Anda di halaman 1dari 4

COMPOUNDING DAN DISPENSING;

KEWENANGAN APOTEKER YANG NYARIS DILUPAKAN

Robby Sondakh1, Primadi Avianto2, Dian Retno Savitri3, Faradilla Amelia Raissa3
1
Dewan Pakar Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (PD IAI) Jawa Timur
2
Himpunan Seminat Farmasi Masyarakat (HISFARMA) PD IAI Jawa Timur
3
Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

primadi-a-11@ff.unair.ac.id

Peracikan obat atau yang dalam Bahasa Inggris disebut pharmaceutical


compounding yang merupakan salah satu kompetensi seorang apoteker diartikan
sebagai serangkaian proses/ kegiatan menyiapkan, mencampur, mengubah bentuk
sediaan maupun kemasan, mengemas ulang dan memberikan label pada obat atau
bahan obat sesuai dengan resep, pesanan obat, atau inisiatif dari apoteker
berlandaskan suatu hubungan profesional antara praktisi penulis resep, pasien dan
apoteker. Peracikan obat ditujukan untuk menyesuikan sediaan obat dengan
kebutuhan pasien secara individual, seringkali dua atau lebih obat maupun bahan obat
diracik menjadi suatu sediaan baru.
Tak seperti beberapa dakade kebelakang, dewasa ini peracikan obat tidak sering
dilakukan. Hal ini antara lain disebabkan semakin bervariasinya sediaan obat yang
beredar, sedemikian hingga demi alasan praktis (kecepatan pelayanan farmasi) lebih
dipilih sediaan obat yang sudah ada itu. Namun demikian, dengan berkembangnya
ilmu mengenai pharmacogenetic/ pharmacogenomic yang mana arahnya adalah
individualized medicine needs yaitu bahwa tiap-tiap pasien harus ditentukan secara
individual kebutuhan obat serta dosisnya karena variasi genetik dan penyakit maka
kebutuhan akan peracikan obat akan kembali meningkat. Analogi mudah untuk hal ini
adalah seperti produk garmen (baju dan celana), pabrik farmasi tak ubahnya seperti
pabrik garmen, dalam proses produksi telah ada standar ukuran tertentu, sebut saja
size S sampai XXL yang menggunakan asumsi ukuran rata-rata. Namun, bagi masing-
masing individu seringkali ukuran ini kurang sesuai, misal panjangnya sesuai, tapi
lebar atau panjang lengan kurang pas. Oleh karena itu perlu di-tailor-kan, diubah
sesuaikan oleh seorang penjahit (tailor) yang ahli dalam hal itu, atau bahkan dalam
kondisi tertentu dibuat dari bahan mentah (kain) oleh penjahit.
Perlu dipahami bersama, bahwa peracikan obat oleh apoteker adalah suatu
upaya untuk memenuhi kebutuhan pasien sedemikian hingga tujuan terapi dapat lebih
mudah dicapai. Sedikit contoh, hal-hal yang menyebabkan seorang apoteker perlu
meracikkan obat untuk pasien:
a. Menyesuaikan komposisi bahan aktif farmasi, bentuk sediaan, maupun dosis
dengan kebutuhan pasien secara individual;
b. Menambahkan perasa sedemikian hingga dapat lebih diterima oleh anak-anak
maupun hewan peliharaan;
c. Mengubah bentuk sediaan (misalnya dari tablet atau kapsul menjadi serbuk/
puyer) untuk memudahkan pasien meminum obat tersebut.
Apoteker dapat menambahkan obat pada sirupus simplex berperasa, krim
topikal (pemakaian lokal), gel transdermal, supositoria, ataupun bentuk sediaan lain
senyapang secara objektif diperlukan oleh pasien dan dapat disiapkan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah peracikan obat (misalnya aspek fisiko-kimia,
farmakologi, farmasetika dan stabilitas).
Peracikan obat yang dilakukan oleh apoteker di unit pelayanan farmasi (apotek,
instalasi farmasi rumah sakit, klinik dan puskesmas) berbeda dengan produksi obat
yang dilakukan oleh apoteker di unit produksi (industri farmasi, industri obat
tradisional). Meskipun dua aktivitas ini sama-sama dilakukan berlandaskan asas
kepentingan pasien/ masyarakat dengan memastikan sediaan yang dihasilkan
terjamin mutu, keamanan dan khasiatnya, namun aktivitas produksi di industry farmasi
diatur lebih ketat sebabnya antara lain hasilnya dalam jumlah besar dan diedarkan/
didistribusikan (juga dalam pengawasan apoteker) secara luas, bahkan tak jarang
menjangkau pasar luar negeri (eksport). Hasil dari aktivitas produksi seringkali tidak
diserahkan kepada pengguna/ pasien secara langsung, namun melalui proses
distribusi dan penyerahan dilakukan oleh sarana pelayanan (apotek, puskesmas,
klinik maupun rumah sakit). Lain halnya dengan aktivitas peracikan yang dilakukan
secara terbatas, ditujukan untuk kebutuhan pasien per pasien secara individual dan
sediaan hasilnya diserahkan (dispensing) kepada pasien (atau keluarganya) secara
langsung, tentunya dengan label (etiket) dan penjelasan yang sesuai.
Tak dipungkiri bahwa sediaan hasil peracikan tidak berizin edar BPOM, namun
demikian sediaan hasil peracikan pastilah berasal dari sediaan/ bahan yang sudah
berizin edar sebelumnya. Misal, sebut saja racikan kapsul batuk alergi dan demam,
yang terdiri dari tablet parasetamol, tablet ambroksol dan tablet CTM yang masing-
masing sudah berizin edar BPOM, bahkan cangkang kapsulnya-pun juga berizin edar.
Seorang apoteker semenjak baru lulus dari pendidikan profesi sudah memiliki
kompetensi untuk hal ini, yaitu mulai memilih sediaan yang sesuai (yang sudah berizin
edar), menyiapkan dan lalu meraciknya sesuai kaidah-kaidah extemporaneous
compounding yang diatur dalam Pedoman Praktik Apoteker Indonesia. Bukti
kompetensi apoteker dalam hal ini, diakui oleh negara, asosiasi perguruan tinggi
farmasi dan organisasi profesi (IAI, Ikatan Apoteker Indonesia) yang mana dibuktikan
dengan STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker), Sertifikat Profesi/ Ijazah dan juga
Sertifikat Kompetensi. Yang mana dokumen-dokumen tersebut menjadi dasar
terbitnya SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker) yakni suatu bukti tertulis yang diberikan
pemerintah daerah kepada apoteker sebagai bentuk pemberian kewenangan untuk
menjalankan praktik farmasi.
Kewenangan peracikan dan penyerahan (compounding and dispensing) oleh
apoteker ini tentunya berakar (diamanatkan) dan dilindungi oleh suatu payung
peraturan Perundang-undangan, yaitu antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara khusus pada
Pasal 98 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 99 ayat (2).
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, secara
khusus pada Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), ayat (2) ayat (3) dan ayat (4).
c. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan, secara khusus pada Pasal 1 angka 3 dimana
dalam penjelasannya memisahkan/ membedakan antara produksi dengan
penyiapan atau peracikan yang dilakukan oleh apoteker di sarana kesehatan
(antara lain di apotek).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
secara khusus pada Pasal 21 ayat (1) dan pada ayat (3) membatasi kewenangan
peracikan selain yang dilakukan apoteker hanya berlaku untuk daerah terpencil
yang tidak terdapat apoteker.
e. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, yang merupakan peraturan teknis terkait yang secara
khusus menjadi pedoman dalam penerapan standar pelayanan farmasi oleh
apoteker, dimana dalam substansinya memasukkan peracikan dalam aspek
pelayanan farmasi klinis dan disebut sebagai produksi dalam jumlah terbatas
(berbeda dengan konsep produksi di industri farmasi yang pembuatannya dalam
jumlah besar sebagaimana telah diuraikan diatas).
Berdasarkan uraian diatas, termasuk payung-payung Peraturan Perundang-
undangan yang disebutkan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang apoteker
yang telah memiliki SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker) berhak dan memiliki keahlian
serta kewenangan untuk melakukan aktivitas peracikan dan penyerahan (to
compound and to dispense) sediaan farmasi. Tentunya hal ini berasaskan
kemanusiaan dan demi kepentingan pasien/ masyarakat, dilakukan berdasarkan
kompetensi, dijalankan dengan mengikuti Standar Profesi dan Standar Opersional
Prosedur (SOP).
Tidaklah elok apabila pembangunan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
mengalami hambatan sebab pasien kesulitan mendapat sediaan farmasi yang sesuai
dengan kebutuhannya. Oleh sebab itu yang perlu ditingkatkan adalah pembinaan dan
pengawasan pada praktik peracikan oleh apoteker, dan hal ini tentunya adalah
tanggung jawab dan kewenangan Dinas Kesehatan dan Organisasi Profesi (IAI,
Ikatan Apoteker Indonesia) sebagaimana amanat dari Peraturan Perundang-
undangan. Senyampang sediaan yang diracik berasal dari sediaan farmasi yang
sudah berizin edar, dilakukan di sarana pelayanan farmasi oleh apoteker yang
teregistrasi dan ber-SIPA dan jumlahnya terbatas untuk keperluan pasien per pasien
maka tidak perlu dipersulit dan diganggu gugat.

Anda mungkin juga menyukai