Anda di halaman 1dari 268

~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

TOLERANSI DAN KERJASAMA


UMAT BERAGAMA
DI WILAYAH SUMATERA

Penulis
~ Ismail ~ M. Agus Noorbani ~ Daniel Rabitha ~ Hj. Marpuah ~
Rudy Harisyah Alam ~

Editor
~ Ismail ~

LITBANGDIKLAT PRESS
2020

~i~
TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH INDONESIA
Hak Cipta@Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2020

Penulis:
Ismail ~ M. Agus Noorbani ~ Daniel Rabitha ~ Hj. Marpuah ~
Rudy Harisyah Alam ~

Editor:
Ismail

Cetakan I, November 2020


15 x 23 cm, x + 258 hlm
ISBN: 978-623-6925-05-8

Penerbit:
LITBANGDIKLAT PRESS
Jln. MH. Thamrin No. 6 Lantai 17
Jakarta Pusat, 10340
Telp. : +62-21-3920688
Faks. : +62-21-3920688
Website : www.balitbangdiklat.kemenag.go.id
Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan


dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

~ ii ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI LITBANG AGAMA JAKARTA

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang


telah memberikan karunia-Nya kepada kita, sehingga dengan
limpahan karunianya tersebut, Balai Litbang Agama Jakarta
berhasil memproduksi beberapa kegiatan kelitbangan baik
berupa penelitian maupun pengembangan dalam bentuk
buku, panduan, modul dan lainnya.
Tahun 2018, Balai Litbang Agama Jakarta menginisiasi
penelitian dengan tema “Toleransi dan Kerjasama Umat
Beragama di Wilayah Heterogen”. Riset ini bertujuan
menemukan daerah-daerah heterogen namun mempunyai
hubungan antarumat beragama yang kuat. Penelitian ini
mengambil lokasi di wilayah Jawa Barat dengan reasoning
bahwa wilayah ini sangat tinggi dinamika antarumat-umat
beragamanya.
Hasil penelitian tersebut menemukan beberapa daerah
yang sangat rukun kehidupan antarumat beragamanya.
Daerah tersebut di antaranya; 1) Desa Pabuaran, Kecamatan
Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, 2) Kampung Panggulan,
Kelurahan Pengasinan, Kota Depok, 3) Kampung Sawah,
Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, 4) Desa Kertajaya,
Kecamatan Pabayuran, Kabupaten Bekasi, 5) Kelurahan
Karangmekar, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi
dan 6) Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten
Kuningan. Kerukunan antarumat beragama yang terjalin di
beberapa wilayah tersebut terbentuk secara alami. Ikatan

~ iii ~
~ KATA PENGANTAR ~

kewargaan (civic ties), modal sosial bahkan latar belakang


sejarah menjadi faktor penting eratnya hubungan antarumat
beragama di wilayah tersebut.
Pada tahun 2019, Balai Litbang Agama Jakarta kembali
melakukan riset dengan tema yang sama namun mengambil
lokasi di wilayah Sumatera, yaitu: Aceh, Sumatera Selatan,
Jambi, Lampung dan Sumatera Utara. Hasil riset di beberapa
wilayah yang tersaji dalam beberapa bagian dalam buku ini
menemukan bahwa hubungan antarumat beragama terjalin
dengan harmonis dan tidak pernah sekalipun terjadi konflik
antarumat beragama di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan
oleh ikatan kekerabatan, modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat sangat kuat, sehingga dapat meminimalisir
potensi konflik yang akan terjadi di wilayah mereka.
Renstra Kementerian Agama tahun 2015-2019
mengamanatkan peningkatan kualitas kerukunan umat
beragama dalam pembangunan bidang agama. Kementerian
agama menyadari bahwa banyak sekali sistem tradisi dan
kearifan lokal (local wisdom) yang tumbuh secara alami di
masyarakat Indonesia. Temuan para peneliti dalam risetnya
menguatkan argumentasi tersebut bahwa kerukunan umat
beragama sudah menjadi warisan nenek moyang pada saat
Indonesia ini menjadi satu kesatuan dalam berbagi bentuk
sistem pemerintahan. Sejak zaman kerajaan sampai sistem
presidential, masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi
perbedaan, bahkan merawatnya dalam bentuk modal sosial
misalnya.
Di tengah dinamika aktivitas kegamaan yang akhir-
akhir menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh para sarjana
dan akademisi, masyarakat Indonesia di beberapa wilayah
mempunyai caranya sendiri untuk merawat perbedaan
tersebut dan faktanya isu-isu yang dapat memecah belah
hubungan antarumat beragama di wilayah tersebut tidak

~ iv ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dapat mengganggu hubungan antarumat beragama yang


sudah terjalin puluhan tahun sebelum republik ini terbentuk.
Kami berharap hasil penelitian ini bisa menjadi entry
point bagi pemangku kebijakan di pusat pemerintahan
maupun pemerintah daerah dalam meciptakan harmonisasi
kehidupan antarumat beragama di wilayahnya melalui model
kampung, desa/kelurahan, kecamatan yang peneliti temui
pada saat di lapangan.
Terakhir, izinkan kami mengucapkan terima kasih
kepada para peneliti Balai Litbang Agama Jakarta yang telah
menemukan kearifan lokal yang masih dirawat dan dipelihara
denga baik oleh sebagian masyarakat Indonesia dan kepada
para pihak yang sudah membantu kelancaran riset ini, bahkan
sampai terbitnya buku bunga rampai hasil penelitian yang
sudah tersaji di hadapan pembaca.

Jakarta, November 2020

Dr. Nurudin, M.Si

~v~
~ KATA PENGANTAR ~

~ vi ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

SEKAPUR SIRIH

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menganugerahkan


karunia-Nya, sehingga buku kumpulan hasil penelitian
tentang “Toleransi dan Kerjasama Antarumat Beragama di
Wilayah Sumatera” ini dapat terwujud dengan baik dan dapat
dinikmati oleh para pembaca.
Buku ini merupakan hasil penelitian para peneliti bidang
kehidupan keagamaan di Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta di wilayah Sumatera. Tema yang diangkat
adalah “Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama” yang
selalu menjadi perbincangan yang menarik untuk terus dikaji.
Toleransi dan kerjasama umat beragama ini merupakan
salah dua dari indikator kerukunan umat beragama, selain
kesetaraan.
Sumatera merupakan daerah dengan etnis, budaya
dan karakteristik yang berbeda dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu) juga mempunyai basis penganut
yang banyak di beberapa wilayah di Sumatera. Hindu, Buddha
dan Khonghucu sudah sejak awal menempati beberapa wilayah
di Sumatera. Hal tersebut terlihat dari sisa-sisa kerajaan,
prasasti, candi, rumah ibadat dan lainnya. Kemudian agama
Islam, Kristen, dan Katolik masuk ke wilayah Sumatera
melalui para saudagar hingga penjajah.
Walaupun belum banyak diketahui oleh khalayak, daerah-
daerah yang majemuk, dengan berbagai etnis, budaya bahkan
agama, banyak terdapat di wilayah sumatera. Daerah-daerah

~ vii ~
~ SEKAPUR SIRIH ~

itu tersebar di desa-desa, kecamatan di wilayah Sumatera.


Masyarakatnya hidup rukun sampai saat ini tanpa terpengaruh
dengan konflik sosial atau konflik yang bernuansa agama yang
terjadi di beberapa tempat di wilayah Indonesia.
Buku ini sangat layak dibaca dan menjadi bahan referensi
bagi para akademisi, penggiat dan praktisi kerukunan
maupun bagi pemerintah daerah atau masyarakat yang ingin
mengembangkan daerahnya menjadi wilayah yang rukun
antarumat beragama. Selamat membaca!!!

Jakarta, November 2020


Editor

Ismail

~ viii ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ----- iii


SEKAPUR SIRIH ----- vii
DAFTAR ISI ----- ix

BAGIAN SATU:
Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama
di Desa Lubuk Seberuk, Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan ----- 1 - 38
Ismail

BAGIAN DUA:
Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama
di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat,
Jambi ----- 39 - 76
M. Agus Noorbani

BAGIAN TIGA:
Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama
pada Masyarakat Desa Rawa Selapan
Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan ----- 77 - 110
Daniel Rabitha

BAGIAN EMPAT:
Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama
pada Masyarakat Gampong Mulia
Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh ----- 111 - 216
Marpuah

~ ix ~
~ DAFTAR ISI ~

BAGIAN LIMA:
Toleransi dan Kerjasama Umat Bearagama
pada Masyarakat Sipirok, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara ----- 215 - 260
Rudy Harisyah Alam

~x~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

BAGIAN SATU

~1~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~2~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama


di Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya,
OKI, Sumatera Selatan
------------------------------------ Ismail ------------------------------------

Pendahuluan
Tema toleransi dan kerjasama antarumat beragama
merupakan tema yang selalu menarik untuk dikaji oleh para
sarjana maupun akademisi, karena toleransi dan kerjasama
merupakan dua dari tiga indikator kerukunan. Sedangkan
kesetaraan adalah indikator ketiga dalam menganalisis
kerukunan umat beragama.
Konsep toleransi relatif baru dalam sejarah umat beragama,
bahkan sering menjadi bahan perdebatan di kalangan umat
beragama. Tuntutan terhadap toleransi beragama terkadang
bukan berasal dari pertimbangan-pertimbangan teologis
atau religius, namun tuntutan yang dikedepankan ketika
keseluruhan struktur masyarakat berada dalam situasi kritis,
kemudian berbagai teori dikembangkan untuk membangun
masyarakat yang baru dan modern serta meninggalkan sistem
sosial lama yang tradisional (Schumann, 2006, 42).
Gagasan terkait dengan toleransi mulai mengemuka
di Eropa dalam abad ke 16. Perderitaan akibat dari perang-
perang agama, munculnya humanisme dan sekulerisasi dari
negara-negara modern menjadi pemicunya. Tokoh seperti J.
Denks dan S. Franck memunculkan padangan tentang gereja
universal dan agama tanpa dogma. Ide tersebut terus memicu
perjuangan kebebasan berpendapat, sehingga pengakuan
terhadap toleransi berlanjut hingga abad ke 17, sebagaimana

~3~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

terjadi di Republik Belanda Utara. Kemudian diikuti Inggris


dengan Toleration Act (1689), Perancis dengan Declaration
des droits de I’homme et du citoyen (1789) dan Jerman
(Yewangoe, 82).
Toleransi sering kali dikaitkan dengan kebebasan
berkeyakinan dan beragama (KBB), walaupun kajian KBB
cenderung pada isu-isu konflik umat beragama. Dalam
catatan beberapa lembaga non pemerintah (NGO), kebebasan
beragama di Indonesia mengalami pasang surut. Laporan
Tahunan Kebebasan Beragama oleh The Wahid Institute
mencatat bahwa pada tahun 2009 terjadi 121 pelanggaran,
184 palanggaran (2010), 267 pelanggaran (2011) dan
tahun 2012 tercatat 278 kasus pelanggaran dengan 363
tindakan. Sepanjang Januari-Desember tahun 2013, jumlah
pelanggaran sebanyak 245 kasus dengan 278 tindakan
(intimidasi, penyesatan, pelarangan hingga serangan fisik)
(Dja’far, 2018, 14).
Laporan SETARA Institute tahun 2017 meninggalkan
catatan terkait dengan pelanggaran terhadap kebebasan
beragama/berkeyakinan (KBB). Pelanggaran terhadap KBB
paling banyak menimpa warga (yaitu dalam 28 peristiwa)
dan individu (27). Umat Islam menjadi korban dalam tujuh
(7) peristiwa. Sedangkan mahasiswi, ulama, dan umat Katolik
masing-masing menjadi korban dalam lima (5) peristiwa.
Pada pertengahan tahun 2018, terjadi 109 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB)
dengan 136 tindakan. Peristiwa pelanggaran KBB tersebar
di 20 provinsi (SETARA Institute, Laporan Tengah Tahun
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas
Keagamaan di Indonesia tahun 2018.1
1
Sebagian besar peristiwa pelanggaran terjadi di DKI Jakarta, yaitu
dengan 23 peristiwa. Hingga pertengahan tahun 2018, di Jawa Barat
“hanya” terjadi 19 pelanggaran yang menempatkan Jawa Barat di posisi
kedua setelah DKI Jakarta. Jawa Timur berada di peringkat ketiga dengan
15 pelanggaran. Di posisi keempat ada DI Yogyakarta. Aktor-aktor negara

~4~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pada saat yang sama, daerah-daerah yang dianggap paling


rendah tingkat toleransinya, seperti Jakarta dan Yogyakarta,
justru dalam penilaian indeks demokrasi di Indonesia
menempati daerah yang paling tinggi Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI). Pada 2018 lalu, Badan Pusat Statistik
(BPS) merilis laporan yang menunjukkan bahwa IDI tingkat
nasional tahun 2017 mengalami peningkatan dibandingkan
dengan tahun 2016. IDI mengukur demokrasi di setiap
provinsi di Indonesia berdasarkan pada tiga aspek utama,
yaitu kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi.
Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir secara
konsisten menempati peringkat teratas dalam IDI. Namun,
pada 2017, Yogyakarta menempati peringkat keenam
terendah dalam indeks toleransi. Centre for Religious and
Cross-cultural Studies (CRCS) atau Program Studi Agama
dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada mengidentifikasi
sekitar 66 kejadian kekerasan bernuansa identitas terjadi di
Yogyakarta selama kurun waktu 2011 hingga 2016. Setelah
itu, muncul kasus baru seperti perusakan terhadap 11 nisan

yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian, dengan 14


tindakan. Aktor negara lainnya yang juga melakukan tindakan pelanggaran
dengan angka yang tinggi adalah Pemerintah Daerah dengan 12tindakan.
Melengkapi tiga besar aktor negara yaitu institusi pendidikan dengan lima
(5) tindakan. Selain oleh aktor negara, 96 tindakan lainnya dilakukan
oleh aktor non negara. Pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini
adalah individu warga maupun individu-individu yang tergabung dalam
organisasi masyarakat.Tindakan yang paling banyak dilakukan oleh aktor
non negara adalah intoleransi yaitu 12 tindakan. Tindakan lainnya yang
juga banyak dilakukan oleh aktor non negara adalah pelaporan penodaan
agama sebanyak 10 tindakan. Teror dilakukan sebanyak sembilan (9) kali,
kekerasan delapan (8) kali dan ujaran kebencian sebanyak tujuh (7) kali.
Aktor non negara yang melakukan pelanggaran dengan angka tertinggi
adalah individu, dengan 25 tindakan. Aktor non negara yang paling
banyak melakukan pelanggaran KBB menyusul individu adalah kelompok
warga, MUI dan orang tak dikenal (masing-masing 9 tindakan), FUI (4
tindakan), dan FJI, MMI, dan gabungan Ormas(masing-masing3tindakan).
http://setara-institute.org/laporan-tengah-tahun-kondisi-kebebasan-
beragamaber keyakinandan-minoritas-keagamaan-di-indonesia-2018/.
Diakses pada 27 Juni 2019).

~5~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

berbentuk salib di pemakaman di Yogyakarta.2 Salah satu


desa di Bantul juga belakangan diketahui tidak mengizinkan
seseorang yang beragama selain Islam bertempat tinggal di
desa tersebut (ALMI, Jakarta dan Yogyakarta Demokratis tapi
Intoleran: Mengapa Bisa Terjadi di Indonesia (https://almi.
or.id/2019/05/08/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-
intoleranmengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia/. Diakses
pada 28 Juni 2019).
Lemahnya toleransi tidak lepas dari kurangnya
pemahaman terhadap keyakinan lain, keringnya spritualitas
agama dan kurangnya interaksi. Sosialisasi dan dialog
antarumat beragama (Nafi, 2018, 120). Namun, statement
itu harus diuji kebenarannya. Kementerian Agama RI
menginisisasi kegiatan Survei Kerukunan Umat Beragama
(KUB), yang diselenggarakan oleh Puslitbang Bimas
Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI.
Survei pertama tahun 2009 dilakukan di Provinsi
Jawa Barat (26 kabupaten). Survei tersebut menghasilkan
gambaran toleransi yang cukup baik di masing-masing
kabupaten. Survei kembali diselenggarakan pada tahun 2012,
dengan sample dan responden di 33 provinsi di Indonesia.
Hasilnya memperlihatkan indeks kerukunan antarumat
beragama cukup baik dengan rata-rata 3,67.
Tahun 2015, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan
Keagamaan kembali melakukan survei indeks KUB
2
CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan
ANBTI, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di
Gunungkidul Yogyakarta, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan
Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta
di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan
penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan
acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul
yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan
pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening (https://crcs.
ugm.ac.id/id/berita/8264/intoleransi-di-kota-toleranyogyakarta.html.
Diakses pada 28 Juni 2019).

~6~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dengan perbaikan sampling dan responden (perkotaan)


serta menggunakan indikator toleransi, kerjasama damn
kesetaraan. Hasilnya cukup signifikan dengan capaian indeks
KUB 75,36 poin. Pada tahun-tahun selanjutnya, responden
diperluas sampai pedesaan dan dianalisis menggunakan
statistik deskriptif dan inferensial. Indeks KUB berada pada
angka 75,47 (2016), 72,27 (2017) dan 70,90 (2018).
Survei indeks KUB tahun 2018 menghasilkan, lima (5)
provinsi yang mempunyai skor di atas rata-rata antara lain:
Nusa Tenggara Timur (78,9), Sulawesi Utara (76,3), Papua
Barat (76,2), Bali (75,4) dan Sulawesi Barat (74,9). Sedangkan
5 provinsi yang mempunyai skor di bawah rata-rata nasional
adalah Banten (65,9), Jawa Barat (65,7), Jambi (65,3), Aceh
(64,1) dan Sumatera Barat (62,5).
Hasil survei indeks KUB tersebut mendapat komentar
yang beragam, ada yang setuju dan banyak juga yang menolak.
Provinsi Banten, Aceh dan Sumatera Barat misalnya, yang
basis Islamnya kuat ternyata dalam survei indeks KUB
menempati skor paling rendah diantara 34 provinsi lainnya
di seluruh Indonesia. Padahal menurut mereka, kondisi
kerukunan antarumat beragama di wilayah tersebut cukup
kondusif, walaupun beberapa kasus pernah terjadi terkait
dengan koflik antarumat beragama, namun dampaknya tidak
sampai pada konflik horizontal dan dapat diselesaikan secara
musyawarah.

Potret Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia oleh Lembaga Non


Pemerintah
(NGO) dan Kementerian Agama di atas seakan
menghasilkan wajah yang berbeda. The Wahid Institute,
SETARA Institute, CRCS dan lainnya secara detail mencatat
berbagai peristiwa dan jumlah pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan (KBB) di beberapa wilayah di
Indonesia. Sedangkan Kementerian Agama melalui puslitbang

~7~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Bimas Agama dan Layanan Keagamaan menghasilkan indikasi


kerukunan yang cukup harmonis di seluruh Indonesia. Dengan
menggunakan indikator toleransi, kesetaraan dan kerjasama,
survei tersebut menghasilkan angka rata-rata kerukunan yang
tinggi (6180) pada setiap provinsi di Indonesia.
Sejatinya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang plural dan multikultural. Perbedaan etnis dan budaya,
seperti; Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minang, Dayak dan
lainnya. (Nur Syam, 2009, 48-49), agama (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, buddha dan Konghucu)dan agama lokal
lainnya adalah hal yang biasa, sebagaimana semboyan bangsa
Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.
Beberapa contoh masyarakat yang heterogen, namun
dapat memelihara dan menjaga kerukunan antarumat
beragama diantaranya; (1) Masyarakat Hindu dan Islam di
Kampung Sindu Desa Keramas, Kecamatan Blahbatu, Gianyar
Bali, (2) Masyarakat Kota Kupang, (3) Warga Kampung
Peunayong, Kota Banda Aceh, (5) Penganut agama Islam
dan Kristen di Kelurahan Mata Air Kota Padang (6) Sunda
Wiwitan dan Muslim di Kampung Cireundeu, Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan (5 Wilayah ini jadi
Potret Kerukunan Umat Beragama di Indoensia (https://
news.okezone. com/read/2019/04/01/337/2037640/5-
wilayah-ini-jadi-potret-kerukunan-umat-beragama -di-
indonesia. Diakses pada 30 Juni 2019). Pusat Kerukunan
Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama juga melansir
beberapa desa/kelurahan di Indonesia Bagian Barat sebagai
“Desa Sadar Kerukunan”. Desa/kelurahan tersebut terlihat
pada tabel berikut.

~8~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tabel 1. Desa Sadar Kerukunan


Provinsi Lokasi Desa Sadar Kerukunan
Jawa Barat Desa Cimahi
Banten Belum terbentuk
Aceh Kuta Alam, Kota Banca Aceh
Sumatera Utara Tanjung Balai, Sipirok
Sumatera Barat Desa Lunang Silaut
Riau Kelurahan Gurun Panjang
Jambi Desa Singa Pinang
Sumatera Selatan Desa Mekar Sari, Kabupaten Ogan Ilir
Bengkulu Desa Rama Agung, Kabupaten Bengkulu Utara
Lampung Desa Ponco Kresno, Kabupaten Pesawaran
Bangka Belitung Desa Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah
Kepulauan Riau Desa Resun
DKI Jakarta Belum ada info
Sumber: Dokumen PKUB, 2017

Penetapan “Desa Sadar Kerukunan” tersebut adalah hasil


kesepakatan pemerintah daerah dengan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) setempat. Namun pengelolaan
desa sadar kerukunan ini sepenuhnya dilimpahkan kepeda
pemerintah daerah. Bahkan, seiring munculnya nama-nama
desa tersebut sebagai icon desa kerukunan, pemerintah daerah
beserta Kementerian Agama setempat juga memunculkan
desa-desa lainnya sebagai desa sadar kerukunan.
Tahun 2018, Balai Litbang Agama Jakarta telah melakukan
riset terkait dengan toleransi dan kerja sama umat beragama
di wilayah Jawa Barat. Lokus penelitiannya adalah desa/
kelurahan yang masyarakatnya heterogen, multireligi dan
hidup rukun antarumat beragama, yaitu: (1) Desa Pabuaran,
Kec. Gunung Sindur Kab. Bogor, (2) Kelurahan Pengasinan,
Kota Depok, (3) Desa Kertajaya, Kec. Pabayuran, Kab. Bekasi,
(4) Kampung Sawah, Kec. Pondok Melati, Kota Bekasi, (5)
Kelurahan Karang Mekar, Kec. Cimahi Tengah, Kota Cimahi,
dan (6) Kelurahan Cigugur, Kec. Cigugur, Kab. Kuningan.

~9~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pada tahun 2019 ini, Balai Litbang Agama Jakarta


melanjutkan tema riset tentang toleransi dan kerja sama
antarumat beragama di wilayah sumetera. Penelitian ini akan
akan menyisir daerah-daerah yang potensial sebagai desa
model kerukunan dan selanjutnya akan menjadi prototipe
bagi daerah-daerah lain di wilayahnya masingmasing.
Karakteristik masyarakat Sumatera tentu berbeda di
bandingkan dengan masyarakat Jawa, Sulawesi, Kalimantan
dan lainnya. Hal tersebut di karenakan perbedaan adat,
bahasa, budaya dan lainnya. Namun faktor agama membentuk
ikatan emosional yang kuat walaupun berbeda asal daerah.
Persamaan dan perbedaan budaya dan agama dapat
memunculkan perdamaian namun bisa pula memunculkan
konflik.
Pada satu wilayah, damai dan konflik itu bisa terjadi pada
waktu yang bersamaan. Misal; pada saat konflik komunal di
Poso meletus, ternyata Desa Banuroja Kab. Pohuwato, Provinsi
Gorontalo, yang masyarakatnya majemuk, tidak berpengaruh
terhadap konflik tersebut, padahal secara geografis, wilayah
tersebut bertetanggaan dengan Kab. Poso, Provinsi Sulawesi
Tengah (Wahab, 2015, 53).
Tujuan riset ini untuk mengetahui kerukunan antarumat
beragama yang terjalin di Desa Lubuk Seberuk Kec. Lempuing
Jaya, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya dan
mengetahui strategi yang diterapkan antarumat beragama
dalam menjaga kerukunan di Desa Lubuk Seberuk Kec.
Lempuing Jaya
Penelitian ini merupakan studi kasus, dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan
dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan serta
studi kepustakaan dan dokumentasi. Wawancara diarahkan
kepada individu-individu yang terkait, namun secara holistik
(Steven J Bogdan dan Taylor, 1992, 32-33), dilakukan kepada
sejumlah informan terdiri dari: Pemerintah Daerah Provinsi,

~ 10 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pemerintah Kab/Kota, Kantor Wilayah Kemenag Provinsi,


Kemenag Kab/Kota, Kesbangpol Kab/Kota, Kecamatan dan
Kelurahan/Desa.
Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara ditandai
dengan jenis pertanyaan yang terkait dengan permasalahan
penelitian (Dedy Mulyana, 2002, 59-60). Sedangkan studi
kepustakaan dilakukan dengan menelaah buku-buku terkait
dengan permasalahan yang dikaji. Data yang dihasilkan
dikumpulkan kemudian diolah secara deskriptif analitik,
melalui tahapan: coding, editing, klasifikasi, komparasi,
kemudian interpretasi untuk memperoleh pengertian baru.
Dalam analisis, data dimaknai secara mendalam berdasarkan
perspektif emic, yaitu penafsiran data secara alamiah
sebagaimana adanya hasil interpretasi ini selanjutnya
dipergunakan sebagai bahan penyususnan laporan penelitian.
Karena penelitiannnya berupa studi kasus (case study)
maka laporannya penelitiannya berupa deskripsi atas suatu
kejadian atau situasi yang dikaji (Paul B.Horton, Chester L,
Hunt, 1999, 38).

Kerangka Konseptual
Toleransi
Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang, yaitu
menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat,
pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda
dengan pendirian sendiri.6 Adapun Toleransi sebagaimana
dimaknai oleh Margareth Sutton adalah kemampuan dan
kemauan seorang/individu dan masyarakat umum untuk
menghargai dan berhati-hati terhadap hak-hak orang
golongan kecil/minoritas dimana mereka hidup dalam
peraturan yang dirumuskan oleh mayoritas (Sutton, 53-60).7
Makna yang lain, menurut Davit Little, seorang dosen
di Practice of Religion, Etnicity and International Conflict,

~ 11 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

School of Divinity, Universitas Harvard mempunyai


arti: 1) menghormati pandangan orang lain, dan 2) tidak
menggunakan pemaksaan atau kekerasaan kepada orang
lain. Toleransi diartikan juga sebagai pemberian kebebasan
kepada sesama manusia atau kepada sesama warga
masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur
hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama
di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak
bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban
dan perdamaian dalam masyarakat (Hasyim, 1979, 22).
Toleransi antar agama adalah kesediaan seseorang untuk
menerima atau bahkan menghargai orang lain yang agamanya
berbeda atau bahkan yang tak disetujuinya sehingga orang
tersebut tetap punya hak yang sama sebagai warga negara
(Sulvivan, Pierson, dan Marcus 1982: 2).
Dari sejumlah makna toleransi yang dikonsepkan para
ahli tadi, dapat ditarik dua makna besar, yaitu: 1) menerima,
2) menghormati orang lain yang berbeda keyakinan/
kepercayaan dengan dirinya. Selanjutnya dari dua makna ini
dikembangkan lagi maknanya masing-masing, dan masing-
masing makna tersebut dijadikan sub indikator sebagai dasar
penarikan pertanyaan/kuesioner antara lain:
1. Menerima (penerimaan)
a. Memberi kesempatan berinteraksi pada orang yang
berbeda
b. Menciptakan kenyamanan
c. Tidak menggunakan kekuatan terhadap dan paksaan
terhadap kepercayaan dan praktek yang menyimpang
d. Penghargaan pada keragaman budaya
e. Mengenali sikap tidak toleran
2. Menghormati
a. Kesediaan untuk menghargai
b. Menghargai dan menghormati
c. Berhati-hati terhadap hak orang lain

~ 12 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kerjasama
Kerjasama adalah tindakan saling bahu membahu (to
take and give) dan sama-sama mengambil manfaat dari
eksistensi bersama kerjasama. Tindakan ini menggambarkan
keterlibatan aktif individu bergabung dengan pihak lain dan
memberikan empati dan simpati pada berbagai dimensi
kehidupan, seperti kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan
keagamaan. Pengertian lain adalah realitas hubungan sosial
dalam bentuk tindakan nyata. Misalnya, dalam tindakan
tolong menolong atau gotong royong antar kelompok agama.
Koentjaraningrat menjelaskan kerjasama dapat terwujud
karena adanya interaksi antara satuan-satuan yang aktif.
(Koentjaraningrat, dkk., 2003:79). Sedangkan Ashutosh
Varshney melihat kerjasama dalam bentuk hubungan ikatan--
inter-komunal—atau jaringan dan yang mengintegrasikan dua
pemeluk agama. Dalam hal ini Robert Putnamm menyebut
hubungan ini sebagai modal sosial yang menjembatani
(bridging); kemudian hubungan antarpemeluk di luar ikatan
atau organisasi yang beranggotakan seagama, adalah modal
sosial yang mengikat (bonding). Selanjutnya Varshney11
membagi jaringan menjadi dua bentuk: a) asosiasional,
yakni sebagai bentuk ikatan kewargaan ke dalam organisasi
bisnis, ikatan profesi, klub olah raga, dan serikat buruh; b)
quotidian, adalah hubungan keseharian yang terbentuk
ke dalam ikatan yang tidak membutuhkan organisasi, atau
berupa interaksi kehidupan yang sederhana dan rutin, seperti
saling kunjung atara keluarga yang berbeda agama, kegiatan
makan bersama, berpatisipasi bersama dalam upacara-
upacara hari kemerdekaan, mengizinkan anak-anak mereka
untuk bermain bersama di lingkungan. (lihat; Varshney,
2009).
Interaksi yang tersirat dalam konsep relasi (kerjasama)
dalam penelitian ini adalah ‘interaksi sosial’ (termasuk sosial
keagamaan), yaitu jaringan hubungan antara dua orang

~ 13 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

atau lebih atau antara dua golongan atau lebih yang menjadi
syarat bagi kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat,
dkk.,2003:90)13. Tindakan kerjasama menempati variabel
tertinggi dari kerukunan karena kerjasama bisa terwujud
manakala toleransi dan kesetaraan sudah berada pada kondisi
yang baik.
Diantara riset tentang toleransi antarumat beragama
adalah riset yang dilakukan oleh Yusuf Faisal Ali di Desa
Sindangjaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur.
Dosen program studi PPKn STKIP Pasundan Cimahi ini
menyimpulkan bahwa proses terjadinya toleransi di Desa
Sindangjaya tidak lepas dari usaha dan peran pemerintah
setempat, tokoh agama dan dukungan dari masyarakat
setempat. Toleransi antarumat beragama merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat. Hal tersebut terbukti dari perilaku
mereka yang saling terbuka dan menerima keberadaan agama
lain (Yusuf F. Ali, 2017, 110).
Riset lainnya adalah tentang “Kerukunan Umat Beragama
antara Islam, Kristen dan Sunda Wiwitan; Studi Kasus di
Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur, Kuningan Jawa
Barat”. Riset ini dilakukan oleh Angga Syaripudin Yusuf
mahasiswa UIN Jakarta tahun 2014. Riset ini menemukan
bahwa yang menjadikan faktor kerukunan di Kelurahan
Cigugur adalah ikatan kekeluargaan, saling menghormati dan
menghargai dan gotong royong (Angga, 2014).
Ashutosh Varshney salah seorang profesor ilmu politik
di Universitas Brown AS pernah melakukan riset di berbagai
kota di India. Ia mengkaji bagaimana ikatan kewargaan
(civic ties) antara komunitas Hindu dan Muslim berperan
meredam bahkan mencegah terjadinya kekrasan etnis.
Ikatan kewargaan merupakan jaringan interkomunal, yang
menghimpun berbagai komunitas yang berbeda. Kemudian
jaringan ini diuraikan menjadi dua bagian: asosiasional dan
keseharian (quotidian).

~ 14 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dalam ilmu-ilmu sosial, istilah “etnis” mempunyai 2


makna. Makna yang sempit namun populer, etnis berarti
berkaitan dengan “ras” atau “kebahasaan”. Horowitz
berpandangan bahwa istilah “etnis” dapat diartikan lebih
luas. Konflik yang berdasarkan kepada identitas-identitas
kelompok yang bersifat aksriptif; ras, bahasa, agama, suku
atau kasta dapat di sebut konflik etnis. Konflik etnis dapat
berupa ; 1) konflik ProtestanKatolik di Irlandia Utara dan
konflik Hindu-Muslim di India, 2) konflik antara kaum
kulit hitam dan kaum kulit putih di Amerika Serikat dan
Afrika Selatan, 3) konflik Tamil-Sinhala di Sri Lanka dan 4)
pertikaian Sunni dan Syiah di Pakistan. Ringkasnya, konflik
tersebut bercirikan sebagai konflik: 1) keagamaan, 2) rasial, 3)
kebahasaan dan 4) sektarian (Varshney, 2002, 4-5).
Riset ini akan menggunakan pendekatan Ashutosh
Varshney, yaitu pendekatan “ikatan kewargaan (civic ties).
Sejauhmana hubungan atau ikatan kewargaan antarumat
beragama di Desa Sindanjaya dapat terjalin dengan harmonis
dan asosiasi apa yang mereka gunakan dalam meredam
berbagai gejolak hubungan antarumat beragama di desa
tersebut.

Gambaran Umum Desa Lubuk Seberuk Kec. Lampuing Jaya


Kecamatan Lempuing Jaya adalah salah satu dari 18
kecamatan di bawah wilayah administratif Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI), dengan jarak ke ibu kota kabupaten ±
65km. Kecamatan ini terletak di sebelah Barat Daya Ibu Kota
Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kayuagung).

~ 15 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Gambar 1. Peta Wilayah Kecamatan Lempuing Jaya


Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

Luas wilayah 503.80 km², dengan 76 dusun dan 253 RT.


Menurut keterangan Sekretaris Camat Kecamatan Lempuing
Jaya3, 80% penduduk Kecamatan Lempiung Jaya adalah
masyarakat pendatang, sedangkan 20% nya penduduk asli.
Mayoritas penduduknya adalah bersuku Jawa, sebagian lagi
bersuku Komering dan Ogan.
Kecamatan Lempuing Jaya berbatasan dengan:
√ Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pedamaran
√ Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan
Komering Ulu Timur
√ Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Gelam
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lempuing.
Kecamatan Lempuing Jaya berdiri sejak tahun 2006.
Sebelumnya, kecamatan ini bagian dari Kecamatan Lempuing.
Alasan pemekaran tersebut adalah untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi masyarakat Lempuing. Kecamatan
Lempuing Jaya terdiri dari 16 desa, yaitu:

3
Wawancara dengan Bapak Laberen, sekretaris camat Kecamatan
Lempuing Jaya pada 31 Juli 2019

~ 16 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

1 Lubuk Seberuk 9 Lubuk Seberuk


2 Lubuk Makmur 10 Lubuk Makmur
3 Muara Burnai I 11 Muara Burnai I
4 Muara Burnai II 12 Muara Burnai II
5 Rantau Durian I 13 Rantau Durian I
6 Rantau Durian II 14 Rantau Durian II
7 Rantau Durian Asli 15 Rantau Durian Asli
8 Suka Jaya 16 Suka Jaya

Ibukota Kecamatan Lempuing Jaya adalah Desa Lubuk


Seberuk. Desa ini mempunyai jumlah penduduk paling padat
dibanding dengan desa lainnya, yaitu 6060 jiwa (2016). Desa
Lubuk Seberuk berbatasan dengan:
√ Sebelah utara berbatasan dengan hutan kawasan
Lampuing Jaya
√ Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai belida
Lampuing Jaya
√ Sebelah timur berbatasan dengan Tania Makmur
Lampuing Jaya
√ Sebelah barat berbatasan dengan Tugu Jaya Lampuing
Desa Lubuk Seberuk dipilih menjadi ibukota Kecamatan
Lempuing Jaya karena desa tersebut merupakan desa pertama
yang berbatasan dengan Kecamatan Lempuing dan desa yang
menghasilkan banyak pangan, seperti; sayur-sayuran, padi
dan lain sebagainya.
Berdasarkan Data BPS Kab. OKI (Kecamatan Lempuing
Jaya dalam Angka), jumlah penduduk pada pertengahan 2017
berjumlah 66.225 jiwa, terdiri dari 34.370 jiwa laki-laki dan
31.855 perempuan (sensus penduduk tahun 2010, 59.786
ribu jiwa).

~ 17 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan


Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2017

2017
Kecamatan
Jumlah Penduduk Menurut Jenis
No Se-Kabupaten
Kelamin (Jiwa)
Ogan Komering Ilir
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Lempuing 41224 39197 80421
2 Lempuing Jaya 34370 31855 66225
3 Mesuji 22205 20997 43202
4 Sungai Menang 27006 24704 51710
5 Mesuji Makmur 29644 27099 56743
6 Mesuji Raya 20068 18541 38609
7 Tulung Selapan 22670 22256 44926
8 Cengal 25433 23670 49103
9 Pedamaran 22614 22983 45597
10 Pedamaran Timur 11647 11159 22806
11 Tanjung Lubuk 17611 16973 34584
12 Teluk Gelam 11764 11213 22977
13 Kayu Agung 35081 34613 69694
14 Sirah Pulau Padang 23524 22472 45996
15 Jejawi 20786 20765 41551
16 Pampangan 14994 15300 30294
17 Pangkalan Lampam 14251 14417 28668
18 Air Sugihan 18706 17391 36097
Kabupaten Ogan Komering Ilir 413598 395605 809203

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Agama


yang Dianut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2015
Kecamatan Jumlah Penduduk Menurut Agama (Jiwa)
No Se-Kabupaten Ogan Islam Protestan Katolik Hindu Buddha
Komering Ilir 2015 2015 2015 2015 2015
1 Lempuing 70302 283 1028 722 60
2 Lempuing Jaya 57039 946 355 2830 58
3 Mesuji 40219 282 154 460 -
4 Sungai Menang 5744 - 5744 - -
5 Mesuji Makmur 48034 757 1221 1771 43
6 Mesuji Raya 29799 676 477 29799 676
7 Tulung Selapan 55569 1 - - -
8 Cengal 44576 - - - -

~ 18 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

9 Pedamaran 45448 - 24 2 -
10 Pedamaran Timur 19925 - 125 - 20
11 Tanjung Lubuk 32213 1 5 - -
12 Teluk Gelam 20955 - 81 223 -
13 Kayu Agung 56143 9 56 - 27
14 Sirah Pulau Padang 43650 - - - -
15 Jejawi 43920 - - - -
16 Pampangan 29237 - - - -
17 Pangkalan Lampam 26772 - - - -
18 Air Sugihan 32240 - 210 - -
Kabupaten Ogan Komering
701785 2955 9480 7429 208
Ilir

Praksis Kerukunan di Desa Lubuk Seberuk


Salah satu desa di Kecamatan Lempuing Jaya, yang
masyarakatnya heterogen adalah Desa Lubuk Seberuk.
Berdasarkan monografi desa dan keterangan sekretaris Desa
Lubuk Seberuk4, masyarakat Desa Lubuk Seberuk terdiri dari
beragam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha)
dan etnis (Jawa, Bali, Melayu, Minang, Komering dan Ogan).
Rumah ibadatnya lengkap 5 agama, yaitu; Mesjid, Gereja,
Pura dan Vihara (Lubuk Makmur).
Berdasarkan data di Kantor KUA Kecamatan Lempuing
Jaya, mayoritas penduduk Desa Lubuk Seberuk adalah
pemeluk agama Islam (90%), Katolik (1,6%), Kristen (2,4%),
Hindu (5,5%) dan Buddha (0,1%). Sebagaimana yang terlihat
pada tabel berikut:

4
Wawancara dengan Bapak Nyoman Mudita, sekretaris Desa Lubuk
Seberuk pada 1 Agustus.

~ 19 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tabel 4. Data Kependudukan


Kantor Urusan Agama Islam Kecamatan Lempuing Jaya
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Pemeluk Agama
No Desa
Islam Protestan Katolik Hindu Buddha Jumlah
1 Lubuk Seberuk 6019 108 166 369 10 6672

2 Muara Burnai I 7289 - 356 - 7669
15
3 Muara Burnai II 8971 - 85 165 10 931
4 Lubuk Makmur 4032 81 69 7 17 4206
5 Sunagi Belida 5600 - 8 - - 5608
6 Mukti Sari 1662 10 24 12 1708
7 Lempuing Indah 1094 10 4 5 4 1117
8 Tania Makmur 1532 13 15 514 - 2074
9 Rantau Durian I 6397 39 16 - - 6434
10 Rantau Durian II 2567 39 126 1377 - 4109
11 Tanjung Sari I 2053 13 27 105 5 2203
12 Tanjung Sari II 2865 52 13 - - 2930
13 Purwoasri 2065 - - - - 2065
14 Sukamaju 1326 13 24 9 - 1372
15 Sukajaya 835 21 4 264 - 1124
Rantau Durian -
16 2750 - - - 2750
Asli -
JUMLAH 57035 355 940 2830 58 61218
Sumber: KUA Kec. Lempuing Jaya

Tabel 5. Data Rumah Ibadat


Kantor Urusan Agama Islam Kecamatan Lempuing Jaya
Kabupaten Ogan Komering Ilir

No Desa Masjid Musholla Gereja Pura Wihara

1 Lubuk Seberuk 8 17 4 8 -
2 Muara Burnai I 18 23 2 - -
3 Muara Burnai II 8 16 1 - -
4 Lubuk Makmur 6 9 - 1 1
5 Sunagi Belida 7 14 - - -
6 Mukti Sari 4 2 1 - -
7 Lempuing Indah 3 - - - -
8 Tania Makmur 2 5 1 1 -
9 Rantau Durian I 11 14 1 - -
10 Rantau Durian II 5 5 - - -

~ 20 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

11 Tanjung Sari I 5 5 2 -
12 Tanjung Sari II 3 3 - - -
13 Purwoasri 2 4 - - -
14 Sukamaju 4 5 - - -
15 Sukajaya 2 4 1 1 -
Rantau Durian
16 11 - - - -
Asli

Masjid Gereja Katolik

Pura Vihara
Gambar 2. Rumah Ibadat Agama-Agama di Desa Lubuk Seberuk

Menurut keterangan Bapak Nyoman Mudita (Sekretaris


Desa Lubuk Seberuk), kerukunan antarumat beragama di
Desa Lubuk Seberuk sudah terjalin dengan baik dan harmonis
sejak puluhan tahun silam. Tidak pernah terjadi konflik
komunal (antarumat beragama) sekalipun di Desa Lubuk
Seberuk. Keterangan Sekretaris Desa Lubuk Seberuk tersebut

~ 21 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dibenarkan oleh Bapak Handoyo5. Menurut keterangan beliau,


sejak mereka menetap di Desa Lubuk Seberuk tahun 1979,
desa tersebut masih berupa lahan kosong dan hutan belantara.
Kemudian para pendatang membuka dan menggarap lahan
tersebut. Para pendatang mayoritas berasal dari Belitang.
Belitang adalah adalah satu kecamatan di Ogan Komering
Ulu Timur yang menjadi salah satu wilayah transmigrasi
dari pulan Jawa dan Bali. hubungan antar pendatang yang
berbeda agama dan etnis sudah terjalin dengan baik harmonis.
Mereka bukan saja pemeluk agama Islam, namun juga ada
yang Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.
Kerjasama antarumat beragama berjalan dengan baik.
Hal tersebut terlihat pada kegiatan-kegiatan bakti sosial;
seperti gotong royong dalam pembangunan rumat ibadat
masing-masing agama. Ketika umat Islam membangun
Mesjid atau Musholla, umat non Muslim ikut berpatisipasi
melalui bantuan tenaga atau sumbangan material bangunan.
Begitu pula sebaliknya, ketika umat non Muslim membangun
rumah ibadatnya maka umat Islam berpartisipasi pula dengan
bantuan fisik maupun non fisik.
Pernyataan tersebut di benarkan oleh ketua pengurus
Forum Silahturahmi Umat Beragama (FSUB) Kecamatan
Lempuing Jaya, Ustazd Jamaludin S.Pd.I (Islam), di dampingi
oleh wakil ketua Handoyo Nono, S.Th (Kristen) dan anggota
Imam Royani (Islam), Mesrun (Buddha), Kusmijan (Kristen),
dalam sebuah pertemuan dengan peneliti di Kantor KUA Kec.
Lempuing Jaya.6
Kehidupan antarumat beragama berjalan harmonis
dan sudah berjalan berpuluh tahun yang lalu. Sikap saling
menghormati dan menghargai menjadi salah satu perekat
5
Wawancara dengan Bapak Handoyono, Pengurus FSUB dari unsur
Kristen, Pendeta Gereja Penyebaran Injil (GPI), sekaligus tokoh agama dan
sesepuh Desa Lubuk Seberuk pada tanggal 1 September 2019.
6
Audiensi dengan pengurus FSUB dan KUA Kec. Lempuing Jaya pada
tanggal 30 Juli 2019

~ 22 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kerukunan antarumat beragam di Desa Lubuk Seberuk. Umat


beragama diberi keleluasan untuk membangun rumah ibadat
masing-masing agama, termasuk membuat sanggah di rumah
masing-masing umat Hindu.

Gambar 3. Sanggah Umat Hindu

Tradisi saling mengunjungi antarumat beragama ketika


perayaan hari besar, seperti; hari raya Idul Fitri, Natal,
Waisak, Nyepi dan lainnya sudah dipraktekan sejak mereka
membangun Desa Lubuk Seberuk. Ungkapan ini diceritakan
oleh salah seorang sesepuh atau tokoh masyarakat desa Bapak
Sukro (Hindu) yang sudah mulai menetap di Lubuk Seberuk
sejak tahun 1976.
Menurut Bapak Sukro, hubungan antarumat beragama
di Desa Lubuk Seberuk sangat harmonis. Tidak ada sama
sekali konflik komunal di antara mereka. Sikap saling
menghormati dan saling menghargai merupakan sikap
yang mereka pertahankan dalam memelihara kerukunan
antarumat beragama. Ketika umat Hindu melakukan ibadat
nyepi misalnya, umat non Hindu tidak dipaksa untuk ikut
nyepi dari segala aktifitasnya karena upacara tersebut hanya
berlaku di Bali.
Dalam kegiatan bermasyarakat, antarumat beragama
tidak memandang berasal dari agama apa, sehingga untuk

~ 23 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pemilihan kepala desa misalnya, bisa dari agama Islam,


katolik, Kristen, Hindu atau Buddha. Salah satu mantan kepala
Desa Lubuk Seberuk, I Nyoman Putu (Alm), adalah salah satu
tokoh masyarakat yang berpengaruh dan disengani (primus
interpares) berasal dari Hindu, yang mampu menjadi motor
penggerak dan perekat masyarakat Desa Lubuk Seberuk
sehingga pembangunan ekonomi desa hingga persoalan
bangunan sekolah, madrasah, pesantren hingga rumah ibadat
direalisasikan secara matang di zamannya.7

Analisis Tradisi Kerukunan


Salah satu tradisi yang mempererat jalinan kerukunan
antarumat beragama adalah acara “Ruwatan Desa”, yang
rutin di adakan sekali setahun pada tanggal 1Syura/
Muharram. Dalam tradisi masyarakat Jawa (kejawen), 1
syuro mempunyai arti penting terkait dengan kepercayaan.
Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Kesepuhan
Cirebon ikut ambil bagian dalam melestarikan tradisi lokal
tersebut, berupa ritual menjamas (memandikan) benda-
benda keramat/pusaka keraton.
Pada acara “Ruwatan Desa”, para tokoh agama kumpul dan
mengadakan doa bersama di aula desa bersama masyarakat,
dengan jadwal yang sudah ditentukan. Setelah itu, hiburan
bagi masyarakat desa, panitia mengadakan pagelaran wayang
kulit. Tradisi inilah yang menurut para tokoh agama yang
terkumpul di Forum Silahturahmi Umat Beragama (FSUB)
sebagai Local Wisdom (kearifan setempat) di Kec. Lempuing
Jaya.

Kekuatan
Tradisi “Ruwatan Desa” merupakan salah satu cara
masyarakat Desa Lubuk Seberuk menjaga dan memelihara
7
Wawancara dengan Bapak Sukro, tokoh masyarakat, mantan
sekretaris Desa Lubuk Seberuk pada 2 September 2019

~ 24 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kerukunan antarumat beragama. Acara ini merupakan tradisi


turun temurun di Desa Lubuk Seberuk maupun desa-desa
lainnya di Kecamatan Lempuing Jaya. Karena mayoritas
warganya berasal dari etnis Jawa, maka tradisi ini tidak asing
lagi bagi masyarakat Desa Lubuk Seberuk.
Dalam upacara “Ruwatan Desa”, prosesinya diawali
dengan doa oleh para tokoh agama. Masing-masing tokoh
agama melakukan doa di rumah ibadatnya masingmasing.
Bagi umat Islam dilakukan di Mesjid/Mushalla, bagi pemeluk
Kristiani di Gereja, umat Hindu di sudut-sudut jalan dan bagi
umat Buddha di Vihara.
Acara “Ruwatan Desa” mendapat dukungan yang penuh
dari masyarakat. mereka antusias dalam menyukseskan
acara tersebut karena pada bagian akhir rangkaian acara ada
hiburan bagi warga desa, yaitu; pagelaran wayang kulit. Ki
dalang merupakan aktor utama dalam acara “Ruwatan Desa”.
Melalui ki dalang, tradisi kejawen tersebut diselenggarakan
melalui doa-doa dan jampi-jampi. Setelah ritual khusus
dilakukan oleh dalang, barulah acara dilanjutkan dengan
pertunjukkan wayang kulit.

Gambar 4. Acara “Ruwatan Desa” di Kecamatan Lempuing Jaya

~ 25 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kelemahan
Sebagian warga di Kecamatan Lempuing Jaya ada
yang tidak setuju dengan acara “Ruwatan Desa”, walaupun
jumlahnya tidak banyak. Menurut mereka, pembacaan doa
“Ruwatan” oleh dalang dan diikuti dengan pembakaran
kemenyan, bagi ajaran tidak sesuai dengan ajaran agama
Islam (kufarat). Pembacaan doa merupakan wilayahnya
tokoh agama bukan seniman seperti ki dalang, apalagi disertai
dengan pembakatran kemenyan.
Bagi warga pribumi Kecamatan Lempuing Jaya, seperti;
Ogan dan Komering, tradisi tersebut adalah tradisi kejawen.
Karena mayoritas pendatang adalah etnis Jawa maka tradisi
itupun kemudian mereka bawa kemana pun mereka migrasi.
Bagi masyarakat lokal butuh waktu untuk meenerima atau
menyesuaikan diri dengan tradisi asing yang masuk ke wilayah
mereka karena mereka mempunyai tardisi sendiri.
Sebagian besar masyarakat menganggap tradisi ini
membawa nilai-nilai positif, terutama bagi hubungan
antarumat beragama karena desa-desa yang berada di
Kecamatan Lempuing Jaya, masyarakatnya multietnis dan
multireligi. Namun, sebagian mereka masih menganggap
bahwa tradisi ini adalah tradisi yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip ketauhidan dalam agama, terutama bagi
mereka yang menagut agama Islam. Kelangsungan.

Pengembangan Kepemimpinan Sosial


Desa Lubuk Seberuk mempunyai sejarah panjang dalam
membangun hubungan antarumat beragama. Masyarakat
desa yang terdiri dari berbagai etnis dan agama, dari awal
sudah sepakat menjaga kerukunan diantara mereka. Sehingga
sampai saat penelitian ini berlangsung, belum pernah terjadi
sekalipun konflik antarumat beragama di desa tersebut.

~ 26 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dalam perjalanan sejarah, tokoh-tokoh yang muncul dari


unsur agama, adat dan masyarakat saling bekerja sama dalam
membangun peradaban di desa Lubuk Seberuk. Baik tokoh
agama, seperti Kyai, Pendeta, Rohaniawan mengambil peran
masing-masing melakukan transformasi ilmu pengetahuan
agama ke pemeluknya masing-masing. Tokoh masyarakatnya
pun bermunculan dari unsur agama masingmasing. Sebagian
dari mereka kemudian terpilih menjadi aparatur desa, bahkan
menjadi kepala desa.
I Nyoman Putu misalnya, dia adalah salah satu kepala desa
yang beragama Hindu yang berhasil membangun peradaban
Desa Lubuk Seberuk. Pada zamannya, rumah ibadat masih-
masing agama mendapat support moril dan imateril. Mesjid,
mushalla, gereja, Pura, dapat berdiri di atas tanah yang cukup
memadai, bahkan cukup luas untuk ukuran sebuah desa.
Selain itu, dia memerintahkan untuk membangun sekolah,
madarasah bahkan pesantren besar di Desa Lubuk Seberuk.
Selain menjadi kepala desa, Bapak Nyoman Putu sekaligus
menjadi tokoh masyarakat yang disegani oleh masyarakatnya.
Baik bagi warga Muslim, Kristiani, Buddhis ataupun
bagi umat Hindu sendiri. I Nyoman Putu adalah primus
interpares yang mampu mempersatukan umat beragama di
Desa Lubuk Seberuk. Di zamannya, toleransi dan kerjasama
antarumat sangat aktif. Misalnya, pembanguan rumah ibadat
dikerjakan secara bergotong royong, oleh semua pemeluk
umat beragama. Ketika umat Islam membangun Mesjid atau
Mushalla misalnya, umat non Muslim ikut menyumbangkan
materi, berupa uang, bahan bangunan, maupun berupa
imateri, seperti tenaga, ide-ide dan lainnya.
Hal yang sama ketika umat non Muslim medirikan
rumah ibadat misalnya, umat Islam juga ikut berpartisipasi
dengan menyumbangkan tenaga, ide dan lainnya. Hubungan
kerukunan antarumat beragama ini tidak hanya pada
indikator toleransi, yaitu sikap saling menghormati dan

~ 27 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

saling menghargai, namun sudah pada tahap kerjasama, yaitu


realitas hubungan sosial dalam bentuk tindakan nyata.

Strategi Merawat Kelangsungan Tradisi Kerukunan


Patisipasi Generasi Muda
Menurut UU No.40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan,
yang dimaksud dengan pemuda dalam Bab I (1) yaitu; pemuda
adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode
penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16
(enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Jika merujuk Undang-undang Kepemudaan, kategori
pemuda adalah mereka yang berusia 16 s/d 30 tahun, maka
usia pemuda dalam laporan Badan Pusat Statistik adalah
mereka yang berusia 15-19 tahun, 20-24 tahun dan 25-29
tahun. Berdasarkan pengelompokkan usia tersebut, maka
jumlah pemuda di Kecamatan Lempuing Jaya berjumlah
13.053. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk


Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Lempuing Jaya
Tahun 2017
Jenis Kelamin (Sex)
Kelompok Umur
(Age Group) Laki-laki Perempuan Jumlah
(Male) (Famale) Total
(1) (2) (3) (4)
0-4 1.762 1.657 3.419
5-9 2.380 2.109 4.489
10 - 14 2.314 2.124 4.438
15 - 19 2.287 2.094 4.381
20 - 24 2.213 2.183 4.396
25 - 29 2.198 2.078 4.276
30 - 34 2.135 2.002 4.137
35 - 39 1.901 1.881 3.782
40 - 44 1.719 1.641 3.360
45 - 49 1.485 1.343 2.828
50 - 54 1.187 1.030 2.217
55 - 59 890 731 1.621
60 - 64 679 456 1.135
65+ 1.101 821 1.922
Jumlah (Total) 24.251 22.150 46.401

~ 28 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kaum muda di Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing


Jaya cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan kepemudaan, baik
yang berlatarbelakang agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu
maupun Buddha. Mereka berkumpul dalam wadah karang
taruna desa.
Pada acara-acara hari besar nasional, seperti hari
kemerdekaan RI, para pemuda terlibat aktif dalam kepanitiaan
yang dibentuk oleh pemerintahan desa maupun sebagai
peserta lomba. Dalam kepanitiaan, para pemuda lintas
agama terlibat dalam berbagai seksi. Sehingga komposisi
kepanitiaan tidak hanya diisi oleh unsur pemuda yang berasal
dari pemeluk agama yang sama tapi diisi dari pemuda lintas
agama.
Begitu pula dalam kegiatan “Ruwatan Desa” yang
diadakan oleh pemerintahan desa. Para pemuda lintas agama
cukup aktif dalam kepanitiaan tradisi lokal tersebut dan pada
umumnya acara tersebut banyak melibatkan para pemuda,
karena pada akhir kegiatan ruwatan ditutup dengan acara
hiburan.
Kerukanan antarumat beragama bagi mereka adalah hal
yang perlu dirawat dan dijaga. Kondisi kerukunan yang tidak
harmonis, menimbulkan potensi.

Partisipasi Komunitas Perempuan


Kaum perempuan di Desa Lubuk Seberuk Kecamatan
Lempuing Jaya cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan. Kegiatan tersebut diikuti oleh kaum
perempuan dari lintas agama, baik kaum tua maupun kaum
muda. Pada kegiatan gotong royong misalnya, komunitas
perempuan berpartisipasi aktif dalam kegiatan tersebut.
Begitu pula dalam kegiatan sosial lainnya. Komunitas
perempuan yang relatif muda, ikut bergabung dalam
komunitas karang taruni. Kegiatannya bisa beragam, mulai
dari kegiatan kepemudaan, sosial dan tradisi lokal yang masih

~ 29 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mereka pertahankan dalam menjaga kerukunan antarumat


beragama.

Komunitas Agama
Para pemuka agama turut berkontribusi dalam
mewujudkan dan memelihara kerukunan antarumat
beragama di Desa Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya.
Para pemuka agama sepakat untuk menjaga hubungan antar
agama kondusif dan diantara cara yang mereka terapkan
adalah komunikasi.
Baik umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha
senantiasa menjaga kerukunan antarumat beragama dengan
saling berinteraksi. Selain faktor komunikasi para pemuka
agama, interaksi antar komunitas agama juga menjadi
perekat kerukunan.. Umat Islam sebagai mayoritas di Desa
Lubuk Seberuk menyadari bahwa selain Islam, ada umat
Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha yang secara bersama-
sama membangun wilayah mereka dari awal ketika mereka
migrasi dari Belitang OKU Timur.
Kesepakatan untuk hidup bersama, berdampingan antar
pemeluk beragama di Desa Lubuk Seberuk menandakan
ikatan kewargaan diantara pemeluk agama sudah terjalin
dengan erat sehungga potensi intoleransi dapat di minimalisir
bahkan tak pernah muncul dalam kehidupan antarumat
beragama di Desa Lubuk Seberuk.

Komunitas Adat
Komunitas adat di Kecamatan Lempuing Jaya terbagi
menjadi dua. Satu komunitas adat terdiri dari tokoh
masyarakat/sesepuh dari masing-masing agama, kemudian
berkumpul dalam sebuah wadah. Sedangkan satu komunitas
lagi terkumpul dalam suatu komunitas adat asli warga
pribumi, yaitu; Ogan dan Komering.

~ 30 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Komunitas adat Desa Lubuk Seberuk yang terdiri dari


perwakilan para tokoh masyarakat/sesepuh dari berbagai
agama, bertugas untuk menjaga hubungan antarumat
beragama di masyarakat. Jika terjadi konflik sosial yang
melibatkan antarumat beragama misalnya, maka salah satu
yang menjadi mediatornya adalah komunitas adat tersebut.
Karena mayoritas penduduk Desa Lubuk Seberuk pemeluk
agama Islam, maka ketua komunitas adat tersebut juga
diambil dari yang beragama Islam
Sedangkan komunitas/masyarakat adat asli Desa Lubuk
Seberuk, mempunyai peran yang berbeda dengan komunitas
adat masyarakat pendatang. Komunitas adat asli pribumi
adalah komunitas yang berasal dari masyarakat suku ogan dan
komering. Komunitas adat ini terdiri dari para sesepuh yang
berasal dari dua suku tersebut. Selain mengurusi persoalan
adat dari masyarakat adat Suku Ogan dan Komering,
komunitas ini juga bertugas untuk meyelesaikan persoalan
adat yang muncul antara masyarakat asli setempat (ogan dan
komering) dengan masyarakat pendatang yang terdiri dari
beragam etnis, suku dan ras.
Kerukunan antarumat beragama menjadi bagian
penting di Desa Lubuk Seberuk. Komunitas adat Suku Ogan
dan Komering menyadari bahwa masyarakat di wilayah
Kecamatan Lempuing Jaya terdiri dari beragam agama.
Sebagai penganut agama Islam, komunitas adat ini sangat
menghargai dan menghormati keberagaman tersebut
sehingga tidak pernah terjadi konflik antara masyarakat
pendatang dengan masyarakat asli di wilayah Kecamatan
Lempuig Jaya, khususnya Desa Lubuk Seberuk.

~ 31 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pemerintah Daerah
Kabupaten
Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan salah satu
daerah yang penduduknya heterogen, terdiri dari beragam
suku, etnis dan agama. Hal ini dikarenakan banyaknya
pendatang yang masuk ke kabupaten ini yang berasal dari
pulau Jawa dan Bali. Merka yang masuk ke wilayah Ogan
Komering Ilir juga heterogen sehingga tak asing bila masuk
ke wilayah ini banyak terlihat rumah-rumah khas masyarakat
Bali, dimana di depan atau samping rumahnya ada Pura/
Sanggah.kabupaten ini banyak yang berasal dari warga
pendatang dari pulau Jawa dan Bali.
Pemerintah daerah Kabupaten OKI melalui Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bertugas menjaga
hubungan antarumat beragama di Kabupaten OKI. FKUB
Kabupaten OKI cukup aktif dalam menjaga kerukunan
tersebut, terbukti konflik antarumat beragama di kabupaten
ini tidak perah terdengar. Wakil bupati Kabupaten OKI
selaku ketua dewan pembina FKUB juga berperan aktif dalam
memelihara kerukunan antarumat beragama di wilayahnya
melalui FKUB.

Kecamatan
Pemerintah Kecamatan Lempuing Jaya juga berperan
aktif dalam meciptakan dan memelihara kerukunan
antarumat beragama di wilayahnya. Upaya tersebut
diimplementasikan dengan membentuk forum silahturahmi
umat beragama (FSUB) Kecamatan Lempuing Jaya, yang
terdiri dari tolohtoloh lintas agama. Keputusan untuk
membentuk forum silahturahmi tersebut karena masyarakat
Kecamatan Lempuing Jaya merupakan masyarakat yang
heterogen sehingga dibutuhkan sebuah forum yang dapat
memelihara dan menjaga hubungan antarumat beragama di
tengah-tengah kehidupan antarumat beragama.

~ 32 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Forum silahturahmi umat beragama (FSUB) ini dibentuk


oleh kecamatan dan di legal formalkan oleh pemerintah
kabupaten dengan sebuah surat keputusan (SK). Forum ini
memperkuat kerukunan antarumat beragama di Kecamatan
Lempuing Jaya.

Desa
Pemerintah Desa Lubuk Seberuk turut berperan aktif
dalam menjaga dan memelihara kerukunan antarumat
beragama di Desa Lubuk Seberuk. Wujud dari peran aktif
tersebut terlihat pada pemilihan kepala desa yang tidak
berdasarkan pada latar belakang agama. Setiap warga Desa
Lubuk Seberuk mempunyai hak untuk dipilih dan memilih
calon kepala desa. Hal tersebut terbukti bahwa kepala Desa
Lubuk Seberuk pernah di pimpin oleh seorang yang berlatar
belakang agama Hindu-Bali. Di bawah kepemimpinan Bapak
Nyoman Putu, pembangunan infrastruktur berhasil dengan
sukses, baik pembangunan fasilitas pendidikan, kantor
pelayanan bahkan rumah ibadat semua agama.
Pemerintah desa juga berpartisipasi aktif pada kegiatan-
kegiatan sosial keagamaan yang diadakan oleh masyarakat,
termasuk tradisi “Ruwatan Desa”. Kegiatan tersebut di
fasilitasi oleh pemerintah desa, baik terkait dengan dana,
kepanitiaan dan lainnya.

Penutup
Kesimpulan
Kerukunan antarumat beragama di Desa Lubuk Seberuk
Kecamatan Lempuing Jaya sudah terjalin sejak lama. Ketika
daerah tersebut dibuka oleh para pendatang dari Belitang
Kab. OKU Timur, sejak saat itu sudah terjalin interaksi antar
warga pendatang yang berasal dari beragam etnis dan agama.
Kemudian mereka melebur dengan masyarakat pribumi

~ 33 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki


batas wilayah, yaitu Desa Lubuk Seberuk.
Kerukunan antarumat beragama yang terjalin di Desa
Lubuk Seberuk Kecamatan Lempuing Jaya merupakan sikap
saling menghormati dan saling menghargai antar sesama
warga. Sikap tersebut merupakan salah satu indikator
penilaian terhadap toleransi umat beragama dan toleransi di
Desa Lubuk Seberuk sudah terjalin dengan baik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerukunan antarumat
beragama antar lain ikatan kewargaan (civic ties) antara warga
Desa Lubuk Seberuk karena mereka sama-sama pendatang
di desa tersebut. Interaksi tersebut kemudian merekatkan
ikatan emosional diantara mereka menjadi satu kesatuan
masyarakat hukum (desa). Kerukunan antarumat beragama
yang terjalin di Desa Lubuk Seberuk tidak hanya atas sikap
saling menghormati dan menghargai namun sudah beranjak
pada kerjasama antarumat beragama.
Kerjasama yang terjalin antarumat beragama di Desa
Lubuk Seberuk berjalan dengan harmonis. Ketika umat Islam
membangun Mesjid sebagai rumah ibadat, umat non Muslim
ikut membantu dalam berupa materi maupun imateri.
Sebagian ada yang menyumbang uang, bahan bangunan ,
tenaga atau ide-ide terkait gambar ruamh ibadat yang akan di
bangun. Begitu pula umat non Muslim yang akan mendirikan
rumah ibadat misalnya, umat Islam juga turut berpartisipasi.
Tradisi “Ruwatan Desa” merupakan local wisdom yang
masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Lubuk Seberuk
dalam merawat kerukunan umat beragama di desa tersebut.
Acara ini melibatkan tokoh-tokoh agama dari berbagai
agama yang berperan dalam menyampaikan doa-doa kepada
Tuhan agar tetap diberikan kesejahteraan, keselamatan dan
kerukunan antarumat beragama.
Strategi yang mereka lakukan berbeda-beda sesuai
dengan komunitas warga desa. Bagi komunitas generasi muda,

~ 34 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

perempuan, kaum adat, pemerintah daerah (kabupaten,


kecamatan dan desa). Komunitas kaum muda berperan aktif
dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakat yang melibatkan
lintas agama. Kaum perempuan juga ikut ambil bagian dalam
mensupport kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.
Walaupun tidak seaktif generasi muda namun komunitas
perempuan ikut memelihara kerukunan antarumat beragama
di Desa Lubuk Seberuk pada moment-moment kegiatan
formal, seperti kegiatan perayaan kemerdekaan RI yan juga
melibatkan kaum perempuan dari berbagai agama.
Kaum adat menjadi bagian yang penting dalam
memelihara kerukunan umat beragama di Desa Lubuk
Seberuk karna selain diwakili oleh sesepuh-sesepuh
yang berbeda agama, kaum adat ini merupakan sumber
pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau
tradisi yang diselengagarakan oleh masyarakat desa.
Keterlibatan pemerintah daerah (kabupaten. Kecamatan
dan desa) bersinergi dengan keinginan masyarakat dalam
menciptakan dan merawat kerukunan umat beragama di
Desa Lubuk Seberuk. Pada tingkat kabupaten di back up oleh
FKUB, tingkat kecamatan oleh FSUB dan di desa dibantu
oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, kaum muda, komunitas
perempuan dan juga kaum adat.

Rekomendasi
Merekomendasikan kepada Kanwil Kementerian Agama
Provinsi Sumatera Selatan agar menjadikan Desa Lubuk
Seberuk tersebut menjadi model desa kerukunan tingkat
provinsi karena Desa Lubuk Seberuk sudah memenuhi
syaratsyarat sebagai desa rukun.
Merekomendasikan kepada pemerintah provinsi
Sumatera Selatan dan pemerintah Kabupaten OKI agar
dapat menjadikan Desa Lubuk Seberuk ini menjadi desa
pilot project dalam mengembangkan nilai-nilai kerukunan

~ 35 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

antarumat beragama di desa/kelurahan lainnya di Sumatera


Selatan. Program ini perlu ditindaklanjuti sebagai bagian dari
visi/misi pemerintah daerah dalam pembangunan mental,
spritual dan keagamaan.

Daftar Pustaka
Bogdan, Steven J dan Taylor. 1992. Metodologi Penelitian
Kualitatif, Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap
Ilmu-Ilmu Sosial. (Terj) Arif Furkhan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Dja’far. Alamsyah M. 2018. (In)Toleransi: Memahami
Kebencian dan Kekerasan atas Nama Agama. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Horton, Paul B dan Chester L, Hunt .1999.Sosiologi (alih bhs)
Aminuddin Ram, Tita Sobari. Jakarta: Erlangga.
Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama
dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan
Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta:
Rineka Cipta.
Mulyana, Dedy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif,
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakraya.
Nifi, M. Zidni. 2018. Menjadi Islam, Menjadi Indonesia.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Syam, Nur. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Sullivan, John L, James Piereson, George E Marcus. 1982.
Political Tolerance and American Democracy. Chicago
and London: University of Chicago Press.
Schumann, Olaf H. 2006. “Toleransi Beragama: Antara
Mitos dan Realitas.” Dalam Menghadapi Tantangan,
Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia.

~ 36 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Sutton, Margareth. 2006. Toleransi: Nilai dalam Pelaksanaaa


Demokrasi, dalam Majalah Demokrasi, Volume V Nomor
1, hal. 53-60.
Varshney, Ashutosh. 2002. Ethnic Conflict and Civic Life:
Hindus and Muslim in India.
New Haven and London: Yale university Press.
Wahab, Abdul Jamil. 2015. Harmoni di Negeri Seribu Agama.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Yewangoe, Andreas A. 2009. “Regulasi Toleransi dan
Pluralisme Agama di Indonesia.” Dalam Merayakan
Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut
70 tahun Djohan Effendi. Diedit oleh Elza Peldi Taher.
Jakarta: ICRP.

~ 37 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 38 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

BAGIAN DUA

~ 39 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 40 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama


di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi
----------------------------- M. Agus Noorbani -----------------------------

Pendahuluan
Varshney (2009) menyatakan bahwa mengkaji kedamaian
antar etnis penting dilakukan tidak saja untuk memahami
kondisi damai suatu wilayah heterogen, melainkan juga agar
kita juga mampu memiliki pemahaman yang cukup baik
untuk bisa menjelaskan konflik antar etnis di suatu wilayah.
Pandangan Varshney ini mengimplikasikan bahwa kajian
mengenai kedamaian dan konflik merupakan rectoverso.
Pemahaman yang paripurna mengenai konflik harus disertai
pemahaman yang baik terhadap kondisi damai. Pendapat
Varshney (2009) ini berkaca dari hasil kajiannya terhadap
berbagai konflik sosial di India yang menghasilkan temuan
bahwa konflik sosial bisa terjadi di suatu wilayah sementara
wilayah lainnya tidak meski berada dalam satu daerah dengan
karakteristik heterogenitas yang sama.
Banyak sarjana telah berupaya menjelaskan konflik etnis
dan kondisi damai sebuah wilayah melalui berbagai kajian.
Kajian-kajian tersebut setidaknya dapat dikelompokkan
ke dalam tiga pendekatan dalam menjelaskan kedamaian
(pun konflik) etnis; primordialisme, instrumentalisme, dan
konstruktivisme. (Tong, 2009) Pendekatan primordialisme
memandang bahwa konflik etnis semata terjadi karena
perbedaan etnis. Artinya, jika banyak etnis hidup
berdampingan, dalam cara pandang pendekatan ini maka
akan terjadi banyak konflik antar etnis. Seperti dikemukakan

~ 41 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

oleh Harvey (2000), “ethnicties are inherently more potent


(and fit) as an organizing force than… ties based on class or
occupation”. Untuk mengatasi berbagai konflik etnis dalam
perpektif primordialisme ini maka perlu dilakukan pemisahan
ruang hidup dari setiap kelompok etnis.
Pendekatan primordialisme ini mengabaikan sejumlah
fakta bahwa konflik etnis tidak selalu semata terjadi karena
alasan perbedaan etnis. Pendekatan primordialisme ini
mendapat kritik tajam dari pendekatan instrumentalisme.
Di tengah dunia yang makin plural dan arus migrasi yang
tinggi di berbagai belahan dunia, percampuran etnis menjadi
hal yang tidak bisa dihindarkan. Karenanya, yang terpenting
bukan etnisitas murni yang menjadi penyebab konflik, tetapi
etnis yang menonjol secara politis, di mana ada konstruksi
“kami melawan mereka” untuk identitas ini. (Tong, 2009)
Pendekatan instrumentalisme memahami bahwa
kelompok sosial secara kolektif membuat pilihan rasional untuk
mengidentifikasi diri mereka dengan bagian tertentu yang
sangat kuat dari diri mereka, bahasa, agama, atau perbedaan
ras untuk meraih keuntungan politk maupun ekonomi.
Kasus-kasus konflik etnis sejenis ini biasanya ditunggangi
oleh kelompok elit untuk mendapatkan keuntungan politik
maupun ekonomi. Ketegangan yang terjadi menjelang
pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta dapat
menjadi contoh dari pendekatan ini. Sayangnya, pendekatan
instrumentalis kerap lebih berguna dalam menjelaskan
perilaku elit namun gagal dalam menjelaskan kelompok
masyarakat bawah dan pendekatan ini kurang mampu juga
menjelaskan perdamaian etnis. (Tong, 2009)
Berusaha menjembatani kedua pendekatan di atas,
pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa etnisitas
adalah identitas sosial bukan identitas individual. Menurut
pendekatan ini, etnisitas dapat berubah seiring dengan
perubahan komposisi masyarakat. Perubahan komposisi

~ 42 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

masyarakat mengubah juga sistem sosial di dalam masyarakat.


(Black, Natali, & Skinner, 2006; Partes, 2008; Saggar,
Somerville, Ford, & Sobolewska, 2012) Menurut pendekatan
ini kekerasan etnis biasanya terjadi akibat campuran faktor,
tekanan ekonomi dan hilangnya hak dalam politik. Karenanya,
dalam sudut pandang pendekatan ini sistem politik yang baik,
keadilan dalam perekonomian, kesetaraan di hadapan hukum
adalah solusi untuk mengurangi konflik etnis dan mencipakan
perdamaian etnis. (Tong, 2009)
Berbagai kajian mengenai kerukunan masyarakat di
Indonesia telah dilakukan oleh banyak sarjana. Salahudin
(2008), misalnya, dalam kajiannya mengenai kerukunan
di Desa Klepu Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa
Timur menemukan bahwa masyarakat mampu menjaga
keharmonisan antar warga yang memiliki keyakinan
keagamaan yang berbeda-beda, di mana penduduknya
beragama Islam dan Katholik, melalui aktivitas harian seperti
gotong royong, intensitas pertemuan antar warga yang cukup
tinggi, dan mendahulukan kepentingan warga tanpa melihat
identitas keagamaan. Selain kedua hal tersebut, keharmonisan
antar umat beragama di Desa Klepo terjadi karena adanya
jalinan kekerabatan yang tercipta dari pernikahan di antara
warga. Selain aspek-aspek ini, keharmonisan antar warga di
desa ini terjadi dengan masih dirawatnya tradisi slametan
yang dijalankan oleh setiap warga, baik yang beragama Islam
maupun Katholik, pada setiap hajatan pribadi.
Kajian yang dilakukan Mahadi (2013) terhadap kerukunan
antar umat beragama di Desa Talang Benuang Kabupaten
Seluma, Provinsi Bengkulu menemukan bahwa kerukunan
yang terjalin di desa ini, antara penduduk asli yang beragama
Islam dengan penduduk pendatang (para transmigran) yang
beragama Hindu, Kristen, dan lainnya terjadi karena interaksi
melalui berbagai kegiatan keseharian seperti gotong royong,
kelompok tani, kredit simpan pinjam, dan lainnya. Interaksi

~ 43 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

harmonis ini terjadi karena faktor-faktor berupa kesadaran


masyarakat mengenai kerukunan yang ditumbuhkan sejak
dini, wawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari, dan adanya ikatan kekerabatan akibat pernikahan.
Pentingnya peran ikatan kekerabatan akibat pernikahan
dalam membentuk kerukunan masyarakat, seperti dihasilkan
dalam kajian Salahudin (2008) dan Mahadi (2013), juga
dihasilkan dalam kajian yang dilakukan oleh Alam (2018) di
Kampung Pabayuran, Kabupaten Bekasi dan Ismail (2018)
di Desa Pabuaran, Kabupaten Bogor. Kajian-kajian ini
menegaskan bahwa ikatan kekerabatan berperan besar dalam
menjaga sebuah wilayah tetap rukun. Ketiadaan konflik di
daerah-daerah ini terjaga akibat rasa tidak nyaman setiap
warga jika harus berkonflik, karena mereka masih memiliki
hubungan saudara atau pertalian darah dengan warga lain.
Model kerukunan yang terjaga akibat ikatan kekerabatan
oleh sebab pernikahan ini tentu saja sulit untuk diduplikasi
di wilayah lain.
Selain peran ikatan kekerabatan akibat pernikahan, kajian
lain mengenai kerukunan di berbagai wilayah di Indonesia
menemukan bahwa perasaan senasib di daerah rantau
menjadi faktor utama menjaga kondisi damai sebuah daerah.
Hal ini umum ditemukan di wilayah-wilayah transmigrasi.
Bisa dikatakan bahwa kerukunan yang terjadi merupakan
bagian dari rekayasa sosial pemerintah. Meski merupakan
bagian dari rekayasa sosial pemerintah, namun peran serta
dan kesadaran warga dalam mencipatakan kerukunan juga
memainkan peran vital. Warga di desa-desa transmigran
ini sadar untuk tidak membuat pemukiman yang homogen
dan dihuni oleh penduduk dengan latar sosial yang sejenis.
(Mukhtaruddin, 2008; Mawardi, 2008; Siburian, 2017;
Hasanuddin, 2018)
Kajian lain mengenai kondisi rukun sebuah wilayah
menekankan pentingnya kearifan lokal dalam menjaga

~ 44 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kerukunan antar warga berbeda agama yang dilakukan oleh


Asmara (2018) terhadap masyarakat Suku Sasak di Pulau
Lombok Nusa Tenggara Barat. Dalam kajiannya tersebut
diketahui bahwa kerukunan antar umat beragama yang terjadi
pada masyarakat Suku Sasak karena terjaganya kearifan lokal
untuk bisa menghargai manusia lain. Kearifan lokal terwujud
dalam prinsip-prinsip lokal dan berbagai pepatah yang
menjadi media pendidikan bagi warga Suku Sasak sehingga
terpatri ke dalam alam pikiran mereka.
Berdasarkan kajian-kajian mengenai kerukunan umat
beragama di atas terlihat bahwa kerukunan antar umat
beragama dapat tercipta dengan dukungan faktor intensitas
pertemuan yang tinggi di antara warga dalam kegiatan
keseharian, terwujudnya saling percaya antar warga akibat
intensitas pertemuan dalam aktivitas keseharian, dan ikatan
kekerabatan yang tercipta dari pernikahan di antara sesama
warga, baik dengan sesama agama maupun perkawinan antar
agama, termasuk juga kearifan lokal yang terus dirawat dan
dijaga.
Tujuan makalah ini, pertama untuk mengetahui bentuk
modal sosial yang mampu merawat kerukunan umat
beragama di Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat. Dalam poin
pertama ini akan ditelaah juga kemungkinan kelangsungan
modal sosial ini serta strategi masyarakat dalam mengatasi
berbagai hambatan yang melemahkan maupun berbagai
faktor yang menguatkan keberlangsungan modal sosial ini.
Kedua, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk
kerja sama antar umat beragama Tungkal Ilir, Tanjung Jabung
Barat. Bagian ini juga akan menganalisis peran Pemerintah
Daerah serta berbagai komunitas lokal dalam merawat
tradisi kerukunan yang ada. Peneltiian ini diharapkan
mampu memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan
mengenai pengelolaan dan merawat kerukunan dengan

~ 45 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mempelajari berbagai pola kerukunan yang telah berkembang


pada komunitas-komunitas heterogen.
Penelitian ini merupakan kajian kualitatif dengan
rancangan studi kasus wilayah. Penelitian dilakukan di Kuala
Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kuala Tungkal
merupakan kota dengan penduduk yang terdiri dari beragam
etnis dan penganut agama. Beberapa literatur menyebut,
bahwa wilayah Tungkal Ilir (dahulu hanya dikenal sebagai
Tungkal) telah dihuni oleh beragam etnis sejak abad 17 hingga
kini dan hampir tidak pernah dilanda konflik sektarian.
(Locher-Scholten, 2008; Somad, 2002) Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara terhadap berbagai tokoh agama,
masyarakat, pemerintahan, dan warga setempat. Observasi
lapangan juga dilakukan untuk mengamati berbagai aktivitas
keseharian warga dalam berinteraksi satu dengan yang
lain. Studi kepustakaan menjadi metode pengumpulan data
skunder untuk menelaah berbagai aspek geografi, demografi,
dan kesejarahan wilayah penelitian. Penelitian dilakukan
dalam dua tahapan, pertama adalah studi penjajakan
untuk menggali informasi awal serta mengobservasi lokasi
penelitian. Tahapan ini dilakukan pada 29 Juli hingga
30 Agustu 2019. Tahap kedua adalah pengumpulan data
penelitian yang dilaksanakan selama lima belas hari sejak 30
Agustus hingga 13 September 2019.

Kerangka Konsep
Kerukunan
Kata “kerukunan” berasal dari kata rukun yang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai
baik, damai, dan tidak bertengkar atau bersatu hati dan
bersepakat. (KBBI, 2016) Dalam bahasa Inggris kata rukun
kerap dipadankan dengan kata “harmony (diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi harmoni)” awalnya digunakan

~ 46 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dalam dunia orkestra untuk menggambarkan keselarasan


bunyi dan nada dari setiap alat musik yang dimainkan.
(Merriam-Webster, 2019) Dalam konteks sosial, harmoni
bermakna “a stuation in which people are peaceful and
agree with each other, or when things seem right or suitable
together”. (Cambridge Dictionary, 2019)
Kata harmoni kerap dipadankan dengan kata toleransi,
yang berasal dari kata Latin tolerans/tolerare kemudian
diserap ke dalam Bahasa Inggris menjadi tolerance. Di
dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris kata ini
bermakna serupa, yaitu kemampuan untuk bisa berhubungan
dengan sesuatu yang tidak menyenangkan untuk terus
mempertahankan diri (keberadaannya) meski dalam kondisi
yang buruk dan sulit. (KBBI, 2016; Cambridge Dictionary,
2019; Merriam-Webster, 2019) Berdasarkan penjelasan ini,
terlihat bahwa ada perbedaan antara kerukunan dan toleransi.
Kerukunan merupakan sebuah proses terus-menerus dalam
menjaga keseimbangan sosial yang damai. Proses ini bisa saja
memerlukan sikap toleransi dari setiap anggota kelompok
sosial.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian
Rumah Ibadat (PBM Nomo 9 & 8) mendefinisikan kerukunan
sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya
dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

~ 47 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

PBM Nomor 9 & 8 juga menyebutkan bahwa kerukunan


umat beragama ini dapat terpelihara atas upaya bersama
dua belah pihak; umat beragama dan pemerintah. Hayat
(2012) menawarkan tiga pendekatan, yang sifatnya
berlapis (multi layers conception), dalam meningkatkan
kerukunan hidup beragama di Indonesia. Pertama adalah
pembangunan modal sosial (social capital) sebagai landasan
untuk mengatasi faktor endogen dan relasional yang
kerap menjadi faktor dalam konflik antar umat beragama
di Indonesia. Faktor endogen dijelaskan sebagai faktor
teologis dan ritual keagamaan, sementara faktor relasional
adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan hubungan antar
umat beragama seperti pendirian rumah ibadah, penyiaran
agama, dan penodaan agama. Kedua berupa pengembangan
kebangsaan berwawasan multikultural bagi setiap warga
negara dalam membangun Indonesia di tengah keragaman
dan kemajemukan penduduk. Ketiga pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik dengan pendekatan kebangsaan yang
berwawasan multikultural untuk mengatasi faktor eksogen.
Faktor eksogen yang dimaksud adalah faktor-faktor dari
luar seperti pengaruh globalisasi, ketimpangan dunia, dan
permasalahan hak asasi manusia (HAM).

Modal Sosial
Modal sosial merupakan konsep yang mulai terkenal saat
sosiologis Robert Putnam (Siisiäinen, 2000) mengelaborasinya
dan menyatakan bahwa modal sosial mampu mencegah
berbagai permasalahan sosial. Putnam mensinyalir bahwa
terjadinya banyak permasalahan sosial di Amerika pada
dekade 80-90an akibat hilangnya modal sosial dalam
masyarakat Amerika, yang mulai terjadi 30 tahun sebelum
dekade tersebut. Menurut Putnam, modal sosial memiliki tiga
komponen; ikatan moral dan norma yang terbentuk dalam
masyarakat, nilai-nilai sosial terutama rasa saling percaya, dan

~ 48 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

jejaring sosial terutama keterlibatan individu secara sukarela


dalam kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat formal.
Putnam menyatakan bahwa sebuah negara atau wilayah akan
memiliki sistem ekonomi dan politik yang baik dan warganya
sejahtera, maka ini merupakan keberhasilan wilayah tersebut
memanfaatkan modal sosial yang mereka punya.
Pada periode berikutnya, Putnam menjelaskan apa yang
disebut sebagai modal sosial yang menjembatani (bridge)
dan modal sosial yang mengikat (bond). Modal sosial yang
menjembatani adalah ikatan antar warga yang terdiri dari
berbagai kelompok masyarakat, baik etnis maupun agama,
yang tercipta atas dasar saling percaya di antara anggotanya.
Sedangkan modal sosial yang mengikat adalah ikatan antar
warga yang terdiri dari satu kelompok masyarakat, baik etnis
ataupun agama. Bentuk modal sosial pertama lebih inklusif,
sedangkan bentuk modal sosial yang kedua lebih eksklusif
karena cenderung memperkuat identitas kelompok sejenis.
(Siisiäinen, 2000; bandingkan dengan Varshney, 2009)
Varshney (2009) menyebut kelompok pertama sebagai
kelompok interkomunal sedangkan yang kedua merupakan
kelompok intrakomunal.
Konsep Putnam ini kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Varshney. (2001; 2009) Berdasarkan hasil
kajian mengenai konflik antara pemeluk Hindu dan Islam
di India, ia mengemukakan apa yang disebut sebagai ikatan
kewargaan asosiasional dan ikatan kewargaan keseharian.
Ikatan kewargaan asosiasional merupakan ikatan kewargaan
yang mengumpulkan beragam kelompok masyarakat, baik
dari segi etnis, agama, maupun identitas komunal lainnya.
Contoh ikatan kewargaan ini adalah organisasi profesi,
klub olahraga, serikat buruh, klub film. Sementara ikatan
kewargaan keseharian adalah ikatan yang mempertemukan
berbagai kelompok warga, dari beragam etnis, agama, dan
identitas komunal lainnya dalam aktivitas keseharian seperti

~ 49 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

saling kunjung saat hari besar agama, gotong royong, makan


malam bersama.
Varshney menyatakan bahwa kedua bentuk ikatan ini
penting dalam meningkatkan kondisi damai sebuah daerah.
Menurutnya, di kota-kota di India yang dilanda kerusuhan dan
kekerasan komunal, religiusitas warganya meningkat secara
nyata, bukan saja di kota-kota lain yang damai dari konflik
komunal. Ikatan kewargaan, baik asosioasional maupun
keseharian, mampu memfasilitasi atau mencegah terjadinya
kerusuhan. Meski kedua ikatan ini mampu mencegah sebuah
wilayah dilanda kerusuhan antar etnik, namun Varshney
(2009) berkeyakinan, berdasarkan bukti-bukti lapangan yang
dimilikinya, bahwa ikatan asosiasional yang lebih mampu
mencegah kerusuhan komunal dibanding ikatan keseharian.
Selain ikatan kewargaan, modal sosial lain yang paling
memengaruhi kondisi damai sebuah wilayah adalah peran
tokoh warga, baik agama maupun masyarakat (primus
interpares). Tokoh agama memilik peran penting dalam
struktur masyarakat dan kerap menentukan jalannya
perubahan sosial sebuah komunitas. Geertz misalnya
mengatakan bahwa Kiai memiliki peranan sebagai makelar
budaya (cultural broker), yaitu penyaring atas informasi
yang masuk ke lingkungan yang diasuhnya, menularkan apa
yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap
tidak berguna. Sayangnya, peranan itu akan gagal jika arus
informasi sangat deras dan tidak mungkin lagi disaring lagi
oleh Kiai. Horikoshi (1987) dalam kajiannya tentang Kiai
Yusuf Tajri menawarkan peran Kiai yang berbeda dari yang
diajukan Geertz. Hasil kajiannya menemukan bahwa Kiai
Yusuf Tajri berperan secara kreatif dalam perubahan sosial.
Bukan karena Kiai mencoba menyaring informasi untuk
meredam perubahan sosial yang terjadi melainkan karena
Kiai Yusuf Tajri justru memelopori perubahan itu sendiri.
Ia tidak melakukan penyaringan informasi melainkan

~ 50 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

memberikan berbagai alternatif agenda perubahan sosial


yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kiai Yusuf Tajri memahami bahwa bukan perubahan sosial
itu yang menjadi masalah melainkan bagaimana perubahan
tersebut dapat terjadi tanpa merusak ikatan-ikatan sosial
yang ada, dan memanfaatkan ikatan-ikatan sosial tersebut.
(Horikoshi, 1987)
Masyarakat tradisional biasanya memiliki mekanisme
tersendiri dalam penyelesaian konflik untuk menjaga kondisi
damai wilayah mereka. Perkara yang sangat berat, seperti
pembunuhan, biasanya baru dilimpahkan kepada kepolisian
untuk ditindak menggunakan hukum negara. Sementara
pada kasus-kasus perselisihan lain biasanya digunakan
prinsip persaudaraan. Pendekatan semacam ini tidak saja
mempercepat penyelesaian konflik namun juga mempererat
tali persahabatan di antara mereka yan berkonflik. Masyarakat
tradisional juga diajak berpartisipasi aktif mengamati
pelanggaran hukum. Hal ini untuk menjadi pembelajaran
bagi masyarakat untuk bisa menilai secara mandiri apa yang
boleh dilakukan dan yang tidak berdasarkan hukum adat yang
berlaku. (Hariyadi, 2013)
Hal ini terkait erat dengan pengetahuan lokal masyarakat
tradisional yang dibentuk melalui beberapa tahapan, di mana
masing-masing tahapan memerlukan waktu yang lama untuk
bisa berkembang dan tertanam di masyarakat. Tahapan
pertama adalah pengenalan dan pengetahuan yang sederhana
terhadap sumber daya alam, misalnya jenis tetumbuhan,
hewan, kondisi tanah, dan perairan. Setelah pengetahuan ini
dipahami, masyarakat tradisional pun mulai mengembangkan
tahapan kedua pengetahuan lokal, yaitu tata cara pengelolaan
berbagai sumber daya alam tersebut. Tahapan ini diisi dengan
berbagai uji coba, layaknya pengetahuan di dunia akademis
yang dikatakan ilmiah. Setelah diperoleh model pengelolaan
sumber daya alam ini, masyarakat mengembangkan tahapan

~ 51 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ketiga pengetahuan lokal, yaitu membentuk kelembagaan


tradisional untuk menerapkan sistem pengelolaan yang
telah mereka dapat. Melalui kelembagaan ini, sumber daya
alam yang terbatas dikelola sehingga dapat dinikmati oleh
seluruh anggota masyarakat dan dapat berkelanjutan.
Tahapan keempat atau terakhir pembentukan pengetahuan
lokal adalah berkembangnya sejumlah nilai, pandangan, dan
kepercayaan (worldview) yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam. Sistem pengetahuan ini berkaitan dengan
tradisi dan kehidupan sosial budaya yang berlaku di masing-
masing kelompok masyarakat. (Hariyadi, 2013)

Daratan yang Tumbuh Kota Bersama Bagi Para Pendatang; Profil


Geografis dan Demografis
Sejarah mencatat bahwa wilayah Tanjung Jabung dahulu
lebih dikenal sebagai Tungkal, sebuah wilayah di sepanjang
aliran Sungai Tungkal (Gambar 1) dengan muara di Pantai
Timur Sumatera. (Locher-Scholten, 2008; bandingkan
dengan Somad, 2002) Topografi daratan seperti ini kemudian
membentuk peradaban sungai, seperti pada umumnya di
wilayah lain di Jambi yang banyak dialiri sungai. Wilayah
Tungkal, saat ini disebut sebagai Kuala Tungkal, kemudian
menjadi bagian dari kabupaten Tanjung Jabung Barat,
salah satu kabupaten di Provinsi Jambi hasil pemekaran
berdasarkan Undang-undang Nomor 54 tahun 1999.
Awalnya kabupaten ini bernama Kabupaten Tanjung Jabung
kemudian dimekarkan menjadi Kabupaten Tanjung Jabung
Barat sebagai daerah asal dan Kabupaten Tanjung Jabung
Timur sebagai wilayah hasil pemekaran. Nama Tanjung
Jabung secara resmi baru digunakan pada tahun 1965 setelah
dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1965.
Pada tahun ini Kabupaten Batanghari dipecah menjadi dua
Kabupaten Dati II, yaitu Kabupaten Batanghari dengan
ibukota Kenaliasam dan Kabupaten Tanjung Jabung dengan

~ 52 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ibukota Kuala Tungkal. Baru pada tahun 1992, Kabupaten


Tanjung Jabung dipecah menjadi Tanjung Jabung Barat
dengan Ibukota Kuala Tungkal dan Tanjung Jabung Timur
dengan ibukota Pangkalan Bulian. (Pemkab Tanjab Barat,
2019).

Gambar 1. Peta Wilayah Tanjung Jabung Barat

Provinsi Jambi sendiri, setahun pasca kemerdekaan,


merupakan salah satu keresidenan di dalam Provinsi Sumatera
Tengah dengan wilayahnya mencakup Batanghari dan
Sarolangun Bangko berdasarkan keputusan Komite Nasional
Indonesia (KNI) yang kemudian dikuatkan dalam Undang-
undang Darurat Nomor 19 tahun 1957.Berdasarkan Undang-
undang Nomor 61 tahun 1958 Keresidenan Jambi ditetapkan
menjadi Provinsi Daerang Tingkat I (Dati I) yang terdiri dari
Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko, dan
Kabupaten Kerinci. (Pemkab Tanjab Barat, 2019)
Secara geografis Jambi banyak dilewati sungai-sungai
lebar dan berbatasan langsung dengan wilayah yang pada
masa kolonial dianggap penting, yaitu Riau dan Sumatera
Barat di bagian Utara, Bengkulu di bagian Barat, Sumatera
Selatan di bagian Selatan, dan Selat Berhala di bagian Timur
yang menghubungkan wilayah ini dengan Kalimantan dan

~ 53 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Malaysia melalui selat Malaka. Kontur geografis seperti ini


mempercepat persebaran penduduk yang beragam. Meski
dianggap bukan sebagai daerah penting pada masa kolonial,
hampir di seluruh daratan Jambi telah dihuni, tidak saja
penduduk asli namun juga, banyak pendatang dari berbagai
wilayah sekitarnya.(Locher-Scholten, 2008; Somad, 2002)
Pentingnya jalur perairan sungai ini dinyatakan Makmur
(2018) yang menulis bahwa Malaka merupakan titik masuk
migrasi orang Tionghoa ke Sumatera Barat sejak pertengahan
abad ke-15. Saat itu Malaka merupakan pusat perdagangan
terbesar di Asia Tenggara. Posisi pantai timur Sumatera yang
berbatasan dengan Selat Malaka sangat setrategis sebagai
persinggahan para pedagang. Kondisi ini memberikan
keuntungan bagi daerah-daerah di sekitarnya, termasuk
Sumatera Barat yang terhubung dengan Selat Malaka
melalui jalur transportasi sungai. Buktinya adalah dengan
ditemukannya pecahan keramik dari masa Dinasti Song (abad
ke-12-14 M) di sepanjang jalur sungai sampai ke pedalaman
Sumatera Barat.
Sebagai wilayah dengan banyak aliran sungai, sebagian
besar Pesisir Timur Jambi merupakan daratan muda dan
berbentuk rawa, yang terbentuk dari endapan lumpur yang
terbawa aliran sungai dari pedalaman menuju laut. Mengutip
vanBemmelen, Muljana (2006) menyatakan bahwa garis
pantai pada Muara Batanghari betambah lebar 7,5 km dalam
tempo 100 tahun, yang berarti rerata bertambah 75 meter
setiap tahun. Kondisi yang sama ditemukan di wilayah
Tungkal. Pada tahun 1930an, wilayah Tungkal merupakan
daerah yang tergenang air, banyak lumpur, dan hutan bakau.
Daratan di Tungkal terus bertambah akibat banyaknya lumpur
yang dibawa oleh Sungai Tungkal dan berbagai sungai kecil
lain di sekitarnya. Seperti disaksikan langsung oleh Halim
Kasim, tokoh agama dan masyarakat Kuala Tungkal, yang

~ 54 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mengatakan, “Saya kecil dulu, Pangkal Babu1 itu masih laut,


sekarang sudah jadi daratan. Dalam lima puluh tahun (sudah
bertambah daratan) dua kilo (meter) ada itu” (Wawancara, 1
September 2019).
Masih dikemukakan oleh Halim Kasim, wilayah Tungkal
hingga ke Senyerang, pada akhir abad ke-19 hingga permulaan
abad ke-20 merupakan daerah kosong. Orang Melayu Jambi
bermukim hanya di Tungkal Ulu hingga daratan di Senyerang.
Daerah ini mulai berkembang saat Orang Banjar yang berasal
dari Kalimantan datang. Mereka membuka hutan, membuat
parit besar dan kecil untuk mengatasi kelebihan volume air
akibat topografi daratan yang berupa rawa dan penuh lumpur,
agar bisa didiami, dihuni, dan ditumbuhi berbagai tanamanan
pangan.2 “Parit-parit ini mengalirkan air ke laut dan galian
lumpurnya ditimbun menjadi rubban (dam) sebagai penahan
agar air laut tidak masuk. Dengan rubban ini, maka keasaman
tanah menjadi hilang dan terjaga sehingga dapat ditumbuhi
tanaman. Pohon kelapa adalah tumbuhan yang banyak
ditanam penduduk Tungkal. Hasil panennya banyak dibawa
ke keluar Tungkal, di antaranya Singapura dan Malaysia.
Melihat prospek yang besar dari hasil kelapa di Tungkal ini,
Belanda membangun pelabuhan dan mulai menerapkan
cukai dan pajak”. (Wawancara, 1 September 2019) Masuknya
Belanda ke Tungkal membuka babak baru wilayah ini yang
kemudian menjadi salah satu pusat perdagangan di Pantai
Timur Jambi yang mengundang banyak pendatang untuk
bermukim atau sekedar singgah.

1
Pangkal Babu merupakan daratan seluas 200 hektar yang kini menjadi
lokasi destinasi wisata hutan bakau di Tanjung Jabung Barat. (lihat http://
tanjabbarkab.go.id/site/pariwisata/)
2
Masyarakat Tungkal sebagian besar masih menyebut wilayah di
daerah ini menggunakan pemilahan berdasarkan parit-parit yang ada,
seperti menyebut Kelurahan Tungkal Harapan dengan Parit 1. Parit-parit
yang terdapat di Kuala Tungkal saat ini masih bisa ditemui meski tidak
selebar dan sepanjang saat pertama dibangun.

~ 55 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Menurut Halim Kasim, “setelah kedatangan orang-orang


Banjar, mulai berdatangan penduduk dari wilayah lain,
seperti Bugis, Jawa, Minang yang sudah ada di Tungkal Ulu,
dan Batak. Orang-orang Batak ini kebanyakan didatangkan
Belanda untuk bekerja sebagai administratur. Karena saat itu
orang Banjar dan warga lainnya tidak memiliki latar belakang
pendidikan umum. Hanya orang-orang Batak dan sebagian
Minang yang memilki latar belakang pendidikan umum.
Orang-orang Batak yang datang ke Tungkal merupakan
orang Batak yang beragama Islam, baru setelah kemerdekaan
berdatangan orang Batak yang beragama Kristen. Orang-
orang Cina masuk ke Tungkal bersamaan dengan dibukanya
pelabuhan di Tungkal oleh Belanda. Banyak dari mereka yang
membuka usaha, termasuk juga orang-orang India. Mereka
banyak datang dari Singapura dan Malaya”. (Wawancara, 1
September 2019)
Locher-Scholten (2008) menulis, berdasarkan hasil
kajiannya terhadap berbagai dokumen peninggalan kolonial
Hindia-Belanda, bahwa Jambi abad ke-18 hingga ke-19
menyimpang dari pola umum populasi Melayu kala itu. Sultan
Jambi berkuasa bukan atas populasi Melayu yang homogen
dengan asal-usul yang sama, melainkan atas banyak kelompok
etnis yang berbeda-beda. Heterogenitas ini yang membuat
sulit menegakkan otoritas sentralistis yang konsisten. Dalam
kajiannya ini, Locher-Scholten (2008) menyebut bahwa saat
itu telah hidup di Jambi secara berdampingan, meski di bawah
otoritas kekuasaan yang berbeda-beda, penduduk Melayu,
kelompok-kelompok batin, penduduk asal Minangkabau,
suku Kubu yang tinggal nomaden, suku-pindah, kelompok
Penghulu, orang-orang Arab dan Cina yang berperan penting
dalam perdagangan rempah-rempah.
Masih dalam catatan Locher-Scholten (2008), pada
abad ke-19 populasi campuran yang terdiri dari suku
Minangkabau, Johor, dan Jawa telah menghuni sepanjang

~ 56 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Sungai Tungkal, yang kini disebut sebagai Tanjung Jabung.


Komposisi penduduk yang beragam ini terus berlanjut hingga
abad ke-20. Somad (2002) mencatat, penduduk yang masuk
dan bertempat tinggal di Tanjung Jabung berasal dari banyak
suku dan etnis. Mereka antara lain adalah orang-orang
Banjar, para pelaut asal Bugis dan Bajau, penduduk dari tanah
Minangkabau, para transmigran yang kebanyakan berasal
dari Jawa, orang-orang keturunan Cina, Arab, dan India yang
profesi kebanyakan mereka adalah pedagang.
Penduduk Tanjung Jabung Barat awalnya terkategori
menjadi dua, penduduk asli dan penduduk pendatang.
Penduduk asli merupakan penduduk suku Melayu Jambi
dan penduduk pendatang adalah penduduk yang datang
dari berbagai wilayah di Nusantara dan luar negeri dengan
beragam suku dan etnis. Penduduk pendatang ini memiliki
komposisi lebih banyak dibanding penduduk asli, karena
penduduk pendatang inilah yang membuka dan kemudian
mengembangkan wilayah ini. Penduduk pendatang terbanyak
berasal dari Banjar dengan komposisi mencapai 30% dari
populasi penduduk yang tersebar di Tungkal Ilir, Pengabuan,
dan Betara. Suku dan etnis lain yang juga mendiami Tanjung
Jabung Barat adalah Jawa, Bugis, Minang, Bajau, Batak, Cina,
dan lainnya. (Kasim, 2012)
Apa yang dikemukan oleh Kasim di atas merupakan
perkiraan kasar mengenai komposisi penduduk berdasarkan
suku dan tidak ada data yang pasti mengenai penduduk
terbanyak berdasarkan suku di Kuala Tungkal atau Tanjung
Jabung Barat secara umum. Perkiraan ini didasarkan atas
fakta sejarah bahwa Suku Banjar merupakan penduduk yang
pertama membuka dan mendiami Kuala Tungkal. Kasim
(2012) menyatakan bahwa hijrah besar orang Banjar baru
terjadi pada 1905, meski dikatakannya bahwa sejak 1780
dan 1862 telah ada Orang Banjar yang datang ke Tungkalilir.
Sedangkan Ardian, dkk. (2002) menyebut bahwa orang Banjar

~ 57 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pertama kali datang ke Kuala Tungkal pada 1902 sebanyak


16 orang dipimpin oleh Haji Abdul Rasyid yang disusul oleh
sejumlah 56 orang melalui Sungai Pinang yang dipimpin oleh
Haji Anuari. Setelah dua kelompok pertama ini, berdatangan
kemudian orang-orang Banjar ke Kuala Tungkal yang berasal
dari Lampihong, Kandangan, dan Biyarang demi menghindar
dari tekanan pajak dan kerja paksa pemerintahan Balanda.
Mereka membuka lahan pertanian dan membuat parit-parit
untuk mengatasi kontur tanah yang merupakan rawa.
Kedatangan orang-orang Banjar di Kuala Tungkal ini
merupakan bagian dari migrasi besar-besaran orang Banjar ke
banyak wilayah, terutama di Semenanjung Malaka. Muchtar
Naim (dalam Basri, 1988) mencatat bahwa Pulau Sumatera
menjadi salah satu tujuan utama migrasi orang Banjar, selain
semenanjung Malaya. Naim mencatat setidaknya terdapat
33.430 orang Banjar bermigrasi ke wilayah Sumatera. Jumlah
orang Banjar yang paling banyak terdapat di Sumatera
Utara, kemudian di Riau, lalu di Jambi. Selain ketiga daerah
ini, terdapat juga persebaran penduduk Banjar di wilayah
Bengkulu, Palembang, dan Bangka.
Motif migrasi orang Banjar ke berbagai wilayah dilandasi
oleh motif keresahan politik di zaman kolonial Belanda. Banyak
warga Banjar yang migrasi ke luar wilayah karena enggan
bekerjasama dengan pemerintah kolonial, menolak penarikan
pajak, dan menghindar dari penerapan kerja paksa. Berbagai
daerah asal migran Banjar seperti Banjarmasin, Amuntai,
Kandangan, Barabai, Tanjung, dan Martapura adalah daerah-
daerah penghasil hasil pertanian dan mineral, terutama intan,
utama di Kalimantan Selatan. Besarnya potensi wilayah
di daerah-daerah tersebut membuat pemerintah Kolonial
Belanda menguasai wilayah tersebut. Wilayah-wilayah
tersebut di atas pada abad XIX juga merupakan wilayah
dengan jumlah jamaah haji terbesar dibanding daerah lain
di Kalimantan Selatan. Jumlah haji yang tinggi pada saat itu

~ 58 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

menunjukkan juga tingkat kesejahteraan pernduduk.


Mata pencaharian mereka di tempat tujuan migrasi tidak
berbeda dengan pola mata pencaharian di daerah asal, yaitu
bertani padi, membuka perkebunan karet dan perkebunan
kelapa yang diolah menjadi kopra. Pada generasi awal
migrasi, orang-orang Banjar dianggap sebagai yang terbaik
dalam membuka hutan dan membuat saluran air atau parit.
Karl J. Pelzer (dalam Basri, 1988) melaporkan bahwa pada
1917 pemerintah kolonial mendatangkan banyak orang Banjar
untuk membuka lahan di wilayah Sumatera Timur. Mereka
ini berasal dari daerah Hulusungai, Kandangan, Barabai, dan
Tanjung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Orang Banjar yang hijrah ke Kuala Tungkal kesemuanya
beragama Islam dan terdiri dari para saudagar dan pedagang,
petani, bangsawan, dan ulama. Orang-orang Banjar ini yang
memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam di Tanjung
Jabung Barat dan Pesisir Timur wilayah Jambi bahkan
Sumatera. Besarnya peranan ulama Banjar dalam penyebaran
Islam di Tungkal Ilir ini dapat dilihat dari Madrasah Hidayatul
Islamiyah yang resmi didirikan pada tahun 1936, sebagai
sekolah agama pertama di Tanjung Jabung (saat itu) dan masih
berdiri hingga kini. Dari perguruan ini kemudian muncul
guru-guru agama di Tungkal Ilir. (Kasim, 2012; Kasim, 1997)
Pada masa setelah kemerdekaan, Islam di Tungkal Ilir makin
berkembang dengan berdirinya Pondok Pesantren Baqiyatus
Shalihat dan Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nadwah.
Setelah kedatangan orang-orang Banjar, menurut Halim
Kasim, “baru (kemudian) mulai berdatangan penduduk dari
wilayah lain, seperti Bugis, Jawa, Minang yang sudah ada di
Tungkal Ulu, dan Batak. Orang-orang Batak ini kebanyakan
didatangkan Belanda untuk bekerja sebagai administratur.
Karena saat itu orang Banjar dan warga lainnya tidak memiliki
latar belakang pendidikan umum. Hanya orang-orang Batak
dan sebagian Minang yang memilki latar belakang pendidikan

~ 59 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

umum. Orang-orang Batak yang datang ke Tungkal merupakan


orang Batak yang beragama Islam, baru setelah kemerdekaan
berdatangan orang Batak yang beragama Kristen. Orang-
orang Cina masuk ke Tungkal bersamaan dengan dibukanya
pelabuhan di Tungkal oleh Belanda. Banyak dari mereka yang
membuka usaha, termasuk juga orang-orang India. Mereka
banyak datang dari Singapura dan Malaya”. (Wawancara 1
September 2019)
Apa yang dikemukakan Halim Kasim sejalan dengan
penuturan Suwarno, tokoh masyarakat Tionghoa Kuala
Tungkal dan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Tanjung Jabung Barat. Ia mengatakan, bahwa “etnis
Tionghoa masuk Kuala Tungkal waktu zaman Belanda.
Awalnya itu bukan di Tungkal, melainkan di Tebing Tinggi
(dahulu masuk bagian Tungkal Ulu). Makin lama, dengan
perkembangan di Tungkal Ilir, banyak penduduk etnis
Tionghoa kemudian pindah ke Tungkal Ilir sehingga kini
hampir tidak ada etnis Tionghoa di Tungkal Ulu. Kuburan
Nenek (buyut) saya sudah ada di sini (Tungkal Ilir) dan
berusia 70-80 tahun. (Artinya) Nenek saya meninggal di tahun
1930an. Nenek buyut saya aslinya memang dari Tiongkok,
Cina sana, (kemudian) merantau ke sini (ke Tungkal Ulu).
Beliau meninggal pada usia sekitar 50an. (Artinya) beliau
lahir sekitar 150 tahun yang lalu”.
Keragaman suku di Kuala Tungkal ini juga mencerminkan
jenis pekerjaan mereka. Orang-orang Banjar, sebagai
penduduk yang lebih dahulu menghuni Kuala Tungkal,
banyak memiliki tanah yang difungsikan sebagai lahan
perkebunan. Selain memiliki lahan mereka banyak bekerja
di bidang pendidikan keagamaan swasta dan pedagang.
Sedikit sekali menemukan penduduk suku Banjar yang
bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Hal ini bisa jadi
berkaitan erat dengan faktor sejarah yang mengaitkan jenis
pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan dengan bekerja

~ 60 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kepada penjajah. Pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan


ini banyak dipegang oleh penduduk yang berasal Melayu dari
Kota Jambi dan penduduk bersuku Batak.
Selain penduduk suku Banjar, di Kuala Tungkal terdapat
juga penduduk suku Bugis dan Bajo, penduduk Kuala Tungkal
kerap menyebut mereka sebagai suku laut, yang sebagian
besar bekerja sebagai nelayan. Mereka bermukim di sepanjang
bibir pantai dan sungai Tungkal. Terdapat juga penduduk dari
suku Jawa yang banyak bekerja sebagai pedagang makanan
dan sayur mayur. Penduduk suku Minang juga banyak
menghuni Kuala Tungkal dengan bekerja sebagai pedagang.
Kemudian adalah penduduk etnis Tionghoa yang bekerja di
sektor perdagangan. Keberadaan etnis Tionghoa di Kuala
Tungkal ini menjadi penggerak roda perekonomian Kuala
Tungkal, karena mereka memilki banyak gudang pengumpul
hasil perkebunan berupa kopra dan pinang. Ferdy Efendi,
Sekretaris FKUB Tanjung Jabung Barat, menggambarkan,
bahwa “rata-rata penganut agama Konghucu (yang beretnis
Tionghoa) adalah tauke-tauke, bos-bos, yang memiliki
gudang-gudang yang ada di sepanjang jalan. Masyarakat rata-
rata bekerja pada mereka. Kalau keberadaan orang-orang
(Tionghoa) ini putus, (maka) penghasilan mereka (warga) ini
(juga) bisa putus. Roda perekonomian di Kuala Tungkal ini
digerakkan oleh etnis China”. (Wawancara 30 Juli 2019)
Meski memiliki peran penting dalam berjalannya roda
perekonomian di Kuala Tungkal, penduduk etnis Tionghoa
tidak bertempat tinggal di tempat khusus seperti terjadi di
banyak daerah lain. Seperti dikemukakan Makmur (2018)
orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia biasanya
tinggal di pemukiman khusus yang telah diatur Belanda,
biasa disebut sebagai Pecinan. Pengaturan pemukiman
yang dikhususkan bagi warga Tionghoa ini tidak lepas dari
politik devide et empera (pecah belah) yang dijalankan
Hindia-Belanda. Awalnya, masyarakat etnis Tionghoa tinggal

~ 61 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

membaur dengan masyarakat lokal dan mereka hidup


berdampingan secara harmonis. Hubungan baik penduduk
lokal dengan etnis Tionghoa ini dianggap sebagai “duri
dalam daging” dalam usaha mereka menguasai Indonesia.
Akhirnya, ditempatkanlah penduduk etnis Tionghoa ini
dalam pemukiman yang khusus. Pengkhususan ini bukan
diberlakukan bagi penduduk etnis Tionghoa, namun juga
warga lain yang bukan asli Indonesia yang oleh pemerintahan
kolonial disebut sebagai Vreemde Oosterlingen (oriental
asing). (Makmur, 2018)
Penduduk etnis Tionghoa di Kuala Tungkal, meski
memiliki toko untuk berdagang, tidak banyak yang tinggal
di dalam toko. Sebagian besar mereka bermukim di rumah-
rumah yang berdampingan dengan penduduk dari etnis lain.
Gambaran hubungan antara penduduk etnis Tionghoa dengan
penduduk etnisdi Kuala Tungkal dapat meminjam apa yang
dikemukakan oleh Makmur (2018) dalam menggambarkan
hubungan antara penduduk Tionghoa di Kota Padang dengan
penduduk lain, yaitu sangat harmonis. Awalnya bisa jadi
merupakan hubungan yang bersifat mutualisme ekonomis,
namun bereskalasi menjadi hubungan yang dekat secara
tulus.

Tabel 1. Komposisi Penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Barat


Berdasarkan Wilayah dan Agama Yang Dianut
Agama Satuan:Jiwa
Nama Tidak
Kecamatan Khong- Lain- Tidak
Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Ditanya- Jumlah
hucu nya Terjawab
kan
Tungkal Ulu 11.392 1.143 39 4 8 - - - - 12.586
Merlung 14.333 902 56 6 3 - - 2 - 15.302
Batang Asam 19.116 4.134 453 2 1 - - - 22 23.728
Tebing Tinggi 31.189 2.590 168 11 139 43 - - 24 34.164
Renah
11.131 586 40 - 1 - - 35 35 11.828
Mendaluh
Muara
9.561 703 32 7 4 - - - - 10.307
Papalik
Pengabuan 23.365 32 6 - - 1 - - - 23.404
Senyerang 22.345 46 - 1 - 1 - - - 22.393
Tungkal Ilir 63.683 1.008 194 7 1.357 100 1 26 1.441 67.817

~ 62 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Agama Satuan:Jiwa
Nama Tidak
Kecamatan Khong- Lain- Tidak
Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Ditanya- Jumlah
hucu nya Terjawab
kan
Bram Itam 14.642 66 3 - 18 - - - 1 14.730
Seberang
8.198 5 - - - - - - - 8.203
Kota
Betara 23.462 387 23 1 2 - - - 29 23.904
Kuala Betara 10.339 32 4 - - - - - - 10.375
Total 262.756 11.634 1.018 39 1.533 145 1 63 1.552 278.741
BPS RI, 2010; Sensus Penduduk

Saat ini, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang


dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS
RI, 2010, Tabel 1.) menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten
Tanjung Jabung Barat berjumlah 278.741 jiwa. Pada tahun
2017 penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Barat diprediksi
bertambah menjadi 322.527 jiwa yang mendiami wilayah
seluas 5.009,82 km2, dengan penduduk berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 167.005 jiwa dan penduduk berjenis kelamin
perempuan sebanyak 155.522 jiwa. Penduduk terbanyak
terdapat di Kecamatan Tungkal Ilir yang merupakan ibukota
kabupaten, dengan komposisi mencapai 24% dari total
penduduk, dengan kepadatan penduduk mencapai 724 jiwa
per km2. (BPS Tanjab Barat, 2018) Berdasarkan Sensus
Penduduk 2010, (BPS RI) penduduk yang memeluk agama
Islam memiliki komposisi terbanyak, mencapai 94,27%
dari keseluruhan penduduk. Penduduk dengan keragaman
beragama tertinggi terdapat di Kecamatan Tungkal Ilir,
Kecamatan Batang Asam, dan Kecamatan Tebing Tinggi.
Meski keragaman pemeluk agama terdapat di tiga
kecamatan seperti tersebut di atas, namun fasilitas
peribadatan paling variatif terdapat di Kecamatan Tungkal
Ilir. Di kecamatan ini terdapat empat jenis rumah ibadah bagi
empat pemeluk agama yang berbeda (Tabel 2.), yaitu masjid
bagi umat Islam, gereja bagi umat Kristen dan Katolik, vihara
bagi umat Buddha, dan kelenteng bagi pemeluk Khong Hu
Chu. Secara kuantitas, fasilitas peribadatan di kecamatan

~ 63 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tungkal Ilir juga lebih banyak dibanding kecamatan lain di


Tanjung Jabung Barat. (BPS Tanjab Barat, 2018) Ini tentu
saja juga berkaitan dengan rasio jumlah penduduk yang lebih
banyak mendiami kecamatan ini dibanding kecamatan lain.
Keragaman pemeluk dan rumah ibadat di Tungkal Ilir ini,
yang merupakan Ibukota Kabupaten, kemungkinan berkaitan
erat dengan latar belakang sejarah seperti telah disinggung
di atas, di mana wilayah ini merupakan pusat peradaban dan
bermukimnya banyak penduduk di Kuala Tungkal.

Tabel 2. Tempat Peribadatan Menurut Kecamatan


di Tanjung Jabung Barat
Gereja Gereja
Kecamatan Masjid Mushalla Pura Vihara Kelenteng
Katolik Kristen
Tungkal Ulu 20 10 2
Merlung 22 36
Batang Asam 30 20 15
Tebing Tinggi 25 28 6
Renah Mendaluh 10 29
Muara Papalik 19 17
Pengabuan 32 40
Senyerang 31 117
Tungkal Ilir 65 13 1 2 1 1
Bram Itam 10
Seberang Kota 9
Betara 25 41
Kuala Betara 23 22
Total 321 373 1 25 1 1
BPS Tanjab Barat, 2018; Tanjung Jabung Barat dalam Angka 2018.

Berdasarkan keragaman latar belakang penduduk


Kuala Tungkal, kota ini kemudian membuat semboyan
“Kota Bersama” yang digagas pada tahun 1985. Arti dari
semboyan ini adalah “kita semua di sini adalah saudara,
bersama”. Hasanuddin, Kepala Sub Bagian Tata Usaha
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tanjung Jabung
Barat menjelaskan semboyan Kota Bersama ini sebagai “tidak
ada yang bisa mengklaim (sebagai) penduduk lokal atau
asli. Siapapun yang lahir dan besar di Kuala Tungkal adalah
penduduk asli”. (Wawancara, 2 September 2019).

~ 64 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Praksis Kerukunan Warga Tungkal Ilir


Wujud kerukunan umat beragama di Tungkal Ilir terlihat
pada perayaan hari besar keagamaan. Tanjung Jabung
Barat terkenal di Provinsi Jambi sebagai daerah yang kerap
melakukan perayaan haul Syeikh Abdul Qadir Jaelani.
Kegiatan haul ini biasanya diisi dengan pengajian, zikir akbar,
dan taklim. Pondok Pesantren Baqiyatush Shalihat biasanya
menjadi pusat kegiatan di Tungkal Ilir. Tamu yang datang
saat acara ini tidak hanya warga setempat, tapi juga dari
banyak tempat di Tanjung Jabung Barat, dari berbagai kota
dan kabupaten di Provinsi Jambi, dari luar provinsi, bahkan
tak sedikit yang datang dari Malaysia dan negara serumpun
lainnya. Saat kegiatan haulan ini (dalam penyebutan
pendudukan setempat), warga non-Muslim juga banyak
membantu. Halaman parkir kelenteng dan vihara yang luas
dan berdekatan pondok pesantren digunakan untuk parkir
kendaraan para tamu, jamaah berbabagi agama menyediakan
minuman dan penganan dalam jumlah yang tak terbatas.
Al-Farizal Fajri, Lurah Kelurahan Sungai Nibung,
menjelaskan salah satu contoh kepedulian warga non-Muslim
adalah pada saat acara haulan berlangsung, “kalau kita di
sini kan ada berbagai macam agama nih. Selain Islam, yang
Hindu ada, yang Kristen ada. Di sini untuk konflik antar
agama ndak pernah ada. Kami di sini (ada) perayaan haulan,
contohnya. Haulan Syeikh Abdul Qadir Jaelani termasuk
acara besar juga setiap tahunnya di Tanjung Jabung Barat
ini. Yang menyelenggarakan Pondok Pesantren (Baqiyatus
Shalihat). Waktu hari hujan dan jalanan banjir. Malah yang
mengambilkan airnya itu (membersihkan air akibat banjir)
untuk kelancaran acara dari (penduduk) agama lain. Itu
salah satu contohnya. Saat melaksanakan (lomba) MTQ pun,
malah kami adakan sistem lelang kue. Itu yang mengambil
(ikut serta) bukan umat Islam saja, di situ ada orang Hindu,

~ 65 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

orang-orang di luar agama Islam itu juga ambil (bagian).”


(Wawancara 30 Juli 2019)
Selain kepedulian warga non-Muslim pada saat hari-
hari besar umat Islam, kepedulian warga Tungkal Ilir juga
ditunjukkan pada saat terjadi kisruh pembangunan kembali
kelenteng yang dipindah akibat kondisi bangunan yang
sudah tidak layak untuk beribadah karena dikhawatirkan
menimbulkan sengketa. Ada gugatan dari sekelompok
masyarakat yang berasal dari luar, namun ditangkal oleh
masyarakat. Dijelaskan Ferdy Efendi, yang merupakan
Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, “contoh kecil pembangunan
kembali Kelenteng di samping (Kantor Kesbangpol Kabupaten
Tanjung Jabung Barat), yang dahulu di sebelah Vihara, karena
tapak tanah di bangunan kelenteng yang lama itu tanah
pribadi. Justru yang menimbulkan berita yang tidak sedap
tentang kepindahan kelenteng ini (adalah) masyarakat dari
luar, ormas-ormas tertentu. Mereka tidak paham keberadaan
bahwa (pembangunan kelenteng) ini bukan izin baru, bukan!
Ini adalah sarana peribadatan lama yang dibangun di tempat
baru. Hal ini terjadi karena ada berita-berita dari mulut ke
mulut yang tidak memahami permasalahan yang sebenarnya.
Tapi kalau masyarakat sendiri justru (bertanya-tanya), kenapa
kamu menolak pendirian rumah ibadah, tempat beribadah?
Nah, kami meyakini bahwa terbentuknya kerukunan ini
bukan karena kondisi dan dikondisikan, tapi karena kearifan
lokal.”(Wawancara 30 Juli 2019)
Kondisi kerukunan antar umat beragama di Tungkal
Ilir, dikemukakan Ferdi Efendi, “... terbangunnya kondisi
kerukunan ini benar-benar dari titik awal kearifan lokal
tadi. Di sini banyak suku, berbilang agama, terus semua
berkomitmen. Jadi (ini merupakan sesuatu yang) sederhana
tapi hasilnya luar biasa.” (Wawancara 30 Juli 2019) Sebagai
contoh misalnya, banyak warga Tionghoa di Kuala Tungkal

~ 66 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang memiliki pergudangan kopra dan pinang dengan pekerja


yang berasal dari etnis lain. Mereka memiliki kebijakan untuk
tidak melakukan bongkar muat pada hari Jumat sejak pagi
hingga usai ibadah Jumat. Hari penuh melakukan bongkar
muat malah dilakukan pada hari Minggu. Para pemiliki
gudang yang rerata non Muslim ini malah mempercayakan
supervisi pekerjaan bongkar muat ini kepada pekerja Muslim
sementara mereka melakukan ibadah Minggu.
Selain itu, tradisi saling kunjung pada saat perayaan hari
besar keagamaan juga masih dilakukan di Kuala Tungkal.
Ujang Ruhiyat, Kepala Sekolah SD Nasional menceritakan
pengalamannya, bahwa “kehidupan beragama di Tungkal
ini rukun nian. Pas hari Imlek, si guru-guru (yang beragama
Islam) ini berkunjung. Bukan guru-guru saja yang berkunjung,
masyarakat pun berkunjung. Seperti itu juga, yang orang
Islam merayakan (hari raya keagamaan), mereka datang
juga. Orang tua murid, kadang datang ke sekolah. Masyarakat
seperti itu juga, kalau kita yang Muslim merayakan Idul Fitri,
tetangga-tetangga yang non-Muslim datang juga. Kalau di sini
kerukunan bagus sekali”. (Wawancara 08 September 2019)
Selain perayaan hari raya, pada perayaan hari besar
keagamaan lainnya juga banyak umat agama lain ikut serta.
Sebagai contoh, Saat perayaan hari besar, seperti Maulid
Nabi SAW, banyak siswa non-Muslim yang mengikuti
kegiatan ini. Sementara saat perayaan agama lain, guru-guru
Muslim bertandang ke rumah rumah guru Pendidikan Agama
Buddha. Di Kuala Tungkal ini, perayaan Imlek dan Cap Go
Meh lebih semarak sehingga siswa dari etnis Tionghoa, meski
beragama Buddha atau Kristiani, lebih sering merayakan ini.
Menurut Ujang Ruhiyat, hal ini terjadi karena “kesadaran
masyarakatnya sudah (terbentuk), kultur masyarakatnya
sudah beragam, jadi masyarakat sudah terbiasa. Akhirnya
tertanamlah (bahwa) perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi
gesekan”. (Wawancara 08 September 2019)

~ 67 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kerukunan umat beragama warga Tungkal Ilir juga


tercermin dalam berbagai upacara yang berkaitan dengan
siklus hidup. Menurut Bu Widya, Guru Pendidikan Agama
Buddha di SD Nasional, saat kegiatan pengajian yang
berkenaan dengan siklus hidup ia juga diundang oleh
tetangga-tetangganya yang Muslim. “Setiap tetangga-tetangga
(pengajian) yasinan, kami itu juga diundang, Pak. Kami ya
bantu-bantu sekedarnya, karena mereka juga tau saya (punya)
kesibukan. Kita datang sebagai tetangga. Kami “lebaran”,
mereka juga datang ke rumah saya. Jadi kami itu berusaha
menjaga toleransi bukan sekedar di rumah ibadahnya saja.
Di lingkungan itu saya berusaha juga supaya, jika tetangga
ada yasinan, haulan, berusaha untuk datang juga. (Saat ada)
orang meninggal yang Muslim, (saya) tetap datang juga,
karena bagaimanapun tetangga harus diutamakan. Jadi ga
masalah buat saya”.
Paling utama, kerukunan umat beragama warga Tungkal
Ilir tercermin dalam aktivitas keseharian mereka yang tidak
saja berkait dengan upacara keagamaan. Sebagai contoh
adalah budaya nongkrong di warung kopi yang menjadi
aktivitas pengikat warga dari berbagai latar belakang sosial
di Kuala Tungkal. Warung kopi di Kuala Tungkal menjadi
semacam rumah bersama penduduk untuk mebicarakan
berbagai permasalahan atau sekedar bercengkerama. Sejak
pagi, bahkan, hingga bertemu pagi kembali akan mudah
dijumpai penduduk Kuala Tungkal berdiskusi atau sekedar
bercengkerama tanpa dibedakan latar belakang agama, suku,
atau status sosial.
Prinsip kerukunan di Kuala Tungkal bisa dilihat dari
apa yang disampaikan oleh Bu Widya, “kami ini tinggal
bertetangga, punya agama, dengan latar belakang etnis
yang berbeda-beda, agama yang berbeda-beda, tetapi kami
pada prinsipnya begini; kamu tidak mengganggu saya, saya
tidak mengganggu Anda. Saya menjalankan ibadah saya

~ 68 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sesuai dengan agama saya, jadi silakan Anda menjalankan


ibadah Anda sesuai agama Anda. Jadi kami menjaga itu. Jadi
selama saya tidak diganggu selama beribadah, saya tidak
mengganggu Anda beribadah, kenapa harus ribut? Jadi itulah
yang bisa membuat kita menghargai agama orang lain, bisa
toleransi dengan agama orang lain, karena kita tidak pernah
diganggu sewaktu kita beribadah. Tidak pernah dipaksa
(dengan) agama mereka kepada kita. Tetap mengutamakan
agama masing-masing, tetapi tetap juga menyadari bahwa
kita ini bersaudara. Apapun alasannya, apapun latar belakang
agama kita, kita bersaudara, kita bertetangga, kita berkawan,
itu yang diutamakan”.
Kerukunan antar umat beragama yang terjadi di Kuala
Tungkal dipercaya merupakan buah dari kearifan lokal
masyarakat. Seperti dijelaskan Ferdy Efendi, “Terbentuknya
kerukunan umat beragama, (di Kuala Tungkal), bukan sebuah
rencana atau proyek pemerintah. Yang kita lihat selama
ini, misalnya di perkampungan transmigrasi, itu sudah
disiapkan. Kalau di sini benar-benar kearifan lokal. Jadi
mulai hubungan sosial kemasyarakatan, perekonomiannya,
bahkan pembangunan rumah ibadah benar-benar kearifan
lokal. Jadi kesadaran masyarakat tentang keberagaman ini
sangat luar biasa. Mereka bisa menerima bahwa agama yang
ada di Indonesia, yang diakui oleh pemerintah Indonesia,
harus tetap eksis. Mereka sadar. Jadi kebutuhan tentang
prosesi peribadatan masing-masing agama, mereka sangat
menyadari.” (Wawancara 30 Juli 2019)
Apa yang dimaksud sebagai kearifan lokal, seperti
dijelaskan oleh Ferdy Efendi di atas, dapat dikaitkan dengan
asal-usul sejarah keragaman warga keragaman warga Tungkal
Ilir pada umumnya. Seperti dijelaskan oleh Locher-Scholten
(2008) dan Somad (2002) bahwa keragaman penduduk
berdasarkan etnis, suku, dan agama telah mewarnai kehidupan
Tungkal (Tanjung Jabung pada umumnya dan Tungkal Ilir

~ 69 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

khususnya). Etnis Melayu, Banjar, Bugis, Minang, Cina, India,


Arab, Jawa, Batak, dan sebagainya telah mendiami daratan
di tepian Sungai Tungkal ini sejak abad 17. Keragaman ini
hampir tidak pernah memunculkan konflik etnis di Kuala
Tungkal. Hal ini juga dijelaskan oleh Ferdy Efendi, “Etnis
Banjar merupakan penduduk paling banyak di Tungkal Ilir,
secara statistik. Ada juga etnis Bugis terbanyak kedua, dan
suku Jawa yang merupakan terbanyak ketiga, sedangkan
penduduk suku Minang terbanyak keempat, kemudian etnis
Tionghoa. India ada juga di sini. (Wawancara 30 Juli 2019)
Kerukunan yang ada di Tungkal Ilir bukan tidak mungkin
juga terkait kepentingan ekonomi dan penghidupan seluruh
warga. Keragaman jenis penghidupan di antara penduduk
Tungkal Ilir saling terkait satu dengan yang lain, yang jika
salah satu hilang akan menghancurkan perekonomian dan
penghidupan warga. Komposisi etnis dan suku penduduk
Tungkal Ilir secara kebetulan berkaitan dengan jenis usaha
dan pekerjaan yang mereka jalani. Etnis Tionghoa, misalnya,
lebih banyak yang berdagang. Sebagian usaha ini bergerak
di bidang jual-beli hasil pertanian dan perkebunan ke luar
wilayah Tungkal Ilir. Banyak petani dan peladang, yang
sebagian besar adalah penduduk Melayu lokal, di Tungkal Ilir
yang bergantung kepada mereka untuk menjual hasil pertanian
dan perkebunannya. Seperti dikemukakan oleh Al-Farizal
Fajri, “Etnis Tionghoa rata-rata pedagang, tauke-tauke. Kalau
(penduduk dari) etnis-etnis lain, rata-rata berkebun pinang
atau kelapa yang pengumpul (hasil kebun ini) ke tauke-tauke
ini. Jadi mata rantai ini yang membuat bagus hubungan antar
umat beragama. Jadi masyarakat etnis (Melayu dan lainnya)
mengumpulkan (hasil kebun) ke penduduk etnis Tionghoa.
Sementara orang-orang Suku Batak bekerja sebagai PNS dan
guru.” (Wawancara 30 Juli 2019)
Ferdy Efendi lebih jelas menggambarkan, bahwa “Rata-
rata penganut agama Konghucu adalah tauke-tauke, bos-bos,

~ 70 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang memiliki gudang-gudang yang ada di sepanjang jalan.


Banyak warga Tungkal Ilir bekerja pada mereka. Kalau
keberadaan orang-orang (Tionghoa) ini putus, (maka)
penghasilan mereka ini (juga) bisa putus. Roda perekonomian
di Kuala Tungkal ini digerakkan oleh etnis China ini, karena
mereka yang memiliki pabrik-pabrik dan gudang-gudang,
selain juga oleh penduduk etnis Minang. Jadi, apapun
kondisinya, diakui atau tidak, disadari atau tidak, perlu adanya
(kehadiran warga etnis Tionghoa). Karena ini (menyangkut)
penghasilan, untuk menghidupi anak dan istri.” (Wawancara
30 Juli 2019)

Penutup
Kerukunan umat beragama masyarakat Tungkal Ilir
terbentuk karena adanya kepercayaan antar warga maupun
antar warga dengan tokoh masyarakat. Kepercayaan antar
warga ini muncul sebagai bentuk perasaan bahwa nenek-
moyang mereka merupakan warga perantauan dan mereka
tidaklah layak mendaku sebagai penduduk asli. Sebagai
warga rantau, mereka bersama-sama wajib mengembangkan
daerah hunian untuk kesejahteraan bersama. Kepercayaan
terhadap para sesepuh yang ditokohkan juga muncul karena
para tokoh masyarakat ini dapat mengayomi mereka sebagai
warga Tungkal Ilir.
Rasa saling percaya ini kemudian memunculkan nilai dan
norma-norma yang dianut warga Tungkal Ilir bahwa setiap
warga memiliki hak dan kewajiban yang sama yang dilindungi
hukum tertinggi di Indonesia. Setiap warga memiliki hak
dasar, termasuk menjalankan peribadatan sesuai dengan
keyakinan mereka, karena itu mereka juga memiliki hak
atas akses terhadap rumah ibadat. Oleh sebab itu, setiap
warga memiliki kewajiban mempermudah warga lain dalam
mengakses kesempatan dalam beribadah. Hal ini terlihat

~ 71 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dalam kemudahan warga mendirikan rumah ibadat atau


keterlibatan dalam membantu berbagai kegiatan keagamaan.
Rasa saling percaya yang menumbuhkan nilai dan norma
di Tungkal Ilir ini kemudian membentuk jejaring warga yang
menguatkan kohesivitas sosial warga Tungkal Ilir. Jejaring
sosial antar warga ini, dalam perspektif Putnam, mampu
menjembatani berbagai kepentingan warga yang beragam.
Jejaring sosial warga yang mampu menjembatani ini dapat
terlihat misalnya dalam bentuk aktivitas-aktivitas harian
seperti sekolah, warung kopi, dan aktivitas lainnya.
Bentuk-bentuk kerja sama antar umat beragama di
Tungkal Ilir terwujud dalam aktivitas perekonomian maupun
aktivitas sosial. Kerja sama dalam aktivitas perekonomian
terlihat dari banyaknya warga dari suku Melayu, Banjar, Bugis
yang Muslim yang bekerja pada warga etnis Tionghoa yang
beragama Buddha dan Konghucu, yang banyak memiliki toko
dan pergudangan. Meski demikian, kerja sama ini tidak semata
ekonomis, karena muncul juga tenggang rasa dan toleransi
dari para pemilik toko dan gudang untuk memberikan izin
dalam menjalankan ibadah bagi para pekerja Muslim. Kerja
sama yang awalnya dibangun atas asas saling menguntungkan
secara ekonomis ini kemudian mengikat mereka dalam ikatan
warga yang pada akhirnya memperluas kerja sama mereka
juga dalam aktivitas sosial.

Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Ardian, dkk. 2002. Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Tanjung Jabung Barat: Lembaga
Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Asmara, Galang. 2018. The Principles of Religious Tolerance
and Harmony Among The Peopleof Sasak Tribe in
Lombok Island, Indonesia. Journal of Legal, Ethical and
Regulatory Issues, Vol. 21 Issue 1, 2018. 1-6.

~ 72 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Alam, Rudy Harisyah. 2018. Ikatan Kekerabatan, Modal


Sosial, dan Kedamaian Umat Beragama; Studi Kasus
di Desa Kertajaya Kecamatan Pebayuran Kabupaten
Bekasi Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Seminar
Hasil Penelitian “Studi Peningkatan Kualitas Kerukunan
Umat Beragama; Toleransi Antar Umat Beragama pada
Masyarakat Heterogen di Wilayah di Jawa Barat” pada
02-03 April 2018, di Hotel Santika, Bogor.
Basri, Hasan. 1988. Perpindahan Orang Banjar ke Surakarta;
Kasus Migrasi Inter Etnis di Indonesia. Jurnal Prisma
No. 3 Tahun XVII, 1988. Hlm. 41-56.
Black, R., Natali, C., and Skinner, J. 2006. Migration and
Equality. Equity & Development, World Development
Report 2006, Background Papers.
BPS Tanjung Jabung Barat. 2018. Kabupaten Tanjung
Jabung Barat dalam Angka 2018. Tanjung Jabung Barat;
BPS Tanjung Jabung Barat.
Hariyadi, Bambang. 2013. Orang Serampas; Tradisi dan
Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan. Bogor: IPB
Press.
Harvey, F. P. 2000. Primordialism, Evolutionary Theory
and Ethnic Violence in the Balkans: Opportunities and
Constraints for Theory and Policy. Canadian Journal of
Political Science, 33, 37-65.
Hasanuddin, 2018. Kerukunan Masyarakat Multikultur di
Desa Banuroja Gorontalo. Jurnal Al-Qalam Volume 24
Nomor 1 Juni 2018. Hal. 18-30.
Hayat, Bahrul. 2012. Mengelola Kemajemukan Umat
Beragama. Jakarta; PT. Saadah Cipta Mandiri.
Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiyai dan Perubahan Sosial.
Jakarta; P3M
Ismail. 2018. Ikatan Kewargaan dan Asosiasional Antar
Umat Beragama di Desa Pabuaran Kecamatan Gunung
Sindur Kabupaten Bogor. Makalah disampaikan dalam
Seminar Hasil Penelitian “Studi Peningkatan Kualitas
Kerukunan Umat Beragama; Toleransi Antar Umat

~ 73 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Beragama pada Masyarakat Heterogen di Wilayah di Jawa


Barat” pada 02-03 April 2018, di Hotel Santika, Bogor.
Kasim, Halim. 1997. Sejarah Singkat Perguruan Hidayatul
Islamiyah Kuala Tungkal. Booklet, tidak diterbitkan.
Kasim, Halim. 2012. Selayang Pandang Pamadaman
Urang Banjar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Propinsi Jambi. Makalah disampaikan pada Prakongres
Kerukunan Keluarga Banjar III di Kabupaten Tanjung
Jabung Barat.
Locher-Scholten, Elsbeth. 2008. Kesultanan Sumatera dan
Negara Kolonial; Hubungan Jambi-Batavia (1830-
1907) dan Bangkitnya Impersialisme Belanda (Terj.
Noor Cholis). Jakarta: Banana dan KITLV.
Mahadi, Ujang. 2013. Membangun Kerukunan Umat
Masyarakat Beda Agama Melalui Interaksi dan
Komunikasi Harmoni di Desa Talang Benuang Provinsi
Bengkulu. Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 1 Nomor
1, Juni 2013; 51-58.
Makmur, Riniwaty. 2018. Orang Padang Tionghoa; Dima
Bumi Dipijak, DisinanLangikDijunjuang. Jakarta:
Penerbit Kompas.
Mawardi, Masmiati. 2008. Pembinaan Kerukunan Umat
Beragama di Daerah Transmigran Palingkau Asri. Jurnal
Analisa Volume XV, No. 02, Mei-Agustus 2008. Hal.
85-99.
Mukhtaruddin. 2008. Pembinaan Kerukunan Umat Beragama
Masyarakat Transmigran di Kalimantan Tengah. Jurnal
Analisa Volume XV, No. 01, Januari-April 2008. Hal.
15-32.
Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS
Portes, Alejandro. 2008. Migration and Social Change;
Some Conceptual Reflections. Keynote address to the
conference on “Theorizing Key Migration Debates”,
Oxford University, July 1, 2008.
Saggar, S., Somerville, W., Ford, R., & Sobolewska, M.
2012. The Impacts of Migration on Social Cohesion

~ 74 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

and Integration. Final report to the Migration Advisory


Committee, January 2012.
Salahudin, Marwan. 2008. Mengenal Kearifan Lokal di
Klepu-Ponorogo; Praktik Hubungan Sosial Lintas Agama
dan Mekanisme Pencegahan Konflik. Dalam Agama dan
Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (ed. Irwan
Abdullah, Ibnu Mujib, M. Iqbal Ahnaf). Yogyakarta;
Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar.
Siburian, Robert. 2017. Multikulturalisme; Belajar dari
Masyarakat Perdesaan. Jurnal Masyarakat Indonesia,
Vol. 43 No. 02 Desember 2017. Hal. 207-232.
Siisiäinen, Martti. 2000. Two Concepts ofSocial Capital:
Bourdieu vs. Putnam. Paper presentedat ISTR Fourth
International Conference “The ThirdSector; For
WhatandforWhom?” Trinity College, Dublin, Ireland,
July 5-8, 2000.
Somad, Kemas Arsyad. 2002. Mengenal Adat Jambi dalam
Perspektif Modern. Jambi: Dinas Pendidikan Propinsi
Jambi.
Tong, Rebecca. 2009. ExplainingEthnic Peace; The Importance
of Institutions. ResPublica; Journal of Undergraduate
Research, Volume 14 Issue 1, 2009. 61-75.
Varshney, Ashutosh. 2001. Ethnic Conflict and Civil Society;
India and Beyond. World Politics, number 53, April 2001;
362-398.
Varshney, Ashutosh. 2009. Konflik Etnis dan Peran
Masyarakat Sipil; Pengalaman India (terj. Siti Aisyah,
Ayu Diasti, & Sri Murniati). Jakarta; Balai Litbang Agama
Jakarta.

Internet
BPS RI. 2010. Penduduk Menurut Wilayah dan Agama
yang Dianut Kabuaten Tanjung Jabung Barat. Didapat
dari https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid
=321&wid=1507000000, pada 14 Agustus 2019.

~ 75 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Cambridge University Press. 2019. Cambridge Dictionary


(online version). Didapat dari https://dictionary.
cambridge.org/dictionary/english/harmony, pada 14
Agustus 2019.
Kemdikbud. 2016. KBBI Daring. Didapat dari https://kbbi.
kemdikbud.go.id/entri/rukun, pada 14 Agustus 2019.
Merriam-Webster. 2019. Merriam-Webster Dictionary
(online version). Didapat dari https://www.merriam-
webster.com/dictionary/harmony, pada 14 Agustus 2019.
Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2019. Sejarah
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Didapat dari http://
tanjabbarkab.go.id/site/sejarah-singkat/, pada 14
Agustus 2019.

~ 76 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

BAGIAN TIGA

~ 77 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 78 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama


pada Masyarakat Desa Rawa Selapan
Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan
------------------------------- Daniel Rabitha -------------------------------

Pendahuluan
Balai Litbang Agama Jakarta sejak 2018 telah mengkaji
beberapa wilayah (sebut saja desa) pada beberapa kota/
kabupaten Provinsi Jawa Barat yang dilabel “rukun” oleh para
penggiat kerukunan dan lembaga pemerintah. Kemudian
tahun 2019, studi yang disebutkan akan dilanjutkan ke
beberapa wilayah di beberapa provinsi kepulauan sumatera.
Studi ini secara umum untuk mengupayakan metode yang
tepat dalam memahami cara peningkatkan kualitas kerukunan
umat beragama di beberapa wilayah tanah air.
Hasil studi yang dilakukan pada 2018 pada Provinsi
Jawa Barat kerukunan umat beragama yang salah
satunya terwujud dalam sikap toleran terdapat pada
beberapa sasaran atau desa yang dilabel “rukun”.
Namun kerukunan yang terjalin masihlah bersifat pasif,
tidak aktif. Sehingga upaya menjalin keakraban dapat
dilakukan dengan membuat kerjasama antar umat
beragama.
Rujukan terminologi kerukunan pada penelitian
ini mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006, yakni
“Keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

~ 79 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

di dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang 1945”.
Kementerian Agama, selain melakukan kajian
juga melakukan program yang mendukung upaya
peningkatan kualitas kerukunan umat beragama.
Salah satunya dilakukan oleh Pusat Kerukunan Umat
Beragama, dengan memberikan bantuan kepada daerah
untuk FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama)
dan pembinaan desa sadar kerukunan. Program ini
dilegalisasi dengan Keputusan Sekretaris Jenderal
Kementerian Agama Nomor 22 Tahun 2016 tentang
“Petunjuk Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Pemerintah
dalam Program Kerukunan Umat Beragama pada
Sekretariat Jenderal, Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi, dan Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota”. Pada petunjuk teknis ini disebutkan
pada Bab II Jenis Bantuan Pemerintah diantaranya
meliputi, bantuan pembinaan desa sadar kerukunan.
Program ini direspon oleh pemerintah daerah dengan
mengajukan beberapa desa yang dipandang memiliki
kesadaran kerukunan.
Desa-desa tersebut dapat terlihat pada tabel 1
di bawah ini. Salah satu kriteria pemilihan sasaran
penelitian yakni adanya keragaman dari segi jumlah
penduduk berdasarkan agama dan rumah ibadatnya.
Mengapa perlu melihat kriteria ini? Karena keragaman
tersebut akan lebih menampakan dinamika kehidupan
keagamaan. Pendewasaan dalam hidup berdampingan
dengan masyarakat yang berbeda agama pada daerah
yang heterogen akan lebih terlatih dibandingkan dengan
daerah yang homogen.

~ 80 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tabel 1. Desa Sadar Kerukunan-PKUB


Provinsi Lokasi Daerah Sadar Kerukunan
Jawa Barat Desa Cimahi
Banten Belum terbentuk
Aceh Kuta Alam, Kota Banda Aceh
Sumatera Utara Tanjung Balai, Sipirok
Sumatera Barat Desa Lunang Silaut
Riau Kelurahan Gurun Panjang
Jambi Desa Singa Pinang
Sumatera Selatan Desa Mekar Sari, Kabupaten Ogan Ilir
Bengkulu Desa Rama Agung, Kabupaten Bengkulu Utara
Lampung Desa Ponco Kresno, Kabupaten Pesawaran
Bangka Belitung Desa Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah
Kepulauan Riau Desa Resun
DKI Jakarta Belum ada info
Sumber: Desain Operasional Penelitian, 2019

Peneliti ditugaskan pada Provinsi Lampung. Sebagai


acuan awal, peneliti menggunakan data dari PKUB seperti
yang tertera pada tabel 1. Desa Ponco Kresno di Kabupaten
Pesawaran menjadi tujuan peneliti saat penjajakan penelitian
dilakukan. Namun saat peneliti mendatangi calon sasaran
penelitian tersebut, tidak ada desa yang bernama Desa Ponco
Kresno di Kabupaten Pesawaran, melainkan Desa Ponjo
Maju. Kemudian peneliti melihat komposisi penduduknya
dari segi umat beragama. Namun hasilnya, desa tersebut
tidak memiliki keragaman dalam segi jumlah umat beragama,
begitupun ketersediaan rumah ibadatnya.
Kekeliruan tersebut bisa saja terjadi, jika belum adanya
standar penetapan sebuah desa atau sasaran penelitian yang
bisa disebut memiliki kesadaran kerukunan. Pada beberapa
provinsi mulai ramai menetapkan desa di wilayahnya sebagai
desa sadar kerukunan. Seperti pada Provinsi Jawa Timur yang
baru saja (12 Juli 2019) menetapkan 6 desa di wilayahnya
sebagai daerah yang memiliki kesadaran kerukunan. Kriteria
yang digunakan oleh Kementerian Agama pada provinsi
tersebut, yakni pertama di daerah tersebut tidak pernah
terjadi bentrok terkait kerukunan umat beragama, kedua
di daerah tersebut memiliki minimal 3 rumah ibadat yang

~ 81 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

berbeda agama, dan ketiga di daerah tersebut dihuni oleh


enam pemeluk agama yang berbeda (Afkar 2019).
Oleh karena ruang kajian pada penelitian ini terkait
dengan desa, Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) pada
2015 mengeluarkan regulasi yang berkaitan dengan standar
penetapan desa cepat berkembang, berkembang, dan kurang
berkembang. Pada Permendagri Nomor 81 Tahun 2015
tentang “Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan” pada
Bab IV Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan di Bagian
Ketiga; Evaluasi Bidang, pasal 8 disebutkan bahwa, evaluasi
bidang kemasyarakatan desa dan kelurahan meliputi aspek:
1. Partisipasi masyarakat
2. Lembaga kemasyarakatan
3. Pemberdayaan kesejahteraan keluarga
4. Keamanan dan ketertiban
5. Pendidikan
6. Kesehatan
7. Ekonomi
8. Penanggulangan kemiskinan
9. Peningkatan kapasitas masyarakat
Beberapa kriteria di atas, beririsan dengan kajian yang
akan dilakukan. Meskipun tetap acuan awalnya adalah
keragaman umat beragama dan sarananya, beberapa desa
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk mengikuti
lomba desa pada tiap tahunnya bisa dijadikan pijakan. Pada
Provinsi Lampung, terdapat 6 desa yang diikutkan dalam
lomba desa pada 2019 (tabel 2).

Tabel 2. Daftar 6 Desa yang Mengikuti Lomba Desa 2019


di Provinsi Lampung
No Kabupaten Kecamatan Kelurahan Desa/Pekon
1. Lampung Selatan Candi Puro Rawa Selapan
2. Mesuji Panca Jaya Adi Luhur
3. Tanggamus Ulu Belu Datarajan

~ 82 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Negeri
4. Way Kanan Tanjung Rejo
Agung
Wates Way
Ratai
5. Pesawaran Way Ratai
Pesawaran
Indah
Sumber: Pemerintah Daerah Provinsi Lampung

Tentu desa atau pekon yang disebutkan di atas, peneliti


duga memiliki keragaman dari segi umat beragama dan
sarana ibadatnya. Namun ternyata tidak demikian. Pada tabel
3 di bawah ini akan nampak terlihat keragaman desa yang
akan dijadikan pilihan sasaran penelitian.

Tabel 3. Penduduk Berdasarkan Agama pada 6 Desa


Provinsi Lampung
Khong- Aliran
Kecamatan Desa Islam Katolik Kristen Hindu Buddha
hucu Kepercayaan
Rawa
Candi Puro 5131 299 224 45 119 - 50
Selapan
Panca Jaya Adi Luhur 3352 17 4 12 - - -

Ulu Belu Datarajan - - - - - - -


Negeri
Tanjung Rejo 2910 134 43 1290 86 - -
Agung
Wates Way
             
Ratai
Way Ratai
Pesawaran
             
Indah
Sumber: BPS dan Monografi desa (diolah peneliti), *catatan: pada
Kecamatan Ulu Belu dan Way Ratai peneliti tidak memperoleh komposisi
penduduk berdasarkan agama.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi


kerukunan antar umat beragama di Desa Rawa Selapan,
faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kerukunan di
Desa Rawa Selapan dan pola interaksi antar umat beragama
di Desa Rawa Selapan serta bermanfaat bagi Kementerian
Agama dalam mengambil kebijakan pemeliharaan kerukunan
umat beragama di Indonesia. Pengalaman dari Desa Rawa
Selapan dapat menjadi rujukan dalam membuat mekanisme
pemeliharaan kerukunan umat beragama di daerah-daerah
lokal.

~ 83 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kajian Teoritis
Penggunaan terminologi toleransi dan kerjasama
dalam kajian ini mengacu pada konsepsi kerukunan umat
beragama yang didefinisikan sebagai keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945
(PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006: Bab 1, Pasal 1, ayat 1). Hal
ini berarti, konsep toleransi dan kerjasama menjadi bagian
penting dalam mewujudkan dan memelihara kerukunan umat
beragama pada konteks masyarakat Indonesia.

Toleransi
Istilah toleransi dalam kajian ini dimaknai sebagai
penumbuhan sikap menerima dan menghormati orang lain
yang berbeda keyakinan dengan dirinya (Ismail, 2019, hal. 7).
Sikap menerima diantaranya seperti, memberi kesempatan
berinteraksi pada orang yang berbeda, menciptakan
kenyamanan, tidak menggunakan kekuatan untuk memaksa
terhadap kepercayaan, penghargaan terhadap keragaman
budaya, dan mengenali sikap tidak toleran. Sedangkan
sikap menghormati diantaranya seperti, kesediaan untuk
menghargai dan berhati-hati terhadap hak orang lain.

Kerjasama
Terminologi kerjasama dimaknai sebagai proses sosial
antar individu atau kelompok yang didasari pada penciptaan
tujuan bersama dengan mempelajari sesuatu secara bersama
(Sarwono, 1999, hal. 162-163). Definisi ini didasari dari
eksperimen Sherif (1966, 1988) pada eksperimen lapanganya
mengenai konflik antar kelompok dan resolusi konflik.

~ 84 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Hal menarik dalam eksperimen yang dilakukan Sherif


tersebut yakni dalam hal menjawab kapan interaksi antar
kelompok itu dikatakan efektif? Jawabanya yakni, saat
mereka (antar kelompok) memandang ada persoalan besar
yang sama-sama mereka perlu hadapi. Atau dalam istilah
Sherif disebut sebagai ‘musuh bersama’ (. Eksperimen Sherif
ini mengingatkan pada saat kelompok-kelompok pejuang
kemerdekaan Indonesia terdahulu yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dengan memunculkan rasa senasib
sepenganggungan. Pandangan terhadap perlunya menghadapi
persoalan yang sama ini kemudian akan menciptakan tujuan
bersama dalam mencari solusi terhadap persoalan tersebut.
Dalam konteks kerukunan yang terpelihara di desa, penting
mengamati proses interaksi yang menampakan kerjasama
antar kelompok di wilayah tersebut. Namun menurut peneliti,
lebih penting mendeskripsikan bagaimana rasa kepemilikan
terhadap komunitas tersebut bisa tercipta dan terpelihara.
Dalam hal ini, peneliti menambahkan konsepsi yang melihat
latar belakang pembentukan perasaan kepemilikan terhadap
komunitas tersebut dengan mengacu pada konsep tentang hal
tersebut yang dikembangkan oleh McMillan dan Chavis (1986).
Terdapat empat elemen yang dipandang bisa menjelaskan
latar belakang rasa kepemilikan terhadap komunitas, yakni
semangat (spirit), kepercayaan (trust), pertukaran (trade),
dan seni (art) (McMillan, 1996). McMillan memandang
kepemilikan terhadap komunitas dibentuk berdasarkan dari
semangat kepemilikan bersama yang dirasakan semakin kuat
karena ada otoritas yang terstruktur yang bisa dipercaya. Hal
ini kemudian akan memunculkan kesadaran akan hubungan
saling menguntungkan itu bersumber dari terciptanya
kebersamaan. Dan hal ini terpelihara melalui kebiasaan
saling berbagi pengalaman bersama yang nampak dalam
pemeliharaan tradisi (McMillan, 1996).

~ 85 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Potensi Geografis dan Demografis; Provinsi Lampung


Provinsi Lampung memiliki luas wilayah 34,6 ribu km2,
dengan kabupaten terluas ada di Lampung Timur yakni 5,3
ribu km2dan wilayah terkecil adalah kota Metro yakni 61,8
km2. Lampung memiliki 13 kabupaten, 2 kota, 228 kecamatan,
dan 2651 desa/kelurahan (BPS Provinsi Lampung, 2019, hal
1).

Secara garis besar, jumlah penduduk yang tinggal di


Provinsi Lampung sejak tahun 2000 sampai 2018 mengalami
kenaikan tiap tahunnya. Namun lain halnya dengan laju
pertumbuhan penduduknya yang sejak 2010 sampai 2018
yakni 1,16%, turun jika dibandingkan dengan LPP (Laju
Pertumbuhan Penduduk) tahun 2000 sampai 2010. Turunya
angka ini mengindikasikan bahwa, adanya keberhasilan
kebijakan penduduk terkait aspek kuantitas (BPS Provinsi
Lampung, 2019, hal 4).
Kepadatan penduduk pada provinsi ini berada di
wilayah perkotaan, yakni Bandar Lampung (3.493 jiwa/
km2) dan Metro (2.673 jiwa/ km2). Sedangkan kepadatan
penduduk yang paling jarang yakni pada Kabupaten Pesisir
Barat (53 jiwa/ km2) dan Mesuji (91 jiwa/ km2). Ini bisa saja
disebabkan perbedaan infrastruktur yang dimiliki antara
kota dan kabupaten. Tingkat kepadatan penduduk yang ada

~ 86 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

di kabupaten berada di Lampung Selatan (1.431 jiwa/ km2),


Lampung Tengah (334 jiwa/ km2), dan Pringsewu (636
jiwa/ km2). Data ini jika dibandingkan dengan luas wilayah
per kota/kabupaten akan terlihat bahwa, tingkat kepadatan
penduduknya. Jadi, bisa saja secara kuantitas penduduk
suatu wilayah kota/kabupaten banyak di bandingkan dengan
wilayah lainnya. Namun belum tentu padat mengisi wilayah
kota/kabupaten tersebut.
Sementara itu, jumlah penduduk berdasarkan agama
pada Provinsi Lampung yakni:

Mayoritas penduduk Lampung beragama Islam


(7.264.783 jiwa), selanjutnya diikuti oleh Kristen (115.255
jiwa), Hindu (113.512 jiwa), Katholik (69.014 jiwa), Buddha
(24.122 jiwa), dan Khonghucu (596 jiwa).
Pemeluk Islam berdasarkan kota/kabupaten di Provinsi
Lampung dapat lihat pada gambar berikut:

~ 87 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Umat Islam dominan ada di Kabupaten Lampung Tengah,


kemudian disusul oleh Lampung Selatan, dan Kota Bandar
Lampung. Umat Kristen pada Provinsi Lampung dapat
terlihat pada gambar berikut:

Umat Kristen pada Provinsi Lampung dominan ada di


Kota Bandar Lampung. Kemudian disusul oleh Lampung
Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan.
Umat Katholik pada Provinsi Lampung dapat dilihat pada
gambar berikut:

Umat katholik dominan berada pada Kabupaten Lampung


Tengah, kemudian disusul pada Kota Bandar Lampung.
Selanjutnya di posisi ke-3, umat katholik banyak menempati
Kabupaten Pringsewu, ke-4 pada Kabupaten Lampung Timur,
dan ke-5 di Lampung Selatan.

~ 88 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Umat Hindu seperti pada gambar 5, dominan berada di


Kabupaten Lampung Tengah, kemudian Lampung Timur di
urutan kedua, dan Lampung Selatan di urutan ketiga.

Pada gambar 6, umat Buddha dominan berada di Kota


Bandar Lampung. Kemudian di urutan kedua ada di Lampung
Timur, ketiga di Lampung Tengah, keempat di Pesawaran,
dan kelima di Lampung Selatan.

~ 89 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Umat Khonghucu sesuai gambar 7 sama halnya dengan


umat Buddha, dominan berada pada Kota Bandar Lampung.
Kemudian kedua di Lampung Tengah, ketiga di Lampung
Timur, keempat di Lampung Utara, dan kelima di Lampung
Selatan.

Sekilas tentang Lampung Selatan


Lampung Selatan merupakan salah kabupaten dari
provinsi Lampung. Dahulu Lampung Selatan merupakan
bagian dari Sumatera Selatan. Hal ini tertuang dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 tentang pembentukan
daerah kabupaten dalam lingkungan daerah provinsi
Sumatera Selatan sebanyak 14 kabupaten, yang diantaranya
adalah Lampung Selatan (BPS Lampung Selatan, 2016).
Lampung Selatan memiliki luas wilayah 2.007,01 km2
(BPS Lampung Selatan, 2016). Kabupaten ini menjadikan
Kalianda sebagai ibu kota kabupaten sejak 11 Februari 1982
(BPS Lampung Selatan, 2016). Kabupaten ini telah mengalami
pemekaran sebanyak dua kali, yakni yang pertama pada 3
Januari 1997 dengan terbentuknya kabupaten Tanggamus dan
yang kedua 10 Agustus 2008 dengan terbentuknya kabupaten
Pesawaran (BPS Lampung Selatan, 2016). Kabupaten ini
berbatasan dengan kabupaten Lampung Tengah dan Timur
di sebelah Utara, Selat Sunda di sebelah Selatan, kabupaten
Pesawaran di sebelah Barat, dan laut Jawa di sebelah Timur
(BPS Lampung Selatan, 2016). Selain memiliki dataran
luas, kabupaten ini memiliki 42 pulau, namun hanya 5 yang
terdapat penduduk, yakni Krakatau, Sebuku, Sebesi, Rimau,
dan Kandang.
Jumlah penduduk Lampung Selatan berdasarkan proyeksi
penduduk tahun 2013 berjumlah 942.572 jiwa, yang terdiri
dari 485.805 jiwa laki-laki dan 456.767 jiwa perempuan (BPS
Lampung Selatan, 2016). Secara garis besar, penduduk di
kabupaten ini terbagi ke dalam dua kategori, yakni penduduk

~ 90 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

asli dan pendatang. Penduduk asli Lampung yang menetap


di kabupaten ini terdiri dari suku peminggir (Sai Batin) dan
suku Lampung lainnya. Suku Peminggir umumnya tinggal
di wilayah pantai pesisir (kecamatan Penengahan, Kalianda,
dan Katibung) dan suku Lampung lainnya menyebar di
sekitar Lampung Selatan. Penduduk pendatang terdiri dari
berbagai macam suku (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, Banten, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Aceh, dan suku lainya). Suku terbesar adalah
dari tanah Jawa. Hal ini merupakan akibat dari kolonisasi di
era Belanda dan transmigrasi pada era kemerdekaan.

Gambar 8. Kecamatan Candipuro


Salah satu kecamatan yang dijadikan lokus penelitian
yakni Candipuro. Kecamatan ini memiliki 14 desa. Luas
wilayah desa pada Kecamatan Candipuro berkisar antara 4-10
km2. Lahan yang ada di kecamatan ini didominasi dengan
persawahan dengan luas 55,67 Ha dari 90.53 Ha. Sehingga
wajar jika lahan tersebut digunakan untuk pertanian.
Kecamatan ini pada tiap desanya rata-rata memiliki 2
sampai 8 dusun. Rata-rata jumlah aparatur desa berjumlah
antara 10 sampai 16 aparatur. Dominasi aparatur pada tiap
desa di kecamatan ini berjenis kelamin laki-laki dengan

~ 91 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

jumlah 172 aparatur dari 181 orang. Mereka yang bertugas


di desa rata-rata berlatar belakang pendidikan SMA dan
sederajat dengan jumlah 126 orang dari 181 aparatur. Hanya
10 orang yang lulusan perguruan tinggi.
Diantara desa yang ada di Kecamatan Candipuro
merupakan lokus penelitian, yakni Desa Rawa Selapan. Desa
ini memiliki luas wilayah 1200 Ha/m2, dengan 250 Ha/m2
sebagai pemukiman, 656 Ha/m2 sebagai persawahan, 2.5 Ha/
m2 sebagai pemakaman, 290 Ha/m2 sebagai perkarangan,
dan 1.5 Ha/m2 sebagai perkantoran. Sehingga wajar jika mata
pencaharian masyarakat Desa Rawa Selapan sebagai petani
3217 orang, dengan rincian 2050 sebagai petani dan 1167
orang sebagai buruh tani.
Total jumlah penduduk pada Desa Rawa Selapan
berjumlah 5951 jiwa, dengan 2953 orang laki-laki dan
2998 orang wanita. Rata-rata jumlah penduduk di desa
ini berdasarkan rentang usia 0-60 tahun berjumlah 30-60
orang. Sedangkan usia penduduk pada 61-73 tahun berkisar
2-40 orang. Jumlah penduduk berdasarkan usia yang hampir
merata tersebut mengindikasikan bahwa laju penduduk
dapat dibatasi, baik oleh pemerintah ataupun kesadaran
masyarakatnya.
Penduduk dalam segi tingkatan pendidikan di Desa Rawa
Selapan, rata-rata jumlah terbesar di tingkatan SMP dan SMA
dengan kisaran 800-1000 orang. Pada usia 7-18 tahun yang
masih sekolah di desa ini sebanyak 1060 orang dengan, 537
laki-laki dan 523 wanita. Pada jenjang SD, jumlah penduduk
di desa ini berjumlah 546, dengan 257 orang laki-laki dan
289 orang wanita. Sedangkan penduduk yang mencapai
pendidikan tinggi berjumlah 28 orang, dengan 26 orang srata
1 dan 2 orang srata 2. Namun penduduk pada desa ini juga
ada yang tidak bersekolah, yakni berjumlah 102 orang.
Desa ini termasuk desa yang dikutsertakan dalam lomba
desa yang diselenggarakan pemerintah Provinsi Lampung.

~ 92 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Selain itu, desa ini juga pada banyak aktivitas sosialnya


cenderung menjadi contoh bagi desa di sekitar, seperti Desa
Titiwangi dan Desa Bumi Jaya. Salah satu kegiatan sosial
keagamaan yang dijadikan contoh adalah bersih desa atau
ruwatan desa. Kegiatan ini diikuti oleh warga desa sekitar
(Titiwangi dan Bumi Jaya), karena dipandang mampu
mempertemukan warga desa dengan berbagai latar belakang
(agama, etnis, dan kelas sosial) (wawancara 1 Agustus 2019).
Salah satu hal inilah yang menjadikan peneliti memilih Desa
Rawa Selapan sebagai lokus penelitian. Selain itu, kehadiran
dari kelompok kepercayaan yang diterima keberadaannya
oleh warga Desa Rawa Selapan, juga menjadikan peneliti
memilih lokus ini. Informasi ini peneliti peroleh dari Kepala
Desa, Sujarno yang mengatakan bahwa:
“Pada desa ini, kelompok kepercayaan diterima oleh warga.
Saya kurang tahu nama kelompok kepercayaannya. Namun
yang saya tahu kelompok mereka saat ini berjumlah sekitar
50 orang, dengan tempat kumpul atau ibadatnya dinamakan
sanggar” (wawancara, 1 Agustus 2019).

Selain keragaman dari umat beragama dan rumah ibadat


di Desa Rawa Selapan, kedua hal di atas tersebut menguatkan
peneliti untuk mencoba memahami kondisi kerukunan umat
beragama di desa tersebut.

Praksis Kerukunan Desa Rawa Selapan


Sikap Gotong Royong Hari Keagamaan
Desa Rawa Selapan termasuk yang masih mempertahankan
sikap gotong royong antar sesama penduduknya. Tidak
hanya pada soal agama, pada soal kehidupan bertentangga-
pun, masyarakat pada Desa Rawa Selapan terus
mempertahankannya. Sebut saja pada soal renovasi rumah
atau bangun rumah. Tetangga yang bersebelahan dengan
lokasi rumah ataupun yang tinggal agak berjauhan, tak akan
sungkan membantu proses pembangunan rumah tetangganya
tersebut. Sikap ini juga diyakinkan oleh salah seorang Kepala

~ 93 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dusus 1 Desa Rawa Selapan terjadi pada perayaan hari besar


keagamaan. Hal ini dapat dirasakan pada ungkapan Kadus
tersebut (TN):
“Dari sejak saya ada di desa ini, saya termasuk orang
lama, desa ini masyarakatnya sudah saling gotong royong,
terhadap umat agama lainpun juga demikian. Kami saling
memberi dan menjaga satu sama lain ketika ada perayaan
hari besar keagamaan” (wawancara 6 September 2019).

Lalu apa bentuk nyata dari sikap gotong royong tersebut


dalam perayaan keagamaan di Desa Rawa Selapan? Peneliti
memperoleh informasi dari informan lain, yakni:
“Biasanya kami umat Islam melakukan penjagaan terhadap
umat kristiani, hindu, ataupun Buddha yang sedang melakukan
perayaan keagamaan. Biasanya kami dari kalangan muda
menertibkan lalu lalang kendaraan dan parkiran kendaraan.
Karena umat agama selain islam yang melakukan perayaan
tidak hanya dari Desa Rawa Selapan saja, melainkan desa
lain, maka jumlahnya banyak” (wawancara 6 September
2019).

Informasi lain pun diperoleh peneliti terkait dengan sikap


ini pada perayaan keagamaan umat selain islam di desa ini,
yakni:
“Kami yang bertentangga dengan bapak SW, sering menerima
makanan ketika mereka sedang dalam perayaan keagamaan.
Kami pun jika sedang ada (makanan atau minuman), akan
memberikan juga sebagai balasan” (wawancara 6 September
2019).

Sikap tersebut, peneliti duga merupakan hasil dari


pembiasaan dari orang terdahulu mereka yang kerap
menampilkan sikap saling bantu antar sesama umat beragama
di Desa Rawa Selapan.

Ruwatan Desa Rawa Selapan; Bersih Desa


Desa Rawa Selapan termasuk diantara desa yang
ada di Provinsi Lampung yang penduduknya merupakan
transmigran dari luar pulau Sumatera. Awal mula, penduduk
yang menempati desa ini menyukuri akan kenikmatan Tuhan
Yang Maha Esa akan tempat tinggal yang ditempati mereka

~ 94 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dengan melakukan kegiatan syukuran. Mereka sejak dahulu


menamakan kegiatan ini dengan sebutan “ruwatan desa”.
Dahulu tidak diselenggarakan di desa, sekarang pihak desa
ikut andil menjadi penyelenggar
Kegiatan ruwatan desa biasanya dilakukan pada bulan
Islam, bulan Muharram. Masyarakat Desa Rawa Selapan
yang dominan bersuku Jawa juga sering menyebutnya
dengan malam 1 syuro. Umumnya, yang diketahui peneliti
di tanah Jawa pada saat malam 1 Syuro, melakukan berbagai
macam tradisi ritual, seperti ngumbah (cuci) pusaka, seperti
keris. Namun lain halnya yang terjadi di Desa Rawa Selapan,
mereka melakukan tradisi ruwatan desa dengan kumpul
bersama dengan hidangan yang disiapkan masyarakat.
Saat penelitian dilakukan, peneliti tidak bertepatan
dengan waktu diselenggarakannya kegiatan Ruwatan Desa.
Kegiatan yang mengumpulkan hampir seluruh lapisan warga
di desa ini diselenggarakan pada 17 September 2019. Kegiatan
yang rutin dilakukan tiap tahunnya ini, diisi dengan kegiatan
seni budaya dan keagamaan. Runtutan kegiatan tersebut,
yakni:
1. Ruwatan desa oleh Dalang wayang kulit.
2. Kemudian dilanjutkan oleh sambutan kepala desa.
Biasanya kepala desa menyampaikan penghormatannya
kepada kehadiran warga desa dan menyampaikan
informasi terkini mengenai perkembangan desa. Seperti
yang baru terlaksana pada September 2019, kepala desa
menyampaikan pemilihan kepala desa yang baru. Karena
momen tersebut bertepatan dengan adanya pemilihan
kepala desa yang baru.
3. Sambutan oleh tokoh masyarakat.
4. Pembacaan ikrar kawilujengan oleh Mbah Mardi. Dia
adalah salah satu sesepuh desa yang beragama Buddha.
Dia disebut sebagai sesepuh pejuang desa. Sambutan awal
ini senantiasa dilakukan oleh tokoh Buddha tersebut.

~ 95 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Penggunaan bahasa dalam sambutannya menggunakan


dialek jawa. Meskipun yang hadir orang di luar desa
(Walikota misalnya), bahasa ini senantiasa digunakan
(wawancara, 5 September 2019). Ini merupakan bagian
dari tradisi warga desa yang dilestarikan. Hal menarik
dari isi pesan yang disampaikan adalah upaya memelihara
hubungan antar sesama warga desa.
5. Kemudian dilanjutkan dengan doa bersama yang
disampaikan P2A (Pembinaan dan Pengamalan Agama)
desa, pak Muhsin.
6. Kemudian seperti pertunjukan hiburan wayang dan
tarian.
Hal yang unik menurut peneliti adalah adanya
penyembelihan kambing kendit. Kambing jenis ini mungkin
sangatlah langka, karena perwarnaannya yang tidaklah umum
ada. Kambing kendit memiliki ciri khusus, yakni berwarna
dominan hitam dengan adanya garis putih di tengahnya.
Kambing ini wajib disembelih pada saat perayaan ruwatan
desa (bersih desa). Kambing ini disembelih bersamaan dengan
kambing lainnya di pagi hari atau sebelum acara ruwatan desa
dilakukan.

Balai Dusun dan Pasar Mingguan: Ruang Bersama


Amatan peneliti terhadap aktivitas penduduk di Desa
Rawa Selapan tertuju pada dua tempat yang sering disebut
oleh warga, yakni balai dusun dan pasar mingguan. Kedua
tempat itu diantara tempat lain yang populer di kalangan
masyarakat desa. Balai dusun digunakan oleh masyarakat
desa sebagai tempat berjumpa dan bercengkrama. Tempat ini
digunakan tidak dibatasi waktu. Namun umumnya mereka
berjumpa di saat siang, menjelang sore, dan malam. Saat
siang, mereka yang suka berkumpul adalah para petani yang
menyela kegiatan mereka di lahan pertanian mereka, pada
sore haripun demikian. Namun tidak berarti seluruhnya

~ 96 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

petani, sesekali Kepala Dusun mengajak sebagian warga


kumpul di balai dusun untuk mendiskusikan suatu persoalan,
seperti yang peneliti amati mereka membicarakan mengenai
persiapan acara ruwatan desa.
Pasar mingguan, merupakan lahan yang sengaja
disiapkan oleh warga. Dahulu yang memiliki ide ini adalah
istri dari mantan kepala desa Rawa Selapan. Ibu berinisial DN
menggerakan ibu-ibu melalui kelompok PKK (Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga) yang dominan diisi oleh kaum wanita
membentuk pasar di Desa Rawa Selapan. Alasan munculnya
ide ini, yakni:
“Dahulu desa ini masih sepi dan jauh dari pasar besarnya
di Kecamatan Sidomulyo. Sementara, pasar itu dibutuhkan
kami untuk saling bertukar yang kami punya. Ada yang
menanam padi bisa dijual di pasar, ada yang menanam hasil
buah bisa dijual di pasar, kerajinan, dan sebagainya. Lagian
dengan adanya pasar, kita bisa semakin akrab, saling ketemu.
Dahulu posisi pasar kami pikirkan letaknya. Posisi pasar kami
tempatkan di tengah desa. Pokoknya kami posisikan strategis
pasar tersebut. Lah kenapa mingguan, ini karena yang kami
jual itu tidak selalu ada tiap hari. Hanya saja, pasar ini kian
ramai tiap harinya. Meskipun sebenarna, ramainya mnggu.
Jadi ada hiburan gratisan”. (wawancara 5 September 2019).

Analisis Tradisi Kerukunan Desa Rawa Selapan


Kekuatan
Pada tabel 3, pada Desa Rawa Selapan lebih beragam
dari segi komposisi umat beragamanya. Pada desa tersebut,
juga terdapat aliran kepercayaan. Lain halnya dengan sarana
ibadat pada keenam desa pada tabel 3 di atas, dapat terlihat
pada grafik berikut.

~ 97 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Sumber: BPS dan Monografi Desa (diolah peneliti)

Pada grafik tersebut, nampak Desa Rawa Selapan


menjadi wilayah yang lebih memiliki keragaman dari segi
sarana ibadatnya. Bahkan, pada Desa Rawa Selapan terdapat
rumah ibadat dari suatu aliran kepercayaan, yakni Sanggar.
Ini mengindikasikan kecenderungan masyarakat pada desa
tersebut terbuka dalam menerima keberadaan kelompok lain.
Sehingga dengan demikian, dari ke-6 desa tersebut,
peneliti memilih Desa Rawa Selapan sebagai wilayah
yang dikaji. Selain karena keragaman umat beragama dan
ketersediaan sarana ibadat, desa ini termasuk yang disertakan
dalam lomba desa pada Provinsi Lampung mewakili
Kabupaten Lampung Selatan.
Selain itu, pasca Pilpres 2019 dilakukan deklarasi damai
dari 43 calon kepala desa dari 12 desa yang akan mengikuti
pemilihan kepala desa di Kabupaten Lampung Selatan pada
20 Juni 2019, Desa Rawa Selapan termasuk diantara desa
yang mengikuti deklarasi tersebut (infodesa, 2019). Desa
Rawa Selapan termasuk ke dalam Kecamatan Candipuro
di Kabupaten Lampung Selatan. Ini juga mengindikasikan
adanya komitmen dari pemimpin warga atau kepala desa
yang memiliki perhatian terhadap kerukunan antar sesama di
wilayah mereka.
Kecamatan Candipuro terdiri dari 14 desa. Kecamatan
ini terdiri dari 71 dusun, 63 RW, dan 299 RT. Desa ini tidak

~ 98 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

memiliki Rukun Warga, melainkan dusun dengan jumlah


6 dusun dan 30 Rukun Tetangga. Kecamatan ini memiliki
jumlah penduduk 55.011 jiwa, dengan komposisi laki-laki
sebanyak 28.092 jiwa dan perempuan sebanyak 26.919 jiwa.
Sementara itu ketersediaan sarana ibadat pada kecamatan
ini, Islam (219), Katholik (16), Protestan (3), Pura (3), Vihara
(1), dan Sanggar (1).
Pada desa ini juga sudah terdapat kelompok antar agama
yang rutin melakukan pertemuan. Pada desa ini juga belum
pernah terjadi konflik antar umat beragama (wawancara
peneliti dengan Kades Rawa Selapan dan beberapa staf
desa, 2 Agustus 2019). Kades (Kepala Desa) Rawa Selapan
memberikan keterangan bahwa, kerukunan antar umat
beragama pada desa yang dipimpinnya sudah ada sejak
lama. Tradisi saling menghargai antar umat beragama pada
Desa Rawa Selapan nampak terlihat pada tiap perayaan hari
besar keagamaan dengan saling menjaga keamanan dan
kenyamanan beribadah dari umat beragama yang sedang
merayakan (wawancara peneliti dengan Kades Rawa Selapan,
1 Agustus 2019).
Desa Rawa Selapan juga didukung dengan adanya
Kantor Urusan Agama Kecamatan Candipuro. Letaknya
tidak berjauhan dari desa dan berhadapan dengan kantor
Kecamatan Candipuro. Keberadaan KUA Candipuro yang
baru dibangun melalui dana SBSN (Surat Berharga Syariah
Negara) dan diresmikan oleh Menteri Agama, cukup megah.
Kepala KUA Candirpuro mempertegas data yang diperoleh
peneliti mengenai keragaman umat beragama dan rumah
ibadat pada Desa Rawa Selapan (wawancara peneliti dengan
Kepala KUA Candipuro, 1 Agustus 2019).
Selain kondisi tersebut, hal lain yang nampak pada
desa tersebut adalah lahan pertanian yang mendominasi
peruntukan lahan di wilayah tersebut. Ini yang menyebabkan

~ 99 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dominasi mata pencaharian penduduk desa tersebut adalah


petani.
Selain itu, suku yang menjadi penduduk pada Desa Rawa
Selapan pun cukup beragam. Pada desa tersebut terdiri dari
suku Lampung, Batak, Jawa, Sunda, Palembang, Bali, dan
Cina. Keragaman dari kesukuan ini memperkuat akan modal
sosial yang dimiliki warga Desa Rawa Selapan.

Kelemahan
Peneliti menduga, kelemahan dari hubungan antar
umat beragama di Desa Rawa Selapan adalah tidak adanya
kelompok sosial yang diisi oleh perwakilan umat beragama.
Padahal kelompok ini diperlukan guna semakin mempererat
hubungan mereka. Meskipun pada masing-masing agama
terdapat kelompok keagamaannya, namun mereka cenderung
fokus pada kegiatan agama mereka masing-masing.
Kelemahan lain peneliti duga yakni pada regenerasi tokoh
pembawa nilai-nilai pelestarian tradisi budaya. Umumnya
pelestarian tradisi budaya yang biasa terlihat pada momen
bertemunya warga desa diisi oleh tokoh yang sudah berumur.
Belum ada upaya meregenerasi dari kemampuan tokoh
tersebut dalam mengucapkan ikrar saat acara ruwatan desa.

Kelangsungan Saat Sekarang


Saat ini, peneliti merasakan berdasarkan pengamatan
dan hasil wawancara, pelestarian nilai-nilai kerukunan terus
dipertahankan oleh masyarakat Desa Rawa Selapan. Mereka
meyakini, bahwa perbedaan itu merupakan kenyataan yang
harus dihadapi dan menjadi kekuatan bagi perkembangan
desa untuk semakin maju.
Pelestarian acara seperti ruwatan desa senantiasa
dipertahankan untuk selalu terselenggara, apapun kondisinya.
Perbedaannya hanya pada waktu pelaksanaanya saja. Jika

~ 100 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pada musim panen, kemeriahan dan ketepatan waktu


pelaksanaan akan nampak terlihat. Sedangkan pada musim
penceklik, kemeriahan dan penyesuaian waktu lebih sering
dilakukan.
Selain itu, pelestarian sikap menghargai antar sesama
pemeluk agama juga senantiasa dinampakan pada saat
perayaan hari besar keagamaan. Ini sudah menjadi semacam
kebiasaan yang turun menurun. Tidak ada paksaan dalam
melakukan penjagaan keamanan dalam rangka menghargai
perayaan hari besar keagamaan umat beragama di Desa
Rawa Selapan. Hal ini disadari oleh kelompok warga yang
ikut berpartisipasi adalah bagian dari memelihara keeratan
hubungan antar warga desa.

Strategi Merawat Kelangsungan Tradisi Kerukunan Desa Rawa


Selapan
Partisipasi Generasi Muda
Pada Desa Rawa Selapan, partisipasi generasi muda salah
satunya terwakili dari aktifitas kaum muda NU (Nadhatul
Ulama). Kaum muda islam ini rutin melakukan pertemuan
dengan mengisinya dengan pengajian. Tempat yang umumnya
digunakan mereka adalah masjid-masjid yang ada pada tiap
dusun. Namun terkadang dilakukan pada rumah beberapa
kaum muda.
Salah satu kegiatan yang sempat peneliti amati saat
dilakukannya penelitian yakni menyelenggarakan pengajian
memperingati tahun baru Islam. Kegiatan mereka dalam
memperingati tahun baru Islam tidak terpengaruh
pelaksanaanya. Manakala masyarakat desa pada saat perayaan
tahun baru Islam tidak tepat waktu, kaum muda islam Desa
Rawa Selapan tetap melaksanakan perayaan tahun baru Islam
dengan mengadakan pengajian dan menikmati hidangan
seadanya.

~ 101 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Partisipasi Komunitas Perempuan


Perempuan di Desa Rawa Selapan termasuk salah satu
kelompok masyarakat yang mewarnai kehidupan keagamaan
di desa tersebut. Partisipasi komunitas perempuan pada
desa ini terbagi pada dua kategori, pertama yang di bawah
bimbingan aparatur desa dan kedua yang di bawah bimbingan
tokoh agama.
Partisipasi perempuan dalam bimbingan aparatur desa
yakni kelompok PKK. Jumlah pengurus PKK di Desa Rawa
Selapan berjumlah 10 orang perempuan. Kegiatan mereka
yang termasuk dalam arahan pihak desa, yakni:
1. Bidang penghayatan dan pengamalan Pancasila
2. Penumbuhan sikap gotong royong
3. Bidang pangan
4. Bidang sandang
5. Bidang perumahan dan tata laksana rumah tangga
6. Bidang pendidikan dan keterampilan
7. Bidang kesehatan
8. Pengembangan kehidupan berkoperasi
9. Kelestarian lingkungan hidup
10. Perencanaan sehat
Kegiatan yang rutin dilaksanakan oleh PKK Desa Rawa
Selapan hanya 4 jenis dari 10 program di atas. Pada bidang
kesehatan yakni pelayanan Posyandu desa. Pada kelestarian
lingkungan hidup dengan mengkampanyekan penghijauan
pada tiap perkarangan rumah-rumah warga. Pada bidang
pangan, menginisiasi terbentuknya kelompok tani di
desa Rawa Selapan. Pada bidang kehidupan berkoperasi
menginisiasi terbentuknya BUM (Badan Usaha Desa) Desa.
Sementara itu, komunitas perempuan dalam bimbingan
tokoh agama, pada umat islam didominasi dari kelompok
majelis taklim. Kelompok ini hampir ada pada tiap dusun. Di
desa Rawa Selapan terdapat 6 dusun dan 6 masjid. Kelompok
majelis taklim ada pada tiap masjid di desa Rawa Selapan.

~ 102 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Sementara itu, komunitas perempuan dari agama lain,


seperti umat Kristen, Katholik, dan Buddha juga aktif pada
Desa Rawa Selapan. Kegiatan mereka hampir sama dalam
bidang pendidikan di gereja-gereja dan Wihara mereka.

Peran Pemerintah Daerah: Kabupaten/Kota/Camat/Kepala Desa


Pihak kecamatan cukup memberikan pengaruh pada
kegiatan keagamaan yang akan dilakukan di desa. Namun
karena terdapat 14 desa yang dilayani pihak kecamatan, maka
dukungannya masih cenderung pasif. Hanya saja, jika diminta
oleh pihak Desa Rawa Selapan, pihak kecamatan akan cepat
merespons.
Peneliti mengamati, peranan aparatur Desa Rawa
Selapan dalam hal pelestarian nilai-nilai kerukunan cukup
kuat. Dugaan peneliti, hal ini dipengaruhi dari pandangan
dari masing-masing aparatur yang terbuka dan memandang
penting menjaga kerukunan warga desa, tidak hanya soal
agama. Hal ini pun terbukti dari andilnya pihak desa dalam
penyelenggaraan acara rutin yang mempertemukan umat
beragama di desa, yakni ruwatan desa (bersih desa).
Hal lain, pihak desa pun aktif mendorong beberapa tokoh
agama menjadi subjek yang dipercaya dalam ajaran agama.
Mereka yang bersedia, akan diberikan SK (Surat Keputusan)
dari kepala desa. Pada tiap dusun terdapat tokoh agama yang
di-SK-kan. Mereka (tokoh agama) umum disebut dengan
“kaum”. Mereka yang dipercaya oleh desa menjadi “kaum”
ini umumnya dibutuhkan saat adanya warga desa yang
meninggal. Mereka yang memiliki peranan penting dalam
mengatur atau membantu prosesi warga yang berduka.

Analisis Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Desa Rawa


Selapan
Kerukunan umat beragama merupakan kondisi yang
sifatnya dinamis. Hal ini bermakna, sewaktu-waktu kondisi

~ 103 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

tersebut dapatlah potensial berubah. Penelitian ini berlaku


pada saat waktu pelaksanaanya. Sehingga, sangatlah relatif
ketika akan melihat kondisi kerukunan pada Desa Rawa
Selapan di waktu yang lain. Namun tidak berarti prediksi
akan kondisi kerukunan tersebut tidak bisa dilakukan.
Dalam hal mencoba memahami relatifitas kondisi kerukunan
tersebut, peneliti menyandingkannya dengan konsep teori
yang digunakan, yakni toleransi dan kerjasama.
Toleransi yang nampak pada Desa Rawa Selapan ini
terpelihara dari adanya nilai-nilai hidup berdampingan
diwariskan secara turun menurun oleh beberapa warga
terdahulu (sebut saja tokoh). Cara pemeliharaan kerukunan
tersebut dilakukan dengan melestarikan tradisi dan kebiasaan
yang sejak lama disadari menjadi perekat antar warga di
desa tersebut. Beberapa tradisi yang dilestarikan tersebut
yakni, ruwatan desa dan dukungan terhadap perayaan hari
besar keagamaan. Pelestarian tradisi dan kebiasaan tersebut
menciptakan kerjasama antar sesama warga dengan berbagai
macam latar belakang seperti etnis, budaya, pendidikan,
ekonomi, dan agama.
Memang, pada Desa Rawa Selapan dominan beretnis
Jawa yang berjumlah 5076 jiwa dan selebihnya beretnis
Sunda, Batak, Bali, Cina, Palembang, dan Lampung. Namun
etnis Jawa seperti yang dikatakan Ricklefs (2013) mempesona
masyarakat beretnis Jawa itu sendiri dan luar terhadap
peninggalan berbagai warisan dalam rupa seni, arsitektur,
literatur, dan pemikiran (Ricklefs, 2013, hal. 29). Sehingga
wajar saja, pelestarian tradisi dan kebiasaan tersebut diatas
cenderung berbudaya jawa.
Sebagai desa yang tercipta dari sebagian besar masyarakat
yang pendatang, Desa Rawa Selapan ini sejak 1969 menyadari
akan pentingnya hidup berdampingan untuk memajukan
desa dimulai dari peranan besar aparatur desa saat itu. Pihak

~ 104 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pemerintah desa bersama tokoh masyarakat dan agama


menciptakan prinsip hidup bersama bagi sesama warga
desa untuk guyup, ulet, manut, lantif (cerdas), aman, eling,
dan raharjo (sejahtera). Keinginan untuk maju bersama ini
dipandang peneliti sebagai tujuan bersama dari warga Desa
Rawa Selapan. Pada poin inilah yang disebut oleh Sherif
(1988) sebagai saat akan terciptanya interaksi yang efektif.
Sehingga wajar saja jika desa ini terpilih mewakili desa
yang ada di Kabupaten Lampung Selatan untuk mengikuti
lomba desa pada 2019, karena soliditas yang berhasil mereka
ciptakan.
Soliditas (kekompakan) ini muncul dari rasa kepemilikan
warga terhadap desanya. Ini dibuktikan dengan berhasilnya
warga desa membuka lahan menjadi pasar mingguan.
Kerjasama dalam penciptaan pasar ini sebagai ruang
publik, mereka pandang penting untuk menjalin keeratan
dalam berinteraksi antar sesama warga. Kemudian mereka
menciptakan rasa kepercayaan satu sama lain untuk saling
berbagi pengalaman. Ini nampak terlihat pada kegiatan
mereka pada balai dusun, pelaksanaan ruwatan desa, dan
dukungan perayaan hari besar keagamaan.
Keeratan hubungan antar warga ini-pun terpelihara
melalui rasa saling menguntungkan. Hal ini nampak pada
perayaan besar keagamaan. Pada desa ini dominan beragama
islam. Warga yang beragama lain saat melaksanakan perayaan
hari besar keagamaan mereka, akan merasa terlindungi dan
dihargai ketika umat islam menjaga keamanan dan ketertiban
pada proses pelaksanaan ritual keagamaan tersebut. Bagi
warga Muslim-pun diuntungkan melalui kompensasi yang
mereka peroleh (uang, makanan, minuman) saat menertibkan
kendaraan dari umat agama lain saat pelaksanaan ritual
tersebut. Selain itu, antusiasme dalam pelaksanaan tradisi
ruwatan desa menjadi indikasi akan rasa kepemilikan
terhadap desa (komunitas).

~ 105 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Peneliti akhirnya memandang bahwa, kerukunan antar


umat beragama di Desa Rawa Selapan ini terpelihara sebagai
akibat dari ikatan kewargaan yang tercipta dari pelestarian
sikap toleran dan pelaksanaan kerjasama antar warga yang
secara sadar berkeinginan untuk memajukan desa secara
bersama-sama. Tentu, hal ini sangat besar dipengaruhi dari
peran ketokohan desa. Ini artinya, ketokohan desa menjadi
otoritas yang menjadi struktur penting dalam pemeliharaan
kerukunan di Desa Rawa Selapan. Ketokohan desa menjadi
kunci dalam mengurangi disonasi kognitif warga untuk hidup
saling berdampingan. Hal inilah yang secara tidak disadari
memunculkan rasa kepemilikan terhadap komunitas pada
desa tersebut.

Penutup
Kondisi kerukunan di Desa Rawa Selapan ditandai dengan
adanya tradisi yang senantiasa dilestarikan masyarakat
desa, baik dalam pelestarian nilai kerukunan, sampai
pembiasaan hidup berdampingan. Diantara kegiatan yang
merepresentasikan pelestarian nilai-nilai kerukunan adalah
sikap gotong royong dalam perayaan hari besar keagamaan,
tradisi ruwatan desa (bersih desa).
Peran dari ketokohan sangat memberikan pengaruh
kuat dalam pelestarian nilai-nilai kerukunan. Di samping
itu, peranan dari aparatur desa juga turut memberikan andil
dalam pelestarian tradisi kebersamaan antar umat beragama.
Interaksi antar umat beragama nampak terlihat pada saat
momen perayaan hari besar keagamaan, acara ruwatan desa,
perdagangan, dan kumpulan warga di balai dusun. Interaksi
ini terjalin atas dasar kesadaran akan adanya kerukunan
antar-sesama.

~ 106 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Daftar Pustaka
___.2015. Peran Lembaga Keagamaan dalam Memelihara
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (jilid 1 dan 2).
Balai Litbang Agama Jakarta.
___. 2019. 43 Calon Kepala Desa di Kecamatan Candipuro
Gelar Deklarasi Damai. Infodesanew.com, 20 Juni 2019.
Diakses pada 10 Agustus 2019. https://infodesanews.
com/39-calon-kepala-kecamatan-candipuro-gelar-
deklarasi-damai.html
Afkar, Revol. 2019. 6 Desa Sadar Kerukunan Terima
Reward dari Kemenag RI. Bangsa Online
13 Juli 2019. Diakses pada 18 Agustus 2019
h t t p s : / / w w w . b a n g s a o n l i n e . c o m / b e r i t a / 6 0 1 1 1 /​
6-desa-sadar-kerukunan-terima-reward-dari-kemenag-ri
Ahmad, Ali, Haidlor. 2013. Survei Nasional: Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
Bagir, Abidin, Zainal. 2017. Kerukunan dan Penodaan
Agama: Alternatif Penanganan Masalah. Edisi II
Desember 2017. Yogyakarta: Program Studi dan Lintas
Budaya: Center for Religion and Cross Cultural Studies
(CRCS): UGM.
Beaman, G., Lori. 2014. Deep Equality As An Alternative
to Accommodation and Tolerance. Nordic Journal of
Religion and Society: 27 (2).
Bowen, Daniel., Cheng, Albert. 2014. Peering Into the Black
Box of Faith-Based Education: Do Religious Cues Affect
Self Regulation and Political Tolerance?. Edre Working
Papper: Rise University dan Arkansas University.
Broderick, Cynthia., Fosnacht, Kevin. 2017. Religious
Tolerance on Campus: A Multi Institution Study. Indiana
University Center for Postsecondary Research: USA.
Clobert, Magali., Saroglou, Vassilis., Hwang, Kuo, Kwang.,
Soong, Wen-Li. 2014. East Asian Religious Tolerance-A
Myth or a Reality? Empirical Investigations Of Religious
Prejudice in East Asian Societies. Journal of Cross
Cultural Psychology: SAGE.

~ 107 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dja’far, M., Alamsyah., Nugroho, Ardi, Aryo (Ed). 2016.


Narasi Islam Damai. Jakarta: The Wahid Foundation.
Fauzi, Ihsan, Ali. Bagir, Abidin, Zainal. Rafsadi, Irsyad.
2017. Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan
Kebijakan Agama di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi
Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina.
Gross, Neil. 2009. A Pragmatist Theory of Social Mechanism.
American Sociology Review Vol. 74 74: 358. SAGE dan
ASA (American Sociological Association). Hal. 359-364.
Ismail, 2019, Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama:
Studi Pada Desa-Desa Rukun di Sumatera, Desain
Operasional Penelitian, Jakarta: Balai Litbang Agama
Jakarta.
Lichbach, Irving, Mark. 2008. Modeling Mechanism of
Contention MTT’s Positivis Constructivismt. Simposium
McAdam, Tarrow, dan Tilly’s “Measuring Mechanism of
Contention”, dipublikasi secara online pada 31 Mei 2008.
Springer Science and Business Media, LLC. Hal 346-347.
Mas’ud, Abdurrahman., Ruhana, Salim, Akmal. 2009.
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-
Undangan Kerukunan Umat Beragama; Edisi kesebelas.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kemenag RI.
Maussen, Marcel. 2013. Applying Tolerance Indicators:
ANNEX to The Report On Assessing Tolerance for
Religious Schools. Accept Pluralism Research Project:
European University Institute.
McMillan, W., David, 1996, Sense Of Community, Journal of
Community Psychology Vol. 24 No. 4, John Wiley & Sons
Inc, hal. 315-325
Menchik, Jeremy. 2016. Islam and Democracy In Indonesia.
Cambridge University Press.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2016. Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,

~ 108 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,


dan Pendirian Rumah Ibadat.
Permendagri Nomor 81 Tahun 2015. Evaluasi Perkembangan
Desa dan Kelurahan.
Ricklefs, C., M., Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di
Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang,
Jakarta: Serambi.
Saefuddin, Fedyani, Achmad. 1986. Konflik dan Integrasi:
Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta:
Rajawali Press.
Sarwono, Wirawan, Sarlito, 1999, Psikologi Sosial: Psikologi
Kelompok dan Psikologi Terapan, Jakarta: Balai
Pustaka.
Setara Institute. 2015. Tolerant City Index: Report Summary
Sherif, Muzafer., Harvey, O., J., White, Jack, B., Hood,
R., William, Sherif, W., Carolyn, The Robbers Cave
Experiment: Intergroup Conflict and Cooperation, USA:
Wesleyan University Press.
Stufflebeam, Daniel L. dan Chris L. S. Coryn. 2014. Evaluation
Theory, Models, and Applications. San Fransisco:
Jossey-Bass.
Sudjangi. 1993. Kajian Agama dan Masyarakat: 15 Tahun
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1975-
1990 III: Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama.
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama.
Troachim, William dan James P. Donelly. 2006. The Research
Methods Knowledege Base. Cincinnati, OH: Atomic Dog
Publishing.
Trochim, William M. 2006. The Research Methods Knowledge
Base, 2nd Edition. Internet WWW page, at URL: <http://
www.socialresearchmethods.net/kb/> (version current
as of October 20, 2006).
Varshney, Ashutosh. 2009. Konflik Etnis dan Peran
Masyarakat Sipil. Edisi terjemahan. Balai Litbang
Agama Jakarta.

~ 109 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Varshney, Ashutosh. Panggabean, Rizal. Tadjoeddin, Zulfan,


Muhammad. 2004. Pattern of CollectiveViolance in
Indonesia (1990-2003). UNSFIR: Jakarta.
Vermeer, Teun. 2012. The Influence of Religion on Social
Tolerance in East – and West Europe: A Multi-Level
Analysis. Tilburg University: Nedherland.
Wahid Foundation & LSI. 2017. A Measure of Extent of Socio-
Religious Intolerance and Radicalism Within Muslim
Society in Indonesia: National Survei Report.
Yin, Robert K. 2003. Case Study: Research Design and
Methods, Edisi ke-3. Thousand Oak, Calif.: Sage
Publications.

~ 110 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

BAGIAN EMPAT

~ 111 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 112 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Beragama


pada Masyarakat Gampong Mulia Kecamatan Kuta Alam
Banda Aceh
---------------------------------- Marpuah ----------------------------------

Pendahuluan
Keterlibatan negara dalam bentuk regulasi untuk
mengurus kehidupan beragama merupakan suatu keniscayaan
dalam hal-hal yang bisa menimbulkan konflik atau kekacauan
(disorder), dan bukan dalam hal substansi ajaran agama. Hal
ini menjadi semakin penting ketika aspirasi dan kepentingan
masing-masing kelompok keagamaan semakin berkembang
dan ekspresi kebebasan pun semakin terbuka. Regulasi
itu tidak menyalahi demokrasi, karena demokrasi pada
hakekatnya merupakan keseimbangan antara kebebasan
(freedom) dan keteraturan (law and order). Regulasi ini juga
tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (HAM),
karena baik konstitusi Indonesia maupun Internasional
covenant on civil and Political Rights (ICCPR, diratifikasi
melalui UU No. 12 Tahun 2005) membenarkan regulasi ini.
Pada dasarnya konstitusi Indonesia memberikan kewenangan
kepada negara untuk memberlakukan pembatasan terhadap
kebebasan HAM, sebagaimana pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komisi
Nasional Hak-hak asasi manusia 2002-2007. Pembatasan
yang dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan
nasional semacam ini disebut sebagai “margin apresiasi HAM”.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi
diterapkannya “ margin apresiasi HAM” di Indonesia. Demi

~ 113 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kepentingan umum otoritas negara diberikan diskresi untuk


mengesampingkan atau membatasi HAM.
Namun yang perlu diperhatikan untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas negara, margin
apresiasi HAM berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
tersebut harus dijalankan dalam koridor konstitusi, yaitu:
pembatasan HAM harus ditetapkan dengan UU. Semata-mata
guna menjamin pegakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain. Dengan mempertimbangkan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokrati. Dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis, tidak mengesampingkan HAM
yang bersifat non derogible sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 28 (1) UUD 1945. “ Dalam hal kebebasan beragama
memang benar bahwa hak kebebasan beragama ini merupakan
hak yang tidak bisa dikurangi (non derogible right), tetapi
ekspresi keluar yang notabene melibatkan warga masyarakat
lain. Hak ini merupakan hak yang bisa dibatasi atau dikurangi
(derogible right) untuk melindungi hak-hak orang lain.
Dengan demikian suatu negara dibolehkan untuk membuat
suatu undang-undang yang membatasi pelaksanaan hak-hak
dan kebebasan dalam beragama untuk melindungi keamanan
nasional, ketertiban umum, moral masyarakat, atau hak-hak
kebebasan mendasar orang lain.(K.H. Ma’ruf Amin, 2011,hal
72).
Kehadiran agama-agama di Indonesia dalam waktu
yang cukup Panjang telah melahirkan berbagai pranata
sosial keagamaan. Hal itu menunjukkan secara antropologis
masyarakat telah diberi kesempatan untuk memahami
dan menghayati ajaran agama sesuai dengan lingkungan
budaya mereka. Proses sosialisasi agama di kalangan umat
Islam Indonesia melahirkan pranata kepemimpinan dengan
terbentuknya Syekh, Tuan Guru, Muallim, Muallimah, Baleo,
Kyai, Ajengan, Tengku, Buya, Malim, Muballigh, Mudarris,

~ 114 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Bendra (Ra) dan lain sebagainya. Di kalangan Kristen dikenal


sebutan Pendeta, Sintua, Guru, Bishop, Biblevrow, Ephorus,
dan lain sebagainya. Di kalangan Katholik dikenal sebutan
Pastor, Uskup, Uskup Agung, Vikaris Jenderal, Suster Bruder
dan lain sebagainya. Bagi kalangan penganut Budha dikenal
sebutan Bikhsu, Bikhu, Bikhuni, dan Hindu sebutannya
adalah Pedanda, Pandita, dan sebagainya. Umat Khonghuchu
menyebut pimpinan agamanya dengan Wenshu disingkat Ws.
Aspek kehidupan beragama tidak hanya ditemukan
dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara
signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi religious
ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, sistem
moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan,
sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang dan lain-lain.
Hal ini karena setelah agama menjadi milik manusia, maka
keberadaan agama bukan lagi sebagai wahyu yang absolut
kebenarannya, melainkan berubah menjadi subsistem dari
berbagai subsistem kehidupan lainnya. Komunitas umat
beragama terbentuk melalui kegiatan ritual, doa-doa, puji-
pujian, dosa dan ketakwaan. Menurut Bell sebagaimana
dikutip Riaz Hassan dalam analisis sosiologis, ritual dianggap
memainkan peran penting dalam mempertahankan institusi,
komunitas, dan identitas agama. Dan selanjutnya partisipasi
dalam ritual kolektif keagamaan berperan sebagai proses
sosialisasi individu untuk menerima secara tidak sadar nilai-
nilai kebersamaan dan kategori pengetahuan dan pengalaman
(H.M. Ridwan Lubis, 2017, hal 261).
Adanya perubahan era, dari era orde baru ke era reformasi,
seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia
akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan tetapi
kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi
membawa dampak kebebasan yang kurang terkendali.
Hal ini akan sangat berbahaya bagi bangsa yang tingkat
heterogenitasnya cukup tinggi seperti Indonesia. Keragaman

~ 115 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

agama di satu sisi memberikan kontribusi positif untuk


pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama
dapat juga berpotensi sumber konflik. Kerukunan antarumat
beragama di Indonesia masih banyak menyisakan masalah.
Kasus-kasus yang muncul terkait dengan hal ini belum bisa
terhapus secara tuntas. Kasus Cikesik, Ambon, Kupang, Poso,
bahkan Papua yang baru saja terjadi kerusuhan (2019), dan
lainnya masih menyisakan masalah. Ibarat api dalam sekam
yang sewaktu-waktu siap membara dan memanaskan suasana
di sekelilingnya.
Banyaknya konflik yang melibatkan agama sebagai
pemicunya menuntut adanya perhatian yang serius untuk
mengambil langkah-langkah yang antisipatif, terutama dari
segi yuridis. Hal ini penting demi tercapainya kedamain
kehidupan umat beragama di Indonesia. Jika hal ini diabaikan,
dikhawatirkan akan muncul masalah yang lebih berat dalam
rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang politik,
ekonomi, keamanan, budaya, dan bidang-bidang lainnya.
Bangsa Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang
cinta damai dan diikat oleh rasa persatuan nasional untuk
membangun sebuah negara yang majemuk. Persatuan ini tidak
lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan, kepentingan,
dan yang sejenisnya
Provinsi Aceh dikenal sebagai sebuah Provinsi yang
memiliki status Istimewa dalam rangkaian Provinsi yang
berada diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Status istimewa tersebut diraih karena kondisi sosial budaya
masyarakat Aceh yang khas. Potensi kekayaan alam di
Provinsi Aceh, serta kiprah masyarakat Aceh yang besar
serta berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Adanya status istimewa tersebut, Provinsi Aceh
tentunya memiliki sebuah perbedaan dalam mekanisme
Pemerintahan serta peraturan Daerahnya. Sebagai sebuah
Provinsi yang terdiri dari mayoritas penduduk beragama

~ 116 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Islam dan didukung pula oleh adat istiadat masyarakat Aceh


yang memegang teguh prinsip Islam secara mengakar dalam
kehidupan bermasyarakatnya. Maka Syariat Islam menjadi
sebuah pertimbangan utama dalam perumusan peraturan di
Daerah Provinsi Aceh (Abubakar Al-Yasa, 2005 hal 62-63).
Perumusan kebijakan Syariat Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam dimulai pada sejak berdirinya Negara
Islam Indonesia di Aceh yang dipimpin oleh Tengku Daut
Beureueh pada Tahun 1953. Berdirinya Negara Islam
Indonesia ini disebabkan oleh kekecewaan yang dirasakan
oleh pimpinan, pemuka Agama, serta masyarakat Aceh pada
umumnya. Terhadap sikap Pemerintah pusat Indonesia yang
membubarkan keberadaan Provinsi Aceh sehingga diganti
menjadi Provinsi Sumatra Timur. Menanggapi kekecewaan
ini Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya untuk
mengakomodasi kepentingan masyarakat Aceh serta menjaga
supaya Aceh tetap menjadi Wilayah dari Negara kesatuan
Republik Indonesia. Dengan memberikan keistimewaan di
bidang Pendidikan, budaya, adat-istiadat, serta peraturan
masyarakat (adat) dengan menghormati serta menjunjung
tinggi Kehormatan rakyat dan budaya Aceh serta Agama
Islam di Aceh (Ibid hal 66).
Reformasi Indonesia telah berdampak terhadap inspirasi
masyarakat Aceh dalam mengimplementasikan syariat Islam
secara menyeluruh untuk masyarakat di Provinsi Aceh.
Penerapan Syariat Islam di Indonesia telah sesuai dengan
konstitusi negara yaitu Undang-undang 1945 yang tercermin
dalam pasal 29 ayat (1), yaitu; “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadah menurut agama kepercayaannya
itu” (UU Dasar 1945 pasal 29 ayat (1). Juga sesuai dengan
Undang-undang dasar 1945 tahap kedua yang berlaku
pada tanggal 5 juli 1959, di dalamnya termaktub kalimat;
Bahwa piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai

~ 117 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini adalah merupakan


suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Artinya
dengan demikian piagam Jakarta telah diakui kembali secara
sah, maka dalam menjalankan Syariat Islam tidak ada lagi
halangan bagi Umat Islam di Indonesia. Hal tersebut juga
sesuai dengan Undang-undang otonomi daerah bahwa suatu
daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya
sendiri dan membuat peraturan daerah dengan catatan tidak
bertentangan dengan Undang-undang dasar 1945 maupun
Undang yang lebih tinggi darinya.
Sebelum tahun 2003 tepatnya sebelum 16 juli 2003, di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum berlaku Syariat
Islam. Masyarakat Aceh umumnya melaksanakan Syariat
Agama sama dengan seluruh masyarakat Indonesia tidak
ada ketentuan khusus. Kemudian setelah berlaku otonomi
secara khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, di dalam
pelaksanaannya, Syariat Islam telah dimasukkan ke dalam
bentuk Undang-Undang daerah khusus di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang di sebut dalam Qanun (Dinas Syariat
Islam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2003).
Perda dan Qanun sudah banyak yang dihasilkan
Pemerintah Aceh dalam rangka pelaksanaan syariat Islam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Seperti Perda Nomor 3 tahun
2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat
Islam, Perda Nomor 43 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Perda Nomor 3 Tahun 2000. Qanun Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun Nomor 11 Tahun 2002
tentang pelaksanaan syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan
Syiar Islam. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman
Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun Nomor
13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun Nomor
14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum). Qanun Nomor

~ 118 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, serta sejumlah


intruksi Gubernur pendukung pelaksanaan Syariat Islam.
Syariat Islam secara Kaffah diartikan pelaksanaan hukum
syariah secara sempurna oleh Pemerintah Daerah. Beberapa
Lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu,
Dinas Syariat Islam yang mempunyai tanggungjawab utama
pelaksanaan hukum Syariah. Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) sebagai Lembaga Independen yang bertugas
memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya
hukum Syariah, dan Polisi Wilayatul Hisbah yang bertugas
mensosialisasikan Qanun, menangkap pelanggar Qanun
serta menghukum pelaku yang melanggar Syariat (Misra A.
Muchsin, et al, 2008, hal 2).
Di satu sisi, rumah ibadat selain sebagai simbol suatu
agama, juga merupakan tempat ibadat dan sarana untuk
meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agama
umat. Tapi di sisi lain, pembangunan rumah ibadat sering
menimbulkan permasalahan dan sumber konflik antarumat
beragama. Dilema ini dapat difahami, karena setiap kelompok
keagamaan apa pun dan dimana pun, serta kapan pun, selalu
menaruh perhatian pada regenerasi bagi kelangsungan
kehidupan kelompok keagamaan tersebut. Secara langsung
maupun tidak langsung, kelompok keagamaan tertarik pada
dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelestarian sistem
keyakinan keagamaan yang dianut kelompok kegamaan
tersebut. Hal ini dilakukan dengan menarik para anggota
yang terdiri dari anggota-anggota keluarga dan kerabat
dari anggota kelompok, khususnya para anggota muda dan
anak-anak.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan
yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi
suatu masyarakat. Pada saat yang sama agama juga dapat
memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-
beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi

~ 119 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari


begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya
sendiri, sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Isu perselisihan
antara warga Muslim dan Non Muslim kerap membuat sekat
persaudaraan semakin tebal. Namun saat warga hidup di
lingkungan majemuk, perlu adanya solusi atas perselisihan
tersebut. Dengan pernyataan tersebut dapat dirumuskan:
Bagaimana kondisi kerukunan antarumat beragama di obyek
penelitian. Bagaimana strategi Pemerintah Daerah terhadap
toleransi dan kerjasama antarumat beragama, dalam upaya
pemeliharaan kerukunan antarumat beragama. Apa kekuatan
dan kelemahannya dalam pemeliharaan kerukunan antarumat
beragama.
Tulisaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
Kerukunan antarumat beragama di wilayah obyek
penelitian, mengetahui strategi Pemerintah Daerah terhadap
toleransi dan kerjasama antarumat beragama, dalam upaya
pemeliharaan kerukunan antarumat beragama dan untuk
mengetahui Kekuatan dan Kelemahan dalam pemeliharaan
Kerukunan antarumat beragama.

Kerangka Konseptual
Masyarakat dan Perubahan Sosial
Menurut Talcott Parsons dan Willbert E. Moore, teori
tentang masyarakat dan perubahan sosial tidak dapat
dipisahkan. Namun juga harus diakui bahwa tidak ada
satu teori perubahan sosial yang benar-benar mencukupi
untuk membaca perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat termasuk apa yang selama ini sering diungkapkan,
yakni apa yang disebut “grand theory”. Kata Etzioni, “grand
theories” tidak memberikan bimbingan yang mencukupi untuk
riset sosiologi tetapi tidak ada perubahan sosial yang modern

~ 120 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

telah menggantikannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika


sebuah teori masyarakat yang lengkap dikembangkan, maka
upaya itu tentang kajian “struktur-struktur yang statis”
dan “proses yang dinamis”. Tetapi riset untuk sebuah teori
semacam ini harus bergerak ke berbagai sektor. Berbicara
tentang konsep perubahan sosial maupun perubahan budaya,
pada umumnya dua konsep tersebut dibedakan, yaitu masing-
masing perubahan dikaitkan dengan aspek yang berbeda,
yang satu berkaitan dengan bidang budaya yang berubah dan
yang satunya dengan bidang sosial.
Pada dasarnya perubahan sosial dan perubahan budaya
merupakan konsep yang sebenarnya saling berkaitan satu
sama lain meskipun mempunyai perbedaan. Perubahan sosial
mencakup perubahan dalam segi struktur dan hubungan
sosial, sedangkan perubahan budaya mencakup perubahan
dalam segi budaya masyarakat. Perubahan dalam distribusi
kelompok usia, tingkat pendidikan, hubungan sosial antar
etnis yang bermukim dalam satu wilayah, peran perempuan
dalam organisasi politik dan lain-lain adalah contoh dari
perubahan sosial. Sedangkan perubahan budaya meliputi
penemuan teknologi komputer dan penciptaan seni tari
modern dan lain-lain. Tetapi kedua konsep perubahan tersebut
saling berkaitan, misalnya perubahan peran perempuan
dalam masyarakat berkaitan dengan adanya perubahan nilai
kedudukan perempuan. Jadi fenomena suatu perubahan di
dalamnya akan mencakup aspek sosial dan budaya sehingga
perbedaan istilah di antara keduanya sering kali tidak terlalu
diperhatikan. Tokoh sosiologi dari Indonesia, yaitu Selo
Soemarjan menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup
semua aspek perubahan dalam lembaga suatu masyarakat
yang dapat mempengaruhi sistem sosial termasuk nilai, sikap
dan pola perilaku kelompok dalam masyarakat tersebut. Ia
menekankan bahwa perubahan sosial terjadi pada lembaga

~ 121 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

masyarakat sehingga mempengaruhi struktur masyarakat


yang bersangkutan.

Modal Sosial
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian
nilai dan norma informal yang dimilki bersama diantara para
anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan
terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama,
2002: xii). Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah: trust
(kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial.
Trust (kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk
bekerjasama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas
ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan
produk dari norma-norma sosial kooperation yang sangat
penting yang kemudian memunculkan modal sosial.
Fukuyama (2002), menyebutkan trust sebagai harapan-
harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif
yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan
pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas-
komunitas itu.
Unsur penting pertama dari modal sosial adalah Trust
(kepercayaan) dalam suatu kelompok sangat diperlukan,
tidak hanya antar pengurus namun antar anggota juga
dibutuhkan suatu kepercayaan. Karena dengan adanya
kepercayaan ini maka akan terjalin suatu hubungan kerjasama
yang baik. Tidak ada kecurigaan antara sesama pengurus
atau anggota kelompok. Unsur penting kedua dari modal
sosial adalah reciprocal (timbal balik), dapat dijumpai dalam
bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu
yang dapat muncul dari interaksi sosial (Soetomo, 2006:
87). Unsur yang selanjutnya yakni interaksi sosial. Interaksi
yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial
yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup
kepercayaan dan lingkup hubungan timbal balik. Jaringan

~ 122 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Jaringan sosial


yakni sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan
simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic
engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari
daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama,
hubungan genealogis, dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut
diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan
perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh
jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan
tersebut (Pratikno dkk).
Dilihat dari tindakan ekonomi, jaringan adalah
sekelompok agen individual yang berbagi nilai-nilai dan
norma-norma informal melampaui nilai-nilai dan norma-
norma yang penting untuk transaksi pasar biasa. Melalui
pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa modal sosial dapat
bermanfaat bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga
ekonomi (Pratikno dkk: 88). Timbal balik antara anggota
kelompok satu dengan yang lainnya, berperan penting
dalam pembentukan kelompok agar lebih baik. Timbal balik
yang diberikan pengurus ataupun anggota kelompok dapat
menjadikan suatu titik ukur agar lebih maju. Dengan saling
menerima dan saling membantu antar anggota kelompok yang
muncul dari adanya interaksi sosial dapat menjadikan mereka
lebih peka terhadap sesama anggota kelompok. Kelompok ini
juga mempunyai jaringan sosial yang terbentuk dari daerah
yang sama dan mempunyai perasaan simpati yang sama yaitu
contohnya dari korban tsunami.
Maka dari itu mereka membentuk kelompok ini sebagai
jaringan sosial mereka. Ketiga unsur utama modal sosial
dapat dilihat secara aktual dalam berbagai bentuk kehidupan
bersama dapat digunakan konsep modal sosial sesuai
pandapat Uphoff (Soetomo, 2006: 90). Dalam pandangan
Uphoff (Soetomo, 2006: 90), modal sosial dapat dilihat dalam
dua kategori: fenomena struktural dan kognitif. Kategori

~ 123 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan


beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan,
precedent dan prosedur yang dapat membentuk jaringan
yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama
yang saling menguntungkan. Modal sosial dalam kategori
kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran
yang diperkuat oleh budaya dari deologi khususnya norma,
nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi
tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan
bersama yang saling menguntungkan.
Bentuk-bentuk aktualisasi modal sosial dalam fenomena
struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari
dalam kehidupan masyarakat selanjutnya dikembangkan
dalam usaha penigkatan taraf hidup dan kesejahteraan. Level
mekanisme modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama.
Kerjasama sendiri merupakan upaya penyesuaian dan
koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi
konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok
dianggap menjadi hambatan oleh seseorang atau kelompok
lain. Akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama
lain. Perlu ditegaskan bahwa ciri penting modal sosial sebagai
sebuah capital dibandingkan dengan bentuk capital lainnya
adalah asal-usulnya yang bersifat sosial. Relasi sosial bisa
berdampak negatif ataupun positif terhadap pembentukan
modal sosial tergantung apakah relasi sosial itu dianggap
sinergi atau kompetisi, dimana kemenangan seseorang hanya
dapat dicapai di atas kekalahan orang lain (zero-sum game).

Komponen Modal Sosial


Komponen modal sosial dapat digambarkan secara ringkas
sebagai berikut: Nilai, Kultur, Persepsi Institusi, Mekanisme,
kepercayaan. Persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati,
rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan
timbal balik. Pada level institusi bisa terbentuk keterlibatan

~ 124 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

umum sebagai warga negara (civil engagement), asosiasi,


jaringan. Pada level mekanisme, modal sosial berbentuk
kerjasama, tingkah laku, dan sinergi antar kelompok. Tampak
jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontribusi
tersendiri bagi terjadinya integrasi social (Soetomo, 2006).

Interaksi Sosial
Menurut Gillin dan Gillin (Soerjono Soekanto, 2007: 55-
56), interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial
yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-
perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun
antara orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila
dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu. Mereka
saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau
bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu
merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-
orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau
saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi.
Karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang
meyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun
syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh
misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan
lain-lain. Semua itu menimbulkan kesan di dalam pikiran
seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang
akan dilakukannya (Soerjono Soekanto, 2007: 55-56).
Interaksi sosial yang terjadi dalam suatu kelompok
merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antara orang-perorang, antar kelompok-kelompok
manusia, dan antara orang dengan kelompok masyarakat.
Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi
kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Interaksi terjadi
dua orang atau kelompok saling bertemu atau pertemuan
antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi
diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dan komunikasi

~ 125 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

merupakan syarat mutlak dalam proses interaksi sosial,


sehingga tanpa kedua unsur tersebut maka sangatlah mustahil
interaksi sosial terjadi (Soerjono Soekanto, 2007: 61).
Komunikasi yang terjalin di dalam kelompok sangat
menentukan terjadinya kerjasama antara orang-perorang
atau antara kelompok-kelompok manusia. Pemikiran di atas
dapat diketahui apabila ada pembatasan kontak sosial salah
satu pihak, maka akan terjadi persoalan yang muncul dari
hubungan yang tidak harmonis ini. Interaksi sosial sangat
berguna untuk menelaah dan mempelajari banyak masalah
di dalam masyarakat. Interaksi merupakan kunci semua
kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan
mungkin ada kehidupan bersama (Soerjono Soekanto, 2007:
58). Interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal
balik antara individu dengan golongan di dalam usaha mereka
untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan di dalam
usaha mereka untuk mencapai tujuannya (Abu Ahmadi, 2007:
100). Charles P. Loomis (Soleman b. Taneko, 1984: 114),
mencantumkan ciri penting dari interaksi sosial, yakni:1).
Jumlah pelaku lebih dari seorang, bisa dua atau lebih. 2).
Adanya komunikasi antara para pelaku dengan menggunakan
simbol-simbol. 3). Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi
masa lampau, kini dan akan datang, yang menentukan sifat
dari aksi yang sedang berlangsung. 4). Adanya tujuan-
tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama dengan
yang diperkirakan oleh pengamat. Apabila interaksi sosial
itu diulang menurut bentuk yang sama dan bertahan untuk
waktu yang lama, maka akan terwujud “hubungan sosial”.
Bentuk-bentuk interaksi sosial (Soleman b. Taneko, 1984:
115), adalah terdiri dari:
1. Kerjasama (cooperation).
Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu
atau kelompok untuk mencapai satu atau tujuan bersama.
Proses terjadinya kerjasama lahir apabila diantara

~ 126 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

individu dan kelompok yang bertujuan agar tujuan-


tujuan mereka tercapai. Begitu pula apabila individu atau
kelompok merasa adanya ancaman dan bahaya dari luar,
maka proses kerjasama ini akan bertambah kuat diantara
mereka. Dalam suatu kelompok itu selalu melakukan
kerjasama, tidak hanya antar pengurus namun pengurus
dan anggota selalu melakukan hal yang berkaitan
dengan program kegiatannya. Dengan kebersamaan
tersebut mereka mempunyai tujuan bersama yaitu untuk
melakukan strategi pemeliharaan kerukunan antarumat
beragama, dengan didukung oleh berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
2. Persaingan (competition)
Persaingan adalah proses sosial, dimana individu
atau kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari
keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang menjadi
pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian
publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah
ada. Namun tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan
dalam suatu kelompok, tidak ada persaingan satu dengan
yang lainnya. Pengurus dan anggota saling menjaga
satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi persaingan.
Semua dipikir secara bersama-sama dengan musyawarah
mufakat, dalam suatu kelompok ini tidak ada persaingan
dalam hal apapun.
3. Konflik (conflict)
Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun
kelompok menyadari perbedaan-perbedaan, misalnya
dalam ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan,
pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun
kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut
dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi
suatu pertentangan atau pertikaian di mana pertikaian
itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan

~ 127 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

fisik. Sekalipun terjadi konflik antara individu dengan


individu ataupun individu dengan kelompok itu masalah
yang kecil dan dapat langsung diselesaikan. Sekalipun
tidak dapat langsung diselesaikan, mereka menggunkan
cara musyawarah mufakat, yaitu dirapatkan bersama dan
solusinya diputuskan secara bersama-sama. Misalkan
perbedaan pendapat ataupun perbedaan jadwal yang
diberikan inferior dalam perilaku ekonomi kolektifnya.
Jika low-trus terjadi dalam suatu masyarakat, maka
campur tangan negara perlu dilakukan guna memberikan
bimbingan (Francis Fukuyama, 2002: xiii).

Pluralisme Agama
Pluralisme berasal dari istilah asing (pluralism),
berarti: suatu kerangka interaksi yang mana setiap
kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu
sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Maka
pluralisme dalam arti seluasnya dapat dilihat sebagai pilihan,
tujuan, sekaligus jawaban untuk mencapai keharmonisan-
kerukunan beberapa kelompok dalam kemajemukan; baik
secara ideologi, sosial, maupun agama. Sedangkan pluralisme
agama menurut John Hick, penggagas pluralisme agama bagi
kaum Nasrani, yaitu, “Menurut pandangan fenomenologis,
terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas
bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi
serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing
agama. Ali Rabbani Golpaygani, guru pesantren di Qum,
menginterpretasikan pluralisme sebagai berikut, “Adapun
pluralisme agama ialah seorang pemeluk agama menghendaki
keberadaan dalam lingkup perkara yang mutlak tetapi sambil
meyakini bahwa hakikat  yang diyakininya itu ada dalam satu
cengkraman”.
Kemudian ia menjelaskan pluralisme agama tersebut
dengan penggunaan istilah pluralitas vertikal dan horizontal.

~ 128 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan


bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan
kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative
good), hanya dilihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian
sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan
pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan
umat manusia dengan menggunakan berbagai mekanisme
di antaranya seperti pengawasan dan   pengimbangan.
Sebagaimana Allah menjelaskannya dalam Al-Qur’an
“seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia
dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada
seluruh alam” (QS. al-Baqarah/2:251).
Kutipan tersebut di atas menegaskan bahwa adanya
masalah besar dalam kehidupan beragama yang ditandai
oleh kenyataan pluralism dewasa ini. Dan salah satu masalah
besar dari paham pluralisme adalah bagaimana suatu teologi
dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-
agama lain. Dalam bahasa John Lyden, seorang ahli agama-
agama,”what sould one think about religions other than
one’s own?”  Sehingga berkaitan dengan berkembangnya
pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama,
berkembanglah suatu paham ”teologia religionum” (teologi
agama-agama) yang menekankan semakin pentinnya dewasa
ini untuk dapat berteologi dalam konteks agama-agama.

Konsep Kerukunan
Kerukunan berarti merasakan harmoni dan tiadanya
permusuhan antar sesama yang menggambarkan hubungan
antara kelompok yang berbeda karakter dengan tetap
menjungjung tinggi sikap saling menghormati, keadilan,

~ 129 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dan kehendak. Secara umum, kerukunan digambarkan


dengan kehangatan, ketenangan, dan kesunyian tanpa
kegaduhan dan perselisihan yang mengganggu keharmonisan
hidup. Konsep kerukunan seringkali dikaitkan dengan
harmoni atau keselarasan dalam kehidupan manusia. Jika
manusia merasakan harmonisasi dalam hidupnya, berarti
ia bisa dikatakan hidup dengan rukun tanpa pertikaian,
kekerasan, dan peperangan. Kehidupan yang rukun berarti
menunjukkan suatu keharmonisan dalam sebuah masyarakat
atau pun negara, sehingga dapat berinteraksi dengan baik
tanpa merasa ada gangguan dan ancaman yang datang dari
siapa pun. Kerukunan sesungguhnya tidak jauh beda dengan
konsep damai dan harmoni yang selalu menjadi impian setiap
orang. Untuk memperoleh ketenangan hidup dan  jaminan
keamanan dari segala ancaman kekerasan, kejahatan, dan
peperangan yang seringkali menghambat terputusnya
persaudaraan dan persahabatan antara sesama manusia.
Ketika kerukunan menjadi dambaan setiap kelompok manusia
tanpa membedakan latar belakang kehidupannya, maka cita-
cita untuk terlepas dari ancaman kekerasan dan peperangan
dapat menjadi kenyataan. Wahiduddin Khan menyatakan
bahwa kerukunan yang menjadi cermin kedamaian selalu
menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia (Maulana
Wahiduddin Khan, 2010 hal 12).
Oleh Karena itu Kerukunan merupakan hak mutlak
setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk
yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan
(khalifah fi al-ardl) untuk memakmurkan dunia ini. Dengan
suasana kerukunan, diharapkan akan tercipta dinamika yang
sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar
sesama, tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak
lain. Tak seorang pun yang berpikiran sehat akan memilih
konflik sekiranya kerukunan masih dapat diusahakan. Akan
tetapi juga tak sesorang pun dari masing-masing orang

~ 130 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang mendambakan kemajuan, akan memilih kerukunan


dan ketenteraman yang pasif dan statis. Dalam pandangan
Eka Dharmaputra, secara objektif syarat untuk membina
kerukunan hidup bersama telah tersedia dan sasaran yang
akan dituju sudah jelas. Masalahnya hanyalah kesadaran,
kemauan, usaha dan kerja keras dari masing-masing individu
untuk mengendalikan egosentrisme dan fanatisme yang
berlebihan.
Dalam konteks hubungan antar agama, kerukunan
menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat. Pentingnya kerukunan tidak lepas dari potensi
konflik yang bisa saja datang secara tiba-tiba dan hal itu harus
dibangun sejak dini. Kerukunan berarti suasana kehidupan
umat beragama yag bersatu hati hidup berdampingan atas
dasar saling menghormati, menghargai, dan bebas dari
intervensi sehingga menciptakan damai lahir dan batin serta
suasana hidup yang saling membantu. Kerukunan umat akan
menciptakan ketenteraman umum, memperkokoh persatuan
dan kesatuan bangsa hingga menciptakan kesejukan hati
bagi kehidupan masyarakat. Kerukunan hidup adalah
suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama hidup
bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing
untuk melaksanakan kewajiban agama. Dalam kehidupan
mayarakat, kita ingin hidup rukun dengan siapa pun tanpa
memandang latar belakang kehidupan. (AP. Budiyono, 1983
hal 227).

Konsep Kearifan Lokal


Pada bagian sebelumnya, sudah dijelaskan tentang makna
kerukunan sebagai cerminan dari kehidupan damai dan tenang
tanpa adanya suatu pertikaian yang melibatkan dua belah
pihak yang saling menyerang satu sama lain. Pemaknaan yang
tak kalah pentingnya adalah mengenai kearifan lokal (local
wisdom) yang menjadi kekuatan fundamental bagi setiap

~ 131 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

daerah dalam mempertahankan tradisi kultural yang sudah


berkembang secara turun-temurun. Dengan memahami
pengertian kearifan lokal, kita bisa mencerna lebih mendalam
mengenai kekhasan kebudayaan suatu daerah yang mampu
merawat kehidupan dengan penuh kebijaksanaan sesuai
dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat.
Kearifan lokal terdiri dari dua kata, yakni kearifan dan
lokal. Kearifan berasal dari kata “arif”, yang berarti tau atau
mengetahui. Kearifan bisa berarti kebijaksanaa, kecerdikan,
atau kepandaian yang merepresentasikan pengetahuan
seseorang terhadap hakikat kehidupan. Sedangkan lokal
berarti daerah atau suatu tempat yang memiliki karakteristik
masing-masing sebagai sebuah kekayaan atau mozaik yang
menjadi modal sosial bagi masyarakat.
Dengan demikian kearifan lokal adalah berupa gagasan,
nilai, dan tindakan yang menjadi kebudayaan suatu daerah
dengan keunikan dan kekhasannya yang luar biasa. Dengan
kata lain, setiap tradisi atau kepercayaan yang ada di suatu
daerah, termasuk bagian dari kearifan lokal yang menjadi
keunikan dan daya tarik bagi masyarakat. Kearifan lokal
dalam disiplin ilmu antropologi, juga dikenal dengan istilah
“local  genius, yang pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch
Wales. Dalam pandangan   Ayatrohaedi, kearifan lokal
adalah “the sum of the cultural characteristic which the fast
majority of a people have in common as a result of their
experiences in early life” (Ayatrohaedi, 1986 hal 30). Dalam
kearifan lokal mencerminkan kemampuan kebudayaan
setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan luar
yang semakin memberikan tekanan terhadap segala tradisi
yang berkembang di masyarakat. Kearifan lokal juga bisa
dipahami sebagai sebuah gagasan, perilaku, atau tindakan
yang bersifat murni dari tradisi dan kepercayaan masyarakat
berdasarkan pengalaman hidup di suatu daerah yang masih

~ 132 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mempertahankan kebudayaan sebagai hasil karya, cipta, dan


karsa bagi mereka
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan atau pedalaman,
kearifan lokal menjadi modal sosial yang sangat tinggi nilainya
dibandingkan dengan arus globalisasi yang menawarkan
kemewahan dan kebebasan bagi masyarakat untuk bertindak
sesuai selera atau kebutuhan kebudayaan luar. Kearifan lokal
di tengah-tengah kehidupan masyarakat diyakini bisa menjaga
warisan budaya leluhur sebagai bentuk penghormatan yang
monumental bagi terciptanya keseimbangan hidup di alam
semesta ini. Kearifan lokal memang identik kebijaksanaan
yang terdapat dalam kehidupan suku-suku di berbagai daerah.
Kearifan lokal di dalamnya tidak sekadar gagasannya dalam
bentuk ilmu pengetahuan, tapi juga pada pola tindakan yang
menghasilkan budaya tertentu sebagai sebuah warisan yang
monumental. Tidak heran bila wacana tentang kearifan lokal
dalam suku-suku tertentu, selalu terkait dengan tuntutan
perubahan atau modernisasi. Maka, sebuah masyarakat yang
masih memegang teguh kearifan lokal mereka, sebisa mungkin
tidak terpengaruh kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai luhur yang mencerminkan filosofi hidup di dunia.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Fred Wibowo,
bahwa nilai-nilai kearifan dalam bentuk apa pun harus
dipertahankan, karena merupakan warisan kebudayaan yang
tak ternilai harganya. (Fred Wibowo, 2007 hal 220).
Bagi Indonesia istilah toleransi sebenarnya bukan
merupakan istilah dan masalah yang baru. Karena sikap
toleransi merupakan salah satu ciri bangsa Indonesia yang
diterima sebagai warisan leluhur bangsa Indonesia sendiri.
Jadi toleransi bukan merupakan suatu hal yang dituntut
oleh situasi. Mengingat keadaan dunia yang semakin lama
semakin berkembang dan maju yang meliputi semua bidang.
Maka bangsa Indonesia tidak dapat mengelak dari pengaruh

~ 133 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ini, bahkan harus mengikuti dan selektif serta menyesuaikan


menurut kondisi dan kepribadiannya. Kemajuan dan
perkembangannya ini baik secara langsung atau tidak ia akan
mempengaruhi cara berpikir dan pandangan hidup masyarakat
Indonesia dan tidak mustahil pula akan mempengaruhi
kerukunan dan toleransi antarumat beragama.
Untuk menjaga dan memelihara kerukunan dan toleransi
yang merupakan ciri kepribadian bangsa itu, diperlukan
kesatuan sikap dalam menyaring pengaruh-pengaruh yang
akan merusak kepribadian bangsa itu. Dalam UUD 1945 pasal
29 ayat 2 berbunyi negara menjamin tiap-tiap penduduk
memeluk untuk agama masing-masing dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu. Berdasarkan pasal tersebut
toleransi dalam kehidupan umat beragama harus didasarkan
kepada tiap-tiap agama menjadi tanggung jawab pemeluknya
sendiri. Memiliki bentuk ibadat sistem dan cara tersendiri
yang dibebankan serta menjadi tanggung jawab pemeluknya.
(Syamsul Rijal dan Mulyadi Kurdi, 2008 hal 71-72).
Gampong sebagai salah satu strata pemerintahan di
Aceh merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berada
di bawah mukim dan dipimpin oleh Keuchik serta berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Sebagai
lembaga pemerintahan, gampong merupakan wilayah otonomi
asli dan melaksanakan urusan pemerintahan dari sebagian
urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang diserahkan
kepada gampong serta melaksanakan tugas pembantuan
dan tugas pemerintahan lainya. Pengelolaan pemerintahan
gampong dengan menganut prinsip dasar keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan
masyarakat diperlukan perhatian serius dari pemerintah.
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta
seluruh elemen masyarakat untuk mempercepat terwujudnya
kemandirian gampong sesuai dengan harapan masyarakat
Aceh.

~ 134 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kebijakan Pemerintah Aceh mengenai gampong adalah


mengupayakan penguatan gampong sebagai landasan
penguatan daerah dengan strategi regulasi yang partisipatif.
Penataan kelembagaan gampong yang sesuai dengan kondisi
daerah setempat, memperjelas kewenangan gampong,
peningkatan kualitas aparatur gampong, pemberdayaan
masyarakat, peningkatan sarana dan prasarana serta
mengupayakan alokasi dana gampong. Salah satu wujud
penataan pemerintahan gampong adalah mengembangkan
regulasi gampong yang bersifat partisipatif sebagai bentuk
kesepakatan yang dapat diterima, dan dilaksanakan serta
ditaati oleh masyarakat gampong itu sendiri. (Farid Hadi
Rahman, 2008, ix).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis,
di gampong dibentuk dua lembaga pemerintahan yang
berdiri sejajar yakni: Pemerintahan Gampong dan Tuha Peut
Gampong. Pemerintah gampong terdiri dari Keuchik yang
dibantu oleh Sekretaris Gampong, Kepala Urusan (Kaur) dan
Kepala Dusun (Kadus). Tuha Peut Gampong yang juga sebagai
lembaga legislasi Gampong mempunyai tugas dan peranan
menampung aspirasi warga, mengembangkan qanun gampong
dan melaksanakan pengawasan pelaksanaannya. Pemerintah
Gampong merupakan bagian yang tidak terpisahkan (sub
sistem) dari Provinsi NAD dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sebagai perwujudan demokrasi di
Gampong dibentuk Tuha Peut Gampong sebagai lembaga
yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta
mengawasi jalannya Pemerintahan Gampong agar sesuai
dengan aspirasi dan peraturan yang berlaku.
Peraturan gampong ada yang bersumber dari tradisi turun
temurun yang diakui masyarakat sebagai komunitas warga.
Namun ada pula pengaturan yang disusun dan diterbitkan
oleh Keuchik bersama Tuha Peut, atau diterbitkan oleh
Keuchik sendiri selaku pelaksana administrasi pemerintah dan

~ 135 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pimpinan yang memperoleh mandat dari warga. Peraturan


yang tidak tertulis namun ditaati masyarakat warga dan berlaku
secara turun temurun biasanya disebut dengan Reusam. Jenis
peraturan-perundangan pada tingkat Gampong meliputi: 1).
Qanun Gampong 2). Peraturan Keuchik dan 3). Keputusan
Keuchik. Qanun Gampong adalah ketentuan atau regulasi
yang ditetapkan oleh Keuchik setelah mendengar persetujuan
Tuha Peut Gampong. Inisiatif sebuah Qanun Gampong dapat
berasal dari Keuchik, Tuha Peut Gampong, maupun lembaga
atau warga Gampong. Inisiatif yang berasal dari lembaga dan
warga disampaikan melalui Tuha Peut Gampong atau melalui
Keuchik. Selanjutnya Keuchik bersama Tuha Peut Gampong
membahas inisiatif tersebut untuk dikembangkan menjadi
peraturan gampong (Farid Hadi Rahman, 2008 , hal 7 dan 9).
Agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan
keselarasan hidup, bukan hanya antar manusia tetapi juga
antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Di dalam
terminologi Al-Quran, misi suci itu disebut rahmah lil alamin
(rahmat dan kedamaian bagi semesta). Namun dalam tataran
historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai
alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik.
Bahkan menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam
agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Tetapi jika
melihat perjalanan sejarah dan realitas di muka bumi ini,
pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai
sekarang. Persoalannya bagaimana realitas itu bisa memicu
para pemeluk agama untuk merefleksikan kembali ekspresi
keberagamaanya yang sudah sedemikian mentradisi dalam
hidup dan kehidupannya.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu yang menjadi
problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini
yang ditandai oleh kenyataan pluralisme adalah bagaimana
teologi suatu agama mendefinisikan diri di tengah-tengah
agama lain. Dengan semakin berkembangnya pemahaman

~ 136 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mengenai pluralisme, berkembanglah suatu paham teologia


religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya
dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama. Pada
tingkat pribadi hubungan antar tokoh agama di Indonesia
mungkin tidak menjadi persoalan. Tetapi pada tingkat teologis
yang merupakan dasar dari agama, muncul kebingungan
-kebingungan, khususnya mengenai bagaimana kita harus
mendefinisikan diri di tengah-tengah agama -agama lain
yang juga eksis. Kajian dimaksud bagaimana agama bisa
berfungsi di tengah masyarakat yang pluralistis, sehingga
tidak saling berbenturan. Masalahnya tentu bukan karena
agama itu datang built-in dengan konflik dan tampil a-sosial.
Tetapi karena kita sering melihat para pemeluknya telah
mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik
dan eksklusif. Dalam arti subyektivitas kebenaran yang
diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini
pihak lain. (Dr. H. Dadang Khamad, 2009).
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya
sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis klaim kebenaran
berubah menjadi symbol agama yang dipahami secara
subyektif, personal oleh setiap pemeluk agama, ia tidak lagi
utuh dan absolut. Pluralisme manusia menyebabkan wajah
kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan dan
dibahasakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang
diambil orang yang meyakininya. Dari konsep ideal turun ke
bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Hal ini yang
biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada
umumnya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki,
bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai
suci itu.
Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku
pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain

~ 137 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka.


Armahedi Mahzar (lihat: pengantar untuk terjemahan
R.Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya,
Pustaka, Bandung, 1993, hlm. ix). Menyebutkan bahwa
absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme, dan
agresivisme adalah penyakit yang biasanya menghinggapi
aktivis gerakan keagamaan. Absulutisme adalah kesombongan
intelektual; eksklusivisme adalah kesombongan sosial;
fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme
adalah berlebih-lebihan dalam bersikap; dan agresivisme
adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.

Metode dan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ini adalah Kota Banda Aceh. Lokasi ini
dipilih dengan pertimbangan:
1. Sosial politik. Kota Banda Aceh yang merupakan Ibu
Kota Provinsi Aceh sebagai pusat pemerintahan di mana
setiap kebijakan bersumber di Kota ini. Dan wacana
terkait pro kontra kebijakan pemerintah juga lebih
banyak didiskusikan di Kota Banda Aceh oleh berbagai
stakeholder terkait.
2. Sosial demografi. Kota Banda Aceh termasuk kota dengan
tingkat penyebaran penduduk yang tinggi ditandai oleh
komposisi social, budaya, adat, kultur, etnis, agama,
ras, suku yang sangat beragam dibandingkan dengan
kebanyakan kota lainnya di Aceh. Bahkan penduduk
Acehnya sendiri, di hampir setiap wilayah kabupaten
di Aceh memiliki kekhasan tersendiri dari sisi budaya
dimana keragaman budaya tersebut dapat ditemui di
Kota Banda Aceh.
3. Simbol-simbol keagamaan. Banda Aceh merupakan kota
yang melekat dengan simbol-simbol keagamaan seperti:
Masjid Raya Baiturrahman, Gereja, Vihara, Sekolah

~ 138 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Metodist, dan Pusat kekuatan-kekuatan gerakan sosial


seperti: Ormas, Organisasi keagamaan dan lainnya.
4. Akses pengetahuan dan informasi. Kota Banda Aceh
sebagai pusat Pendidikan ditandai dengan simbol-simbol
lembaga-lembaga Pendidikan tinggi termasuk pusat
kajian -kajian sosial keagamaan. Bahkan dua institusi
Pendidikan tinggi yaitu: Unsyiah dan IAIN termasuk
bagian dari unsur Muspida plus yang hanya ada di Aceh.
5. Ekses Pasca Tsunami; yaitu perubahan struktur
kemasyarakatan setelah musibah tsunami yang ditandai
dengan banyaknya migrasi penduduk dari daerah lain
serta pengaruh asimilasi budaya asing, dan budaya luar
Aceh. Hal ini berdampak pada pola pikir dan perilaku
masyarakat yang menjadi lebih terbuka.
Penelitian tentang toleransi dan kerjasama antarumat
beragama dilakukan di wilayah Provinsi Aceh, dengan
stressing obyek penelitian diambil 2 Desa (Gampong) yaitu: 1.
Gampong Mulia. 2. Gampong Peunayong. Alasan dipilihnya
dua Gampong ini: Pertama, Gampong Mulia adalah termasuk
dalam kategori Desa Sadar Kerukunan yang telah dikukuhkan
oleh Walikota dan Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, atas dasar
usulan dari FKUB Kota Banda Aceh. Sedangkan Gampong
Peunayong adalah belum termasuk dalam kategori Desa
sadar kerukunan, namun akan diusulkan oleh FKUB Kota
Banda Aceh dalam target tahun 2019. Desa sadar kerukunan
dicanangkan dalam rangka program Kanwil Kemenag dan
FKUB. Dengan kriteria: bahwa desa tersebut keberadaan
komunitas pemeluk agamanya minimal terdiri dari dua
pemeluk agama, dan minimal terdiri dari dua rumah ibadah
berbeda agama, serta dalam jangka minimal 10 tahun belum
pernah terjadi konflik antarumat beragama.
Di Gampong Mulia terdiri dari empat rumah ibadah yang
berbeda pemeluk agamanya yaitu dua Masjid (Al-Anshar dan
Al-Karomah), Gereja GPIB, GMI Metodits, HKBP dan 3 Vihara

~ 139 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

( Vihara Dewi Samudra, Sakyamuni, dan Maitri . Sedangkan


di Gampong Peunayong hanya terdiri dari dua rumah ibadah
yang berbeda pemeluk agamanya yaitu: Tiga Masjid (Masjid
Babu Zam-zam, Masjid Pangdam, dan Masjid Tradisional),
serta Gereja Paroki Hati Kudus. Namun pemeluk agama
mayoritas di Gampong Peunayong adalah penganut Agama
Budha, selain mayoritas Islam. Sedangkan di Gampong Mulia
selain mayoritas Islam, adalah mayoritas Kristen dan Budha.
Metode penelitian yang digunakan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif bertujuan
untuk menjelaskan fakta yang diamati. Dengan pendekatan
kualitatif dilakukan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam kepada key informan yang kemudian
dikembangkan dengan observasi di lapangan. Selain dari itu
akan dilakukan studi dokumen terhadap berbagai literatur
yang berkaitan dengan strategi kebijakan pemerintahan di
daerah dalam upaya melakukan penguatan agar tercipta
kerukunan umat beragama. Observasi dilakukan ke tempat
Rumah Ibadah yang ada di dua lokasi penelitian, dengan
melihat kondisi di sekitar lingkungan rumah ibadah tersebut.

Aceh: Komposisi Penduduk dan Letak Geografis


Pada tahun 2019 jumlah Penduduk Provinsi Aceh dilihat
berdasarkan Agama: Islam = 5.157.253 orang (97,77%),
Kristen = 52.814 orang (1,01%), Katolik = 5.306 orang
(0,10%), Hindu = 179 orang (0,00%), Budha = 5.915 orang
(0,11%) ( sumber data: Hukum KUB Kanwil Kemenag 2019).
Penduduk Kota Banda Aceh berjumlah 223.446 jiwa. Dari
jumlah tersebut beragama Islam sebanyak 216.941 jiwa,
agama Kristen 1.571 jiwa, Agama Katolik 431 jiwa, agama
Budha 2.535 jiwa, agama Konghuchu 3 jiwa, dan agama
Hindu 50 jiwa. Sebaran terbanyak pemeluk Kristen, Katolik,
Buddha, dan Islam yaitu di Gampong Peunayong, Gampong
Mulia, dan Gampong Laksana. Ketiga desa ini terletak di

~ 140 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh. Di Kota Banda Aceh


terdapat empat gereja yakni GPIB, GMI, HKBP, dan Gereja
Khatolik Hati Kudus, yang masing-masing memiliki sekolah
sendiri. Selanjutnya umat Buddha memiliki empat rumah
ibadah, yaitu Vihara Sakyamuni, Vihara Maitri, Vihara Dewi
Samudra, dan Vihara Dharma Bhakti. Sedangkan umat Hindu
mempunyai Kuil Palani Andawer di Jalan Teugku Dianjong,
Gampong Keudah, hanya berjarak puluhan meter dari Masjid
Jamik Keudah. Keberadaan rumah ibadah di ibu kota Provinsi
Aceh ini memiliki izin resmi dari pemerintah, sehingga tetap
dijaga keberadaannya oleh masyarakat, tidak pernah diusik.
Kota Banda Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 (drt) Tahun 1956 sebagai daerah otonom dalam
Provinsi Aceh. Pada awal pembentukannya Kota Banda
Aceh hanya terdiri atas 2 (dua) buah kecamatan, yaitu
Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Baiturrahman dengan
wilayah seluas 11,08 km. Kemudian berdasarkan Peraturan
Pemerintahan Nomor 5 Tahun 1983 tentang perubahan batas
wilayah Kotamadya Dati II Banda Aceh, terjadi perluasan
wilayah Kota Banda Aceh menjadi 61,36 km dengan
penambahan 2 (dua) kecamatan baru yakni Kecamatan Syiah
Kuala dan Kecamatan Meuraxa. Pada awal pembentukannya
Kecamatan Kuta Alam mencakup 17 gampong/desa, dengan
Ibukota Kecamatan berada di Gampong Bandar Baru.
Namun dengan adanya Peraturan Daerah Kota Banda
Aceh No. 8 Tahun 2000 tentang pembentukan susunan
organisasi dan tata kerja yang baru maka dibentuklah
beberapa Kecamatan baru yaitu Kecamatan Bandar Raya.
Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan
Kuta Raja dan Kecamatan Lueng Bata telah menyebabkan
perubahan wilayah. Maka sebagian wilayah Kecamatan Kuta
Alam berkurang dan membentuk Kecamatan baru yaitu
Kecamatan Kuta Raja sebagai pecahan dari Kecamatan Kuta
Alam. Sampai saat ini Kecamatan Kuta Alam terdiri atas

~ 141 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

2 Mukim, 11 Gampong, dan 57 Dusun, yaitu Mukim Lam


Kuta terdiri dari 6 gampong/desa dan 29 dusun, sedangkan
Mukim Kuta Alam terdiri dari 5 gampong/desa dan 28 dusun.
Kecamatan Kuta Alam memiliki jumlah populasi terbesar
pertama di Kota Banda Aceh.

Kecamatan Kuta Alam


Kecamatan Kuta Alam terdiri dari 11 Kelurahan: 1.
Peunayong 2. Laksana 3. Keuramat 4. Kuta Alam 5. Beurawe 6.
Kota Baru 7. Bandar Baru 8. Mulia 9. Lampulo 10. Lamdingin
11. Lambaro Skep. Jumlah Penduduk di Kecamatan Kuta
Alam sebagai lokasi penelitian: 50618 jiwa, terdiri dari
jumlah laki-laki 26.293 jiwa, perempuan 24.325 jiwa. Jika
dilihat dari jumlah penduduk berdasarkan agama: Islam
48.240 jiwa, Kristen 338 jiwa, Katolik 385 jiwa, Hindu 3 jiwa,
Budha 1652 jiwa. Sarana kegiatan tempat Ibadah: Masjid 26
buah, Meunasah 25 buah, Musholla 15 buah, Gereja 4 buah,
Wihara 3 buah. Khusus untuk pemeluk Agama Islam, selain
memiliki sarana ibadah tersebut di atas (Masjid, Meunasah,
dan Musholla), juga memiliki fasilitas pembelajaran agama
yang dikenal dengan Majlis Taklim untuk Dewasa dan TPA/
TPQ untuk anak-anak. Jika dilihat dari jumlah Lembaga
Keagamaan TPA/TQ 21 buah, Majlis Taklim 12 buah, Majlis
Taklim Ibu-ibu 12 buah. Adapun jumlah penyuluh Agama
Islam Non PNS di Kecamatan Kuta Alam 8 orang, wilayah
binaannya di setiap Desa /Kelurahan, sebagai obyeknya
TPQ. Jumlah penyuluh Agama Islam fungsional (PNS) di
Kecamatan Kuta Alam 3 orang, terdiri dari 1 orang Penyuluh
Ahli Madya Golongan IV/a, 1 orang Penyuluh Ahli Muda
Golongan III/d, dan 1 orang Penyuluh Pertama penata Muda
III/a.
Dengan latar kehidupan masyarakat yang beragam,
religious, dan arif, lingkungan Kecamatan Kuta Alam
merupakan lingkungan yang kondusif, dan ramah dakwah.

~ 142 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tata nilai kebersamaan masih nampak begitu kuat di bawah


kepemimpinan para pembina masyarakat ( Para Geuchik,
Imam/Tengku dan juga Ustadz/Ustadzah). Ditambah
adanya lembaga-lembaga Pendidikan Keagamaan, sehingga
menjadikan Kuta Alam sebagai wilayah yang tidak pernah
sepi dari gerak dan gaung syiar keagamaan. Kerjasama KUA
sebagai bagian dari unsur umara dengan ulama masyarakat
senantiasa dapat terjalin dengan baik. Diantara faktor
pendukung jalinan ini adalah pendekatan yang mutual dan
kenyataan, bahwa para Penyuluh Agama Islam Non PNS
maupun Penyuluh fungsional (PNS) adalah Tokoh Agama
bagi masyarakatnya. Dan memiliki hubungan yang akrab
dengan Tokoh Keagamaan di lingkungan Kecamatan Kuta
Alam.
Bentuk kerjasama tersebut antara lain: tertuang dalam
penjadwalan Khatib Jum’at, pemateri kegiatan Ramadhan dan
partisipasi dalam kegiatan hari-hari besar Islam. Selain dalam
hubungan non formal kemasyarakatan peran KUA dan Ulama
juga terwujud dalam lembaga-lembaga resmi, seperti: Badan
Kesejahteraan Masjid (BKM), Badan Pembinaan Pengamalan
Agama (P2A). Badan Pembinaan Penasehatan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4), serta Lembaga Pengembangan Tilawatil
Qur’an (LPTQ) Tingkat Kecamatan. Dan secara struktural
KUA juga berperan sebagai Pembina Lembaga Baitul Mal
tingkat Desa/Gampong yang berada dalam wilayahnya.

Sekilas Gampong Mulia


Gampong Mulia berada pada Kemukiman Lamkuta
Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Menurut penuturan
orang-orang tua yang masih ada yaitu yang selamat dari
bencana besar gempa bumi dan tsunami tahun 2004. Gampong
Mulia dulunya merupakan wilayah Ujong Peunayong yang
terdiri dari wilayah (Gampong Mulia, Gampong Lampulo dan
Gampong Lamdingin sekarang). Sebelum terjadi pemekaran

~ 143 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dengan Keuchiknya diantaranya Keuchik Bintang, Keuchik


Aji, Keuchi Dukun dan Keuchi Nago. Kemudian pada tahun
1963 terpisah dari wilayah (Lampulo dan Lamdingin).
Setelah keluarnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, maka seluruh pemerintahan kelurahan
disejajarkan menjadi Gampong. Maka pada tanggal 24 Oktober
2010 dan pada pemilihan Kechik Gampong yang pertama
terpilih adalah Harapan M.Husin, dan meninggal pada tanggal
3 November 2015. Sebelum beliau menghabiskan masa
jabatannya periode 2010 -2016. Maka dilaksanakan pemilihan
langsung (pilciksung) yang kedua semenjak dikeluarkan
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh. Pilciksung dilaksanakan oleh Tuha Peut Gampong
melalui pembentukan Panitia Pilkades (P2K) dan masyarakat
Gampong sebagai peserta pemilihan tersebut dengan 5 calon
Keuchik. Adapun dalam pemilihan dimaksud yang menjadi
pemenangnya terpilih dan dipercayakan oleh masyarakat
adalah Syukriadi. Kemudian diangkat menjadi Keuchik
Gampong Mulia Definitif berdasarkan Surat Keputusan
Walikota Banda Aceh No. 214 Tahun 2016 tanggal 10 Mei
2016 untuk masa bakti periode 2016 s/d 2022 dan dilantik
serta diambil sumpah pada tanggal 26 Mei 2016 oleh Camat
Kuta Alam Kota Banda Aceh. VISI: Terwujudnya Tatanan
Kehidupan Masyarakat Gampong Mulia yang Bermartabat
dan Sejahtera. MISI: 1). Penyelenggaraan Pemerintahan yang
bersih, efektif, kompeten dan berwibawa, bebas dari korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan dengan usaha sebagai berikut:
a). Memberikan pelatihan bagi Aparatur Pemerintahan
Gampong b). Meningkatkan pelayanan kepada Masyarakat
2). Perekonomian: a). Mendorong masyarakat untuk
meningkatkan usaha penambahan pendapatan keluarga b).
Mencari kesempatan atau peluang untuk membuka lapangan
kerja baru c). Mendayagunakan sumber-sumber dana yang
tersedia bagi masyarakat usaha mandiri 3). Adat Istiadat,

~ 144 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kebudayaan dan Olah Raga: a) Menggalakkan kembali adat


istiadat yang ada dalam masyarakat b). Menggali kembali
adat istiadat yang ada di Gampong Mulia c). Menggerakkan
kegiatan Kepemudaan dalam bidang Olah raga. 4). Menyusun
Reusam Gampong sebagai payung hukum bagi masyarakat
Gampong: a). Pemerintah Gampong mengusahakan untuk
penyelesaian sengketa secara Adat Istiadat/Reusam Gampong.
b). Keamanan dan Penerapan Syariat Islam dan Penanganan
Bencana. c). Membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan
keamanan.5). Pengembangan Sumber Daya Manusia dan
Alam: a). Memberikan Pendidikan dan Ketrampilan bagi
Ibu-ibu, remaja putra dan putri yang ada di Gampong. b).
Meningkatkan Kegiatan keagamaan dan pendidikan agama
bagi anak-anak c). Memanfaatkan Sumber daya alam yang
tersedia sebagai mata pencarian masyarakat.
Gampong Mulia terdiri dari 5 Lingkungan/Dusun: 1.
Dusun Tgk. Dileupu 2. T.Laksamana 3. Pocut Merah Inseun
4. Malahayati 5. Tgk Diblang. Dilihat jumlah penduduk
berdasarkan agama, Dusun Tgk. Dileupu terdiri dari pemeluk
agama: Islam 1.491 orang, terdiri dari jumlah laki-laki 869
orang, perempuan 622 orang, dan pemeluk agama Katolik 3
orang. Dusun T.Laksamana jumlah pemeluk agama: Islam 530
orang terdiri dari laki-laki 313 orang, perempuan 217 orang.
Agama Katolik dengan jumlah 27 orang, terdiri dari laki-laki
15 orang, perempuan 12 orang, dan agama Kristen 1 orang.
Agama Budha dengan jumlah 105 orang terdiri dari laki-laki
40 orang, perempuan 65 orang. Dusun Pocut Merah Inseun
jumlah pemeluk agama: Islam 505 orang terdiri dari laki-laki
247 orang, perempuan 258 orang. Agama Katolik dengan
jumlah 52 orang terdiri dari laki-laki 27 orang, perempuan
25 orang. Agama Kristen dengan jumlah 18 orang terdiri dari
laki-laki 10 orang, perempuan 8 orang. Agama Budha dengan
jumlah 133 orang terdiri dari laki-laki 67 orang, perempuan
66 orang.

~ 145 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Dusun Malahayati jumlah pemeluk agama: Islam 678


orang terdiri dari laki-laki 346 orang, perempuan 332 orang.
Agama Kristen dengan jumlah 40 orang, terdiri dari laki-laki
20 orang, perempuan 20 orang. Dusun Tgk. Diblang jumlah
pemeluk agama: Islam 767 orang, terdiri dari laki-laki 407
orang, perempuan 360 orang. Agama Kristen dengan jumlah
14 orang, terdiri dari laki-laki 10 orang, perempuan 4 orang.
Jumlah penduduk secara keseluruhan berdasarkan Agama
di Gampong Mulia: Islam 3.971 orang, terdiri dari laki-laki
2.182 orang, perempuan 1.789 orang. Agama Katolik dengan
jumlah 79 orang, terdiri dari laki-laki 42 orang, perempuan
37 orang. Agama Kristen dengan jumlah 76 orang, terdiri
dari laki-laki 44 orang, perempuan 32 orang. Agama Budha
dengan jumlah 238 orang, terdiri dari laki-laki 107 orang,
perempuan 131 rang.
Di Gampong Mulia terdapat rumah ibadah beragam
agama dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Selain masjid
sebagai rumah ibadah warga umat Muslim, terdapat tiga
gereja masing-masing Gereja Protestan Indonesia Bagian
Barat (GPIB) yang bersebelahan dengan Gereja Methodis
Indonesia (GMI) di Jalan Pocut Baren. Dan gereja adat Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) di Jalan Pelangi. Kemudian
ada tiga vihara di Gampong Mulia: Vihara Dewi Samudra,
Vihara Budha Sakyamuni, Vihara Maitri. Meski Aceh berstatus
daerah syariat Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non
Muslim juga terjamin
Kondisi Lembaga Pendidikan di Gampong Mulia terdiri
dari: PAUD 4 buah: Metodist, Bayyinah, Sinar Mulia,
Mutiara. TK 7 buah: TK Metodits, TK Gaseh Poma, TK Negeri
4 Adidarma, TK Hurul A’in, TK Sinar Mulia, TK Harapan
Ibu, TK Mutiara. SD 5 buah: SD Metodits, SD IT Bayyinah,
SD Hurul A’in, SDN 20 Banda Aceh, SDN 27 Banda Aceh,
dan 1 buah MIN. SMP hanya 1 Metodits, SMA 4 buah: SMA

~ 146 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Metodits, SMAN 2 Banda Aceh, SMAN 15 Banda Aceh, SMKN


4 Banda Aceh, dan STIMA 1 buah.
Kegiatan Sosial Keagamaan di Masjid Al-Anshar Gampong
Mulia meliputi 3 unsur: Idaroh dalam bentuk secretariat
yang menggerakkan dalam bidang Pendidikan: TPA, BMT,
Majlis Taklim, dan wacana ke depan akan dibentuk bengkel
kesehatan untuk jamaah Masjid. Imaroh dalam bentuk
kegiatan PHBI, Dzikir 1 bulan sekali, kelompok sholawatan,
BKPRMI se Provinsi. Riayah dalam bentuk pemeliharaan
bangunan Masjid dan sarana-prasarana. Sumber dana dalam
pemeliharaan Masjid murni dari jamaah, ada jamaah yang
bayar listriknya secara pribadi tapi tidak diketahui orangnya
(Hamba Allah). Tokoh Agama (Syibral), merangkap tugas
di MPU sebagai wakil MPU Kota Banda Aceh. Ada 3 komisi
kegiatan MPU: 1. Komisi Hukum (UU/Qanun), Perda/
Fatwa dengan jumlah 5 orang. 2. Komisi penelitian tentang
Pendidikan, makanan, dan keuangan dengan jumlah 5 orang.
3. Komisi penyiaran/dakwah mensosialisasikan kedua komisi
tersebut di atas, dalam pencegahan, dan dalam hal SARA
khusus untuk Kota Banda Aceh. (Ustadz Syibral/Tokoh
Agama dan Wakil MPU Kota Banda Aceh).

Sekilas Gampong Peunayong


Peunayong berasal dari kata Peumayong yang berarti
tempat berteduh, karena pada tempo dulu daerah ini
banyak tumbuh pohon-pohon besar yang sangat rimbun
sampai ke daerah Ujong Peunayong (saat ini Gampong
Lampulo) yang menjadi tempat persinggahan. Berawal dari
sinilah masyarakat menjuluki kata Peumayong menjadi
Peunayong, hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam
pengejaan kata oleh sebagian besar masyarakat sehingga
lebih mudah menyebutnya Peunayong. Penyebutan ini terus
melekat dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat
dan sekitarnya. Wilayah Gampong Peunayong tempo dulu

~ 147 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sampai ke Gampong Lampulo yang dulunya disebut Ujong


Peunayong. Gampong Peunayong telah dimekarkan menjadi
5 (lima) gampong administratif yang berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kuta Alam diantaranya adalah
Gampong Mulia, Gampong Lampulo, Gampong Lam Dingin,
Gampong Laksana dan Gampong Keuramat. Sejak dulu
Peunayong memang telah menjadi daerah internasional.
Pada zaman kepemimpinan Sultan Iskandar Muda daerah
ini dijadikan sebagai kota “spesial”. Julukan spesial karena
Sultan memberikan rasa aman kepada para tamu yang datang
ke daerah ini, bahkan tak jarang Sultan juga menjamu para
tamu kerajaan yang datang dari Eropa maupun Tiongkok.
Hubungan Aceh dan Tiongkok semakin kuat ketika
Laksamana Cheng Ho melakukan kunjungan ke Kerajaan
Samudera Pasai di Utara Aceh pada tahun 1415. Laksamana
Cheng Ho yang beragama Islam disambut baik bagaikan
keluarga. Bahkan bukti kedekatan tersebut hingga saat ini
masih ada bukti sebuah lonceng yang berada di Komplek
Museum Aceh yang dikenal dengan Lonceng Cakradonya.
Tidak hanya pada saat zaman kesultanan saja, tetapi
keberadaan Peunayong tetap dipertahankan sampai pada
zaman penjajahan Belanda. Dimana daerah ini sengaja di
desain dan dibangun dengan konsep kampung pecinan yang
sampai saat ini masih terlihat sejumlah bangunan peninggalan
tempo dulu sebagai saksi bisu kemegahan Aceh pada masa
lampau.
Pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami menyapu
daratan Aceh, Peunayong termasuk salah satu daerah yang
tersapu gelombang yang maha dahsyat tersebut. Kawasan
ini lumpuh total, puing-puing bekas bangunan berserakan,
mayat bergelimpangan, Peunayong berubah menjadi kota
mati. Para penghuninya memilih mengungsi ke propinsi
tetangga, Sumatera Utara dan daerah lainnya. Namun kini
kondisi Peunayong semakin tertata rapi dengan taman pohon

~ 148 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

rindang yang tumbuh di sepanjang median jalan, bahkan


kehidupan pedagang pun semakin menggeliat. Sebagai basis
dari etnis Tionghoa, Peunayong memang menjadi pusat
perdagangan di Kota Banda Aceh sampai dengan saat ini.
Gampong Peunayong adalah salah satu dari 11 (sebelas)
gampong yang ada dalam Kecamatan Kuta Alam Kota Banda
Aceh, yang secara Geografis letak Gampong Peunayong
berbatasan dengan:
√ Sebelah Utara berbatasan dengan Gampong Mulia
√ Sebelah Selatan berbatasan dengan Krueng Aceh
√ Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Laksana
√ Sebelah Barat berbatasan dengan Krueng Aceh

Demografi Gampong Peunayong

Tabel 1. Dusun/Jurong di Gampong Peunayong


Jumlah Laki-
No. Nama Dusun Kepala Dusun Jiwa Perempuan
KK Laki

1. Merpati Dani Hidayat 348 1.204 627 577

2. Garuda Ridwan 139 467 234 233

3. Cendrawasih Muhammad Zaini 121 405 202 203

4. Gajah Putih Hasyimi 104 303 149 154

Jumlah Total 712 2.379 1.212 1.167

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan


No. Kelompok Usia Jumlah Laki-Laki Perempuan

1. Belum Sekolah 554 (23.29%) 268 (11.2 %) 286 (12.02 %

2. Belum tamat SD/Sederajat 177 (7.44 %) 90 (3.78%) 87 (3.66%)

3. Tamat SD/Sederajat 187 (7.86 %) 93 ( 3.91 %) 94 ( 3.95 %)

4. SLTP /Sederajat 358 (15.05 %) 180 (7.57 %) 178 (7.48 %)

5. SLTA/Sederajat 852 (35.81 %) 464 (19.50 %) 388 (16.31 %)

6. Diploma I/II 21 ( 0.88%) 6 ( 0.25 %) 15 (0.63 %)

Akademi/Diploma III/Sarjana
7. 74 ( 3.11 %) 31 (1.30 %) 43 (1.81 %)
Muda

8. Diploma IV/Strata I 143 ( 6.01 %) 68 (2.86%) 75 93.15 %)

~ 149 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

9. Strata II /S2 9 (0.38%) 8 ( 0.34 %) 1 ( 0.04 %)

10. Strata III/S3 4 (0.17%) 4 (017 %) 0 ( 0.00%)

1212 (50.95 1.167 (


Jumlah Total 2.379 (100 %)
%) 49.05%)

Penduduk Gampong Peunayong dilihat berdasarkan


pekerjaan: belum bekerja 25%, mengurus Rumah Tangga
20.47%, Pelajar/Mahasiswa 17.95%, Pensiunan 0.21%,
PNS 0,59%, TNI 0.08%, Polri 0.21%. Perdagangan 0.80%,
Nelayan/Perikanan 0.13%, Industri 0.04%, Karyawan Swasta
3.74%, Karyawan BUMD 0.04%, Karyawan Honorer 0.20%,
Buruh Harian Lepas 0.13%, Buruh Tani/Perkebunan 0.04%.
Dosen 0.17%, Guru 0.29%.
Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
No. Nama Agama Jumlah Laki-laki Perempuan

1. Islam 973 (40.90%) 507 (21. 31 %) 466 (19.59%)

2. Kristen 236 (9.92 %) 108 ( 4.54 %) 128 (5.38 %)

3. Katholik 137 ( 5.76 %) 68 ( 2.86 %) 69 ( 2.90 %)

4. Hindu 0 (0.00%) 0 (0.00%) 0 (0.00%)

5. Budha 1.033 ( 43.42%) 529 ( 22.24 %) 504 (21.19 %)

6. Khonghucu 0 ( 0.00%) 0 (0.00%) 0 (0.00%)

Jumlah Total 2.379 (100%) 1.212 ( 50.95%) 1.167 ( 49.05%)

Jika dilihat berdasarkan usia penduduk Gampong


Peunayong dari mulai usia di bawah 1 tahun 2.73%, 2 s/d 4
tahun 4.92%, 5 s/d 9 tahun 9.71%, 10 s/d 14 tahun 8.20%, 15
s/d 19 tahun 6.26 %, 20 s/d 24 tahun 6.85%, 25 s/d 29 tahun
8.07 %. 30 s/d 34 tahun 8.11 %, 35 s/d 39 tahun 9.16 %, 40
s/d 44 tahun 7.69 %, 45 s/d 49 tahun 5.97 %, 50 s/d 54 tahun
5.55 %, 55 s/d 59 tahun 4.88 %, 60 s/d 64 tahun 3.61 %, 65
s/d 69 tahun 3.07 %, 70 s/d 74 tahun 2.52 %, 70 tahun ke atas
2.69 %.

~ 150 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Sosial Keagamaan di Peunayong


Sesuai dengan Perwalikota dialokasikan dana untuk
kegiatan MTQ di tiap gampong, dilakukan setelah lebaran
Haji. Prosesnya mulai per Dusun, Kepala Dusun mengirimkan
Calon MTQ ke Gampong Peunayong. Kegiatan sosial
keagamaan di Peunayong digerakkan oleh Majlis Taklim
laki-laki dan perempuan. Ada empat kelompok Majlis Taklim
laki-laki dan perempuan. Untuk Ustadznya diberikan insentif
Rp. 200.000/bulan, diberikan 6 bulan sekali dalam setiap
pertemuan. Kemudian untuk Taman Pendidikan Al-Qur’an
(TPA) dianggarkan dana desa maksimal 20 juta. Kegiatan
lainnya yaitu Fardu Qifayah (memandikan, menyolatkan, dan
menguburkan), didanai 10 juta oleh Gampong Peunayong.
Untuk intensif Fardhu Qipayah,yang terdiri dari 5 orang laki-
laki dan 5 orang perempuan, kendalanya, per orag 100 ribu
dalam waktu 1 bulan. Contoh dalam toleransi kehidupan
beragama umat Budha, ada yang meninggal muda, tidak
ada keluarga dibakar atas keinginan pribadinya, makamnya
orang Non Muslim di Matai Ketapang di pegunungan, dan
ada rumah duka bagi umat Non Muslim untuk proses ritual/
seremonial sebelum di bakar atau dimakamkan.
Tahun 2018 mencapai 75 % jumlah penduduk non
Muslim banyak dari peunayong, namun tahun 2019 sekitar
64 % Muslim di Peunayong Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perpindahan tempat tinggal mereka yaitu: 1).
Dalam hal Trans Sekolah nya ke luar Negeri (Tailan, Tiongkok)
Medan, Jakarta, Australia). Hari-hari perayaan di Peunayong
ramai di saat bulan Mei setiap tahunnya yaitu: hari Gong
Xi Pacai 2). Faktor utama yaitu orang Muslim yang panatik
adatnya, sekarang sudah berubah karena adanya pergeseran
nilai-nilai. Jika dilihat dari jumlah komunitas agama:
Mayoritas Non Muslim berada di Peunayong, sedangkan
mayoritas Muslim berada di Gampong Mulia. Dan mayoritas

~ 151 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Non Muslim di Gampong Mulia didominasi pemeluk Agama


Kristen, sedangkan di Gampong Peunayong didominasi oleh
pemeluk Agama Budha.
Selama menjabat sebagai Kechi di Peunayong ada 13 orang
masuk Islam. Namun dalam hal pendirian rumah ibadah di
Peunayong ada sekitar 7 buah gereja di Peunayong yang ilegal
(tidak ada ijin IMB Persoalannya rumah dijadikan tempat
ibadah, hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berasal
dari Medan dan Menado. Contohnya Ruko dijadikan tempat
ibadah. Kasus pendirian gereja ini sudah sampe ke Kesbangpol.
Upaya yang telah dilakukan oleh Kechi Peunayong dengan
melakukan dialog para tokoh antarumat beragama, yang
sifatnya insidental jika ada isu-isu keagamaan. Kemudian
untuk pencegahan lainnya bagi seluruh komunitas agama dan
bagi kalangan pemuda-pemudinya, diadakan pembinaan dari
Satgas Narkoba, sebagai Narasumbernya dari: BNN (Badan
Narkotika Nasional), BNP (Badan Narkotika Provinsi), BNK
(Badan Narkotika Kabupaten). Wilayah binaan BNN termasuk
Peunayong dilaksanakan di Hotel Tria 3 hari, yang dibina
warga Peunayong. Kegiatan bagi ibu-ibu warga masyarakat
peunayong dilatih keterampilan membuat Tas Rajut, Jam
dinding dibikin Kotak Tapi sebagai hiasan dinding untuk
dipajang di Rumah, sebagai pemandu dalam keterampilan ini
dari BNN Jakarta. ( Ustadz Sabri Harun Keuchi Peunayong).

Praksis Kerukunan Antarumat Beragama


Kerukunan di Gampong Mulia
Kondisi kerukunan di Gampong Mulia tidak terlepas
dari karakter masyarakat Aceh yang pada dasarnya adalah
terbuka dan mewarisi karakter nenek moyang mereka yang
sudah sangat inklusif dan mampu bergaul dengan berbagai
latar belakang kultur dan agama. Bangsa Aceh dinilai sudah
kosmopolit sejak jaman kerajaan dulu. Budaya Aceh sendiri

~ 152 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

juga dinilai tidak terlepas dari akulturasi budaya-budaya


seperti: Islam, Hindu, dan Budha. Hal tersebut juga masih
berlangsung hingga saat ini (penulis dilapangan, September
2019) termasuk dalam hal kuliner yang kental dengan
pengaruh Cina, Arab, Eropa dan India. Secara historis
masyarakat Aceh memang sudah mewarisi kemampuan
untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam nuansa
yang pluralistik.
Dalam konteks penerapan Syariat Islam sesungguhnya
dengan atau tanpa Syariat Islam itu sendiri, kondisi
kerukunan umat beragama di Aceh terbangun dan terjaga
dengan baik. Namun demikian para informan sepakat
untuk menilai bahwa justru dengan penerapan Syariat Islam
kondisi kerukunan semakin terbangun dengan baik. Tatanan
kehidupan beragama semakin membaik, kemampuan
antarumat beragama untuk menghormati dan menghargai
nilai-nilai Syariat Islam jelas terlihat. Sementara di sisi lain
umat Muslim dan aparat penegak hukum Syariat Islam juga
tidak lantas semena-mena bertindak terhadap masyarakat
non Muslim. Karena Syariat Islam itu sendiri memang
ditujukan untuk pemeluk agama Islam.
Di sinilah berlaku azas personalitas di mana hukum Islam
hanya berlaku bagi umatnya saja. Sedangkan yang non Muslim
bila melakukan tindakan yang bertentangan dengan Syariat/
Qanun, bersama-sama dengan orang Islam, mereka secara
sukarela bisa menundukan diri pada hukum Syariat. Atau
jika tidak, maka mereka tunduk pada Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku secara umum. Tingginya
toleransi antarumat beragama dan berbeda etnis juga terlihat
di perkampungan/gampong dominan dengan warga Cina.
Menurut informan di gampong mulia yang didominasi warga
non Muslim juga membantu bergotong-royong dalam suka
dan duka. Sebaliknya yang Muslim membolehkan pihak non
Muslim untuk mengikuti hari besar keagamaan Islam.

~ 153 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Pada awalnya ada kekhawatiran bahwa Implementasi


Syariat Islam akan berdampak kepada ketidakharmonisan
antarumat beragama, setidaknya akan memberikan rasa
tidak aman dan tidak nyaman bagi kalangan umat beragama
non Muslim. Dalam perkembangannya justru tidak terlihat
akses pelaksanaan Syariat Islam terutama bagi kalangan non
Muslim. Hampir tidak pernah terdengar bahwa kalangan non
Muslim di Aceh terjaring dalam razia pelanggaran Qanun
Syariat Islam misalnya dalam hal berpakaian seperti tidak
mengenakan jilbab. Di sisi lain faktanya justru kalangan
non Muslim mampu hidup berdampingan dengan umat
Islam. Khusus di Banda Aceh komunitas seperti di Gampong
Peunayong, Gampong Mulia dan sekitarnya yang notaben-nya
banyak warga etnis Cina, tidak pernah komplain dengan suara
adzan. Tidak pernah melanggar untuk berjualan makanan
pada bulan puasa. Bahkan mereka justru terlibat aktif dalam
kegiatan-kegiatan bersama warga Muslim seperti gotong
royong desa. Memberikan sumbangan pembangunan Masjid
dan tempat ibadah, dan membantu umat Muslim dalam hal
kegiatan warga dan lainya. Hal ini menunjukan pelaksanaan
Syariat Islam tidak hanya menciptakan rasa kerukunan justru
mampu memberikan sebuah tatanan kehidupan antarumat
beragama yang harmonis.
Setelah pemberlakuan Syariat Islam, para kelompok non
Muslim ini juga menilai bahwa rasa aman semakin membaik
dan tingkat kriminalitas semakin menurun. Meskipun tidak
ada data statistik yang mampu memperlihatkan hal tersebut
secara jelas. Sebagai contoh sederhananya: Motor, Mobil,
dan barang-barang tidak hilang di tempat umum. Tatanan
tersebut dinilai sebagai perubahan positif yang pada akhirnya
memberikan rasa aman dan keharmonisan antarumat
beragama. Hal ini menunjukan nilai-nilai dalam Syariat Islam
mampu meredam tindakan kriminalitas di mana kriminalitas
terhadap kelompok minoritas seperti Cina kerap terjadi di

~ 154 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

daerah lain, namun tidak demikian dengan kondisi di Aceh.


Para informan menyebutkan bahwa mereka tidak
memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan apalagi
yang bersifat traumatis dengan masyarakat Muslim di Aceh
dan Banda Aceh khususnya. Sebaliknya mereka juga tidak
memiliki pengalaman yang begitu special. Namun beberapa
pengalaman tertentu bagi mereka menjadi sebuah catatan
penting tentang bagaimana mereka diterima dan diperlakukan
dengan baik oleh kalangan Muslim baik di lingkungan kerja
(formal) dan lingkungan bermasyarakat. Hal tersebut antara
lain: pertama ; masyarakat Muslim tidak memprotes ketika
salah satu informan menggunakan jilbab baik di kantor, dan
dalam keseharian di luar kantor. Sebaliknya saat informan
tidak menggunakan jilbab, juga tidak lantas diberi label
sebagai kafir. Ustadz Maulana di salah satu program TV
swasta, di mana ceramah-ceramah yang disampaikan oleh
Ustadz Maulana ini dinilai sangat munggugah dan menarik
minat informan yang non Muslim untuk mendengarkan,
meskipun isi ceramahnya adalah tentang ajaran-ajaran Islam.
Kolega di kantornya juga sangat welcome ketika informan-
informan ikut dalam kegiatan-kegiatan bersama seperti:
Takziah dan kegiatan keagamaan lainya.
Di kalangan antarumat beragama terdapat dialog dan
diskusi dengan tetangga yang berbeda agama. Di sana mereka
mengetahui dan memahami tentang adat dan peraturan tidak
tertulis, jika ingin bertetangga dengan warga Muslim Aceh.
Misalnya larangan memelihara anjing, sering -sering datang
dan bergaul di warung kopi berbaur bersama warga Muslim.
Bertemu di Meunasah (Musholla) dan membantu kegiatan
gotong-royong gampong termasuk saat kegiatan keagamaan.
Tidak masalah jika menawarkan diri untuk membantu, tidak
keluyuran pada saat jam Jum’atan karena hal itu dianggap
tidak menghormati umat Muslim sedang beribadah.
Dan umat budha pun beribadah pada setiap hari Jum’at,

~ 155 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kemudian menghargai pesta pernikahan, serta mengunjungi


orang sakit. Namun ada juga yang menyebabkan salah paham
dan mengarah kepada hubungan yang cenderung tegang,
misalnya:
1. Tidak senang jika informan mengucapkan salam “
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh”, atau
Al-Hamdulilah”, Astagfirullah”, Lailahaillallah”.
2. Tidak bersedia minum ketika bertamu ke rumah informan
karena diasumsikan makanan dan minumanya haram,
paling tidak perlengkapannya sudah terkontaminasi
dengan barang-barang yang haram. Namun kedua contoh
tersebut oleh Informan dinilai sebagai kasuistik saja dan
ia juga menilai bahwa orang yang memperlakukan dia
seperti hal tersebut di atas adalah dikarenakan kurang
paham pengetahuan saja dan masih sangat sempit dalam
memandang perbedaan agama.
Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh
dikukuhkan sebagai Gampong Sadar Kerukunan di Aceh.
Pengukuhan itu dilakukan oleh Walikota Banda Aceh, H
Aminullah Usman SE Ak MM dan penyerahan sertifikat oleh
Kanwil Kemenag Aceh kepada keuchik Gampong Mulia,
Kamis (28/12/2017) di lapangan depan MIN Merduati atau
di bekas lahan Kantor Agraria. Penetapan Gampong Mulia
sebagai gampong sadar kerukunan, karena gampong itu
dihuni oleh multi etnik dan agama. Wali Kota Aminullah saat
pengukuhan menyampaikan, bahwa pengukuhan Gampong
Mulia sebagai Gampong sadar Kerukunan ini merupakan
lambang pengakuan atas keharmonisan kehidupan antarumat
beragama di Banda Aceh. Lanjutnya sebagai ibu-kota provinsi,
Banda Aceh diharapkan dapat menjadi model dan contoh
bagi keteladanan keberagaman dan kerukunan yang ditopang
dengan kuat oleh kearifan lokal. Dikatakan Banda Aceh juga
harus menjadi tolak ukur bagi kota-kota lainnya di Indonesia.
Di mana penegakan Syariat Islam bukanlah alasan untuk

~ 156 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

bersikap otoriter, represif terhadap umat agama lainnya, untuk


menindas, atau berlaku sewenang-wenang. “Justru tujuan
penegakan syariat Islam itu demi tercapainya kemashlahatan
bagi seluruh kehidupan manusia. Syariat Islam juga mengatur
bagaimana pergaulan dan penghormatan kepada ummat
agama lainnya, tak peduli seorang manusia itu beragama apa
atau berasal dari suku mana,” ujarnya.
Penetapan Gampong Mulia sudah melalui rangkaian
penilaian oleh tim Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh
dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Kegiatan
ini dihadiri oleh perwakilan lintas Agama, diantaranya
Kristen Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan tokoh Islam di
Banda Aceh. Hadir juga Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol
T Saladin, Kabid Penais Zawa Kanwil Kemenag Aceh, Azhari
dan Kankemenag Kota Banda Aceh, Drs Amiruddin. (https://
aceh.tribunnews. com/2017/12/28 dalam Muhammad Nasir).
Peunayong “Laboratorium” Toleransi di Banda Aceh
Tidak hanya lengkap dengan kebutuhan para wisatawan.
Namun Peunayong juga menawarkan hal lain. Ada yang unik
dari gampong ini, plural dan toleran. Toleransi merupakan
kata yang sangat akrab bagi masyarakat Aceh. Sejak dulu
hidup berdampingan di tengah perbedaan sudah menjadi
hal lumrah. Dulu Aceh pernah menjadi bangsa besar.
Berhubungan dengan banyak negara di Eropa dan Asia.
Kala itu berinteraksi dengan komunitas yang datang dari
beragam suku bangsa, agama dan bahasa telah menjadi
pemandangan sehari-hari. Maka tidak mengherankan jika
dulu kesultanan Aceh berhasil menggenggam persahabatan
dengan Ratu Inggris, Kekhalifahan di Turki serta beraneka
ragam kisah yang menyiratkan masa keemasan Aceh. Kini
jejak membanggakan tersebut masih tampak terlihat jelas.
Sebut saja peninggalan fisik seperti makam para Sultan dan
Sulthanah, komplek pemakaman para serdadu Belanda

~ 157 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

hingga keberadaan gampong yang pernah menjadi komplek


kesultanan Aceh.
Namun selain bentuk fisik, sisa peninggalan itu ternyata
juga hadir dalam bentuk nilai. Nilai itu mengalir dalam
darah generasi Aceh masa kini. Sifat saling menghargai dan
menghormati itu turun menurun dan tak pernah lengkang oleh
waktu. Di Peunayong Mesjid, Vihara dan Gereja berada dalam
satu daerah yang sama. Suara lonceng di tiap pekannya, atau
suara azan yang berkumandang lima kali sehari menjadi sisi
menarik lain dari Peunayong. Bahkan terkadang ritual ibadah
menjadi tontonan warga. Saya pernah meliput perayaan imlek
di Banda Aceh. Liputan ini menjadi menarik karena imlek di
laksanakan di negeri yang menerapkan syariat Islam. Apalagi
Banda Aceh termasuk kota di propinsi Aceh yang tergolong
ketat dalam menegakkan hukum Islam.
Waktu itu hari masih pagi, tapi para pesembahyang
mulai memadati Vihara Dharma Bhakti. Dari dalam ruangan
asap tampak mengepul tebal. Lilin ditata rapi di atas meja
panjang. Nyala api membuat bangunan merah ini tampak
semakin menyala. Bau dupa tercium amat kuat. Buah dan
kue tersaji dalam nampan. Satu persatu pesembahyang hilir
mudik memanjatkan doa, mereka tampak bersuka cita. Imlek
dirayakan tanpa raut kecemasan dan ketakutan. Ada hal
menarik yang tampak dari dalam Vihara, sejumlah warga
Banda Aceh non Tionghoa diizinkan untuk melihat lebih dekat
bagaimana ritual sembahyang dilakukan. Meski diizinkan
masuk, namun mereka lebih memilih berdiri di luar Vihara.
Sesekali tampak beberapa warga yang mengambil foto untuk
dijadikan kenang-kenangan. Sementara para pesembahyang
merasa tidak keberatan. Ritual tetap dilakukan.
Saya menjumpai pesembahyang yang telah selesai berdoa,
Bakri namanya. Dia adalah pengurus Vihara Dharma Bakti,
kami berbicara banyak hal. Termasuk bagaimana mereka bisa
bertahan di Banda Aceh. Hidup, tinggal, bekeluarga, bekerja

~ 158 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

hingga menjalankan keyakinannya di negeri berjuluk serambi


mekkah. “Kami nyaman dan senang merayakan imlek di
Banda Aceh” kata Bakri. Menurutnya pemerintah kota Banda
Aceh sejak dulu tidak pernah membatasi apalagi melarang
umat non Muslim dalam menjalankan ibadah dan keyakinan.
Warga diberi kebebasan, tidak hanya imlek, peringatan
waisak, natal, paskah juga dilangsungkan penuh dengan rasa
khidmat.
Interaksi sosial tentu tidak hanya terjadi dalam perayaan
imlek saja. Hubungan toleransi itu juga tampak saat malam
takbiran tiba. Biasanya pemerintah menggelar pawai obor dan
karnaval mengelilingi kota. Kegiatan ini diikuti oleh ribuan
warga, jalan sesak di penuhi masyarakat. Dan Peunayong
adalah salah satu daerah yang dilalui oleh para peserta konvoi.
Takbir, tahmid dan lantunan zikir dipanjatkan. Di sana warga
berkumpul termasuk di dalamnya warga Tionghoa. Banda
Aceh di usianya yang menebus 809 tahun seakan mempertegas
bahwa berbeda adalah sebuah rahmat. Negeri syariat yang
kini berupaya menjadi kota madani, kota berperadaban.
Beradab karena warga Muslim dapat menjadi pelindung
dan warga Non Muslim merasa terlindungi. Kini berkunjung
ke Banda Aceh tidak hanya sekedar menikmati keindahan
alamnya semata, atau melihat sisa dari kedahsyatan tsunami
2004 silam. Berwisata ke Banda Aceh juga bukan pula sekedar
menikmati secangkir kopi atau lezatnya kuah belanga. Di
Banda Aceh kita juga dapat belajar dan memahami. Jika hidup
berdampingan di tengah perbedaan adalah sebuah anugerah
yang terasa amat indah. Peunayong adalah buktinya. http://
arielkahhari. wordpress.com (Banda Aceh Blog Competition).

Sebuah kegiatan di Kampung China di Aceh beberapa waktu lalu (Agus/


detikcom)
Aceh - Bangunan bercat putih berdiri kokoh di antara
pertokoan di Jalan T. Panglima Polem, Banda Aceh, Aceh.

~ 159 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Garis pinggir bangunan berwarna merah, dua patung naga


ditaruh di atas atap depan. Lampion-lampion menggantung.
Inilah Vihara Dharma Bhakti tempat warga etnis Tionghoa di
Aceh beribadah, Vihara ini terletak di perbatasan Gampong
Peunayong dan Gampong Laksana Kuta Alam, Banda Aceh.
Di kawasan yang terletak di pinggir Krueng Aceh itu, hidup
beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Tidak
terdengar ada kericuhan antarumat beragama di Aceh. Umat
minoritas bebas beribadah menurut agama masing-masing
meski provinsi berjuluk Serambi Mekah itu menerapkan
syariat Islam. Mereka di sana saling menghormati dan tidak
saling mengusik.
“Toleransi dalam ibadah keagamaan untuk akar
rumput masyarakat umum tidak ada gesekan sama sekali,”
kata Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh Kho Khie
Siong saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu. Di pusat
pasar Peunayong, Banda Aceh, pedagang dari berbagai etnis
berbagi lapak. Mereka berinteraksi di antara lalu lalang para
pembeli. Suasana Gang Pasar Sayur di Jalan WR Supratman
Peunayong, Kuta Alam Banda Aceh, selalu ramai saban
hari. Meski berbeda etnis pembeli di sana tidak membeda-
bedakan saat berbelanja. Menurut sejarah hubungan antara
Aceh dan China terjalin sejak abad ke-17 Masehi. Saat itu
para pedagang dari China silih berganti datang ke Aceh.
Mereka ada pedagang musiman, ada juga yang permanen.
Mereka tinggal di perkampungan China di ujung kota dekat
pelabuhan, rumah mereka berdekatan satu sama lainnya.
Lokasi yang dulu digunakan etnis China sebagai tempat
menurunkan barang sebelum didistribusikan kini dikenal
dengan nama Peunayong.
Kata Peunayong sendiri berasal dari “peu payong”, yang
berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat
disebutkan bahwa, Peunayong merupakan tempat Sultan
Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu

~ 160 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan China. Warga


China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5
dari buyut mereka yang datang pada abad ke-19. Mereka
adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung,
China. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu,
Hai Nan, dan Hok Kian. “Penduduk China paling banyak
tinggal di Peunayong,” jelas pria yang akrab disapa Aky
ini. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh
melabeli Peunayong sebagai kampung China. Kerukunan
umat beragama di sana hingga kini masih terjaga. Saat bulan
Ramadan, misalnya warga etnis Tionghoa ikut menjajakan
penganan berbuka. Begitu juga saat hari-hari besar agama
lain warga non Muslim tetap leluasa merayakannya.
Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh
terbilang harmonis. Kho, yang lahir dan dibesarkan di Aceh,
tidak pernah merasakan adanya tekanan dari masyarakat
Aceh saat melaksanakan ibadah. Di Banda Aceh belum pernah
ada keributan antara satu agama dan agama lainnya. “Tidak
pernah ribut antara agama Islam dan agama Hindu, Buddha,
dan Kristen “ ungkap Aky. Selain Peunayong kampung
keberagaman di Banda Aceh adalah Gampung Mulia dan
Gampong Laksana. Tempat itu juga dihuni beragam pemeluk
agama, baik Islam, Nasrani, maupun Buddha, dan berbagai
etnis. Seorang warga Tionghoa, Hendry mengaku tinggal di
Aceh sejak lahir. Masyarakat Aceh dan China saling berkunjung
untuk membangun silaturahmi. “Kami saling bersilaturahmi,”
katanya. Untuk menjaga hubungan antara warga Tionghoa
dan penduduk pribumi, Yayasan Hakka pada perayaan tahun
baru Imlek 2566 atau 2015 mendeklarasikan Peunayong
sebagai kampung keberagamaan. Sejak pendeklarasian itu,
mereka kerap menggelar pertunjukan berkolaborasi dengan
kesenian lokal. Beberapa waktu lalu pernah ada pertunjukan
barongsai dengan Seudati, Rapai Geleng, dan sejumlah tarian
Aceh lainnya. Hakka Banda Aceh juga berkomitmen terus

~ 161 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

membangun keberagaman dan toleransi dengan masyarakat


Aceh.
Toleransi umat beragama di Aceh kata Aky, menjadi tolok
ukur bagi warga di luar tanah Rencong. Menurutnya orang di
luar Aceh terus memantau kerukunan antarumat beragama
di daerah yang resmi menerapkan syariat Islam sejak tahun
2002 ini. “Saya punya pengalaman ada teman datang dari
Lampung sekitar 20 orang. Mereka kaget begitu datang ke
Aceh tidak seperti yang dibayangkan dan digambarkan orang.
Begitu mereka turun kapal dari Sabang hanya satu kata yang
mereka sebut, ‘Ternyata orang Aceh ramahnya minta ampun.’
Begitu kata mereka,” ujar Aky.”Hal itu membuat persepsi
orang itu dan mereka akan sampaikan ternyata Aceh itu luar
biasa,” jelas Aky. (asp/asp).
Kerjasama terkait dengan Kerukunan antarumat
beragama sebagaimana tersebut di atas, setiap Gampong
memiliki aturan (Reusam) untuk mengatur dalam segala
aspek kehidupan. Aturan tersebut ada yang sifatnya insidental
(seketika), ada yang sudah baku (paten). Contoh kerja sama ini
dalam bentuk pembuatan mural (hiasan dinding), kerja bakti,
acara 17 agustusan. Contoh lain dalam bentuk kerjasama:
Perayaan Hari Natal, Imlek, Gong Xi Pacai, tolong menolong,
gotong royong, ada musibah, kematian, orang sakit. Simbol
kerukunan di peunayong dapat dilihat dari gambar di bawah
ini dalam berinteraksi di komunitas Pasar Peunayong, dan
hasil karya pemuda lintas agama di peunayong.

~ 162 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Komunitas Pasar Peunayong yang Mural (hiasan dinding) di


Multikultural dan Pluralis Peunayong

Persefektif Pemuka Agama dan Tokoh Masyarakat


Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi yang menerapkan
Qanun Syariat Islam ini memiliki empat vihara yaitu Vihara
Maitri, Vihara Buddha Sakyamuni dan Vihara Dewi Samudra
yang ada di Gampong Mulia, serta Vihara Dharma Bhakti
berada diantara perbatasan Gampong Peunayong dan
Gampong Laksana. Sementara rumah ibadah umat Kristen
terbagi menjadi dua, yaitu tiga gereja milik umat Kristen
Protestan dan satu gereja Katolik yang berada di kawasan
Simpang Lima. Tak jauh dari dua gampong ini, tepatnya di
Gampong Keudah yang hanya dibatasi oleh Krueng (sungai)
Aceh, juga terdapat sebuah rumah ibadah milik umat Hindu,
yaitu Kuil Palani Andawer 1934. “Ini menandakan Banda Aceh
sebagai kota yang terbuka, bahkan gereja Katolik tersebut
letaknya tak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman,
hanya terpisah dengan sungai,” kata Zulkifli. Selama ini kata
Zulkifli (Kabid Idiologi Kebangsaan) masyarakat Banda Aceh
yang multi etnis ini hidup berdampingan satu sama lainnya.
Tidak pernah terjadi gesekan antarumat beragama
Berkaca dari sejarah kata Zulkifli, Banda Aceh sebagai
kota yang terbuka terhadap keberagaman telah dimulai sejak
zaman Sultan Iskandar Muda, berlanjut di masa Belanda,

~ 163 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

hingga Jepang. Bahkan Sultan Iskandar Muda pernah


menjalin hubungan khusus dengan kekaisaran Cina. Bukti
sejarah tersebut masih bisa disaksikan hingga sekarang berupa
Lonceng Cakradonya yang ada di halaman Kompleks Museum
Aceh di Gampong Peuniti. Boy Nashruddin Agus dalam
tulisannya berjudul Pechinan Peunayong untuk majalah The
Atjeh Vol. 5 pada 2014 lalu menuliskan, pedagang-pedagang
Cina masuk ke Aceh melalui jalur sutra. Dan singgah di
beberapa kerajaan seperti Po-li, Lamuri, Sumunthala atau
Samudra, dan Pasai. Umumnya mereka berasal dari suku Hok
Kian, Hai Nan, Kong Hu, Hakka, dan Khek.
Dengan demikian dapat dikatakan hubungan pertama
Aceh dengan luar Negeri yaitu dengan bangsa Cina tulis
Boy dalam laporannya mengutip pernyataan dosen Fakultas
Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh. A. Rani Usman yang
membuat disertasi khusus mengenai pola komunikasi serta
budaya yang ditinggalkan pedagang Cina di Aceh dengan
judul Etnis China Perantauan di Aceh. Peunayong telah lama
dikenal sebagai kawasan Chinatown-nya Banda Aceh. Sejak
masa Belanda masih berdasarkan lansiran majalah The Atjeh,
para pedagang asing seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat,
Turki, Bengali, Tionghoa, hingga Eropa awalnya dipusatkan
di kawasan Ulee Lheue. Mereka lantas diberi izin mendirikan
tangsi atau barak di kawasan utara Ibu Kota Banda Aceh,
yaitu Peunayong.
Belakangan setelah Belanda menguasai Banda Aceh,
pedagang Cina yang telah mendirikan tangsi dagang di
sepanjang jalur Krueng Aceh diberdayakan karena dinilai
mampu menggerakkan roda perekonomian. Mereka
ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam struktur
masyarakat pemerintahan Hindia Belanda. Orang-orang
Tionghoa ini diwajibkan melapor kepada pemerintah dan
dimasukkan dalam warga Aceh. Karena simpatinya Belanda
lantas memfungsikan kembali Peunayong sebagai Chinizen

~ 164 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kamp alias wilayah pecinaan. Wilayah ini masih tetap eksis


dan menjadi salah satu kawasan perdagangan di Kota Banda
Aceh. FKUB Banda Aceh terus melakukan sosialisasi dan
dialog-dialog lintas agama maupun organisasi masyarakat
agar kerukunan yang telah tercipta ini terus terjaga. Jika
terjadi gesekan-gesekan pihaknya selalu mengedepankan
musyawarah dan koordinasi. “Bukan eksekusi,” kata Zulkifli
menegaskan.
Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Banda Aceh
beranggotakan para utusan dari lima agama, yaitu Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. FKUB melakukan
sosialisasi kepada para siswa melalui program Saweu Sikula,
untuk menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan dan
toleransi. “Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi menjadi
barometer bagi kabupaten/kota yang ada di Aceh. Kita
mengupayakan Banda Aceh jadi role model sesuai visi misi
terciptanya Kota Gemilang dalam Bingkai Syariat Islam,
yang mengayomi dan melindungi umat-umat non Muslim,”
kata Zulkifli. Namun Zulkifli memberi catatan, toleransi yang
dibangun merupakan hubungan sosial kemasyarakatan,
sementara dalam hal menjaga kemurnian akidah tidak ada
tawar menawar.
Kenyamanan tinggal di Banda Aceh juga diakui oleh Willy
Putrananda. Selaku pemuka agama Buddha dan anggota FKUB
Banda Aceh, Willy yang lahir di Kampung Pasir, Meulaboh,
Aceh Barat kemudian hijrah ke Banda Aceh, tak pernah bosan
mengingatkan kelompoknya agar bisa beradaptasi di tengah
kemajemukan warga Banda Aceh. Mereka sama sekali tak
terusik dengan Qanun Syariat Islam yang diterapkan di Banda
Aceh.“Syariat Islam sangat mendukung kami. Setiap Jumat
misalnya saat orang-orang Muslim menutup toko-tokonya
untuk melaksanakan salat Jumat, kami juga melakukan
kebaktian,” ujar Willy. Willy yang lahir, besar, dan tinggal di
Aceh ini sangat fasih berbahasa Aceh. Ia bahkan menguasai

~ 165 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

bahasa Jamu dan Kluet yang dituturkan mayoritas masyarakat


di barat selatan Aceh. Ia terbiasa berbaur dengan lingkungan
sekitarnya sejak di Meulaboh. Tak canggung terlibat dalam
urusan-urusan sosial kemasyarakatan. “Kalau ada orang
meninggal kita bantu gali kubur juga, makan kuah tuhe sama-
sama, bantu cari kayu untuk kenduri,” ujarnya.

Toleransi dan Kerjasama Antarumat Beragama


Dialog Aktor Kerukunan

Kerukunan merupakan hal penting bagi kita semua di


tengah-tengah perbedaan. Perbedaan yang ada tidak menjadi
hambatan untuk hidup rukun antarumat beragama. Kerukunan
harus bersifat dinamis, humanis, demokratis. Dinamis
yang dimaksud adalah semangat untuk mengembangkan
sikap kerukunan. Berbagai jalan pikiran yang berbeda yang
memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-
masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.
Mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan
bagi semua warga negara agar kerukunan beragama dapat
dilaksanakan dengan baik dan tidak merugikan kalangan
manapun. Karena semua Agama mengajarkan kedamaian
kerukunan terhadap agama lain agar kehidupan di dunia
ini tentram. Di Indonesia terdapat 6 agama yang di akui
oleh negara yakni Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budhha,
Konghucu (konfusius). Oleh karena itu masing-masing agama

~ 166 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

harus mengajarkan toleransi yang tinggi agar mendapat


kerukunan yang tidak saling menjatuhkan antara umat
beragama.
Dalam keragaman inilah diperlukan toleransi bagi semua
rakyat Indonesia tersebut. Toleransi adalah sikap yang saling
menghargai kelompok-kelompok atau antara individu dalam
masyarakat atau ruang lingkup lainnya. Toleransi yakni suatu
perbuatan yang melarang terjadinya diskriminasi sekalipun
banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam
masyarakat. Toleransi ini bisa terlihat jelas pada agama,
toleransi agama sering kali kita jumpai di masyarakat. Adanya
toleransi agama menimbulkan sikap saling menghormati
masing-masing pemeluk agama lainnya.
Toleransi antarumat beragama yaitu menyakini bahwa
agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu
tetapi disini harus saling respect/menghargai agama
orang lain dan tidak boleh memaksakan orang lain untuk
menganut agama kami. Serta kami tidak diperbolehkan untuk
menjatuhkan, mengejek-ngejek dan mencela agama orang
lain dengan alasan apapun karena sejatinya kita adalah sama-
sama manusia yang hidup berdampingan. Sepanjang sejarah
agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat
dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama
antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga
dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama.
Hal ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi
masyarakat di Indonesia. Terdapat beberapa hal yang dapat
menimbulkan konflik seperti konflik internal dari umat
agamanya sendiri maupun konflik antar agama.
Banda Aceh layak disebut Kota Kerukunan karena
pengalaman panjang menciptakan tolerasi antar etnis dan
umat beragama sejak masa Kesultanan Iskandar Muda
sampai kini. Hal ini disimpulkan dalam Forum Lintas Agama
Sabtu 23/9/2017 di Rumoh Aceh Simpang Mesra. Dalam

~ 167 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pertemuan yang diinisiasi oleh Kantor Kementerian Agama


Provinsi Aceh dihadiri perwakilan umat beragama, Muspika
Kecamatan Kuta Alam, Kesbangpol, tokoh adat, tokoh
pemuda, tokoh perempuan dan pengurus Forum Kerukunan
Umat Beragama Kota Banda Aceh. Sekretaris Kesbangpol
Banda Aceh Hasnanda Putra menyebutkan catatan sejarah
kehidupan harmonis antar etnis dan umat beragama telah
ada sejak zaman keemasan Sultan Iskandar Muda diabad
17 silam sampai saat ini yang mengusung Kota Gemilang
dalam Bingkai Syariah.“ Gampong Peunayong dan Gampong
Mulya sebagai kawasan Pecinan dan ragam etnis agama telah
populis sejak masa lalu, ini menunjukkan Banda Aceh telah
sejak lama menerapkan toleransi dan keberagaman,” sebut
Hasnanda Putra.
Sementara Willy Putrananda mewakili komunitas Budha
menyebut pihaknya sangat aman dan nyaman melaksanakan
kehidupan beragama di Kota Banda Aceh. “Kami di Banda
Aceh ya kampung sendiri, sejak dulu kita tidak ada masalah
beragama di kota ini, sangat nyaman dan terjalin hubungan
baik” kata Willy. Hal yang sama dibenarkan oleh Eliaudin
Gea Wakil dari Protestan Kota Banda Aceh, menurutnya
kebebasan beragama di Kota Banda Aceh sangat terjalin
baik. “Kita baik-baik saja hubungan masyarakat disini dan
nyaman sekali,” sebut Gea. Sementara Sekretaris Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Banda Aceh Zulkifli
menyebutkan berbagai upaya yang dilakukan pihaknya
tidak terlepas dari kebersamaan antar umat beragama di
Kota Banda Aceh. “Persatuan membuat kita kuat dan terus
bersama,” kata Zulkifli. Dalam Dialog yang moderatornya Abd.
Syukur Wakil Ketua FKUB (2017), saat sekarang (penulis di
lapangan 2019) jabatannya sebagai Ketua FKUB, disimpulkan
beberapa hal antara lain: perlunya masing-masing pribadi
dalam komunitas lingkungan masing-masing untuk terus
menyerukan dan menjaga kerukunan. Mendorong kuliner

~ 168 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

makanan di Peunayong harus terjamin halal, mendukung


Gampong kerukunan dan sepakat untuk terus menjaga
kerukunan di Kota Banda Aceh.
Bagi generasi muda diselenggarakan pelatihan
pengembangan semangat toleransi dan anti kekerasan
dengan tema «Membangun semangat toleransi dalam
keberagaman dan tindakan anti kekerasan bagi generasi
muda» yang berlangsung di Hotel Rajawali, Lampulo-Banda
Aceh. Pelatihan ini berlangsung sejak 23-25 Agustus 2013,
diselenggarakan oleh Saree School bekerja sama dengan
Yayasan Hakka Aceh dan ACSTF yang dihadiri 25 orang
peserta. Empat peserta diutus dari tiap-tiap perwakilan
gampong yang berada dalam Kecamatan Kuta Alam dan Kuta
Raja Kotamadya Banda Aceh. Ketua Umum Yayasan Hakka
Aceh, Kho Khie Siong, kepada Rakyat Merdeka Online, Jumat
(23/8), menjelaskan bahwa Gampong yang terlibat dalam
diskusi ini antara lain adalah Gampung Keuramat, Gampung
Mulia, Gampung Laksana, Lampulo, Peunayong, dan Keudah.
Pelatihan yang berlangsung selama tiga hari ini dibuka
Kabid Kebangsaan dan Politik Kesbangpolinmas (Zulkifli
SH). Dalam sambutannya mengatakan bahwa pihaknya
telah membentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat
(FKDM) yang dibentuk di setiap desa dalam Kota Banda
Aceh.»Pelatihan ini sangat penting dengan harapan pemuda
dapat menjadi pionir dalam mencegah konflik di dalam
masyarakat, serta menjaga stabilitas keamanan menjelang
pemilu yang akan berlangsung tahun 2014. Sementara itu
menurut Direktur Saree School, Andi Rizal pelatihan ini
ditujukan kepada pemuda-pemuda gampong karena pemuda
merupakan garda terdepan yang mampu membangun dan
menjaga kestabilan gampong. Tujuan dari kegiatan ini adalah
meningkatkan pemahaman dan kemampuan generasi muda
akan gagasan anti kekerasan dan semangat toleransi dalam
masyarakat, sehingga mereka dapat terlibat aktif dalam

~ 169 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pembangunan perdamaian di komunitas masing-masing.


Selain itu agar ada komitmen para alumni pelatihan untuk
berperan aktif dalam pengembangan nilai-nilai toleransi
dan anti kekerasan. Dan ada rumusan aksi bersama dari
para alumni untuk memasifkan kampanye tentang nilai-nilai
toleransi dan keberagaman yang anti kekerasan.
Dialog aktor kerukunan dilakukan juga di tingkat
Kecamatan se Kota Banda Aceh secara bergiliran, yaitu:
Kecamatan Lueng Bata tanggal 24 Mei 2019, Banda Raya
tanggal 29 Mei 2019, Meuraksa tanggal 30 Mei 2019, Jaya
Baru tanggal 31 Mei 2019. Kecamatan Baiturrahman tanggal
8 Agustus 2019, Ule Kareng tanggal 9 Agustus 2019, Kuta
Alam tanggal 23 Agustus 2019, Syiah Kuala tanggal 24
Agustus 2019, dan Kabupaten Aceh Besar Kecamatan Ingin
Jaya tanggal 29 Agustus 2019. Acara ini dihadiri dari berbagai
unsur terkait: Kepala Kemenag Kota Banda Aceh, pengurus
FKUB, Kepala KUA, Camat Kecamatan, Polsek Kecamatan,
Dan Ramil Kecamatan, Keuchi-Keuchi (Kepala Desa) tiap
gampong se Kecamatan. Tujuan diadakan dialog lintas agama
baik itu tingkat Kota/Kabupaten maupun tingkat Kecamatan,
merupakan salah satu strategi dalam upaya pemeliharaan
kerukunan intern dan antarumat beragama, umat beragama
dengan pemerintah. Hal ini dilakukan adanya kerjasama
Kanwil Kemenag, Kan.Kemenag Kota, dengan Kesbangpol
Kota Banda Aceh, Camat dan KUA Kecamatan. Camat
Kuta Alam mengatakan, agar terjaga kerukunan antarumat
beragama, diupayakan dalam setiap ada kesempatan untuk
berinteraksi di mana pun dengan pemeluk berbeda agama.
Misalkan di kedai kopi (ngopi kerukunan). Tidak pernah
bahas tentang keyakinan masing-masing agama. Membiarkan
mereka beribadah sesuai dengan agama masing-masing. Dan
patuh terhadap aturan-aturan yang diterapkan, baik aturan
secara Nasional maupun aturan lokalnya, yang terkait dengan
kehidupan beragama di masyarakat.

~ 170 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

FKUB Banda Aceh salah satu programnya menyasar


siswa/i di Lembaga Pendidikan tingkat SLTP (SMP) dan
SLTA (SMA) dengan program SAWEU SIKULA Kerukunan
(S2K), atas dasar gagasan Ketua FKUB, program S2K ini
sudah berjalan 2 tahun (2018 – 2019), kegiatannya: 1.
Menyampaikan sosialisasi kerukunan beragama. 2. Penegakan
disiplin belajar dan memperkuat keyakinan masing-masing
agama. 3. Sosialisasi anti Narkoba agar hidup cerdas, dan
sehat. Teknisnya setiap hari senin dari FKUB menjadi
Pembina Upacara bendera, yang dihadiri oleh semua anggota
FKUB dari Tokoh Agama masing-masing, dan Kesbangpol,
Badan Narkotika Kota Banda Aceh. Yang menjadi Pembina
bergiliran antara masing-masing Tokoh Agama, sudah
terlaksana 12 sekolah SMA/SMK dan Madrasah Aliyah di
Kota Banda Aceh. Kemudian rapat rutin bulanan membahas
isu-isu yang muncul terkait dengan hubungan antarumat
beragama. Salah satu keputusan hasil rapat terkait dengan
pengawasan pelaksanaan syariat islam di Kota Banda Aceh.
Diupayakan agar satu komando antara Kemenag, MUI, FKUB,
Kesbangpol, khusus dalam pengawasan.

Diskusi dengan pengurus FKUB sebagai aktor kerukunan diwakili


dari unsur agama: Islam,Kristen, Hindu, Budha, Tokoh Adat,
Kepala Kesbangpol, dan Kabid Idiologi Kebangsaan (September
2019) di Kantor Kesbangpol Kota Banda Aceh

~ 171 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kerukunan dalam Aspek Pendidikan


Diketahui salah satu lembaga pendidikan yang berlokasi
di Gampong Mulia,bernama Sekolah Metodis berdiri pada
tahun 1968. SDM Guru sebanyak 60 orang untuk semua
jenjang Pendidikan, mulai dari jenjang TK,SD,SMP, dan
SMA Metodis, hampir 90 % termasuk guru Muslim laki-laki
dan Perempuan. Seperti Guru PPKN di SMA, Guru Sosiologi
di SMA, dan wakil Kepala Sekolah SMP beragama Islam,
Guru Bahasa Indonesia di SMP, dan di SMA. Siswa/siswinya
beragama: Budha, Kristen, dan Katolik, ada yang beragama
Islam di tingkat SMA di kelas XI jurusan IPS dan di kelas
XII. Untuk memperoleh nilai raport, bagi yang bukan agama
Kristen dapat diperoleh dari masing-masing agama mereka
melalui pendetanya atau Biksunya.
Bapak Nasrul Hanafiyah (50 tahun) sebagai wakil Kepala
Sekolah SMP Metodis, pengalaman mengajar 25 tahun bidang
studi Matematika SMP Metodis, ngajar di kelas IX dan kelas
XII di SMA. Ibu Nova Sela (25 tahun) guru Bahasa Indonesia
pengalaman mengajar 3 tahun sebagai guru kontrak ngajar
di kelas I SMP dan Kelas I SMA. Tutur guru ini tidak hanya
mengajar di bidangnya, tapi mendidik dan menyampaikan
pesan-pesan moral, karena semua agama mengajarkan
kebaikan, salah satu contoh tindakan menyontek. Hari
besar keagamaan di sekolah metodis ini diadakan acara Hari
Natal di Aula /Gereja dengan melakukan ritual keagamaan,
namun untuk hari Imlek tidak ada ritualnya. Kemudian acara
makan bersama ketika ahir semester pembagian raport. Teks
kerukunan seperti diperlihatkan dalam sebuah cerpen Vabel
(dongeng), kandungan isinya ada pesan-pesan moral. Dalam
satu kelas di SMP ada siswa/I Kristen, Katolik, dan Budha,
di SMA siswa/inya Budha, Kristen, Katolik, dan Islam. Ketika
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pendidikan agama Kristen,
yang beragama selain Kristen tetap mereka di dalam kelas,

~ 172 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

karena isi materi membahas tentang berbakti terhadap


orang tua sesuai agama masing-masing. Dalam hal ini tidak
hanya berlaku untuk siswa/I agama Kristen saja, akan tetapi
dapat diterapkan oleh siswa/I lainnya. Untuk nilai raportnya
diberikan oleh agama masing-masing, kecuali Kristen oleh
guru agama di sekolah.
Ibu Susi (Guru Sosiologi), pengalaman mengajar 10
tahun di SMA Metodis, ngajar di kelas X, XI, XII. Sub materi
mengajar: Realitas Sosial di dalam sub bagian ada kelompok
sosial. Kemudian kelompok sosial melahirkan masyarakat
multikultural. Dalam materi ini mengajarkan tentang toleransi
dan interaksi sosial, bahan ajar bukunya diambil dari penerbit
Erlangga, Esis, Sumber Internet. Dalam materi toleransi lebih
kepada prakteknya, karena siswa/I nya ada Islam contoh di
Kelas XI jurusan IPS (tahun 2018). Budaya sekolah sebelum
materi pelajaran dimulai ketika masuk kelas diawali dengan
membaca Doa, bagi agama lain tetap di kelas, dan mereka
berdo’a sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kemudian
kegiatan kebaktian seminggu sekali di Aula, bagi non Kristen
ikut masuk hanya mendengarkan saja, dan Gurunya pun ikut
masuk sebagai guru kesiswaan. Konsep teologisnya dibahas,
tapi bermuatan karakter. Guru Sosiologi ini memaknai
kerukunan yaitu adanya saling menghargai, menempatkan
posisi seharusnya kita berada, kesetaraan dalam semua unsur/
pihak lain. Dalam bentuk kerjasama contoh perayaan Natal,
adanya saling tolong menolong, gotong royong, ada musibah
kematian datang ke orang yang kena musibah, atau sakit. Ibu
guru ini bertetanggaan dengan warga Non Muslim sekitar 5
KK pemeluk agama Kristen, namun mereka berinteraksi satu
dengan lainnya dengan baik.
Ibu Zuriyah Guru PPKN di SMA Metodis Materi PPKN
membahas tentang perbedaan agama, jenis-jenis agama,
suku/etnis, dan saling menghormati. Sekitar 70% siswa/
inya beragama Budha di SMP/SMA. Ketika penerimaan

~ 173 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

siswa/I baru ada buku data siswa yang harus di isi dan ada
pernyataan bersedia mengikuti pelajaran Pendidikan Agama
Kristen. Buku itu diisi oleh siswa/I dan orang tua, mereka
pun mengikutinya. Materi PPKN d kelas IX ada sub materi
membahas tentang toleransi untuk saling menghargai suku
dan agama. Dalam Pendidikan agama Kristen mengajarkan
jika ada yang membencimu kasihilah musuhmu, klau ada
yang menampar pipi kirimu kasih pipi kanan mu. Materi
toleransi dalam kegiatan belajar mengajar diarahkan untuk
mengajarkan sikap sosial. Implementasinya kunjungan
ke SLB Lamboro Muslim, direspon oleh anak-anak yang
berkunjung dengan menyanyikan lagu “jangan menyerah”,
dan main bersama dengan teman-teman mereka, contoh
lainya di gampong mulia.

Sebelah kiri Ibu Guru PPKN di SMA Metodis, sebelah kanan wakil
Kepala Sekolah SMP Metodis (Agama Islam)

Sosialisasi Peningkatan Toleransi Antarumat Beragama


Wali Kota Banda Aceh Hj Illiza Sa’aduddin Djamal
menekankan pentingnya harmonisasi antarumat beragama
terus terjalin dengan baik di ibukota Provinsi Aceh. Penegasan
itu disampaikan Walikota saat membuka Sosialisasi
Peningkatan Toleransi Kerukunan dalam Kehidupan
antarumat Beragama yang diadakan Badan Kesbangpol

~ 174 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dan Linmas Kota Banda Aceh  di Aula SKB Lampineung,


Rabu (12/10/2016). “Banda Aceh sudah sejak dulu dikenal
sebagai kota yang sangat toleran terhadap keberagaman umat
beragama. Sampai saat ini Banda Aceh menjadi kota yang
paling kondusif dengan tingkat kerukunan umat beragama
yang tinggi,” ujarnya. Menurut Illiza penerapan syariat islam
di bumi Aceh juga tidak akan mengikis kerukunan dalam
kehidupan antar umat beragama, bahkan memperkuatnya.
“Karena Islam adalah agama yang rahmatan lil ’alamin,
yaitu rahmat bagi seluruh alam. Islam memberikan jaminan
keamanan kepada pemeluk agama lain. Dan hal ini telah pula
dicontohkan oleh Rasulullah SAW,” katanya. Bagi masyarakat
Aceh kata Illiza, hidup bersanding dengan beranekaragam
suku, ras dan agama, merupakan bagian dari warisan endatu.
“Kesetaraan adalah hak dan itu terus menerus diwariskan
kepada generasi selanjutnya, hingga sampailah kearifan lokal
itu membentuk peradaban kita di Banda Aceh saat ini.” 
“Gereja dan Masjid Raya Baiturrahman hanya dipisahkan
oleh Krueng Aceh, dan tak pernah terjadi gesekan. Soal
kerukunan umat beragama Banda Aceh telah menjadi
rujukan bagi dunia. Hal ini harus kita jaga bersama karena
masyarakat madani itu sangat toleran, tidak membuat sebuah
gap, dan selalu memupuk kebersamaan. Itu identitas warga
Kota Banda Aceh,” ujarnya. Tak ketinggalan lliza turut
meminta tanggapan dari perwakilan siswa SMA Methodist
Banda Aceh yakni Candra dan Mesya yang juga menjadi
peserta pada acara tersebut. Candra-remaja etnis Tionghoa
kelahiran Banda Aceh menyatakan dirinya senang, merasa
aman dan nyaman tinggal di Banda Aceh. “Fasilitas kotanya
lengkap dan makanannya pun enak-enak,” timpal Mesya yang
mengaku baru lima tahun tinggal di Banda Aceh.
Wakil Ketua FKUB Kota Banda Aceh Eliaudin Gea yang
mewakili umat Nasrani juga mengakui kerukunan antar umat
beragama di Banda Aceh telah terjalin sejak lama.“Saya sudah

~ 175 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

38 tahun tinggal di Banda Aceh dan tidak pernah terjadi


konflik agama di kota ini. Kehidupan antar umat beragama
di Banda Aceh sangat harmonis,” ungkapnya. Sebelumnya
di tempat yang sama, Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas
Banda Aceh Tarmizi Yahya menyebutkan kegiatan ini
bertujuan untuk membangun karakter anak bangsa yang
berkomitmen mengawal kerukunan antar umat beragama
dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia berharap generasi
muda dapat menjadi pionir yang tangguh dan mampu
mencegah potensi konflik berlatar belakang SARA. “Kami juga
berharap dengan kegiatan sosialisasi ini dapat membentuk
kader generasi muda pengawal kerukunan dalam kehidupan
beragama, baik antarumat beragama maupun internal umat
beragama itu sendiri. Sehingga terwujudnya persatuan
dan kesatuan bangsa dalam keberagaman,” ujarnya. Acara
bertema ”Terciptanya Kader Muda Pengawal Kerukunan
di Lingkungan Masyarakat” digelar selama dua hari, 12-
13 Oktober 2016 di Banda Aceh. Pesertanya berjumlah 90
orang siswa-siswi SMA/sederajat se-Kota Banda Aceh plus
10 guru pendamping dari masing-masing sekolah. Sementara
narasumbernya berasal dari unsur Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB), MPU, Kankemenag, dan Badan
Kesbangpol dan Linmas Banda Aceh. (SA/DS)
Menurut wali kota, walau penduduk Banda Aceh
mayoritas beragama Islam dan Aceh telah menerapkan
syariat Islam sejak 2002 silam, namun tidak pernah terjadi
konflik berlatar belakang agama di Banda Aceh. “ Walaupun
ada gesekan di tengah-tengah masyarakat itu murni karena
persoalan pribadi bukan agama,” ujarnya. Masih menurut
wali kota, kunci kerukunan umat beragama di Banda Aceh
yakni segenap elemen kota telah menyadari akan kebutuhan
keamanan dan ketenangan dalam hidup bermasyarakat, yang
menjadi syarat penting dalam menyukseskan pembangunan.
“Hal ini pula yang telah diwariskan secara turun menurun

~ 176 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

oleh endatu kami.”Hal penting lainnya Pemko  Banda


Aceh menganggap sama semua warga tak pandang agama,
baik dalam pelayanan maupun kesempatan untuk bekerja dan
berkarya. Selain itu umat agama lain seperti Kristen, Budha,
dan Hindu juga sangat menghargai syariat Islam yang berlaku
di Aceh,” ungkap Aminullah. “Begitu juga dengan Muslim
yang tak pernah menyinggung atau melakukan hal yang dapat
menyakiti perasaan umat agama lain. Non Muslim di Banda
Aceh dapat beribadah dengan tenang dan bekerja tanpa
gangguan sedikit pun, termasuk dalam menggelar kegiatan
seni budaya”.
Masalah penegakan syariat Islam sambungnya, Pemko
Banda Aceh bersikap tegas. “Tak ada tempat bagi pelanggaran
syariat di Banda Aceh. Dan bagi yang tak melanggar syariat
tentu tak perlu merasa was-was atau takut untuk berkunjung
ke Banda Aceh karena kami sangat welcome terhadap tamu
yang datang, sesuai dengan moto kami “peumulia jamee
adat geutanyoe.“Jika terjadi pelanggaran syariat, misalnya
terkait maisir (judi) atau khamar (minuman keras) dan
pelakunya ada yang non Muslim, maka yang bersangkutan
dapat memilih hukum pidana yang secara umum berlaku di
Indonesia atau hukum syar’i.”Dan ternyata ada yang memilih
hukum islam karena menurut mereka setelah menjalani
hukuman dapat segera kembali beraktifitas dan berkumpul
bersama keluarga, dibanding menjalani hukuman pidana
penjara menurut hukum pidana,” ungkap wali kota.
Di tempat yang sama Bupati Blitar Rijanto mengatakan
kedatangan pihaknya ke Banda Aceh untuk mempelajari
penerapan syariat Islam dan korelasinya dengan kerukunan
hidup umat beragama. “Karena di Indonesia hanya Aceh yang
menerapkan syariat Islam,” ujarnya. “Setelah tiba di Banda
Aceh dan melihat langsung, syariat Islam yang berlaku di
Banda Aceh bisa mengayomi umat agama lain.“Rumah ibadah
dan juga sekolah-sekolah agama berdiri berdampingan tanpa

~ 177 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ada permasalahan, seperti yang terlihat di Gampong Mulia


rumah ibadah gereja Metodis, HKBP, dan Masjid Al-Anshar,
Wihara, sangat berdekatan. Syariat Islam tegak dan kehidupan
umat beragama bisa berjalan dengan baik. “Kami sudah
berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman yang begitu indah
dan megah, dan juga Museum Tsunami Aceh yang menjadi
pengingat sekaligus wahana edukasi bencana tsunami yang
ada di Indonesia,” ungkapnya.

Pembinaan Kanwil Kemenag Aceh

Diskusi dengan Ka.Kanwil Kemenag Aceh (H. Daud Pakeh), dan


Kasubag Hukum KUB (Rahmat Mulyana) terkait pola pembinaan
pemeliharaan kerukunan antarumat beragama
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh melalui
Sub Bagian Hukum dan Kerukunan Umat Beragama terus
berikhtiar merawat kerukunan umat beragama dan mencegah
radikalisme di Provinsi Aceh. Ikhtiar tersebut dilakukan
dengan berbagai kegiatan, seperti Pembinaan Deradikalisasi
dan Counter Radikalisasi bagi aktor pemelihara kerukunan
umat beragama. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Grand
Permata Hati, Banda Aceh, Rabu (14/8/2019), dan diikuti
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi
Aceh. Ketua FKUB Kabupaten dan kota se-Aceh, sejumlah
tokoh pemuka agama dan sejumlah ASN pegiat kerukunan
umat beragama. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama

~ 178 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Provinsi Aceh, Drs. H.M Daud Pakeh dalam sambutanya saat


membuka kegiatan pembinaan Deradikalisasi dan Counter
Radikalisasi tersebut, menyampaikan bahwa Aceh merupakan
daerah yang penuh toleran. Kerukunan umat beragama
sangat kondusif, maka hal yang baik tersebut harus dirawat
bersama. Menurutnya menjaga kebersamaan dan merawat
kerukunan adalah tanggung jawab bersama, tidak boleh
membiarkan pihak-pihak tertentu yang mencoba mengusik
kerukunan di Aceh, seperti masuknya paham radikal yang
dapat memecahbelah sesama. “Kerukunan umat beragama,
baik internal maupun antarumat beragama selama ini sudah
sangat kondusif. Dari dulu Aceh terkenal dengan toleransi,
mari kita rawat juga sama sama mencegah radikalisme di
Aceh,” ajak Kakanwil.
Daud pakeh juga menyebutkan beberapa faktor munculnya
radikalisme, yaitu intoleran pada golongan yang berbeda
pemahaman dengan golongan mereka. Cenderung fanatik,
eksklusif, tidak segan berbuat anarkis, dan berpotensi menjadi
teroris. Pada kesempatan tersebut Daud Pakeh mengapresiasi
kegiatan pertemuan para aktor Kerukunan umat beragama ini
sebagai upaya bersama memelihara Kerukunan. Menganalisa
situasi dan perkembangan yang terjadi yang berpotensi
merusak kerukunan umat. Selain itu Daud Pakeh mengajak
kepada seluruh pengurus FKUB, pegiat kerukunan umat dan
para ASN dan seluruh masyarakat untuk bisa melaksanakan
program siap siaga Nasional. Menangkal radikalisme dengan
upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan
aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana prasarana.
Pengembangan kajian terorisme, dan pemetaan wilayah
rawan faham radikalisme dan terorisme. Semua agama
punya landasan untuk umatnya memelihara kedamaian dan
kerukunan, tidak ada landasan apapun yang membolehkan
kekerasan kepada sesama manusia. Deradikalisasi berpotensi
konflik, adalah tugas kita bersama ujar Daud Pakeh di akhir

~ 179 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

materinya. Hadir pada kesempatan tersebut Ketua FKUB Aceh,


Nasir Zalba, Kasubbag Hukum dan KUB Kanwil Kemenag
Aceh Rakhmad Mulyana, dan sejumlah tamu undangan
lainnya. (Banda Aceh-LintasGAYO.co). Posted on 08/14/2019
Author lintasgayo.co Comments Off on Cegah Radikalisme,
Kemenag Aceh Gelar Pembinaan Aktor Kerukunan.
Pola Pembinaan intern dan antarumat Beragama di
Provinsi Aceh, dilakukan melalui: (1). Pola Pembinaan di
wilayah perbatasan: Singkil, Tamiang, Subulussalam, dengan
mendirikan Madrasah Aliyah berasrama. (2). Pola Dialog
Kerukunan di wilayah perbatasan Sumatera Utara dengan
Aceh, di Kabupaten Tamiang arah via Timur, Kabupaten
Langkat di perbatasan Sumatera Utara. (3). Acara ful
day membahas “Deradikalisasi dan Pencegahan Konflik
keagamaan” digandeng oleh FKUB 23 Kabupaten/Kota se
Provinsi Aceh (Ketua FKUB). Dengan menghadirkan Tokoh
Agama dari Pembimas: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha.
Menghadirkan Tokoh Pemuka Agama: Ketua FKUB dan semua
Tokoh Pemuka Agama: Islam Kristen, Katolik, Hindu, dan
Budha. (4). Dialog Kerukunan (5). Pembinaan dalam bentuk
dialog lebih berorientasi kepada masyarakat heterogen,
multikultur, dan Pluralis. (5). Misi kedua pa Menteri Agama,
meningkatkan Kerukunan intern dan antarumat beragama,
dan memperkuat Kerukunan (Daud Fakeh Kepala Kanwil dan
Rahmat Mulyana Hukum dan KUB).
Kemudian pembinaan intern umat beragama dilakukan
melalui KUA sebagai ujung tombak Kementerian Agama
dengan jumlah 274 KUA, dan Penyuluh Agama fungsional
maupun Non PNS dengan jumlah 2.192 orang. Setiap KUA
Kecamatan ada 8 Penyuluh Agama Non PNS, hampir 300
penyuluh agama yang saling kerjasama untuk mengatasi
terjadinya intoleransi. Untuk konteks yang luas lagi melalui
dayah (pesantren), Madrasah, disitu ada santri/siswa yang
tidak sedikit mengajarkan tentang Toleransi dan Kerukunan

~ 180 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

terhadap agama lain. Dalam hal ini pun Kabid Urais (Bapak
Hamdan) telah melakukan sosialisasi tentang faham
keagamaan dan deteksi dini, ke wilayah Barat Selatan, wilayah
Aceh Selatan, Subulussalam. Aceh Singkil, Aceh tengah,
Bener Meriah, Gayo Luwes, dan Aceh Tenggara, yang belum
dilakukan sosialisasi ke kabupaten Seumeulu. Pembinaan
ini dilakukan setiap tahun, sebagai Narasumber diambil
dari UIN Ar-Raniry Aceh. Pembinaan intern umat Islam
lebih diorientasikan kepada pencegahan terhadap paham
keagamaan.

Di Kantor KUA setelah diskusi dengan kepala KUA (Bapak Ikbal) dan
Penyuluh Agama Islam (Ibu Raudotul Jannah)

Program Walikota
Program Wali Kota menjawab kembali hadir dan
mengudara di 10 stasiun radio lokal di Banda Aceh. Edisi
Oktober ini, program Wali Kota Menjawab mengangkat
tema ‘Peran Aktif Camat Dalam Mewujudkan Banda Aceh
Gemilang’. Kegiatan ini digelar Selasa (9/10/2018) di pendopo
Wali Kota Banda Aceh. Edisi Oktober ini mengundang
antusiasme warga kota, hal ini ditandai dengan banyaknya
telpon yang masuk dari warga yang ingin menanyakan

~ 181 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sejumlah hal kepada para Camat. Sembilan (9) Camat yang


ada di Banda Aceh hadir lengkap pada kegiatan ini dan
menjawab seluruh pertanyaan dari warga melalui telpon
masuk. Hadir juga Wakil Wali Kota, Drs H Zainal Arifin dan
Asisten Pemerintahan, Bachtiar S Sos sebagai pembicara
pada edisi ‘Wali Kota Menjawab’ kali ini. Wali Kota Banda
Aceh, H Aminullah dalam kesempatan ini mengawali dengan
menyampaikan sedikit gambaran tentang Kota Banda Aceh,
di mana kota ini termasuk kategori kota sedang yang memiliki
luas wilayah administrasi kurang lebih 61,36 KM2 dengan 9
Kecamatan: Kuta Alam, Kutaraja, Baiturrahman, Syiah Kuala,
Ulee Kareng, Jaya Baru, Lueng Bata, Meuraxa dan Banda Raya.
Selain itu Banda Aceh memiliki 90 Gampong dan 17 Mukim.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Kecamatan tidak lagi merupakan
satuan wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai
satuan wilayah kerja atau pelayanan. Camat berkedudukan
dibawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui
Sekretaris Daerah.
Ada beberapa tugas umum pemerintahan yang
diselenggarakan oleh Camat, Mengkoordinasikan: kegiatan
pemberdayaan masyarakat, upaya penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum, penegakan peraturan
perundang-undangan. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum, penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
tingkat kecamatan. Membina penyelenggaraan pemerintahan
gampong dan melaksanakan pelayanan masyarakat
yang menjadi ruang lingkup tugasnya, dan yang belum
dapat dilaksanakan pemerintahan gampong. Wali Kota
juga mengatakan Camat merupakan administrator dan
penanggung jawab atas berbagai kegiatan pembangunan
dan harus mempunyai kemampuan untuk menggerakkan
masyarakat dalam melaksanakan pemerintahan yang baik.

~ 182 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Camat juga memiliki peranan yang cukup strategis dalam


pengawasan dan pembinaan terhadap pengelolaan dana
gampong dan alokasi dana gampong. Untuk mengeluarkan
anggaran pembangunan dan belanja gampong harus
dilengkapi rekomendasi Camat. Karena Camat yang akan
memonitoring setiap perkembangan pembangunan di
gampong. Dan juga Camat perlu menciptakan dan menguatkan
rasa persaudaraan, toleransi serta kerukunan. Selain itu
juga dapat meningkatkan kesadaran akan kesatuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tugas lain Camat juga
memiliki peran penting dalam penegakan syariat Islam dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Visi misi kami dalam
mewujudkan Banda Aceh Gemilang dalam Bingkai Syariah,
peran para Camat sangatlah penting,” kata Wali Kota.
Sementara itu Wakil Wali Kota, Drs H Zainal Arifin dalam
kesempatan ini juga meminta kepada para Camat agar lebih
aktif dalam mensosialisasikan program-program Pemko
ujarnya. Dalam menyukseskan program pembangunan
yang berbasis partisipatif, Camat harus benar-benar dekat
dengan masyarakat Gampong, bahkan nomor HP Camat
harus diketahui oleh masyarakat. “Nomor HP Camat harus
diberikan kepada warga, hal ini penting karena selain ada
nomor layanan program sampah, air dan layanan pengaduan
pelanggaran syariat, warga juga bisa melapor langsung ke
camat ketika ada persoalan ditengah-tengah masyarakat,”
pinta Zainal Arifin. Turut hadir pada kegiatan ini, Sekdakota
Banda Aceh, Ir Bahagia DiplSE, para Kepala SKPK jajaran
Pemko Banda Aceh, para Imum Mukim dan para Keuchik
dalam Kota Banda Aceh. (red) (wali-news.com, Banda Aceh).
Banda Aceh juga harus menjadi tolak ukur bagi kota-
kota lainnya di Indonesia dimana penegakan Syariat Islam
bukanlah alasan untuk bersikap otoriter, represif terhadap
umat agama lainnya, untuk menindas, atau berlaku
sewenang-wenang. “Justru tujuan penegakan syariat Islam

~ 183 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

itu demi tercapainya kemashlahatan bagi seluruh kehidupan


manusia. Syariat Islam juga mengatur bagaimana pergaulan
dan penghormatan kepada ummat agama lainnya, tak peduli
seorang manusia itu beragama apa atau berasal dari suku
mana,” ujarnya.

Tradisi Kerukunan di Gampong Mulia dan Peunayong


Wilayatul Hisbah (WH)
Seiring pemberlakuan undang-undang Republik
Indonesia No 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
keistimewaan provinsi aceh dan UU Republik indonesia
No 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi
nanggroe aceh Darussalam. Serta Perda No 5 tahun 2000
tentang pelaksanaan syariat islam maka terbentuklah sebuah
lembaga WH yang dikuatkan dengan SK Gubernur NAD No
01 tahun 2004 tentang organisasi dan tata kerja WH, yang
keberadaannya diharapkan untuk mengawasi pelaksanaaan
syariat islam di Nanggroe aceh darussalam. Di samping
itu untuk memperkuat pengawasannya di lapangan di
bentuk pula Muhasib-muhasib gampong yang terdiri dari
tokoh-tokoh muda, WH bekerja secara suka rela di tingkat
gampong masing-masing. Lembaga ini diharapkan bisa
bekerja mengawasi pelaksanaan syariat Islam di tingkat yang
paling rendah dan satu hubungan yang bersifat koordinatif,
konsultatif, dan komunikatif dengan WH yang bertugas di
Kecamatan dan Kabupaten.
Wilayatul Hisbah sebagai unit pelaksana teknis syariat
Islam, organisasi ini awalnya berada di bawah dinas syariat
Islam, namun kemudian Wilayatul Hisbah berada di
bawah institusi Pamong Praja. Lembaga ini lahir karena
kebutuhan yang sangat mendasar yang mesti ada terhadap
pelaksanaan syariat Islam. Secara umum Wilayatul Hisbah
adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Aceh untuk

~ 184 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

menegakkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat,


agar masyarakat dapat melaksanakan seluruh perintah Allah
SWT dan meninggalkan larangannya terutama maksiat, dan
Wilayatul Hisbah digaji oleh pemerintah Aceh.
WH mempunyai tugas yaitu: (1) memperkenalkan dan
mensosialisasikan qanun dan peraturan-peraturan lainnya
yang berkaitan dengan Syari`at Islam. Dan juga mengingatkan
atau memperkenalkan aturan akhlak dan moral yang baik
menurut Syari’at Islam kepada masyarakat; (2). mengawasi
masyarakat agar mereka mematuhi peraturan yang ada
dan berakhlak dengan akhlak yang baik yang dituntunkan
Islam. Dengan demikian petugas WH mungkin akan berada
di tempat-tempat keramaian, memberitahu dan membantu
masyarakat tentang busana yang seharusnya digunakan.
Tentang perilaku yang harus dihindarkan, tentang ketertiban
umum yang harus dijaga dan cara menghormati para
pengunjung lainnya, tentang barang yang boleh dijual dan
tidak boleh dijual. (3) melakukan pembinaan agar para pelaku
perbuatan pidana tidak melakukan pengrusakan (kejahatan)
lebih lanjut atau orang-orang yang berperilaku tidak sopan
bersedia menghentikan perbuatan tidak sopan tersebut.
Pembinaan ini dilakukan dengan cara mencatat identitas
pelaku pelanggaran yang dilakukan. Upaya pengawasan yang
sudah ditempuh kemudian memberitahukannya kepada
polisi atau penyidik. Untuk diambil tindakan lebih lanjut.,
atau melaporkannya kepada Keucik (tuha peut) gampong
setempat untuk diselesaikan dengan musyawarah (rapat atau
peradilan) adat. Setelah melaksanakan tugas utama tersebut,
jika ada pelanggaran baru WH dapat bertindak, dan tindakan
ini harus dikoordinasikan dengan korwas (koordinator
pengawas) yaitu Kepolisian. Karena upaya paksa yang
dilakukan harus dikoordinasikan, hal ini dilakukan dengan
alasan agar tidak terjadi praperadilan yang diajukan kepada
Wilayatul Hisbah.

~ 185 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Peusijuk sebagai Kearifan Lokal di Aceh


Kearifan lokal sebagai perekat kerukunan di Aceh ada yang
bersifat intern dan antarumat beragama dalam hal seremonial
keagamaan, seperti istilah bahasa adatnya “Peusijuk”. Peusijuk
dilaksanakan dalam acara momen tertentu seperti: dalam
pelaksanaan siklus kehidupan (Pesta Pernikahan, Kelahiran,
Turun tanah anak bayi, khitanan, sedekah bumi/pindah
rumah, dan acara syukuran yang mau pergi Tugas belajar,
atau bekerja di luar negeri, dan lainya). Peusijuk adalah salah
satu ritual atau prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh.
Tradisi ini biasanya dilakukan untuk memohon keselamatan,
ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. Tradisi
Peusijuk merupakan salah satu tradisi yang sudah ada sejak
zaman dahulu, dan merupakan salah satu warisan budaya.
Dalam perkembangannya, tradisi Peusijuk masih terus
dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang, Tradisi ini
biasanya sering dilakukan di hampir semua kegiatan adat
masyarakat Aceh, termasuk perayaan upacara adat Aceh,
karena tradisi Peusijuk sangat kaya akan nilai-nilai dan makna
khusus di dalamnya.
Walaupun ada beberapa orang menganggap tradisi
peusijuk ini hampir mirip dengan tradisi agama Hindu, namun
dalam segi cara, isi dan tujuannya sangat berbeda. Masyarakat
Aceh percaya, bahwa tradisi Peusijuk ini merupakan
hasil kearifan budaya lokal yang diajarkan nenek moyang
mereka. Dimana budaya dan agama harus dijalankan secara
berdampingan dengan segala kebaikan yang ada di dalamnya,
sehingga harus dihormati dan dijaga keberadaannya. Peusijuk
memiliki unsur-unsur atau nilai-nilai agama yang menjadi
ruhnya. Hal tersebut dilihat dari sisi agama bahwa Islam
memiliki konsep universalisme yang mampu menyatu dan
melebur dalam berbagai peradaban dan kebudayaan. Sejak
hadirnya Islam menyatu dan dapat diterima oleh berbagai

~ 186 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

bangsa dan peradaban. Peusijuk diyakini oleh masyarakat


Aceh sebagai salah satu ritual yang dikaitkan dengan
kepercayaan terhadap agama. Karena peusijuk tersebut sarat
dengan nilai-nilai agama yang mesti dijalankan. Hal tersebut
dapat dilihat dari unsur-unsur peusijuk yang terdiri dari tiga
hal yaitu: Pertama; pelaku peusijuk, biasanya dilakukan
oleh para Tengku (ustadz) dan Tengku Inong (ustadzah),
yang paham agama. Kedua; momen peusijuk, di antaranya
peusijuk dilakukan ketika akan berangkat haji, pernikahan/
walimah, khitanan, turun tanah, tujuh bulanan dan lain-lain.
Ketiga; doa peusijuk, doa yang dibacakan adalah doa yang
ditujukan kepada Allah SWT, dengan menggunakan doa-
doa yang mashur dari Al-Quran dan Sunnah. Melihat ketiga
tinjauan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peusijuk sangat
sarat dengan nilai-nilai keislaman dan keyakinan terhadap
nilai-nilai Islam.sehingga ia menjadi budaya lokal yang telah
berasimilasi menjadi sebuah budaya Islam.
Dalam kegiatan seremonial siklus kehidupan di Aceh
hususnya di gampong-gampong, pelaksanaan upacara adat,
Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan Tokoh Masyarakat (Keuchi)
duduk bersama menghadiri upacara adat tersebut. Namun
ketika dimohon untuk memberikan sambutan terlebih dahulu
adalah Tokoh Agama untuk menyampaikan sambutan,setelah
itu baru Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat (Keuchi). Acara
Peusijuk yang bernuansa Kerukunan dalam siklus kehidupan
yaitu: acara Pesta pernikahan, Khitanan, Kelahiran, dan
Kematian, Pindah Rumah.

Sentral UPPKS Gampong Mulia/Ibu -ibu PKK


Kegiatan ibu-ibu PKK dalam bentuk kegiatan Sentral
UPPKS bekerjasama dengan Lakpesdam Kota Banda Aceh.
Kegiatan PKK ini membuat kerajinan tangan yang terbuat
dari bahan saten. Jenis kerajinan itu dalam bentuk: 1.
Payung Aceh: Payung Linto untuk penganten perempuan

~ 187 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dengan motif pintu aceh, dan payung untuk orang meninggal


dengan motif Kaligrafi lapadz Lailahaillallah. 2. Seuhap untuk
souvenir (bingkai hiasan dinding). 3. Sange untuk hantaran
pengantin Dara Baro (calon mempelai wanita) dari Linto Baro
(calon mempelai laki-laki). Jenis kerajinan ini pun digunakan
ketika ada acara momen tertentu seperti peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW, acara Tung Dara Baro untuk
munduh mantu, dan untuk acara-acara besar keagamaan
lainya. Cirikhas makanannya dalam acara seremonial: kuah
blangong, pliu, bebek masak merah, asam keucung (asam
pedas). Sumber dana diperoleh dari ADG (Anggaran Dana
Gampong), BHR (Bagi Hasil Retribusi) sekitar 19 juta alokasi
dananya (tahun 2018).
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Ibu-ibu rumah tangga
usia 30 – 60 tahun. Dalam kegiatannya dibentuk 2 kelompok,
setiap kelompok terdiri dari 10 orang. Gampong Mulia terdiri
dari 5 Dusun: 1. Dusun Teuku Dilepu. 2. Teuku Laksamana. 3.
Pocut meurah insan. 4. Malahayati. 5. Tgk diblang. Tiap dusun
terdiri dari 5 orang utusan, perekrutannya siapa saja yang
bersedia untuk ikut di dalam keanggotaan UPPKS. Kegiatan
UPPKS ini bertujuan untuk usaha peningkatan pendapatan
Kesejahteraan Keluarga Sejahtera.. Dalam peningkatan
kualitas UPPKS ini dari pihak pemberdayaan perempuan
dilakukan pelatihan selama 4 hari di Gedung serba guna
Masjid Al-Anshar, dari 30 orang diseleksi menjadi 20 orang.

~ 188 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kegiatan yang bernuansa kerukunan antarumat beragama


yaitu dalam acara momen tertentu, seperti: Hari Raya Idul
Fitri, Idul Adha, acara 17 Agustusan, Natalan, Imlek, Gong
Xi Pacai. Selain itu ada kegiatan Posyandu untuk anak-anak
balita dari semua penganut agama yang ada di Gampong
Mulia, mereka berbaur baik anak-anak balitanya, maupun
pelayanannya oleh Ibu Kechi dan tenaga lainnya. Kemudian
lomba senam (usia muda – lansia) juara II dan III, tingkat
Kota Banda Aceh. Lomba PKK juara I tentang Pokja I-IV,
lomba PKDRT (pencegahan kekerasan dalam rumah tangga)
juara I, lomba marhaban juara II, lomba masak mie untuk
ibu-ibu. Lomba hias hidangan Maulid Nabi dapat juara I
tingkat Kota Banda Aceh, dengan menggunakan alat-alat
dasarnya: Talam, Kudung, Kain Kuning, ditutup dengan
SEUHAP. Arisan bulanan di gampong mulia semua unsur
agama. Lomba Pidato Pemuda Lintas Agama dengan tema
“ Kebhinekaan dan Wawasan Kebangsaan”, lomba putsal
yang diikuti oleh pemuda lintas agama. Diselenggarakan oleh
Kemenag Kota Banda Aceh kerjasama dengn FKUB, sebagai
pelaksana adalah Gampong Mulia. Semua jenis kegiatan
bernuansa kerukunan, kecuali Marhaban, Maulid Nabi SAW,
dan Nuzulul Qur’an.

Fardu Qifayah
Kegiatan yang terkait dengan sosial keagamaan ada
istilah bahasa Fardu Qifayah yaitu: kegiatan ketika ada warga
Muslim yang meninggal untuk: memandikan, menyolatkan,
menguburkan, dan mendoakan, ditangani oleh 5 orang
perempuan dan 5 orang laki-laki. Kelompok fardu qifayah
ini dilatih oleh pihak Kemenag dan Dinas Syariat Islam,
selama 2 hari di Aula Masjid Al-Anshar Gampong Mulia.
Narasumber diambil dari Dinas Syariat Islam, Kamenag
Kota Banda Aceh, Kepala KUA dan tokoh Agama Gampog
Mulia. Materi yang disampaikan dalam pelatihan: membahas

~ 189 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

tentang seputar Zenazah, dan ketentuan-ketentuan dalam


memandikan, mengkapani, menyolatkan, dan menguburkan.
Adapun kriteria menjadi kelompok pengurus Fardu Qifayah:
mereka harus memiliki kemampuan di bidang ini, memiliki
pengetahuan agama yang cukup, dan menjaga lisannya,dengan
berperilaku baik (berakhlak). Setiap bulannya dapat insentif
per orang Rp. 200 ribu, dialokasikan dari dana anggaran dasar
gampong. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Syariat
Islam dilakukan selama 4 hari di Hotel, 2 hari untuk teori dan
2 hari untuk prakteknya bagaimana tata cara prosesi Fardu
Qifayah dari mulai memandikan hingga mengkuburkan ( Ibu
Rahmi Ketua UPPKS, dan Ibu Keuchi Gampong Mulia).
Fardu Qifayah dilakukan tidak hanya di gampong mulia
setiap gampong di Kecamatan Kuta Alam ada kelompoknya,
dan sifatnya incidental. Hanya perbedaannya dalam hal
sumber dana yang dialokasikan untuk praktek Fardu Qifayah
di tiap-tiap gampong, dan jumlah orang dalam kelompok
fardu qifayah. Bagi umat non Muslim yang meninggal sebelum
dimakamkan ada proses ritual ditempatkan di rumah duka,
satu/dua hari baru dimakamkan, tempat pemakaman non
Muslim di Mata’i Ketapang.

Kekuatan dalam Pemeliharaan Kerukunan


1. Tercatat dalam sejarah Aceh yang mayoritas Penganut
Islam, menghargai Penganut agama Non Muslim, dan
tidak pernah terjadi konflik yang berlatar belakang
agama/SARA. Hubungan antarumat Beragama sampai
saat ini (penulis di lapangan September 2019), terjalin
sangat harmonis atas dasar prinsip Toleransi dan saling
menghormati. Dengan menjunjung tinggi Nilai-nilai
Syariat dan Kearifan Lokal sebagaimana Visi-Misi Kota
Banda Aceh. Terjalinnya hubungan sosial Budaya,
ekonomi, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang
melibatkan seluruh unsur Agama.

~ 190 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

2. Dinas Syariat Islam (DSI). Dalam konteks kerukunan


umat beragama DSI memiliki peran yang fungsional
dengan dua pola pembinaan yaitu: Pertama Pembinaan
yang bersifat substantif mencakup semua aspek
pelaksanaan Syariat Islam melalui Penyuluhan, Dakwah,
dan Pengawasan Syariat Islam. Kedua; pembinaan yang
bersifat normatif mencakup tugas dan misi, pemantapan
toleransi, wawasan beragama dan bermasyarakat,
pembinaan kerukunan umat beragama dalam kehidupan
masyarakat Aceh yang pluralistik (M.Husein A. Wahab,
204: 66).
3. Pada prinsipnya Syariat Islam yang berlaku di
Aceh menganut dua prinsip dasar: Pertama, Azas
personalitas, yaitu hukum Islam hanya berlaku bagi
pemeluk agama Islam, sedangkan bagi yang lainnya
diwajibkan menghormatinya dengan ketentuan: a).
apabila perbuatan jinayah dilakukan oleh dua orang atau
lebih secara bersama-sama dan di antaranya ada yang
beragama bukan Islam, maka pelaku yang beragama
bukan Islam dapat memilih dan menundukan diri secara
suka rela pada hukum jinayat. b). Bagi non Muslim yang
melakukan perbuatan pidana yang tidak diatur dalam
KUHP terhadapnya berlaku hukum jinayah (Pasal 129
UUPA). Kedua; Azas territorial yaitu Syariat Islam hanya
berlaku dalam lingkup Provinsi Aceh. Bagi siapa saja
penduduk Aceh yang melakukan perbuatan pidana di
luar Aceh berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
4. Sebagai daerah yang mendeklarasikan Syariat Islam
secara formal, Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat
Islam (DSI) telah memprogramkan kerukunan umat
beragama dalam 5 (lima) prinsip pokok yaitu: Sinergitas,
Akumulatif, Konfrehensif, Totalitas, dan Inklusif (SAKTI).
Undang-undang Pemerintahan Aceh juga menegaskan

~ 191 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/


Kota harus menjamin kebebasan, membina kerukunan.
Menghormati nilai-nilai yang dianut oleh umat beragama
dan melindungi semua umat beragama sesuai agama yang
dianutnya (Pasal 127 ayat.2). Ketentuan ini memperjelas
posisi pemerintah Aceh dalam memperlakukan agama
non Muslim sebagai mitra bukan lawan atau sesuatu lain
yang kontraproduktif.
5. Pendekatan dialogis. Pendekatan dialogis ini dapat
dilakukan secara formal maupun informal. Secara formal
biasanya dilakukan oleh lembaga, wadah atau forum-
forum formal dengan mengangkat tema-tema tertentu
yang dipublikasikan melalui media massa atau elektronik.
Sementara dialogis non formal dapat dilakukan melalui
kegiatan sosial keagamaan yang memiliki kaitan dengan
persoalan-persoalan kerukunan umat beragama. Saat ini
telah ada wadah kerukunan umat beragama yang terdiri
dari beberapa lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU). Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI),
Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada
Hindu Dharma (PHD), dan Perwakilan Umat Budha
Indonesia (WALUBI (lihat ralat di Makalah seminar).

Kelemahan dalam Pemeliharaan Kerukunan


1. Aturan tentang pendirian rumah ibadah: dinilai menjadi
salah satu sumber pemicu konflik horizontal antarumat
beragama di Banda Aceh. Hal ini dikarenakan terdapat
perbedaan persyaratan sebagaimana yang tertuang dalam
Surat Keputusan Bersama dua Menteri (SKB) No. 9 dan
8 Tahun 2006, dan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 25
Tahun 2007 tentang pendirian rumah ibadah di Aceh.
2. Akses Pendidikan Agama: Akses Pendidikan agama
termasuk Universitas masih menjadi kendala dan isu
penting yang harus dikelola dengan baik oleh para

~ 192 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pembuat kebijakan. Saat ini mereka (Murid, Siswa dan


Mahasiswa) tidak mendapatkan Pendidikan Agama
secara formal dari seorang guru dengan keyakinan yang
sama (seiman).
3. Ego Sentris dan Fanatisme Agama: pemahaman agama
yang terlalu dinilai dapat memicu ketidakharmonisan
dan merusak tatanan kerukunan antarumat Bergama di
Banda Aceh.
4. Penghakiman (Judgment) tentang Fashion Islami versus
tidak Islami: setelah penerapan Syariat Islam perubahan
pada fashion (gaya berbusana) terutama untuk kalangan
perempuan sangat jelas melihat apakah mereka
mengenakan jilbab atau tidak. Kondisi ini jelas berbeda
dengan masa 10 tahun yang lalu di mana masyarakat
Muslim Aceh sendiri banyak yang berpakaian tidak
Islami.
5. Peran media yang dominan memberikan tentang
pelanggaran Qanun: Media dinilai memiliki peranan
penting dalam menciptakan kerukunan antarumat
beragama dan juga sebaliknya menciptakan disharmoni
antarumat beragama. Dalam konteks penerapan Syariat
Islam banyak pemberitaan media yang mengekspos
tentang eksekusi cambuk tanpa disadari menciptakan
wajah Aceh sebagai daerah menakutkan. Memberi kesan
hak-hak Non Muslim terpinggirkan dan menciptakan
wajah Islam di Aceh yang menyeramkan.
6. Kurangnya fasilitas pendukung /penunjang dan sumber
dana yang memadai untuk FKUB.

Analisis Hasil Penelitian


Budaya Adat Aceh
Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki
budaya adat yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya
adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi

~ 193 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek


kehidupan masyarakat. Masyarakat Aceh menyesuaikan
praktek agama dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku,
hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh. Sebagai
hasilnya Islam dan budaya Aceh menyatu, sehingga sukar
dipisahkan. Di sini kaidah syariat Islam sudah merupakan
bagian dari adat atau telah diadatkan. Sebaliknya adat
merupakan bagian dari Islam, atau yang telah diislamkan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, masyarakat Aceh juga
berlaku ketentuan bahwa adat itu ada dua, pertama,
ketentuan Allah SWT yang tidak berubah sepanjang masa dan
kedua adat kebiasaan masyarakat berdasarkan syariat Islam.
Islam dan budaya adat Aceh menjadi satu paket yang tak
terpisahkan. Keduanya menyatu dan sangat berkaitan erat
dalam kehidupan masyarakat Aceh. Budaya adat Aceh sangat
kental dengan Islam. Sebaliknya Islam tidak bisa dipisahkan
dari budaya adat Aceh ” ujar H. Badruzzaman Ketua Majelis
Adat Aceh (MAA), saat mengisi pengajian rutin Kaukus
Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi
Luwak, Jeulingke, Rabu (3/10) malam. Menurutnya budaya
diistilahkan dengan cultur, hal itu merupakan hasil buah
pikir manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan, tempat dan
waktu, dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan. Karena
itu budaya yang dihasilkan manusia di dunia ini ada yang
berbentuk sekuler, marxis, atheis, materialis, sosialis dan
sebagainya. Hasil buah pikir itu menjadi adat kebiasaan yang
pada akhirnya menjadi sebuah kebudayaan.
Ketua MAA yang akrab disapa Pak Bad ini lebih sepakat
dengan istilah budaya adat Aceh bukan budaya Aceh. Itu
penting karena istilah itu memberi dampak filosofis, historis
dan cita-cita kita sebagai orang Aceh. Budaya adat Aceh
mengandung nilai-nilai religius dalam bingkai syariat Islam.
Jadi nilai syariat Islam itu mutlak harus dijiwai dalam budaya
adat Aceh. “Karenanya kita punya tamsilan adat dengon

~ 194 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

hukum lagee zat dengon sifeut. Jadi saling ada keterikatan


antara adat dengan syariat, bukan seperti budaya yang
diistilahkan dengan culture pada umumnya,” ujarnya.
Kita punya nilai khusus dan istimewa terkait dengan
syariat Islam. Karena itu budaya kita tidak boleh lepas dari
syariat. Seperti setiap pekerjaan harus diniatkan Lillahi
ta’ala dan harus dimulai dengan membaca Bismillah, hal ini
tidak ada di budaya lain. Makanya tidak pernah ada orang
main judi dibacakan doa di situ. Sedang di semua acara kita
lainnya diharuskan untuk memulainya dengan Bismillah.
“Budaya adat Aceh bukan hanya peusijuk-peusijuk orang,
dalam peusijuk juga ada intinya yang bernilai syariat Islam
yaitu baca bismillah. Value atau nilai adat tidak boleh hilang,
nilai yang berlandaskan syariat tidak boleh berubah. Seperti
berpakaian, valuenya tutup aurat, model terserah apa saja,
intinya tutup aurat tercapai, ujarnya.
Badruzzaman Ismail juga mengungkap nilai-nilai filosofis
yang terkandung dari budaya adat Aceh sesuai dengan isi
Alquran Surat Al-Hujurat Ayat 13 agar manusia saling kenal
mengenal. “Kita ini hidup bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa untuk saling mengenal satu sama lain dengan satu
tujuan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tercipta
dengan kita sesama saling melengkapi satu sama lain. Kalau
Al-Quran mengistilahkannya dengan Lita’arafu atau untuk
saling kenal mengenal. Kalau saya menerjemahkan lita’arafu
itu sebagai pasar. Dimana di pasar itu menghasilkan karya-
karya manusia, seperti menghasilkan kue bhoe, timphan,
termasuk alat-alat canggih saat itu untuk kebahagiaan
manusia di dunia. Dan kita Muslim tentu untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat. Harus ada keseimbangan antara dunia dan
akhirat,” ungkapnya.
Badruzzaman juga mengajak masyarakat Aceh terutama
generasi muda untuk dapat mempromosikan karya dan
budaya yang kita miliki dengan teknologi informasi. Bahwa

~ 195 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

masyarakat Aceh sangat kaya akan nilai-nilai seni, sejarah


dan budaya. Ini juga bagian dari syariat karena memberikan
kebahagiaan untuk orang lain selama tidak bertentangan
dengan Islam. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang
membangun pilar-pilar budayanya. Bagaimana itu bisa terjadi
kalau kita tidak mengenal sejarah bangsa kita sendiri. Dari
segi kebutuhan juga manusia butuh akan budaya dan hiburan.
Acara-acara budaya seperti ini juga bisa menjadi benteng bagi
kita dari pengaruh budaya-budaya luar. Ia perlu diekspos ke
luar agar menjadi edukasi bagi generasi ke depan bahwa Aceh
kaya akan budaya sendiri yang bersendikan syariat dan tidak
terpengaruh dengan budaya asing,” terangnya. Disebutkannya
budaya adat Aceh unggul dengan syariat, sehingga jangan
sampai kita orang Aceh minder dengan adat bersendi syariat
ini.“Banggalah dengan syariat Islam yang ada dalam budaya
adat Aceh, karena dengan syariat Islam kita merasa aman,
ujarnya.
Ia juga berharap masyarakat tidak selalu menyalahkan
globalisasi dan modernisasi menggerus budaya Aceh, karena
sebenarnya siapa yang kuat mempengaruhi, maka budaya
dia yang akan unggul. Seperti Tari Saman misalnya, karena
kuat promosi dan dilestarikan dengan baik, maka sekarang
Tari Saman ini sudah mengglobal dan ditampilkan di seluruh
dunia dalam berbagai momen, sehingga menjadi kebanggaan
Aceh tentunya. “Orang Aceh terkadang kita lihat suka
merendahkan adat budaya sendiri, dan lebih suka mengambil
budaya lain. Makanya mulai sekarang anak-anak muda kita,
masukkan budaya adat Aceh yang lebih unggul dengan syariat
ini ke youtube, facebook dan instagram dan lainnya agar
mengglobal ke seluruh dunia.

Implementasi Syariat Islam VS Kerukunan di Aceh


Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dikatakan unik
jika dibandingkan dengan daerah lain. Salah satu keunikan

~ 196 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang membedakan dengan daerah lain adalah kesadaran


adanya keanekaragaman agama yang dirasakan masyarakat
Aceh yang selalu hidup berdampingan dengan syariat Islam
sebagai agama mayoritas. Sebelum Islam datang, pengaruh
Hindu dan Budha diketahui mewarnai sebagian tradisi
masyarakat Aceh. Pengaruh kedua agama besar tersebut
tidak pernah dirasakan oleh kawasan Timur Tengah, bahkan
relatif tidak berkembang, baik ditinjau dari aspek sosiologis,
psikologis maupun kultural. Perlahan namun pasti tradisi
Hindu dan Budha mulai pudar bersamaan lahirnya kerajaan
Islam yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya menghapus
pengaruh budaya Hindu dan Budha dalam kehidupan
masyarakat Aceh. Saat ini Aceh sebagai daerah yang memiliki
kewenangan dalam menjalankan Syariat Islam secara
formal mendapat landasan kuat dalam sejumlah Peraturan
Perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Syariat Islam selalu berinteraksi dengan kepentingan
lokal dan para pemeluknya. Tidak heran hasil interaksi
tersebut menggambarkan pola dan tingkah laku intern umat
beragama maupun antarumat beragama. Sikap seperti ini
turut mewarnai pelaksanaan syariat Islam sebagai agama
mayoritas di Aceh. Walaupun demikian dinamika sikap
keberagamaan umat beragama berjalan dengan baik tanpa
merusak hubungan antar pemeluk umat beragama. Sesuai
dengan prinsip dasar ajaran Islam, sikap toleransi, dan saling
menghargai yang terdapat dalam Al-Qur’an dipraktikkan
Nabi Muhammad menjadi warisan sejarah yang masih tetap
dipertahankan sampai sekarang. Secara filosofis ajaran
yang terkandung dalam sikap toleransi adalah setuju dalam
perbedaan, agree in disagreement. Karena itu ajaran toleransi
agama mencakup dua bidang kajian. Toleransi dalam
hubungan intern suatu agama, seperti sekte, mazhab, aliran

~ 197 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

atau golongan dalam suatu agama disebut dengan kerukunan


intern agama. Selanjutnya toleransi antarumat beragama,
dalam kesehariannya digunakan istilah kerukunan antarumat
beragama. Disini bukan berarti ajaran toleransi mengakui
semua agama adalah benar, tetapi lebih kepada pengakuan
sikap menghargai dan menghormati cara pandang agama lain
menurut keyakinan pengikutnya.
Secara khusus bentuk perhatian Pemerintah terhadap
kerukunan antarumat beragama telah diatur dalam Pasal
127 Ayat (2). Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor
11 Tahun 2006 yaitu “Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan.
Menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat
beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama
yang dianut. Aturan lainnya juga mengacu pada Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor
9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah
Ibadat. Terdapat pula Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 16 Tahun 2007 tanggal 30 April 2007
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat
Beragama, Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah
Ibadah dan Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2001
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan
Umat Beragama. Sejumlah aturan tersebut menjadi pedoman
bagi Pemerintah Aceh dalam upaya mengatur aspek sosial
hubungan antarumat beragama yang senantiasa sangat
diperlukan. Disebabkan munculnya sejumlah faktor non-
teologis yang dapat menimbulkan ketegangan antar pemeluk
agama.

~ 198 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Di Aceh hubungan sosial kerukunan antarumat beragama


(bukan persoalan teologis agama Non Muslim), haruslah
mendapat perhatian serius mengingat adanya praktek
penyiaran agama tanpa seizin Pemerintah Daerah. Pendirian
rumah ibadah ilegal bahkan keterlibatan pihak asing dalam
memberikan bantuan kemanusiaan kepada agama Non
Muslim. Faktor inilah yang sering menjadi cikal bakal lahirnya
konflik antarumat beragama. Oleh karena itu kehadiran kedua
peraturan Gubernur tersebut diharapkan dapat menjaga
ketertiban dan ketenteraman hubungan antarumat beragama.
Namun dalam kenyataannya Peraturan Gubernur tersebut
masih belum banyak diketahui di kalangan masyarakat Aceh
khususnya bagi umat Non Muslim. Kedua Peraturan Gubernur
tersebut dirasa masih sangat lemah dalam hal penegakan
hukum terhadap timbulnya ketidakharmonisan hubungan
antar kelompok sosial dan umat beragama, sehingga dapat
memicu terjadinya konflik antarumat beragama dalam
masyarakat Aceh, khususnya masyarakat di Kabupaten
Singkil terkait dengan pendirian rumah ibadah.
Qanun ini secara khusus mengatur tentang Pedoman
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian
Rumah Ibadah. Ketiga ruang lingkup tersebut perlu diatur
demi terciptanya kerukunan umat beragama di Aceh.
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1.
Terciptanya kerukunan antarumat beragama demi menjaga
ketertiban umum. 2. Terjalin hubungan yang sinergis
antarumat beragama untuk membahas berbagai kendala
yang dihadapi dalam menciptakan kerukunan antarumat
beragama. 3. Tertata secara baik tempat ibadah umat beragama
demi terciptanya kenyamanan pelaksanaan ibadah masing-
masing pemeluk agama. 4. Terbangunnya rasa tanggung
jawab bersama, baik oleh masyarakat maupun pemerintah

~ 199 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka


pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh,
Yudi Kurnia SE, mendukung rencana menjadikan Kecamatan
Kuta Alam sebagai model kawasan keberagaman. Hal ini
mengemuka dalam diskusi yang dilaksanakan Acehneses
Civil Society Task Force (ACSTV) bersama Sare School dan
Hakka, Selasa, 10 September 2013 di Tower Cafe Premium,
Simpang Lima, Banda Aceh. Yudi Kurnia mengatakan, model
kawasan keberagaman bertujuan untuk melihat pandangan
masyarakat sipil tentang proses penguatan semangat toleransi
keberagaman, keberlanjutan damai dan stabilitas keamanan,
serta mencegah benturan dan kekerasan komunal. Dengan
berlakunya reusam gampong maupun qanun dalam pranata
kehidupan sosial di Banda Aceh, sampai saat ini kerukunan
beragama tetap terpelihara dengan baik, kata Yudi Kurnia.
Ketua DPRK Banda Aceh ini menilai, rencana kawasan
model keberagaman itu cukup menarik. Bila gagasan ini bisa
diwujudkan, pihak dewan siap membantu melalui pembuatan
payung hukum, bisa berupa Perwal, qanun, maupun reusam.
“Kita patut memberi apresisasi kepada warga Gampong
Mulia, mereka bisa hidup berdampingan meski beda ras,
agama, dan suku,” lanjut Yudi Kurnia. Yudi Kurnia berpesan
bila ada pelanggaran syariat di tengah masyarakat yang
majemuk tersebut, pihak gampong bisa membuat sebuah
aturan semisal reusam. “Tapi tidak boleh berbenturan dengan
peraturan yang sudah ada. Aturan-aturan yang dibuat harus
disosialisasikan kepada masyarakat,” tegasnya. Sementara
untuk biaya pelaksanaan penegakan hukum di tingkat
gampong tersebut Yudi Kurnia mengatakan, karena belum ada
qanun, akan diupayakan dalam bentuk Perwal dulu. “Sejauh
ini permasalahan seperti anggaran untuk biaya mengamankan
tersangka yang bermasalah belum ada qanunnya, kita bisa
upayakan dalam bentuk Perwal dulu,” pungkasnya.

~ 200 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Penutup
Kehidupan multikultural di Aceh ini merupakan
perpaduan antara teori konsensus (dimensi budaya) dan
teori konflik (dimensi struktural). Menurut Kakanwil
pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, tidak mengganggu
kehidupan kerukunan antarumat beragama di Provinsi Aceh.
Syariat Islam diberlakukan khusus kepada penduduk yang
beragama Islam. Secara umum ada dua kebijakan penting
Kementerian Agama dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama, yaitu: 1) Memberdayakan masyarakat, kelompok-
kelompok agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan
sendiri masalah kerukunan umat beragama (KUB), dan 2)
Memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan
umat beragama ujarnya. Sejalan dengan tugas dan fungsi
Kementerian Agama di bidang KUB ini, sampai saat ini sudah
dilakukan kegiatan dan program Pembinaan Kerukunan
Umat Beragama di Provinsi Aceh dengan fokus pada ; 1)
Peningkatan pemahaman keagamaan yang moderat kepada
umat beragama; 2) Perubahan paradigma pendekatan
dalam membangun kerukunan antarumat beragama dari
pendekatan formal, struktural menjadi pendekatan humanis-
kultural; 3) Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB); 4) Dialog intern umat beragama; 5) Dialog
antarumat beragama; 6) Dialog antara umat beragama dengan
pemerintah; 7) Peningkatan wawasan multikultural bagi
tokoh agama, pemuka agama, guru, dan tokoh masyarakat; 8)
Dialog pemuda lintas agama.
Adapun upaya-upaya lainya yang telah dilakukan
Kementerian Agama Aceh dalam mendorong peningkatan
kerukunan umat beragama di Provinsi Aceh, yaitu;
Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif.
Dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan
agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi

~ 201 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pembinaan kerukunan hidup intern dan antarumat


beragama. Menumbuhkan kesadaran terhadap masyarakat
bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan
bermasyarakat. Menumbuhkan pengertian dan pemahamaan
kepada umat non Muslim, bahwa pemberlakuan syariat
Islam di Aceh hanya untuk umat Muslim. Menurut Kakanwil,
untuk menjaga dan memelihara masa depan Kerukunan
Umat Beragama di Provinsi Aceh dibutuhkan; 1) Kerjasama
yang intensif antara tokoh tokoh umat beragama dengan
pemerintah; 2) Kerjasama dan koordinasi yang selaras antara
instansi pemerintah terkait dalam pemberdayaan kerukunan
umat beragama; 3) Kesadaran umat beragama untuk saling
menghargai perbedaan dan toleransi antarumat beragama.
Dalam pertemuan ini disinggung juga tentang penyegelan
17 gereja dan undung-undung di Kabupaten Aceh Singkil.
Peserta pertemuan tersebut menyayangkan penyegelan gereja
dan undung-undung di Aceh Singkil. Seharusnya ini tidak
perlu terjadi, jika dari awal semua pihak bermusyawarah dan
bermufakat tentang msalah ini. Kakanwil Kementerian Agama
Aceh dan forum pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa
permasalahan ini adalah persoalan penertiban rumah ibadat,
dan bukan perselisihan antarumat beragama di Kabupaten
Aceh Singkil. Perlu langkah bijak dengan melibatkan semua
pihak persoalan di Aceh Singkil ini. Peserta pertemuan
tersebut juga meminta dan menghimbau kepada seluruh
umat beragama di Provinsi Aceh untuk tetap menjaga dan
memelihara Kerukunan Hidup Antarumat Beragama, Intern
Umat Beragama dan Kerukunan Umat Beragama dengan
pemerintah.
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh,
memfasilitasi pertemuan stakeholder penguatan Kerukunan
Hidup Umat Beragama di Provinsi Aceh. Pertemuan yang
digagas Kakanwil Kemenag Aceh ini dihadiri unsur Muspida
dan Muspida Plus Aceh, Dinas/Instansi terkait, Badan

~ 202 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kesbangpol dan Linmas Aceh. Biro Isra Setda Aceh, pimpinan


Ormas Keagamaan, Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), Para Kepala Bidang dan Pembimas pada Kanwil
Kemenag Aceh: Pembimas Islam, Hindu, Budha, Katolik dan
Kristen, dan mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Aceh. Kakanwil Kementerian Agama Aceh Drs. H. Daud
Pakeh, menjelaskan bahwa saat ini, secara umum kondisi
Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Provinsi Aceh berjalan
dengan baik dan harmonis. Bahkan, sejarah menjelaskan
sejak zaman dahulu belum pernah terjadi konflik keagamaan
yang serius antar umat beragama di Provinsi Aceh. Umat non
Muslim dapat hidup berdampingan dengan aman dan damai
dengan masyarakat Aceh yang mayoritas. Saat ini masyarakat
Aceh hidup dalam semangat multikultural yang didasari
atas prinsip kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati.
Selama ini tidak pernah dijumpai konflik antar etnik maupun
konflik agama di Aceh.
Kearifan lokal sebagai perekat kerukunan di Gampong
Mulia maupun Gampong Peunayong, ada aturan dalam
Bahasa Adat yaitu Reusam Gampong yang mengatur tatacara
kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan. Dan berlaku
untuk semua gampong, baik itu yang menyangkut Kerukunan
umat beragama, maupun sangsi-sangsi yang melanggar aturan
dalam kehidupan umat beragama. Seperti diungkapkan
Sekretaris Asokubai Saiful Banta, saat para Keuchik dalam
Kecamatan Baiturrahman ini melakukan pertemuan dengan
Pjs Walikota Banda Aceh Drs. T. Saifuddin TA M.Si di Ruang
Rapat Walikota Banda Aceh. Saiful Banta yang juga tercatat
sebagai Keuchik Setui mengatakan persoalan pelanggaran
Syariat Islam di Kota Banda Aceh tidak akan selesai kalau
hanya mengandalkan Aparat Penegak Hukum ataupun
Pemerintah Kota semata. Akan tetapi dalam hal ini perlu
melibatkan masyarakat Gampong dalam mengatasi persoalan
ini. Masyarakat yang lebih mengerti seluk-beluk pelanggaran

~ 203 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

syariat karena kasus ini sering terjadi di Gampong-gampong


seperti pada tempat kos-kosan” jelasnya.
Dalam hal ini sangat diperlukan aturan yang jelas
semacam Reusam Gampong untuk mengatur persoalan sewa-
menyewa rumah kos, ruko, cafe maupun tempat-tempat usaha
lainnya untuk mengatasi persoalan ini. Karena pelanggaran
syariat ini mayoritas terjadi di tempat-tempat seperti itu. “Hal
ini terjadi karena tidak ada pengelola yang mengawasi tempat
tersebut setelah disewakan oleh pemiliknya. Jadi perlu diatur
Reusam yang sedemikian rupa sehingga tidak ada celah atau
peluang bagi para penyewa untuk menjadikan tempat-tempat
tersebut sebagai lokasi berkhalwat” ujarnya yang diamini oleh
Keuchik-Keucik Asokeubai lainnya.
Pembahasan tentang kearifan lokal dalam konteks studi
Islam akan lebih menekankan pada pendekatan sosiologis
dan antropologis yakni dengan melihat Islam sebagai gejala
budaya dan gejala sosial bukan hanya memaknai agama
sebagai dogma dan doktrin. M. Amin Abdullah mengatakan
bahwa agama tidak selalu harus didekati dengan pendekatan
normatif, akan tetapi pendekatan historis menjadi sebuah
keharusan. Pada konteks inilah Islam berkelit kelindang
dengan budaya dan sejarah, sehingga memunculkan mozaik
Islam baru dan bercorak dan berwatak lokal dalam hal ini
Islam dalam warna budaya Aceh. Sejalan dengan itu dalam
konteks hukum, pendekatan budaya (cultur approch) dalam
mewujudkan keamanan dan ketertiban ini sesuai dengan
aliran hukum sociological jurisprudence bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dan hidup di dalam
masyarakat.
Dalam arti pendekatan budaya dengan melibatkan kearifan
lokal dan lembaga adat merupakan langkah yang strategis dan
efektif. Karena dalam masyarakat telah mempunyai sistem
hukum yang hidup yang dikenal dengan hukum adat. Hukum
yang hidup inilah yang kemudian menerima akomodasi dan

~ 204 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

diadaptasi secara sosio-kultural. Akomodasi ini semakin


terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa
sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Jika mengikuti
alur pikir akomodasi tersebut, maka akan memunculkan
setidak-tidaknya dua varian Islam yang disebut dengan
menggunakan berbagai istilah. Misalnya saja great tradition
atau tradisi besar, yang pada hakikatnya mewakili Islam
sebagai konsepsi realitas dan little tradition (tradisi kecil)
atau local tradition (tradisi lokal). Atau dengan kata lain,
“Islam” dan “Islamicate” bidang-bidang yang “Islamik”, yang
dipengaruhi Islam.
Dalam lingkup lebih sempit, doktrin ini tercakup di dalam
konsepsi-konsepsi keimanan dan syariah yang mengatur pola
berpikir dan bertindak setiap Muslim. Tradisi besar ini sering
pula disebut tradisi pusat (center) yang dikontraskan dengan
pinggiran (periferi). Pada pihak lain tradisi kecil (tradisi lokal,
Islamicate) adalah realm of influence–kawasan-kawasan
yang berada dibawah pengaruh Islam atau tradisi besar
tersebut. Karena itu sangat tepat jika menyelesaikan konflik
dengan menggunakan adat lokal karena selama ini sudah
membudaya dalam masyarakat. Oleh karena itu nilai tersebut
telah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi
profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga
pelaksanaannya dapat lebih cepat dan mudah diterima
oleh masyarakat. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi
konflik dapat cepat terwujud dan diterima semua kelompok
sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam
masyarakat.
Ada beberapa faktor yang dapat mengeliminir kecurigaan
dan melanggengkan kerukunan umat beragama:
1. Faktor kepercayaan
Faktor Keimanan. Keimanan yang dimiliki oleh masing-
masing individu berbeda-beda baik dari keagamaan yang
dipeluknya maupun pada tingkat ketaqwaan kepada

~ 205 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan tidak bisa dilihat oleh


mata, tingkat keimanan yang dimiliki kadang-kadang naik
turun, bertambah dan berkurang, demikian pula dengan
ketaqwaannya. Sikap toleransi seseorang bisa diukur
dengan tinggi-rendahnya keimanan seseorang. Seorang
yang imannya kuat lebih siap dan cenderung bersikap
untuk lebih toleran terhadap orang lain. Walaupun
kadang-kadang terjadi pada yang sebaliknya, karena
biasanya akibat tidak tahannya batas-batas agama. Jadi
faktor pendukungnya adalah tertanamnya sikap toleransi
umat beragama di Gampong Mulia dalam segala hal.
Faktor Pengalaman Keagamaan. Pengalaman keagamaan
yaitu dimana setiap pemeluk agama mengalami hal atau
kejadian keagamaan baik itu tentang hal ibadah yang
telah diterapkan agamanya, menyangkut hubungan
manusia dengan sang Khaliq ataupun pengalaman
keagamaan yang bersifat antar sesama. Jadi faktor dari
pengalaman keagamaan tersebut adalah membenarkan
masing-masing kepercayaan baik itu dalam praktek
Ibadah, maupun dalam seremonial keagamaan. Dan
adanya sumbangan yang berupa bantuan untuk orang
miskin dan keperluan lain yang di terapkan di Gampong
Mulia maupun Gampong Peunayong.
2. Faktor sosial
Faktor sosial ini berbentuk akan rasa tanggung jawab yang
tinggi antar warga Gampong Mulia, dan warga Gampong
Peunayong. Mereka berkeyakinan bahwa kerukunan akan
terbentuk jika tiap-tiap warga memiliki rasa tanggung
jawab yang tinggi terhadap agama yang dianutnya. Di
dalam masyarakat yang mempunyai tata peraturan maka
peraturan tersebut harus dilaksanakan untuk mencapai
situasi yang saling menghargai dan menghormati.

~ 206 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

3. Faktor pendidikan
Rendahnya pendidikan akan turut serta menentukan
kualitas kerukunan yang ada pada setiap masyarakat,
demikian pula yang terjadi di Gampong Mulia, dan
Gampong Peunayong. Pendidikan ini bisa diproleh dari
bangku sekolah formal maupun dari pondok pesantren.
Seperti hasil wawancara penulis bahwa ada beberapa
anak umat non-Muslim yang melanjutkan pendidikan
di SD, SMP, SMA Metodis. Sehingga dengan adanya
pendidikan seperti itu kerukunan akan terjalin dan
terbina dengan baik antarumat beragama karena mereka
saling berkomunikasi antar sesama.
4. Faktor kemasyarakatan
Di dalam hal sosial, seperti adanya kegiatan gotong-royong
untuk melakukan kerjabakti (membersihkan gampong)
dengan warga setempat. Wujud dari gotong royong akan
melahirkan sikap kebersamaan kepedulian terhadap
sesama manusia, baik itu Muslim maupun non-Muslim.
Karena dalam menjaga kehidupan lingkungan sehari-hari
tidak memandang perbedaan agama yang dianut oleh
masyarakatnya, sehingga kehidupan sehari-hari terbina
dan damai. Bukan hanya dalam hal gotong royong saja
tetapi dalam hal lain juga, seperti membangun Masjid
umat lainya turut membantu memberi sumbangan.
Begitu juga halnya umat Muslim membantu umat Non-
Muslim seperti halnya membangun rumah tempat tinggal
dan lainnya.
Dengan demikian Gampong adalah wilayah komunitas
penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah
(di bawah mukim) dalam sistem administrasi adat dan
pemerintahan di Aceh. Gampong memiliki batas-batas,
perangkat, simbol adat, hak-hak pemakaian/penggunaan
prasarana, sumber pendapatan, serta tatanan sosial lokal
tetentu. Pemimpin gampong disebut keuchik. Majlis peradilan

~ 207 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

adat gampong dan mukim atau nama lain di Aceh. Dalam


menyelesaikan sengketa /perselisihan berpedoman pada
qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dan Peraturan Gubernur Aceh
No. 25 Tahun 2011, tentang pedoman umum penyelenggaraan
Pemerintahan Gampong. Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan
Ketua Majlis Adat Aceh, beserta seluruh jajarannya (Provinsi,
Kabupaten/Kota), berkewajiban memberikan bimbingan,
pembinaan, pengembangan dan pengawasan materi-materi
hukum adat. Dan administrasi Peradilan Adat, sesuai dengan
tatanan dan asas-asas Hukum Adat/Adat Istiadat yang
berlaku pada lingkungan masyarakat setempat. Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membantu
pembiayaan administrasi untuk penyelenggaraan Peradilan
Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh sesuai
kemampuan daerah.
Kerukunan umat beragama dalam konteks pelaksanaan
Syariat Islam di Banda Aceh, telah berjalan dengan cukup
baik, dan memuaskan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya
konflik yang berarti termasuk catatan kekerasan atas nama
agama. Kerukunan antarumat beragama di Banda Aceh
sangat didukung oleh karakter masyarakat Aceh yang terbuka
dan kosmopolit, serta menghargai hak-hak kelompok Non
Muslim yang telah diwariskan dari pendahulunya. Sehingga
masyarakat dan tokoh-tokoh Islam tidak mudah tersulut
untuk mengedepankan reaksi kekerasan dalam menyikapi isu-
isu yang berpotensi kepada konflik lintas agama seperti yang
telah terjadi selama ini. Kondisi tersebut berpotensi untuk
dijadikan model alternatif kerukunan antarumat beragama di
wilayah lain di Indonesia.
Beberapa isu berpotensi memunculkan konflik berupa
disharmoni antarumat beragama di Banda Aceh jika isu
tersebut tidak dikelola dengan baik. Seperti aturan pendirian
rumah ibadah, akses Pendidikan Agama di Lembaga
Pendidikan Formal dan kesediaan tenaga pengajar agama

~ 208 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

yang seiman, egosentris dan fanatisme agama melalui misi


tertentu. Judgment tentang konsep pakaian Islami versus tidak
Islami, peranan media yang dominan dengan pemberitaan
pelanggaran Qanun dan kehadiran aliran sesat. Implementasi
Syariat Islam tidak menjadi ancaman bagi kelompok umat Non
Muslim karena syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islm
Saja. Sedangkan bagi mereka berkewajiban menghormati dan
memberikan ruang yang cukup, sehingga umat Islam dapat
melaksanakan syariatnya. Hal ini menunjukan sikap toleransi
yang begitu kuat antar pemeluk agama.
Syariat Islam sebagai sebuah produk tentu dalam
prakteknya memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan
terletak pada adanya aturan hukum formil. Sedangkan
kelemahanya adalah belum timbulnya kesadaran yang
mendalam bagi masyarakat awam akan makna dan arti
pentingnya syariat bagi Kehidupan mereka. Penerapan
Syariat Islam tidak bertentangan dengan konsep kerukunan
umat beragama yang dirintis pemerintah pusat. Dalam
kaitan ini Kota Banda Aceh dapat menjadi miniatur tentang
bagaimana kerukunan antar pemeluk agama, kedamaian,
dan keharmonisan tanpa adanya diskriminasi bagi kaum
minoritas.

Daftar Pustaka
Al-Yasa, Abu Bakar, 2005 “Syariat Islam di Provinsi NAD,
Paradigma, Kebijakan”, (Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Provinsi NAD).
Arifin, Hasnul Melayu, 2004 “Eksistensi Wilayat al-Hisbah
dalam Islam”dalam Soraya Devy, dkk, Politik dan
Pencerahan Peradaban, Ar-Raniry Pres Banda Aceh.
Atika Diah, 2006 “Wilayatul Hisbah Sebuah bentuk
Kebijakan Politik Hukum Pemerintahan Aceh”, Jurnal
Malik Ibrahim.

~ 209 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Amalia, Rizky 2016 “Upaya Wilayatul Hisbah Kota Banda


Aceh Dalam Meningkatkan Kesadaran Ayatrohaedi, 1986
“ Keperibadian Budaya Bangsa” Pustaka Pelajar
Yogyakarta.
AP. Budiyono 1983 “Membina Kerukunan Hidup Antarumat
Beriman” Kanisius Yogyakarta).
Bersyariat Islam Bagi Remaja Di Kota Banda Aceh” (Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah
Volume 1, Nomor 1: 61-71 Agustus 2016).
Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009 “Himpunan Undang-
Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/
Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan
Pelaksanaan Syari‘at Islam”.
Edisi ke Tujuh, Banda Aceh: LITBANG dan Program Dinas
Syari‘at Islam Aceh.
Juhari, 2004 “Peran Wilayatul Hisbah dalam menegakkan
Dakwah Struktural” di Kota Banda Aceh”
Fred Wibowo, 2007 “Kebudayaan Menggugat: Menuntut
Perubahan Atas Sikap, Perilaku, Serta Sistem Yang Tidak
Berkebudayaan” Pinus Book Publisher Yogyakarta.
Geertz, Clifford, 1992, “Kebudayaan dan Agama”, Kanisius,
Yogyakarta.
H.M. Ridwan Lubis 2017 “ Agama dan Perdamaian “:
Landasan , Tujuan, dan Realitas Kehidupan Beragama
di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta.
Halim, dkk 2011 “Eksistensi Wilayatul Hisbah dalam
Pemerintahan Islam”, (Jurnal Ar-Raniry.ac. id. Banda
Aceh.
Imam Muhsin 2010 “ Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal”:
Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda Karya
Bakri Syahid, diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1980, “Pokok-Pokok Antropologi Sosial”
Penerbitan Universitas, Jakarta.

~ 210 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kontjaraningrat dan Antropologi di Indonesia Jakarta


2003 “Asosiasi Antropologi Indonesia” , Yayasan Obor
Indonesia , Miert, Hans van. 2003.
K.H. Ma’ruf Amin 2011 “ Harmoni dalam Keberagaman”:
Dinamika Relasi Agama-Negara.
Penerbit: Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan
Antar Agama, Jakarta.
Keputusan Gubernur NAD No 01 tahun 2004 tentang
kewenangan pembentukan Organisasi Wilayatul Hisbah.
Misra A. Muchsin, et al, 2008 “ Buku panduan pelaksanaan
Syariat Islam Bagi Birokrat, cet, Ke-2 Banda Aceh: Dinas
Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam.
Muslim Zainuddin, dkk, “Agama dan Perubahan Sosial
Dalam Era Reformasi di Aceh”, Ar-Raniry Press, Banda
Aceh.
Maulana Wahiduddin Khan, 2010 “The Ideology of Peace”:
Goodword Books New Delhi.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan (Tim Peneliti), 2009 “
Studi Sosiologi /Antropologi hubungan antar Kelompok
Pasca Konflik di beberapa Daerah”, diterbitkan oleh
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 139 Tahun 2016 tentang
kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata
kerja SAT POL PP dan Wilayatul Hisbah Aceh.
Seminar Dinas syariat Islam, 2003 “Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam” (Nanggroe Aceh Darussalam.
Oeyz, Iwan 2009“Hubungan Agama dan Budaya”.Http://
ukpkstain.multiply.com/journal/item/49. Diakses
tanggal 1 Desember 2009.
Soerjanto Poespowardoyo, 1986, “Pengertian Local Genius
dan Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian
Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya, Jakarta.
Thomas F.o’dea, 1985 “Sosiologi Agama Suatu Pengenalan
Awal”, CV. Rajawali Press Jakarta. http://id.wikipedia.
org/wiki/Budaya.

~ 211 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Informasi Humas 14-08-2019 11:22. https://aceh.tribunnews.


com/2019/08/15/cegah-radikalisme-kemenag-aceh-
bina-aktor-kerukunan-umat-beragama. (Penulis:
Masrizal Bin Zairi Editor: Yusmadi (aceh.kemenag.
go.id/Informasi Humas).
https://aceh.tribunnews.com/2017/12/28/berkunjunglah-
ke-gampong-mulia-banda-aceh-belajar-Kerukunan-
beragama, Penulis: Muhammad Nasir, Editor: Yusmadi.

Lampiran-lampiran (Rumah Ibadah di Gampong Mulia dan


Peunayong)

Masjid Al-Mukarramah Gampong Mulia

Masjid Al-Anshar di Gampong Mulia

~ 212 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Masjid Babu Zam-zam di Gampong Peunayong

Gereja Metodits Gampong Mulia

Gereja Katolik Paroki Hati Kudus di Gampong Peunayong

GPIB di Gampong Mulia

~ 213 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Vihara Budha Sakyamuni di Gampong Mulia

Gereja HKBP di Gampong Mulia

~ 214 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

BAGIAN LIMA

~ 215 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 216 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Toleransi dan Kerjasama Umat Bearagama


pada Masyarakat Sipirok, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara
--------------------------- Rudy Harisyah Alam ---------------------------

Pendahuluan
Pada 2018 Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
(Balai Litbang Agama) Jakarta melakukan penelitian tentang
Toleransi Umat Beragama pada Masyarakat Heterogen di
sejumlah desa di wilayah Provinsi Jawa Barat. Penelitian itu
bertujuan mengkaji faktor-faktor utama yang berperan dalam
memelihara kerukunan umat beragama di suatu daerah.
Penelitian dilakukan di 6 desa/kelurahan, meliputi Kampung
Sawah Pondok Gede Kota Bekasi, Desa Kertajaya Kecamatan
Pebayuran Kabupaten Bekasi, Kelurahan Karangmekar
Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi, Desa Pabuaran
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor, Kampung
Panggulan Desa Pengasinan Kecamatan Sawangan Kota
Depok, dan Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten
Kuningan. Seluruh lokasi yang dipilih merupakan kampung
atau desa yang damai kendati majemuk dari segi pemeluk
agama dan rumah ibadat.
Salah satu temuan penting penelitian tersebut adalah
kerukunan yang terwujud di desa/kelurahan yang menjadi
lokasi penelitian itu umumnya terjadi karena peran modal
sosial atau ikatan antarwarga yang tumbuh melalui proses
panjang sejarah. Di sebagian daerah, seperti Desa Kertajaya
Kecamatan Pebayuran dan Desa Pabuaran Kecamatan
Gunung Sindur, modal sosial itu bertumpu pada jalinan

~ 217 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kekerabatan yang tercipta dalam proses perbauran yang telah


berjalan beberapa generasi (Alam 2018). Temuan penting
dari semua lokasi penelitian adalah minimnya inisiatif atau
prorgam-program pemeliharaan kerukunan yang diinisiasi
pemerintah maupun lembaga-lembaga nonpemerintah.
Prorgam-program kerukunan yang diinisiasi pemerintah
umumnya hanya berlangsung pada level kabupaten/kota
atau paling jauh pada level kecamatan (Rabitha dkk. 2018).
Penelitian ini kemudian menjadi landasan bagi kegiatan
pengembangan desa model kerukunan yang dilaksanakan
Balai Litbang Agama Jakarta di Desa Pabuaran Kecamatan
Gunung Sindur Jawa Barat.
Pada 2019 Balai Litbang Agama Jakarta kembali
melaksanakan kegiatan penelitian tentang toleransi umat
beragama. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari lebih
lanjut faktor-faktor penopang atau perekat kerukunan umat
beragama, dengan memperluas wilayah penelitian ke berbagai
konteks masyarakat yang berbeda, dalam hal ini wilayah
Pulau Sumatera. Penelitian difokuskan untuk mengkaji
tradisi kerukunan umat beragama dan peran modal sosial
sebagai penopang kerukunan tersebut. Penelitian dilakukan
di wilayah Sumatera, mencakup Provinsi Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung.
Laporan ini menyajikan hasil penelitian di Kecamatan
Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera
Utara. Sipirok selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah
yang dengan tradisi kerukunan umat beragama yang baik,
khususnya Islam dan Kristen, sebagai dua tradisi keagamaan
yang banyak dianut oleh penduduk di wilayah tersebut. Meski
demikian, studi-studi akademis yang mengkaji bagaimana
tradisi kerukunan umat beragama di Sipirok itu terbentuk,
bagaimana dinamika kerukunan itu terjadi, bagaimana tradisi
kerukunan itu berinteraksi dengan perkembangan sosial-
politik, serta bagaimana tradisi itu dipelihara, masih sangat

~ 218 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

terbatas. Sepanjang pengetahuan peneliti, salah seorang


sarjana yang paling produktif menulis tentang Sipirok
adalah Susan Rodgers, antropolog asal Amerika Serikat yang
melakukan penelitian lapangan untuk penulisan disertasinya
di Sipirok pada 1973-1977. Namun, fokus kajian dan tulisan
Rodgers terutama adalah tentang adat masyarakat Sipirok,
yaitu adat Batak Angkola (lihat antara lain Siregar 1979,
1981; Rodgers 1984, 1985, 1986, 1991, 2012), bukan tentang
kerukunan umat beragama.
Penelitian ini bermaksud memberi kontribusi bagi
studi akademis tentang masyarakat Sipirok dari sudut
relasi kerukunan antarumat beragama. Pertanyaan pokok
penelitian ini adalah: (1) faktor utama apa yang membentuk
tradisi kerukunan umat beragama di Sipirok? dan (2)
bagaimana tradisi kerukunan umat beragama itu dilestarikan?
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan
bagi perumusan kebijakan terkait pengembangan strategi
pemeliharaan kerukunan umat beragama di masa datang.

Kerangka Konseptual
Sebagian sarjana berpandangan bahwa konflik dan
kekerasan antarkomunitas etnis tidak dapat dipahami
secara memadai jika kita tidak mengkaji bagaimana
komunitas yang berbeda dapat memelihara kedamaian dan
mempertahankan kerja sama di antara mereka (Fearon dan
Laitin 1996; Varshney 2002). Di antara para sarjana yang
memberi penekanan pada peran penting ikatan antarwarga
bagi kehidupan sosial dan politik adalah Robert Putnam dan
Ashutosh Varshney. Sementara Putnam menekankan peran
penting ikatan warga bagi partisipasi warga dalam politik dan
bekerjanya demokrasi, Varshney menyoroti peran penting
ikatan warga dalam memelihara kedamaian etnis.
Dalam bukunya Making Democracy Work (1993), Putnam
merumuskan konsep ikatan kewargaan dengan menggunakan

~ 219 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

konsep “modal sosial” (social capital). Ia memaknai modal


sosial sebagai “aspek-aspek organisisasi sosial, seperti sikap
percaya, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan
efisiensi masyarakat dengan cara memfasilitasi tindakan yang
terkoordinasi.” Sementara dalam karya berikutnya, Bowling
Alone (2000), Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai
“kaitan di antara individu-individu”, yaitu “jejaring sosial
serta norma timbal-balik (reciprocity) dan kualitas dapat
dipercaya (trustworthiness) yang lahir dari jejaring sosial
tersebut” (Putnam 2000, 16).
Di dalam karyanya yang belakangan itu pula Putnam
memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai dua dimensi
terpenting dari modal sosial, yaitu bridging atau inclusive
dan bonding atau exclusive. Sebagian modal sosial, menurut
Putnam, baik karena keniscayaan atau pilihan, berorientasi
ke dalam dan cenderung memperkuat identitas-identitas
eksklusif dan kelompok-kelompok yang homogen. Inilah
yang disebutnya sebagai modal sosial yang bersifat bonding
(exclusive). Sementara itu, sebagian modal sosial berorientasi
ke luar dan mencakup orang dari kelompokkelompok sosial
yang berbeda, yang disebutnya sebagai modal sosial yang
bersifat bridging (inclusive) (Putnam 2000, 20).
Seperti Putnam, Varshney juga menyoroti pentingnya
ikatan kewargaan. Namun, Varshney memfokuskan
peran penting ikatan kewargaan, khususnya yang bersifat
interkomunal, bagi terwujudnya kedamaian antaretnis (ethnic
peace).1 Ikatan kewargaan interkoumnal yang ditekankan
1
Meski pada mulanya pengertian ‘etnis’ atau ‘etnisitas’ hanya terbatas
pada bahasa dan ras, namun dalam perkembangan selanjutnya para sarjana
pengkaji konflik cenderung menggunakan istilah ‘etnis’ atau ‘etnisitas’
dalam pengertian yang lebih luas, yaitu seluruh identitas kelompok yang
bersifat askriptif, meliputi bahasa, ras, agama, suku dan kasta. Dengan
demikian konflik antarumat beragama (religious conflict) dan konflik
intraumat beragama (sectarian conflict) berada di bawah payung kajian
tentang konflik etnis. Lihat Ashutosh Varshney, Ethnic Conflict and Civic
Life: Hindus and Muslims in India (New Haven & London: Yale University
Press, 2002), 4-5.

~ 220 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Varshney serupa dengan modal sosial yang bersifat bridging


dalam rumusan Putnam. Ikatan kewargaan itu, dalam
pandangan Varshney, terbentuk dalam ”ruang kehidupan
antara negara dan keluarga, yang relatif independen dari
negara dan memungkinkan orang untuk bersama-sama
melakukan berbagai aktivitas publik” (Varshney 2002, 4).
Varshney selanjutnya membagi ikatan kewargaan ke
dalam 2 jenis, yaitu ikatan dalam kehidupan keseharian
(quotidian engagement) dan ikatan berbentuk asosiasi
(associational engagement). Contoh dari bentuk yang pertama
adalah interaksi kehidupan yang sederhana dan rutin, seperti
saling kunjung antara komunitas etnis yang berbeda, kegiatan
makan bersama, kegiatan berpartisipasi bersama dalam
acara-acara perayaan, serta tindakan mengizinkan anak-anak
dari komunitas etnis yang berbeda untuk bermain bersama
di lingkungan. Adapun contoh dari ikatan kewargaan yang
berbentuk asosiasional antara lain adalah asosiasi bisnis,
organisasi profesi, klub pembaca, klub penggemar film, klub
olahraga, organisasi perayaan, serikat buruh, dan partai politik
berbasis kader. Apabila kuat, kedua bentuk interaksi itu dapat
mendorong terwujudnya kedamaian. Sebaliknya, jika kedua
bentuk interaksi kewargaan itu tidak ada atau lemah, hal itu
dapat membuka ruang bagi munculnya kekerasan komunal.
Di antara kedua bentuk interaksi itu, menurut Varshney,
interaksi asosiasional terbukti lebih kuat daripada interaksi
keseharian, khususnya ketika masyarakat dihadapkan dengan
upaya para politisi untuk memolarisasi komunitas-komunitas
etnis. Kehidupan asosiasional yang kokoh, jika bersifat
interkomunal, dapat menghalangi strategi polarisasi dari elite
politik (Varshney 2002, 50).
Penelitian ini menggunakan konsep ikatan kewargaan,
sebagaimana yang dikembangkan Varshney, untuk
menjelaskan fenomena kerukunan Muslim-Kristen di
Sipirok. Namun, seperti yang akan ditunjukkan, ada aspek

~ 221 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

lain dari ikatan kewargaaan yang tidak dijelaskan Varshney,


namun berperan penting bagi pemeliharaan kerukunan umat
beragama, yaitu peran penting ikatan kekerabatan. Hal ini
dapat dijumpai bukan saja di Sipirok, tetapi di daerah-daerah
lain di Indonesia, seperti Pabuaran, Kabupaten Bekasi, dan
Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografis dan
sejarah. Penelitian lapangan dilaksanakan dua tahap: 29 Juli
- 2 Agustus 2019 dan 3-17 September 2019. Metode penelitian
melibatkan teknik observasi, wawancara dan studi dokumen.
Lokasi penelitian difokuskan di wilayah Kecamatan Sipirok
Kabupaten Tapanuli Selatan. Beberapa kelurahan yang
dikunjungi di Kecamatan Sipirok meliputi Kelurahan Parau
Sorat, Kelurahan Siala Gundi, Kelurahan Bunga Bondar,
Kelurahan Sipirok Godang, Kelurahan Pasar Sipirok dan
Kelurahan Hutasuhut. Selain Kecamatan Sipirok, peneliti juga
mengunjungi sejumlah lokasi di wilayah Kecamatan Angkola
Selatan, antara lain, Kelurahan Simar Pinggan, Kelurahan
Tapian Nauli, Desa Siopat-Opat dan Desa Sikuik-Huik.
Informan dari unsur pemerintah yang diwawancarai
mencakup, antara lain, Bupati Tapanuli Selatan, Sekretaris
Daerah dan Kepala Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten
Tapanuli Selatan; Kepala Kantor, Kepala Seksi Bimas Islam,
Kepala Seksi Bimas Kristen, dan Penyelenggara Katolik
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan;
Kepala KUA Kecamatan Sipirok; Sekretaris Camat Sipirok,
Lurah Parau Sorat, dan Lurah Bunga Bondar Kecamatan
Sipirok. Sementara itu, beberapa narasumber dari kalangan
pemerintah yang berhasil diwawancarai di Angkola Selatan
adalah Camat Angkola Selatan, Kepala KUA Kecamatan
Angkola Selatan, Lurah Simar Pinggan, dan Sekretaris Lurah
Tapian Nauli.

~ 222 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Adapun informan dari unsur tokoh agama dan tokoh


masyarakat yang diwawancarai meliputi, antara lain, Ketua
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten
Tapanuli Selatan, Ephorus Gereja Kristen Protestan Angkola
(GKPA) periode 2016-2012, pengurus GKPA Ressort Sipirok,
Vorhanger GKPA Parau Sorat, Pendeta Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Ressort Sipirok, Pastur Gereja
Katolik Paroki Padang Sidimpuan, pengurus Gereja
Katolik Stasi Sipirok, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kecamatan Sipirok, pengurus Badan Kontak Majelis Taklim
(BKMT) Kecamatan Sipiroik, Ketua Muslimat NU Kecamatan
Sipirok, Ketua
Pengurus Cabang dan tokoh Muhamadiyah Kecamatan
Sipirok, dan Ketua Al-Washliyah Kecamatan Sipirok.
Informan lainnya adalah sejumlah tokoh adat dan tokoh
masyarakat di Kelurahan Parau Sorat, Kelurahan Siala Gundi,
Kelurahan Bunga Bondar, Kelurahan Sipirok Godang, yang
seluruhnya berada di wilayah Kecamatan Sipirok. Sementara
itu, tokoh masyarakat yang dijumpai di Kecamatan Anggola
Selatan berada di Kelurahan Simar Pinggan dan Kelurahan
Siopat-opat, pengurus GKPA Tapian Nauli dan pengurus
HKBP Aek Baringin Simar Pinggan.

Profil Geografis dan Demografis Sipirok


Sipirok, yang menjadi lokasi peelitian ini, adalah salah
satu dari 14 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Terletak di lembah Gunung Sibualbuali,
Kecamatan Sipirok memiliki wilayah seluas 40.936,52 hektar
atau sekitar 9,40 persen dari luas total wilayah Kabupaten
Tapanuli Selatan. Dengan luas wilayah tersebut, Sipirok
merupakan kecamatan ketiga terluas di Kabupaten Tapanuli
Selatan, setelah Kecamatan Saipar Dolok Hole dan Kecamtan
Angkola Selatan. Di sebelah utara, Sipirok berbatasan dengan

~ 223 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kecamatan Arse Kabupaten Tapanuli Utara, sementara di


timur berbatasan dengan Kabupaten Padang.
Lawas Utara. Selain itu, Sipirok berbatasan dengan
kecamatan-kecamatan lainnya di Tapanuli Selatan, yaitu
dengan Angkola Timur dan Marancar di sebelah selatan dan
Batang Toru di sebelah barat.

Secara administrasi pemerintahan, Sipirok terbagi ke


dalam 6 kelurahan dan 34 desa. Sejak 2007 Kecamatan
Sipirok menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan,
menggantikan Padang Sidimpuan, yang sejak 2001 ditetapkan
sebagai Kotamadya melalui UU No. 4 Tahun 2001. Penetapan
Kecamatan Sipirok sebagai ibukota baru Kabupaten Tapanuli
Selatan dituangkan dalam UU No. 37 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara dan UU No. 38
Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Lawas. Seperti
Padang Sidimpuan, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara
merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli
Selatan. Areal persawahan dan perkebunan mendominasi
pemandangan Kecamatan Sipirok yang terletak di lembah
Gunung Sibualbuali (Pegunungan Bukit Barisan).
Gunung yang masih aktif itu menyebabkan tanah kawasan
sekitarnya subur, selain menyediakan sumber air yang

~ 224 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mengalir hingga ke persawahan. Di beberapa lokasi terdapat


sumber air panas belerang, yang sebagiannya dijadikan
tempat pemandian. Pertanian dan perkebunan mendominasi
sumber mata pencarian warga yang tinggal di Kecamatan
Sipirok.
Berdasarkan statistik Kecamatan Sipirok dalam Angka
Tahun 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Tapanuli Selatan, jumlah penduduk Kecamatan Sipirok pada
2017 sebanyak 31.342 jiwa, terdiri atas 15.522 (49,52%) laki-
laki dan 15.820 (50,48%) perempuan. Jumlah penduduk
Sipirok tersebut sekitar 11,25% dari jumlah total penduduk
Kabupaten Tapanuli Selatan, dan merupakan kecamatan
dengan penduduk terbanyak ketiga di antara 14 kecamatan
di Kabupaten Tapanuli Selatan. Statistik Kecamatan Sipirok
dalam Angka Tahun 2018 tidak mencantumkan data tentang
komposisi penduduk dari segi agama. Terkait agama, data
yang tersedia hanyalah data tentang jumlah rumah ibadat,
yang pada 2017 tercatat ada 89 masjid, 81 musalla, dan 18
gereja. Tidak tercatat adanya vihara, pura atau klenteng.
Sementara itu, berdasarkan data pemeluk agama yang
dicatat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sipirok,
jumlah penduduk Sipirok pada 2018 sebanyak 33.250 jiwa.
Jumlah pemeluk Islam sebanyak 30.495 jiwa (91,71%), Kristen
2.678 jiwa (8,05%), Katolik 72 jiwa (0,22%), dan Buddha 5
orang (0,02%). Sementara itu, jumlah rumah ibadat adalah
sebagai berikut: masjid 82 buah, musalla 35 buah, dan gereja
17 buah (GKPA 10, HKBP 5, Advent 1, dan Katolik 1) (sumber:
KUA Kecamatan Sipirok; diperoleh 30 Juli 2019).

Awal Terbentuknya Masyakarat di Sipirok


Untuk mengkaji bagaimana tradisi kerukunan antarumat
beragama terbentuk di Sipirok, pertama-tama perlu ditelusuri
bagaimana pada awalnya komunitas agama, terutama
Islam dan Kristen, bertemu dan selanjutnya relasi di antara

~ 225 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

komunitas itu terbentuk di Sipirok. Pada tahap awal, peneliti


mengunjungi empat kelurahan di Kecamatan Sipirok, yaitu
Parau Sorat, Siala Gundi (yang merupakan pemekaran dari
Parau Sorat), Bunga Bondar, dan Sipirok Godang.
Parau Sorat, Baringin dan Sipirok adalah tempat awal
berkembangnya tiga kerajaan lokal yang disebut Harajaon
Natolu (kerajaan yang tiga). Ketiga kerajaan itu berperan
sebagai pemegang kekuasaan atas adat dan penyelenggara
pemerintahan atas semua kampung-kampung yang sudah
berkembang sebelumnya di kawasan Sipirok dan kemudian
di kawasan Saipar Dolok Hole (Lubis dan Lubis 1988, 16).

Pemandangan Gunung Sibual- Alun-alun Kecamatan Sipirok, 29


buali, Sipirok Juli 2019

Berdirinya Harajaon Natolu di Sipirok bermula dari


pindahnya Ompu Palti Raja beserta keluarganya dari Sibatang
Kayu di kawasan Saipar Dolok Hole. Mereka meninggalkan
Sibatang Kayu menuju suatu tempat di lembah gunung
Sibual-buali di kawasan Sipirok. Di sana mereka membuka
tempat pemukiman yang disebut Rante Omas, yang terletak di
tepi sungai Aek Saguti. Untuk memperluas daerahnya, Ompu
Palti Raja pergi mencari tempat baru dengan menyusuri Aek
Saguti ke arah hulu, hingga sampai ke suatu tempat yang
kemudian diberi nama Parau Sorat.2 Selanjutnya Ompu Palti
2
Sebuah keterangan menyebutkan bahwa Parau berasal dari kata
“Pahu” alias Pakis. Sorat berarti penuh, banyak. Mulanya daerah ini
dipenuhi oleh tanaman pakis, dan karena itu disebut Parau Sorat. Adapun
nama Sipirok berasal dari kata Pirdot, sebuah jenis kayu yang banyak
tumbuh di daerah ini (wawancara dengan Nehemia, Vorhanger GKPA Parau
Sorat, 29 Juli 2019). Pirdot (Saurauia bracteosa DC.) merupakan salah
satu jenis tanaman endemik yang tumbuh diberbagai tempat di indonesia.
Di Sumatera Utara Pirdot banyak ditemukan di Kabupaten Simalungun

~ 226 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Raja juga mencari tempat lain untuk membuat pemukiman


baru. Ia menyusuri sungai bernama Aek Mandurana ke
arah hulu, hingga sampai ke suatu tempat yang baik untuk
dibangun pemukiman, yang kemudian dinamakan Baringin.3
Kemudian Ompu Palti Raja kembali mencari tempat lain
untuk membangun pemukiman. Ia melakukannya dengan
cara menyusuri sungai Aek Lampesong ke arah hulu. Setelah
menemukan lokasi yang dipandang tepat untuk membangun
pemukiman, ia membangun perkampungan yang disebut
Sipirok.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ompu Palti Raja
menempatkan putranya untuk memimpin masing-masing
perkampungan tersebut. Di Parau Sorat ia menempatkan
putranya yang bernama Sayur Matua, sedangkan di Baringin
ia menempatkan putranya yang bernama Sutan Parlindungan.
Sementara itu, putranya yang bernama Ompu ni Hatunggal
diberi kedudukan di Sipirok. Demikianlah kemudian ketiga
kerjaan ini berkembang dan dikenal masyarakat sebagai
Harajoan Natolu (Lubis dan Lubis 1988, 17).4
Sebelum datangnya agama, masyarakat Tapanuli secara
umum, termasuk di Sipirok menganut kepercayaan nenek-
moyang yang dikenal sebagai pelebegu atau parbegu dalam
istilah masyarakat Sipirok. Kehadiran agama di Tanah Batak

hingga ke Tapanuli Selatan. Saurauia bracteosa DC. dikenal juga dengan


nama Pirdot (bahasa batak), Ki leho (bahasa Sunda), Lotrok (bahasa Jawa),
Soyogik (bahasa Manado). Pemanfaatan Pirdot telah banyak dilakukan
antara lain sebagai anti oksidan, menurunkan kadar gula darah, mencegah
darah tinggi, dan menurunkan kadar kolestrol dalam darah. (Lihat Selamat
Lumbantobing, “Pirdot (Saurauia bracteosa DC.),” http://aeknauli.org/
pirdot-saurauia-bracteosa-dc/; diakses 31 Juli 2019.)
3
Baringin adalah bahasa Batak untuk menyebut pohon beringin.
Kemungkinan besar lokasi itu dinamakan demikian karena pada masa itu
banyak tumbuh pohon beringin di daerah tersebut.
4
Penjelasan serupa diperoleh peneliti dari raja-raja adat yang
merupakan keturunan dan pewaris dari masing-masing harajaon tersebut.
Wawancara dengan Nehemia dan Sabar, 29 Juli 2019; Mangaraja Tenggar
Siregar, 30 Juli 2019; Mangaraja Endar, 30 Juli 2019; Sutan Parlindungan
Suangkupon, 1 Agustus 2019).

~ 227 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

diperkirakan berlangsung pada 1800-an, di mana Islam lebih


awal masuk beberapa waktu sebelum datangnya Kristen.

Perjumpaan Islam dan Kristen


Penyebaran Islam ke wilayah Tapanuli Selatan
diperkirakan dari dua jalur. Pertama, dari wilayah pantai
barat Sumatera, yaitu daerah Natal, yang terletak di antara
Barus, Sibolga, dan Padang, Sumatera Barat. Kedua, dari Aceh
dan Sumatera Timur, melalui bagian timur Padang Lawas,
Tapanuli Selatan (Pulungan 2008, 93).
Dalam sebuah catatan mengenai kontrak perjanjian
antara pihak Belanda dan Raja Natal pada 30 Nopember 1755,
tersebut beberapa kalimat yang digunakan Raja Natal Sultan
Bagindo Martia Lelo “bersumpah berdasarkan al-Quran.” Dari
bunyi sumpah itu dapat disimpulkan bahwa sejak abad ke-18
di daerah Natal telah berlaku hukum Islam dalam kehidupan
masyarakat (Stapel 1955, dikutip dalam Pulungan 2008, 93).
Penjelasan lain yang populer tentang masuknya Islam ke
wilayah Tapanuli Selatan adalah penyebaran Islam oleh kaum
Paderi pada masa Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai dari
Minangkabau ke wilayah Mandailing dan Tapanuli Selatan
(Parlindungan 1965). Oleh sebab itu, masyarakat Sipirok pada
mulanya menyebut agama Islam yang mereka anut sebagai
Silom Bonjo (Islam Bonjol) (Lubis dan Lubis 1988, 31).
Menurut salah satu keterangan, penyerbuan laskar
Paderi dari Sumatra Barat ke Sipirok terjadi sekitar tahun
1816. Sebelum masuk ke Sipirok, mereka sudah menaklukkan
seluruh daerah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas.
Penyerbuan laskar Paderi itu dipimpin oleh Tuanku Rao.
Dalam waktu singkat, laskar Paderi berhasil mengislamkan
masyarakat Sipirok, yang sebelumnya menganut kepercayaan
Pelebegu atau Parbegu dalam bahasa Sipirok (Parlindungan
1965, 172, 177, dikutip dalam Lubis dan Lubis 1988, 31-32).

~ 228 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Setelah lima tahun laskar Paderi mengembangkan Islam


di Sipirok dan di tempat-tempat lain di Tapanuli Selatan,
kegiatan pengembangan Islam mengalami kemunduran
karena laskar Paderi harus ditarik kembali ke daerah Sumatra
Barat untuk berperang melawan Belanda. Pada 1821-1825
laskar Paderi berhadapan dengan koalisi kaum adat dan
Belanda. Pada 1825-1830 sempat terjadi gencatan senjata
yang dikenal sebagai Perjanjian Manasang. Pada 1830-1837
laskar Paderi, yang kali ini berkoalisi dengan kaum adat,
kembali terlibat peperangan melawan Belanda.
Meski penyebaran Islam yang cukup intensif terjadi
pada saat ekspansi kaum Paderi yang berpaham keislaman
Wahabi, namun corak keislaman yang berkembang hingga
dewasa ini di kalangan masyarakat Sipirok umumnya
bercorak Syafi’iyah atau yang dikenal masyarakat setempat
sebagai aliran Islamiyah. Berbeda dari paham keislaman
yang bercorak puritanisme, Islamiyah lebih ‘ramah’ terhadap
adat dan tarekat. Di berbagai lokasi di Sipirok masih dapat
dijumpai beberapa lokasi yang dahulu pernah menjadi
tempat pengajaran Islam bercorak tarekat, yang dikenal
sebagai tempat persulukan.5 Beberapa di antaranya tempat
persulukan Tuan Syaikh Muhammad Syukur Al-Khalidi
Naqsabandiyah [sic] marga Siregar di Kampung Labuo Desa
Parau Sorat (observasi peneliti, 5 September 2019)6 dan
5
Selain di Sipirok, peneliti juga mengunjungi tempat persulukan
di Kampung Lalang Desa Perkebunan Marpinggan Kecamatan Angkola
Selatan (observasi, 11 September 2019). Demikian pula, ketika berkunjung
ke Pondok Pesantren Al-Abror di Desa Sihuik-kuik Kecamatan Angkola
Selatan, pimpinan pondok KH Sulaiman mengemukakan bahwa tempat
saat ini pondok pesantren Al-Abror berdiri dahulu merupakan tempat
persulukan yang dibangun seorang guru tarekat dari Aek Libung
(wawancara, 11 September 2019). Kemungkinan yang dimaksud adalah
Syaikh Syahbuddin Aek Libung (1892-1967). Aek Libung adalah salah satu
desa di Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan. Jarak
antara Desa Aek Libung dan Desa Sihuik-kuik sekitar 30 kilometer.
6
Peneliti mengunjungi bekas tempat persulukan Tuan Syaikh
Muhammad Syukur bersama salah seorang keturunannya, Oktaryna,
yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Sosial,

~ 229 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Tuan Syaikh Abdul Qadir Al-Khalidi Al-Naqsyabandi marga


Pakpahan di Desa Sampean, yang wafat pada 7 Januari 1924
(observasi peneliti, 12 September 2019).

Tempat pesulukan dan makam Syaikh Syukur, Kampung Labuo,


Kelurahan Parau Sorat, 5 September 2019 (dok. peneliti)

Ada beberapa hal, yang menurut Pulungan dapat


menjelaskan fenomena berkembangnya corak keislaman
Syafiiyah atau Islamiyyah di kalangan masyarakat Sipirok.
Pertama, Islam yang dibawa kaum Paderi tidak menyentuh
pada esensi ajaran Islam itu sendiri karena yang penting
bagi kaum Paderi adalah pengakuan takluk dari raja-raja

Budaya dan Organisasi Masyarakat Badan Kesbangpol Pemkab Tapsel.


Berdasarkan catatan silsilah yang diperoleh, Oktaryna adalah anak dari
Muhammad Arsyad bin Muchtar bin Haji Rasyid bin Syaikh Muhammad
Syukur. Belum diketahui periode masa hidup Syaikh Muhammad
Syukur. Namun, mengingat gelarnya sebagai Al-Khalidi Al-Nasqyabandi,
kemungkinan ia hidup sezaman dengan Syaikh Abdul Qadir yang memiliki
tempat persulukan di Desa Sampean, yaitu pada akhir abad ke-19 hingga
awal abad ke-20. Keduanya kemungkinan belajar tarekat Naqsyabandiyah
dari Sulaiman Al-Khalidi (1842-1917) di Hutapungkut Kotanopan
Mandailing Julu. Menurut keterangan Pulungan, Sulaiman Al-Khalidi
adalah ulama tarekat Naqsabandiyah yang merupakan murid dari Syaikh
Abdul Wahab Rokan Basilam, Langkat, Sumatera Timur (Pulungan 2008,
105).

~ 230 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

adat. Kedua, ulama yang menyebarkan Islam pada periode


berikutnya berasal dari etnis Mandailing atau Tapanuli
Selatan yang umumnya menganut mazhab Syafii dan bersikap
moderat terhadap kehidupan sosial-budaya setempat. Ketiga,
paham keislaman yang lebih dahulu berkembang dan diterima
masyarakat adalah Islam corak sufistik (Pulungan 2008, 94).
Hal terakhir ini seperti ditunjukkan dengan
berkembangnya tempat persulukan di berbagai lokasi, baik
di Sipirok maupun Tapanuli Selatan pada umumnya.7 Paham
keislaman bercorak puritan, seperti yang didakwahkan
Muhammadiyah, baru masuk awal abad ke-20, yaitu dalam
bentuk perkumpulan pengajian sejak 1924, dan kemudian
berkembang dalam bentuk organisasi pada 1930 (wawancara
dengan Maulup Siagian, tokoh Muhammadiyah Sipirok, 13
September 2019).
Tidak lama sesudah, atau mungkin hampir bersamaan
dengan masuknya pengaruh Islam ke Sipirok, agama Kristen
juga mulai masuk ke Sipirok diawali dengan misi dagang
para pendeta Kristen, yang kemudian dilanjutkan oleh misi
penyebaran ajaran Kristen (zending). Salah satu tokoh
lokal yang berperan penting bagi masuknya Kristen dan
perjumpaan Kristen dan Islam di Sipirok adalah Djaroemahot
Nasution, salah seorang petani dan pemilik perkebunan kopi
di Tapanuli Selatan pada abad ke-19. Tidak banyak informasi
yang diketahui tentang Djaroemahot. Namun, berdasarkan
informasi yang tersedia, Djaroemahot dipercayai adalah
Hoessni, anak dari Idris Nasution, seorang panglima perang
Imam Bonjol yang dikenal dengan sebutan Tuanku Lelo
(1785-1833). Sejak kecil Djaroemahot telah pergi merantau,
sampai kemudian ia menjadi anak angkat Marahloedin
Nasution (sebelumnya bernama Djatoeboe Nasution), putra

7
Di daerah Kecamatan Angkola Selatan, peneliti mengunjungi
tempat persulukan di Kampung Lalang Desa Perkebunan Marpinggan, 11
September 2019.

~ 231 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Djamangarait Nasution. Marahloedin adalah pedagang


garam, yang membawa dagangannya dengan armada kuda ke
kampung Simangumban-Pahae, dan kembali membawa gula
aren ke Sibolga (“Sang Tokoh Djaroemahot Nasoetion”, 2010,
1-2).
Ada dua versi yang menerangkan bagaimana Djaroemahot
dapat sukses dalam usaha perkebunan kopi. Versi pertama
menyebutkan Djaroemahot menguasai wilayah perkebunan
kopi, yang terbentang mulai dari lereng perbukitan Aek
Bariba hingga ke wilayah Bunga Bondar. Perkebunan itu
diwarisi dari ayah angkatnya. Biji kopi dikumpulkan ayah
angkat Djaroemahot dari para pedagang Arab yang datang
berniaga ke pelabuhan pantai barat Sumatra pada masa itu.
Dajroemahot juga mendominasi pasar kopi pada masa itu
sehingga memungkinkan dirinya membangun koneksi dengan
Gustaf van Asselt, seorang pakus (pedagang pengumpul kopi)
yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Para pakus
juga berpean sebagai ‘intelijen’ untuk pemerintah Belanda
dan memata-matai perdagangan untuk mengamankan
kepentingan Belanda di Tapanuli. Para pakus itu biasanya
menutupi tugas utama mereka itu juga dengan menjalankan
misi penginjilan (Agustono dan Junaidi 2018, 55-56).
Versi kedua menceritakan bahwa kesuksesan Djaroemahot
dalam perkebunan dan bisnis kopi bukan karena mewarisi
lahan perkebunan milik ayahnya. Djaroemahot pada mulanya
berusaha sebagai penyedia jasa transportasi armada kuda
untuk pengangkutan biji kopi Arabika milik Belanda dari
pelabuhan ke wilayah Sipirok sejak dimulai era tanam paksa
oleh Belanda di wilayah Sumatra sejak 1847. Dari usahanya
tersebut, Djaroemahot menjadi kaya-raya. Lalu atas saran
istrinya, Djaroemahot menjual armada kudanya dan hasil
penjualannya ia belikan berhektarhektar lahan kosong di
wilayah Parau Sorat, yang pada masa itu telah menjadi desa
kosong yang ditinggalkan penghuninya karena telah hancur

~ 232 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

porak-poranda oleh pasukan tentara Paderi pada 1816. Ia juga


menginvestasikan uangnya untuk membangun perkebunan
kopi. Berkat hubungan dagang yang ia miliki dengan van
Asselt, Djaroemahot kemudia dapat menguasai pedagangan
kopi. Ketika van Asselt mengerjakan proyek pembuatan
jalan menuju Batang Toru, Djaroemahot menjadi penyuplai
material batu dan pasir, serta tenaga kerja yang direkrutnya
dari daerah Simangumban (“Sang Tokoh Djaroemahot
Nasoetion”, 2010, 3).
Berkat hubungan yang sudah terjalin baik, maka ketika
van Asselt mencari sebuah lokasi untuk membangun gereja
dan sekolah, Djaroemahot malah memberikan sebidang lahan
secara gratis pada 1857. Lokasi tanah dimaksud adalah di
wilayah Parau Sorat. Kemudian barulah van Asselt mengaku
kepada Djaroemahot bahwa ia adalah seorang pendeta
penyebar agama Kristen.
Pada 7 Oktober 1861 pendeta van Asselt (Belanda)
mengadakan rapat dengan pendeta Betz dan pendeta
Jerman Klammer serta Heine. Rapat itu menjadi titik tolak
pengorganisasian Zending Kristen untuk pengembangan
agama Kristen, baik di Sipirok (Tapanuli Selatan) maupun
Tapanuli Utara. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai
tanggal berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
(Pangaroebaan 1925, dikutip dalam Lubis dan Lubis 1998,
39). Sebagian pihak juga mengartikan HKBP sebagai
gabungan nama inisial dari para pendeta yang hadir dalam
rapat tersebut: H (Heine), K (Klammer), B (Betz) dan P
(untuk penyebutan van Asselt yang dalam tuturan Batak kata
‘v’ cenderung dieja ‘p’). (Aritonang dan Steenbrink, ed. 2008:
534).
Pada 1861 lembaga zending Jerman Rheinische
Missiongessellschaft (RMG) mengirim pendeta Dr. Ingwer
Ludwig Nommensen untuk mengembangkan agama Kristen
di Tapanuli. Setelah sempat tinggal di Barus, pada 1862

~ 233 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Nommensen pindah ke Sipirok. Nommensen juga sempat


mengajar di sekolah yang dibangun van Asselt di Parau Sorat,
sebelum akhirnya pada 1863 ia pindah ke wilayah Tapanuli
Utara untuk mengembangkan misi Kristen di sana (Lubis
dan Lubis 1998, 38, 40). Ditemani Johannes Nasution, salah
seorang anak Djaroemahot Nasution, Nommensen pergi ke
Silindung dan membangun desa Kristen pertama di Tanah
Batak, yaitu Huta Dame (catatan prasasti, dokumentasi
peneliti, 29 Juli 2019).
Pada 2007 di Parau Sorat dibangun sebuah prasati
yang menandai tempat persinggahan misi Kristen di tanah
Batak yang dibawa pendeta Nommensen. Di tempat itu juga
dibangun tugu pada tahun 2011 dalam rangka memperingati
150 tahun misi Kristen di daerah tersebut, yaitu 15 Maret 1861
- 15 Maret 2011. Tugu itu diresmikan oleh Ephorus Gereja
Kristen Protestan Angkola (GKPA) Pendeta A. L. Hutasoit,
MA pada 10 Juli 2011.
Di dekat tugu itu terdapat balai makam Hoessni bin
Idris alias Djaroemahot Nasution. Di makam itu terdapat
catatan yang menceritakan sejarah singkat Djaroemahot dan
kehadiran misi Kristen di Tanah Batak. Catatan itu dibuat
pada 12 November 2010. Menurut catatan itu, Djaroemahot
dikenal sebagai tokoh pemersatu kerukunan beragama di
Tanah Batak, khususnya di wilayah Parau sorat pada abad
ke-19.

Monumen petilasan Pdt. Nisan makam Djaroemahot


Nommensen, Kelurahan Parau Nasoetion, Kelurahan Parau Sorat,
Sorat, 30 Juli 2019 (dok. peneliti) 30 Juli 2019 (dok. peneliti)

~ 234 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

GKPA Huta Raja, 30 Juli 2019 (dok. peneliti)


Semasa hidupnya Djaroemahot memiliki 6 putra dan 1
putri, berturut-turut namanya adalah Djaparenta, Djamalajoe,
Djaloemoet, Ambe boru Nasution, Djadestor, Djamariloen dan
Djatandoek. Tiga putra Djaroemahot menjadi pemeluk Islam,
yaitu Djaparenta, Djaloemoet dan Djamariloen, sedangkan
tiga putra lainnya menjadi pemeluk Kristen, yaitu Djamalajoe
(Sintua Johannes Nasution), Djadestor (yang menjadi
pendeta Petroes Nasution), dan Djatandoek (yang menjadi
demang pertama di Balige pada 1914-1928). Seorang putrinya
bernama Ambe boru Nasoetion, yang tidak ada keterangan
mengenai identitas agamanya, menjadi wanita pertama Batak
yang dapat membaca dan menulis huruf Latin. Dua dari
keturunan Djaroemahot yang memeluk Islam menjadi tokoh
penyebar agama Islam di Angkola, yaitu Hadji Ali Nasoetion
(Djaparenta atau Djaloemoet?) dan Koelifah Djamariloen
Nasution (“Sang Tokoh Djaroemahot Nasoetion”, 2010, 3-4;
dokumentasi catatan prasasti, 30 Juli 2019). Dengan sikap
yang membiarkan anakanaknya untuk memilih keyakinan
agama yang mereka peluk dan mengajarkan untuk hidup
saling menghormati kendati berbeda agama, Djaroemahot
kemudian dikenal sebagai tokoh pemersatu kerukunan umat
beragama di Sipirok.

~ 235 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Praktik Kerukunan
Ada sejumlah hal yang mengindikasikan tradisi kerukunan
umat beragama di wilayah Sipirok masih berjalan dengan
sangat baik. Pertama, selama ini belum pernah terjadi konflik
sosial yang melibatkan sentimen keagamaan di Sipirok.
Pendirian atau keberadaan rumah ibadat ragam agama,yang
di banyak tempat lain acap kali menimbulkan pertikaian,
tidak menjadi sumber pertikaian di Sipirok. Demikian pula
kegiatan peribadatan dan penyiaran agama.

HKBP Ressort Sipirok, 1 Agustus


2019 (dok. peneliti)

GKPA Kelurahan Pasar Sipirok, 1 Masjid Sri Alam Dunia, 1 Agustus


Agustus 2019 (dok. peneliti) 2019 (dok. peneliti)

Kedua, di sejumlah lokasi di Sipirok, masih dapat dijumpai


keberadaan rumah ibadat Muslim dan Kristen yang berdiri
saling berdekatan. Di antaranya adalah Masjid Sri Alam
Dunia dan gereja HKBP yang hanya berjalan puluhan meter
di Kelurahan Sipirok Godang, juga Masjid Al-Muttaqin dan
gereja GKPA di Kelurahan Parau Sorat, serta Masjid Nurul
Huda dan gereja GKPA di Kelurahan Bunga Bondar. Sejumlah
informan bahkan menyebutkan bahwa pembangunan rumah

~ 236 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

ibadat pada masa lalu senantiasa melibatkan gotong-royong


penduduk dari kedua komunitas Muslim dan Kristen. Namun,
perlu dicatat bahwa sebagian besar rumah ibadat itu dibangun
pada masa puluhan tahun yang lalu.
Ketiga, partisipasi bersama umat Kristen dan Muslim
dalam berbagai kegiatan sosial dan adat, seperti upacara
perkawinan dan upacara kemalangan. Dalam upacara
perkawinan keluarga Kristen, misalnya, pemotongan hewan,
seperti kambing atau ayam, dilakukan oleh warga Muslim. Hal
ini guna memberi rasa aman bahwa nantinya hidangan yang
disajikan juga dapat dikonsumsi oleh tamu undangan dari
warga Muslim. Secara kebetulan peneliti dapat menghadiri
salah satu upacara perkawinan keluarga Kristen di Kelurahan
Pasar Sipirok, dan menyaksikan bagaimana warga Muslim
turut membantu mempersiapkan makanan bagi pesta,
selain mereka juga datang sebagai tamu undangan (obsevasi
lapangan, 14 September 2019). Untuk keluarga Kristen yang
dalam pestanya menyembelih babi, hidangan untuk tamu
undangan bagi warga Muslim biasanya disediakan di tempat
terpisah (wawancara dengan Rudolf Hutagalung, Wakil
Kepala SMK 1 Martabe, 6 September 2019; Juni Pasaribu,
pengurus Gereja Katolik Stasi Elisabet Sipirok, 6 September
2019).
Keempat, praktik kerukunan juga tercermin dalam
lingkungan pemukiman yang tidak tersegregasi, meski hal
ini hanya ditemui di sebagian lokasi. Sebagian lokasi lainnya,
kaum Muslim dan Kristen tinggal di lingkungan terpisah,
seperti Padang Matinggi di Kelurahan Parau Sorat, yang di
lingkungan itu berdiam mayoritas warga Kristen, meski
wilayah Kelurahan Parau Sorat sendiri secara keseluruhan
dihuni mayoritas warga Muslim. Meski tinggal di lingkungan
terpisah, umumnya informan yang dijumpai mengaku
interaksi mereka dengan pemeluk agama lain tetap berjalan

~ 237 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sangat baik (wawancara dengan keturunan Djaroemahot


Nasution, 6 September 2019).
Kelima, praktik saling menghargai antarpemeluk agama
yang berbeda. Contohnya adalah ketika di satu lingkungan
warga Kristen menyelenggarakan pesta, ketika masuk waktu
salat yang ditandai dengan terdengarnya suara adzan, secara
sadar mereka dengan segera menghentikan kegiatan pesta
untuk menghormati waktu salat (wawancara dengan Maulup
Siagian, tokoh Muhammadiyah, 14 September 2019). Contoh
lain yang lebih penting adalah kesediaan warga Kristen
untuk tidak mengkonsumsi hewan yang dipandang haram
oleh warga Muslim, seperti anjing dan babi, di muka umum
atau menjadikannya hidangan dalam kegiatan-kegiatan
yang bersifat publik, seperti perkawinan. Demikian pula,
warga Kristen di Sipirok menghindarkan diri untuk berusaha
peternakan babi atau penjualan daging babi di pasar.
Keenam, sebagian keluarga memiliki anggota keluarga
dengan keyakinan atau agama yang berbeda. Perbedaan
keyakinan ini dianggap sebagai hak masingmasing individu
untuk menentukan agama yang hendak dipeluknya dan hal
itu tidak menjadi hal yang merenggangkan, apalagi memutus,
hubungan kekeluargaan.

Faktor Pembentuk Kerukunan Umat Beragama


Penelitian ini menemukan bahwa ikatan kekerabatan
berperan penting sebagai modal sosial yang menjadi
perekat utama kerukunan umat beragama di Sipirok.
Ikatan kekerabatan menjadi kekuatan yang menopang
kerukunan umat beragama di wilayah tersebut. Mangaraja
Tenggar Siregar, seorang tokoh adat di Keluarahan Siala
Gundi, mengemukakan, “Kami dapat hidup rukun bukan
karena dipersatukan, tetapi karena berasal dari yang satu”
(wawancara, 30 Juli 2019).

~ 238 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Seorang informan lain mengemukakan, “Kami semua


masih bersaudara. Ibaratnya, darah kita masih saling
ngomong.” “Sudah dari sananya,” “sudah terbiasa”, “sudah
dari dulu” adalah beberapa ungkapan yang dikemukakan
para informan menjawab pertanyaan mengapa masyarakat
di Sipirok dapat hidup rukun kendati menganut agama yang
berbeda.
Pentingnya ikatan kekerabatan memang menjadi
salah satu ciri khas kehidupan etnis Batak. Di mana pun,
hal pertama yang dilakukan jika dua orang Batak bertemu
adalah membicarakan tarombo, garis atau silsilah keturunan.
Menurut Karimuddin Hutabarat, penyuluh agama Islam
non-PNS, jika ketika bertemu dengan orang Batak lainnya,
kita tidak dapat menyebut garis silsilah dan posisi (yang
diindikasikan dengan angka) dalam silsilah itu, maka orang
Batak itu tidak akan menganggap kita sungguh-sungguh
orang Batak (komunikasi personal, 31 Juli 2019).
Peran ikatan kekerabatan ini tidak dibahas oleh Varshney
ketika mengkaji peran ikatan kewargaan dalam memelihara
kedamaian etnis antara Hindu dan Muslim di India.
Sebaliknya, sejalan dengan sejumlah penelitian sebelumnya
(Alam 2018; Ismail dalam Rabitha dkk. 2018), peran ikatan
kekerabatan dalam memelihara kerukunan umat beragama
merupakan salah satu temuan penting yang dijumpai dalam
masyarakat Sipirok, yang umumnya terhubung melalui
kekerabatan Batak.
Sistem kekerabatan Batak dikenal sebagai dalihan na
tolu, yang secara harfiah berarti “tungku yang tiga”. Dalihan
na tolu terdiri atas tiga unsur: mora, kahanggi dan anak
boru. Mora adalah pihak pemberi anak gadis atau istri,
kahanggi adalah pihak semarga, sedangkan anak boru adalah
pihak penerima anak gadis atau istri. Konsep kekerabatan
ini selanjutnya melandasi etika dalam relasi antara ketiga
unsur tersebut, yaitu hormat mar-mora (bersikap sopan

~ 239 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dan hormat kepada mora), elek mar-kahanggi (bersikap


baik kepada saudara semarga), dan holong mar-anak boru
(bersikap sayang kepada anak boru karena tenaganya sangat
diharapkan membantu menyelesaikan pekerjaan, terutama
di saat pesta). Dalam suatu upacara adat, mora menempati
posisi tertinggi, biasanya disediakan tempat duduk bersama
para raja dan sesepuh, sedangkan anak boru menempati posisi
terendah karena perannya dalam membantu menyelesaikan
pekerjaan terkait upacara tersebut.

Wawancara dengan Mangaraja


Tarombo (silsilah)
Tenggar Siregar, Desa Siala
keluarga Batak
Gundi (30 Juli 2019)

Wawancara dengan Sutan


Wawancara dengan Mangaraja
Suangkupon, Kelurahan
Endar, Kelurahan Bunga
Sipirok Godang, 1 Agustus
Bondar, 30 Juli 2019)
2019)

Namun demikian, posisi seseorang dalam sistem ini


dinamis, yaitu dalam suatu waktu tertentu setiap keluarga
pasti menempati masing-masing posisi tersebut, yaitu
menjadi mora ketika anak perempuan dari keluarga itu
menikah, menjadi kahanggi ketika keluarga mereka semarga

~ 240 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

mengadakan pernikahan, serta menjadi boru ketika anak laki-


laki keluarga itu meminang anak perempuan dari keluarga
lain.
Selain dalihan na tolu, di wilayah Tapanuli bagian
selatan, termasuk Sipirok, dikenal konsep lain, yaitu opat
ganjil lima gonop. Lewat konsep ini, unsur yang berperan
dalam pembicaraan adat bertambah dengan pisang raut
(anak boru dari anak boru) dan hula-hula (mora dari mora).
Ketika dimasukkan pisang raut, sehingga menjadi empat
unsur, hal itu masih dipandang kurang atau ganjil. Oleh sebab
itu, untuk menyempurnakannya atau menggenapkannya, lalu
ditambahkanlah unsur hula-hula. Demikianlah maka lahir
istilah opat ganjil lima gonop (empat ganjil lima genap)
(Marpodang 1992, 37).
Di samping faktor ikatan kekerabatan, ada faktor lain
yang juga menjadi pengikat kerukunan umat beragama di
Sipirok, yaitu pengalaman hidup bersama. Pengalaman
interaksi sosial masyarakat Sipirok dalam kurun waktu yang
panjang juga mampu merekatkan elemen-elemen masyarakat
lain, kendati mereka memiliki hubungan kekerabatan yang
sudah jauh atau, bagi para warga pendatang, sama sekali tidak
memiliki hubungan kekerabatan etnis Batak. Meski secara
umum wilayah Sipirok dihuni etnis Batak dari bermacam
marga, namun sedikit dari mereka ada pula yang berasal
dari etnis berbeda, seperti Minang, Jawa, Sunda dan Nias.
Meski tidak berasal dari satu ikatan kekerabatan, umumnya
pendatang telah menyesuaikan diri dengan tradisi adat yang
berlaku di wilayah Sipirok, yaitu adat Batak Angkola.
Mengenai hubungan antara adat dan agama, Mangaraja
Tenggar menjelaskan:
Sebelum datangnya agama, orang Batak telah dipersatukan
dalam ikatan adat. Setelah datangnya agama, hukum adat tetap
dipegang. Agama mengatur soal keyakinan pribadi, sementara
aturan sosial atau kemanusiaan lebih banyak diatur hukum
adat. Jika terjadi pertentangan antara adat dan agama, maka

~ 241 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

adat boleh ditinggalkan (tidak dijalankan), tetapi tidak boleh


dihilangkan. (Wawancara, 30 Juli 2019)

Di antara contoh praktik adat yang ditinggalkan setelah


kedatangan agama (Islam) adalah pemujaan terhadap roh
nenek moyang. Adapun terkait makanan, Mangaraja Tenggar
mengemukakan bahwa pada masa lalu, tidak ada makanan
yang tidak boleh dimakan. Dalam tradisi masyarakat di sini,
bahkan sebelum datangnya agama, anjing dan babi memang
tidak termasuk hewan yang dikonsumsi oleh warga. Dalam
tradisi leluhur, anjing dan babi tidak pernah disebut sebagai
hewan yang disembelih dalam upacara-upacara adat. Hewan
yang disebut dalam ketentuan adat untuk penyembelihan
adalah kambing dan kerbau. “Setelah ada agama justru baru
ada tradisi memakan anjing dan babi,” ungkap Mangaraja
Tenggar (wawancara, 30 Juli 2019).

Faktor Pendukung Kerukunan Umat Beragama


Salah satu faktor utama yang mendukung kondisi
kerukunan di Sipirok adalah kesediaan komunitas non-
Muslim untuk menyesuaikan diri dalam hal tidak memakan
atau beternak hewan yang diharamkan bagi kaum Muslim,
seperti babi dan anjing. Hampir semua informan yang
diwawancarai menyebut bahwa komunitas non-Muslim
sangat menghargai untuk menghindari mengkonsumsi
babi atau anjing di tempat publik atau dalam acara-acara
publik, seperti pesta perkawinan, upacara kemalangan dan
sebagainya. “Jika ada upacara atau kegiatan, orang itulah
[Muslim] yang megang [memasak makanan]. Sebab di
sini kan gak bisa makan babi. Itu pantang di sini,” ungkap
Nehemia, seorang Kristen yang menjadi Vorhanger (guru
huria) GKPA di Desa Parau Sorat (wawancara 30 Juli 2019).
Sanksi sosial bagi yang melanggar aturan tak tertulis ini
dapat berupa pengucilan, bahkan pengusiran. Jika ada warga
Kristen yang hendak mengkonsumsi babi, mereka masih

~ 242 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

dapat melakukannya di rumah sendiri secara tertutup atau di


sawah atau di hutan (wawancara dengan Nehemia dan Sabar,
29 Juli 2019; Mangaraja Tenggar Siregar dan Mangaraja
Endar, 30 Juli 2019; Sutan Parlindungan Suangkupon dan
Kornel Sinaga, 1 Agustus 2019).
Selain pantangan memakan babi dan anjing di tempat
publik atau acara publik, tidak ada hal lain yang menghalangi
terjalinnya hubungan antara Muslim dan Kristen di Sipirok.
Perkawinan dan perpindahan agama antara Muslim dan
Kristen juga tidak dihalangi. Perkawinan dilaksanakan
sesudah salah satu pihak pindah memeluk agama yang sama
dengan yang dipeluk pasangan. Kendati perpindahan agama
tetap saja menimbulkan ketegangan dalam keluarga, namun
perpindahan agama tidak pernah sampai mengakibatkan
tindakan pemutusan hubungan kekerabatan.
Faktor pendukung kerukunan lainnya adalah belum
munculnya kelompokkelompok yang menyuarakan atau
menyebarkan pandangan keagamaannya yang cenderung
memojokkan kelompok agama lain. Tidak atau belum
munculnya kelompok-kelompok ini mungkin karena
disebabkan sikap masyarakat Sipirok sendiri yang cenderung
mengabaikan informasi atau pandangan-pandangan yang
dinilai tidak sejalan dengan apa yang sudah diterima
di kalangan masyarakat. “Jika ada orang-orang yang
menyuarakan pandangan terlalu ekstrem, hal itu umumnya
akan dinilai aneh oleh masyarakat Sipirok,” ujar Hamdi S.
Pulungan, Kepala Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten
Tapanuli Selatan (wawancara, 3 September 2019). Hal senada
juga dikemukakan Hamdan Siregar, Ketua Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Tapanuli Selatan, bahwa
masyarakat Sipirok tidak mudah terpengaruh pandangan-
pandangan keagamaan ekstrem, baik yang disampaikan
secara langsung melalui ceramah maupun informasi yang
beredar melalui media sosial (wawancara 1 Agustus 2019).

~ 243 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Corak paham keislaman yang dominan di Sipirok adalah


apa yang mereka sebut sebagai aliran Islamiyah. Sebutan ini
sesungguhnya digunakan untuk mengacu pada masyarakat
dengan tradisi keislaman ala komunitas Nahdlatul Ulama.
Selain itu, ada yang berafiliasi dengan organisasi Al-Washliyah
dan Muhammadiyah, yang memiliki jumlah pengikut yang
lebih sedikit. Meski terdapat perbedaan di antara kelompok-
kelompok itu, termasuk dalam hal sikap terhadap adat, corak
keislaman yang diusung kelompok-kelompok ini umumnya
dipandang moderat dan tidak ekstrem.

Mekanisme Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama


Mekanisme pemeliharaan kerukunan dapat dibagi
ke dalam mekanisme formal dan non-formal. Di antara
mekanisme formal, pemeliharaan kerukunan dilakukan oleh
wadah kelembagaan formal, baik organisasi pemerintah
maupun nonpemerintah. Adapun mekanisme non-formal
berlangsung dalam situs atau ruang publik yang memfasilitasi
perjumpaan antarkomunitas yang berbeda agama maupun
suku, seperti upacara siklus hidup, pasar (poken) dan kedai
kopi (lopo kopi). Di Sipirok mekanisme non-formal terlihat
lebih penting dibandingkan mekanisme formal dalam
memelihara kerukunan antarumat beragama. Meminjam
istilah Varshney, ikatan keseharian (quotidian) masih
memainkan peran yang lebih penting dalam memelihara
kerukunan antarumat beragama daripada ikatan asosiasional,
yang difasilitasi melalui wadah semacam perhimpunan atau
organisasi.

Upacara Siklus Hidup


Upacara terkait siklus hidup, seperti perkawinan dan
kematian, menjadi salah satu mekanisme non-formal yang
penting dalam memelihara kerukunan umat beragama.

~ 244 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Berbagai pranata adat seperti upacara perkawinan dan


upacara kemalangan telah memfasilitasi perjumpaan dari
warga pemeluk agama yang berbeda (dalam hal ini Islam
dan Kristen). Perjumpaan itu bukan membentuk ikatan baru,
tetapi memperkuat ikatan yang sudah terbentuk melalui
hubungan kekerabatan dan adat, sehingga memperkokoh
integrasi masyarakat yang telah terbangun selama ini
(Mangaraja Tenggar Siregar dan Mangaraja Endar, 30 Juli
2019; Sutan Parlindungan Suangkupon, 1 Agustus 2019).
Partisipasi dalam upacara suka cita (siriaon) maupun
upacara duka cita (siluluton) mencerimkan falsafah yang
dianut masyarakat Batak Angkola, “sahancit sahasonangan,
sasiluluton sasiriaon” (suka dan duka dirasakan bersama).
Ungkapan lain yang mencerminkan keeratan atau kerukunan
adalah “sahata saoloan, satumtum sapartahian” (seia sekata,
menyatu dalam mufakat untuk sepakat”) serta “mate mangolu
sapartahian” (hidup dan mati dalam sepakat untuk mufakat).
Beberapa segmen unsur adat dalam upacara perkawinan,
seperti markobas, makkobar dan mangupa, berperan
mempertemukan para tokoh adat, kendati berasal dari marga
dan agama yang berbeda. Dalam suatu upacara perkawinan
yang peneliti sempat hadiri, peneliti menyaksikan warga
Muslim dan Kristen, baik pria maupun wanita, remaja dan
dewasa, terlibat bersama dalam mempersiapkan makanan
untuk pesta sejak pagi hari. Kegiatan mempersiapkan makanan
itu disebut sebagai markobas. Para tamu undangan yang
hadir pun berasal dari warga Kristen dan Muslim. Sementara
itu, dalam segmen upacara adat sebelum pernikahan, yang
disebut makkobar, tampak hadir para tokoh adat Kristen
maupun Muslim (obsevasi lapangan, 14 September 2019).
Pertemuan-pertemuan adat semacam ini umumnya
berlangsung atas prakarsa masyarakat sendiri. Seorang tokoh
adat berharap pemerintah lebih berperan dalam memfasilitasi
pertemuan tokoh-tokoh adat sebagai bagian dari upaya

~ 245 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

pemeliharaan kerukunan masyarakat Sipirok (wawancara


dengan Mangaraja Tenggar, 30 Juli dan 4 September 2019).
Poken
Poken atau pekan adalah hari pasar besar di Sipirok,
yang berlangsung setiap Kamis.8 Pada saat poken, jumlah
pedagang lebih banyak dari hari biasanya karena pedagang
yang berjualan bukan hanya pedagang setempat, tetapi juga
pedagang dari daerah-daerah yang jauh, seperti Padang
Sidimpuan dan wilayah menuju Tarutung. Barang-barang
yang diperdagangkan pun beragam, mulai dari sayurmayur,
buah-buahan, ikan segar, berbagai bahan kebutuhan pokok,
pakaian dan peralatan rumah tangga, dan lainnya. Untuk
pedagang dan pembeli Muslim biasanya dapat dibedakan
dari cara pakaian mereka yang mengenakan jilbab (observasi
peneliti, 12 September 2019). Poken menjadi salah satu situs
penting arena interaksi warga Muslim dan Kristen di Sipirok.

Bersama Kabid Bina Ormas Kesabangpol Kabupaten Tapanuli Selatan


Oktaryna Siregar mengunjungi poken di Pasar Sipirok, 5 September 2019.

8
Masing-masing wilayah memiliki hari poken sendiri. Peneliti sempat
mengunjungi poken di Kelurahan Simar Pinggan Kecamatan Angkola
Selatan, yang dilaksanakan setiap Senin (observasi peneliti, 9 September
2019).

~ 246 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Lopo Kopi

Kepala KUA Kecamatan Sipirok sekaligus Ketua FKUB Kabupaten


Tapanuli Selatan Hamdan Siregar (sebelah kanan), dan staf Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan Marbun
(sebelah kiri), 29 Juli 2019.
Situs penting lainnya yang meyediakan arena bagi
interaksi warga beragam marga, suku dan agama adalah
kedai kopi, yang dikenal dengan sebutan lopo kopi. Perlu
diingat bahwa kopi merupakan salah satu produk perkebunan
yang penting di Sipirok karena pada pemerintah kolonial
Belanda pernah menjadikan wilayah ini untuk menjalankan
kebijakan tanam paksa (culturstelsel). Di lopo kopi inilah
warga bertemu dan membincangkan berbagai persoalan,
mulai dari urusan domestik hingga urusan negara. Seorang
warga mengaku hampir setiap pagi ia mampir ke lopo kopi
sebelum berangkat ke kebun. Kemudian setelah selesai
berkebun, ia kembali mampir ke lopo kopi sebelum pulang ke
rumah. Pada malam hari, warga juga acap kali menghabiskan
waktunya untuk berbincang-bincang di lopo kopi. Lopo kopi
juga berperan sebagai tempat bagi warga untuk meng-update
informasi mengenai perkembangan mutakhir yang terjadi
terkait berbagai persoalan (komunikasi personal dengan Ipin
dan Arsyad, 10 September 2019). Di Sipirok, di samping tetap
bertahannya kedai-kedai kopi tradisional, semacam lopo
kopi, kini juga telah tumbuh kedai kopi dalam bentuk yang
lebih modern, seperti kafe.

~ 247 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)


Seperti yang terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia,
di Kabupaten Tapanuli Selatan telah terbentuk Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sejak 2006. Setelah
sempat vakum sepanjang 2016, susunan kepengurusan baru
akhirnya terbentuk pada 2017 dan posisi ketua dijabat oleh
Hamdan Siregar.
Susunan pengurus harian FKUB periode 2017-2022
adalah sebagai berikut:
Ketua : H. Hamdan, S.Ag
Wakil Ketua : Pdt. Sabar Nainggolan, S.Th
Wakil Ketua : H. Abdul Wahab Nasution
Sekretaris : Drs. H. Maralaut Siregar
Wakil Sekretaris : Yulianus Ndraha, S.Ag, S.Pd
Bendahara : H. Amsaruddin, S.Pd.I
Wakil Bendahara : Benget Hasiholan Simanjuntak, A.Md
Anggota:
1. Drs. H. Ihwan Nasution
2. Drs. H. Samsul Kamal Siregar
3. H. Sulaiman Harahap, S.Pd.I
4. Drs. Bahtiar Siregar
5. Arsan Mashuri, S.Sos
6. Drs. Dahlan Harahap, B.Sc
7. Pdt. Kornel Sinaga, S.Th, MM
8. Akhiril Pane, M.Pd
9. Dr. Zainal Effendi Hasibuan, MA
10. Dr. H. Arbanur Rasyid, MA
Anggota Sekretariat:
1. Zulpan Harahap, S.Ag
2. Muhammad Yusuf Lubis

Hal yang berbeda dari daerah lain pada umumnya, Ketua


FKUB Kabupaten Tapanuli Selatan Hamdan Siregar juga

~ 248 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan


Sipirok. Nama Hamdan muncul sebagai Ketua FKUB ketika
pada 2016 kepengurusan FKUB sempat vakum akibat Bupati
Tapanuli Selatan Syahrul M. Pasaribu tidak kunjung memberi
persetujuan untuk nama-nama calon pengurus yang telah
diusulkan sebelumnya. Tampaknya terjadi ‘persaingan sengit’
di antara berbagai pihak untuk menduduki jabatan Ketua
FKUB sehingga pelantikan kepengurusan yang seharusnya
dilaksanakan pada 2016 terpaksa mundur hingga 2017.
“Nama saya muncul untuk mengatasi kebuntuan terkait
jabatan ketua FKUB tersebut,” ujar Hamdan (wawancara 1
Agustus 2019).
Pelaksanaan tugas FKUB mendapat dukungan
pembiayaan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten
Tapanuli Selatan dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Selatan. Pada 2019 dukungan pembiayaan dari Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar Rp
50 juta, yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan kegiatan.
Sementara itu, dukungan pembiayaan dari Pemerintah
Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar Rp 137 juta, yang hanya
diperuntukkan bagi biaya perjalanan dinas. “Anggaran dari
pemda tidak diperuntukkan bagi penyelenggaraan kegiatan.
Anggaran itu hanya untuk biaya perjalanan dinas anggota
FKUB, seperti menghadiri kegiatan di tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten. Selain itu, juga untuk perjalanan
melakukan sosialisasi terkait kerukunan,” jelas Hamdan
(wawancara 1 Agustus 2019). Namun, keterangan berbeda
disampaikan salah seorang pejabat Badan Kesbangpol
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, yang menyatakan
bahwa anggaran FKUB sesungguhnya dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan dan pertemuan, di samping membiayai
perjalanan para pengurus FKUB untuk melakukan sosialisasi
dan menghadiri berbagai acara terkait pemeliharaan
kerukunan umat beragama (wawancara dengan Oktaryna,

~ 249 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Sosial, Budaya dan


Organisasi Masyarakat Badan Kesbangpol Pemkab Tapanuli
Selatan, 12 September 2019).

Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama


Beberapa upaya pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli
Selatan dalam pemeliharaan kerukunan adalah memberi
dukungan pembiayaan maupun fasilitas kendaraan roda
empat bagi Forum Kerukunan Umat Beragama. “Besar
anggaran untuk FKUB tahun ini Rp 137 juta rupiah. Selain
itu, kami menyediakan kendaraan dinas roda empat bagi
pengurus FKUB,” ungkap Hamdi S. Pulungan, Kepala
Badan Kesbangpol Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan
(wawancara, 3 September 2019).
Selain itu, pemerintah kabupaten juga tidak menerapkan
kebijakan yang diskriminatif. Hal itu dikemukakan Bupati
Tapanuli Selatan Syahrul M. Pasaribu. “Pemerintah
memperlakukan dan memberi fasilitasi yang sama kepada
semua komunitas, meski jumlah dan proporsinya disesuaikan
dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan
kebutuhan umat beragama,” kata Syahrul (wawancara, 8
September 2019). Hal senada juga dikemukakan Sekretaris
Daerah Parulian Nasution bahwa pemerintah daerah berusaha
melayani kebutuhan seluruh umat beragama berdasarkan
anggaran yang tersedia. Ia juga mengemukakan tradisi
kerukunan umat beragama di Sipirok juga telah menarik minat
sejumlah peneliti asing untuk datang ke Sipirok (wawancara,
5 September 2019).

~ 250 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Wawancara dengan Kepala


Wawancara dengan Sekretaris
Badan Kesbangpol Pemerintah
Daerah Pemerintah Kabupaten
Kabupaten Tapanuli Selatan
Tapanuli Selatan H. Parulian
Hamdi S. Pulungan, 5
Nasution, 5 September 2019
September 2019

Meski sejumlah pihak mengakui kontribusi pemerintah


kabupaten terhadap pemeliharaan kerukunan umat
beragama (wawancara dengan Togar Simatupang, Ephorus
GKPA, 3 September 2019; Robert Simatupang, pastor Paroki
Padang Sidimpuan, 11 September 2019), namun inisiatif
pemerintah lokal (kecamatan dan desa/kelurahan) dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama masih belum
dirasakan. Peran Kementerian Agama Kabupaten dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama juga terlihat masih
sangat rendah. “Tidak ada anggaran maupun kegiatan yang
dialokasikan secara khusus untuk pemeliharaan kerukunan
umat beragama. Yang ada hanyalah anggaran untuk FKUB
sebesar Rp 50 juta,” ungkap Dahmansyah, Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Tapanuli Selatan (wawancara,
3 September 2017). Pada saat penelitian dilakukan, anggaran
itu pun belum cair sehingga alokasi anggaran untuk FKUB itu
belum direalisasikan.

Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan formal, seperti sekolah dan
madrasah, berperan dalam pemeliharaan kerukunan melalui

~ 251 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

sejumlah mata pelajaran, yang dijadikan sebagai bahan


pembelajaran, khususnya Pendiidkan Kewarganegaraan
(PKn). Hal ini dikemukan sejumlah tenaga pendidik yang
diwawancarai. Selain itu, mereka juga mengaku acap kali
menyampaikan kepada murid-murid mereka tentang
pentingnya sikap untuk menghormati dan menghargai
perbedaan agama yang dianut di antara siswa-siswanya.
Sekolah juga menyelenggarakan berbagai kegiatan yang secara
umum memfasilitasi interaksi dari siswa-siswa yang berbeda
agama (wawancara dengan Rudolf Hutagalung, Wakil Kepala
SMK 1 Martabe, 6 September 2019; Juni Pasaribu, pengurus
Gereja Katolik Stasi Elisabet Sipirok, 6 September 2019). Juni
Pasaribu mengemukakan bahwa ana-anak sekolah Katolik
sempat berpartisipasi menampilan kegiatan marching band
dalam acara Safari Muharam 1441 H, yang digelar Pemerintah
Kabupaten Tapanuli Selatan (wawancara, 6 September 2019).
Sementara itu, Abdul Hakim Siregar, Wakil Kepala Bidang
Kurikulum MAN Insan Cendekia Sipirok, mengaku bahwa
kendati isu-isu kerukunan tidak terlalu banyak dibicarakan,
MAN IC telah mempraktikkan langsung dengan cara
merekrut warga non-Muslim sebagai salah satu pegawai yang
menangani bagian instalasi dan suplai air (wawancara, 14
September 2019).

Kaum Perempuan dan Keluarga


Beberapa tokoh perempuan yang berhasil diwawancarai
umumnya mengaku bahwa keluarga juga berperan dalam
memberi nasihat atau wejangan kepada anggota keluarga
tentang pentingnya sikap menghormati dan menghargai
pemeluk agama lain. Seluruh informan yang dijumpai
umumnya mengaku tidak membatasi pergaulan di antara
anak-anak mereka dengan anak-anak yang berbeda agama.
Bahkan, mereka juga mengemukakan pengalaman masa kecil
yang tumbuh dalam pergaulan dengan anak-anak berbeda

~ 252 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

agama. Selain itu, para perempuan yang juga aktif dalam


organisasi keagamaan mengaku juga acap membicarakan
pentingnya toleransi dan memelihara kerukunan dalam
pertemuan-pertemuan organisasi mereka (wawancara
dengan pengurus BKMT Kecamatan Sipirok, 6 September
2019; Dewiyana, Ketua Muslimat NU Kecamatan Sipirok, dan
aktivitas perempuan Al-Washliyah, 14 September 2019).

Organisasi Keagamaan
Seluruh wakil organisasi keagamaan, baik Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kecamatan Sipirok, Muhammadiyah, Al-
Wasliyah, Muslimat NU, dan Badan Kontak Majelis Taklim
(BKMT) mengaku bahwa masing-masing organisasi mereka
acap kali menyampaikan pesan dakwah atau keagamaan
yang di dalamnya mengandung unsur-unsur pemupukan
sikap toleransi dan saling menghormati antarumat beragama.
Kendati demikian, umumnya mereka menyebut FKUB
sebagai lembaga yang seharusnya memainkan peran lebih
besar dalam memfasilitasi pertemuan antartokoh agama di
tingkat lokal.

Penutup
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian ini menemukan ikatan kekerabatan sebagai
faktor utama pembentuk tradisi kerukunan umat beragama di
Sipirok. Sistem kekerabatan etnis Batak, yang dikenal dengan
istilah dalihan na talo, berperan sebagai perekat utama warga
Batak, kendati mereka memiliki keyakinan keagamaan yang
berbeda. Dalam konteks Sipirok, komunitas agama terbesar
adalah Muslim, disusul Kristen dan Katolik.
Selain ikatan kekerabatan, pengalaman hidup bersama
selama berpuluh-puluh tahun yang relatif terbebas dari
konflik juga turut berkontribusi pada terbentuknya jalinan

~ 253 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

kerukunan di antara umat Islam dan Kristen. Memori kolektif


positif tentang hidup rukun yang dijalani generasi sebelumnya
terlihat masih berakar kuat di kalangan warga.
Tradisi hidup rukun ini dipelihara terutama melalui
mekanisme non-formal seperti upacara adat, interaksi
keseharian, pertukaran ekonomi melalui poken, serta
perjumpaan dan perbincangan di lopo kopi. Sementara itu,
mekanisme pemeliharaan kerukunan melalui wadah formal,
baik institusi pemerintah, pendidikan, organisasi keagamaan
atau organisasi kemasyarakatan tampak masih sangat
terbatas. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang
dibentuk antara lain untuk tujuan pemeliharaan kerukunan,
juga belum memperlihatkan peran yang signifikan, terutama
pada level kecamatan dan sub-kecamatan.
Kerukunan hidup antarumat beragama di Sipirok yang
telah tumbuh dan berkembang ‘secara alamiah’ tampaknya
malah menghalangi munculnya imajinasi kreatif pemerintah
untuk merancang dan menggulirkan berbagai inisiatif dalam
rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama. Padahal,
tradisi kerukunan yang telah tumbuh dan berkembang
tetap memerlukan berbagai upaya untuk merawat dan
melestarikannya.
Dalam rangka inisiatif pemeliharaan kerukunan umat
beragama, beberapa hal berikut dapat dilakukan. Pertama,
pemerintah daerah dapat memanfaatkan berbagai pranata
adat yang ada untuk upaya pemeliharaan kerukunan. Berbagai
momen upacara adat dapat dimanfaatkan bagi upaya yang
secara sadar ditujukan untuk memupuk dan memelihara
memori kolektif yang telah tertanam di masyarakat
tentang pentingnya kerukunan, toleransi, dan kerja sama
antarumat beragama. Pemerintah juga dapat memfasilitasi
pertemuan tokoh adat dan tokoh agama secara berkala untuk
membicarakan upaya-upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama.

~ 254 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Kedua, pemerintah daerah perlu mendorong terbentuknya


wadah generasi muda lintas agama, yang dapat berperan
sebagai pendukung bagi Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), yang umumnya beranggotakan orang dewasa dan
kegiatannya terbatas hanya pada level kabupaten. Wadah ini
dapat digunakan untuk mengkader agen-agen pemelihara
kerukunan umat beragama di masa mendatang.
Ketiga, inisiatif pemeliharaan kerukunan perlu
diintegrasikan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan. Perlu
disusun buku yang memuat sejarah dan tradisi kerukunan
masyarakat Sipirok, yang selanjutnya dijadikan sebagai salah
satu bahan ajar yang digunakan bagi pendidikan kerukunan
melalui lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat usia
dini hingga sekolah menengah atas yang ada di Sipirok.
Keempat, Kementerian Agama Kabupaten dapat
menginisiasi program untuk menjadikan Sipirok sebagai salah
satu model wilayah kerukunan, antara lain, dengan menjalin
kerja sama dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi
umum dan keagamaan setempat, serta Pusat Kerukunan
Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama.

Daftar Pustaka
Agustono, Budi, dan Junaidi. “The Dutch Colonial Economic
Policy: Coffee Exploitation in Tapanuli Residency, 1849–
1928.” Kemanusiaan, Vol. 25, No. 2, (2018): 49–71.
Alam, Rudy Harisyah. “Ikatan Kekerabatan dan Kedamaian
Umat Beragama: Studi
Kasus di Desa Kerta Jaya Kecamatan Pebayuran Kabupaten
Bekasi Jawa Barat.” Penamas, Vol. 31, No. 2, (2018):
379-396.
Aritonang, Jan Sihar, dan Karel Steenbrink, ed. A History of
Christianity in Indonesia. Leiden dan Boston: Brill, 2008.
Harahap, Ramli SN. ed. Bunga Rampai Seratus Lima Puluh
Tahun Kekristenan di

~ 255 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

Luat Angkola. Padang Sidimpuan: Kantor Pusat GKPA.


Ismail. “Ikatan Kewargaan dan Asosiasional Antarumat
Beragama di Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur
Kabupaten Bogor Jawa Barat.” Dalam Daniel Rabitha
dkk. Toleransi Antarkelompok Umat Beragama pada
Masyarakat Heterogen. Jakarta: Balai Litbang Agama
Jakarta Press, 2018.
Lubis, Z. Pangaduan, dan Zulkifli B. Lubis. Sipirok na Soli:
Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan:
USU Press, 1998.
Marpodang, Gultom Raja. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya
Batak, cet. 1. Medan: Armanda, 1992.
Panitia Inti Jubileum 125 Tahun HKBP. Tuhan Menyertai
Umatnya: Sejarah 125 Tahun HKBP. Tarutung: Kantor
Pusat HKBP, 1986.
Pulungan, Abas. Perkembangan Islam di Mandailing.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008.
Rabitha, Daniel, dkk. 2018. Toleransi Antarkelompuk Umat
Beragama pada Masyarakat Heterogen. Jakarta: Balai
Litbang Agama Jakarta Press.
Rodgers, Susan. “Islam and the Changing of Social and
Cultural Structures in the Angkola Batak Homeland.”
Social Compass XXXI/1 (1984): 57-74.
Rodgers, Susan. “Symbolic Patterning in Angkola Batak Adat
Ritual.” The Journal of Asian Studies, Vol. 44, No. 4
(Aug., 1985): 765-778.
Rodgers, Susan. “Batak Tape Cassete Kinship: Constructing
Kinship through the Indonesian national mass media.”
American Ethnologist, Vol. 13, Issue 1 (1986): 23-42.
Rodgers, Susan. “Imagining Tradition, Imagining Modernity:
A Southern Batak Novel from the 1920s.” Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 147, 2de/ 3de Afl.
(1991): 273- 297.
Rodgers, Susan. “How I Learned Batak: Studying the
Angkola Batak Language in 1970s New Order Indonesia.”
Indonesia, No. 93 (Apr. 2012): 1-32.

~ 256 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

“Sang Tokoh Djaroemahot Nasution,” Parau Sorat, 12-13


November 2010.
Siregar, Susan Rodgers. “A Modern Batak Horja: Innovation
in Sipirok Adat Ceremonial.” Indonesia, No. 27 (Apr.
1979): 103-128.
Siregar, Susan Rodgers. “A Batak Literature of Modernization.”
Indonesia, No. 31 (Apr. 1981): 137-161.

~ 257 ~
~ TOLERANSI DAN KERJASAMA UMAT BERAGAMA DI WILAYAH SUMATERA ~

~ 258 ~

Anda mungkin juga menyukai