salah perhitungan yang menyebabkan berbagai kejadian di rumah Isaiah.
Sebagian kesalahanku, sebagian lagi bukan. Kuharap aku bisa mengubah
beberapa hal, tetapi aku tahu ibuku benar. Pada akhirnya aku sudah
melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kesalahan yang kubuat.
Aku teringat pada semua tanda yang terdapat di balik leher ibuku, semua
pembunuhan yang dilakukannya. Tubuhku menggigil.
“Oh ya.” Aku tak sabar ingin mengubah topik pembicaraan, jadi aku merogoh
ke dalam saku lalu mengeluarkan liontin kecil berbentuk mata biru yang
diberikannya padaku. “Benda yang kauberikan padaku. Ini sebuah n-nazar.”
Aku tergagap saat mengucapkan namanya. Ibuku kelihatan kaget.
Aku menyentuh potongan kaca itu. “Timur Tengah… jadi, tempat seperti, em,
Turki?”
Bibir ibuku tiba-tiba tertekuk. “Tempat seperti Turki.” Ibuku ragu-ragu. “Benda
itu… hadiah. Hadiah yang kuterima sudah lama sekali….” Dia menerawang,
tenggelam dalam kenangan. “Aku mendapatkan banyak… perhatian dari lelaki
saat seumurmu. Perhatian yang pada awalnya terlihat menyanjung, tapi pada
akhirnya sama sekali tidak seperti itu. Kadang-kadang sulit untuk
membedakan mana yang benar-benar perhatian, mana yang hanya ingin
mencari kesempatan darimu. Tapi kalau kau merasakan cinta yang
sesungguhnya… yah, kau akan tahu.”
Saat itu aku baru mengerti mengapa ibuku berusaha keras melindungi
reputasiku―saat masih muda dulu reputasinya sendiri sempat terancam.
Mungkin lebih parah lagi.
Kami mengucapkan selamat tinggal, dan aku kembali ke kelas. Semua orang
tahu keberadaanku pagi ini, dan teman-teman novisku ingin melihat
tanda molnija-ku. Aku tidak menyalahkan mereka. Kalau keadaannya dibalik,
aku juga akan berbuat sama.
“Ayolah, Rose,” Shane Reyes memohon. Kami sedang berjalan keluar dari
kelas latihan pagi, dan dia terus-menerus berusaha menggeser kucir
rambutku. Dalam hati aku membuat catatan untuk menggerai rambutku
besok. Beberapa orang lainnya mengikuti kami dan mengulangi permintaan
Shane.
“Yeah, ayolah. Biarkan kami melihat apa yang kaudapatkan untuk gelar
barumu!”
Mata mereka berbinar oleh rasa penasaran dan semangat. Aku adalah sang
pahlawan, teman sekelas mereka yang berhasil memenggal kepala pemimpin
kelompok Strigoi yang meneror kami selama liburan. Namun, mataku
berserobok dengan seseorang yang berdiri paling belakang, seseorang yang
tidak kelihatan penasaran ataupun semangat. Eddie. Saat menatapku, Eddie
tersenyum sedih. Dia mengerti.
Pelajaran hari itu terasa cepat berlalu, tahu-tahu aku sedang berjalan bersama
Lissa menuju asramaku. Aku dan Lissa belum mendapat kesempatan
mengobrol sejak semua kejadian di Spokane. Aku harus menjawab banyak
pertanyaan, lalu pemakaman Mason. Lissa juga sibuk dengan urusannya
sendiri dengan kepergian para bangsawan dari kampus, jadi waktu luangnya
juga tidak lebih banyak dariku.
Berada di dekat Lissa membuatku merasa lebih baik. Meski aku bisa
memasuki pikiran Lissa kapan saja, rasanya tetap tidak sama dengan
sungguh-sungguh berada di dekat manusia lain yang memang peduli padamu.
Saat kami tiba di depan pintu kamarku, aku melihat sebuah buket
bunga freesia yang diletakkan di lantai. Aku mendesah, lalu mengambil bunga
berbau harum itu tanpa melihat kartu yang menempel di sana.
“Dari Adrian,” jawabku. Kami masuk ke kamar, dan aku menuding meja tempat
beberapa buket lainnya disimpan. Aku meletakkan bunga freesia di samping
buket lainnya. “Aku akan sangat lega saat dia meninggalkan kampus. Kurasa
aku tak sanggup menghadapinya lagi.”
Lissa berbalik lalu menatapku dengan kaget. “Oh. Em, kau belum tahu ya?”
Aku mendapatkan peringatan melalui ikatan batin kami bahwa aku takkan
suka mendengar berita yang sebentar lagi akan disampaikan Lissa.
“Tahu apa?”
“Uh, Adrian tidak akan meninggalkan kampus. Dia akan tinggal di sini untuk
sementara.”
Aku melongo.
“Seharusnya aku tahu lebih awal,” kataku geli. “Ada sesuatu yang berbeda
saat berada di dekatnya… Aku selalu ingin mengobrol dengannya, kau tahu?
Dia memiliki… karisma tertentu. Sama sepertimu. Kurasa semua itu
berhubungan dengan roh dan kompulsi, atau entah apa lagi. Semua itu
membuatku menyukainya… meski aku tidak menyukainya.”
“Tidak,” jawabku mantap. “Dan aku juga tidak suka dengan mimpi-mimpi itu.”
Mata hijau giok Lissa melebar takjub. “Itu kan keren,” katanya. “Kau selalu
tahu apa yang sedang terjadi padaku, tapi aku tak pernah bisa berkomunikasi
denganmu. Aku senang kalian berhasil meloloskan diri… tapi kuharap aku
sudah tahu soal mimpi ini supaya bisa membantu menemukan kalian.”
Senyum indah membuat wajah Lissa berbinar. “Aku tahu. Itu membuatku
berpikir bahwa suatu hari nanti aku masih bisa menggunakan sihir.”
Melihat Lissa sebahagia ini membuatku tersenyum juga. Aku sama sekali
tidak suka saat melihat perasaan kelam itu kembali, dan sekarang aku lega
saat melihatnya lenyap. Aku tidak mengerti bagaimana atau mengapa semua
itu bisa terjadi, tetapi selama Lissa merasa baik-baik saja―
Semua orang dikelilingi cahaya, kecuali dirimu. Kau memiliki bayangan. Kau
mendapatkannya dari Lissa.
Tidak, batinku. Sama sekali tidak ada kesamaan. Perasaan kelam yang
dirasakan Lissa disebabkan oleh sihir. Sedangkan yang kurasakan akibat
stres. Lagi pula, sekarang aku merasa baik-baik saja.
“Tahu apa?”
“Benarkah? Tapi dia bilang―” erangku. “Tentu saja dia mengobati dirinya
sendiri. Dengan rokok. Dengan minuman keras. Entah dengan apa lagi, hanya
Tuhan yang tahu.”
Lissa mengangguk. “Yap. Dia selalu memasukkan sesuatu ke dalam
tubuhnya.”
“Tapi mungkin malam itu dia tidak melakukannya… karena itulah dia bisa
menyelinap ke dalam mimpiku.”
“Mungkin kau akan mempelajarinya suatu hari nanti. Tapi jangan berubah
menjadi pecandu alkohol saat kau sedang berusaha melakukannya.”
Aku tersenyum dan menyentuh tangan Lissa. Aku benar-benar yakin dia bisa
melakukannya. “Aku tahu.”
Kami mengobrol sampai malam. Saat tiba waktunya latihan rutinku bersama
Dimitri, aku berpisah dengan Lissa. Saat berjalan menjauh, aku memikirkan
sesuatu yang mengangguku selama ini. Meski kelompok Strigoi yang
melakukan serangan itu memiliki lebih banyak anggota, para pengawal yakin
Isaiah-lah pemimpin mereka. Bukan berarti di masa yang akan datang tidak
ada ancaman lain, tetapi mereka menduga para Strigoi ini membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk berkomplot lagi.
Tetapi aku tak bisa berhenti memikirkan daftar yang kulihat di terowongan
Spokane, daftar berisi nama-nama keluarga bangsawan sesuai jumlahnya.
Dan Isaiah pernah menyebut nama Dragomir. Dia tahu bahwa keluarga itu
hampir punah, dan kedengarannya dia senang sekali jika bisa menjadi orang
yang menghabisi mereka. Memang, sekarang dia sudah mati… tetapi apakah
di luar sana ada Strigoi lain yang berpikiran sama dengannya?
Aku menggeleng. Aku tidak bisa mengkhawatirkan soal itu. Tidak sekarang.
Aku masih harus memulihkan diri. Namun, aku pasti akan segera
menghadapinya.
Aku bahkan tidak yakin latihan kami masih dilakukan atau tidak, tetapi aku
tetap pergi ke ruang loker. Setelah berganti dengan pakaian olahraga, aku
menuju gedung olahraga dan menemukan Dimitri di ruang penyimpanan. Dia
sedang membaca novel Western kesukaannya. Dimitri mendongak saat aku
masuk. Aku jarang bertemu dengannya beberapa hari terakhir ini, dan
menduga dia sedang sibuk bersama Tasha.
“Sudah kuduga kau akan datang,” kata Dimitri sambil meletakkan pembatas
buku di antara dua halaman.
“Saatnya latihan.”
Dimitri menggeleng. “Tidak. Hari ini tak ada latihan. Kau masih harus
memulihkan diri.”
“Aku memiliki catatan kesehatan yang bersih. Aku siap berlatih.” Sebisa
mungkin aku mengatakannya dengan gaya nekat khas Rose Hathaway.
“Putus asa… sedih. Kau memang masih hidup, tapi jika melihat
penampilanmu… kusangka kau takkan pulih lagi. Dan aku merasa terpukul
saat memikirkan semua itu terjadi padamu dalam usia semuda ini.” Dimitri
meremas tanganku. “Kau pasti akan pulih―aku tahu itu, dan aku lega
karenanya. Tapi kau belum mencapai titik itu. Belum. Kehilangan orang yang
kausayangi memang tidak pernah mudah.”
Tatapanku beralih dari mata Dimitri dan menekuni lantai. “Ini salahku,” kataku
pelan.
“Hmm?”
“Mason. Terbunuh.”
Aku tidak perlu menatap wajah Dimitri untuk melihat perasaan sayang yang
terpancar darinya. “Oh, Roza. Tidak. Kau memang membuat beberapa
keputusan yang salah… seharusnya kau memberitahu orang lain saat Mason
menghilang… tapi kau tak boleh menyalahkan diri sendiri. Kau tidak
membunuh Mason.”
Air mataku sudah tergenang saat aku mendongak lagi. “Bisa dibilang aku
membunuhnya. Alasan Mason pergi ke tempat itu―itu salahku. Kami
bertengkar… dan aku memberitahunya soal Spokane, meski kau sudah
menyuruhku merahasiakannya….”
Sebutir air mata menetes dari sudut mataku. Aku sungguh-sungguh harus
belajar menghentikannya. Seperti yang dilakukan ibuku, Dimitri mengusap air
mata dari pipiku dengan lembut.
“Kau tak boleh menyalahkan diri,” kata Dimitri. “Kau boleh menyesali
keputusanmu dan berharap melakukan semuanya dengan cara berbeda, tapi
pada akhirnya, Mason sendiri yang memutuskan. Itu pilihannya. Pada akhirnya
itu keputusan Mason, apa pun peran awalmu.” Saat Mason kembali untuk
menyelamatkanku, aku tersadar, dia sudah membiarkan dirinya dipengaruhi
perasaannya padaku. Itulah yang selama ini selalu dikhawatirkan oleh Dimitri.
Dia selalu khawatir jika kami memiliki hubungan semacam itu, hal itu akan
menyebabkan kami―dan Moroi mana pun yang kami lindungi―berada dalam
bahaya.
Aku menahan air mata, menarik tanganku dari genggaman Dimitri, lalu berdiri
sebelum mengatakan sesuatu yang bodoh.
“Sebaiknya aku pergi,” kataku serak. “Kabari aku kalau kau ingin memulai
latihannya lagi. Dan terima kasih untuk… obrolannya.”
Dimitri menatapku, dan ada sesuatu yang terasa hangat, mengagumkan, dan
sangat kuat yang terpancar di antara kami.
Sisa-sisa senyum melintasi wajah Dimitri. “Ya, memang. Sekarang pun masih.
Dan karena itulah aku terpaksa menolaknya. Aku tidak bisa membalas
perasaannya… tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya. Tidak di saat…”
Dimitri maju beberapa langkah untuk menghampiriku. “Tidak di saat hatiku
ada di tempat lain.”
Aku hampir menangis lagi. “Tapi kelihatannya kau sangat menyukai Tasha.
Dan kau sering mengatakan betapa tidak dewasanya sikapku.”
Dimitri mengangkat bahu. “Soal mereka tahu atau tidak, sama sekali bukan
masalah. Yang menjadi masalah adalah saat ada seseorang―yaitu kau―yang
mengenalku sebaik itu. Rasanya sulit saat ada orang yang bisa melihat ke
dalam jiwamu. Hal itu memaksamu untuk terbuka. Rapuh. Jauh lebih mudah
untuk menghabiskan waktu bersama orang yang lebih tepat dikatakan
sebagai teman dekat.”
“Seperti Tasha.”
“Tasha Ozera wanita yang mengagumkan. Dia cantik dan pemberani. Tapi dia
tidak―”
“Dia tidak memahami dirimu,” aku menyelesaikan ucapannya.
Dimitri mengangguk. “Aku tahu itu. Tapi aku masih ingin menjalin hubungan.
Aku tahu menjalin hubungan dengan Tasha mudah untuk dilakukan, dan dia
bisa menjauhkanku darimu. Kupikir dia bisa membuatku melupakanmu.”
Aku juga berpikir seperti itu mengenai Mason. “Tapi dia tidak bisa
melakukannya.”
“Ya.”
“Ya.”
“Tapi yang paling utama adalah karena kita akan menjadi pengawal Lissa, dan
harus memusatkan perhatian padanya―bukan satu sama lain.”
“Ya.”
Seraya berdiri di ambang pintu, Dimitri menoleh padaku dan tersenyum. “Ya.
Sangat banyak.”
Neng Wulan
\=D/ɑ̤̥̈̊Şε̲
̲ ǝǝǝє̲є̲к̲к̣ d'lanjut,, makasih bnyk yha min (ˆˆںʃƪ)
Ningsih Wati
Maricha Valencia
Huft .. Novel ini emang keren dan bikin perasaanku campur aduk
Isnasyaif
Hanji Zoe
Rizky Handayani
Min.. Ngaret jga gag papa min,, asal d lnjut aj.. Oiya min cara mesen buku VA ke 3 scara online
gmana?
Yulia Nurjanah
pu2s sudh hrapan ku bca novel ke 3 dsni #krn q tau itu mustahal y min, secra buku y tebel pke bgt
coba di bukabuku.com
berapa ratus??? #jgn bilang ratusan y ntr jdi ky iklan tanggo wkwkwk .. min kau beli bku k 3 hrg
berapa?
Vina Maulida R
min ini udah ada DVD nya blum ya ??
Devina Ferling
min thank you yaaa, btw aku udh berburu di dunia maya nyari ebook nya (heheu gamau rugi yah) dan
udah dapet VA 3 sampe 5 dan itupun ebooknya yg ga full khususnya yg berbahasa Indonesia,klo yg
bahasa Inggris sih lengkap. Jadi agak aneh jg sih setengah buku baca yg bhs Indo, sisanya buka
ebook yg bhs Inggris, dan ceritanya makin gila bikin ketagihan hehe. Well, untuk yg frostbite itu
susahhhh bgt nyari ebooknya, jd postingan mimin amat sgt berguna bgt, skali lg makasih ya miiin :D
*yg mau ebooknya bs message-in email kalian ke aku ya,ntar aku share filenya.
Vally
Devina Ferling
Cek email ya :D
Rizqi Ika Fitriana
aku jg ya..
rizqi.ika.fitriana@gmail.com
Anasthasya Ayoenda
minta filenya jg ya ..
anastayoenda@gmail.com.. Thanks ya
Devina Ferling
silahkan cek email :)
Kanekhan Syah
Aq mau juga
Sdeietcha@yahoo.com
Lusiana Gusfi
Devina Ferling
untuk yang emialnya gogoncumin@yahoo.co.id kok failed mulu ya, ada email lain kah?
Siti Fachriah
Aku jg dong
siti_fachriah@yahoo.co.id
makasih :)
Imelda Lukitasari
Aq mau dong Lukitasarii@gmail.com. Teng Kyu
Devina Ferling
Maaf baru baca, udah aku email barusan ya, silahkan di cek :)
Allail Muhawwi
Erna Watie
Fiuhh akhirnya selesai jg bca dri VA 1 ampe VA 2, hehe maaf ya min baru komen :D Thanks a lot buat
mimin yg udah ngepost ini semua, kalo bisa request VA 3'a jg ya min wkw tp ktanya tebel ya,
yasudahlah gpp, makasih mimin ^^
Fida Nisa
aku juga mau dong ka, maaf juga ya ikutan nimbrung hehe :P
emailku saripnita@gmail.com
Devina Ferling
Devina Ferling
Khusus fidanisa78@yahoo.co.id, ada email yg lain?2x aku send failed terus nih :)
Elza Juliani
Kakak, aku jg mauu dong e-booknya :) kirim ya di felicia_elza@yahoo.com ᵗʰᵃᶰᵏᵧₒᵤ (•̪ ▿ •̪)~♥
Devina Ferling
cek email ya :)
kak devina aku juga mau dong ebooknya. ini emailku amrihrahayuni@rocketmail.com :)
Vera Intani Dewi
Eva Wati
Choirunnisa Prisanti
devina, aku mau ebook nya dong kirim ke email icha.prisanti@yahoo.com makasi yaa sebelumnya :)
Risa Soraya
aku juga mw donk seluruh file nya VA,, tlg yah kak ke risa.soraya89@gmail.com,,mksh
Cahyaningsih
Maaf telat
Tp aq 5sih blh mnta VA'nya gak kak
nie email qu
cahyaningsih60@yahoo.Com
Sebelumnya terima kasih
Indri Andiniarti
salam kenal devina, aku juga mau dong ebooknya, minta tolong kirim ke sherrynoconan@yahoo.com
ya...terima kasih
Sella Meilina
salam kenal kak devina . boleh ga aku minta ebooknya VA yg 3 . kalo boleh kirim ke email aku yang ini
sella.meilina@gmail.com . makasih sebelumnyaaa :)
Anis Novitasari
Kak devina aku juga mau dong ebooknya pliiisss. email ke sherinamevianshaa@yahoo.com makasih
kaakk :)
Apriel Q
hai Devina salam kenal maaf telat bnget boleh mnta ebooknya VA3nya yaa ini emailku
aprielq@yahoo.co.id makasih....
Devina Ferling
waaah banyak bgt ternyata yg mau di email yaa, maafkan baru baca skrg, yg message lgsg jg
banyaaak. Insyaallah bsk diemail ya :D
Khoirotun Nikmah
hallo devina... wah ini bnyak yg minta... aku juga mint yaaa... meskipun telat,, hehe
email ku ikanurafiyah29@gmail.com
Schaar
Thanks :)
Devina Ferling
udah aku email semua ya teman-teman, bagi yg blm nerima tlg email ulang. Makasih :)
Hanny Eva
Salam kenal devina :)mau ebooknya juga ya, minta tolong kirimin ke hannyeva2011@gmail.com
Makasih :D
Devina Ferling
Devina Ferling
Aritatus Syamsiyah
hai devina, salam kenal ya. aku kuga minta ya ebook nya VA. Citrariskaasri@gmail.com makasih :)
Rizky Handayani
Astii Asti
Astikurnia2.aa@gmail.com
Suci
hei aku pngen ebooknya jg dong... punya yg frostbite jg ga? kl boleh tlg kirim ke
ilovemyself089@gmail.com ya. thanks so much ya....
Reza Mevia
ka aku mau juga dong VA 3-6 klau bleh, ni kak emailnya rezartameviaj@gmail.com
Asry Lestari
hey aku jga mau dong, ini email aku asrylestari9@gmail.com mkasih yaaah
Haniyyah Muthmainnah
kak Devina aku juga mau dong, tolong ya kak kirim ke email haniyyah.14@gmail.com pleaseee
Devina Ferling
Clarissa Euranike
Mbak masih bisa minta ebooknya gk? Kalau masih bisa minta tolong dikirim ke
clarissaeuranike@gmail.com makasih ya mbak.
Desi Dedes
Min mau lanjutannya donk. Penah baca pdf nya si tapi cuma setengah. Btw, novel nya keren tp film
nya jelek. Kaku banget. Thnks min
Write a comment...