Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

“COMPOUNDING AND DISPENSING”

DISUSUN OLEH :

KADEK SUASTINI (D1A119001)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESIONAL APOTEKER

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI FARMASI, RUMAH SAKIT

UNIVERSITAS MEGAREZKY

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Obat racikan adalah salah satu pelayanan kefarmasian yang

diperlukan untuk menyediakan obat sesuai kondisi pasien. Keterbatasan

sediaan khusus untuk anak yang tersedia di Indonesia menyebabkan

perlunya peresepan obat racikan. Penggunaan obat racikan

memungkinkan terjadinya pengobatan yang tidak rasional. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola peresepan obat

racikan untuk pediatri dan bagaimana struktur pelayanan obat racikan di

Rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lainnya.

 Obat-obat yang diracik sebagian besar adalah obat generik,

dengan formula terbanyak obat antituberculosis Jumlah zat aktif terbanyak

setiap R/ racikan adalah tiga zat aktif (37%). Bentuk sediaan racikan

didominasi oleh bentuk pulveres (95%). Prosedur peracikan pulveres

sedah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Rumah Sakit.

Gambaran struktur pelayanan resep racikan meliputi personel, fasilitas,

kebersihan, peralatan, dokumentasi dan sumber informasi peracikan.

Kebersihan personel belum memenuhi syarat Cara Pembuatan Obat yang

Baik.

Pharmacy (Farmasi) Berasal dari bahasa Yunani Pharmakon,

berartimedicine atau drug (obat). Pharmacist (Farmasis) Orang yang ahli

mengenai obat. Hanya Farmasis yang ahli mengenai obat. Untuk keahlian

mengenai obat dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dari segala


aspek farmasi, Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan Menuliskan resep

dan terutama tertarik mengenai efek obat pada pasien, nilai terapeutik,

dan toksikologinya.

Instalasi farmasi sebagai bagian layanan rumah sakit memberikan

kontribusi besar pada pendapatan rumah sakit (revenue center) sampai

lebih dari 50%. Hal ini mengingat 90% pelayanan kesehatan di rumah

sakit menggunakan perbekalan yang dikelola farmasi seperti obat, bahan

kimia, bahan radiologi, alat kesehatan habis pakai, alat kedokteran dan

gas medik. Data dari sektor bisnis obat di Indonesia menyebutkan bahwa

kontribusi Keperawatan, supervisor atau apoteker dan petugasfarmasi

rumah sakit dalam penjualan obat cukup signifikan yaitu 51%, diikuti dari

apotek luar rumah sakit 2 orang 46% dan sisanya melalui dispensing

dokter 3%.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang standart Pelayanan Kefarmasian di

Rumah Sakit, sediaan steril harus dilakukan secara terpusat di Instalasi

Farmasi Rumah Sakit. Menurut Pedoman Dasar Dispensing Sediaan

Steril tahun 2009 menyebutkan pencampuran sediaan steril harus

dilakukan secara terpusat di instalasi farmasi rumah sakit untuk

menghindari infeksi nosokomial dan terjadinya kesalahan pemberian obat.

Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial,

kontaminasi sediaan, paparan terhadap petugas dan lingkungan, untuk

mencegah kesalahan dalam pemberian obat, serta untuk menjamin


kualitas mutu sediaan. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya diperlukan

tenaga kefarmasian yang terlatih, fasilitas dan peralatan serta prosedur

penanganan khusus.
BAB II

TELAAH LITERATUR

A. COMPOUNDING

1. PENGERTIAN

Merupakan proses melibatkan pembuatan (preparation),

pencampuran (mixing), pemasangan (assembling), pembungkusan

(packaging), dan pemberian label (labelling) dari obat atau alat

sesuai dengan resep dokter yang berlisensi atas inisiatif yang

didasarkan atas hubungan dokter/pasien/ farmasis/compounder

dalam praktek profesional (USP, 2004)

Compounding menurut Asosiasi Apoteker Amerika (APhA)

adalah pencampuran bahan, termasuk pengenceran,

pencampuran, pengemasan ulang, rekonstitusi, dan produk steril

lainnya (Hicks and Hicks, 2014).

Compounding merupakan penyiapan, pencampuran,

perakitan, pengubahan, pengemasan dan pelabelan obat, sesuai

dengan resep dokter, pesanan obat (Minghetti et al., 2014).

Compounding adalah pembuatan sediaan farmasi oleh

apoteker untuk memenuhi kebutuhan pasien ketika obat yang

tersedia secara komersial tidak memenuhi kebutuhan tersebut,

apoteker harus mempertimbangkan sifat fisik dan kimia dari


masing-masing bahan aktif untuk menyiapkan obat yang aman

(Burch, 2017).

Compounding atau meracik adalah suatu kegiatan membuat

sediaan obat dengan mencampur bahan aktif farmakologis dan

bahan-bahan tambahan farmasi. Saat ini kurang lebih hanya 1%

sediaan obat yang diracik dari bahan baku, biasanya yang diracik

itu sediaan pulveres, salep, dan suspensi. Sediaan lain seperti

emulsi, jarang diracik, karena sudah tersedia dari industri obat dan

lebih baik mutunya. Untuk sediaan pulveres biasa diberikan

saccharum lactis supaya manis. Selain itu, untuk sediaan pulveres,

tidak boleh mencampurkan bahan dengan antibiotik, jadi kalau ada

antibiotik, harus dipisah. Karena aturan penggunaannya berbeda,

misalnya antibiotik dicampur dengan obat demam. Antibiotik harus

dihabiskan, sementara obat penurun demam harus dihentikan

ketika sudah tidak demam. Akibatnya jika dicampur, pasien

tersebut akan menghabiskan racikan antibiotik dan obat penurun

demam yang padahal sebenarnya pada waktu tersebut pasien

sudah tidak demam, lebih lanjut, dapat muncul efek samping yang

tidak diinginkan, selain itu juga pemisahan dilakukan untuk

mencegah resistensi obat.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa hanya sekitar 1%

sediaan obat saja yang diracik, hal ini karena proses peracikan

membutuhkan waktu, dan lagipula sebagian besar sediaan obat


telah diproduksi di industri farmasi dengan CPOB (Cara Pembuatan

Obat yang Baik). Jadi, hanya beberapa sediaan obat saja yang

diracik. Racikan dibuat untuk obat-obat yang sulit didapat atau

karena tidak tersedianya produk industri farmasi. Misalnya di rumah

sakit, sediaan steril seperti larutan IV (intravena) masih diracik

(tentu juga dengan spesifikasi yang memenuhi CPOB), serta di

apotek dan puskesmas juga masih dibuat racikan untuk anak-anak.

Sediaan-sediaan apa saja yang diracik di rumah sakit, diputuskan

oleh panitia, misalnya seperti sediaan tertentu atau sediaan

berdasarkan resep yang diminta untuk diracik. Sementara di

apotek, sediaan yang diracik adalah sediaan-sediaan yang

sederhana dan juga sediaan yang ditulis di resep.  Lain dengan di

puskesmas, puskesmas hanya meracik sediaan yang ditulis di

resep.  Kenapa hanya sediaan tertentu atau yang sederhana saja

yang diracik?

Hal ini akibat adanya beberapa alasan:

a. Absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh bahan tambahan dan

proses pembuatan, sehingga tidak mudah untuk meracik

sediaan obat yang membutuhkan bahan tambahan khusus.

b. Kualitas, kemurnian, dan potensi bahan baku tidak dapat

dipastikan di apotek, rumah sakit, atau puskesmas, sehingga

untuk bahan baku yang penyimpanan dan stabilitasnya khusus

akan sulit dijamin kualitas, kemurnian, dan potensinya.


c. Sulit memastikan bahan yang sudah terurai atau terkontaminasi

bakteri. Jadi ini memang kelemahannya peracikan.

d. Beberapa bentuk sediaan membutuhkan teknologi tinggi,

misalnya tablet sustained release, maka proses pembuatannya

tidak bisa dilakukan di apotek, rumah sakit, atau puskesmas.

Hanya bisa dilakukan di industri farmasi yang memiliki

teknologinya.

e. Stabilitas dan sterilitas sediaan juga tidak sebaik sediaan

produk industri farmasi. Oleh karena itu, masa kadaluarsanya

lebih cepat.

Oleh karena itu, untuk menjamin mutu, khasiat, keamanan,

dan manfaat dari sediaan obat perlu untuk menghindari peracikan

yang sesungguhnya sediaan obat tersebut telah tersedia dari

industri farmasi (istilahnya, tinggal memberikan produk industri,

untuk apa repot-repot membuat racikan yang membutuhkan waktu

lama serta kurang terjamin mutunya. Sementara produk industri

sudah jelas mutunya. Meskipun demikian, seperti yang dijelaskan

sebelumnya, proses peracikan juga diupayakan CPOB, jadi hanya

sediaan sederhana saja yang dibuat. Jadi juga, perlu untuk

menghindari peracikan yang tidak memenuhi persyaratan mutu.

Terkait dengan stabilitas, perlu dihindari peracikan dalam skala

besar, walau hanya untuk persediaan. Misal hanya untuk

memenuhi kebutuhan satu hari saja, itu boleh, tetapi kalau untuk
persediaan berminggu-minggu, tidak boleh, dikhawatirkan akan

mempengaruhi stabilitas sediaannya.

2. TERMASUK COMPOUNDING

Pembuatan obat dan alat dalam antisipasi permintaan obat

resep berdasarkan kebiasaan, pola peresepan yang diamati secara

reguler. 

a. Rekonstitusi produk komersial yang mungkin membutuhkan

penambahan satu atau dua bahan peramu (ingredient) sebagai

akibat dari permintaan resep dokter. 

b. Manipulasi produk komersial yang mungkin membutuhkan

penambahan satu atau lebih bahan peramu (ingredient) sebagai

akibat dari permintaan resep dokter. 

c. Pembuatan obat atau alat untuk tujuan, atau yang ada

hubungannya dengan, penelitian,    pengajaran, atau analisis

kimia.

3. RESPONSIBILITIESMOF THE COMPOUNDER ( TANGGUNG

JAWAB PERACIK )

a. Compounder (peracik) dalam peracikan obat atau peracikan    

makanan (nutriceutical) harus ahli dalam peracikan dan harus

terus mengembangkan ilmunya dengan mengikuti seminar  

dan/atau mempelajari literatur yang cocok. 


b. Seorang compounder harus tidak asing secara detail dengan

semua

Pharmaceutical Compounding – Nonsterile Preparations, 

Pharmaceutical Compounding – Sterile Preparations. 

Sebagai tambahan, compounder harus bertanggung jawab

dalam: 

- Mengesahkan semua pesanan resep.

- Menyetujui atau menolak semua komponen, pengemas

produk obat, penutup, material dalam proses, dan

pelabelan. 

- Membuat dan mengkaji ulang semua catatan

compounding untuk menjamin bahwa tidak terjadi kesalahan

dalam proses  compounding. 

- Menjamin pemeliharaan yang cocok, kebersihan, dan

pemakaian semua peralatan yang dipakai dalam praktek 

peracikan obat. 

- Menjamin bahwa hanya personil yang diberi wewenang oleh

supervisor compounding akan dekat daerah operasi

peracikan obat. 

- Menjamin bahwa produk obat dan komponen produk obat 

adalah tidak termasuk daftar produk obat yang telah ditarik 

dari peredaran untuk alasan kesehatan masyarakat.


c. Compounder harus menjamin bahwa personil yang

diperkerjakan dalam peracikan memakai pakaian yang bersih

sesuai dengan tipe sepatu atau item lain yang diperlukan untuk

melindungi personil dari kena bahan kimia dan mencegah

kontaminasi obat.

d. Compounder harus melaksanakan prosedur untuk mencegah

kontaminasi silang bila meracik dengan obat (misalnya penisilin)

yang membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah

kontaminasi silang.

4. LEVELS OF COMPOUNDING (USP 2004)

a. Level 1 Nonsteril (topikal)

Mencampur satu atau dua krim Mencampur krim dengan

alkohol,air, dll. (sesuai dengan instruksilabel pabrik).

b. Level 2 Nonsteril (topikal)

Pembuatan krim, salep topikal nonsterll Pembuatan dengan

tidak ada batasan dosis(jumlah banyak).

c. Level 3 Nonsteril (reconstituting atau flavoring)

Rekonstitusi berdasarkan instruksi label pabrikPenambahan

penambah citra rasa (flavoring).

d. Level 4 Steril

(injeksi sederhana, misalnya, rekonstitusi untuk pemakaian

yang segera) Pembuatan injeksi untuk pemakaian yang segera


e. Level 5 Nonsteril (bentuk sediaan)

Pembuatan bentuk sediaan padat (tablet, kapsul) Pembuatan

bentuk sediaan cair (emulsi, larutan, suspensi, dll) Pembuatan

supositoria, lozengs (tablet hisap)

f. Level 6 Steril (optalmik/otik)

Pembuatan larutan optalmik dan suspensi otik

g. Level 7 Steril (injeksi kompleks)

Pembuatan injeksi untuk banyak pasienPembuatan injeksi tidak

untuk pemberian yang segeraPembuatan total parenteral

nutritions (TPNs)Pembuatan injeksi multikomponen

h. Level 8 Injeksi steril yang lain dan sediaan tempel (patch)

Pembuatan injeksi kemoterapeutik atau implanPembuatan

trandermal medication

i. Level 9 Steril (radiopharmaceuticals)

Pembuatan radiopharmaceuticals

5. CATEGORIES OF COMPOUNDING (USP 2006)

a. Kategori 1 Nonsteril – Simpel

Biasanya, mencampur dua atau lebih produk komersial

b. Kategori 2 Nonsteril – kompleks

Biasanya, compounding dengan jumlah banyak obat atau

biladibutuhkan perhitungan
c. Kategori 3 Steril –Risk level I

(Lihat Low Risk Level dalam USP general chapter (797)

d. Kategori 4 Steril –Risl level II

(Lihat Medium –Risk Level dalam USP general chapter (797)

e. Kategori 5 Steril –Risk Level III

Lihat High –Risk Level dalam USP general Chapter (797)

f. Kategori 6 Radiopharmaceuticals (Radiofarmaseutik Pembuatan

radiofarmaseutik Kategori 7 Veterinary (Kedokteran Hewan)

Pembuatan veterinary pharmaceuticals (farmaseutik kedokteran

hewan

Persyaratan sediaan racikan Kalu tidak dikatakan lain,

sediaan racikan yang akan dibuat menjamin tiap sediaan

mengandung zat aktif tidak kurang 90,0 persen dan tidak lebih dari

110 persen perhitungan secara teori dari yang tertera pada label

per unit berat atau volume sediaan.

 Kapsul, serbuk, tablet hisap, dan tablet

Dalam meracik sediaan ini perlu perhatian:

a. Kurangi ukuran partikel bahan-bahan menjadi ukuran

partikel terkecil yang layak.

b. Lakukan pemeriksaan untuk menjamin bahwa semua bahan-

bahan tercampur homogeny


c. Monitor kelembaban jika uap air dapat menyebabkan

hidrolisis, sediaan teradhesi ke pada bahan wadah, atau

melunakkan atau disolusi sebahagian dari cangkang kapsul

d. Lakukan penimbangan secara teliti untuk menjamin bahwa

tiap unit akan tidak kurang dan tidak lebih dari 110% dari

berat secara teori untuk tiap unit.

e. Kemas unit sediaan berdasarkan spesifikasi wadah untuk

kapsul dan tablet dari bahan aktif.

 Emulsi, Larutan, dan Suspensi

Apabila meracik sediaan ini, peracik menyiapkan 2%

sampai 3% jumlah berlebih dari jumlah total. Dalam meracik

sediaan ini diperhatikan:

a. Untuk wadah unit-tunggal, berat dari tiap wadah yang terisi,

periksa berat, tidak kurang dari 100% dan tidak lebih dari

110% dari volume pada label.

b. Suspensi air disiapkan dengan menghaluskan campuran

serbuk menjadi pasta halus dengan bahan pembasah yang

tepat. Pasta ini diubah menjadi cairan free-flowing dengan

menambahkan pembawa secukupnya. Bagian pembawa

dipakai untuk mencuci mortir, atau bejana lain, untuk

mentransfer suspensi secara kuantitatif ke dalam botol yang

sudah dikalibrasi. Sediaan dapat dihomogenkan untuk

menjamin kehomogenan sediaan akhir.


c. Kurangi ukuran partikel menjadi ukuran terkecil yang layak

d. Larutan tidak mengandung bahan-bahan tidak larut yang

tampak.

e. Emulsi dan suspensi diberi label “Kocok sebelum dipakai”

 Supositoria

Dalam meracik sediaan ini diperhatikan:

a. Tidak memakai bahan-bahan yang pedas atau mengiritasi,

yang bersifat mengikis membran mukosa.

b. Pilih dasar yang membolehkan bahan aktif memberikan efek

terapetik secara lokal atau sistemik.

c. Kurangi ukuran partikel menjadi ukuran terkecil yang layak.

d. Timbang sejumlah supositoria untuk menjamin bahwa

masing-masing tidak kurang 90% dan tidak lebih dari 90%

dari berat rata-rata dari semua supositoria dalam batch.

 Krim, gel topikal, salap, dan Pasta

Bila meracik sediaan semisolid, peracik menyiapkan jumlah

berlebih dari jumlah totalsediaan. Dalam meracik sediaan

inidiperhatikan :

a. Tidak memakai bahan-bahan yang pedas,

mengiritasi,alergenik terhadap kulit atau tapak pemakaian

lain kecuali kalau perlu untuk pengobatan.

b. Pilih dasar atau pembawa yang membolehkan bahan aktif

memberikan efek terapetik lokal atau sistemik.


c. Kurangi ukuran partikel menjadi terkecil yang layak.

d. Gabungkan bahan aktif dengan bahan-bahan yang

ditambahkan untuk mendapatkan cairan yang uniform atau

dispersi padat dalam sediaan.

e. Amati keseragaman (uniformityI dispersi dengan

menyebarkan lapisan tipis sediaan akhir pada permukaan

datar transparan.

6. TEKNIK COMPOUNDING

Peracikan dilakukan harus sesuai dengan prosedur tetap

yang berlaku untuk menciptakan suatu obat racik yang sesuai

dengan kondisi tiap individu pasien dalam menanggapi perintah

dari Dokter praktek yang sudah berlisensi. Peracikan bukan

merupakan pencampuran produk komersial berdasarkan instruksi

farmasi yang membuatnya (Oetari, 2004). Hal-hal yang mendukung

proses peracikan obat adalah sebagai berikut :

Peracikan obat merupakan salah satu pekerjaan

kefarmasian yang dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian

yang terdiri dari apoteker, sarjana farmasi, ahli madya farmasi,

analis farmasi, dan asisten apoteker. Peracikan obat adalah

penyediaan obat yang dibutuhkan oleh pasien secara individu

yang dibuat di apotek atau sarana kesehatan karena


terbatasnya sediaan obat yang ada (Dewi and Wiedyaningsih,

2012).

a. Fasilitas

Fasilitas peralatan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan terutama untuk perlengkapan dispensing baik untuk

sediaan steril, nonsteril, maupun cair untuk obat luar maupun

dalam. Fasilitas peracikan obat sebaiknya didesain dan dirawat

dengan baik agar mendapatkan perlindungan dari pengaruh

cuaca, banjir, dan hewan pengganggu. Tenaga listrik, lampu,

penerangan suhu, kelembaban dan ventilasi hendaklah tepat

agar tidak mengakibatkan dampak yang merugikan terhadap

obat selama proses pembuatan (Badan POM, 2012).

b. Peralatan

Peralatan yang digunakan untuk peracikan sebaiknya :

1) Peralatan yang digunakan dapat disesuaikan dengan

sediaan obat yang diracik dan terhindar dari kontaminasi.

2) Peralatan dapat digunakan dengan mudah dan terhindar dari

kontaminasi.

3) Peralatan dijaga agar tetap bersih dan kering selama

penggunaan dan penyimpanan (Slamet, 2012).

c. Kebersihan

Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah

diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat (Badan POM,


2012). Tenaga peracik sebaiknya menggunakan pakaian yang

sesuai dan mencuci tangan sebelum melakukan peracikan.

Fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam peracikan obat

harus dalam keadaan bersih sehingga obat racik dapat

terhindar dari kontaminasi (Allen, 2008).

d. Bahan obat

Apoteker hendaknya memilih obat dengan kualitas yang

baik berdasarkan informasi yang standar seperti Farmakope

Indonesia, tanggal kadaluwarsa dan sertifikat dari suatu bahan

baku obat. Dalam melakukan peracikan obat perlu diperhatikan

hal-hal yang berhubungan dengan bahan obat seperti kelarutan,

stabilitas, kompatibilitas, alergi pasien terhadap suatu bahan

obat, interaksi obat, rute pemberian dan jangka waktu

pengobatan (Oetari, 2004).

e. Wadah

Wadah dan tutupnya tidak boleh mempengaruhi bahan

yang disimpan didalamnya baik scara kimia maupun fisika, yang

dapat mengakibatkan perubahan khasiat, mutu atau

kemurniannya (Oetari, 2004).

f. Etiket

Setelah proses pengisian dan pembungkusan hendaklah

segera disertai dengan pemberian label. Etiket dan label yang

tercantum pada wadah harus jelas, tidak memberikan


penafsiran ganda, tertempel dengan kuat dan informasi yang

tertera harus tidak mudah dihapuskan. Dalam label obat racikan

harus tercantum daftar nama obat, nomor resep, beyond-use-

date, paraf petugas peracik, cara penyimpanan dan keterangan

lainnya (Oetari, 2004)

g. Dokumentasi

Obat atau bahan obat harus dikendalikan dengan

prosedur tertulis dan harus diidentifikasi serta

didokumentasikan. Fungsi dari dokumentasi ini adalah untuk

menstandarkan hasil sediaan obat racikan, sehingga terjamin

keamanan dan kualitasnya (Badan POM, 2012).

h. Sarana dan Prasarana

Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan

kefarmasian di Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi

(MenKes RI, 2016):

1) Ruang penerimaan resep, meliputi tempat penerimaan

resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set

komputer, jika memungkinkan. Ruang penerimaan resep

ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat

oleh pasien (MenKes RI, 2016).

2) Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan

secara terbatas) meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan

meja peracikan. Di ruang peracikan disediakan peralatan


peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk

pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari

pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket

dan label obat, buku catatan pelayanan resep, buku-buku

referensi/standar sesuai kebutuhan, serta alat tulis

secukupnya. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan

sirkulasi udara yang cukup. Jika memungkinkan disediakan

pendingin ruangan (air conditioner) sesuai kebutuhan

(MenKes RI, 2016).

3) Ruang penyerahan obat meliputi konter penyerahan obat,

buku pencatatan penyerahan dan pengeluaran obat. Ruang

penyerahan obat dapat digabungkan dengan ruang

penerimaan resep (MenKes RI, 2016).

4) Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling,

lemari buku, buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet,

poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling, formulir

jadwal konsumsi obat (lampiran), formulir catatan

pengobatan pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling

cabinet), serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan

(MenKes RI, 2016).

5) Ruang penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis Pakai

(BMHP). Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi

sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan


untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Selain

itu juga memungkinkan masuknya cahaya yang cukup.

Ruang penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan

rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari

pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan

psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus, dan

pengukur suhu (MenKes RI, 2016).

6) Ruang arsip, ruangan ini dibutuhkan untuk menyimpan

dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan obat dan

Bahan Medis Habis Pakai dan Pelayanan Kefarmasian

dalam jangka waktu tertentu. Ruang arsip memerlukan

ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara

dan menyimpan dokumen dalam rangka untuk menjamin

penyimpanan sesuai hukum, aturan, persyaratan, dan teknik

manajemen yang baik. Istilah „ruang‟ di sini tidak harus

diartikan sebagai wujud „ruangan‟ secara fisik, namun lebih

kepada fungsi yang dilakukan. Bila memungkinkan, setiap

fungsi tersebut disediakan ruangan secara tersendiri. Jika

tidak, maka dapat digabungkan lebih dari 1 (satu) fungsi,

namun harus terdapat pemisahan yang jelas antar fungsi

(MenKes RI, 2016).


7. PROSES MERACIK (COMPOUNDING PROCESS)

Peracik mengingat langkah-langkah berkut untuk

meminimalkankesalahan dan memaksimalkan tujuan papenulis

resep.

a. Pertimbangkan kecocokan resep yang akan diracik dengan

syarat-syarat keamanan dan tujuan pemakaian.

b. Kerjakan perhitungan yang yang penting untuk mendapatkan

jumlah bahan-bahan yang diperlukan.

c. Identifikasi alat-alat yang diperlukan

d. Pakai pakaian yang tepat dan cuci tangan

e. Bersihkan daerah peracikan dan alat yang diperlukan

f. Hanya satu resep yang harus diracik pada satu waktu dalam

suatu peracikan yang ditentukan.

g. Kumpulkan semua bahan-bahan untuk meracik resep

h. Racik sediaan dengan mengikuti catatan formulasi (formulation

record)

i. Nilai variasi berat, kecukupan pencampuran, kejernihan, bau,

warna, konsistensi, dan pH setepatnya.

j. Bubuhi keterangan catatan racikan dan jelaskan rupa sediaan

k. Beri label wadah resep dengan memasukkan item berikut:

7) nama sedaan,
8) nomor identifikasi internal,

9) initial compounder,

10)penyimpanan yang diperlukan, dan pernyataan yang

diperlukan berdasarkan undang-undang.

l. Tandatangani dan beri tanggal resep yang menegaskan bahwa

semua prosedur telah dikerjakan untuk menjamin keseragaman,

identitas, kekuatan, kuantitas, dan kemurnian.

m. Bersihkan semua peralatan dan simpan dengan tepat

B. DISPENSING

1. Pengertian

Dispensing merupakan proses sejak diterimanya resep

sampai obat diberikan kepada pasien diikuti dengan pemberian

informasi yang memadai

Dispensing obat merupakan proses yang mencakup

berbagai kegiatan, yang dilakukan olehseorang Apoteker, mulai

dari penerimaan resep dengan memastikan penyerahan obat yang

tepat bagi pasien serta kemampuannya mengonsumsi sendiri deng

an baik. Kegiatan dalam prosesdispensing mencakup:

a. Menerima dan memvalidasi resep dokter;

b. Mengerti dan menginterpretasikan maksud dokter dalam resep

obat;
c. Solusi masalah jika terdapat dalam resep bersama dokter

penulis resep;

d. Mengisi P3 (Profil Pengobatan Penderita);

e. Menyediakan/meracik obat dengan teliti;

f. Memberi wadah dan etiket yang benar;

g. Merekam semua tindakan;

h. Mendistribusikan obat kepada pasien rawat inap atau rawat

jalan;

i. Memberikan informasi yang diperlukan bagi pasien dan

perawat.

Dispensing merupakan proses rutin dan sederhana yang

tidak boleh salah. Praktik Dispensing yangBaik adalah suatu praktik

yang memastikan bahwa obat yang diberikan kepada pasien yang

benar,dosis dan frekuensi yang benar, instruksi yang jelas dan

dalam suatu kemasan yang memelihara potensi obat.

Dispensing termasuk semua kegiatan yang terjadi antara waktu

resep diterima danobat yang ditulis disampaikan kepada pasien.

Dimulai dari adanya pertanyaan, "Siapa yang boleh

melakukan dispensing?" Jawabannya adalah apoteker baik yang di

rumah sakit, apotek, atau puskesmas. Kemudian, perawat di rumah

sakit, dokter, penjaga toko, dan anggota keluarga.

Sebenarnya pada penjelasan ini masih bingung kenapa ada

banyak pihak yang diperbolehkan melakukan dispensing, bukankah


hanya apoteker saja yang diperbolehkan, terkait hal ini juga telah

ditetapkan melalui PP no 51 tahun 2009 tentang pekerjaan

kefarmasian sehingga profesi di luar apoteker, tidak diperbolehkan

melakukan dispensing.

Pada dasarnya, pasien menganggap apoteker sebagai

profesi yang serba tahu terkait obat. Oleh karena itu, apoteker

harus selalu meningkatkan kompetensinya. Karena sebagai

apoteker, apoteker harus memiliki pengetahuan mengenai

informasi obat, informasi produk, farmakoterapi, dan dapat

memberikan konsultasi. Selain itu juga, apoteker harus memiliki

keterampilan komunikasi dan teknik promosi. Hal lain yang perlu

diketahui juga terkait dengan persediaan, peralatan, dan pengaruh

pengobatan, serta dapat menjalin hubungan dengan dokter.

Dispensing merupakan proses sejak diterimanya resep

sampai obat diberikan kepada pasien diikuti dengan pemberian

informasi yang memadai

Hal yang harus diperhatikan dalam dispensing :

- Kualitas lingkungan kerja

- Proses dispensing

- Ketersediaan obat

- Alur kerja

- Penataan obat
Praktek Dispensing yang Baik adalah suatu praktek yang

memastikan suatu bentuk yang efektif dari obat yang benar,

ditujukan kepada pasien yang benar, dalam dosis dan kuantitas

sesuai instruksi yg jelas, dan dalam kemasan yang memelihara

potensi obat.

Biasanya kesulitan apoteker dalam melakukan interpretasi

resep adalah tulisan dokter yang tidak terbaca, sehingga tentunya

paling baik adalah mengkonfirmasi kembali kepada dokter terkait

obat yang diresepkan supaya tidak terjadi kesalahan penyerahan

obat. Apabila kesulitan menghubungi dokter, bisa dipelajari dengan

menggali informasi dari pasien dan harus diteliti secara ilmiah. 

Ada banyak kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi selama

penyerahan obat, dan tentunya harus dihindari.

Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain:

a. Interpretasi resep yang salah. contohnhya salah satu kasus

yang pernah terjadi, seorang apoteker mengira yang tertulis

di resep adalah Klorpropamid (obat antidiabetes). Namun,

ternyata yang dimaksud adalah Kloramfenikol (antibiotik).

Akibatnya terjadi kesalahan fatal karena pasien yang

menggunakannya menjadi idiot.

b. Salah ambil obat dan dosis. Biasanya ini terjadi akibat

adanya obat dengan kemasan yang mirip dan diletakkan

bersebelahan. Oleh karena itu, jangan pernah menaruh


keduanya secara berdekatan, bila perlu tambahkan label

informasi lainnya.

c. Kurang pengetahuan farmakoterapi.

d. Mutu obat yang tidak terjaga.

e. Tidak akuratnya perhitungan saat peracikan.

f. Kurangnya waktu berkomunikasi dengan pasien.

g. Kurang mampunya berkomunikasi dengan pasien.

Tujuan melakukan konseling dan pemberian informasi obat

salah satunya adalah agar pasien patuh menggunakan obat dan

pada akhirnya pasien akan membaik kondisinya. Selama pasien

tidak patuh, maka pengobatan akan menjadi sia-sia. Apabila

apoteker tidak memiliki waktu banyak untuk konsultasi, maka

apoteker dapat mengantisipasinya dengan memberikan informasi

melalui label tambahan agar pasien dapat membacanya sendiri.

2. Lingkungan Dispensing

a. Yang termasuk lingkungan dispensing adalah staf, sekeliling

lingkungan fisik, rak, ruang peracikan, ruang penyimpanan,

peralatan, permukaan yang digunakan selama bekerja, dan

bahan pengemas.

b. Lingkungan dispensing harus bersih dan diorganisasikan.

Bersih karena umumnya obat digunakan secara internal dan


diorganisasikan agar dispensing dapat dilakukan dengan aman,

akurat, dan efisien.

c. Staf harus memiliki kebersihan diri dan harus memakai baju

kerah putih/baju kerja. Sekeliling lingkungan fisik, ruang

peracikan, dan ruang penyimpanan harus bebas debu dan

kotoran; sebaiknya dibersihkan setiap hari. Wadah dan obat-

obattan sebaiknya diorganisasikan dalam rak; sebaiknya  obat

dalam dan obat luar diletakkan secara terpisah; bahan kimia

cair dan padat juga sebaiknya disimpan secara terpisah; semua

wadah dan obat harus diberi etiket secara jelas untuk

memastikan pemilihan yang aman dari sediaan dan

meminimalkan kesalahan. Semua peralatan untuk meracik,

seperti lumpang dan alu, spatula, timbangan, dll harus

dibersihkan hingga bersih dan kering sebelum pemakaian

sediaan selanjutnya. Timbangan sebaiknya dikalibrasi sesuai

dengan peraturan yang ada.

d. Lingkungan dispensing harus memiliki ruangan yang

memungkinkan gerakan yang longgar bagi staf selama proses

dispensing, tetapi pergerakan harus diminimalkan untuk

memelihara efisiensi.

e. Sistem perputaran sediaan harus ditetapkan berbasis obat yang

digunakan terlebih dahulu, misalnya yang masuk dulu/keluar

dulu. (First In/First Out)


3. Personel Dispensing

Selain membaca, menulis, menghitung, dan menuang,

personel dispensing harus memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Pengetahuan tentang obat yang mau didispensing, seperti

penggunaan umum, dosis yang digunakan, efek samping yang

ditimbulkan, mekanisme kerja obat, interaksi dengan obat

lain/makanan, penyimpanan yang baik, dll.

b. Keterampilan kalkulasi dan aritmatik yg baik.

c. Keterampilan mengemas yang baik.

d. Bersifat bersih, teliti, dan jujur.

e. Memiliki sikap dan keterampilan yang baik dalam berkomunikasi

dengan penderita dan profesional kesehatan lain.

4. Proses Dispensing

a. Menerima dan memvalidasi resep

b. Mengkaji resep untuk kelengkapan

c. Mengerti dan menginterpretasikan resep

d. Menapis profil pengobatan penderita

e. Menyiapkan, membuat, atau meracik obat


f. Mendistribusikan obat kepada penderita

5. Proses Dispensing (Dirjen Binfar dan Alkes, 2010)

Lima tahapan siklus dispensing:

a. Menerima & melakukan konfirmasi resep

b. Menerjemahkan dan analisis resep

c. Menyiapkan obat yg diperlukan & memberi label

d. Mencatat dan mendokumentasikan kegiatan yg dilakukan

e. Memberikan konseling dan informasi serta obat kepada

pasien

6. Hal-hal yang diperhatikan dalam siklus dispensing

Dalam menerima resep pastikan:

a. Identitas pasien

b. Keabsahan resep (jika kurang, konform ke pasien/dokter)

Dalam menerjemahkan & analisis resep pastikan:

a. Ada/tdknya DRP (drug related problem)

b. Dosis, indikasi, kontraindikasi, interaksi obat

c. Kondisi pasien (usia, hamil, menyusui, liver, ginjal)

d. Terapi yang rasional

e. Ketersediaan obat
7. Hal yang harus diperhatikan dalam proses peracikan pastikan

yaitu:

a. Nama obat

b. Macam sediaan

c. Kekuatan obat

d. Jumlah obat

e. Fokus pada obat yang diambil, utk menghindari kesalahan

(gunakan sistem barcode)

f. Obat tdk kontak langsung dengan tangan

g. Lingkungan higienis

h. Ketepatan pengukuran miniskus sediaan cair

Dalam mencatat dan dokumentasi pastikan label obat berisi

tanggal, nama pasien, nama obat, kekuatan obat, aturan pakai,

keterangan tambahan. Label disiapkan satu persatu sesuai obat.

Penyerahan obat dengan informasi yg lengkap :

a. Jadwal minum obat (hub dgn mkn & obat lain)

b. Cara minum obat (kunyah, telan, dilarutkan)

c. Cara menyimpan & menjaga kestabilan

C. MANUFACTURING

GDP atau Good Manufacturing Practice masih menjadi hal yang

baru di Indonesia untuk diterapkan didalam aktifitas logistik sehari-hari.


Standar penanganan logistik tertinggi ini masih belum banyak difahami

oleh pegiat dan pekerja di logistik.

Good Manufacturing Practice (GMP) adalah istilah yang diakui

di seluruh dunia untuk kontrol dan manajemen manufaktur dan

pengujian kontrol kualitas makanan, produk farmasi dan alat

kesehatan. Persyaratan ini metode keprihatinan, peralatan atau

pengujian, yang digunakan untuk produksi, pengolahan, kemasan

dan / atau penyimpanan obat.

Hal ini memastikan bahwa produk obat memenuhi kriteria

kualitas yang diperlukan. Pada saat yang sama peraturan GMP

memiliki pengaruh peningkatan pada pemasok dari industri farmasi

seperti pemasok API dan eksipien, bahan kemasan, fasilitas

manufaktur dan peralatan pengujian. Kepatuhan GMP-peraturan terus

diperiksa oleh inspektur dari otoritas sistem perawatan kesehatan.

Compounding (peracikan) berbeda dengan manufacturing.

Beberapa karakteristik atau kriteria yang membedakan compounding

dari manufacturing termasuk :

- hubungan dokter-pasien-compounder

- jumlah obat yang dibuat dalam antisipasi resep yang diterima

ataupermintaan melalui resep;

- kondisi penjualan yang terbatas untuk permintaan resep

spesifik.
D. FUNGSI / TUGAS APOTEKER

SK. Menkes No 1027/ Menkes/ SK/ IX/ 2004 tentang Standart

Pelayanan di Apotik. Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor

23 Tahun 1992 telah diatur tentang peranan profesi apoteker, yakni

pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

informasi obat serta pengem- bangan obat dan obat tradisional. 

Keharusan apoteker berada pada sepanjang jam buka apotek

telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965

tentang Apotek. Dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan

apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker. Dalam

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dinyatakan bahwa

orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke

pasien yang mengacu pada pharmaceutical care.

Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah bentuk

pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam

pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Apoteker Pengelola Apotek terkena ketentuan seperti dimaksud pada

Keputusan Menteri Kesehatan 1332/MenKes/SK/X/2002 (Pasal 19

ayat 1) yang menyatakan bahwa apabila Apoteker Pengelola Apotik


berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker

Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.

Dari peraturan perundang-undangan tersebut Peran dan Fungsi

Apoteker di Apotik yang melayani langsung pasien adalah sebagai :

a. Pelayan 

1) Sebagai Pelayan adalah :

Membaca resep dengan teliti, meracik obat dengan

cepat, membungkus dan menempatkan obat dalam wadah /

bungkus yang cocok dan memeriksa serta memberi etiket

dengan teliti.

2) Memberikan informasi / konsultasi tentang obat kepada

pasien, tenaga kesehatan masyarakat.

Sebagai Pelayan sesuai dengan standar pelayanan yang

sudah ditetapkan adalah:

1) Melayani resep dan non resep.

2) Promosi dan edukasi.

Pelayanan residensial (Home care)

1) Sebagai Pelayan Resep melakukan:

a) Skrining / pembacaan resep, melakukan

Pemeriksaan persyaratan administrative resep:

 Nama dokter, alamat, SIP.

 Tanggal penulisan

 Paraf / tanda tangan.


 Nama pasien, alamat, umur, jenis kelamin, berat

badan.

 Signa (cara pakai) yang jelas.

 Informasi lainnya. 

Kesesuaian farmasetik

 Bentuk sediaan.

 Dosis.

 Potensi.

 Stabilitas.

 Inkomptabilitas.

 Cara dan lama pemberian.

Pertimbangan klinis:

o Alergi.

o Efek samping.

o Interaksi.

o Penyiapan obat ( buat protap – protap )

Peracikan ( hitung, sediakan, campur, kemas, label )

- Penyerahan obat.

- Pemberian informasi dan konseling.

- Monitoring penggunaan obat ( penyakit CVS, DM,

TBC)

b. Manajer
Sebagai Manajer adalah :

1) Menyusun prosedur tetap.

2) Mengelola obat, sumber daya manusia, peralatan dan uang di

Apotik.

Peran dan Fungsi Apoteker di Rumah Sakit

Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam

mendampingi, memberikan konseling, membantu penderita

mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul,

mencegah dan mengendalikan efek samping obat,

menyesuaikan regimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi

penderita merupakan tugas profesi kefarmasian. 

Apoteker juga harus melaksanakan fungsinya sebagai :

Clinical Pharmacist, harus mendampingi para dokter sebagai

sumber informasi mengenai perkembangan baru dalam bidang

obat, harus menjadi counterpart dalam bidang pengobatan dan

mengawasi supaya pengobatan yang dilakukan para dokter

tetap rasional.

Dan memonitor efek samping yang timbul karena

pengobatan Fungsi pokok apoteker di apotik rumah sakit

menurut ASHP (American Society of Hospital Pharmacist)

adalah sebagai berikut

1) Membuat dan mensterilisasi obat injeksi bilamana dibuat di

Rumah Sakit
2) Membuat obat yang sederhana

3) Memberikan (dispensing) obat, bahan kimia dan preparat

farmasi

4) Mengisi dan memberikan etiket pada semua container yang

berisi obat dan diberikan kepada pasien maupun bagian

Rumah Sakit

5) Mengawasi semua pharmaceutical supplies yang dikirimkan

dan dipergunakan di berbagai bagian Rumah Sakit.

6) Menyediakan persediaan antidot dan lain-lain obat untuk

keadaan darurat

7) Mengawasi pengeluaran obat narkotika dan alkohol dan

membuat daftar inventory

8) Membuat spesifikasi (kualitas dan sumber) dari pembelian

semua obat, bahan kimia, antibiotika, biological dan

preparat-preparat yang dipakai dalam pengobatan pasien di

Rumah Sakit.

9) Memberikan informasi mengenai perkembangan terbaru

berbagai obat kepada para dokter, perawat dan lain-lain

orang yang berkepentingan

10)Membantu mengajar para mahasiswa kedokteran dan

perawat pada program koasisten fakultas

kedokteran/perawat
11)Melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil oleh

panitia Pharmacy and Therapeutic

E. KENYATAAN YANG ADA DI LAPANGAN 

Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa apoteker sebagai

peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam memberikan

informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan dengan baik,

bahkan dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Berdasarkan hasil

wawancara di 19 apotek di Jawa beberapa waktu lalu, terungkap

bahwa sekitar 50 persen pengunjung belum pernah bertemu dengan

apotekernya, dan hanya 5,3 persen apoteker yang memberikan

informasi obat kepada pembeli.

Kesenjangan ini memberikan kesan dan citra yang kurang baik

bagi profesi apoteker. Masyarakat tentunya merasa sekali

kekuranghadiran apoteker dalam setiap melayani langsung kepada

pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas

kedudukan spesifiknya. Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak

masyarakat akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek.

Dalam Undang – undang sudah jelas sekali disebutkan bahwa

pelayanan obat atas resep dokter dan Pelayanan Informasi Obat

merupakan pekerjaan kefarmasian. Namun fakta yang ada di lapangan

yaitu Apotik dan Rumah Sakit, seringkali peran farmasis dipertanyakan


fungsinya dalam upaya kesehatan pasien. Apoteker seringkali tidak

tidak melakukan pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan

informasi obat. 

Faktanya di Apotik yang melakukan pelayanan obat atas resep

dokter pelayanan informasi obat adalah asisten apoteker atau pegawai

apotik yang hanya lulusan smu saja, karena Apoteker tidak datang tiap

hari di Apotik melainkan sebulan hanya 1 kali datang ke Apotik dan itu

pun hanya beberapa jam. Umumnya sebagian besar apoteker

bukanlah sebagai Pemilik Sarana apotek ( PSA)

Mereka bekerja hanya sebagai penanggung jawab, selebihnya

yang berperan aktif adalah PSA. Sehingga bekerja di apotek bukan

sebagai pekerjaan pokok tetapi pekerjaan sambilan. Waktu kerja

mereka lebih difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya.

Maka tak heran bila seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat

atau berwiraswasta. Jam kerja di apotek biasa mereka lakukan setelah

waktu kerja pokok mereka selesai

Banyak sekali apoteker yang belum secara utuh menjalankan

fungsinya sehingga mengakibatkan masyarakat awam (pasien) kurang

mengenal profesi Apoteker, bahkan oleh para tenaga kesehatan

farmasis/Apoteker masih dipandang sebelah mata. Sementara itu di

dalam rumah sakit apoteker masih sedikit atau tidak banyak yang

melakukan tugasnya secara utuh kerena kebanyakan rumah sakit

masih tenaga apoteker masih sedikit atau di satu rumah sakit hanya
ada 1 atau beberapa saja apotekernya dan tidak banyak. Dengan

sedikitnya apoteker di rumah sakit, maka apoteker tidak bisa

mendampingi pasien dalam penggunaan obat yang baik. 

BAB III

KESIMPULAN

Oleh karena itu, untuk menjamin mutu, khasiat, keamanan, dan

manfaat dari sediaan obat perlu untuk menghindari peracikan yang

sesungguhnya sediaan obat tersebut telah tersedia dari industri farmasi

(istilahnya, tinggal memberikan produk industri, untuk apa repot-repot

membuat racikan yang membutuhkan waktu lama serta kurang terjamin

mutunya. Sementara produk industri sudah jelas mutunya. Meskipun

demikian, seperti yang dijelaskan sebelumnya, proses peracikan juga

diupayakan CPOB, jadi hanya sediaan sederhana saja yang dibuat. Jadi

juga, perlu untuk menghindari peracikan yang tidak memenuhi

persyaratan mutu. Terkait dengan stabilitas, perlu dihindari peracikan

dalam skala besar, walau hanya untuk persediaan. Misal hanya untuk

memenuhi kebutuhan satu hari saja, itu boleh, tetapi kalau untuk

persediaan berminggu-minggu, tidak boleh, dikhawatirkan akan

mempengaruhi stabilitas sediaannya.

Pengobatan itu mahal, agar dapat berhasil, diperlukan kesabaran.

Pasien diminta untuk mematuhi petunjuk dokter atau tenaga kesehatan


lainnya, mematuhi rencana pengobatan, dan menanyakan hal-hal yag

belum dimengerti. Terutama pasien harus bertanya kepada apoteker.

Meskipun apoteker tidak mendiagosis penyakit, namun apoteker dapat

membantu menjawab pertanyaan mengenai obat dan pengobatannya.

Oleh karena itu pula, disediakan ruangan tersendiri yang dipakai khusus

untuk berkonsultasi dengan orang-orang yang membutuhkan informasi. 

Keterampilan berkomunikasi itu sangat penting dimiliki oleh

apoteker, dalam rangka membuat pasien mengerti mengenai penggunaan

obatnya dengan benar. Beberapa sediaan obat tidak selalu tablet yang

diminum, ada obat tetes mata, inhaler, suppositoria, dan lainnya sehingga

cara penggunaannya sangat penting untuk diinformasikan. Salah

penggunaan akan berujung kembali pada kesia-siaan pengobatan. Saat

berkomunikasi penting juga untuk menginformasikan waktu pemberian

obat serta memastikan pasien telah memahaminya. Pada akhirnya

penanggung jawab penuh dalam penggunaan obat adalah orang yang

menggunakan obat atau pasien. Selama pasien itu patuh, maka tujuan

pengobatan dapat dicapai.


DAFTAR PUSTAKA

https://dokumen.tips/documents/makalah-compounding.html

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/13181/08%20naskah

%20publikasi.pdf?sequence=17&isAllowed=y

http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/67063

https://www.researchgate.net/publication/309386563_Pedoman_Dasar_Di

spensing_Sediaan_Steril

http://worldfarmasi.blogspot.com/2016/11/compounding-dispensing-

pharmacy-farmasi.html

Anda mungkin juga menyukai