Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGANTAR COMPOUNDING

OLEH:

NAMA : SRIWIDIA BARRI’ PATABANG

NIM : D1A120113

KELAS : A

DOSEN : SAFARUDDIN AMIN, S.Si., M.Si., Apt.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGA REZKY
MAKASSAR
2020/2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pharmacy (Farmasi) berasal dari bahasa Yunani Pharmakon yang berarti


cantik atau elok, racun, pengobatan atau obat Farmasi menurut (Syamsuni)
merupakan ilmu yg mempelajari cara membuat, mencampur, meracik, memformulasi,
mengidentifikasi, mengkombinasi, menganalisis, serta menstandardkan obat dan
pengobatan, juga sifat-sifat obat beserta pendistribusian dan penggunaannya secara
aman. Farmasis merupakan seseorang yang meracik dan menyerahkan atau
membagikan obat, atau seseorang yang ahli dalam obat-obatan dan umumnya adalah
pakar kesehatan yang mengoptimalkan penggunaan obat kepada penderita untuk
kesehatan yang lebih baik.

Salah satu jenis pekerjaan kefarmasian adalah compounding. Compounding


yaitu proses pembuatan sediaan obat dengan mencampur bahan aktif farmakologis dan
bahan-bahan tambahan farmasi. Compounding melibatkan pembuatan (preparation),
pencampuran (mixing), pemasangan (asembling), pembungkusan (packaging), dan
pemberian label (labelling) dari obat atau alat sesuai dengan resep Dokter yang
berlisensi atas inisiatif yang didasarkan atas hubungan
Dokter/Pasien/Farmasis/Compounder dalam praktek professional (USP, 2011).

Permasalahan yang sering terjadi pada saat melakukan compounding yaitu


terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan puyer terkait keterbatasan dalam
kemampuan pengamatan secara visual, sehingga dapat menyebabkan sub dose atau
over dose yang akan mempengaruhi efektivitas obat. Selain itu ketelitian,
keterampilan, serta waktu dalam penyiapan obat pulveres yang lama juga menjadi
suatu permasalahan dalam peracikan obat.
B. Tujuan
1. Mahaiswa mampu menjelaskan pengertian compounding
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara coumpouding dan dispensing.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi dan tugas apoteker
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. COMPOUNDING

1) Pengertian Coumpouding

Hampir setiap spesialisasi medis, termasuk dokter hewan, menggunakan obat


racikan untuk pasien mereka (Burch, 2017). Menurut USP edisi ke 34, compounding
adalah penyiapan, pencampuran, perakitan, pengubahan, pengemasan dan pelabelan
obat, perangkat pengiriman obat, atau peralatan sesuai dengan resep dokter, pesanan
obat, atau inisiatif berdasarkan pada hubungan praktisi-pasien-apoteker-compounder
dalam hubungan praktek profesional (Minghetti dkk., 2014).

Compounding menurut Asosiasi Apoteker Amerika (APhA) adalah


pencampuran bahan, termasuk pengenceran, pencampuran, pengemasan ulang,
rekonstitusi, dan produk steril lainnya (Hicks and Hicks, 2014). Compounding adalah
pembuatan sediaan farmasi oleh apoteker untuk memenuhi kebutuhan pasien ketika
obat yang tersedia secara komersial tidak memenuhi kebutuhan tersebut, apoteker
harus mempertimbangkan sifat fisik dan kimia dari masing-masing bahan aktif untuk
menyiapkan obat yang aman (Burch, 2017).

Compounding merupakan peracikan obat yang dilakukan oleh seorang yang


professional yang terdiri dari Apoteker, Sarjana farmasi, asisten Apoteker yang
melibatkan proses penyiapan (preparation), pencampuran (mixing), pemasangan
(asembling), pembungkusan (packaging), dan pemberian label (labelling) dari obat
atau alat sesuai dengan resep Dokter yang berlisensi atas inisiatif yang didasarkan atas
hubungan Dokter/Pasien/Compounder dalam praktek professional (Allen, 2014).

Tenaga kesehatan profesi apoteker harus memastikan setiap keriteria good


coumpounding practice harus terpenuhi di antaranya sebagai berikut :

1. Personil percikan harus terampil, terdidik, diberikan arahan dan pelatihan untuk
melakukan kegiatan compounding steril.
2. Bahan-bahan memiliki identitas, kualitas, dan kemurnian yang sesuai. 3. Bahan-
bahan yang sudah dibuka atau telah digunakan harus di simpan dengan benar.
Bahan-bahan tidak dapat digunakan lagi jika secara visual, wadah, penutup, segel
rusak.
3. Air-mengandung CSP yang tidak steril selama fase penggabungan prosedur
disterilkan dalam 6 jam setelah menyelesaikan persiapan secara berurutan untuk
meminimalkan generasi endotoksin bakteri.
4. Metode sterilisasi untuk mempertahankan label, kekuatan bahan aktif dan
integritas fisik kemasan.
5. Mengukur, mencampur, mensterilkan, dan memurnikan perangkat bersih, tepat
akurat, dan efektif untuk tujuan penggunaannya.
6. Adanya Potensi bahaya dari zat yang ditambahkan dan perbedaan tingkat
bioavailabilitas bahan aktif sehingga diperlukan evaluasi sebelum CSP dikelola
dan dibagikan.
7. Kemasan yang dipilih untuk CSP sesuai untuk menjaga sterilitas dan kekuatan
sampai BUD.
8. Lingkungan peracikan harus mempertahankan sterilitas atau kemurnian
presterilisasi sesuai CSP.
9. Label pada CSP mencantumkan nama dan jumlah atau konsentrasi aktif bahan,
dan label atau label suntikan.
10. BUD yaitu dasar pengujian langsung atau ekstrapolasi dari sumber pustaka dan
dokumentasinya yang sesuai.
11. Prosedur untuk mengukur, mencampur, pengenceran, pemurnian, sterilisasi,
pengemasan, dan pelabelan sesuai dengan urutan yang benar dan kualitas yang
ditetapkan untuk CSP yang ditentukan.
12. Kekurangan dalam peracikan, pelabelan, pengemasan, dan pengujian kualitas dan
inspeksi dapat diidentifikasi dan diperbaiki dengan cepat.
13. Prosedur dipisahkan dari pemeriksaan kualitas postcompounding dan diperiksa
sebelum CSP dibagikan (State Department of Health - Health Systems Quality
Assurance - Construction Review Services, 2008).\

2) Tujuan compounding
Untuk memenuhi kebutuhan terapeutik pada obat racikan, apoteker harus
memahami bahwa obat racikan digunakan untuk memenuhi kebutuhan khusus dari
pasien,di antaranya adalah sebagai berikut (Minghetti dkk., 2014).
a Pasien alergi karena eksipien yang terdapat dalam produk obat yang diproduksi
oleh industri farmasi.
b Peracikan obat untuk pasien pediatri karena industri farmasi tidak
menngembangkan sediaan yang dikhususkan untuk anak.
c Meningkatkan kepatuhan pasien untuk mendapatkan efek tambahan yang sinergis.
d Penggunaan orphan drug, yaitu obat yang telah dikembangkan secara khusus untuk
mengobati kondisi medis yang langka.
e Obat-obat yang digunakan untuk keperluan penelitian klinis di rumah sakit.
f Menyesuaikan terapi/personalisasi terapi.
g Obat-obatan yang memiliki masalah stabilitas, dalam hal ini penyiapan obat
racikan sangat penting.
h Obat-obatan yang belum dipasarkan, peracik/apoteker dapat meracik obat tersebut
jika zat aktif nya diketahui dan sudah dipasarkan.

3) Kategori compounding non-sterile


Kategori disusun berdasarkan tingkat kesulitan untuk meracik sediaan non-sterile
(United States Pharmacopeia, 2011).
a Simple
Racikan yang monografinya sudah ada di USP atau dalam artikel jurnal yang
jumlah semua komponen, prosedur compounding, dan data stabilitas untuk
formulasi tersebut serta BUD (Beyond Use Date) nya sudah tertera. Atau
rekonstitusi obat, yaitu manipulasi produk komersial yang memerlukan
penambahan satu atau lebih bahan yang direkomendasikan pabrik. Contohnya
larutan Captopril, Indomethacin Topical Gel, dan larutan Oral Kalium Bromida.
b Moderate
Pembuatan obat racikan yang memerlukan perhitungan atau prosedur khusus
untuk menentukan jumlah komponen per-racikan atau per-unit dosis individual.
Atau membuat racikan yang data stabilitas formulasinya tidak tersedia. Contohnya
Morfin Supositoria sulfat, hidroklorida diphenhydramine troches dan mencampur
dua atau lebih krim komersial yang stabilitas campurannya tidak diketahui.
c Complex
Membuat racikan yang membutuhkan pelatihan, lingkungan, fasilitas,
peralatan dan prosedur khusus untuk memastikan hasil terapi yang tepat. Contoh
dari jenis racikan kompleks adalah bentuk sediaan transdermal, sediaan pelepasan
yang dimodifikasi, dan supositoria untuk efek sistemik.

4) Aspek-aspek good compounding practice steril


Adapun Aspek-aspek good compounding practice steril yaitu :
a) Fasilitas percikan sediaan steril
a. Fasilitas peracikan harus memiliki ruang khusus untuk peracikan resep
termasuk ruang untuk penyimpanan peralatan dan material.
b. Persiapan untuk campuran steril harus sesuai dengan ketentuan dalam
komponisasi dan proses aseptik harus dilakukan di daerah yang terpisah dan
berbeda dari area yang digunakan untuk penggabungan produk non steril.
c. Area yang digunakan untuk penggabungan harus dijaga dalam kondisi
bersih, teratur, dan sehat.
d. Area untuk peracikan obat harus dalam kondisi yang baik. Sistem pemipaan
harus bebas dari cacat yang dapat berkontribusi pada kontaminasi produk
campuran. Fasilitas pencucian yang memadai harus mudah diakses ke
daerah-daerah peracikan termasuk air panas dan dingin, sabun atau deterjen,
dan handuk yang lebih kering atau digunakan untuk satu penggunaan.
e. Air harus diberikan dibawah tekanan positif terus menerus.
f. Area untuk penggabungan harus memiliki pencahayaan dan ventilasi yang
memadai.
g. Area untuk peracikan harus bebas dari serangga, hewan pengerat, dan hama
lainnya, Sampah harus disimpan dan dibuang dengan cara yang sesuai dan
tepat waktu.
h. Pembuangan limbah dan sampah lain dibidang peracikan harus dibuang
dengan cara yang aman dan sehat.
i. Bahan baku obat dan bahan kimia atau bahan lain yang digunakan dalam
peracikan obat-obatan harus disimpan sesuai dengan persyaratan monograf
USP, di daerah yang bersih dan kering, dibawah kondisi suhu yang sesuai
(suhu ruang terkendali, kulkas, atau freezer), Bahan kimia harus disimpan
dan terlindung dari kontaminasi, Semua wadah harus diberi label yang
benar.
j. Jika meracik produk parenteral peracik harus mengacu pada Pharmaceutical
Compounding — Sterile Preparations.

b) Alat-alat digunakan dalam percikan sediaan steril


a Peralatan yang digunakan untuk peracikan obat harus memiliki desain dan
kapasitas yang sesuai. Peralatan harus disimpan di tempat yang sesuai dan
aman untuk melindungi dari kontaminasi.
b Peralatan dan komposisi bahan baku yang sesuai agar tidak reaktif, aditif,
sehingga tidak akan mempengaruhi atau mengubah kemurnian peracikan
obat.
c Peralatan yang digunakan dalam peracikan atau pengujian preparasi
diperiksa secara rutin, dikalibrasi seperlunya, dan diperiksa untuk
memastikan kinerja yang tepat.Sebelum melakukan percikan obat, peralatan
harus diperiksa oleh compounder untuk menentukan kesesuaiannya untuk
digunakan.
d Peralatan yang telah digunakan harus dibersihkan dengan benar. Perawatan
ekstra harus digunakan ketika peralatan pembersihan digunakan dalam
preparasi peracikan yang memerlukan tindakan pencegahan khusus
misalnya, antibiotik, sitotoksin, obat kanker, dan bahan berbahaya lainnya.
Jika peralatan yang sama digunakan untuk semua produk obat, prosedur
yang sesuai harus dilakukan untuk memungkinkan pembersihan peralatan
secara teliti sebelum digunakan dengan obat lain. (Kawano, 2012)
c) Persayaratan pemilihan bahan
a Peracik diutamakan untuk menggunakan substansi obat USP-NF yang
diproduksi dan terdaftar di FDA.
b Peracik diutamakan menggunakan bahan yang tidak aktif yang diproduksi
dan terdaftar di FDA.
c Jika bahan racikan tidak dapat diperoleh dari fasilitas yang terdaftar pada
FDA atau perusahaan yang menyediakan tidak dapat mendokumentasikan
daftar FDA, peracik harus menggunakan penilaian profesional mereka dalam
penerimaan, penyimpanan, atau menggunakan bahan baku yang 7 memenuhi
persyaratan yang disediakan oleh sumber yang terpercaya dan berkualitas.
d Jika bahan baku yang berkualitas tidak dapat diperoleh, dapat digunakan
beberapa sumber yang terpercaya seperti, kelas reagen analitis, American
Chemical Society-certified, atau kelas Food Chemicals.
e Ketika bahan baku tidak diperoleh dari sumber yang resmi maka bahan baku
dapat diperoleh dari sumber yang dianggap dapat diterima dan dapat
diandalkan dalam penilaian profesional dari peracik tersebut.
f Komponen harus disimpan tempat yang sesuai untuk mencegah kontaminasi
dan stok yang sudah lama digunakan terlebih dahulu.
d) Penyimpanan dan Pengemasan
a. Peracik harus memastikan bahwa wadah dan penutup wadah yang
digunakan dalam pengemasan preparasi majemuk memenuhi persyaratan.
b. Peracik harus mendapatkan catatan tertulis dari pemasok untuk
menunjukkan bahwa wadah memenuhi persyaratan usp.
c. Wadah dan penutup wadah yang untuk peracikan sediaan steril harus
ditangani, disterilisasi, dan disimpan sesuai berdasarkan Persiapan Steril
tercantum dalam usp 797.
d. Wadah dan penutup wadah harus terbuat dari bahan bersih yang tidak
reaktif, aditif, atau tidak menyerap.
e. Wadah dan penutup harus dari bahan yang sesuai agar tidak mengubah
kualitas, kekuatan, atau kemurnian obat majemuk.
f. Peracik harus memastikan bahwa wadah dan penutup wadah dipilih untuk
resep obat majemuk sesuai sediaan steril, tidak steril atau radio farmasi.
e) Pengontrolan hasil racikan
a. Peracik harus memastikan bahan baku berdasarkan usp dan memastikan
adanya prosedur tertulis untuk peracikan produk obat untuk memastikan
bahwa produk memiliki identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian. 8
b. Peracik harus menetapkan prosedur yang mencakup deskripsi komponen,
jumlah, urutan komponen aditif, dan proses penggabungan, wadah produk
obat.
c. Peracik harus memeriksa ulang setiap prosedur dan tahapan proses untuk
memastikan bahwa setiap berat atau ukuran benar sesuai prosedur
peracikan yang tertulis.
d. Prosedur kontrol yang tepat harus ditetapkan berdasarkan usp untuk
memantau output serta untuk memvalidasi proses peracikan yang
menyebabkan variabilitas dalam persiapan majemuk sediaan obat.
Faktorfaktor yang dapat menyebabkan variabilitas meliputi pencampuran
untuk menjamin keseragaman dan homogenitas.

f) Pelabelan
a. Peracik memberikan label setelah persiapan compounding sediaan yang
terdapat informasi yang diwajibkan oleh hukum negara dan standar praktik
yang diterima 2.
b. Peracik harus memberi label pada produk digunakan seperti, nomor kontrol
yang ditetapkan, dan tanggal penggunaan berdasarkan pada pengujian yang
sesuai, data yang dipublikasikan, atau standar USP-NF.

5) Kategori compounding sterile


a Tingkat resiko rendah compounding practice sterile
Peracikan sediaan sterile dilakukan secara aseptic berdasarkan dalam kelas
ISO kualitas udara yang lebih baik dan hanya menggunakan bahan-bahan steril,
produk, komponen, dan perangkat. Penggabungan hanya melibatkan transfer,
pengukuran, dan pencampuran, menggunakan tidak lebih dari tiga bahan bakusteril
yang diproduksi secara komersial dan tidak lebih dari dua bahan dalam satu wadah
steril(USP, 2011b).
b Tingkat resiko moderate compounding practice sterile
Peracikan sediaan sterile membutuhkan durasi yang panjang untuk
penggabungan sediaan yang berkaitan dengan pencampuran dan homogenitas,
penyimpanan dalam ruang control kendali tidak lebih dari 30 jam (USP, 2011b).

B. Manufacturing

Manifacturing adalah proses produksi obat berskala industri oleh industri farmasi,
untuk dijual kembali secara massal. Awal proses bisa dimulai dari sintesis zat aktif
maupun sekadar mengolah bahan baku yang sudah tersedia. Dosisnya merupakan
dosis rata-rata, bukan dosis individual. Dalam kaderisasi, proses semacam
manufacturing ini bisa dilakukan dengan dauroh ataupun proses-proses massal
sejenisnya. Dauroh merupakan cara yang efisien untuk mengolah kader agar siap
‘mengobati’ lingkungannya. Akan sangat bagus jika dari dalam proses ini bisa
diproduksi ‘kader baru’, bukan hanya memformulasi bahan baku yang dipasok dari
‘industri’ lain.
Good Manufacturing Practice atau GMP (juga disebut sebagai 'cGMP' atau
'saat ini Good Manufacturing Practice') adalah istilah yang diakui di seluruh dunia
untuk kontrol dan manajemen manufaktur dan pengujian kontrol kualitas makanan dan
produk farmasi.
Karena pengambilan sampel produk secara statistik hanya akan memastikan
bahwa sampel itu sendiri (dan mungkin area yang berdekatan dengan tempat sampel
diambil) sesuai untuk digunakan, dan pengujian titik akhir bergantung pada
pengambilan sampel, GMP mengambil pendekatan holistik untuk mengatur
pembuatan dan pengujian laboratorium lingkungan itu sendiri. Bagian yang sangat
penting dari GMP adalah dokumentasi dari setiap aspek proses, aktivitas, dan operasi
yang terkait dengan pembuatan obat dan alat kesehatan.
Jika dokumentasi yang menunjukkan bagaimana produk dibuat dan diuji (yang
memungkinkan ketertelusuran dan, jika terjadi masalah di masa mendatang, penarikan
kembali dari pasar) tidak benar dan teratur, maka produk tersebut tidak memenuhi
spesifikasi yang diperlukan dan dianggap terkontaminasi ( dipalsukan di AS). Selain
itu, GMP mensyaratkan bahwa semua manufaktur dan peralatan pengujian telah
memenuhi syarat untuk digunakan, dan bahwa semua metodologi dan prosedur
operasional (seperti manufaktur, pembersihan, dan pengujian analitik) yang digunakan
dalam proses pembuatan obat telah divalidasi (sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan sebelumnya. ), untuk mendemonstrasikan bahwa mereka dapat melakukan
fungsi yang diklaim.
Di AS, frasa "praktik manufaktur yang baik saat ini" muncul di 501 (B) dari
Undang-Undang Makanan, Obat, dan Kosmetik 1938 (21USC351). Pengadilan AS
secara teoritis dapat menyatakan bahwa produk obat dipalsukan meskipun tidak ada
persyaratan peraturan khusus yang dilanggar selama proses tersebut tidak dilakukan
sesuai dengan standar industri.

Indikator Good Manufacturing Practice

1. Bangun Komitmen di Antara Stakeholder


Hal mendasar yang harus diperhatikan sebelum mulai menerapkan GMP
yakni membangun komitmen di antara seluruh stakeholder perusahaan, mulai dari
pemilik, pemimpin, hingga karyawan. Pasalnya, kesuksesan sebuah proses menuntut
kerja sama antara seluruh elemen sumber daya manusia perusahaan.
2. Bentuk Tim yang Solid
Setelah komitmen terbangun di antara seluruh elemen sumber daya manusia
yang ada di perusahaan, maka langkah selanjutnya yang diperlukan adalah
membentuk tim yang solid. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam
pembentukan tim yakni penanggung jawab yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas
untuk memimpin tim.
3. Tentukan Standar Referensi GMP
Tidak hanya membentuk tim yang solid, setiap perusahaan juga perlu
menentukan standar referensi yang efektif dan sesuai. Setiap perusahaan jelas
memiliki standar referensi yang berbeda-beda. Namun secara umum, standar referensi
ini terkait beberapa hal seperti produksi, desain, fasilitas, jaminan, serta ruang
penyimpanan produk.
4. Terapkan Indikator
Selain menentukan standar referensi GMP, perusahaan di berbagai bidang juga perlu
menerapkan indikator-indikator yang efektif. Hal ini untuk mengurangi kesalahan-
kesalahan fatal yang bisa saja terjadi. Selanjutnya, evaluasi terhadap kinerja penerapan
GMP pun penting untuk dilakukan agar tidak muncul lagi kesalahan.
5. Bangun Kesadaran Individu
Terakhir, faktor yang penting untuk diperhatikan yaitu membangun
kesadaran individu baik di level manajer, supervisor, hingga karyawan dan staf
lainnya sehingga semua orang berkomitmen terhadap GMP. Hal ini dikarenakan
oleh pentingnya menjaga konsistensi terhadap sebuah sistem yang telah
diterapkan agar bisa terus berkelanjutan.

C. Fungsi dan Peran Apoteker dalam Compounding

Pelayanan kefarmasian di apotek telah diatur melalui Surat Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/I X/2004.

Tujuan dari standar pelayanan ini adalah:

1. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.


2. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.

3. Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker.

4. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.

Surat keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1027/Menkes/SK/IX/2004, terutama pada BAB III, bahwa pelayanan kefarmasian
meliputi:

a. Pelayanan Resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi:

1) Persyaratan Administratif :

- Nama, SIP dan alamat dokter

- Tanggal penulisan resep

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien

- Nama obat, potensi, dosis, dan jumlah yang minta

- Cara pemakaian yang jelas

- Informasi lainnya

2) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,


inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

3) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis,


durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya
dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan
pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan
setelah pemberitahuan.

b. Penyiapan obat

1) Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas


dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat
harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan
jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

2) Etiket, etiket harus jelas dan dapat dibaca.

3) Kemasan

Obat yang Diserahkan, obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam


kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

4) Penyerahan Obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir


terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

5) Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah


dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada
pasien sekurang-kurangnya meliputi: dosis, efek farmakologi, cara pemakaian
obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan
dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

6) Konseling

Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi,


pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan
kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular,
diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan.

7) Monitoring Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan


pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, )
8). Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus memberikan


edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut
membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur,
poster, penyuluhan, dan lain-lain.

9). Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan


kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok
lanjut usia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk
aktivitas ini Apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan
(medication record).

Saat seorang apoteker melakukan compounding terdapat hubungan yang lebih


dekat antara seorang apoteker dengan pasien yang menerima obat racikan dibanding
dengan pasien yang hanya menerima obat komersil, karena semakin banyak obat yang
diracik dalam suatu resep maka semakin tinggi pula tingkat pelayanan kefarmasian yang
diberikan untuk seorang pasien (Yancey dkk., 2008).

Oleh sebab itu, seorang apoteker di Indonsia harus memenuhi standar kompetensi
apoteker yang di buat oleh Ikatan Apoteker Indonesia, dalam melakukan dispensing
apoteker harus menguasai kompetensi inti dalam melakukan dispensing. Kompetensi inti
tersebut adalah sebagai berikut (Ikatan Apoteker Indonesia, 2016).

1. Mampu melakukan penyiapan sediaan farmasi sesuai standar, dengan rincian


i Memutuskan legalitas dan kelengkapan administratif resep.
ii Melakukan analisis kesesuaian farmasetik.
iii Melakukan analisis kompatibilitas dan stabilitas obat.
iv Melakukan kalkulasi dosis, serta konversi kekuatan dan bentuk sediaan obat
dengan tepat.
v Menetapkan formulasi sediaan farmasi yang membutuhkan penanganan khusus,
sediaan steril dan sitostatika.
vi Melakukan penyiapan sediaan non-steril, pencampuran sediaan steril (i.v. ad
mixture), sterilisasi sediaan farmasi & alat kesehatan, & penyiapan sitostatika
sesuai standar dan pedoman.
vii Menyiapkan etiket dan label sesuai kebutuhan, termasuk penyimpanan, ED
(Expiration Date) atau BUD (Beyond Use Date ).
viii Mengemas sediaan farmasi dalam wadah yang tepat untuk menjaga mutu dan
menghindari kesalahan penggunaan.
ix Memvalidasi salinan resep.
x Merancang, membuat dan memutakhirkan dokumen pengobatan pasien (PMR)
beserta semua perubahan dan tindakan atas resep.
2. Mampu menyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta memberikan informasi
terkait sediaan farmasi dan alat kesehatan kepada pasien, dengan rincian
i. Memastikan kesesuaian identitas pasien serta kewenangan penerima sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang diresepkan.
ii. Memastikan kesesuaian antara sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
disiapkan dengan yang diminta dalam resep.
iii. Melakukan penyerahan sediaa farmasi dan alat kesehatan dengan sikap ramah,
terbuka, komunikatif, dan asertif dengan memperhatikan etika profesi.
iv. Memberikan penjelasan tentang fungsi atau kegunaan, frekuensi, waktu dan cara
penggunaan, batasan penggunaan, efek samping potensial, serta cara
penyimpanan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan.
v. Menjelaskan identitas obat dan karakteristik bentuk sediaan yang digunakan
pasien.
vi. Memastikan pasien memahami informasi yang diberikan.
vii. Mendokumentasikan kegiatan penyerahan sediaan farmasi dan informasi yang
disampaikan kepada pasien.
viii. Mengidentifikasi & melakukan tindakan untuk mencegah dan/atau mengatasi
dispensing error dan near misses.
ix. Menerapkan dan mengelola sistem pelaporan adanya kejadian dispensing error
dan near misses.
x. Melaporkan adanya sediaan yang cacat dan/atau substandar ke pihak yang
berwenang.

Untuk memenuhi standar kompetensi tersebut, dalam menyiapkan sediaan


farmasi yang sesuai standar, apoteker harus menerapkan prinsip-prinsip umum
compounding agar obat racikan yang dihasilkan kekuatan sediaan, kualitas, dan
kemurniannya dapat diterima dan sesuai dengan resep atau pesanan obat (United
States Pharmacopeia, 2011).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Compounding merupakan peracikan obat yang dilakukan oleh seorang yang


professional yang terdiri dari Apoteker, Sarjana farmasi, asisten Apoteker yang
melibatkan proses penyiapan (preparation), pencampuran (mixing), pemasangan
(asembling), pembungkusan (packaging), dan pemberian label (labelling).
2. Manifacturing adalah proses produksi obat berskala industri oleh industri
farmasi, untuk dijual kembali secara massal.

3. Apoteker memiliki dua tanggung jawab yaitu tanggung jawab terhadap


pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta
tanggung jawab pelayanan farmasi klinis. Tanggung jawab pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai adalah tanggung jawab
terkait perencanaan dan pengadaan, penerimaan dan penyimpanan,
pendistribusian, dan pelaporan obat. Tanggung jawab pelayanan farmasi klinis
adalah tanggung jawab terkait dengan hubungan Apoteker dengan pasien, seperti
pengkajian resep, compounding dan dispensing, serta pemberian KIE.

4. Apoteker harus berwawasan luas dan berkompeten sehingga dapat melaksanakan


tugas, tanggung jawab, dan kewajiban secara professional serta dapat mencegah
pengobatan yang tidak rasional atau timbulnya drug related problem
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L. V., Bassani, G.S., Elder, E.J., Parr, A.F., 2014. Strength and Stability Testing
for Compounded Preparations.

Burch, J., 2017. Compounding Pharmacists Provide Customized Care. N. C. Med. J. 78,
191–194.

Ikatan Apoteker Indonesia, 2016. Standar Kompetensi Apoteker Indonesia.

Kawano, A., 2012. Quality and Safety in Compounding Non-Sterile Preparations

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/I X/2004.

Minghetti, P., Pantano, D., Gennari, C.G.M., Casiraghi, A., 2014. Regulatory framework
of pharmaceutical compounding and actual developments of legislation in
Europe. Health

United States Pharmacopeia, 2011. 795 - Pharmaceutical Compounding — Nonsterile 34,


330–336.

Wiedyaningsih, C dan Oetari, R, 2004, Tinjauan Terhadap Bentuk Sediaan Obat : Kajian
Resep-Resep di Apotek Kotamadya Yogyakarta, Majalah farmasi Indonesia
14(4) hal : 201-207.

Wiedyaningsih, C., Kristina, S., Widyakusuma, N., Aditama, H., 2017. Opinion and
Expectation Of Pharmacists On Providing Extemporaneous Compounding In
Jogjakarta and Central Java Province, Indonesia, International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.

Yancey, V., Yakimo, R., Perry, A., Mcpherson, T.B., 2008. compounding services. J.
Am. Pharm. Assoc. 48, 508–514

Anda mungkin juga menyukai